Senin, 10 September 2012

Kemampuan Anak Dari Sidik Jari/ Finger Print




Pengenalan Sidik Jari
Sidik jari merupakan identitas pribadi yang tak mungkin ada yang menyamainya. Jika di dunia ini hidup 6 miliar orang, maka ada 6 miliar pola sidik jari yang ada dan belum ditemukan seseorang yang memiliki sidik jari yang sama dengan lainnya. Karena keunikannya tersebut, sidik jari dipakai oleh kepolisian dalam penyidikan sebuah kasus kejahatan (forensik). Makanya pada saat terjadi sebuah kejahatan, TKP akan diclear up dan dilarang bagi siapa saja untuk masuk karena dikhawatirkan akan merusak sidik jari penjahat yang mungkin tertinggal di barang bukti yang ada di TKP.
Ada tiga jenis sidik jari yaitu Whorl (lingkaran), Loop (sangkutan) dan Arch (busur). Sifat-sifat atau karakteristik yang dimiliki oleh sidik jari adalah parennial nature yaitu guratan-guratan pada sidik jari yang melekat pada manusia seumur hidup, immutability yang berarti bahwa sidik jari seseorang tak akan pernah berubah kecuali sebuah kondisi yaitu terjadi kecelakaan yang serius sehingga mengubah pola sidik jari yang ada dan individuality yang berarti keunikan sidik jari merupakan originalitas pemiliknya yang tak mungkin sama dengan siapapun di muka bumi ini sekali pun pada seorang yang kembar identik.
Ilmu yang mempelajari sidik jari adalah Daktiloskopi yang berasal dari bahasa Yunani yaitu dactylos yang artinya jari jemari atau garis jemari dan scopein yang artinya mengamati.
Uniknya lagi, sidik jari dapat pula dijadikan panduan mengidentifikasi bagaimana potensi seseorang, jadi sebenarnya kita bisa mengetahui bakat atau potensi kita sehingga kita bisa mengakomodasikan potensi kita untuk jenis pekerjaan apa yang paling cocok dengan bakat kita tersebut. Cara identifikasi bisa dilakukan secara kasat mata dengan orang yang pakar di bidangnya, atau ada juga yang menggunakan sebuah alat khusus pembaca sidik jari (finger print reader) yang dihubungkan ke sebuah komputer bersoftware khusus yang kemudian menganalisa berdasarkan titik-titik yang menjadi acuan. Adapun yang bisa diidentifikasi adalah mengenai pengendalian logika seseorang, reflek serta perkembangan otak.

Perkenalan Fingerprint Test
FT (fingerprint test) alias uji membaca sidik jari adalah metode berlandaskan dermatoglyphic, ilmu pengetahuan yang usianya ratusan tahun. FT adalah genetik blueprint.
Dermatoglyphic dari bahasa Yunani, derma berarti kulit dan glyph yaitu ukiran adalah ilmu pengetahuan yang berdasarkan teori epidermal atau ridge skill (garis-garis pada permukaan kulit, jari-jari, telapak tangan, hingga kaki). Dermatoglyphic mempunyai dasar ilmu pengetahuan yang kuat karena didukung penelitian sejak 300 tahun lalu.
Para peneliti menemukan epidermal ridge memiliki hubungan yang bersifat ilmiah dengan kode genetik dari sel otak dan potensi inteligensia seseorang. Penelitian dimulai oleh Govard Bidloo pada tahun 1685. Lalu, berturut-turut dilakukan oleh Marcello Malpighi (1686), J.C.A. Mayer (1788), John E. Purkinje (1823), Dr. Henry Faulds (1880), Francis Galton (1892), Harris Hawthorne Wilder (1897) dan Noel Jaquin (1958).
Beryl B. Hutchinson tahun 1967 menulis buku berjudul Your Life in Your Hands, sebuah buku tentang analisis tangan. Terakhir, hasil penelitian Beverly C. Jaegers (1974), sidik jari tercermin dalam karakteristik dan psikologi seseorang. Hasil penelitian mereka telah dibuktikan di bidang antropologi dan kesehatan.

Tahap Fingerprint Test
Untuk memeriksa kecerdasan Anda lewat sidik jari, awalnya telapak tangan difoto dengan sebuah kamera yang terhubung pada layar monitor. Selanjutnya, kesepuluh jari discan pada sebuah alat menyerupai bentuk mouse komputer. Caranya cukup dengan meletakkan masing-masing ujung jari secara bergantian. Saat itulah, kesepuluh sidik jari Anda telah terekam dalam seperangkat komputer. Kemudian, seorang FT analis akan menganalisisnya.
Hasil seluruh analisis secara detail baru bisa diberikan 5 hari kemudian, menunggu hasil analisis laboratorium di Singapura. Di Indonesia memang belum ada laboratorium khusus untuk FT ini.
Saat hasil lengkap rekam sidik jari diberikan kepada pasien, tim psikolog siap memaparkan artinya. Untuk informasi, jari kelingking menggambarkan penglihatan. Jari manis melambangkan pendengaran. Jari tengah berhubungan dengan sentuhan, keseimbangan, pergerakan serta koordinasi tangan dan kaki. Jari telunjuk sebagai proses informasi (tangan kiri untuk logika, tangan kanan untuk pikiran). Ibu jari untuk berpikir dan membuat keputusan.
Melihat sejumlah cap-cap tangan di dalam gua-gua prasejarah, maka ditunjukkan bahwa minat manusia terhadap tangan sudah ada sejak jaman batu. Demikian juga dengan penemuan arkeologis berupa tangan-tangan yang dibuat dari batu, kayu dan gading oleh peradaban-peradaban di masa lampau. Kaisar dari Cina menggunakan cap jempolnya untuk menyegel dokumen pada tahun 3000 SM. Informasi tentang aturan dan praktek pembacaan tangan telah ditemukan di dalam skrip-skrip vedic, Injil dan tulisan di masa awal Semitic. Aristoteles (384-322 SM) menemukan sebuah risalah pada palmistri (ilmu garis telapak tangan) di sebuah perubahan untuk dewa Hermes. Dokter-dokter Yunani, Hypocrites dan Galen (130 SM - 200) adalah yang banyak mengetahui seputar penggunaan palmistri sebagai bantuan pengobatan. Julius Caesar (102 – 44 SM) menghakimi orang-orangnya dengan palmistri.
Sayangnya praktek palmistri ditekan oleh pihak gereja katolik dan menyebutnya sebagai praktek pemujaan setan. Minat banyak orang telah dikekang, sehinga gereja mulai kehilangan pengaruhnya dalam pandangan masyarakat umum. Orang-orang terkenal seperti Paracelsus (1493-1541) dan Fludd (1574-1637) kembali mengangkat kehormatan palmistri melalui tulisan mereka. Kemudian Dr. Carl Carus, dokter untuk Raja Saxony di abad ke-19 mencocokkan telapak tangan dengan kepribadian seseorang. Kemajuan dalam ilmu genetika, psikologi dan forensik sudah mendorong palmistri ke dalam era modern.
Dermatoglyphics adalah ilmu yang mempelajari kulit telapak tangan. Kata tersebut terdiri dari dua kata, yakni “derma” artinya kulit dan “glyphs” artinya garis-garis yang terukir. Apabila kita sekarang berbicara tentang Dermatoglyphs, maka sebagian besar berhubungan dengan sidik jari, meskipun banyak garis-garis lainnya pada telapak tangan.
Sidik jari kita dibentuk secara utuh dalam 16 minggu setelah pembetukan janin dari embrio, dan 5 bulan penuh sebelum kita dilahirkan sidik jari tidak akan berubah lagi dengan setiap sidik jari tersusun atas 50 sampai 100 garis.
Para peneliti menemukan epidermal ridge memiliki hubungan yang bersifat ilmiah dengan kode genetik dari sel otak dan potensi inteligensia seseorang. Penelitian dimulai oleh Govard Bidloo pada tahun 1685. Lalu, berturut-turut dilakukan oleh Marcello Malpighi (1686), J.C.A. Mayer (1788), John E. Purkinje (1823), Dr. Henry Faulds' (1880), Francis Galton (1892), Harris Hawthorne Wilder (1897), Noel Jaquin (1958).
Beryl B. Hutchinson tahun 1967 menulis buku berjudul Your Life in Your Hands, sebuah buku tentang analisis tangan. Terakhir, hasil penelitian Beverly C. Jaegers (1974), sidik jari tercermin dalam karakteristik dan psikologi seseorang. Hasil penelitian mereka telah dibuktikan di bidang antropologi dan kesehatan.
Tahun 1901 Scotland Yard (Kepolisian Inggris) mengadopsi teknik sidik jari ke dalam penyelidikan dan identifikasi para penjahat. Para peneliti medis yang mempelajari pola-pola kulit (dermatoglyphics), sudah menemukan hubungan antara kelainan-kelainan genetik dan tanda-tanda tidak umum pada tangan. Riset telah menetapkan adanya mata rantai antara pola sidik jari yang spesifik dan penyakit jantung. Dewasa ini palmistri telah diterima dengan baik di seluruh dunia. Peramal-peramal profesional pembaca garis telapak tangan dapat ditemukan di seluruh dunia. Begitu juga banyak buku yang ditulis mengenai palmistri yang bisa dijadikan acuan.


4 Pola Dasar Sidik Jari, Whorl, Arch, Loop dan Triradius
Ada empat pola dasar Dermatoglyphic tentang sidik jari yang perlu diketahui, yakni Whorl atau Swirl, Arch, Loop, dan Triradius. Selain itu hanyalah variasi dari kombinasi keempat pola ini.
Setiap orang mungkin saja memiliki Whorl, Arch, atau Loop di setiap ujung jari (sidik jari) yang berbeda, mungkin sebuah Triradius pada gunung dari Luna dan di bawah setiap jari, dan kebanyakan orang ada juga yang mempunyai dua Whorl atau Loop di tangan lainnya. Pola-pola dapat juga ditemukan pada ruas kedua dan ketiga di setiap jari.


Whorl
Whorl (melingkar) yaitu bentuk pokok sidik jari, mempunyai 2 delta dan sedikitnya satu garis melingkar di dalam pattern area, berjalan di depan kedua delta. Jenis whorl terdiri dari Plain whorl, Central pocket loop whorl, Double loop whorl dan Accidental whorl.

Whorl bisa berbentuk sebuah Spiral, Bulls-eye, atau Double Loop. Whorl adalah titik-titik menonjol dan kontras, dan bisa dilihat dengan mudah.
Cetakan Spiral dan Bulls-eye adalah persis sebangun dalam interpretasinya, namun yang kedua memberikan sedikit lebih banyak fokus. Di mana pun di bagian tangan, Whorl menyoroti dan menekankan kepada daerah tertentu, menjadikannya sebuah wilayah fokus di dalam kehidupan subyek.




Arch
Arch merupakan bentuk pokok sidik jari yang semua garis-garisnya datang dari satu sisi lukisan, mengalir atau cenderung mengalir ke sisi yang lain dari lukisan itu, dengan bergelombang naik di tengah-tengah.

Pola ini bisa terlihat sebagai sebuah Flat Arch, atau Tented Arch. Perhatikan setiap pola Arch menaik sangat tinggi.
Pola Arche menandakan nilai-nilai tradisional dan akhlak yang tinggi. Di dalam hampir semua kasus, nilai-nilai moral adalah menurut sebagian orang di “masa lampau” yang mana mereka telah dipermalukan. Orang-orang dengan pola ini mengalami kesulitan untuk melihat sifat-sifat negatif mereka sendiri, dan untuk memahami bahwa “masa lampau” yang mereka kunci di atas noda atau perasaan malu hanyalah sebuah pengalaman yang diperlukan untuk perkembangan kepribadian secara penuh. Orang dengan Flat Arch mengikuti tradisi dengan sedikit pemikiran mandiri, sedangkan orang dengan pola Tented Arch mengungkapkan suatu kedalaman intelektual.


Loop
Loop adalah bentuk pokok sidik jari dimana satu garis atau lebih datang dari satu sisi lukisan, melereng, menyentuh atau melintasi suatu garis bayangan yang ditarik antara delta dan core, berhenti atau cenderung berhenti ke arah sisi semula.

Loop dapat menaik ke arah ujung jari, atau menjatuh ke arah pergelangan tangan. Common Loop bergerak ke arah ibu jari, sementara Radial Loop (Loop terbalik) bergerak mengarahkan ujung pemukulnya ke sisi lengan.

Loop Umum (Common Loop)
Tipe paling umum dari sidik jari adalah Common Loop. Cetakan ini mengungkap kemampuan untuk menggunakan berbagai ide dari berbagai sumber ide, dan mencampurnya dengan gaya yang unik.
Loop mengungkapkan seorang “pengikut” yang alami. Keinginan untuk memimpin orang lain lebih sering muncul, tapi bukan berarti setiap orang dengan Common Loop memiliki kemampuan untuk memimpin.

Loop Memusat (Radial Loop)
Sebuah cetakan menukik yang memasuki dan berangkat dari sisi ibu jari tangan disebut Radial Loop (kadang-kadang disebut Reverse Loop, atau Inventor Loop). Jika Common Loop menunjukkan campuran gaya-gaya lain, Radial Loop mengungkapkan kemampuan untuk menciptakan sebuah gaya atau sistem yang sama sekali baru. Orang ini mempunyai ingatan visual yang tajam, mampu mengingat tidak hanya gambaran-gambaran, tapi juga tindakan-tindakan dan emosi-emosi yang menyertai gambaran-gambaran tadi. Seperti halnya semua tanda yang lain, Radial Loop berlaku bagi bidang apapun atau jari yang di atasnya ditemukan tanda itu.

Double Loop
Double Loop kebanyakan disalahpahami oleh hampir semua penandaan Dermatoglyphic. Pada umumnya, menginterpretasikan Double Loop sama seperti dengan Whorl-whorl yang lain, dengan perbedaan utama: Hingga kepribadian yang dikembangkan akan cenderung dengan kuat ke arah pernyataan yang dilebih-lebihkan, manipulasi, dan tindakan-tindakan bersifat subversif di dalam wilayah kehidupan. Sebagai contoh, seseorang dengan Double Loop pada kedua ibu jarinya mungkin di dalam awal kehidupannya menggunakan penipuan untuk membantu mewujudkan keinginan mereka terhadap yang lain. Pemilik garis tangan ini tertarik ke arah karier yang dramatis, yang dengan usaha biasa dapat diwujudkan dengan mudah.


Triradius
Triradius (juga disebut “Delta”) dapat digunakan untuk menunjuk dengan tepat pusat dari setiap gunung. Gunung-gunung itu kemudian bisa dilihat sebagai terpusat, kecenderungan, atau berpindah.


Ciri kepribadian menurut pola sidik jari
1.     Sidik jari berpola Whorl
Jari telunjuk –“Anugerah Persepsi”. Individu dengan pola ini hampir mustahil untuk menipu atau berbohong. Mereka secara umum mengalami masa kanak-kanak yang sangat tidak bahagia. Mereka hanya bisa melihat dengan sangat jelas penipuan-penipuan dan kepura-puraan orang lain, termasuk orang tua mereka sendiri.
Jari Tengah –“Anugerah Organisasi”. Pemilik pola ini dapat melihat penggolongan-penggolongan dan hubungan-hubungannya pada hampir semua orang. Mereka akan menggolongkan orang-orang dan kejadian dalam tipe-tipe khusus tertentu. Mereka bersifat sangat curiga, dan senang membongkar atau menyelidiki “rahasia-rahasia.
Jari Manis –“Anugerah Pembedaan”. Sebuah kemampuan untuk menyoroti kekurangan-kekurangan di dalam setiap rencana, desain, konsep, atau orang per orang. Suatu kecenderungan yang kuat ke arah kesempurnaan (perfeksionis), terutama dalam pekerjaannya sendiri. Orang ini tidak bisa memaklumi sebuah gambar yang tergantung sedikit miring.
Jari Kelingking –“Anugerah Komunikasi”. Meski biasanya malu sendiri dan menahan diri, mereka ini mempunyai anugerah berupa kepandaian berbicara dan menulis kata. Ahli pidato alami, yang mempunyai kemampuan untuk bergerak dan mengilhami orang lain dengan kekuatan suaranya. Satu karateristik yang menarik adalah penempatan pandangan-pandangan spiritualnya. Mereka tidak akan pernah mengikuti dogma dari agama apa pun, tetapi mempunyai filsafat sendiri yang unik di mana mereka sangat meyakininya.
Ibu Jari –“Anugerah Kekuatan Kehendak”. Pola ini mengungkapkan kepemimpinan alami dengan kemampuan yang kuat untuk memerintah orang lain. Mereka akan mendominasi setiap situasi dengan kemampuan memikat yang tak bisa dipisahkan. Terdapat kecenderungan yang kuat ke arah pandangan totaliter atau diktator, terutama terhadap anak-anak mereka.

2. Sidik jari berpola Radial Loop
Jari telunjuk - Seseorang yang mengekspresikan Ego mereka dengan cara yang unik. Cetakan tunggal di tangan yang dominan mengungkapkan sifat bekerja mandiri adalah satu-satunya jalan untuk pemenuhan pribadi.
Jari Tengah - Orang yang menggunakan pikirannya dengan cara uniknya sendiri. Mereka adalah pencipta yang besar, dengan kreativitas yang tinggi, juga mempunyai kemampuan untuk mengendalikan sistem otonom mereka sendiri, seperti denyut jantung, pencernaan, dan lain-lain dengan pikiran mereka.
Jari Manis - Seseorang yang menciptakan emosi mereka sendiri serta respon-respon emosionalnya. Orang lain tidak pernah benar-benar bisa memahami individu ini, karena tidak bisa memahami emosi atau respon-responnya yang tidak pernah dialami orang lain. Akhirnya, mereka tidak pernah merasa “sesuai” dengan masyarakatnya, tetapi hidup mereka diatur oleh usaha yang tetap. Isu ketakutan dan kesepian harus diberdayakan untuk mencapai pemenuhan.
Jari kelingking - Sangat jarang sekali. Pola ini mengindikasikan seseorang yang menciptakan pandangan-pandangan religius dan kerohanian mereka sendiri. Dan ini tidak akan bercampur dengan filsafat-filsafat lain yang paling umum, tetapi akan menjadi sebuah agama yang didasarkan pada konsep-konsep yang sama sekali baru.

3. Sidik jari berpola Arch
Jari telunjuk - Orang yang mempunyai pandangan tradisional mengenai ambisi, karier, dan kepemimpinan mereka sendiri. Mereka percaya bahwa mereka harus bekerja keras untuk mendapatkan uang, menyimpan uangnya, dan menginvestasikannya untuk masa depan mereka. “Masa lampau” mereka berada dalam bidang-bidang seperti hidup tanpa dengan banyak partner dan tingkat kekaguman pada diri sendiri yang rendah (memiliki kecenderungan untuk bunuh diri, gangguan mental karena makanan, dan wujud-wujud lain dari penganiayaan terhadap diri sendiri).
Jari Tengah – Nilai-nilai tradisional mengenai pikiran. Untuk orang-orang ini, pendidikan adalah satu-satunya cara menuju sukses. “Masa lampau" mereka berada dalam bidang-bidang seperti penyalahgunaan obat dan memanipulasi orang lain.
Jari Manis – Nilai-nilai tradisional yang bersinggungan kepada emosi (laki-laki tidak boleh menangis, dan lain-lain). “Masa lampau" mereka adalah ketiadaan stabilitas emosional mereka sebelumnya.
Jari kelingking – Nilai-nilai tradisional mengenai komunikasi, agama, dan seks. Mereka adalah satu-satunya kelompok orang yang akan sungguh mengikuti dogma setiap agama tertentu, tanpa menyesuaikannya pada standar mereka sendiri. “Masa lampau” mereka adalah hidup dengan banyak partner atau ketiadaan kerohanian, tetapi hanya karena dipersepsikan sebagai “pewarnaan” jiwa.
Ibu jari – Nilai-nilai tradisional dalam menerima nafsu dan keinginan. Bahkan setelah kepribadian berkembang, masih ada kecenderungan yang kuat ke arah sikap-sikap dominasi. “Masa lampau” mereka adalah ketika mereka terjatuh menjadi mangsa nafsu dan keinginan-keinginan mereka, dengan sedikit pemikiran untuk menolak masa depan.
Ketika pola arch ditemukan pada jari telunjuk dan jari tengah, maka terdapat akal yang sangat dalam. Namun kadang-kadang melambat untuk menyerap konsep-konsep, hal ini karena kerinduan pokok materi suatu pemahaman yang lengkap, daripada sekedar suatu genggaman dangkal dari pengetahuan.

Tes sidik jari (Fingerprint Test) untuk melihat bakat tersembunyi
Akhir-akhir ini muncul trend baru para orang tua melakukan test sidik jari (fingerprint test) pada anak-anaknya, dengan maksud mengetahui bakat-bakat (talenta) terpendam pada diri mereka.
Test dilakukan dengan melakukan pemindaian dan merekam gambar sidik jari, kemudian hasilnya akan dianalisa oleh analis Fingerprint Test. Secara garis besar, jari kelingking menggambarkan penglihatan, jari manis untuk pendengaran, jari tengah berhubungan dengan sentuhan, keseimbangan, pergerakan, serta koordinasi tangan dan kaki, jari telunjuk untuk proses informasi – tangan kiri untuk logika, tangan kanan untuk pikiran, dan ibu jari untuk berpikir serta membuat keputusan.
Secara umum, jenis sidik jari manusia ada empat macam, yaitu whorl (W), ulnar loop (U), radial loop (R), dan arch (A). Orang dengan jenis sidik jari whorl biasanya memiliki karakter independen, kompetitif, keras kepala, dan proaktif. Karakter orang yang memiliki jenis sidik jari ulnar loop biasanya emosional, memiliki kemampuan adaptasi yang cepat, serta mudah berinteraksi. Orang yang memiliki jenis sidik jari radial loop biasanya cenderung egois dan memiliki pemikiran terbalik.
Adapun karakter orang yang memiliki jenis sidik jari arch cenderung praktis, realistis, efisien, tetapi konservatif. Kombinasi Amerika-Asia Jason mengatakan perangkat lunak dermatoglyphics tersebut dapat mengenali karakter seseorang sesuai dengan data base yang sebelumnya memang sudah dimasukkan saat pemprograman. Basis data itu dibangun berdasarkan data statistik, ilmu dermatoglyphics, dan ilmu genetik. Data statistik perangkat lunak dermatoglyphics itu berasal dari sidik jari 3 juta orang. Sampel tersebut merupakan kombinasi dari masyarakat Amerika dan Asia.
Dengan demikian, sampel telah mewakili orang-orang dari belahan dunia Barat dan Timur. Pemprograman data base perangkat lunak dermatoglyphics juga bersumber dari perkembangan ilmu dermatoglyphics, yaitu studi yang mempelajari sifat alamiah sidik jari. Dari hasil penelitian para ilmuwan di bidang dermatoglyphics, diketahui bahwa setiap individu di dunia memiliki sidik jari yang berbeda-beda.
Karakter sidik jari manusia juga ternyata berhubungan erat dengan bagian fungsi otak. “Ibu jari memiliki jalinan ke otak depan. Motif garis ibu jari itu bisa menunjukkan karakter seseorang,” kata Jason. Telunjuk memiliki hubungan dengan otak depan yang posisinya lebih atas. Motif garis telunjuk tersebut dapat menunjukkan pemikiran logis dan kreativitas seseorang.
Jari tengah memiliki keterkaitan dengan otak bagian atas. Motif jari tengah itu dapat menunjukkan kontrol pergerakan minor dan mayor seseorang. Adapun jari manis memiliki jalinan dengan otak yang berada di belakang telinga. Motif jari manis itu kerap dikaitkan dengan kontrol pendengaran. Sedangkan jari kelingking memiliki hubungan dengan otak belakang. Motif jari kelingking itu dapat menunjukkan tingkat konsentrasi maupun penglihatan seseorang.
Jari-jari tangan sebelah kanan seseorang, kata Jason, mewakili fungsi otak sebelah kiri. Otak kiri berfungsi untuk melihat perbedaan angka, urutan, tulisan, bahasa, hitungan, dan logika. Sedangkan jari-jari tangan sebelah kiri seseorang mewakili fungsi otak sebelah kanan. Otak kanan berfungsi untuk melihat persamaan, khayalan, kreativitas, bentuk ruang, emosi, musik, dan warna.
Data base perangkat lunak dermatoglyphics diprogram berdasarkan ilmu genetika. Umum diketahui, gen merupakan unit dasar dalam kehidupan manusia. Gen bertindak seperti kode kehidupan manusia yang menerima dan menyampaikan pesan-pesan turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. “Gen erat kaitannya dengan motif sidik jari yang diturunkan orang tua kepada anaknya. Motif sidik jari anak pasti akan sama dengan orang tua atau kakeknya,” ujar Jason.
Secara medis, motif sidik jari manusia terbentuk sempurna pada minggu ke-13 ketika janin mulai berkembang. Jason menambahkan dengan data base yang lengkap, otomatis perangkat lunak dermatoglyphics dapat mengetahui karakter sidik jari manusia yang berbeda-beda secara spesifi k dan akurat. “Alhasil, teknologi itu dapat membaca kelebihan juga kekurangan anak serta solusinya dengan tingkat akurasi mencapai 95 persen,” klaim Jason. Sayangnya, teknologi itu hanya efektif untuk mengetahui kompetensi anak pada usia 5 hingga 15 tahun.
Rentang usia tersebut merupakan masa perkembangan saraf-saraf otak manusia. Pada masa-masa itu pula segala potensi anak masih berpeluang dikembangkan. Sedangkan saat usia anak mencapai lebih dari 15 tahun, pembentukan karakter lebih sulit karena anak sudah memiliki pemikiran matang.


Untuk Mengetahui Perilaku dan Bakat
Berbagai penelitian ilmiah menyatakan pola sidik jari dan jumlah sulur sangat menentukan kecerdasaan seseorang. Menurut mereka, terdapat kaitan erat antara sidik jari dengan keberhasilan karier dan usaha seseorang. Diyakini, pengetahuan tentang sidik jari sejajar dengan pengetahuan lain yang memiliki landasan ilmiah kuat. Sebagai pengetahuan, dermatogifli (bahasa Yunani, derma = kulit dan gliphe = lekukan atau kerutan) baru diakui pada 1892 berkat perjuangan ilmuwan Inggris Sir Francis Galton. Ilmuwan Inggris Sir Henry Faulds adalah orang pertama yang menemukan sidik jari sebagai tanda pengenal diri pada 1880. Di Eropa, sejak 1936, ilmu ini sudah dipakai untuk menentukan penyakit Down Syndrome atau Mongolism. Sidik jari ternyata berguna pula untuk mengetahui bakat dan potensi yang dimiliki seorang anak sejak dini.
Pada dasarnya, sidik jari terbagi atas tiga tipe, yakni arch (lengkung), loop (ikal), dan whorl (ulir). Tipe arch adalah pola yang paling sederhana karena hanya terdiri atas garis-garis lengkung tanpa titik radius. Tipe loop adalah garis lingkar yang menuju titik radius. Sementara tipe whorl adalah sulur yang kompleks kombinasinya, seperti garis acak-acakan. Ada juga yang membagi sidik jari atas lima pola dasar. Selain ketiga tipe di atas, ditambah dengan tented arch (lengkung tenda) dan composite (majemuk). Pola sidik jari yang dimiliki seseorang biasanya tidak selalu sama. Jarang sekali ada sidik jari yang seluruhnya terdiri atas loop saja, arch saja, atau whorl saja. Umumnya berupa kombinasi antara dua pola, tiga pola, bahkan lebih. Setiap pola dipercaya mewakili sifat dan karakter tertentu.
Pola loop menunjukkan orang yang fleksibel dan mampu menyesuaikan diri. Dia menyukai kehidupan yang aktif dengan banyak tantangan. Bisa bekerja sama dengan orang lain dan menyukai bisnis di bidang komunikasi. Pola whorl mengungkapkan tipe pendiam dan pemikir. Agak kaku dan sukar menyesuaikan diri atau berubah pikiran, sangat bertanggung jawab, lebih suka bekerja sendiri, dan sosok yang sangat ulet.
Pola arch menunjukkan orang yang bersifat garam dunia. Dia praktis, teguh, berkepala dingin, bersahaja, materialistis, dan sukar mengutarakan perasaannya yang terdalam. Pola tented arch sering kali hanya ditemukan pada telunjuk atau jari tengah, menunjukkan antusiasme dan gairah, impulsif, dan terlibat secara mendalam dengan segala sesuatu yang ditanganinya. Pola composite menceritakan kemampuan untuk melihat dua sisi, terlalu banyak berpikir bila harus mengambil keputusan, dan sangat baik dalam memberikan penilaian untuk orang lain (Palmistri, 2001).

Di Tiongkok
Di banyak negara analisis sidik jari sering dimanfaatkan untuk mendiagnosis kesehatan. Umumnya penyakit tersembunyi bisa dideteksi lewat sulur garis yang terpotong oleh garis kecil. Di Tiongkok pengetahuan tentang sidik jari sudah lama dipelajari. Menurut pengetahuan Tiongkok kuno, jika kesepuluh jari memiliki lengkungan maka dia memiliki si fat yang sangat terpuji. Dia jujur dan polos, penyayang dan penuh kasih, juga sangat menyu kai binatang dan tumbuhan. Yang dimaksud dengan lengkungan sidik jari adalah sekum pulan garis horizontal yang tersusun secara paralel, namun pada bagian tengah-tengah ga ris terdapat sedikit gelombang atau lengkungan maupun tonjolan yang tidak terlalu tinggi.
Jika kesepuluh jari memiliki pola pusaran maka dia adalah seorang jenius. Dia pun selalu memiliki inisiatif dan kreatif dalam memecahkan setiap persoalan, bahkan bisa memberikan gagasan-gagasan yang sangat cemerlang. Yang dimaksud dengan pusaran adalah lingkaran yang terlihat secara tersusun atau spiral. Pada bagian pusatnya terdapat titik lingkaran yang jelas.

Jika semua jari pada setiap tangan memiliki pola lingkaran spiral maka disebut “sidik jari gagah perkasa”. Ini diartikan dia mempunyai sikap percaya diri sangat kuat, harga diri, dan lebih mementingkan moral. Dia juga memiliki sifat kepemimpinan. Sering kali dia terlalu tergesa-gesa, terlalu mau mencampuri urusan orang lain, dan terlalu mau mengatur setiap pekerjaan tanpa mau mendengar saran atau usulan dari pihak lain. Positifnya, jika memiliki staf atau pendamping orang yang pandai, niscaya bisa memperoleh sukses gemilang dan hidup kaya raya.
Bila kelima sidik jari berpola lengkungan maka disebut “sidik jari kasih ibu”. Sifatnya sangat baik, sabar, penuh kasih sayang, dan cintanya sangat murni. Namun, dia kurang rajin dalam melaksanakan usaha. Bahkan, jika mengalami suatu kesulitan atau persoalan, selalu diselesaikan bertele-tele dan tidak bisa tegas mengambil keputusan. Dia pun sering kali ke hilangan kesempatan yang seharusnya bisa dimanfaatkan dengan baik (Cap Jie Shio, 1996)

Suku kubu (ORANG RIMBA) di jambi



ASAL USUL ORANG RIMBA

Menurut sebagian ahli, Orang Rimba dan Orang Melayu memiliki nenek moyang yang sama. Hal itu dilihat dari kemiripan budaya, bahasa, dan rupa fisik. Namun demikian asal dari nenek moyang orang Melayu dan Orang Rimba belum disepakati secara tegas oleh para ahli. Sampai saat ini masih terjadi perbedaan pendapat mengenai daerah asal usul nenek moyang orang Melayu dan Orang Rimba. Diperkirakan keberadaan Orang Rimba di pulau Sumatera dimulai sekitar 4000 tahun sebelum masehi, bersamaan dengan kedatangan kelompok manusia dari benua Asia, yakni dari daerah Yunan yang termasuk di dalam wilayah Cina Selatan. Mereka dikenal sebagai Melayu Tua atau Proto Melayu yang memiliki peradaban sangat sederhana. Menurut sebagian ahli, ras inilah yang menurunkan Orang Rimba.

Gelombang kedua kedatangan nenek moyang orang Melayu terjadi sekitar tahun 2500 sebelum masehi. Mereka diperkirakan datang dari daerah Dongson di sebelah utara Vietnam. Dimungkinkan mereka membawa teknologi dan keterampilan yang lebih canggih dibandingkan kelompok yang datang dari daerah Yunan. Di pulau Sumatera kedua kelompok bertemu dan bercampur melahirkan ras Deutro-Melayu. Menurut perkiraan sebagian ahli yang lain, ras Deutro-Melayu yang melahirkan Orang Melayu dan Orang Rimba.

Sejak ratusan tahun lalu, paling tidak sejak tahun 1500-an sesuai catatan para penjelajah eropa, Orang Rimba telah melakukan hubungan dagang dan menjalin hubungan kekuasaan dengan kerajaan Jambi. Orang Rimba membayar upeti (jajah) kepada kerajaan berupa barang yang bisa didagangkan dan hasil kerajinan agar keberadaan Orang Rimba diakui dan tidak diusik. Pada akhir abad 19 ketika masa pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia sedang kokohnya, banyak pejabat pemerintahan yang membuat catatan mengenai Jambi, khususnya mengenai keberadaan Orang Rimba yang saat itu disebut dengan Orang Kubu. Menurut sebagian catatan itu diceritakan bahwa Orang Kubu (termasuk Orang Rimba) adalah orang-orang yang mengalami tekanan kehidupan yang sangat keras dari Orang Melayu. Banyak Orang Kubu ditangkap orang Melayu untuk dijadikan budak. Oleh karena itulah Orang Rimba berupaya menjalin hubungan baik dengan pihak kerajaan agar aman.

Mitos riwayat asal muasal Orang Rimba memiliki beberapa versi yang berbeda. Namun demikian hampir seluruh versi itu sama-sama mengklaim bahwa pada awalnya Orang Rimba dan orang Melayu merupakan satu kelompok yang sama. Salah satu versi menyebutkan bahwa pada abad ke 11, di Jambi telah berdiri kerajaan maritim Sriwijaya yang menguasai sebagian selat Malaka dan memiliki hubungan internasional. Pada tahun 1025, kerajaan Chola dari India Selatan menaklukan Sriwijaya dan menguasainya. Pada saat itu, sebagian penduduk Sriwijaya yang tidak mau dikuasai orang asing berpindah ke hutan dan seterusnya hidup di hutan. Mereka ini disebut Orang Kubu, yang salah satu variasinya adalah Orang Rimba. Istilah kubu dimungkinkan bermakna benteng, yang bisa diartikan sebagai membangun benteng dengan mendirikan komunitas baru di daerah terpencil dan jauh di pedalaman hutan.

Riwayat lain mengkisahkan bahwa konon pada waktu lampau, raja Pagaruyung, yakni Daulat Yang Dipertuan, setelah sholat duduk di atas kura-kura besar yang disangkanya batu di pinggir sungai. Dia bersirih dan membuang sirihnya ke dalam sungai. Sirih tersebut dimakan oleh kura-kura.
Setelah memakan sirih yang dibuang sang raja, si kura-kura hamil dan melahirkan anak manusia laki-laki. Kabar bahwa ada kura-kura memiliki anak manusia sampai ke telinga raja. Lalu dipanggillah anak tersebut ke istana. Akhirnya diakuilah anak tersebut sebagai anaknya oleh sang raja. Setelah dewasa, anak tersebut akan dijadikan raja di kota Tujuh, Sembilan Kota, Pitajin Muara Sebo, Sembilan Luruh sampai daerah terpencil Jambi. Namun sebagian penduduk tidak setuju karena anak tersebut adalah anak kura-kura. Sebagai bentuk penolakan, mereka menyingkir ke hutan dan hidup disana. Jadilah mereka Orang Rimba.

Menurut cerita lisan yang saya dengar dari beberapa Orang Rimba di TNBD, mereka mengatakan bahwa nenek moyang mereka adalah orang Padang (Minangkabau) di Sumatera Barat. Pada awalnya mereka semua berkampung sampai kedatangan orang Belanda. Karena enggan dikuasai oleh orang asing, mereka melakukan perlawanan. Namun karena tidak kuat melawan maka mereka lari. Sebagian dari mereka lari ke hilir (ke arah laut) dan sebagian ke arah hulu (ke gunung). Mereka yang menyingkir ke hilir menjadi Orang Minangkabau, sedangkan mereka yang menyingkir ke gunung dan hutan menjadi Orang Rimba. Lama kelamaan, karena ingin menghindari orang asing mereka sampai di jambi.

Versi lain mitos asal usul Orang Rimba berkaitan dengan sebuah cerita mengenai Putri Pinang Masak. Konon kabarnya, pada zaman dahulu kala Jambi dipimpin oleh Ratu Putri Selaras Pinang Masak yang berasal dari kerajaan Pagaruyung dari wilayah Sumatera Barat kini. Pada suatu masa, terjadilah pertentangan dengan raja Kayo Hitam yang berkuasa di lautan sampai dengan Muara Sabak (daerah Kuala Tungkal saat ini). Sang ratu merasa kewalahan sehingga ia meminta bantuan ke Pagaruyung. Maka dikirimkanlah serombongan pasukan oleh raja Pagaruyung. Namun belum sampai di Jambi, rombongan pasukan tersebut kehabisan bekal di sekitar wilayah TNBD sekarang. Akhirnya mereka memutuskan untuk menetap di dalam rimba karena apabila kembali ke Pagaruyung akan dihukum, sedangkan bila meneruskan perjalanan sudah tidak memiliki bekal lagi. Mereka juga bersepakat untuk tidak tunduk kepada siapapun, baik kepada raja Pagaruyung maupun ratu Jambi. Merekalah yang kemudian menurunkan Orang Rimba.

Dari salah seorang Orang Rimba Makekal, didapat cerita mengenai Bujang Perantau sebagai nenek moyang Orang Rimba. Diceritakan bahwa Bujang Perantau berasal dari Pagaruyung. Ia tinggal sendiri di dalam sebuah rumah di dalam hutan. Pada suatu hari ia memperoleh buah gelumpang. Pada malam hari ia bermimpi agar membungkus buah gelumpang dengan kain putih. Oleh bujang perantau mimpi tersebut dilaksanakan. Lalu muncullah putri cantik dari buah gelumpang yang dibungkus. Mereka berdua lalu kawin. Namun karena tidak ada yang mengawinkan maka mereka meniti batang kayu yang melintang diatas sungai. Pada saat kening mereka beradu, maka berarti perkawinan mereka sah. Dari hasil perkawinan mereka lahirlah empat orang anak, yakni Bujang Malapangi, Dewo Tunggal, Putri Gading, dan Putri Pinang masak.

Anak pertama dan terakhir, yakni Bujang Malapangi dan Putri Pinang Masak keluar dari hutan dan kemudian menjadi Orang Terang. Bujang Malapangi berkampung di desa Tana Garo. Putri Pinang Masak berkampung di Tembesi. Sedangkan Dewo Tunggal dan Putri Gading tetap tinggal di dalam hutan, yakni di wilayah hutan bukit Duabelas. Kedua anak dari Bujang Perantau yang tinggal di dalam hutan yang kemudian menurunkan Orang Rimba.

Mitos mengenai asal usul Orang Rimba menceritakan kepada kita setidaknya dua hal penting. Pertama, Orang Rimba mencoba mengaitkan asal-usul mereka dengan orang Melayu. Hal ini merupakan fakta penting. Sangat mungkin kebutuhan akan keberakaran atau asal usul merupakan pendorong terjadinya cerita semacam itu. Ketidakjelasan asal-usul secara psikologis akan menyebabkan kekosongan identitas. Kondisinya mungkin hampir serupa dengan seorang anak yang hidup sendirian dan tidak tahu siapa orangtuanya. Sang anak akan mencari tahu asal-usulnya karena tanpa tahu asal-usul ia merasakan suatu kekosongan identitas. Langkah logis pertama yang akan dilakukannya adalah mengkaitkan dirinya dengan kelompok yang secara fisik mirip dengannya dan paling sering ditemuinya. Apabila ternyata asal-usul orangtuanya tidak dapat ditelusuri lagi, maka biasanya kesadaran akan kelompok sudah cukup. Demikian juga yang terjadi pada Orang Rimba. Paling logis yang dilakukan adalah mengkaitkan riwayat asal-usul dengan orang Melayu yang secara fisik tidak banyak berbeda.

Kedua, sebagian besar cerita mengarah kepada orang Minangkabau, yang merupakan salah satu varian dari orang Melayu sebagai nenek Moyang Orang Rimba. Pengkaitan itu sulit dikatakan sebagai sebuah kebetulan. Tentu ada sebuah kesengajaan adanya mitos tersebut. Sebenarnya lebih masuk akal apabila Orang Rimba mengkaitkan nenek moyang mereka dengan Orang Melayu Jambi, yakni kelompok yang tinggal di dekat mereka dan merupakan kelompok yang paling sering berhubungan dengan mereka. Bahkan mereka pernah secara struktural mengakui keberadaan raja Jambi.

Terlepas benar tidaknya Orang Rimba berasal dari ranah minang dan memiliki nenek moyang orang Minangkabau, tampaknya ada alasan psikologis dibalik penciptaan mitos asal-usul Orang Rimba yang hampir selalu menyebutkan orang Minangkabau sebagai nenek moyang mereka. Mitos itu mungkin diciptakan sebagai perlawanan terhadap tekanan yang dilakukan kelompok Melayu Jambi terhadap Orang Rimba. Pada masa lalu di Jambi terdapat perbudakan. Orang Melayu Jambi mencari budak dengan cara menangkapi Orang Kubu (termasuk Orang Rimba). Setelah ditangkap, Orang Rimba dijadikan budak dan dipaksa melakukan berbagai pekerjaan. Pengalaman tidak menyenangkan yang dialami Orang Rimba tidak hanya itu, mereka juga diharuskan membayar upeti kepada pihak penguasa. Oleh sebab itulah mereka merasa tidak nyaman jika mengkaitkan nenek moyang mereka dengan Orang Melayu Jambi. Maka langkah paling logis adalah mengkaitkan nenek moyang mereka dengan orang Minangkabau, yakni kelompok yang tinggal tidak jauh dari mereka, cukup sering berinteraksi, mirip secara fisik, dan terpenting tidak melakukan tindakan yang tidak menyenangkan.



SEKOLAH RIMBA

Saat ini Orang Rimba mulai bergeliat. Perlahan mereka menyerap pengetahuan dari dunia luar. Mereka sadar, untuk terus dapat bertahan mereka harus memiliki pengetahuan yang cukup agar memiliki posisi tawar dengan orang luar. Setidaknya mereka tidak menjadi objek penipuan dan pembodohan oleh orang luar yang notabene jauh lebih terdidik. Perubahan pola berpikir ini terjadi paling tidak berkat peran-peran pemberdayaan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan LSM di Jambi, terutama LSM Warsi yang intensif masuk ke komunitas Orang Rimba.

Setelah perbincangan pertama dengan Prabung, salah seorang Orang Rimba, saya mulai memikirkan cara yang paling efektif untuk mendekati mereka. Saya teringat dengan berita-berita di koran dan TV mengenai aktivitas tim LSM Warsi memberikan pengajaran untuk Orang Rimba secara langsung di dalam rimba. Agaknya mengajar merupakan cara terbaik untuk mendekati mereka. Paling tidak, selain akan memiliki waktu yang cukup banyak bergaul dengan Orang Rimba, juga merupakan pendekatan yang berbiaya murah.

Tim LSM Warsi telah bertahun-tahun melakukan pengajaran untuk Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas. Menurut sebuah informasi, LSM Warsi telah terjun melakukan pengajaran sejak tahun 1999, atau sudah hampir 6 tahun. Salah satu perintis pendidikan untuk Orang Rimba adalah Butet Manurung yang dijadikan iklan di salah satu media massa nasional. Pada awal merintis pengajaran atau ‘sokola’ (sokola adalah istilah Orang Rimba untuk sekolah), mereka mengalami berbagai hambatan yang luar biasa. Hambatan itu berkisar dari kecurigaan dan kekhawatiran akan terjadinya perubahan terhadap budaya Orang Rimba. Sebab mereka menyadari perubahan apapun berpotensi merubah budaya Orang Rimba secara keseluruhan.

Berdasarkan sensus LSM Warsi pada tahun 2004, diperkirakan sekitar 100 orang Rimba telah memiliki kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Jumlah itu sekitar 7,6 % dari keseluruhan Orang Rimba yang ada di Taman Nasional Bukit Duabelas, yakni sekitar 1316 jiwa. Tentunya saat ini prosentase itu telah bertambah karena adanya sokola Orang Rimba yang terus menerus diselenggarakan.

Sikap Terhadap Pendidikan

Pada masa lalu bersekolah merupakan tabu. Sebab bersekolah adalah satu ciri dari kehidupan berkampung ala orang melayu. Mereka mengganggap sekolah akan merubah adat. Padahal kepercayaan mereka tidak mentolerir adanya perubahan. Tabu bersekolah pada saat itu tampaknya juga ditunjang tidak adanya yang bersedia mengajar mereka di dalam hutan.

Saat ini sikap Orang Rimba terhadap pendidikan sangat positif. Mereka memiliki semangat luar biasa untuk belajar. Mereka beranggapan bahwa bila seseorang bodoh maka hanya akan dibodohi oleh orang pintar. Mereka merasa bahwa kebodohan mereka karena ketidak mampuan membaca, menulis dan berhitung menyebabkan sering ditipu oleh orang luar. Sediah, salah seorang pelajar rimba mengungkapkan sebuah kalimat yang mendasari perubahan sikap mereka, yakni “sokola biar tidak mudah ditipu orang.’

Perubahan sikap tampaknya terjadi tidak secara tiba-tiba. Interaksi mereka yang kerap dengan orang luar, terutama warga transmigran dari jawa, menyebabkan mereka berpikir ulang mengenai sikap mereka. Mereka sadar hanya dengan menjadi pintar maka mereka dapat menghindarkan diri dari eksploitasi orang luar. Kesadaran itu tumbuh ketika menyaksikan warga transmigran yang notabene lebih terdidik dan sangat memperhatikan pendidikan, memiliki taraf hidup yang cukup tinggi. Warga transmigran sangat cepat berubah dari warga yang relatif sengsara menjadi warga yang makmur hanya dalam tempo beberapa tahun saja. Perubahan cepat itu diakui Orang Rimba karena para transmigran pintar, dan kepintaran itu diperoleh melalui sekolah.

Perubahan sikap juga sangat dipengaruhi oleh upaya persuasi yang terus menerus yang dilakukan oleh berbagai pihak baik secara perorangan maupun lembaga. Pak Alisman dan istrinya di Pematang Kabau diakui oleh Orang Rimba merupakan pelopor pendidikan bagi kelompok Orang Rimba Air Hitam. Lalu LSM seperti Warsi mempelopori pendidikan di kelompok-kelompok lain, termasuk di Makekal Hulu. Ketika saya datang mengajar di kelompok ini, semuanya cukup mudah bagi saya. Kemudahan itu berkat peran LSM Warsi yang telah merintis pendidikan untuk mereka.
Sokola di dalam rimba

Sokola rimba yang diadakan oleh LSM Warsi dilangsungkan didalam hutan. Guru, yang merupakan staf Warsi menginap selama beberapa malam didalam hutan bersama para pelajar. Dalam sebulan sokola diselenggarakan hanya kurang lebih selama seminggu. Para pengajar membawa bekal untuk selama didalam rimba. Biasanya bekal yang dibawa cukup banyak karena bekal itu tidak hanya untuk makan mereka sendiri tetapi juga untuk makan para pelajar rimba. Kadang-kadang ada orangtua yang ikut datang dan ikut makan bersama. Jadi bekal yang dibawa masuk tergantung banyaknya pelajar dan memperhitungkan kelebihan dua atau tiga orang. Bila tidak ada alat masak yang ditinggal, biasanya dibawa juga alat-alat masak yang terdiri dari kuali dan periuk.

Mengajar didalam rimba ibarat berkemah. Berbagai peralatan dan bekal makanan harus disiapkan dengan cermat. Tatkala saya masuk sendirian untuk mengajar didalam rimba selama seminggu, saya membawa beras sebanyak 25 kg. Beras sebanyak itu diperkirakan cukup selama seminggu untuk 10 orang. Pelajarnya sendiri cuma 7 orang. Salah seorang diantaranya sudah menikah. Saya harus memperhitungkan minimal 2 orang tambahan yang mungkin akan ikut ketika makan bersama. Sayangnya ikan asin dan indomie goreng yang saya bawa sebagai lauk hanya bertahan selama 3 hari. Sisanya kami mengandalkan ikan-ikan yang yang dipancing oleh mereka. Ikan-ikan tersebut kami goreng dan menjadi lauk yang lumayan sedap meski bumbunya cuma garam.

Perbekalan lain yang harus dibawa adalah obat-obatan. Persiapan obat harus terus ada untuk menjaga kalau-kalau sakit datang. Lagipula kadangkala Orang Rimba, baik tua ataupun muda, laki-laki maupun perempuan datang untuk meminta obat. Pernah suatu kali ada perempuan yang meminta obat mencret. Saya memberikan seluruh obat mencret yang saya bawa. Celakanya sehari kemudian ternyata saya terserang mencret juga. Lain waktu, dan paling sering, ada yang datang meminta obat untuk sakit gigi. Untungnya saya membawa obat pereda rasa sakit, antalgin, dalam jumlah cukup banyak. Obat itu saya bagi-bagi pada mereka.

Rokok adalah perbekalan yang penting, meskipun toh kita tidak merokok. Peran rokok untuk mengakrabkan dengan Orang Rimba yang datang berkunjung. Siapa saja yang berkunjung dipersilakan untuk merokok. Rokoknya tidak perlu mahal-mahal yang penting ada. Biasanya rokok yang dibawa adalah yang bermerk matra, harum manis atau rawit yang harganya sekitar 3 ribu rupiah perbungkus.

Untuk membawa perbekalan masuk ke dalam hutan, para pelajar rimba yang akan melakukannya. Sehari sebelum masuk kita harus masuk dulu ke dalam rimba dan menitipkan pesan pada Orang Rimba yang ditemui agar menjemput ke desa esok hari. Esoknya para pelajar pasti akan datang menjadi porter bagi kita.

Apabila sokola rimba diselenggarakan untuk suatu kelompok, maka ada rumah sokola yang didirikan. Di rumah sokola itulah para pengajar dan pelajar belajar dan bermalam. Rumah sokola didirikan di dekat aliran sungai sehingga mudah mendapatkan air. Pada saat saya pertama kali mengajar pada rombongan Nijo, yang merupakan subkelompok Makekal Hulu, kami mendirikan rumah sokola dahulu. Dengan cekatan para pelajar itu menebang batang-batang kayu dan merangkainya. Tidak lebih dari satu jam, rumah sokola pun jadi. Kami merayakan selesainya rumah sokola dengan minum kopi bersama. Bentuk rumah sokola hanya semacam panggung. Atapnya menggunakan terpal. Lantai panggungnya menggunakan batang-batang kayu dan kulit kayu.

Belajar di dalam rimba sangat fleksibel. Jika dibayangkan sokola rimba seperti sekolah pada umumnya yang memiliki jam belajar tertentu dan berseragam, maka anda harus merevisi anggapan anda. Sokola rimba adalah sekolah informal. Tidak ada ijasah setelah dinyatakan lulus dan dinyatakan pandai membaca, menulis dan berhitung. Tidak ada jam sekolah. Mereka sewaktu-waktu bisa belajar, bisa malam hari sampai larut malam, bisa pagi sampai sore, namun bisa juga tidak belajar sama sekali. Semuanya tergantung pada keinginan para pelajar rimba. Pernah seharian, dari pagi sampai sore tidak ada yang belajar, dan bahkan saya ditinggal sendirian karena mereka mengangkut rotan keluar hutan. Rotan-rotan itu harus dibawa keluar hutan hari itu juga karena akan diangkut oleh toke rotan. Pada akhirnya saya malah ikut bersama-sama menyaksikan pengangkutan rotan.

Saya tidak selalu menginap di dalam hutan. Selama tiga bulan lebih saya mengajar Orang Rimba tidak dengan menginap didalam hutan. Saya tetap menginap di rumah kepala desa Bukit Suban. Pagi hari saya berangkat ke pinggiran hutan memakai sepeda kayuh untuk mengajar. Sore hari baru kembali pulang. Rumah belajarnya lebih permanen yakni rumah dari dinas sosial yang diberikan untuk Orang Rimba. Atapnya menggunakan seng dan dindingnya papan. Pelajar rimba yang belajar terdiri dari empat bersaudara. Dua diantaranya perempuan. Mereka tinggal kira-kira hanya 1 km masuk ke dalam hutan. Oleh karena itu mereka mau keluar setiap hari ke pinggir hutan untuk belajar. Semangat belajar mereka membuat kagum. Tidak jarang kalau saya terlambat datang, mereka menjemput saya sampai ke rumah kepala desa. Padahal jaraknya dari pinggir hutan sekitar 3 km. Sediah, Nuju, Nidar, dan Begenyek adalah nama keempat bersaudara itu. Mereka merupakan jalan akses untuk bergaul dengan komunitas Orang Rimba. Saya dianggap guru oleh mereka dan itu sangat memudahkan dalam berinteraksi. “Bepak guru Sediah”, kata beberapa Orang Rimba. Melalui mereka banyak informasi tentang Orang Rimba didapatkan.

Pelajar rimba
Mereka yang belajar dalam sokola rimba tidak hanya anak-anak. Ada juga orang yang telah dianggap dewasa. Dalam catatan LSM Warsi, rentang umur pelajar sekitar 7 sampai 18 tahun. Akan tetapi kelompok yang pernah saya ajar terdapat pelajar yang sudah menikah, bahkan istrinya dua. Meskipun paling tua dia justru tampak paling bersemangat. Dia paling aktif bertanya dan paling cepat menguasai materi pelajaran.

Pada awalnya, seluruh sokola rimba hanya diikuti oleh laki-laki. Perempuan dilarang untuk belajar karena dianggap tabu. Namun seiring waktu sebagian Orang Rimba mulai berpikir bahwa sokola juga baik bagi kaum perempuan. Akhirnya saat ini sokola juga telah diikuti oleh kaum perempuan. Namun demikian sebagian masih menganggap bahwa sokola merupakan tabu bagi perempuan.
Pelajar rimba adalah anak-anak yang cerdas. Demikian kesimpulan yang diambil banyak orang tentang kecepatan mereka menangkap pelajaran yang diberikan. Hanya belajar dalam seminggu, mereka telah mampu membaca eja kata-kata yang sederhana. Padahal sebelumnya mereka tidak paham huruf satupun. Demikian juga ketika didiktekan sebuah kata dan mereka harus menuliskannya, umumnya mereka melakukan dengan benar. Mereka mampu menulis kata-kata sederhana yang mereka pilih sendiri. Tentu saja pencapaian itu bisa dibilang spektakuler. Oleh karena itu kesimpulan yang lekas diambil adalah mereka pelajar yang cerdas. Makanan yang baik dan penuh protein dianggap sebab dari kecerdasan mereka.

Saya mengangguk saja dengan pendapat bahwa pelajar rimba adalah pelajar yang cerdas. Akan tetapi saya rasa kecerdasan mereka sebenarnya rata-rata saja. Mereka mencapai pencapaian luar biasa dalam belajar dikarenakan umur mereka yang telah lewat. Anak berumur 15 tahun yang belajar membaca menulis dari awal seperti anak kelas 1 SD, sudah tentu akan menguasainya jauh lebih cepat. Bagaimana tidak cepat menguasai jika anak umur 15 tahun melahap materi untuk anak umur 6 tahun. Analoginya sama saja dengan lomba lari yang peserta sesungguhnya anak-anak umur 6 tahun, tetapi didalam lomba itu turut pula menjadi peserta anak umur 15 tahun yang normal. Siapakah pemenangnya? Sudah tentu anak umur 15 tahun.

Materi Belajar

Tujuan sokola bagi Orang Rimba sangat sederhana, yakni bisa membaca, menulis, dan berhitung. Kemampuan yang dimiliki akan menghindarkan mereka dari penipuan. Lebih dari itu, tiga kemampuan dasar itu merupakan senjata untuk memperoleh pengetahuan lebih lanjut. Mereka yang telah pandai membaca, menulis dan berhitung diarahkan untuk menjadi guru bagi yang lainnya. Beberapa Orang Rimba diklaim oleh mereka telah menjadi guru bagi mereka sendiri. “Sodah jadi guru” kata mereka.

Bersesuaian dengan tujuannya, maka materi belajar juga terkait dengan pelajaran membaca, menulis dan berhitung. Secara bertahap, layaknya mengikuti kurikulum, materi belajar diberikan. Biasanya dimulai dari membaca. Materi bagi yang belum bisa sama sekali persis seperti materi untuk anak SD pada tahun-tahun awal. Akan tetapi kata-kata yang ditulis sebagian besar adalah kata-kata yang bermakna bagi mereka alias yang merupakan kosa kata bahasa rimba.

Setiap kali masuk ke dalam rimba untuk mengajar, staf pengajar LSM Warsi membawa alat tulis dan buku-buku. Demikian juga saya. Buku tulis itu dipergunakan pelajar rimba untuk belajar menulis. Biasanya buku tulis itu habis hanya dalam sekali masa sokola saja. Selain buku tulis, dibawa juga buku gambar dan pensil warna. Apabila mereka jenuh, mereka akan menggambar apapun yang mereka inginkan. Namun biasanya yang digambar tidak jauh dari kehidupan mereka yakni binatang hutan, tumbuhan dan aktivitas yang dilakukan di dalam hutan seperti berburu.


SD sanak

Di perbatasan desa Pematang Kabau dan Bukit Suban, jauh dari pemukiman penduduk, terdapat bangunan tembok yang dikenal masyarakat luas sebagai SD sanak. Artinya sekolah dasar untuk sanak, yakni sebutan untuk Orang Rimba. Pada awal pendirian, SD tersebut memang ditujukan bagi Orang Rimba yang mau bersekolah. Saat ini tidak lebih dari 3 Orang Rimba yang bersekolah, muridnya pun hanya kisaran 15 orang saja. Guru yang aktif mengajar hanya 4 orang. Ruangan kelasnya hanya ada 2. Jadi satu kelas menampung murid dari 3 kelas berbeda.

Kisah SD tersebut sangat menarik. Sejarahnya dimulai pada saat pak Alisman, dan terutama istrinya mengajar Orang Rimba kelompok Air Hitam.Cukup banyak anak-anak rimba yang belajar secara informal pada mereka. Akhirnya diputuskanlah untuk meminta sekolah pada pemerintah. Ada dua Orang Rimba yang sangat gigih memperjuangkan sekolah, yakni Muhammad Ali dan Besiring. Keduanya termasuk pengulu. Besiring adalah Temenggung. Mereka berdua pergi ke kantor DPRD untuk meminta sekolahan bagi Orang Rimba. Mereka tidak beranjak dari sana sebelum permintaan itu dikabulkan. Akhirnya, tidak menunggu lama permintaan tersebut disetujui.

Pada awal berdiri, sekitar 50-an Orang Rimba belajar di SD tersebut. Seiring dengan meninggalnya Muhammad Ali dan Besiring semakin berkurang pula jumlah Orang Rimba yang tetap bersekolah. Apalagi kemudian istri pak Alisman juga tidak mengajar lagi, sehingga tidak ada yang sungguh-sungguh kenal dengan anak-anak rimba. Akibatnya semakin menurun jumlah Orang Rimba yang belajar. Rata-rata mereka keluar di kelas 2 atau 3. Namun ada juga beberapa orang yang sampai lulus.

“Ngapo hopi sokola?” (mengapa tidak bersekolah) tanya saya pada salah seorang anak Temenggung Tarib, pimpinan kelompok Orang Rimba Air Hitam. Anak temenggung tersebut sudah keluar sekolah beberapa tahun lamanya dan kini sudah menikah. Sang temenggung yang menjawab untuk anaknya, “kalau guru kami ditukar, kami keluar. Yo nian, guru kami ditukar, keluarlah kami.”

Adapun yang dimaksud ‘guru kami‘adalah istri pak Alisman. Ketika dia tidak mengajar lagi, maka banyak Orang Rimba yang kemudian tidak mau bersekolah. Bagi mereka, yang dianggap guru sejati adalah yang mengajar mereka pertama kali. Adapun keberadaan guru-guru yang lain hanya dianggap sebagai penggantinya. Hal ini persis seperti lelucon orang madura yang menganggap presiden Indonesia adalah Soekarno, adapun Soeharto, Habibie, dan lainnya hanyalah penggantinya. Buat mereka sang presiden tetap Soekarno. 


KEHIDUPAN EKONOMI ORANG RIMBA

“Cultural man has been on earth for some 2.000.000 years; for over 99 per cent of this period he has lived as a hunter gatherer... Of the estimated 80 Bilion men who have ever lived out a lifespan on earth over 90 percent have lived as hunter gathers” (Lee and DeVore,1968)

Manusia berbudaya telah hidup di bumi selama 2 juta tahun. Lebih dari 99 % selama rentang waktu itu, manusia hidup sebagai pemburu dan peramu.... Diperkirakan dari 80 milyar manusia yang pernah hidup di muka bumi, 90 % diantaranya hidup sebagai pemburu dan peramu .

Orang Rimba saat ini masih layak untuk disebut bangsa pemburu dan peramu. Mereka mengandalkan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Binatang hutan diburu untuk dimakan sebagai lauk serta dijual. Berbagai hasil hutan yang berupa makanan di kumpulkan untuk dimakan. Hasil hutan yang bernilai ekonomis serta diperlukan orang luar diambil untuk diperdagangkan.


Apa yang dilakukan Orang Rimba pada masa lalu dan pada masa sekarang untuk penghidupan sudah berbeda. Pada waktu lalu tidak ada tradisi menanam. Oleh karena itu seluruh penghidupannya tergantung pada kegiatan berburu dan meramu.
Kebutuhan yang berupa barang-barang dari luar dipenuhi dengan menukar hasil buruan dan hasil meramu mereka. Saat ini kegiatan berladang sudah mulai dilakukan. Orang Rimba mulai mau menanam berbagai jenis tanaman yang menghasilkan. Menurut cerita, kegiatan berladang atau betalang pada Orang Rimba baru dimulai pada tahun 80-an.

Dari perspektif masyarakat luar, Orang Rimba adalah masyarakat unik dan sering pula dianggap primitif. Hal itu dikarenakan saat ini sebagian besar manusia tidak lagi hidup dengan mengandalkan gaya hidup berburu dan meramu hasil hutan. Namun sebenarnya, meskipun unik pada zaman sekarang ini, penghidupan Orang Rimba tidaklah banyak berbeda dengan manusia lain di muka bumi. Mereka hanya masih hidup seperti rentang waktu 99 % kehidupan manusia berbudaya. Penghidupan mereka sama dengan 90 % manusia yang pernah hidup di muka bumi. Jadi sama saja dengan manusia umumnya.


Menjual hasil hutan

Sejak ratusan tahun yang lalu, Orang Rimba telah melakukan perdagangan dengan orang luar.
Sekitar tahun 1500-an terdapat tulisan-tulisan yang dibuat pedagang eropa mengenai Jambi. Diberitakan bahwa pada saat itu Orang Kubu (Orang Rimba) telah melakukan perdagangan. Mereka bertukar hasil hutan. Barang yang diniagakan yaitu gading gajah dan cula badak, paruh burung enggang (rangkok), madu lebah, lilin, getah jelutung, damar, bahan warna jernang yang didapat dari sejenis rotan, beberapa obat, kulit ular, kemenyan, kayu besi, kerajinan tangan dan lainnya. Berbagai barang niaga dan kerajinan tangan juga diserahkan kepada pihak kerajaan di Jambi sebagai upeti agar keberadaan Orang Rimba tidak diusik. Upeti yang diserahkan kepada raja disebut jajah. Adapun imbal baliknya, Orang Rimba menerima serah yang terdiri dari kain dan pisau seperti parang, tembilang atau beliung dari kerajaan. Serah merupakan bukti pengakuan kerajaan terhadap Orang Rimba.


Proses pertukaran barang pada masa lalu sangat unik.
Konon antara Orang Rimba dan pedagang tidak pernah bertemu secara langsung. Orang Rimba membawa barang yang ingin ditukarkan ke pinggir sungai dimana para pedagang biasa melintas memakai perahu. Disana barang ditinggalkan begitu saja. Apabila ada pedagang lewat, maka sang pedagang akan meletakkan barang-barang miliknya di dekat barang milik Orang Rimba. Setelah itu sang pedagang melanjutkan perjalanan. Apabila sang pedagang sudah berlalu, Orang Rimba akan datang untuk memilih barang-barang milik pedagang yang diperkirakan sesuai dengan barang miliknya. Barang milik pedagang yang dipilih akan diletakkan di dekat barang milik Orang Rimba. Setelah itu Orang Rimba pergi. Sang pedagang kemudian datang lagi untuk melihat apa yang diinginkan Orang Rimba. Apabila ia setuju maka diangkutlah barang milik Orang Rimba. Akan tetapi bila ia tidak setuju maka dirubah atau ditukarlah apa yang telah dipilih oleh Orang Rimba. Selanjutnya ia kembali berlalu dan Orang Rimba akan datang untuk melihat apa yang ditawarkan pedagang. Apabila Orang Rimba setuju dengan yang ditawarkan pedagang, maka barang dari pedagang diambilnya. Hal itu berarti pertukaran telah sah dilakukan. Apabila Orang Rimba tidak setuju maka Orang Rimba menukar dan merubah apa yang ditawarkan pada pedagang. Hal semacam akan diulang lagi sampai terjadi kesepakatan dan kedua belah pihak merasa puas dimana pedagang akan membawa barang milik Orang Rimba dan Orang Rimba mengambil barang sang pedagang.

Proses pertukaran seperti apa yang dilakukan Orang Rimba memang memerlukan waktu yang lama dan tidak efisien. Namun menurut para etnographer Eropa pada abad 19, itulah yang terjadi. Hal demikian juga umum terjadi pada bangsa-bangsa lain di pedalaman yang melakukan perdagangan barang dengan masyarakat yang lebih maju.

Pada perkembangan berikutnya muncullah peran jenang, yakni orang luar yang dipercaya dan ditunjuk secara resmi oleh Orang Rimba sebagai perantara perdagangan. Orang Rimba akan membawa barangnya kepada jenang, lalu jenang menaksir nilainya. Orang Rimba kemudian menukarnya dengan barang yang nilainya setara. Ketika uang mulai masuk dalam kehidupan Orang Rimba, volume pertukaran barang secara langsung sangat menurun. Orang Rimba biasanya meminta bayaran berupa uang. Pada saat ini peran jenang tidak banyak dipakai lagi. Orang Rimba umumnya secara langsung menjual hasil hutan kepada toke atau penduduk desa. Mereka membawa sendiri barang yang hendak dijual ke tempat dimana toke menunggu dengan mobil pengangkut.

Barang-barang hasil hutan yang dijual pada masa sekarang diantaranya getah damar, getah jelutung, jernang, rotan, madu, dan buah-buahan hutan seperti durian dan petai (potoy dalam bahasa Orang Rimba). Mereka juga menjual hasil ladang serta binatang buruan seperti kijang, babi, kancil dan berbagai jenis burung. Berbagai binatang air seperti kura-kura dan labi-labi yang kadang-kadang diperoleh juga turut dijual. Belakangan ketika kebun karet milik Orang Rimba sudah mulai bisa disadap, mereka juga menjual getah karet.

Pada masa lalu perdagangan dengan orang luar adalah untuk memperoleh alat-alat serta keperluan Orang Rimba yang tidak bisa dibuat di dalam hutan. Alat-alat yang dibeli dari luar misalnya alat-alat dari besi, seperti parang, tembilang, tombak, pisau, kuali dan periuk. Selain itu mereka juga memperoleh kain yang digunakan sebagai pakaian, mas kawin, pembayar denda dan sebagai simpanan. Saat ini keadaan itu mulai berubah. Barang-barang diatas masih tetap didapatkan dari luar. Akan tetapi saat ini semakin banyak barang konsumsi yang dibeli dari luar meskipun tidak urgen. Barang yang dibeli misalnya, minyak wangi, senapan, dan berbagai jenis jajanan pabrik.

Berburu

Orang Rimba adalah pemburu handal. Keahlian berburu adalah keahlian dasar yang harus dimiliki oleh Orang Rimba. Sejak kecil mereka sudah belajar untuk berburu. Postur dan bentuk tubuh mereka sangat menunjang peran sebagai pemburu. Badan yang tegap, langsing, dan kekar memudahkan pergerakan Orang Rimba ketika berburu.

Pada masa lalu perburuan Orang Rimba hanya mengandalkan tombak dan parang. Saat ini tombak mulai tidak populer lagi. Kebanyakan Orang Rimba berburu menggunakan senapan yang dikenal sebagai kecepek. Hampir semua Orang Rimba dewasa memiliki kecepek, baik yang sudah menikah atau belum. Harga kecepek sekitar 300 ribu rupiah di desa-desa. Namun kebanyakan Orang Rimba bisa membuat kecepek sendiri. Menurut mereka membuat kecepek sendiri lebih murah daripada membeli sudah jadi. Sebagai bahan kecepek, mereka hanya perlu membeli besi untuk laras dan untuk pemantik. Popor bisa mereka buat sendiri.

Kecepek adalah senapan mesiu. Model kecepek sangat mirip dengan senapan-senapan kuno yang digunakan zaman belanda. Mesiu yang dicampur dengan bubuk arang halus dimasukkan ke dalam laras kecepek. Lalu dari moncong kecepek dimasukkan sumbat dari sabut kelapa sampai sepadat mungkin. Seterusnya, dimasukkanlah peluru bulat yang dibuat dari timah. Untuk menembak, pemantik api diperlukan sebagai pembakar mesiu. Caranya diatas lubang kecil yang terletak persis diatas bubuk mesiu di dalam laras, dipasang pematik api yang akan memercikkan api ketika pelatuk ditarik. Percikan api akan membakar mesiu di dalam laras. Tenaga dorong mesiu yang terbakar di dalam laras akan mendorong sumbat dan peluru keluar. Suara yang ditimbulkan sangat keras menggelegar. Akan tetapi tenaga yang dihasilkan sebanding. Jarak 100 meter peluru masih melaju dengan lurus.

Pernah suatu kali, Sergi, Orang Rimba Makekal, menembak tupai. Jarak tembaknya sekitar 20 meter. Hasilnya sangat mengejutkan. Sang tupai yang malang terlempar sampai jarak kira-kira 10-an meter menghantam kayu besar. Sebagian dagingnya telah lenyap. Mungkin kalau tidak ada batang kayu besar yang menahan, sang tupai terlempar lebih jauh. Peluru yang ditembakkan melesak jauh ke dalam batang kayu.

Orang Rimba biasa memburu babi (bebi atau jukut dalam bahasa Orang Rimba). Selain untuk dimakan sendiri ada juga daging yang dijual. Mereka biasanya menjual daging hasil buruan kepada orang desa nonmuslim yang ada di desa Bukit Suban. Pada waktu lalu daging babi yang diperoleh tidak pernah dijual. Biasanya hasil yang diperoleh hanya dibagi-bagikan kepada Orang Rimba lainnya. Perubahan itu mungkin disebabkan oleh semakin derasnya budaya penggunaan uang dan karena semakin banyaknya barang-barang yang harus diperoleh di luar.

Rusa dan kijang merupakan binatang buruan favorit Orang Rimba. Mereka sangat senang bila bisa menjumpai rusa atau kijang dalam berburu. Menurut mereka rasanya lebih enak dibandingkan babi. Sudah begitu, banyak warga desa yang mau membeli dagingnya. Di pasar desa Bukit Suban pernah dijumpai seorang penduduk menjualkan daging rusa hasil buruan Orang Rimba. Meskipun banyak yang berkomentar daging itu haram menurut agama Islam karena tidak dibunuh dengan menyebut asma Allah, namun dalam waktu tidak terlalu lama daging rusa itu habis dibeli penduduk.

Satu kelompok berburu biasanya tidak lebih dari empat orang. Dalam perburuan babi atau rusa, Orang Rimba mengandalkan anjing untuk mencari jejak dan mengejarnya. Orang Rimba biasanya akan berlari mengikuti gerak anjing sebab anjinglah yang tahu arah lari binatang. Apabila babi atau rusa sudah terpepet pohon barulah Orang Rimba menombak atau menembaknya. Sedangkan bila berburu tanpa anjing, maka mereka mengendap-ngendap menuju binatang yang menjadi target. Bila sudah dekat ditembaklah binatang tersebut.

Orang Rimba tidak hanya berburu binatang dengan cara mengejar-ngejar binatang buruan. Mereka juga berburu dengan cara menyuluh. Bahkan menyuluh lebih sering dilakukan. Menyuluh adalah mengintai binatang di malam hari. Apabila ada binatang seperti rusa atau kancil, disorotlah matanya memakai senter yang dipasang di kepala seperti pekerja tambang. Saat mata binatang terkena cahaya, binatang itu tidak akan lari dan akan tetap diam karena silau. Lalu ditembaklah binatang itu menggunakan kecepek. Kemungkinan tembakan meleset sangat kecil karena Orang Rimba merupakan penembak-penembak hebat. Sayangnya, binatang yang berhasil ditemui sangatlah jarang. Belum tentu seminggu sekali mereka bertemu binatang besar.

Selain memburu binatang besar seperti babi, rusa dan kijang, Orang Rimba juga memburu berbagai jenis binatang kecil. Selain kancil, mereka menangkap tupai, landak, ular, musang dan berbagai jenis burung. Pada umumnya binatang-binatang kecil itu hanya habis untuk konsumsi sendiri. Ada juga beberapa jenis burung yang ditangkap khusus untuk dijual misalnya burung enggang atau rangkok. Anak-anak rimba biasanya berburu binatang-binatang kecil seperti kelelawar.

Menurut cerita salah seorang Orang Rimba, dulu kancil sangat banyak di lokasi sekitar tempat tinggal mereka.
Akan tetapi saat ini sudah sangat jarang ditemui kancil ketika pergi menyuluh. “Dulu benyok, kini kancil sodah habiy” katanya (dulu banyak, kini kancil sudah habis). Menurutnya kalau daerah itu ditinggal paling kurang 2 tahun, maka kancil akan banyak lagi. Sebab kancil akan mempunyai kesempatan untuk berkembang biak lagi. Dia juga mengatakan bahwa rusa dan kijang juga sudah sangat berkurang jumlahnya. Hanya babi yang masih sangat banyak terdapat di dalam hutan.



Memasang Jerat.

Orang Rimba merupakan pemasang jerat yang lihai. Jerat yang digunakan untuk menjerat binatang besar berbeda dengan jerat untuk binatang kecil. Jerat untuk binatang besar sering disebut jerat jukut (jukut adalah nama lain untuk babi). Jeratnya dibuat dari tali plastik berukuran agak besar, kira-kira seukuran jari tangan orang dewasa. Tali yang telah disimpul jerat ujungnya diikat pada batang kayu yang dilenturkan sekuat-kuatnya. Lalu ujung yang bersimpul di letakkan diatas perangkap di tanah. Apabila kaki binatang menginjak perangkap, maka kakinya akan terikat tali jerat karena jerat terangkat (njepat dalam istilah jawa)

Pada umumnya binatang yang dijerat adalah babi, meski kadang-kadang yang diperoleh justru lebih besar, yakni rusa. Beberapa binatang yang berukuran lebih kecil biasanya juga dijerat. Saya pernah beberapa kali melihat jerat yang dipasang. Namun dari ke hari jerat itu tetap diam ditempat. Tidak ada satupun binatang yang tergantung di tali jerat. Selama berhubungan dengan Orang Rimba belum pernah sekalipun menyaksikan jerat yang mendapatkan mangsa masih tergantung. Pernah juga melihat babi hasil dari jerat. Sayangnya bukan ketika masih tergantung di jerat.

Saat melihat babi hasil jerat, saya diminta salah seorang anak rimba yang ada disana untuk memotret babi tersebut. Namun oleh ibunya tidak diperbolehkan karena menurutnya hal itu tabu. Babi yang diperoleh itu sangat besar. Menurut mereka berat dagingnya saja mungkin ada 30 kilogram. Daging babi itu dibagi-bagi kepada Orang Rimba lainnya. Saya sempat ikut memotong-motong daging babi tersebut. Sebagian daging babi akan dimakan setelah dibakar. Akan tetapi sebagian besar daging yang lain akan diasapi dahulu untuk membuatnya bertahan lebih lama. Cara pengasapan (diselai menurut bahasa Orang Rimba) sangat mudah. Daging diikat diatas perapian yang dihidupkan terus menerus. Asap dari perapian yang akan mengawetkan daging itu.

Sebenarnya babi yang diperoleh itu adalah hasil dari jerat yang diperuntukkan untuk rusa atau kijang. Oleh karena itu jerat tidak dipasang di jalur babi. Untuk babi, meski caranya sama, jerat dipasang di jalur babi. Tidak seperti binatang lainnya, babi memiliki jalan-jalan khusus di dalam hutan dan belukar untuk lewat. Di daerah yang banyak jurangnya, mengenali jalan babi sangat berguna untuk menghindari terperosok ke dalam jurang. Mengikuti jalan babi merupakan jaminan tidak akan mengarah langsung ke dalam jurang. Berbeda dengan jalan air yang biasanya langsung menuju jurang.

Jerat untuk binatang kecil seperti tikus, tupai dan lainnya disebut pelaboh. Perangkapnya dibuat ditanah berupa umpan yang dikaitkan dengan kayu besar diatasnya. Apabila binatang memakan umpan itu maka perangkap akan menarik kayu besar diatasnya jatuh ke bawah. Jadi binatang yang memakan umpan akan kejatuhan kayu besar. Pemasang jerat tinggal mengangkat kayunya dan mengambil hasil jeratannya yang berrkemungkinan besar dalam kondisi mati.


Mencari Umbi dan Buah.


Pada masa lalu ketika makanan pokok hanya diperoleh dari umbi-umbian yang tumbuh di hutan, mencari umbi hutan merupakan kegiatan yang sangat penting. Saat ini situasinya agak berbeda. Mencari umbi-umbian hutan tetap dilakukan tetapi bukan lagi menjadi kegiatan utama. Umbi-umbian hutan yang dulu menjadi makanan pokok telah digantikan dengan umbi-umbian yang ditanam seperti berbagai jenis ubi dan keladi. Penanaman padi juga membuat umbi-umbian hutan kurang berperan penting lagi.

Salah satu jenis umbi liar yang menurut banyak orang hanya hidup di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas adalah bonor. Menurut banyak orang rasanya enak sekali. Ketika saya mencoba bonor yang dibakar, saya setuju dengan pendapat mereka tentang kelezatan bonor. Bonor boleh jadi merupakan jenis umbi yang paling enak. Jenis bonor ada bermacam-macam. Bonor licin ukurannya tidak besar. Ukurannya hanya sebesar tube pasta gigi ukuran sedang, namun biasanya jauh lebih panjang. Bonor yang berukuran besar dikenal dengan nama bonor bobulu. Akan tetapi menurut cerita rasanya tidak seenak bonor licin. Menurut cerita pula, beratnya bisa mencapai 30 kg. Untuk mendapatkannya, Orang Rimba harus menggali tanah yang bisa sampai sedalam satu meter. Batang tumbuhan bonor seperti tumbuhan uwi di jawa. Besarnya hanya sebesar kabel atau sumpit. Warnanya hijau dan tumbuh merambat. Hanya mereka yang jeli yang bisa menemukan tumbuhan bonor.

Di dalam rimba terdapat tumbuhan yang memiliki batang tumbuhan mirip bonor akan tetapi umbinya beracun. Orang Rimba sangat jeli membedakannya. Sedangkan saya berkali-kali salah membedakan, mana yang bonor dan mana yang bukan. Dari rupa batangnya mereka langsung bisa mengetahui apakah umbinya beracun atau tidak. Namun meskipun beracun, Orang Rimba bukan tidak bisa memanfaatkannya. Mereka memiliki teknik untuk menghilangkan racun dalam umbi. Mula-mula umbi diiris tipis-tipis lalu dimasukkan ke dalam air yang mengalir selama beberapa hari. Kemudian irisan umbi itu dijemur dibawah sinar matahari langsung selama beberapa hari. Dengan teknik tersebut, racun didalam umbi bisa hilang. Menurut salah seorang Orang Rimba, umbi beracun tetap bermanfaat pada saat paceklik. Boleh dibilang umbi beracun adalah cadangan makanan mereka.

Buah-buahan hutan yang umum terdapat di kawasan rimba tempat hidup Orang Rimba Makekal Hulu diantaranya adalah durian, cempedak, tampui, embacang, manggis, puar, petai, duku, dan air-air. Hampir semuanya merupakan tanaman musiman. Keadaan itu tidak banayak berbeda dengan hutan rimba sumatera lainnya. Durian, cempedak, manggis, petai dan duku adalah buah yang tersebar dan ada hampir di seluruh pulau sumatera. Sedangkan tampui agaknya khas buah dalam rimba jambi. Tampui adalah buah tahunan yang berasal dari pohon tampui yang sangat keras. Menurut cerita Orang Rimba, rasa tampui paling lezat diantara jenis buah yang lain.


Pohon buah-buahan di dalam hutan memiliki penampakan fisik yang berbeda dengan pohon buah-buahan yang hidup di luar hutan. Di dalam hutan, pohon buah cenderung tinggi dengan ranting dan daun yang tidak banyak, Oleh karena itu buah-buahan di hutan umumnya tidak sebanyak buah yang dihasilkan jenis pohon buah yang sama dengan umur yang sama diluar hutan. Keadaan itu disebabkan karena langkanya sinar matahari yang didapatkan pepohonan di dalam hutan karena tertutup vegetasi pohon yang lebih tinggi.

Rambutan merupakan salah satu buah yang sangat digemari oleh Orang Rimba. Sayangnya sangat jarang pohon rambutan tumbuh di hutan. Pada saat musim rambutan di desa-desa di luar kawasan taman, banyak Orang Rimba keluar hutan hanya untuk mencari rambutan. Mereka meminta rambutan pada penduduk desa. Namun mereka tidak meminta rambutan pada sembarang orang. Di desa Bukit Suban, Orang Rimba biasa meminta rambutan pada Pak Bronto, Pak Wahab, Pak Sungkono.dan beberapa lainnya. Mereka enggan meminta pada orang lain. Hanya dalam keadaan khusus saja mereka mau meminta pada orang lain, misalnya rambutan milik orang-orang yang biasa dimintai sudah habis. Agaknya faktor kedekatanlah yang membuat Orang Rimba hanya berani meminta pada orang-orang tertentu saja. Di rumah Pak Sungkono, Pak Bronto dan Pak Wahab, Orang Rimba bahkan berani menginap.

Memancing Ikan

Memancing ikan adalah aktivitas keseharian Orang Rimba. Pancing dan senar mereka peroleh dari warung di desa Bukit Suban. Herannya, meskipun di dalam hutan banyak aliran sungai, sebagian dari mereka lebih suka memancing ikan di luar hutan. Menurut mereka sungai yang berada di kebun-kebun sawit lebih banyak ikannya. Ada banyak jenis ikan yang biasa dipancing oleh Orang Rimba. Ikan yang berukuran besar adalah limbat (lele menurut orang desa) dan huloton (gabus menurut orang desa). Untuk memancing limbat, Orang Rimba melakukannya di malam hari. Menurut mereka itulah saat dimana limbat keluar dari lubangnya untuk mencari makan sehingga hanya saat itulah bisa dipacing. Pernah selama hampir 6 jam memancing di malam hari, mereka hanya mendapatkan dua ekor limbat.. Selain limbat dan huloton, ikan yang lain misalnya ikan tano (sejenis tawes) dan belut.

Memancing bersama anak-anak rimba merupakan pengalaman luar biasa. Rasanya jauh berbeda bila dibandingkan dengan memancing di kolam pemancingan. Kami menyusuri aliran sungai sampai jauh, menyibak rerumputan, ilalang dan belukar untuk mencari lubuk-lubuk sungai. Menurut mereka, hanya di lubuk-lubuk sungai banyak terdapat ikan. Namun sayang, ikan yang didapat kecil-kecil. Mungkin karena sungai tersebut sering diracun.

Dari dalam air biasa diperoleh binatang air lainnya yakni labi-labi dan kura-kura air. Labi-labi adalah sejenis bulus yang memiliki leher panjang dan bermoncong seperti moncong babi. Labi-labi seberat 1 kg, bisa memiliki leher sepanjang satu jengkal. Labi-labi dipancing menggunakan daging segar. Hebatnya, menurut Orang Rimba, setelah beberapa hari labi-labi bisa melepas sendiri pancing yang mengenainya. Gigi labi-labi sangat tajam. Ada kejadian dimana labi-labi menggigit jari tangan sampai putus. Menurut Orang Rimba, saat ini sangat sulit mencari labi-labi. Jarang sekali mereka mendapatkan labi-labi. Mungkin karena jarang harga labi-labi terhitung mahal. Satu ekor labi-labi seberat 1 kg dihargai sekitar 30 ribu rupiah. Untuk labi-labi dengan berat 3 kg ke atas, per kilogram dihargai sampai 50 ribu rupiah. Itu artinya sekitar 150 ribu rupiah per ekor. Di luaran kawasan harganya tentu jauh lebih mahal lagi.

Menuba ikan

Menurut cerita dari salah seorang Orang Rimba dan beberapa warga desa Bukit Suban, meracun atau menuba ikan di dalam rimba merupakan pantangan. Apabila melakukannya maka denda yang dijatuhkan oleh Orang Rimba sangat berat. Konon denda bagi yang ketahuan bisa mencapai jutaan rupiah. Mendengar cerita itu, saya langsung berpikir bahwa itulah salah satu kearifan lokal dalam upaya menjaga kelestarian hutan dan kesinambungan kehidupan. Adanya pantangan tersebut membuat kecil nyali orang untuk meracun ikan di sungai dalam hutan. Artinya, kelestarian ekosistem sungai akan terus terjaga dan Orang Rimba bisa terus mengambil ikan di sungai tanpa adanya ancaman kehabisan ikan.

Namun beberapa waktu kemudian saya kaget atas pernyataan salah seorang Rimba yang lain yang mengatakan bahwa menuba ikan di sungai dalam hutan tidak menjadi soal. Akan tetapi untuk itu ada syaratnya, yakni harus mengajak Orang Rimba untuk ikut mencari ikan. Bila tidak ada Orang Rimba yang diajak maka tentu saja denda akan dijatuhkan.

Pernyataan Orang Rimba itu mengandung banyak arti. Menuba berarti bukanlah pantangan yang sesungguhnya. Sebenarnya yang menjadi pantangan adalah menuba tanpa izin Orang Rimba yang notabene sebagai pemilik kawasan. Hal itu sama dengan mencuri ikan di kolam milik orang. Halmana tentu saja sah apabila sang pemilik kolam mendenda pencuri. Selain itu, menjadi jelas bahwasanya pantangan menuba ikan oleh orang luar tidak dimaksudkan sebagai perlindungan kelestarian alam tetapi sebagai perlindungan terhadap kepentingan Orang Rimba. Intinya, keberadaan Orang Rimba sebagai pemilik kawasan harus diakui. Adapun sebagai pemilik, maka Orang Rimba merasa absah untuk melakukan apapun di dalam kawasan itu termasuk menuba ikan.

Izin menuba untuk orang luar diberikan melalui persetujuan dan keterlibatan Orang Rimba ikut dalam proses menuba. Apabila Orang Rimba yang dimintai izin hanya membolehkan secara verbal namun tidak ikut serempak dalam penubaan ikan, maka itu berarti izin sebenarnya tidak pernah diberikan. Apabila demikian, ancaman denda siap menanti bagi penuba.

Saya pernah ikut terlibat langsung menuba ikan bersama Orang Rimba. Suatu sore saya dipanggil oleh Orang Rimba untuk datang ke sebuah sungai kecil yang mengalir keluar hutan. Ternyata saya diajak ikut mencari ikan yang dituba menggunakan potas, yakni sejenis racun yang bisa digunakan sebagai tuba ikan. Potas sebanyak 2 ons yang digunakan sebagai tuba diperoleh di salah satu warung di desa Bukit Suban.

Mula-mula potas yang berwarna putih dan berbentuk bulatan seperti kapur barus dipecahkan dan dilarutkan dalam air. Kemudian air sungai di obok-obok sampai keruh sehingga potas menyebar. Air yang keruh ditambah dengan tuba potas akan membuat ikan mabuk dan keluar dari lubangnya. Kalau sudah begitu, kita tinggal mengambil ikan-ikan yang mabuk tersebut.

Kami bersama-sama mengobok-obok air dan mengambil ikan. Saya ikut menyisir sungai ke hilir bercampur bersama bapak-bapak, anak-anak dan perempuan rimba dewasa. Ternyata mereka sangat antusias dan tidak terganggu dengan kehadiran saya. Saat itu saya ikut memakai cawot dan bertelanjang dada. Salah seorang ibu malah berkata sambil tertawa kalau saya mirip Orang Rimba betulan.

Tidak banyak yang didapat dari menuba ikan. Saat itu sangat sedikit ikan yang didapat. Saya sendiri hanya bisa menangkap ikan tidak lebih dari 10 ekor sebesar dua jari. Orang Rimba yang lain juga memperoleh hasil yang kurang lebih sama. Kata mereka karena memang ikannya sudah tidak banyak lagi.

Pada waktu lalu mereka menuba ikan dengan sejenis tumbuhan tuba. Bagian tumbuhan yang digunakan ada yang berupa akar dan ada yang menggunakan batangnya. Cara penggunaannya sama saja. Akar atau batang pohon tuba diremukkan dan dihaluskan langsung diatas air sungai. Dengan cara itu zat yang terhadap dalam akar dan batang akan masuk ke air dan berperan menjadi tuba. Selanjutnya air diobok-obok hingga keruh. Orang Rimba tinggal menunggu ikan menjadi mabuk dan mengambilnya.

Sewaktu saya tanya mengapa tidak menggunakan akar dan batang tuba, mereka menjawab bahwa memakai potas jauh lebih cepat dan lebih hebat efeknya. Menggunakan akar, kulit, biji dan batang tuba memerlukan kerja lebih keras. Konon satu batang belum tentu bisa membuat ikan mabuk. Sudah begitu mereka juga harus menghancurkan akar, kulit, biiji dan batang tuba terlebih dahulu sehingga makan waktu lama. Berbeda dengan potas, mereka cukup mengeluarkan uang beberapa ribu rupiah maka ikan dipastikan akan mabuk. Tingkat kegagalan pemakaian potas nyaris nol. Kalau sampai tidak dapat ikan, dipastikan bukan potas tidak bekerja tetapi sangat mungkin karena tidak ada ikan di dalam sungai yang dituba. Pada masa lalu tuba yang digunakan oleh Orang Rimba diantaranya tuba berisil, tuba caroko, tuba akar, dan tuba kayu.

Mencari Rotan

Rotan adalah hasil hutan yang sejak dahulu sudah dijual oleh Orang Rimba. Di dalam kawasan hutan Taman Nasiona Bukit Duabelas ada banyak jenis rotan yang bernilai jual, misalnya rotan manau, rotan cacing, dan rotan tebu. Mereka menjual dalam bentuk batangan maupun kiloan. Rotan yang dijual dalam bentuk batangan dipotong minimal sepanjang 4 meter. Ukuran itu merupakan ukuran standar bagi rotan.

Rotan terbaik dan berharga paling mahal adalah jenis rotan manau. Besarnya kira-kira sama dengan lengan anak kecil. Batas buku-bukunya halus. Untuk panjang 4 meter, perbatang dihargai 5 ribu rupiah. Rotan manau yang berukuran lebih kecil dihargai 2 ribu rupiah perbatang. Ada juga rotan yang mirip rotan manau, namanya rotan tebu. Besarnya sama dengan rotan manau tetapi buku-bukunya terlihat jelas dan dalam. Harga rotan tebu perbatang hanya 2 ribu rupiah. Rotan kecil-kecil yang biasa digunakan untuk mengikat sehingga sering disebut rotan tali dihitung secara kiloan. Satu kilogram dihargai 500 rupiah.

Orang Rimba mencari rotan sampai jauh di dalam hutan. Secara sendiri-sendiri maupun berkelompok Orang Rimba bekerja mencari rotan. Orang dewasa maupun anak-anak sama saja. Kaum perempuan kadang juga ikut mencari rotan bersama. Mereka turut mengangkuti rotan yang mereka ambil. Kadang-kadang diperlukan waktu berhari-hari untuk mengangkutnya sampai di tempat toke rotan menunggu.

Hasil rotan yang diperoleh anak-anak maupun orang dewasa tidak jauh berbeda. Bahkan kadangkala lebih banyak anak-anak. Dalam salah satu periode pencarian rotan, salah seorang anak rimba yang mencari rotan yakni Mulau, berumur sekitar 9 tahun, memperoleh rotan lebih banyak dibanding orang dewasa di dalam kelompoknya. Hasil penjualan rotan itu menjadi milik pribadi. Orang tua mereka tidak berhak atas uang itu. Salah seorang orang tua pernah berkata bahwa uang itu adalah hasil kerja anak-anak, jadi mereka berhak menggunakan uang itu untuk apapun.

Sebelum pergi mencari rotan Orang Rimba biasanya berhutang dahulu pada toke. Bagi toke, menghutangkan uang kepada Orang Rimba merupakan suatu keuntungan karena mereka pasti akan menjual rotan kepadanya. Bagi Orang Rimba berhutang berarti menetapkan target rotan yang harus dicari karena untuk melunasi hutang tersebut. Biasanya hanya sebagian uang hasil dari berhutang yang digunakan untuk bekal mencari rotan. Selebihnya lebih banyak untuk keperluan yang lain.

Anak-anak Orang Rimba tidak ditabukan untuk berhutang. Mereka juga berhutang kepada toke rotan sebelum pergi mencari rotan. Mereka belajar menentukan target hasil yang mereka inginkan. Mereka sendiri yang harus membayar hutang yang telah berani mereka ambil. Mereka belajar bertanggung jawab terhadap tindakannya sendiri. Sejak masih sangat kecil, anak-anak rimba sudah diajari untuk mencari uang sendiri. Salah satunya dengan mencari rotan. Mereka belajar untuk survival di dalam hutan dengan memanfaatkan berbagai hasil hutan yang ada.

Ada hal yang menarik perihal hutang-menghutang yang dilakukan oleh Orang Rimba. Apabila hasil rotan yang didapatkan tidak dapat menutupi hutang kepada toke, maka hutang itu akan dibayar pada pencarian rotan berikutnya. Oleh karena itu mereka sulit lepas dari hutang karena hutang lama akan ditambah dengan hutang baru.
Selain itu mereka pada akhirnya hanya terikat pada satu toke saja. Menurut cerita salah seorang Orang Rimba, mereka baru dapat melunasi hutang bila memperoleh getah jernang cukup banyak.



Mencari getah damar dan jernang

Getah damar adalah salah satu hasil hutan yang telah dijual Orang Rimba sejak jaman dahulu. Getah damar berasal dari pohon damar. Mereka sendiri memanfaatkan getah damar sebagai penerangan, baik untuk penerangan di malam hari maupun untuk penerangan di rumah. Caranya getah damar diikat di dalam gulungan kulit pohon meranti lalu disulut api.
Maka jadilah obor ala Orang Rimba. Mereka menyebutnya sebagai suluh. Saat ini peran damar untuk penerangan tidak begitu penting lagi karena telah digantikan oleh senter. Padahal senter hanya bisa diperoleh di luar hutan. Demikian juga baterenya harus membeli dan hanya sekali pakai. Untuk penerangan di dalam rumah mereka juga mulai mengganti dengan lampu minyak.

Orang Rimba hanya bisa mengumpulkan getah damar sedikit demi sedikit karena tergantung tetesan getah dari pohon damar. Setelah beberapa waktu dan telah terkumpul cukup banyak barulah getah damar dibawa ke toke untuk dijual. Saat ini harga getah damar sekitar 700 rupiah sekilo. Para toke penampung getah damar akan menerima berapapun getah damar yang diperoleh Orang Rimba. Apabila telah terkumpul cukup banyak, barulah sang pengumpul menjual ke kota.

Jernang adalah sejenis tumbuhan mirip rotan yang tumbuh liar di dalam hutan. Nama latin dari tumbuhan jernang adalah Daemonorops hyigrophilus. Jernang digolongkan ke dalam jenis rotan. Batangnya berwarna hijau dan buahnya sama dengan buah rotan umumnya, yakni berbentuk seperti buah kelengkeng. Getah jernang diperoleh dari buah jernang. Getah jernang bernilai tinggi. Harga getah jernang di pasaran bisa mencapai 800 ribu rupiah per kilogram. Boleh dibilang, jernang adalah tumbuhan yang memiliki nilai ekonomis paling tinggi di kawasan hutan Taman Nasional Bukit Duabelas. Kegunaan getah jernang adalah untuk bahan pewarna. Selain dijual, getah jernang digunakan untuk melukis kerajinan tangan yang mereka buat.

Pohon rotan jernang dianggap sebagai milik bersama. Siapapun asalkan Orang Rimba berhak untuk mengambil buah jernang. Apabila ada yang mengganggu atau memotong batang jernang maka akan di denda sangat banyak. Konon denda yang dijatuhkan mencapai 120 kain. Apabila satu kain seharga 20 ribu, maka denda yang harus dibayar senilai kira-kira 2,4 juta. Hal itu wajar mengingat harga jernang yang sangat mahal. Pak Sungkono, salah seorang warga desa Bukit Suban yang ikut dalam pemasangan patok Taman Nasional Bukit Duabelas mengatakan bahwa ia pernah menyaksikan langsung bagaimana marahnya Orang Rimba mengetahui pohon jernang ditebas oleh para pemasang patok. Semula Orang Rimba menuntut denda ratusan ribu rupiah. Namun pada akhirnya denda tidak jadi dijatuhkan setelah diberi penjelasan bahwa pemasangan patok adalah demi Orang Rimba juga.

Bejernang adalah istilah Orang Rimba untuk mencari getah jernang. Kegiatan bejernang hanya dilakukan sekali dalam setahun karena buah jernang adalah buah musiman. Musim jernang berkisar dari bulan April sampai Juni. Buah jernang diambil dengan kait. Kadangkala Orang Rimba harus naik ke pohon lain yang tinggi untuk mengambil buah jernang, sebab biasanya buah jernang terletak tinggi diatas tanah. Getah jernang diperoleh dengan cara menumbuk buah jernang yang telah diperam selama tiga hari. Menurut Bekinya, salah seorang anak muda Orang Rimba, apabila sedang musim jernang, satu orang bisa mendapat minimal setengah kilogram getah jernang. Itu artinya uang senilai paling kurang 400 ribu rupiah.

Pada saat musim jernang, Orang Rimba akan bersama-sama menuju ke daerah dimana terdapat banyak pohon jernang. Biasanya, mereka bejernang bersama seluruh anggota keluarga. Sebagai bekal mereka kadang mengambil hutang pada toke yang nantinya akan membeli getah jernang yang mereka dapatkan. Namun tidak ada keharusan menjual getah jernang pada toke yang dihutangi. Terpenting hutang dilunasi.

Menurut cerita Laman, salah seorang Orang Rimba, dalam sekali musim jernang paling tidak terkumpul setengah ton getah jernang. Apabila dikalkulasi dengan uang, maka itu artinya uang senilai lebih dari 400 juta rupiah. Hampir semua getah tersebut dijual melalui jenang yang ada di desa Tanah Garo. Apabila ada yang menjual pada orang lain selain jenang maka hal itu bisa dianggap sebagai penjualan ilegal.

Mengambil Madu

Madu adalah hasil hutan yang sangat dibanggakan oleh Orang Rimba. Mereka sangat senang mengkonsumsi madu. Menurut mereka rasanya sangat enak dan menambah tenaga. Tidak hanya madunya yang mereka konsumsi, sarangnya yang berisi calon lebah, yakni rapa, juga mereka makan. Saya pernah dimasakkan rapa oleh mereka, rasanya memang luar biasa. Selain untuk konsumsi, madu yang diperoleh kadang juga dijual kepada penduduk desa sekitar. Menurut penduduk desa, madunya sangat enak. Bahkan ada yang menyebutkan kalau madu dari hutan Orang Rimba, adalah terbaik kedua se Indonesia. Itu artinya, kelezatan madu Orang Rimba sangat diakui.

Madu didalam rimba berasal dari sarang madu yang tergantung di dahan pohon sialang. Dalam satu pohon sialang bisa tergantung beberapa sarang madu sekaligus. Pohon sialang adalah istilah untuk jenis-jenis pohon yang biasa dihinggapi lebah madu untuk bersarang. Setidaknya ada lima jenis pohon yang dikategorikan pohon sialang, yakni pohon kedondong, kruing, pulai, pari dan kayu kawon. Jenis-jenis pohon tersebut dilarang ditebang. Bila ditebang dikenai denda yang cukup besar. Menurut Orang Rimba, madu yang paling enak adalah madu dari lebah yang bersarang di pohon kedondong.

Biasanya sarang lebah akan bergantungan di pohon sialang apabila bunga-bunga di hutan telah mulai bermekaran. Lebah akan mengambil sari makanan dari bunga-bunga itu. Oleh karena itu selain sebagai penghasil madu, lebah juga berfungsi sebagai pembantu penyerbukan bunga-bunga di hutan. Tanpa keberadaan lebah madu, penyerbukan bunga-bunga di hutan tidak akan berjalan baik. Hal itu bisa menyebabkan musim buah di hutan terganggu.

Orang Rimba mengambil madu dengan cara memanjat pohon sialang. Di batang pohon ditancapkan batang kayu kecil yang digunakan sebagai pijakan untuk naik ke atas. Batang kayu itu disebut lantak. Semakin tinggi batang sialang maka semakin banyak lantak yang dibuat. Sampai diatas, bambing, yakni sarang lebah ditusuk menggunakan rotan yang panjang sampai ke bawah. Dibawah, ujung rotan dimasukkan ke dalam wadah. Maka madu pun akan mengalir melalui rotan ke dalam wadah.

Tidak sembarang orang diperbolehkan mengambil madu. Hanya mereka yang telah benar-benar ahli yang diperbolehkan. Hal itu karena proses pengambilan madu cukup berbahaya. Apabila jatuh atau tersengat lebah, akibatnya bisa berupa kematian. Selain itu ada juga ritual tata cara pengambilan lebah yang harus dipatuhi. Ada mantera-mantera atau tombo yang harus dihafalkan dan dilafalkan selama proses pengambilan madu. Ketika hendak mulai memanjat, ritual pertama adalah menghilangkan hantu biyuto, yakni hantu kayu. Apabila tidak dicabut dan dibuang, hantu biyuto bisa mengganggu pemanjat. Kemudian si pemanjat meminta izin untuk melakukan pengambilan madu. Selama memanjat harus melafalkan mantera-mantera agar madu yang ada didalam sarang bisa diambil semua. Demikian juga ketika selesai mantera harus dinyanyikan.

Sedemikian berharganya madu bagi Orang Rimba, sehingga mereka menyimbolkan pengambilan madu dengan melamar gadis. Madu diibaratkan susu gadis yang dilamar dan ingin diambil. Mantera mengambil madu dilagukan layaknya melamar gadis. Apabila ternyata sarang madu yang akan diambil madunya sudah berubah menjadi lilin, maka sang pemanjat akan berlagu “.....mimpia apo aku semalam, aku memeras susu jando.. adik oiiii...”

Ada banyak mantera yang harus dihafalkan oleh pemanjat. Oleh karena itu tidak banyak anak muda yang sanggup jadi pemanjat madu. Alasannya karena belum hafal manteranya. Berikut adalah contoh mantera mengambil madu. Mantera ini diperoleh dari anak-anak muda rimba yang sedang belajar menghafalkan mantera tersebut.

Mandi dimano idak ingin, mandi diulak lesung batu
Hati siapo indak ingin, susu nulak dalam baju... adik ooiiii.............
Pancung ngikuk pancung kepalo, anak sawo mati berendan
Turunlah sikuk turun segalo, ughang mendalo rindu dendan
adik...ooiiii.........


betalang

Betalang adalah istilah Melayu Jambi untuk berladang. Betalang biasa diartikan membuka hutan lalu menanaminya dengan berbagai tanaman produktif yang menghasilkan. Tanaman yang ditanam adalah tanaman pangan dan perkebunan, yakni karet dan sawit. Saat ini Orang Rimba melakukan hal yang sama. Orang Rimba juga telah menanam berbagai jenis tanaman untuk makanan seperti misalnya ubi kayu, keladi, ubi jalar dan padi. Selain itu mereka juga menanami hutan yang dibuka dengan tanaman karet.

Orang Rimba betalang di dalam hutan di kawasan taman nasional. Mereka betalang di kawasan hutan yang mereka sebut benuaron dan humo. Tidak seperti ladang atau sawah milik penduduk desa yang membentuk komplek perladangan atau persawahan. Ladang Orang Rimba tersebar dalam kawasan taman nasional. Antara ladang yang satu dengan ladang yang lain terpisah jauh oleh hutan belantara. Apabila sering melihat film tentang ladang-ladang ganja di Amerika Selatan yang berada di tengah rimba, kondisi ladang Orang Rimba sangat mirip. Bila dilihat dari udara mungkin akan jelas terlihat adanya lubang-lubang diantara pepohonan tinggi. Lubang-lubang tersebut adalah ladang Orang Rimba. Luasnya tidak lebih dari satu hektar, pada umumnya sekitar setengah hektar saja.

Betalang memerlukan proses yang panjang. Mula-mula pohon-pohon ditumbang memakai kampak atau parang. Bahkan saat ini ada juga Orang Rimba yang meminta tolong warga desa untuk menumbang pohon memakai gergaji mesin. Menurut mereka cara itu lebih cepat. Dengan bayaran tertentu, dalam waktu singkat pohon-pohon untuk talang (ladang) tumbang. Berbeda bila menggunakan kampak dan parang yang memerlukan waktu lama dalam penumbangan.
Namun begitu, sekalipun memakai gergaji mesin, tetap diperlukan kampak atau parang. Gergaji mesin hanya untuk menumbangkan kayu-kayu yang berukuran cukup besar. Untuk merobohkan kayu-kayu yang berukuran kecil-kecil sebesar lengan tetap digunakan kampak dan parang.

Sesudah pohon ditumbang, selanjutnya adalah menunggu semuanya kering dan siap dibakar. Lama menunggu sangat tergantung musim. Bila musim hujan bisa berminggu-minggu menunggu. Namun bila musim kemarau akan jauh lebih cepat. Setelah semuanya benar-benar kering barulah pembakaran dilakukan. Mula-mula kayu-kayu kering dibakar begitu saja. Api dijaga agar tidak merembet ke dalam hutan yang masih utuh. Setelah api padam, kayu dan ranting yang tersisa yang berserakan dikumpulkan jadi satu lalu dibakar lagi sampai habis. Hal irtu dilakukan berulang sampai tanah benar-benar bersih. Sesudah tanah bersih barulah penanaman bisa dimulai.

Dalam pengerjaan ladang, apa yang dilakukan laki-laki dan perempuan tidak terlalu banyak berbeda. Mereka secara bersama-sama ikut menumbang pohon. Hanya saja perempuan biasanya menumbang pohon yang berukuran kecil sedangkan laki-laki menumbang pohon yang berukuran besar. Selanjutnya dalam proses membakar maupun mencari bibit tanaman, semua pihak berperan sama besar.

Saya pernah menyaksikan Orang Rimba, baik laki-laki, perempuan maupun anak laki-laki dan perempuan mengambil bibit tanaman ubi kayu, ubi jalar dan keladi dari suatu ladang Orang Rimba lainnya. Mereka mengangkut bibit itu dengan cara dimasukkan ambung. Jarak yang mereka tempuh untuk mengambil bibit memerlukan waktu berjalan sekitar satu jam perjalanan. Mereka benar-benar tangguh. Bibit ubi kayu yang dibawa seorang anak perempuan rimba pernah coba saya angkat.
Hasilnya baru beberapa meter sudah tidak sanggup meneruskan karena sangat berat.

Tanaman yang ditanam oleh Orang Rimba adalah tanaman-tanaman yang menghasilkan umbi atau buah. Beberapa jenis umbi yang ditanam adalah ubi kayu, ubi jalar (kepar dalam bahasa Orang Rimba), keladi (sejenis talas) dan ubi maniy (sejenis uwi di jawa). Hasil tanaman itu merupakan sumber karbohidrat penting. Orang Rimba juga menanam padi. Jenis padi yang ditanam adalah padi darat yang berumur panen 6 bulan. Orang desa menyebutnya jenis padi gogo. Rasanya jauh lebih enak daripada padi 3 bulanan.yang dibudidayakan di sawah-sawah. Bulir padinya besar-besar dan cenderung bulat. Mereka juga menanam pisang, tebu dan pepaya, serta kadang-kadang waluh. Cabai juga ditanam. Biasanya jenis cabai yang ditanam adalah jenis cabai rawit.

Orang Rimba menanam tanaman secara serempak. Pada saat menanam padi, juga ditanam ubi kayu, ubi jalar, pisang dan lainnya. Dalam istilah pertanian modern mereka melakukan sistem tanam tumpang sari. Di dalam ladang Orang Rimba bisa ditemui bermacam-macam jenis tanaman yang tumbuh bersama. Mereka tidak pernah menanami ladang hanya dengan satu jenis tanaman tertentu saja. Mungkin bertanam ala tumpangsari membuat tanaman lebih aman dari serangan hama.

Apabila panen padi, Orang Rimba yang lain akan datang membantu. Sebagai oleh-oleh mereka akan mendapat bagian hasil panen. Tangkai padi dipotong menggunakan ani-ani. Banyak juga yang memotong tangkai padi dengan tangan karena tangkai padi darat mudah patah. Tangkai padi yang sudah dipotong dimasukkan ambung yang dibawa di punggung. Setelah itu padi dimasukkan ke dalam lumbung. Batang padi yang ada dibiarkan saja tidak dibabat.

Ikut acara panen padi Orang Rimba sangat mengasyikkan. Meski tidak ada upacara adat panen padi yang sempat dilihat, namun makan nasi baru sudah cukup memuaskan. Ketika sebagian orang mengambil padi, ada perempuan rimba yang menumbuk padi dalam lengsung. Beras tumbukan itu lalu dibungkus daun-daun layaknya ketupat lantas dibakar. Orang Rimba menyebut cara menanak nasi semacam itu sebagai nasi kebat. Rasanya enak sekali.

Menurut cerita Sergi, yakni sang pemilik ladang padi yang dipanen, luas lahan padi miliknya hampir satu hektar. Akan tetapi tampaknya luas sebenarnya tidak sampai seperempat hektar. Mungkin Sergi melebih-lebihkan besarnya ukuran untuk menunjukkan bahwa dia memiliki banyak padi. Hal itu wajar sebab memiliki banyak padi adalah kebanggaan. Ia juga mengatakan bahwa padinya akan cukup untuk makan satu tahun.
Pada saat itu Sergi memiliki satu istri dan satu orang anak. Tatkala Sergi menikah lagi dengan seorang gadis 1 bulan kemudian, seluruh padi hasil panen miliknya diambil oleh saudara sang gadis. Mungkin padi itu dianggap sebagai mahar.
Ubi kayu, ubi jalar dan keladi yang ditanam Orang Rimba bisa berukuran raksasa. Saya pernah dibawakan ubi jalar yang dibakar utuh satu buah. Ternyata panjangnya hampir 2 jengkal. Diameternya sekitar 15 cm. Tentu saja saya tidak kuat menghabiskan semuanya.
Akhirnya, ubi bakar tersebut dimakan beramai-ramai. Hal tersebut sebenarnya tidak mengherankan. Sangat mungkin ukuran raksasa itu diakibatkan karena suburnya tanah ladang Orang Rimba sebab baru pertama kali dibuka.

Kelezatan keladi, ubi jalar dan ubi kayu yang ditanam Orang Rimba seolah jadi legenda di desa Bukit Suban. Banyak orang yang memesan ketiga jenis umbi tanaman itu pada Orang Rimba karena rasanya yang enak luar biasa, meskipun hanya direbus. Prabung, salah seorang Orang Rimba yang betalang tidak jauh di dalam taman nasional sering menerima pesanan dari mereka. Saya sendiri beberapa kali dibakarkan umbi-umbi itu oleh ank-anak Prabung. Rasanya memang luar biasa. Makan satu buah ubi jalar bakar (ubi maniy dalam bahasa Orang Rimba) sudah cukup membuat kenyang, sangat kenyang malahan.

Tanaman karet (para dalam bahasa Orang Rimba) yang merupakan tanaman perkebunan juga ditanam pada saat ladang baru dibuka. Orang Rimba mencari bibit yang berupa anakan pohon karet di kebun-kebun karet milik penduduk desa. Biasanya mereka mencari anakan karet sebelum ladang dibuka. Anakan karet tersebut akan direndam dulu di dalam aliran air selama beberapa waktu sampai tumbuh tunas-tunas baru. Anakan karet yang sudah bertunas itulah yang ditanam di ladang sebab kemungkinannya untuk tumbuh cukup besar.

Orang Rimba membiarkan saja tanaman karet yang ditanam tanpa perawatan. Ketika tanaman lain sudah habis dan tinggal tanaman karet yang tersisa, maka tanaman karet tersebut yang menjadi penanda bahwa ladang tersebut adalah milik sang penanamnya. Jadi sekali membuka ladang maka mereka akan seterusnya diakui menjadi pemilik ladang tersebut. Biasanya sebelum karet bisa disadap Orang Rimba akan pindah membuka ladang di tempat lain. Setelah beberapa tahun pohon karet akan bisa disadap dan pemiliknya akan menyadap karet.

Menjual hasil ladang

Kecuali padi, tumbuhan yang ditanam Orang Rimba tidak memiliki waktu panen serempak. Mereka bisa mengambil hasil tanaman kapan saja asalkan sudah cukup umur untuk dipanen. Umbi keladi misalnya, apabila tidak diambil maka dari umbi itu akan keluar tunas-tunas baru yang tumbuh menjadi tanaman. Jadi sekali menanam untuk selamanya akan ada stok keladi. Anakan-anakan keladi yang ada akan disebarkan lagi sehingga semakin banyaklah stok keladi.

Orang Rimba hanya mengambil umbi-umbian sejumlah yang diperlukan saja. Satu pokok ubi kayu biasanya memiliki umbi yang sudah cukup untuk makan sehari. Oleh karenanya mereka hanya mengambil satu pokok ubi kayu sehari. Demikian juga umbi-umbian lain hanya diambil sebanyak yang diperlukan saja. Mereka jarang menggoreng umbi-umbi itu. Biasanya hanya direbus atau dibakar. Mereka sangat pandai membakar umbi-umbian. Jarang terjadi kulit umbi menjadi gosong saat pembakaran. Sudah begitu mereka tahu persis kapan umbi yang dibakar telah matang seluruhnya. Memakan umbi bakar di dalam hutan bersama Orang Rimba adalah pengalaman berharga yang tidak akan terlupakan.

Hasil ladang Orang Rimba tidak melulu untuk dikonsumsi sendiri. Mereka juga menjual hasil ladang kepada warga desa. Biasanya yang mereka jual adalah daun pucuk ubi dan cabai. Satu ikat besar pucuk ubi oleh warga desa dihargai 500 rupiah.
Untuk cabai, harganya tergantung harga cabai di pasaran desa sekitar. Namun biasanya cabai Orang Rimba dihargai sedikit lebih rendah. Umbi-umbian juga mereka jual. Namun karena berat, mereka hanya membawa umbi keluar hutan bila ada yang memesan. Pak Puji, Kepala desa Bukit Suban adalah salah satu pemesan ubi Orang Rimba. Satu ambung yang dibawa dihargai beberapa ribu rupiah. Menurut beliau seperti juga kebanyakan orang desa lainnya, rasa ubi Orang Rimba jauh lebih enak daripada ubi yang ditanam di desa. Khusus untuk umbi-umbian mereka tidak mau menjual dalam jumlah besar dengan tujuan untuk dijual lagi oleh pembeli. Mereka mau menjual apabila hanya untuk dimakan. Mungkin mereka berpikir bahwa kalau dijual dalam jumlah besar, mereka akan kehilangan bahan makanan.
Biasanya yang menjual pucuk ubi maupun cabai adalah anak-anak. Tidak banyak yang mereka bawa, paling-paling beberapa ikat pucuk ubi dan satu atau dua kilogram cabai. Bahan yang dijual itu dimasukkan ambung. Mereka menawarkannya dari pintu ke pintu. “Endok beli daun ubi?”, kata mereka menawarkan.

Pada umumnya mereka sudah memiliki langganan sendiri. Mereka enggan menawarkan pada orang yang bukan langganan. Namun begitu mereka tidak menolak apabila ada orang lain yang mau membeli. Nuju, salah seorang anak perempuan rimba, bersama saudara-saudaranya paling sering terlihat menjual hasil ladang di desa Bukit Suban. Dia adalah anak dari Prabung, seorang warga Orang Rimba yang betalang tidak jauh di dalam hutan. Jaraknya paling-paling sekitar 2 km dari pemukiman penduduk. Dari pinggir hutan jaraknya tidak sampai 1 km masuk ke dalam rimba. Biasanya mereka akan mendapat bagian dari hasil penjualan. Bahkan seringkali atas inisiatif sendiri mereka menjual hasil ladang bila mereka menginginkan suatu barang. Sayangnya dari beberapa kali menjual hasil ladang, uang bagian mereka hanya dihabiskan untuk membeli jajanan. Uang bagian ibu mereka biasanya dibelikan bumbu masak, seperti masako dan sejenisnya.


Memotong Para

Orang Rimba merupakan indigenous people di dalam kawasan hutan Taman Nasional Bukit Duabelas yang memanfaatkan hampir seluruh ruang di dalam kawasan. Di masa depan, menurut program Badan Konservasi Sumber Daya Alam, Orang Rimba diharapkan akan berubah menjadi masyarakat desa seperti umumnya yang bertani dan berladang di luar kawasan taman nasional sehingga peruntukan taman nasional benar-benar untuk konservasi. Proses ke arah itu akan sangat panjang serta memerlukan keterlibatan banyak pihak. Dinas BKSDA dan terutama LSM Warsi telah mendorong Orang Rimba untuk memiliki kebun-kebun karet di pinggiran taman. Kebun karet akan berperan sebagai pagar bagi intrusi orang desa ke dalam taman. Sebab aturan yang disepakati antara orang desa dan Orang Rimba adalah melarang dibukanya lahan oleh orang desa di seberang lahan yang telah dibuka oleh Orang Rimba. Adanya kebun karet Orang Rimba di pinggir taman otomatis menjadi batas alam peluasan ladang orang desa ke dalam hutan.

Meskipun menanam karet sudah dilakukan puluhan tahun lamanya, namun baru saat ini menanam pohon karet sepertinya menjadi keharusan. Sebagian dari mereka merasa bahwa hanya dengan bertanam pohon karet maka masa depan akan terjamin. Habisnya berbagai sumberdaya hutan yang biasanya mereka manfaatkan membuat mereka pada akhirnya tidak memiliki pilihan selain betalang dan menanam pohon karet. Dorongan bertanam karet datang dari pihak kehutanan dan hasil pendekatan yang berhasil dari LSM Warsi. Nijo, salah seorang warga rimba mengatakan ia harus menanami ladang yang dibuka dengan karet. Kalau tidak, ia akan (baca : merasa) dimarahi oleh pihak kehutanan karena membiarkan ladang terbuka tanpa tanaman keras.

Beberapa Orang Rimba Makekal Hulu telah memiliki kebun karet yang berumur cukup untuk disadap. Temenggung Segrip, Prabung, Bebayang, Nijo dan lainnya adalah beberapa Orang Rimba yang telah memilikinya. Di luar Orang Rimba Makekal Hulu, tanaman karet juga telah banyak dimiliki oleh Orang Rimba. Temenggung Tarib, pemimpin kelompok Orang Rimba Air Hitam, memiliki lahan karet yang sangat luas. Ia bahkan memiliki kebun sawit.

Hasil dari menyadap (motong dalam istilah bahasa Orang Rimba) getah karet cukup lumayan. Satu kilo getah karet dihargai sekitar 4-5 ribu rupiah. Apabila ada 500 batang karet dan tiap hari disadap, dalam sebulan bisa menghasilkan sekitar 1 sampai 2 pikul (1 pikul sama dengan 100 kg). Itu artinya uang sebanyak kira-kira 400-800 ribu rupiah. Prabung yang memiliki kebun karet sekitar 500 meter dari pinggir hutan berpenghasilan sekitar itu dari kebun karetnya. Untuk mengeluarkan getah karet yang dimiliki juga cukup mudah karena ia tinggal menghilirkan getah karetnya melalui sungai. Di pinggir sungai dekat jalan di desa Bukit Suban, toke karet menunggu dengan mobil untuk membeli getah tersebut.

Prabung mengakui bahwa dirinya baru belajar menyadap karet. Sebagaimana banyak Orang Rimba lainnya yang memiliki karet, mereka pada umumnya juga belum bisa menyadap karet. Namun sebenarnya pekerjaan menyadap adalah pekerjaan mudah. Apabila mereka enggan menyadap, sangat mungkin hal itu lebih dikarenakan perubahan pola kebiasaan kerja yang tidak biasa mereka lakukan.

Bebayang memiliki kebun karet yang cukup luas di dalam hutan. Menurutnya batang karet yang dimilikinya berjumlah lebih dari 2000 batang. Sayang jaraknya jauh.
Perjalanan santai ke sana akan memakan waktu tidak kurang dari 3 jam. Ia tidak menyadap sendiri batang karet tersebut. Ada orang desa yang diminta untuk menyadap getah karet miliknya. Sistem pembagiannya adalah 1/3 untuk pemilik, yakni Bebayang, dan 2/3 untuk penyadap. Untuk mengeluarkan getah karet ke desa dimana toke karet mau membeli merupakan pekerjaan berat. Menurut si penyadap karet milik Bebayang, 25 keping getah karet yang dikeluarkan membutuhkan waktu tidak kurang dari 2 hari untuk sampai ke desa.

Si penyadap karet milik Bebayang membawa serta istri dan anaknya tinggal di dalam hutan sebagaimana Orang Rimba lainnya. Mereka membawa bekal yang merupakan utang dari toke karet. Jadi sebelum bekerja mereka berutang dulu sebagai modal kerja. Orang Rimba juga biasa berhutang dulu. Prabung, Bebayang, dan lainnya biasa berhutang. Ketika karetnya telah siap ditimbang tinggal diperhitungkan besarnya harga karet yang dimiliki dengan hutang pada sang toke. Para toke sendiri tidak pernah keberatan bila Orang Rimba berhutang karena mereka sangat percaya dengan kejujuran Orang Rimba. Mereka yakin Orang Rimba tidak akan menipu. Pada kenyataannya, Orang Rimba memang orang-orang yang sangat jujur. Namun sekali dibohongi mereka juga akan kehilangan kepercayaan untuk selamanya.

Menanam sawit.

Daerah-daerah di sekitar kawasan ruang hidup Orang Rimba, terutama daerah eks pemukiman transmigrasi merupakan daerah makmur berkat adanya perkebunan sawit.
Antara pihak perusahaan perkebunan dan petani tertjadi kerjasama dalam penanaman sawit. Petani menyerahkan ladangnya untuk ditanami sawit oleh pihak perusahaan. Seluruh biaya bibit dan biaya perawatan diperoleh dari kredit kepada bank dengan agunan tanah itu dan sepenuhnya dikelola oleh pihak perusahaan. Ketika panen maka petani mendapatkan 70% hasil penjualan, sedangkan perusahaan mendapatkan 30% sisanya untuk mengangsur kredit. Hal itu berlangsung sampai kredit terhadap bank lunas. Sistem plasma yang dijalankan tersebut membuat penduduk desa menjadi penduduk yang makmur. Penghasilan yang diperoleh dari kebun sawit sudah cukup memadai untuk kehidupan yang layak.

Saat ini banyak Orang Rimba sedang diupayakan untuk memiliki kebun sawit juga. Dinas Sosial melalui program PKMT (Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Terasing) menyediakan perumahan bagi Orang Rimba dipinggir taman nasional, sekaligus bibit sawit. Meski kebanyakan rumah tidak ditinggali, beberapa orang rimba sudah mulai menanam bibit sawit tersebut di ladang mereka. Temenggung, Prabung, Srine, Laman dan lainnya sudah memiliki kebun sawit yang dalam beberapa tahun akan menghasilkan.

Sekitar tahun 2001 program serupa dari Dinas Sosial pernah dijalankan bagi Orang Rimba kelompok Air Panas. Namun karena pola pikir dan kebiasaan Orang Rimba tidak mendapatkan perhatian, akibatnya program itu gagal. Hasilnya kebun sawit 2 hektar yang dimiliki setiap kepala keluarga habis dijual oleh Orang Rimba. Demikian juga rumah-rumah yang disediakan bagi mereka kebanyakan sudah berganti pemilik. Orang Rimba kembali lagi tinggal di dalam tenda-tenda di dalam hutan.

Mencari Brondolan Sawit

Ada cerita memilukan yang menimpa Orang Rimba dalam mencari penghidupan, yakni tentang para pencari brondolan sawit. Mereka adalah Orang Rimba yang tidak memiliki ladang dan tidak lagi tinggal di dalam hutan. Mereka tinggal di kebun-kebun karet dan sawit milik penduduk yang notabene dulunya adalah ruang hidup mereka saat masih berupa hutan. Mereka sangat kesulitan mencari makan. Oleh karenanya mereka mencari uang untuk membeli kebutuhan pokok dengan mencari brondol sawit di kebun-kebun sawit milik penduduk desa. Brondol sawit adalah butir-butir sawit yang lepas dari tangkainya (tangkai buah sawit disebut janjangan) saat di panen. Oleh penduduk desa, brondol sawit itu biasanya tidak diambil karena memang berjumlah tidak banyak. Oleh Orang Rimba, brondol sawit itu dikumpulkan dan dijual kepada orang yang bersedia menampungnya. Mereka memunguti brondolan sawit di kebun sawit yang baru saja dipanen karena buah sawit hanya bertahan sekitar 3 hari sebelum busuk. Satu per satu brondolan sawit yang terasa berminyak bila dipegang, dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam karung. Dengan dipanggul atau digendong mereka membawa karung-karung berisi brondol ke tempat orang yang mau membeli.

Pak Alisman di desa Pematang Kabau adalah salah satu orang yang biasa membeli brondol sawit dari Orang Rimba. Beliau orang minang yang telah lama tinggal di daerah itu. Oleh Temenggung Tarib, pemimpin kelompok Orang Rimba Air Hitam yang pernah bertemu presiden Megawati di istana negara, ia diangkat anak. Biasanya, orang-orang yang hendak berkunjung ke kelompok Orang Rimba Air Hitam melalui beliau. Saya pernah berjumpa orang dari Inggris yang datang ke kelompok Temenggung Tarib. Ia makan dan menginap di rumah Pak Alisman. Beliau merupakan perintis pendidikan Orang Rimba Air Hitam.

Sayangnya, penduduk desa tidak semua setuju dengan apa yang dilakukan Pak Alisman. Bahkan ada yang mengancam agar tidak membeli brondolan sawit dari Orang Rimba. Pernah ancaman yang datang sangat keras yakni ancaman pembakaran. Menurut mereka, bila Orang Rimba dibiarkan mengambil brondolan maka bisa saja mencuri sawit yang masih dalam janjangan. Namun Pak Alisman menolak berhenti membeli brondolan karena bila ia berhenti maka tidak ada yang mau membeli. Itu artinya penghasilan Orang Rimba pencari brondol terhenti karena satu-satunya sumber pendapatan adalah mencari brondol sawit.

Pak Alisman juga pernah diancam mau dihukum oleh pihak perusahaan perkebunan sawit. Hal itu dikarenakan ia membeli brondolan sawit dari Orang Rimba yang mengambil brondol di kebun milik perusahaan. Menurut peraturan perusahaan, brondol tidak boleh diambil dan harus dibakar. Namun pak Alisman tetap kukuh, karena kalau tidak dibeli, Orang Rimba terancam tidak mendapat makanan. Lagi pula menurutnya mengambil brondol tidak merugikan siapa-siapa. Beliau mengibaratkan Orang Rimba sebagai ayam yang mengambil sisa-sisa makanan yang tumpah ketika hendak dimakan orang. Toh, sisa makanan yang tumpah itu tidak akan diambil lagi. Sehingga sesungguhnya tidak ada yang dirugikan.

Harga brondolan sawit dihargai lebih rendah daripada sawit yang masih utuh dalam tandan. Harganya berkisar 60% dari harga buah sawit utuh. Saat harga sawit di tangan petani berkisar 500 rupiah per kilogram, brondolan sawit dihargai 300 rupiah per kilogram. Hasilnya kadangkala lumayan. Dalam satu hari mencari, mereka bisa mendapatkan uang sampai 20 ribu rupiah. Namun lebih sering mereka hanya mendapat beberapa ribu rupiah saja.

Tidak hanya Orang Rimba dewasa yang mencari brondol sawit. Anak-anak juga mencari brondolan sawit. Biasanya anak-anak tidak mau menggabungkan hasil mereka dengan hasil milik orang tua. Mereka mencari brondol sawit untuk diri mereka sendiri. Sebagian besar uangnya hanya habis untuk membeli makanan jajan, seperti roti, kerupuk, permen dan sejenisnya. 



KEPERCAYAAN ORANG RIMBA


Setiap budaya memiliki dunia batinnya sendiri. Manusia dalam budaya tertentu mempersepsi dunia sekitar mereka dan memahaminya secara khas. Fenomena yang sama mungkin saja akan dilihat, dipersepsi dan ditafsirkan secara berbeda oleh orang dari budaya berbeda. Misalnya angin ribut yang memporak-porandakan rumah mungkin akan dipahami sebagai gejala alam biasa oleh orang minang, dipahami sebagai pertanda tertentu oleh orang jawa, dan dipahami sebagai pekerjaan hantu oleh Orang Rimba.

Orang Rimba memiliki cara yang khas dalam memahami dunia sekitar yang merupakan hasil dari interaksinya dengan alam dan kelompok manusia lainnya selama ribuan tahun. Mereka mengembangkan dunia batin yang cocok dan sesuai dengan kondisi mereka. Dunia batin itu mempengaruhi cara mereka dalam memahami sesuatu dan dalam bertindak. Ide tentang dunia atau dunia batin mewujudkan dirinya dalam bentuk riil yakni sistem kepercayaan, mitos, adat, struktur sosial, trait psikologis dan sebagainya.

“Orang Rimba memiliki kepercayaan dinamisme dan animisme. Mereka mempercayai kekuatan alam. Mereka memuja roh nenek moyang. Mereka memiliki banyak Dewa yang mereka anggap Tuhan. Akan tetapi mereka sesungguhnya tidak benar-benar bertuhan. Mereka benar-benar masih merupakan masyarakat primitif....” Demikianlah salah satu komentar terhadap Orang Rimba yang dilontarkan oleh salah seorang penduduk desa yang dekat dengan kawasan hutan tempat tinggal Orang Rimba.

Komentar diatas menumbuhkan keingintahuan saya mengenai kepercayaan Orang Rimba. Dengan minat bagaikan anak kecil yang ingin tahu isi sebuah kebun binatang setelah mendengar betapa menariknya isi kebun binatang, saya berupaya mencari tahu seperti apa sebenarnya kepercayaan Orang Rimba. Sayangnya Orang Rimba yang saya temui tidak bercerita sebanyak yang saya harapkan. Tapi mungkin hal itu dikarenakan memang tidak banyak yang bisa mereka ceritakan. Untungnya ada beberapa literatur yang juga menceritakan mengenai kepercayaan Orang Rimba.
Mitologi Penciptaan.

Sama seperti setiap sistem kepercayaan lainnya, Orang Rimba juga memiliki mitologi mengenai penciptaan. Mereka memiliki suatu mitologi yang menjelaskan terjadinya kehidupan. Menurut mitologi Orang Rimba, pada awal kehidupan tidak ada sesuatupun kecuali Tuhan. Dunia beserta segala sesuatu yang ada belum ada, yang ada adalah ketiadaan. Lantas Tuhan berkehendak menciptakan kehidupan. Maka diciptakanlah kuntul putih (langit) dan gagak hitam (bumi beserta segala isinya). Sejak penciptaan itulah maka kehidupan dimulai.

Mitologi penciptaan Orang Rimba tampaknya dipengaruhi oleh persentuhan mereka dengan para penganut agama Islam. Bukti kuat dari adanya pengaruh itu adalah kisah tentang manusia pertama. Menurut mereka, manusia pertama yang ada di bumi adalah Nabi Adam. Mereka adalah keturunan Nabi Adam dan merasa paling dekat dengannya. Kedekatan itu terbukti dalam pemeliharaan adat atau aturan yang berasal dari nenek moyang. Kaum yang tidak lagi memelihara aturan nenek moyang berarti keturunan yang jauh hubungannya dengan Nabi Adam. Berbeda dengan Orang Rimba yang selalu memelihara aturan dan adat dari nenek moyang. Artinya, merekalah yang paling dekat dengan Nabi Adam.

Penolakan terhadap agama lain selain apa yang sudah diyakini juga berasal dari keyakinan akan kedekatan hubungan dengan Nabi Adam. Menurut mereka agama yang mereka yakini adalah agama Nabi Adam. Mereka percaya dan yakin akan hal itu karena mereka dan nenek moyang mereka tidak pernah mengubah apapun yang sudah ada. Oleh karena itu mengikuti agama lain yang berasal dari nabi lebih rendah tidak mau mereka lakukan. Misalnya agama Islam tidak mau mereka ikuti karena dibawa oleh Nabi Muhammad yang merupakan nabi terakhir.

Orang Rimba percaya bahwa manusia berasal dari tanah. Hal itu terlihat jelas dari kepercayaan mereka mengenai ilmu kebal. Sehebat apapun orangnya, menurut mereka tidak ada orang yang kebal dengan senjata yang telah ditancapkan di tanah. Hal itu dikarenakan manusia berasal dari tanah. Oleh karena itu biasanya mereka menancapkan salah satu senjata ditanah sekitar rumah untuk berjaga-jaga kalau ada pengganggu yang memiliki ilmu kebal.

Ketuhanan Orang Rimba.

Tuhan dalam konsepsi Orang Rimba adalah pencipta segala sesuatu. Esensi Tuhan ada di dalam segala sesuatu. Namun kehadiran Dzat Tuhan itu sendiri sesuatu yang gaib. Tidak ada yang mengetahui keberadaan Tuhan. Mereka membandingkan antara esensi Tuhan dengan Dzat Tuhan yang gaib dengan fenomena burung gading. Menurut kepercayaan Orang Rimba, burung gading adalah burung penjelmaan Tuhan. Ketika burung gading memperdengarkan suaranya yang merdu, saat itulah sama dengan esensi Tuhan yang bisa dirasakan, namun burung gading itu sendiri tidak pernah terlihat, halmana menunjukkan kegaiban dzat Tuhan. Kadang Orang Rimba menyebut Tuhan dengan ungkapan Allah. Tampaknya ungkapan itu merupakan hasil dari pengaruh Islam.

Orang Rimba mempercayai Dewo dan Dewi yang fungsi dan perannya mirip dengan Tuhan dalam konsepsi agama monotheis. Namun meski demikian nyatanya mereka juga mempercayai Tuhan tunggal sebagai pencipta alam, sehingga konsep ketuhanan Orang Rimba sangat unik sekaligus membingungkan. Peran Tuhan tertinggi sebagai pencipta alam seolah-olah hanya untuk menjelaskan tentang penciptaan kehidupan. Karena pada kenyataannya, meskipun eksistensi Tuhan tertinggi diakui akan tetapi hampir tidak pernah disinggung dalam kehidupan keseharian. Dewa serta Dewi yang selalu disinggung dan benar-benar berperan dalam kehidupan. Dewa dan Dewi adalah tujuan berdoa, tujuan meminta ampun, dianggap yang akan menjatuhkan kesenangan maupun kutukan, dan lainnya. Misalnya ketika takut melakukan sesuatu karena merupakan pantangan, mereka umumnya beralasan “nanti dikutuk Dewo.”

Mengikuti pendapat Wilhelm Schmidt, dalam bukunya ‘The Origins of The Idea of God’, Orang Rimba agaknya telah memiliki kepercayaan monoteis primitif. Namun lama kelamaan kepercayaan itu memudar karena Tuhan dianggap sesuatu yang suci dan sakral sehingga tidak ada ritus apapun yang memadai yang ditujukan untuk-Nya. Oleh karena itu kepercayaan terhadap Tuhan tunggal perlahan memudar karena tidak hadir dalam keseharian Orang Rimba, dan digantikan dengan kepercayaan terhadap banyak Dewa. Kepercayaan terhadap banyak Dewa terus bertahan karena lebih menarik dan bersifat praktikal. Baru setelah adanya persentuhan dengan dunia luar, terutama Islam, konsepsi Tuhan tunggal sebagai pencipta alam diadopsi kembali. Meski demikian perannya di dalam kehidupan tetap sangat kurang atau malah hampir tidak ada. Dewo dan Dewi yang dianggap sebagai pengatur tatanan kehidupan. Seluruh dimensi kehidupan diatur dan dimiliki oleh Dewo dan Dewi. Merekalah sumber dari kesehatan, kesenangan, rezeki, sakit dan segala sesuatu yang lainnya. Sehingga secara praksis Dewo dan Dewi-lah Tuhan mereka sesungguhnya. Oleh karena itu agaknya sah bila mereka disebut berkepercayaan polytheistik.

Sesuai sebutannya, Dewo dan Dewi berjumlah lebih dari satu. Tidak ada yang paling utama diantara Dewa dan Dewi itu. Mereka memiliki tempat tinggal tertentu, seperti di sungai (di hulu maupun di hilir), di pinggir sungai dan di puncak bukit. Yang menarik ternyata Orang Rimba mengklasifikasikan Dewo dan Dewi ke dalam dua kategori bertentangan, yakni Dewo dan Dewi pembawa kebaikan serta Dewo dan Dewi pembawa keburukan. Dewo dan Dewi yang tinggal di hulu sungai dianggap sebagai pembawa kebaikan, sebaliknya yang tinggal dihilir sungai dianggap pembawa keburukan. Pembagian itu tampaknya terkait dengan interaksi Orang Rimba dengan orang Melayu. Daerah hilir sungai merupakan daerah orang Melayu. Melalui interaksi dengan orang Melayu, Orang Rimba mendapat berbagai penyakit menular dan ganas seperti cacar. Selain itu orang Melayu juga sering menangkap Orang Rimba untuk dijadikan budak.

Setan dan malaikat.

Tidak berbeda jauh dengan konsepsi agama Abrahamik mengenai setan dan malaikat yang saling bertentangan satu sama lain, Orang Rimba pun memiliki konsepsi mengenai setan dan malaikat yang serupa. Setan adalah makhluk gaib yang sifatnya merusak dan mengganggu manusia. Setan memiliki wilayah kekuasaan tertentu, misalnya bukit. Menurut Orang Rimba, setan tidak meninggalkan daerah kekuasaannya. Daerah yang dianggap dikuasai setan tidak akan ditempati oleh Orang Rimba, karena akan menimbulkan berbagai musibah dan penyakit. Setan akan marah kalau daerah kekuasaannya diganggu. Oleh karena itu untuk menghindari kemarahan setan, daerah yang dianggap dikuasai setan tidak dilewati. Kalaupun terpaksa, tidak boleh merusak tumbuhan atau benda yang ada di tempat tersebut.

Di dalam rimba terdapat juga makhluk gaib sejenis dengan setan, yakni hantu. Tidak berbeda dengan setan, kerja hantu adalah merusak. Hantu dikonsepsikan sebagai mahluk gaib yang bisa bergerak. Hantu bisa menyatukan diri dengan angin ribut dan hujan yang sangat deras serta lama. Apabila ada angin ribut atau hujan deras merusak rumah, ladang, dan hutan, maka menurut Orang Rimba pastilah ada hantu yang menyatukan diri dengan angin ribut dan hujan tersebut.

Hampir setiap kelompok budaya di Indonesia mengenal adanya hantu yang suka menyembunyikan anak-anak. Misalnya etnis jawa mengenal jenis hantu yang disebut wewe. Demikian juga Orang Rimba mengenal jenis hantu yang suka menyembunyikan anak-anak. Mereka menyebutnya hantu garo-garo. Secara harfiah hantu garo-garo mungkin bermakna hantu pembuat gara-gara

Hantu garo-garo adalah hantu perempuan. Kemunculannya memiliki sejarah. Diceritakan pada zaman dahulu kala ada seorang ibu yang kehilangan bayinya. Karena sangat sedih, maka sang ibu meninggal. Setelah meninggal, arwah sang ibu berusaha mencari anaknya dan rohnya berubah menjadi hantu. Namun karena menurut sang hantu anaknya tentu sudah beranjak besar, maka yang dicari adalah anak yang sudah cukup besar. Hantu garo-garo tidak akan menyembunyikan anak yang masih baru dilahirkan. Oleh karena itu anak-anak yang mulai tumbuh besar selalu dipasangi jimat oleh orang tuanya. Jimat itu berguna untuk menangkal hantu garo-garo. Biasanya jimat dipakaikan seperti kalung. Apabila hantu garo-garo sudah menyembunyikan anak, maka sang anak harus diminta kembali dengan cara tertentu. Bila tidak maka sang hantu tidak akan mengembalikan anak yang dibawa untuk selama-lamanya. Menurut cerita Sediah, salah seorang remaja rimba, adiknya, yakni Begenyek pernah disembunyikan hantu garo-garo selama beberapa hari. Begenyek sendiri mengakui bahwa dirinya pernah dibawa hantu garo-garo.

Fakta bahwa hampir setiap budaya memiliki cerita tentang hantu pembawa anak-anak sangatlah menarik. Mungkin cerita tentang hantu itu adalah penjelasan atas perginya anak-anak yang sering tidak diketahui oleh orang tuanya. Adalah hal biasa apabila anak-anak yang dibesarkan di lingkungan alam yang memiliki ruang luas seperti halnya desa maupun hutan, pergi untuk memuaskan rasa ingin tahunya maupun sebagai bentuk protes (minggat). Karena luasnya ruang, maka sang anak seringkali tidak dapat ditemukan dengan segera. Kadangkala sang anak tersesat. Dalam kondisi bingung, takut, ataupun tertekan, anak-anak biasanya menggunakan kekuatan fantasinya yang kuat sebagai mekanisme untuk menentramkan diri dan bertahan. Fantasi itu biasanya berkisar pada kenikmatan, baik karena makanan yang lezat maupun kondisi yang menyenangkan lainnya. Namun fantasi yang berkembang bisa juga hal-hal yang bersifat menakutkan.

Orang-orang dewasa hanya memiliki satu penjelasan mengapa sang anak tidak bisa ditemukan, yakni melalui kacamata supranatural. Anak hilang dianggap dibawa hantu. Hal itu wajar mengingat hampir setiap budaya di Indonesia sangat mempercayai kekuatan supranatural. Segala sesuatu yang tidak atau belum dapat dijelaskan dengan nalar akan dikaitkan dengan dunia supranatural. Mereka belum atau tidak memiliki penjelasan dari sisi manusianya saja. Mereka tidak dapat menjelaskan alasan sang anak pergi berdasarkan kondisi psikologis sang anak semata. Maka penjelasan dari sisi supranatural adalah penjelasan yang paling masuk akal dan paling bisa diterima. Lalu cerita tentang dibawa hantu diperkuat oleh cerita dari sang anak hilang sendiri. Fantasi yang sangat kuat boleh jadi membuat sang anak merasakan fantasinya sebagai kenyataan. Meskipun ingatan tentang fantasinya sendiri samar-samar namun biasanya sang anak mampu menceritakan fantasinya yang luar biasa kepada orang-orang dewasa. Akibatnya orang-orang dewasa semakin yakin bahwa sang anak dibawa oleh hantu. Seterusnya berkembanglah cerita tentang hantu pembawa anak.

Cerita tentang hantu pembawa anak dipastikan fungsional dalam kehidupan. Bila tidak, cerita itu akan lenyap. Sebab hanya cerita yang bermanfaat yang akan terus bertahan. Fungsi pertama cerita itu adalah menjelaskan atas sesuatu yang belum diketahui. Sudah menjadi sifat manusia untuk memahami dan menjelaskan segala sesuatu yang terjadi di lingkungannya. Apabila tidak dapat menjelaskan, manusia akan merasa terancam. Adanya cerita hantu pembawa anak menentramkan karena mereka tahu sebab kejadian anak hilang. Selain itu salah satu fungsi cerita hantu pembawa anak mungkin adalah untuk sarana menakut-nakuti anak-anak agar tidak berbuat tidak baik. Kenyataannya anak-anak rimba sangat takut bila ditakut-takuti dengan cerita hantu pembawa anak. Tampaknya cerita itu merupakan alat kontrol perilaku anak-anak yang ampuh.

Berbeda dengan setan dan hantu, malaikat adalah makhluk gaib yang menjaga manusia, terutama menjaga dari gangguan setan dan hantu. Menurut Orang Rimba, malaikat hampir setingkat dengan dewa akan tetapi selalu berada di sekitar Orang Rimba. Adanya malaikat membuat manusia aman. Namun demikian, apabila manusia berbuat tidak baik maka malaikat bisa pergi. Apabila ditinggal malaikat manusia menjadi rentan terhadap gangguan setan dan hantu. Orang yang diganggu hantu atau setan adalah mereka yang telah ditinggalkan malaikat.

Alam bagi Orang Rimba

Orang Rimba membagi alam dalam dua kategori yang berlawanan yakni dunia nyata (halom nio) dan dunia atas (halom Dewo). Halom Nio adalah alam raya yang ditempati Orang Rimba. Mereka menyebut juga sebagai halom kasar. Halom Dewo adalah dunia yang juga akan ditempati oleh Orang Rimba yang telah meninggal. Orang Rimba menyebutnya juga sebagai halom haluy (dunia halus). Antara kedua alam tersebut bisa saling berhubungan. Penghuni halom haluy bisa terus memantau keadaan Orang Rimba yang ada di halom kasar. Sebaliknya penghuni halom kasar juga bisa berhubungan dengan penghuni halom haluy melalui perantara malim atau pemimpin spiritual Orang Rimba.

Orang Rimba menganggap diri mereka sebagai bagian dari alam semesta (halom). Mereka adalah bagian yang integral di dalam alam. Orang Rimba adalah alam dan alam adalah Orang Rimba. Mereka dan alam adalah satu. Dalam kepercayaan Orang Rimba, alam semesta tidak berkembang. Sejak penciptaan, langit dan bumi seisinya sudah demikian adanya. Mereka hanya tinggal meneruskan apa yang sudah ada dan tidak perlu dirubah. Mereka memiliki keyakinan bahwa merubah alam akan merubah Orang Rimba, sebaliknya jika Orang Rimba berubah maka alam pun akan ikut berubah. Oleh sebab itu mereka sangat kritis dengan perubahan. Selain itu, keengganan untuk berubah juga ditunjang oleh ketakutan akan kutukan nenek moyang. Roh nenek moyang yang tinggal di halom haluy yang membuat berbagai macam aturan adat akan marah dan menjatuhkan kutuk apabila anak keturunannya, yakni Orang Rimba tidak menaati adat. Akibat dari kepercayaan itu mereka menjalani kehidupan yang kurang lebih sama dengan kehidupan yang dijalani nenek moyang mereka ratusan tahun silam. Mereka sangat berhati-hati dengan perubahan karena perubahan dianggap akan merubah alam (halom). Oleh karena itulah pada masa lalu Orang Rimba dikenal sangat anti dengan perubahan. Bahkan menurut cerita, dahulu mereka sama sekali tidak mau bertemu orang asing.

Ada ungkapan yang biasa dipakai Orang Rimba untuk menolak terjadinya perubahan, yakni “sejak gagak hitam, kuntul putih diciptakan Tuhan...”, yang artinya ‘sejak Tuhan menciptakan langit dan bumi seisinya...’. Ungkapan itu biasa digunakan dalam musyawarah untuk menolak terjadinya perubahan. Bila ungkapan diatas disampaikan, maka maknanya adalah sesuatu (yang dibicarakan, baik adat ataupun lainnya) tidak perlu dirubah karena sesuatu itu sudah demikian adanya sejak awal mula alam semesta diciptakan. Ungkapan lain yang menggambarkan paham fatalis dan pasifis terhadap perubahan adalah ‘alam sekato Tuhan’. Artinya alam seisinya termasuk manusia dalam keadaan yang telah ditakdirkan demikian oleh Tuhan. Apapun kondisinya itulah yang telah ditentukan Tuhan bagi alam dan manusia. Oleh karena itu manusia tidak berhak merubah apapun karena merubah dengan sengaja berarti menentang kehendak Tuhan.

Saat ini kepercayaan tentang alam yang statik mulai memudar seiring dengan persentuhan Orang Rimba dengan masyarakat luar yang tidak dapat dihindari. Misalnya pada awal proses pemberian pengajaran baca tulis dan berhitung yang diselenggarakan untuk Orang Rimba oleh LSM Warsi mendapat banyak tentangan dari Orang Rimba karena khawatir akan merubah alam. Mereka menyadari bahwasanya adanya pendidikan akan banyak mengubah berbagai dimensi kehidupan mereka. Namun saat ini mereka menjadi antusias dengan pendidikan karena menyadari bahwasanya apabila mereka tidak berubah menjadi pintar, mereka hanya akan menjadi orang-orang kalah. Demikian juga berbagai pengetahuan dan teknologi baru diserap dengan cepat oleh Orang Rimba.

Dalam kepercayaan Orang Rimba terdapat juga konsep tentang surga dan neraka. Kedua tempat itu berada di dunia sesudah mati. Surga merupakan tempat bagi manusia yang baik dan taat pada aturan adat. Sebaliknya neraka adalah tempat bagi manusia yang jahat dan tidak taat pada aturan adat. Neraka memiliki panas tidak terbayangkan. Percikan api neraka sama panasnya dengan seluruh api yang ada di dunia.

Namun agak mengherankan ketika beberapa Orang Rimba ditanya mengenai surga dan neraka, mereka menyatakan tidak khawatir dan tidak perduli dengan keberadaannya. Tampaknya mereka memang tidak terlalu perduli. Hampir tidak pernah didengar anak-anak ditakuti dengan ancaman neraka. Kosa kata nerakan hampir tidak pernah didengar. Artinya, surga dan neraka hampir tidak memiliki fungsi praktis dalam kehidupan keseharian.

Konsepsi tentang arwah

Orang Rimba percaya bahwa roh atau arwah nenek moyang senantiasa berada di sekitar mereka dan mengawasi segala tindak tanduk Orang Rimba yang masih hidup. Roh nenek moyang dianggap mengetahui apa yang tidak diketahui oleh Orang Rimba yang masih hidup. Mereka juga percaya bahwa roh mengalami emosi sebagaimana manusia yang masih hidup. Selain itu Orang Rimba meyakini bahwa roh masih dapat aktif berbuat sesuatu di dunia nyata dengan cara menjatuhkan kutuk.

Roh orang yang meninggal dunia akan berjalan ke hentew (suatu tempat yang dikonsepsikan sebagai alam roh dan berada di dekat dunia Tuhan). Roh orang yang belum tinggi tingkat spiritualitasnya akan tinggal di hentew. Sedangkan roh orang yang sudah tinggi tingkat spiritualitasnya juga akan pergi ke hentew namun untuk sementara. Di hentew, roh akan menanggalkan berbagai sifat keduniawian. Setelah bersih dari sifat-sifat duniawi, roh akan berjalan menuju dunia Tuhan dan menjadi malaikat. Apabila tingkat spiritulitasnya benar-benar mumpuni, setelah jadi malaikat roh bisa menjadi dewa.

Menurut Orang Rimba, roh nenek moyang bisa marah apabila Orang Rimba yang masih hidup melanggar berbagai aturan yang telah ditetapkan karena berarti tidak menghormati nenek moyang. Pelanggaran aturan meliputi melanggar pantangan, berbuat tidak sopan, dan merubah adat. Apabila roh nenek moyang marah, maka roh tersebut bisa menjatuhkan kutuk terhadap si pelanggar maupun terhadap Orang Rimba keseluruhan. Tanda bahwa Orang Rimba mendapat kutuk dari nenek moyang diantaranya adalah terkena musibah, hidup menderita, bertanam padi tidak pernah berhasil, berburu tidak dapat-dapat, menjerat tidak pernah kena, dan lainnya.
Tidak hanya marah, roh nenek moyang juga merasakan senang. Roh nenek moyang akan merasa senang apabila anak keturunannya taat pada aturan adat. Oleh karena itulah Orang Rimba akan berusaha sedapat mungkin melaksanakan aturan adat, karena selain untuk menghindari kutuk juga untuk menyenangkan roh nenek moyang. Tanda bahwa roh nenek moyang senang terhadap perilaku Orang Rimba adalah kehidupan yang aman dan tenteram, tidak ada musibah yang datang, berhasil dalam panen padi dan lainnya.

Orang Rimba memiliki upacara untuk menghadirkan roh nenek moyang. Esensinya tidak berbeda dengan berbagai upacara serupa yang dilaksanakan oleh berbagai budaya di seluruh dunia, seperti misalnya pesta aruh ganal oleh etnis Dayak di Kalimantan, atau upacara sesajen pada etnis jawa. Roh dihadirkan dalam rangka penghormatan dan atau untuk pengobatan. Upacara menghadirkan roh pada Orang Rimba disebut sale. Upacara tersebut di pimpin oleh malim, yakni pemimpin spiritual Orang Rimba.

Sale biasanya diselenggarakan ketika kelahiran bayi dan perkawinan. Tujuannya adalah menghadirkan roh nenek moyang agar memberkati. Selain itu sale juga diselenggarakan untuk menyembuhkan berbagai penyakit yang tidak dapat disembuhkan dengan obat-obatan. Upacara sale tertutup bagi orang luar. Sangat jarang ada orang luar yang diperbolehkan untuk melihat upacara sale.

Balai adalah tempat pelaksanaan sale. Balai juga tertutup bagi orang luar, setidaknya sampai selesai digunakan. Apabila balai sudah selesai digunakan barulah boleh dilihat. Oleh karena itu balai biasanya dibuat di tempat-tempat yang kecil kemungkinannya didatangi orang. Ketika saya pertama kali datang ke Kedondong Mudo, yakni suatu kawasan dimana sekelompok Orang Rimba Makekal tinggal, disana sedang ada ibu yang baru saja melahirkan dan akan diselenggarakan upacara sale. Oleh Orang Rimba saya diajak jalan agak berputar agar saya tidak melihat balai.

Menurut sebuah sumber, balai yang digunakan untuk upacara sale dalam rangka menyambut kelahiran bayi berukuran kurang lebih sekitar 3 X 5 meter. Balai dibuat oleh kerabat dekat dari yang akan diupacarakan, yakni sang bayi. Sedangkan balai untuk perkawinan ukurannya sekitar 8 X 12 meter dan dibuat secara bersama-sama oleh Orang Rimba. Balai dibuat berlantai panggung. Alasnya terdiri dari gelondongan batang kayu ukuran sedang. Dindingnya dari kulit kayu setinggi pinggang. Atapnya menggunakan daun serdang. Setiap balai hanya memiliki dua pintu keluar.

Melahirkan

Bagi masyarakat yang memiliki tingkat kematian sangat tinggi seperti halnya Orang Rimba, kelahiran bayi merupakan kejadian yang dianggap sangat penting. Bayi yang lahir merupakan pertanda bahwa kelompok mereka bisa terus berlanjut. Upacara untuk menyambut bayi pun dilakukan. Pada saat hamil delapan bulan, anggota keluarga terdekat telah menyiapkan tempat khusus untuk melahirkan, yakni tano peranakan. Tempat khusus untuk melahirkan itu terpisah jauh dari rumah. Hanya suami, dukun bayi dan anggota keluarga terdekat yang boleh datang ke sana. Pada saat menjelang upacara sale mereka juga menyiapkan balai sebagai tempat upacara. Sale diselenggarakan pada hari dimana diperkirakan bayi akan lahir. Tujuannya agar sang bayi mendapat berkah dari nenek moyang serta berumur panjang.

Proses kelahiran bayi dianggap penuh dengan bahaya. Hantu-hantu akan berusaha mengganggu bayi dan ibunya. Tidak jarang gangguan yang berat bisa membunuh ibu dan bayi. Oleh karena itu dalam proses melahirkan, sang ibu ditunggui oleh suami, mertua, orangtua, kakek nenek suami, dan kakek neneknya sendiri. Mereka berharap ibu dan bayi yang ditunggui tidak akan didekati hantu pengganggu. Dengan cemas mereka menunggu. Proses melahirkan seolah dianggap pertarungan hidup mati. Hal itu sebenarnya sangat wajar karena karena tingkat kematian ibu dan anak pada saat melahirkan sangat tinggi.

Setelah melahirkan, ubun-ubun dan tali pusat bayi yang baru lahir diolesi kulit pohon tenggeris. Kulit kayu yang hendak dioleskan itu terlebih dahulu dikerok dengan parang dengan aturan dari atas kebawah. Setelah itu kulit kayu dikeringkan dan siap digunakan. Dalam waktu tujuh hari, tali pusat akan tanggal dan kering. Dalam waktu tujuh hari pula ubun-ubun akan mengeras. Ari-ari bayi (bali anak) yang keluar ditanam di tanah. Disekitarnya diletakkan tiga ranting pohon setubung bercabang tiga. Ari-ari bayi diperlakukan sama seperti anak. Pekuburannya tidak boleh dilewati oleh siapapun dan juga tidak boleh dijadikan ladang.

Sakit dan Kematian

Angka kematian dikalangan Orang Rimba sangat tinggi. Tidak ada keluarga yang tidak memiliki riwayat kematian diantara anggota keluarganya. Umur harapan hidup mereka sangat rendah. Mereka yang berumur 40-an sudah dianggap tua. Secara fisik pun mereka memang cepat tua. Jarang ada yang berumur diatas 50-an, apalagi sampai berumur 70-an. Hal itu mungkin disebabkan oleh rendahnya derajat kesehatan dan kerasnya alam tempat hidup Orang Rimba.

Banyak kematian disebabkan oleh penyakit. Pada tahun 1800-an eksistensi Orang Rimba hampir punah karena serangan penyakit cacar yang mereka peroleh dari interaksi dengan orang luar. Oleh sebab itulah sampai sekarang mereka sangat ketakutan terhadap penyakit cacar. Ketakutan itu seolah mengendap ke bawah sadar. Pengaruhnya sampai merubah dimensi kepercayaan mereka. Dewa-dewi yang tinggal di hilir sungai mendapat predikat bukan Dewa-Dewi yang baik karena penyakit cacar datangnya dari arah hilir sungai, yakni dari daerah orang Melayu. Ditambah lagi dengan keberadaan para penangkap budak yang juga datang dari hilir, makin lengkaplah predikat itu. Hal ini menggambarkan dengan jelas kepada kita bahwasanya Orang Rimba secara terus menerus merubah konsep kepercayaannya agar tetap sesuai.

Dalam kepercayaan Orang Rimba, sebagian penyakit disebabkan oleh gangguan setan dan hantu. Setidaknya ada tiga penyakit yang dianggap perbuatan setan dan hantu, yakni flu, malaria, dan campak. Oleh karena itu mengobati penyakit yang disebabkan oleh setan dan hantu adalah dengan mengusir setan dan hantu tersebut. Pengusiran hantu dilakukan oleh malim. Selain itu penyakit juga bisa disebabkan karena jatuhnya kutuk atas diri si sakit atas perbuatan melanggar adat dan tabu yang dilakukannya.

Apabila terdapat penyakit yang menimpa beberapa orang sekaligus dan tidak dapat disembuhkan dengan obat-obatan tradisional mereka, maka malim, yakni pemimpin spiritual mereka diundang untuk melakukan upacara sale pengobatan. Upacara sale dilangsungkan sepanjang malam. Malim akan membuat ramuan-ramuan yang akan digunakan oleh semua yang sakit. Malim bertindak sebagai pemimpin upacara dan menyanyikan mantera-mantera panjang yang diucapkan tidak jelas. Keluarga si sakit mengikuti proses upacara dari rumah dengan membunyikan berbagai bunyi-bunyian agar setan dan hantu pergi.

Upacara pengobatan penyakit oleh Malim memiliki dimensi serupa dengan yang dilaporkan oleh antropolog Claude Levi Strauss tentang pengobatan oleh dukun. Kepercayaan seluruh masyarakat dan si sakit terhadap dukun menimbulkan suatu reaksi fisiologis sedemikian rupa sehingga si sakit akan sangat tergantung kondisi fisiologisnya terhadap sang dukun. Jika dukun mengatakan sembuh, maka seluruh fisiologis tubuh mengikutinya sehingga si sakit sembuh. Sebaliknya jika dukun mengatakan mati, maka fisiologis tubuh mematuhinya, dimana jantung dan aliran darah secara perlahan akan berhenti.

Ada kepercayaan dikalangan Orang Rimba bahwasanya pengobatan ala Orang Rimba tidak boleh bercampur dengan pengobatan ala orang luar. Bila sudah diobati menurut cara Orang Rimba maka tidak boleh lagi diobati menurut cara orang luar. Demikian juga sebaliknya. Apabila sudah diobati mengikuti cara oarang luar maka tidak boleh lagi diobati menurut cara Orang Rimba. Sediah, salah seorang anak Rimba menceritakan alasannya. Apabila kedua macam pengobatan dilakukan untuk satu jenis penyakit pada satu orang maka pengaruh pengobatan satu sama lainnya akan saling meniadakan. Pengobatan akan sia-sia karena pengobatan tidak akan bekerja, alias menjadi netral. Menurutnya, obat yang dimasukkan ke dalam tubuh hanyalah sarana untuk menyembuhkan tetapi yang menjadikan sembuh atau tidak adalah doa-doa yang menyertai obat tersebut. Pengobatan ala Orang Rimba tentu memakai doa-doa terhadap Dewa-Dewa, sedangkan pengobatan oleh orang luar memakai doa-doa kepada Tuhannya sendiri. Karena Doa yang dipanjatkan untuk Tuhan yang berbeda maka doa tidak akan membawa pebngaruh apa-apa. Artinya pengobatan tidak akan berhasil.

Selain oleh penyakit, kematian banyak disebabkan kecelakaan. Bahkan menurut seorang penduduk yang mengenal hampir seluruh Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas, sebagian besar kematian laki-laki Orang Rimba disebabkan oleh faktor kecelakaan. Mereka meninggal karena tertimpa kayu, jatuh dari pohon, diserang binatang buas dan lainnya. Meskipun demikian penyakit usia tua tampaknya juga menunjang. Seseorang yang koordinasi geraknya sudah tidak bagus lagi namun tetap memaksakan diri naik pohon tentu saja berpeluang sangat besar untuk jatuh.

Jasad orang yang meninggal tidak dikubur. Biasanya jenazah hanya ditinggalkan saja didalam sebuah pondok yang memang dibuat khusus untuk menempatkan jenazah. Pondok jenazah itu disebut pusaron. Lantainya dibuat setinggi leher. Pusaron dibuat khusus ditempat dimana tidak ada orang yang datang. Disana sang jenasah dibiarkan membusuk. “Dari alam maka kembali ke alam”, demikian ungkap Orang Rimba.

Didalam pondok biasanya diletakkan makanan, kain, dan parang. Diluar pondok, anjing orang yang meninggal diikat. Mereka berharap kalau orang yang telah meninggal hidup kembali maka bisa memakan makanan yang disediakan, kain yang ada dipakai dan parang dibawa. Anjing yang diikat diluar akan menuntun orang tersebut kembali ke kelompoknya.

Besesandingon

Besesandingon adalah perpindahan tempat tinggal Orang Rimba dikarenakan adanya penyakit menular di tempat tinggal asal. Apabila mereka tidak pergi mereka khawatir akan tertular. Akan tetapi apabila pergi mereka harus meninggalkan yang sakit, yang artinya sama saja dengan membunuh si sakit. Namun pertimbangan kelanjutan kelompok tetap diutamakan. Mereka memilih untuk meninggalkan tempat terjadinya wabah.

Ada sebuah cerita memilukan mengenai besesandingon. Pada suatu masa pernah terjadi wabah penyakit campak. Beberapa orang telah terkena. Menurut ingatan mereka, penyakit campak adalah penyakit yang bisa membunuh oleh karena itu mereka tidak ingin yang sehat terkena dan meninggal. Kematian satu orang sangat mahal harganya bagi kelompok Orang Rimba yang berjumlah sedikit. Mereka yang belum terkena tidak mau mendekati yang terkena. Akibatnya yang sakit terisolasi dari kelompoknya. Ketika akhirnya diputuskan untuk besesandingon agar penyakit campak tidak menyebar dan menyebabkan kematian massal, mereka bertangis-tangisan dari jarak jauh. Namun akhirnya si sakit ditinggalkan meski meraung-raung meratap meminta jangan ditinggalkan.

Sebuah sumber mengatakan bahwa pada saat pergi besesandingon, mereka akan pergi sambil merangkak, lalu naik ke atas pohon, turun dan merangkak lagi sampai jarak tertentu. Kemudian mereka naik pohon lagi, turun dan merangkak lagi sampai merasa bahwa dirinya aman. Cara seperti itu dimaksudkan agar penyakit tidak dapat mengikuti kepergian mereka sehingga ditempat baru mereka akan bebas dari penyakit.

Melangun

Apabila ada Orang Rimba meninggal, maka kawasan tempat meninggalnya dianggap tidak baik lagi untuk ditinggali karena akan membawa sial. Oleh sebab itu mereka berpindah tempat mencari tempat baru. Perpindahan itu dikenal dengan istilah melangun, suatu tradisi berpindah yang boleh jadi sebagai tradisi Orang Rimba yang paling khas. Biasanya mereka berpindah cukup jauh dari tempat semula. Jaraknya bisa sehari perjalanan.

Melangun merupakan tradisi yang paling banyak dikenal oleh masyarakat luas. Tradisi itulah yang menyebabkan Orang Rimba mendapat sebutan nomaden atau kelompok yang berpindah-pindah. Namun sebenarnya mereka bukanlah kelompok nomaden. Mereka pada dasarnya tinggal menetap. Mereka berpindah hanya apabila ada kematian salah satu anggota kelompok. Jadi bukan atas alasan mencari daerah baru yang lebih banyak binatang buruan sebagaimana anggapan banyak orang. Namun melangun memang sering mereka lakukan karena tingkat kematian yang sangat tinggi. Mereka melangun sebanyak terjadinya kematian di dalam kelompok. Orang yang telah berumur tua sangat mungkin telah mengalami melangun puluhan kali dalam hidupnya.

Perjalanan melangun persis seperti acara pindah rumah. Mereka membawa seluruh harta benda dan peralatan yang mereka miliki. Alat-alat dapur, kain, berbagai senjata tajam dan lainnya mereka bawa semua. Cukup sekali perjalanan semua barang-barang sudah bisa terangkut. Hal itu tidak mengherankan karena memang harta benda yang dimiliki tidak banyak. Paling-paling hanya kain saja yang dianggap sebagai harta berharga. Harta selebihnya merupakan perlengkapan standar mereka seperti periuk, tombak, parang, dan kecepek. Mereka tidak mengembangkan budaya materil karena tidak sesuai dengan kepercayaan mereka yang menghendaki mobilitas yang tinggi. Semua barang-barang dibuat atau disimpan karena berguna praktis. Kain sebagai harta yang paling berharga dan harus diperoleh dari luar berguna untuk dipakai, membayar denda dan untuk melamar.

Orang Rimba beranggapan bahwasanya kawasan tempat tinggal terdahulu yang ditinggalkan karena adanya kematian akan kembali netral setelah beberapa waktu. Kesialan tempat itu akan menghilang seiring waktu. Oleh karena itu mereka bisa kembali. Pada masa lalu lamanya melangun paling sedikit enam tahun, kemudian berubah menjadi dua tahun, lalu berubah lagi menjadi sekitar setahun.. Setelah itu mereka berkemungkinan kembali lagi ke tempat yang ditinggalkan. Kalaupun tidak persis ditempat yang dulu, biasanya tidak jauh dari sana.

Saat ini bagi sebagian Orang Rimba, melangun sepertinya hanya sebuah pengungsian sementara sampai kesialan tempat tinggal dahulu dianggap menghilang. Orang Rimba hampir selalu kembali lagi ke tempat tinggal semula. Hal itu dikarenakan mulai menguatnya budaya berladang. Mereka sayang meninggalkan tanaman-tanaman di ladang yang telah dapat menunjang kehidupan mereka lebih baik. Kini lamanya mereka melangun jauh lebih singkat. Hanya dalam hitungan bulan biasanya sudah kembali. Apalagi apabila ladang-ladang itu telah ditanami karet, mereka pasti akan kembali lagi.

Pada bulan Maret ada seorang perempuan yang meninggal pada saat melahirkan dalam kelompok Orang Rimba Makekal Hulu yang bertempat tinggal di kawasan Kedondoing Mudo. Bayinya selamat dan diasuh oleh salah seorang keluarga. Kebetulan perempuan yang meninggal tersebut adalah adik Temenggung, yaitu sang pemimpin kelompok. Maka sesuai tradisi. mereka yang tinggal di Kedondong Mudo pun melangun. Tempat mereka yang baru berjarak cukup jauh. Dari tempat lama ke tempat yang baru mereka harus bermalam di jalan.

Menurut salah seorang Orang Rimba yang tidak ikut melangun karena tidak tinggal di Kedondong Mudo, mereka yang pergi melangun paling kurang satu tahun baru kembali. Namun menurut Orang Rimba yang tinggal di Siamang Mati, mereka yang melangun akan kembali lagi tidak lebih dari sebulan. Informasi terakhir lebih saya percayai karena banyak harta benda yang tidak dibawa. Banyak kain yang ditinggalkan, padahal kain merupakan harta paling berharga milik Orang Rimba. Lalu ada seorang pasangan pengantin baru yang ditugaskan untuk menjaga ladang-ladang yang ditinggalkan. Itu artinya mereka memang tidak berniat untuk pergi lama. Namun tampaknya mereka tidak akan kembali kurang dari satu bulan.

Perubahan lamanya melangun merupakan gambaran jelas bahwa tradisi Orang Rimba perlahan mulai berubah. Desakan ekonomi memaksa mereka untuk lebih fleksibel dalam mempertahankan adat. Saat ini berpindah ke tempat baru secara mendadak hanya akan menyebabkan turunnya kesejahteraan karena tidak ada jaminan pasti bakal adanya sumber makanan yang memadai. Makanan pokok seperti halnya umbi-umbian sulit diperoleh dalam keadaan melimpah di hutan. Binatang buruan tidak banyak. Hanya babi yang berjumlah banyak tapi itupun dikawasan yang dekat pinggiran hutan. Sementara itu bila mereka tetap tinggal di ladang-ladang, maka setidaknya makanan pokok terjamin. Itulah mengapa mereka memilih untuk tidak lama-lama pergi melangun. Kalaupun mereka berpindah maka dilakukan secara bertahap sembari menyiapkan ladang baru.

Perubahan sikap terhadap tradisi melangun tergambar sangat jelas pada sosok Srine, salah seorang Orang Rimba yang tinggal di Siamang Mati. Ia menceritakan bahwa dirinya masih tetap akan melangun kalau ada yang meninggal. Akan tetapi tidak akan lama. Ia pernah melangun hanya selama 2 bulan ketika anaknya meninggal. Tapi kemudian cepat kembali lagi karena khawatir tanah yang diklaim miliknya akan diambil orang. Bahkan Laman, kakak Srine yang juga tinggal di Siamang Mati menurut cerita tidak akan pernah mau melangun lagi. Siapapun yang mati, dia tidak berkeinginan pergi melangun.

Tabu-Tabu

Masyarakat tradisional sebagaimana Orang Rimba mempertahankan keteraturan sosial dan adat melalui berbagai tabu atau pantangan. Pelanggaran terhadap tabu-tabu itu akan dikenakan denda. Fungsi denda adalah semacam penghukum (punishment) bagi perilaku yang salah. Siapapun yang berrtindak melanggar adat maka hukumannya sudah jelas dan tinggal ditetapkan. Pelaksanaan pemberian hukuman yang sangat ketat menjamin adat tetap terus dipertahankan oleh anggota kelompok. Itulah kunci mengapa adat dan tradisi Orang Rimba bisa tetap tidak berubah setelah ratusan tahun.

Menurut Orang Rimba, tabu atau pantangan telah ditetapkan oleh nenek moyang mereka sejak mereka ada. Oleh karena itu tidak ada yang berhak mengubahnya. Tabu-tabu itu telah dijalankan oleh nenek moyang mereka dan sudah seharusnya dijalankan dengan baik oleh mereka. Adanya tabu-tabu merupakan wujud dari kebijaksanaan nenek moyang dalam menjaga adat. Adapun denda sebagai alat penghukum bagi yang melanggar ditetapkan dalam musyawarah adat. Namun biasanya sudah ada ketentuan baku mengenai jumlah denda yang harus dibayarkan apabila terjadi pelanggaran.

Tabu-tabu yang ada bisa digolongkan ke dalam beberapa kategori, yaitu tabu-tabu mengenai makanan, tabu-tabu mengenai hubungan dengan sesama manusia, tabu-tabu mengenai hubungan antara manusia dan alam, dan tabu-tabu mengenai hubungan antara manusia dan alam supranatural. Empat kategori itu menunjukkan bahwa Orang Rimba telah mengatur seluruh kehidupannya agar sesuai dengan kepercayaan mereka. Semuanya sudah diatur dan memiliki hukum yang bersifat tetap. Perubahan telah diantisipasi dengan penerapan tabu-tabu yang beraneka ragam.

Salah satu tabu yang menarik adalah tabu untuk menceritakan mengenai kepercayaan mereka. Artinya sesungguhnya mereka dilarang untuk menceritakan kepada orang asing mengenai kepercayaan mereka. Hal inlah mungkin yang menyebabkan Orang Rimba sulit untuk berbicara mengenai kepercayaan mereka. Alasan dibalik tabu ini misterius. Namun mungkin disebabkan karena rendah diri dengan kepercayaan milik mereka sendiri sehingga mereka enggan menceritakan pada orang asing. Untuk itu mereka berlindung pada topeng tabu.

Tabu lain yang sangat menarik adalah tabu untuk membunuh binatang yang sedang minum di sungai atau telaga. Padahal binatang sangat mudah dibunuh ketika dalam posisi minum. Mereka lengah sehingga sangat mudah ditombak maupun ditembak. Salah seorang Orang Rimba menceritakan alasan dibalik tabu itu. Menurutnya binatang yang sedang minum berarti sedang berada di rumah Dewa, yakni pemilik dari binatang tersebut. Oleh karenanya binatang tidak boleh diganggu. Apabila nekat mengganggu maka Dewa akan menjatuhkan kutuk.

Bediom

Budaya Orang Rimba ternyata menyediakan mekanisme bagi siapa saja Orang Rimba yang ingin meninggalkan kehidupan hutan. Mereka yang ingin keluar dari hutan dan menetap secara tetap diluar hutan dan berkampung seperti penduduk desa tidak mendapat halangan. Istilah untuk hal itu adalah bediom. Dalam budaya Orang Rimba terjadi semacam ketentuan bahwa adat dan tradisi mereka hanya berlaku di dalam rimba. Ketika keluar dari rimba maka yang berlaku dan harus diikuti adalah adat dan tradisi orang Melayu. Adat dan tradisi rimba tidak boleh lagi digunakan dilua rimba. Oleh karena itu syarat bediom adalah meninggalkan hal-hal terkait dengan kehidupan di dalam rimba dan mengadopsi seluruh tatacara berkampung. Mereka mesti merubah kepercayaan dari kepercayaan yang memuja banyak Dewa kepada kepercayaan monotheis. Mereka juga sudah diperbolehkan memakan makanan yang semula diharamkan yakni daging serta segala produk sampingan dari binatang ternak yang dipelihara orang Melayu. Sebaliknya daging babi dan binatang lain yang diharamkan tidak boleh lagi mereka makan. Dari sisi hukum mereka juga telah dikenai hukum formal kenegaraan, tidak lagi memakai hukum adat.

Budaya rimba ternyata juga menyediakan mekanisme bagi Orang Rimba yang telah bediom untuk kembali lagi ke kehidupan rimba. Karena ternyata tidak semua yang bediom mampu beradaptasi dengan kehidupan ala berkampung. Namun sebelum diijinkan Temenggung kembali ke kelompok di rimba, mereka harus melakukan ritus persiapan masuk rimba. Salah satunya adalah selama 3 bulan mereka tidak boleh lagi makan-makanan yang ditabukan.

Binatang dalam kepercayaan Orang Rimba

Menurut kepercayaan Orang Rimba, binatang (natong dalam bahasa Orang Rimba) ada di dunia tidak dengan sendirinya. Binatang juga diciptakan oleh Tuhan. Penciptaan binatang bersamaan dengan penciptaan manusia. Sesuai dengan dunia batin Orang Rimba yang selalu menggolong-golongkan sesuatu ke dalam dua hal secara bertentangan. Binatang ada yang baik dan ada yang jahat. Binatang yang baik diciptakan bersama manusia di surga. Perannya adalah untuk menemani manusia. Oleh karena itu binatang yang baik tidak akan mengganggu manusia. Pun manusia dilarang keras mengganggunya. Binatang baik menurut Orang Rimba diantaranya adalah merego (harimau) dan kera. Ada satu lagi binatang yang pantang diganggu, yakni burung gading. Oleh Orang Rimba, burung gading dianggap sebagai burung suci karena merupakan penjelmaan Dewa. Apabila burung gading bersuara maka itu dianggap sebagai suara dewa. Oleh karena itu Orang Rimba akan berdoa.

Merego adalah binatang yang pantang dibunuh dan sebaliknya menurut kepercayaan Orang Rimba, merego juga berpantang membunuh Orang Rimba. Sampai saat ini belum pernah ada Orang Rimba menjadi korban merego meskipun mereka hidup bersama di dalam hutan. Menurut cerita yang disampaikan oleh Orang Rimba, ada sejarahnya mengapa terjadi saling pantang itu. Diceritakan pada zaman dulu merego mengamuk dan membunuh Orang Rimba. Korban yang terbunuh mencapai ratusan orang dalam sehari. Akhirnya sang merego ditangkap oleh Orang Rimba. Namun karena merego adalah binatang dari surga, maka merego tidak dibunuh tetapi diajak untuk membuat perjanjian. Isinya adalah bahwa merego tidak akan membunuh Orang Rimba. Kalau sampai terjadi pantangan itu dilanggar, maka satu Orang Rimba yang terbunuh harus dibayar satu nyawa merego. Kalau dua yang terbunuh, maka harus pula dibayar dua nyawa merego. Perjanjian itu berlaku sebaliknya. Apabila ada Orang Rimba membunuh merego maka Orang Rimba juga harus dibunuh satu, yakni sang pembunuh. Artinya diantara Orang Rimba dan merego berlaku hukum satu berbanding satu, “membunuh maka dibunuh”

Binatang yang jahat adalah binatang yang mengganggu. Binatang jahat diciptakan di neraka. Oleh sebab itulah binatang jahat boleh dibunuh, terutama bila mengganggu Orang Rimba. Yang termasuk binatang jahat diantaranya adalah beruang, babi, ular, tikus dan kaki seribu (lipan). Beruang adalah binatang yang sangat ditakuti oleh Orang Rimba. Bahkan ketika Orang Rimba ditanya apa yang paling membuat takut, hampir semuanya menjawab beruang.