Oleh: Farid Nu’man Hasan
Mukadimah
Khitan merupakan salah satu millah (ajaran) Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam, yang Allah Ta’ala perintahkan agar kita mengikutinya. Allah Ta’ala berfirman:
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah Dia Termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (QS. An Nahl (16): 123)
Maka, khitan baik laki-laki dan wanita adalah perbuatan yang memiliki tempat dalam syariat Islam. Dia bukan barang asing, bukan pula bid’ah yang menyusup ke dalam ajaran Islam, sebagaimana yang dituduhkan sebagian orang.
Apanya Yang Dikhitan?
Pada wanita, yang dipotong adalah kulit yang menyembul dibagian atas saluran kencing, yang mirip dengan jengger ayam (‘Urf ad Dik). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 19/28) Biasa kita menyebutnya klitoris.
Bagian ini adalah bagian luar yang paling sensitif pada genital wanita, oleh karena itu khitan wanita bertujuan untuk menstabilkan libido mereka. Tetapi, tidak dibenarkan memotong semua, atau sebagian besarnya sebagaimana dilakukan di negeri-negeri Afrika. Bahkan ada yang memotong bagian labia minora (bibir kecil). Ini tentu cara yang bertentangan dengan khitan wanita menurut Islam.
Sedangkan, pada laki-laki yang dipotong adalah kulit yang menutupi hasyafah (glans), kulit itu dinamakan Qulfah (Kulup), sehingga seluruh hasyafah terlihat. (Ibid)
Bagian ini adalah kumpulan bakteri dan najis, oleh karena itu tujuan khitan pada laki-laki adalah agar najis yang ada padanya menjadi hilang, tak lagi terhalang oleh qulfah tersebut.
Dalil-Dalil Pensyariatannya
Ada beberapa dalil yang biasa dijadikan alasan kewajiban dan kesunnahan khitan bagi wanita. Tetapi, hadits hadits tersebut tak satu pun yang selamat dari cacat. Di antaranya sebagai berikut:
1. Dari Ummu ‘Athiyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa ada seorang wanita yang dikhitan di Madinah, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya:
لَا تُنْهِكِي فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ
“Jangan potong berlebihan, karena itu menyenangkan bagi wanita dan disukai oleh suami.” (HR. Abu Daud No. 5271. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 8/324. Juga Syu’abul Iman, No. 8393. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, No. 8062, juga dalam Al Awsath, No. 2343, dan dalam Ash Shaghir No. 122, Abu Nu’aim, Ma’rifatush Shahabah, No. 3450)
Hadits ini menurut lafaz Imam Abu Daud. Sedangkan dari Imam yang lainnya, ada tambahan diawalnya dengan ucapan: Asyimmi dan Ikhfidhi yang berarti rendahkan/pendekkan . Sedangkan Laa Tanhiki artinya jangan berlebihan dalam memotong.
Hadits ini –menurut Imam Abu Daud- sanadnya tidak kuat, dan hadits ini mursal, sedangkan Muhammad bin Hassan adalah majhul (tidak dikenal). Dan, hadits ini dhaif (lemah). (Sunan Abi Daud No. 5271)
Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al Azhim Abadi mengatakan bahwa hadits ini idhthirab (guncang). (‘Aunul Ma’bud, 14/126)
2. Dari Abdullah bin ‘Umar secara marfu’:
يَا نِسَاءَ الْأَنْصَارِ اِخْتَضِبْنَ غَمْسًا وَاخْفِضْنَ وَلَا تُنْهِكْنَ فَإِنَّهُ أَحْظَى عِنْد أَزْوَاجِكُنَّ
“Wahai wanita Anshar, celupkanlah dan potonglah, jangan banyak-banyak, karena itu membuat senang suami kalian.” (HR. Al Bazzar dan Ibnu ‘Adi)
Dalam sanad hadits Al Bazzar terdapat Mandal bin Ali dan dia dhaif. Sedangkan, riwayat Ibnu ‘Adi terdapat Khalid bin ‘Amru Al Kursyi, dia lebih dhaif dari Mandal. (Ibid)
3. Hadits lain:
الْخِتَان سُنَّة لِلرِّجَالِ مَكْرُمَة لِلنِّسَاءِ
“Khitan adalah sunah bagi laki-laki dan kemuliaan bagi wanita.” (HR. Ahmad)
Hadits ini juga dhaif, karena dalam sanadnya terdapat Hajaj bin Artha’ah. Imam Adz Dzahabi mengatakan: Hajaj bin Artha’ah adalah dhaif dan tidak boleh berhujjah dengannya.
Imam Ath Thabarani juga meriwayatkan yang seperti ini dari Syaddad bin’Aus, dari Ibnu Abbas. Imam As Suyuthi mengatakan sanadnya hasan. Sedangkan Imam Al Baihaqi mengatakan dhaif dan sanadnya munqathi’ (terputus), dan ditegaskan pula kedhaifannya oleh Imam Adz Dzahabi.
Al Hafizh Al ‘Iraqi mengatakan: sanadnya dhaif. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: Hajaj bin Artha’ah adalah seorang mudallis (suka menggelapkan sanad), dan dalam hal ini terjadi idhthirab (keguncangan) . Imam Abu Hatim mengatakan: ini adalah kesalahan Hajaj atau perawi yang meriwayatkan darinya.
Imam Al Munawi mengatakan dalam At Taisir : sanad hadits ini dhaif, berbeda dengan yang dikatakan As Suyuthi yang mengatakan hasan. (Ibid, 14/125. Lihat juga At Talkhish Al Habirnya Imam Ibnu Hajar)
Seluruh Hadits Khitan Wanita Adalah Cacat dan Dhaif ?
Hal ini ditegaskan para Imam muhaqqiq (peneliti). Berkata Imam Abu Thayyib Abadi:
وحديث ختان المرأة روي من أوجه كثيرة وكلها ضعيفة معلولة مخدوشة لا يصح الاحتجاج بها كما عرفت.وقال ابن المنذر: ليس في الختان خبر يرجع إليه ولا سنة يتبع.
وقال ابن عبد البر في التمهيد: والذي أجمع عليه المسلمون أن الختان للرجال انتهى
“Dan hadits tentang khitannya wanita diriwayatkan oleh banyak jalur, semuanya dhaif, memiliki ‘ilat (cacat), dan tidak sah berdalil dengannya sebagaimana yang telah anda ketahui. Berkata Ibnul Mundzir: “Tentang khitan (wanita) tidak ada riwayat yang bisa dijadikan rujukan dan tidak ada sunah yang bisa diikuti.” Berkata Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid: “Dan yang di-ijma’kan kaum muslimin adalah bahwa khitan itu bagi laki-laki.” (‘Aunul Ma’bud, 14/126)
Tetapi, Syaikh Al Albani menshahihkan hadits riwayat Abu Daud di atas (hadits pertama). Beliau mengakui sanad hadits ini sebenarnya dhaif, tetapi banyak riwayat lain yang menguatkannya sehingga menjadi shahih. (Selengkapnya lihat di kitab As Silsilah Ash Shahihah 2/353, No. 722, dan Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 5271, lihat juga Shahih Al Jami’ush Shaghir wa Ziyadatuhu, 2/1244-1245)
Oleh karena itu, Syaikh Al Albani termasuk ulama yang mewajibkan khitan bagi wanita, karena keshahihan riwayat ini.
Tetapi, benarkah semua hadits tentang khitannya wanita adalah dhaif ? Jika kita lihat secara seksama, tidaklah demikian.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إذا التقى الختانان فقد وجب الغسل
“Jika bertemu dua khitan maka wajiblah untuk mandi.” (HR. At Tirmidzi, Asy Syafi’i, Ibnu Majah dan Ahmad, dari ‘Asiyah. Sanadnya shahih. Irwa’ul Ghalil No. 80)
Hadits lainnya:
إذا جلس بين شعبها الأربع ومس الختان الختان فقد وجب الغسل
“Jika seseorang duduk diantara empat cabang anggata badan, dan khitan bersentuhan dengan khitan, maka wajiblah dia mandi.” (HR. Muslim, No. 349, Abu Daud No. 216, dan At Tirmidzi, katanya: hasan shahih. Ibnu Khuzaimah No. 227, Abu Ya’ala No. 4926)
Riwayat seperti ini cukup banyak, dan secara makna, hadits-hadits ini menunjukkan bahwa yang dikhitan bukan hanya laki-laki tetapi wanita. Sebab, maksud ‘bertemunya dua khitan’ adalah bertemunya dua kemaluan laki-laki dan wanita yang sudah dikhitan. Maksud ‘bertemu’ di sini bukan sekedar bersentuhan, tetapi terbenamnya kemaluan laki-laki pada kemalaun wanita, sebagaimana telah disepakati oleh madzhab yang empat. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 16/50).
Dan, Imam Ahmad mengatakan: “Dari hadits ini, bahwa bagi wanita juga dikhitan.” Tetapi menurutnya khitan wanita adalah sunah. (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 134. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Dalam hadits lain, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الفطرة خمسٌ، أو خمسٌ من الفطرة: الختان، والاستحداد، ونتف الإِبط، وتقليم الأظفار، وقصُّ الشارب
“Fitrah itu ada lima, atau lima hal yang termasuk fitrah: (diantaranya) “Khitan ….” (HR. Bukhari No. 5550, Muslim No. 257)
Hadits ini umum, bukan hanya bagi laki-laki tetapi juga wanita, kecuali memendekkan kumis yang memang khusus untuk laki-laki. Nah, riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa khitan bagi wanita memang ada dalam Islam. Tetapi, memang tidak ada hadits shahih yang khusus menceritakan khitan wanita.
Lalu, Apa Hukumnya Khitan Wanita?
Keterangan di atas telah jelas, bahwa khitan wanita adalah masyru’ dalam Islam. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum kemasyru’annya. Ada yang mewajibkan, menyunnahkan, membolehkan, bahkan ada yang melarangnya.
Pihak yang mewajibkan seperti Imam Asy Syafi’i dan mayoritas pengikutnya. Juga Imam Ibnul Qayyim dan Syaikh Al Albani.
Sedangkan, Imam Malik dan Imam Abu Hanifah menyatakan sunah secara mutlak (laki-laki dan wanita), dan Imam Ahmad mengatakan wajib buat laki-laki namun sunah buat wanita. (‘Aunul Ma’bud, 14/125),
Imam Ibnu Qudamah mengatakan wajib bagi laki-laki, dan kemuliaan bagi wanita, serta tidak wajib bagi mereka. (Al Masu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 19/28).
Pihak yang mewajibkan berdalil dengan ayat An Nahl 123 (agar mengikuti millah Ibrahim), dan hadits sunah fitrah ada lima.
Alasan ini ditolak, sebab ayat tersebut memerintahkan kita mengikuti agama Ibrahim secara Global dan pokoknya yaitu Tauhid. Sedangkan, hadits tersebut juga tidak bisa dijadikan dalil, dan tidak menunjukkan wajibnya khitan, sebab jika khitan wajib, maka empat hal lainnya dalam hadits itu juga wajib seperti bersiwak, memendekkan kumis, mencukur bulu kemaluan, dan ketiak. Sedangkan kita tahu, tak ada yang mengatakan bersiwak , mencukur ketiak, bulu kemaluan adalah wajib, semua adalah sunah!!
Selain itu, hadits tentang bertemunya dua khitan, juga bukan menunjukkan wajibnya khitan wanita, melainkan hanyalah informasi tentang khitan wanita. Ditambah lagi, lemahnya riwayat yang memerintahkan khitan khusus wanita. Maka, pendapat yang paling rajih (kuat) adalah khitan wanita adalah sunah. Inilah yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin, Syaikh Al Qaradhawi, dan lain-lain.
Tapi, hukum ini bisa berubah jika:
1. Bagi wanita tertentu jika membahayakan maka sebaiknya dilarang. Syaikh Ali Jum’ah –mufti Mesir saat ini- memfatwakan haramnya khitan wanita lantaran kasus tewasnya seorang gadis setelah dikhitan.
2. Tekstur genital wanita tidaklah sama satu sama lain. Jika klitorisnya pendek dan kecil, yang justru akan mendatangkan frigid jika dikhitan, maka tidak wajib dan tidak sunah, sebab akan membawa mudharat pada kehidupan seksualnya. Tetapi, jika ada wanita yang klitorisnya panjang, maka sangat dianjurkan untuk dikhitan, agar tidak terjadi mudharat berupa tidak stabilnya libido.
Sekian. Wallahu A’lam
Best regards,
Fatwa Ramdani, Mr.
Fatwa Ramdani, Mr.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar