Jumat, 04 Januari 2013

Permasalahan Rumah Tangga, Sebuah Kemestian

  
  
  
Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah
               Majalah                    , Vol. II/No. 15/1426 H/2005, Rubrik Mengayuh Biduk, Hal. 60-65. 


Beragam persoalan, dari yang ringan hingga yang sifatnya berat, akan selalu mendera setiap rumah tangga. Keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, manusia termulia di muka bumi, juga tak luput dari terpaan ‘badai’ yang menggoncang rumah tangganya. Di sini, jelas dibutuhkan ilmu dalam memecahkan setiap persoalan agar tidak berkembang menjadi prahara yang mengancam keutuhan rumah tangga. 

Sedikit sekali rumah tangga yang selamat dari lilitan perselisihan di antara anggotanya, khususnya di antara suami istri. Karena yang namanya berumah tangga, membangun hidup berkeluarga, dalam perjalanannya pasti akan menjumpai berbagai permasalahan, kecil ataupun besar, sedikit ataupun banyak. Permasalahan yang muncul ini dapat memicu perselisihan dalam rumah tangga yang bisa jadi berujung dengan pertengkaran, kemarahan dan keributan yang tiada bertepi, atau berakhir dengan damai, saling mengerti dan saling memaafkan.

Sampai pun rumah tangga orang-orang yang memiliki keutamaan dalam agama ini, juga tidak lepas dari masalah, perselisihan, pertengkaran, dan kemarahan. Namun berbeda dengan orang-orang yang tidak mengerti agama, orang yang memiliki keutamaan dalam agama tidak membiarkan setan menyetir hingga menjerumuskannya kepada apa yang disenangi oleh setan. Bahkan mereka berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari makar setan, berusaha memperbaiki perkara mereka, menyatukan kembali kebersamaan mereka dan menyelesaikan perselisihan di antara mereka.

Rumah tangga yang mulia lagi penuh barakah, yang dibangun oleh seorang hamba termulia, kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala, Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, juga tak lepas dari kerikil-kerikil yang menyandung perjalanannya, sampai beliau pernah bersumpah untuk tidak mendatangi istri-istri beliau selama sebulan karena marah kepada mereka. Berikut ini petikan kisahnya:

Abdullah bin ‘Abbas Radhiallahu ‘anhuma bertutur: “Aku sangat ingin bertanya kepada ‘Umar ibnul Khaththab tentang siapa yang dimaksud dua wanita dari kalangan istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang Allah Subhanahu wa Ta’ala nyatakan dalam firman-Nya:
“Jika kalian berdua bertaubat kepada Allah, maka sungguh hati kalian berdua telah condong untuk menerima kebenaran. Dan jika kalian berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan begitu pula Jibril dan orang-orang mukmin yang baik. Dan selain dari itu, malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.” (At-Tahrim: 4)

Namun aku tidak sanggup melontarkan pertanyaan karena segan terhadapnya hingga akhirnya ‘Umar berhaji dan aku pun berhaji bersamanya. Dalam perjalanan, ‘Umar berbelok menuju suatu tempat untuk buang hajat. Aku pun mengikutinya dengan membawakan bejana kecil dari kulit yang berisi air. Seusai buang hajat, aku menuangkan air di atas dua telapak tangannya, lalu ia pun berwudhu. Kemudian aku berjalan bersamanya dan kesempatan itu kugunakan untuk bertanya: “Wahai Amirul Mukminin, siapakah dua wanita dari istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang Allah Subhanahu wa Ta’ala nyatakan dalam firman-Nya:

“Jika kalian berdua bertaubat kepada Allah, maka sungguh hati kalian berdua telah condong untuk menerima kebenaran.” (At-Tahrim: 4)

“Alangkah anehnya engkau ini, wahai Ibnu ‘Abbas!1 Keduanya adalah ‘Aisyah dan Hafshah,” jawab ‘Umar.

Ibnu ‘Abbas berkata: “Demi Allah, sejak setahun lalu aku ingin bertanya kepadamu tentang hal ini namun aku tidak sanggup menanyakannya karena segan terhadapmu.”

“Jangan berbuat demikian. Apa yang engkau yakini aku memiliki ilmu tentangnya maka tanyakanlah. Bila memang aku mengetahuinya, aku akan beritakan kepadamu,” kata ‘Umar.

‘Umar pun menceritakan kejadian yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut. “Aku dan tetanggaku dari kalangan Anshar berada di tempat Bani Umayyah bin Zaid, mereka termasuk penduduk daerah yang dekat dengan kota Madinah. Kami bergantian menghadiri majelis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, sehari giliranku, hari berikut gilirannya. Bila tiba giliranku, akupun mendatangi tetanggaku tersebut untuk menceritakan berita yang kudapat pada hari itu berupa wahyu atau yang lainnya. Bila tiba gilirannya, ia pun melakukan hal yang sama. Dan kami orang-orang Quraisy menguasai istri-istri kami dan dahulu kami tidak pernah menyertakan mereka dalam urusan kami. Ketika kami datang (ke Madinah) dan tinggal di kalangan orang-orang Anshar, kami dapatkan mereka itu dikalahkan istri-istri mereka. Maka mulailah istri-istri kami mengambil adab wanita-wanita Anshar. Suatu hari aku menghardik istriku dan bersuara keras padanya, ia pun menjawab dan mendebatku. Ia juga ikut-ikutan dalam urusanku dengan mengatakan: “Seandainya engkau melakukan ini dan itu.” Maka aku mengingkari perbuatannya yang demikian.
1 ‘Umar heran dengan Ibnu ‘Abbas, kenapa hal yang ditanyakannya itu belum diketahuinya, padahal ia begitu terkenal dengan pengetahuannya dalam tafsir dan terdepan dalam ilmu dibanding yang lainnya. Atau ‘Umar heran dengan semangat Ibnu ‘Abbas untuk mengetahui cabang-cabang ilmu tafsir sampaipun pengetahuan tentang mubham (Fathul Bari, 9/338). Pengertian mubham sendiri adalah orang yang tidak disebutkan namanya.
2 Kamar yang tinggi
3 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari istrinya suatu peristiwa. Maka ketika istrinya itu mengabarkan rahasia tersebut (kepada istri yang lain)….” (At-Tahrim: 3)
Mayoritas ahli tafsir berkata bahwa istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang dimaksud dalam ayat adalah Hafshah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah menyampaikan satu rahasia kepadanya dan memintanya agar tidak memberitahukan kepada seorang pun. Ternyata Hafshah menceritakan rahasia tersebut kepada Aisyah Radhiallahu ‘anha. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 873)
4 Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela Khalil-Nya yang mulia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika beliau mengharamkan dirinya untuk menyentuh budak wanitanya bernama Mariyah atau ketika beliau mengharamkan dirinya minum madu, karena memperhatikan perasaan sebagian istrinya, sebagaimana kisahnya ma’ruf (dalam kitab-kitab tafsir dan selainnya, pen). Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat-Nya:

“Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang Allah halalkan bagiku karena engkau ingin mencari keridhaan istri-istrimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sungguh Allah telah mewajibkan kalian untuk membebaskan diri dari sumpah kalian….” (At-Tahrim: 1)
5 Yaitu ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala:
 “Jika Nabi menceraikan kalian, mudah-mudahan Rabbnya akan menggantikan untuknya istri-istri yang lebih baik daripada kalian… (At-Tahrim: 5)
Yakni janganlah kalian mengangkat diri kalian di hadapan beliau, karena jika beliau menceraikan kalian tidaklah berat/ sempit perkaranya bagi beliau dan tidaklah beliau dipaksa untuk terus bersama kalian. Bahkan beliau akan dapatkan pengganti kalian dan Allah Subhanahu wa Ta’ala  akan memberikan kepada beliau istri-istri yang lebih baik daripada kalian, baik dalam hal agama maupun dalam keelokan paras. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 873)
6 Sebagaimana diberitakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam peristiwa perang Khaibar:  
“Aku sungguh akan memberikan bendera ini besok kepada seseorang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya -atau beliau mengatakan: dia mencintai Allah dan Rasul-Nya-. Allah akan membukakan kemenangan melalui kedua tangannya…..” (HR. Al-Bukhari no. 3702 dan Muslim no. 2407). Dalam riwayat Muslim (no. 2404) disebutkan: …seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya….” Dan ternyata keesokan harinya Ali-lah yang diserahi bendera tersebut.
7 Yang akhirnya berujung dengan kekecewaan
8 Al-Imam Al-Bukhari Rahimahullah membuat satu bab dalam kitab Shahih-nya dengan judul: Isti‘dzanul Mar‘atu Zaujaha fil Khuruj ilal Masjid wa Ghairi (Permintaan izin istri kepada suaminya untuk keluar menuju masjid atau yang selainnya). Kemudian beliau Rahimahullah membawakan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

“Apabila istri minta izin kepada salah seorang dari kalian untuk keluar menuju masjid, maka janganlah ia mencegahnya.” (Hadits no. 5238)
9 Lihat pembahasan nusyuz dalam Syariah Vol. I/No. 04/Juli 2003/Jumadil Ula 1424 H, hal. 58-60
10 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berpesan:

“Bertakwalah engkau kepada Allah di mana pun engkau berada.” (HR. At-Tirmidzi, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani Rahimahullah dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, 2/1618, dan Al-Misykat no. 5083)

“Mengapa engkau mengingkari apa yang kulakukan, sementara demi Allah, istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sendiri mendebat beliau, sampai-sampai salah seorang dari mereka memboikot beliau dari siang sampai malam,” kata istriku.

Berita itu mengejutkan aku, “Sungguh merugi orang yang melakukan hal itu dari kalangan mereka,” kataku kepada istriku. Lalu kukenakan pakaian lengkapku dan turun menemui Hafshah, putriku.

“Wahai Hafshah, apakah benar salah seorang kalian ada yang marah kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dari siang sampai malam?” tanyaku.

“Iya,” jawab Hafshah.

“Sungguh merugi yang melakukan hal itu,” tanggapku, “Apakah kalian merasa aman dari kemurkaan Allah karena kemarahan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, hingga engkau pun binasa? Jangan engkau banyak menuntut kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, jangan engkau mendebat beliau dalam sesuatu pun dan jangan memboikotnya. Minta saja kepadaku apa yang ingin kamu minta dan jangan menipumu dengan keberadaan madumu yang lebih cantik darimu dan lebih dicintai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.” Yang dimaksud adalah ‘Aisyah.

‘Umar melanjutkan ceritanya: “Telah menjadi perbincangan di antara kami bahwa Ghassan memakaikan ladam pada kuda-kudanya sebagai persiapan untuk memerangi kami. Suatu ketika turunlah temanku Al-Anshari itu pada hari gilirannya menuju ke majelis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Di waktu Isya ia kembali kepada kami lalu mengetuk pintuku dengan keras seraya berkata: “Apakah ‘Umar ada di dalam?” Aku terhentak dan bergegas keluar menemuinya.

“Hari ini sungguh telah terjadi perkara yang besar,” katanya.

“Apa itu? Apakah Ghassan telah datang?” tanyaku.

“Bukan, bahkan lebih besar dan lebih menghebohkan daripada itu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah menceraikan istri-istrinya,” katanya.

“Betapa meruginya diri Hafshah, sungguh sebelumnya aku telah menduga hal ini akan terjadi,” kataku.

Aku pun mengenakan pakaian lengkapku. Pagi harinya aku menunaikan shalat subuh bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Setelahnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam masuk ke masyrubah2 beliau dan menyendiri di dalamnya. Aku masuk ke rumah Hafshah, ternyata ia sedang menangis, “Apa yang membuatmu menangis?” tanyaku. “Bukankah aku telah memperingatkanmu akan hal ini, apakah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah menceraikan kalian?”

“Aku tidak tahu, di sana, di masyrubah beliau memisahkan diri dari kami,” jawab Hafshah.

Aku keluar dari rumah Hafshah dan mendatangi mimbar masjid, ternyata di sana ada sekumpulan orang, sebagian mereka sedang menangis. Sejenak aku duduk bersama mereka, kemudian perasaan hatiku menguasaiku hingga aku bangkit dari tempat tersebut menuju masyrubah yang di dalamnya ada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Aku berkata kepada Rabah budak hitam milik Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Minta izinkan ‘Umar untuk masuk menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.” Maka masuklah Rabah lalu berbicara kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, kemudian ia kembali menemuiku seraya berkata: “Aku telah berbicara kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan menyebutkan permintaanmu namun beliau hanya diam.”

Aku pun berlalu dari tempat tersebut hingga akhirnya aku duduk bersama sekumpulan orang yang ada di sisi mimbar, namun kemudian perasaan hatiku menguasaiku hingga aku kembali menuju ke masyrubah tersebut dan kukatakan kepada Rabah, “Mintakan izin bagi ‘Umar untuk masuk.”

Rabah pun masuk lalu kembali menemuiku seraya berkata: “Aku telah menyampaikan permintaanmu namun beliau tetap diam.”

Aku kembali lagi duduk bersama sekumpulan orang di sisi mimbar, namun sekali lagi perasaan hatiku mengalahkanku, hingga aku mendatangi Rabah dan berkata: “Mintakan izin bagi ‘Umar untuk masuk.”

Rabah pun masuk ke dalam masyrubah, kemudian keluar lagi seraya berkata: “Aku telah sebutkan permintaanmu namun beliau diam saja.”

Maka ketika aku berbalik untuk berlalu dari tempat itu, budak tersebut memanggilku, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengizinkanmu,” katanya.

Aku masuk menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, ternyata aku dapati beliau tengah berbaring di atas tikar tipis tanpa dialasi kasur sehingga tampak bekas-bekas kerikil di rusuk beliau, dalam keadaan beliau bertelekan di atas bantal dari kulit yang telah disamak, yang diisi dengan sabut. Aku ucapkan salam kepada beliau, kemudian aku berkata dalam keadaan tetap berdiri; “Wahai Rasulullah, apakah engkau telah menceraikan istri-istrimu?” 

Beliau mengangkat pandangannya ke arahku, “Tidak,” jawab beliau

“Allahu Akbar,” seruku.

Kemudian aku berkata untuk menyenangkan hati beliau dalam keadaan aku tetap berdiri, “Wahai Rasulullah, kita dulunya orang-orang Quraisy mengalahkan dan menguasai istri-istri kita. Ketika kita datang ke Madinah ternyata orang-orangnya dikalahkan oleh istri-istri mereka.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tersenyum mendengar penuturanku.

“Wahai Rasulullah, seandainya engkau melihatku masuk menemui Hafshah, kukatakan kepadanya: “Jangan menipumu dengan keberadaan madumu yang lebih cantik darimu dan lebih dicintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam -yakni ‘Aisyah,” lanjutku. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tersenyum lagi. Maka ketika melihat beliau telah tersenyum, aku pun duduk. Aku memandang isi masyrubah beliau, maka demi Allah tidak ada sesuatu pun di tempat itu kecuali tiga kulit yang belum disamak.

“Wahai Rasulullah, mohon berdoalah engkau kepada Allah agar memberikan keluasan dan kelapangan bagi umatmu, karena Persia dan Romawi telah dilapangkan dunia mereka dan mereka diberi kenikmatan dunia padahal mereka tidak beribadah kepada Allah,” kataku.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam duduk setelah sebelumnya beliau bertelekan di atas bantal seraya berkata: “Apakah engkau ragu, wahai Ibnul Khaththab, bahwa kelapangan di akhirat lebih baik daripada kelapangan di dunia? Mereka itu adalah orang-orang yang disegerakan kebaikan/ kesenangan mereka dalam kehidupan dunia ini.” 

“Wahai Rasulullah, mintakanlah ampun untukku,” kataku.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memisahkan diri dari istri-istri beliau selama 29 malam dikarenakan rahasia beliau yang disebarkan oleh Hafshah kepada ‘Aisyah3, beliau menyatakan: “Aku tidak akan masuk menemui mereka selama sebulan.” Beliau sangat marah terhadap mereka karena merekalah yang menyebabkan Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela beliau.4
‘Umar berkata: “Wahai Rasulullah, apa yang menyusahkanmu dari perkara wanita? Bila engkau menceraikan mereka, maka sungguh Allah bersamamu, para malaikatnya, Jibril dan Mikail. Aku, Abu Bakar dan kaum mukminin pun bersamamu.”

Ketika telah lewat waktu 29 malam, beliau pertama kali masuk menemui ‘Aisyah. “Wahai Rasulullah, bukankah engkau telah bersumpah untuk tidak masuk menemui kami selama sebulan, sementara waktu yang kuhitung baru berjalan 29 malam,” tanya ‘Aisyah mengingatkan beliau. 

“Bulan ini lamanya 29 malam,” jawab beliau.

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat takhyir5, ‘Aisyah-lah yang paling pertama dari istri beliau yang beliau tawarkan pilihan maka ‘Aisyah memilih tetap bersama beliau. Setelahnya beliau pun memberikan pilihan kepada istri-istri beliau yang lain maka mereka semuanya mengucapkan seperti yang diucapkan ‘Aisyah (semuanya memilih tetap bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam).” (HR. Al-Bukhari no. 4913, 5191 dan Muslim no. 1479)

Pertikaian pun pernah terjadi dalam rumah tangga putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, Fathimah Az-Zahra Radhiallahu ‘anha, seorang yang dikabarkan sebagai tokoh wanita ahlul jannah. Rumah tangga Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu, seorang yang cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dan Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya.6 Ali pernah marahan dengan istrinya dan setelahnya ia keluar dari rumah menuju masjid dan tidur di sana.

Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi Radhiallahu ‘anhu berkata: “Nama yang paling disukai oleh Ali Radhiallahu ‘anhu adalah Abu Turab. Dia senang sekali bila dipanggil dengan nama yang diberikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam itu. Suatu hari Ali marah kepada Fathimah, maka ia pun keluar dari rumah menuju masjid dan berbaring di sana. Bertepatan dengan kejadian tersebut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam datang ke rumah putrinya, Fathimah, namun beliau tidak mendapatkan Ali di rumah.
“Di mana anak pamanmu itu?” tanya beliau.

“Telah terjadi sesuatu antara aku dengan dia, dia pun marah padaku lalu keluar dari rumah. Dia tidak tidur siang di sisiku,” jawab Fathimah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata kepada seseorang: “Lihatlah (cari) di mana Ali.”

Orang yang disuruh itupun datang dan memberi kabar: “Wahai Rasulullah! Dia ada di masjid sedang tidur.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mendatangi Ali yang ketika itu sedang berbaring. Beliau dapatkan rida`-nya telah jatuh dari punggungnya sehingga pasir mengenai punggungnya. Mulailah beliau mengusap pasir tersebut dari punggung Ali seraya berkata: “Duduklah, wahai Abu Turab. Duduklah wahai Abu Turab!” (HR. Al-Bukhari no. 3703 dan Muslim no. 2409)

Demikian perselisihan yang pernah terjadi dalam rumah tangga orang-orang yang mulia, sengaja kami paparkan dengan tujuan agar mereka yang akan membangun mahligai rumah tangga atau telah menjalaninya, menyadari bahwa tidak ada rumah tangga yang lepas dari problema sehingga mereka bersiap-siap dan tidak kaget ketika problem itu datang menghadang. Dan agar mereka tidak terlalu muluk-muluk dalam angan-angan mereka tentang kehidupan berumah tangga7, selalu indah bak bunga-bunga di taman yang bermekaran dengan beragam warna, menampakkan keindahan yang mempesona dan menebarkan aroma yang harum semerbak!!! Rumah tangga tanpa masalah, tanpa problema, tanpa ganjalan, tanpa pertikaian, selalu sejalan, seia sekata, sepakat tanpa pernah ada perbedaan!!! Padahal bayangan ini sesuatu yang teramat langka untuk didapatkan pada sebuah rumah tangga di dunia… Sesuatu yang bisa dikatakan mustahil untuk sebuah akad yang dijalin dengan seorang anak Adam yang senantiasa punya salah, sebagaimana kata Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

ﻲِﻨiap anak Adam itu banyak bersalah. Dan sebaik-baik orang yang banyak bersalah adalah orang-orang yang mau bertaubat.” (HR. At-Tirmidzi no. 2616. Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihul Jami’ no. 4514 mengatakan: “(Hadits ini) hasan.”)

Masalah mesti akan dijumpai antara suami istri. Dan ketika masalah itu bergulir di antara keduanya semestinya keduanya berusaha mencari jalan penyelesaian, memperbaiki keadaan, dan menutup pintu rapat-rapat (dari campur tangan orang yang tidak berkepentingan). Bila seorang suami marah atau seorang istri sedang emosi, hendaklah keduanya berlindung kepada Allah ’Azza wa Jalla dari gangguan setan yang terkutuk, lalu bangkit berwudhu dan shalat dua rakaat. Bila salah satu dari keduanya (yang sedang marah, terbawa emosi) dalam keadaan berdiri maka hendaklah ia duduk, bila sedang duduk maka hendaklah ia berbaring. Atau salah seorang dari keduanya menghadap pasangannya, memeluknya dan meminta maaf bila memang ia bersalah melanggar hak pasangannya, dan yang dimintai maaf hendaklah lapang dada dengan memberi maaf karena mengharapkan wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Fiqhut Ta’ammul Bainaz Zaujain, hal. 37)

Tidak sepantasnya ketika ada masalah dengan suami, seorang istri ngambek minta pulang ke rumah orang tuanya. Atau yang lebih parah lagi si istri minggat dari rumahnya, tanpa izin suami tentunya. Padahal di antara hak suami yang harus ditunaikan istri, si istri tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izinnya8.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata: “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suami dan tidak halal bagi seorang pun mengambil istri seseorang dan menahannya dari suaminya, sama saja baik karena si istri tersebut seorang perawat, atau seorang bidan atau profesi lainnya. Bila istri tersebut keluar dari rumah suami tanpa izinnya, maka ia telah berbuat nusyuz9, bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya dan ia pantas mendapatkan hukuman.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32/281)

Dengan demikian, bila ada permasalahan rumah tangga, seharusnya suami dan istri berusaha menyelesaikannya berdua bila memang masalahnya bisa diselesaikan berdua. Ibaratnya “tutup pintu rapat-rapat” dari masuknya pihak ketiga dan jangan sampai orang lain tahu masalah tersebut. Jangan tergesa-gesa melibatkan pihak luar, orang tua misalnya, karena dapat memperkeruh suasana, bukan memperbaiki keadaan. Melibatkan orang tua, apatah lagi orang tua yang masih awam, tidak memiliki pandangan dalam agama, belum tentu menyelesaikan masalah, malah bisa menambah panas dan keruhnya permasalahan. Terkecuali orang tua itu seorang yang arif, paham agama dan pandangannya lurus, barulah memungkinkan masalah yang ada diangkat padanya bila memang sepasang suami istri tidak bisa lagi menyelesaikannya berdua. 
Sebagai akhir, hendaklah sepasang suami istri selalu bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam seluruh keadaan mereka, di mana pun mereka berada10 dan hendaklah keduanya melazimi (selalu) ketaatan kepada-Nya. Ketahuilah, dengan takwa segala masalah akan mendapatkan pemecahannya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Benar janji-Nya telah berfirman dalam Tanzil-Nya:
  
“Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan jalan keluar baginya.” (Ath-Thalaq: 2)

Dan firman-Nya:

“Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Ath-Thalaq: 4)
 Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Kamis, 03 Januari 2013

KEMELUT KEPEMIMPINAN SELEPAS RASULLAH


(Dari buku Bahts Haulal Walâyah yang diterjemahkan oleh Muhsin Labib, Penerbit Yayasan As-Sajad, Jakarta)

Karya Ayatullah Muhammad Baqir Shadr










Pembahasan Pertama : Bagaimana Timbulnya Syi'ahisme?
Secara keseluruhan dan global dapat kita pastikan bahwa Tasyayyu' adalah, "Hasil produksi pengelola motor dakwah Nabi" sejak beliau memulai karir dan menjalankan tugas sucinya sebagai Duta Luar Biasa Allah SWT. Syi'ahisme merupakan formula yang berkualitas tinggi dengan khasiat yang tak dapat diragukan lagi dan diramu seteliti mungkin sebagai konsep istimewa yang dipaparkan guna menjaga kesinambungan dan kelangsungan program kerja penyebaran dakwah Rasul dan guna mewujudkan cita-cita luhur beliau untuk menciptakan masyarakat yang sadar sepenuhnya akan pditik, sosial, dan budaya serta maju seiring dengan proses naturalis evolusi dan perkembangan yang lumrah dan normal. Hal ini bisa kita simpulkan secara rasionil bila memantau dengan seksama dan jeli ke arah dakwah yang merupakan proyek besar yang dicanangkan oleh Rasul dalam lingkar batas situasi dan kondisi yang ada pada saat itu. Langkah dan kebijaksanaan pertama yang diambil Nabi dalam upaya menjaga kelancaran dan memobilisasikan masyarakat ke arah dakwah ialah mengendalikan tali pemerintahan dan kekuasaan den­gan tangan beliau sendiri dan secara langsung menanganinya dengan melibatkan diri secara total dalam aksi dan operasi politis yang beliau galakkan sendiri demi kesuksesan proyek. Langkah kedua ialah berusaha sekuat mungkin dengan persiapan yang matang agar program ini tidak mandek dengan melancarkan aksi perombakan dan pembenahan total dalam tubuh masyarakat; moral, mental, pola tindak, cara berfikir, watak dan seluruh aspek yang bertalian erat dengan mereka.
Patut diingat bahwa operasi perombakan dan pembersihan total serta menyeluruh itu tentunya memerlukan jangka waktu yang tidak sebentar serta menuntut adanya kekuatan yang dapat diandalkan untuk mengawal perjalanan dakwah dalam mencapai kesuksesannya yang gemilang dan besar sekaligus untuk menepis dan menyingkirkan segala macam hambatan dan gejala-gejala kelesuan yang bisa mengganggu kelancaran proyek penyebaran. Mengingat perbedaan antara Islam dan kultur jahiliyah sangat jauh dan bersifat fundamental, maka tugas berat beliau ialah merintis dari awal mula menciptakan manusia muslim seutuhnya dari manusia yang sama sekali asing tentang nilai kesopanan dan telah menjadi bagian dari kepandiran jahiliyah yang luar biasa, membenahi manusia jahilis dengan membersihkannya dari segala jenis noda dan pengaruh kotor serta membebaskannya dari jeratan dan belenggu moral kultur jahiliyah.
Dalam memulai langkah baru ini, Rasul telah mengambil sikap yang mencengangkan dengan mempelopori aksi Sapu Bersih secara total terhadap dasar-dasar jahiliyah dalam tempo waktu yang relatif singkat sekaligus membuahkan hasil-hasil yang gemilang dan mengagumkan. Semestinya operasi perombakan itu harus dilanjutkan dan tidak berhenti begitu diketahui bahwa Rasul meninggal dunia. Perlu diketahui bahwa beliau seringkali memberitahukan tentang saat meninggalnya yang makin dekat. Itu sering dikatakannya, baik secara terang-terangan maupun secara implisit sebagaimana dalam peristiwa Hajjatul Wada’ yang mana itu memberi kesan kepada kita bahwa beliau tidak wafat secara tiba-tiba. Jadi, berarti beliau mempunyai kesempatan luang untuk memikirkan langkah-langkah berikut yang semestinya diambil dengan mempersiapkan rancangan dan konsep yang sempurna dan jelas demi terwujudnya semboyan proyek dakwah yang telah dirintisnya, apalagi - selaku muslimin - kita yakin bahwa adalah tugas dan kebijaksanaan Allah melalul sifat belas kasih dan kelembutan-Nya untuk melestarikan dakwah hingga menggapai kesuksesan yang diincarnya melalui wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAWW. Dengan demikian kita sadari bahwa hanya ada tiga macam alternatif jalan yang mungkin salah satunya telah ditempuh Rasul demi masa depan dan keberhasilan program pengembangan dakwah beliau.
Alaternatif Pertama : Sikap Yang Mungkin Diambil Rasul
Bersikap pasif terhadap masa depan dan kelanjutan misi dakwah. Cukup hanya menyelesaikan tugas pemiliharaan dakwah selama masa hidupnya. Adapun kelanjutannya, maka nasibnya tergantung pada kondisi mendatang dan kemungkinan serta kejutan yang timbul kelak.
Alternatif dan interpretasi ini tidak layak bagi Rasul. Mustahil beliau tidak peduli akan kelangsungan dakwah selanjutnya, sebab alternatif dan anggapan "Rasul bersikap masa bodoh" ini hanya berdasarkan dan kemungkinan yang tidak rasionil dan tidak realistis.
Dasar Pertama:
Bahwa kemungkinan sikap dingin yang diambil dan diperlihatkan Nabi tidak akan mengganggu kelancaran dakwah setelah wafatnya, sebaliknya masyarakat kelak dengan sendiri berandalkan kreatifitas mereka akan sadar pada tanggung jawab mengembannya serta mampu bertindak selaras dengan kebijaksanaan dan langkah yang pernah diambil oleh Nabi dan seiring dengan apa yang telah digariskannya.
Dasar kemungkinan ini kurang realistis, bahkan kebanyakan segala sesuatu selalu memantulkan kebalikannya, mengingat dakwah yang telah dirintis. Itu merupakan serangkaian upaya perombakan total secara tuntas dan mengakar. Operasi tersebut digalakkan dengan dasar tujuan dan cita-cita membina masyarakat baru dan segar sekaligus mencabut segala macam akar yang lama sekali bercokol dan melepaskan segala macam tali kotor jahiliyah yang selama ini menjerat mereka sejak berabad-abad dan menjadi sistem sosial mereka satu-satunya dan menjadi cermin bagi pola hidup mereka sehari-hari. Operasi penyapuan sisa-sisa kanker jahiliah ini akan terbentur den­gan kemungkinan-kemungkinan bahaya yang akan timbul sebagai akibat negatif dari kevakuman dan ketiadaan seorang pemimpin atau akibat psikis dari kematian seorang pemimpin (Nabi) tanpa meninggalkan pesan atau mewariskan konsep bagi program pemerataan dakwah setelah sebagai efek dari pada tindakan spontan dan upaya penyelamatan sekonyong-konyong dalam rangka menanggulangi dan mengisi lapangan yang hampa dari seorang pemimpin. Secara alami kehampaan itu menuntut adanya tindakan penyelamatan darurat secara kilat guna mengisinya dengan tindakan dan sikap yang cepat dan spontan juga. Dengan kata lain keadaan tidak peduli akan kehampaan dan kesulitan. Keadaan hanya meminta pemimpin dan pengisi lubang. Hal ini akan lebih jelas lagi kalau kita memantau lebih dekat dan seksama, masyarakat pada saat itu sedang dilanda kegelisahan dan tidak tahu apa yang semestinya mereka perbuat, mengalami depresi yang amat kuat karena ditinggal wafat seorang pemimpin yang kharismatik dan sangat berpengaruh.
Bila kita beranggapan bahwa Nabi telah meninggalkan masyarakat dan arenanya tanpa terlebih dahulu mempersiapkan rancangan dan jadwal kerja yang matang serta tajuk demi menyongsong masa depan yang memprihatinkan, maka sebagai dampaknya, akan timbul tindakan dari pihak massa secara gegabah dan tidak sistematis yang "kebetulan" merasa bertanggung jawab dan berkepentingan menangani masalah untuk pertama kali. Hal mana, masalah-masalah tersebut sangat tabu dan sulit ditangani bila tanpa bimbingan pemimpin sebelumnya, apalagi bila ditangani oleh orang yang bukan profesional, sedangkan rakyat pada saat itu tidak mengerti dan tidak mempunyai gambaran yang cukup menjamin kemampuan mereka tentang hal itu. Namun sisi lain, kevakuman itu menuntut tindakan secepatnya dan segera dilaksanakan tepat pada saat masyarakat sedang dicekam duka dan dirundung kegelisahan karena Sang Pemimpin Besar pergi menemui Kekasih Sejati Allah SWT tanpa permisi.
Adalah logis, kebingungan ini sedikit banyak menghambat dan mengganggu konsentrasi dan menimbulkan stress dan kepincangan dalam tindakan, sampai-sampai salah seorang sahabat senior berteriak-teriak histeris
"Rasulullah belum mati! Rasulullah tidak akan mati! Siapa yang mengatakan mati!".
Pertanda bahwa kebingungan telah melanda seluruh lapisan masyarakat. Sikap lepas kontrol sahabat kawakan ini cermin dari pada opini masa yang ketegangannya belum reda karena ditinggal mati "Pengasuh", "Ayah", "Pemimpin" dan kebanggaan mereka Muhammad SAWW dan karena tidak ada pengganti yang sesuai.
Di samping itu semua, terdapat beberapa bahaya yang mengancam dan timbul akibat dari krisis integritas dan intelektualitas serta kenaifan tentang seluk-beluk serta perjalanan dakwah selanjutnya, yang mana pada saat genting dan mencekam Itu dibutuhkan seorang pemimpin prima dan arif seperti Nabi. Bahaya lain yang akan timbul ialah akibat buruk dari tindakan mendadak dan gerak reflek masyarakat dalam menanganinya, yang mana itu pasti tidak senada dan sealur dengan cara yang ditempuh Rasul sekallgus bertentangan dengan tuntutan misi serta konsekuensinya sebagai missi yang ditegakkan guna melenyapkan pertentangan spiritual antara masyarakat yang kala itu terpecah menjadi puak-puak dan blok seperti antara kelompok Muhajirin dan Anshar (masyarakat pendatang dan penduduk asli), antara suku besar Quraisy dengan suku-suku lain begitu juga antara penduduk kota Makkah dan penduduk kota Madinah.
Bahaya-bahaya tersebut akan lebih menakutkan bila kita sisipkan faktor oknum-oknum (Kaum Munafikin) apalagi setelah kita ketahui bahwa jumlah mereka bertambah banyak setelah kota Makkah ditaklukkan, yang mana penaklukan itu membuat orang-orang Quraisy ketakutan dan mengucapkan secara terpaksa dua kalimat Syahadat atas dasar kepuasaan hati dan kemantapan iman.
Bahaya-bahaya ini tidak hanya menimpa masyarakat dan mengancam eksistensi Islam saja, tapi ini semua merupakan refleksi alami dari tidak-adanya seorang yang dapat menggantikan pemimpin agungnya yang wafat. Dan masyarakat pada saat itu tidak hanya kehilangan seorang pemimpin, tapi kehilangan pengasuh berkharisma tinggi yang bergelar Khatamul Anbiya pelengkap semua ajaran para Nabi.
Abu Bakar dengan alasan hendak menyelamatkan Umat telah mengambil alih tampuk kekuasaan dengan gesit. Tindakan positif ini ia lakukan - katanya - demi masa depan dakwah dan kesinambungannya.
Kekhawatiran dan kecemasan itu juga terlihat ketika beberapa orang berbondong-bondong menuju Umar bin Khatab sambil berteriak-teriak:
"Sudikah Anda memimpin? Masyarakat sangat cemas akan kekosongan seorang pemimpin padahal saat itu situasi kondisi kembali stabil sejak upacara pelantikan dan penobatan Abu Bakar sebagai Khalifah."(Tarikh Ath-Thabari juz 5 hal. 26).
Kekhawatiran demikian juga melanda hati Umar. Hal ini terlihat dalam penunjukkannya kepada enam orang dari rekan-rekannya sebagai kandidat-kandidat terbatas jabatan Khalifah. Ini pertanda bahwa betapa besar kekhawatiran sahabat senior ini melihat dan membayangkan bahaya-bahaya yang timbul akibat kekosongan seorang pemimpin dan tidak-adanya pengganti berikutnya.
Umar sadar akan bahaya-bahaya dan gawatnya situasi jlka tidak ada seorang yang mengendatikan segera di nari sidang darurat Saqifah dan sadar akan efek negatif dari cara pembai'atan dan pemilihan Abu Bakar yang dilangsungkan secara mendadak itu. Kekecewaan tersebut tercermin dalam kesaksiannya pada detik terakhir dari sisa hidupnya. Kesaksian itu demikian bunyinya:
"Pembai'atan Abu Bakar sebenarnya adalah serpihan api (penyelewengan), hanya saja Allah telah menjaga muslimin dari pengaruh buruk pembai'atan tersebut!" (Tarikh Ath-Thabari juz 3 hal. 42).
Abu Bakar sendiri pernah mengemukakan penyesalannya atas tindakannya yang tergesa-gesa menerima tawaran untuk memimpin.la mengutarakan alasan penerimaan hanya karena ingin menyelamatkan keadaan yang kritis dan karena ia dapat membayangkan betapa bahayanya jika tidak ada seorang yang menggantikan Nabi. Itu tergambar dalam keterangan yang diberikannya: Rasulullah meninggal pada saat masyarakat masih baru menanggalkan busana pengaruh jahiliyah mereka dan memasuki hidup baru. Aku khawatir masyarakat akan kacau balau dan sesat, sedangkan sahabat-sahabatku tak peduli yang sebaliknya menggantungkan tanggung jawab ini kepadaku saja. (Syarah Nahjul Balaghah Juz 6 hal.42).
Jadi, apabila hal-hal diatas semua benar dan terbukti, maka tak ayal lagi bahwa Rasulullah akan lebih arif memikirkan dan merasakan efek dan bahaya yang akan timbul akibat dari sikap pasif tersebut. Beliau tentu lebih mengerti tuntutan dan langkah apa yang harus diambil demi upaya pembenahan dan operasi perombakan yang dirintisnya sendiri terhadap masyarakat Islam yang baru kemarin meninggalkan jahiliyah yang sejak berabad-abad menjadi sistem hidup mereka sebagaimana diutarakan oleh Khalifah Abu Bakar bin Abu Quhafah ra.
Dasar Kedua:
Bahwa Rasul mengambil sikap pasif demikian atas dasar bahwa tugas utama beliau adalah mengawal Dakwah Islamiah dan berhenti pada masa wafatnya. Maka sekali pun beliau menyadari akan efek negatif dari sikap pasif itu tapi beliau tidak merasa bertanggung jawab memikirkan masa depan dan prospek misi yang diembannya. Yang penting baginya adalah menjaga dakwah pada masa hidupnya dan telah dapat memetik keuntungan bagi pribadinya.
Dasar kemungkinan dan interpretasi sikap pasif dengan keterangan demikian tidak relevan dan tidak sesuai dengan kriteria sebagai pribadi pemimpin ideologi dan bijaksana. Apalagi kita memandangnya sebagai Nabi termulia yang mempunyai hubungan super natural dan halus dengan Allah SWT secara langsung dalam mengatasi segala urusan yang berkaitan dengan misi Risalah selaku pemimpin unggul yang merupakan manifestasi sempurna bagi seluruh kriteria dan wadah yang berisikan segala macam sifat dan syarat-syarat seorang pemimpin yang handal dalam ketulusan, loyalitas, kesetiaan, pengorbanannya yang tak terhingga dalam mensukseskan dakwah. Terbukti dalam buku-buku sejarah bahwa ketika Rasulullah hampir menghembuskan nafasnya yang terakhir di atas ranjang dan pada saat yang paling kritis dan pada saat rasa sakitnya mencapai klimaks beliau masih merasa bertanggung jawab untuk menyiapkan satuan perang yang memang sejak sebelumnya telah direncanakannya untuk segera diberangkatkan di bawah pimpinan komandan Usamah bin Zaid yang telah ditunjuknya meninggalkan kota Madinah menuju medan tempur. Berulang-ulang beliau berteriak sambil menyeru dengan nada jengkel dan marah:
Siapkan pasukan Usamah! Satuan tempur Usamah harus segera bertolak! (Tarikh AI-Kamil karya Ibnu Atsir).
Betapa besar perhatian Nabi pada masalah-masalah militer sedangkan pada saat itu, agar segera bertemu den­gan Kekasihnya dan meninggalkan masyarakat yang telah dibinanya untuk selamanya. Beliau tahu bahwa beberapa saat lagi beliau akan meninggal dunia. Namun detik-detik terakhir dari sisa hidup itu tidak menghalangi atau mengurungkan tekad dan tanggung-jawabnya meskipun beliau tahu hasll dan akhir dari pertempuran yang diserukannya itu menang atau kalah. Jlka demikian perhatian beliau pada masalah militer, bukankah suatu anggapan yang tidak relevan dan nihil sekali bila dikatakan bahwa Nabi Muham­mad SAWW tidak memikirkan masa depan dakwah secara keseluruhan, yang mana urusan militer merupakan salah satu dari aspek-aspek dan penunjangnya. Memalukan sekali bila kita beranggapan bahwa beliau tidak memperhitungkan dan mengukur bahaya-bahaya yang kemungkinan dapat menggangu kelangsungan dakwah.
Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Rasul pada detik-detik yang paling mendebarkan dl akhir hidupnya sudah cukup akurat untuk memberikan bukti konkrit yang menolak mentah-mentah alternatif jalan pertama sekaligus merupakan gambaran yang cukup jelas bahwa Rasul tidak sepicik dan senaif apa yang mereka bayangkan dan perkirakan bahwa Nabi tidak peduli akan prospek dan nasib dakwah. Di samping itu terdapat sebuah teks hadis yang disepakati oleh kalangan Syi'ah dan Ahlussunnah, demikian terjemahan riwayat itu: Ketika Rasulullah hampir menghem­buskan nafasnya yang terakhir dan segera menemui Kekasihnya Yang Maha Kuasa, sedang pada saat itu ada beberapa orang yang berada dalam rumah beliau termasuk sahabat Umar bin Khatab, beliau meminta dengan suara parau tersendat-sendat sambil menahan rasa sakit dan nyeri:
"Berikan padaku selembar kertas dan tintal. Aku tuliskan untuk kalian semua sebuah pusaka tulisan yang mana jika kalian mematuhi isinya, maka pasti kalian tidak sesat setelah aku tinggal pergi." (Musnad Ahmad bin Hambal juz 1 hal. 300, Shahih Muslim An-Nisaburi juz 2 Bab AI-Washaya dan Shahih Bukhari juz 1 Kitab An-Nikah).
Usaha yang dilakukan Rasulullah ini dengan jelas menunjukkan bahwa beliau memikirkan dan prihatin akan bahaya-bahaya yang mengancam masa depan dakwah serta menyadari sepenuhnya akan betapa pentingnya menggariskan suatu konsep dan tajuk rencana kerja guna menyelamatkan umat dari penyimpangan sekaligus guna melindungi proyek tersebut dari kemandekan dan kegagalan. Bertolak dari sini kita dapat berkesimpulan bahwa tidak mungkin Rasul bersikap pasif dan dingin terhadap prospek dakwah.
Alternatif Kedua : Jalan Kedua Yang Mungkin Ditempuh Rasul
Rasulullah merencanakan beberapa langkah dan terobosan demi masa depan dan pengembangan dakwah setelah wafatnya dengan bersikap positif dan tanggap terhadap prospek misinya, yaitu dengan menciptakan sistem negara dan pemerintahan atas dasar syura (musyawarah) yang diperankan oleh generasi Muhajirin dan Anshar. Kedua kelompok revolusioner tersebut dijadikan sebagai tulang punggung pemerintahan dan bertindak selaku motor dakwah dan pembangunan dakwah itu sendiri dalam setiap proses perkembangannya.
Untuk lebih jelasnya, kita bawakan beberapa alasan dalam keterangan sebagai berikut:
Seandainya Nabi menaruh perhatian dan bersikap tanggap terhadap masa depan dakwah dengan berlandaskan konsep pemerintahan syura setelah wafatnya dan menjadikan syura sebagai dinding pelindung proyek pembinaan dakwah itu semuanya benar, maka semestinya Rasul menggalakkan upaya pengkaderan secara intensif tentang konsep syura dengan segala batas-batas dan garis-garisnya sekaligus mengesahkannya sebagai sistem tunggal yang dibenarkan dan sangat luhur dalam Islam sebab masyarakat pada saat itu merupakan masyarakat yang sejak berabad-abad hidup di bawah pengaruh Sukuisme, rasialis dan tidak mengenal sama sekali sistem permusyawaratan. Mereka telah tumbuh mekar di bawah pen­garuh Qabilisme yang memprioritaskan faktor kekuatan fisik, kekayaan dan faktor warisan leluhur.
Dengan mudah kita dapat menyadari bahwa Nabi belum pernah terbukti dalam sejarah hidupnya telah mengadakan operasi penataran sistem syura secara lengkap dengan segala batas-batas dan kerangkanya, sebab kalau memang beliau melakukan hal itu, maka itu pasti tercermin dalam sabda-sabda dan prilaku dan pola pikir masyarakat atau sedikitnya terpantui pada tingkah laku dan cara berfikir generasi senior Muhajirin dan Anshar selaku pengawal Revolusi elite, tegas dan bertanggung jawab menerapkan sistem tersebut sebagai sistem negara yang konon dicetuskan dan disahkan oleh Nabi sebagai pemerintahan. Namun itu semua tidak terbukti dalam kenyataan hidupnya serta tidak terkesan dalam hadis dan sabda-sabda beliau. Hadis-hadis Nabi tidak pernah berbicara dan menerangkan secara lengkap dan serius tentang sistem syura, di samping itu secara keseluruhan tindakan Muhajirin dan Anshar tidak memberi kesan bahwa mereka memahami seluk-beluk sistem syura yang mereka katakan dan elu-elukan. Masyarakat sahabat saat itu terbagi menjadi dua partai yang saling bertentangan :
- Golongan yang berkiblat kepada Ahlul Bayt a.s. (Keluarga Rasul).
- Golongan yang dipelopori oleh beberapa tokoh sahabat yang turut menghadiri Sidang Darurat Saqifah.
Prinsip dan garis pemikiran golongan pertama ialah berpegang teguh pada konsep wishayah dan imamah, memprioritaskan faktor kerabat sebagai salah satu dasar (karena penghuni rumah lebih mengetahul isi rumah dari pada orang lain. -- Pen.). Dan syura bukanlah sistem utama dalam Islam dan kenegaraan.
Prinsip dan garis pemikiran golongan kedua ialah bersikeras bahwa syura adalah sistem pemerintahan Islam setelah Nabi meninggal dunia, tapi pola pikir dan tingkah laku serta semua kebijaksanaan politik golongan berkuasa ini tidak senada dengan syura yang mereka dengungkan sebagai sistem tunggal dalam pembentukkan suatu pemerintahan dalam Islam. Terbukti bahwa mereka sendiri tidak konsekuen dengan prinsip syura tersebut sekaligus kurang konsisten dengan sumpah setia Saqifah, baik pada masa hidup Nabi maupun setelah beliau wafat. Abu Bakar pada detik-detik terakhir dari sisa hidupnya di atas pembaringan menunjuk rekannya, Umar bin Khatab sebagai penggantinya memangku jabatan kekhalifahan dalam selembar surat Kenegaraan yang ditulis oleh Utsman bin Affan (selaku Sekretaris Negara). Demikianlah maksud dari pada isi surat itu:
"Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Berikut ini Abu Bakar selaku Pengganti Rasulullah berpesan kepada para mukminin dan muslimin. Salam sejahtera bagi kalian. Saya haturkan puji syukur ke Hadirat Allah demi kalian semua.
Bersama ini, saya dengan resmi telah menunjuk rekan saya yang bernama Umar putra Khatab sebagai pemimpin. Maka harapan dan himbauan saya ialah semoga hendaknya kalian mendengar dan mematuhinya. Sekian".
Setelah penulisan itu selesai, Abdurrahman bin Auf masuk dan begitu ia mendengar berita penunjukkan telah dilaksanakan ia langsung protes sambil berkata kepada Abu Bakar:
Hai Khalifah! Bagaimana Anda ini sebenarnya?
Abu Bakar menjawab dengan nada bertanya:
Kenapa kalian semua memprotes penunjukkan itu dan menambah berat bebanku lalu masing-masing menuntut jabatan itu (Tarikh Al-Ya'qubi juz 2 hal. 126-27).
Pengangkatan yang dilakukan Abu Bakar dan sikap protes Abdurrahman bin Auf ini membuktikan bahwa sang Khalifah sendiri tidak memahami secara mendalam tentang logika sistem syura, juga menunjukkan bahwa ia sendiri tidak merasa berhak menunjuk atau mengangkat seseorang sebagai pemimpin secara absolut di antara sekian banyak sahabat lainnya. Sang Khalifah tidak mempunyai pemahaman bahwa pengangkatan demikian semestinya secara otomatis menuntut konsekuensi dan loyalitas masyarakat muslim agar taat dan mematuhinya tidak perlu sampai Abu Bakar menghimbau rakyat agar mematuhi pemimpin baru mereka. Surat pengangkatan resmi yang dikeluarkan Abu Bakar itu bukan hanya sekedar usul atau buah pendapat biasa, namun surat tersebut bernada perintah dan ketetapan yang bersifat absolut dan tak dapat diralat atau diganggu-gugat.
Terbukti, Umar juga merasa berhak mengangkat secara individu seorang pengganti dengan cara menunjuk enam rekannya sebagai calon-calon tetap dan terbatas dan orang-orang yang diluar enam anggota calon itu hanya berhak mendengar, menonton dan puas dengan hasil saja. Suara orang ketujuh di situ tidak akan digubris.
Pengangkatan versi Umar ini jelas tidak berdasarkan syura yang pada dasarnya mengutamakan faktor pengambilan suara terbanyak. Penunjukkan yang dilakukan Umar tidak terlalu berbeda dengan gaya penunjukkan Abu Bakar kepadanya pada masa akhir hidupnya di atas ranjang. Kedua-duanya tidak konsekuen pada nilai dan tuntutan permusyawaratan yang ideal, yang mana sebelumnya selalu mereka gunakan sebagai alat dan alasan dalam berkampanye pada sidang Saqifah. Ketika ditawari jabatan kekuasaan oleh masyarakat Umar pernah bergumam: Aku harus jadi pemimpin sekali pun Muhajirin menolak.
Para Muhajirin tak kalah gertak sambil berteriak lantang : "Kami adalah orang-orang diantara sekian banyak muslimin yang pertama kali memeluk Islam kemudian jejak kami ditiru oleh orang-orang lain. Kami juga kerabat Rasul dan golongan ningrat Arab!"
Dan ketika kelompok Anshar mengajukan usul pemerintahan kwalisi dengan dua pemimpin yang bergantian dalam jangka masa jabatan tertentu dari pihak Muhajirin dan Anshar, Abu Bakar segera menolak seraya berkata:
Tatkala Rasulullah diutus, saat itu kebanyakan masyarakat Arab merasa berat sekali untuk mencampakkan ajaran nenek moyang mereka. Sedangkan kami saat itu (Muhajirin maksudnya) dipilih oleh Allah dan diistimewakan dari pada seluruh orang karena kami berani membenarkan semua ajaran yang dibawa dan disebarkannya. Kami adalah orang-orang dekat dan kerabat beliau sekaligus orang-orang yang berhak dan pantas memegang kekuasaan setelah wafatnya darlpada selain kami. Dan yang berani membantah atau memprotes atau merebut maka mereka adalah orang-orang yang zalimi.
AI-Khabbab bin Al-Mudzir dalam pesannya kepada kubu Anshar telah berkata:
"Bersatulah! Orang-orang lain sedang menganiaya dan hendak merampas hak kalian. Jika mereka tetap bersikeras untuk menolak, maka kita akan menuntuk dua pemimpin dari pihak kita dan pihak mereka."
Sikap Al-Khabbab tidak mendapatkan respon dan tanggapan positif dan gagasannya langsung ditolak mentah-mentah oleh Umar dengan ucapannya:
"Tidak mungkin satu negara dikendalikan oleh dua pemimpin ibarat dua pedang dalam satu sarung. Siapa yang berani merebut kepemimpinan Muhammad dari tangan ahli-ahli warisnya, sedangkan kami adalah orang-orang terdekat dan kerabatnya, orang yang masih berniat merebut adalah orang-orang yang siap musnah dan celaka"
Cara penunjukan yang dilakukan oleh Khalifah Pertama dan Khalifah Kedua, kemudian sikap pasif masyarakat terhadap cara tersebut dan pada pikir generasi Anshar dan Muhajirin berikut ungkapan-ungkapan dan strategi yang digunakan Muhajirin dalam upaya memonopoli kekuasaan dan wewenang terbatas bagi kalangan mereka sendiri sekaligus langkah-langkah Muhajirin sendiri dalam mendiskriditkan Anshar dan tidak mengikutsertakan mereka dalam pesta kekuasaan lalu faktor propaganda dan luapan-luapan sentimentil berbau kesukuan dan kesombongan yang dikampanyekan dan disuarakan di Gedung Pertemuan Tertutup Saqifah Bani Sa'idah, seperti luapan sombong yang menyerukan: Kami semua adalah masyarakat elite dan ningrat bangsa Arab dan kami adalah kerabat Rasulullah! juga kesediaan dan kebulatan tekad kedua belah pihak; Anshar dan Muhajirin dan penyesalan Abu Bakar yang telah memenangkan kompetisi khilafah pada detik-detik terakhir dari masa hidupnya bahwa sangat menyesal sekali "Mengapa dulu tak pernah kutanyakan pada beliau mengenai siapa yang sebenarnya berhak dan pantas mengaku jabatan khalifah" Itu semua membuktikan dengan jelas bahwa generasi Muhajirin dan Anshar termasuk pribadi-pribadi yang berhasil mengambil alih tampuk kekuasaan belum memiliki gambaran yang luas dan pengetahuan yang mendasar tentang konsep dan seluk beluk syura secara sistematis. Bagaimana mungkin kita beranggapan bahwa Rasulullah telah menggalakkan penataran syura secara konsepsional dan bahwa beliau telah mempersiapkan dengan matang generasi Muhajirin dan Anshar untuk mengendalikan pemerintahan dan mengemban tugas penyebaran missi dalam konteks sistem syura, sedangkan kita sendiri belum pernah menemukan realita daripada sistem tersebut dalam sepak terjang dan corak berfikir masyarakat Islam waktu itu.
Kita juga tidak beranggapan bahwa Rasul telah menggariskan konsep syura secara sempurna dalam batas hukum dan pemahamannya. Juga tidak terbukti beliau mengkader dan mengajarkannya secara sistematis dan sempuma kepada masyarakat muslimin.
Dan semua yang telah dilaksanakan Nabi dalam segala aspek kehidupannya telah menunjukkan kepada kita bahwa beliau belum pernah memaparkan syura sebagai konsep dan sistem yang baru kepada masyarakat, sebab tidak mungkin konsep itu lenyap begitu saja dalam realitanya bila memang benar-benar telah dihidangkan sebagai konsep yang harus diterapkan dan dijadikan sebagai cara untuk membentuk pemerintahan baru.
Kenyataan tersebut dapat kita lihat dengan jelas melalui keterangan sebagai berikut:
1. Sistem pemerintahan syura adalah sistem yang serba baru dan mengejutkan bagi lingkungan dan kondisi muslimin pada awal kebangkitan Islam. Jika Rasul hendak membangun sistem baru, maka konsekuensinya adalah semestinya menyodorkannya secara mendalam. Dan hingga saat ini belum terbukti Rasul mengajarkannya kepada masyarakat dengan konsep syura tersebut.
2. Syura sebagai konsep yang peka dan prinsipil tidak cukup hanya dibeberkan dengan begitu saja. Sebab jika hanya demikian halnya, mungkin saja syura itu pernah dipaparkan tidak secara sempurna dan men-detail tanpa batas-batas yang jelas dan perincian yang sempurna tentang kriteria-kretria calon khalitah yang akan dipilih, dan syarat serta tolok ukur pemilihan; apakah pemilihan tersebut berdasarkan pada jumlah dan kwantitas ataukah berdasarkan mutu kepandaian dan kriteria-kriteria lainnya yang dapat dijadikan gam­baran dan batas-batas konsep-konsep tersebut sehingga dapat dengan mudah diterapkan dan direalisasikan begitu Rasulullah wafat.
a. Pada hakekatnya syura itu dapat dikategorikan seba­gai tindakan masyarakat yang bertujuan membangun pemerintahan yang berdasarkan pada sistem permusyawaratan dan berusaha bertindak menentukan nasib sendiri. Ini merupakan tanggung-jawab bersama setiap orang yang tergolong sebagai anggota tetap Sidang permusyawaratan. Dan ini berarti jika konsep dan sistem negara semacam ini sah dan dibenarkan Syari'at, maka tugas para sahabat dan masyarakat pada saat itu meyakini bahwa konsep tersebut sebagai sistem pemerintahan dan segera dijalankan tepat pada saat Rasul menghembuskan nafas harumnya yangterakhir. Dan perlu diketahui, pemilihan demikian tidak terbatas bagi beberapa gelintir orang saja (sebagaimana yang terjadi dalam sidang terbatas (Saqifah), sebab masyarakat semuanya harus dilikutsertakan dan setiap muslim memiliki hak suara. Usul mereka sangat penting dan dibutuhkan sekali demi suksesnya pemilihan umum, dan sebaliknya masyarakat harus merasa berkepentingan dan bertanggungjawab mensukseskannya.
Atribut-atribut di atas telah menjabarkan bahwa jika Nabi telah dengan resmi memprakarsai syura sebagai konsep dan cara yang sebenarnya bagi pembentukan sebuah pemerintahan baru setelah beliau, maka semestinya beliau - selaku pemimpin dan pembina masyarakat yang arif dan bijaksana - memaparkan konsep tersebut dengan mendetail dan bukan hanya membeberkannya, bahkan harus mempersiapkan dan memupuk mental dan jiwa yang kokoh serta menutupi setiap lubang, celah dan menatar mereka sedemikian rapih dan sempurna dalam aspek; segi kuantitas dan kualitas serta mutu pemahamannya. Tidak mungkin konsep penting itu hilang dan cair begitu saja di tengah-tengah masyarakat sejak pemimpin mulia mereka meninggal dunia.
Mungkin juga bisa dianggap bahwa Nabi pernah menyodorkan konsep syura secara wajar dan sesuai den­gan bentuk dan kadar yang dibutuhkan oleh kondisi, kualitas dan kuantitas, sehingga masyarakat muslim dapat mencerna dan menjangkaunya, hanya saja faktor-faktor politik secara tiba-tiba telah menutupi kenyataan yang sebenarnya. Faktor-faktor tersebut telah memaksa masyarakat untuk menyimpan dan merahasiakan apa yang mereka dengar dari Nabi tentang konsep syura serta hukum dan perinciannya. .
Tapi anggapan semacam ini tidak praktis, sebab faktor tersebut bagaimanapun kandungannya tidak berkaitan secara langsung dengan muslimin kelas bawah yang terdiri dari lapisan masyarakat sahabat yang tidak diberi bagian dan peran dalam percaturan serta kejadian-kejadian politik yang timbul pada hari-hari setelah Nabi wafat dan tidak ikut menghadiri sidang darurat Saqifah atau tidak berperan dalam sidang tersebut. Sikap mereka adalah sikap penonton yang tenang dan menerima apa yang ada. Perlu dicamkan baik-baik bahwa mereka adalah kelompok masyarakat mayoritas.
Seandainya syura itu dipaparkan oleh Rasul sesuai dengan kerangka dan bentuk yang diharapkan, maka konsep tersebut tidak hanya didengar oleh beberapa orang dari pada sahabat tapi juga didengar dan diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat dan tentu terpantul secara alamiah dalam cara dan tindakan kelompok biasa dari para sahabat tepat seperti terpantui dari sabda dan hadis-hadis Rasul tentang keutamaan Imam Ali bin Abi Thalib dalam cara dan tindakan para sahabat, sekalipun itu bertentangan dengan garis pemikiran dan kondisi pada saat itu. Begitu juga halnya dengan konsep syura, yang tidak terefleksi dalam cara berfikir mereka bahkan mereka sendiri saling berselisih pendapat tentang berbagai sikap politik, yang kemudlan perselisihan tersebut disusul dengan terpecahnya orang-orang yang selalu mengelu-elukan syura menjadi beberapa golongan, yang mana setiap golongan meneriakkan syura dan mengaku golongannya sebagai golongan yang konsekuen dengan nilai dan konsep tersebut. Mereka jadikan syura sebagai alibi dan senjata guna mencapai kepentingan politis masing-masing. Sekalipun demikian halnya, mereka semuanya tidak konsekuen dan setia dengan konsep yang mereka obral dan gembor-gemborkan dan mereka sendiri tidak merealisasikannya sebagai sistem dalam membentuk sebuah negara dan pemerintahan, sebagai konsep yang memang telah dicanangkan Nabi. Kenyataan ini terlihat dengan jelas dalam sikap sahabat Thalhah terhadap penunjukkan Khalifah Abu Bakar dan kekesalannya terhadap penunjukkan tersebut dengan menggunakan syura sebagai senjata untuk menolak dan memprotes aksi penunjukkan itu. Thalhah mengecam sikap dan tindakan Abu Bakar itu sebagai tindakan gegagah yang bertentangan dengan pesan dan konsep serta cara bermusyawarah yang telah digariskan oleh Rasulullah SAWW.
Jika memang benar, Nabi telah memupuk dan merubah generasi pertama Muhajirin dan Anshar menjadi penegak dan penyebar-penyebar dakwah dan sebagai generasi yang bertanggung jawab mengembangkan proyek perombakkan, maka sebagai konsekuensinya Rasul seharusnya memobilisasikan dan mempersiapkan secara matang generasi tersebut dalam intelektualitas dan loyalitas agama, sehingga dapat memegang erat-erat teori ini kemudian menerapkannya dengan penuh kesadaran dan pengetahuan yang dalam serta menjadikan pedoman-pedoman petunjuk Rasul sebagai satu-satunya penyelesaian kesulitan-kesulitan yang dapat menghambat kelancaran dan gerak lajunya program penyebaran dakwah setelahnya. Apalagi telah kita ketahui bahwa beliau sudah seringkali memberi kabar gembira akan tiba saat tumbangnya Monarki Kisra dan Kaisar. Itu semua pertanda bahwa proyek dakwah kelak setelah beliau wafat akan menghadapi kesuksesan yang gemilang dan isyarat bagi masyarakat bahwa jumlah ummat Islam akan bertambah banyak dan tanah kekuasaan mereka akan meluas dan membentang ke beberapa penjuru dunia dan pada saat -sebagai akibatnya - ummat muslim akan menghadapi dan memikul beban mengajari dan mengenalkan Islam kepada bangsa-bangsa lain yang baru memeluk agama Islam.
Kabar gembira itu adalah merupakan peringatan bahwa muslimin akan menghadapi bahaya-bahaya dan pengaruh buruk yang timbul akibat dari meluasnya tanah-tanah dan daerah kekuasaan Islam. Masyarakat juga akan mengemban tugas berat mempraktekkan hukum dan memenuhl tuntutan penerapan syari'at diatas daerah-daerah yang telah ditaklukkan dan bertugas menghimbau penduduk-penduduk daerah setempat agar mematuhi dan men-jalankannya. Kita masih beranggapan - hingga saat ini -bahwa generasi awal kebangkitan Islam Muhajirin dan An­shar adalah generasi yang terberslh dan yang paling mampu mengemban tugas menjaga proyek dakwah serta lebih loyal dan slap untuk berkorban. Tapi gambaran tentang adanya upaya memobilisasi dan pemersiapan yang matang tentang cara dan konsep yang jelas guna menjaga kelancaran dan mensukseskan program penyebaran dak­wah itu tidak terlihat pada tingkah laku dan cara berpikir mereka. Dan tidak terlihat juga tentang adanya suatu operasi penataran dan indoktrinasi yang intenstf tentang konsep syura. Dan kertas sederhana ini tidak cukup untuk memuat semua pembuktian-pembuktian tersebut, terlalu banyak untuk dijelaskan.
Terbukti, bahwa sabda-sabda Rasul yang dibawakan oleh para sahabat tidak lebih jumlahnya dari pada beberapa hadis saja. Padahal jumlah mereka meleblhl dua belas ribu orang sebagaimana yang termaktub dan tercatat dalam buku-buku hadis dan sejarah. Padahal Nabi sempat hidup bermasyarakat bersama sekitar ribuan dari mereka dl satu tempat dan di satu masjid setiap pagi dan sore. Apakah dalam fenomena ini terlihat adanya tanda atau gejala persiapan dan pengkaderan konsep syura secara matang!?
Yang jelas adalah bahwa kebanyakan para sahabat merasa risi dan enggan memulal membuka dan mengajukan sebuah pertanyaan kepada Nabi, sampai-sampai - karena malasnya - salah satu dari mereka betah menunggu berjam-jam saat kedatangan seorang Badui yang hidup di luar kota Madinah lalu menanyakan suatu masalah kepada beliau. Sehingga dengan begini sahabat malas ini dapat mendengar jawabannya. Adalah suatu tindakan yang arogan - dalam tradisi mereka - bila seseorang menanyakan suatu tentang hukum masalah yang belum pernah mereka temukan dan terjadi!
Umar bin Khattab pernah berkata di atas mimbar:
"Demi Allah! Saya kesal terhadap orang yang menanyakan sesuatu yang belum terjadi. Tugas Nabi adalah menjelaskan hukum masalah yang sudah terjadi." (Sunan Ad-Darimi 1/50).
Abdullah bin Umar ketika ditanya sesuatu perkara yang belum pernah terjadi berkata:
"Janganlah sesekali menanyakan masalah yang belum pernah terjadi, sebab saya pernah dengar Rasulullah mengutuk sesiapa yang suka menanyakan sesuatu hal yang belum pernah dialami." (Sunan Ad-Darimi 1/50)
Ubay bin Ka'ab pernah berkata kepada seorang yang menanyakan sebuah masalah kepadanya:
"Hai anakku! Adakah masalah yang kau tanyakan padaku itu sudah terjadi?
Orang itu menjawab: Belum!.
Lalu Ubay berkata: Jika belum pernah terjadi, maka jangan tanyakan dulu sampai hal itu terjadi." (Sunan Ad-Darimi 1/56)
Pada suatu hari Umar mengaji Al Quran sampai terhenti pada ayat yang berbunyi:
"Anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun lebat dan buah-buahan serta abb (rumput-rumputan) untuk kesenangan dan untuk bmatang-binatang ternakmu."[ Q.S; 80:28-32)
Lalu ia berkelakar:
"Semua arti ayat ini saya tahu. Tapi apa arti "abb" disini? Kemudian ia berkata: "Demi Tuhan ini berarti mencari kesulitan sendiri (dengan mencari arti) sebenarnya kalimat "abb". Jika anda tidak tahu akan arti kalimat "abb" yang sebenarnya, maka tinggalkan dan ikutilah kalimat lain yang sudah anda ketahui dalam Kitab ini. Adapun kalimat yang tidak anda ketahui artinya maka serahkan saja kepada Tuhan.
Tampak sekali betapa malas dan beratnya hati mereka menanyakan masalah-masalah yang tida benar-benar berkaitan dengan mereka sehari-hari. Sikap demikianlah yang menyebabkan garis pemikiran ini akhirnya kehabisan dalil dan hukum yang jelas. Itulah sebabnya mereka membutuhkan sumber-sumber lain - di samping Sunnah Rasul dan Al Quran - seperti Qiyas, Istihsan dan lainnya, yang mana kesemuanya itu merupakan faktor dan dasar-dasar utama seorang mujtahid, yang mana hal ini sedikit banyak telah menyihir seorang untuk bertindak nekad dan ceroboh mengambil kesimpulan sebuah hukum baru.
Sikap dan cara berfikir golongan kedua ini sama sekali tidak memantulkan adanya upaya penggemblengan dan penataran yang cukup tentang konsep syura bagi generasi perintis Islam dan membuktikan dengan jelas bahwa mereka tidak tahu menahu tentang batas-batas syari'at yang dapat menangani kesulitan-kesulitan yang akan menimpa generasi pertama tersebut.
Para sahabat tidak hanya malas dan enggan memulai membuka pertanyaan kepada Rasul tapi mereka juga enggan membukukan hadis-hadis beliau, yang merupakan sebagai sumber kedua setelah Al Quran. Padahal pembukuan itu adalah cara satu-satunya untuk menjaga dan melestarikan peninggalan dan hadis Rasul dari segala macam penyelewengan letak, jumlah, pengertian harafiah dan lain-lainnya dan agar tidak punah dan lenyap. AI-Harawy pernah membawakan sebuah hadis (yang mencela berbicara melalui) Yahya bin Sa'ad dari Abdullah bin Dinar, ia berkata: Para sahabat begitu juga para tabi'in tidak pemah mencatat hadis-hadis mereka tetapi mereka dapat mengutarakan secara harafiah. Bahkan Khalifah Umar - sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Sa'ad dalam bukunya Ath-Thabaqat - dilanda kebingungan memikirkan sikap bagaimana yang paling baik untuk menghadapi Rasul. Kebingungan tersebut menyibukkan pikiran sang Khalifah hampir selama satu bulan, kemudian ia mengumumkan keputusan resmi melarang siapapun membukukan sabda dan sunnah Nabi. Kemudian - yang merupakan sumber terpenting kedua dalam agama Islam - menjadi tak jelas nasibnya, ada yang dilupakan, ada yang dinon-fungsikan, ada yang dihapus, ada yang menjadi korban kepentingan pditik dan ada yang dirubah penafsiran, jumlah materi, letak dan perawinya. Akhirul hikayah hadis-hadis tersebut ikut wafat tertanam di kepala orang-orang yang hafal dan merahasiakannya di liang lahat setelah dia wafat.
Sebaliknya, aliran yang berorientasi kepada Ahlul Bayt a.s. serta ajarannya tetap tekun membukukan hadis-hadis dari pertama. Itulah sebabnya mengapa buku-buku riwayat golongan Syi'ah menjadi berlimpah ruah dan berjilld-jilid serta penuh dengan riwayat dan hadis-hadis yang dibawakan oleh imam-imam dari keluarga suci Rasul yang ditulis Imam Ali dengan didikte Rasul. Dalam buku-buku tersebut anda akan temukan ribuan riwayat dari Ahlul Bayt a.s. dan Sunnah-sunnah Rasulullah SAWW.
Apakah generasi yang malas menanyakan hal-hal yang mereka tidak ketahui dan enggan membukukan hadis-hadis pemimpin mereka itu pantas dan mampu memimpin dan mengemban risalah dalam segala proses perkembangannya yang amat sulit dan mengkhawatirkan. Lalu apakah logis dan pantas kita beranggapan bahwa Nabi telah meninggalkan sunnah-sunnahnya berserakan dan terbengkalai begitu saja tak tertulis, padahal kita semua tahu beliau selalu mengajarkan umatnya menjalankan sunnah-sunnah tersebut!?
Apa mungkin ini dapat dipraktekkan tanpa dibukukan? Atau jika memang benar Rasul memprakarsai konsep syura, maka semestinya beliau menggambarkan dengan jelas undang-undang dan semua masalah yang berhubungan dengan konsep tersebut dan mengatur serta menjuruskan sunnahnya sedemikan rupa, sehingga den­gan mudah konsep tersebut diterapkan dan berjalan sesuai dengan metode dan strategi yang telah digariskan sehingga tak dapat disalah-gunakan dan disetir atas kehendak setiap orang.
Bukankah anggapan satu-satunya yang rasionil adalah Rasul bersikap positip-aktif terhadap prospek dan kelangsungan proyek pengembangan dakwah setelahnya dan mempersiapkan seorang kader istimewa dan berbobot.
Ali bin Abi Thallb sebagai tempat kembali dan rujukan serta pemimpin setelah beliau dan mengajarkannya dengan segala nilai serta isi sunnah beliau. Seorang tokoh muda andaian yang mana tingkat intelektualnya dan kepandaiannya - sebagaimana yang disebutkan Nabi - mengupas ilmu dalam setiap bab menjadi seribu macam ilmu.
Kejadian dan perkembangan yang terjadi setelah Nabi wafat telah membuktikan bahwa generasi yang terdiri dad kelompok Muhajirin dan Anshar tidak mempunyai pengetahuan yang luas dan pemahaman yang cukup dan dapat diandalkan dalam mengatasi problema-problema yang menganggu gerak majunya program penyebaran dakwah, sampal-sampai penaklukan dan pembebasan yang menghasilkan tanah-tanah yang sangat luas sempat membingungkan pikiran sang Khalifah tentang gambaran dan hukum yang jelas untuk menangani pembagian tanah-tanah penaklukan tersebut; apakah dibagikan antar pasukan yang ikut menaklukan atau dibagikan sama rata antar kaum Muslimin semua.
Apakah logis kita beranggapan bahwa Rasul yang menegaskan bahwa kaum muslim akan membuka tanah-tanah di sekitar Jazirah Arabia menaklukan Kisra dan Kaisar, dan menjadikan generasi Muhajirin dan Anshar selaku pihak-pihak yang kompeten dan bertanggungjawab atas penaklukan-penaklukan tersebut yang akan membuka tanah dan daerah-daerah luas yang merupakan ladang baru dan subur bagi benih dan bibit-bibit unggul Islam?
Bahkan kita berkesimpulan lebih jauh dari semua ini. Kita berkesimpulan bahwa generasi yang pernah hidup bersama Rasul tidak mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang masalah-masalah agama yang ringan yang sering beliau lakukan dihadapan mereka.
Sebagai contohnya, kita ambil "Tragedi Shalat Mayat yang menyedihkan". Shalat jenazah adalah ibadah yang ratusan kali Rasul kerjakan secara terang-terangan di hadapan dan di tengah-tengah para sahabat yang ikut mengerjakannya. Meskipun demikian, para sahabat itu dulu tidak merasa perlu menghayati dan mengingat ibadah demikian, sebab (menurut mereka) selama Rasul melakukannya mereka akan selalu mengikuti gerak-geriknya dari belakang punggung beliau. Itulah sebabnya mengapa mereka ribut tak karuan memperdebatkan jumlah takbir yang sebenarnya dalam shalat jenazah begitu Rasulullah wafat.
Ath-Thahawi membawakan sebuah riwayat daripada Ibrahim, yang demikian isinya: la berkata:
Rasulullah wafat sedangkan rakyat pada saat itu sedang sibuk memperselisihkan jumlah sebenarnya takbir dalam shalat jenazah. Mereka menolak kesaksian seseorang yang berkata di tengah-tengah mereka: saya pernah dengar Rasulullah bertakbir tujuh kail. Sebagian berkata: Saya pernah dengar beliau melakukan lima kali takbir. Lainnya bersuara: Saya dengar beliau mengerjakan shalat jenazah dengan empat takbir. Maka kemudian semuanya sama-sama mempertahankan pendapat masing-masing dan suasana diskusi tiba-tiba makin tegang hingga berjalan terus pada saat Khalifah Abu Bakar putra Abu Quhafah hampir menghembuskan nafasnya yang terakhir. Dan ketika Umar mengambil alih tampuk kekuasaan, ia meninjau kembali masalah shalat mayat ter­sebut dan mengutus beberapa orang dari sahabat Rasul dan berpesan kepada mereka:
"Kalian adalah sahabat-sahabat Rasulullah. Jika kalian berselisih pendapat, masyarakat akan berselisih pula. Tapi apabila kalian bersepakat terhadap suatu masalah, maka masyarakat lain akan sependapat dan pasti mengikuti. Maka dari itu lihatlah dan perhatikan apa yang kalian sepakati, usahakan itu seolah-olah membangkitkan mereka.
Para sahabat itu menjawab: Ya, benar apa yang anda piklrkan wahai Amirul Mukminin!" ('Umdatul Qari,4/129).
Begitulah adanya. Para sahabat pada masa hidup Nabi menggantungkan semua urusan yang berkaitan dengan mereka kepada Nabi sendiri, dan tidak merasa berkepentingan menyerap hukum-hukum dan faham-faham baru semasa beliau masih hidup.
Mungkin sebagian orang menolak gambaran bahwa para sahabat itu adalah tidak mampu menyerap dan mencernak hukum dan pemahaman-pemahaman baru dengan alasan bahwa hal ini bertentangan dengan keyakinan kita semua bahwa pendidikan Rasul telah membuahkan kesukseskan yang gemilang dan telah berhasil menciptakan sepasukan generasi ideolog dan revolusioner yang hebat dan dapat dibanggakan.
Sebagai jawabannya, kita katakan bahwa sebelum kita mengambil kesimpulan dan gambaran di atas, kita telah mempelajari dan melihat kenyataan yang sebenarnya dari generasi besar tersebut yang ikut hidup bersosial bersama Nabi itu - kenyataan ini - tidak bertentangan sama sekali dengan kenyataan bahwa Rasul telah melakukan operasi pendidikan yang hebat dan mencengangkan semasa hidupnya, sebab kita juga tidak menutup mata menolak kenyataan bahwa cara yang dilakukan Rasul dalam upaya mendidik itu adalah langkah yang terhebat sepanjang sejarah nabi-nabi. Dan kehebatan cara serta penerapan operasi pendidikan beliau tidak harus tercerminkan dan tertakar dalam hasil dan ekses serta pengaruhnya dalam cara berfikir dan cara bertindak para sahabat. Itu harus kita pisah dan bedakan, sebab keduanya mempunyai subyek yang berbeda, disamping kita juga harus memasukkan dan mempertimbangkan faktor situasi dan kondisi serta kesamaran-kesamaran tertentu - yang masih belum bisa diungkapkan - mungkin merupakan faktor utama dari tidak terpantulnya cara pendidikan lewat Rasul dalam kehldupan sosial para sahabat. Dan kehebatan cara pendidlkan Rasul serta hasilnya tidak bisa diukur atau ditakar dengan angka dan kuantitas kesuksesannya dalam realita tanpa memasukkan faktor-faktor kualitas.
Sebagai contohnya, bila seorang guru mengajar beberapa murid mengenal pelajaran bahasa dan sastra Inggris dan kita ingin mengukur kemampuan guru itu dalam mengajar, maka kita tidak dapat hanya dengan melihat kemampuan dan sejauh mana para siswa itu memahami bahasa dan sastra Inggris. Tapi kita harus memasukkan faktor tempo, berapa lama guru tersebut mengajarkan bahasa Inggris dan dengan memperhatikan latar belakang pemahaman para siswa - sebelum diajar sang guru - terhadap bahasa Inggris. Di samping kita juga harus mempelajari kesulitan dan hambatan-hambatan yang mungkin telah sedikit banyak mengganggu kelancaran dan kelangsungan pengajaran bahasa Inggris ter­sebut. Mungkin kita juga perlu meneliti niat dan kadar semangat guru tersebut dalam mengajar bahasa Inggris mengapa ia sampai terdorong mengajar bahasa dan sastra Inggris. Kemudian dengan melihat hasil total terakhir pada ujian mereka dibandingkan dengan hasil ujian dan pdajaran tahun sebelumnya serta sistem, situasi, dan kondisi yang mungkin berbeda.
Dalam masalah penjabaran tentang operasi dan upaya pendidikan yang digalakkan Rasul, kita harus menjadikan beberapa hal sebagai bahan pertimbangan:
Pertama:
Jangka waktu yang relatif singkat dalam melakukan usaha pendidlkan, sebab itu melampaui dua batas waktu pergaulan beberapa orang yang ikut bersama Rasul dalam menempuh jalan pertama. Dan itu tidak lebih dari satu periode yang hidup pada saat itu masyarakat kebanyakan dari kelompok Anshar, dan itu berjalan tidak lebih dari tiga atau empat tahun daripada jumlah yang besar orang-orang yang masuk Islam, dimulai dengan pakta perdamaian Hudaibiah dan berlanjut hingga penaklukkan kota Makkah.
Kedua:
Situasi dan kondisi para sahabat sebelumnya, baik dari segi intelektual atau spiritual, agama dan operasional di samping kebodohan dan krisis intelektualitas serta kevakuman dalam segala atau kebanyakan aspek kehidupan mereka. Dan kiranya tidak diperlukan lagi pembuktian dan informasi tambahan untuk mendukung kenyataan ini, mengingat hal ini sangat jelas dan gamblang bila kita memandang Islam sebagai serangkaian upaya dan aksi perombakan-perombakan total dan mendasar ternadap masyarakat, bahkan Islam itu dapat kita indentifikasikan sebagai perombakan dari bawah dan pembinaan Umat baru yang mendasar dan bersifat menyeluruh. Dan ini semua menggambarkan betapa jauh jarak moral dan kultural yang memisahkan antara peradaban sebelumnya dengan situasi baru pada zaman Nabi dengan memulai menggalakkan operasi pembersihan masyarakat dari pengaruh budaya jahiliyah mereka.
Ketiga:
Perkembangan-perkembangan politik yang muncul akibat konflik politik dan pertentangan fisik (militer) di setiap front pertempuran itu merupakan ciri khas kondisi dan corak istimewa hubungan yang sejalan antara Rasul dan sahabat-sahabatnya yang berbeda dengan corak hubun­gan Isa a.s. dan Hawariyyinnya. Hubungan antara Nabi dan sahabat-sahabatnya bukanlah seperti hubungan yang terjalin antara seorang guru dengan siswa-siswanya, tapi hubungan yang terjalin antar keduanya adalah hubungan yang selaras dengan status dan derajat terhormat beliau sebagai seorang Rasul, selaku pendidik utama, selaku panglima perang dan selaku pemimpin negara.
Keempat:
Pertentangan dengan kelompok Ahlul Kitab serta kontradiksi yang terjadi antara Islam dengan kebudayaan agama yang beraneka warna yang merupakan baglan dari rentetan pertentangan dan pertikaian ideologi dan sosial yang selama ini dihadapi masyarakat muslim itu merupakan penyebab kegelisahan dan keresahan yang tak pemah kunjung reda. Dan kita tahu bahwa iu - dalam tahap perkembangan - telah menciptakan suatu aliran pemikiran israelisme (israiliyyat) yang terserap secara diam-diam ke berbagai corak pemikiran Islam yang murni atau masuk dengan didasari oleh tujuan jahat berkonspirasi dan kemudian niat buruk ini sedikit banyak telah berhasil menyusupkan pandangannya yang sesat ke pelbagai pemikiran Islam. Dan dengan mengkaji dan menelaah Al Quran secara seksama kita akan dapat dengan mudah mengukur besar kecilnya pen­garuh aliran pemikiran kelompok kontra revolusi (penyebar israiliat) dan seberapa besar perhatian dan perlindungan Allah SWT melalui wahyu-Nya memantau dan membatalkan secara eksplisit maupun secara implisit pemikiran-pemikiran rusak yang diproduksi oleh kelompok anti revcdusi tersebut.
Kelima:
Cita-cita yang hendak dicapai Rasul secara universal dalam dekade itu adalah menciptakan sebuah pangkalan dan tonggak masa yang kokoh dan dapat diandalkan sehingga dengan sendirinya mereka mampu mengkoordinir proyek pengembangan dakwah risalah - semasa hidup beliau dan seterusnya - dengan meningkatkan kerja sama dan melanjutkan program pengembangan tersebut melalui jalan yang telah digariskan sebelumnya. Tujuan dan ctta-cita beliau itu meningkatkan dan memupuk masyarakat sedemikian rupa sehingga mampu memimpin dengan sen­dirinya secara langsung, sebab konsekuensi tugas berat ini - kalau memang benar - adalah menuntut adanya pemahaman yang sempurna dan menyeluruh tentang kandungan dan esensi risalah Rasul dengan segala aspek hukum dan nilai-nilainya yang tidak sedikit. Penentuan dan penggarisan tujuan pada tahap itu adalah merupakan akibat pasti dari tindakan dan aksi perombakan, sebab adalah tidak rasionil bila seandainya Rasul hanya menggambarkan tujuan tanpa mempertimbangkan hal-hal negatif yang terjadi sebagai efek dari kesalahan-kesalahan yang terjadi dl tengah perjalanan kelak. Dan kemungkinan tentu terjadi pada situasi dan kondisi seperti yang dialami Islam. Hal ini tidak mungkin dilakukan kecuali bila dilakukan dalam ruang lingkup yang telah kami sebutkan diatas. Sebab jarak perbedaan moril, spirituil, intelektual dan sosial yang memisahkan antara Islam (risalah baru) dan kondisi yang serba rusak saat itu sangat fundamental sehingga tidak memungkinkan kesadaran dan kemampuan politik sosial ummat berkembang sampai tingkat kemampuan guna memimpin dan mengemban tugas misi risalah secara langsung. Ini akan terbukti pada pembuktian keenam. Di sana kita akan membuktikan bahwa kelanjutan wishayah - atas dasar pengalaman aksi perombakan yang baru - adalah tertampung dalam imamah dan kepemimpinan Ahlul Bayt a.s. Dan khilafah Ali adalah suatu hal pasti yang dituntut oleh logika kamus perombakan dan pembaharuan sepanjang sejarah.
Keenam:
Orang-orang yang masuk Islam setelah penaklukan Makkah merupakan mayoritas masyarakat muslim yang ditinggal Rasul meninggal. Yakni mereka itu masuk Islam setelah penaklukan Makkah dan setelah risalah menyebar ke berbagai pelosok jazirah Arabia dan menjadi kekuatan politik dan militer yang sangat besar, sedangkan mereka tidak mendapat kesempatan yang cukup untuk lebih lama bergaul dengan Rasul hanya dalam tempo yang sangat singkat di hari-hari setelah penaklukan kota Makkah usai. Mereka melihat Rasul tidak lebih dari seorang pemimpin saja, mengingat periode itu bisa dikatakan sebagai masa kejayaan yang nyata bagi eksistensi negara yang dibentuk Rasul. Dalam periode itulah muncul konsep grasi bagi orang-orang yang dikenal dengan sebutan Almu`allafah Qulubuhum yang kemudian setelah melalui beberapa proses asimilasi menjadi bagian masyarakat Islam lainnya dan mereka mendapat perhatian dan prioritas dalam hal zakat dan hukum-hukum lain. Mereka menjadi bagian dari selayaknya umat muslim yang terkadang berpengaruh dan terkadang pula mempengaruhi masyarakat besar tersebut.
Dengan memahami keenam hal di atas, kita dapat menyimpulkan dengan hati lega bahwa pendidikan Nabawiah telah membuahkan keberhasilan dan kesuksesan yang sangat gemilang dan tak ada duanya. Beliau telah berhasil menciptakan perubahan yang unik dan mencengangkan. Nabi telah melahirkan generasi kawakan yang mampu dan siaga. Generasi-generasi andalan itu adalah kenyataan dan manifestasi dari impian dan cita-cita luhur beliau membangun suatu pangkalan dan tonggak masa yang mampu mengemban tugas menuntun perjalanan dakwah selanjutnya. Generasi yang siap mengarungi pengalaman baru yang belum pernah digelutinya. Itulah sebabnya mengapa generasi hebat tersebut berfungsi sebagai pangkalan dan pondasi masa yang dapat dibanggakan selama Nabi sendiri memimpin. Seandainya kepemimpinan setelah Rasul itu berjalan terus sesuai dengan missi dan garis beliau dan beriandaskan agama yang sebenamya, maka pasti pangkalan dan tonggak masa tersebut akan dapat memainkan peranan pentingnya yang telah ditentukan. Tapi yang harus diingat penjabaran ini sama sekali tidak memberi pengertian bahwa pangkalan dan pengawal risalah itu dibentuk untuk mengambil alih tampuk kepemimpinan secara langsung dan bertanggungjawab menuntun perjalanan baru yang akan ditempuh oleh missi risalah dan dakwah setelah Nabi wafat. Sebab pembentukan dan mobilisasi generasi tersebut sebagai panitia penerap dakwah dengan sendirinya menuntut adanya keutuhan loyalitas dan iman yang sempurna terhadap risalah itu sendiri serta memerlukan adanya kearifan yang betul-betul menyeluruh dan mendasar tentang hukum dan ide-ide penyelesaiannya yang banyak dan saling berbeda terhadap kenidupan. Dan pembentukan tim (pasukan) dengan tugas berat itu harus dimulai dengan membersihkan tubuh tim atau generasi tersebut dari segala macam unsur dan oknum-oknum munafikin, para penyusup dan segerombolan dari orang-orang Islam kemarin (Almu'allafah Qulubuhum) yang masih merupakan bagian yang tidak bisa disepelekan dan dipisahkan dari generasi tersebut, mengingat jumlah dan prosentasi mereka itu cukup besar dan Nabi harus membuka-buka lembaran hidup masa lalu dan latar belakang mereka satu persatu dan dengan mempertlmbangkan pengaruh-pengaruh negatif dan kebiadaban kaum munafikin sebagalmana yang telah sering digambarkan dalam Al Quran tentang tipu dan makar serta sikap-sikap mereka yang sudah dikenal. Dan adanya beberapa orang yang terpercaya dan dapat diandalkan dalam tubuh generasi tersebut telah sedikit banyak membantu kelangsungan program pemupukan ideologi yang kokoh dan proyek pengkaderan itu telah menghasilkan tokoh-tokoh revolusioner yang tangguh seperti Salman Al-Farisi. Abu Dzar AI-Ghifari, Ammar bin Yasir dan lain-lain.
Saya berani katakan bahwa adanya beberapa orang seperti yang tersebut di atas di tengah-tengah generasi besar itu juga tidak membuktikan bahwa generasi secara keseluruhan telah mencapal tingkat yang dapat menjamin mereka mampu memikul tanggung jawab membina masyarakat dan menuntun perjalanan dakwah atas dasar konsep dan sistem syura.
Dan orang-orang yang kita jadikan sebagai contoh dari keberhasilan program pendidikan Nabi itu pun tidak ada yang menampakkan dan merasa mampu mengemban tugas dan telah siap dalam segi intelektual dan kultural memimpin masyarakat dalam mengarungi perjalanan baru mereka meskipun ketulusan dan loyalitas mereka tidak kita sangsikan dan pertanyakan lagi, tetapi ada suatu titik rahasia yang harus kita ketahui bersama bahwa Islam bukahlah suatu teori atau sebuah pendapat yang dicetuskan oleh seorang ideolog atau seorang ahli hukum yang jenius siapa pun, sehingga tergaris dan menjadi jelas setelah diterapkan dengan benar-benar tepat dengan esensi ajaran Islam itu sendiri. Islam adalah misi luhur Allah SWT yang sejak semula sudah sempurna dan baku dengan segala macam batas-batas dan nilai-nilai pemikirannya. Sebuah misi sempurna yang telah diramu dengan rapi dan diperlengkapi dengan batas-batas serta penetapan hukum yang merupakan kebutuhan dan syarat pasti bagi aksi penerapan.
Maka memahami secara mendalam dan menghayati kandungan risalah seutuhnya adalah syarat yang tak bisa ditawar-tawar lagi begitu juga mengetahui semua hukum dan nilai serta ide-ide yang bersumber pada risalah suci tersebut. Sebab jika hal penting ini tidak dijadikan sebagai syarat maka sebagai jalan keluarnya, generasi yang belum terdidlk secara matang itu akan mengenang kembali masa kejayaan jahiliyah dan kemudian mengambil pengaruh pemikiran jahiliyah kuno mereka sebagai penyelesaian dalam menghadapi dan mengatasi problema-problema serius mereka. Dan ini jelas akan membawa bencana dan mengkeruhkan suasana dan sekaligus akan mengotori citra Risalah Allah yang sudah disempurnakan itu. Lagi pula itu akan menimbulkan kesenjangan dan kemacetan dalam gerak maju aksi penerapan yang diidam-idamkan Pemim-pin Agung Muhammad SAWW. Bencana besar itu akan lebih tragis dan menakutkan bila kita hubungkan misi Risalah Nabi dengan risalah-risalah para nabi sebelumnya.
Kita semua tahu bahwa Risalah yang dibawa Nabi Muhammad adalah merupakan penutup sekaligus pelengkap missi-missi sebelumnya yang dibawakan oleh para nabi sejak Adam as. Sebuah missi universal yang semestinya berjalan terus seiring dengan perjalanan zaman kemudian menerobos bagaikan bah melenyapkan segala macam batas waktu, teritorial dan ras. Hal-hal di atas menuntut agar kepemlmplnan ini dijalankan dengan rapi oleh pihak yang kompeten dan mengerti sehingga kepemimpinan tersebut berjalan sesuai dengan garis strateginya dan tidak terbentur dengan kesalahan-kesalahan fatal yang akibatnya bila kesalahan itu berulang-ulang terjadi dan menumpuk, maka akan menimbulkan bahaya besar yang dapat mengancam keutuhan dan kesuk-sesan program dalam proses perjalanan dan perkembangannya.
Itu semua menunjukkan bahwa penataran dan upaya mendidik yang dilakukan Nabi secara umum di kalangan Muhajirin dan Anshar tidak seukuran dengan kebutuhan yang besar bagi penyiapan pimpinan yang sadar intelektual sosial-politik demi masa depan dakwah dan kesuksesan aksi perombakan. Tapi yang beliau lakukan hanya mendidik dan mengadakan penataran semacam penataran yang sengaja dilakukan guna membangun pangkalan dan pondasi rakyat yang kokoh dan sadar akan tanggung jawab memimpin dan menuntun jalan dakwah dewasa ini dan di masa mendatang.
Dan setiap anggapan yang kesimpulannya bahwa Nabi telah berencana menciptakan kader profestonal untuk memegang kekuasaan dan menjadi pengawal pengawas tangguh projek dakwah dl jajaran Muhajirin dan Anshar adalah anggapan yang mengandung tuduhan yang sama sekaii tak berdasar bagi pribadi seorang pemimpin ideologi berpengaruh manapun dalam sejarah dan kamus aksi perombakan dan revolusi ideologi, dengan menuduh bahwa Rasul tidak dapat membedakan antara kesadaran yang dibutuhkan bagi sebuah pondasi dan pangkalan masa demi dakwah dengan kelangsungannya dan kesadaran yang dibutuhkan bagi pemimpin dan penggiring dakwah dalam segala aspek kehidupan politik, sosial, kebudayaan, dan lain sebagainya.
Dakwah dapat dirasakan sebagai operasi perombakan dan merupakan "way of life" yang serba baru yang dengan sendirinya menyodorkan konsep dan rencana kerja bagi pembentukan kerangka awal dalam masyarakat dan mencabut setiap akar dan pengaruh jahiliyah serta membasmi semua sisa-sisanya yang berkarat.
Dan ummat Islam secara umum tidak pernah hidup bersosial dibawah proyek operasi perombakan hanya dalam satu dekade saja (dan inipun menurut perkiraan maksimal). Dan masa singkat tidak memadai - menurut logika dan tradisi sejarah kebangkitan ajaran-ajaran baru - untuk meningkatkan dan mengangkat generasi yang hanya sepuluh tahun bersama Rasul sampai mampu mencapai kebebasan dan pembersihan total dan segala rnacam pen­garuh kemarin jahiliyah dan sekaligus dapat menampung segala nilai dan ide-ide baru yang menjadikan mereka mampu meluruskan jalannya Risalah dan mengemban tugas dakwah serta menyempurnakan projek perombakan tanpa bimbingan seorang arkitek ulung dan pemimpin kaliber. Logika dan kamus sejarah ajaran dan ideologi manapun telah menunjukkan betapa pentingnya menatar masyarakat dengan tataran dan pendidikan ideologi secara intensif dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga dapat mengangkat masyarakat ke tingkat kesadaran yang sempurna.
Ini bukan hanya sekedar hasil atau sebuah kesimpulan belaka, bahkan telah menggambarkan kenyataan yang terefleksi dalam kejadian-kejadian yang timbul sejak setelah Nabi wafat dan kenyataan tersebut makin jelas setelah kurang lebih setengah abad yang terjelma dalam tindakan dan pada hidup generasi Muhajirin dan Anshar dalam menjalankan tugas membawa misi dakwah sepanjang perjalanannya, sebab pelancaran tersebut telah berlangsung selama tidak lebih dari seperempat abad yang berakhir secara tragis dan menyedihkan dengan timbulnya gejala kehancuran khilafah Arrasyidah yang telah dimotori oleh generasi Muhajirin dan Anshar. Khilafah tersebut akhlrnya tumbang setelah mendapat beberapa pukulan beruntun dari musuh-musuh bebuyutan Islam yang mana kehancuran itu terjadi dalam ruang lingkup perjalanan Islam dan tidak terjadi di luarnya. Itulah sebabnya mereka berhasil mengambil alih dan menduduki pos-pos penting sepanjang perjalanan dakwah secara bertahap. Mereka kemudian - sebagaimana yang telah terbuktl dalam sejarah - berhasil mengelabui dan memperalat aparat-aparat pemerintah yang tidak layak menjadi kurir dan boneka-boneka yang dapat dikendalikan dari jauh. Setelah semua strategi dan rencana pertama berjalan dengan lancar mereka turun ke lapangan; merampok kekuasaan (kudeta) dengan kekerasan dan memaksa masyarakat serta generasi senior mereka agar tunduk dan mengalah mengorbankan identitias mereka (selaku sahabat) dan kekuasaan mereka. Akhirul hikayah, khilafah mereka sihir dan robah secara dratis dalam sekejap mata menjadi kerajaan dan sistem monarki turun-temurun yang absolut; tidak menghargai hak asasi, menganiaya dan membantai orang-orang yang tidak berdosa, menon-fungsikan hukum dan undang-undang dan tidak memberlakukan batas-batas hukum (had-had seperti hukuman terhadap perbuatan zina, dan lain-tain). Kedurjanaan dan kediktatoran berubah menjadi tradisi dan fenomena yang wajar dalam kehidupan sehari-hari umat muslim. Dan khilafahpun tak ubahnya bagaikan bola-bola kecil yang ditendang dan dipermainkan kesana kemari oleh bocah-bocah ingusan Bani Ummayah.
Maka, segala kejadian dan pengalaman yang kerap kali terjadi sejak Rasul wafat dan segala akibat dan hasil-hasil yang menyedihkan daripada perkembangan-perkembangan yang timbul selama kurang lebih seperempat abad yang telah memaksa kami mengambil kesimpulan seperti diatas bahwa tuduhan memberikan hak wewenang mengendalikan tali kekuasaan dan menempati posisi tempat kembali bagi soal politik dan langkah-langkahnya kepada generasi Muhajirin dan Anshar begitu Rasul wafat adalah tindakan yang terlalu dini dan melanggar hukum alam yang normal. Oleh karena itu, adalah anggapan yang tidak rasional bila dikatakan bahwa Nabi telah melakukan hal semacam ini.
Alternatif Ketiga : Yang Ditempuh Rasul Demi Kelangsungan Misinya.
Adalah cara satu-satunya yang rasionil dan selaras dengan hukum pasti bagi kondisi yang ada pada dakwah itu sendiri, kondisi juru-juru dakwah yaitu bersikap positif terhadap masa depan dakwah setelahnya serta memilih dari sekian banyak sahabat (berdasarkan keputusan resmi dari Allah melalui Nabi-Nya) sebagai calon utama dan tunggal pengemban dakwah dalam perjalanan setelah beliau meninggal. Dan Nabi bertugas mengisinya dan mengajarkannya segala macam ilmu dan bahan-bahan yang diperlukan bagi seorang pemimpin yang bertugas seperti Nabi sendiri memimpin Umatnya dan mempersiapkan ketahanan mental dan loyalitas serta jiwanya sehingga mampu secara utuh menjalankan tugas sucinya menuntun perjalanan dakwah dan melanjutkan program pengembangan dakwah dan menyempurnakan proyek pembangunan pangkalan dan pondasi masa yang sadar dan kokoh dalam tubuh generasi yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar selaku pengawal-pengawal dan plhak-pihak yang bertanggung jawab memimpin masyarakat di bawah bimbingan seorang pemimpin kharismatik dan berbobot sekaligus mereka berkewajiban memimpin umat secara operasional setelah mencapai tingkat kesadaran dan loyalitas yang cukup untuk menerima tugas penting tersebut.
Dan begitulah seterusnya. Kita temukan cara dan jalan keluar ini adalah cara dan sikap satu-satunya yang diambil Rasul dalam menanggapi masa depan dan kelanjutan dakwah yang telah dirintisnya. Ini adalah cara yang efektif dan dapat menjamin keselamatan perjalanan dak­wah setelahnya dan dapat melindungi proyek penyebarannya dari segala macam kelesuan dan gejala-gejala kegagalan dan penyelewengan dalam sepanjang tahap dan proses perkembangannya.
Dan hadis-hadis mutawatir yang kita dapatkan dari Rasul menunjukkan bahwa beliau telah melakukan persiapan matang dalam segi dan intelektualitas dan loyalitas sebagian juru dakwah hingga mereka mencapai tingkat seorang kader dan pemikir serta tokoh polltik. Rasul telah mempersiapkan mereka sebagai calon-calon pengemban masa depan dakwah. Itu semua merupakan tindakan Rasul dan cara ketiga yang pasti telah ditempuh Rasul dan membuktikan dengan jelas bahwa hal ini tidak bertentangan dengan hukum alam seperti yang telah kita ketahui bersama.
Dan Ali bin Abi Thalib adalah satu-satunya orang diantara beribu-ribu sahabat Nabi yang mempunyai peluang dan kemampuan serta kesempurnaan segala kriteria dan syarat-syarat penting seorang pemimpin. Dia adalah orang yang terpandai dan lebih arif dalam segala bidang daripada yang lainnya. Dia adalah Muslim pertama dan pejuang ksatria yang tidak bisa disamakan dengan siapapun yang gigih memperjuangkan misi Risalah dengan membasmi penghalang dan perintang jalannya dakwah. Dia adalah pribadi yang bersatu dan beradaptasi dengan seutuhnya dengan esensi Risalah. Dia dibesarkan di pangkuan mertua dan misannya, Nabi besar Muhammad saw. Dia adalah anak angkat yang selalu berada di sisi beliau. Hal mana pergaulan yang panjang ini menghasilkan adanya persenyawaan antar dua pribadi yang mulia itu. Ali telah lulus dengan predikat sangat dan terialu memuaskan berintegrasi secara menyeluruh terhadap nilai-nilai dan ber-bagai aspek kehidupan Rasul yang pada akhirnya mengistimewakan Ali di antara sekian banyak sahabat dan masyarakat lainnya.
Dan perjalanan hidup Rasul dan Imam Ali telah den­gan jelas membuktikan bahwa Nabi telah menyelesaikan tugas utamanya dengan mempersiapkan Ali dari segala kebutuhan seorang pemimpin sebagai perjalanan dan masa depan misi yang telah dibawa oleh Rasul. Beliau telah memberikannya segala macam hikmah dan rahasia-rahasia ilmu bagi seorang kandidat pemimpin agung umat Islam, hingga teriihat perhatian beliau dengan cara mengajarkan-nya dengan cara empat mata dan cara yang tertutup. Memberinya gambaran-gambaran tentang berbagai halangan yang mungkin akan mengganggu gerak jalan dakwah setelah beliau.
AI-Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak membawakan sebuah riwayat dari Abi Ishaq yang demikian bunyinya:
"Aku pernah bertanya kepada Al-Qasim bin Al-Abbas: Bagaimana sampai Ali dapat mewarisi segala sesuatu yang Rasul miliki? la menjawab: Ya, sebab ia adalah seorang muslim pertama dan yang paling teguh memegangnya."
Dalam kitab HilyatuI Awliya` tertulis sebuah riwayat yang telah dibawakan oleh Abdullah bin Abbas. la berkata:
"Kami dulu pernah berbicara bahwa Nabi SAWW memberi Ali tujuh puluh wasiat (janji pusaka) yang mana tidak pernah beliau berikan kepada orang selainnya."
An-Nasa'i meriwayatkan hadis melalui Ibnu Abbas yang ia dengar dari Ali ketika berkata: "Derajat dan posisiku di sisi Rasulullah di atas semua makhluk. Dulu aku selalu menemui Nabi di setiap malam. Bila beliau sedang melakukan shalat, maka bertasbih (isyarat kepada Ali agar langsung masuk kerumahnya), lalu aku masuk. Bila beliau tidak sedang melakukannya, Rasul segera menyuruhku lalu aku masuk"
Juga An-Nasa'i dari Imam Ali. Dalam riwayat tersebut Imam Ali berkata:
"Di sefiap hari aku mempunyai dua saat pertemuan istimewa dengan Nabi. Yaitu pada waktu petang dan pada waktu siang.
Imam Ali dalam riwayat An-Nasa'i sendiri pernah berkata: "Dulu segala sesuatu yang kutanyakan dan kuminta penjelasannya, beliau pasti memberinya. Sebaliknya, bila aku pasif dan diam tak mengajukan pertanyaan, beliau pasti memulai bertanya kepadaku."
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak lis Shahihain yang menurut pendapatnya bahwa riwayat ini adalah setingkat shahih Ala Syarth As-syaikhain.
Dari Ummu Salamah dalam riwayat yang dibawakan An-Nasa'i; ia berkata:
"Demi Zat Yang Ummu Salamah bersumpah den­gan nama-Nya. Ali adalah orang yang terdekat dengan Rasul. Di saat Rasul hampir di cabut nyawanya, beliau (Ali) mengutus beberapa orang untuk menghadap kepada Rasulullah. Aku (Ummu Salamah) kira ia mengutus itu untuk suatu kepentingan tertentu. Sebelum Ali datang memenuhi panggilan Rasul tersebut, beliau bertanya: Sudah datangkah Ali? Pertanyaan itu beliau ulangi selama tiga kali. Lalu tak berapa lama Ali datang menemui beliau di waktu matahari belum terbit. Dengan kedatangan itu kami (Ummu Salamah dan sahabat lain) tahu apa yang sebenarnya yang Rasul ingin bicarakan. Lalu kami meninggalkan rumah beliau yang pada waktu itu Rasul tinggal bersama istrinya Aisyah. Aku (Ummu Salamah) orang terakhir yang meninggalkan rumah tersebut. Kemudian aku menyelinap di belakang pintu rumah itu. Dan jarak pintu dan aku sangat dekat sekali. Kulihat Rasul merangkulnya. Dan Ali adalah orang yang paling terakhir mendapat pesan. la mengelilingi Rasul dan meminta bantuannya."
Amirul Mukminin dalam sebuah ceramahnya yang sangat populer pernah berkata dan menerangkan hubungan istimewa yang terjalin antara pribadinya dengan Rasul serta perhatian beliau. Uraian Imam Ali a.s. itu demikian bunyinya:
"Kalian sudah tahu posisi dan derajatku di sisi Rasulullah dan mengetahui hubungan kerabatku yang san­gat dekat dan istimewa dengan beliau. Sejak kecil aku dipangku beliau. Aku didekapnya lalu digendongnya dan ditidurkan diatas ranjang. Lalu mencium dan menyentuh badanku dengan penuh kasih sayang. Beliau seringkali mengunyah sesuatu makanan lalu memasukkannya ke dalam mulutku. Beliau tidak pernah dapatkan aku berdusta dalam setiap ucapan dan tindakan dan aku tak pernah melakukan suatu kesalahan pun. Aku selalu mengikuti jejak dan meniru prilakunya bagai anak itik yang selalu meniru jejak induknya. Beliau setiap hari memupuk dan men-dewasakanku dengan segala nilai dan budi pekerti serta selalu mengimbau agar aku terus mengikuti jejak dan perintahnya. Aku selalu menemani beliau setiap tahun di gua Hira. Di mana pada saat itu aku melihatnya dan beliau tidak melihat orang lain selainku. Kami bertiga dahulu adalah anggota keluarga beragama Islam yang terdiri dari Rasul, Khadijah, dan aku sendiri yang ketiga. Aku menyaksikan cahaya wahyu dan risalah. Aku sempat menghirup bau semerbak kenabian."
Bukti-bukti ini dan lainnya banyak sekali yang dengan jelas menggambarkan adanya suatu langkah hebat yang diambil Nabi dalam upaya mengkader dan melatih loyalitas dan ketahanan jiwa mental Ali terhadap risalah serta mempersiapkannya untuk memegang tali kendali kekuasaan dan pimpinan perjalanan dakwah kelak. Sejarah dan biografi kehidupan Imam Ali sejak setelah wafatnya Rasul selalu penuh dengan titik-titik dan tanda terang yang menyingkap adanya penataran ideologi secara intensif terhadapnya yang dilakukan Rasulullah. Kehidupan serta kebijaksanaannya yang telah merefleksikan adanya upaya pendidikan khusus dan rahasia. la adalah tempat kembali dan penyelesai tunggal bagi segala macam problema yang tak dapat diselesaikan oleh aparat dan pejabat pemerin-tahan Khilafah pada zaman itu. Dalam sejarah pemerintahan dari ketiga khalifah itu tidak ada seorang pun yang selalu diminta pendapat yang mewakili Islam dan jalan keluar dalam menangani masalah-masalah, kecuali Imam All. Meskipun sikap partai yang berkuasa pada saat itu konservatif dan tak peduli terhadap masalah hak kekuasaan yang sebenarnya selama berpuluh-puluh tahun, tetapt para aparat dl jajaran tertlnggi partai berkuasa tidak merasa pertu meminta nasehat dan saran Imam Ali yang merupakan wakil orisinil (tulen) Islam.
Jika terbukti Nabi telah mempersiapkan All secara khusus sebagal penerus pembimbing dakwah, maka ini merupakan buktl bahwa Nabi telah mengumumkan dan memproklamasikan penunjukan atas Ali secara resmi dan serius pada rakyat secara keseluruhan sebagai inteleklual ideolog dan pemimpin politik. Itu tercermin dalam hadis ad-dar, ats-tsaqalaIn, al-manzilah, al-ghadir serta segudang hadis dan nash lainnya.
Dan begitulah seterusnya akhirnya kita dapat mengetahui dengan jelas bahwa Syi'ahisme (Tasyayyu') tidak berada di luar garis strategi program dan rencana penerusan dakwah Islamiyah yang dirintis oleh Rasul di mana tergambar dalam konsep Nabawiyah yang telah beliau paparkan sendiri atas dasar perintah Allah SWT guna menjaga kelangsungan dan kelanjutan program pengembangan dakwah.
Dengan demikian kita dapat berkesimpulan bahwa Syi'ahisme bukanlah suatu fenomena atau gejala perkembangan sosial yang ganjil. Syi'ahisme adalah bagian hukum sebab akibat dari kondisi serta kebutuhan yang dengan sendiri telah memproses timbulnya faham tersebut.
Dengan kata lain, Rasul atau pemimpin pertama harus melakukan tindak percobaan dan harus mempersiapkan untuk percobaan dan perjalanan baru kepada pemim­pin kedua yang beliau didik sedemikian teliti sehingga mampu mengemban tugas secara sempurna dan selaras dengan tuntutan kondisi dan situasinya. Dengan meneruskan kepemimpinan Nabi dalam menyempurnakan tujuan dalam rangka mencabut seluruh akar dan pengaruh jahiliyah yang masih tersisa pada masyarakat sekaligus membimbing dan membinanya sehingga dapat diandalkan dan mampii memenuhi kebutuhan serta tuntutan dakwah dan tanggungjawabnya.
Pembahasan Kedua : Bagaimana Lahirnya Golongan Syi'ah?
Setelah dengan jelas kita telusuri sejarah munculnya faham Tasyayyu' dan mendapat pemahaman yang gamblang dan rasionil tentang faham tersebut, maka kita menginjak kepada pembahasan kedua, yaitu dengan mencari jawaban dari pertanyaan bagaimana gdongan yang dikenal dengan nama Syi'ah dan bagaimana proses terbelahnya ummat Islam menjadi dua golongan sejak awal muncul masyarakat Islam itu terbentuk.
Sebagai jawabannya, jika kita telusuri periode pertama dari kehidupan umat Islam pada zaman Nabi, kita akan menemukan adanya dua garis pemikiran utama yang sangat bertolak belakang dan juga muncul berbarengan dengan timbulnya masyarakat Islam. Perbedaan antara keduanya telah mengakibatkan timbulnya beberapa perbedaan ideologis saat Rasul menemui Kekasihnya. Yang mana ideologi itu melahirkan perbedaan garis politik antara dua kubu yang kemudian cenderung membentuk dua blok atau partai politik dalam tubuh masyarakat Islam. Lalu salah satunya berhasil mengambil alih tampuk kekuasaan yang mendapat simpati dan dukungan dari mayoritas masyarakat. Sebaliknya, kubu lain yang tidak berhasil cenderung menjadi kelompok minoritas yang eksklusif dan tersudutkan di tengah-tengah masyarakat yang tidak mendukung bahkan memusuhi mereka. Kelompok minoritas tersebut adalah Syi'ah.
Dua kubu utama yang sama-sama menyertai masa lahirnya dan terbentuknya masyarakat Muslim pada zaman Nabi ttu sebagai berikut:
- Haluan pertama: menerima secara mutlak keputusan dan perintah agama tanpa pamrih, tanpa mengutamakan ide sendiri atas ketentuan tersebut dan menghayati serta meyakini hukum dan penyelesaian agama terhadap segala aspek kehidupan.
- Haluan kedua: beranggapan bahwa loyalitas dan iman kepada agama tidak menuntut penghayatan dan penerapan dalam bentuk praktek setiap masalah yang bersumber pada agama kecuali pada masalah yang bersifat ritual dan dogma. Selanjutnya lebih dari itu mereka mengutamakan ijtihad sebagai penyelesaian yang dapat menggantikan fungsi hukum agama dengan mempertimbangkan keadaan dan ukuran kepentingan yang dibutuhkan dalam segala segi kehidupan.
Para sahabat, di samping selaku generasi mukmin dan cemerlang, mereka juga merupakan generasi yang teristimewakan dan ikut berpartisipasi mensukseskan proyek pelancaran risalah. Sampai saat ini sejarah belum pernah membukukan dan membuktikan adanya sebuah generasi yang lebih handal dan hebat daripada generasi yang telah diciptakan oleh Rasulullah SAWW. Sekali pun kenyataan mereka itu demikian, akan tetapi adalah logis bila kita beranggapan bahwa sejak masa hidup Rasul, telah terlihat adanya dua garis pemikiran yang senang dengan pendapat pribadi yang mereka gunakan bila kepentingan menuntut dan memaksa mereka untuk menanggalkan hukum dan ketetapan agama yang telah tertera dalam nash-nash. Rasulullah seringkali terbentur bahkan terganggu aktifitasnya akibat ulah dan pota pemikiran ini. sampai-sampai ketika beliau sudah terbaring di atas ranjang terakhirnya. Di samping itu, kita juga harus mengakui ada - pada masa hidup Rasul - yang menerima dan sama sekali percaya sekaligus merealisasikan setiap ketentuan agama dalam setiap aspek kehidupan mereka, baik ibadat, dogma, politik, pemikiran dan lain sebagainya.
Mungkin faktor utama dari berkembang dan tersebarnya pengaruh pemikiran ijtihad (bir ra'iy) di kalangan muslimin adalah garis dan pola pemikiran seperti ini yang sedikit banyak bersatu dengan naluri kecenderungan setiap orang yang selalu bertindak sesuai dengan kepentingan dan kehendak pribadinya daripada bertindak atas dasar perintah dan dorongan dari luar, yang terkadang belum dimengerti maksudnya.
Garis pemikiran ini dipelopori dan disponsori oleh beberapa sahabat senior seperti Umar bin Khattab yang terkenal nekad menegur dan mengkritik sebagian tindakan Rasul (yang adalah wahyu) dan mengajukan pendapat pribadinya dalam beberapa masalah yang bertentangan dengan teks ketetapan agama. Atas dasar alasan dan anggapan yang tampaknya rasionil bahwa ia sebagai orang berakal berhak menyelesaikan sendiri beberapa urusan yang mungkin penyelesaiannya itu tidak sama dengan penyelesaian yang telah diajarkan agama.
Kenyataan ini terlihat dalam sikapnya yang kontroversial dalam menanggapi fakta perdamaian Hudaibiyah dan kritiknya yang tegas terhadap resolusi per­damaian yang disepakati dan ditanda tangani deh Rasul dan langkahnya yang mengundang sensasi dengan menon-fungsikan Hayya 'ala khairil 'amal dalam panggilan azan yang telah diajarkan deh Rasulullah SAWW. la juga sempat tenar karena langkahnya mencanangkan hukum modern dan menanggalkan hukum lama Rasul dengan mengharamkan dan meniadakan Hajji Mut'ah (Tamattu') dan ratusan pikiran-pikiran pribadinya yang tak asing lagi bagi kita.
Dua aliran pemikiran yang sangat berbeda itu pernah bertemu dan tertumpah secara kebetulan di satu tempat dan wadah pada hari terakhir hidup Nab). Bukhori telah meriwayatkan dalam sahihnya dari Ibnu Abbas. Ia berkata:
Ketika Rasulullah hampir wafat sedangkan di rumah beliau terdapat beberapa orang termasuk Umar bin Khattab, beliau bersuara: "Mari kutuliskan untuk kalian sebuah pusaka (yang jika kalian mengikutinya), maka kalian tidak akan tersesat untuk selama-lamanya".
Tiba-tiba Umar berseloroh:
"Penyakit Nabi itu sudah terlalu parah sehingga beliau mengigau, apa perlunya tulisan itu sedangkan Al Quran ada di sisi kalian. Sudahlah, Al Quran itu sendiri cukup sebagal pedoman bagi kita".
Pernyataan Umar ini akhirnya mengundang keriuhan dan perselisihan pendapat di antara orang-orang yang berkerumun menengok Rasul yang sedang terbaring sakit. Sebagian berkata:
"Berikan! Beliau hendak menuliskan sebuah pedoman untuk kalian yang akan dapat menyelamatkan kalian kelak."
Sebagian yang lain mendukung Umar menolak memberikan secarik kertas kepada Nabi Besar Muhammad SAWW. Selang beberpa saat, rumah Rasul tersebut berubah menjadi ajang perang mulut antar sahabat yang berkerumun mengelilingi beliau. Akhirnya, Nabi dengan kesal mengusir mereka:
"Ayo Enyahlah kalian!"
Begitu perintah Rasul.
Tragedi bersejarah ini dengan jelas membuktikan dan menggambarkan betapa jauh dan mendasarnya perbedaan antara dua gdongan adalah peristiwa perselisihan dan cekcok yang muncul akibat dari penunjukkan Rasul kepada Usamah bin Zaid bin Harits sebagai Panglima devisi perang, padahal penunjukkan itu berdasarkan perintah langsung dari Nabi yang tak dapat ditolak. Sampai-sampai beliau bangkit dari ranjang dengan memaksakan tubuhnya yang sudah lemah-lunglai untuk keluar dari rumah dalam keadaan sakit. Beliau mengeluh kesal di hadapan pengikutnya:
"Wahai ummat! Desas-desus apa yang aku dengar tentang penunjukkan Usamah (sebagai panglima perang)? Tetapi mengapa dulu kalian tidak menolak penunjukkan ayahnya sebagai panglima. Demi Tuhan! Ia pantas dan mampu memegang jabatan panglima!"
Dan kedua haluan yang memulai konflik dan perselisihan pada masa hidup Rasul telah tampak dalam sikapnya terhadap masalah pimpinan imam setelah Nabi
Orang-orang yang mewakili garis nash berpendapat bahwa adanya nash dan ketetapan Rasul berkenaan dengan hak kekhalifahan merupakan sebab dan dasar prinsip yang mengharuskan seorang muslim agar menerima secara mutlak segala macam keputusan dan hukum agama tanpa menggantinya dengan gagasan sendiri karena beberapa pertimbangan kepentingan di samping kondisi dan situasi yang ada (ini menurut logika dan pola pemikiran mereka tentunya).
Dengan demikian, kita dapat berkesimpulan bahwa golongan Syi'ah telah hadir di tengah-tengah masyarakat Islam sejak pada masa hidup Rasul yang beranggotakan orang-orang muslim yang secara praktis telah mematuhi dengan mutlak konsep dan ketetapan Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin setelah Rasul. Dan haluan yang berfaham Syi'ah kemudian lebih menjelma dalam kerangka bentuk yang jelas pada saat pertama dari sikap protes dan menolak keputusan yang telah diambil pada sidang darurat Saqifah Bani Saidah yang telah membekukan fungsi pim­pinan Ali dan mengambil alih serta memberikannya kepada orang lain.
Ath-Thabarsi dalam buku Al-Ihtijaj membawakan sebuah riwayat dari Aban bin Taghlib. la bertanya kepada Imam Ja'far bin Muhammad Ash-Shadiq a.s.:
"Kujadikan diriku tebusan darimu. Apakah ada orang yang menolak kepemimpinan Abu Bakar di antara para sahabat Rasullah?"
Imam menjawab: "Ya. Dua betas orang dari kaum Muhajirin yang menolak; mereka itu adalah Khalid bin Said bin Abi Al-'Ash, Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghifari, Miqdad bin Al-Aswad, Ammar bin Yasir, dan Buraidah Al-Aslami. Dan dari pihak Anshar adalah Abul Haitsam bin At-Taihan, Utsman bin Hunaif, Khuzaimah bin Tsabit Dzus-syahadatain, Ubay bin Ka'ab dan Abu Ayyub Al-Anshari".
Mungkin anda atau siapa pun saja ingin mengatakan hal ini, yaitu jika memang benar haluan Syi'ah itu adalah yang teguh menerima ketetapan secara mutlak dan menerapkannya dalam bentuk praktek kehidupan mereka dan bahwa haluan yang lain lebih mengutamakan pikiran sendiri daripada menerima secara mutlak ketentuan agama, maka ini berarti haluan nash lebih picik dan tidak menggunakan akal sehat. Padahal selama ini haluan dan golongan Syi'ah menggunakan ijtihad dalam syari'at amat sering.
Jawabannya adalah ijtihad yang dibenarkan bahkan terkadang wajib (kifayah) yang digunakan adalah ijtihad yang mempunyai definisi menyerap suatu hukum dari nash dan ketetapan syar'i. Tapi dalam kamus mereka ijtihad itu bukanlah menggunakan pikiran sendiri daripada menerima suatu ketetapan yang jelas dari agama. Dan ijtihad itu tidak hanya digunakan atas dasar ingin mencapai tujuan dan memperoleh keuntungan pribadi sendiri. Ijtihad demikianlah yang tidak dibenarkan. Sebab ini bertentangan dengan keputusan agama. Dan Syi'ah menolak hak wewenang ijtihad yang demikian. Dan yang kita maksudkan kandungan misi risalah yang baru. Bertindak dari sini kita dapat ketahui bahwa garis pemikiran yang berorientasi kepada nash itu adalah golongan yang lebih menghayati risalah dan menerimanya secara menyeluruh sekaligus tidak menolak fungsi ijtihad selama ijtihad tersebut tidak berten­tangan dengan nash dan selama ijtihad itu bersumberkan hukum syari'at yang sudah ada. Patut diketahui bahwa sikap menerima sepenuhnya ketetapan nash tidak berarti picik dan kedangkalan berfikir yang tidak peduli akan perkembangan dan tuntutan-tuntutannya serta bertentangan dengan faktor-faktor yang dapat menunjang kemajuan dan program pembaharuan yang beraneka warna terhadap kehldupan manusia.
Maka sikap menerima nash agama mutlak, artinya bertindak atas dasar tuntutan dan ketetapan agama tanpa memilih-milih yang kelihatan ringan. Padahal agama itu adalah selaras dengan kelembutan dan berjalan seiring dengan kemajuan dan perkembangan zaman serta mencakupnya segala macam corak dan ciri kemajuan dan pem­baharuan. Maka bersikap menerima secara mutlak setiap ketetapan agama berarti bersikap menerima segala macam faktor yang dapat menunjang kemajuan. termasuk kreatifitas dalam menciptakan sesuatu yang baru, melakukan pembaharuan terhadap beberapa pemikiran dan gagasan, dan seterusnya.
Ini semua merupakan garis besar dari penafsiran tentang Syi'ahisme sebagai suatu fenomena dan pemandangan yang logis dan lazim dalam ruang lingkup program dan strategi pengembangan dakwah serta penafsiran tentang timbulnya gdongan Syi'ah sebagai refleksi dan cermin jari fenomena yang alami tersebut.
Dan kepemimpinan Ahlul Bayt serta Ali yang merupakan fenomena logis itu mempunyai dua fungsi utama dalam teori kepemimpinan. Fungsi pertama selaku Pemimpin dalam bidang pemikiran budaya dan intelektual, dan fungsi kedua sebagai pembimbing dan arkitek projek perombakan dalam bidang sosial. Kedua fungsi kepemim­pinan itu bersatu dan tertumpah dalam satu wadah yang terjelma dalam pribadi Nabi. Kemudian setelah meneliti secara seksama situasi dan kondisi yang ada, beliau mempersiapkan seorang kader handal yang mampu berfungsi sebagai pemimpin dari keduanya secara sempurna, sehingga fungsi kepemimpinan intelektual dapat mengisi kekosongan yang ada pada pola berfikir masyarakat. Sekaligus Rasul bertugas menghidupkan suatu gambaran dari pemahaman yang cocok dan relevan sebagai jalan keluar yang mewakili Islam dalam menanggulangi problema-problema pemikiran dan kehidupan serta menerapkan satu demi satu nllai-nilai dan pikiran-pikiran yang tersirat dalam AI-Qur'an yang sangat rumit dan kurang jelas yang mana Kitab suci tersebut merupakan sumber utama dan khazanah bagi pemikiran dan intelektual Islam di samping agar supaya kepemimpinan sosial berfungsi meneruskan perjalanan Islam di atas garis target sosialnya.
Dan kedua fungsi kepemimpinan tersebut terdapat pada Ahlul Bayt sesuai dengan kondisi yang telah kita pelajari atas dasar nash-nash Nabi yang telah menekankan hal tersebut berkali-kali. Contoh utamanya ialah nash-nash Nabi tentang kepemimpinan intelektual seperti hadisTsaqalaian Rasulullah yang berbunyi demikian:
Aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka penting(as-saqalain); yaitu Kitab Allah yang merupakan tali yang tak terputus dari langit hingga ke bumi dan yang kedua adalah Itrah (keturunanku) dari Ahlul Baytku. Dan bahwa keduanya tidak akan terpisah dengan kedua fungsi masing-masing sampai keduanya menjumpaiku di telaga Haudh. Oleh karena itu lihatlah kelak bagaimana sampai kalian mendurhakaiku dengan melanggarnya. (AI-Hakim dalam Al- Mustadrak, At-Tirmidzi, Annasa'i, Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain yang diriwayatkan oleh lebih dari dua puluh sahabat).
Dan contoh utama dari fungsi kepemimpinan sosial adalah hadis Al-Ghadir yang dibawakan oleh Ath-Thabrani dengan sanad (rantai urutan perawi) yang shahih dari Zaid bin Al'arqam. Ia berkata:
"Rasulullah pernah berpidato di daerah Ghadir Khum di bawah pohon, beliau bersabda: "Wahai manusia! Aku akan diminta pertanggungjawaban dan begitu juga kalian. Lalu bagaimana kalian mengatakan dan menanggapi ini semua!"
Para sahabat serentak menjawab: "Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, telah berjuang dan telah menasehati, maka semoga Allah membalas jasa kebaikanmu dengan kebaikan pula".
Lalu beliau meneruskan dan bersabda: "Bukankah kalian bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, surga dan neraka-Nya adalah benar dan nyata, mati itu benar, saat kiamat itu pasti tiba dan bahwa Allah akan membangkitkan setiap orang yang terpendam dalam kubur?"
Mereka serentak menjawab: "Ya! Kami bersaksi demikian".
Lalu beliau melanjutkan lagi: "Ya Allah! Saksikanlah". Selanjutnya bersabda kepada hadirin: Wahai ummat! Allah adalah Pemimpin dan Kekasihku, dan aku adalah pemimpin setiap mukmin dan aku lebih utama (awla) dan lebih berhak atas diri kalian sendiri. Maka, barangsiapa yang menganggapku sebagai pemimpinnya (maulahu), maka orang Ini (Ali disebelah beliau) adalah pemimpinnya (maulahu) juga. Ya Allah! Cintailah setiap orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya!"
(Hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari delapan puluh tabi'in. Dan dari penghafal hadis abad kedua sekitar enam puluh orang. Dan juga tercatat secara rinci dalam kitab Al-Ghadir dalam sebelas jilid).
Dengan demikian kita dapat berkesimpulan bahwa kedua nash dan hadisRasul tersebut telah menyerahkan dua fungsi dan wewenang kepada Ahlul bait. Dan yang berpegang teguh kepada nash dan ketetapan Rasul dalam hal dua hak wewenang kepemimpinan itu adalah termasuk golongan muslim yang mengikuti dan menganggap Ahlul Bait bagi pemimpin dan tempat kembali mereka. Seandainya fungsi pimpinan sosial bagi setiap imam itu mempunyai pengertian bahwa mereka memimpin dan berkuasa dalam hidupnya, maka fungsi kepemimpinan intelektual dan pemikiran budaya adalah kenyataan yang tak dapat dibantah terlepas dari kehidupan sosial politiknya sebagai pemimpin dalam hidupnya. Dari sini kita dapat melihat kenyataan tersebut dalam setiap waktu. Karenanya, selama Muslimin membutuhkan suatu pemahaman yang jelas dan sempurna tentang Islam dan ingin mengetahui hukum halal dan haram dalam setiap perkara, pasti mereka memerlukan adanya kepemimpinan intelektual yang jelas pula dan itu ditetapkan Allah sendiri melalui lidah Rasul yang terjelma dalam:
1. Kitab Suci Al Quran.
2. Itrah yang bebas dari dosa dan Ahlul Bayt Rasul.
Keduanya tidak dapat dipisahkan atau diambil salah satu darinya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Nabi.
Adapun garis pemikiran lain dari golongan muslimin yang ijtihad dijadikan dasar pemikiran daripada mengikuti nash dan ketentuan agama secara mutlak, maka tokoh-tokoh senior pemikiran ini sejak Rasul wafat telah berhasil mengambil alih kekuasaan dan menyatakan berfungsi sebagai pemimpin sosial politik secara operasional dan dikelola oleh kaum Muhajirin yang bergaris politik lunak dan selalu berubah mengikuti kemajuan dan pertimbangan strategis serta memantau kondisi dan situasi yang ada.
Atas dasar pemikiran inilah Abu Bakar mengambil alih kekuasaan begrtu Rasul menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan menggunakan Saqifah Bani Saidah sebagai Sidang Parlemen Sementara dan ajang perebutan sengit kekuasaan antara Muhajirin dan Anshar yang terbatas bagi beberapa gelintir orang dari kedua golongan tersebut kemudian rekan sejatinya (Umar) menggantikannya atas perintah mendiang Abu Bakar, lalu tongkat estafet khilafah diambil oleh pengganti ketiga Utsman bin Affan atas dasar penunjukkan tertentu dan hanya terbatas bagi enam orang yang telah ditunjuk secara pribadi oleh Umar bin Khattab.
Akhirnya sikap lunak ini yang lewat tiga abad sejak masa wafat Rasul telah berhasil menciptakan malapetaka terbesar sepanjang sejarah Umat Islam dengan kemballnya khilafah dan kekuasaan kepada orang-orang Islam mu`alaf dan para bekas musuh Rasul yang kemudian disihirnya menjadi pewarisduniawi dan kerajaan monarki yang pindah dari anak ke cucunya, dari saudara ke adiknya dan tamatlah riwayat khilafah yang selama ini dielu-elukan oleh Muslimin.
Inilah kenyataan yang tragis dari orang-orang yang sebenarnya tidak berhak dan tidak mampu menjabat sebagai pemimpin sosial politik. Lain halnya kenyataan dari fungsi kepemimpinan intelektual budaya, sebab sulit rasanya kita mengatakan bahwa mereka yang berkuasa dalam bidang politik sosial juga berfungsi secara nyata sebagai pemimpin intelektual dan pemikiran setelah kita ketahui bersama bahwa ijtihad dan kecanduan menggunakan pikiran sendiri telah mencabut hak wewenang Ahlul Bayt sebagai pemimpin politik sosial secara operasional dan praktis, sebab akibat dari itu semua adalah terciptanya kondisi obyektif yang menunjang kepemim­pinan mereka sebagai pemimpin dan penguasa. Adapun sebab dari keberatan kita untuk beranggapan bahwa mereka yang berhasil mengambil alih kekuasaan dan pimpinan politik sosial secara operasional telah berfungsi sebagai pemimpin Intelektual dan budaya, adalah fungsi kepemimpinan Intelektual berbeda dengan fungsi kepemimpinan polttik sosial. Bila seorang khallfah merasa berhak dan mampu menjadi pemimpin intelektual dan men­jadi panutan pemikiran atas dasar Al Quran dan Sunnah dalam memahami teori tersebut. Dan terbuktl bahwa para sahabat tidak mempunyai kemampuan dan tidak memenuhi syarat penting tersebut, lain halnya bila kita melihat Ahlul Bayt a.s. dengan segala kemampuan mereka dan tergambar dalam nash serta bukti-bukti yang sudah ada.
Oleh karena itu, fungsi kepemimpinan intelektual budaya lebih penting daripada fungsi kepemimpinan sosial politik dan lebih berperan selama beberapa dekade. Dan akhirya, para penguasa dan khalifah memberikan kepada Imam Ali fungsi pemimpin intelektual - tidak dengan formal - karena mempertimbangkan satu dan sebab lainnya. Sampai-sampai khalifah kedua seringkali bersumpah dengan memuji kepandaian Ali dalam menyelesaikan masalah-masalah intelektual. la selalu berkata:
"Seandainya Ali tiada, maka pasti Umar celaka dan binasa. Allah akan membiarkanku selamanya terbentur dengan kesulitan bila Abul Hasan (Ali) tidak segera menyelesaikannya."
Tapi setelah melalui beberapa masa sejak Rasul wafat dan muslimin luntur secara bertahap dari loyalitas dan rasa hormatnya terhadap Ahlul Bayt Rasul dan tidak lagi memfungsikannya sebagai tokoh dan pemimpin dalam bidang pemikiran, dan sebaliknya mereka sedikit demi sediktt memandang Ahlul Bayt sebagai orang-orang yang tidak lebih dari mereka dan bahkan menganggap mereka sebagai awam. Sikap ini telah memproses mereka menjadi tidak lagi membutuhkan pemimpin intelektual dari Ahlul Bayt dan mengambil pikiran sendiri sebagai gantinya. Dan bukan sang khalifah sebagai pengganti pemimpin in­telektual Ahlul Bayt secara tunggal tapi hak kepemimpinan ini mencakup seluruh sahabat. Dan selanjutnya mereka muncul sebagai pemimpin-pemimpin intelektual dan pemikiran dan mereka mengucapkan "selamat tinggal" kepada rombongan Ahlul Bayt yang telah ditunjuk secara sah sebagai pemimpin intelektual di samping pemimpin sosial-politik, sebab para sahabat adalah generasi yang hidup bersama Rasul dan mengikuti setiap langkah dan perkembangan missinya serta menghayati dan mematuhi tuntutan sabda dan Sunnah beliau.
Secara praktis nyata bahwa Ahlul Bayt kehilangan fungsi istimewa sebagai pemimpin-pemimpin intelektual dan pudar di tengah-tengah para sahabat, dan mereka berstatus tidak lebih sebagai seorang sahabat Rasul saja yang semuanya berhak dan berfungsi sebagai pemimpin-pemimpin intelektual. Dan sebagaimana yang telah terbukti dalam sejarah para sahabat, mereka selalu hidup di bawah situasi pertikaian yang terkadang meminta darah dan korban yang tidak sedikit dalam setiap peperangan yang mereka kobarkan sendiri. Masing-masing pasukan men­ganggap lebih konsekwen terhadap nilai dan kebenaran serta saling tuduh sebagai pengkhianat dan penyeleweng.
Saya katakan bahwa sebagai akibat dart perselisihan dan perang tuduh yang terjadi antara orang-orang yang berfungsi sebagai para pemimpin itulah timbul aneka warna pertentangan ideologi dan pemikiran dalam tubuh masyarakat Islam, yang merupakan cermin dari pelbagal pertikaian yang terjadi antar kalangan pemimpin sendiri yang berhaluan ijtihadi.

Kekeliruan Memamndang Tasyayyu’
Sebagai penutup, perlu saya jelaskan suatu hal yang sangat penting, yaitu sebagian dari cendikiawan modern ktta berusaha dengan penuh semangat membedakan dan membagi Syi'ahisme atau Tasyayyu' menjadi dua macam:
1. Tasyayyu' Ruhi Maknawi (Syi'ah datam moral dan spiritual).
2. Tasyayyu' Siasi (Syi'ah dalam masalah soslal politik).
Dan mereka juga dengan susah payah ingin membuktikan bahwa Ahlul Bayt sejak setelah pembantaian Imam Husein dan keluarga serta sahabatnya di padang Karbala telah meninggalkan aktifitas politik, sebaliknya mereka menyibukkan diri dengan berkhalwat dan beribadat serta memberi wejangan dan nasehat kepada masyarakat.
Tasyayyu' sejak lahir tidak pernah tergambar sebagai garis haluan spiritual saja tetapi ia lahir sebagai konsep yang telah dicanangkan Rasul demi kelancaran dakwah di bawah kepemimpinan Ali bin Abi Thalib setelah Rasul wafat baik dalam segi intelektual ataupun dalam segi politik sosial secara sama rata, sesuai dengan kondisi yang telah memproses timbulnya faham itu.
Dan atas dasar yang telah kita pelajari di atas, kita tidak menemukan adanya perbedaan antara Syi'ah spiritual dan Syi'ah politik dalam konsep Tasyayyu' secara utuh, mengingat kedua hal penting itu tidak terpisah dari Islam secara utuh.
Dengan demlklan ktta dapat memastikan bahwa Tasyayyu' adalah konsep yang disajikan guna menjaga kelancaran dakwah setelah Nabi. Masa depan yang memerlukan adanya suatu pimpinan intelektual dan soslal politik dalam rangka menelusuri perkembangan Islam secara serentak.
Dan sejak semula sudah terdapat orang-orang yang mendukung kepemimpinan Ali sebagal individu satu-satunya di tengah-tengah masyarakat Islam yang mampu memainkan peranan khalifah dan melanjutkan kepemim­pinan dari ketiga orang yang telah mendahululnya. Rasa hormat dan simpati itulah yang mendorong hati masyarakat menyerahkan tampuk kepemimpinan kepadanya setelah Utsman bin Affan tewas terbunuh. Rasa cinta mereka itu bukanlah Syi'ahis yang bersifat spiritual ataupun politik. Sebab Tasyayyu' adalah rasa yakin dan iman bahwa Ali adalah pengganti secara langsung kepemimpinan Rasulullah. Tasyayyu' mempunyai ruang lingkup dan pengertian yang lebih luas dari itu semua. Tasyayyu' adalah sikap mendukung Ali secara menyeluruh sebagai pemimpin setelah Rasul. Maka tidak dapat kita seenaknya membagi Tasyayyu' menjadi dua pengertian saja secara terpisah.
Kita ketahui bahwa diantara para sahabat besar ada yang mendukung dan berfaham Syi'i dalam segi intelektual dan politik sosial seperti Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghifari, Ammar bin Yasir, dan lain-lain. Tapi sikap mengikuti secara mutlak atau Tasyayyu' mereka tidak terbatas pada segi sosial politik saja. Tetapi mereka beriman secara sempurna bahwa Ali bin Abi Thalib adalah pengganti Rasul dan pengemban dakwah setelahnya dan berfungsi sebagal pemimpin intelektual dan politik sosial. Sikap iman mereka dalam hal intelektual dan pemikiran tercermin dalam Tasyayyu' spiritual mereka yang telah kita jelaskan tadi.
Adapun sikap mengikuti dan iman mereka dalam soslal politik, itu tersirat dalam sikap protes terhadap kepemimpinan dan khalifah Abu Bakar dan partai berkuasa yang telah mengambil hak kekhilafahan Ali.
Sebenamya pendapat yang memisahkan Tasyayyu' moril dari Tasyayyu' politik tidak timbul dan dihasilkan oleh logika seorang yang merasa dirinya sebagai seorang syi'i. Lontaran ini mereka keluarkan akibat dari rasa putusasa dan apatis melihat kenyataan yang ada di hadapannya dan merupakan pengamh dari jiwa dan semangat Tasyayyu' yang mulai luntur dan lenyap yang tidak lagi melihat Tasyayyu' sebagai konsep yang dipaparkan untuk melanjutkan kepemimpinan Islam dalam rangka membina ummat dan menyempumakan target perombakan besar-besaran yang telah digariskan Rasul yang akhirnya condong surut dan berubah menjadi ajaran dan bibit ideologi yang tersimpan di dalam lubuk hati dan menjadikannya sebagal tongkat dan pembimbing dalam mencapai cita-cita dan angan-angannya saja.
Dari sini kita dapat menyadari mengapa sampai para imam dari keluarga Rasul dan Cucu Husein a.s. meninggalkan gelanggang sosial politik dan memisahkan diri dari dunia dengan semua keributan dan romantikanya yang bermacam-macam. Kita lihat Tasyayyu' yang merupakan konsep pengembangan dakwah dan pelanjut kepemimpinan Islam dan bahwa manifestasi (misdaq) dari kepemimpinan Islam itu adalah aksi perombakan yang telah diprakarsai demi penyempurnaan upaya membina umat atas dasar prinsip dan ajaran Islam. Jika itu semua kita sadari, maka tidak mungkin kita akan beranggapan bahwa para imam dari Ahlil Bayt Rasul tidak lagi memperhatikan segi sosial politik. Sebab dengan tidak memperhatikan segi ini berarti mereka tidak antusias kepada Tasyayyu' itu sendiri. Dan ini anggapan nihil bahwa para imam itu meninggalkan kancah sosial politik itu berdasarkan alasan bahwa para imam tersebut tidak lagi mengangkat senjata dan tidak mengadakan aksi pemberontakan militer dalam menanggapi situasi yang ada pada saat itu. Anggapan seperti ini adalah cermin kepicikan dan keterbatasan dalam memahami dan mengartikan aktifitas politik sebagai aksi pemberontakkan militer dan angkat senjata saja.
Dan kita mempunyai nash dan data otentik yang banyak dari pada imam yang menunjukan bahwa para imam selalu siaga dan siap terlibat dalam aksi militer bila terdapat di sisi mereka pendukung dan pengikut-pengikut yang berani dan setia di samping bila ada kekuatan yang dapat menjamin tercapainya cita-cita Islam melaiui aksi militer tersebut.
Jika kita selalu memantau dengan teliti perjalanan gerakan Syi'ahisme kita akan berkesimpulan bahwa para imam dari Ahlil Bayt Rasul berpandangan bahwa menerima tampuk kekuasaan dengan sendirinya tidak dapat menunjang dan menciptakan perombakan secara Islami, hal ini akan tercapai bila kekuasaan tersebut didukung dan dibangun atas dasar pondasi dan pangkalan yang kokoh serta sadar akan tujuan dan cita-cita kepemimpinan dan yakin akan kebenaran teori itu serta menjelaskan sikap mereka kepada masyarakat di samping mereka harus tabah menghadapi resiko penekanan dan intimidasi dari luar dan dalam.
Pada pertengahan abad pertama setelah wafatnya Rasul tokoh-tokoh yang didukung oleh masa - sejak pengambilalihan kekuasaan dari pihak yang kompeten - selalu berusaha mengambil kembali kekuasaan dengan cara yang mereka anggap benar, sebab mereka masih yakin adanya tonggak-tonggak masa yang sudah sadar atau sedang menuju kearahnya balk dan pihak Muhajirin Anshar rnaupun dari pihak tabi'in. Tapi setelah berjalan lebih dari setengah abad dan setelah rasa optimisme itu larut sendiri dikalangan mereka ditambah dengan hadirnya generasi-generasi loyo dl tengah-tengah arus penyelewengan yang melanda pada saat itu. Setelah menjadi suatu hal yang pasti bahwa apabila gerakan Syi'ah menerima kekuasaan pun itu tidak akan membuahkan hasil dan mewujudkan cita-cita yang diidamkan, karena tidak didukung dengan adanya pangkalan dan tonggak-tonggak masa yang sadar dan siap untuk berkorban. Menghadapi kenyataan ini diperiukan dua tindakan:
1. Bertindak demi terciptanya tonggak dan sendi-sendi rakyat yang sadar sehingga dapat menyiapkan saat yang tepat dan menguntungkan untuk mengambil kembali kekuasaan.
2. Menggerakkan dan menghidupkan nurani dan emosi umat Islam serta menjaga semangat dan nurani tersebut, sehingga dapat melindungi mereka dari segala macam sikap lunak yang bisa menjatuhkan harga diri dan identitas mereka selaku umat Islam dari pihak penguasa yang zalim.
Tindakan pertama adalah tugas yang telah dijalankan den para imam dengan sendirinya. Dan tindakan kedua adalah tugas yang harus dilakukan oleh beberapa tokoh dan kader revolusioner alawi yang selalu rajin - dengan pengorbanan yang tidak sedikit - melindungi nurani dan semangat jiwa Islami. Dan sebagian orang mukhlis daripada mereka mendapat dukungan moril dari para Imam.
Imam Ali bin Musa Ar-Ridha a.s. pernah berkata kepada Khalifah Ma'mun - ketika beliau mengenang jasa mulia Zaid bin Ali Zainal Abidin -: "Ia adalah termasuk dari pada cendekiawan-cendekiawan keluarga Muhammad. Ia murka dan marah hanya karena Allah lalu berjuang melawan musuh-musuh-Nya hingga tewas dijalan-Nya. Aku pernah diberitahu Ayahku Musa bin Ja'far bahwa ia dari ayahnya Ja'far berkata: Semoga Allah menurunkan rahmat-Nya kepada pamanku Zaid. la meminta kerelaan dan restu dari pihak keluarga Muhammad kemudian ia berhasil dan Allah penuhi permohonannya. la berkata:
"Saya mengajak kalian agar rela akan keluarga Muhammad:" (Wasa'il As-Syi'ah Kitab al-Jihad).
Akhimya kita ketahui bahwa tindakan dan sikap para imam meninggalkan aksi militer dan pemberontakan fisik secara langsung melawan penyelewengan-penyelewengan itu tidak berarti mereka meninggalkan secara menyeluruh fungsi segi sosial politik serta memisahkan diri dari urusan kekuasaan dan cita-cita mengambilnya kembali lalu hanya sibuk berkhalwat dan melakukan ibadah ritual, tapi sikap demikian ini menggambarkan dan menandakan perbedaan yang menyolok antara konsep tindakan yang berkenaan dengan masalah sosial politik yang dttentukan oleh kondisi objektif dan ditunjang dengan pemahaman yang mendasar tentang esensi dan kandungan yang ada pada tindakan dan aksi perombakan serta metode dan cara mewujudkannya dalam bentuk yang hadir dan terjelma dalam realitas.
Selesai
Muhammad Baqir Shadr
Syi’ah dan Dakwah Nabi SAWW
Kerap kali sebagian besar para analis dan kaum intelektual mempelajari “Syi'ahisme atau Tasyayyu" dengan didasari kesan subyektif dan kesimpulan yang agak rapuh. Mereka beranggapan bahwa Syi'ahisme merupakan pemandangan yang ganjil dalam tubuh masyarakat Islam yang lebih dominan.
Anggapan ini mereka simpulkan bertolak darl kenyataan yang ada dimana Syi'ah hanya terdiri dari beberapa individu yang muncul dengan corak tertentu di tengah-tengah masyarakat Islam yang jauh lebih besar jumlah serta pengaruhnya. Selanjutnya kelompok minoritas tersebut berkembang biak sebagai akibat dan efek dari pada serangkaian perkembangan politik-sosial yang terjadi pada saat itu. Dengan kata lain, mereka telah menjadi bayi yang dilahirkan oleh kondisi labil saat itu.
Kejadian dan perkembangan-perkembangan itu secara otomatis telah mengakibatkan munculnya haluan yang bercorak unik dan lain dari pada yang lain di tengah masyarakat Islam yang jelas berbeda dengan mereka, lambat laun aliran pemikiran baru ini makin membengkak dan sempat melebarkan sayap pengaruh radikalnya beberapa senti di hati sebahagian muslimin atau kebanyakan dari mereka.
Para penganalisa itu - setelah beranggapan demikian - secara serentak saling berselisih pendapat mengenai faktor utama aliran tersebut dan gejala perkembangan tertentu yang jelas telah melahirkan kelompok kecil itu. Sebagian mereka berpendapat bahwa Syi'ahisme adalah pendapat yang dicetuskan oleh seorang yang konon bernama Abdullah bin Saba`. Ada juga yang mengatakan demikian bahwa timbulnya Syi'ahisme merupakan pengaruh dari pada kebijaksanaan politik Ali bin Abi Thalib a.s., mengingat pada zaman pemerintahan beliau telah terjadi perkembangan-perkembangan yang amat seru dan mendebarkan. Sebagian lain beranggapan bahwa munculnya Syi'ahisme adalah akibat alami yang tak terelakkan dari perkembangan-perkembangan politik yang terjadi pada masa terakhir dalam serangkaian dan rentetan sejarah umat Islam.
Berdasarkan logika yang saya pijak, pendapat-pendapat yang dilontarkan para sarjana itu adalah kesimpulan dari penjabaran yang tidak argumentatif dan kurang rasionil, yaitu dengan berkesimpulan bahwa Syi'ahisme merupakan fenomena yang ganjil dan aneh. Kesimpulan ini mereka serap dari dasar kenyataan sebelumnya yaitu kenyataan Syi'ahisme hanyalah segolongan masyarakat kecil yang tumbuh segar di tengah-tengah masyarakat lain yang lebih dominan dan besar jumlahnya.
Kenyataan inilah yang menyeret mereka ke suatu lembah sehingga beranggapan bahwa non-Syi'ah adalah tolok ukur yang harus dijadikan sebagai satu-satunya cara dalam membagi dan membedakan antara kelompok mana yang orisinil dan lebih dahulu muncul? Di samping itu semua, penjabaran semacam ini bertentangan dengan kenyataan adanya perbedaan dan terbaginya aliran-aliran yang kita temukan selama ini. Kadang-kadang kita mengklaim suatu aliran sebagai yang paling benar bukan atas dasar jumlah pengikut aliran tersebut atau dari segi banyak dan sedikitnya, demikian juga sebaliknya kita terkadang menganggap suatu akidah sebagai akidah yang keliru dan sesat tanpa mempertimbangkan jumlah penganut akidah tersebut. Lagi pula mungkin masa timbulnya akidah atau aliran yang kita anggap sesat atau sebaliknya akidah yang kita anggap benar berbarengan dalam satu tempo dan waktu. Perlu digarisbawahi bahwa terkadang kedua aliran menyuarakan satu misi dan konsep yang sama; misalnya kedua aliran itu sama mengaku sebagai Islam Yang murni dan pengikut-penglkutnya merasa bagian dari umat Muhammad SAWW. Sama halnya dengan Syi'ah dan Non-Syi'ah, prosentase dan jumlah pengikut kedua garis pemikiran yang kurang seimbang itu tidak patut dijadikan sebagai bukti akan keotentikan dan kemurnian salah satunya.
Perlu dicamkan baik-baik bahwa kita tidak dibenarkan - berdasarkan hukum logika - beranggapan masa timbulnya dan populernya istilah dan nama Syi'ah atau Tasyayyu' berbarengan dengan masa munculnya golongan serta konsep Tasyayyu' itu sendiri; sebagai istilah populer dan akrab bagi suatu aliran dan golongan tertentu di tengah masyarakat yang tampaknya mengakui eksistensi dan keberadaan mereka selaku oposan dan bagian dari mereka yang memiliki hak bersuara dan bernafas, sebab munculnya nama serta lahirnya golongan yang menyandang nama itu tidak mesti bersamaan dalam satu waktu (seperti lahirnya seorang bayi janin yang belum diberi nama atau sebaliknya seperti bila kita telah memberi nama kepada janin yang belum lahir. Hal ini sering kali terjadi).
Kita mungkin belum pernah menemukan kalimat dan sebutan "Syi'ah" dalam percakapan sehari-hari pada zaman Nabi SAWW berikut setelah wafatnya. Namun, kenyataan ini tidak menjamin dan dapat membuktikan bahwa golongan Syi'ah ini belum pernah ada pada zaman Nabi SAWW, baik secara praktis operasionil maupun secara teoritis dan konsepsional.
Jika kita sudah memperhatikan dan memahami dengan jelas pokok-pokok di atas, maka insya-Allah kita akan mampu mengambil gambaran yang jelas serta kesimpulan yang gamblang dan rasionil. Tentunya itu semua tidak akan kita dapatkan sebelum menemukan jawaban yang jitu dan mengena atas dua pertanyaan pokok berikut ini: Bagaimana proses timbulnya Syi'ahisme? Bagaimana proses lahirnya golongan Syi'ah itu sebenarnya?
Kekeliruan Memandang Tasyayyu’
Sebagai penutup, perlu saya jelaskan suatu hal yang sangat penting, yaitu sebagian dari cendikiawan modern ktta berusaha dengan penuh semangat membedakan dan membagi Syi'ahisme atau Tasyayyu' menjadi dua macam:
1. Tasyayyu' Ruhi Maknawi (Syi'ah datam moral dan spiritual).
2. Tasyayyu' Siasi (Syi'ah dalam masalah soslal politik).
Dan mereka juga dengan susah payah ingin membuktikan bahwa Ahlul Bayt sejak setelah pembantaian Imam Husein dan keluarga serta sahabatnya di padang Karbala telah meninggalkan aktifitas politik, sebaliknya mereka menyibukkan diri dengan berkhalwat dan beribadat serta memberi wejangan dan nasehat kepada masyarakat.
Tasyayyu' sejak lahir tidak pernah tergambar sebagai garis haluan spiritual saja tetapi ia lahir sebagai konsep yang telah dicanangkan Rasul demi kelancaran dakwah di bawah kepemimpinan Ali bin Abi Thalib setelah Rasul wafat baik dalam segi intelektual ataupun dalam segi politik sosial secara sama rata, sesuai dengan kondisi yang telah memproses timbulnya faham itu.
Dan atas dasar yang telah kita pelajari di atas, kita tidak menemukan adanya perbedaan antara Syi'ah spiritual dan Syi'ah politik dalam konsep Tasyayyu' secara utuh, mengingat kedua hal penting itu tidak terpisah dari Islam secara utuh.
Dengan demlklan ktta dapat memastikan bahwa Tasyayyu' adalah konsep yang disajikan guna menjaga kelancaran dakwah setelah Nabi. Masa depan yang memerlukan adanya suatu pimpinan intelektual dan soslal politik dalam rangka menelusuri perkembangan Islam secara serentak.
Dan sejak semula sudah terdapat orang-orang yang mendukung kepemimpinan Ali sebagal individu satu-satunya di tengah-tengah masyarakat Islam yang mampu memainkan peranan khalifah dan melanjutkan kepemim­pinan dari ketiga orang yang telah mendahululnya. Rasa hormat dan simpati itulah yang mendorong hati masyarakat menyerahkan tampuk kepemimpinan kepadanya setelah Utsman bin Affan tewas terbunuh. Rasa cinta mereka itu bukanlah Syi'ahis yang bersifat spiritual ataupun politik. Sebab Tasyayyu' adalah rasa yakin dan iman bahwa Ali adalah pengganti secara langsung kepemimpinan Rasulullah. Tasyayyu' mempunyai ruang lingkup dan pengertian yang lebih luas dari itu semua. Tasyayyu' adalah sikap mendukung Ali secara menyeluruh sebagai pemimpin setelah Rasul. Maka tidak dapat kita seenaknya membagi Tasyayyu' menjadi dua pengertian saja secara terpisah.
Kita ketahui bahwa diantara para sahabat besar ada yang mendukung dan berfaham Syi'i dalam segi intelektual dan politik sosial seperti Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghifari, Ammar bin Yasir, dan lain-lain. Tapi sikap mengikuti secara mutlak atau Tasyayyu' mereka tidak terbatas pada segi sosial politik saja. Tetapi mereka beriman secara sempurna bahwa Ali bin Abi Thalib adalah pengganti Rasul dan pengemban dakwah setelahnya dan berfungsi sebagal pemimpin intelektual dan politik sosial. Sikap iman mereka dalam hal intelektual dan pemikiran tercermin dalam Tasyayyu' spiritual mereka yang telah kita jelaskan tadi.
Adapun sikap mengikuti dan iman mereka dalam soslal politik, itu tersirat dalam sikap protes terhadap kepemimpinan dan khalifah Abu Bakar dan partai berkuasa yang telah mengambil hak kekhilafahan Ali.
Sebenamya pendapat yang memisahkan Tasyayyu' moril dari Tasyayyu' politik tidak timbul dan dihasilkan oleh logika seorang yang merasa dirinya sebagai seorang syi'i. Lontaran ini mereka keluarkan akibat dari rasa putusasa dan apatis melihat kenyataan yang ada di hadapannya dan merupakan pengamh dari jiwa dan semangat Tasyayyu' yang mulai luntur dan lenyap yang tidak lagi melihat Tasyayyu' sebagai konsep yang dipaparkan untuk melanjutkan kepemimpinan Islam dalam rangka membina ummat dan menyempumakan target perombakan besar-besaran yang telah digariskan Rasul yang akhirnya condong surut dan berubah menjadi ajaran dan bibit ideologi yang tersimpan di dalam lubuk hati dan menjadikannya sebagal tongkat dan pembimbing dalam mencapai cita-cita dan angan-angannya saja.
Dari sini kita dapat menyadari mengapa sampai para imam dari keluarga Rasul dan Cucu Husein a.s. meninggalkan gelanggang sosial politik dan memisahkan diri dari dunia dengan semua keributan dan romantikanya yang bermacam-macam. Kita lihat Tasyayyu' yang merupakan konsep pengembangan dakwah dan pelanjut kepemimpinan Islam dan bahwa manifestasi (misdaq) dari kepemimpinan Islam itu adalah aksi perombakan yang telah diprakarsai demi penyempurnaan upaya membina umat atas dasar prinsip dan ajaran Islam. Jika itu semua kita sadari, maka tidak mungkin kita akan beranggapan bahwa para imam dari Ahlil Bayt Rasul tidak lagi memperhatikan segi sosial politik. Sebab dengan tidak memperhatikan segi ini berarti mereka tidak antusias kepada Tasyayyu' itu sendiri. Dan ini anggapan nihil bahwa para imam itu meninggalkan kancah sosial politik itu berdasarkan alasan bahwa para imam tersebut tidak lagi mengangkat senjata dan tidak mengadakan aksi pemberontakan militer dalam menanggapi situasi yang ada pada saat itu. Anggapan seperti ini adalah cermin kepicikan dan keterbatasan dalam memahami dan mengartikan aktifitas politik sebagai aksi pemberontakkan militer dan angkat senjata saja.
Dan kita mempunyai nash dan data otentik yang banyak dari pada imam yang menunjukan bahwa para imam selalu siaga dan siap terlibat dalam aksi militer bila terdapat di sisi mereka pendukung dan pengikut-pengikut yang berani dan setia di samping bila ada kekuatan yang dapat menjamin tercapainya cita-cita Islam melaiui aksi militer tersebut.
Jika kita selalu memantau dengan teliti perjalanan gerakan Syi'ahisme kita akan berkesimpulan bahwa para imam dari Ahlil Bayt Rasul berpandangan bahwa menerima tampuk kekuasaan dengan sendirinya tidak dapat menunjang dan menciptakan perombakan secara Islami, hal ini akan tercapai bila kekuasaan tersebut didukung dan dibangun atas dasar pondasi dan pangkalan yang kokoh serta sadar akan tujuan dan cita-cita kepemimpinan dan yakin akan kebenaran teori itu serta menjelaskan sikap mereka kepada masyarakat di samping mereka harus tabah menghadapi resiko penekanan dan intimidasi dari luar dan dalam.
Pada pertengahan abad pertama setelah wafatnya Rasul tokoh-tokoh yang didukung oleh masa - sejak pengambilalihan kekuasaan dari pihak yang kompeten - selalu berusaha mengambil kembali kekuasaan dengan cara yang mereka anggap benar, sebab mereka masih yakin adanya tonggak-tonggak masa yang sudah sadar atau sedang menuju kearahnya balk dan pihak Muhajirin Anshar rnaupun dari pihak tabi'in. Tapi setelah berjalan lebih dari setengah abad dan setelah rasa optimisme itu larut sendiri dikalangan mereka ditambah dengan hadirnya generasi-generasi loyo dl tengah-tengah arus penyelewengan yang melanda pada saat itu. Setelah menjadi suatu hal yang pasti bahwa apabila gerakan Syi'ah menerima kekuasaan pun itu tidak akan membuahkan hasil dan mewujudkan cita-cita yang diidamkan, karena tidak didukung dengan adanya pangkalan dan tonggak-tonggak masa yang sadar dan siap untuk berkorban. Menghadapi kenyataan ini diperiukan dua tindakan:
1. Bertindak demi terciptanya tonggak dan sendi-sendi rakyat yang sadar sehingga dapat menyiapkan saat yang tepat dan menguntungkan untuk mengambil kembali kekuasaan.
2. Menggerakkan dan menghidupkan nurani dan emosi umat Islam serta menjaga semangat dan nurani tersebut, sehingga dapat melindungi mereka dari segala macam sikap lunak yang bisa menjatuhkan harga diri dan identitas mereka selaku umat Islam dari pihak penguasa yang zalim.
Tindakan pertama adalah tugas yang telah dijalankan oleh para imam dengan sendirinya. Dan tindakan kedua adalah tugas yang harus dilakukan oleh beberapa tokoh dan kader revolusioner alawi yang selalu rajin - dengan pengorbanan yang tidak sedikit - melindungi nurani dan semangat jiwa Islami. Dan sebagian orang mukhlis daripada mereka mendapat dukungan moril dari para Imam.
Imam Ali bin Musa Ar-Ridha a.s. pernah berkata kepada Khalifah Ma'mun - ketika beliau mengenang jasa mulia Zaid bin Ali Zainal Abidin -: "Ia adalah termasuk dari pada cendekiawan-cendekiawan keluarga Muhammad. Ia murka dan marah hanya karena Allah lalu berjuang melawan musuh-musuh-Nya hingga tewas dijalan-Nya. Aku pernah diberitahu Ayahku Musa bin Ja'far bahwa ia dari ayahnya Ja'far berkata: Semoga Allah menurunkan rahmat-Nya kepada pamanku Zaid. la meminta kerelaan dan restu dari pihak keluarga Muhammad kemudian ia berhasil dan Allah penuhi permohonannya. la berkata:
"Saya mengajak kalian agar rela akan keluarga Muhammad:" (Wasa'il As-Syi'ah Kitab al-Jihad).
Akhimya kita ketahui bahwa tindakan dan sikap para imam meninggalkan aksi militer dan pemberontakan fisik secara langsung melawan penyelewengan-penyelewengan itu tidak berarti mereka meninggalkan secara menyeluruh fungsi segi sosial politik serta memisahkan diri dari urusan kekuasaan dan cita-cita mengambilnya kembali lalu hanya sibuk berkhalwat dan melakukan ibadah ritual, tapi sikap demikian ini menggambarkan dan menandakan perbedaan yang menyolok antara konsep tindakan yang berkenaan dengan masalah sosial politik yang dttentukan oleh kondisi objektif dan ditunjang dengan pemahaman yang mendasar tentang esensi dan kandungan yang ada pada tindakan dan aksi perombakan serta metode dan cara mewujudkannya dalam bentuk yang hadir dan terjelma dalam realitas.



Selesai
Muhammad Baqir Shadr