Tulisan ini merupakan bagian dari tugas
Diklat Ganis PHPL Kelola Lingkungan
di Jambi, 07 sd 20 November 2013
Diklat Ganis PHPL Kelola Lingkungan
di Jambi, 07 sd 20 November 2013
Hutan memiliki peranan penting dalam mempengaruhi keberlanjutan lingkungan. Menurut Agung (2004) fungsi hutan yaitu dibagi menjadi produksi, lindung, tata klimat, dan lain-lain. Berdasarkan strategi pembangunan jangka panjang kehutanan tersebut, hutan yang sudah tidak produktif (meliputi lahan tandus bekas hutan tebangan, rimba karet, hutan-hutan bakau, beberapa kepemilikan karet skala kecil, perkebunan sawit, padang rumput, dll) untuk mengoptimalkan fungsinya kembali, oleh pemerintah hutan dimanfaatkan sebagai Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan hasil utama kayu (sebagai bahan baku pulp dan paper). Hal tersebut telah mampu menarik banyak investor karena memiliki nilai ekonomi (benefit) yang tinggi sehingga pengelolaannya dilakukan oleh swasta (pengusaha), pemerintah hanya sebagai regulator (Dinas Perhutani).
Selama ini pemberian izin untuk HTI yang dikeluarkan banyak yang bermasalah karena tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hal tersebut diperparah dengan lemahnya kontrol di lapangan sehingga terjadi kasus pembalakan liar dan konflik antara pihak perusahaan dan masyarakat. Selama ini banyak permasalahan yang timbul karena tanah adat dialihfungsikan menjadi HTI.
Secara kontekstual harusnya keberadaan HTI dapat membantu meningkatkan perekoniman dan kondisi sosial masyarakat disekitar hutan. Sejauh ini keberadaan industri kehutanan cenderung menimbulkan pengaruh negatif yang ditunjukkan dengan terjadinya perusakan hutan alam secara besar-besaran, pembalakan liar (illegal logging), perampasan lahan milik masyarakat adat, memicu kebakaran hutan.
Menurut PP nomor 7 tahun 1990 mengenai hak pengusahaan hutan tanaman industri, HTI merupakan hutan tanaman yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan. Tujuan pengusahaan HTI adalah menunjang pengembangan industri hasil hutan dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah dan devisa, meningkatkan produktivitas lahan dan kualitas lingkungan hidup, serta memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha (PP Nomor 7 1990, pasal 2). Adanya pembangunan HTI maka diharapkan dapat menyelamatkan hutan alam dari kerusakan karena HTI merupakan potensi kekayaan alam yang dapat diperbaharui, dimanfaatkan secara maksimal dan lestari bagi pembangunan nasional secara berkelanjutan untuk kesejahteraan penduduk.
Pembangunan HTI mempunyai 3 sasaran utama yang dapat dicapai yakni sasaran ekonomi, ekologi dan sosial (Iskandar, 2005). Berdasarkan sasarannya, maka pembangunan HTI tentunya harus memberikan pengaruh positif terhadap kehidupan ekonomi, sosial, dan lingkungan masyarakat disekitar kawasan HTI. Dalam mewujudkan pembangunan HTI maka banyak pihak dan stakeholder yang terlibat, salah satunya adalah masyarakat tepatnya masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan. Adanya peran dan partisipatif dari masyarakat sekitar, baik dalam memberikan dukungan material maupun nonmaterial serta bekerjasama dengan pihak lainnya yang terlibat dapat memperlancar dan mempercepat pelaksanaan pembangunan HTI. Oleh karena itu, masyarakat disekitar kawasan hutan tentu akan terkena pengaruh dari pembangunan HTI baik dari segi sosial maupun ekonomi.
Pembangunan dan pengelolaan HTI dalam skala luas dan jangka panjang adalah salah satu mekanisme untuk meningkatkan kesejahteran masyarakat salah satunya yaitu dengan menyediakan lapangan kerja. Pengelolaan masyarakat dipusatkan pada kemampuan badan usaha menyediakan kesempatan kerja dan kesempatan usaha bagi masyarakat. Menurut Iskandar (2005), menyatakan bahwa ada tiga elemen primer penyediaan kesempatan kerja oleh badan usaha pembangunan HTI yakni, bekerja langsung pada perusahaan, bekerja pada perusahaan kontraktor usaha, dan bekerja untuk melayani para pekerja perusahaan.
Hubungan timbal balik antara masyarakat dengan sumberdaya hutan sebelum adanya kawasan HTI merupakan satu kesatuan ekosistem yang saling mempengaruhi, maka perlu diupayakan suatu model pembangunan kehutanan yang dipadukan dengan upaya pemenuhan kebutuhan, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan mengingat kondisi sosial ekonomi masyarakat ini pada umumnya masih rendah. Salah satu bentuk pendekatan yang diarahkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat tersebut adalah melalui pemanfaatan tenaga kerja dari masyarakat sekitar kawasan HTI.
Menurut Vitalaya salah satu upaya mengeliminasi ketidakadilan dan kesenjangan mengakses manfaat pembangunan hutan bagi masyarakat desa hutan dilakukan melalui program nasional yang disebut “Social Forestry” atau Kehutanan Sosial CSR atau Coorporate Social respobilty pada pelestarian hutan dengan tujuan memberi manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Namun kegiatan pengelolaan hutan yang lebih diorientasikan pada pertumbuhan ekonomi telah menyebabkan termarginalisasinya masyarakat yang hidup di sekitar hutan. Konsep trickle down effect atau pertumbuhan untuk pemerataan ternyata tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Vitayala, dalam www.lei.or.id.). Akibatnya timbul ketidakadilan ekonomi yang berdampak pada kesenjangan kesejahteraan antar-masyarakat, khususnya mereka yang tinggal di sekitar areal hutan, yaitu antara pekerja dan pengusaha di bidang kehutanan.
Terdapat beberapa dampak pembangunan HTI terhadap lingkungan tanah, air, udara sekitar, seperti :
1. Pemadatan tanah akibat penggunaan alat berat yang digunakan dalam operasional pemanenan,
2. Tingginya erosi tanah dan perubahan bentang alam dalam pembukaan lahan atau dalam pemanenan jika tidak langsung di tanami.
3. Akan terjadi pencemaran tanah/perairan/sungai jika dalam penggunaan pestisida tidak terkontrol untuk mematikan gulma
4. Limbah bahan berbahaya (oli bekas, kemasan bekas pestisida, dll) dapat mencemari lingkungan jika tidak ditangani dengan baik
5. Punahnya beberapa species tanaman lokal atau satwa liar jika tidak disediakannya lahan konservasi. Dalam areal HTI terdapat hutan alam yang masih produktif dari seluruh kawasan hutan yang dikelolam sehingga pembangunan HTI juga mempunyai peran cukup besar terhadap kerusakan kekayaan ekosistem dan habitat satwa liar yang dilindungi
6. Rawan terhadap kebakaran hutan dan lahan
7. Meningkatnya polusi udara akibat transportasi angkutan kayu yang menimbulkan debu
8. Polusi udara/kebisingan dengan meningkatnya penggunaan alat berat/genset
9. Pembangunan HTI di atas secara implisit melegitimasi kerusakan hutan alam yang dilakukan oleh HPH.
10. Terjadi Sengketa Agraria dan Dampak Sosial karena tingginya conflict of interest antara pihak-pihak yang ingin mempertahankan keberadaan hutan tetap dengan pihak-pihak yang menginginkan konversi hutan untuk penggunaan lain, seperti perkebunan dan HTI.
11. Adanya pembangunan HTI tidak memperhatikan keberadaan hutan adat dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan.
Walaupun demikian, pembangunan HTI jika dilakukan dengan benar dan terarah, maka akan didapatkan hasil keuntungan dan kelebihannya, seperti :
1. Meningkatnya jumlah tenaga kerja dari penduduk sekitar dari penerimaan tenaga kerja
2. Peningkatan perekonomian daerah sekitar perusahaaan karena belanja perusahaan/tenaga kerja dalam sehari-hari
3. Coorporate Social responbility jika dilaksanakan dengan benar maka masyarakat sekitar hutan dapat meningkatkan secara ekonomi dan meninggalkan mata pencaharian yang berasal dari pemungutan hasil hutan yang dapat merusak hutan alam dan ekosistem hutan itu sendiri
4. Masyarakt mendapat akses jalan untuk kebutuhan perekonomiannya dan memanfaatkan hasil hutan non kayu.
5. Pembangunan HTI dapat meningkatkan jumlah oksigen untuk mengurangi dampak karbon (tetapi hal ini perlu dikaji lebih mendalam, apakah ini hanya sebagai legatimasi untuk keberadaan HTI).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar