Jumat, 22 November 2013

...in the jungle



PENGELOMPOKAN JENIS HUTAN (2)


5.    Ciri Khas Kondisi Hutan Hujan Tropis di Indonesia

Sebagian besar hutan alam di Indonesia termasuk dalam hutan hujan tropis. Hutan hujan tropis mempunyai ciri khas yang berbeda dengan hutan-hutan lainnya. Indonesia adalah negara kepulauan yang mempunyai 17.500 lebih pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Beragamnya tempat tumbuh dari hutan-hutan di Indonesia membuat Hutan tropis Indonesia mempunyai ciri khas yang khusus dibandingkan hutan di belahan bumi lainnya.
                  Banyak para ahli yang mendiskripsi hutan hujan tropis sebagai ekosistem spesifik, yang hanya dapat berdiri mantap dengan keterkaitan antara komponen penyusunnya sebagai kesatuan yang utuh. Keterkaitan antara komponen penyusun ini memungkinkan bentuk struktur hutan tertentu yang dapat memberikan fungsi tertentu pula seperti stabilitas ekonomi, produktivitas biologis yang tinggi, siklus hidrologis yang memadai dan lain-lain. Secara nyata di lapangan, tipe hutan ini memiliki kesuburan tanah yang sangat rendah, tanah tersusun oleh partikel lempung yang bermuatan negatif rendah seperti kaolinite dan illite.
                    Kondisi tanah asam ini memungkinkan besi dan almunium menjadi aktif di samping kadar silikanya memang cukup tinggi, sehingga melengkapi keunikan hutan ini. Namun dengan pengembangan struktur yang mantap terbentuklah salah satu fungsi yang menjadi andalan utamanya yaitu ”siklus hara tertutup” (closed nutrient cycling) dan keterkaitan komponen tersebut, sehingga mampu mengatasi berbagai kendala/keunikan tipe hutan ini (Withmore, 1975).
Kondisi tanah hutan ini juga menunjukkan keunikan dan ciri khas tersendiri. Aktivitas biologis tanah lebih bertumpu pada lapisan tanah atas (top soil). Aktivitas biologis tersebut sekitar 80% terdapat pada top soil saja. Kenyataan-kenyataan tersebut menunjukkan bahwa hutan hujan tropis merupakan ekosistem yang rapuh (fragile ecosystem), karena setiap komponen tidak bisa berdiri sendiri.
Disamping itu dijumpai pula fenomena lain yaitu adanya ragam yang tinggi antar lokasi atau kelompok hutan baik vegetasinya maupun tempat tumbuhnya (Marsono, 1991).
                    Dari ciri khas tersebut membuat hutan tropis di Indonesia sangat rentan terhadap kerusakan hutan. Kerusakan hutan tropis di Indonesia diperkirakan mencapai 2 juta hektar per tahun. Kerusakan hutan tropis di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor baik dari pihak yang hanya mencari keuntungan semata atau pun dari cara pengelolaan hutan tropis yang salah, karena tidak mengerti tentang karakteristik hutan tropis itu sendiri.
Usaha penanggulangan dan pencegahan kerusakan hutan tropis di Indonesia merupakan hal yang mendesak dilakukan. Jika tidak hutan tropis ini akan hilang akibat kegiatan-kegiatan penebangan hutan, pertambangan, pemukiman penduduk, pembukaan lahan pertanian, kebakaran hutan dan konversi dalam bentuk lain.

6.    Ita-Cimo (2012/03) membagi Klasifikasi Hutan Berdasarkan Iklimnya

Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonandan tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah, dan merupakan salah satu aspek biosfer.
6.1          Dari letak garis lintangnya, Indonesia memang termasuk daerah beriklim tropis. Namun, posisinya di antara dua benua dan di antara dua samudera membuat iklimkepulauan ini lebih beragam. Berdasarkan perbandingan jumlah bulan kering terhadap jumlah bulan basah per tahun, Indonesia mencakup tiga daerah iklim, yaitu:
6.1.1        Daerah tipe iklim A (sangat basah) yang puncak musim hujannya jatuh antara Oktober dan Januari, kadang hingga Februari. Daerah ini mencakup Pulau Sumatera; Kalimantan; bagian barat dan tengah Pulau Jawa; sisi barat Pulau Sulawesi.
6.1.2        Daerah tipe iklim B (basah) yang puncak musim hujannya jatuh antaraMei dan Juli, serta Agustus atau September sebagai bulan terkering. Daerah ini mencakup bagian timur Pulau Sulawesi; Maluku; sebagian besar Papua.
Ciri-ciri bioma hutan basah antara lain :
6.1.2.1           Curah hujan sangat tinggi, lebih dari 2.000 mm/tahun
6.1.2.2           Pohon-pohon utama memiliki ketinggian antara 20 – 40 m.
6.1.2.3           Cabang pohon berdaun lebat dan lebar serta selalu hijau sepanjang tahun
6.1.2.4           Mendapat sinar matahari yang cukup, tetapi sinar matahari tersebut tidak mampu menembus dasar hutan.
6.1.2.5           Mempunyai iklim mikro di lingkungan sekitar permukaan tanah/di bawah kanopi (daun pada pohon-pohon besar yang membentuk tudung).
6.1.3        Daerah tipe iklim C (agak kering) yang lebih sedikit jumlah curah hujannya, sedangkan bulan terkeringnya lebih panjang. Daerah ini mencakup Jawa Timur; sebagian Pulau Madura; Pulau Bali; Nusa Tenggara; bagian paling ujung selatan Papua.
6.2           Berdasarkan perbedaan iklim ini, Indonesia memiliki hutan gambut, hutan hujan tropis, dan hutan muson.
6.2.1     Hutan gambut ada di daerah tipe iklim A atau B, yaitu di pantai timur Sumatera, sepanjang pantai dan sungai besar Kalimantan, dan sebagian besar pantai selatan Papua.
Hutan gambut merupakan jenis hutan rawa yang relatif tergenang sepanjang tahun, dengan karakteristik kondisi tanah yang mempunyai tingkat keasaman yang sangat ekstrem dimana pH tanah selalu di bawah angka 3, sehingga secara alami flora yang tumbuh di hutan gambut adalah jenis flora yang khas dan toleran terhadap keasaman tanah yang tinggi.
6.2.2     Hutan hujan tropis menempati daerah tipe iklim A dan B. Jenis hutan ini menutupi sebagian besar Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku Utara, dan PapuaHutan hujan tropika atau sering juga ditulis sebagai hutan hujan tropis adalah bioma berupahutan yang selalu basah atau lembab, yang dapat ditemui di wilayah sekitar khatulistiwa; yakni kurang lebih pada lintang 0°–10° ke utara dan ke selatan garis khatulistiwa. Hutan hujan tropika merupakan vegetasi yang paling kaya, baik dalam arti jumlah jenismakhluk hidup yang membentuknya, maupun dalam tingginya nilai sumberdaya lahan (tanah, air, cahaya matahari) yang dimilikinya. Hutan dataran rendah ini didominasi oleh pepohonan besar yang membentuk tajuk berlapis-lapis (layering), sekurang-kurangnya tinggi tajuk teratas rata-rata adalah 45 m (paling tinggi dibandingkan rata-rata hutan lainnya), rapat, dan hijau sepanjang tahun.
6.2.3     Hutan musontumbuh di daerah tipe iklim C atau D, yaitu di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur,Bali, NTB, sebagian NTT, bagian tenggara Maluku, dan sebagian pantai selatan Irian Jaya. Spesies pohon di hutan ini seperti jati (Tectona grandis), walikukun (Actinophora fragrans), ekaliptus (Eucalyptus alba), cendana (Santalum album), dan kayuputih (Melaleuca leucadendron).
6.3           Pendapat lain menyatakan bahwa tipe hutan berdasarkan faktor iklim umumnya diklasifikasikan berdasarkan curah hujan, suhu udara dan ketinggian tempat. Berdasarkan curah hujan dan suhu udara maka tipe hutan tropis terdiri dari hutan tropis basah, hutan muson basah, hutan muson kering dan hutan savanna. Berdasarkan ketinggian tempat hutan tropis terdiri atas hutan tropis dataran rendah, hutan tropis dataran tinggi dan hutan tropis pegunungan tinggi.
6.3.1     Tipe hutan berdasarkan faktor iklim (curah hujan dan suhu udara)
6.3.1.1           Hutan Tropis Basah adalah hutan yang memperoleh curah hujan yang tinggi, sering juga kita kenal dengan istilah hutan pamah. Hutan jenis ini dapat dijumpai di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku Bagian Utara dan Papua. Jenis-jenis yang umum ditemukan di hutan ini, yaitu : Meranti (Shorea dan Parashorea), keruing (Dipterocarpus), Kapur (Dryobalanops), kayu besi (Eusideroxylon zwageri), kayu hitam (Diospyros sp).
6.3.1.2           Hutan Muson Basah merupakan hutan yang umumnya dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Timur, periode musim kemarau 4-6 bulan. Curah hujan yang dialami dalam satu tahun 1.250 mm-2.000 mm. Jenis-jenis pohon yang tumbuh di hutan ini antara lain jati, mahoni, sonokeling, pilang dan kelampis.
6.3.1.3           Hutan Muson Kering terdapat di ujung timur Jawa, Bali, Lombok dan Sumbawa. Tipe hutan ini berada pada lokasi yang memiliki musim kemarau berkisar antara 6-8 bulan. Curah hujan dalam setahun kurang dari 1.250 mm. Jenis pohon yang tumbuh pada hutan ini yaitu Jati dan Eukaliptus.
6.3.1.4           Hutan Savana merupakan hutan yang banyak ditumbuhi kelompok semak belukar diselingi padang rumput dengan jenis tanaman berduri. Periode musim kemarau 4 – 6 bulan dengan curah hujan kurang dari 1.000 mm per tahun. Jenis-jenis yang tumbuh di hutan ini umumnya dari Famili Leguminosae dan Euphorbiaceae. Tipe Hutan ini umum dijumpai di Flores, Sumba dan Timor.
6.3.2    Tipe hutan berdasarkan faktor iklim (ketinggian)
6.3.2.1           Hutan Tropis Dataran Rendah (0 – kurang dari 800 m dpl.) Famili penyusun hutan ini untuk wilayah Asia Tenggara, yaitu : Dipterocarpaceae, Annonaceae, Bombacaceae, Guttiferae, Sapindaceae, Euphorbiaceae, Dilleniacee, Leguminoceae, Meliaceae, Sterculiaceae.
6.3.2.2           Hutan Tropis Dataran Tinggi/ Pegunungan (800-1.500 m dpl.) Famili penyusun hutan ini untuk wilayah Asia Tenggara, yaitu : Fagaceae, Lauraceae, Myrtaceae, Araucariaceae, Juglandaceae.
6.3.2.3           Hutan Tropis Pegunungan Tinggi (lebih dari 1.500 m dpl.) Famili penyusun tipe hutan ini untuk wilayah Asia Tenggara, yaitu : Myrtaceae, Podocarpaceae.

Kamis, 21 November 2013

Kig Of Park (Taman Raja), Tanjung Jabung Barat (Sumatera Indonesia)




Pengerusakan Hutan Oleh Illegal Logging





Dampak Pembangunan HTI Terhadap Lingkungan

Tulisan ini merupakan bagian dari  tugas
Diklat Ganis PHPL Kelola Lingkungan
di Jambi, 07 sd 20 November 2013













Hutan memiliki peranan penting dalam mempengaruhi keberlanjutan lingkungan. Menurut Agung (2004) fungsi hutan yaitu dibagi menjadi produksi, lindung, tata klimat, dan lain-lain. Berdasarkan strategi pembangunan jangka panjang kehutanan tersebut, hutan yang sudah tidak produktif (meliputi lahan tandus bekas hutan tebangan, rimba karet, hutan-hutan bakau, beberapa kepemilikan karet skala kecil, perkebunan sawit, padang rumput, dll) untuk mengoptimalkan fungsinya kembali, oleh pemerintah hutan dimanfaatkan sebagai Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan hasil utama kayu (sebagai bahan baku pulp dan paper). Hal tersebut telah mampu menarik banyak investor karena memiliki nilai ekonomi (benefit) yang tinggi sehingga pengelolaannya dilakukan oleh swasta (pengusaha), pemerintah hanya sebagai regulator (Dinas Perhutani).
Selama ini pemberian izin untuk HTI yang dikeluarkan banyak yang bermasalah karena tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hal tersebut diperparah dengan lemahnya kontrol di lapangan sehingga terjadi kasus pembalakan liar dan  konflik antara pihak perusahaan dan masyarakat. Selama ini banyak permasalahan yang timbul karena tanah adat dialihfungsikan menjadi HTI.
Secara kontekstual harusnya keberadaan HTI dapat membantu meningkatkan perekoniman dan kondisi sosial masyarakat disekitar hutan. Sejauh ini keberadaan industri kehutanan cenderung menimbulkan pengaruh negatif yang ditunjukkan dengan terjadinya perusakan hutan alam secara besar-besaran, pembalakan liar (illegal logging), perampasan lahan milik masyarakat adat, memicu kebakaran hutan.
Menurut PP nomor 7 tahun 1990 mengenai hak pengusahaan hutan tanaman industri, HTI merupakan hutan tanaman yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan. Tujuan pengusahaan HTI adalah menunjang pengembangan industri hasil hutan dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah dan devisa, meningkatkan produktivitas lahan dan kualitas lingkungan hidup, serta memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha (PP Nomor 7 1990, pasal 2). Adanya pembangunan HTI maka diharapkan dapat menyelamatkan hutan alam dari kerusakan karena HTI merupakan potensi kekayaan alam yang dapat diperbaharui, dimanfaatkan  secara maksimal dan lestari bagi pembangunan nasional secara berkelanjutan untuk kesejahteraan penduduk.
Pembangunan HTI mempunyai 3 sasaran utama yang dapat dicapai yakni sasaran ekonomi, ekologi dan sosial (Iskandar, 2005). Berdasarkan sasarannya, maka pembangunan HTI tentunya harus memberikan pengaruh positif terhadap kehidupan ekonomi, sosial, dan lingkungan masyarakat disekitar kawasan HTI. Dalam mewujudkan pembangunan HTI maka banyak pihak dan stakeholder yang terlibat, salah satunya adalah masyarakat tepatnya masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan. Adanya peran dan partisipatif dari masyarakat sekitar, baik dalam memberikan dukungan material maupun nonmaterial serta bekerjasama dengan pihak lainnya yang terlibat dapat memperlancar dan mempercepat pelaksanaan pembangunan HTI. Oleh karena itu, masyarakat disekitar kawasan hutan tentu akan terkena pengaruh dari pembangunan HTI baik dari segi sosial maupun ekonomi.
Pembangunan dan pengelolaan HTI dalam skala luas dan jangka panjang adalah salah satu mekanisme untuk meningkatkan kesejahteran masyarakat salah satunya yaitu dengan menyediakan lapangan kerja. Pengelolaan masyarakat dipusatkan pada kemampuan badan usaha menyediakan kesempatan kerja dan kesempatan usaha bagi masyarakat. Menurut Iskandar (2005), menyatakan bahwa ada tiga elemen primer penyediaan kesempatan kerja oleh badan usaha pembangunan HTI yakni, bekerja langsung pada perusahaan, bekerja pada perusahaan kontraktor usaha, dan bekerja untuk melayani para pekerja perusahaan.
Hubungan timbal balik antara masyarakat dengan sumberdaya hutan sebelum adanya kawasan HTI merupakan satu kesatuan ekosistem yang saling mempengaruhi, maka perlu diupayakan suatu model pembangunan kehutanan yang dipadukan dengan upaya pemenuhan kebutuhan, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan mengingat kondisi sosial ekonomi masyarakat ini pada umumnya masih rendah. Salah satu bentuk pendekatan yang diarahkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat tersebut adalah melalui pemanfaatan tenaga kerja dari masyarakat sekitar kawasan HTI.
Menurut Vitalaya salah satu upaya mengeliminasi ketidakadilan dan kesenjangan mengakses manfaat pembangunan hutan bagi masyarakat desa hutan dilakukan melalui program nasional yang disebut “Social Forestry” atau Kehutanan Sosial CSR atau Coorporate Social respobilty  pada pelestarian hutan dengan tujuan memberi manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Namun kegiatan pengelolaan hutan yang lebih diorientasikan pada pertumbuhan ekonomi telah menyebabkan termarginalisasinya masyarakat yang hidup di sekitar hutan. Konsep trickle down effect atau pertumbuhan untuk pemerataan ternyata tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Vitayala, dalam www.lei.or.id.). Akibatnya timbul ketidakadilan ekonomi yang berdampak pada kesenjangan kesejahteraan antar-masyarakat, khususnya mereka yang tinggal di sekitar areal  hutan, yaitu antara pekerja dan pengusaha di bidang kehutanan.
Terdapat beberapa dampak pembangunan HTI terhadap lingkungan tanah, air, udara sekitar, seperti :
1.      Pemadatan tanah akibat penggunaan alat berat yang digunakan dalam operasional pemanenan,
2.      Tingginya erosi tanah dan perubahan bentang alam dalam  pembukaan lahan atau dalam pemanenan jika tidak langsung di tanami.
3.      Akan terjadi pencemaran tanah/perairan/sungai jika dalam penggunaan pestisida tidak terkontrol untuk mematikan gulma
4.      Limbah bahan berbahaya (oli bekas, kemasan bekas pestisida, dll) dapat mencemari lingkungan jika tidak ditangani dengan baik
5.      Punahnya beberapa species tanaman lokal atau satwa liar jika tidak disediakannya lahan konservasi. Dalam areal HTI terdapat hutan alam yang masih produktif dari seluruh kawasan hutan yang dikelolam sehingga  pembangunan HTI juga mempunyai peran cukup besar terhadap kerusakan kekayaan ekosistem dan habitat satwa liar yang dilindungi
6.      Rawan terhadap kebakaran hutan dan lahan
7.      Meningkatnya polusi udara akibat transportasi angkutan kayu yang menimbulkan debu
8.      Polusi udara/kebisingan dengan meningkatnya penggunaan alat berat/genset
9.      Pembangunan HTI di atas secara implisit melegitimasi kerusakan hutan alam yang dilakukan oleh HPH.
10.  Terjadi Sengketa Agraria dan Dampak Sosial karena tingginya conflict of interest antara pihak-pihak yang ingin mempertahankan keberadaan hutan tetap dengan pihak-pihak yang menginginkan konversi hutan untuk penggunaan lain, seperti perkebunan dan HTI.
11.  Adanya pembangunan HTI tidak memperhatikan keberadaan hutan adat dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan.

Walaupun demikian, pembangunan HTI jika dilakukan dengan benar dan terarah, maka akan didapatkan hasil keuntungan dan kelebihannya, seperti :
1.      Meningkatnya jumlah tenaga kerja dari penduduk sekitar dari penerimaan tenaga kerja
2.      Peningkatan perekonomian daerah sekitar perusahaaan karena belanja perusahaan/tenaga kerja dalam sehari-hari
3.      Coorporate Social responbility jika dilaksanakan dengan benar maka masyarakat sekitar hutan dapat meningkatkan secara ekonomi dan meninggalkan mata pencaharian yang berasal dari pemungutan hasil hutan yang dapat merusak hutan alam dan ekosistem hutan itu sendiri
4.      Masyarakt mendapat akses jalan untuk kebutuhan perekonomiannya dan memanfaatkan hasil hutan non kayu.
5.      Pembangunan HTI dapat meningkatkan jumlah oksigen untuk mengurangi dampak karbon (tetapi hal ini perlu dikaji lebih mendalam, apakah ini hanya sebagai legatimasi untuk keberadaan HTI).

Jumat, 15 November 2013

Kawasan Candi Muara Jambi (Temple of Muara Jambi Area)

Hari ini, 15 November 2013

Bersama-sama dengan rekan-rekan yang ikut dalam Pendidikan & Latihan  Tenaga teknis Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari Kelola Lingkungan (Diklat Ganis PHPL Keling) yang ddiselengarakan oleh Dinas Kehutanan BP2HP & APHI Komda Jambi, mengunjungi Situs Purbakala Candi Muara Jambi
Beberapa bangunan saat ini dalam tahap penggalian.


























Candi Muara Takus terletak di desa Muara Takus, Kecamatan Tigabelas Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Propinsi Riau. Jaraknya dari Pekanbaru, Ibukota Propinsi Riau, sekitar 128 Km. Perjalanan menuju Desa Muara Takus hanya dapat dilakukan melalui jalan darat yaitu dari Pekanbaru ke arah Bukittinggi sampai di Muara Mahat. Dari Muara Mahat melalui jalan kecil menuju ke Desa Muara Takus. Kompleks Candi Muara Takus, satu-satunya peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau. Candi bernuansa Buddhistis ini merupakan bukti bahwa agama Budha pernah berkembang di kawasan ini. Kendatipun demikian, para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan candi ini didirikan.
Ada dua pendapat mengenai nama Muara Takus. Yang pertama mengatakan bahwa nam tersebut diambil dari nama sebuah anak sungai kecil bernama Takus yang bermuara ke Sungai Kampar Kanan. Pendapat lain mengatakan bahwa Muara Takus terdiri dari dua kata, yaitu “Muara” dan “Takus”. Kata “Muara” mempunyai pengertian yang sudah jelas, yaitu suatu tempat sebuah sungai mengakhiri alirannya ke laut atau ke sungai yang lebih besar, sedangkan kata “Takus” berasal dari bahasa Cina, Ta berarti besarr, Ku berarti tua, dan Se berarti candi atau kuil. Jadi arti keseluruhan kata Muara Takus adalah candi tua yang besar, yang terletak di muara sungai. 
 
 
 
 


Candi Muara Takus merupakan candi Buddha, terlihat dari adanya stupa, yang merupakan lambang Buddha Gautama. Ada pendapat yang mengatakan bahwa candi ini merupakan campuran dari bentuk candi Buddha dan Syiwa. Pendapat tersebut didasarkan pada bentuk bentuk Candi Mahligai, salah satu bangunan di kompleks Candi Muara takus, yang menyerupai bentuk lingga (kelamin laki-laki) dan yoni (kelamin perempuan). Arsitektur candi ini juga mempunyai kemiripan dengan arsitektur candi-candi di Myanmar. Candi Muara Takus merupakan sebuah kompleks yang terdiri atas beberapa bangunan. 
Bangunan yang utama adalah yang disebut Candi Tuo. Candi ini berukuran 32,80 m x 21,80 m dan merupakan candi bangunan terbesar di antara bangunan yang ada. Letaknya di sebelah utara Candi Bungsu. Pada sisi sebelah timur dan barat terdapat tangga, yang menurut perkiraan aslinya dihiasi stupa, sedangkan pada bagian bawah dihiasi patung singa dalam posisi duduk. Bangunan ini mempunyai sisi 36 buah dan terdiri dari bagian kaki I, kaki II, tubuh dan puncak. Bagian puncaknya telah rusak dan batu-batunya telah banyak yang hilang. 
Candi Tuo dibangun dari campuran batu bata yang dicetak dan batu pasir (tuff). Pemugaran Candi Tuo dilaksanakan secara bertahap akibat keterbatasan anggaran yang tersedia. Pada tahun 1990, selesai dikerjakan bagian kaki I di sisi timur. Selama tahun anggaran 1992/1993 pemugaran dilanjutkan dengan bagian sisi sebelah barat (kaki I dan II). Volume bangunan keseluruhan mencapai 2.235 m3, terdiri dari : kaki: 2.028 m3, tubuh: 150 m3, dan puncak: 57 m3. Tinggi bangunan mencapai 8,50 m.
Bangunan kedua dinamakan Candi Mahligai. Bangunan ini berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10,44 m x 10,60 m. Tingginya sampai ke puncak 14,30 m berdiri diatas pondamen segi delapan (astakoma) dan bersisikan sebanyak 28 buah. Pada alasnya terdapat teratai berganda dan di tengahnya menjulang sebuah menara yang bentuknya mirip phallus (yoni). 
Pada tahun 1860, seorang arkeolog Belanda bernama Cornel de Groot berkunjung ke Muara Takus. Pada waktu itu di setiap sisi ia masih menemukan patung singa dalam posisi duduk. Saat ini patung-patung tersebut sudah tidak ada bekasnya. Di sebelah timur, terdapat teras bujur sangkar dengan ukuran 5,10 x 5,10 m dengan tangga di bagian depannya. Volume bangunan Candi Mahligai 423,20 m3 yang terdiri dari volume bagian kaki 275,3 m3, tubuh 66,6 m3 dan puncak 81,3 m3. Candi Mahligai mulai dipugar pada tahun 1978 dan selesai pada tahun 1983. 
Bangunan ketiga disebut Candi Palangka, yang terletak 3,85 m sebelah timur Candi Mahligai. Bangunan ini terdiri dari batu bata merah yang tidak dicetak. Candi Palangka merupakan candi yang terkecil, relung-relung penyusunan batu tidak sama dengan dinding Candi Mahligai. Dulu sebelum dipugar bagian kakinya terbenam sekitar satu meter. Candi Palangka mulai dipugar pada tahun 1987 dan selesai pada tahun 1989. Pemugaran dilaksanakan hanya pada bagian kaki dan tubuh candi, karena bagian puncaknya yang masih ditemukan pada tahun 1860 sudah tidak ada lagi. Di bagian sebelah utara terdapat tangga yang telah rusak, sehingga tidak dapat diketahui bentuk aslinya. Kaki candi berbentuk segi delapan dengan sudut banyak, berukuran panjang 6,60 m, lebar 5,85 m serta tingginya 1,45 m dari permukaan tanah dengan volume 52,9 m3. 
Bangunan keempat dinamakan Candi Bungsu. Candi Bungsu terletak di sebelah barat Candi Mahligai. Bangunannya terbuat dari dua jenis batu, yaitu batu pasir (tuff) terdapat pada bagian depan, sedangkan batu bata terdapat pada bagian belakang. Pemugaran candi ini dimulai tahun 1988 dan selesai dikerjakan tahun 1990. Melalu pemugaran tersebut candi ini dikembalikan ke bentuk aslinya, yaitu empat persegi panjang dengan ukuran 7,50 m x 16,28 m. Bagian puncak tidak dapat dipugar, karena tidak diketahui bentuk sebenarnya. Tinggi setelah dipugar 6,20 m dari permukaan tanah, dan volume nya 365,8 m3.
Menurut gambar yang dibuat oleh J.W. Yzerman bersama-sama dengan TH. A.F. Delprat dan Opziter (Sinder) H.L. Leijdie Melvile, di atas bangunan yang terbuat dari bata merah terdapat 8 buah stupa kecil yang mengelilingi sebuah stupa besar. Di atas bangunan yang terbuat dari batu pasir (tuff) terdapat sebuah tupa besar. Di bagian sebelah timur terdapat sebuah tangga yang terbuat dari batu pasir.
Selain bangunan-bangunan tersebut di atas, di sebelah utara, atau tepat di depan gerbang Candi Tuo terdapat onggokan tanah yang mempunyai dua lobang. Tempat ini diperkirakan tempat pembakaran jenazah. Lobang yang satu untuk memasukkan jenazah dan yang satunya lagi untuk mengeluarkan abunya. Tempat pembakaran jenazah ini, termasuk dalam pemeliharaan karena berada dalam komplek percandian. Di dalam onggokan tanah tersebut terdapat batu-batu kerikil yang berasal dari sungai Kampar. Di di luar kompleks Candi Muara Takus, yaitu di beberapa tempat di sekitar Desa Muarata takus, juga diketemukan beberapa bangunan yang diduga masih erat kaitannya dengan candi ini.




Sejarah Kerajaan Melayu Jambi oleh pengaruh hindu-budha.

Di Pulau Sumatera, Provinsi Jambi merupakan bekas wilayah Kesultanan Islam Melayu Jambi (1500-1901). Kesultanan ini memang tidak berhubungan secara langsung dengan 2 kerajaan Hindu-Budha pra-Islam. Sekitar Abad 6 – awal 7 M berdiri KERAJAAN MALAYU (Melayu Tua) terletak di Muara Tembesi (kini masuk wilayah Batanghari, Jambi). Catatan Dinasti Tang mengatakan bahwa awal Abad 7 M. dan lagi pada abad 9 M Jambi mengirim duta/utusan ke Empayar China ( Wang Gungwu 1958;74). Kerajaan ini bersaing dengan SRI WIJAYA untuk menjadi pusat perdagangan. Letak Malayu yang lebih dekat ke jalur pelayaran Selat Melaka menjadikan Sri Wijaya merasa terdesak sehingga perlu menyerang Malayu sehingga akhirnya tunduk kepada Sri Wijaya.
Berdasarkan sedikit data sejarah yang tersedia, Jambi menikmati masa bebas dari pengaruh kerajaan lain hanya di masa Kerajaan Melayu Kuno. Selanjutnya, ketika Sriwijaya berdiri, Jambi menjadi daerah taklukan Sriwijaya, bahkan, menurut beberapa sumber yang, tentu saja masih diperdebatkan, Jambi pernah menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya. Ketika Sriwijaya runtuh dan muncul kekuatan Singosari di Jawa, Jambi menjadi daerah taklukan Singosari. Ketika Singosari runtuh dan muncul kemudian Majapahit, Jambi menjadi wilayah taklukan Majapahit.
Dalam perkembangan selanjutnya, Jambi menjadi pusat Kerajaan Swarnabhumi yang didirikan Aditywarman. Ketika pusat kerajaan Adityawarman berpindah ke Pagaruyung, Jambi menjadi bagian dari Kerajaan Minangkabau di Pagaruyung. Ketika Malaka muncul sebagai sebuah kekuatan baru di Selat Malaka, Jambi menjadi bagian dari wilayah Malaka. Malaka runtuh, kemudian muncul Johor. Lagi-lagi, Jambi menjadi bagian dari Kerajaan Johor. Demikianlah, Jambi telah menjadi target ekspansi setiap kerajaan besar yang berdiri di Nusantara ini.
Beberapa benda arkeologis yang ditemukan di daerah Jambi menunjukkan bahwa, di daerah ini telah berlangsung suatu aktifitas ekonomi yang berpusat di daerah Sungai Batang Hari. Temuan benda-benda keramik juga membuktikan bahwa, di daerah ini, penduduknya telah hidup dengan tingkat budaya yang tinggi. Temuan arca-arca Budha dan candi juga menunjukkan bahwa, orang-orang Jambi merupakan masyarakat yang religius. . Muaro jambi, sebuah kompleks percandian di hilir Jambi mungkin dulu bekas pusat belajar agama Budha sebagaimana catatan pendeta Cina I-Tsing yang berlayar dari India pada tahun 671. Ia belajar di Sriwijaya selama 4 tahun dan kembali pada tahun 689 bersama empat pendeta lain untuk menulis dua buku tentang ziarah Budha.
Situs Purbakala Kompleks Percandian Muaro Jambi adalah sebuah kompleks percandian agama Hindu-Buddha terluas di Indonesia yang kemungkinan besar merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Melayu. Kompleks percandian ini terletak di Kecamatan Muaro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, Indonesia, tepatnya di tepi Batang Hari, sekitar 26 kilometer arah timur Kota Jambi. Candi tersebut diperkirakakn berasal dari abad ke-11 M. Candi Muaro Jambi merupakan kompleks candi yang terbesar dan yang paling terawat di pulau Sumatera. Dan sejak tahun 2009 Kopleks Candi Muaro Jambi telah dicalonkan ke UNESCO untuk menjadi Situs Warisan Dunia.

B. Sejarah kerajaan melayu jambi oleh pengaruh islam.
Pada permulaan abad ke-8 salah seorang raja Melayu Jambi (Sri Maharaja Srindrawarman) menganut agama Islam. Namun, antara permulaan abad ke-8 dan permulaan abad ke-12 terjadi masa vacum dakwah Islam di Jambi. Agama Islam mazhab Syafi’i baru mulai berkembang di Jambi, setelah daerah ini takluk di bawah kekuasaan Samudra Pasai (1285—1522). Yang memberi corak khusus dan yang menentukan jalannya perkembangan serta yang nyata-nyata mengubah kebudayaan Melayu Jambi adalah pengaruh-pengaruh dari agama Islam. Pengaruh ini menghasilkan ciptaan-ciptaan yang memberi ciri tertentu kepada kebudayaan Melayu Jambi. Agama Hindu/Budha, yang dalam zaman purba telah menentukan corak dan disebut kebudayaan Melayu Jambi didesak oleh agama Islam. Dalam pembentukan kebudayaan baru, yang tumbuh dan berkembang adalah kebudayaan pengaruh Islam. Pengaruh Islam itu pulalah yang memberikan dan menentukan arah baru serta corak khusus kebudayaan material dan spiritual Melayu Jambi.
Dalam kurun Islam pada abad ke-15 dan 16, pemerintahan kesultaan muncul di Jambi. Di Kesultanan Jambi pada abad ke-20 dan awal abad ke-21, struktur pemerintahannya terdiri atas:
Kuasa Sultan,
Kuasa Patih Dalam,
Kuasa Patih Luar,
Kuasa Batin (Jenang),
Kuasa Tengganai,
Kuasa Dusun (Penghulu).

Sesudah proklamasi 17 Agustus 1945, daerah Jambi merupakan daerah keresidenan, bagian dari Provinsi Sumatera. Ketika Provinsi Sumatera pecah menjadi Provinsi Sunmatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan, Keresidenan Jambi yang terdiri dari Kabupaten Merangin, Kabupaten Batanghari, dan Kotapraja Jambi masuk Provinsi Sumatera Tengah.
Para penyebar Islam banyak menduduki berbagai Jabatan di kerajaan dan di antaranya ada yang kawin dengan penduduk setempat. Banyak mesjid yang di bangun para penyebar agama Islam. Beberapa elemen kebudayaan lokal bernuansa Islami semakin menyebar. ada Raja dan keluarganya yang di Islamkan, banyak rakyat yang tertarik karena sosialisasi yang menyentuh hati tanpa pembongkaran akar budaya setempat. Fase ini berlangsung pada akhir abad ke 16,17 dan abad ke-18 M, dan awal abad ke 19 M. Ketiga fase ini menurut penulis terjadi dan di alami oleh Jambi.
Salah satu ranah kebudayaan Melayu Jambi yang tak lapuk karena hujan dan tak lekang karena panas adalah adat. Adat, baik adat istiadat, adat yang teradat, adat yang diadatkan, dan adat yang sebenarnya adat merupakan pedoman perilaku keseharian masyarakat Melayu Jambi. Untuk menentukan salah atau benar sesuatu perbuatan diteliti (disimak) dari ungkapan-ungkapan dalam pepatah dan petitih serta seloko adat yang ada kaitannya dengan perbuatan atau kejadian tersebut. Contoh ungkapan tersebut, antara lain:
(1)   Terpijak benang arang, hitam tapak. Tersuruk di gunung kapur, putih tengkuk.
(2)   Sia-sia negeri alah Tateko hutang tumbuh.
(3)   Pinjam memulangkan Sumbing menitik Hilang mengganti

Bagi masyarakat Melayu Jambi, adat merupakan elemen perekat dalam sendi kemasyarakatannya yang memungkinkan masyarakat tumbuh dan berkembang secara serasi dalam suasana kekeluargaan yang harmonis dan dinamis. Hal ini dimungkinkan karena dalam sistem adat memuat komponen hukum yang bersifat duniawi dan ukhrawi, seperti tertuang dalam ungkapan: ”Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”.


Jambi merupakan kerajaan melayu yang terletak strategis pada jalur perdagangan. Dari itu banyak kerajaan silih berganti merebut dan menguasai dari kerajaan lain. Melalui pergantian tersebut jambi memiliki banyak ragam budaya dan peninggalan yang masih dapat kita temukan pada saat ini. Berawal dari kerajaan sriwijaya, singoshari, majapahit yang bercorak hindu-budha yang banyak meninggalkan archa dan candi, sampai pada kerajaan yang bercorak islam yang banyak meninggalkan masjid dengan arsitektur yang islami.




Kerajaan Melayu Jambi
Peta Tanah Melayu purba, berdasarkan teori, ibu negara Kerajaan Malayu dikaitkan dengan Muaro Jambi, muara sungai Batanghari, Jambi, Sumatera. Tetapi berbagai negeri (kadatuan) Melayu lainnya pun bersemi sebelum ditawan olehSrivijaya pada akhir abad ke-7 Masihi, seperti KerajaanLangkasuka, Pan Pan dan Panai.
Kerajaan Melayu (juga digelar Malayu, Kerajaan Dharmasraya atau Kerajaan Jambi) ialah sebuah kerajaan Asia Tenggara yang telah wujud antara abad ke-4 dan ke-13 pada tahun Masihi. Ia telah ditubuhkan di sekitar di mananya kini Jambi di Sumatra, Indonesia. Lokasinya adalah lebih kurang 200km utara Palembang. Sekitar 688 M, Maharaja Jayanasa mengintegrasikan Jambi ke dalam empayar Srivijaya.

Asal
Menurut Yijing , Melayu yang awal (dieja sebagai Ma-La-Yu dalam tulisan bahasa China 末羅瑜國) ialah sebuah kerajaan berdikari. Pada lewat abad ke-7 M, sami Yijing merakamkan bahawa kali kedua dia pulang semula keMa-La-Yu, ia telah ditawan oleh Srivijaya. Tambahan, Melayu telah mencapai kawasan-kawasan yang menghasilkan emas di daerah pendalaman Sumatra. Ini secara lambat menambahkan martabat Melayu yang berdagang pelbagai barangan tempatan, termasuk emas, dengan para pedagang asing. Perkataan Melayu telah dipahatkan (tahun 1286) pada sebuah patung Padang Rocore di muara sungai Muara Jambi[2]. Menurut Ensiklopedia Malaysia[3], tulisan India silam dalam Ramayana dan Vayu Purana (Abad ke-3 SM), perkataan bahasa Sanskrit 'Malayadvipa' (secara harfiah 'Pulau Melayu') telah disebut, merujuk pada Sumatra.

Sumber China

Pada dinasti Yuan yang kemudiannya, perkataan Ma-La-Yu telah sering disebut (dalam sejarah China) untuk merujuk pada sebuah negara dari laut selatan dengan berlainan ejaan oleh sebab perubahan dinasti.
·         (Bahasa Cina: 木剌由) - Bok-la-yu, Mok-la-yu
·         (Bahasa Cina: 麻里予兒) - Ma-li-yu-er
·         (Bahasa Cina: 巫来由) - Oo-lai-yu (dikesankan dari sumber bertulisan sami Xuan Zang)
·         (Bahasa Cina: 無来由) - Wu-lai-yu
Sebahagian petikan dari Babad asal kerajaan Mongol Yuan (dalam bahasa Cina): Chronicle of Mongol Yuan
"以暹人与麻里予兒旧相仇杀,至是皆归顺,有旨谕暹人伤麻里予兒,以践尔言"
(dalam bahasa Melayu: Permusuhan muncul antara Siam dan Ma-la-yu dengan kedua-duanya mencekik sesama sendiri...)

 

Sejarah Melayu

Perkataan Melayu disebut dalam Sejarah Melayu.
"Di sini sekarang adalah cerita sebuah bandar yang digelar Palembang di tanah Andelas (Sumatra). Ia diperintah oleh Demang Lebar Daun, seorang keturunan Raja Shulan, dan sungainya adalah Muara Tatang. Di pencapaian bahagian atas Muara Tatang adalah sebatang sungai yang bernama Melayu, dan di sungai itu ada bukit yang bernama Si-Guntang Mahameru'...."
.


Pusat Sriwijaya
Antara 1079 dan 1088, rakaman China menunjukkan bahawa Srivijaya mengirim duta dari Jambi dan Palembang.[4] Pada 1079 khususnya, seorang duta dari Jambi dan Palembang setiapnya untuk melawat China. Jambi mengirim dua duta ke China pada 1082 dan 1088.[5] Ini bercadang bahawa pusat Srivijaya sering beralih di antara dua buah bandar utama itu sewaktu zaman itu.[6]Ekspedisi Chola dan juga jalan perdagangan yang berubahan melemahkan Palembang, membenarkan Jambi untuk mengambil pucuk pimpinan Srivijaya dari abad ke-11 dan selanjutnya.[7]


Kematian
Hampir satu abad selepas pengambilan peranan Palembang sebagai pusat sebuah empayar, Jambi dan Srivijaya mengalami kemerosotan dalam pengaruh. [8] Ini disebabkan suatu perubahan polisi oleh dinasti Song untuk tidak lagi menerima duta-duta dari Srivijaya dan ketidakmampuan Jambi untuk mengatasi senario yang berubah. Daripada Jambi mengawal melalui sistem yang membayar ufti, para pedagang dibenarkan untuk berdagang secara lanjut.


Putera Melayu terakhir Parameswara
Mahesa/Kebo/Lembu Anabrang ialah seorang Jeneral Singhasari, beliau menakluki Srivijaya dan Melayu pada 1288. Pada tahun 1347, Gajah Mada, pemimpin ketenteraan Majapahit memasang Adityawarman sebagai raja Melayu untuk mencegah kebangkitan semula Srivijaya. Adityawarman kemudian menakluki Tanah Datar untuk mengawal perdagangan emas dan menubuhkan sebuah kerajaan di Pagar Ruyung. Pada tahun 1377, Majapahit mengalahkan Palembang dan menamatkan usaha untuk membangkitkan semula Srivijaya. Putera terakhir dari asal-usul Srivijaya, Parameswara, melarikan diri ke Temasek untuk mendapatkan perlindungan sebelum bergerak ke utara, di mana baginda menubuhkan Kesultanan Melayu Melaka.




Artikel dari berbagai sumber
dan terkait dengan penerbitan sebelumnya dalam  http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7282058939751178350#editor/target=post;postID=4249074543097953111;onPublishedMenu=allposts;onClosedMenu=allposts;postNum=78;src=link  membahas Putri Mayang Mengurai & Pencak Silat Harimau Berantai dan  http://aeiroura.blogspot.com/2013/06/pencak-silat-aliran-tari-melayu-mayang.html yang membahas : Pencak silat Aliran Tari Melayu Jambi