CINTAKU
DI KAMPUS BIRU
Novel Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar ini merupakan kisah pembuka dari “tri-logi” Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu dan Terminal Cinta Terakhir . Cintaku di Kampus Biru merupakan kisah kehidupan anak muda khas mahasiswa yang segar dan penuh warna. Setting tempat bergulirnya cerita ini adalah kampus Universitas Gajah Mada (UGM) Jogyakarta tahun 80-an. Semenjak terbitnya novel ini kampus UGM Bulaksumur kemudian memperoleh predikat “Kampus Biru”. UGM sendiri memang merupakan icon yang melekat pada kota pelajar Jogyakarta.
Bagi pembaca yang sudah melewati usia 30 tahun kisah ini sungguh akan membangkitkan kembali kenangan masa muda, masa kuliah. Kisah ini memang mengekspose lika-liku kehidupan mahasiswa yang tak biasa, di masa itu kehidupan mahasiswa identik dengan “buku, pesta dan cinta”. Namun Anton berbeda, tokoh dalam kisah ini adalah seorang aktivis yang cerdas, kritis dan tampan.
Dalam novel ini kita bisa melihat betapa cermatnya Ashadi Siregar “memotret” kehidupan mahasiswa. Mulai dari rumah pondokan, ruang kuliah hingga hati dosen yang kering mendambakan cinta. Maklum Ashadi Siregar adalah bagian dari lingkungan dimana kisah ini bermula. Dia adalah alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, kemudian bahkan dia menjadi salah seorang dosen disana.
Selamat menikmati.
GERUMBULAN semak itu bergerak-gerak. Bunga-bunga putih dan merah di ujung ranting ikut bergoyang. Diterpa angin. Dua pasang kaki menjulur dari balik semak itu. Sepasang berbetis putih, jenjang, dan mungil. Sandalnya berwarna kuning. Sepasang yang lain dibalut celana jean biru. Bersandal jepit.
Aroma segar dedaunan ditambah lagi harum bunga, menandakan betapa nyamannya tempat itu. Angin membuat pucuk-pucuk cemara meliuk pelahan. Pohon-pohon flamboyan berbunga. Gedung Induk Kampus Gadjah Mada tertegak sepi. Jalan menuju gedung bertingkat tiga itu dipanggang matahari. Tetapi, di pinggir jalan, sejuk. Matahari tak bisa menembus dedaunan yang melindungi tanah. Dari balik semak terdengar suara lelaki, "Aku mau pulang.”
Kaki lelaki itu ancang-ancang akan berdiri, tetapi kaki jenjang bersandal kuning menekan kaki lelaki itu.
“Nanti.”
Lelaki itu berusaha melepaskan kakinya dari tindihan. Semak-semak bergoyang. Di balik semak itu terjadi pergumulan.
"Bah, kau mau memperkosa aku!" kata lelaki itu.
"Brengsek! Diamlah!" kala si perempuan. Lalu terdengar suara mulut yang terdekap, "Hmmm….. " Tetapi, 'hmmm' itu terputus, diganti suara lelaki dalam napas tersengal, "Cukup. Aku malas. Awas kakimu. Aku mau pergi."
"Ah, ssshhh... ."
"Tidak mau. Jangan tindih aku. Ke sana kau!"
"Bah!"
"Hari ini tiada cinta," kala lelaki itu.
"Hmmm, gaya Motinggo, tapi kurang erotis!" Perempuan itu mengejek.
Gerumbulan semak bergoyang lagi.
"Ah, jangan! Aku mau pulang," kala lelaki itu.
"Alaaa, sok kau."
"Sudah kubilang, hari ini tiada cinta. Kepalaku pusing memikirkan ujian, uang kuliah yang belum dibayar, pemilihan Dewan Mahasiswa, resolusi untuk dosen brengsek…."
"Kau yang brengsek! Sok jadi orang penting!"
"Bah!"
"Bah!" ejek perempuan itu.
"Pokoknya aku mau pulang. Membaca di dekatmu, hilang konsentrasiku."
"Dasar!"
"Dasar apa?"
"Dasar lelaki! Dulu menguber-uber, sekarang berlagak!"
"O, perempuan! Dulu jual mahal, sekarang menggerogoti waktuku yang berharga."
"Dulu kenapa kau tidak merasa digerogoti? Malah membuang waktu berhari-hari untuk mengejar-ngejar!"
"Lain Bengkulu lain Semarang. Sekarang, sudahlah. Pokoknya, aku cinta padamu. Tetapi, kita harus bercinta sedikit metodologis. Pakai logika.
Jangan sentimentil."
"Dasar lelaki!" kala perempuan itu.
"Ya, dasar. Sudah? Nah, geser kakimu. Aku mau berdiri."
"Kau datang tidak nanti malam?" Ada nada ancaman dalam suara perempuan itu.
“Bah, perkosaan.”
"Bah, bah, bah! Mau datang atau tidak? Kalau tidak, jangan lagi pijak rumahku."
“Aku tidak suka di- fait accomply. Cinta tak boleh her-fait accomply. Kayak kawin Hansip saja."
"Mau datang atau tidak?"
Tak ada jawaban. Semak-semak tersibak. Anton keluar dari gerumbulan semak itu. Dia mengibaskan rumput di celananya. Lalu bersiul meninggalkan tempat itu.
Semak tersibak lagi. Marini membersihkan rumput-rumput yang melekat di roknya yang mini. Dan, kemudian merapikan rambutnya.
"Bajingan!" katanya ke arah punggung Anton yang kian menjauh.
itu.
Anton tak bereaksi. Marini memungut batu kerikil, dan melemparkannya ke arah lelaki
"Bajingan!" serunya. Lemparannya tak mengenai sasaran. Anton cuma melengos sedikit, dan melangkah lebih bergegas.
Gadis itu mengawasi punggung lelaki itu. Dia melangkah mengikutinya. Tetapi, tiba-tiba dia teringat sesuatu. Lalu dia kembali masuk ke gerumbul semak, mengambil buku-bukunya. Sembari berjalan, dia menggerundel berkepanjangan, "Dasar lelaki! Tak tahu diri! Dulu bukan main cumbuannya. Sekarang, berlagak alim. Dasar!"
Marini melompati parit, dan keluar dari areal rerumputan. Kini dia berjalan di Bulaksumur Boulevard, jalan besar beraspal yang membelah kampus itu. Dia berjalan ke selatan, menjauhi Gedung Induk Universitas Gadjah Mada. Berpunggungan dengan Anton yang berjalan ke utara.
"Itu cuma gejala." Suara tak terdengar berputaran di kepala Marini. "Pasti dia memang sedang mencari-cari alasan untuk memutuskan hubungan. Pasti dia sudah bosan. Bajingan itu, pasti sedang mengejarngejar gadis lain. Tapi, siapa sasaran barunya? Baik, akan kuselidiki. Jangan dia kira aku akan pasrah saja. Jangan dia kira dia bisa seenaknya merayu, lalu meninggalkan setelah bosan. Jangan dia kira wanita bisa diperlakukan sebiadab itu. Aku akan bertindak kalau betul dia mencintai gadis lain. Ah, si playboyitu!"
Di bawah matahari yang memijar merah, Marini mendekap bukubukunya di dada, dia menekuri ujung sandalnya yang menendang-nendang kerikil. Sepuasnya matahari menciumi wajah gadis itu. Wajah yang lonjong, dengan mata yang redup, bulu mata yang lentik, hidung yang mungil tapi mancung, dan bibir yang mengulum lunak-basah.
Marini mengalihkan tatapannya dari kaki pindah ke buku-bukunya. Lalu ke dadanya. Dia menghela napas panjang. Mengeluh tanpa bisa didengar. Dia menatap dadanya yang terlalu membusung.
"Barangkali dia sekarang sedang mengejar- ngejar bom seks," katanya dalam hati. "Makanya mulai dingin. Kalau dia memang mencintaiku, tentunya dia akan senang bercumbu di semak-semak. Toh dia yang mengajak pertama kali ke semak itu. Dia yang menamakan tempat itu 'Semak Cinta'. Love grass . Semak Cinta. Hmmm, memang cintanya bersemak berangkali."
Gadis itu melewati Rumah Sakit Panti Rapih. Orang-orang yang akan bezuk menunggu jam dibukanya pintu. Di dekat pagar, seorang lelaki muda mengawasi Marini. Marini mendongkol melihat mata lapar lelaki itu.
"Bajingan!" kutuknya. "Pasti dia akan bezuk istrinya. Istrinya mungkin melahirkan. Tapi, masih sempat juga melotot melihat perempuan lain. Dasar lelaki!"
Marini tak jadi menawar becak di tempat itu. Tatapan lelaki-lelaki di halaman rumah sakit itu membuatnya risi. Kakinya yang jenjang semakin telanjang rasanya. Marini melangkah terus menyelatani jalan. Tak mempedulikan dering-dering becak. Hatinya rusuh. Benci, gondok, mangkel, dan semua yang senada itu berbauran di dadanya.
"Aku telah tahu gejalanya. Telah kelihatan gejalanya. Dia semakin tak acuh. Membuat gara-gara agar aku marah. Tapi, akan kulihat. Sampai berapa lama dia mati membuat intimidasi begitu. Aku akan bersabar. Pokoknya aku akan menjaga diriku sebagai perempuan setia, bukan yang gampang memutus cinta."
Marini terkaget lantaran ada suara klakson motor di sampingnya. Dan, gadis itu menyumpahi Jepang yang telah memproduksi motor-motor yang merusuhi ketentraman itu.
"Kalaupun putus, biarlah teman-teman tahu bahwa yang berkhianat dia, bukan aku. Aku akan menjaga nama baikku. Orang akan bersimpati pada nasibku. Korban kesekian playboy itu."
"Mariniii! Daaag!"
Pembicaraan dengan dirinya terputus. Marini terpaksa membalas lambaian gadis yang dibonceng lelaki bermotor. Dia berusaha menimpali senyum, tetapi terasa sempil. Tapi, tak apalah. Teman tadi telah lewat.
"Introspeksi. Ya, introspeksi. Aku telah mengintrospeksi diriku. Apa salahku? Aku berusaha menyenangkan hatinya. Dulu dia setengah mati berusaha menciumku. Sekarang, tak perlu setengah mati. Inisiatif datang dariku. Toh aku bukan pemalu lagi sekarang. Aku telah berinisiatif sebab wanita pun harus menunjukkan dirinya sejajar dengan lelaki. Apa salahnya aku agresif? Ya, aku harus agresif. Sebab, usiaku memaksa aku harus secepatnya mengikat dia. Enam bulan berhubungan, enam bulan pacaran. Aku harus berhasil mengikat dia. Dia tak boleh lepas. Tapi, Bajingan itu nampak-nampaknya berusaha melepaskan diri."
Marini memanggil becak.
Sementara itu, di aula perpustakaan universitas, Anton sedang menarik-narik rambutnya yang kusut. Rambut itu sebagian menutup jidatnya. Kuduknya yang telah tertutup rambut terasa panas. Gatal. Perlu shampoo. Tapi, baru kemarin dikeramas. Kalau begitu, gatal ini bukan gatal fisik. Ini gatal psikis. Boleh jadi psikosomatis. Gangguan-gangguan jiwa yang menggejala ke fisiko Kalau begitu perlu konsultasi pada psikiater. Ah, kenapa harus konsultasi segala? Kenapa tidak berusaha menyembuhkan diri sendiri?
Anton termangu menatap buku yang terkembang di hadapannya.
Ruangan perpustakaan itu hening. Mahasiswa-mahasiswa menekuni bacaan mereka. Dan, Anton kembali ke bukunya. Deretan huruf yang dilihatnya cuma sekejap punya makna baginya. Kemudian berganti garis hitam kabur.
Kegelisahan sekarang ini, perlu ditanggulangi secepatnya. Gejalanya kian mengganggu. Sulit tidur, gelisah, keringatan tanpa adanya gerakan tubuh, dan banyak lagi tanda gangguan psikologis. Pacaran tak menolong lagi. Bahkan boleh jadi pacaran itu penyebabnya. Nah, kalau begitu, gugurlah satu teori. Selama ini ada teori di kalangan mahasiswa: kegelisahan, frustrasi, dan semacamnya akan hilang kalau diatasi dengan jalan pacaran. Tetapi, dengan pengalaman ini, Anton telah merasakan bahwa pacaran itulah yang merusuhi hati-nya. Perempuan memang sumber malapetaka.
Catastrophe!
Sebelum dia didapat, dia harus dikejar. Berhari-hari, bermingguminggu menguber hanya untuk bisa memeluknya, menciumnya, dan bilang, "Aku cinta padamu." Dan, setelah itu, dia berbalik mengejar. Membuat gugup lelaki. Pantang melihat mata melenceng. Kecemburuannya meluap-luap. Wah, wah, wah, itu baru pacaran. Bagaimana kalau sudah kawin? Barangkali dia akan merantai kaki suaminya. Membatasi gerak suaminya. Pasti lelaki akan kehilangan kebebasannya. Pasti si istri akan membuat dimensi ruang dan waktu suaminya dengan sangat ketatnya.
Anton menghirup udara sepenuh dada. Dan, rambutnya yang gondrong terasa gatal lagi. Dia menggaruk. Panas. Ah, kulit kepalanya sampai perih. Dia menghentikan garukannya, tetapi titik kepuasan belum tercapai. Rasa gatal masih mengambang. Dia jengkel. Cuma, kepada siapa kejengkelan itu harus diarahkan?
Dia menatap berkeliling. Gadis berbaju merah di sampingnya, ruparupanya sejak tadi mengawasinya. Gadis itu berbisik kepada temannya. Lalu kedua gadis itu mengikik.
" Primates[1]," kata gadis berbaju merah.
[2]
"Ya?" kata temannya. "Golongan apa? Anthropomorphae atau Cercopithecidae[3] ?"
Keduanya mengikik lagi. Wajah Anton merahpadam. Biarpun bukan bidangnya, tetapi dia tahu istilah-istilah itu. Namun, delikannya tak digubris kedua gadis itu.
"Hiii, seram. Lihat matanya yang melotot, lebih memper carnivora[4] ," kata gadis baju merah.
"Bisik-bisik, cium-cium, raba-raba. Aih, dunia yang gawat, kenapa kau mentolerir lesbianisme di muka bumi ini? Bukankah ada aku, lelaki yang nganggur?" kata Anton seolah membaca dari bukunya.
Cekikikan dan bisik-bisik terputus. Kepala kedua gadis itu merenggang. Mereka melotot ke arah Anton.
Anton tak acuh. Dia membalik-balik halaman bukunya. Lalu pura-pura menemukan tulisan yang dicarinya. Dan, seperti membaca dia berkata, "Seorang wanita akan bertingkah kalau dia merasa dirinya cantik. Sebab, dia tahu dia menjadi pusat perhatian. Tapi, seorang wanita akan bertingkah juga walau dia tahu dirinya jelek kayak macacus irus[5]. Tentunya agar menarik perhatian orang banyak."
Kedua gadis itu saling pandang. Lalu, "Cih!" kala gadis baju merah.
"Cih!" kata temannya.
“Hmmm,” gumam Anton.
Kedua gadis itu saling pandangan lagi. Lalu, seperti sudah bersepakat sebelumnya, keduanya berdiri dan mengemasi buku-bukunya.
"Kita pindah saja," kata gadis baju merah. "Ya, dekat carnivora itu busuk baunya."
"Hei, jangan menghina ya?" bentak Anton.
"Menghina apa?" Gadis berbaju merah berkacak pinggang.
"Uf, galaknya."
Kedua gadis itu beranjak.
"Ya Tuhan, terima kasih atas keadilan-Mu sebab gadis itu bukan pacarku," kata Anton.
"Siapa yang sudi jadi pacarmu? Brengsek!" Gadis baju merah membalik dan membentak.
Anton termangu.
"Telah terjadi perubahan radikal rupanya. Gadis-gadis tak lagi sepenakut dulu. Kemajuan atau kemunduran? Biasanya gadis-gadis Yogya terkenal pemalu. Tak suka berbantah. Tapi, yang kuhadapi ini, betul-betul radikal. Galak. Uf, uf, uf, perubahan kulturil. Barangkali ide-ide woman's lib sudah masuk ke Gadjah Mada ini. Berabe."
Kedua gadis itu duduk di sudut ruangan.
"Sampai mana tadi? Ah, apa pun belum ada yang kubaca. Sudah berapa jam aku memegang buku ini? Time is knowledge. Tapi, bagaimana kalau pikiran butek?" gerutu Anton. "Oh, ya, pakai metode Dale Carnegie. Barangkali kesulitan bisa diatasi."
Lalu Anton mengeluarkan kertas, dan bolpoin. Dia menulis angka satu, tapi tak tertulis. Dia corat- coretkan bolpoin itu, tinta tetap tak keluar.
"Sialan! langkah pertama saja sudah macet, bagaimana bisa mengkalkulasi seluruh kesulitan?" Anton memperhatikan sekeliling. Mahasiswa-mahasisiwa sedang asyik membuat catatan bagi buku yang mereka baca. Siapa yang sedang tidak menggunakan fulpen? Ah, semua sedang menulis. Oh, tidak. itu di sudut, mereka sedang membaca. Fulpennya pasti nganggur. Cuma, bagaimana mendekatinya? Tadi sudah konflik.
Tapi, dicoba saja. Anton bangkit. Dia berjalan mendekati kedua gadis itu. Mereka mengetahui kedatangan lelaki ini. Sudah barang tentu mereka memperlihatkan sikap acuh.
Deheman Anton sesungguhnya hampir membuat kedua gadis itu mengangkat kepala. Namun, mereka bertahan terus menekuni buku mereka.
"Maaf, Dik," kata Anton akhirnya.
Gadis baju merah mengangkat kepala, dan mengangkat alisnya. Seperti melihat makhluk aneh dari planet lain dia mengawasi Anton, dari kaki hingga ujung rambut. Berkali-kali.
"Boleh pinjam fulpennya?"
Gadis baju merah menatap temannya.
"Apa katanya?"
"Tauk. Bahasanya kurang komunikatif." Anton berdiri menahan kedongkolan yang merayap-rayap.
"Kalau fulpennya tak dipakai, boleh saya pinjam?" katanya.
Gadis baju merah melirik sekejap.
"Hmmm," gumamnya.
"Dia perlu fulpen?" kata temannya.
"Bisa dipercaya nggak manusia ini?" kata gadis baju merah.
"Coba kita pikir."
"Boleh nggak?" kata Anton.
"Eh, memaksa pula," ujar si Baju Merah.
"Agak biadab ya?" Temannya menimpali.
"Kok sombong banget?"
"Kasih enggak ya?" kata si Baju Merah.
"Kasihlah, Ika," kala temannya.
"Nih."
"Terima kasih lebih dulu."
"Tak usah terima kasih. Asal cepat mengembalikannya saja."
Anton berbalik kembali ke mejanya. Dia ingin menulis kesulitankesulitannya sekarang. Tetapi, aneh. Di situlah kesulitannya. Dia tidak bisa merumuskannya dalam kalimat yang ringkas dan jelas. Dia pandangi angka satu yang baru saja ditulisnya. Kenapa belum bisa dirumuskan kesulitan yang terasa belakangan ini? Aneh, malah pemilik fulpen ini yang membayang. Kesulitan baru.
Fulpen berwama kuning emas itu berkilat. Dan, membayang wajah pemiliknya. Wajah kuning, bermata galak. Bibir yang seperti mengulum ejekan. Ha, pasti dia seorang yang senang bercanda. Matanya yang bersinar-sinar tak henti-hentinya tertawa. Alisnya yang lebat menandakan bahwa dia bukan pesolek. Alisnya teratur tanpa bekas cukuran. Dan, hidungnya akan menimbulkan rasa iba kalau dia terserang pilek. Hidung yang indah. Ha, seperti hidung Gina Lollobrigida.
Anton tercengang lantaran di kertasnya tergambar sketsa wajah gadis itu.
"Edan!" rutuknya. Dan, dia berusaha lagi merenungkan kesulitannya. Memikirkan faktor-faktor yang menyebabkan kerusuhan hatinya belakangar. ini, dia menuliskan:
1. Jangka waktu studi sudah mepet. Orang tua hanya mau membiayai selama enam bulan lagi.
1. 2. Rongrongan Marini yang kebelet kawin, mengganggu konsentrasi.
2. 3. Vak dati Bu Yusnita sudah enam kali ditempuh, belum lulus juga.
3. 4. Urusan-urusan organisasi mahasiswa intra-universitas.
Anton masih mencari kesulitan lainnya, tetapi cuma itu yang terumus. Cuma ini? Dia tak percaya. Kenapa begini sedikit? Padahal gangguan terhadap pikirannya hampir-hampir tak tertanggungkan. Kalau memang benar cuma ada empat persoalan, tentunya tidak terlalu sulit menanggulanginya. Soal biaya dari orang tua yang telah terbatas, nanti bisa dipikirkan. Jangan sekarang. Kalau orang tua betul- betul mau menghentikan setelah jangka waktu studi genap lima tahun, apa mau dikata? Dilihat saja nanti kelanjutannya. Siapa tahu masih bisa mulur sedikit lagi. Kalau tidak, ya bagaimana baiknyalah. Jadi, ultimatum dari kampung itu bolehlah dikesampingkan. Que sera sera, yang mau terjadi, terjadilah.
Lalu, Marini. Apa yang harus dilakukannya? Kawin? Bah, terlalu buruburu. Aku baru dua-lima. Lima atau enam tahun lagi baru bisa memikirkan itu. Marini sekarang dua puluh tiga tahun. Ya, ya, ya, dia layak memikirkan ini. Cuma, memikirkan dengan menyangkutkan diriku, betul-betul malapetaka. Bagaimana mengatasi ini? Apakah aku harus memutuskan hubungan? O, itu tak patut. Aku mencintainya. Ah, matanya yang sejuk, dan senyumnya yang melankolis. Dia sebenamya sempurna sekali untuk dicintai. Sayang dia terlalu mendesakku. Dia terlalu menggantungkan diri. Aku lebih menyukai gadis-gadis yang berani menantang hidup. Gadis-gadis yang berani mandiri. Gadis yang... ha, seperti si Baju Merah itulah! Galak, menantang, dan pastilah betul-betul menghayati emansipasi. Bukan seperti Marini yang sentimentil. Pemalu di depan orang, tetapi agresif di tempat tersembunyi.
Lantas akan diapakan dia? Andainya dia percaya pada dirinya, tak perlu mendesakku terus-menerus. Toh aku mencintainya. Aku belum ada niat meninggalkannya. Rongrongannya betul-betul membuat aku takut menghadapinya. Apakah dia akan begitu setelah menjadi seorang istri? Mungkin malah lebih ekstrem. Ah, ah, ah, dia membuatku takut kawin. Jika kawin cuma membuat lelaki terkurung di rumah, nerakalah itu! Aku tak mau memikirkan itu. Tak mau, tak mau, tak mau!
Lalu Bu Yusnita. Ah, dosen yang pemarah itu! Gadis yang sebenarnya cantik, tetapi statusnya membuatnya harus seangker mungkin. Bagaimana harus menghadapinya? Aku telah bosan ujian dari vak dia lagi. Literatur wajibnya sudah kulalap, tetapi kenapa tak juga lulus? Barangkali betul yang dibilang Pungky, Edu, Nasar, atau siapa lagi. Ini bukan lagi ujian intelejensia. Pasti ada dendam tak kenal ampun. Makanya dia tak mau meluluskan aku dari vaknya. Apa kesalahanku? Kapan aku menyinggung perasaannya! Ah, ah, ah, sulit menghadapi gadis usia tigapuluhan. Biar cantik, biar profilnya mirip Liz Taylor, kalau dadanya makin kerepes, ya tentulah ada gangguan jiwa juga. Dia tak bisa menyembuhkan dirinya sendiri. Ilmu psikologinya tak bisa dia gunakan.
Akan kuhadapi dosen yang masih gadis itu. Akan kutanya bermukamuka di mana kekuranganku. Kalau perlu, akan kutuntut agar aku ujian lisan di depan panitia yang sengaja dibentuk. Ya, kalau perlu kugerakkan Dewan Mahasiswa untuk membuat resolusi. Persetan! Aku tak bisa lagi bersabar. Gara-gara vaknya maka kenaikan tingkatku tertunda terus. Perlu dihadapi dengan tekat keras. Soalnya kesempatan ujian kali ini menentukan nasibku di hari mendatang.
Tentang urusan organisasi mahasiswa intra? Tentulah belum bisa ditinggalkan. Aku masih membutuhkan kursi di Dewan Mahasiswa. Aku memerlukan posisi yang kuat. Siapa tahu aku harus menghadapi kekuatankekuatan yang tidak menyukaiku. Seperti dosen-dosen yang mempersukar ujianku misalnya. Bukan hanya untuk kepentingan pribadiku saja. Temanteman mahasiswa juga membutuhkan pahlawan yang akan memperjuangkan kepentingan mereka. Cukup banyak dosen otoriter di kampus ini.
Jadi, begitulah persoalannya. Tak perlu lagi rusuh. 'Kan begitu, Anton? Kau harus menyayangi dirimu. Dirimu adalah orang yang harus paling kaucintai, melebihi cinta kepada siapa pun. Jangan rusuh. Jangan gelisah.
Lalu Anton kembali menekuni bukunya. Kembali terbenam dalam keasyikan.
Di sudut ruangan, gadis berbaju merah itu telah memandang berkalikali ke arah Anton. Dia gelisah. Matahari telah tergelincir ke barat. Di luar mulai kelam. Lampu-lampu di ruangan baca itu telah menyala sejak tadi.
Gadis baju merah itu menunggu fulpennya kembali. Dia mau pulang, tetapi Anton belum mengembalikan fulpen itu. Terkutuk! Padahal dia tidak lagi menulis. Kenapa belum juga mengembalikan fulpen itu? Si Baju Merah menarik napas dalam-dalam, berusaha membenamkan dalam-dalam kejengkelannya yang merayap-rayap. Temannya telah memasukkan bukubukunya ke dalam tas.
"Bagaimana, Erika?" kata temannya.
"Bajingan itu pula-pula tak tahu," kata Erika, si Baju merah.
"Sambil keluar nanti kita minta."
"Ih!"
"Jadi?"
"Kita tunggu."
"Aduh, aku lapar, Ika."
"Aku juga."
"Kita bisa sakit maag nanti."
"Alaaa, ini juga belum waktunya makan," kata Erika.
"Tapi, kita perlu snack."
"Ya, ya. Nanti aku traktir."
"Ayolah."
"Kau nanti yang minta?" tanya Erika.
"Lha, tapi fulpenmu. Kau yang beri tadi."
" Ya, ya, ya.”
"Kenapa dia masih menahan fulpenmu itu? Toh dia tidak menulis
lagi." "Laki-laki memang banyak akal bulusnya."
"Kita minta saja. Kita bentak dia untuk ke-ndableg-annya itu."
"Kau berani?" Erika menatap temannya.
"Ya? Eh, kau?"
"Entahlah. Aku takut."
"Lucu ya? Tadi kita berani mengejek-ejeknya. Sekarang, kenapa kita takut? Aku juga takut mendekatinya."
"Kalau dia serius, ngeri melihatnya. Tampangnya angker. Kalau sedang menggaruk-garuk seperti tadi, dia memang tak beda dengan anak-
anak muda gondrong lainnya. Tapi, dengan tampang berpikir kayak filosof itu, aku tak berani mendekatinya," ujar Erika. Kedua gadis itu saling pandang. Dan, kemudian mereka mengalihkan
pandangan pada lelaki muda yang asyik membaca itu.
"Baiknya bagaimana?"
"Coba, kau pergi minta, Retno. Aku tunggu di sini," kata Erika.
"Kok aku? Kau yang beri tadi," kata Retno.
"Ah!"
"Kenapa sih dia tak mengembalikan fulpenmu itu? Barangkali dia pura-pura lupa. Fulpenmu bagus, Ika. Mungkin dia sengaja diam-diam, berharap kau pun lupa."
"Seburuk itu mentalnya, kaukira?"
"Siapa tahu? Apa merk fulpenmu itu? Parker, pilot, sheaffer?"
"Pergilah minta, Retno."
"Aku takut. Sudah kubilang, dia mengerikan. Tadi saja dia memelototi kita. Coba, apa ada lelaki yang pemah melotot marah kepadamu, Ika? Coba, apakah kau pemah ketemu sama lelaki-lelaki yang mendeliki kau?"
Erika menarik napas dalam-dalam lagi. Berkali-kali dia melirik Anton. Yang dilirik tetap tidak menyadari. Dia terbenam dalam huruf-huruf yang dihadapinya.
"Atau kita tinggal saja?" kata Erika kemudian.
"Ha? Ditinggal? Fulpen samahal itu? Edan kau, Erika!"
"Lantas, apa lagi?"
"Kok jadi aneh kita ini. Selama ini kita berusaha menjadi perempuan yang menempatkan diri sejajar dengan lelaki. Tapi sekarang, baru menghadapi lelaki begitu saja kita jadi canggung."
"Kultur kebebasan itu ternyata belum benar-benar mengalir dalam seluruh kehidupan kita."
"Baru soal fulpen dan menghadapi lelaki galak, kita sudah terbentur. Belum lagi menghadapi soal-soal yang lebih prinsipil," kala Retno.
"Bukan soal fulpen, Retno. Aku malu pada diriku sendiri. Waktu kita mengejeknya dengan istilah Latin tadi, kukira dia cuma mahasiswa jurusan sosial. Ini kulihat dari buku yang sedang dibacanya. Tapi, rupanya dia mengerti istilah Latin itu. Aku malu. Sebagai wanita, begitu kasar jiwaku. Berlagak hanya karena pengetahuanku yang secuil."
Retno mengawasi lelaki itu. Anton mengangkat kakinya ke kursi di depannya. Dan, dengan duduk berselonjor dia membaca.
"Kau kenal dia, Retno ?"
"Tidak. Tapi, kalau Mapram dia sering kelihatan."
" Fakultas….?"
"Nggak tahu. Mungkin ekonomi, psikologi, atau filsafat. Pokoknya kuliahnya di Gedung Induk Bulaksumur."
"Buku yang dibacanya tadi…. Ha, dia dari psikologi."
"Kau sempat memperhatikannya?"
"Kulihat selintas."
"Hmmm," gumam Retno. Dia melayangkan pandangannya lagi ke arah Anton.
"Mukanya mirip Dustin Hoffman. Kau ingat film The Graduate dan John and Mary, Ika ?"
Erika mengangguk. Dia ikut memperhatikan lebih teliti wajah lelaki itu.
"Ya, mirip," katanya.
"Kau naksir?"
"Ai, aku bisa dikutuk dia yang sedang di Jerman," kata Erika diiringi tawa.
"Oh, ya, fulpenmu itu 'kan Usman yang kasih? Kapan dia pulang?"
"Paling cepat tahun depan."
Retno berdecak.
"Membutuhkan kesabaran yang bukan main," katanya. Erika mengangkat bahu.
Beberapa orang mahasiswa menambah jumlah pembaca di perpustakaan itu.
"Bagaimana? Kita pulang?" Retno mengayun-ayun tasnya.
"Oke."
"Fulpen itu?"
"Kau yang minta."
" Alaaa, kok aku... ."
"Aku tak boleh dekat-dekat lelaki lain, Retno. Aku harus setia pada Usman."
"Lho, apa minta fulpen itu terlarang? Apa itu penyelewengan ?"
"Lelaki itu berbahaya."
"Jadi...? Bagiku tidak berbahaya?"
"Pacarmu ada di kota ini, Retno. Tak akan ada persoalan.
"Kalau kau memang mencintai Usman, lelaki itu tentunya tak akan ada artinya buat kau."
"Mestinya begitu. Cuma, untuk si Gondrong itu, aku tak mengerti. Aku takut dipelototinya. Kau tahu, aku menantangnya tadi karena aku berusaha mengalahkan ketajaman matanya. Betul-betul aku gugup. Terus terang, Retno, Usman sendiri tak bisa membuatku gugup. Tapi, pelototan lelaki itu membuat aku merasa bersalah."
"Kok lucu? Aku cuma merasa takut. Tampangnya waktu marah mengerikan."
"Lebih dari itu, Retno. Matanya yang beringas itu mengingatkanku pada kakakku yang. gugur di Irian Barat. Waktu aku kecil, kalau aku salah, kakakku memelototiku, membuat aku tertunduk. Aku takut, aku membencinya sebab menganggapnya kasar, kejam, dan jahat. Tetapi, setelah aku dewasa, aku merasa bahwa kemarahannya ketika itu sebenarnya untuk kepentinganku. Hal ini membuat aku berdisiplin.'"
Erika menatap lampu-lampu yang bergantungan.
"Wah, wah, wah, matamu jadi basah. Sudahlah, Ika, kita pulang saja. Biar aku yang meminta fulpen Usmanmu itu." Retno berdiri dan memasukkan kursinya rapat ke meja.
Erika pun berdiri dan berbuat serupa dengan temannya. Lebih pelahan sehingga tak menimbulkan suara.
Mereka beranjak ke pintu. Melewati meja Anton, mereka berhenti. Tanpa suara. Teguran Retno membuat Anton terkejut.
"Fulpennya sudah selesai?"
Anton bangun dari posisi selonjornya dengan tergesa hingga menimbulkan suara kursi berisik.
"Ya, ya, maaf." Anton berdiri.
"Kami mau pulang." Retno menerima fulpen dari Anton. Lalu dia serahkan kepada Erika.
"Terima kasih. Sangat terima kasih," kata Anton.
"Kembali," kata Erika pelan.
"Mau pulang? Kita sama-sama saja ya? Aku juga mau pulang," kata
Anton. Kedua gadis itu tak menjawab. Anton meraup bukunya dan
melangkah menjejeri gadis-gadis itu.
"Kalian serumah?" tanya Anton.
"Tidak. Bertetangga." Retno yang menjawab.
"Di mana?"
"Di sini, dekat."
" Aku tinggal di Bintaran."
Kedua gadis itu seolah tak mendengar. Mereka tiba di jalan beraspal. Lampu-Iampu di jalan menerangi tempat-tempat yang tak terlindung kerimbunan pohon asam yang berjejer. Erika menatap gedung perpustakaan universitas itu. Gedung yang senyap. Dan, lampu-lampu tak mampu mengusir kesan suram di dinding gedung yang kukuh itu. Dari luar, nampak patung dua orang pembaca terpacak diam di tengah aula itu. Sepanjang jalan mereka membisu.
Erika melirik lelaki yang berjalan di sampingnya. Rambut lelaki itu melambai-lambai. Tubuhnya yang jangkung berjalan gontai. Seperti tak acuh.
Jalan Jenderal Sudirman melintang di hadapan mereka.
"Kami ke selatan," kata Retno.
"Berani berdua?" Anton mencoba melihat wajah gadis berbaju merah.
Tetapi, gadis itu sejak tadi menunduk.
"Apa yang ditakutkan? Baru jam tujuh," kata Retno.
"Soalnya, gelap dan terang lain akibatnya bagi gadis-gadis."
"Begitu?" kata Retno.
"Sudah pengalaman rupanya." Retno tersenyum.
"Selamat malam," kata Erika. Tak ada senyum. Dan, mereka membelok ke selatan.
Anton melangkah pelahan. Sesekali dia masih menoleh, melihat kedua gadis itu semakin renggang jaraknya, sampai kemudian kelamnya senja memisahkan mereka.
"Mereka tinggal di Daerah Kotabaru itu," kata hati Anton.
Erika menggenggam fulpennya erat-erat, berusaha merasakan kehangatan tangan Usman lewat fulpen itu. Tetapi, tak terasa hangat. Fulpen Lady Sheaffer itu tetap merupakan sebatang logam dingin. Kendati halus, tetapi mati.
Erika menarik napas dalam-dalam, membayangkan tiga tahun yang sepi. Dan Usman? Apa yang dikerjakannya di sana? Apakah dia pacaran dengan gadis-gadis Jerman? Kabarnya gadis-gadis di sana senang pacaran dengan pria Asia. Di mana pernah membaca cerita itu? Di Intisari? Atau Majalah Stop? Selecta? Violeta? Varia? Flamboyan? Ah, entah di mana. Yang jelas bukan di Horison atau Budayajaya.
Dan, Erika ingat malam itu dia tidak punya bacaan pengantar tidur. Apa yang akan dikerjakannya nanti? Tentu tidak akan membaca diktat atau leteratur lagi. Ah, andai Usman ada di sini, tentulah tak perlu memikirkan soal itu. Usman selamanya ada di rumah. Berbincang-bincang setelah membaca bahan kuliah, bukan main! Remasan- remasan tangan di pojok ruangan sembari menonton teve, bukan main! Tapi, apakah begitu!? Sebegitu hangatkah Usman? Mahasiswa kutu buku itu terlalu ambisius untuk menjadi scientist.
"Singgah dulu?" Suara Retno mengejutkan. Erika tersentak dari lamunan tentang Usman-nya.
"Ah, sudah malam. Aku terus saja."
Retno tegak di mulut pagar rumahnya.
"Sejak tadi kau diam saja. Mikirin apa?" tanyanya.
“Tak apa-apa."
"Tetapi kau melamun terus sejak keluar dari perpustakaaan tadi."
"Kau juga diam."
"Karena kulihat kau melamun. Aku tak mau mengganggu."
"Aku juga. Karena kulihat kau diam, aku pun diam."
"Ah, tak percaya."
"Tak percaya ya sudah."
"Kau mikirin si Gondrong itu pasti!" Tuduhan Hetno membuat Erika
gelagapan.
"Ah, kau mengada-ada," jawab Erika.
Retno tertawa, dan melihat bayangan pohon di jalan. Bukan bayangan
yang timbul dari lampu, melainkan dari bulan.
Retno menatap angkasa.
"Terang bulan," katanya.
"Ya, terang bulan. Apa kita di rumah saja malam ini?" kata Erika.
Wajahnya ditimpa sinar bulan.
"Iya, ya. Di Prambanan ada Ramayana." "Tapi tak mungkin ke sana."
"Kenapa tidak? Kita ke sana ya?"
"Tidak, ah! Aku tak mau mengganggu acaramu.”
"Siapa yang terganggu? Kita ke Prambanan ya? Aku akan telepon
Bondan. Bondan akan senang sekali. Sejak kerja di travel biro itu, beberapa kali dia mengajak aku ke Prambanan."
"Aku mau di rumah saja. Pergilah kau. Besok ceritakan padaku."
"Ah, itu tidak setia kawan namanya."
"Lho, malah kalau aku ikut itu namanya tidak setia kawan. Melanggar etik pacaran."
"Kami belum pacaran kok," ujar Retno. "Aku masih mengulur waktu. Belum kasih kepastian. Jadi, belum ada apa-apa."
"Tapi ada etik, kalau dua pihak dalam proses, tidak boleh pihak ketiga mengganggu."
"Sudah kubilang, aku tidak terganggu. Aku telepon dia ya? Ini malah kesempatan buat menguji dia. Apakah dia stand-by selamanya memenuhi permintaanku. Kalau dia sungguh-sungguh, tentu dia akan pontangpanting mengurus tiket dan kendaraan."
"Ah, itu menyiksa namanya."
"Setiap ujian 'kan memang siksaan?"
"Aku tak suka begitu. Lebih baik wajar-wajar saja. Kalau kau mau nonton, beri dia kesempatan menyesuaikan waktunya. Siapa tahu dia punya kesibukan lain."
"Kalau sudah begitu, bukan ujian namanya. Aku kepingin meiihat sampai dimana pengorbanannya.”
"Pengorbanan tidak bisa dilihat dari dadakan begitu. "
"Kenapa tidak? Malah akan lebih spontan."
"Wah, agak berbeda konsepsi kita," kata Erika diiringi tawa renyah. "Biasanya, kalau seorang lelaki merasa terlalu tersiksa untuk mendapatkan seorang gadis, setelah memperolehnya maka dia akan tak acuh."
" Ah, teori dari mana itu ?"
"Iya, lelaki itu inginnya membalas siksaan yang dialaminya dulu.”
"Malah kupikir dia akan lebih mencintai gadisnya."
Erika tak menanggapi. Dia memperhatikan awan yang bergerak.
"Jadi, kau tak mau ke Prambanan?" tanya Retno.
"Aku di rumah saja."
"Kalau begitu, aku juga di rumah."
" Jangan lantaran aku tak mau lantas kau membatalkan niatmu."
"Kalau aku pergi pacaran, sedang aku tahu kau kesepian di rumahmu, itu 'kan biadab namanya." Retno menatap rambut Erika. Rambut yang tergerai sampai bahu itu, di bawah cahaya bulan nampak legam mengkilat. “Besok kita kuliah ya? Aku mau ngeset-kan rambutmu ke salon. Kau ada kerja, besok?” kata Retno.
“Tidak. Akan kutemani kau besok. Tunggu saja di sini. Aku datang besok.”
***
Anton mengawasi perempuan yang duduk di depannya. tetapi, Bu Yusnita tetap tak acuh. Ruangan dosen itu sepi. Meja-meja besar mengkilat berwarna coklat. Siapa pun duduk di seberang meja itu akan kelihatan angker. Apalagi kalau yang duduk di situ dosen yang sedang menghadapi mahasiswa yang akan ujian. Jika dia dosen lelaki, dasi yang mencekik leher itu akan menambah perasaannya sebagai orang penting.
Dosen wanita akan sering membuka-buka buku di depan mahasiswa. Tak tahu apa yang tertulis di buku itu, tapi aksi itu memang diperlukan untuk menjadikan dirinya semakin disegani.
Hampir lima menit Anton dibiarkan di seberang meja itu. Bu Yusnita masih menulis. Ingin sekali Anton melirik apa yang ditulis dosen wanita itu. Tetapi, etika mahasiswa melarangnya usil mengetahui kerja dosennya. Lalu dia kembali meneliti ruangan itu. Di dinding tergantung potret-potret ukuran kabinet. Potret bekas dekan-dekan fakultas itu. Pada potret yang tergantung nomor tiga dari kiri, Anton lama memberhentikan tatapan matanya. Dia menatap penuh hormat karena ingat kebaikan-kebaikan dekan itu.
Kembali dia menatap Bu Yusnita. Ah, gadis tua ini. Berlagak jadi orang penting. Apa sih yang sedang dikerjakannya? Anton mengusap-usap dagunya. Kenapa harus jengkel menghadapi lagak orang penting ini? Kenapa tak menikmati situasi ini? Kecantikan, di mana pun tempatnya, harus dinikmati.
Dagu dosen wanita ini bagus juga. Runcing dan halus. Bagaimana seandainya dielus? Siapa lelaki yang pernah mengelusnya? Dan, bibirnya agak pucat. Ah, sayang. Kepucatan ini pasti lantaran tak ada yang mengulumnya. Padahal bentuk bibir itu cukup mengandung magnit. Lekukannya menunjukkan pasti pemiliknya manja kalau mengeluh dalam kecupan. Ah, ah, ah, lehernya yang jenjang. Leher perempuan kurus. Tetapi, pastilah dia menggial kalau leher itu dicium. Apalagi kalau digosok dengan dagu yang masih ada sisa jenggot dari cukuran. Ya, lehernya ini, bukan main! Dari bentuk leher ini bisa diketahui bahwa pemiliknya seorang melankolis. Introvert. Karena itu akan lunak sekali setelah terkena selahnya. Perempuan ini sekategori dengan Marini. Dingin sebelum dekat, tetapi menggebu-gebu kalau sudah kena. Coba, kalau perempuan ini dikucel-kucel, dia pasti cuma tergial- gial dan mengeluh, "Aduh, Anton….. "
"Well, apa keperluan Saudara?" Suara Bu Yusnita menyentak di tengah ruangan yang sepi itu, dan menyergah masuk ke dalam lamunan Anton.
Tergagap Anton menarik tatapannya yang melekat pada wajah perempuan itu.
"Ya?"
"Soal ujian Saudara?"
Anton cuma mengangguk.
Bu Yusnita meliriknya sekejap, lalu dia membuka mapnya.
"Nomor ujian Saudara?"
Anton mengeja angka-angka.
"Nilai Saudara tak mencapai angka minimal. Harus ujian lagi."
"Semua vak saya sudah lulus. Tinggal vak Ibu."
"Lalu?" Suara Bu Yusnita tambah dingin.
"Dan saya sudah menempuh vak Ibu enam kali.”
"Ya?"
"Saya berharap Ibu punya kebijaksanaan dalam menilai."
Mata Bu Yusnita mengkilat.
"Maksud Saudara, saya harus meluluskan Saudara karena dosen-
dosen lain sudah melulus kan?" "Bukan begitu. Saya ingin tahu di mana kelemahan saya," kata Anton. "Banyak kelemahan Saudara. Karena tidak pernah menyadari
kelemahan itulah Saudara tidak bisa lulus.” "Saya sudah belajar. Saya berusaha menjawab semaksimal ujian Ibu. Dan, seingat saya, saya bisa mengerjakan semua soal." "Itu menurut pendapat Saudara. Tapi, siapa yang memberikan penilaian? Saya atau Saudara?" Anton terdiam. Dia melihat kemarahan di mata perempuan itu, dan mendengar sinisme pada suaranya. Tetapi, Anton juga marah sebab
diperlakukan sekasar itu oleh seorang perempuan. "Kalau begitu saya ingin diuji lisan." "Baik. Permintaan Saudara saya penuhi." "Dan dihadapkan saksi-saksi." Bu Yusnita mengatupkan bibir dan membanting buku. "Jadi, Saudara anggap penilaian saya selama ini tidak obyektif?" Anton tak menjawab. Dia cuma berusaha menentang mata
perempuan itu.
"Saya tahu Saudara aktivis mahasiswa. Saya tahu banyak dosen segan kepada Saudara. Tapi, jangan kira saya pun akan takut. Akan saya buktikan bahwa obyektivitas ilmu bisa ditegakkan di fakultas ini!" ujar Bu Yusnita.
“Karena itu saya minta saksi-saksi untuk ujian lisan saya."
"Saya punya otoritas penuh untuk menilai. Tak perlu saksi-saksi."
"Saya tak percaya obyektivitas selama ini."
"Saudara menghina otoritas saya ?"
"Jangankan seorang dosen, pemerintah pun akan saya gugat kalau tak berjalan pada keadilan dan kebenaran."
Bu Yusnita menggigil.
"Keluar!" katanya keras.
"Saya ingin kepastian. Kapan saya diuji, dan siapa saksi-saksinya."
"Tidak akan ada pembicaraan tentang ujian Saudara! Selama saya memegang vak itu, hak untuk menguji ada pada saya. Dan, saya berhak menetapkan siapa yang akan saya uji dan siapa yang tidak!"
"Saya peringatkan Bu Yusnita. Tindakan-tindakan otoritas di universitas ini bisa menghadapi kemarahan mahasiswa nanti."
"Kerahkan mahasiswa-mahasiswa itu. Kerahkan! Jangan kira lantaran punya pengaruh di kalangan mahasiswa lantas Saudara menekan saya!" Wajah Bu Yunsnita merah. Kemarahan itu malah membangkitkan kecantikan yang selama ini tidur di balik kulit wajahnya. Tetapi, Anton tak menyadari itu. Dia pun dibakar kemarahan. Antara ketakutan pada masa depan dengan sikap kepala batu dosen itu membuatnya putus asa.
"Bu Yusnita," katanya gemetar. "Soal ujian ini merupakan ketentuan nasib saya di hari depan. Karena itu saya mempertaruhkan segalanya untuk itu. Vak Ibu menjadi penghalang bagi cita-cita saya. Saya akan berbuat apa saja untuk menghancurkan penghalang itu!"
"Saudara mengancam?" geram Bu Yusnita.
"Bukan mengancam.. Tapi, mengingatkan bahwa akibat vak Ibu saya tak berhak menyusun skripsi saya. Karena satu vak saya tak pernah mencapai kesarjanaan saya."
Bu Yusnita membuang pandang ke luar ruangan. Dia merapikan mapnya.
"Silakan keluar," katanya tawar. "Saya harus mengurus persoalan lain. Untuk ujian Saudara, tunggu saja pengumuman dari tata usaha."
Anton berdiri. Gerahamnya gemeretak saking marahnya. Dia merasakan darahnya membilas-bilas hingga napasnya sesak. Jika dosen itu lelaki, sudah pantas ditantang duel. Namun, Bu Yusnita tak acuh melihat tangan yang mengepal-ngepal di seberang mejanya.
Bu Yusnita mengangkat kepalanya. Pandang mata mereka bentrok. Sesungguhnya dosen wanita ini bergidik melihat mata beringas di depannya, tetapi dia bisa mempertahankan diri agar tidak memperlihatkan ketakutannya.
Akhirnya Antonlah yang berbalik dan meninggalkan tempat itu. Di dekat pintu, seorang pegawai tata usaha menatap mencuri-curi ke wajah Anton. Diam-diam pegawai tata usaha itu membenarkan julukan bagi dosen wanita itu: Killer! Bahkan tokoh mahasiswa pun dibantingnya. Bukan main!
***
Anton menuruni tangga dengan hanya mengandalkan perasaan pada pegangan di pinggir. Sepanjang tangga tiga tingkat itu, tak lagi menarik untuk memperhatikan wajah-wajah sumringah gadis-gadis yang berjalan berlawanan arah. Tak lagi menarik untuk mengawasi pinggul gadis yang bergoyang-goyang di depannya. Semuanya kelabu. Sebab, ludahnya terasa pahit.
Matahari yang membakar Kampus Gadjah Mada terasa lebih panas dari hari-hari biasanya. Jauh lebih panas dibanding matahari ketika dia tak lulus ujian. Tak lulus ujian, walau badan terasa loyo, masih terhibur oleh optimisme. Persoalan sekarang ini, bertengkar dengan dosen, dengan penguasa ilmu, betul-betul membuat mata melihat uap di permu kaan aspal lebih kuning. Selera patah, seperti patahnya selera makan ketika menghadapi tahi kucing!
Maka peyek dalam tofles kafetaria itu nampak seperti jerawat seorang banci yang bergenit-genit. Menjengkelkan! Dan, kicau gadis-gadis terdengar bising di telinga. Lebih-Iebih karena ada seorang gadis yang wajahnya mengkilat karena berlebihan ber-make-up. Semakin tebal make-up-nya, semakin bising suaranya.
Anton ingin membayangkan Bu Yusnita sebagai salah seorang gadis yang ber-make-up tebal di warung itu. Ya, agar dia bisa membencinya sepenuh hati. Tetapi, bagaimana bisa? Wajah Bu Yusnita hampir tak ber-make-up. Kulitnya yang kuning tak membutuhkan polesan bedak. Jadi, sulit memindahkan wajah itu ke wajah gadis cerewet itu.
Anton menghembuskan napas panas. Andai wajah Bu Yusnita agak memper wajah gadis itu, tentu mengundang kesenangan untuk membentuknya. Ya, sekadar pelampiasan kedongkolan yang tersekap. Ah, proses apa pula ini! Identifikasi atau proyeksi? Freud menyelidiki soal ini. Pelampiasan hasrat-hasrat tersembunyi lewat sasaran-sasaran pengganti. Ah, barangkali Bu Yusnita motifnya juga seperti ini. Barangkali dia membenci seseorang yang mirip denganku. Barangkali aku jadi sasaran pengganti untuk melampiaskan kebencian itu. Ya, ya, ya, mungkin sekali. Barangkali dulu dia punya pacar yang mengecewakannya. Dan, pacar
itulah yang membuatnya tak kawin-kawin sampai sekarang. Anton
termangu-mangu.
Dari kafetaria itu, Anton melihat mahasiswa- mahasiswa
bergerombolan turun dari lantai atas menuju penitipan sepeda. Sebentar lagi jalan yang membelah kampus itu akan dipenuhi sepeda-sepeda, juga motor, beriring-iring. Suara motor yang menderum-derum di tengah teriknya matahari itu mengingatkan semuanya pada polusi yang mungkin akan dialami kampus hijau ini. Jika motor terlampau banyak maka pohonpohon flamboyan yang menaungi pinggir jalan tidak akan bisa bertahan dari kekotoran udara yang menyesakkan napas itu. Anton keluar dari kafetaria. Dia berjalan membelah halaman dalam Gedung Induk Universitas Gadjah Mada. Dia bersamplokan dengan dekan fakultasnya. Dekan itu memberi isyarat dengan jarinya.
Anton mendekat. "Datang ke rumah nanti sore. Ada yang mau saya bicarakan," kata dekan itu sebelum masuk ke mobilnya.
"Baik. Ke rumahnya nanti sore. Tapi, soal apa?" kata hati Anton.
***
"Anton." Terdengar suara di ujung tangga pintu menuju lantai alas bagian selatan. Marini. Ah, matanya seperti mata kucing sakit. Murung.
Anton berhenti. Gadis itu menjejerinya. Marini lahap memandang muka Anton. Anton tak berani menimpalinya mengingat mata yang murung itu. Dia berpura-pura memperhatikan mahasiswa-mahasiswa yang sedang menuruni tangga.
Kemudian gadis itu berkata, "Kau mau pulang, Anton?"
"Ya.”
Lalu langkah mereka beranjak.
"Kau sangat berubah sekarang," kata Marini hampir tak terdengar.
Anton memang pura-pura tidak mendengar. Dia melambai ke arah rekan-rekannya.
“Anton.”
Anton memalingkan wajahnya ke arah gadis itu.
"Kita perlu bicara bermuka-muka." Suara gadis itu pelan.
"Siang ini?"
"Ya, siang ini," kata Marini tegas.
"Siang sepanas ini? Ah, lain kali saja, Rin. Hari ini otakku judeg. Aku
perlu istirahat. Nanti sore aku harus menghadap Dekan."
"Kita ke Kaliurang. Udara sejuk di sana akan menyegarkan kau."
"Sungguh mati, Rin, aku mau tidur siang ini. Kepalaku mumet. Betul
betul mumet."
Kita harus membicarakan ini, Anton. Aku kira ini soal paling serius dalam hidupku."
"Seharian ini aku memikirkan soal paling serius. Sore nanti pun aku kira begitu. Berilah aku waktu istirahat."
Aspal yang ditimpa matahari menguapkan hawa panas. Dan, hawa panas yang sejak pagi berputaran di kepala Anton, kini menyengatnyengat batok kepalanya. Kepala menjadi pening dan ludah terasa pahit. Mungkin, keadaan ini masih tertolong oleh rambutnya yang gondrong, yang tentunya menolong memelihara isi kepala dari adukan bakaran matahari serta hawa yang menyengat itu. Saat ini memang musim kemarau terkering menurut catatan Fakultas Geografi.
Marini masih jua menjejeri langkah lelaki itu. Daun dan bunga
flamboyan tak berarti banyak dalam menaungi mereka.
"Berilah aku waktu istirahat, Rini," ulang Anton.
"Di Kaliurang kau bisa istirahat. Aku ingin membicarakan soal ini.
Serius. Janganlah menghindar terus- terusan."
"Kapan aku menghindar dari kau?"
"Ayolah, kita bicarakan di sana."
"Soal apa?"
"Soal kita," kata Marini sembari memperbaiki sangkutan tas di
bahunya. "Aku kira di antara kita tak ada soal."
"Tak bisa cuma dengan kira-kira saja. Pokoknya, realitanya di antara kita ada soal."
"Ya, ya, ya, ada atau tidak ada soal, pokoknya jangan siang ini. Beri aku waktu untuk istirahat. Sore nanti aku harus menghadap Dekan."
"Kalau kau tak mau ke Kaliurang, kita ke mana saja. Atau ke Gembiraloka? Ke mana saja aku bersedia..Yang penting kita bisa bicara dengan tenang.”
"Jangan mendesak begitu, Rin," kata Anton dalam napas yang. sesak.
"Aku tidak mendesak. Cuma, aku ingin tahu apakah kau mau menempatkan soal kita di atas soal apa pun yang lain."
"Ya, Tuhan," keluh hati Anton. "Bagaimana aku bisa menahan rongrongan semacam ini? Belum lagi kawin, dia sudah berusaha menguasai aku. Ya, Tuhan, bagaimana bisa perempuan yang dulu kelihatan lembut ini sekarang jadi begini? Kalau dia jadi istriku, dia akan tidak peduli pada kesulitan-kesulitan yang kuhadapi. Dia cuma peduli pada kesulitankesulitannya."
Anton tak berani menatap gadis itu. Dia khawatir, jangan-jangan kepanikan yang mulai merayap-rayap di kepalanya membias lewat matanya. Dia cuma mengerutkan kening, menyipitkan mata, dan berpurapura memperhatikan rerumputan yang kering. Dan, dia sangat menyesal lupa membawa kaca mata hitamnya.
"Kita ke Gembiraloka? Kupanggil becak itu. Cak!"
Tukang becak yang kebetulan melintas memingsirkan becaknya ke dekat mereka.
"Tolonglah, Rin, aku betul-betul mau istirahat siang ini. Kepalaku pening."
"Sejak tadi sudah kaubilang, tetapi aku berhak meragukannya. Kau memang biasa membuat-buat alasan.”
“Sungguh mati, Rin. Sore nanti aku harus menghadap Dekan.”
"Sebelum jam empat kita pulang." Marini berpaling ke arah tukang becak. "Gembiraloka pinten , Pak?"
Anton menggigil dalam sungkupan udara panas itu.
"Tidak! Dengar, Rin! Kita tidak ke Gembiraloka."
"Jadi, ke mana?"
“Ke mana pun tidak!"
Tukang becak menatap mereka berganti-ganti.
"Pulang," kata Anton. "Cemorojajar, Pak," lanjutnya. Marini berumah di Jalan Cemorojajar. "Siang ini aku tak mau ke mana pun," ujar lelaki itu lagi.
"Sekalipun untuk persoalan kita?" kata Marini merajuk.
"Persoalan hantu belang pun aku tak peduli!" Jawab Anton sambil memijit-mijit kepalanya yang memang mulai berdenyutan.
Marini mematung menatapnya.
"Besok, besok, kalau aku tak sibuk, persoalan apa pun akan kita pecahkan bersama."
Marini tetap membisu. Cuma, binar-binar matanya mulai tersaput mengacanya air.
Denyutan di kepala Anton agak mengendur. Dia ingat, betapa perasanya gadis itu, gadis melankolis itu.
"Pulanglah, Rini. Percayalah bahwa di antara kita tak ada soal. Aku tetap seperti dulu."
"Bukan sekadar percaya atau tidak, Anton." Suara Marini hampir dibalut isak. "Aku ingin pembicaraan yang pasti. Pembicaraan yang menentukan, yang akan membuang kesangsian."
"Ya, ya, ya, aku mengerti. Tapi, jangan siang ini. Naiklah ke becak itu. Aku akan membelok ke kiri ini." Tanpa menunggu reaksi gadis itu, Anton membelok ke jalan berbatu, untuk memintas lewat gang-gang kecil di belakang Asrama Syantikara. Dia tak berani menatap gadis itu, tak berani melihat kemurungan gadis berwajah sayu itu. Dalam tersenyum pun mata yang beralis lentik itu akan terlihat sendu, apalagi dalam berkaca air mata!
Maka lelaki itu tak melihat Marini merentak duduk di becak. Tukang becak menggenjot pedal, dan becak pun meluncur di aspal yang panas. Sesekali tukang becak menatap punggung lelaki yang berjalan di bawah terik matahari'itu. Sementara itu, Marini mengawasi punggung Anton dengan pandangan lekat, tetapi tetap berusaha menahan air mata yang akan merembes.
***
"Begini, Anton. Bu Yusnita tadi meminta dewan dosen bersidang untuk membicarakan soal kau. Katanya kau menghinanya. Aku ingin mendengar keteranganmu sendiri."
Anton terperanjat di dalam kursi empuk yang didudukinya, dan matanya tak berkedip mengawasi dekan fakultasnya. Lelaki separo tua berkaca ma ta putih itu juga mengawasinya.
"Ah, sampai begitu?" kata Anton terbata-bata.
"Ya. Bu Yusnita ingin agar soal ini dimasukkan ke dalam agenda rapat bulanan dewan dosen. Nampak-nampaknya dia sangat tersinggung. Kalau aku tak salah tangkap, dia mengajukan alter natif: kau dikeluarkan, atau dia yang keluar ."
"Ah, sampai bagitu?" ulang Anton.
"Ya, begitu," kata dekan itu. "Dan, seperti kauketahui, dalam alternatif semacam itu, belum pernah ada kejadian dosen yang keluar. Kau mengerti maksudku?"
"Ya, Pak," desah Anton.
"Sekarang, ceritakanlah seluruh persoalannya." Anton menggigit-gigit batang korek api yang baru dicetuskannya buat memasang rokoknya. "Aku sangat menyukaimu, Anton. Aku tak ingin kau mengalami kesulitan di fakultas kita."
Anton masih termangu-mangu.
"Ceritakanlah dari awal seluruh persoalan yang menyebabkan konflikmu dengan Bu Yusnita," kata dekan itu lunak.
"Saya sendiri tak tahu apa yang menyebabkan ini. Saya tak pernah merasa menyinggung perasaan Bu Yusnita. Jadi, kalau faktor perasaan yang dijadikan pertimbangan, saya agak heran."
“Jadi, persoalannya?”
"Gelap. Saya tak mengerti apa yang menyebabkan saya tak bisa lulus dari vaknya."
"Kau sudah berusaha?"
"Saya kira ya."
"Jangan kira-kira., Apakah kau merasa hasil- hasil ujianmu baik?"
"Saya tak berani memastikan. Tetapi, Bapak toh bisa membandingkan dengan vak-vak yang lain. Untuk vak yang Bapak asuh misalnya. Apakah saya tergolong mahasiswa yang bodoh?"
Dekan itu mengelus-elus dagunya.
"Dan, dari vak dosen yang lain saya mendapat nilai yang memuaskan. Bahkan dari Pak Murtejo, Pak Gunawan, Pak Harmoko, saya mendapat nilai tinggi. Beberapa paper saya ada yang mendapat pujian, dan disingkat untuk dimuat dalam majalah ilmiah fakultas. Walau bukan untuk bersombong, apakah ini tak bisa dijadikan bukti kualitas saya?"
Dekan itu tambah kuat mengelus dagunya, merasakan jenggotnya yang kurang bersih
tercukur.
"Lantas, kenapa kau tak lulus dari vaknya?" ujarnya.
"ltulah sebabnya saya minta saksi-saksi untuk ujian saya!"
"Di situlah kesulitannya. Kalangan dosen biasanya saling tenggang rasa, tak mau menyinggung perasaan koleganya."
"Kenapa harus mempersoalkan tenggang rasa kalau ukuran-ukuran penilaian adalah standard ilmu?"
"Ada banyak faktor lain yang harus diperhitungkan, Anton. Faktor psikologis, kulturil, dan sebagainya. Itu semua mempengaruhi tindakan seseorang.”
"Tapi kita berada di dunia ilmu."
"Ilmu cuma alat, sedang pelaksananya adalah manusia. Manusia yang tak lepas dari segala macam faktor yang kubilang tadi."
"Lalu, apakah Bapak membiarkan cara-cara yang non-ilmiah begitu di fakultas kita?"
"Tentu saja tidak. Tapi, kau harus mengerti posisiku, Anton. Selama ini kau banyak membantu di fakultas kita. Sekarang pun kuharap begitu. Aku ingin kau tidak menambah keruwetan persoalan ini.”
"Maksud Bapak?"
"Jangan mendesak dosenmu. Sebab, bagaimanapun juga mereka punya rasa se-korps."
"Apakah itu berarti saya harus menerima keadaan saya?"
"Tentu saja tidak. Kuharap kau menunggu redanya suasana. Nanti pelan-pelan dijernihkan persoalannya."
"Saya sudah dua tahun terlambat di vak Bu Yusnita. Beberapa lama lagi saya harus bersabar?"
"Daripada sama sekali out?"
"Apakah Bapak mentolerir tindakan-tindakan semacam itu? Kalau begitu, apakah gunanya prinsip-prinsip kebenaran, prinsip-prinsip ilmiah yang kita agung-agungkan selama ini?" Anton terengah menahan perasaannya yang bergejolak. Putus asa mengharubiru.
"Aku tidak mentolerir tindakan-tindakan yang melanggar prinsipprinsip kebenaran ilmiah. Tapi, persoalannya tidak sesederhana menegakkan kebenaran itu. Kita menghadapi realita yang kompleks. Dan, yang terpenting, aku tidak menghendaki stabilitas di fakultas kita terganggu, selama aku menjadi dekan," kata dekan itu.
Anton tertunduk.
"Walaupun untuk itu harus melanggar prinsip-prinsip kebenaran ?" ujarnya pelan.
"Ah, berpikirlah sedikit pragmatis, Anton. Jangan tuntut yang berlebihan pada masa sekarang. Dalam keadaan yang ada, kita cuma mengusahakan stabilitas agar tercipta iklim kerja yang baik. Itu saja."
Tangan Anton menggigil ketika menyalakan rokoknya yang padam selama tadi.
"Ya, harus pragmatis." Suaranya tersekap. Dekan itu melihat kepahitan yang menyaputi wajah lelaki muda di depannya.
"Lalu, apa yang harus saya lakukan?" tanya Anton lesu.
"Tidak ada."
Anton mengerutkan kening.
"Maksudku, kau harus tidak melakukan apa-apa. Usahakan meng- clear-kan persoalanmu ini. Dan, aku akan mengusahakan agar persoalan ini tidak meluas ke rapat dewan dosen ," kata dekan itu.
"Berapa lama saya harus menunggu?"
"Tergantung pendekatan psikologismu pada Bu Yusnita. Sampai dia menetralisir kemarahannya dan kau bisa ujian secara wajar."
"Kalau dia tetap menjatuhkan saya?"
“Usahakan terus. Usahakan terus."
"Sampai kapan ?"
"Sampai dia meluluskan kau."
"Ah."
"Kenapa 'ah'? Aku akan bantu melunakkan hatinya. Tapi, tentunya harus pelan-pelan. Maklumlah menghadapi perempuan."
"Tapi, barangkali saya tidak bisa memperoleh kesempatan itu."
"Tidak akan lama lagi, Anton. Perasaan perempuan sebegitu gampang dipengaruhi rasa marah, sebegitu gampang pula berubah. Kau harus sabar."
"Bukan sekadar soal kesabaran, Pak. Ini persoalan waktu, Pak. Kita terikat pada ruang dan waktu yang terbatas. Dan, untuk jangka waktu studi saya, hanya terbatas pada enam bulan mendatang. Setelah itu, selesai atau tidak, saya harus mencari nafkah sendiri."
Dekan itu terpaku.
"Kalau tak terhambat-hambat dari Bu Yusnita, setahun yang lalu saya sudah menyelesaikan skripsi saya," kata Anton.
Dekan itu tak bersuara. Dia sedang mengenang masa kuliahnya dulu. Dia terkenang ancaman biaya studi yang terbatas dari orang tuanya. Orang tuanya, seorang asisten wedana di kota terpencil di Jawa Tengah, mengejar terus dengan pertanyaan, "Kapan, kapan selesai? Adik-adikmu juga ingin bersekolah. Biaya untuk meraka juga harus dipikirkan."
Sekelebatan bayangan Bu Yusnita menyelip. Ketika Bu Yusnita kuliah, dekan itu sudah menjadi dosen di situ. Bu Yusnita adalah bunga yang dipuja oleh siapa saja. Tetapi, dia tak pernah peduli. Dia berjalan begaikan merak dalam pakaian indahnya. Kenapa dia harus memalingkan kepala ke arah mahasiswa-mahasiswa yang memujanya, sedangkan wajahnya yang cantik dan otaknya yang brilian tak memerlukan bantuan siapa pun. Ayahnya seorang dokter dan kiriman lewat bank setiap bulannya tentunya melebih gaji dosen. Dia punya buku-buku lengkap, dan dibacanya hanya untuk mencibir dalam menghadapi kebodohan rekan-rekannya.
Dekan itu tetap merasa dadanya menyenak ketika Anton bersiap keluar dari ruangan itu. Hati dekan itu rusuh melihat kepahitan pada lekukan bibir lelaki muda itu. Sebab, dia merasa bahwa dirinya ikut menghancurkan kepercayaan mahasiswa itu.
Di pintu, dekan itu berkata, " Apa pun yang terjadi, Anton, percayalah bahwa bukan prinsip-prinsip kebenaran itu yang lenyap, melainkan keadaanlah yang memaksa kita harus bertindak lain."
"Ya, Pak," kata Anton tanpa semangat.
" Jangan sampai kehilangan kepercayaan pada prinsip-prinsip kebenaran."
"Ya, saya akan tetap menghormati prinsip-prinsip kebenaran. Hanya saja, saya sadar bahwa tempatnya bukan di dunia ini sekarang. Dia hanya bisa berada di masa lalu dan masa datang."
Kerongkongan dekan yang mengajarkan Filsafat Psikologi itu tersekat.
"Saya akan berpikir sepraktis-praktisnya. Saya akan pragmatis dalam segala hal. Idealisme dalam soal apa pun cuma menyusahkan saja." Mata lelaki muda itu buram dalam keremangan senja.
Dekan itu tercenung di mulut pintu. Dia bahkan tak bisa bersuara ketika Anton mengucap, "Terima kasih, Pak. Selamat sore Pak."
Apakah yang diterimakasihkannya? Apakah yang telah kuberikan kepadanya? Apakah yang kuajarkan selama ini? Dusta, kebohongan, atau cuma mimpi-mimpi? Sementara itu, dalam realita, aku mengajarkan sesuatu yang samasekali mengentuti ajaran-ajaran di mimbar kuliah..
Dekan itu mengerjap-ngerjapkan matanya, memaksakan diri agar bisa menatap kepergian lelaki muda itu. Tetapi, Anton kian lenyap ditelan kelamnya malam yang menggeser senja.
Bibit yang bernas telah hilang, pikir dekan itu. Jika seorang muda telah kehilangan kepercayaan pada kebenaran, siapa lagi yang bisa di harapka memelihara prinsip-prinsip suci itu?
Dan, dekan itu masih lama termangu menatap ke jalan raya yang melintang di depan rumahnya.
***
Ada perasaan takut dalam hati Anton manakala dia memikirkan Marini. Makanya dia berusaha untuk tidak bertemu dengan gadis itu. Mernbayangkan Marini, sama halnya membayangkan seorang istri yang berani menyuruh suaminya menceboki anaknya. Begitu selalu yang membayangi pikiran Anton. Boleh jadi ini berlebihan. Tetapi, sungguhsungguh hal ini membuatnya takut pada gadis itu.
Dia tak bisa menentukan kapan image Marini berubah seperti itu. Dulu, Marini baginya adalah gadis yang lembut, perasa, dan melankolis.
Tetapi, sekarang dia telah menjadi perongrong. Kesetiaannya adalah bentuk kesetiaan primitif. Mengikat. Ulur-mengulur yang sangat indah dalam suatu percintaan bagai tak dimilikinya lagi. Nampak-nampaknya, cinta baginya hanya semacam sarana untuk rnencapai perkawinan. Perkawinan menjadi tujuan, dan cintailah sarana untuk mencapainya. Padahal bagi Anton justru cintalah yang menjadi tujuan, dan perkawinan hanya sebagai sarana.
Serupakah pacaran dengan cinta? Dan, haruskah menuju perkawinan? Anton kian takut pada perkawinan. Apalagi perkawinan yang terlalu diagung-agungkan, yang menyebabkan manusia harus terikat pada lembaga yang bernama perkawinan itu. Tak peduli bagaimana kualitas perkawinan, tetapi kedua pihak dipaksa untuk memeliharanya. Sekalipun untuk itu harus mengorbankan nilai pribadi masing-masing. Lalu, biasanya, karena saling tak mau dirugikan nilai mereka, masing- masing berusaha menguasai lawan. Jika berhasil, salah satu pihak akan kehilangan nilainya dan jatuh dalam penguasaan pihak lain. Dalam bentuk penguasaan ini, perkawinan akan terjaga. Tetapi, tidak berarti ada cinta di dalamnya. Dalam hubungan yang bersifat penguasaan, cinta akan kehilangan hakikatnya. Cinta hanyalah pemulas.
Cinta hanya ada pada dua kutub yang setaraf. Dua kutub yang samasama sadar akan nilai pihaknya dan nilai pihak pasangannya. Bukan dua kutub yang ingin saling memiliki. Sebab, pemilikan akan hakekat sama halnya penguasaan!
Jadi, Anton tidak ingin memiliki Marini sebagaimana dia tidak ingin dimiliki gadis itu. Oleh karena itu, sebelum terbenam lebih dalam, Anton ingin keluar dari gambaran cinta primitif Marini. Dia ingin saling mengerti dengan Marini. Saling memahami nilai tiap-tiap individu. Oleh sebab menyadari bahwa setiap pihak memiliki nilai yang khas, maka pengabungan akan rnenyebabkan suatu kehidupan yang menyempurnakan keduanya.
Boleh jadi nilai itu ada pada Marini. Ya, boleh jadi. Tetapi, melihat kenyataan yang ada, ternyata pribadi gadis itu sangat rapuh. Cuma, sering terjadi pribadi semacam itu berbalik dalam kompensasi ingin menguasai pasangannya. Sebenarnya, pilihan untuk Marini adalah lelaki yang mau menguasainya, atau bersedia dikuasai! Dan, Anton tak menyukai kedua macam keadaan itu.
ltulah sebabnya maka dia menyalangkan mata memperhatikan gadisgadis. Dia ingin melepaskan diri dari libatan Marini. Libatan penguasaan gadis itu membuat napasnya sesak. Dia ingin berpacaran dengan gadis sebanyak mungkin, dan bercinta sepuas mungkin.
Lebih-Iebih selama menunggu ujian dari Bu Yusnita. Dia tidak ingin menyusahkan diri memikirkan itu lagi. Dia berusaha menjadi sepraktispraktisnya. Oleh karena tak ada yang bisa dilakukannya, dia punya banyak waktu untuk memikirkan gadis-gadis. Kampus Gadjah Mada menyimpan ratusan gadis cantik. Bahkan ribuan. T etapi, Anton lebih teringat pada gadis berbaju merah yang pernah menantangnya di aula perpustakaan tempo hari. Matanya yang galak ternyata bisa juga malu-malu. Cukup menarik untuk dikenang. Di mana kuliahnya? Tentu lebih gampang kalau diintai dari perpustakaan. Tetapi, di sini ada bahayanya. Siapa tahu bertemu dengan Marini. Kalau tak salah, gadis itu tinggal di Kotabaru. Cuma, di bagian mana? Oh, ya. Anton teringat punya teman kuliah tinggal di Kotabaru. Bisa ditanyakan lewat temannya ini.
"Ya? Bagaimana cirinya?" tanya Handoko.
"Dagu kayak punya Liz Taylor waktu muda, mata kayak punya Gina Lollo."
"Uf, sulit. Di sekitar sini banyak gadis secantik itu."
“Iya, tapi ini punya kelebihan."
"Dadanya Iebih?"
"Dadanya biasa saja. Matanya. Siapa gadis di sini yang bermata galak?"
"Wah, gadis-gadis di sini sopan-sopan semua."
"Ini serius, Koko."
"Ya. Aku juga serius. Bagaimana aku bisa tahu gadis yang kaumaksud? Aku memang hampir jadi Ketua Rukun Kampung di sini. Jadi, kau datang ke alamat yang tepat. Semua penduduk aku kenal. Tapi, untuk mencari gadis yang kaumaksudkan itu, sorry saja. Lebih gampang mencari gadis sumbing daripada gadis cantik di kawasan ini."
Anton terdiam.
"Marini bagaimana?" tanya Handoko kemudian.
"Biasa.”
"Tapi, aku agak curiga. Kenapa kau tanya- tanya gadis lain?"
"Apa salahnya?" Anton pura-pura memperha tikan daun pohon mahoni yang diterbangkan angin. Teras tempat meraka duduk dinaungi pohon mahoni dari pinggir jalan.
"Betul-betul namanya sama sekali tak kauketahui?" Handoko mengusik.
"Ada kudengar dibilang temannya, tapi waktu itu aku belum punya perhatian." "Lalu, kenapa sekarang beperhatian?" "Aku pun tak tahu kenapa." "Andaikan kau tahu di mana kuliahnya." “Ya, andainya," kata Anton. Beberapa saat teras itu sepi. Keduanya menatap beberapa gadis yang lewat di jalan. "Nah, itulah gadis-gadis kampung sini. Cantik-cantik, 'kan?" kata Handoko. Anton tak menjawab. Dia meneliti gadis-gadis itu satu persatu. Mereka melambai ke arah Handoko. Tak terdapat gadis yang dicari Anton.
"Tapi, tunggu dulu!" kata Handoko. "Aku punya potret-potret mahasiswa yang tinggal di sekitar sini." Handoko masuk ke kamarnya. Tak lama kemudian keluar lagi dengan membawa album. "Kami pemah mengadakan pesta. Mungkin dia ada di antaranya," katanya.
"Ada foto telanjang?" tanya Anton.
"Itu album baik-baik."
Anton membuka album lembar demi lembar, dan memperhatikan
orang-orang dalam potret. "Nah, ini dia!" Hampir berteriak dia menunjuk. Handoko mendekatkan
album itu ke matanya. "Wah, gawat," katanya. "Apanya yang gawat"?" "Dia memang ratu di sini." "Nah, kalau begitu mataku masih cukup sehat. Siapa namanya?" "Erika." "Hmmm, nama yang bagus. Tanggal lahirnya?" "Bagaimana aku tahu?"
"Apa tak pernah dia pesta ulang tahun?"
"Ya, pernah. Tapi, bagaimana aku ingat? Ulang tahun pacarku pun
aku sering lupa."
"Kita harus tahu tanggal lahirnya, biar tahu apa bintangnya."
"Ah, astrologi among kosong!"
"Bukan among kosong. Aku menggabungkan analisa psikologi dengan ramalan astrologi." Anton membuka terus halaman album itu untuk mencari potret-potret lain gadis itu. "Bukan main! Dia memang pandai berpose. Dia bisa menandingi Lenn y Marlina."
Handoko cuma mengawasi.
Tanpa mengalihkan matanya dari album, Anton bertanya, "Sudah
punya pacar?"
“Bukan Cuma pacar.”
"Ya?"
"Dia sudah bertunangan. Aku malah hadir waktu pesta
peresmiannya," ujar Handoko.
Anton menutup album itu.
"Mahasiswa mana tunangannya?"
"Dulu indekos di rumahnya. Lulus Fakultas Tehnik. Sekarang di
Jerman." "Wah."
"Memang 'wah'," kata Handoko sambil senyum.
Anton pun tersenyum, tetapi sumbang. "Sudah berapa lama dia
ditinggal?"
"Entah berapa lama. Pokoknya lamaaa sekali."
"Siiip. Kalau begitu, dia sedang kesepian."
“Kau mau menerobos?”
"Apa salahnya?"
"Tentu saja salah. Biadab namanya kalau kau sudah tahu dia punya
tunangan, tapi masih kauganggu.”
"Kenapa biadab? Itu malah perlu sebagai penguji mental gadis itu. Apa betul dia mencintai tunangannya.”
"Kalau betul-betul cinta?"
"Tentu saja aku tersingkir. Logis toh?"
"Kalau kau diterima?"
“ Go ahead.”
"Kau serius nih?"
Anton mengangguk.
"Kalau aku jadi kau," kata Handoko, "kenyataan bagaimanapun akan tidak menyenangkan bagiku. Kalau keras cintanya pada tunangannya, aku akan kecewa. Kalau dia menerima cintaku, aku pun kecewa sebab mendapat gadis yang sebenarnya berhati lemah."
"Logikamu ngawur." Anton mengangkat bahu.
Dia mengedikkan kepala untuk mengembalikan rambut ke belakang.
"Sekarang, antar aku ke rumahnya," lanjutnya tak acuh.
"Ya, ampun. Jangan aku."
"Kenapa ?"
"Kalau pertunangan mereka putus karena kau, bagaimana pertanggungjawabanku kepada tunangannya, Usman? Sebelum berangkat dulu, dia titip pesan padaku agar aku melihat-lihat Erika."
"Ha, kalau begitu, kau optimis aku akan mendapatkan gadis itu. Siapa nama tunangannya? Usman? Ha, Usman. Bagus. Tentunya temperamennya berbeda dengan aku. Apa bintangnya?"
"Entahlah," kala Handoko lesu.
"Ayolah, sore ini juga kita harus mengunjunginya. Napoleon bilang,
serangan yang cemerlang biasanya dilakukan dengan mendadak."
"Sorry, Anton. Aku tak mau terlibat."
"Alaaa, gampang. Nanti kukasih surat tidak terlibat peristiwa ini."
"Betul-betul, Anton, aku dulu sempat berjanji pada tunangannya
untuk melihat-lihat."
"Melihat-lihat, apa pula beratnya? Nanti pun kau bisa melihat dia. Lihat bagaimana sikapnya di depanku. Bandingkan keadaannya dengan sewaktu di depan tunangannya dulu."
"Aku merasa berdosa kalau membawa seseorang yang akan mengganggu pertunangan mereka.”
"Wah, sucinya kau. Setelah jadi Ketua Rukun Kampung, kau bisa jadi Santo."
Handoko tak menjawab. "Betul-betul kau tak mau membantu?"
"Mintalah yang lain, Anton. Jangan soal yang menyangkut gadis itu. Ibu Erika tahu pesan Usman tempo hari. Apa dia bilang kalau melihat aku membawamu pula ke situ?"
"Toh bisa kau karang cerita. Aku teman kuliah anaknya. Datang untuk tentir kek, pinjam buku kek. Pokoknya banyak alasan. Toh kau sudah pengalaman mengakali ibu-ibu asrama selama ini."
"Iya, tapi bagaimana kalau hubungannya dengan Usman sampai putus?" Anton bersiul.
"Kalau begitu, kau sudah melihat rapuhnya hubungan mereka. Lalu, kenapa kau begitu takut kalau aku datang lantas hubungan mereka akan terganggu?"
"Siapa tahu, Anton. Siapa tahu? Minimalnya aku tak mau dianggap membantu kau. Soalnya, tunangannya itu baik sekali. Sopan sekali. Tak ada alasan untuk tidak menyenanginya. Ibu Erika sangat sa yang padanya. Usman sudah dianggap anaknya. Dan, Erika pun senang padanya. Mereka bertunangan. Semua orang mengharapkan kebahagiaan mereka."
"Pokoknya dia anak yang baik," kata Anton. "Anak yang sayang ibu. Tapi, apakah kau mengira bahwa lelaki-lelaki yang baik, kesayangan ibu, sopan, dan segala macam embel-embel yang bagus itu akan menjamin dia sebagai kekasih yang patut dicintai? Ada penyelidikan psikologis yang bilang: bahwa lelaki-lelaki yang asalnya dari anak-anak manis dan gampang menimbulkan simpati ibu-ibu, lebih banyak yang gagal sebagai kekasih atau suami."
"Mungkin kau benar," kala Handoko.
"Itu bukan pendapatku. Itu hasil penelitian. Kalau teruji secara universal, bisa jadi teori."
"Ya, ya, ya, tapi untuk lelaki yang satu ini aku berharap janganlah kita berbuat dosa."
"Dosa hanya kesalahan dalam hubungan kita dengan Tuhan."
"Ya,.ya, ya. Apa pun katamu, Anton, aku tak berani mengantarmu."
"Ah, itu tak punya solidaritas namanya."
"Kalau kau kenal lelaki itu, Anton, kau akan mengerti sikapku ini. Dia
teramat baik. Setahuku dia tak pernah menyakiti hati siapa pun. Bahkan hati kucing pun kukira tidak. Bayangkan, dia tidur sebelum jam sebelas, bangun setiap jam enam. Kalau tak kuliah, dia di rumah saja membaca buku-buku tekniknya. Malam Minggu dia hanya keluar kalau diajak Erika, dan mereka pulang sebelum jam sepuluh. Dia tak mengetahui dunia lain kecuali bidang studinya. Demonstrasi, resolusi, protes, atau semacamnya, tak pernah dikenalnya. Cobalah pikir, apakah dia tak patut mendapat kasih sayang dari seorang ibu atau kekasih?"
Anton berdecak dan menggeleng-geleng.
"Bukan main, bukan main. Aku tak bisa membayangkan ada lelaki sedingin itu dunianya. Aku tak bisa membayangkan bagaimana seorang perempuan tahan berdampingan dengan robot seperti itu.”
"Robot atau apa pun namanya, sekarang kuharap kau bisa mengerti perasaanku. Dia tetanggaku. Sebagai tetangga yang baik, aku tidak akan menggunting dalam lipatan."
"Baiklah," kata Anton dalam senyum yang samar. "Aku tidak akan memaksa. Aku hanya akan menanyakan beberapa hal. Sekadar informasi
yang sifatnya umum, aku kira bukan suatu pengkhianatan. Oke?"
Handoko mengangguk.
"Di mana rumahnya?"
"Nomor tiga pada deretan jalan ini."
"Astaga! Begitu dekat? Di mana kuliahnya? Tingkat berapa?"
"Farmasi, tingkat dua."
"Apa hobinya?"
“Tak tahu. Mungkin membaca. Dia sering membeli novel-novel."
" Good. Aktivitas kesenian apa yang diikutinya?"
"Menari. Dia latihan balet dan tari Jawa."
"Hebat. Musik macam apa yang disukainya?"
"Klasik. Plat lagu-lagu itu banyak di rumahnya."
"Bintang film kesayangannya?"
"Itu aku tak tahu. Tapi, dia senang film Lord Jim dan Guess Who's
Coming to Dinner. Tak suka film-film Indonesia." "Dia suka mode?" "Mode? Tunggu dulu," kata Handoko seraya memikirkan sesuatu. "Apa yang kaupikirkan ?" "Pakaiannya, ya cukup up to date. Tapi, tak pernah terseret mode
gila-gilaan." "Bukan main, bukan main! Dia sempurna sebagai perempuan!" "Puas?" kata Handoko. "Untuk sementara cukup." “Lalu, apa rencanamu?” "Ke rumahnya," kata Anton. "Sekarang. Now or never ." Masih
senyum-senyum Anton berdiri. "Jangan bilang-bilang bahwa informasi tentang dia kau peroleh dari
aku," kata Handoko. "Beres." "Sebenarnya informasi yang kauperoleh itu bisa dijual untuk
majalah." "Itulah yang kupikirkan sekarang." "Maksudmu?" Mata Handoko terketap-ketip menyelidik. "Tenang-tenang sajalah. Dalam tempo dekat ini, kau akan kukabari." *** Anton meneliti rumah berpagar hijau. Bunga-bunga di depan rumah
itu bermekaran dalam sungkupan udara cerah. Pintu pagar tak terkunci. Anton mendorongnya pelahan, tetapi kenyataannya menimbulkan bunyi keras. Mengejutkan ibu Erika yang duduk di teras. Perempuan tua itu mengangkat kepala dari bacaannya. Dia menatap kepala berambut gondrong, ke celana jean biru, kembali ke kepala, turun lagi ke kaki celana yang pudar warnanya. Dan, dia mengernyitkan alis, heran atas kemunculan tamu yang tak punya kehalusan yang selayaknya dimiliki seorang tamu.
Anton mencoba tersenyum, tetapi ibu Erika tak sedikit pun mengendorkan urat-urat wajahnya. Senyum Anton sumbang jadinya. . "Selamat sore, Bu. Saya teman Erika." Sebagai perempuan Indonesia lazimnya, ibu Erika menyambut, "Ya, silakan. Duduk dulu, akan saya panggil."
Anton mengedarkan pandangan. Di pilar teras menjalar rambatan anggur. Buahnya bergayutan. Pandangan dari teras adalah keteduhan jalan raya di bawah pohon mahoni. Bunga-bunga di halaman bergoyang-goyang dielus angin. Bunga matahari dengan kuningnya yang terang menunggui pojok halaman. Di dekat teras itu, bunga-bunga dahlia memekarkan kelopak-kelopak warna merah tua. Aroma harum mengambang. Harum bunga sedap malam mengatasi aroma segalanya.
Di dalam, ibu Erika mendekati anaknya.
"Ada temanmu datang."
"Siapa, Ma?"
"Mama tak kenal."
"Ah, siapa ya? Bukan teman kuliah Ika?"
"Belum pernah kemari."
Erika masih merapikan buku di mejanya.
"Bagaimana orangnya?"
"Gondrong."
"Ih! Ika tak punya teman gondrong."
"Mama juga heran dia bilang teman Ika. Lagi, dia pakai kaos hitam."
"Kayak geng, Ma?"
"Celananya kayak koboi."
"Siapa ya?" kata Erika pada dirinya sendiri.
"Pergilah lihat. Di teras."
Erika menduga-duga sambil berjalan. Dan, 'selamat sore' Anton tak bisa dijawabnya. Sesaat dia memaksa ingatannya, siapa lelaki muda itu. Dan, setelah ingat, dia menjadi kikuk.
"Sibuk?" tanya Anton.
Erika memikir-mikir jawaban yang tepat. Namun, sebelum menemukannya, Anton melanjutkan, "Mungkin aku cuma mengganggu. Tapi, kalau menunda lebih lama, aku akan bersalah. Soalnya begini." Anton berhenti bicara dan mengawasi Erika. Bukan main, bukan main jernihnya mata gadis itu, pikirnya. "Tak mengganggu waktumu kalau kuteruskan?" kata Anton.
"Tidak. Tidak mengganggu," kata Erika. Bukan main, bukan main lembutnya suara gadis ini, dan lekuk bibirnya alangkah indah, pikir Anton.
"Begini. Ada temanku, dia wartawan majalah ibukota. Dia pernah melihat Erika. Tapi, tunggu dulu! Bagaimana aku harus menyebut namamu? Eri atau Ika?"
"Ika," kata Erika. Dia tetap berpikir-pikir, kenapa lelaki ini begitu berani.
"Ya, dia pernah melihat Ika. Entah dalam perayaan apa, dia melihat Ika menari."
"Eh, kapan ya?"
"Kapan? Tentu saja aku tak tahu. Tapi, begitulah. Dia ingin mewawancarai Ika."
"Ah!"
"Kenapa 'ah'? Dia sungguh-sungguh. Majalah membutuhkan gadisgadis semacam Ika. Prototipe gadis medern, tetapi tetap punya kepribadian."
"Ah!"
"Kebanyakan gadis-gadis sekarang berlagak modern, tetapi apresiasinya tetap kampungan."
"Itu berlebih-lebihan," kata Erika.
"Begitulah kenyataannya. Lihat saja isi majalah-majalah dan surat-surat kabar. Melulu gambar gadis cantik, yang hanya ditonjolkan seksnya. Bodinya yang ukuran sekian-sekian. Pokoknya hanya fisiknya. Bagaimana dia sebagai pengemban kebudayaan umat manusia, sama sekali tak bisa ditonjolkan. Sebab, memang tak ada yang bisa diperlihatkan. Jadinya, peradaban kita sekarang ini hanya diisi oleh kebudayaan seks. Seluruh aktivitas manusia ditujukan untuk seks, yang titik utamanya pada fisik. Manusia tak pernah lagi memperhatikan nilai yang dipunyai menusia. Kalau bahasa filsafatnya, kita melalaikan substansi manusia. Kalau bahasa pewayangan, kita tercekam pada wadah, lupa pada isi. Akibatnya, kita cuma memperhatikan yang cantik, lupa pada yang indah."
Erika termangu-mangu. Pikirnya, si Gondrong yang mirip anggota geng ini lumayan juga.
"Lalu, apa hubungannya dengan saya?" tanyanya hati-hati.
"Erat sekali hubungannya. Ika akan ditonjolkan sebagai gadis yang membersihkan image gadis-gadis sekarang. Sebelum masyarakat tercekam lebih dalam pada kebiasaan yang sekarang, kita orbitkan Ika untuk mengatakan kepada mereka, 'Ini Iho gadis yang sesungguhnya perempuan!’."
"Ah, itu mengada-ada." Mata Erika berkedip-kedip.
"Kita akan ekspose sesuatu yang ada pada diri lka. Bukan terbatas pada sesuatu yang sifatnya fisik, melainkan lebih tinggi dari itu. Walaupun
kita tidak mengingkari bahwa lka cantik."
"Ah!"
"Yang kita tonjolkan adalah keindahan," kata Anton.
"Saya kira anda salah menilai."
"Biasanya aku tepat dalam menilai."
"Saya bukanlah seperti yang Anda kira."
"Aku sudah lama memperhatikan Ika."
"Ah!"
"Kok dari tadi ah-ah saja?"
"Habis, situ memuji terus sih."
"Apakah aku memuji? Ah, kalau begitu aku telah melanggar petuah
nenekku. Mau tahu apa dia bilang?" Tawa Erika bukan sopan-santun lagi. Matanya tambah berseri.
"Nenekku mengutip dari ajaran Konfusius: Janganlah memuji kecantikan seorang rupawan sebab itu tak akan abadi. Tapi, pujalah keindahan, kerena itu adalah pencerminan Illahi."
"Ah, itu bukan ajaran konfusius."
"Kenapa tidak?"
"Masak pakai Illahi? Mestinya 'kan Thian."
"Iya, ya? Mungkin nenekku salah."
Dan, senja yang merangkak kian terasa singkat. Sebab, percakapan kian mengalir. Di dalam rumah, ibu Erika terheran-heran sebab mendengar tawa ceria anaknya dari teras dibawa angin merayap ke seluruh penjuru rumah.
Sebuah moment telah ditembus Anton. Ketika Maghrib membayang, mereka berdiri di pintu pagar. Dari tatapan mata gadis itu terkesan bahwa gadis itu juga merasa waktu terlalu tergesa. Erika tak sadar ketika berkata, “Jangan bosan datang."
Anton mengangguk tegas-tegas, khawatir tak terlihat dalam keremangan Maghrib. Dan, senyum Erika menyelinap-nyelinap dalam pikiran Anton. Matanya yang hitam dan jernih, ah! Barangkali, mata semacam ini yang dimaksud lagu lama Hampir Malam di Jogya itu. Memang hampir malam, dan Anton berjalan pelan-pelan membelai kesepian jalanan di depan gereja besar. Lonceng gereja berdentangdentang.
***
Kerumunan mahasiswa kian bertambah. Di rerumputan yang dinaungi tujuh pohon cemara, di Kampus Gadjah mada itu duduk para mahasiswa. Mereka membuat lingkaran besar. Ada acara Poetry Reading, pembacaan puisi-puisi.
Anton melongok-longok di sela-sela mahasiswa, mencari tempat luang di depan. Dia lihat Penyair Umbu Landu Paranggi sudah siap dengan lembar-lembar puisinya. Anton mendesak ke depan. Dan, dia melihat Penyair Darmanto JT. Lumayan acara kali ini, pikir Anton. Tetapi, untuk bisa mencapai depan sana harus melewati beberapa lapis lagi. Padahal minat mahasiswa membuat jejalan itu makin sulit ditembus.
Anton menatap berkeliling. Tak usah ke depan! Sebab, Erika berdiri di bawah pohon cemara, di pinggir. Pelan-pelan Anton mundur dan mengambil jalan memutar, mendekati Erika.
"Hallo," katanya kepada Handoko yang berdiri di samping Erika. "Apa kabar, Ika?" lanjutnya menoleh kepada Erika.
"Sudah kenal rupanya?" kata Handoko.
"Terang dong. Kaukira cuma kau yang boleh mengenal gadis-gadis
cantik?"
Erika cuma tersenyum.
Penyair-penyair itu mulai membacakan puisi- puisi mereka. Suasana menjadi sepi. Matahari sangat cerah di lengkungan langit biru. Tetapi, di bawah cemara yang berjejer tujuh batang itu, udara tetap sejuk. Apalagi angin bertiup sepoi dari arah selatan, dan sesekali meluruhkan daun-daun cemara kering.
Erika memuntir-muntir daun cemara yang runcing melidi. Anton mengawasi tengah arena. Pembacaan puisi tetap berlanjut. Sekelebatan Anton mengedarkan pandang. Anton bersyukur tidak menemukan Marini. Gadis itu memang tak pernah tertarik pada kesenian. Baik puisi maupun drama. Kecillah kemungkinan bertemu dalam acara semacam ini.
Anton mengalihkan tatapannya kepada Erika. Kebetulan gadis itu sedang menatapnya. Handoko sedang mengomentari pembacaan puisi, dan pacarnya mendengarkan komentar itu.
"Ada film bagus," kata Anton.
"Oh, ya?" Cuma itu jawab Erika. Anton tak bisa menangkap kesan
dingin atau antusias.
"Sidney Poitier yang main," kata Anton.
Mata Erika bersinar.
"Biasanya film-filmnya bagus," lanjut Anton.
"Ya," jawab Erika.
"Kita nonton, nanti?"
"Koko, ada film Sidney Poitier," kata Erika. Handoko menghentikan
pembicaraannya dengan Lusi.
"Kalau begitu kita nonton," kala Lusi. Handoko melirik Anton.
"Kita berempat," kata Anton.
Handoko tak menjawab. Blitzkrieg , pikirnya. Serangan kilat. Belum
tiga hari. Tapi, biarkan saja. Pokoknya aku tak terlibat.
Handoko melirik pacarnya. Lusi sedang mengawasi Erika. Gadis ini pun agaknya melihat kegembiraan di mata Erika. Dia tersenyum kepada Handoko.
Anton tersenyum tak acuh. Erika kembali mengikuti puisi-puisi yang sedang dibacakan. Handoko mendekati Anton dan memberi isyarat agar Anton menjauhi tempat itu. Ketika Lusi melihat dengan pandang bertanya, Handoko berkata, "Kami beli rokok sebentar."
Semakin jauh dari lingkaran manusia itu, suara puisi yang dibacakan melayang dibawa angin.
"Kau sudah berhasil," kata Handoko.
"Belum," jawab Anton.
"Iya, tapi sudah nampak tanda-tanda. Tipu apa yang kaumainkan ?"
"Apa tampangku kayak penipu?"
"Alaaa, aku tahu isi perutmu. Otak di bawah rambutmu yang kusut itu banyak akalnya."
"Aku tidak menipu. Cuma, ya sedikit aku berbohong. Aku bilang, aku disuruh wartawan yang menanyakan kesediaannya diwawancarai."
"Begitu saja ?"
"Ya, tak lebih."
“Lalu?”
"Dia tak mau diwawancarai. Aku bujuk-bujuk, tetapi dia tetap tak suka publikasi. Akhirnya aku bilang, sebenarnya aku bukan disuruh wartawan. Aku datang dengan inisiatif sendiri karena melihat pribadinya. Aku ingin mengeksposenya buat mengejek kecenderungan masyarakat sekarang. Aku bilang, masyarakat sekarang sedang sakit. Terlalu tercekam pada aktivitas komersil. Pemilihan ratu ini-itu semuanya dinilai dengan selera seks. Nah, apa pula yang kutipu?"
"Ya, baiklah," kata Handoko lunak.
"Dan, kau. Kenapa sibuk mengurusnya?"
"Kalau kau pakai cara-cara yang tidak baik, itu aku tak bisa
mentolerir!" "Ya, tapi kenapa? Kau mencintainya?"
"Uf, gila kau!" Handoko menatap kelompok Lusi.
"Jadi, kenapa kau begitu memperhatikannya? Dia bukan adik kau."
"Ya bukan adikku. Tapi, masih ada hubungan famili alakadarnya. Yang penting, dia sangat baik dan dimanjakan orang tuanya. Kasihan kalau terjadi sesuatu yang tak baik terhadapnya. Lalu, walau tak penting untuk disebut, Usman, tunangannya itu anak pamanku."
Anton terlongong. Rokok yang terselip di bibirnya, yang hampir dinyalakannya, hampir jatuh. Akhirnya Handoko mengambil korek api dari tangan Anton dan menyalakan rokok mereka.
"Jadi, kalian masih tali-bertali punya hubungan keluarga?" kata Anton. Dan, dia ingat wajah ibu Erika yang beku.
Handoko cuma mangangkat bahu. Lalu katanya, "Sudahlah, tak usah kita persoalkan lagi."
Anton melontarkan pandang ke tengah kelompok mahasiswa yang mengelilingi pembacaan puisi itu. Dan, ah, di tengah-tengah mahasiswimahasiswi yang cantik-cantik itu, Erika tetap menampilkan pesonanya.
***
Pemilik rumah tempat mondok Anton me-ngerek perkututnya ke puncak tiang. Belasan tiang bambu menjulang menyangga sangkar berisi perkutut yang berbunyi sahut-sahutan. Dari jendela, Anton memperhatikan pak tua yang asyik bersiul-siul menggoda perkutut-perkututnya. Anton pun ikut bersiul.
Rumah yang dikitari tembok tinggi itu selamanya teduh. Pohon-pohon sawo merimbuni halaman. Manggung perkutut tak henti-hentinya terdengar. Tetapi, pagi itu diganggu oleh derum motor yang memasuki pekarangan.
Anton bangkit. Kusno tergesa men-standard motornya.
"Gawat, gawat, gawat," katanya.
"Cintamu ditolak lagi?"
"Bajingan! Soal fakultas kita. Berapa hari kau tak ke sekolah ?"
"Ya, berapa hari? Mungkin lima hari atau seminggu."
"Nah, itulah soalnya."
"Fakultas kita bubar lantaran aku tak datang?" kata Anton disertai tawa mengakak.
"Ini serius! Di fakultas ada corat-coret clan plakat-plakat."
" Good. Soal apa?"
"Nah, di sini gawatnya. Mungkin kau akan disidangkan."
"Eh, apa-apaan ini?" Senyum Anton menghilang.
"Aku dapat keterangan dari boss-ku," kata Kusno.
Anton ingat Pak Gunawan. Kusno asistennya.
"Kau dituduh jadi dalang aksi carat-caret itu," lanjut Kusno.
"Gila! Siapa bilang?"
"Killer kita."
"Bu Yusnita? Apa pula soalnya?"
"Nah, itulah. Dengar dulu, baru kita pikirkan cara-cara mengatasinya.
Pak Gunawan menyuruh aku menemui kau."
"Lalu, Dekan ?"
"Aku belum ketemu dia. Tapi, seperti biasa, tentunya dia ingin cuci
tangan. Cari jalan yang paling damai."
Anton menggigit-gigit bibirnya. Memang dulu dia biasa menjadi penggerak aksi mahasiswa. Tetapi, masa sekarang ini tak ada alasan untuk
bergerak.
"Apa isi corat-coret itu?" ujarnya.
"Menuntut agar dosen killer dipecat."
"Uf, gila!"
"Lebih gila lagi, plakat itu sangat tidak sopan. Ada yang bertuliskan:
Carikan Suami untuk Perawan Kita! Perawanku Sayang, Perawanku Terbuang. Dan, macam-macam lagi."
"Ah, itu keterlaluan."
"Ya. Makanya Pak Gunawan tak percaya kau dalangnya," kata Kusno.
"Lalu, bagaimana keadaan fakultas?"
"Bu Yusnita mendesak agar dewan dosen berapat. Dia menuntut agar kau dipecat. Dan, mahasiswa banyak yang mau memanfaatkan situasi ini. Yang membenci Bu Yusnita mulai membuat move menentangnya.”
"Ah gawat! Bagaimana sikap dosen-dosen?"
"Yang jelas kuketahui cuma Pak Gunawan. Yang lain tak tahulah. Tapi, situasi fakultas panas sekarang.”
Anton terdiam. Untuk beberapa saat dia berpikir-pikir. "Repotnya, biaya untuk riset fakultas kita baru saja datang kemarin. Seharusnya kita segera berangkat," kata Kusno. "Dan sekarang, aku tak tahu apakah kau masih bisa jadi ketua pelaksana teknis seperti yang direncanakan."
Anton tetap termangu-mangu.
"Pendapatmu bagaimana?" katanya kemudian. Kusno mengangkat bahu.
"Barangkali mahasiswa akan berdemonstrasi. Banyak yang mau ambil kesempatan melawan Bu Yusnita yang sejak lama mereka benci itu."
"Andainya kita bisa menemukan siapa pemasang plakat itu," kata Anton. “Mungkin persoalannya akan lebih jelas."
"Tapi, sementara kita mengusutnya, kalau Bu Yusnita berhasil membawa soal ini ke dalam rapat fakultas, kau tak bisa ditolong."
"Seharusnya rapat itu diusahakan agak lambat, sampai kita bisa menemukan pemasang plakat itu."
"Ya, dengan adanya proyek riset ini aku kira kita bisa mengulur waktu."
"Asal mereka masih mengizinkan aku menjadi ketua pelaksana teknis."
"Itu wewenang dekan."
"Kalau begitu, mari kita ke fakultas. Akan aku hadapi secara jentelmen apa pun yang terjadi," kata Anton.
Mereka keluar rumah. Kusno men-start motornya.
Sementara memperbaiki letak duduknya di boncengan, Anton berkata, "Gila! Aku sedang asyik pacaran selama beberapa hari ini, kok dituduh kerja yang bukan-bukan."
"Aku pernah ketemu Marini. Mukanya murung nampaknya," kata Kusno sembari menekan kopling dan memasukkan gigi dua. Anton tak menanggapi.
Di tengah deruman motor yang meninggi itu, Kusno melanjutkan, "Kaubilang, kau asyik pacaran? Masakan dia kelihatan murung." Mereka melaju di Jalan Mataram yang telah diperlebar, membelah Kota Yogyakarta, menuju utara.
"Kasihan Marini. Dia gadis baik. Kenapa kautinggalkan dia?"
"Siapa bilang kutinggalkan? Aku cuma cari variasi," kata Anton.
"Kau memang bajingan!"
"Kau mau sama dia?"
"Ah, gila kau!" teriak Kusno melawan angin yang menerpa.
Anton tersenyum. Dia mengenangkan Marini. Gadis yang lembut,
patut dicintai. Dia tak perlu dilepaskan sebab siapa tahu tunangan Erika datang. Dan, Anton tak mau menjadi Lebai Malang. Yang di tangan telanjur lepas, yang dikejar milik orang.
Corat-coret dan plakat-plakat di dinding fakultas telah dibersihkan. Pak Gunawan memberi isyarat agar Anton mengikutinya. Dia menunjukkan plakat-plakat yang telah dilepas dari dinding.
"Kau kenal tulisan ini?" tanya Pak Gunawan. Anton menggeleng. Dia meneliti plakat-plakat yang telah dilepas dari dinding itu. "Mana Bu Yusnita?" tanyanya. "Sudah pergi." "Saya mau ketemu Dekan." "Baik. Di kamar kerjanya," kata Pak Gunawan. Dekan itu mengeluh halus ketika Anton muncul di depannya. "Apakah Bapak percaya tuduhan-tuduhan itu?" Anton menerima tatapan lekat dari dekan itu. Lalu lelaki separo baya itu menggeleng. "Apakah ini akan mempengaruhi rencana riset kita, Pak?" "Aku sudah bicara dengan Drs. Gunawan. Riset tetap berjalan sebagai direncanakan. Tanpa perubahan apa pun. Soal-soal intern fakultas kita
tunda sampai riset ini selesai."
Tak berkedip mata Anton menatap dekan itu. Samar-samar matanya terasa hangat. Matanya mulai mengaca. Dia melihat kebijaksanaan di wajah dekan itu sebagai kebijaksanaan filosof tua dari Yunani Lama.
"Terima kasih, Pak. Teman-teman saya akan mengusut plakat-plakat itu. Saya percaya mereka akan berhasil. Saya berharap, sepulang dari riset soal ini akan jelas."
"Ya, kuharap juga begitu. Tapi, selama riset, aku ingatkan agar kau jangan menyinggung perasaan Bu Yusnita. Adanya dia dalam rombongan itu sama halnya gunung berapi yang menahan lava. Dendamnya padamu tinggal menunggu saat meledak saja."
***
Bus yang akan membawa rombongan fakultas itu telah siap. Anton telah mengatur tempat duduk bagi pengikut riset. Marini ikut dalam rombongan itu. Wajahnya cerah. Bu Yusnita, seperti biasa, berwajah angker. Matanya tak acuh mengawasi kesibukan orang-orang di sekelilingnya. Dia tak mau selintas pun menyinggahkan pandang matanya ke tubuh Anton. Dia tak bersuara ketika Anton mempersilakannya duduk di bus.
Rombongan fakultas itu akan mengadakan riset ke Dataran Tinggi Dieng. Mereka akan meneliti akibat-akibat industri yang didirikan di daerah itu terhadap pola berpikir masyarakat setempat.
Bus telah bergerak meninggalkan Yogya. Anton duduk berdampingan dengan Kusno di deretan kursi bus paling belakang.
"Tolong urus Marini selama riset ini," kata Anton.
"Apa kau terlalu sibuk sampai tak sempat mengurusnya?" ujar Kusno.
"Bukan begitu. Kau toh tahu kebiasaan mahasiswa.kalau riset. Yang pacaran semakin asyik. Aku khawatir kalau dia bermanja-manja padaku di depan Bu Yusnita. Bisa berabe aku. Kau mengerti?"
Kusno mengangguk paham.
"Ceritakanlah kepada Marini seluruh kesulitanku. Bilang sama dia, selama ada Bu Yusnita, jangan menampakkan tanda-tanda bercintaan."
"Sebenarnya Killer itu menarik. Waktu dekat dia tadi, parfumnya bukan main harumnya. Mungkin lima atau sepuluh ribu harga sebotolnya," kata Kusno.
"Tapi sayang, tak ada yang menciumnya. Padahal, lihatlah. Dari belakang pun dia kelihatan cantik. Lehernya yang kuning, wah! Halus. Mukanya pun halus. Cuma, di pinggir matanya kelihatan kerutan sedikit."
Bus Mercedez itu menderum membelah pagi, mengarah ke Magelang. Nanti, setelah dari Magelang, bus akan melaju ke Wonosobo, dan akhirnya mendaki Dataran Tinggi Dieng.
Anton terguncang-guncang. Kusno terkantuk-kantuk. Beberapa mahasiswa menyanyi.
"Kus!" Anton menggoyang tubuh Kusno.
Kusno membuka matanya.
" Killermenyanyi," bisik Anton.
Kusno menegakkan kepalanya.
"Bagus juga suaranya," balasnya berbisik.
Suara Bu Yusnita tersaring di antara suara para mahasiswa yang menyanyi itu.
"Suaranya bagus, wajahnya cantik. Apa yang kurang lagi?" kata Anton.
"Sebenarnya bukan kurang. Malahan lebih."
"Lebih?"
“Umurnya.”
"Itu sekarang. Dulu, waktu dia mahasiswa? Kenapa tak pacaran ya?"
"Pak Gunawan pernah cerita. Mereka satu angkatan. Waktu Bu Yusnita kuliah dulu, teman-temannya takut padanya. Sudah cantik, otaknya brilian lagi. Dia tak segan-segan mendonder teman- temannya dalam diskusi, 'Goblok, otakmu di mana sih? Ilmu kau cuma di buku ya? Makanya otakmu kosong!'. Kalau ada yang berani pacaran sama dia, bukan mustahil, ini Pak Gunawan yang cerita, bisa jadi impoten. Terus-menerus digoblok-goblokkan, siapa yang tahan ?"
"Repot juga punya wajah cantik dan otak yang terang. Mending mahasiswi bodoh tapi cantik. Berebut mahasiswa membantunya. Akibatnya, laris jadi pacar," kata Anton.
"Ada untungnya, ada juga ruginya," kata Kusno. "Coba kalau dia agak lunak sedikit saja, aku kira dia akan mendapat pasangan yang setimpal.
Lelaki tampan, pinter, dan berkedudukan baik."
"Tak ada yang mencoba?"
"Di sinilah anehnya. Dia tak suka lelaki pinter ."
"Lho?"
"Iya. Dia tak mau bergaul dengan temannya yang pinter. Pak Gunawan kabarnya waktu kuliah dulu termasuk mahasiswa brilian. Tak bisa akur dengan Bu Yusnita. Bu Yusnita tak pernah mau kalah. Padahal dalam ilmu tak seorang pun yang bisa benar mutlak. Dia lebih suka menerima pendapat yang salah agar dia mendapat kesempatan untuk menunjukkan kepintarannya. Pak Gunawan kadang-kadang lebih dulu membaca bukubuku baru, jadi bisa lebih dulu mengemukakan teori-teori baru. Bu Yusnita sangat marah kalau keduluan orang lain. Akibatnya, mereka jor-joran membaca buku. Akibatnya yang lebih parah lagi, mereka kelewat pinter, dan kelewat jauh dari dunia teman- temannya yang lain."
"Romantis juga riwayat Pak Gunawan kita," kata Anton.
"Apanya yang romantis? Hidup cuma untuk buku, dari kamar ke perpustakaan, bahkan ke WC. Betul-betul kutu buku."
"Tapi, Pak Gunawan tetap simpatik. Biar masih membujang sampai sekarang, tak tampak gejala kelainan jiwa seperti yang biasa dialami bujang tua. Lain dengan Killer."
"Sejak semuIa, Killer itu memang punya kelainan. Lucunya, dia sendiri tidak bisa menyembuhkan dirinya padahal ilmunya segunung."
"Soalnya, dia sendiri tak kenal dirinya," kata Anton.
"Makanya Socrates bilang, 'KenaIiIah dirimu'. Ya?”
"Kaukira apa yang menyebabkan dia begitu?"
"Bagaimana aku tahu? Aku tak pernah akrab dengannya.”
"Sekadar analisa psikologis 'kan bisa kaulakukan?"
"Wah, ilmuku mati," kata Kusno.
"Dugaan saja."
Keduanya mengawasi Bu Yusnita di de pan sana. Para mahasiswa sudah berhenti menyanyi. Mungkin sudah haus. Atau mungkin mereka mulai mengantuk. Bu Yusnita juga mulai mengantuk. Kepalanya yang semula tergoyang-goyang kini mulai terkantuk-kantuk.
"Menurut kau?" Kusno menggamit Anton.
"Menurut dugaanku, dia itu anak yang sangat dimanjakan. Mungkin orang tuanya kaya dan selalu memuji-muji dia. Dia tak pernah kekurangan moril maupun materiil. Dia merasa dirinya putri kahyangan. Maka dia merasa lelaki yang dapat menjadi pasangannya haruslah bagaikan pangeran- pangeran sakti, yang punya keampuhan-keampuhan teruji dalam menyelamatkan sang putri. Di dunia mahasiswanya, dia menunggu lelaki yang bisa melebihi dia. Semacam superman, begitulah."
"Wah, wah, wah, harus lebih pintar dari dia? Tapi Pak Gunawan cukup pintar. Lulus dari tingkat ke tingkat dengan cum-laude."
"Tapi, dia membutuhkan satu hal lagi: gallantry. Keluwesan seorang jentelmen. Mungkin bisa mengalahkannya dalam saat-saat tertentu dalam soal ilmu. Tetapi, kalau tak kenal selahnya, permusuhan malah tambah parah. Dia harus didekati seperti sebagaimana seorang putri didekati seorang pangeran dalam dongeng-dongeng. Jangan sampai sang putri kehilangan harga dengan membuka pintu menaranya!”
"Jadi, kaukira Pak Gunawan mencintai Bu Yusnita?"
"Ah, dalam laut dapat diduga, sedang dalam hati, lebih-lebih hati seorang dosen psikologi, siapa yang tahu?"
Untuk beberapa saat mereka diam. Bus menderum mengeluarkan asap yang memusingkan kepala. Untunglah pemandangan di luar menolong menyegarkan orang-orang dalam bus. Kebun-kebun sayur kubis berhamparan luas. Sesekali nampak sawah menguning. Sesekali pula diselingi kehijauan perdu teh. Lagi pula, angin menerobos lewat jendela. Di jalan yang berliku, di punggung daerah pegunungan itu, sopir melarikan busnya dalam kecepatan yang dapat mengkesiurkan angin.
"Lalu, persoalan kau dengan Bu Yusnita, bagaimana analisa psikologismu?"
tanya Kusno.
"Itulah yang tak bisa kupecahkan. Betul-betul aku tak tahu apa yang menyebabkan dia membenciku," kata Anton lemah.
"Mungkin lantaran kau pintar?"
"Aku tak pernah mendebat-debat dia.. Kalaupun aku tak puas pada kuliahnya, selamanya kucari kelengkapan dari literatur. Pokoknya selama kuliahnya, aku selalu ingat nasihat Pak Gunawan. Tidak pernah aku membuatnya tersinggung."
"Atau soal pribadimu?"
"Soal apa ?"
"Ke-playboy-anmu?"
"Ah, masak itu diketahuinya! Dia selamanya tak acuh pada aktivitas mahasiswa."
"Yah, memang rumit. Mudah-mudahan Handoko dan teman-teman kita bisa
mengusut plakat- plakat gelap di fakultas itu, biar urusanmu bisa diselesaikan."
Kota Wonosobo telah mereka lalui. Kini jalan lebih menanjak dan sempit-berliku. Bus meraung- raung mendaki lereng pegunungan. Di samping kanan, jurang menganga. Pemandangan di kejauhan adalah hutan pinus menyelimuti punggung bukit dan bekas-bekas kawah yang memutih. Pemandangan ini yang membuat penumpang bus lupa pada goncangan yang tak henti-hentinya pada setiap kelokan jalan. Sesekali tampak atap rumah yang berderet. Penumpang bus melekatkan pandangan ke rumahrumah itu dan menaksir-naksir berapa saat lagi akan mereka lalui. Anakanak kecil telanjang berdiri di pinggir jalan, melambai-lambaikan tangan.
Kusno membalas lambaian tangan anak-anak kecil itu.
"Puluhan tahun lagi, siapa tahu ada di antara anak-anak itu yang jadi menteri," katanya.
"Atau Rektor Gadjah Mada," balas Anton disertai tawa. Dia terus melambai-lambai sampai kerumunan anak kecil itu lenyap di balik tikungan jalan.
Hawa semakin dingin.
Mereka tiba di tujuan. Di kejauhan terlihat candi-candi dan pohonpohon pinus. Masyarakat setempat menonton rombongan mahasiswa yang turun dari bus. Sangat kontras antara pakaian yang menonton dengan yang ditonton. Orang-orang desa itu berpakaian kumal, dan anak-anak kecil berkerobong sarung. Mereka memperhatikan cut-bray, slack, yang aneka warna.
Marini menjinjing tasnya. Wajahnya letih. Tetapi, matanya bersinar gembira. Kusno membantu membawakan kopornya. Rambut Bu Yusnita kusut. Dia menyusut rambut itu dengan jarinya. Tetapi, angin masih memberaikannya. Dia sibuk sebab kedua tangannya harus memegang tas. Lalu tas-tas itu ditarik seseorang, dan terdengar suara, "Mari saya bawakan."
Bu Yusnita menoleh. Anton berdiri di sampingnya. Bu Yusnita tak menjawab. Sebuah tas besar dibiarkan pindah ke tangan Anton. Sempat pula mereka bersenggolan tangan. Ah, halusnya, pikir Anton.
Mereka berjalan menuju penginapan, di rumah beberapa pengetua desa.
Batu-batu kerikil berserakan di jalan. Bekas pengaspalan. Bu Yusnita agak kikuk melangkah dengan sepatu yang bertumit hampir empat jari tingginya.
"Pusing, Bu?" tanya Anton dengan suara takut- takut.
"Hmmm." Sepi sesaat. Mungkin Bu Yusnita merasa kelakuannya kurang pantas. Maka kemudian dia ber kata, "Ya, agak pening."
'Sebentar, kalau minum kopi akan hilang pusingnya. Ibu biasa minum kopi?"
"Tidak," kata Bu Yusnita.
"Kalau begitu, teh saja. Teh di daerah ini sangat sedap. Saya baru tahu waktu, survey pendahuluan kemarin tempo hari. Aroma teh di sini sangat segar, dan betul-betul bisa menyegarkan. Orang bilang, sekali minum teh daerah ini, seumur hidup tak akan bisa lupa."
Bu Yusnita membisu. Di depan mereka, berjarak kira-kira dua puluh meter, Kusno memanggul tas-tas besar. T entunya dia sudah menyampaikan pesan-pesan Anton kepada Marini. Sebab, ketika menengok ke belakang, Marini tersenyum tanpa isi khusus, tanpa nada cinta dan semacamnya. Senyum hormat untuk Bu Yusnita. Anton tak disinggahi pandangan matanya. Anton menarik napas dalam-dalam.
***
Erika diam. Ibunya menatap mata gadis ini. Wajah mereka rapat sehingga setiap kedipan, betapapun halusnya, akan tertangkap oleh penglihatan perempuan tua itu.
"Bagaimana, Ika?" desak perempuan tua itu.
"Pokoknya Ika cuma menganggap persahabatan. Pun."
"Ya kalau dia juga menganggap begitu, selesailah soalnya. Tetapi, kalau dia punya niat yang lebih dalam, dan Usman datang, apakah kau akan mengecewakannya?"
Erika membisu. Pelan-pelan dia mengalihkan pandangannya yang menerawang tak acuh lewat jendela ke wajah ibunya.
"Cobalah pikir, Ika. Mama tak senang pada pemuda gondrong itu.
Tapi, kalau dia mengira mendapat angin darimu, kemudian kecewa, Mama pun tak senang. Mama ingin kau jadi gadis yang baik. Bukan perempuan yang mempermainkan lelaki."
"Kami tak pemah menyinggung-nyinggung soal cinta," kata Erika hampir tak terdengar.
"Sepantaranmu, Ika, sulit orang membayangkan istilah persahabatan dalam arti yang netral, yang tak menyangkut cinta lelaki-perempuan."
"Tapi, begitulah kenyataannya. Kami tak pernah menyinggungnyinggung soal cinta."
"Terus teranglah, Ika. Kalau cuma persahabatan, ini betul-betul mengherankan Mama. Beberapa sore kau menanti kedatanganriya. Dan, sejak dia tak datang, kau termenung-menung. Apakah begitu itu persahabatan?"
"Ika butuh teman ngobrol."
"Toh kau bisa menelepon Handoko atau Retno, biar mereka datang."
"Mereka tak bisa bicara soal novel-novel Pasternak, Solvenitzyn, Thomas Mann, atau Sartre. Mereka cuma membaca majalah-majalah hiburan ringan saja. Ika senang mendiskusikan nilai-nilai yang terdapat dalam novel-novel yang pernah Ika baca. Atau soal musik. Dengan dia, Ika bisa bicara soal Simfoni Kesembilan Beethoven, dan riwayat lahirnya karya-karya agungnya. Bisa bicara tentang terciptanya simfoni-simfoni Mozart. Kesemuanya membuat perasaan Ika lebih dekat pada karya- karya klasik itu. Dan, teman-teman yang Mama bilang itu? Ika memang senang bergaul dengan mereka, tetapi mereka cuma bisa bicara soal Titiek Sandhora atau Emilia Contessa. 'Kan Mama tahu, Ika tak suka lagu-lagu kosong Pop Indonesia. Toh Mama sendiri yang memberi Ika plat-plat lagu klasik. Selama ini Ika cuma mendengarkan. Tapi, dia lebih dari mendengar. Selama ada dia, Ika lebih bisa meresapi musik klasik itu." Erika menatap ibunya.
"Ya, Mama mengerti," kata perempuan tua itu sambil masih tetap merangkul anak gadisnya.
"Cuma persahabatan," kata Erika.
"Tapi, itu berbahaya. Sebenarnya, kau bukan membutuhkan itu. Kau sebenarnya membutuhkan pengusir kesepian. Ya, kau kesepian, Ikaku Sayang.”
"Ah, tak tahulah, Ma," kata Erika. Dia merapatkan wajahnya ke leher ibunya.
Perempuan tua itu mencium pipi anaknya.
"Toh kau tidak akan mengkhianati Usman, bu kan?"bisiknya.
Tubuh Erika mengejang sesaat. Dia mengangkat kepalanya dan menatap ibunya. Kemudian perlahan dia berkata, "Tentu saja tidak."
"Ya, terima kasih, Anakku Sayang. Pukulan terberat bagi Mama adalah jika kau membelot dari Usman. Dia kelewat baik. Semua orang menganggap begitu. Pastilah orang-orang akan menyalahkan Mama. Mereka akan menuduh Mama tak mampu mendidikmu kalau kau mengkhianati Usman.”
"Ya, Mama," kata Erika. Tetapi, hatinya dingin. Sebeku badan yang terendam dalam kolam sepanjang subuh.
Hati Erika tawar dan rusuh lantaran tak ada kehangatan untuk membayangkan Usman. Atau membayangkan sebutan untuk sebagai Nyonya Erika Usman. Tawar, setawar kening Usman jika sedang merenungi buku-buku tekniknya.
"Dan, kau sependapat dengan Mama bahwa hubungan kau dengan pemuda gondrong itu lebih banyak bahayanya ketimbang kebaikannya, bukan?"
"Ya, Mama." Tak bersemangat Erika menjawab.
"Dan, sepantasnya diputuskan. " Erika membisu.
"Sebelum berkembang lebih lanjut," tambah perempuan tua itu.
Erika tetap membeku. Dia membenamkan wajahnya ke bahu ibunya.
"Sebelum dia merasa kau memberinya hati. Sebelum kau lebih telanjur membutuhkan dia," kata ibunya lagi.
Bukan soal 'telanjur', bukan soal 'sebelum', melainkan Ika memang membutuhkan lelaki itu. Tetapi, Erika tak berucap apa pun.
"Bagaimana, Sayang? Kau akan menurut apa yang Mama bilang?" Erika merasakan tepukan-tepukan pelahan di punggungnya. Dia ingin menangis. Dia ingat masa kecilnya, masa ditepuk dan didendangkan. Tibatiba saja dia ingat kesendiriannya setelah dewasa. Sendiri di tengah keluarga yang cuma ada Papa yang kelewat sibuk dengan bisnisnya, dan Mama. Saudara tak punya. Saudara satu-satunya, kakaknya, lenyap di hutan Irian Barat. Kakak yang gagah, yang suka membentak, tetapi suka membujuk pula manakala Erika cemberut.
Ibunya pun bisa merasakan kesendirian Erika meski dalam dekapannya. Perempuan tua ini hanya memikirkan kebahagiaan anak semata wayangnya. Dia berharap Erika mendapat jodoh lelaki yang baik. Tentang ukuran baik ini, dia menggunakan ukuran-ukurannya sendiri dalam menilai. Baginya, lelaki yang baik adalah yang memenuhi persyaratan seperti ini: ulet, rajin, betah di rumah, dan yang terutama sopan, serta mengabdi kepada orang tua.
"Cobalah, Ika, lupakan seluruh kesan pada pemuda itu. Jangan biarkan hatimu menyediakan simpati pada lelaki mana pun. Peliharalah cintamu kepada Usman sampai nanti dia datang. Tak lama lagi, Sayang."
Cinta? Apakah aku mencintai Usman? Ah! Erika mengeluh tanpa suara. Aku memang tak pernah membencinya. Tetapi, aku juga tak punya alasan untuk tidak menyenanginya. Dan, apakah cinta sesederhana itu?
Erika mencoba membayangkan kembali pesta pertunangan mereka waktu itu. Tangan Usman memasangkan cincin di jari Erika. Apakah artinya itu? Suatu ikatan. Itulah saja? Ya, lain tidak. Selebihnya hambar. Tak ada kesan apa-apa.
Lalu Erika membongkar dirinya, apa yang menyebabkan dia mengiyakan permintaan ibunya waktu itu. Apa sebenarnya yang menyebabkan dia tidak menolak pertunangan itu? Dia tidak mencintai Usman. Tetapi, dia juga tidak sedang mencintai lelaki mana pun. Cinta belum singgah di hati remajanya. Lalu, ketika orang tua Usman datang melamar dan orang tuanya menerima lamaran itu, Erika tak punya bayangan lain kecuali menerima. Dia tidak bisa mengucapkan kala 'tidak' yang tentunya akan menyakiti hati Usman. Usman kelewat baik untuk disakiti. Cuma, seorang yang baik toh tidak berarti bisa mendatangkan cinta.
Begitulah pertunangan Erika dengan Insinyur Usman dilangsungkan dengan tergesa untuk mengejar keberangkatan Usman ke Jerman.
Lima tahun Usman mondok di rumah orang tua Erika. Selama itu, tak sekalipun Usman membuat marah si empunya rumah. Tiga tahun di Jerman, Usman selalu mengirim surat walau cuma menampung kabar selintas. Usman hanya menceritakan kesibukan-kesibukannya. Atau tentang Muenchen, tempatnya tinggal. Itu pun dengan gaya cerita yang hambar. Lebih hangat tertangkap dari gambaran di novel-novel.
Lain dengan pemuda gondrong itu. Seminggu Anton menyerbu membuat Erika tertawa ceria. Mereka juga terlibat perdebatan seru. Mereka sama-sama menertawakan dunia. Erika cemberut karena pendapatnya dibantah, tetapi cepat-cepat Anton membujuk. Jika Anton mendongkol sebab kekeraskepalaan Erika, cepat-cepat Erika menetralisasi. Gadis ini khawatir jika Anton pulang dengan membawa kedongkolan.
Seminggu yang aneh. Meraka berdua berbicara dari bab obat-obatan sampai pada penyakit rakyat Afrika. Mulai dari puisi sampai pada polusi. Mulai dari Titus-Titus agama sampai pada kapitalisme. Mulai dari hadiah nobel sampai pada silat Cina. Mulai dari nilai manusiawi sampai pada kamp di Siberia. Segala macam hal mereka bicarakan pada senja-senja yang terasa singkat.
Dan, itu semua harus dianggap embun. Segera lenyap setelah matahari terbit. Tetapi, mungkinkah?
Mungkinkah? Harus! Harus! Demi nama baik keluarga yang harus dipelihara!
***
Riset rombongan mahasiswa di Dataran Tinggi Dieng masih berlanjut seminggu lagi. Mereka telah melakukan serangkaian wawancara dengan masyarakat setempat. Seharian mereka berjalan dari desa yang satu ke desa yang lain untuk mengumpulkan data. Desa-desa itu bertebaran di pelosok gunung.
Anton mengiringkan langkah Bu Yusnita berjalan di bawah matahari. Panas matahari yang bersinar penuh itu tak terasa oleh mereka sebab dinginnya hawa di daerah itu. Tetapi, kulit Bu Yusnita telah berwarna kemerahan. Wajahnya sumringah, rambutnya melambai-lambai diterpa angin. Kulitnya seperti tomat segar: merah dan licin.
Mereka berjalan tanpa suara. Anton tahu bahwa Bu Yusnita pastilah sudah letih. Jika di-reken- reken, mereka berjalan hampir dua puluh kilometer. Di jalan yang berbatu dan menanjak-turun pula.
"Siapa yang memimpin kelompok riset ke desa sana?" Tiba-tiba Bu Yusnita menunjuk kumpulan rumah di seberang lembah, di kejauhan.
"Pak Murtejo," kala Anton. "Kelihatannya jalan ke sana sukar."
"Ya, cuma jalan setapak. Untung musim kering. Kalau hujan, jalan itu gawat."
"Siapa yang ikut kelompok itu ?"
"Kusno, Zulkifli, Herman, Fauzi, Marini... ."
"Marini?" tanya Bu Yusnita seraya melirik.
Anton tak menjawab. Dia menahan napas.
"Kenapa dia diikutkan kelompok itu, padahal tahu daerah itu sulit dicapai." Ada nada tidak senang dalam suara Bu Yusnita.
"Sejak semula dia memang anggota kelompok itu. Kebetulan saja kelompok itu kebagian daerah yang sulit. Bukan disengaja," kata Anton cepat-cepat.
"Seharusnya yang ke desa itu lelaki saja."
"Tapi, dia bersemangat pergi."
"Ya, tapi kalau dia sakit akan merepotkan rombongan.”
Anton diam. Langkah mereka terseret-seret di antara bongkah batu dan tanah liat kering.
"Besok hari istirahat kita," kata Anton. "Ibu mau melihat tempattempat indah di daerah ini?"
"Saya ingin betul-betul istirahat. Tak mau ke mana-mana.”
"Sayang kalau kesempatan ini dilewatkan. Di daerah ini banyak telaga indah. Telaga Warna misalnya. Airnya kelihatan berwarna-warni. Atau Telaga Pengilon. Permukaannya jernih sekali sampai kita bisa becermin. Dan, masih banyak lagi telaga lain bertebaran di daerah ini. Coba Ibu bayangkan. Tak jarang di pinggir telaga itu bermain burung belibis. Seperti dalam dongeng saja. Pokoknya, pemandangan di sini hanya bisa ditandingi oleh mimpi."
"Ah, kau memang pintar ngomong!"
"Tidak. Bukan cuma omong. Waktu survey pendahuluan dulu, saya sudah mengunjungi tempat-tempat indah itu. Saya juga melihat kawahkawah yang masih bekerja. Ditambah lagi dengan benda-benda purbakala. Candi-candi yang tegak di padang rumput sungguh membuat daerah ini layak ditempati dewa-dewi. Saking terpesonanya, saya ingin tinggal di sini. Saya ingin bertapa. Di sini ada gua yang biasa dikunjungi orang-orang yang mencari ketenangan batin."
"Ngecap-mu lumayan juga. Tapi, sayang badanku kelewat letih. Malah agak meriang rasanya. Kayak mau demam," kata Bu Yusnita.
"Kalau begitu, Ibu harus berobat nanti. Ibu lebih suka obat modern atau tradisionil? Nanti di penginapan akan saya usahakan."
Mereka tiba di penginapan. Bu Yusnita terduduk lemas. Dia mengusap peluh di dahinya. Sepatunya terlepas dan menggeletak di lantai.
"Bu Nita mau dipijit? Akan saya panggil tukang pijit. Di desa ini ada perempuan tua yang pintar memijit." Anton bersemangat.
"Baik juga," kala Bu Yusnita lemah.
Sebentar kemudian Anton menghilang. Baik juga hati anak muda ini, pikir Bu Yusnita. Telaten dan penuh perhatian. Bu Yusnita masih ingat bagaimana Anton penuh perhatian dalam mengatur keperluankeperluannya. Selama bergaul di daerah pegunungan itu, kekakuan Bu Yusnita sekelumit demi sekelumit mulai pudar.
Anton muncul diiringkan seorang perempuan tua. "Dia biasa memijit Bapak dan Ibu Lurah desa ini," kata Anton memperkenalkan.
"Apa yang kaubawa itu?" tanya Bu Yusnita. "Akar-akaran. Nanti digodog, dan air godogannya setelah suam-suam kuku buat merendam kaki Bu Nita sebelum tidur. Besok pagi, saya jamin Bu Nita sesegar bayi yang sehat."
Bu Yusnita tersenyum. kemudian dia masuk ke kamar diiringi perempuan yang akan memijitnya. Di pintu, dia menoleh dan tersenyum lagi.
Senyum yang kesembilan, pikir Anton. Bukan main! Senyumnya bukan main bagusnya. Kenapa tidak sejak dulu dia memperlihatkan senyum itu? Alangkah sayangnya, senyuman semanis itu tersembunyi sekian lama.
Berkali-kali Anton menarik napas panjang ketika meninggalkan tempat itu. Setelah berbaring di kamarnya, baru dia merasakan betapa lunglai badannya. Sendi-sendi serasa mau copot. Tetapi, dalam keletihan itu, dia tetap tersenyum. Jalan kian terbuka, pikirnya. Sejak belakangan ini, Bu Yusnita tidak lagi menyebutnya dengan panggilan formal. Bukan dengan 'Saudara', melainkan dengan 'kau'. Ini kemajuan yang patut dipandang sebagai rahmat dewa-dewa di candi-candi Dieng itu. .
***
Matahari yang muncul dari balik gunung mulai membuyarkan embun yang menyaputi Dataran Tinggi Dieng. Di tanah terlihat kristal-kristal embun yang membeku selama dinginnya malam. Beberapa orang mahasiswa telah keluar dari kamarnya. Tetapi, dinginnya udara membuat mereka tetap berkerudung sarung, meniru penduduk setempat yang suka berjongkok di tanah sembari menyedot rokok lintingan. Suasana gunung itu membuat penduduk biasa bermalas-malasan di waktu pagi hari.
Anton telah kembali dari pancuran tempat mandi. Dia mengintai kamar Kusno lewat jendela. Kusno masih bergelung dalam selimut. Lewat Maghrib rombongan Kusno baru menyelesaikan tugas di desa yang jauh itu. Rupa-rupanya dia masih kecapekan.
Bu Yusnita telah berjemur di bawah matahari yang cerah. Wajahnya berseri.
"Betul-betul manjur obatmu itu," katanya ketika Anton mendekatinya. "Selera makanku bertambah. Aku khawatir berat badanku pun bertambah kalau kit a terlalu lama berada di gunung ini."
"Saya jamin tidak," kata Anton. "Tanpa diit, gadis-gadis gunung bagaimanapun banyak makan, mereka selalu berbadan singset. Hawa yang segar dan mendaki bukit merupakan obat kecantikan yang manjur. Tambah lama di sini, kecantikan Bu Nita akan tambah terpelihara."
Bu Yusnita tak menjawab, tetapi pipinya merona merah.
"Jadi kita ke telaga?" tanyanya kemudian tanpa menatap Anton.
"Kalau. Bu Nita mau," jawab Anton.
"Ayolah."
“Berdua saja?"
“Mana yang lain?”
"Saya panggil?"
Bu Yusnita menoleh sekejap. Kemudian menatap pucuk-pucuk pinus
di kejauhan.
"Tak usah." Dia melangkah. Anton menjejeri langkah yang berayun di sampingnya.
Bu Yusnita mengenakan pullover warna biru dan bercelana panjang wama kuning. Angkasa adalah langit biru dan awan mengapas putih. Kejauhan adalah padang rumput, bunga-bunga liar berwarna putih, kuning, dan merah.
Sesekali Anton menatap yang indah di sampingnya, juga yang indah di tempat jauh. Bu Yusnita berjalan menunduk dengan kedua tangan di
punggung.
"Agak jauh kita nanti berjalan," kata Anton.
"Tak jadi soal." Suara Bu Yusnita lunak.
Anton mengomentari tempat-tempat yang mereka lalui. Dan, Bu Yusnita menjadi pendengar yang baik. Cerita Anton mengasyikkannya. Cerita tentang penduduk setempat yang menyangkut peninggalanpeninggalan alam.
Tak terasa mereka tiba di tujuan. Bintik-bintik keringat muncul di ujung hidung Bu Yusnita. Andainya pacarku, pikir Anton, alangkah senangnya mengusap hidung yang bangir ini. Hidung yang berada di atas bibir mungil, basah, dan merah tanpa lipstik.
Bu Yusnita duduk di rumput. Di depan mereka terhampar telaga yang permukaannya berwarna-warni. Pengaruh vulkanis, mungkin, makanya telaga itu merefleksikan aneka warna.
"Nah, betul yang saya bilang," kata Anton hampir berbisik, sembari menunjuk.
Sekelompok belibis putih mulus bermain-main di pinggir telaga. Bu Yusnita bernapas hati-hati sebab khawatir mengejutkan burung-burung itu. Matanya nanap memperhatikan panorama di depannya.
"Bukan main," desahnya.
Anton tersenyum-senyum. Serombongan belibis lain hinggap di seberang telaga. Bunga-bunga liar bergoyang terkena sambaran sayap burung-burung itu. Seekor burung minum di pinggir telaga.
"Bu Nita haus?"
"Wah, kita lupa bawa minuman," kata Bu Yusnita.
"Saya bawa ini," kata Anton seraya mengeluarkan beberapa buah jeruk manis dari kantong jaketnya.
"Lumayan." Lekuk bibir Bu Yusnita berseri.
Untuk beberapa saat mereka menikmati jeruk itu. Lalau Anton berkata, "Di daerah ini banyak tempat-tempat keramat. Masyarakat percaya bahwa Kerajaan Amarta yang disebut-sebut dalam Mahabarata itu berada di sekitar daerah ini. Ada kawah namanya Candradimuka. Orang-orang percaya bahwa di situlah Gatotkaca direndam sampai jadi sakti."
"Memang tempat ini agak meyakinkan kalau disangkut-pautkan dengan legenda-legenda."
"Sampai sekarang banyak orang bertapa di sini." ,
"Biar sakti?"
"Memperluhur batin."
"Kau percaya soal-soal begitu?"
"Percaya sih tidak. Tapi, untuk tidak percaya, juga tidak ada gunanya. Itu soal keyakinan sih. Sulit memperdebatkannya."
"Tapi, apakah keyakinan itu realistis?"
"Banyak hal yang tidak realistis tetapi dipercaya orang. Soal ramalan misalnya. Sulit menilainya dari ukuran-ukuran realita, tapi banyak yang percaya.”
“Kau juga?"
"Ya, tapi tidak setiap ramalan. Saya tidak percaya pada ramalanramalan buntut. Kalau astrologi, bolehlah. Apa bintang Bu Nita?"
"Ah, itu nonsense!" kata Bu Yusnita.
"Sering juga tepat. Atau ramalan lewat rajah tangan. Saya pernah belajar membaca rajah tangan."
"Iya?"
"Coba, mari tangan Bu Nita. Biar saya lihat." Bu Yusnita masih ogahogahan, tetapi Anton menarik tangannya dan menelentangkan telapak tangan perempuan itu. Pelan-pelan Anton mengikuti garis telapak tangan perempuan itu. Keningnya berkerut, dan kening Bu Yusnita pun ikut berkerut. Sebentar mata Bu Yusnita hinggap di telapak tangannya, sebentar beralih ke wajah Anton. Anton serius memperhatikan gurat-gurat telapak tangan yang dipegangnya. Cuma, pikirannya bukan pada guratgurat itu, melainkan pada: alangkah halusnya tangan ini. Andainya dicium, aduhai! Andainya dicium, aduhai!
"Bagaimana?" tanya Bu Yusnita.
"Ah, ya! Begini. Garis ini menunjukkan bahwa umur Bu Nita panjang. Artinya, Bu Nita akan berkeluarga besar dan suami Bu Nita akan meninggal lebih dulu pada usia tua."
"Ah, gila kau!"
"Lho, kok gila? Ini lagi. Keturunan Bu Nita akan ban yak yang jadi orang besar."
"Ah, kau mengada-ada. Brengsek!" Bu Yusnita menarik tangannya, tetapi Anton menahan. Bu Yusnita menggeliat untuk melepaskan tangannya, tetapi cekalan Anton terlalu kuat. Dan, memang rontaan itu tidak terlalu kuat.
"Lalu, semua itu akan Bu Nita dapatkan setelah melalui saat yang meminta pengorbanan."
" Ah, bohong!"
"Betul ini. Saya lihat dari garis ini. Nah, ini garis yang memotong dari mars dengan venus. Saya teruskan ?"
"Sudahlah. Tambah banyak nanti among kosongmu."
"Alaaa, lantaran Bu Nita takut kalau saya tambah melihat rahasiarahasia Bu Nita."
"Uh!" Mulut Bu Yusnita cemberut. Tetapi, itulah permulaan senyum.
Dia tidak menarik tangannya, dan Anton tak melepaskannya. Mereka duduk berhadapan. Angin sepoi menerpa rambut Bu Yusnita sehingga bagian depannya menutup kening. Angin yang sama menguakkan gondrong Anton pada bagian muka. Anton merapikan rambut yang menutup kening Bu Yusnita. Bu Yusnita terpana sesaat. Kemudian tangannya terulur untuk merapikan rambut Anton yang terberai ke muka.
Mereka bertatapan. Pipi Bu Yusnita kian merona merah. Dia menggigit bibir dan menunduk. Tangan Anton yang tadi menggenggam pergelangan, kini pindah ke jari. Anton meremas jari-jari yang digenggamnya membuat Bu Yusnita mengangkat kepala. Mereka kembali bertatapan.
Berdebur-debur jantung Bu Yusnita menahan genggaman tangan hangat di tengah keheningan alam itu. Di tengah alam yang berbisik-bisik dibelai angin gunung itu, dia bukanlah seorang dosen. Dia adalah seorang gadis yang sedang merasakan debaran dadanya. Maka dia menunduk, dia menatap rumput-rumput hijau.
Dan, jantungnya menyentakkan darah panas ketika terasa ada sentuhan di pipinya. Dia melirik tangan yang memegang wajahnya, lalu ke pemilik tangan. Tatapan Anton membuatnya gemetar. Bibirnya yang basah-merah juga bergetar.
Suasana semacam itu tak pernah ditemukannya dalam buku. Suasana yang menimbulkan jalaran-jalaran halus dan hangat di seantero telapak kakinya, dan mengalir di sepanjang urat-urat darahnya. Usapan tangan pemuda itu cuma dibalasnya dengan pejaman mata. Begitu pula ketika lelaki itu menciumnya. Dia menggigil. Sekejap terpana. Lalu, pelan-pelan tangannya belajar membalas pelukan lelaki itu.
Rumput dan daun perdu gemersik diterpa angin.
***
Mereka memakan coklat bawaan Anton. Matahari beringsut melangkahi puncak-puncak pinus. Sesekali pandang mata mereka bentrok. Dan, senyum Bu Yusnita mengembang.
"Kalau saya tahu sejak dulu Bu Nita sebaik ini," kata Anton diiringi
tawa renyah. "Dan kalau aku pun tahu kau tidak sebrengsek yang kuduga." Bu Yusnita menimpali dengan cubitan. "Dan, sekarang?" Anton memijit jari Bu Yusnita. Bu Yusnita balas memijit. Lalu mereka saling meremas. "Kenapa dulu Bu Nita menganggap
saya brengsek?" tanya Anton. "Ya karena kau brengsek." "Apa salah saya?" "Kesalahanmu segerobak." "Kapan saya membuat kesalahan itu?" "Mula-mula sedikit. Tapi, karena berbunga maka bertambah banyak." "Apa sih salah saya?" "Betul-betul kau tak tahu?" "Sungguh mati! Sampai hari ini saya tidak tahu apa kesalahan saya
pada Bu Nita. Seingat saya, tak pernah saya menyakiti hati Bu Nita." "Betul?" "Berani sumpah!" "Tak usah sumpah," cepat-cepat Bu Yusnita memutus. "Iya, bilanglah." "Hmmm, kau bajingan!" "Ah!" Bu Yusnita tertawa mengikik. Anton meremas jari perempuan itu kuat-kuat. "Aduh, kasarnya
tanganmu." "Habis, kalau tak mau bilang saya... ." “Kauapakan…..?” “Ciu…..”
"Hus!" Bu Yusnita merentakkan tangannya dari genggaman tangan Anton. "Mulai kurang ajar kau!"
"Bilanglah apa salah saya."
"Kau ingat waktu kuliahku yang pertama?"
"Ya? Waktu Bu Nita pakai rok warna merah tua dan blus kuning?"
"Ha? Itu yang kauingat?"
"Dan, betis Bu Nita yang bagus."
"Bah, bajingan! Dengar dulu. Kau ingat, hari itu apa pertanyaanmu?"
" Apa saya bertanya waktu itu?"
"Iya, waktu kutanya ‘siapa yang mau bertanya', kau terus mengangkat tangan. lalu kau menanyakan teori Freud."
"Lantas?"
"Itulah salahmu."
"Lho, kok salah?"
"Sebab, kau menanyakan itu."
Anton terlongong-longong. Bu Yusnita menonjok hidung Anton pelahan.
"Teori Freud, faktor seks menentukan tindak-tanduk seseorang."
Wajah Anton tetap terheran-heran.
"Karena kau menanyakan itu, bukankah sengaja mengejekku?"
"Kok mengejek?"
"Karena kau ganteng, kau diperhatikan gadis-gadis, kau playboy. Siapa yang tak tahu itu?"
“Jadi?”
"Padahal kau tahu aku masih single. Hidupku sepi. Faktor seks sama sekali jauh dari kehidupanku. Duniaku hambar ."
"Tapi, Pak Gunawan mencintai Bu Nita."
"Ah, siapa bilang?" sahut Bu Yusnita cepat.
"Saya tahu."
"Ah, kau mengada-ada. Dia orang yang paling sombong yang pernah
kukenal." “Tapi, dia sering membicarakan Bu Nita." "Masak iya?" "Sungguh!" "Tentunya dia mengejek-ejekku," ujar Bu Yusnita. "Sama sekali tidak. Malahan dia sering menyesali dirinya karena
merasa dirinya terlalu serius dalam kuliah dulu. Dan, dia sadar bahwa banyak tindakannya yang sebenarnya cuma untuk memuaskan gengsinya saja, sedang akibatnya ditanggungkannya selama bertahun-tahun ini."
"Dia bilang begitu ?"
Anton cuma mengangguk. Dia tak berani mengulang dusta itu.
Bu Yusnita merenungi rumput hijau. Anton membiarkannya di
sungkup senyap yang diciptakannya. Lama mereka diam. Sampai akhirnya Bu Yusnita mengulurkan tangan dan berkata, "Ayo, kita pulang." Anton menyambut tangan itu dan menariknya bangkit. Bu Yusnita meloncat berdiri. Ketika mereka berhadapan, Bu Yusnita mencium pipi Anton cepat dan
selintasan. "Hidup ini sebenarnya indah ya, Anton?" katanya. Anton cuma mengangguk. “Asal kita pandai menikmatinya. 'Kan begitu?" lanjut Bu Yusnita. Anton cuma mengangguk lagi. Bu Yusnita menggandeng tangan Anton dan menariknya berlalu
meninggalkan telaga itu. Dia merangkul tangan Anton dan langkahnya ringan merambahi belukar. Dia menggumamkan nyanyian. Dia cuma setinggi bahu Anton. Maka kepalanya tersandar di dada lelaki muda itu.
***
Bu Yusnita tak lagi sekaku dulu. Rombongan mahasiswa itu merasakan perubahan itu. Dia bukan lagi Tuan Putri yang mengasingkan diri.
Hari itu, bu Yusnita kepingin mandi di pancuran. Anton mengantarkannya. Sementara Bu Yusnita Mandi, Anton menjauhi pancuran itu. Dia mendaki bukit, melewati belukar-belukar. Ketika melewati gerumbul semak,.langkahnya terhenti. Darahnya terhenti mengalir. Tubuhnya gemetar. Tetapi, langkah yang terhenti mendadak itu tak sengaja menendang kerikil. Kerikil bergulir ke bawah dan menimbulkan suara 'kresek' di semak-semak. Pelukan merenggang. Marini me- lepaskan diri dari pelukan Kusno. Keduanya terpana menatap Anton yang tertegak kaku di atas bukit. Berganti pias dan merah wajah Marini. Kusno canggung. Sesekali dia memandang Anton, tetapi lebih sering menghunjamkan pandangan ke tanah.
Sehelaan demi sehelaan napas berlalu. Lalu, Anton berbalik meninggalkan puncuk bukit itu. Kembali dia ke pancuran.
Bu Yusnita telah mengemasi pakaiannya. Dia memperhatikan wajah Anton yang beku.
"Kenapa mukamu masam?" tanyanya.
"Ah, tidak," jawab Anton. Dia membantu membawakan tempat sabun Bu Yusnita.
"Jangan cepat-cepat, Anton!" seru Bu Yusnita.
Anton memperlambat langkahnya.
"Ada apa sih? Kok langkahmu kayak dikejar setan ?"
Anton tetap membisu.
"He, bilanglah, ada apa?"
"Tidak. Tak apa-apa."
"Tak apa-apa, tapi datang-datang wajahmu kecut, langkahmu kayak berlari."
Anton diam. Bu Yusnita mencubit lengan Anton. Anton menoleh. Rambut Bu Yusnita tersanggul belum rapi. Tetapi, senyumnya rapi mengelopak mawar. Anton pun menyeringai.
"Nah, apa yang terjadi, Anton?"
Anton berpikir sesaat. Lalu katanya, "Dari atas bukit itu, tak sengaja saya jadi Jaka Tarub, melihat bidadari mandi, Bu Nita mandi."
"Ow, kurang aj...." Bu Yusnita mencubit lebih keras.
Anton tertawa-tawa menjauhkan diri.
"Tubuh Bu Nita bagus!" kata Anton.
"T ambah kurang ajar lagi? Ke sini kau!"
Anton tambah jauh berlari. Bu Yusnita mengejar. Beberapa mahasiswa tercengang-cengang memandangi mereka. Anton meletakkan tempat sabun milik Bu Yusnita di rumah penginapan.
"Brengsek kau!" kata Bu Yusnita kepada Anton yang telah menjauh. Mulutnya cemberut, tetapi matanya tersenyum.
***
Anton berbaring di kamarnya. Menatap genteng yang hitam dan berdebu, sambil memikirkan Marini. T erkutuk! Penghinaan! Berani berciuman dengan lelaki lain. Terkutuk! Tapi, tunggu dulu. Kenapa aku marah? Berapa kali aku meninggalkan pacarku, meninggalkan begitu saja? Lalu, kalau sekarang Marini dicium lelaki lain, apa soalnya? Lantaran dia belum aku lepaskan secara de jure. Ya, itulah soalnya. Hanya diriku sebagai lelaki yang belum pernah dipatahkan, telah dihinanya.
Suara langkah seseorang mendekat. Dan, Anton merasa seseorang berbaring di sampingnya. Dia tahu siapa orang itu. Maka dia diam saja. Dia terus membuat bulatan-bulatan asap rokoknya.
"Sorry, Anton," kata Kusno pelahan.
Anton tak acuh. Kusno pun menyalakan rokoknya.
"Tak bisa kuhindarkan," kata Kusno. "Kau menyuruhku mengawal Marini. Tapi, aku tidak bisa menetralkan perasaanku. Aku ingin tak ada perasaan istimewa, tetapi ternyata suasana alam gunung ini menyebabkan aku tak mampu membunuh perasaanku. Selama menjalankan tugas bersama-sama, simpatiku tumbuh. Kami seperti bukan lagi orang yang mengawal dang dikawal. Lebih dari itu, aku mencintainya." Kusno berusaha melirik reaksi Anton. Tetap dingin.
"Dan, dia?" ujar Anton.
"Kalau dia berani meninggalkan kau, tentu dia punya kepastian untuk yang dipilihnya."
Anton menghembuskan asap rokoknya.
"Dia bilang begitu ?"
"Ah, tidak. Aku tak tahu," kata Kusno gugup.
"Apakah bukan kesepian dan keheningan daerah ini yang
menyebabkan?" kata Anton. Kusno tak terjawab. "Betul, kau mencintainya?" "Ya." "Betul dia mencintai kau?" Kusno diam. Di luar, seorang mahasiswi memetik gitar dan menyanyi
pelahan. Denting-denting senar gitar merayap-rayap masuk lewat jendela. "Marilah kita bicara secara jantan, Kusno," kata Anton dingin. "Maksudmu?" "Apakah kau merasa kau telah merampas Marini dari tanganku?" Kusno gelagapan. Dia duduk dan membuang pandang ke dinding. "Kalau kau merasa begitu," kata Anton, "aku layak tersinggung. Dan,
sebagai lelaki yang tersinggung, aku harus menunjukkan perlawanan yang sesuai dengan kejantanan seorang lelaki!"
Kusno melirik sekilas. Lalu, cepat-cepat mengalihkan lirikannya sebelum bertemu dengan sorot mata Anton. Sebenarnya, andainya dia lebih memperhatikan, dia akan melihat tawa samar di sudut bibir Anton.
"Bagaimana? Apakah kau merasa merampas dia ?"
"Tidak."
“Jadi?”
"Ya, aku mencintainya," kata Kusno terbata-bata. "Begitu saja.
Selama proses ini, aku sama sekali tak teringat kau. Barangkali di sinilah kesalahanku. Aku bahkan lupa bahwa dia pacarmu. Aku hanya melihat dia sebagai pribadi yang utuh. Seorang gadis yang berjalan menempuh bukitbukit berbatu, di bawah matahari yang menyengat. Tangannya kupegang, betisnya kuurut jika dia keletihan di ceruk-ceruk tanah gersang. Terus terang, kami menjadi rapat dalam kesukaran-kesukaran selama riset ini. Aku tak membayangkan merampas dia dari kau. Aku hanya merasa mencintai seseorang yang sangat dekat dengan diriku."
"Good! Kalau begitu, selesailah persoalannya." Anton duduk.
Mereka duduk berhadapan di alas tikar di tengah kamar penginapan itu. Anton mengisap rokoknya. Kusno melirik tangan yang terangkat itu: tangan yang kukuh dan kapalan karena latihan karate.
"Jadi, tak ada yang terampas dan dirampas dalam soal ini." kata
Anton. "Tak ada yang kalah dan menang. 'Kan begitu?"
"Iya. Yang ada cuma soal cinta," kata Kusno pelahan.
"Bagus. Teruskanlah." Kusno terpana. Tetapi, dia merasakan tangan
Anton yang menepuk-nepuk bahunya. Karena bertatapan, Kusno pun menyentuh bahu Anton.
Dan, suara di pintu, "Anton!"
Keduanya menoleh. Marini tegak di mulut pintu, menatap mereka berganti-ganti. Gadis itu canggung.
"Dipanggil Bu Yusnita," kata Marini, lalu dia meninggalkan ambang pintu.
Seperti ikan meletik, Anton bangkit dan mengejar Marini.
"Soal apa?"
Marini tak menjawab. Rambutnya melambai-lambai sementara dia melangkah lebar dengan kepala tertunduk.
"'Kok jadi pendiam kau, Upik?" kata Anton.
Mata Marini tetap menghunjam ke tanah.
"Aku mau bicara nanti," katanya hampir tak terdengar .
"Tadi kaubilang aku dipanggil Bu Yusnita?"
"Iya. Nanti selesai urusan dengan dia, kutunggu kau di dekat candi."
"Ah, tak usahlah lagi. Aku tahu apa yang mau kaubicarakan.”
Langkah Marini terhenti. Dia menatap Anton.
"Ini serius, Anton."
"Ya, aku tahu, Adikku Sayang." Anton tersenyum. Senyum lunak itu membuat Marini menggigil.
"Ah, kau tak pernah mau serius," keluh Marini.
"Kau mau membicarakan saat kau dicium Kusno?"
Darah menyerbu ke wajah Marini. Wajah gadis itu merah.
"Baru saja aku dengan Kusno membicarakan itu," lanjut Anton.
"Jangan salahkan dia. Aku yang salah," kala Marini gemetar.
"Iya, kau yang salah," kata Anton.
Marini menunduk. Bibirnya gemetar. Maka bakat kurang ajar Anton kambuh lagi.
"Kesalahanmu selangit," kata Anton. "Kusno bilang, kau kaku sekali berciuman."
Napas Marini sesak.
"Lalu kubilang, 'Tak mungkin! Marini sangat pandai kissing. Apalagi kalau menggigit-gigit bibir pasangannya, wah, bukan main!’….”
"Anton!" Suara Marini terengah.
Tawa Anton mengakak. Maka Marini berani memandangnya. Dan, dia menemukan mata yang ramah. Namun begitu, gemetar di badannya belum juga hilang.
Bu Yusnita bersama-sama beberapa mahasiswi ketika Anton menghadap.
"Kok Marini yang Bu Nita suruh memanggil saya?" tanya Anton.
"Apa salahnya?"
"Dia menteror saya. Dia bilang, Bu Nita sedang marah sekali."
"Lho, kapan aku bilang begitu?" Marini terbata-bata.
"Ya, aku memang ingin marah. Aku kepingin melihat apa yang mau kauperbuat. Tahu kenapa Marini yang kusuruh memanggilmu?" kata Bu Yusnita.
"Tidak. Kenapa?"
"Karena yang lain ogah."
"Semua membenci saya?"
"Ya."
"Uf!"
"Kecuali Marini tentunya," kata Bu Yusnita.
" Ah, masak?”
"Alaaa, pura-pura lagi. Kaukira aku tidak tahu?" Bu Yusnita tertawa. Matanya menyelidik-nyelidik. Mahasiswi-mahasiswi di tempat itu tersenyum-senyum takut. Marini menunduk. Bu Yusnita memperkeras tawanya. lalu katanya, "duduklah, Anton."
Anton melepaskan napas yang tertahan sejak tadi. Dia mengangkat bahu, lalu duduk.
"Aku baru saja menerima surat dari Dekan," kata Bu Yusnita sembari membuka tasnya. Sebuah amplop bermerk fakultas mereka, dia keluarkan. "Tentang corat-coret dan plakat-plakat di fakultas tempo hari, pemasangnya sudah diketahui."
Mahasiswi-mahasiswi menatap Anton dan Bu Yusnita berganti-ganti. Bu Yusnita memandang Anton dengan pandangan lunak.
"Bukan Anton. Aku minta maaf karena menuduhnya dulu," kata Bu Yusnita.
Dan, mahasiswi-mahasiswi itu menarik napas dalam-dalam. Hebat! Hebat! Killer minta maaf. Bukan main! Untuk pertama kalinya dalam sejarah, dosen yang tak pernah salah itu meminta maaf kepada mahasiswanya. Ah, Anton cassanova kami!
"Siapa yang memasang plakat itu?" tanya Anton.
"Beberapa mahasiswa yang terkena peraturan penertiban fakultas. Mereka yang berturut-turut tiga tahun tak naik dalam satu tingkat. Handoko yang mengusut persoalan ini."
Lalu Anton membaca surat dari Dekan itu. Lalu, surat itu beredar dari tangan ke tangan. Senyum Bu Yusnita jarang hilang dari bibirnya. Matanya kian cemerlang hari-hari belakangan ini.
***
Berada kembali di Yogya yang gersang. Hawa musim kemarau panjang mencekik badan. Tetapi, sore itu bagi Anton tidak gersang. Dua kali dia menekan bel tamu dirumah Erika, lalu menunggu sesaat, pintu terbuka. Ibu Erika menghadang di ambang pintu. Matanya dingin menaksir-naksir. Dia tak menjawab 'selamat sore' dari Anton. Dia cuma bilang, "Erika tak ada:"
Anton tertegak canggung.
"Silakan duduk," kata ibu Erika sembari mendahului duduk di kursi teras. "Kebetulan ada yang mau saya bicarakan."
Pelahan Anton meletakkan pantatnya di kursi. Matanya tak lepas mengawasi ibu Erika. Dan, perempuan itu juga melakukan hal yang sama.
"Begini," kata perempuan tua itu. "Kalau tak salah, Anak sudah beberapa kali datang ke sini." Ibu Erika menunggu reaksi.
Anton mengangguk.
Ibu Erika meneruskan, "Sebagai orang tua, tentulah saya mengikuti perkembangan anak saya. Saya percaya bahwa Anak adalah pemuda baikbaik sebab Erika pun kelihatan senang bergaul dengan anak. Tetapi, bagi saya pergaulan itu tidaklah sesederhana yang kalian pikirkan,” sesaat Bu Erika diam.
Anton mematung di depannya.
“Tapi, sebelum saya teruskan, saya ingin tahu, apakah Anak punya saudara perempuan?”
Anton mengangguk.
“Mbakyu atau adik?”
“Adik-adik.”
“Ooo, beberapa orang. Bagus!” Lalu ibu Erika menikamkan tatapan sembilu, membuat Anton kian resah. “Bagaimana seandainya diantara adik-adikmu itu telah bertunangan, dan kemudian ada lelaki lain yang datang mengganggunya?”
Anton merasa dadanya sesak.
“Saya kira orang tuamu akan resah kalau putrinya memutuskan pertunangan cuma karena terpikat pada rayuan lelaki lain. Sekeluarga akan menerima umpatan dari sekelilingnya.”
Anton tetap membisu.
“Paham maksud saya?”
Anton tetap tak menjawab. Keresahan menggelegar di dadanya.
“Erika telah bertunangan. Tunangannya sekarang di Jerman. Dia Insinyur. Dalam tempo dekat dia akan membawa pulang titel doktor dalam bidang teknik. Apa katanya kalau setiba dia Erika bukan lagi tunangannya? Apa kata orang tuanya pada saya? Apa kata orang-orang yang hadir dalam pesta peresmian pertunangan mereka? Sernuanya akan mengutuk Erika. Lebih-lebih mengutuk saya. Sebab, orang akan memaklumi usia Erika yang masih muda. Dia bertunangan waktu masih SMA. Orang akan maklum bahwa tiga tahun bagi orang seusia itu merupakan beban berat. Karena itu orang akan menimpakan kesalahan pada saya. Sebagai orang tua, saya dianggap tak bisa mengajarkan kesetiaan pada anaknya." Ibu Erika berhenti berucap untuk melihat akibatnya.
Anton tetap beku.
"Cobalah pikirkan," lanjut ibu Erika. "Kalau kejadian semacam ini menimpa keluargamu. Setiap orang akan menertawakan keluargamu. Satu orang yang berbuat, satu keluarga mendapat cap ‘tak bisa memegang kesetiaan'."
Begitu, pikir Anton. Soal kesetiaankah yang dibicarakan ini? Tetapi, mulut Anton tetap terkunci.
"Saya hanya memikirkan kebahagiaan Erika. Sekarang dan masa datang. Saya percaya bahwa calon suaminya itu akan membahagiakan dia. Jika dia pulang nanti, dia akan memperoleh kedudukan yang baik. Bayangkanlah jika ini terjadi pada adikmu sendiri. Jika dia bertunangan dengan lelaki yang akan menjamin kebahagiaannya, tapi lantaran emosi maka dia memilih lelaki lain yang belum begitu dikenalnya."
Ya, di situlah soalnya, pikir Anton. Jangan bicarakan soal kesetiaan segala macam. Karena aku cuma mahasiswa melarat, karena masa depanku suram sekabur kehidupan yang absurd ini, karena aku tidak bisa memperlihatkan jaminan-jaminan kebahagiaan dalam ukuran masyarakat sekarang: materi, itulah soalnya! Aku cuma mahasiswa dengan kemiskinan masa sekarang, dan perjudian nasib di masa depan!
Anton menarik napas pelahan dan dalam-dalam.
"Bantulah saya," kata ibu Erika. "Bantulah agar Erika tidak kehilangan masa depannya yang telah begitu terjamin."
Anton merasa gelombang panas berputaran di dadanya, menerjangnerjang sehingga uapnya membuat mata perih. Dia mengerjap-ngerjap untuk melunakkan uap itu. Dia manatap bunga-bunga di halaman.
"Erika masih terlalu muda untuk membayangkan masa datang. Dunianya cuma masa sekarang. Sedangkan saya, dengan pengalaman masa lampau saya, saya bisa melihat jauh ke depan. Karena itu, saya lebih rasional dalam menilai setiap persoalan. Saya ingin, andainya saya telah tiada, anak saya yang satu-satunya itu berada di samping suami yang bertanggung jawab dan dapat membahagiakannya. Mengerti maksud saya?"
Sekejab Anton merasakan himpitan nyeri menusuk. T etapi, dia cuma mengangguk. Andainya aku punya sejuta dollar dan dideposito di Bank Amerika, pikirnya, itukah hari depan yang diharapkan untuk keluarga? Andainya aku pandai menjilat dan berhasil masuk ke jenjang pemerintahan sampai punya kedudukan tinggi, itukah jaminan yang dibutuhkan untuk kebahagiaan suami-istri?
Anton menatap bunga.bunga yang mulai samar dalam senja. Yang merah semakin tua, yang hijau semakin biru ditimpa lembayung senja. Langit jingga nampak kelabu di mata Anton.
Erika, Erika, rumahmu indah. Karena itu, kalau kelak kau pindah ke rumah suamimu, haruslah kau merasa masuk ke sebuah istana. Hidupmu sepanjang hari berkecukupan. Karena itu, kalau kau jadi istri kelak, haruslah suamimu punya brankas di rumah.
Anton berjalan dengan tangan di dalam saku. Ketika dulu pertama kali mendatangi rumah Erika, lonceng gereja mengantar kepulangannya, Kini pun dentang-dentang bergaung dari gereja. Senja yang temaram berangsur kelam.
Tak seorang pun tahu kemurungan yang melilit-lilit Anton. Sebab, Anton sengaja menyembunyikannya lewat kegiatan kampus. Dia mempersiapkan karnaval yang akan bergerak dari kampus berkeliling Kota Yogya, dalam rangka hari proklamasi.
Anton berjalan di Malioboro, di sela-sela orang-orang yang menunggu lewatnya karnaval. Pusat kota itu penuh sesak. Inilah hiburan yang paling disenangi masyarakat Yogya: menonton karnaval atau sejenisnya, yang beramai-ramai di sepanjang jalan utama kota itu.
Di Malioboro itu orang terpaksa beradu bahu saking sesaknya. Dan, dari pinggir terdengar suara memanggil, “Hai, Mas Anton!”
Erika dan teman-temannya. Ada Handoko, Lusi, dan entah siapa lagi.
“Sombong ya sekarang? Tak mau datang lagi ke rumah,” kata Erika lagi.
Anton berusaha mencari makna ucapan itu, tetapi tak menemukannya.
Handoko meneliti wajah Anton. Dia heran melihat kebekuan wajah itu. Matanya dingin. Tak seperti biasanya kalau berdekatan dengan gadisgadis.
“Kenapa sih?” lanjut Erika.
Tetapi, suara manja itu malah lebih menikam dada Anton.
“Sehabis karnaval, kita nonton yuk?” kata Erika.
Handoko mengerling Anton. Anton sedang memperhatikan kerumunan orang di depan mereka.
“Lho, kok nggak ada respons?” kata Erika.
Anton melihat salah seorang temannya melintas.
“Maaf, aku pergi dulu,” katanya. Tanpa menunggu jawaban, dia mengejar temannya.
Handoko melengak.
“Kok begitu dia sekarang?” Terbata-bata Erika berucap.
Handoko bertukar pandang dengan Lusi. Erika menatap punggung Anton di celah-celah kerumunan orang di depannya. Dan, Handoko mengangkat bahu.
Wajah Erika menjadi suram.
***
Anton cuma mengiyakan setiap ucapan temannya. Pikirannya masih pada Erika. Ah, gadis Jawa, pikimya. Ramah, sopan, dan bertatakrama. Tapi, siapa yang tahu apa yang ada dalam hatinya! Sombong ya sekarang? Tak mau lagi datang ke rumah. Kenapa sih? Ah, kepura-puraan yang sempurna. Gadis yang ramah, gadis yang suka mengatakan, "Kenapa buru-buru pulang sih?" Padahal di dalam hatinya menggerutu, "Alangkah membosankan orang ini!" Gadis yang diajar oleh ibunya untuk mengatakan kepada setiap tamu, "Sering-sering datang ya?" Padahal harus diterjemahkan, "Kedatanganmu mengganggu kami!" Kesopansantunan yang lebih menggigit.
Anton melangkah dengan hati terbagi. Separo untuk teman berjalannya, separo lagi untuk Erika.
"Dia meminta aku datang. Apakah cuma untuk menerima hinaan dari ibunya?" sungut Anton tanpa suara. "Cuma untuk mendengar cerita betapa bagus kedudukan tunangannya?" Anton membanting puntung rokok ke trotoar.
***
Erika tak punya semangat lagi menyaksikan karnaval. Hatinya hambar. Khususnya, dia tersinggung. Dia telah ramah, tetapi mendapat reaksi yang begitu dingin. Erika tentunya tidak tahu bahwa keramahannya itu justru lebih memukul batin Anton. Soalnya, Erika sungguh-sungguh tak tahu bahwa Anton telah datang ke rumahnya dan bertemu ibunya. Dia tak tahu. Dan, Anton pun tak tahu bahwa Erika belum mengetahui kedatangannya. Dia mengira bahwa keramahan Erika hanyalah pelamis di depan teman-temannya. Ah, komunikasi, alangkah pahitnya kalau salah interpretasi!
***
Kampus selama ini adalah tempat yang menyenangkan. Di sini, kegelisahan-kegelisahan bisa teredakan. Di sini, frustrasi-frustrasi diendapkan. Tetepi, keteduhan di bawah pohon-pohon cemara kini tak mampu menampung keresahan-keresahan yang timbul. Tak mampu meredakan kemurungan Anton. Anton merasa semakin tersingkir, kian merasakan kesendiriannya.
Cuma Bu Yusnita yang layak diingat sekarang. Dan, sore itu mereka hanya berdua di rumah Bu Yusnita. Mereka menyusun hasil-hasil angket mahasiswa dalam sistematika metode riset.
"Bu Nita," kata Anton.
"Hmmm." Bu Yusnita tetap asyik membuat tabulasi.
"Bu Nita mengira Marini pacar saya?"
"Sajak lama saya tahu."
"Dia bukan pacar saya. Sungguh!"
Bu Yusnita mengangkat kepalanya dari kertas-kertas yang sedang ditekuninya.
"Kenapa sih kalau pacarmu?" katanya.
"Kalau bukan, kenapa saya harus mengakuinya?"
"Setiap kau ganti pacar, aku selalu tahu."
"Bagaimana Bu Nita bisa tahu?"
" Aku selalu memperhatikan kau."
"Ha?"
Bu Yusnita sadar telah kelepasan bicara. Pipinya memerah. Dia
kembali meneliti kertas-kertas di hadapannya.
"Kok Bu Nita selalu memperhatikan saya?"
"Karena kau bajingan," kata Bu Yusnita.
Anton berdecak.
"Kalau begitu, kenapa sekarang Bu Nita tak tahu Marini bukan lagi
pacar saya?"
"Putus lagi?"
"Bukan putus. Memang di antara kami tak ada apa-apa."
"Ah, kau memang playboy."
"Dia akan kawin. Dengan Kusno." Bu Yusnita melirik.
"Kau patah hati?"
"Ah, tak tahulah."
Ruangan itu sepi kembali. Anton membuat klasifikasi data riset. Tetapi, pikirannya tak bulat ke pekerjaannya. Wajah Bu Yusnita sesebentar menarik matanya. Maka akhirnya Anton menghenti- kan penyusunan data itu.
"Jadi," katanya, "selama ini Bu Nita memperhatikan saya?" Bu Yusnita menatapnya.
"Karena aku membencimu!" katanya sembari memukul penggaris plastik.
Anton menangkap penggaris itu. Bu Yusnita menariknya. Dengan tangan yang satu lagi, Anton menangkap tangan perempuan itu.
"Ah, lepaskan!"
"Saya malah mencintai Bu Nita."
"Ah, gila kau!"
"Iya, tergila-gila."
Cekalan Anton bertambah kuat. "Lepaskan, Anton!"
Anton malah menariknya lebih kuat sehingga Bu Yusnita terangkat
dan jatuh di dada Anton.
"Jangan, Anton. Ah, lepaskan!"
"Ini sungguh-sungguh! Saya mencintai Bu Nita." Ciuman Anton
singgah di pipi Bu Yusnita. Perempuan itu meronta.
"Jangan ngomong soal cinta," kata Bu Yusnita terengah.
"Kenapa jangan? Ini. kenyataan. Bu Nita mau mengingkari ini?"
Bu Yusnita tetap memberontak dan ingin lepas dari pelukan Anton.
"Sudahlah, Anton. Lepaskan tanganmu ini. Kerja kita tak selesai
nanti."
"Biar! Peduli setan dengan kerja!" Rambut Bu Yusnita bergesekan dengan wajah Anton. Anton membenamkan wajahnya ke dalam rambut
yang legam itu.
"Ah!" keluh perempuan itu.
"Saya mencintai Bu Nita. Kenapa kita harus mengingkari ini?" gumam
Anton.
Bu Yusnita tak meronta lagi. Dia mengusap kepala Anton.
"Kau odipus kompleks," katanya.
Anton mengangkat kepala cepat-cepat. "Kenapa odipus? Saya
mencintai Bu Nita, apa salahnya?" "Karena itulah. Kau mencintai perempuan yang jauh lebih tua
darimu.”
"Siapa bilang Bu Nita tua?"
Bu Yusnita mendorong kepala Anton, dan pelan-pelan berkata,
"Kelihatannya aku tak berbeda dengan teman-teman mahasiswimu. Tapi, kau tahu berapa usiaku?"
Anton diam.
"Dan kau, berapa usiamu, Anton?" Anton tak menjawab.
Bu Yusnita memegang mukanya dan bertanya lagi, "Berapa, Anton?"
"Dua lima," kata Anton kemudian.
"Nah, aku sudah tiga dua."
"Kenapa harus dipersoalkan itu? Ketika Elizabeth Taylor kawin dengan Eddie Fisher….. "
"Kita bukan bintang film, Anton." Bu Yusnita memutus.
"Tapi kalau saling mencinta?"
"Kau sudah belajar psikologi. Seharusnya kau tahu bahwa cinta di antara orang-orang yang usianya jauh berbeda, merupakan kelainan jiwa."
Anton terdiam. Tetapi, tetap dirasakannya tangan Bu Yusnita mengelus-elus rambutnya.
"Mungkin aku memang mencintai kau, Anton," kata Bu Yusnita pelahan. "Bagiku, kau seperti orang yang muncul dari masa lalu yang tak sempat kukecap. Tapi, aku tak mungkin mengembangkan perasaan ini. Sekalipun aku tetap akan berterima kasih padamu sebab kau telah menghidupkan gairah-gairah untuk hidup. Kau telah mencairkan kebekuan yang membalutku selama ini." Bu Yusnita mendekatkan muka Anton sehingga pipi mereka bersentuhan. "Baiklah, kuberi tahu kenapa diamdiam aku selalu memperhatikanmu. Kau kulihat sebagai mahasiswa ideal yang kuimpikan sejak aku kuliah. Kau brilian dalam studi, tapi tetap hangat sebagai lelaki. Kau tidak dingin karena buku-buku di perpustakaan. Aku membenci keliaranmu bercinta, tetapi dalam hati aku mengagumimu. Kehidupanmu hangat dan otakmu cemerlang. Itulah nilai lelaki yang kurindukan untuk datang dalam hi dupku. Tetapi, aku ternyata tak memperolehnya. Buku, cinta, dan pesta adalah kehangatan masa muda di kampus yang kuimpikan. Dan, aku tak bisa menemukan ketiganya dalam diri lelaki yang kukenal di masa mudaku. Ada yang memeluk bukunya, tetapi lupa pada dua lainnya. Ada yang rajin bercinta, tetapi berotak keledai. Ada yang suka pesta, tetapi mengantuk pada waktu kuliah."
Anton merasakan debur-debur jantung Bu Yusnita yang rapat ke dadanya.
"Kutemukan kau setelah masa laluku berlalu. Aku mencintaimu, tetapi dalam bentuk cinta yang platonis. Cinta yang muluk yang tak mungkin dicapai dalam kenyataan. Sebab, untuk mencintaimu, aku harus memindahkan diriku ke masa lalu. Padahal itu tak mungkin bertahan." Bu Yusnita merenungi mata Anton.
Lama mereka cuma bertatapan. Lalu, "Ciumlah aku, Anton," desah perempuan itu.
Anton merangkulnya.
"Ciumlah untuk masa lalu," kata Bu Yusnita. Matanya mengaca.
"Dan, kita hidup di masa sekarang. 'Kan begitu, Anton?" Suaranya lunak.
Tanpa sadar Anton mengangguk.
"Aku menyesal karena telah menghambat studimu. Kau mau memaafkan aku, Anton?"
Jawaban Anton adalah ciuman.
"Sudahlah, Anton, kau sudah tahu seluruhnya. Kau sudah tahu aku mencintaimu, tapi tak mungkin kuteruskan. Kita harus berhenti, dan aku harus mulai berpikir: dunia hari ini adalah hari ini."
"Bagaimanapun saya mencintai Bu Nita. Bu Nita tidak serupa dengan gadis-gadis yang pernah saya kenal. Saya takut padamu, tetapi ingin mencumbumu. Saya takut pada kemarahanmu, tetapi saya ingin membujukmu kalau merajuk. Saya merasa tak berharga kalau berhadapan denganmu, tetapi saya merasa sanggup menaklukkanmu. Sebab, ada cinta.”
"Janganlah, Anton. Jangan."
***
Di perpustakaan Anton asyik membaca. Dan, dia tersentak ketika kursi di depannya berderit. Seseorang duduk. Anton tetap membaca.
"Mas Anton," Erika duduk di depan Anton. Matanya yang seperti bintang menghunjam ke mata Anton, Ah, mata yang galak, mata yang cemerlang,
Anton meletakkan bukunya. "Saya sudah mengerti kenapa Mas Anton waktu ketemu di Malioboro tempo hari begitu dingin. Mama sudah cerita bahwa Mas Anton datang ke rumah waktu saya sedang tak ada,"
Anton masih menunggu suara yang akan keluar dari bibir mungil itu, tetapi Erika terdiam.
"Ya, aku datang waktu kau tidak ada di rumah,"
“Apa cerita Mama?”
"Tak apa-apa,"
"Mesti ada,"
Anton diam.
"Tentunya ada ucapan Mama yang menyinggung perasaan Mas Anton,"
"Ah, tidak,"
Erika termangu. Dia tahu bahwa perasaan pemuda gondrong ini tidaklah sekasar tingkahnya yang liar. Hatinya kelewat peka. Pemuda ini matanya mengaca ketika menceritakan orang-orang yang digiring ke Siberia. Pemuda ini dapat menangkap kecamuk perasaan Dr. Zhivago-nya Pasternak di tengah-tengah kegalauan lingkungannya.
"Bilanglah kalau ada ucapan Mama yang menyinggung perasaanmu.
"Tidak. Sungguh!"
"Lalu, kenapa Mas Anton berubah?"
"Aku berubah? Bagaimana aku yang dulu?"
"Dulu Mas Anton mau ngomong-ngomong."
"Sekarang pikiranku sarat dengan rencana riset untuk skripsiku."
"Masa sampai menyita seluruh waktu?" Anton diam.
"Saya kepingin ngomong-ngomong kayak dulu. Tentang buku-buku. Oh, ya, saya baru saja baca iklan Gramedia di KOMPAS. Ada novel-novel baru. Mungkin sudah dijual di Gunung Agung. Mas Anton sudah lihat?"
Anton menggeleng.
"Saya punya plat baru. Rekaman Orkestra Wira."
Anton mengeluh dalam hati. Alangkah kekanak-kanakan gadis ini. Semurni bunga lily yang baru mekar.
"Betul-betul tidak karena tersinggung makanya Mas Anton tak mau ngomong-ngomong? Betul-betul cuma karena sibuk?" Bola mala Erika yang hitam jernih menatap tajam.
Anton mengangguk.
Erika menarik napas dalam-dalam.
"Kalau Mas Anton tak mau ke rumah, kita toh bisa bertemu di sini."
Anton tak menjawab.
"Ayolah kita jalan-jalan," kala gadis itu.
"Ke mana?"
"Ke Malioboro kek. Atau di bawah pohon-pohon cemara itu? Kita ngomong-ngomong saja."
Mereka keluar dari perpustakaan. Mereka menyusuri jalan-jalan yang dijajari pohon cemara.
"Lama ya kita tak ngobrol? Lamaaa sekali," kata Erika.
"Sekarang ngobrol lah."
"Ah!” Erika merentakkan tangan Anton.
Anton melepaskan pegangannya, tetapi tangan Erika kembali mencekalnya. Anton tersenyum, dan Erika tersenyum.
Alangkah anehnya, pikir gadis itu. Baru seminggu dia kukenal, tetapi rasanya dia dekat sekali dalam hidupku.
"Saya sudah pernah menceritakan tentang kakak saya?" tanya gadis itu.
"Belum."
"Tiba-tiba saja, belakangan ini saya rindu padanya."
"Kakak yang di Jerman?"
"Ah!" Erika berhenti melangkah. Anton tetap menunduk sambil melangkah. Erika mengejarnya.
"Kakak saya satu-satunya. Dia hilang di Irian Barat."
"Kayak suami Megawati."
"Ya."
"Wah, dia pahlawan."
"Saya tak butuh pahlawan. Saya cuma butuh kakak saya." Erika menekuri aspal yang akan dipijaknya. "Selisih umur kami lima tahun," katanya lagi."Waktu saya kecil, dia mau menemani saya main bonekabonekaan. Padahal dia sendiri senang main layang-layang. Dia betah mendengarkan omongan saya tentang boneka, tentang pengalaman saya main jual-jualan dengan anak tetangga, tentang bunga. Tapi, dia juga tak segan me-nyelentik kuping saya kalau saya bermain-main di tanah becek. Waktu saya masuk SMA, dia sudah di AKABRI." Mata Erika merenung ke kejauhan. "Dia baik sekali."
"Setiap kakak baik kepada adiknya."
"Tapi, dia lebih lagi. Dia gagah, tapi lembut. Dia pemarah tapi juga
pembujuk. Andainya dia bukan kakak saya, pasti jadi pacar saya." "Bagaimana dengan yang di Jerman?" Erika mengerling, tetapi wajah Anton tetap setawar semula. Erika
merasa cincin yang kini dipasang di jarinya demi memenuhi perintah
ibunya terasa lebih sempit dari biasanya. "Kok tahu?" "Semua orang tahu." “Soal dia, no comment.”. Mereka terus melangkah pelahan. Akhirnya mereka sampai di
bundaran yang menjadi gerbang Kampus Gadjah Mada. "Masih mau dengar tentang kakak saya?" "Ya." "Waktu di AKABRI, sekali seminggu datang. Tapi, dia tak punya
tempo lagi untuk saya. Dia asyik pacaran. Diam-diam saya membenci
pacarnya itu.” "Sekarang pun masih benci?" "Terang tidak dong. Setelah saya lebih dewasa, saya menyukai gadis
itu. Saya kagum akan pilihan kakak saya. Gadis itu sangat baik. Dan, cantik. Sampai sekarang dia belum kawin." Erika menghentikan langkahnya. "Mau mengenalnya?" tanyanya.
"Tidak."
"Dia cantik."
Anton cuma tertawa.
"Seperti kau?" katanya.
"Lebih. Pokoknya kalau sudah lihat, pasti tertarik.”
"Ah, kau kayak detailman obat."
"Ini sungguh-sungguh."
Anton tak menjawab.
"Kalau mau, sore ini juga kita ke rumahnya. Oke?"
"Tidak."
"Rumahnya dekat dari sini," desak Erika.
"Tidak."
"Kenapa?"
“Aku sibuk.”
"Alaaa, sombongnya. Kalau sudah mengenalnya, saya jamin Mas
Anton akan sering ke rumahnya.” "Kenapa sih kau begitu getol mempromosikannya?" "Sebab, dia cantik dan baik sekali." "Kalau dia cantik dan baik sekali, pasti banyak lelaki yang
menginginkannya." "Tapi, belum tentu dia mau." "Lalu, kaukira, andainya aku yang datang apakah dia akan mau?" "Saya yakin dia mau." "Sebab?" "Sebab... sebab... sebab kau seperti kakak saya." " Ah, omong kosong!" kata Anton. "Saya senang kalau Mas Anton sama dia." Erika tak peduli.
Anton tersenyum.
"Sebentar lagi kita lewati."
Di depan sebuah rumah, Erika memperlambat langkah.
"Nah, itu dia," katanya.
Seorang gadis sedang menyiram bunga di halaman.
"Mbak!" seru Erika.
Gadis itu meletakkan cerek penyiram tanaman, dan menoleh.
"Eh, Ika!" Gadis itu menghambur ke pintu pagar.
Erika berbisik ke telinga Anton, "Kan betul kataku ?"
Anton terpana menatap gadis itu. Bukan main, bukan main. Dia adalah anggrek hutan yang belum terjamah. Halus dan suci. Bibirnya yang mengulum senyum itu, diimbangi oleh matanya yang seperti mata kelinci.
"Ayo, Ika, masuk." Gadis itu mengangguk kepada Anton.
Erika menoleh kepada. Anton. Anton menggeleng.
"Kami cuma kebetulan lewat. Dari kampus," kata Erika.
"Ayo to, mampir dulu," rengek gadis itu.
"Hampir Maghrib, " ujar Anton.
"Kami terus saja," kata Erika.
"Lain kali kalau tak mau mampir, kujewer kau, Ika," kata gadis itu.
Erika tertawa cekikikan. Mereka kembali melangkah.
"Cantik, 'kan?" kata Erika.
" Excellent."
"Kenapa tak menanyakan namanya?"
"Aku curiga. Promosimu berlebihan."
"Alaaa, kura-kura dalam perahu. Pura-pura tidak mau. Padahal nanti
diam-diam datang bertamu.”
***
Sebagaimana biasanya, Anton separo berlari menaiki tangga menuju fakultasnya. Tangga yang berbelok melengkung itu telah dikenalinya seperti telapak tangannya sendiri. Maka setelah undakan yang kesekian, dia tahu sudah sampaikah dia.
Baru sebagian undakan yang diinjaknya, Marini menghadang.
"Hello."
Marini membalas dengan senyum.
"Tambah cantik saja kau," kata Anton. Wajah Marini berseri.
"Lamo indak basuo, piye kabare, Upik?" lanjut Anton.
"Seperti yang kaulihat," jawab Marini.
"Seperti yang kulihat, kecuali cantik" tak ada yang berubah." Anton tak jadi naik. Dia mengiringkan langkah Marini begitu gadis itu menarik tangannya.
"Aku barusan dapat surat dari Padang," kata Marini.
"Bagaimana kata orang tuamu?"
"Semua lancar."
"Good."
"Terima kasih untuk surat yang kaukirirn pada abangku di Bandung,"
kata Marini. "Ah, tak ada yang patut diterimakasihkan. Kebetulan aku
mengenalnya. Itu saja." "Berkat bantuanmu maka orang tuaku menyetujui perkawinan ini." "Lho, apa masih ada adat macam Siti Nurbaya di sana?" "Maklumlah, Kusno tak mereka kenal. Lagi pula, Kusno orang sini.
Jadi, patut rnereka ragu-ragu. Tapi, karena kau menulis yang baik-baik tentang Kusno pada abangku di Bandung, dia jadi pendukung perkawinan kami."
“Hmmm, lumayan juga.”
"Kusno sangat berterima kasih. Sayang dia belum ketemu kau. Dia
sedang pulang ke rumah orang tuanya.” "Kapan dilangsungkan?" tanya Anton.. "Selekasnya. Menunggu orang tuaku. Kau harus datang, Anton.
Harus!" "Datang sih gampang. Tapi, ada syaratnya." "Apa?" "Kalau anakmu lahir, dia harus menyebutku 'Mamak'." Marini mengikik. "Bagaimana bayi bisa ngomong?" katanya. "Kalau sudah gede tentunya. Dia harus menyebutku: Mamak Anton
Rorimpandey. Hmmm, lumayan." “Beres.”
"Eh, begitu yakinnya? Apa sudah dititipi Kusno?"
"Bajingan!" Marini memukul punggung Anton. Tetapi, sebelum terkena pukulan, Anton sudah mengelak dan berlari. Dia cuma meninggalkan tawanya yang keras.
Marini menghela napas sebelum kemudian tersenyum. Anton masuk ke ruang kerja Bu Yusnita. Dosen itu masih menyelesaikan hasil-hasil riset
yang mereka laksanakan tempo hari.
"Lama tak nongol. Ke mana saja kau?" sambut Bu Yusnita.
"Baru empat hari bolos, sudah dibilang lama."
"Iya, tapi kerja bertumpuk ini."
Anton membuka map-map dan mulai bekerja. Bu Yusnita mengangkat
berkas-berkas kertasnya dan pindah duduk di samping Anton.
"Anton," katanya berbisik, "aku sudah memutuskan," lanjutnya.
Anton menoleh cepat. Bu Yusnita memainkan fulpennya yang tertutup
di pipi Anton. Menggores-gores.
"Aku akan menikah dengan Pak Gunawan," kata Bu Yusnita.
Anton termangu. Bu Yusnita melihat kekosong an di mata pemuda itu.
"Bagaimana pendapatmu?"
"Pendapat saya?" kata Anton terpatah-patah. "Apa yang saya bilang?"
"Kau banyak membaca buku-buku. Pengetahuanmu luas, otakmu
cerdas. Sekarang, bagaimana pendapatmu untuk keputusanku ini?"
Anton terdiam. Lama. Cuma suara helaan napas mereka yang terdengar di ruangan itu. Bu Yusnita memperhatikan mata pemuda itu. Mata yang termangu. Hidungnya, dagunya, bibirnya menunjukkan kekukuhan. Maka Bu Yusnita menarik napas.
Pelan-pelan Anton mengalihkan ketermanguannya, dan memandang lurus ke mata Bu Yusnita.
"Saya kira memang keputusan yang tepat buat Bu Nita. Walaupun mungkin tidak tepat untuk saya. Tetapi, soalnya yang memilih Bu Nita, bukan saya."
Bu Yusnita merekam suara yang murung itu diam-diam.
"Ya, lebih baik keluar dari mimpi untuk hidup dalam relita. Seindahindahnya mimpi, akan lebih baik realita bagaimanapun buruknya."
"Ya," desah Bu Yusnita.
"Dan, realita yang Bu Nita pilih bukanlah buruk. Itu juga bisa indah nantinya. Tergantung bagaimana Bu Nita menikmatinya."
"Ya." Berdesah lagi bibir perempuan itu.
"Apa yang kurang pada Pak Gunawan? Tak ada. Kecuali masa lalunya yang tak berkenan dihati Bu Nita. Padahal pernikahan toh untuk sekarang dan kelak, bukan untuk masa lalu."
Bu Yusnita tak bersuara. Cuma matanya lekat ke bibir yang telah dikenalnya itu. Bibir yang berani menyeruak menerkam bibirnya.
"Tapi," pelan sekali suara Bu Yusnita, "apakan kami tidak terlalu tua ?"
"Ah, Bu Nita! Untuk memulai, 'kan tak ada perkataan terlalu tua?"
Kerut-merut di kening Bu Yusnita semakin samar. Kemudian wajahnya kembali cerah.
"Terima kasih, Anton. Terima kasih." Tangannya menekap tangan Anton.
untuk beberapa saat mereka diam. Kemudian Bu Yusnita memecah kebisuan dengan tawa halus.
"Lucu sekali. Aku cuma berani mencari kepastian dari kau, Anton. Cuma kau. Aku tak punya tempat bertukar pikiran. Seluruh persoalanku selama ini kupikirkan dan kupecahkan sendiri. Tapi, untuk soal ini aku memang sungguh-sungguh merasakan arti pentingmu."
"Kapan pun saya selalu siap membantu Bu Nita”
***
Anton merenungi rerumputan yang dilaluinya. Di sekelilingnya berseliweran mahasiswi. Bau parfum mereka terhambur dibawa angin. Tetapi, Anton tak memperhatikan. Dia berjalan tanpa tujuan di lingkungan kampus itu.
Hatinya kosong. Apakah yang tersisa dari kegembiraan masa lalu? Kecuali kenangan, tak ada lainnya. Satu per satu perempuan yang digaulinya menemukan kebahagiaan. Berarti, kebahagiaan bersamanya waktu itu tak ada artinya lagi. Cuma pengisi kekosongan. Sebab, gadisgadis itu toh mencari dan menemukan kebahagiaan dengan lelaki yang menjadi suami mereka. Berarti, Anton hanyalah gelembung sabun yang melintas. Berarti, Anton akan lenyap dalam lintasan waktu. Sebab, setiap gadis menemukan telaganya, dan melabuhkan dirinya di situ.
Tanpa sadar, Anton menjejerkan gadis-gadis yang pernah digaulinya. Paula, menikah dengan dokter: mewah! Dewi, bersama manajer bank asing: luks! Una, di samping pegawai tinggi Pertamina: senang! Wredaningsih, dengan suami yang bisa menghadiahi Toyota Corolla. Susan, mengikuti suami di Amerika Serikat. Dan, siapa lagi, dan siapa lagi?
Ah, apakah arti Anton Rorimpandey, mahasiswa yang kabur masa depannya? Cumbuan-cumbuan di kampus ini hanya merupakan selingan dalam hidup yang ceria, tetapi tidak abadi. Sebab, di kampus hanya mungkin pacaran, bercumbu, ajuk-mengajuk: jangan melihat realita. Sekali menatap realita, Anton pun tak ada lagi artinya. Dia menjadi pemuda yang tak tahu ke mana harus pergi, dan apa yang harus diberikannya untuk menghidupi istri.
Kampus adalah dunia mimpi. Semua orang menatap dengan mata terpejam. Begitu terbangun dari mimpi, akan mendapatkan dirinya terdampar pada realita kepahitan demi kepahitan. Segala teori yang indah, sejuta filsafat hidup yang bagus, tak akan bisa bertarung dengan koneksiisme, sogok, suap, korupsi, dan sejenisnya.
Maka gadis-gadis yang pernah dicumbu Anton di kampus ini harus mencari lelaki yang siap menerima mereka di dalam realita. Menunggu Anton sama halnya menunggu kereta yang tak tahu berangkat jam berapa. Bahkan tak tahu berangkat atau tidak. Bercinta dengan Anton sama halnya membeli perkutut dalam sarang terbungkus. Geleparnya memang membuktikan gairah dan semangatnya, tetapi akan manggung dengan baikkah nanti?
Maka benarlah perasaan ibu Erika. Sejatilah keibuan perempuan itu. Dia tidak suka memperjudikan nasib anaknya sementara kemungkinan baik teiah dipunyainya selama ini.
Jadi, apakah arti cinta yang sebenarnya? Hanya sebagai kekuatan dalam novel-novel dan cerita pengarang-pengarang pemimpikah?
Cintakah namanya tali yang menghubungkan Anton tatkala pacaran dengan Marini? Tak tahu. Toh cinta di situ cuma kekuatan yang mendorong ke arah perkawinan.
Lalu Bu Yusnita! Ah, perempuan itu menempati ruang tersendiri dalam hati Anton.
Dan, Erika! Ah, gadis itu tak tahu akan dikategorikan ke mana. Dia tak bisa dijejerkan dengan gadis-gadis yang pernah dikenal Anton. Gadisgadis itu bercinta dengan Anton sebelum Anton takut memperlama hubungan. Begitu saja. Wajar. Tetapi, dengan Erika, hubungan tak sempat berkembang sebab telah dirontokkan oleh kesadaran terhadap realita. Realita bahwa nilai yang ada pada diri Anton sama sekali tak ada artinya, bahwa nilai yang diperlukan adalah jaminan kesejahteraan keluarga, bahwa nilai yang ada dalam diri manusia tak lagi diperlukan sebab yang dibutuhkan adalah nilai yang terlihat dan terasakan dalam kehidupan rill ekonomis. Ah, Erika yang begitu lembut, gadis yang bergairah membaca novel-novel kesusasteraan besar, gadis yang hidup di tengah keluarga yang tidak mempedulikan nuansa-nuansa manusiawi! Ah!
Gadis itu mendatangi Anton dari depan.. Tatkala matanya menangkap sosok Anton, dia mempercepat langkahnya. Wajahnya yang biasa berseri itu kini kusut.
"Mas Anton!" Erika berdiri dua langkah di hadapan Anton. Sepatu gadis itu menggurat-gurat tanah, mulutnya terkunci.
"Ada apa?" Suara Anton datar.
"Saya tadi mencari Mas Anton di fakultas." Erika terbata-bata. "Ketemu Handoko, dan dia bilang Mas Anton sering kemari. ltulah kenapa saya ke sini."
"Oh, ya?" Anton menaksir-naksir.
Erika menggigit-gigit bibirnya. Banyak yang ingin diucapkannya, tetapi terbentur pada dinginnya tatapan mata Anton.
"Mas Anton," kata gadis itu setelah memenuhi dadanya dengan udara, "kapan ke rumah lagi?"
Anton mengernyitkan kening. Erika tak tahan di bawah tatap mata yang dingin menyelidik itu. Lalu dia berbalik dan pergi.
"Apa sih maunya?" kata hati Anton. "Dia menyuruhku datang, padahal ibunya begitu memandang rendah diriku. Andaikan dia mengajak jalanjalan, masih bisa dipertimbangkan. Cuma, untuk datang ke rumahnya? Wow!"
Anton menendang pucuk gerumbul bunga. Daun dan bunga-bunga bertebaran. Dengan sisi tangannya, dia memarang gerumbul semak itu. Daun dan bunga beserpihan. Lalu dia mengayun langkah. Ke selatan. Melewati Fakultas Sastra. Ah, kenapa tidak singgah dulu ke sini? Fakultas ini banyak menyimpan gadis cantik. Pura-pura ngobrol soal kesusasteraan bisa menikmati wajah-wajah cantik.
Lalu, dia masuk ke fakultas itu. Nah, itu Mochtar Pabottinggi, Peter Hagul, Anhar Gonggong. Tetapi, sayang di antara ketiga orang ini tak ada yang agak liar. Sulit diajak kongko soal cewek.
Ah, kenapa aku harus memusingkan ketiga mahasiswa kutu buku itu! Anton melihat gadis yang punya senyum selembut bayi. Bekas pacar kakak Erika. Hmmm, Mochtar tentunya punya informasi tentang gadis ini.
Namanya Widyasari. Mahasiswi fakultas ini, tetapi beberapa lama ini tak aktif. Konon lantaran tunangannya gugur dalam menjalankan tugas negara. Hampir dua tahun dia meninggalkan kuliahnya. Baru sekarang back to campus.
"Kau ada niat?" tanya Mochtar.
"Hmmm." Mata Anton masih menerawang ke gadis itu.
"Kalau ada niat, kau harus segigih anak-anak Mapala-UI," kata Peter.
"Kenapa?"
"Dia sedingin es di Puncak Cartenz. Untuk menaklukkannya
memerlukan ketangguhan seorang pendaki gunung kaliber Mount Everest." "Tapi, dia seindah Gunung Fujiyama," kata Anton. "Yang penting, ada paduan Venus dan Dewi Sri di matanya," kata
Anton. Dan, dia mendekati gadis yang telah keluar dari halaman fakultas itu.
Sebelum tiba di aspal, Anton telah menjejeri gadis itu. "Hello," katanya. Widyasari menatapnya. Mata yang terpentang itu, aduhai indah.
Kayak terlihat getaran bulu-bulu matanya. Gadis itu berpikir sejenak. "Selamat kembali ke kampus," kata Anton. "Oh." "Maaf, barangkali lupa padaku? Aku pernah lewat dengan Erika,
waktu Anda merawat bunga-bunga di halaman." "Ooo." Gadis itu tersenyum. "Musim kemarau panjang begini, bagaimana bunga-bunganya?" "Wah, repot," kata gadis itu. "Banyak yang layu.” "Tapi, ada pohon pelindung."
“Ya.”
Lalu mereka bicara soal bunga. Anton bersyukur sebab selama ini dia sering membaca tulisan- tulisan Slametsuseno di Intisari, soal mengurus tanaman dan semacamnya.
Mereka berjalan terus hingga sepanjang jalan berhamburan nama bunga dan teknik persilangan untuk memperoleh jenis dan warna bunga yang cantik.
Gadis itu merasa jarak perjalanan ke rumahnya lebih pendek. Senyumnya kian mengorak, seperti senyum untuk orang yang sudah lama dikenalnya, ketika Anton berkata, "Ada temanku yang punya jenis anggrek hasil persilangan. Kalau suka anggrek, akan aku bawakan."
Mata gadis itu tambah cemerlang.
Itulah permulaannya.
Ketika kembali berjalan di bawah teriknya matahari, tanpa sadar Anton bersiul We Shall Over Come. Tetapi, baru dua kali siulan, Anton menghentikan langkah. Dia menatap berkeliling. Takut kalau ada intel di dekatnya. Kokamtib tidak suka mendengar lagu itu didendangkan. Padahal sesungguhnya Anton menujukan lagu itu untuk Widyasari yang sedang menggelinding-gelinding dalam hatinya.
***
Hari demi hari Anton sibuk menggarap penyusunan skripsinya. Kadang-kadang mendatangi rumah Widyasari. Maka dia pun bisa melupakan kemurungan-kemurungannya. Teori-teori yang memusingkan kepala bertarung dengan wajah cantik yang bersenyum bukan main. Sintesanya adalah kesegaran dalam hari-hari yang indah!
Dan, pagi itu Anton terbenam di kamarnya yang jendelanya dinaungi pohon sawo. Dia mendengar suara mobil memasuki halaman rumah pondokannya. Tak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk dan pemilik rumah memanggilnya, "Nak Anton, ada tamu."
Anton keluar, ke ruang tamu. Jantungnya menyentak. Apa-apaan ini? Ibu Erika, sendirian, di ruangan itu.
"Nak Anton, maaf saya mengganggu. Alamatmu Ibu dapatkan dari Handoko."
"Oh, ya?"
Sesaat perempuan tua itu diam. Anton menatap keluar. Bingung.
"Saya menyesal telah menyinggung perasaan Nak Anton sewaktu datang tempo hari. Saya tidak bermaksud menyakiti hati Nak Anton. Sungguh. Sebagai orang tua, saya hanya memikirkan kebahagiaan Erika. Dan, saya tak terlepas dari kesalahan-kesalahan. Saya sadar bahwa tidak setiap pendapat dan keputusan saya benar."
Anton mengaruk-garuk kepalanya.
"Jadi, saya berharap Nak Anton mau melupakan ucapan saya tempo
hari."
"O, saya sudah lama melupakan itu," kata Anton hambar.
"Terima kasih, Nak Anton. Datanglah ke rumah."
"Ya, kalau sempat."
"Erika menunggu."
Kening Anton berkerut tujuh.
"Teleponlah ke rumah. Tahu nomor telepon di rumah ?"
Anton diam. Perempuan tua itu membuka tasnya.
"Ini kartu nama papa Erika. Teleponlah, Erika di rumah."
Anton masih dicekam kebingungan ketika mengan tar perempuan itu ke mobilnya. Dan, tetap mematung saat sapir mobil Mercedez 350 itu menekan gas dan mobil menjauhi rumah. Anton menatap kartu nama di tangannya berkali-kali. Dia membaca angka-angka di kartu itu.
Dia tak tahan dicekam kebingungan. Hampir berlari dia ke rumah tetangga meminjam pesawat telepon. Dia menghubungi Handoko.
"Ceritakan kenapa ibu Erika datang ke rumahku!" katanya.
"Mereka terpikat sama kau." Suara Handoko renyah.
"Jangan ketawa! Apa maksudnya sebenarnya!?"
"Ingin memungut kau jadi menantu."
"Bajingan! Jangan main-main kau. kuremukkan nanti rusak kau!"
Handoko menerima kemarahan lewat kabel itu. "Tenanglah, Anton. Sedang ada perubahan angin.”
"Ini membikin kepalaku hampir pecah. Aku betul-betul tak mengerti.
Dia sudah menghinaku dengan membangga-banggakan calon menantunya yang kandidat doktor itu. Sekarang dia menyuruhku datang. Apa-apaan itu?"
"Nah, itulah soalnya. Kandidat Doktor itu tak bisa diharapkan lagi. Memang bajingan anak pamanku itu. Diam-diam makan tahi. Baru beberapa hari yang lalu kami tahu bahwa dia kawin dengan gadis Jerman."
"Bah!" Anton melepaskan napas berat.
"Dia anak pamanku, tetapi sungguh membuatku membencinya."
Seketika keduanya diam.
"Hello, kau masih di situ, Anton?"
"Ya."
"Hatimu lega sekarang? Jalan sudah terbuka lapang."
"Terbuka? Fui! Terkutuklah kalian semua!"
"Eh, lho, kenapa?"
"Setelah lelaki itu tak bisa diharap, baru aku ada harga di mata
mereka? Aku cuma calak-calak ganti asah!" "Tapi, Erika mencintai kau." "Taik cinta! Aku cuma ban serep yang harganya lebih murah dari ban
Mercedeznya." Krak! Anton. meletakkan gagang pesawat. Dia kembali ke rumahnya.
Hatinya sakit. Perih. Mual. Dan, semacamnya. Belum lama Anton duduk, Handoko memasuki halaman rumahnya. Dan, Handoko masuk ke dalam. "Kenapa sih marah?" tanyanya. Anton membeku. "Dulu kau mengejar-ngejar gadis itu." "Dulu!" kata Anton tawar. "Lalu, sekarang?"
"Ketika dulu ibunya menghinaku dangan memuji-muji calon doktor teknologi itu, aku bisa memakluminya. Karena aku sadar, aku cuma mahasiswa. Tapi, sekarang setelah calon doktor itu membatalkan pertunangannya, kebaikan ibu itu bukan lagi kebaikan. Itu tikaman yang sangat nyeri ke hatiku. Apakah dia mengira lantaran aku miskin lantas bisa dibelinya? Apakah dengan menunjukkan Mercedez 350-nya dia mengira aku akan merangkak ke rumahnya? Terkutuklah kekayaan mereka!"
"Kalau kau mencintai. Erika?"
"Mungkin aku mencintai gadis itu. Tapi, kalau aku diperlakukan sebagai barang yang bisa dibeli, persetanlah cinta! Setelah dia mengecewakan anak gadisnya karena mempertunangkan dengan lelaki yang tak setia, dia seenaknya ingin mengganti dengan lelaki lain. Kalau perlu membeli lelaki itu. Lebih baik dia membeli lelaki lain. Bukan aku!"
"Kukira bukan begitu maksud ibu itu," kata Handoko pelan.
"Cinta bisa dibeli di zaman ini. Makanya mereka mengira bisa membeli diriku. Coba, lihat ini!" Anton melemparkan kartu nama yang ditinggalkan ibu Erika.
Handoko kaget.
"Kenapa dia memberikan kartu nama itu? Pasti karena beberapa PT raksasa yang di Jakarta yang tertulis di situ. Pasti dia mengira nama papa Erika yang tercantum di situ sebagai presiden direktur dapat membuat mataku jadi hijau dan aku akan merangkak ke rumahnya agar diangkat jadi menantu. Bah! Alangkah menghinanya!"
Handoko membisu. Mata Anton panas. Bibirnya gemetar lantaran menahan ledakan-ledakan di dadanya.
"Orang tuaku memang tidak kaya di Manado sana," katanya. "Tapi, minimal kami sekeluarga diajarkan untuk punya harga diri."
Untuk beberapa saat mereka terdiam. Handoko menimang-nimang kartu nama yang di tangannya.
"Apa dia bilang, waktu memberikan kartu ini?" ujarnya.
"Ya? Katanya agar aku menelepon anaknya pada nomor yang ada di kartu itu."
"Mungkin dia jujur ."
"Ah, itu cuma alasan. Dia cuma mau menunjukkan betapa besar PT milik mereka. Kalau nomor telepon, dia bisa saja memberi tahu langsung. Tak perlu kartu segala macam. Dan, dia tak perlu datang dengan Mercedez 350-nya itu."
"Soalnya, beberapa hari ini Erika berkurung terus di rumahnya.
Terakhir keluar waktu mencari kau di fakultas. Cuma, ketika itu aku belum tahu kabar dari Jerman. Mungkin dia ingin menyampaikannya pada kau. Ada ketemu kalian?"
Anton tak menjawab.
"Dia mencintaimu, Anton.”
"Sudahlah, Koko. Jangan lagi bicarakan itu. Itu cuma mengingatkanku
pada keluarganya. Lama-lama aku bisa jadi marxis, karena aku membenci orang-orang kaya.” "Dia gadis yang lembut. Dia perasa." "Ah!" Anton menggaruk dagunya kuat-kuat.
"Kenapa kau datang ke rumahnya hingga dia kenai kau? Kenapa kau mengikatnya, dengan pembicaraan-pembicaraanmu? Kenapa kau membawanya menonton. Kenapa kau…..?”
"Itu dulu!" Anton memutus.
"Tapi, bersisa dalam hatinya."
"Persetan!"
"Kalau kau tak muncul dalam hidupnya, biarpun putus dengan Usman,
dia tak akan apa-apa. Hubungan mereka memang hambar. Dia bisa memulai lagi dari awal dengan lelaki lain. Memulai dengan hati yang siap diisi. Tapi, lantaran ada kau, dan kau menyepelekannya, dia mengalami pukulan beruntun dua kali. "
"Kubilang, tak usah membicarakan dia!"
"Kenapa tidak? Waktu mau datang ke rumahnya, kau menanyakannya
padaku." "Tapi, ketika itu kau berlepas tangan." "Sekarang aku tak bisa berlepas tangan. Dia kuanggap sebagai adiku.
" "Lantas, mau kau?" "Kau harus ke rumahnya!" Anton tertawa pahit. "Seberapakah kekuasaanmu, Koko, sampai bisa memaksaku?
Kokamtib pun memerintahku, tidak akan kuturuti." Dan, di kepala Anton berkelebat bayangan Widyasari. Juga kehalusan wajah gadis itu ketika mereka berdua berdiri rapat memperhatikan anggrek-anggrek yang bergantungan di belakang rumahnya.
"Bagaimanapun kau harus ke rumahnya. Atau kau harus musnah dari kenangannya?"
"Eh, gila! Soal kenangan itu urusan dia sendiri. Dia boleh menghapuskannya dengan atau tanpa izinku."
"Kau akan berhadapan denganku kalau sampai terjadi apa-apa atas dirinya."
"Bah! Apa yang bisa kaulakukan padaku? Duel? Ah, kita sama-sama latihan karate, Koko. Aku sudah Dan satu, dan kau baru ban coklat."
Handoko berdiri.
"Kita tidak akan berkelahi, Anton. Kau hanya akan berkelahi dengan hatimu sendiri. Sebab, hatimu tahu bahwa di sana ada gadis yang kaubuat mencintai kau, tapi kemudian kausia-siakan. Gadis yang belum pernah mengenal kepahitan dunia." Handoko keluar.
Anton menyandarkan punggungnya ke kursi, dan bergumam, "Soalnya bukan cinta atau hati, tapi soal orang tuanya telah mengira bisa membeli diriku untuk pengganti calon doktor yang tidak setia. Itulah lebih baik mencari gadis-gadis dan memulainya dari awal!"
Dan, Anton ingat bahwa nanti sore dia akan menemui Widyasari. Mereka akan mengunjungi pameran merangkai bunga yang diselenggarakan oleh Klub Mayasari, di Gedung Senisono.
***
Erika termangu di teras rumahnya. Dia malas kuliah. Retno berkalikali datang membujuknya agar kuliah, atau jalan-jalan ke Malioboro, atau ke bioskop, atau ke mana saja, tetapi Erika 1ebih suka di rumah. Ah, ah, ah, sibiran tulang semata wayang itu merusuhkan hati ibunya. Sementara itu, ayahnya tetap asyik bekerja di Jakarta.
Nyeri dada ibu Erika menerima tatap mata anaknya ini setiap kali mereka bertemu pandang. Mata yang menuduh. Mata yang menyalahkan. Mata yang tak mau tersenyum.
"Andainya Mama tidak mendesak aku bertunangan dengan Usman. Andainya Mama tidak merusuhi hubunganku dengan Anton. Andainya Mama tidak terlalau mencampuri urusan-urusan pribadiku. Andainya Mama membiarkan aku memilih mana yang kuanggap baik... ." Seribu 'andainya' akan berputaran kalau hati sedang dilanda sesal. Andainya adalah kemungkinan-kemungkinan baik yang akan jadi bumerang setelah dia tak muncul. Andainya adalah harapan-harapan yang akan me- nikam setelah dia tak terujud. Andainya adalah sesuatu yang hampa tetapi mengikat orang untuk percaya bahwa dia ada. Andainya adalah nomor buntut yang tidak kena.
Di sini Erika sediam robot. Di sana, Anton berkali-kali menatap langit yang berangsur digelapi awan. Widyasari mengipas-ngipaskan katalogus pameran merangkai bunga itu. Udara menyungkup pengap dalam mendung yang mengintai.
Mereka berdua baru keluar dari Gedung Senisono. Kini mereka menyusuri jalan di depan Gedung Agung. Lampu-lampu kristal di gedung itu menyemarakkan tempat itu. Rumputan hijau membentang di seluruh halaman.
Anton masih melihat-lihat ke langit.
"Akan hujan?" kata Widyasari.
"Iya," kata Anton. Dan, titik pertama terasa di kepalanya. "Kita nonton saja ya?" lanjutnya.
Widyasari berpikir, tetapi langkahnya lebih tergesa. Mereka tiba di depan Bioskop Indra. Titik- titik hujan kian terasa.
"Kita nonton untuk merayakan hujan pertama setelah kemarau panjang," kata Anton.
Widyasari memperhatikan poster film yang akan diputar. Mereka pun menonton. Bagi Anton, es Puncuk Cartenz itu kian terpanjat. Dua jam dalam gelap, duduk berdampingan, merupakan per mulaan yang mencairkan kebekuan gadis itu.
Tangan Anton menindih tangan gadis itu. Widyasari tidak menolak, tetapi tidak pula bereaksi. Cuma, memang harus pelan-pelan. Jangan sampai menggebu-gebu. Jangan sampai membuat shock macam apa pun, pikir Anton. Tak perlu main blitzkrieg. Terhadap gadis ini, bolehlah digunakan teknik Yogya: alon-alon waton kelakon.
Di becak pun, dalam rintik-rintik hujan yang mendinginkan itu, Anton tetap sesopan mungkin. Dia hanya merangkul gadis itu dan menjaga agar tetesan hujan tidak menimpa gadis itu.
***
Beberapa kali berkunjung, beberapa kali berjalan bersama, sesungguhya keinginan Anton untuk mengulum bibir gadis itu sudah mengejek-ejek. Sebab, selamanya, ke sanalah arah setiap berpacaran. Sebelum sampai pada tonggak itu, belum lagi bisa dikatakan berpacaran. Itu baru proses.
Maka sore itu, ketika di rumah Widyasari sepi, Anton sudah mengerling-ngerling segenap penjuru. rumah yang komfortabel untuk tempat penyerangan itu. Pilihannya jatuh pada halaman belakang. Tempat yang dilindungi penyekat-penyekat dan tumbuhan jalar. Lebih-lebih di sana-sini bergantungan anggrek.
Nah, ketika Widyasari mulai menurunkan onggokan anggrek, Anton sedang memikirkan momen yang paling tepat. Tetapi, gadis itu selamanya sesopan guru Taman Kanak-kanak.
Lalu Anton berkata, "Seminggu lagi anggrek itu mekar." Widyasari mengangguk tanpa mengalihkan matanya dari daun-daun anggrek.
"Kalau aku punya modal, aku ingin bikin film. Film tentang kau," kata Anton.
"Ah, apa yang mau difilmkan?"
"Ya, apa saja. Pokoknya bagaimana bisa membuat opname di tempat ini. Kau berdiri di sela-sela bunga-bunga yang mekar ini. Bukan main! Kau seperti bagian yang tak terpisahkan dari bunga-bunga ini.”
Widyasari tersenyum. Maka matanya yang membintang itu redupredup memanggil.
"Kalau ada yang minta, kau mau jadi bintang film ?"
Gadis itu menggeleng.
"Kau sudah punya modal. Secantik Liz Taylor di waktu muda. Namamu pun sudah cocok untuk main film. Widyasari. Mirip Widyawati. Kalau kau mau main film, pasti kau bisa menyamainya."
"Aku tak pernah tertarik main film. Nonton memang aku senang."
"Aku pikir, enak jadi bintang film. Uang banyak, dan bergaul pengan orang-orang ternama."
"Aku lebih suka punya perkebunan bunga."
“Iya, perkebunan bunga, tapi juga main film di kebun bunga. 'Kan hebat?"
Widyasari tertawa.
"Andainya main film, kau mau melakukan adegan cium?" tanya Anton.
"Ih!"
"Hanya andainya."
"Tak tahu."
"Adegan cium, misalnya harus dilakukan berdasarkan cerita. Bagaimana?"
"Aku tak mau main film."
"lya. Ini andainya."
"Ah, tidak."
"Misalnya perkenalan kita di filmkan. Lalu ada adegan ciumnya. Bagaimana?"
"Ah, tidak."
"Kalau bukan dalam film?"
"Maksudmu?"
"Ya dalam realita. Andainya kau kucium?"
"Ah, brengsek!" Widyasari tertawa. Dan, dia menggantungkan kembali anggreknya. Anton membantunya. Setelah anggrek itu tergantung, Anton telah memegang tangan gadis itu.
Tangan gadis itu gemetar. Dia menariknya, tetapi Anton malah lebih mempererat pegangannya. Dia malah menarik rapat tubuh gadis itu.
"Ah, jangan, Anton!"
Tubuh Widyasari telah terhimpit dalam rangkulan Anton. Dia mengelak sehingga bibir lelaki itu cuma mendarat di pipinya. Tetapi, Anton menyusurkan bibirnya menjalari wajah gadis itu. Lalu ber- hasil menyentuh bibir gadis itu.
Widyasari mengelak, tetapi pelukan lelaki itu tambah menghimpit, membuat napas gadis itu sesak. Dia berhenti meronta untuk mengambil napas. Himpitan itu mengendor. Lalu gadis itu sadar bahwa semakin berontak akan semakin terhimpit. Maka dia pun diam.
Bibir Anton menjalar lagi meyusuri pipi Widyasari. Ketika bibir itu menyentuh bibirnya, Widyasari tak mengelak lagi. Matanya malu-malu menatap muka yang rapat pada mukanya. Sebab, dia pun mulai mengulum bibir yang ada dalam bibirnya.
Jurai-jurai anggrek yang bergantungan melambai-lambai. Kesenyapan tempat itu menampung aroma bunga yang.bermekaran. Tetapi, segalanya terputus ketika suara langkah seseorang menyeruak ke balik bunga-bunga itu.
"Mbak, Mbak Widy…… "
Widyasari melepaskan pelukan. Anton juga melepaskan. Keduanya saling menatap sejenak. Lalu, mereka memandang ke arah pintu.
Erika! Gadis itu mematung, kemudian terbata- bata berkata, "Aaa... aku... tak... tahu " Lalu dia berbalik dan berlari.
"Ika!"
Tetapi, gadis itu masuk kembali ke pintu. Widyasari mengejar dan memegang lengan gadis itu.
"Kenapa kau? Kenapa kau terus pergi?"
"Aku tidak tahu. Pintu depan tidak dikunci."
Masih terbata-bata Erika berkata. "Aku tidak tahu Mbak Widy…. Nuwun sewu, Mbak, nuwun sewu…..”
Widyasari heran melihat gadis itu gemetaran.
"Kenapa kau, Ika? Kenapa?"
Erika menggeleng.
"Aku pulang saja, Mbak."
"Ah, jangan!"
"Aku pulang saja," kata Erika makin gemetar ketika Anton mendekatinya.
Dan, Anton terpana menatap Erika. Inikah Erika, gadis yang bermata galak dulu? Ah, ah, ah! Betapa murung mata itu. Betapa kuyu. Telah hilang keceriaan yang pernah dimilikinya. Bibirnya yang mungil begitu pias.
Erika melepaskan diri dari pegangan Widyasari, dan melangkah cepat.
"Ika! Kenapa?"
Erika tak menjawab. langkahnya bergegas.
Mereka bertiga melintasi ruang tengah. Langkah mereka terbenam dalam permadani yang menghampar di lantai. Widyasari masih berusaha menahan Erika, tetapi gadis itu seperti robot melangkah. Terus keluar.
Anton terbengong-bengong mengikuti langkah gadis itu dari belakang. Dia menatap berganti-ganti kedua tubuh gadis di depannya. Sesekali ke arah gadis yang berkali-kali berkata, "Kenapa?" Lalu berpindah ke arah gadis yang melangkah tergesa tanpa suara. Rambut gadis itu terayunayun. Lehernya yang kecil sesekali nampak jika rambut tersibak. Leher yang kuning, tetapi lebih kurus dari beberapa waktu yang lalu. Erika masuk ke mobil yang menunggunya. Tak menjawab sepatah kata pun pertanyaan dari Widyasari. Hanya dua patah kata kepada Pak Sopir, "Ayo, Pak. "
Derum mesin dibawa mobil yang berlari. Widyasari terpana. Kemudian bahunya terkulai. Pelan-pelan dia melangkah ke teras. Anton termangu di depan teras itu. Matanya masih terpaku menatap ke jalan. Dia tetap mematung sementara Widyasari berkali-kali bergumam,. "Kenapa anak itu? Kenapa anak itu ?"
Kemudian keduanya membisu.
Kemudian Anton duduk. Suara keriut kursi membuat Widyasari menatapnya.
"Dia kurus sekarang," kata gadis itu. "Sejak tunangannya di Jerman kawin."
"Ya," gumam Anton, sedang matanya masih menerawang ke udara. Udara kosong yang baru saja terbelah mobil.
"Dia sakit," 'kata Widyasari.
"Sakit?"
"Entahlah. Pernah aku datang ke rumahnya, dan mamanya cerita, katanya Erika tak mau lagi kuliah, tak mau jalan-jalan. Cuma di rumah saja."
Anton membisu.
"Anak itu terlalu dimanjakan. Akibatnya, ada persoalan sedikit saja merusuhkan hatinya," lanjut Widyasari.
Di halaman, bunga-bunga bergoyangan. Perasaan Anton pun bergoyangan tak keruan. Sisa-sisa tatapan mata Erika yang kuyu melecutlecut dadanya. Dilecut-lecut bibir Erika yang pias. Dilecut-lecut suaranya yang terbata-bata mengatakan, "Aku tak tahu, aku tak tahu, nuwun sewu, Mbak, nuwun sewu."
Dan, Anton mengingat-ingat lagi kata-kata Erika, "Betul Mas Anton tidak tersinggung makanya tak mau datang? Betul cuma karena sibuk?"
Anton menarik napas. "Saya baru saja baca iklan Gramedia di KOMPAS. Ada novel-novel baru. Mas Anton sudah punya?" Suara Erika lagi. Anton merasa jarinya kejang. Dia menghapal, "Kenapa sih tak mau datang? Kenapa sih ?"
Anton merasa putaran di dadanya makin melilit.
"Lama ya kita tak ngobrol. Lamaaa sekali."
Bibir mungil gadis itu akan mengecap-ngecap kala berbicara. Bibir yang indah dan cocok untuk omong Prancis. Tetapi, tadi begitu pias, dan letih. Ah!
Widyasari terkejut.
Anton tersandar bahwa dia baru saja memukul tangan kursi kuatkuat.
"Ada apa?" tanya gadis itu.
"Ah, tidak."
"Aku tak habis pikir, kenapa anak itu begitu. Dia datang, tapi terus pergi seperti panik."
"Mungkin... mungkin... lantaran ada aku," kata Anton terputus-putus.
"Ada kau?"
Anton tertunduk menerima tikaman mata gadis itu.
Keduanya diam.
"Kau mencintainya?" tanya gadis itu tiba-tiba. Anton merasa napasnya terperangah. "Jawablah!"
Anton tak bersuara.
"Sesungguhnya kau cuma mencari hiburan datang padaku!" kala gadis itu.
Anton meliriknya.
Gadis itu tetap menikamkan pandangan sembilu hingga Anton seperti murid Taman Kanak- kanak yang dimarahi gurunya.
"Cuma selingan. Dan, aku pun tak mencintaimu," kata Widyasari pula.
Anton membisu.
"He., kau belum menjawab. Kau mencintainya?”
Anton menekuri lantai.
"Kalau kau mencintainya, kenapa kau tak datang padanya?"
"Mamanya, mamanya sudah menghinaku."
"Hmmm picik! Dia, Erika, pernah menghinamu ?"
Anton tergugu.
"Siapakah yang kaucintai? Mamanya, atau dia?"
“Aku…..”
"Kalau kau merasa pernah terhina, kau bisa membuktikan bahwa apa yang mereka duga adalah tidak benar," kata gadis itu.
"Kenapa?" kejar gadis itu.
"Ah, tak tahulah. Aku pun bingung."
"Selamanya dia sangat manja padaku," kata Widyasari. "Baginya, aku adalah mbakyu-nya. Tapi, kelakuannya tadi sungguh-sungguh membingungkan aku."
"Ya," desah Anton.
Widyasari mulai memperhatikan kemurungan di wajah lelaki itu. Dia makin menangkap kekosongan dalam mata termangu lelaki itu. Mata yang masih lekat di pintu pagar.
“Bagaimana sesungguhnya hubungan kalian ?" kata Widyasari.
Anton tergagap. Tak bisa mengucap.
"Kalian pernah berteman akrab?"
"Aku... aku….. " Anton tak mampu meneruskan.
Widyasari pelan-pelan mengangguk. Lalu katanya, "Ah, sekarang mengertilah aku. Rupanya kaulah orang yang dimaksud mama Erika." Mata gadis itu tajam menikam.
Anton tertunduk. "Ya, akulah orangnya.”
Anton tertekuk bagai kehilangan kekuatan.
"Mama Erika ada menceritakan tentang kau, tapi sayang dia tak menyebutkan namamu. Jadi, aku tak tahu selama ini kaulah orang yang dimaksud.”
“Apa dia bilang?” tanya Anton lesu.
“Dia menyesal.”
Anton masih termangu.
“Pergilah!” keras suara Widyasari.
Anton menatapnya.
“Lupakan saja ke-don-juan-anmu. Dan kau bisa menciumku, itu betulbetul bukan main, dan kurang ajar. Tapi, kuharap kau mulai menghentikan keliaranmu itu. Kau sudah memerlukan tempat singgah yang paling damai. Erika menunggumu!”
Anton berjalan di bawah pohon mahoni. Dentang-dentang lonceng gereja semayup. Kemudian gaungnya kian keras. Dan, rumah yang berpagar warna hijau itu terpacak dalam senja. Warna merah masih tersisa di langit barat.
Lelaki itu memperlambat langkahnya. Matanya waswas menatap rumah berpagar hijau itu. Di teras itu, Erika, Erika, Erika!
Anton berdiri di pintu pagar yang terbuka, dan menyebut nama gadis itu.
Erika mengangkat kepala. Sesaat dia terpana.
"Mas Anton," desisnya. Dia bangkit. Dia menuju pintu pagar.
Dia semakin dekat. Dan, dalam cahaya langit, Anton melihat
wajahnya yang cekung. Ah! "Kau sakit, Ika?" ' Erika menggeleng. "Tapi, tanganmu dingin." "Nanti juga panas asal tetap Mas Anton pegang," kata Erika. Dia kelihatan lebih kecil dari biasanya. Anton ingin mendekapnya.
Alangkah anehnya. Di depan Widyasari, Anton merasa dirinya murid TK, sedang di depan gadis ini dia merasa layak menjadi kakak yang akan selamanya melindungi.
"Kenapa lama tak datang, Mas Anton?" desah gadis itu.
"Sekarang aku datang."
Mereka masih tegak di pintu pagar. Erika memegang tangan lelaki itu.
"Ayo, kita jalan-jalan," kata Anton.
"Sekarang?"
"Ya, sekarang."
"Begini saja?" Erika melirik sandal jepit di kakinya.
"Ya, begini saja."
Erika merangkul tangan Anton yang kukuh. Dan, mereka berjalan di
bawah pohon-pohon mahoni yang tak henti-hentinya meluruhkan daun.
TAMAT
Catatan : [1]Primates - bangsa kera [2]Anthropomorphae - kera bentuk manusia [3]Cercopithecidae - kera bentuk anjing [4]Carnivora - bangsa binatang buas [5]Macacus irus – monyet