Menurut sebagian ahli, Orang
Rimba dan Orang Melayu memiliki nenek moyang yang sama. Hal itu dilihat dari kemiripan budaya, bahasa, dan
rupa fisik. Namun demikian asal dari nenek moyang orang Melayu dan Orang Rimba
belum disepakati secara tegas oleh para ahli. Sampai saat ini masih terjadi
perbedaan pendapat mengenai daerah asal usul nenek moyang orang Melayu dan
Orang Rimba. Diperkirakan keberadaan Orang Rimba di pulau Sumatera
dimulai sekitar 4000 tahun sebelum masehi, bersamaan dengan kedatangan kelompok
manusia dari benua Asia, yakni dari daerah Yunan yang termasuk di dalam wilayah
Cina Selatan. Mereka dikenal
sebagai Melayu Tua atau Proto Melayu yang memiliki peradaban sangat sederhana.
Menurut sebagian ahli, ras inilah yang menurunkan Orang Rimba.
Saat ini Orang Rimba mulai bergeliat. Perlahan mereka
menyerap pengetahuan dari dunia luar. Mereka sadar, untuk terus dapat bertahan
mereka harus memiliki pengetahuan yang cukup agar memiliki posisi tawar dengan
orang luar. Setidaknya mereka tidak menjadi objek penipuan dan pembodohan oleh
orang luar yang notabene jauh lebih terdidik. Perubahan pola berpikir ini
terjadi paling tidak berkat peran-peran pemberdayaan yang dilaksanakan oleh
pemerintah dan LSM di Jambi, terutama LSM Warsi yang intensif masuk ke komunitas
Orang Rimba.
Setelah perbincangan pertama dengan Prabung, salah seorang Orang Rimba, saya
mulai memikirkan cara yang paling efektif untuk mendekati mereka. Saya teringat
dengan berita-berita di koran dan TV mengenai aktivitas tim LSM Warsi
memberikan pengajaran untuk Orang Rimba secara langsung di dalam rimba. Agaknya
mengajar merupakan cara terbaik untuk mendekati mereka. Paling tidak, selain
akan memiliki waktu yang cukup banyak bergaul dengan Orang Rimba, juga
merupakan pendekatan yang berbiaya murah.
Tim LSM Warsi telah bertahun-tahun melakukan pengajaran untuk Orang Rimba di
Taman Nasional Bukit Duabelas. Menurut sebuah informasi, LSM Warsi telah terjun
melakukan pengajaran sejak tahun 1999, atau sudah hampir 6 tahun. Salah satu
perintis pendidikan untuk Orang Rimba adalah Butet Manurung yang dijadikan
iklan di salah satu media massa nasional. Pada awal merintis pengajaran atau
‘sokola’ (sokola adalah istilah Orang Rimba untuk sekolah), mereka mengalami
berbagai hambatan yang luar biasa. Hambatan itu berkisar dari kecurigaan dan
kekhawatiran akan terjadinya perubahan terhadap budaya Orang Rimba. Sebab
mereka menyadari perubahan apapun berpotensi merubah budaya Orang Rimba secara
keseluruhan.
Berdasarkan sensus LSM Warsi pada tahun 2004, diperkirakan sekitar 100 orang
Rimba telah memiliki kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Jumlah itu
sekitar 7,6 % dari keseluruhan Orang Rimba yang ada di Taman Nasional Bukit
Duabelas, yakni sekitar 1316 jiwa. Tentunya saat ini prosentase itu telah
bertambah karena adanya sokola Orang Rimba yang terus menerus diselenggarakan.
Sikap Terhadap Pendidikan
Pada masa lalu bersekolah merupakan tabu. Sebab bersekolah adalah satu ciri
dari kehidupan berkampung ala orang melayu. Mereka mengganggap sekolah akan
merubah adat. Padahal kepercayaan mereka tidak mentolerir adanya perubahan.
Tabu bersekolah pada saat itu tampaknya juga ditunjang tidak adanya yang
bersedia mengajar mereka di dalam hutan.
Saat ini sikap Orang Rimba terhadap pendidikan sangat positif. Mereka memiliki
semangat luar biasa untuk belajar. Mereka beranggapan bahwa bila seseorang
bodoh maka hanya akan dibodohi oleh orang pintar. Mereka merasa bahwa kebodohan
mereka karena ketidak mampuan membaca, menulis dan berhitung menyebabkan sering
ditipu oleh orang luar. Sediah, salah seorang pelajar rimba mengungkapkan
sebuah kalimat yang mendasari perubahan sikap mereka, yakni “sokola biar tidak
mudah ditipu orang.’
Perubahan sikap tampaknya terjadi tidak secara tiba-tiba. Interaksi mereka yang
kerap dengan orang luar, terutama warga transmigran dari jawa, menyebabkan
mereka berpikir ulang mengenai sikap mereka. Mereka sadar hanya dengan menjadi
pintar maka mereka dapat menghindarkan diri dari eksploitasi orang luar.
Kesadaran itu tumbuh ketika menyaksikan warga transmigran yang notabene lebih
terdidik dan sangat memperhatikan pendidikan, memiliki taraf hidup yang cukup
tinggi. Warga transmigran sangat cepat berubah dari warga yang relatif sengsara
menjadi warga yang makmur hanya dalam tempo beberapa tahun saja. Perubahan
cepat itu diakui Orang Rimba karena para transmigran pintar, dan kepintaran itu
diperoleh melalui sekolah.
Perubahan sikap juga sangat dipengaruhi oleh upaya persuasi yang terus menerus
yang dilakukan oleh berbagai pihak baik secara perorangan maupun lembaga. Pak
Alisman dan istrinya di Pematang Kabau diakui oleh Orang Rimba merupakan
pelopor pendidikan bagi kelompok Orang Rimba Air Hitam. Lalu LSM seperti Warsi
mempelopori pendidikan di kelompok-kelompok lain, termasuk di Makekal Hulu. Ketika
saya datang mengajar di kelompok ini, semuanya cukup mudah bagi saya. Kemudahan
itu berkat peran LSM Warsi yang telah merintis pendidikan untuk mereka.
Sokola di dalam rimba
Sokola rimba yang diadakan oleh LSM Warsi dilangsungkan didalam hutan. Guru,
yang merupakan staf Warsi menginap selama beberapa malam didalam hutan bersama
para pelajar. Dalam sebulan sokola diselenggarakan hanya kurang lebih selama
seminggu. Para pengajar membawa bekal untuk selama didalam rimba. Biasanya
bekal yang dibawa cukup banyak karena bekal itu tidak hanya untuk makan mereka
sendiri tetapi juga untuk makan para pelajar rimba. Kadang-kadang ada orangtua
yang ikut datang dan ikut makan bersama. Jadi bekal yang dibawa masuk
tergantung banyaknya pelajar dan memperhitungkan kelebihan dua atau tiga orang.
Bila tidak ada alat masak yang ditinggal, biasanya dibawa juga alat-alat masak
yang terdiri dari kuali dan periuk.
Mengajar didalam rimba ibarat berkemah. Berbagai peralatan dan bekal makanan
harus disiapkan dengan cermat. Tatkala saya masuk sendirian untuk mengajar
didalam rimba selama seminggu, saya membawa beras sebanyak 25 kg. Beras
sebanyak itu diperkirakan cukup selama seminggu untuk 10 orang. Pelajarnya
sendiri cuma 7 orang. Salah seorang diantaranya sudah menikah. Saya harus
memperhitungkan minimal 2 orang tambahan yang mungkin akan ikut ketika makan
bersama. Sayangnya ikan asin dan indomie goreng yang saya bawa sebagai lauk
hanya bertahan selama 3 hari. Sisanya kami mengandalkan ikan-ikan yang yang
dipancing oleh mereka. Ikan-ikan tersebut kami goreng dan menjadi lauk yang
lumayan sedap meski bumbunya cuma garam.
Perbekalan lain yang harus dibawa adalah obat-obatan. Persiapan obat harus
terus ada untuk menjaga kalau-kalau sakit datang. Lagipula kadangkala Orang
Rimba, baik tua ataupun muda, laki-laki maupun perempuan datang untuk meminta
obat. Pernah suatu kali ada perempuan yang meminta obat mencret. Saya
memberikan seluruh obat mencret yang saya bawa. Celakanya sehari kemudian
ternyata saya terserang mencret juga. Lain waktu, dan paling sering, ada yang
datang meminta obat untuk sakit gigi. Untungnya saya membawa obat pereda rasa
sakit, antalgin, dalam jumlah cukup banyak. Obat itu saya bagi-bagi pada
mereka.
Rokok adalah perbekalan yang penting, meskipun toh kita tidak merokok. Peran
rokok untuk mengakrabkan dengan Orang Rimba yang datang berkunjung. Siapa saja
yang berkunjung dipersilakan untuk merokok. Rokoknya tidak perlu mahal-mahal
yang penting ada. Biasanya rokok yang dibawa adalah yang bermerk matra, harum manis
atau rawit yang harganya sekitar 3 ribu rupiah perbungkus.
Untuk membawa perbekalan masuk ke dalam hutan, para pelajar rimba yang akan
melakukannya. Sehari sebelum masuk kita harus masuk dulu ke dalam rimba dan
menitipkan pesan pada Orang Rimba yang ditemui agar menjemput ke desa esok
hari. Esoknya para pelajar pasti akan datang menjadi porter bagi kita.
Apabila sokola rimba diselenggarakan untuk suatu kelompok, maka ada rumah
sokola yang didirikan. Di rumah sokola itulah para pengajar dan pelajar belajar
dan bermalam. Rumah sokola didirikan di dekat aliran sungai sehingga mudah
mendapatkan air. Pada saat saya pertama kali mengajar pada rombongan Nijo, yang
merupakan subkelompok Makekal Hulu, kami mendirikan rumah sokola dahulu. Dengan
cekatan para pelajar itu menebang batang-batang kayu dan merangkainya. Tidak
lebih dari satu jam, rumah sokola pun jadi. Kami merayakan selesainya rumah
sokola dengan minum kopi bersama. Bentuk rumah sokola hanya semacam panggung.
Atapnya menggunakan terpal. Lantai panggungnya menggunakan batang-batang kayu
dan kulit kayu.
Belajar di dalam rimba sangat fleksibel. Jika dibayangkan sokola rimba seperti
sekolah pada umumnya yang memiliki jam belajar tertentu dan berseragam, maka
anda harus merevisi anggapan anda. Sokola rimba adalah sekolah informal. Tidak
ada ijasah setelah dinyatakan lulus dan dinyatakan pandai membaca, menulis dan
berhitung. Tidak ada jam sekolah. Mereka sewaktu-waktu bisa belajar, bisa malam
hari sampai larut malam, bisa pagi sampai sore, namun bisa juga tidak belajar
sama sekali. Semuanya tergantung pada keinginan para pelajar rimba. Pernah
seharian, dari pagi sampai sore tidak ada yang belajar, dan bahkan saya
ditinggal sendirian karena mereka mengangkut rotan keluar hutan. Rotan-rotan
itu harus dibawa keluar hutan hari itu juga karena akan diangkut oleh toke
rotan. Pada akhirnya saya malah ikut bersama-sama menyaksikan pengangkutan
rotan.
Saya tidak selalu menginap di dalam hutan. Selama tiga bulan lebih saya
mengajar Orang Rimba tidak dengan menginap didalam hutan. Saya tetap menginap
di rumah kepala desa Bukit Suban. Pagi hari saya berangkat ke pinggiran hutan
memakai sepeda kayuh untuk mengajar. Sore hari baru kembali pulang. Rumah
belajarnya lebih permanen yakni rumah dari dinas sosial yang diberikan untuk
Orang Rimba. Atapnya menggunakan seng dan dindingnya papan. Pelajar rimba yang
belajar terdiri dari empat bersaudara. Dua diantaranya perempuan. Mereka
tinggal kira-kira hanya 1 km masuk ke dalam hutan. Oleh karena itu mereka mau
keluar setiap hari ke pinggir hutan untuk belajar. Semangat belajar mereka
membuat kagum. Tidak jarang kalau saya terlambat datang, mereka menjemput saya
sampai ke rumah kepala desa. Padahal jaraknya dari pinggir hutan sekitar 3 km.
Sediah, Nuju, Nidar, dan Begenyek adalah nama keempat bersaudara itu. Mereka
merupakan jalan akses untuk bergaul dengan komunitas Orang Rimba. Saya dianggap
guru oleh mereka dan itu sangat memudahkan dalam berinteraksi. “Bepak guru
Sediah”, kata beberapa Orang Rimba. Melalui mereka banyak informasi tentang
Orang Rimba didapatkan.
Pelajar rimba
Mereka yang belajar dalam sokola rimba tidak hanya anak-anak. Ada juga orang
yang telah dianggap dewasa. Dalam catatan LSM Warsi, rentang umur pelajar
sekitar 7 sampai 18 tahun. Akan tetapi kelompok yang pernah saya ajar terdapat
pelajar yang sudah menikah, bahkan istrinya dua. Meskipun paling tua dia justru
tampak paling bersemangat. Dia paling aktif bertanya dan paling cepat menguasai
materi pelajaran.
Pada awalnya, seluruh sokola rimba hanya diikuti oleh laki-laki. Perempuan
dilarang untuk belajar karena dianggap tabu. Namun seiring waktu sebagian Orang
Rimba mulai berpikir bahwa sokola juga baik bagi kaum perempuan. Akhirnya saat
ini sokola juga telah diikuti oleh kaum perempuan. Namun demikian sebagian
masih menganggap bahwa sokola merupakan tabu bagi perempuan.
Pelajar rimba adalah anak-anak yang cerdas. Demikian kesimpulan yang diambil
banyak orang tentang kecepatan mereka menangkap pelajaran yang diberikan. Hanya
belajar dalam seminggu, mereka telah mampu membaca eja kata-kata yang
sederhana. Padahal sebelumnya mereka tidak paham huruf satupun. Demikian juga
ketika didiktekan sebuah kata dan mereka harus menuliskannya, umumnya mereka
melakukan dengan benar. Mereka mampu menulis kata-kata sederhana yang mereka
pilih sendiri. Tentu saja pencapaian itu bisa dibilang spektakuler. Oleh karena
itu kesimpulan yang lekas diambil adalah mereka pelajar yang cerdas. Makanan
yang baik dan penuh protein dianggap sebab dari kecerdasan mereka.
Saya mengangguk saja dengan pendapat bahwa pelajar rimba adalah pelajar yang
cerdas. Akan tetapi saya rasa kecerdasan mereka sebenarnya rata-rata saja.
Mereka mencapai pencapaian luar biasa dalam belajar dikarenakan umur mereka
yang telah lewat. Anak berumur 15 tahun yang belajar membaca menulis dari awal
seperti anak kelas 1 SD, sudah tentu akan menguasainya jauh lebih cepat.
Bagaimana tidak cepat menguasai jika anak umur 15 tahun melahap materi untuk
anak umur 6 tahun. Analoginya sama saja dengan lomba lari yang peserta
sesungguhnya anak-anak umur 6 tahun, tetapi didalam lomba itu turut pula
menjadi peserta anak umur 15 tahun yang normal. Siapakah pemenangnya? Sudah
tentu anak umur 15 tahun.
Materi Belajar
Tujuan sokola bagi Orang Rimba sangat sederhana, yakni bisa membaca, menulis,
dan berhitung. Kemampuan yang dimiliki akan menghindarkan mereka dari penipuan.
Lebih dari itu, tiga kemampuan dasar itu merupakan senjata untuk memperoleh
pengetahuan lebih lanjut. Mereka yang telah pandai membaca, menulis dan
berhitung diarahkan untuk menjadi guru bagi yang lainnya. Beberapa Orang Rimba
diklaim oleh mereka telah menjadi guru bagi mereka sendiri. “Sodah jadi guru”
kata mereka.
Bersesuaian dengan tujuannya, maka materi belajar juga terkait dengan pelajaran
membaca, menulis dan berhitung. Secara bertahap, layaknya mengikuti kurikulum,
materi belajar diberikan. Biasanya dimulai dari membaca. Materi bagi yang belum
bisa sama sekali persis seperti materi untuk anak SD pada tahun-tahun awal.
Akan tetapi kata-kata yang ditulis sebagian besar adalah kata-kata yang
bermakna bagi mereka alias yang merupakan kosa kata bahasa rimba.
Setiap kali masuk ke dalam rimba untuk mengajar, staf pengajar LSM Warsi
membawa alat tulis dan buku-buku. Demikian juga saya. Buku tulis itu dipergunakan
pelajar rimba untuk belajar menulis. Biasanya buku tulis itu habis hanya dalam
sekali masa sokola saja. Selain buku tulis, dibawa juga buku gambar dan pensil
warna. Apabila mereka jenuh, mereka akan menggambar apapun yang mereka
inginkan. Namun biasanya yang digambar tidak jauh dari kehidupan mereka yakni
binatang hutan, tumbuhan dan aktivitas yang dilakukan di dalam hutan seperti
berburu.
SD sanak
Di perbatasan desa Pematang Kabau dan Bukit Suban, jauh dari pemukiman
penduduk, terdapat bangunan tembok yang dikenal masyarakat luas sebagai SD
sanak. Artinya sekolah dasar untuk sanak, yakni sebutan untuk Orang Rimba. Pada
awal pendirian, SD tersebut memang ditujukan bagi Orang Rimba yang mau
bersekolah. Saat ini tidak lebih dari 3 Orang Rimba yang bersekolah, muridnya
pun hanya kisaran 15 orang saja. Guru yang aktif mengajar hanya 4 orang.
Ruangan kelasnya hanya ada 2. Jadi satu kelas menampung murid dari 3 kelas
berbeda.
Kisah SD tersebut sangat menarik. Sejarahnya dimulai pada saat pak Alisman, dan
terutama istrinya mengajar Orang Rimba kelompok Air Hitam.Cukup banyak
anak-anak rimba yang belajar secara informal pada mereka. Akhirnya
diputuskanlah untuk meminta sekolah pada pemerintah. Ada dua Orang Rimba yang
sangat gigih memperjuangkan sekolah, yakni Muhammad Ali dan Besiring. Keduanya
termasuk pengulu. Besiring adalah Temenggung. Mereka berdua pergi ke kantor
DPRD untuk meminta sekolahan bagi Orang Rimba. Mereka tidak beranjak dari sana
sebelum permintaan itu dikabulkan. Akhirnya, tidak menunggu lama permintaan
tersebut disetujui.
Pada awal berdiri, sekitar 50-an Orang Rimba belajar di SD tersebut. Seiring
dengan meninggalnya Muhammad Ali dan Besiring semakin berkurang pula jumlah
Orang Rimba yang tetap bersekolah. Apalagi kemudian istri pak Alisman juga
tidak mengajar lagi, sehingga tidak ada yang sungguh-sungguh kenal dengan
anak-anak rimba. Akibatnya semakin menurun jumlah Orang Rimba yang belajar.
Rata-rata mereka keluar di kelas 2 atau 3. Namun ada juga beberapa orang yang
sampai lulus.
“Ngapo hopi sokola?” (mengapa tidak bersekolah) tanya saya pada salah seorang
anak Temenggung Tarib, pimpinan kelompok Orang Rimba Air Hitam. Anak temenggung
tersebut sudah keluar sekolah beberapa tahun lamanya dan kini sudah menikah.
Sang temenggung yang menjawab untuk anaknya, “kalau guru kami ditukar, kami
keluar. Yo nian, guru kami ditukar, keluarlah kami.”
Adapun yang dimaksud ‘guru kami‘adalah istri pak Alisman. Ketika dia tidak
mengajar lagi, maka banyak Orang Rimba yang kemudian tidak mau bersekolah. Bagi
mereka, yang dianggap guru sejati adalah yang mengajar mereka pertama kali.
Adapun keberadaan guru-guru yang lain hanya dianggap sebagai penggantinya. Hal
ini persis seperti lelucon orang madura yang menganggap presiden Indonesia
adalah Soekarno, adapun Soeharto, Habibie, dan lainnya hanyalah penggantinya.
Buat mereka sang presiden tetap Soekarno.
KEHIDUPAN EKONOMI ORANG RIMBA
“Cultural man has been on earth
for some 2.000.000 years; for over 99 per cent of this period he has lived as a
hunter gatherer... Of the estimated 80 Bilion men who have ever lived out a
lifespan on earth over 90 percent have lived as hunter gathers” (Lee and
DeVore,1968)
Manusia berbudaya telah hidup di bumi selama 2 juta tahun. Lebih dari 99 %
selama rentang waktu itu, manusia hidup sebagai pemburu dan peramu....
Diperkirakan dari 80 milyar manusia yang pernah hidup di muka bumi, 90 %
diantaranya hidup sebagai pemburu dan peramu .
Orang Rimba saat ini masih layak untuk disebut bangsa pemburu dan peramu. Mereka mengandalkan hasil hutan untuk
memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Binatang hutan diburu untuk dimakan sebagai
lauk serta dijual. Berbagai hasil hutan yang berupa makanan di kumpulkan untuk
dimakan. Hasil hutan yang bernilai ekonomis serta diperlukan orang luar diambil
untuk diperdagangkan.
Apa yang dilakukan Orang Rimba pada masa lalu dan pada masa sekarang untuk
penghidupan sudah berbeda. Pada waktu lalu tidak ada tradisi menanam. Oleh
karena itu seluruh penghidupannya tergantung pada kegiatan berburu dan meramu. Kebutuhan yang berupa barang-barang dari
luar dipenuhi dengan menukar hasil buruan dan hasil meramu mereka. Saat ini
kegiatan berladang sudah mulai dilakukan. Orang Rimba mulai mau menanam
berbagai jenis tanaman yang menghasilkan. Menurut cerita, kegiatan berladang
atau betalang pada Orang Rimba baru dimulai pada tahun 80-an.
Dari perspektif masyarakat luar, Orang Rimba adalah masyarakat unik dan sering
pula dianggap primitif. Hal itu dikarenakan saat ini sebagian besar manusia
tidak lagi hidup dengan mengandalkan gaya hidup berburu dan meramu hasil hutan.
Namun sebenarnya, meskipun unik pada zaman sekarang ini, penghidupan Orang
Rimba tidaklah banyak berbeda dengan manusia lain di muka bumi. Mereka hanya
masih hidup seperti rentang waktu 99 % kehidupan manusia berbudaya. Penghidupan
mereka sama dengan 90 % manusia yang pernah hidup di muka bumi. Jadi sama saja
dengan manusia umumnya.
Menjual hasil hutan
Sejak ratusan tahun yang lalu, Orang Rimba telah melakukan perdagangan dengan
orang luar. Sekitar tahun
1500-an terdapat tulisan-tulisan yang dibuat pedagang eropa mengenai Jambi.
Diberitakan bahwa pada saat itu Orang Kubu (Orang Rimba) telah melakukan
perdagangan. Mereka bertukar hasil hutan. Barang yang diniagakan yaitu gading
gajah dan cula badak, paruh burung enggang (rangkok), madu lebah, lilin, getah
jelutung, damar, bahan warna jernang yang didapat dari sejenis rotan, beberapa
obat, kulit ular, kemenyan, kayu besi, kerajinan tangan dan lainnya. Berbagai
barang niaga dan kerajinan tangan juga diserahkan kepada pihak kerajaan di
Jambi sebagai upeti agar keberadaan Orang Rimba tidak diusik. Upeti yang
diserahkan kepada raja disebut jajah. Adapun imbal baliknya, Orang Rimba
menerima serah yang terdiri dari kain dan pisau seperti parang, tembilang atau
beliung dari kerajaan. Serah merupakan bukti pengakuan kerajaan terhadap Orang
Rimba.
Proses pertukaran barang pada masa lalu sangat unik. Konon antara Orang Rimba dan pedagang tidak pernah
bertemu secara langsung. Orang Rimba membawa barang yang ingin ditukarkan ke
pinggir sungai dimana para pedagang biasa melintas memakai perahu. Disana barang
ditinggalkan begitu saja. Apabila ada pedagang lewat, maka sang pedagang akan
meletakkan barang-barang miliknya di dekat barang milik Orang Rimba. Setelah
itu sang pedagang melanjutkan perjalanan. Apabila sang pedagang sudah berlalu,
Orang Rimba akan datang untuk memilih barang-barang milik pedagang yang
diperkirakan sesuai dengan barang miliknya. Barang milik pedagang yang dipilih
akan diletakkan di dekat barang milik Orang Rimba. Setelah itu Orang Rimba
pergi. Sang pedagang kemudian datang lagi untuk melihat apa yang diinginkan
Orang Rimba. Apabila ia setuju maka diangkutlah barang milik Orang Rimba. Akan
tetapi bila ia tidak setuju maka dirubah atau ditukarlah apa yang telah dipilih
oleh Orang Rimba. Selanjutnya ia kembali berlalu dan Orang Rimba akan datang
untuk melihat apa yang ditawarkan pedagang. Apabila Orang Rimba setuju dengan
yang ditawarkan pedagang, maka barang dari pedagang diambilnya. Hal itu berarti
pertukaran telah sah dilakukan. Apabila Orang Rimba tidak setuju maka Orang
Rimba menukar dan merubah apa yang ditawarkan pada pedagang. Hal semacam akan
diulang lagi sampai terjadi kesepakatan dan kedua belah pihak merasa puas
dimana pedagang akan membawa barang milik Orang Rimba dan Orang Rimba mengambil
barang sang pedagang.
Proses pertukaran seperti apa yang dilakukan Orang Rimba memang memerlukan
waktu yang lama dan tidak efisien. Namun menurut para etnographer Eropa pada
abad 19, itulah yang terjadi. Hal demikian juga umum terjadi pada bangsa-bangsa
lain di pedalaman yang melakukan perdagangan barang dengan masyarakat yang
lebih maju.
Pada perkembangan berikutnya muncullah peran jenang, yakni orang luar yang
dipercaya dan ditunjuk secara resmi oleh Orang Rimba sebagai perantara
perdagangan. Orang Rimba akan membawa barangnya kepada jenang, lalu jenang
menaksir nilainya. Orang Rimba kemudian menukarnya dengan barang yang nilainya
setara. Ketika uang mulai masuk dalam kehidupan Orang Rimba, volume pertukaran
barang secara langsung sangat menurun. Orang Rimba biasanya meminta bayaran
berupa uang. Pada saat ini peran jenang tidak banyak dipakai lagi. Orang Rimba
umumnya secara langsung menjual hasil hutan kepada toke atau penduduk desa.
Mereka membawa sendiri barang yang hendak dijual ke tempat dimana toke menunggu
dengan mobil pengangkut.
Barang-barang hasil hutan yang dijual pada masa sekarang diantaranya getah
damar, getah jelutung, jernang, rotan, madu, dan buah-buahan hutan seperti
durian dan petai (potoy dalam bahasa Orang Rimba). Mereka juga menjual hasil
ladang serta binatang buruan seperti kijang, babi, kancil dan berbagai jenis
burung. Berbagai binatang air seperti kura-kura dan labi-labi yang
kadang-kadang diperoleh juga turut dijual. Belakangan ketika kebun karet milik
Orang Rimba sudah mulai bisa disadap, mereka juga menjual getah karet.
Pada masa lalu perdagangan dengan orang luar adalah untuk memperoleh alat-alat
serta keperluan Orang Rimba yang tidak bisa dibuat di dalam hutan. Alat-alat
yang dibeli dari luar misalnya alat-alat dari besi, seperti parang, tembilang,
tombak, pisau, kuali dan periuk. Selain itu mereka juga memperoleh kain yang
digunakan sebagai pakaian, mas kawin, pembayar denda dan sebagai simpanan. Saat
ini keadaan itu mulai berubah. Barang-barang diatas masih tetap didapatkan dari
luar. Akan tetapi saat ini semakin banyak barang konsumsi yang dibeli dari luar
meskipun tidak urgen. Barang yang dibeli misalnya, minyak wangi, senapan, dan
berbagai jenis jajanan pabrik.
Berburu
Orang Rimba adalah pemburu handal. Keahlian berburu adalah keahlian dasar yang
harus dimiliki oleh Orang Rimba. Sejak kecil mereka sudah belajar untuk
berburu. Postur dan bentuk tubuh mereka sangat menunjang peran sebagai pemburu.
Badan yang tegap, langsing, dan kekar memudahkan pergerakan Orang Rimba ketika
berburu.
Pada masa lalu perburuan Orang Rimba hanya mengandalkan tombak dan parang. Saat
ini tombak mulai tidak populer lagi. Kebanyakan Orang Rimba berburu menggunakan
senapan yang dikenal sebagai kecepek. Hampir semua Orang Rimba dewasa memiliki
kecepek, baik yang sudah menikah atau belum. Harga kecepek sekitar 300 ribu
rupiah di desa-desa. Namun kebanyakan Orang Rimba bisa membuat kecepek sendiri.
Menurut mereka membuat kecepek sendiri lebih murah daripada membeli sudah jadi.
Sebagai bahan kecepek, mereka hanya perlu membeli besi untuk laras dan untuk
pemantik. Popor bisa mereka buat sendiri.
Kecepek adalah senapan mesiu. Model kecepek sangat mirip dengan senapan-senapan
kuno yang digunakan zaman belanda. Mesiu yang dicampur dengan bubuk arang halus
dimasukkan ke dalam laras kecepek. Lalu dari moncong kecepek dimasukkan sumbat
dari sabut kelapa sampai sepadat mungkin. Seterusnya, dimasukkanlah peluru
bulat yang dibuat dari timah. Untuk menembak, pemantik api diperlukan sebagai
pembakar mesiu. Caranya diatas lubang kecil yang terletak persis diatas bubuk
mesiu di dalam laras, dipasang pematik api yang akan memercikkan api ketika
pelatuk ditarik. Percikan api akan membakar mesiu di dalam laras. Tenaga dorong
mesiu yang terbakar di dalam laras akan mendorong sumbat dan peluru keluar. Suara
yang ditimbulkan sangat keras menggelegar. Akan tetapi tenaga yang dihasilkan
sebanding. Jarak 100 meter peluru masih melaju dengan lurus.
Pernah suatu kali, Sergi, Orang Rimba Makekal, menembak tupai. Jarak tembaknya
sekitar 20 meter. Hasilnya sangat mengejutkan. Sang tupai yang malang terlempar
sampai jarak kira-kira 10-an meter menghantam kayu besar. Sebagian dagingnya
telah lenyap. Mungkin kalau tidak ada batang kayu besar yang menahan, sang
tupai terlempar lebih jauh. Peluru yang ditembakkan melesak jauh ke dalam
batang kayu.
Orang Rimba biasa memburu babi (bebi atau jukut dalam bahasa Orang Rimba).
Selain untuk dimakan sendiri ada juga daging yang dijual. Mereka biasanya
menjual daging hasil buruan kepada orang desa nonmuslim yang ada di desa Bukit
Suban. Pada waktu lalu daging babi yang diperoleh tidak pernah dijual. Biasanya
hasil yang diperoleh hanya dibagi-bagikan kepada Orang Rimba lainnya. Perubahan
itu mungkin disebabkan oleh semakin derasnya budaya penggunaan uang dan karena
semakin banyaknya barang-barang yang harus diperoleh di luar.
Rusa dan kijang merupakan binatang buruan favorit Orang Rimba. Mereka sangat
senang bila bisa menjumpai rusa atau kijang dalam berburu. Menurut mereka
rasanya lebih enak dibandingkan babi. Sudah begitu, banyak warga desa yang mau
membeli dagingnya. Di pasar desa Bukit Suban pernah dijumpai seorang penduduk
menjualkan daging rusa hasil buruan Orang Rimba. Meskipun banyak yang
berkomentar daging itu haram menurut agama Islam karena tidak dibunuh dengan
menyebut asma Allah, namun dalam waktu tidak terlalu lama daging rusa itu habis
dibeli penduduk.
Satu kelompok berburu biasanya tidak lebih dari empat orang. Dalam perburuan
babi atau rusa, Orang Rimba mengandalkan anjing untuk mencari jejak dan
mengejarnya. Orang Rimba biasanya akan berlari mengikuti gerak anjing sebab
anjinglah yang tahu arah lari binatang. Apabila babi atau rusa sudah terpepet
pohon barulah Orang Rimba menombak atau menembaknya. Sedangkan bila berburu
tanpa anjing, maka mereka mengendap-ngendap menuju binatang yang menjadi
target. Bila sudah dekat ditembaklah binatang tersebut.
Orang Rimba tidak hanya berburu binatang dengan cara mengejar-ngejar binatang
buruan. Mereka juga berburu dengan cara menyuluh. Bahkan menyuluh lebih sering
dilakukan. Menyuluh adalah mengintai binatang di malam hari. Apabila ada
binatang seperti rusa atau kancil, disorotlah matanya memakai senter yang
dipasang di kepala seperti pekerja tambang. Saat mata binatang terkena cahaya,
binatang itu tidak akan lari dan akan tetap diam karena silau. Lalu ditembaklah
binatang itu menggunakan kecepek. Kemungkinan tembakan meleset sangat kecil
karena Orang Rimba merupakan penembak-penembak hebat. Sayangnya, binatang yang
berhasil ditemui sangatlah jarang. Belum tentu seminggu sekali mereka bertemu
binatang besar.
Selain memburu binatang besar seperti babi, rusa dan kijang, Orang Rimba juga
memburu berbagai jenis binatang kecil. Selain kancil, mereka menangkap tupai,
landak, ular, musang dan berbagai jenis burung. Pada umumnya binatang-binatang
kecil itu hanya habis untuk konsumsi sendiri. Ada juga beberapa jenis burung
yang ditangkap khusus untuk dijual misalnya burung enggang atau rangkok.
Anak-anak rimba biasanya berburu binatang-binatang kecil seperti kelelawar.
Menurut cerita salah seorang Orang Rimba, dulu kancil sangat banyak di lokasi
sekitar tempat tinggal mereka. Akan tetapi saat ini sudah sangat jarang ditemui kancil ketika pergi
menyuluh. “Dulu benyok, kini kancil sodah habiy” katanya (dulu banyak, kini
kancil sudah habis). Menurutnya kalau daerah itu ditinggal paling kurang 2
tahun, maka kancil akan banyak lagi. Sebab kancil akan mempunyai kesempatan
untuk berkembang biak lagi. Dia juga mengatakan bahwa rusa dan kijang juga
sudah sangat berkurang jumlahnya. Hanya babi yang masih sangat banyak terdapat di dalam hutan.
Memasang Jerat.
Orang Rimba merupakan pemasang jerat yang lihai. Jerat yang digunakan untuk
menjerat binatang besar berbeda dengan jerat untuk binatang kecil. Jerat untuk
binatang besar sering disebut jerat jukut (jukut adalah nama lain untuk babi).
Jeratnya dibuat dari tali plastik berukuran agak besar, kira-kira seukuran jari
tangan orang dewasa. Tali yang telah disimpul jerat ujungnya diikat pada batang
kayu yang dilenturkan sekuat-kuatnya. Lalu ujung yang bersimpul di letakkan
diatas perangkap di tanah. Apabila kaki binatang menginjak perangkap, maka
kakinya akan terikat tali jerat karena jerat terangkat (njepat dalam istilah
jawa)
Pada umumnya binatang yang dijerat adalah babi, meski kadang-kadang yang
diperoleh justru lebih besar, yakni rusa. Beberapa binatang yang berukuran
lebih kecil biasanya juga dijerat. Saya pernah beberapa kali melihat jerat yang
dipasang. Namun dari ke hari jerat itu tetap diam ditempat. Tidak ada satupun
binatang yang tergantung di tali jerat. Selama berhubungan dengan Orang Rimba
belum pernah sekalipun menyaksikan jerat yang mendapatkan mangsa masih
tergantung. Pernah juga melihat babi hasil dari jerat. Sayangnya bukan ketika
masih tergantung di jerat.
Saat melihat babi hasil jerat, saya diminta salah seorang anak rimba yang ada
disana untuk memotret babi tersebut. Namun oleh ibunya tidak diperbolehkan
karena menurutnya hal itu tabu. Babi yang diperoleh itu sangat besar. Menurut
mereka berat dagingnya saja mungkin ada 30 kilogram. Daging babi itu
dibagi-bagi kepada Orang Rimba lainnya. Saya sempat ikut memotong-motong daging
babi tersebut. Sebagian daging babi akan dimakan setelah dibakar. Akan tetapi
sebagian besar daging yang lain akan diasapi dahulu untuk membuatnya bertahan
lebih lama. Cara pengasapan (diselai menurut bahasa Orang Rimba) sangat mudah.
Daging diikat diatas perapian yang dihidupkan terus menerus. Asap dari perapian
yang akan mengawetkan daging itu.
Sebenarnya babi yang diperoleh itu adalah hasil dari jerat yang diperuntukkan
untuk rusa atau kijang. Oleh karena itu jerat tidak dipasang di jalur babi.
Untuk babi, meski caranya sama, jerat dipasang di jalur babi. Tidak seperti
binatang lainnya, babi memiliki jalan-jalan khusus di dalam hutan dan belukar untuk
lewat. Di daerah yang banyak jurangnya, mengenali jalan babi sangat berguna
untuk menghindari terperosok ke dalam jurang. Mengikuti jalan babi merupakan
jaminan tidak akan mengarah langsung ke dalam jurang. Berbeda dengan jalan air
yang biasanya langsung menuju jurang.
Jerat untuk binatang kecil seperti tikus, tupai dan lainnya disebut pelaboh.
Perangkapnya dibuat ditanah berupa umpan yang dikaitkan dengan kayu besar
diatasnya. Apabila binatang memakan umpan itu maka perangkap akan menarik kayu
besar diatasnya jatuh ke bawah. Jadi binatang yang memakan umpan akan kejatuhan
kayu besar. Pemasang jerat tinggal mengangkat kayunya dan mengambil hasil
jeratannya yang berrkemungkinan besar dalam kondisi mati.
Mencari Umbi dan Buah.
Pada masa lalu ketika makanan pokok hanya diperoleh dari umbi-umbian yang
tumbuh di hutan, mencari umbi hutan merupakan kegiatan yang sangat penting.
Saat ini situasinya agak berbeda. Mencari umbi-umbian hutan tetap dilakukan
tetapi bukan lagi menjadi kegiatan utama. Umbi-umbian hutan yang dulu menjadi
makanan pokok telah digantikan dengan umbi-umbian yang ditanam seperti berbagai
jenis ubi dan keladi. Penanaman padi juga membuat umbi-umbian hutan kurang
berperan penting lagi.
Salah satu jenis umbi liar yang menurut banyak orang hanya hidup di kawasan
Taman Nasional Bukit Duabelas adalah bonor. Menurut banyak orang rasanya enak
sekali. Ketika saya mencoba bonor yang dibakar, saya setuju dengan pendapat
mereka tentang kelezatan bonor. Bonor boleh jadi merupakan jenis umbi yang
paling enak. Jenis bonor ada bermacam-macam. Bonor licin ukurannya tidak besar.
Ukurannya hanya sebesar tube pasta gigi ukuran sedang, namun biasanya jauh
lebih panjang. Bonor yang berukuran besar dikenal dengan nama bonor bobulu.
Akan tetapi menurut cerita rasanya tidak seenak bonor licin. Menurut cerita
pula, beratnya bisa mencapai 30 kg. Untuk mendapatkannya, Orang Rimba harus
menggali tanah yang bisa sampai sedalam satu meter. Batang tumbuhan bonor
seperti tumbuhan uwi di jawa. Besarnya hanya sebesar kabel atau sumpit.
Warnanya hijau dan tumbuh merambat. Hanya mereka yang jeli yang bisa menemukan
tumbuhan bonor.
Di dalam rimba terdapat tumbuhan yang memiliki batang tumbuhan mirip bonor akan
tetapi umbinya beracun. Orang Rimba sangat jeli membedakannya. Sedangkan saya
berkali-kali salah membedakan, mana yang bonor dan mana yang bukan. Dari rupa
batangnya mereka langsung bisa mengetahui apakah umbinya beracun atau tidak.
Namun meskipun beracun, Orang Rimba bukan tidak bisa memanfaatkannya. Mereka
memiliki teknik untuk menghilangkan racun dalam umbi. Mula-mula umbi diiris
tipis-tipis lalu dimasukkan ke dalam air yang mengalir selama beberapa hari.
Kemudian irisan umbi itu dijemur dibawah sinar matahari langsung selama
beberapa hari. Dengan teknik tersebut, racun didalam umbi bisa hilang. Menurut
salah seorang Orang Rimba, umbi beracun tetap bermanfaat pada saat paceklik.
Boleh dibilang umbi beracun adalah cadangan makanan mereka.
Buah-buahan hutan yang umum terdapat di kawasan rimba tempat hidup Orang Rimba
Makekal Hulu diantaranya adalah durian, cempedak, tampui, embacang, manggis,
puar, petai, duku, dan air-air. Hampir semuanya merupakan tanaman musiman.
Keadaan itu tidak banayak berbeda dengan hutan rimba sumatera lainnya. Durian,
cempedak, manggis, petai dan duku adalah buah yang tersebar dan ada hampir di
seluruh pulau sumatera. Sedangkan tampui agaknya khas buah dalam rimba jambi.
Tampui adalah buah tahunan yang berasal dari pohon tampui yang sangat keras.
Menurut cerita Orang Rimba, rasa tampui paling lezat diantara jenis buah yang
lain.
Pohon buah-buahan di dalam hutan memiliki penampakan fisik yang berbeda dengan
pohon buah-buahan yang hidup di luar hutan. Di dalam hutan, pohon buah
cenderung tinggi dengan ranting dan daun yang tidak banyak, Oleh karena itu
buah-buahan di hutan umumnya tidak sebanyak buah yang dihasilkan jenis pohon
buah yang sama dengan umur yang sama diluar hutan. Keadaan itu disebabkan
karena langkanya sinar matahari yang didapatkan pepohonan di dalam hutan karena
tertutup vegetasi pohon yang lebih tinggi.
Rambutan merupakan salah satu buah yang sangat digemari oleh Orang Rimba.
Sayangnya sangat jarang pohon rambutan tumbuh di hutan. Pada saat musim
rambutan di desa-desa di luar kawasan taman, banyak Orang Rimba keluar hutan hanya
untuk mencari rambutan. Mereka meminta rambutan pada penduduk desa. Namun
mereka tidak meminta rambutan pada sembarang orang. Di desa Bukit Suban, Orang
Rimba biasa meminta rambutan pada Pak Bronto, Pak Wahab, Pak Sungkono.dan
beberapa lainnya. Mereka enggan meminta pada orang lain. Hanya dalam keadaan
khusus saja mereka mau meminta pada orang lain, misalnya rambutan milik
orang-orang yang biasa dimintai sudah habis. Agaknya faktor kedekatanlah yang
membuat Orang Rimba hanya berani meminta pada orang-orang tertentu saja. Di
rumah Pak Sungkono, Pak Bronto dan Pak Wahab, Orang Rimba bahkan berani
menginap.
Memancing Ikan
Memancing ikan adalah aktivitas keseharian Orang Rimba. Pancing dan senar mereka
peroleh dari warung di desa Bukit Suban. Herannya, meskipun di dalam hutan
banyak aliran sungai, sebagian dari mereka lebih suka memancing ikan di luar
hutan. Menurut mereka sungai yang berada di kebun-kebun sawit lebih banyak
ikannya. Ada banyak jenis ikan yang biasa dipancing oleh Orang Rimba. Ikan yang
berukuran besar adalah limbat (lele menurut orang desa) dan huloton (gabus
menurut orang desa). Untuk memancing limbat, Orang Rimba melakukannya di malam
hari. Menurut mereka itulah saat dimana limbat keluar dari lubangnya untuk
mencari makan sehingga hanya saat itulah bisa dipacing. Pernah selama hampir 6
jam memancing di malam hari, mereka hanya mendapatkan dua ekor limbat.. Selain
limbat dan huloton, ikan yang lain misalnya ikan tano (sejenis tawes) dan
belut.
Memancing bersama anak-anak rimba merupakan pengalaman luar biasa. Rasanya jauh
berbeda bila dibandingkan dengan memancing di kolam pemancingan. Kami menyusuri
aliran sungai sampai jauh, menyibak rerumputan, ilalang dan belukar untuk
mencari lubuk-lubuk sungai. Menurut mereka, hanya di lubuk-lubuk sungai banyak
terdapat ikan. Namun sayang, ikan yang didapat kecil-kecil. Mungkin karena
sungai tersebut sering diracun.
Dari dalam air biasa diperoleh binatang air lainnya yakni labi-labi dan kura-kura
air. Labi-labi adalah sejenis bulus yang memiliki leher panjang dan bermoncong
seperti moncong babi. Labi-labi seberat 1 kg, bisa memiliki leher sepanjang
satu jengkal. Labi-labi dipancing menggunakan daging segar. Hebatnya, menurut
Orang Rimba, setelah beberapa hari labi-labi bisa melepas sendiri pancing yang
mengenainya. Gigi labi-labi sangat tajam. Ada kejadian dimana labi-labi
menggigit jari tangan sampai putus. Menurut Orang Rimba, saat ini sangat sulit
mencari labi-labi. Jarang sekali mereka mendapatkan labi-labi. Mungkin karena
jarang harga labi-labi terhitung mahal. Satu ekor labi-labi seberat 1 kg
dihargai sekitar 30 ribu rupiah. Untuk labi-labi dengan berat 3 kg ke atas, per
kilogram dihargai sampai 50 ribu rupiah. Itu artinya sekitar 150 ribu rupiah
per ekor. Di luaran kawasan harganya tentu jauh lebih mahal lagi.
Menuba ikan
Menurut cerita dari salah seorang Orang Rimba dan beberapa warga desa Bukit
Suban, meracun atau menuba ikan di dalam rimba merupakan pantangan. Apabila
melakukannya maka denda yang dijatuhkan oleh Orang Rimba sangat berat. Konon
denda bagi yang ketahuan bisa mencapai jutaan rupiah. Mendengar cerita itu,
saya langsung berpikir bahwa itulah salah satu kearifan lokal dalam upaya
menjaga kelestarian hutan dan kesinambungan kehidupan. Adanya pantangan
tersebut membuat kecil nyali orang untuk meracun ikan di sungai dalam hutan.
Artinya, kelestarian ekosistem sungai akan terus terjaga dan Orang Rimba bisa
terus mengambil ikan di sungai tanpa adanya ancaman kehabisan ikan.
Namun beberapa waktu kemudian saya kaget atas pernyataan salah seorang Rimba
yang lain yang mengatakan bahwa menuba ikan di sungai dalam hutan tidak menjadi
soal. Akan tetapi untuk itu ada syaratnya, yakni harus mengajak Orang Rimba
untuk ikut mencari ikan. Bila tidak ada Orang Rimba yang diajak maka tentu saja
denda akan dijatuhkan.
Pernyataan Orang Rimba itu mengandung banyak arti. Menuba berarti bukanlah
pantangan yang sesungguhnya. Sebenarnya yang menjadi pantangan adalah menuba
tanpa izin Orang Rimba yang notabene sebagai pemilik kawasan. Hal itu sama
dengan mencuri ikan di kolam milik orang. Halmana tentu saja sah apabila sang
pemilik kolam mendenda pencuri. Selain itu, menjadi jelas bahwasanya pantangan
menuba ikan oleh orang luar tidak dimaksudkan sebagai perlindungan kelestarian
alam tetapi sebagai perlindungan terhadap kepentingan Orang Rimba. Intinya,
keberadaan Orang Rimba sebagai pemilik kawasan harus diakui. Adapun sebagai
pemilik, maka Orang Rimba merasa absah untuk melakukan apapun di dalam kawasan
itu termasuk menuba ikan.
Izin menuba untuk orang luar diberikan melalui persetujuan dan keterlibatan
Orang Rimba ikut dalam proses menuba. Apabila Orang Rimba yang dimintai izin
hanya membolehkan secara verbal namun tidak ikut serempak dalam penubaan ikan,
maka itu berarti izin sebenarnya tidak pernah diberikan. Apabila demikian,
ancaman denda siap menanti bagi penuba.
Saya pernah ikut terlibat langsung menuba ikan bersama Orang Rimba. Suatu sore
saya dipanggil oleh Orang Rimba untuk datang ke sebuah sungai kecil yang
mengalir keluar hutan. Ternyata saya diajak ikut mencari ikan yang dituba
menggunakan potas, yakni sejenis racun yang bisa digunakan sebagai tuba ikan.
Potas sebanyak 2 ons yang digunakan sebagai tuba diperoleh di salah satu warung
di desa Bukit Suban.
Mula-mula potas yang berwarna putih dan berbentuk bulatan seperti kapur barus
dipecahkan dan dilarutkan dalam air. Kemudian air sungai di obok-obok sampai
keruh sehingga potas menyebar. Air yang keruh ditambah dengan tuba potas akan
membuat ikan mabuk dan keluar dari lubangnya. Kalau sudah begitu, kita tinggal
mengambil ikan-ikan yang mabuk tersebut.
Kami bersama-sama mengobok-obok air dan mengambil ikan. Saya ikut menyisir
sungai ke hilir bercampur bersama bapak-bapak, anak-anak dan perempuan rimba
dewasa. Ternyata mereka sangat antusias dan tidak terganggu dengan kehadiran
saya. Saat itu saya ikut memakai cawot dan bertelanjang dada. Salah seorang ibu
malah berkata sambil tertawa kalau saya mirip Orang Rimba betulan.
Tidak banyak yang didapat dari menuba ikan. Saat itu sangat sedikit ikan yang
didapat. Saya sendiri hanya bisa menangkap ikan tidak lebih dari 10 ekor
sebesar dua jari. Orang Rimba yang lain juga memperoleh hasil yang kurang lebih
sama. Kata mereka karena memang ikannya sudah tidak banyak lagi.
Pada waktu lalu mereka menuba ikan dengan sejenis tumbuhan tuba. Bagian
tumbuhan yang digunakan ada yang berupa akar dan ada yang menggunakan
batangnya. Cara penggunaannya sama saja. Akar atau batang pohon tuba diremukkan
dan dihaluskan langsung diatas air sungai. Dengan cara itu zat yang terhadap
dalam akar dan batang akan masuk ke air dan berperan menjadi tuba. Selanjutnya
air diobok-obok hingga keruh. Orang Rimba tinggal menunggu ikan menjadi mabuk
dan mengambilnya.
Sewaktu saya tanya mengapa tidak menggunakan akar dan batang tuba, mereka
menjawab bahwa memakai potas jauh lebih cepat dan lebih hebat efeknya.
Menggunakan akar, kulit, biji dan batang tuba memerlukan kerja lebih keras.
Konon satu batang belum tentu bisa membuat ikan mabuk. Sudah begitu mereka juga
harus menghancurkan akar, kulit, biiji dan batang tuba terlebih dahulu sehingga
makan waktu lama. Berbeda dengan potas, mereka cukup mengeluarkan uang beberapa
ribu rupiah maka ikan dipastikan akan mabuk. Tingkat kegagalan pemakaian potas
nyaris nol. Kalau sampai tidak dapat ikan, dipastikan bukan potas tidak bekerja
tetapi sangat mungkin karena tidak ada ikan di dalam sungai yang dituba. Pada
masa lalu tuba yang digunakan oleh Orang Rimba diantaranya tuba berisil, tuba
caroko, tuba akar, dan tuba kayu.
Mencari Rotan
Rotan adalah hasil hutan yang sejak dahulu sudah dijual oleh Orang Rimba. Di
dalam kawasan hutan Taman Nasiona Bukit Duabelas ada banyak jenis rotan yang
bernilai jual, misalnya rotan manau, rotan cacing, dan rotan tebu. Mereka
menjual dalam bentuk batangan maupun kiloan. Rotan yang dijual dalam bentuk
batangan dipotong minimal sepanjang 4 meter. Ukuran itu merupakan ukuran
standar bagi rotan.
Rotan terbaik dan berharga paling mahal adalah jenis rotan manau. Besarnya
kira-kira sama dengan lengan anak kecil. Batas buku-bukunya halus. Untuk
panjang 4 meter, perbatang dihargai 5 ribu rupiah. Rotan manau yang berukuran
lebih kecil dihargai 2 ribu rupiah perbatang. Ada juga rotan yang mirip rotan
manau, namanya rotan tebu. Besarnya sama dengan rotan manau tetapi buku-bukunya
terlihat jelas dan dalam. Harga rotan tebu perbatang hanya 2 ribu rupiah. Rotan
kecil-kecil yang biasa digunakan untuk mengikat sehingga sering disebut rotan
tali dihitung secara kiloan. Satu kilogram dihargai 500 rupiah.
Orang Rimba mencari rotan sampai jauh di dalam hutan. Secara sendiri-sendiri
maupun berkelompok Orang Rimba bekerja mencari rotan. Orang dewasa maupun
anak-anak sama saja. Kaum perempuan kadang juga ikut mencari rotan bersama.
Mereka turut mengangkuti rotan yang mereka ambil. Kadang-kadang diperlukan
waktu berhari-hari untuk mengangkutnya sampai di tempat toke rotan menunggu.
Hasil rotan yang diperoleh anak-anak maupun orang dewasa tidak jauh berbeda.
Bahkan kadangkala lebih banyak anak-anak. Dalam salah satu periode pencarian
rotan, salah seorang anak rimba yang mencari rotan yakni Mulau, berumur sekitar
9 tahun, memperoleh rotan lebih banyak dibanding orang dewasa di dalam
kelompoknya. Hasil penjualan rotan itu menjadi milik pribadi. Orang tua mereka
tidak berhak atas uang itu. Salah seorang orang tua pernah berkata bahwa uang
itu adalah hasil kerja anak-anak, jadi mereka berhak menggunakan uang itu untuk
apapun.
Sebelum pergi mencari rotan Orang Rimba biasanya berhutang dahulu pada toke.
Bagi toke, menghutangkan uang kepada Orang Rimba merupakan suatu keuntungan
karena mereka pasti akan menjual rotan kepadanya. Bagi Orang Rimba berhutang
berarti menetapkan target rotan yang harus dicari karena untuk melunasi hutang
tersebut. Biasanya hanya sebagian uang hasil dari berhutang yang digunakan
untuk bekal mencari rotan. Selebihnya lebih banyak untuk keperluan yang lain.
Anak-anak Orang Rimba tidak ditabukan untuk berhutang. Mereka juga berhutang
kepada toke rotan sebelum pergi mencari rotan. Mereka belajar menentukan target
hasil yang mereka inginkan. Mereka sendiri yang harus membayar hutang yang
telah berani mereka ambil. Mereka belajar bertanggung jawab terhadap
tindakannya sendiri. Sejak masih sangat kecil, anak-anak rimba sudah diajari
untuk mencari uang sendiri. Salah satunya dengan mencari rotan. Mereka belajar
untuk survival di dalam hutan dengan memanfaatkan berbagai hasil hutan yang
ada.
Ada hal yang menarik perihal hutang-menghutang yang dilakukan oleh Orang Rimba.
Apabila hasil rotan yang didapatkan tidak dapat menutupi hutang kepada toke,
maka hutang itu akan dibayar pada pencarian rotan berikutnya. Oleh karena itu
mereka sulit lepas dari hutang karena hutang lama akan ditambah dengan hutang
baru. Selain itu mereka pada
akhirnya hanya terikat pada satu toke saja. Menurut cerita salah seorang Orang
Rimba, mereka baru dapat melunasi hutang bila memperoleh getah jernang cukup
banyak.
Mencari getah damar dan jernang
Getah damar adalah salah satu hasil hutan yang telah dijual Orang Rimba sejak
jaman dahulu. Getah damar berasal dari pohon damar. Mereka sendiri memanfaatkan
getah damar sebagai penerangan, baik untuk penerangan di malam hari maupun
untuk penerangan di rumah. Caranya getah damar diikat di dalam gulungan kulit
pohon meranti lalu disulut api. Maka jadilah obor ala Orang Rimba. Mereka menyebutnya sebagai suluh. Saat
ini peran damar untuk penerangan tidak begitu penting lagi karena telah
digantikan oleh senter. Padahal senter hanya bisa diperoleh di luar hutan.
Demikian juga baterenya harus membeli dan hanya sekali pakai. Untuk penerangan
di dalam rumah mereka juga mulai mengganti dengan lampu minyak.
Orang Rimba hanya bisa mengumpulkan getah damar sedikit demi sedikit karena
tergantung tetesan getah dari pohon damar. Setelah beberapa waktu dan telah
terkumpul cukup banyak barulah getah damar dibawa ke toke untuk dijual. Saat
ini harga getah damar sekitar 700 rupiah sekilo. Para toke penampung getah
damar akan menerima berapapun getah damar yang diperoleh Orang Rimba. Apabila
telah terkumpul cukup banyak, barulah sang pengumpul menjual ke kota.
Jernang adalah sejenis tumbuhan mirip rotan yang tumbuh liar di dalam hutan.
Nama latin dari tumbuhan jernang adalah Daemonorops hyigrophilus. Jernang
digolongkan ke dalam jenis rotan. Batangnya berwarna hijau dan buahnya sama
dengan buah rotan umumnya, yakni berbentuk seperti buah kelengkeng. Getah
jernang diperoleh dari buah jernang. Getah jernang bernilai tinggi. Harga getah
jernang di pasaran bisa mencapai 800 ribu rupiah per kilogram. Boleh dibilang,
jernang adalah tumbuhan yang memiliki nilai ekonomis paling tinggi di kawasan
hutan Taman Nasional Bukit Duabelas. Kegunaan getah jernang adalah untuk bahan
pewarna. Selain dijual, getah jernang digunakan untuk melukis kerajinan tangan
yang mereka buat.
Pohon rotan jernang dianggap sebagai milik bersama. Siapapun asalkan Orang
Rimba berhak untuk mengambil buah jernang. Apabila ada yang mengganggu atau
memotong batang jernang maka akan di denda sangat banyak. Konon denda yang
dijatuhkan mencapai 120 kain. Apabila satu kain seharga 20 ribu, maka denda
yang harus dibayar senilai kira-kira 2,4 juta. Hal itu wajar mengingat harga
jernang yang sangat mahal. Pak Sungkono, salah seorang warga desa Bukit Suban
yang ikut dalam pemasangan patok Taman Nasional Bukit Duabelas mengatakan bahwa
ia pernah menyaksikan langsung bagaimana marahnya Orang Rimba mengetahui pohon
jernang ditebas oleh para pemasang patok. Semula Orang Rimba menuntut denda
ratusan ribu rupiah. Namun pada akhirnya denda tidak jadi dijatuhkan setelah
diberi penjelasan bahwa pemasangan patok adalah demi Orang Rimba juga.
Bejernang adalah istilah Orang Rimba untuk mencari getah jernang. Kegiatan
bejernang hanya dilakukan sekali dalam setahun karena buah jernang adalah buah
musiman. Musim jernang berkisar dari bulan April sampai Juni. Buah jernang
diambil dengan kait. Kadangkala Orang Rimba harus naik ke pohon lain yang
tinggi untuk mengambil buah jernang, sebab biasanya buah jernang terletak
tinggi diatas tanah. Getah jernang diperoleh dengan cara menumbuk buah jernang
yang telah diperam selama tiga hari. Menurut Bekinya, salah seorang anak muda
Orang Rimba, apabila sedang musim jernang, satu orang bisa mendapat minimal
setengah kilogram getah jernang. Itu artinya uang senilai paling kurang 400
ribu rupiah.
Pada saat musim jernang, Orang Rimba akan bersama-sama menuju ke daerah dimana
terdapat banyak pohon jernang. Biasanya, mereka bejernang bersama seluruh
anggota keluarga. Sebagai bekal mereka kadang mengambil hutang pada toke yang
nantinya akan membeli getah jernang yang mereka dapatkan. Namun tidak ada
keharusan menjual getah jernang pada toke yang dihutangi. Terpenting hutang
dilunasi.
Menurut cerita Laman, salah seorang Orang Rimba, dalam sekali musim jernang
paling tidak terkumpul setengah ton getah jernang. Apabila dikalkulasi dengan
uang, maka itu artinya uang senilai lebih dari 400 juta rupiah. Hampir semua
getah tersebut dijual melalui jenang yang ada di desa Tanah Garo. Apabila ada
yang menjual pada orang lain selain jenang maka hal itu bisa dianggap sebagai
penjualan ilegal.
Mengambil Madu
Madu adalah hasil hutan yang sangat dibanggakan oleh Orang Rimba. Mereka sangat
senang mengkonsumsi madu. Menurut mereka rasanya sangat enak dan menambah tenaga.
Tidak hanya madunya yang mereka konsumsi, sarangnya yang berisi calon lebah,
yakni rapa, juga mereka makan. Saya pernah dimasakkan rapa oleh mereka, rasanya
memang luar biasa. Selain untuk konsumsi, madu yang diperoleh kadang juga
dijual kepada penduduk desa sekitar. Menurut penduduk desa, madunya sangat
enak. Bahkan ada yang menyebutkan kalau madu dari hutan Orang Rimba, adalah
terbaik kedua se Indonesia. Itu artinya, kelezatan madu Orang Rimba sangat
diakui.
Madu didalam rimba berasal dari sarang madu yang tergantung di dahan pohon
sialang. Dalam satu pohon sialang bisa tergantung beberapa sarang madu
sekaligus. Pohon sialang adalah istilah untuk jenis-jenis pohon yang biasa
dihinggapi lebah madu untuk bersarang. Setidaknya ada lima jenis pohon yang
dikategorikan pohon sialang, yakni pohon kedondong, kruing, pulai, pari dan
kayu kawon. Jenis-jenis pohon tersebut dilarang ditebang. Bila ditebang dikenai
denda yang cukup besar. Menurut Orang Rimba, madu yang paling enak adalah madu
dari lebah yang bersarang di pohon kedondong.
Biasanya sarang lebah akan bergantungan di pohon sialang apabila bunga-bunga di
hutan telah mulai bermekaran. Lebah akan mengambil sari makanan dari
bunga-bunga itu. Oleh karena itu selain sebagai penghasil madu, lebah juga berfungsi
sebagai pembantu penyerbukan bunga-bunga di hutan. Tanpa keberadaan lebah madu,
penyerbukan bunga-bunga di hutan tidak akan berjalan baik. Hal itu bisa
menyebabkan musim buah di hutan terganggu.
Orang Rimba mengambil madu dengan cara memanjat pohon sialang. Di batang pohon
ditancapkan batang kayu kecil yang digunakan sebagai pijakan untuk naik ke
atas. Batang kayu itu disebut lantak. Semakin tinggi batang sialang maka
semakin banyak lantak yang dibuat. Sampai diatas, bambing, yakni sarang lebah ditusuk
menggunakan rotan yang panjang sampai ke bawah. Dibawah, ujung rotan dimasukkan
ke dalam wadah. Maka madu pun akan mengalir melalui rotan ke dalam wadah.
Tidak sembarang orang diperbolehkan mengambil madu. Hanya mereka yang telah
benar-benar ahli yang diperbolehkan. Hal itu karena proses pengambilan madu
cukup berbahaya. Apabila jatuh atau tersengat lebah, akibatnya bisa berupa
kematian. Selain itu ada juga ritual tata cara pengambilan lebah yang harus
dipatuhi. Ada mantera-mantera atau tombo yang harus dihafalkan dan dilafalkan
selama proses pengambilan madu. Ketika hendak mulai memanjat, ritual pertama
adalah menghilangkan hantu biyuto, yakni hantu kayu. Apabila tidak dicabut dan
dibuang, hantu biyuto bisa mengganggu pemanjat. Kemudian si pemanjat meminta
izin untuk melakukan pengambilan madu. Selama memanjat harus melafalkan
mantera-mantera agar madu yang ada didalam sarang bisa diambil semua. Demikian
juga ketika selesai mantera harus dinyanyikan.
Sedemikian berharganya madu bagi Orang Rimba, sehingga mereka menyimbolkan
pengambilan madu dengan melamar gadis. Madu diibaratkan susu gadis yang dilamar
dan ingin diambil. Mantera mengambil madu dilagukan layaknya melamar gadis.
Apabila ternyata sarang madu yang akan diambil madunya sudah berubah menjadi
lilin, maka sang pemanjat akan berlagu “.....mimpia apo aku semalam, aku
memeras susu jando.. adik oiiii...”
Ada banyak mantera yang harus dihafalkan oleh pemanjat. Oleh karena itu tidak
banyak anak muda yang sanggup jadi pemanjat madu. Alasannya karena belum hafal
manteranya. Berikut adalah contoh mantera mengambil madu. Mantera ini diperoleh
dari anak-anak muda rimba yang sedang belajar menghafalkan mantera tersebut.
Mandi dimano idak ingin, mandi diulak lesung batu
Hati siapo indak ingin, susu nulak dalam baju... adik ooiiii.............
Pancung ngikuk pancung kepalo, anak sawo mati berendan
Turunlah sikuk turun segalo, ughang mendalo rindu dendan
adik...ooiiii.........
betalang
Betalang adalah istilah Melayu Jambi untuk berladang. Betalang biasa diartikan
membuka hutan lalu menanaminya dengan berbagai tanaman produktif yang
menghasilkan. Tanaman yang ditanam adalah tanaman pangan dan perkebunan, yakni
karet dan sawit. Saat ini Orang Rimba melakukan hal yang sama. Orang Rimba juga
telah menanam berbagai jenis tanaman untuk makanan seperti misalnya ubi kayu,
keladi, ubi jalar dan padi. Selain itu mereka juga menanami hutan yang dibuka
dengan tanaman karet.
Orang Rimba betalang di dalam hutan di kawasan taman nasional. Mereka betalang
di kawasan hutan yang mereka sebut benuaron dan humo. Tidak seperti ladang atau
sawah milik penduduk desa yang membentuk komplek perladangan atau persawahan.
Ladang Orang Rimba tersebar dalam kawasan taman nasional. Antara ladang yang
satu dengan ladang yang lain terpisah jauh oleh hutan belantara. Apabila sering
melihat film tentang ladang-ladang ganja di Amerika Selatan yang berada di
tengah rimba, kondisi ladang Orang Rimba sangat mirip. Bila dilihat dari udara
mungkin akan jelas terlihat adanya lubang-lubang diantara pepohonan tinggi.
Lubang-lubang tersebut adalah ladang Orang Rimba. Luasnya tidak lebih dari satu
hektar, pada umumnya sekitar setengah hektar saja.
Betalang memerlukan proses yang panjang. Mula-mula pohon-pohon ditumbang
memakai kampak atau parang. Bahkan saat ini ada juga Orang Rimba yang meminta
tolong warga desa untuk menumbang pohon memakai gergaji mesin. Menurut mereka
cara itu lebih cepat. Dengan bayaran tertentu, dalam waktu singkat pohon-pohon
untuk talang (ladang) tumbang. Berbeda bila menggunakan kampak dan parang yang
memerlukan waktu lama dalam penumbangan. Namun begitu, sekalipun memakai gergaji mesin, tetap diperlukan kampak atau
parang. Gergaji mesin hanya untuk menumbangkan kayu-kayu yang berukuran cukup
besar. Untuk merobohkan kayu-kayu yang berukuran kecil-kecil sebesar lengan
tetap digunakan kampak dan parang.
Sesudah pohon ditumbang, selanjutnya adalah menunggu semuanya kering dan siap
dibakar. Lama menunggu sangat tergantung musim. Bila musim hujan bisa
berminggu-minggu menunggu. Namun bila musim kemarau akan jauh lebih cepat.
Setelah semuanya benar-benar kering barulah pembakaran dilakukan. Mula-mula
kayu-kayu kering dibakar begitu saja. Api dijaga agar tidak merembet ke dalam
hutan yang masih utuh. Setelah api padam, kayu dan ranting yang tersisa yang
berserakan dikumpulkan jadi satu lalu dibakar lagi sampai habis. Hal irtu
dilakukan berulang sampai tanah benar-benar bersih. Sesudah tanah bersih
barulah penanaman bisa dimulai.
Dalam pengerjaan ladang, apa yang dilakukan laki-laki dan perempuan tidak
terlalu banyak berbeda. Mereka secara bersama-sama ikut menumbang pohon. Hanya
saja perempuan biasanya menumbang pohon yang berukuran kecil sedangkan
laki-laki menumbang pohon yang berukuran besar. Selanjutnya dalam proses
membakar maupun mencari bibit tanaman, semua pihak berperan sama besar.
Saya pernah menyaksikan Orang Rimba, baik laki-laki, perempuan maupun anak
laki-laki dan perempuan mengambil bibit tanaman ubi kayu, ubi jalar dan keladi
dari suatu ladang Orang Rimba lainnya. Mereka mengangkut bibit itu dengan cara
dimasukkan ambung. Jarak yang mereka tempuh untuk mengambil bibit memerlukan
waktu berjalan sekitar satu jam perjalanan. Mereka benar-benar tangguh. Bibit
ubi kayu yang dibawa seorang anak perempuan rimba pernah coba saya angkat. Hasilnya baru beberapa meter sudah tidak
sanggup meneruskan karena sangat berat.
Tanaman yang ditanam oleh Orang Rimba adalah tanaman-tanaman yang menghasilkan
umbi atau buah. Beberapa jenis umbi yang ditanam adalah ubi kayu, ubi jalar
(kepar dalam bahasa Orang Rimba), keladi (sejenis talas) dan ubi maniy (sejenis
uwi di jawa). Hasil tanaman itu merupakan sumber karbohidrat penting. Orang
Rimba juga menanam padi. Jenis padi yang ditanam adalah padi darat yang berumur
panen 6 bulan. Orang desa menyebutnya jenis padi gogo. Rasanya jauh lebih enak
daripada padi 3 bulanan.yang dibudidayakan di sawah-sawah. Bulir padinya
besar-besar dan cenderung bulat. Mereka juga menanam pisang, tebu dan pepaya,
serta kadang-kadang waluh. Cabai juga ditanam. Biasanya jenis cabai yang
ditanam adalah jenis cabai rawit.
Orang Rimba menanam tanaman secara serempak. Pada saat menanam padi, juga
ditanam ubi kayu, ubi jalar, pisang dan lainnya. Dalam istilah pertanian modern
mereka melakukan sistem tanam tumpang sari. Di dalam ladang Orang Rimba bisa
ditemui bermacam-macam jenis tanaman yang tumbuh bersama. Mereka tidak pernah
menanami ladang hanya dengan satu jenis tanaman tertentu saja. Mungkin bertanam
ala tumpangsari membuat tanaman lebih aman dari serangan hama.
Apabila panen padi, Orang Rimba yang lain akan datang membantu. Sebagai
oleh-oleh mereka akan mendapat bagian hasil panen. Tangkai padi dipotong
menggunakan ani-ani. Banyak juga yang memotong tangkai padi dengan tangan
karena tangkai padi darat mudah patah. Tangkai padi yang sudah dipotong
dimasukkan ambung yang dibawa di punggung. Setelah itu padi dimasukkan ke dalam
lumbung. Batang padi yang ada dibiarkan saja tidak dibabat.
Ikut acara panen padi Orang Rimba sangat mengasyikkan. Meski tidak ada upacara
adat panen padi yang sempat dilihat, namun makan nasi baru sudah cukup
memuaskan. Ketika sebagian orang mengambil padi, ada perempuan rimba yang
menumbuk padi dalam lengsung. Beras tumbukan itu lalu dibungkus daun-daun
layaknya ketupat lantas dibakar. Orang Rimba menyebut cara menanak nasi semacam
itu sebagai nasi kebat. Rasanya enak sekali.
Menurut cerita Sergi, yakni sang pemilik ladang padi yang dipanen, luas lahan
padi miliknya hampir satu hektar. Akan tetapi tampaknya luas sebenarnya tidak
sampai seperempat hektar. Mungkin Sergi melebih-lebihkan besarnya ukuran untuk
menunjukkan bahwa dia memiliki banyak padi. Hal itu wajar sebab memiliki banyak
padi adalah kebanggaan. Ia juga mengatakan bahwa padinya akan cukup untuk makan
satu tahun. Pada saat itu
Sergi memiliki satu istri dan satu orang anak. Tatkala Sergi menikah lagi
dengan seorang gadis 1 bulan kemudian, seluruh padi hasil panen miliknya
diambil oleh saudara sang gadis. Mungkin padi itu dianggap sebagai mahar.
Ubi kayu, ubi jalar dan keladi yang ditanam Orang Rimba bisa berukuran raksasa.
Saya pernah dibawakan ubi jalar yang dibakar utuh satu buah. Ternyata
panjangnya hampir 2 jengkal. Diameternya sekitar 15 cm. Tentu saja saya tidak
kuat menghabiskan semuanya. Akhirnya,
ubi bakar tersebut dimakan beramai-ramai. Hal tersebut sebenarnya tidak
mengherankan. Sangat mungkin ukuran raksasa itu diakibatkan karena suburnya
tanah ladang Orang Rimba sebab baru pertama kali dibuka.
Kelezatan keladi, ubi jalar dan ubi kayu yang ditanam Orang Rimba seolah jadi
legenda di desa Bukit Suban. Banyak orang yang memesan ketiga jenis umbi
tanaman itu pada Orang Rimba karena rasanya yang enak luar biasa, meskipun
hanya direbus. Prabung, salah seorang Orang Rimba yang betalang tidak jauh di
dalam taman nasional sering menerima pesanan dari mereka. Saya sendiri beberapa
kali dibakarkan umbi-umbi itu oleh ank-anak Prabung. Rasanya memang luar biasa.
Makan satu buah ubi jalar bakar (ubi maniy dalam bahasa Orang Rimba) sudah
cukup membuat kenyang, sangat kenyang malahan.
Tanaman karet (para dalam bahasa Orang Rimba) yang merupakan tanaman perkebunan
juga ditanam pada saat ladang baru dibuka. Orang Rimba mencari bibit yang
berupa anakan pohon karet di kebun-kebun karet milik penduduk desa. Biasanya
mereka mencari anakan karet sebelum ladang dibuka. Anakan karet tersebut akan
direndam dulu di dalam aliran air selama beberapa waktu sampai tumbuh
tunas-tunas baru. Anakan karet yang sudah bertunas itulah yang ditanam di
ladang sebab kemungkinannya untuk tumbuh cukup besar.
Orang Rimba membiarkan saja tanaman karet yang ditanam tanpa perawatan. Ketika
tanaman lain sudah habis dan tinggal tanaman karet yang tersisa, maka tanaman
karet tersebut yang menjadi penanda bahwa ladang tersebut adalah milik sang
penanamnya. Jadi sekali membuka ladang maka mereka akan seterusnya diakui
menjadi pemilik ladang tersebut. Biasanya sebelum karet bisa disadap Orang
Rimba akan pindah membuka ladang di tempat lain. Setelah beberapa tahun pohon
karet akan bisa disadap dan pemiliknya akan menyadap karet.
Menjual hasil ladang
Kecuali padi, tumbuhan yang ditanam Orang Rimba tidak memiliki waktu panen
serempak. Mereka bisa mengambil hasil tanaman kapan saja asalkan sudah cukup
umur untuk dipanen. Umbi keladi misalnya, apabila tidak diambil maka dari umbi
itu akan keluar tunas-tunas baru yang tumbuh menjadi tanaman. Jadi sekali
menanam untuk selamanya akan ada stok keladi. Anakan-anakan keladi yang ada
akan disebarkan lagi sehingga semakin banyaklah stok keladi.
Orang Rimba hanya mengambil umbi-umbian sejumlah yang diperlukan saja. Satu
pokok ubi kayu biasanya memiliki umbi yang sudah cukup untuk makan sehari. Oleh
karenanya mereka hanya mengambil satu pokok ubi kayu sehari. Demikian juga
umbi-umbian lain hanya diambil sebanyak yang diperlukan saja. Mereka jarang
menggoreng umbi-umbi itu. Biasanya hanya direbus atau dibakar. Mereka sangat
pandai membakar umbi-umbian. Jarang terjadi kulit umbi menjadi gosong saat
pembakaran. Sudah begitu mereka tahu persis kapan umbi yang dibakar telah
matang seluruhnya. Memakan umbi bakar di dalam hutan bersama Orang Rimba adalah
pengalaman berharga yang tidak akan terlupakan.
Hasil ladang Orang Rimba tidak melulu untuk dikonsumsi sendiri. Mereka juga
menjual hasil ladang kepada warga desa. Biasanya yang mereka jual adalah daun
pucuk ubi dan cabai. Satu ikat besar pucuk ubi oleh warga desa dihargai 500
rupiah. Untuk cabai, harganya
tergantung harga cabai di pasaran desa sekitar. Namun biasanya cabai Orang
Rimba dihargai sedikit lebih rendah. Umbi-umbian juga mereka jual. Namun karena berat, mereka hanya membawa
umbi keluar hutan bila ada yang memesan. Pak Puji, Kepala desa Bukit Suban
adalah salah satu pemesan ubi Orang Rimba. Satu ambung yang dibawa dihargai
beberapa ribu rupiah. Menurut beliau seperti juga kebanyakan orang desa
lainnya, rasa ubi Orang Rimba jauh lebih enak daripada ubi yang ditanam di
desa. Khusus untuk umbi-umbian mereka tidak mau menjual dalam jumlah besar
dengan tujuan untuk dijual lagi oleh pembeli. Mereka mau menjual apabila hanya
untuk dimakan. Mungkin mereka berpikir bahwa kalau dijual dalam jumlah besar,
mereka akan kehilangan bahan makanan.
Biasanya yang menjual pucuk ubi maupun cabai adalah anak-anak. Tidak banyak
yang mereka bawa, paling-paling beberapa ikat pucuk ubi dan satu atau dua
kilogram cabai. Bahan yang dijual itu dimasukkan ambung. Mereka menawarkannya
dari pintu ke pintu. “Endok beli daun ubi?”, kata mereka menawarkan.
Pada umumnya mereka sudah memiliki langganan sendiri. Mereka enggan menawarkan
pada orang yang bukan langganan. Namun begitu mereka tidak menolak apabila ada
orang lain yang mau membeli. Nuju, salah seorang anak perempuan rimba, bersama
saudara-saudaranya paling sering terlihat menjual hasil ladang di desa Bukit
Suban. Dia adalah anak dari Prabung, seorang warga Orang Rimba yang betalang
tidak jauh di dalam hutan. Jaraknya paling-paling sekitar 2 km dari pemukiman
penduduk. Dari pinggir hutan jaraknya tidak sampai 1 km masuk ke dalam rimba.
Biasanya mereka akan mendapat bagian dari hasil penjualan. Bahkan seringkali
atas inisiatif sendiri mereka menjual hasil ladang bila mereka menginginkan
suatu barang. Sayangnya dari beberapa kali menjual hasil ladang, uang bagian
mereka hanya dihabiskan untuk membeli jajanan. Uang bagian ibu mereka biasanya
dibelikan bumbu masak, seperti masako dan sejenisnya.
Memotong Para
Orang Rimba merupakan indigenous people di dalam kawasan hutan Taman Nasional
Bukit Duabelas yang memanfaatkan hampir seluruh ruang di dalam kawasan. Di masa
depan, menurut program Badan Konservasi Sumber Daya Alam, Orang Rimba
diharapkan akan berubah menjadi masyarakat desa seperti umumnya yang bertani
dan berladang di luar kawasan taman nasional sehingga peruntukan taman nasional
benar-benar untuk konservasi. Proses ke arah itu akan sangat panjang serta
memerlukan keterlibatan banyak pihak. Dinas BKSDA dan terutama LSM Warsi telah
mendorong Orang Rimba untuk memiliki kebun-kebun karet di pinggiran taman.
Kebun karet akan berperan sebagai pagar bagi intrusi orang desa ke dalam taman.
Sebab aturan yang disepakati antara orang desa dan Orang Rimba adalah melarang
dibukanya lahan oleh orang desa di seberang lahan yang telah dibuka oleh Orang
Rimba. Adanya kebun karet Orang Rimba di pinggir taman otomatis menjadi batas
alam peluasan ladang orang desa ke dalam hutan.
Meskipun menanam karet sudah dilakukan puluhan tahun lamanya, namun baru saat
ini menanam pohon karet sepertinya menjadi keharusan. Sebagian dari mereka
merasa bahwa hanya dengan bertanam pohon karet maka masa depan akan terjamin.
Habisnya berbagai sumberdaya hutan yang biasanya mereka manfaatkan membuat
mereka pada akhirnya tidak memiliki pilihan selain betalang dan menanam pohon
karet. Dorongan bertanam karet datang dari pihak kehutanan dan hasil pendekatan
yang berhasil dari LSM Warsi. Nijo, salah seorang warga rimba mengatakan ia
harus menanami ladang yang dibuka dengan karet. Kalau tidak, ia akan (baca :
merasa) dimarahi oleh pihak kehutanan karena membiarkan ladang terbuka tanpa
tanaman keras.
Beberapa Orang Rimba Makekal Hulu telah memiliki kebun karet yang berumur cukup
untuk disadap. Temenggung Segrip, Prabung, Bebayang, Nijo dan lainnya adalah
beberapa Orang Rimba yang telah memilikinya. Di luar Orang Rimba Makekal Hulu,
tanaman karet juga telah banyak dimiliki oleh Orang Rimba. Temenggung Tarib,
pemimpin kelompok Orang Rimba Air Hitam, memiliki lahan karet yang sangat luas.
Ia bahkan memiliki kebun sawit.
Hasil dari menyadap (motong dalam istilah bahasa Orang Rimba) getah karet cukup
lumayan. Satu kilo getah karet dihargai sekitar 4-5 ribu rupiah. Apabila ada
500 batang karet dan tiap hari disadap, dalam sebulan bisa menghasilkan sekitar
1 sampai 2 pikul (1 pikul sama dengan 100 kg). Itu artinya uang sebanyak
kira-kira 400-800 ribu rupiah. Prabung yang memiliki kebun karet sekitar 500
meter dari pinggir hutan berpenghasilan sekitar itu dari kebun karetnya. Untuk
mengeluarkan getah karet yang dimiliki juga cukup mudah karena ia tinggal
menghilirkan getah karetnya melalui sungai. Di pinggir sungai dekat jalan di
desa Bukit Suban, toke karet menunggu dengan mobil untuk membeli getah
tersebut.
Prabung mengakui bahwa dirinya baru belajar menyadap karet. Sebagaimana banyak
Orang Rimba lainnya yang memiliki karet, mereka pada umumnya juga belum bisa
menyadap karet. Namun sebenarnya pekerjaan menyadap adalah pekerjaan mudah.
Apabila mereka enggan menyadap, sangat mungkin hal itu lebih dikarenakan
perubahan pola kebiasaan kerja yang tidak biasa mereka lakukan.
Bebayang memiliki kebun karet yang cukup luas di dalam hutan. Menurutnya batang
karet yang dimilikinya berjumlah lebih dari 2000 batang. Sayang jaraknya jauh. Perjalanan santai ke sana akan memakan
waktu tidak kurang dari 3 jam. Ia tidak menyadap sendiri batang karet tersebut. Ada orang desa yang diminta
untuk menyadap getah karet miliknya. Sistem pembagiannya adalah 1/3 untuk
pemilik, yakni Bebayang, dan 2/3 untuk penyadap. Untuk mengeluarkan getah karet
ke desa dimana toke karet mau membeli merupakan pekerjaan berat. Menurut si
penyadap karet milik Bebayang, 25 keping getah karet yang dikeluarkan
membutuhkan waktu tidak kurang dari 2 hari untuk sampai ke desa.
Si penyadap karet milik Bebayang membawa serta istri dan anaknya tinggal di
dalam hutan sebagaimana Orang Rimba lainnya. Mereka membawa bekal yang
merupakan utang dari toke karet. Jadi sebelum bekerja mereka berutang dulu
sebagai modal kerja. Orang Rimba juga biasa berhutang dulu. Prabung, Bebayang,
dan lainnya biasa berhutang. Ketika karetnya telah siap ditimbang tinggal
diperhitungkan besarnya harga karet yang dimiliki dengan hutang pada sang toke.
Para toke sendiri tidak pernah keberatan bila Orang Rimba berhutang karena
mereka sangat percaya dengan kejujuran Orang Rimba. Mereka yakin Orang Rimba
tidak akan menipu. Pada kenyataannya, Orang Rimba memang orang-orang yang
sangat jujur. Namun sekali dibohongi mereka juga akan kehilangan kepercayaan
untuk selamanya.
Menanam sawit.
Daerah-daerah di sekitar kawasan ruang hidup Orang Rimba, terutama daerah eks
pemukiman transmigrasi merupakan daerah makmur berkat adanya perkebunan sawit. Antara pihak perusahaan perkebunan dan
petani tertjadi kerjasama dalam penanaman sawit. Petani menyerahkan ladangnya
untuk ditanami sawit oleh pihak perusahaan. Seluruh biaya bibit dan biaya
perawatan diperoleh dari kredit kepada bank dengan agunan tanah itu dan
sepenuhnya dikelola oleh pihak perusahaan. Ketika panen maka petani mendapatkan
70% hasil penjualan, sedangkan perusahaan mendapatkan 30% sisanya untuk
mengangsur kredit. Hal itu berlangsung sampai kredit terhadap bank lunas.
Sistem plasma yang dijalankan tersebut membuat penduduk desa menjadi penduduk
yang makmur. Penghasilan yang diperoleh dari kebun sawit sudah cukup memadai
untuk kehidupan yang layak.
Saat ini banyak Orang Rimba sedang diupayakan untuk memiliki kebun sawit juga.
Dinas Sosial melalui program PKMT (Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat
Terasing) menyediakan perumahan bagi Orang Rimba dipinggir taman nasional,
sekaligus bibit sawit. Meski kebanyakan rumah tidak ditinggali, beberapa orang
rimba sudah mulai menanam bibit sawit tersebut di ladang mereka. Temenggung,
Prabung, Srine, Laman dan lainnya sudah memiliki kebun sawit yang dalam
beberapa tahun akan menghasilkan.
Sekitar tahun 2001 program
serupa dari Dinas Sosial pernah dijalankan bagi Orang Rimba kelompok Air Panas.
Namun karena pola pikir dan kebiasaan Orang Rimba tidak mendapatkan perhatian,
akibatnya program itu gagal. Hasilnya kebun sawit 2 hektar yang dimiliki setiap
kepala keluarga habis dijual oleh Orang Rimba. Demikian juga rumah-rumah yang
disediakan bagi mereka kebanyakan sudah berganti pemilik. Orang Rimba kembali
lagi tinggal di dalam tenda-tenda di dalam hutan.
Mencari Brondolan Sawit
Ada cerita memilukan yang menimpa Orang Rimba dalam mencari penghidupan, yakni
tentang para pencari brondolan sawit. Mereka adalah Orang Rimba yang tidak
memiliki ladang dan tidak lagi tinggal di dalam hutan. Mereka tinggal di
kebun-kebun karet dan sawit milik penduduk yang notabene dulunya adalah ruang
hidup mereka saat masih berupa hutan. Mereka sangat kesulitan mencari makan.
Oleh karenanya mereka mencari uang untuk membeli kebutuhan pokok dengan mencari
brondol sawit di kebun-kebun sawit milik penduduk desa. Brondol sawit adalah
butir-butir sawit yang lepas dari tangkainya (tangkai buah sawit disebut
janjangan) saat di panen. Oleh penduduk desa, brondol sawit itu biasanya tidak
diambil karena memang berjumlah tidak banyak. Oleh Orang Rimba, brondol sawit
itu dikumpulkan dan dijual kepada orang yang bersedia menampungnya. Mereka memunguti
brondolan sawit di kebun sawit yang baru saja dipanen karena buah sawit hanya
bertahan sekitar 3 hari sebelum busuk. Satu per satu brondolan sawit yang
terasa berminyak bila dipegang, dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam karung.
Dengan dipanggul atau digendong mereka membawa karung-karung berisi brondol ke
tempat orang yang mau membeli.
Pak Alisman di desa Pematang Kabau adalah salah satu orang yang biasa membeli
brondol sawit dari Orang Rimba. Beliau orang minang yang telah lama tinggal di
daerah itu. Oleh Temenggung Tarib, pemimpin kelompok Orang Rimba Air Hitam yang
pernah bertemu presiden Megawati di istana negara, ia diangkat anak. Biasanya,
orang-orang yang hendak berkunjung ke kelompok Orang Rimba Air Hitam melalui
beliau. Saya pernah berjumpa orang dari Inggris yang datang ke kelompok
Temenggung Tarib. Ia makan dan menginap di rumah Pak Alisman. Beliau merupakan
perintis pendidikan Orang Rimba Air Hitam.
Sayangnya, penduduk desa tidak semua setuju dengan apa yang dilakukan Pak
Alisman. Bahkan ada yang mengancam agar tidak membeli brondolan sawit dari
Orang Rimba. Pernah ancaman yang datang sangat keras yakni ancaman pembakaran.
Menurut mereka, bila Orang Rimba dibiarkan mengambil brondolan maka bisa saja
mencuri sawit yang masih dalam janjangan. Namun Pak Alisman menolak berhenti
membeli brondolan karena bila ia berhenti maka tidak ada yang mau membeli. Itu
artinya penghasilan Orang Rimba pencari brondol terhenti karena satu-satunya
sumber pendapatan adalah mencari brondol sawit.
Pak Alisman juga pernah diancam mau dihukum oleh pihak perusahaan perkebunan
sawit. Hal itu dikarenakan ia membeli brondolan sawit dari Orang Rimba yang
mengambil brondol di kebun milik perusahaan. Menurut peraturan perusahaan,
brondol tidak boleh diambil dan harus dibakar. Namun pak Alisman tetap kukuh,
karena kalau tidak dibeli, Orang Rimba terancam tidak mendapat makanan. Lagi
pula menurutnya mengambil brondol tidak merugikan siapa-siapa. Beliau
mengibaratkan Orang Rimba sebagai ayam yang mengambil sisa-sisa makanan yang
tumpah ketika hendak dimakan orang. Toh, sisa makanan yang tumpah itu tidak
akan diambil lagi. Sehingga sesungguhnya tidak ada yang dirugikan.
Harga brondolan sawit dihargai lebih rendah daripada sawit yang masih utuh
dalam tandan. Harganya berkisar 60% dari harga buah sawit utuh. Saat harga
sawit di tangan petani berkisar 500 rupiah per kilogram, brondolan sawit
dihargai 300 rupiah per kilogram. Hasilnya kadangkala lumayan. Dalam satu hari
mencari, mereka bisa mendapatkan uang sampai 20 ribu rupiah. Namun lebih sering
mereka hanya mendapat beberapa ribu rupiah saja.
Tidak hanya Orang Rimba dewasa yang mencari brondol sawit. Anak-anak juga
mencari brondolan sawit. Biasanya anak-anak tidak mau menggabungkan hasil
mereka dengan hasil milik orang tua. Mereka mencari brondol sawit untuk diri
mereka sendiri. Sebagian besar uangnya hanya habis untuk membeli makanan jajan,
seperti roti, kerupuk, permen dan sejenisnya.
KEPERCAYAAN
ORANG RIMBA
Setiap budaya
memiliki dunia batinnya sendiri. Manusia dalam budaya tertentu mempersepsi
dunia sekitar mereka dan memahaminya secara khas. Fenomena yang sama mungkin
saja akan dilihat, dipersepsi dan ditafsirkan secara berbeda oleh orang dari
budaya berbeda. Misalnya angin ribut yang memporak-porandakan rumah mungkin
akan dipahami sebagai gejala alam biasa oleh orang minang, dipahami sebagai
pertanda tertentu oleh orang jawa, dan dipahami sebagai pekerjaan hantu oleh
Orang Rimba.
Orang Rimba memiliki cara yang khas dalam memahami dunia sekitar yang merupakan
hasil dari interaksinya dengan alam dan kelompok manusia lainnya selama ribuan
tahun. Mereka mengembangkan dunia batin yang cocok dan sesuai dengan kondisi
mereka. Dunia batin itu mempengaruhi cara mereka dalam memahami sesuatu dan
dalam bertindak. Ide tentang dunia atau dunia batin mewujudkan dirinya dalam
bentuk riil yakni sistem kepercayaan, mitos, adat, struktur sosial, trait
psikologis dan sebagainya.
“Orang Rimba memiliki kepercayaan dinamisme dan animisme. Mereka mempercayai
kekuatan alam. Mereka memuja roh nenek moyang. Mereka memiliki banyak Dewa yang
mereka anggap Tuhan. Akan tetapi mereka sesungguhnya tidak benar-benar
bertuhan. Mereka benar-benar masih merupakan masyarakat primitif....”
Demikianlah salah satu komentar terhadap Orang Rimba yang dilontarkan oleh
salah seorang penduduk desa yang dekat dengan kawasan hutan tempat tinggal
Orang Rimba.
Komentar diatas menumbuhkan keingintahuan saya mengenai kepercayaan Orang
Rimba. Dengan minat bagaikan anak kecil yang ingin tahu isi sebuah kebun
binatang setelah mendengar betapa menariknya isi kebun binatang, saya berupaya
mencari tahu seperti apa sebenarnya kepercayaan Orang Rimba. Sayangnya Orang
Rimba yang saya temui tidak bercerita sebanyak yang saya harapkan. Tapi mungkin
hal itu dikarenakan memang tidak banyak yang bisa mereka ceritakan. Untungnya
ada beberapa literatur yang juga menceritakan mengenai kepercayaan Orang Rimba.
Mitologi Penciptaan.
Sama seperti setiap sistem kepercayaan lainnya, Orang Rimba juga memiliki
mitologi mengenai penciptaan. Mereka memiliki suatu mitologi yang menjelaskan
terjadinya kehidupan. Menurut mitologi Orang Rimba, pada awal kehidupan tidak
ada sesuatupun kecuali Tuhan. Dunia beserta segala sesuatu yang ada belum ada,
yang ada adalah ketiadaan. Lantas Tuhan berkehendak menciptakan kehidupan. Maka
diciptakanlah kuntul putih (langit) dan gagak hitam (bumi beserta segala
isinya). Sejak penciptaan itulah maka kehidupan dimulai.
Mitologi penciptaan Orang Rimba tampaknya dipengaruhi oleh persentuhan mereka
dengan para penganut agama Islam. Bukti kuat dari adanya pengaruh itu adalah
kisah tentang manusia pertama. Menurut mereka, manusia pertama yang ada di bumi
adalah Nabi Adam. Mereka adalah keturunan Nabi Adam dan merasa paling dekat
dengannya. Kedekatan itu terbukti dalam pemeliharaan adat atau aturan yang
berasal dari nenek moyang. Kaum yang tidak lagi memelihara aturan nenek moyang
berarti keturunan yang jauh hubungannya dengan Nabi Adam. Berbeda dengan Orang
Rimba yang selalu memelihara aturan dan adat dari nenek moyang. Artinya,
merekalah yang paling dekat dengan Nabi Adam.
Penolakan terhadap agama lain selain apa yang sudah diyakini juga berasal dari
keyakinan akan kedekatan hubungan dengan Nabi Adam. Menurut mereka agama yang
mereka yakini adalah agama Nabi Adam. Mereka percaya dan yakin akan hal itu
karena mereka dan nenek moyang mereka tidak pernah mengubah apapun yang sudah
ada. Oleh karena itu mengikuti agama lain yang berasal dari nabi lebih rendah
tidak mau mereka lakukan. Misalnya agama Islam tidak mau mereka ikuti karena
dibawa oleh Nabi Muhammad yang merupakan nabi terakhir.
Orang Rimba percaya bahwa manusia berasal dari tanah. Hal itu terlihat jelas
dari kepercayaan mereka mengenai ilmu kebal. Sehebat apapun orangnya, menurut
mereka tidak ada orang yang kebal dengan senjata yang telah ditancapkan di
tanah. Hal itu dikarenakan manusia berasal dari tanah. Oleh karena itu biasanya
mereka menancapkan salah satu senjata ditanah sekitar rumah untuk berjaga-jaga
kalau ada pengganggu yang memiliki ilmu kebal.
Ketuhanan Orang Rimba.
Tuhan dalam konsepsi Orang Rimba adalah pencipta segala sesuatu. Esensi Tuhan
ada di dalam segala sesuatu. Namun kehadiran Dzat Tuhan itu sendiri sesuatu
yang gaib. Tidak ada yang mengetahui keberadaan Tuhan. Mereka membandingkan
antara esensi Tuhan dengan Dzat Tuhan yang gaib dengan fenomena burung gading.
Menurut kepercayaan Orang Rimba, burung gading adalah burung penjelmaan Tuhan.
Ketika burung gading memperdengarkan suaranya yang merdu, saat itulah sama
dengan esensi Tuhan yang bisa dirasakan, namun burung gading itu sendiri tidak
pernah terlihat, halmana menunjukkan kegaiban dzat Tuhan. Kadang Orang Rimba
menyebut Tuhan dengan ungkapan Allah. Tampaknya ungkapan itu merupakan hasil
dari pengaruh Islam.
Orang Rimba mempercayai Dewo dan Dewi yang fungsi dan perannya mirip dengan
Tuhan dalam konsepsi agama monotheis. Namun meski demikian nyatanya mereka juga
mempercayai Tuhan tunggal sebagai pencipta alam, sehingga konsep ketuhanan
Orang Rimba sangat unik sekaligus membingungkan. Peran Tuhan tertinggi sebagai
pencipta alam seolah-olah hanya untuk menjelaskan tentang penciptaan kehidupan.
Karena pada kenyataannya, meskipun eksistensi Tuhan tertinggi diakui akan
tetapi hampir tidak pernah disinggung dalam kehidupan keseharian. Dewa serta
Dewi yang selalu disinggung dan benar-benar berperan dalam kehidupan. Dewa dan
Dewi adalah tujuan berdoa, tujuan meminta ampun, dianggap yang akan menjatuhkan
kesenangan maupun kutukan, dan lainnya. Misalnya ketika takut melakukan sesuatu
karena merupakan pantangan, mereka umumnya beralasan “nanti dikutuk Dewo.”
Mengikuti pendapat Wilhelm Schmidt, dalam bukunya ‘The Origins of The Idea of God’,
Orang Rimba agaknya telah memiliki kepercayaan monoteis primitif. Namun lama
kelamaan kepercayaan itu memudar karena Tuhan dianggap sesuatu yang suci dan
sakral sehingga tidak ada ritus apapun yang memadai yang ditujukan untuk-Nya.
Oleh karena itu kepercayaan terhadap Tuhan tunggal perlahan memudar karena
tidak hadir dalam keseharian Orang Rimba, dan digantikan dengan kepercayaan
terhadap banyak Dewa. Kepercayaan terhadap banyak Dewa terus bertahan karena
lebih menarik dan bersifat praktikal. Baru setelah adanya persentuhan dengan
dunia luar, terutama Islam, konsepsi Tuhan tunggal sebagai pencipta alam
diadopsi kembali. Meski demikian perannya di dalam kehidupan tetap sangat
kurang atau malah hampir tidak ada. Dewo dan Dewi yang dianggap sebagai pengatur
tatanan kehidupan. Seluruh dimensi kehidupan diatur dan dimiliki oleh Dewo dan
Dewi. Merekalah sumber dari kesehatan, kesenangan, rezeki, sakit dan segala
sesuatu yang lainnya. Sehingga secara praksis Dewo dan Dewi-lah Tuhan mereka
sesungguhnya. Oleh karena itu agaknya sah bila mereka disebut berkepercayaan
polytheistik.
Sesuai sebutannya, Dewo dan Dewi berjumlah lebih dari satu. Tidak ada yang
paling utama diantara Dewa dan Dewi itu. Mereka memiliki tempat tinggal
tertentu, seperti di sungai (di hulu maupun di hilir), di pinggir sungai dan di
puncak bukit. Yang menarik ternyata Orang Rimba mengklasifikasikan Dewo dan
Dewi ke dalam dua kategori bertentangan, yakni Dewo dan Dewi pembawa kebaikan
serta Dewo dan Dewi pembawa keburukan. Dewo dan Dewi yang tinggal di hulu
sungai dianggap sebagai pembawa kebaikan, sebaliknya yang tinggal dihilir
sungai dianggap pembawa keburukan. Pembagian itu tampaknya terkait dengan
interaksi Orang Rimba dengan orang Melayu. Daerah hilir sungai merupakan daerah
orang Melayu. Melalui interaksi dengan orang Melayu, Orang Rimba mendapat
berbagai penyakit menular dan ganas seperti cacar. Selain itu orang Melayu juga
sering menangkap Orang Rimba untuk dijadikan budak.
Setan dan malaikat.
Tidak berbeda jauh dengan konsepsi agama Abrahamik mengenai setan dan malaikat
yang saling bertentangan satu sama lain, Orang Rimba pun memiliki konsepsi
mengenai setan dan malaikat yang serupa. Setan adalah makhluk gaib yang
sifatnya merusak dan mengganggu manusia. Setan memiliki wilayah kekuasaan
tertentu, misalnya bukit. Menurut Orang Rimba, setan tidak meninggalkan daerah
kekuasaannya. Daerah yang dianggap dikuasai setan tidak akan ditempati oleh
Orang Rimba, karena akan menimbulkan berbagai musibah dan penyakit. Setan akan
marah kalau daerah kekuasaannya diganggu. Oleh karena itu untuk menghindari
kemarahan setan, daerah yang dianggap dikuasai setan tidak dilewati. Kalaupun
terpaksa, tidak boleh merusak tumbuhan atau benda yang ada di tempat tersebut.
Di dalam rimba terdapat juga makhluk gaib sejenis dengan setan, yakni hantu.
Tidak berbeda dengan setan, kerja hantu adalah merusak. Hantu dikonsepsikan
sebagai mahluk gaib yang bisa bergerak. Hantu bisa menyatukan diri dengan angin
ribut dan hujan yang sangat deras serta lama. Apabila ada angin ribut atau
hujan deras merusak rumah, ladang, dan hutan, maka menurut Orang Rimba pastilah
ada hantu yang menyatukan diri dengan angin ribut dan hujan tersebut.
Hampir setiap kelompok budaya di Indonesia mengenal adanya hantu yang suka
menyembunyikan anak-anak. Misalnya etnis jawa mengenal jenis hantu yang disebut
wewe. Demikian juga Orang Rimba mengenal jenis hantu yang suka menyembunyikan
anak-anak. Mereka menyebutnya hantu garo-garo. Secara harfiah hantu garo-garo
mungkin bermakna hantu pembuat gara-gara
Hantu garo-garo adalah hantu perempuan. Kemunculannya memiliki sejarah.
Diceritakan pada zaman dahulu kala ada seorang ibu yang kehilangan bayinya.
Karena sangat sedih, maka sang ibu meninggal. Setelah meninggal, arwah sang ibu
berusaha mencari anaknya dan rohnya berubah menjadi hantu. Namun karena menurut
sang hantu anaknya tentu sudah beranjak besar, maka yang dicari adalah anak
yang sudah cukup besar. Hantu garo-garo tidak akan menyembunyikan anak yang
masih baru dilahirkan. Oleh karena itu anak-anak yang mulai tumbuh besar selalu
dipasangi jimat oleh orang tuanya. Jimat itu berguna untuk menangkal hantu
garo-garo. Biasanya jimat dipakaikan seperti kalung. Apabila hantu garo-garo
sudah menyembunyikan anak, maka sang anak harus diminta kembali dengan cara
tertentu. Bila tidak maka sang hantu tidak akan mengembalikan anak yang dibawa
untuk selama-lamanya. Menurut cerita Sediah, salah seorang remaja rimba,
adiknya, yakni Begenyek pernah disembunyikan hantu garo-garo selama beberapa
hari. Begenyek sendiri mengakui bahwa dirinya pernah dibawa hantu garo-garo.
Fakta bahwa hampir setiap budaya memiliki cerita tentang hantu pembawa
anak-anak sangatlah menarik. Mungkin cerita tentang hantu itu adalah penjelasan
atas perginya anak-anak yang sering tidak diketahui oleh orang tuanya. Adalah
hal biasa apabila anak-anak yang dibesarkan di lingkungan alam yang memiliki
ruang luas seperti halnya desa maupun hutan, pergi untuk memuaskan rasa ingin
tahunya maupun sebagai bentuk protes (minggat). Karena luasnya ruang, maka sang
anak seringkali tidak dapat ditemukan dengan segera. Kadangkala sang anak
tersesat. Dalam kondisi bingung, takut, ataupun tertekan, anak-anak biasanya
menggunakan kekuatan fantasinya yang kuat sebagai mekanisme untuk menentramkan
diri dan bertahan. Fantasi itu biasanya berkisar pada kenikmatan, baik karena
makanan yang lezat maupun kondisi yang menyenangkan lainnya. Namun fantasi yang
berkembang bisa juga hal-hal yang bersifat menakutkan.
Orang-orang dewasa hanya memiliki satu penjelasan mengapa sang anak tidak bisa
ditemukan, yakni melalui kacamata supranatural. Anak hilang dianggap dibawa
hantu. Hal itu wajar mengingat hampir setiap budaya di Indonesia sangat
mempercayai kekuatan supranatural. Segala sesuatu yang tidak atau belum dapat
dijelaskan dengan nalar akan dikaitkan dengan dunia supranatural. Mereka belum
atau tidak memiliki penjelasan dari sisi manusianya saja. Mereka tidak dapat
menjelaskan alasan sang anak pergi berdasarkan kondisi psikologis sang anak
semata. Maka penjelasan dari sisi supranatural adalah penjelasan yang paling
masuk akal dan paling bisa diterima. Lalu cerita tentang dibawa hantu diperkuat
oleh cerita dari sang anak hilang sendiri. Fantasi yang sangat kuat boleh jadi
membuat sang anak merasakan fantasinya sebagai kenyataan. Meskipun ingatan
tentang fantasinya sendiri samar-samar namun biasanya sang anak mampu
menceritakan fantasinya yang luar biasa kepada orang-orang dewasa. Akibatnya
orang-orang dewasa semakin yakin bahwa sang anak dibawa oleh hantu. Seterusnya
berkembanglah cerita tentang hantu pembawa anak.
Cerita tentang hantu pembawa anak dipastikan fungsional dalam kehidupan. Bila
tidak, cerita itu akan lenyap. Sebab hanya cerita yang bermanfaat yang akan
terus bertahan. Fungsi pertama cerita itu adalah menjelaskan atas sesuatu yang
belum diketahui. Sudah menjadi sifat manusia untuk memahami dan menjelaskan
segala sesuatu yang terjadi di lingkungannya. Apabila tidak dapat menjelaskan,
manusia akan merasa terancam. Adanya cerita hantu pembawa anak menentramkan karena
mereka tahu sebab kejadian anak hilang. Selain itu salah satu fungsi cerita
hantu pembawa anak mungkin adalah untuk sarana menakut-nakuti anak-anak agar
tidak berbuat tidak baik. Kenyataannya anak-anak rimba sangat takut bila
ditakut-takuti dengan cerita hantu pembawa anak. Tampaknya cerita itu merupakan
alat kontrol perilaku anak-anak yang ampuh.
Berbeda dengan setan dan hantu, malaikat adalah makhluk gaib yang menjaga
manusia, terutama menjaga dari gangguan setan dan hantu. Menurut Orang Rimba,
malaikat hampir setingkat dengan dewa akan tetapi selalu berada di sekitar
Orang Rimba. Adanya malaikat membuat manusia aman. Namun demikian, apabila
manusia berbuat tidak baik maka malaikat bisa pergi. Apabila ditinggal malaikat
manusia menjadi rentan terhadap gangguan setan dan hantu. Orang yang diganggu
hantu atau setan adalah mereka yang telah ditinggalkan malaikat.
Alam bagi Orang Rimba
Orang Rimba membagi alam dalam dua kategori yang berlawanan yakni dunia nyata
(halom nio) dan dunia atas (halom Dewo). Halom Nio adalah alam raya yang
ditempati Orang Rimba. Mereka menyebut juga sebagai halom kasar. Halom Dewo
adalah dunia yang juga akan ditempati oleh Orang Rimba yang telah meninggal.
Orang Rimba menyebutnya juga sebagai halom haluy (dunia halus). Antara kedua
alam tersebut bisa saling berhubungan. Penghuni halom haluy bisa terus memantau
keadaan Orang Rimba yang ada di halom kasar. Sebaliknya penghuni halom kasar
juga bisa berhubungan dengan penghuni halom haluy melalui perantara malim atau
pemimpin spiritual Orang Rimba.
Orang Rimba menganggap diri mereka sebagai bagian dari alam semesta (halom).
Mereka adalah bagian yang integral di dalam alam. Orang Rimba adalah alam dan
alam adalah Orang Rimba. Mereka dan alam adalah satu. Dalam kepercayaan Orang Rimba,
alam semesta tidak berkembang. Sejak penciptaan, langit dan bumi seisinya sudah
demikian adanya. Mereka hanya tinggal meneruskan apa yang sudah ada dan tidak
perlu dirubah. Mereka memiliki keyakinan bahwa merubah alam akan merubah Orang
Rimba, sebaliknya jika Orang Rimba berubah maka alam pun akan ikut berubah.
Oleh sebab itu mereka sangat kritis dengan perubahan. Selain itu, keengganan
untuk berubah juga ditunjang oleh ketakutan akan kutukan nenek moyang. Roh
nenek moyang yang tinggal di halom haluy yang membuat berbagai macam aturan
adat akan marah dan menjatuhkan kutuk apabila anak keturunannya, yakni Orang
Rimba tidak menaati adat. Akibat dari kepercayaan itu mereka menjalani
kehidupan yang kurang lebih sama dengan kehidupan yang dijalani nenek moyang
mereka ratusan tahun silam. Mereka sangat berhati-hati dengan perubahan karena
perubahan dianggap akan merubah alam (halom). Oleh karena itulah pada masa lalu
Orang Rimba dikenal sangat anti dengan perubahan. Bahkan menurut cerita, dahulu
mereka sama sekali tidak mau bertemu orang asing.
Ada ungkapan
yang biasa dipakai Orang Rimba untuk menolak terjadinya perubahan, yakni “sejak
gagak hitam, kuntul putih diciptakan Tuhan...”, yang artinya ‘sejak Tuhan
menciptakan langit dan bumi seisinya...’. Ungkapan itu biasa digunakan dalam
musyawarah untuk menolak terjadinya perubahan. Bila ungkapan diatas
disampaikan, maka maknanya adalah sesuatu (yang dibicarakan, baik adat ataupun
lainnya) tidak perlu dirubah karena sesuatu itu sudah demikian adanya sejak
awal mula alam semesta diciptakan. Ungkapan lain yang menggambarkan paham
fatalis dan pasifis terhadap perubahan adalah ‘alam sekato Tuhan’. Artinya alam
seisinya termasuk manusia dalam keadaan yang telah ditakdirkan demikian oleh
Tuhan. Apapun kondisinya itulah yang telah ditentukan Tuhan bagi alam dan
manusia. Oleh karena itu manusia tidak berhak merubah apapun karena merubah
dengan sengaja berarti menentang kehendak Tuhan.
Saat ini kepercayaan tentang alam yang statik mulai memudar seiring dengan
persentuhan Orang Rimba dengan masyarakat luar yang tidak dapat dihindari.
Misalnya pada awal proses pemberian pengajaran baca tulis dan berhitung yang
diselenggarakan untuk Orang Rimba oleh LSM Warsi mendapat banyak tentangan dari
Orang Rimba karena khawatir akan merubah alam. Mereka menyadari bahwasanya
adanya pendidikan akan banyak mengubah berbagai dimensi kehidupan mereka. Namun
saat ini mereka menjadi antusias dengan pendidikan karena menyadari bahwasanya
apabila mereka tidak berubah menjadi pintar, mereka hanya akan menjadi
orang-orang kalah. Demikian juga berbagai pengetahuan dan teknologi baru
diserap dengan cepat oleh Orang Rimba.
Dalam kepercayaan Orang Rimba terdapat juga konsep tentang surga dan neraka.
Kedua tempat itu berada di dunia sesudah mati. Surga merupakan tempat bagi
manusia yang baik dan taat pada aturan adat. Sebaliknya neraka adalah tempat
bagi manusia yang jahat dan tidak taat pada aturan adat. Neraka memiliki panas
tidak terbayangkan. Percikan api neraka sama panasnya dengan seluruh api yang
ada di dunia.
Namun agak mengherankan ketika beberapa Orang Rimba ditanya mengenai surga dan
neraka, mereka menyatakan tidak khawatir dan tidak perduli dengan
keberadaannya. Tampaknya mereka memang tidak terlalu perduli. Hampir tidak
pernah didengar anak-anak ditakuti dengan ancaman neraka. Kosa kata nerakan
hampir tidak pernah didengar. Artinya, surga dan neraka hampir tidak memiliki
fungsi praktis dalam kehidupan keseharian.
Konsepsi tentang arwah
Orang Rimba percaya bahwa roh atau arwah nenek moyang senantiasa berada di
sekitar mereka dan mengawasi segala tindak tanduk Orang Rimba yang masih hidup.
Roh nenek moyang dianggap mengetahui apa yang tidak diketahui oleh Orang Rimba
yang masih hidup. Mereka juga percaya bahwa roh mengalami emosi sebagaimana
manusia yang masih hidup. Selain itu Orang Rimba meyakini bahwa roh masih dapat
aktif berbuat sesuatu di dunia nyata dengan cara menjatuhkan kutuk.
Roh orang yang meninggal dunia akan berjalan ke hentew (suatu tempat yang
dikonsepsikan sebagai alam roh dan berada di dekat dunia Tuhan). Roh orang yang
belum tinggi tingkat spiritualitasnya akan tinggal di hentew. Sedangkan roh
orang yang sudah tinggi tingkat spiritualitasnya juga akan pergi ke hentew
namun untuk sementara. Di hentew, roh akan menanggalkan berbagai sifat
keduniawian. Setelah bersih dari sifat-sifat duniawi, roh akan berjalan menuju
dunia Tuhan dan menjadi malaikat. Apabila tingkat spiritulitasnya benar-benar
mumpuni, setelah jadi malaikat roh bisa menjadi dewa.
Menurut Orang Rimba, roh nenek moyang bisa marah apabila Orang Rimba yang masih
hidup melanggar berbagai aturan yang telah ditetapkan karena berarti tidak
menghormati nenek moyang. Pelanggaran aturan meliputi melanggar pantangan,
berbuat tidak sopan, dan merubah adat. Apabila roh nenek moyang marah, maka roh
tersebut bisa menjatuhkan kutuk terhadap si pelanggar maupun terhadap Orang
Rimba keseluruhan. Tanda bahwa Orang Rimba mendapat kutuk dari nenek moyang
diantaranya adalah terkena musibah, hidup menderita, bertanam padi tidak pernah
berhasil, berburu tidak dapat-dapat, menjerat tidak pernah kena, dan lainnya.
Tidak hanya marah, roh nenek moyang juga merasakan senang. Roh nenek moyang
akan merasa senang apabila anak keturunannya taat pada aturan adat. Oleh karena
itulah Orang Rimba akan berusaha sedapat mungkin melaksanakan aturan adat,
karena selain untuk menghindari kutuk juga untuk menyenangkan roh nenek moyang.
Tanda bahwa roh nenek moyang senang terhadap perilaku Orang Rimba adalah
kehidupan yang aman dan tenteram, tidak ada musibah yang datang, berhasil dalam
panen padi dan lainnya.
Orang Rimba memiliki upacara untuk menghadirkan roh nenek moyang. Esensinya
tidak berbeda dengan berbagai upacara serupa yang dilaksanakan oleh berbagai
budaya di seluruh dunia, seperti misalnya pesta aruh ganal oleh etnis Dayak di
Kalimantan, atau upacara sesajen pada etnis jawa. Roh dihadirkan dalam rangka
penghormatan dan atau untuk pengobatan. Upacara menghadirkan roh pada Orang
Rimba disebut sale. Upacara tersebut di pimpin oleh malim, yakni pemimpin
spiritual Orang Rimba.
Sale biasanya
diselenggarakan ketika kelahiran bayi dan perkawinan. Tujuannya adalah
menghadirkan roh nenek moyang agar memberkati. Selain itu sale juga
diselenggarakan untuk menyembuhkan berbagai penyakit yang tidak dapat
disembuhkan dengan obat-obatan. Upacara sale tertutup bagi orang luar. Sangat
jarang ada orang luar yang diperbolehkan untuk melihat upacara sale.
Balai adalah tempat pelaksanaan sale. Balai juga tertutup bagi orang luar,
setidaknya sampai selesai digunakan. Apabila balai sudah selesai digunakan
barulah boleh dilihat. Oleh karena itu balai biasanya dibuat di tempat-tempat
yang kecil kemungkinannya didatangi orang. Ketika saya pertama kali datang ke
Kedondong Mudo, yakni suatu kawasan dimana sekelompok Orang Rimba Makekal
tinggal, disana sedang ada ibu yang baru saja melahirkan dan akan
diselenggarakan upacara sale. Oleh Orang Rimba saya diajak jalan agak berputar
agar saya tidak melihat balai.
Menurut sebuah sumber, balai yang digunakan untuk upacara sale dalam rangka
menyambut kelahiran bayi berukuran kurang lebih sekitar 3 X 5 meter. Balai
dibuat oleh kerabat dekat dari yang akan diupacarakan, yakni sang bayi.
Sedangkan balai untuk perkawinan ukurannya sekitar 8 X 12 meter dan dibuat
secara bersama-sama oleh Orang Rimba. Balai dibuat berlantai panggung. Alasnya
terdiri dari gelondongan batang kayu ukuran sedang. Dindingnya dari kulit kayu
setinggi pinggang. Atapnya menggunakan daun serdang. Setiap balai hanya
memiliki dua pintu keluar.
Melahirkan
Bagi masyarakat yang memiliki tingkat kematian sangat tinggi seperti halnya
Orang Rimba, kelahiran bayi merupakan kejadian yang dianggap sangat penting.
Bayi yang lahir merupakan pertanda bahwa kelompok mereka bisa terus berlanjut.
Upacara untuk menyambut bayi pun dilakukan. Pada saat hamil delapan bulan,
anggota keluarga terdekat telah menyiapkan tempat khusus untuk melahirkan,
yakni tano peranakan. Tempat khusus untuk melahirkan itu terpisah jauh dari
rumah. Hanya suami, dukun bayi dan anggota keluarga terdekat yang boleh datang
ke sana. Pada
saat menjelang upacara sale mereka juga menyiapkan balai sebagai tempat
upacara. Sale
diselenggarakan pada hari dimana diperkirakan bayi akan lahir. Tujuannya agar
sang bayi mendapat berkah dari nenek moyang serta berumur panjang.
Proses kelahiran bayi dianggap penuh dengan bahaya. Hantu-hantu akan berusaha
mengganggu bayi dan ibunya. Tidak jarang gangguan yang berat bisa membunuh ibu
dan bayi. Oleh karena itu dalam proses melahirkan, sang ibu ditunggui oleh
suami, mertua, orangtua, kakek nenek suami, dan kakek neneknya sendiri. Mereka
berharap ibu dan bayi yang ditunggui tidak akan didekati hantu pengganggu.
Dengan cemas mereka menunggu. Proses melahirkan seolah dianggap pertarungan
hidup mati. Hal itu sebenarnya sangat wajar karena karena tingkat kematian ibu
dan anak pada saat melahirkan sangat tinggi.
Setelah melahirkan, ubun-ubun dan tali pusat bayi yang baru lahir diolesi kulit
pohon tenggeris. Kulit kayu yang hendak dioleskan itu terlebih dahulu dikerok
dengan parang dengan aturan dari atas kebawah. Setelah itu kulit kayu
dikeringkan dan siap digunakan. Dalam waktu tujuh hari, tali pusat akan tanggal
dan kering. Dalam waktu tujuh hari pula ubun-ubun akan mengeras. Ari-ari bayi
(bali anak) yang keluar ditanam di tanah. Disekitarnya diletakkan tiga ranting
pohon setubung bercabang tiga. Ari-ari bayi diperlakukan sama seperti anak.
Pekuburannya tidak boleh dilewati oleh siapapun dan juga tidak boleh dijadikan
ladang.
Sakit dan Kematian
Angka kematian dikalangan Orang Rimba sangat tinggi. Tidak ada keluarga yang
tidak memiliki riwayat kematian diantara anggota keluarganya. Umur harapan
hidup mereka sangat rendah. Mereka yang berumur 40-an sudah dianggap tua.
Secara fisik pun mereka memang cepat tua. Jarang ada yang berumur diatas 50-an,
apalagi sampai berumur 70-an. Hal itu mungkin disebabkan oleh rendahnya derajat
kesehatan dan kerasnya alam tempat hidup Orang Rimba.
Banyak kematian disebabkan oleh penyakit. Pada tahun 1800-an eksistensi Orang
Rimba hampir punah karena serangan penyakit cacar yang mereka peroleh dari
interaksi dengan orang luar. Oleh sebab itulah sampai sekarang mereka sangat
ketakutan terhadap penyakit cacar. Ketakutan itu seolah mengendap ke bawah
sadar. Pengaruhnya sampai merubah dimensi kepercayaan mereka. Dewa-dewi yang
tinggal di hilir sungai mendapat predikat bukan Dewa-Dewi yang baik karena
penyakit cacar datangnya dari arah hilir sungai, yakni dari daerah orang
Melayu. Ditambah lagi dengan keberadaan para penangkap budak yang juga datang dari
hilir, makin lengkaplah predikat itu. Hal ini menggambarkan dengan jelas kepada
kita bahwasanya Orang Rimba secara terus menerus merubah konsep kepercayaannya
agar tetap sesuai.
Dalam kepercayaan Orang Rimba, sebagian penyakit disebabkan oleh gangguan setan
dan hantu. Setidaknya ada tiga penyakit yang dianggap perbuatan setan dan
hantu, yakni flu, malaria, dan campak. Oleh karena itu mengobati penyakit yang
disebabkan oleh setan dan hantu adalah dengan mengusir setan dan hantu
tersebut. Pengusiran hantu dilakukan oleh malim. Selain itu penyakit juga bisa
disebabkan karena jatuhnya kutuk atas diri si sakit atas perbuatan melanggar
adat dan tabu yang dilakukannya.
Apabila terdapat penyakit yang menimpa beberapa orang sekaligus dan tidak dapat
disembuhkan dengan obat-obatan tradisional mereka, maka malim, yakni pemimpin
spiritual mereka diundang untuk melakukan upacara sale pengobatan. Upacara sale
dilangsungkan sepanjang malam. Malim akan membuat ramuan-ramuan yang akan
digunakan oleh semua yang sakit. Malim bertindak sebagai pemimpin upacara dan
menyanyikan mantera-mantera panjang yang diucapkan tidak jelas. Keluarga si
sakit mengikuti proses upacara dari rumah dengan membunyikan berbagai
bunyi-bunyian agar setan dan hantu pergi.
Upacara pengobatan penyakit oleh Malim memiliki dimensi serupa dengan yang
dilaporkan oleh antropolog Claude Levi Strauss tentang pengobatan oleh dukun.
Kepercayaan seluruh masyarakat dan si sakit terhadap dukun menimbulkan suatu
reaksi fisiologis sedemikian rupa sehingga si sakit akan sangat tergantung
kondisi fisiologisnya terhadap sang dukun. Jika dukun mengatakan sembuh, maka
seluruh fisiologis tubuh mengikutinya sehingga si sakit sembuh. Sebaliknya jika
dukun mengatakan mati, maka fisiologis tubuh mematuhinya, dimana jantung dan
aliran darah secara perlahan akan berhenti.
Ada kepercayaan
dikalangan Orang Rimba bahwasanya pengobatan ala Orang Rimba tidak boleh
bercampur dengan pengobatan ala orang luar. Bila sudah diobati menurut cara
Orang Rimba maka tidak boleh lagi diobati menurut cara orang luar. Demikian
juga sebaliknya. Apabila sudah diobati mengikuti cara oarang luar maka tidak
boleh lagi diobati menurut cara Orang Rimba. Sediah, salah seorang anak Rimba
menceritakan alasannya. Apabila kedua macam pengobatan dilakukan untuk satu
jenis penyakit pada satu orang maka pengaruh pengobatan satu sama lainnya akan
saling meniadakan. Pengobatan akan sia-sia karena pengobatan tidak akan
bekerja, alias menjadi netral. Menurutnya, obat yang dimasukkan ke dalam tubuh
hanyalah sarana untuk menyembuhkan tetapi yang menjadikan sembuh atau tidak
adalah doa-doa yang menyertai obat tersebut. Pengobatan ala Orang Rimba tentu
memakai doa-doa terhadap Dewa-Dewa, sedangkan pengobatan oleh orang luar
memakai doa-doa kepada Tuhannya sendiri. Karena Doa yang dipanjatkan untuk
Tuhan yang berbeda maka doa tidak akan membawa pebngaruh apa-apa. Artinya
pengobatan tidak akan berhasil.
Selain oleh penyakit, kematian banyak disebabkan kecelakaan. Bahkan menurut
seorang penduduk yang mengenal hampir seluruh Orang Rimba di Taman Nasional
Bukit Duabelas, sebagian besar kematian laki-laki Orang Rimba disebabkan oleh
faktor kecelakaan. Mereka meninggal karena tertimpa kayu, jatuh dari pohon,
diserang binatang buas dan lainnya. Meskipun demikian penyakit usia tua
tampaknya juga menunjang. Seseorang yang koordinasi geraknya sudah tidak bagus
lagi namun tetap memaksakan diri naik pohon tentu saja berpeluang sangat besar
untuk jatuh.
Jasad orang yang meninggal tidak dikubur. Biasanya jenazah hanya ditinggalkan
saja didalam sebuah pondok yang memang dibuat khusus untuk menempatkan jenazah.
Pondok jenazah itu disebut pusaron. Lantainya dibuat setinggi leher. Pusaron
dibuat khusus ditempat dimana tidak ada orang yang datang. Disana sang jenasah
dibiarkan membusuk. “Dari alam maka kembali ke alam”, demikian ungkap Orang
Rimba.
Didalam pondok biasanya diletakkan makanan, kain, dan parang. Diluar pondok,
anjing orang yang meninggal diikat. Mereka berharap kalau orang yang telah
meninggal hidup kembali maka bisa memakan makanan yang disediakan, kain yang
ada dipakai dan parang dibawa. Anjing yang diikat diluar akan menuntun orang
tersebut kembali ke kelompoknya.
Besesandingon
Besesandingon adalah perpindahan tempat tinggal Orang Rimba dikarenakan adanya
penyakit menular di tempat tinggal asal. Apabila mereka tidak pergi mereka
khawatir akan tertular. Akan tetapi apabila pergi mereka harus meninggalkan
yang sakit, yang artinya sama saja dengan membunuh si sakit. Namun pertimbangan
kelanjutan kelompok tetap diutamakan. Mereka memilih untuk meninggalkan tempat
terjadinya wabah.
Ada sebuah
cerita memilukan mengenai besesandingon. Pada suatu masa pernah terjadi wabah
penyakit campak. Beberapa orang telah terkena. Menurut ingatan mereka, penyakit
campak adalah penyakit yang bisa membunuh oleh karena itu mereka tidak ingin
yang sehat terkena dan meninggal. Kematian satu orang sangat mahal harganya
bagi kelompok Orang Rimba yang berjumlah sedikit. Mereka yang belum terkena
tidak mau mendekati yang terkena. Akibatnya yang sakit terisolasi dari
kelompoknya. Ketika akhirnya diputuskan untuk besesandingon agar penyakit
campak tidak menyebar dan menyebabkan kematian massal, mereka
bertangis-tangisan dari jarak jauh. Namun akhirnya si sakit ditinggalkan meski
meraung-raung meratap meminta jangan ditinggalkan.
Sebuah sumber mengatakan bahwa pada saat pergi besesandingon, mereka akan pergi
sambil merangkak, lalu naik ke atas pohon, turun dan merangkak lagi sampai
jarak tertentu. Kemudian mereka naik pohon lagi, turun dan merangkak lagi
sampai merasa bahwa dirinya aman. Cara seperti itu dimaksudkan agar penyakit
tidak dapat mengikuti kepergian mereka sehingga ditempat baru mereka akan bebas
dari penyakit.
Melangun
Apabila ada Orang Rimba meninggal, maka kawasan tempat meninggalnya dianggap
tidak baik lagi untuk ditinggali karena akan membawa sial. Oleh sebab itu
mereka berpindah tempat mencari tempat baru. Perpindahan itu dikenal dengan
istilah melangun, suatu tradisi berpindah yang boleh jadi sebagai tradisi Orang
Rimba yang paling khas. Biasanya mereka berpindah cukup jauh dari tempat
semula. Jaraknya bisa sehari perjalanan.
Melangun merupakan tradisi yang paling banyak dikenal oleh masyarakat luas.
Tradisi itulah yang menyebabkan Orang Rimba mendapat sebutan nomaden atau kelompok
yang berpindah-pindah. Namun sebenarnya mereka bukanlah kelompok nomaden.
Mereka pada dasarnya tinggal menetap. Mereka berpindah hanya apabila ada
kematian salah satu anggota kelompok. Jadi bukan atas alasan mencari daerah
baru yang lebih banyak binatang buruan sebagaimana anggapan banyak orang. Namun
melangun memang sering mereka lakukan karena tingkat kematian yang sangat
tinggi. Mereka melangun sebanyak terjadinya kematian di dalam kelompok. Orang
yang telah berumur tua sangat mungkin telah mengalami melangun puluhan kali
dalam hidupnya.
Perjalanan melangun persis seperti acara pindah rumah. Mereka membawa seluruh
harta benda dan peralatan yang mereka miliki. Alat-alat dapur, kain, berbagai
senjata tajam dan lainnya mereka bawa semua. Cukup sekali perjalanan semua
barang-barang sudah bisa terangkut. Hal itu tidak mengherankan karena memang
harta benda yang dimiliki tidak banyak. Paling-paling hanya kain saja yang
dianggap sebagai harta berharga. Harta selebihnya merupakan perlengkapan
standar mereka seperti periuk, tombak, parang, dan kecepek. Mereka tidak
mengembangkan budaya materil karena tidak sesuai dengan kepercayaan mereka yang
menghendaki mobilitas yang tinggi. Semua barang-barang dibuat atau disimpan
karena berguna praktis. Kain sebagai harta yang paling berharga dan harus
diperoleh dari luar berguna untuk dipakai, membayar denda dan untuk melamar.
Orang Rimba beranggapan bahwasanya kawasan tempat tinggal terdahulu yang
ditinggalkan karena adanya kematian akan kembali netral setelah beberapa waktu.
Kesialan tempat itu akan menghilang seiring waktu. Oleh karena itu mereka bisa
kembali. Pada masa lalu lamanya melangun paling sedikit enam tahun, kemudian
berubah menjadi dua tahun, lalu berubah lagi menjadi sekitar setahun.. Setelah
itu mereka berkemungkinan kembali lagi ke tempat yang ditinggalkan. Kalaupun
tidak persis ditempat yang dulu, biasanya tidak jauh dari sana.
Saat ini bagi sebagian Orang Rimba, melangun sepertinya hanya sebuah
pengungsian sementara sampai kesialan tempat tinggal dahulu dianggap
menghilang. Orang Rimba hampir selalu kembali lagi ke tempat tinggal semula.
Hal itu dikarenakan mulai menguatnya budaya berladang. Mereka sayang
meninggalkan tanaman-tanaman di ladang yang telah dapat menunjang kehidupan
mereka lebih baik. Kini lamanya mereka melangun jauh lebih singkat. Hanya dalam
hitungan bulan biasanya sudah kembali. Apalagi apabila ladang-ladang itu telah
ditanami karet, mereka pasti akan kembali lagi.
Pada bulan Maret ada seorang perempuan yang meninggal pada saat melahirkan
dalam kelompok Orang Rimba Makekal Hulu yang bertempat tinggal di kawasan
Kedondoing Mudo. Bayinya selamat dan diasuh oleh salah seorang keluarga.
Kebetulan perempuan yang meninggal tersebut adalah adik Temenggung, yaitu sang
pemimpin kelompok. Maka sesuai tradisi. mereka yang tinggal di Kedondong Mudo
pun melangun. Tempat mereka yang baru berjarak cukup jauh. Dari tempat lama ke
tempat yang baru mereka harus bermalam di jalan.
Menurut salah seorang Orang Rimba yang tidak ikut melangun karena tidak tinggal
di Kedondong Mudo, mereka yang pergi melangun paling kurang satu tahun baru
kembali. Namun menurut Orang Rimba yang tinggal di Siamang Mati, mereka yang
melangun akan kembali lagi tidak lebih dari sebulan. Informasi terakhir lebih
saya percayai karena banyak harta benda yang tidak dibawa. Banyak kain yang
ditinggalkan, padahal kain merupakan harta paling berharga milik Orang Rimba.
Lalu ada seorang pasangan pengantin baru yang ditugaskan untuk menjaga
ladang-ladang yang ditinggalkan. Itu artinya mereka memang tidak berniat untuk
pergi lama. Namun tampaknya mereka tidak akan kembali kurang dari satu bulan.
Perubahan lamanya melangun merupakan gambaran jelas bahwa tradisi Orang Rimba
perlahan mulai berubah. Desakan ekonomi memaksa mereka untuk lebih fleksibel
dalam mempertahankan adat. Saat ini berpindah ke tempat baru secara mendadak
hanya akan menyebabkan turunnya kesejahteraan karena tidak ada jaminan pasti
bakal adanya sumber makanan yang memadai. Makanan pokok seperti halnya
umbi-umbian sulit diperoleh dalam keadaan melimpah di hutan. Binatang buruan
tidak banyak. Hanya babi yang berjumlah banyak tapi itupun dikawasan yang dekat
pinggiran hutan. Sementara itu bila mereka tetap tinggal di ladang-ladang, maka
setidaknya makanan pokok terjamin. Itulah mengapa mereka memilih untuk tidak
lama-lama pergi melangun. Kalaupun mereka berpindah maka dilakukan secara
bertahap sembari menyiapkan ladang baru.
Perubahan sikap terhadap tradisi melangun tergambar sangat jelas pada sosok
Srine, salah seorang Orang Rimba yang tinggal di Siamang Mati. Ia menceritakan
bahwa dirinya masih tetap akan melangun kalau ada yang meninggal. Akan tetapi
tidak akan lama. Ia pernah melangun hanya selama 2 bulan ketika anaknya
meninggal. Tapi kemudian cepat kembali lagi karena khawatir tanah yang diklaim
miliknya akan diambil orang. Bahkan Laman, kakak Srine yang juga tinggal di
Siamang Mati menurut cerita tidak akan pernah mau melangun lagi. Siapapun yang
mati, dia tidak berkeinginan pergi melangun.
Tabu-Tabu
Masyarakat tradisional sebagaimana Orang Rimba mempertahankan keteraturan
sosial dan adat melalui berbagai tabu atau pantangan. Pelanggaran terhadap
tabu-tabu itu akan dikenakan denda. Fungsi denda adalah semacam penghukum
(punishment) bagi perilaku yang salah. Siapapun yang berrtindak melanggar adat
maka hukumannya sudah jelas dan tinggal ditetapkan. Pelaksanaan pemberian
hukuman yang sangat ketat menjamin adat tetap terus dipertahankan oleh anggota
kelompok. Itulah kunci mengapa adat dan tradisi Orang Rimba bisa tetap tidak
berubah setelah ratusan tahun.
Menurut Orang Rimba, tabu atau pantangan telah ditetapkan oleh nenek moyang
mereka sejak mereka ada. Oleh karena itu tidak ada yang berhak mengubahnya.
Tabu-tabu itu telah dijalankan oleh nenek moyang mereka dan sudah seharusnya
dijalankan dengan baik oleh mereka. Adanya tabu-tabu merupakan wujud dari
kebijaksanaan nenek moyang dalam menjaga adat. Adapun denda sebagai alat
penghukum bagi yang melanggar ditetapkan dalam musyawarah adat. Namun biasanya
sudah ada ketentuan baku
mengenai jumlah denda yang harus dibayarkan apabila terjadi pelanggaran.
Tabu-tabu yang ada bisa digolongkan ke dalam beberapa kategori, yaitu tabu-tabu
mengenai makanan, tabu-tabu mengenai hubungan dengan sesama manusia, tabu-tabu
mengenai hubungan antara manusia dan alam, dan tabu-tabu mengenai hubungan
antara manusia dan alam supranatural. Empat kategori itu menunjukkan bahwa
Orang Rimba telah mengatur seluruh kehidupannya agar sesuai dengan kepercayaan
mereka. Semuanya sudah diatur dan memiliki hukum yang bersifat tetap. Perubahan
telah diantisipasi dengan penerapan tabu-tabu yang beraneka ragam.
Salah satu tabu yang menarik adalah tabu untuk menceritakan mengenai
kepercayaan mereka. Artinya sesungguhnya mereka dilarang untuk menceritakan kepada
orang asing mengenai kepercayaan mereka. Hal inlah mungkin yang menyebabkan
Orang Rimba sulit untuk berbicara mengenai kepercayaan mereka. Alasan dibalik
tabu ini misterius. Namun mungkin disebabkan karena rendah diri dengan
kepercayaan milik mereka sendiri sehingga mereka enggan menceritakan pada orang
asing. Untuk itu mereka berlindung pada topeng tabu.
Tabu lain yang sangat menarik adalah tabu untuk membunuh binatang yang sedang
minum di sungai atau telaga. Padahal binatang sangat mudah dibunuh ketika dalam
posisi minum. Mereka lengah sehingga sangat mudah ditombak maupun ditembak.
Salah seorang Orang Rimba menceritakan alasan dibalik tabu itu. Menurutnya
binatang yang sedang minum berarti sedang berada di rumah Dewa, yakni pemilik
dari binatang tersebut. Oleh karenanya binatang tidak boleh diganggu. Apabila
nekat mengganggu maka Dewa akan menjatuhkan kutuk.
Bediom
Budaya Orang Rimba ternyata menyediakan mekanisme bagi siapa saja Orang Rimba
yang ingin meninggalkan kehidupan hutan. Mereka yang ingin keluar dari hutan
dan menetap secara tetap diluar hutan dan berkampung seperti penduduk desa
tidak mendapat halangan. Istilah untuk hal itu adalah bediom. Dalam budaya
Orang Rimba terjadi semacam ketentuan bahwa adat dan tradisi mereka hanya
berlaku di dalam rimba. Ketika keluar dari rimba maka yang berlaku dan harus
diikuti adalah adat dan tradisi orang Melayu. Adat dan tradisi rimba tidak
boleh lagi digunakan dilua rimba. Oleh karena itu syarat bediom adalah
meninggalkan hal-hal terkait dengan kehidupan di dalam rimba dan mengadopsi
seluruh tatacara berkampung. Mereka mesti merubah kepercayaan dari kepercayaan
yang memuja banyak Dewa kepada kepercayaan monotheis. Mereka juga sudah
diperbolehkan memakan makanan yang semula diharamkan yakni daging serta segala
produk sampingan dari binatang ternak yang dipelihara orang Melayu. Sebaliknya
daging babi dan binatang lain yang diharamkan tidak boleh lagi mereka makan.
Dari sisi hukum mereka juga telah dikenai hukum formal kenegaraan, tidak lagi
memakai hukum adat.
Budaya rimba ternyata juga menyediakan mekanisme bagi Orang Rimba yang telah
bediom untuk kembali lagi ke kehidupan rimba. Karena ternyata tidak semua yang
bediom mampu beradaptasi dengan kehidupan ala berkampung. Namun sebelum
diijinkan Temenggung kembali ke kelompok di rimba, mereka harus melakukan ritus
persiapan masuk rimba. Salah satunya adalah selama 3 bulan mereka tidak boleh
lagi makan-makanan yang ditabukan.
Binatang dalam kepercayaan Orang Rimba
Menurut kepercayaan Orang Rimba, binatang (natong dalam bahasa Orang Rimba) ada
di dunia tidak dengan sendirinya. Binatang juga diciptakan oleh Tuhan.
Penciptaan binatang bersamaan dengan penciptaan manusia. Sesuai dengan dunia
batin Orang Rimba yang selalu menggolong-golongkan sesuatu ke dalam dua hal
secara bertentangan. Binatang ada yang baik dan ada yang jahat. Binatang yang
baik diciptakan bersama manusia di surga. Perannya adalah untuk menemani
manusia. Oleh karena itu binatang yang baik tidak akan mengganggu manusia. Pun
manusia dilarang keras mengganggunya. Binatang baik menurut Orang Rimba
diantaranya adalah merego (harimau) dan kera. Ada satu lagi binatang yang pantang diganggu,
yakni burung gading. Oleh Orang Rimba, burung gading dianggap sebagai burung
suci karena merupakan penjelmaan Dewa. Apabila burung gading bersuara maka itu
dianggap sebagai suara dewa. Oleh karena itu Orang Rimba akan berdoa.
Merego adalah binatang yang pantang dibunuh dan sebaliknya menurut kepercayaan
Orang Rimba, merego juga berpantang membunuh Orang Rimba. Sampai saat ini belum
pernah ada Orang Rimba menjadi korban merego meskipun mereka hidup bersama di
dalam hutan. Menurut cerita yang disampaikan oleh Orang Rimba, ada sejarahnya
mengapa terjadi saling pantang itu. Diceritakan pada zaman dulu merego mengamuk
dan membunuh Orang Rimba. Korban yang terbunuh mencapai ratusan orang dalam
sehari. Akhirnya sang merego ditangkap oleh Orang Rimba. Namun karena merego
adalah binatang dari surga, maka merego tidak dibunuh tetapi diajak untuk
membuat perjanjian. Isinya adalah bahwa merego tidak akan membunuh Orang Rimba.
Kalau sampai terjadi pantangan itu dilanggar, maka satu Orang Rimba yang
terbunuh harus dibayar satu nyawa merego. Kalau dua yang terbunuh, maka harus
pula dibayar dua nyawa merego. Perjanjian itu berlaku sebaliknya. Apabila ada
Orang Rimba membunuh merego maka Orang Rimba juga harus dibunuh satu, yakni
sang pembunuh. Artinya diantara Orang Rimba dan merego berlaku hukum satu
berbanding satu, “membunuh maka dibunuh”
Binatang yang jahat adalah binatang yang mengganggu. Binatang jahat diciptakan
di neraka. Oleh sebab itulah binatang jahat boleh dibunuh, terutama bila
mengganggu Orang Rimba. Yang termasuk binatang jahat diantaranya adalah
beruang, babi, ular, tikus dan kaki seribu (lipan). Beruang adalah binatang
yang sangat ditakuti oleh Orang Rimba. Bahkan ketika Orang Rimba ditanya apa
yang paling membuat takut, hampir semuanya menjawab beruang.