Senin, 28 November 2011

KUGAPAI CINTAMU By Ashadi Siregar

KUGAPAI CINTAMU
By Ashadi Siregar



Ketika Flamboyan Berbunga

SEPERTI rumput hidup manusia. Seperti bunga padang yang mulia, kata kitab suci. Lalu, dalam
realita : rerumputan yang kuning digaring matahari akan kembali hijau di musim hujan. Cemara tak pernah kehabisan daun kendati angin tak bosan-bosannya meluruhkannya. Flamboyan sekali tempo akan gundul, tetapi kemudian kembali rimbun berbunga molek. Jadi, tak patut meratap jika nasib terpuruk ke dalam kekecewaan, sesekali. Ah, terlalu optimistisagaknya. Ya, walaupun mungkin berlebihan, begitulah bagi Tody. Lelaki muda ini sesungguhnya menerima rumput kering dari realita. Tetapi, dia berusaha agar di hatinya berbunga flamboyan cantik.
Bunga flamboyan mekar di kepala gadis-gadis. Oh, bukan. Cuma pita-pita berwarna merah, kuning, atau hijau mengikat kucir-kucir rambut mereka, calon-calon mahasiswi yang sedang menjalani Mapram. Mapram atau perpeloncoankah namanya, bagi Faraitody tak perlu dipersoalkan. Soal nama, itu urusan menteri PDK. Dia cuma tahu, masa itu menggembirakan.
Kegembiraan sesaat, dan kemudian terkulai layu dalam realita rumput kering. Dia menatap tubuh calon-calon mahasiswa yang duduk di lantai. Satu-satu wajah itu diamatinya. Dan, seperti tahun-tahun yang dulu di Kampus Gadjah Mada itu, dia melihat pancaran yang serupa. Pancaran wajah yang pasrah, patuh, dan penurut. Untuk beberapa hari ini, dia merasadirinya bisa menjadi penguasa. Hitam katanya adalah hitam yang harus dikerjakan cama-camiyang diperintahnya.
Tetapi, kekuasaan yang hanya beberapa saat itu tak lagi menarik, sekarang. Tahun-tahun yang berlalu telah mengajarkan untuk jangan percaya pada kelembutan gadis-gadis mahasiswi baru itu. Selama masa penggojlogan, mereka akan semanis anak kelinci jinak. Tetapi, serentak mereka mendadak jadi putri kahyangan begitu perpeloncoan berakhir. Putri kahyangan yang senyumnya aduhai sinis, yang sombongnya allahurabbi.
Memang ada satu-dua mahasiswa senior berhasil memetik mawar baru di kampus ini. Tetapi, yang dialami Tody: dia selamanya salah pilih. Dia mendekati gadis yang ternyata pura-pura melayani. Jadi sambutan untuk sekuriti saja.
Seperti tahun yang lalu misalnya. Dia menerima ucapan. "Maaf, Mas Tody. Malam Inaugurasi nanti saya dijemput teman."
Atau tahun sebelumnya, "Perkenalkan, Mas Tody, ini Mas...." dan seterusnya, dan seterusnya. Itulah realita rumput kering.
Maka sekarang tak lagi ada niat mendekati seorang gadis pun. Dia mengikuti Mapram itu hanya sebagai panitia tak lebih. Dia bekerja dengan kerutinan yang pernah dialaminya selama bertahun-tahun menjadi aktivis di kampus itu. Dia mengawasi acara olah raga, perlombaan seni, mengawasi ini-itu tanpa ambisi bercinta.
Pengalaman membuat dia sebagai introvert jera. Dia lebih banyak merenungi dirinya sendiri. Lebih banyak berbicara dengan diri sendiri. Apakah yang salah dalam diriku? Kenapa aku selalu
mengalami kepahitan dalam berhubungan dengan gadis-gadis?
Dia membandingkan dirinya dengan teman-temannya. Dengan Daniel, sebenarnya aku tidak kalah, pikirnya. Tapi, kenapa Daniel bisa memperoleh seorang gadis yang setia mendampinginya?
Atau Fauzi. Dia juga punya pacar yang sangat manis. Kenapa dia bisa? Kenapa aku tidak?
Secara fisik, aku tak terlalu buruk. Dan, Tody mengawasi bayangan dirinya di kaca jendela. Diabertemu dengan mata yang lunak, dan profil yang lunak pula. Dagunya tidak sekasar dagu lelakilelaki yang lahir di daerahnya, di Nusatenggara Timur sana. Malahan terlalu halus. Maka dia ingat waktu kecil dulu. Kerap sekali dia diganggu teman-temannya hanya karena kehalusan wajah dan tubuhnya. Oleh karena itu dia kerap berkelahi, dan kerap dikucilkan teman-temannya. Sekarang, dia tidak dikucilkan oleh siapa pun. Tetapi, realita rumput keringlah yang dihadapinya dari hari ke hari. Cuma, tak seorang pun tahu. Tiap orang tetap mengenal dia sebagai aktivis mahasiswa yang ramah, yang selalu hadir dalam setiap kegiatan di kampus. Dalam kegiatan sekarang, dia lebih berhati-hati. Terutama dalam menghadapi gadis-gadis cantik. Dia tak mau sekali lagi terkecoh. Terkecoh oleh kejinakan gadis yang hanya sekadar mencari pelindung selamapenggojlogan.
Boleh jadi lantaran hatinya kelewat lunak maka dulu gampang tertipu. Dan, itu tak boleh terulang lagi. Keledai pun akan malu tersandung berkali-kali. Apakah aku harus mengalami peristiwa serupa sampai tiga kali? Bah, konyolnya!
Tody melirik lewat pintu yang terbuka. Seorang cami dibopong ke kantor panitia itu.
"Semaput," kata Sartono, mahasiswa senior yang mengantar. Tody tak bergerak dari kursinya.
Mukanya bereaksi pun tidak. Cami itu dibaringkan di divan yang memang tersedia di kantor itu.
"Mana seksi kesehatan?"
"Mungkin di WC," kata Tody datar.
Sartono berlari keluar. Tody tersenyum. Dia ingat, tahun-tahun yang lalu dia pun akan sesigap senioren itu kalau menghadapi gadis-gadis yang mengalami kesulitan. Siapa tahu bisa memetik kelapa. Padahal, tak tahunya yang tertanam cuma mumbang. Tak lama kemudian Sartono muncul.
"Tak ada di situ," katanya dalam napas terengah.
"Katanya tadi mau buang air." Masih datar suara Tody. "Atau dia sedang makan di kantin. Bagi
anak-anak kedokteran, makan dan buang air memang sama maknanya."
"Bagaimana ini, Mas Tody?"
Tody memperhatikan tanda "K" yang berarti keamanan di baju Sartono. "Apanya bagaimana?"
"Cami ini...."
"Tak apa-apa. Dia cuma kelenger karena panas matahari. Sebentar lagi dia akan bangun." Tody mengalihkan pandang ke tubuh yang terbaring itu. Seorang mahasiswi senior mengipasi cami itu.
Dengan rambut yang dikuncir kecil-kecil dan mata terpejam, cami itu seperti anak kecil. Atau mungkin karena wajahnya yang mungil seperti boneka kurus itu? Tulang pipinya samar menonjol. Bibirnya pias, tetapi bentuknya bagus. Lekukan yang sering ngambek naga-naganya.
Dan, hidungnya harmonis dengan wajah dan bibir itu. Bulu matanya yang lentik membuat kelopak matanya indah. Gadis yang mengipasinya, Widuri, anak tingkat tiga atau dua, Tody kurang tahu. Dia cuma pasti bahwa gadis itu sefakultas dengannya. Pernah dia pelonco. Wajah gadis itu rusuh. Mungkin dia mengkhawatirkan cami yang pingsan itu. Sesekali dia menatap Tody. Dan, Tody tak suka menerima tatapan yang menuntut itu.
"Kipasi saja. Nanti dia akan sadar," kata Tody. Dia kembali membaca bukunya.
"Mas Tody," kata Widuri takut-takut, "sebaiknya seksi kesehatan dipanggil."
Tody mengangkat kepala. Sekejap mata mereka bersamplokan.
"Dia tidak akan apa-apa. Aku sudah berpuluh-puluh kali menghadapi orang semaput."
"Tapi, cami ini kelihatannya sangat lemah."
Tody menggerakkan tangannya, dan Widuri tahu bahwa lelaki ini tak ingin diganggu. Gadis itu menghela napas dalam-dalam, dan mengalihkan pandangan kepada Sartono.
"Apa yang kautunggu lagi, Ton?"
Sartono mengangkat alisnya.
"Carilah seksi kesehatan," lanjut Widuri.
"Ke mana harus kucari?"
Widuri menghembuskan napas kuat-kuat.
"Ke mana harus kaucari?" ulangnya dengan bibir melekuk.
"Cari ke mana saja."
Sartono keluar. Lewat jendela gerutunya tertinggal. "Seksi kesehatan sialan! Enak-enak meninggalkan posnya. Tak punya tanggung jawab! Bangsat! Ini perlu dirapatkan. Ini skandal tugas!"
"Jangan mengomel lagi, Ton!" Hampir berteriak Widuri.
"Ya, Tuan, Putriii!" balas Sartono tak kalah kerasnya. Akibat teriakan-teriakan itu, cami itu
menggeliat.
Kemudian matanya terbuka.
"Eh, dia sudah sadar," kata Widuri.
Bola mata cami itu mengitar-ngitar di balik bulu matanya yang lentik.
"Beri dia minum," kata Tody tanpa memandang.
Cami itu duduk dengan bertumpu pada rangkulan Widuri. Dia minum sementara matanya takuttakut menatap seluruh ruangan.
"Agak segar?" tanya Widuri.
Cami itu mengangguk. "Istirahatiah."
"Dia sudah cukup istirahat. Dia harus kembali ke barisannya," kata Tody dari sudut ruangan itu.
Matanya tetap pada bukunya.
"Dia masih lemah," kata Widuri.
"Dia sudah kuat untuk bergabung dengan teman-temannya."
"Nanti dia sakit."
"Dia sudah cukup beristirahat waktu tidur tadi."
"Dia pingsan tadi."
"Di lapangan tadi mungkin dia pingsan. Tapi, di sini dia tidur."
"Saya tahu pasti, dia pingsan."
"Apakah orang pingsan terbangun mendengar teriakan?" kata Tody tajam.
Widuri menatap cami itu.
"Aku sudah berpengalaman menghadapi akal bulus cami-cami yang malas mengikuti acara-acara.
Mapram ini untuk menanamkan disiplin. Setiap calon mahasiswa harus mengikutinya. Tak ada tempat untuk mereka yang bermanja-manja."
"Adik sudah bisa bangun?" tanya Widuri.
Cami itu mengangguk. Lalu dia bangkit. Dan, pemandangannya gelap. Seribu kunang-kunang mengerjap di matanya. Dia terduduk kembali di divan.
"Dia masih lemah," kata Widuri. Nada protes pada suara itu menyebabkan Tody memandangnya.
Widuri menunduk.
"Dia belum bisa mengikuti acara-acara," katanya pelahan.
"Apamu dia rupanya, Widuri? Makanya kaulindungi begitu?"
"Saya tidak melindunginya. Saya cuma melihat kenyataannya."
"Kau memang lemah! Teman-teman bilang, kau membuat cami-cami menjadi manja. Membuat
mereka berani membangkang."
"Anggota panitia banyak yang sewenang-wenang. Sudah tahu sakit, cami-cami masih dipaksa
ikut," ujar Widuri sengit.
"Mereka semua sudah pernah mengalami sendiri."
"Karena itu seharusnya punya teposeliro. Jangan memaksa."
"Tahun-tahun dahulu, masa perpeloncoan kami jauh lebih berat lagi. Sekarang sudah lebih enak, tapi masih mau bermanja-manja," kata Tody tak acuh.
Cami itu menatap berganti-ganti, dari Widuri beralih ke Tody.
"Jadi, lantaran dulu lebih berat maka sekarang orang sakit harus disuruh lari-lari di siang bolong begini?
Coba diri sendiri, bagaimana rasanya lari di bawah matahari."
"Itu “kan perlu untuk menggembleng."
"Menggembleng bukan begitu caranya."
"Dulu jauh lebih berat. Kami harus berjalan jongkok atau merangkak dengan mata tertutup. Ditendangi senioren. Disuruh minum kastroli. Disiram kencing. Dibanding dulu...."
"Dulu, dulu, dulu!" tambah sengit suara Widuri. "Tapi, sekarang dia sakit. Dia tak bisa mengikuti
acara-acara!"
Tody terheran-heran melihat kemarahan gadis itu. Lebih heran lagi melihat matanya yang merah,
hampir membanjirkan air mata.
O, mungkin karena terlalu letih maka dia jadi pemarah, pikir Tody. Lalu dia bangkit.
"Jangan melindungi orang-orang yang melanggar disiplin. Aku tahu pasti, cami ini tadi tidur.
Dibandingkan dengan teman-temannya, dia masih beruntung. Sebab, dia bisa beristirahat beberapa menit sementara yang lain harus berpanggang hampir jadi sate." Tody mendekati cami itu. "Ayo, Nona, kembali ke kelompokmu!"
Cami itu berusaha berdiri, tetapi baru tegak beberapa centi, kunang-kunang kembali menyergap matanya. Dia sempoyongan, dan Widuri merangkul kembali.
"Lihat, dia sakit. Dia sakit!" kata Widuri.
Cami itu merasa denyutan di kepalanya tak kepalang tanggung, dan udara yang menyungkupnya betapa pengab. Bibirnya yang mungil gemetaran. Dan, sesungguhnya, bukan udara pengab itu yang menggeletarkan bibirnya, melainkan kesakithatian di dadanyalah yang lebih terasa. Dia belum pernah diperlakukan sekasar itu. Belum pernah disewenang-wenangi seperti sekarang ini.
Maka dia ingat rumahnya yang sejuk. Ingat pepohonan yang menaungi rumah itu. Ingat tempat
tidurnya yang empuk. Ingat ibunya yang selalu membujuknya jika dia merajuk. Ingat sopir
mereka yang akan patuh mengantar ke mana pun dia perintahkan.
Adapun di sini, dalam keadaan pening begini masih juga dipaksa mengikuti acara di lapangan yang terik itu. Masih dipaksa menerima terkaman matahari yang tak kenal ampun di kulminasi langit itu. Kalau tahu begini, lebih baik tak usah jadi mahasiswa. Buat apa? Lulus universitas toh
belum tentu senang.
Cami itu terisak. Dia menekap mukanya. Widuri melontarkan pandang protes lagi. Ah, bukan sekadar protes. Dari mata itu mengalir air. Wah!
Tody terbengong-bengong.
"Kok jadi nangis?"
"Tak punya perikemanusiaan!" gumam Widuri.
Isak cami itu semakin keras.
Tak punya perikemanusiaan? Bah, parah ini, pikir Tody.
"Sudahlah. Cami ini boleh istirahat di sini."
Widuri mengusap matanya dengan saputangan. Tetapi, cami itu masih terisak. Mata Widuri memerah. Lalu, ia berkata, "Istirahatlah dulu. Kalau Adik mau minum, ini minumanmu."
"Terima kasih, Mbak, terima kasih," desah cami itu.
Widuri melangkah ke pintu.
"Kau pun perlu istirahat agaknya, Widuri," kata Tody.
Gadis itu berhenti di pintu. Membalik. Maka Tody bisa melihat wajahnya yang bulat telur, dan
kulitnya yang antara warna kuning ke sawo matang. Bibirnya yang bagus itu kemudian mencibir,
"Huh!" katanya.
"Wah," kata Tody.
Widuri keluar. Tody termangu. Widuri, gadis yang waktu pelonco dulu bukan main patuhnya,
bahkan bisa digolongkan penakut. Orang tuanya tinggal di desa. Selain cantik dan bisa
melanjutkan ke universitas, ini berarti orang tuanya termasuk terpandang di desa itu. Tetapi,
berada di tengah-tengah Kampus Gadjah Mada, gadis itu seperti rusa masuk kampung. Bingung.
Takut. Waswas. Akibatnya, patuh pada perintah setiap senioren.
Sekarang gadis itu tak sepenakut dulu. Dia ikut dalam kepanitiaan Mapram. Dia tak canggung mengatur acara-acara. Tetapi, rupanya dia tak kehilangan kelembutannya. Dan, tak kehilangan kesabarannya. Isak cami itu masih terdengar. Tody tak lagi melihat Widuri yang telah lenyap di balik gedung. Cami itu menekap mukanya. Dia duduk di pinggir divan seksi kesehatan.
"Hei, berhenti menangis!" kata Tody.
Gadis itu berusaha menyekap suara isaknya menyebabkan dadanya turun-naik.
"Duduklah di kursi plastik itu. Kau bisa lebih santai."
Gadis itu mengangkat wajahnya. Wajah yang basah. Entah keringat atau air mata. Cuma, matanya yang merah menandakan bahwa dia betul-betul sedang parah menangis.
Tody menunjuk kursi plastik di dekat divan. Gadis itu bangkit dan duduk di situ.
"Nah, sekarang, siapa namamu?"
"Centil," kata gadis itu hampir dalam bisik.
"Bah, itu aku sudah tahu. Sudah kulihat atributmu itu. Nama aslimu, kumaksud."
"Irawati."
"Fakultas?"
"Sastra."
"Jurusan?"
"Inggris."
"Inggris? Coba omong Inggris."
"Belum bisa."
"Tapi, jurusan Inggris."
"Belum belajar."
"Di SMA “kan sudah pernah belajar? Bisa masuk jurusan itu tentu karena Inggrisnya lumayan." Cami itu diam.
"Ayo, ngomonglah."
Gadis itu tetap membisu dengan kepala tertunduk. Karena tetap seperti itu, Tody pun kembali menghadapi buku-bukunya. Dia membiarkan ruangan itu sepi. Di luar, matahari membuat tanah berpasir garing menguapkan sari-sari panas kemarau. Angin bertiup sesekali menerbangkan debu.
Teriakan-teriakan senioren yang membentak-bentak cama-cami merayap masuk kantor panitia. Mapram sekarang jauh lebih ringan dari perpeloncoan tahun-tahun sebelumnya. Tetapi, orangorang sudah mengeluh. Lantaran terjadi kemunduran generasi? Karena mahasiswa-mahasiswa baru sekarang lebih lemah mentalnya dibandingkan dengan mahasiswa sebelumnya? Atau karena mereka terbiasa hidup manja?
Seperti cami ini. Tody mengangkat matanya. Rupa-rupanya gadis itu mengawasi Tody sejak tadi.
Maka sekarang dia bagai kucing yang ketahuan mencuri ikan asin. Matanya ketakutan mengelak dari tatapan Tody.
"Masih pening?"
Gadis itu mengangguk cepat-cepat.
"Minumlah dulu. Itu minumanmu di meja."
Gadis itu minum seteguk demi seteguk. Sesekali matanya melirik Tody.
"Kau sering sakit?"
Gadis itu mengangguk.
"Tapi, kau sering begadang, “kan?" kata Tody.
Mata gadis itu terbelalak. Dan, mata yang berbulu lentik itu aduhai indah.
"Aku tahu kau suka pesta. Betul tidak?"
Gadis itu membisu. Tangannya mengusap-usap gelas.
"Biarpun kuliahku di ekonomi, aku tahu psikologi. Dengan melihat kemanjaanmu, aku tahu kesukaan-kesukaanmu. Kau suka kehidupan yang selalu gembira, tapi kurang bertanggung jawab. Kau termasuk tipe orang yang mau bunuh diri kalau menghadapi badai kehidupan."
Gadis itu - Irawati - tercengang. Dia sendiri tak pernah memikirkan: orang macam apakah dia.
Dia hanya tahu menjalani kehidupan ini. Itu saja. Dia hidup dengan ayah-ibunya yang mencintainya. Itulah segalanya. Lalu sekarang seseorang mengatakan bahwa dia akan bunuh diri kalau menghadapi badai kehidupan. Ah, badai bagaimana yang dimaksudkannya?
Irawati ingin melirik lelaki itu, tetapi dia ingat betapa dingin mata lelaki itu. Mata yang tak acuh.
Alangkah tak nyaman berbenturan pandang mata yang tak bersahabat!
Tody memperhatikan lima pita yang mengikat kucir kecil rambut gadis itu. Rambut yang legam mengkilat. Gadis itu memijit-mijit pelipisnya. Lewat jendela dia memandangi pucuk cemara yang melambai-lambai mengikuti terpaan angin. Langit biru bersih, gumpalan awan putih seputih kapas. Di Kaliurang, pada siang ini, pinus juga bergoyangan, dan langit pun membiru. Tetapi, udara pastilah sejuk. Di bungalow, dengan halaman dipenuhi bunga bermekaran dengan warna merah, kuning, putih, ungu, betapa nyaman. Tidak seperti di ruangan ini. Alangkah panas.
Alangkah pengab. Karena matahari tak kenal ampun. Atau mungkin karena tatapan tawar lelaki itu?
Lelaki itu, kenapa setawar itu memandang perempuan? Tidak kayak anggota panitia lainnya. Mereka berlomba-lomba memberikan perhatian. Ada yang pura-pura membentak, tetapi sebenarnya menunggu senyuman. Dan, lelaki ini? Memang tidak membentak-bentak. Cuma, dingin tatapannya membuat takut orang yang memandangnya. Siapa dia? Siapa dia? Mas Sartono, anggota keamanan tadi, takut kepadanya. Mbak bagian keputrian tadi pun segan-segan nampaknya di depan lelaki ini.
Kursi berderit, Tody berdiri. Sekejap dia meliukkan pinggang untuk menghilangkan rasa pegal.
Tanpa memandang, dia berkata, "Istirahat saja di sini. Kalau ada yang bertanya, bilang sudah
aku izinkan."
Irawati mengawasi punggung lelaki itu melalui lubang pintu. Kerikil di halaman terasa panas menembus sol sepatu. Tody berjalan tergegas melintasi halaman terbuka agar secepatnya tiba di bawah kerindangan pohon penaung.
"Kalau ada yang bertanya, bilang saja sudah aku izinkan." Siapa "aku" itu? Apakah dia kira setiap orang sudah mengenalnya? Atau dia memang terkenal di kampus ini? Ya, mungkin aku yang tak mengetahuinya. Tentunya dia punya kedudukan penting dalam kepanitiaan sekarang.
Penting atau tidak, sekarang tak jadi soal. Kesulitan mulai muncul. Biang penyakit itu datang. Seorang mahasiswa senior terlihat makin dekat oleh Irawati. Johan, mahasiswa tahun kelima. Lelaki ini sangat getol mendekati cami-cami. Boleh jadi, dia sangat percaya bahwa gadis-gadis akan takluk memandang senyumnya yang mirip senyum Omar Sharif.
Irawati mengenalnya sebab pacar Johan dulu indekos di seberang rumahnya, Dan, Irawati juga tahu putusnya hubungan Johan dengan pacarnya. Apa penyebabnya, dia kurang jelas, Cuma, tindak-tanduk lelaki itu membuat Irawati mual. Ada kesan bahwa Johan tak segan-segan menggunakan kekuasaannya untuk mencapai maksud hati. Lelaki itu agresif sekali. Nampak sekali tanda-tanda bahwa dia memang berniat mendekati Irawati.
Irawati berusaha membalas senyuman lelaki itu.
Johan berdiri di pintu.
"Kau sakit?" tanyanya.
Irawati mengangguk.
Johan meneliti seluruh ruangan. Ketika matanya singgah di meja Tody, dia bertanya. "Mana Tody?"
O, kalau begitu si Dingin itu bernama Tody, pikir Irawati. "Mana ketua panitia itu?" tanya Johan sembari mengembalikan tatapannya pada Irawati.
Irawati mengangkat bahu. Aduh, ulangi lagi gerak macam itu, kata hati Johan. Alangkah indah gerak bahu yang kemanja-manjaan itu. Dan, matanya yang hitam bersorot-sorot seperti akan merajuk; bibirnya yang siap-siap melekuk memiliki magnit, membuat siapa saja kepingin memeluknya, membujuknya dan menciumnya. Wah!
"Ada apa dengan Mas Tody?" kata Irawati. Sekejap tadi dia mendapat cara untuk menghadapi
Johan.
"Kau kenal dia?" tanya lelaki itu.
Irawati mengangguk. Lalu senyum. Senyum itu dibuat malu-malu. Maka Johan merasa dagunya
gatal, dan dia mengusap-usapnya. "Kenal baik?" tanyanya lagi.
Irawati menunduk lebih dalam, dan senyumnya lebih samar.
Ah! Johan menggaruk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal. Lalu dia bersiul. Lagunya tak menentu. Dari sepotong lagu Beatles ke lagu Melayu. Dia mondar-mandir di seputar ruangan. Membuka spanduk yang tergulung, membacanya, lalu menggulungnya kembali.
"Kalau sakit, kau boleh pulang, Ira."
Irawati diam.
"Biar kuantar," lanjut Johan.
Tak ada reaksi.
Johan melongok melalui jendela.
"Hei!" teriaknya membelah panas.
Seorang cama berhenti dan menoleh takut-takut.
"Mana atributmu, he?"
Cama itu gelagapan. Dalam hati dia mengutuki dirinya sendiri lantaran telah lewat di dekat
kantor itu.
"Kau tahu atributmu itu tidak boleh pisah dari badanmu? Itu lebih berharga dari nyawamu.
Mengerti?"
Cama itu mengangguk dengan takzim.
"Sekarang jelaskan kenapa kautanggalkan atributmu itu!"
"Saya.... jatuh ke selokan tadi, lalu diizinkan mandi sebentar."
"Hm." Johan seperti kucing yang mengawasi tikus yang menggigil di depannya. "Sekarang ambil nyawamu itu. Cepaaat! Kuhitung sampai lima kali!"
Cama itu lari terpontang-panting. Johan mengurut-urut lehernya. Berteriak-teriak di bawah sungkupan udara yang panas sesungguhnya telah membuat tenggorokan mau pecah. Dia tersenyum menyaksikan kepala plontos yang berlari di lapangan itu. Dia berbalik, dan merasa dirinya he-man. John Wayne, Richard Burton, atau siapa saja yang hebat-hebat, itulah dia!
Tetapi, matanya terbentur ke meja Tody. Dan, berkisar sedikit kepada Irawati yang sedang memperhatikannya. Gadis itu menatapnya hambar. Seorang gadis melihat Richard Burton atau Omar Sharif selayaknya mengagumi. Tetapi, gadis yang berpakaian lusuh dengan atribut Mapram ini sama sekali tak mengaguminya. Sialan!
"Sudah lama kau kenal Tody?" katanya kemudian.
"Ya, lumayan lama."
"Sejak kapan?"
"Entahlah. Pokoknya sebelum Mapram ini."
"Pacarmu?"
"Ah!" Irawati mengusahakan agar ketersipu-sipuan lebih kentara di wajahnya.
Johan mengetok-ngetok meja dengan irama gendang lagu Melayu.
Irawati membuka-buka halaman "buku suci" miliknya. Dari luar semayup terdengar suara
nyanyian cama-cami.
"Ayolah, kuantar kau pulang, Ira."
"Waaah," Irawati melirik meja Tody.
Johan mempergendang meja lagi.
"Selama ini dia yang mengantarmu pulang?"
Irawati tak menjawab. Dia cuma tersenyum simpul.
"Pantas kau menolak terus." Johan menggaruk-garuk kepala lagi.
"I”m sorry," kata Irawati.
"Kok nggak dari dulu kaubilang?"
Irawati mengipas-ngipaskan buku sucinya. Terdengar cericit burung gereja di bawah atap, serta gelepar-gelepar sayapnya yang menerjang-nerjang pinggiran atap. Bahkan burung gereja pun merasakan teriknya matahari sekarang, merasakan kepengapan udara.
Maka Johan beranjak dan berkata. "Ah, panas sekali. Aku pergi dulu."
Irawati menahan senyumnya. Sementara lelaki itu melintasi halaman yang panas, Irawati hampir tak bisa menahan keinginannya untuk tertawa.
Johan merambahi semak setinggi betis. Dia berjalan melintasi di bawah perlindungan pohon cemara. Diam-diam Tody rupanya sudah menggarap bunga itu, pikirnya. Tapi, kapan
dilakukannya? Selamanya dia sibuk mengurus jalannya Mapram ini. Bersaingan dengan lelaki itu
tak terlalu berat agaknya. Orang yang selalu murung, bahkan ada yang bilang hatinya rapuh.
Siapa yang bilang ya? Edu, Hasan, Zul, atau Fauzi? Ya, pokok ada yang bilang. Tody terlalu lemah sebagai lelaki. Sebagai pejuang mahasiswa, bolehlah. Tetapi, sebagai lelaki yang harus bertarung dengan seseorang dalam memperebutkan seorang gadis, nanti dulu. Berkali-kali dia sudah terpuruk. Sewaktu perpeloncoan dulu, dia berdekatan rumah dengan seorang pelonci.
Mereka selalu datang dan pulang bersama. Karena persamaan nasib mungkin, mereka menjadi akrab. Tetapi, di akhir penggojlogan, pelonci itu digaet seorang senioren. Dan, Tody termangu. Lalu setelah dia menjadi senioren pula. Beberapa kali merasa tertarik pada seorang cami. Tetapi, reda begitu saja setelah perpeloncoan selesai. Tak tahu apakah memang Tody yang tak bisa membina hubungan yang diharapkan, atau memang gadis itu sudah punya pacar selama ini. Jadi, melayani Tody cuma sebagai teknik pengaman saja. Biar tak kena gojlok. Kalau begitulah
keadaannya, betapa malang. Soal Irawati ini, setahu Johan, gadis itu memang tak punya pacar
tetap selama ini. Cuma, betulkan dia sedang ada hubungan dengan Tody? Gadis semacam itu, bagaimana bisa ketemu hati dengan Tody yang murung berkepanjangan begitu?
Irawati! Siapa yang tak kenal nama itu. Gadis yang berdunia ceria. Tak kenal duka. Ya, bagaimana bisa berduka! Dia punya orang tua yang menjadikan dia bunga di rumah mereka. Dia pantang mendengarkan kata “tidak” di rumah itu. Sejak dia duduk di bangku SMA Stella Duce dulu, peminat-peminat pesta sudah mengenalnya. Dari kuku-kuku jarinya yang terawat bagus itu sebenarnya sudah bisa diduga, dia biasa hidup dalam kemanjaan.
Mungkinkah gadis itu bisa terikat pada seorang macam Tody? Dia hanya mungkin ditaklukkan seseorang yang lengkap kehidupannya. Brilian, suka pesta, tampan, dan kalau perlu: kaya. Lalu, apa yang dipenuhi Tody? Di fakultasnya mungkin dia brilian. Tetapi, dia tak suka pesta.
Waktu ada pesta yang diselenggarakan Imayo atau PMKRI, dia memang mau juga melantai, tetapi dansanya serius. Kayak dansa pastor saja. Entah dia belajar di mana, tapi dansa serius begitu sulit cari pasangan dalam pesta-pesta mahasiswa. Ballroom begitu perlu kursus khusus. Payah.
Soal kemampuan, yah sebenarnya Tody sudah lumayan. Profilnya mendekati Rendra. Cuma, Tody lebih hitam. Bisalah dia dibilang berprofil manis.
Mungkinkah Irawati - gadis yang seceria burung parkit, melompat dari dahan bunga yang satu ke bunga yang lain - diikat Tody? Kalau mungkin, itu namanya bukan main. Keraguan masih ada.
Tetapi, Irawati sendiri sudah mengatakannya. Lalu apa lagi? Ah, siapa tahu itu cuma akal licik gadis itu!
Johan menepuk-nepuk pahanya sembari berjalan. Di sela-sela rumpun bunga dia bersiul. Entah kenapa, sehari itu dia senang menyiulkan lagu Melayu.
Dia melihat Tody meninggalkan lapangan tempat acara Mapram dilangsungkan. Dia menantinya di dekat batang pohon petai cina yang rindang. Tody mengusap tengkuknya yang dibasahi keringat. "Semua lancar?" tanya Johan.
"Yah."
Mereka berdiri berendeng mengawasi gerombolan cama-cami di lapangan.
"Kau sudah dapat cewek," kata Johan.
Tody mengernyitkan kening.
"Hebat kau," lanjut Johan tanpa mengalihkan matanya dari cama-cami. "Sudah lama kaudapatkan dia?"
Tody mengemyitkan kening lebih dalam lagi. Malahan kini menatap Johan dengan pandangan bertanya.
Johan masih mengawasi perlombaan olah raga di kejauhan.
"Dia bilang, kalian berkenalan sebelum Mapram ini. Di mana kaukenal dia?"
Tody cuma menggumamkan kata yang tidak jelas.
Akhirnya Johan menatapnya. Dia melihat kerutan kening Tody.
"Aku ketemu dia di kantor panitia," kata Johan. "Kenapa selama ini kau tak pernah cerita?
Banyak yang mengincar cewek itu. Kau mesti hati-hati menjaganya."
Tody membisu. Lamat-lamat dia bisa menduga siapa yang dimaksudkan Johan. Tetapi, dia tetap
diam. Cuma, hatinya menduga-duga. "Bagaimana Johan bisa mengira begitu?"
Mereka bertatapan agak lama. Tody merasa permen karet yang dikunyahnya mulai terasa hambar. Lalu dia ludahkan, dan katanya. "Bagaimana rencana program antarkampus itu?"
"Sedang kontak dengan lima universitas besar."
"Hm." Tody kembali memperhatikan cama-cami di bawah matahari.
"Kabarnya kau sudah mengikuti coaching untuk Bimas?" kata, Johan.
"Ya."
"Kapan berangkat?"
"Entah. Tergantung program universitas."
"Wah, enak. Aku kepingin sekali ikut-ikut turun ke desa."
"Kau “kan sastra Inggris. Mau mengajar orang-orang desa berbahasa Inggris? Bimbingan masal bahasa Inggris? Wah, bukan main! Untuk meningkatkan turisme...."
"Jangan sinis dong."
Tody menyusut daun petai cina dari rantingnya, lalu menaburkan daun-daun halus itu ke tanah.
Daun-daun itu berserakan di semak.
"Masih lama acara universitas ini?" Johan bertanya.
"Sehabis pertandingan olah raga itu, mereka akan kembali ke fakultas masing-masing."
"Good. Aku mau pulang dulu. Lapar. Makanan yang disediakan panitia tak bisa memancing seleraku."
"Ah, borjuis kau!"
Johan berialan ke timur melompati sebuah selokan, berjalan di aspal panas sebentar, melewati celah pagar kawat agar lebih dekat ke penitipan sepeda. Dia mengambil sepeda motornya.

Apel sore itu di bawah matahari yang menyisakan panasnya dari siang. Johan memeriksa barisan cama-cami. Dia terkenal sebagai senior yang galak. Maka seluruh barisan menjadi hening. Hanya sepatu Johan terdengar bersentuhan dengan kerikil. Dan, tiba-tiba. "Hei, kau! Maju!"
Cama yang ditunjuk Johan maju takut-takut.
"Cepat!"
Cama itu melangkah tergesa.
"Kau berani berdiri di depanku!?"
Seluruh cama-cami berdesak dalam resah yang tersekap. Sementara itu, cama yang tadi ditunjuk oleh Tuan Besar Johan duduk di pasir dalam ketakutan.
"Kau tahu apa dosamu?"
Cama itu terdiam memikir-mikir.
"Jangan pakai otakmu. Kau belum berhak menggunakan itu. Pakai matamu! Periksa seluruh
hartamu!"
Cama itu tambah gemetar. Dia lupa membawa kaleng susunya yang biasa dipukul-pukul dengan irus.
"Seluruh regu orang berdosa ini maju!"
Irawati ada di antara regu yang melangkah pelahan itu. Johan berdiri seperti koboi yang
menunggu lawan duel. Mata separo terpicing menatap barisan kecil yang berjalan bagai prosesi
ke pemakaman. Cama-cami itu menapak dengan perasaan mendekati pintu kesengsaraan.
"Inilah contoh regu yang buruk!" teriak Johan.
"Tidak punya solidaritas regu. Membiarkan rekannya berbuat dosa." Mata Johan menyambarnyambar setiap anggota regu. Dan, Irawati menggigil menerima sambaran mata yang mirip mata anjing jahat itu.
Suara sepatu Johan berderik-derik di kerikil. Hening. Maka Irawati ingat film-film koboi. Persis suara sepatu yang berderik-derik di jalan yang lengang, di tengah kota yang mati akibat teror sang bandit. Tangan agak renggang, waspada untuk menembak kapan saja ada gerak yang mencurigakan.
Di sini tak ada yang mencurigakan. Yang ada hanyalah ketakutan cama-cami. Lalu Johan berkata keras. "Untuk memupuk solidaritas, kalian harus menerima hukuman secara kolektif!"
Regu cama-cami itu berdesah. Satu-dua orang mengeluh.
"Diam!" teriakan Johan membahana.
Irawati melihat garis kejam di sudut bibir lelaki itu. "Push-up dua puluh kali!"
Push-up ? Sungguhkah ini? Irawati berpandangan dengan teman-teman seregunya. Kesemuanya murung.
Irawati ingin menangis. Inilah hukuman yang paling kejam. Push-up dua puluh kali, betul-betul
tak terbayangkan.
"Tunggu apa lagi? Ayo, mulai!"
Anggota regu itu mulai bertiarap. Dan, Irawati bingung sebab dia masih berdiri di tengah-tengah rekan-rekannya yang sudah tengkurap. Kini seluruh mata tertuju padanya.
"Saya.... saya.... tidak bisa push-up," katanya terbata-bata.
"Well." Suara Johan sinis.
"Saya.... saya...."
"Lalu, hukuman apa yang Anda inginkan?"
"Apa saja, asal bukan push-up."
"Lari mengelilingi lapangan tiga kali?"
"Oh!" Jantung Irawati terperangah.
"Ayo! Jangan sampai teman-temanmu capek tengkurap begitu."
"Saya tak bisa.... Saya tak bisa...."
"Kenapa yang lain bisa?" Johan menunggu kalau-kalau gadis itu minta dispensasi. Lalu akan
dipertimbangkan nanti. Adapun Irawati, dia melihat kekejaman seorang pengecut di mata lelaki
itu. Maka dia muak untuk meminta-minta belas kasihan. Belas kasihan dari seorang pengecut?
Phuih! Kalau tetap membangkang, apa sih yang bisa diperbuatnya?
Irawati tetap berdiri. Malahan kini dengan sikap menantang.
Johan tersenyum, lalu beranjak dari tempatnya dan kembali memeriksa barisan. Dia biarkan regu cama-cami yang tengkurap itu tetap dalam posisi semula. Irawati menatap kepala-kepala plontos dan pita kucir rekan-rekannya. Dari jauh Johan berteriak. "Sebelum hukuman dilaksanakan, cama-cami tidak boleh bergerak!"
Suara itu bergema oleh pantulan dinding fakultas. Irawati mengitarkan matanya ke seluruh tempat. Dan, pandangannya membentur dengan mata yang menuntut. Gadis itu merasa seluruh jaringan tubuhnya menjadi dingin. Dia merasa setiap orang mempersalahkannya. Oh, apakah yang sedang terjadi di sini? Kenapa semua manusia di sini menganggap kesewenang-wenangan sebagai sesuatu yang wajar? Tak sekelumit pun nampak tanda-tanda mereka menolak hukuman yang tidak adil itu. Malahan mereka mempersalahkan orang yang menentang kesewenangwenangan itu.
Mereka mempersalahkan Irawati. Mempersalahkan gadis yang berdiri tegak sementara rekanrekan yang lain tengkurap. Beberapa di antara mereka yang tengkurap itu mulai mengeluh.
Mereka kejang dalam sikap seperti itu berlama-lama. Keluhan mereka terdengar oleh Irawati.
Tetapi, kenapa mereka justru mengutukku? Kenapa mereka tidak mengutuk senioren yang menjatuhkan hukuman tidak adil itu? Oh, apakah yang sedang terjadi di sini, di tengah-tengah orang-orang yang bakal menjadi mahasiswa ini? Mereka menerima hukuman apa pun yang dijatuhkan terhadap mereka tanpa perlawanan.
Irawati menelan ludahnya yang seret. Pahit. Mual. Kepala plontos dan rambut terkucir yang tiarap di kiri-kanannya bagaikan melekat di ujung batang pohon pisang. Dan, wajah-wajah yang menatapnya, wajah-wajah yang berkeringat, bukan lagi berkulit sebagaimana lazimnya manusia.
Dia melihat wajah-wajah yang berkulit tegang seperti topeng-topeng Bali. Menyeringai. Dan, udara menguapkan sari-sari kemualan. Yang terlihat oleh Irawati hanya topeng-topeng Bali, warna-warna kuning, kuning, kuning, merah, merah, merah, campur-aduk. Pijar-pijar lampu seribu watt menyergap-nyergap ke matanya dari biasan matahari yang bergeser ke barat.
Dia merasa tanah kian labil. Seratus sekian pasang mata yang melotot ke arahnya, juga topeng
Bali yang menyeringai itu, semakin mengelabukan pandangan gadis itu.
"Ayo!" Teriakan menggelegar dari mulut senioren Johan. Tanah bergoyang. Pening. Gelap. Lebih gelap, dan Irawati jatuh.
Untuk kedua kalinya hari itu mahasiswa-mahasiswi senior kalang-kabut. Apalagi melihat piasnya
wajah gadis itu. Bibir mungil serta hidung yang bangir itu mau tak mau menimbulkan rasa iba.
Wajah yang kurus menimbulkan kesan betapa berat penderitaan gadis itu sekarang.
Johan berjalan mondar-mandir. Kenapa dia tidak minta dispensasi, pikirnya. Kenapa dia tidak
merengek-rengek sebagaimana laiknya gadis-gadis manja?
Johan suka melihat kemanjaan gadis itu. Gerak aleman selamanya menyenangkan untuk
dipandang. Malahan menimbulkan keinginan untuk menggodanya, biar dia terus merengek.
Tapi, dia membangkang lantaran pacarnya ketua panitia! Bah! Pacar tinggal pacar. Tetapi,
penegakan disiplin itulah soalnya.
Irawati dibopong beberapa senioren ke kantor panitia. Johan kembali menghadapi regu yang
tetap tengkurap.
"Sekarang mulai!"
Di kantor panitia, Widuri sedang menyelesaikan laporan-laporan seksinya. Dia separo melamun
menatap nanap lewat jendela yang terbentang. Tanpa sadar dia menggigit-gigit pangkal
ballpoint-nya. Suatu kebiasaan - yang kalau dia sadar - dia ketahui kurang baik. Konon kebiasaan itu menunjukkan gejala jiwa yang tidak kokoh. Entah siapa yang bilang, sarjana atau dukun, dia
kurang ingat. Tetapi, pokoknya dia selalu berusaha menghilangkan kebiasaan itu.
Giginya yang rata mengintai-intai dari balik bibirnya. Bibir tanpa lipstik, tetapi agak kemerahan.
Sesungguhnya gadis yang sedang melamun itu cantik juga, pikir Tody yang sejak tadi diam-diam mengawasi dari sudut ruangan.
Dan, sesungguhnya pula gadis itu sedang memikirkan Tody. Lelaki yang tahan membisu itu,
kenapa begitu kaku? Tahun-tahun yang lalu, dia masih mau mendekati cama-cami. Tetapi,
sekarang dia seperti dewa yang jauh dari kebisingan Mapram.
Barangkali dia ingin membentuk image-nya sebagai pemimpin mahasiswa yang angker.
Pemimpin besar yang tidak terlibat dalam urusan-urusan kecil. Atau, barangkali dia sudah punya pacar? Ya, siapa tahu!
Widuri menghela napas panjang-panjang. Tody meliriknya. Widuri mengemasi berkas-berkas
kertasnya, dan katanya, "Juri untuk perlombaan nyanyi masih belum lengkap."
"Ooo." Datar suara Tody.
Widuri mengangkat kepala seraya berkata. "Kapan itu diurus?"
"Ya? “Kan sudah ada yang bertanggung jawab? Seksi perlombaan."
"Entah di mana dia. Mungkin ngurusi cewek-cewek."
"Nanti akan diselesaikannya. Biasa, langgam kerja mahasiswa memang sering begitu. Rileks
saja."
"Tapi, kalau sampai saat terakhir jurinya tidak lengkap?"
"Aaah, mesti lengkap. Dia akan mengurusnya."
"Mas Tody terlalu optimis."
"Pengalaman mengajarkan padaku, tak perlu terlalu serius. Makin serius, makin gampang panik.
Apalagi menghadapi mahasiswa. Mereka suka kerja seenaknya. Kayak seniman. Tapi, percayalah, pada titik terakhirnya mereka akan menyelesaikannya."
"Tapi, biasanya acak-acakan," kata Widuri.
"Kalau mau rapi, pegawai atau tukanglah yang harus mengerjakannya."
Widuri menghembuskan napas keras-keras. Tody tetap duduk melengut seperti sapi
kekenyangan. Matanya tak acuh, malahan setengah mengantuk. Cahaya merah dari barat
menerobos lewat celah pohon cemara. Dan, gadis yang pingsan itu dibopong ke kantor itu.
Widuri bangkit tergesa-gesa, merapikan divan untuk pembaringan gadis itu.
Mahasiswa-mahasiswa senior yang membopong keluar. Kini tinggal seksi kesehatan yang
mangusap-usapkan wewangian, entah apa namanya. Widuri mengipasi gadis itu.
Tody membenamkan tubuhnya ke dalam kursi plastik. Kepingin tidur. Tetapi, tunggu dulu! Gadis yang pingsan tadi siang? Tody bangkit. Ya, dia. Kalau dua kali pingsan dalam satu hari, ini sudah patut menjadi urusan dokter. Bisa-bisa pingsan yang ketiga kalinya terus koit. Berabe! Urusan polisi jadinya. Maka Tody lebih beperhatian.
Gadis itu nampak langsing dengan slack-nya. Wajahnya yang pucat-lesi serta bibirnya yang
menggurat dalam garis tipis itu cuma menggambarkan kesakithatian. Manusia semacam dia ini,
bisalah dikategorikan mungil. Wajahnya kecil. Mungkin lantaran rambut yang disisir terbelah di
kepalanya, juga pita-pita kecil itu. Senja kian temaram. Irawati mengeluh halus. Manakala
kelopak matanya terangkat, wajah Widurilah yang terpandang olehnya. Dan, senyum lunak gadis yang berkulit sawo matang itu menyejukkan.
"Mbak," keluh cami itu.
Widuri mengelus kening gadis itu, dan Irawati menangis.
Seperti film India, pikir Tody. Lalu dia kembali duduk.
"Dia perlu istirahat," kata Kamal, mahasiswa kedokteran yang sedang koskap.
"Perlu tonikum agaknya dia," kata Tody.
"Jantungnya agak lemah."
"Wow! Sebaiknya dia tidak ikut Mapram."
"Nggak apa-apa. Dia bisa mengikuti terus. Bukan sakit jantung."
"Yang benar aja, Mal. Sudah bab jantung pelajaranmu?"
"Asu! Tentu saja sudah."
"Yah, asal diagnosamu benar saja. Kalau ada apa-apa, “kan aku yang diangkut polisi. Malah
mungkin dilaksuskopkamtibkan."
"Tak apa-apa. Tak apa-apa."
"Hm, gayamu sudah memper dokter."
"Dan, kau? Gayamu sudah mirip pencatut lisensi."
Widuri tak sabar mengikuti pembicaraan itu.
"Tak diberi obat dia, Mas Kamal?"
"Obat apa? “Kan dia sudah sadar?"
"Jadi, cuma begitu?"
"Lha bagaimana lagi? Dia cuma capek. Ya, kasih tablet vitamin C saja. Biar marem." Kamal
beranjak kepintu keluar. Widuri cuma bisa menggeleng-geleng.
"Tak perlu disuntik?"
"Suntik apa? Dia “kan sehat? Atau, kau mau tetrasiklin?"
"Apa itu?"
"Tanya Tody. Dia tentunya sering pakai kalau habis...."
Tody terheran-heran.
Kamal terbahak terus keluar.
"Gila kau! Bajingan!" seru Tody.
Bayangan pohon cemara telah samar dalam senja. Burung gereja ramai mencericit di pinggirpinggir atap.
Di sana, Gedung Induk Universitas Gadjah Mada yang bertingkat tiga terpacak diam-diam.
Lampu-lampu sepanjang Bulaksumur Boulevard yang membelah kampus telah menyala. Sinarnya redup. Pohon flamboyan di pinggir jalan tak kentara lagi sebagai pohon yang berbunga indah.
Hanya nampak sebagai onggokan dedaunan hitam, sekarang.
Ruang kantor panitia itu sepi. Widuri kembali melamun. Irawati duduk diam-diam di dekatnya.
Tody menatap ujung kakinya yang terletak di atas meja. Lama. Sampai akhirnya seorang mahasiswa senior memanggil Widuri. Urusan kepanitiaan. Irawati melihat kelamnya malam kian
kentara di luar.
Ruangan itu tetap sepi. Tody tetap sebungkam batu gunung. Maka Irawati yang biasa berkicau
bagai burung itu kini harus mengatupkan mulutnya rapat-rapat.
Bagaimana menggeser batu gunung yang dingin itu? Irawati menaksir-naksir. Aku, pikirnya, yang punya senyum sebagus senyum Widyawati ini, masakan tidak menggoyahkannya? Masakan dia sekokoh batu cadas yang bagian besarnya tertanam di tanah! Atau kelihatan jelekkah aku selama Mapram ini? Ya, mungkin. Aku kelihatan lusuh. Mukaku berkeringat. Seandainya dia melihatku sebelum Mapram ini, potong telingaku: dia pasti tertegun. Dia akan melihat wajah yang melankolis. Ya, wajah aristokratik. Yanuar atau Bobby, pokoknya salah satu dari mereka, pernah bilang bahwa aku adalah Cleopatra yang muncul diam-diam pada abad modern ini. Cuma, barangkali aku lebih kurus. Liz Taylor jadi Cleopatra dengan tubuh yang lebih berisi. Tapi, itu tak jadi soal. Tubuh-tubuh ceking malah lebih feminis sejak Twiggy muncul. Kubaca itu di majalah Aktuil.
Seandainya dia melihatku dalam pakaian biasa, bukan dalam pakaian Mapram yang terkutuk ini! Masakan matanya tak bergerak hidup? Masakan matanya tetap sedingin itu? Kayak mata Peter Moole atau Robert Mitchum. Orang bilang: mata pengisap ganja. Atau barangkali dia pengisap ganja? Tapi, kenapa tidak pernah kukenal? Barangkali dia masuk groupies lain? Tapi, ah, tak mungkin. Dia tokoh mahasiswa. Tak mungkin ikut-ikut groupies. Andaikan dia masuk groupiesku, bukan main.
Dia bisa jadi pemimpin. Ah, Bob Mitchum itu! Pasti groupies kami terkenal. Apalagi kalau dia suka lagu-lagu Bob Dylan. Bukan main!
Irawati menggigit-gigit ujung kukunya sambil menaksir-naksir terus. Bagaimana cara
menggoyahkan batu gunung ini? Bagaimana cara menggesernya? Biar dia tahu siapa Irawati
sebenarnya. Biar dia tahu bahwa Irawati bukan seorang yang tidak bernilai. Irawati adalah
kumpulan api yang membakar. Irawati adalah gadis yang pada usia 13 tahun sudah pacaran.
Bahkan waktu SMP pernah membuat mata gurunya blingsatan sebab jatuh cinta kepadanya. Dua tahun yang lalu dia pernah menjadi penyebab perang antara SMA III melawan SMA-Bopkri.
Irawati pun pernah membakar api perang pada banyak hati lelaki.
Lantas sekarang, apakah harus terbentur pada batu ini?
"Rumah Mas Tody di mana?"
Jidat Tody berkerut. Makin mirip Peter O”Toole, pikir Irawati, sedangkan Tody berpikir, "Apaapaan ini?"
Tadi sambil lalu ia menanyakan siapa teman gadis itu pulang. Tetapi, jawabnya, pertanyaan
itulah. Maka Tody terdiam. Kenapa anak ini seberani itu? Cama-cami memandangku seperti
dewa. Gadis ini, lain yang ditanyakan, lain pula jawabannya.
Kalau ada senioren lain, pastilah cami ini dibentak-bentak disuruh meminta maaf.
Tody keluar tanpa memandang gadis itu. Jaringan urat-urat tubuh Irawati mengejang. Marah.
Diperlakukan seperti itu, dadanya menjadi sesak. Tetapi, oleh karena udara yang dihirupnya
berasal dari malam yang dingin, maka kemarahan itupun mengendap. Surut.
"Mas!"
Tody berhenti.
"Saya tak punya teman pulang."
"Oh, ya?"
Irawati mengangguk kuat-kuat. Khawatir anggukannya tak terlihat dalam kelam.
"Biasanya, siapa temanmu pulang?"
"Tadi.... tadi dia tidak datang," kata gadis itu. Dan, dalam hati dia berdoa, "Janganlah diusut
siapa yang tak datang itu." Lalu lanjutnya, "Dia sakit sejak kemarin."
"Hm." Gumaman lelaki itu membuat jantung Irawati takut berdenyut.
"Kautunggu di sini. Akan kusuruh salah seorang temanmu mengantarmu pulang."
Bahu Irawati tertekuk. Tolol kau! Tolol kau! Tolol! Goblok! Bego! Dan, gadis itu mengumpulkan
sumpah serapah dalam hatinya. Lalu menyebut-nyebut Tuhan. Ya, kenapa ada lelaki setolol ini?
Apakah aku sudah menjadi begitu buruk? Apakah aku sudah tak bisa lagi menarik hati lelaki? Ya, Tuhan, alangkah terkutuknya Mapram ini. Jika sampai merusak diriku, jika membuat diriku
kehilangan pesona yang selama ini ada, nerakalah Mapram ini.
"Saya tak mau diantar cama!" Suara Irawati tinggi.
"Eh?" Tody berbalik.
"Saya tak mau diantar cama!" ulang gadis itu lebih keras.
"Mau pulang sendiri? Itu tak baik Non."
"Mas Tody..." Hampir dalam rengekan suara gadis itu, "Saya tak mau diantar cama. Mereka suka ambil kesempatan dalam kesempitan."
"Eh?"
"Saya tidak mau!" Lebih merengek gadis itu.
"Kalau begitu, akan diantar salah seorang anggota keamanan."
"Tidak, tidak, tidak!" Lebih histeris gadis itu.
Apa-apaan ini, pikir Tody. Apa gerangan yang telah dialami gadis ini sesiang tadi? Dia sampai
dua kali pingsan. Barangkali dia mengalami kejadian-kejadian gawat selama Mapram ini.
Barangkali ada yang menakutkan dirinya. Soal apa?
"Kenapa kau tak mau juga diantar keamanan?"
"Saya takut! Saya takut!"
Dan, menghadapi rengekan ini, terbersit ingatan Tody pada adiknya di Nusa Tenggara Timur.
Yang jauh disana. Gadis kecil yang telah lima tahun ditinggalkannya. Tentunya dia sudah sebesar cami ini. Surat terakhir dia mengatakan bahwa dia masuk Universitas Hasanudin. Tentunya dia
sedang di-Mapram sekarang. Barangkali dia juga pingsan.
Barangkali dia juga mengalami ketakutan.
Tody lebih memperhatikan cami itu. Oh, dia merasa sedang melihat adiknya. Margriet, adiknya,
weta-nya sayang. Masih SMP waktu ditinggalkannya dulu. Sebagai seorang kakak dia menyesal
tidak bisa mengikuti perkembangan gadis kecil itu. Margriet juga kurus. Rambutnya sering
dikepang. Berkulit hitam manis.
Pastilah sekarang langsing dan punya senyum yang menawan. Pastilah dia diganggu seniorsenior di universitasnya. Gadis mungil yang di depannya masih menatap penuh harap. Tody mengingat-ingat tindakannya selama menjadi senioren di Gadjah Mada. Maka terbayang gojlogan rekan-rekannya terhadap cama-cami. Memang ada yang keterlaluan kerasnya. Ah, Faraitody, adikmu di universitas yang jauh di sana juga sedang digojlog. Di sini kau memang ketua, dewa yang dipertuan cama-cami. Tetapi, adikmu....? Ah!
Tody menghela napas dalam-dalam, dan menatap lekat-lekat gadis itu. Gadis itu membalas
menatap, dengan matanya yang mirip mata kelinci.
"Akan kuantar kau nanti," kata Tody. Kemudian dia melangkah meninggalkan kantor itu. Setelah belasan langkah, dia berkata lagi, "Tunggu saja di situ!" Dan, dia lenyap dalam kelamnya malam.
Sementara itu, Irawati hampir tertawa terkekeh-kekeh. Ternyata batu itu kayak tanah liat, kata
hatinya. Ini rintisan pertama. Berikutnya, akan kubuat dia bertekuk lutut di kakiku. Harus kubuat dia menyatakan, "Ira Sayang, aku mencintaimu."
Lalu, aku harus mempertimbangkan. Harus melengos atau menerima tangannya yang terulur itu.
Nah!
Jalanan lengang. Di becak yang meluncur, Tody tetap ingat adiknya. Margriet, yang merajuk jika tak dituruti keinginannya. Sering dulu waktu Tody masih di bangku SMA - gadis kecil itu
ditempelengnya. Kadang hanya karena kesalahan kecil. Gadis itu membongkar susunan bukubuku Tody sebab dia senang melihat potret-potret kota di Jerman, India, atau kota besar lainnya.
Betapa kejam dia terhadap gadis yang masih murni itu. Lima tahun tak melihatnya, entah
bagaimana sudah perujudannya. Setahun yang lalu Tody menerima potret keluarga mereka. Di
situ Margriet telah nampak dewasa. Dia cantik. Pastilah dia jadi rebutan para pemuda di sana.
Seperti gadis yang duduk di sampingku ini, mungkin Margriet juga jadi rebutan para senioren.
Akibatnya, dia akan mengalami perlakuan overacting dari para senioren. Akibatnya, dia pingsan.
Sampai dua kali dalam sehari. Ah! Kenapa tak kuperhatikan dari siang tadi? Ah! Irawati
merasakan roda becak beberapa kali kejeglong di lobang. Lelaki di sampingnya tetap sebisu arca.
Lalu, seolah tak disengaja, di-sikut-nya lelaki itu.
Tody tersentak.
"Eh, maaf. Maaf, Mas Tody, maaf."
"Hm. Tak apa-apa."
"Mas Tody kok pendiam banget sih?"
"Aku pendiam?"
"Iya, Membikin orang takut."
"Kenapa takut?"
"Angker."
"Kayak hantu kuburan?"
"Ah!" Siku Irawati masuk lagi ke rusuk Tody.
Tody membiarkan siku yang kecil itu bersarang di pinggangnya.
"Kenapa sih kau gampang pingsan?" tanyanya.
"Habis, Kakak-kakak Mahasiswa mengerikan."
"Siapa?"
"Semua."
"Ah, masak. “Kan ada yang baik."
"Tidak ada yang baik. Semuanya kejam!"
"Mungkin kau yang banyak tingkah."
"Banyak tingkah bagaimana?"
"Aleman. Manja."
"Siapa bilang?"
Tody diam. Rantai becak berderit-derit. Irawati juga diam. Desah napas tukang becak bercampur
dengan suara ban yang bersentuhan dengan pasir.
"Siapa bilang?" ulang gadis itu.
Tody cuma menggumam.
"Kakak-kakak Senior yang sewenang-wenang. Memerintah seenaknya. Menghukum semaunya.
Masak putri-putri disuruh lari keliling lapangan. Disuruh push-up," kata Irawati getir.
"Itu biasa. Melatih mental. “Kan kaum wanita sendiri yang menuntut emansipasi! Diberi perlakuan yang serupa dengan lelaki, terus ribut. Lalu, maunya cuma persamaan yang enak saja?
Kedudukan yang enak mau sama, tapi yang sulit-sulit ditolak. Emansipasi apa itu?"
Irawati diam. Siku tangannya masih bertengger di pinggang lelaki itu. Membuat Tody tersudut ke pinggiran becak. Dan, ketika kejeglong lobang besar. Tody merasa pinggangnya tersodok.
"Wah, sikumu kayak tombak," katanya seraya memegang siku tangan gadis itu.
"Habis, saya kurus sih."
"Kurus juga cakep."
"Ah!" Siku Irawati masuk lagi, tetapi ditahan oleh Tody.
"Orang-orang muda zaman sekarang “kan suka model ceking," kata Tody.
Irawati meliriknya. Mereka tiba di depan rumah yang dinaungi pohon mahoni.
"Di sini rumah saya, Mas. Hooop! Stop, Cak!" kata gadis itu. Rem becak berderit, dan gadis itu
melompat.
Eh, seliar itu gerakannya. Tadi seperti ayam sakit, pikir Tody.
Irawati membuka pintu pagar.
"Bagus sekali taman ini," kata Tody.
Bulan bersinar penuh menimpakan cahaya pada bunga-bunga di halaman rumah itu.
"Siapa yang merawat bunga-bunga itu?"
"Mama," jawab gadis itu. Dia menekan bel. Panjang sekali.

Batu Gunung yang Goyah
PAGI itu matahari di atas Kota Yogya serupa dengan matahari kemarin. Kuning, tanpa tandatanda mendung. Cepat sekali mengeringkan embun-embun yang melekat di ujung-ujung daun dan rumput. Pertanda matahari akan memanggang bumi sesiang nanti.
Tody disambut Sartono di dekat selokan.
"Ada cami bilang, Mas Tody menyuruh dia menunggu di kantor."
"Siapa?" tanya Tody.
Sartono mengangkat bahu ke arah kantor panitia.
Irawati! Gadis itu memegang topi kerucutnya. Ah! "Katanya Mas menyuruh dia mengerjakan
sesuatu di kantor," kata Sartono lagi. Sebenarnya Tody sudah ingin menggeleng-geleng. Dia
heran memikirkan keberanian gadis itu. Entah bagaimana bisa timbul inisiatif gadis itu untuk
mengarang kibulan macam itu.
Dada Irawati berdebar-debar manakala melihat kerutan di kening Tody. Sartono merendengi
langkah Tody. Gadis itu tertunduk di bawah tatapan mata kedua lelaki di depannya. Tody masih
menimbang-nimbang. Jika dia mentolerir tindakan ugal-ugalan gadis ini, berarti dia melanggar
prinsip yang harus ditegakkan. Tetapi, untuk menghukum gadis ini, sampai hatikah dia?
Menghukum gadis yang bermata hitam dan berpipi agak cekung ini? Gadis yang memiliki mata
yang minta ampun ini?
Tody menghela napas dalam-dalam. Lalu katanya. "Nanti saja kemari. Sekarang, antarkan dia,
Ton. Biar diabsen dulu."
Irawati membungkuk hormat, kemudian berjalan meninggalkan kantor itu. Setelah gadis itu
beberapa langkah jauhnya, Sartono bertanya. "Siapa dia, Mas?"
"Adiknya teman," kata Tody datar.
Langkah gadis itu berayun, dan goyangan bahunya seperti goyangan bahu anak lelaki. Gaya
gadis-gadis manja sekarang. Yang gadis melelaki. Kecenderungan uniseks barangkali.
Tody mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu masuk ke kantornya. Widuri di ruangan itu. Dalam
kombinasi pakaian biru dan putih itu, dia terlihat rapi. Seperti Bu Guru. Bu Guru yang tak cerewet tentunya. Wajahnya yang bertipe kejawaan, lembut dan anggun, sangat serasi dengan sikapnya yang tidak berbicara.
Dia tahu, tidak akan ada ucapan selamat pagi dari mulut Tody. Dan, dia pun tak mengucapkan apa-apa. Mereka berdiam-diaman. Tody menempati mejanya, dan Widuri di sudut lain ruangan itu. "Mas Tody," kata seorang anggota panitia, "ini rencana anggaran pengeluaran seksi saya."
"Oh, ya? Sudah disesuaikan dengan pesan bendahara?"
"Ya. Tinggal disposisi, Mas."
Tody menandatangani konsep yang disodorkan. Anggota panitia itu keluar.
Widuri mengawasi punggung lelaki itu hingga jauh. Kemudian dia mengalihkan pandangan ke
Tody. Mereka bertemu pandang. "Kenapa begitu gampang Mas Tody tanda tangani?" kata
Widuri.
"Apa salahnya?"
"Angka-angkanya belum diteliti."
"Aku percaya padanya."
"Kalau tiap orang seperti Mas, memang tak jadi soal."
"Maksudmu?"
Widuri tak menjawab. Dia kembali menekuni berkas-berkas di mejanya.
"Masakan dia mau selingkuh?" gerutu Tody.
"Siapa tahu?"
"Kalau sesama mahasiswa saja sudah mau main duit, apa jadinya kelak?"
"Tiap terbuka kesempatan, seseorang akan mengambil keuntungan untuk dirinya."
Itulah bibit korupsi, pikir Tody. Bibit telah tersemai di perguruan tinggi. Tentu saja sebab pendidikan universitas tak pernah diarahkan untuk menumpas bibit buruk itu. Tody termangu.
Dan, ketermanguan itu berakhir ketika Widuri berkata, "Eh, Adik sakit lagi?"
Irawati berdiri di pintu.
"Tidak," katanya.
"Masuklah," kata Widuri.
Segan-segan Irawati melangkah.
"Ada apa?" tanya Widuri.
"Saya.... saya...."
"Dia disuruh Mas Tody!" sahut Sartono.
"Disuruh?" Mata Widuri melebar.
Tody menggaruk-garuk dagunya yang tidak gatal. Tatapan mata Widuri tajam menyeruak.
Tatapan yang menuduh. Tatapan yang meremehkan. Ah, ternyata kau serupa dengan
mahasiswa lainnya. Kau bukan dewa. Kau tak lebih dari senioren yang mau memanfaatkan
kekuasaan yang secuil itu. Tak lebih! Tak lebih!
"Ooo," kata Widuri. Dan, "Ooo" itu lebih menikam lagi. Seluruh perbawa yang dibina Tody selama akhir-akhir ini rasanya runtuh. Buyar sama sekali. Luluh.
Tody menatap orang-orang yang berada di ruangan itu. Sartono tersenyum kecil. Ah, apa pula
yang berputaran di kepala yang gondrong itu? Irawati duduk menunduk. Kehadiran gadis itu
telah menghapuskan segala image yang dipunyai Tody, pemimpin mahasiswa yang giat tanpa
pamrih. Ah, aktivis mahasiswa yang berjuang dengan melupakan kepentingan diri sendiri, tetapi
ternyata mau menggunakan kesempatan "mumpung berkuasa" untuk kepentingan diri sendiri.
Pemimpin macam apa itu? Masih mahasiswa saja sudah bermental seperti itu. Nanti, setelah
terjun ke masyarakat, pastilah dia akan ber-aji mumpung dalam porsi yang lebih besar lagi. Bah!
Terkutuklah gadis ini! Terkutuk! Membikin gara-gara saja! Tapi, tunggu dulu. Kenapa repotrepot?
Bukankah gampang sekali untuk membantahnya? Bukankah gampang sekali untuk bilang, "Aku
tidak pernah menyuruhnya!"
Cuma, bantahan itu apakah efektif? Malahan mungkin akan jadi bumerang. Sartono atau Widuri
Akan menganggap diriku pengecut. Mereka tak akan percaya andai kubilang bahwa gadis ini membikin gara-gara. Tak akan percaya. Mereka akan menuduhku munafik nomor wahid. Berlagak sempurna sebagai pemimpin. Berlagak bersih, bahkan kalau perlu dengan mengorbankan gadis itu. Bah, bah, bah!
Lantaran Tody hanya bicara dengan dirinya sendiri, orang-orang di ruangan itu tak
mendengarkan sepotong pun bantahan. Widuri menatapnya sekali lagi, lalu keluar. Adapun
Sartono berkata, "Wah, rokokku habis, Mas."
Dan, tanpa menunggu jawaban, sembari melangkah keluar dia menjumput rokok Tody di meja.
Nah, dia pun telah berperan sebagai antek yang mengurus kepentingan pemimpinnya, pikir
Tody. Dan, perutnya mual. Lalu dia ingin marah. Yang tinggal di ruangan itu cuma Irawati. Dia
ingin menempeleng gadis itu.
Menempeleng? Ah, lihatlah wajahnya yang kurus. Wajah yang innocent. Murni. Rambutnya yang disisir terbelah dengan kucir-kucir itu, dan mata yang takut-takut seperti mata sapi yang digiring ke penjagalan. Maka Tody terdiam lama, memikirkan kalimat pertama yang bisa digunakan untuk mendamprat gadis itu tanpa terlalu menyakiti hatinya.
Irawati tetap menunduk, memperhatikan ujung sepatunya yang mengais-ngais lantai.
"Hei, kapan aku suruh kau kemari?" kata Tody kemudian.
"Saya.... saya...."
"Siapa yang mengajarimu berbohong begitu?"
"Saya.... saya...."
"Bah, jawab! Kapan aku suruh kau kemari?" ulang Tody lebih keras.
"Tidak pernah."
"Lalu, kenapa kau berani berbohong?"
"Saya takut ikut Mapram."
"Kau bisa minta surat dokter. Boleh tidak ikut Mapram."
"Saya ingin tetap di sini."
"Ngapain?"
"Tak apa-apa. Saya ingin di sini. Melihat-lihat."
"Tak ada tontonan di sini."
Irawati diam.
Tody menekan-nekan tuts mesin tik di meja. Gadis itu menarik-narik rambutnya, kemudian bibirnya mengeluarkan suara yang hampir tanpa gerak, "Saya ingin di sini."
"Ngapain di sini?"
“Membantu Mas."
"Aku sudah punya banyak pembantu."
"Tapi, saya ingin di sini."
"Gila! Apa fungsimu di sini? Pajangan? Bah, kalau kau agak rapi kayak peragawati, bolehlah.
Boleh jadi hiasan kantor ini."
"Jadi, karena saya jelek maka saya tak boleh di ruangan ini?" Mata gadis itu menantang.
"Eh, bukan begitu. Kau tidak jelek. Kau cakep."
"Jadi, kenapa saya tidak boleh tinggal di kantor ini?"
"Karena tidak boleh!"
"Iya, tapi kenapa?"
"Eh, mendesak-desak pula. Kau tak boleh di sini, habis perkara! Kembali ke kelompokmu!"
"Saya tidak mau! Saya tidak mau!" Rengekan gadis itu terdengar separo tangisan.
"Bah, menyebalkan!" kata Tody.
"Ya, saya memang menyebalkan! Semua orang membenci saya! Semua orang mau menyiksa
saya!" Dan, gadis itu mulai menangis.
Edan, pikir Tody. Dia tak tahu cara yang paling efektif untuk menghadapi tangisan.
"Lebih baik mati, lebih baik mati!"
Antara geli dan kasihan berbaur dalam dada Tody. Masak soal Mapram saja sampai memilih:
lebih baik mati, lebih baik mati?
Tetapi, melihat isak dan segruk-segruk ingus di hidung yang bangir itu, iba juga Tody dibuatnya.
"Jangan menangis. Nanti dikira orang aku memaksamu yang tidak-tidak," kata Tody.
Irawati masih terisak.
"He, mau diam tidak? Kalau tidak, kulemparkan kau keluar nanti!"
"Lemparkan! Biar mati, biar mati."
"Eh, edan!" Tody melihat sekeliling. Khawatir kalau ada yang menyaksikan kekonyolan itu.
"Memang edan. Mau apa?" Tambah menantang gadis itu dalam isaknya.
"Sudahlah, berhentilah menangis. Eh, siapa namamu?"
"Tak perlu nama! Tak perlu nama! Saya tak punya harga! Oh...."
Tody tambah blingsatan. Jangan-jangan orang yang menyaksikan ini mengira aku berbuat yang
tidak-tidak. Atau, akan menuduhku memaksakan kekuasaanku pada cami ini untuk kepentingan
pribadiku. Jangan-jangan ada yang mengira aku memaksakan cinta. Berabe!
"Diamlah, diamlah."
Untuk pertama kali dalam hidupnya di kampus itu, pertama dalam pengalamannya sebagai
aktivis kampus, dia menghadapi peristiwa sekonyol itu. Padahal dia merasa tidak berbuat sesuatu
yang buruk terhadap gadis itu. Sekarang, gadis itu menangis bertubi-tubi. Edan!
Gadis ini barangkali terganggu keseimbangan jiwanya. Perlu dikonsultasikan pada psikiater. Ah,
tak usah psikiater. Cukup psikolog saja. Di kampus ini banyak calon psikolog.
Tody ingat Anton, mahasiswa Fakultas Psikologi tingkat terakhir. Dia sudah mulai praktek
menghadapi kesintingan-kesintingan orang di biro-biro konsultasi jiwa fakultasnya. Maka Tody
keluar. Lebih aman. Lebih baik menghadapkan gadis itu pada psikolog. Ya, daripada pusing. Sulit memang menghadapi gadis centil. O, pantaslah julukan gadis itu "Centil" dalam Mapram ini. Tody tak mampu menghadapi kecentilan. Dia lebih suka dihadapkan dengan polisi yang melarang demonstrasi daripada dengan gadis-gadis yang menangis. Gadis-gadis memang selalu
memusingkan kepala.
Irawati berhenti menangis. Dari celah-celah jari tangannya dia melihat tubuh Tody yang makin
menjauh.
Dan, dia tersenyum. Lalu dia memperenak duduknya. Bersantai.
Sementara itu, Tody bergegas ke Fakultas Psikologi. Di langit, matahari mulai menyebarkan
panasnya. Sembari berjalan, Tody berpikir, ah, kenapa aku sendiri yang menemui Anton Sinting
itu? Kenapa tak kusuruh saja seorang mahasiswa atau cama memanggilnya? Ah, rupa-rupanya
aku tadi panik. Ingin cepat-cepat melepaskan diri dari kebisingan tangis itu. Bah, tangisan
memang lebih mengganggu keseimbangan pikiran. Mendengar tembakan-tembakan peringatan
waktu demonstrasi aku tidak terganggu. Tetapi, menghadapi gadis menangis.... wah, parah!
Dari kaca jendela, Tody melihat Anton duduk. Baru saja seorang pemuda berkonsultasi padanya.
Lalu Tody memberi isyarat, tetapi Anton malah mempersilakannya masuk dan menyuruhnya
duduk.
"Nah, apa kesulitan Anda?" tanya Anton.
"Asu! Jangan berlagak kau!"
"Eh, nampak-nampaknya Anda agak parah!"
Tody memaki dalam bahasa daerahnya, Flores. Dan, Anton tertawa mengakak. Lalu berdiri dan
mengajak Tody keluar.
"Well?" kata Anton.
"Aku perlu bantuanmu."
"Soal?"
Mereka berjalan menyusuri gang di gedung universitas.
"Ada cami yang agak aneh. Dia menangis terus. Aku kira dia mengalami shock selama Mapram
ini."
"Hm. Lalu?"
"Cobalah periksa dia." Lalu, secara kronologis Tody menceritakan kelakuan Irawati. Dari
pingsannya sampai pada kebohongannya tadi.
"Eh, kasus yang menarik," kata Anton.
"Makanya kupanggil kau, biar tambah pengalamanmu sebagai dukun jiwa."
Anton menemui gadis itu, sedang Tody terus berjalan ke selatan, menyimpang ke kiri dan ke
Fakultas Sastra. Cama-cami fakultas itu sedang menghadapi gojlogan dari senior-senior mereka.
Johan berkacak pinggang di sudut aula. Di depannya duduk seorang cami. Bersimpuh. Barangkali
Johan mengira dirinya maharaja. Bentakannya menggelegar hingga cami itu tersentak.
"Kenapa tidak dibawa? Mau membangkang?"
"Saya lupa," kata cami itu. Kepalanya tertekuk. Lehernya bagai tak bertulang.
"Nanti sore harus kaubawa. Mengerti?"
Gadis itu mengangguk dalam-dalam, dan Johan meninggalkannya. Lalu mendekati Tody. Tody
memperhatikan cami itu. Dugaannya, gadis itu tentulah calon mahasiswi jurusan Sastra Prancis.
Wajahnya mirip gambar-gambar reklame parfum buatan Prancis. Lembut dan lonjong, dengan
mata selembut mata Liz Taylor. Bibirnya punya lekukan yang bagus.
Johan tertawa.
"Disuruh bawa cacing saja sudah sulit. Belum lagi mencari fosil," katanya.
Tody mengalihkan matanya. Cami itu masih duduk di tempatnya.
"Tak kausuruh dia kembali ke kelompoknya?" kata Tody.
"Oh, ya. Hei, Cami Goblok! Kembali ke regumu!" Suara Johan mengatasi bentakan senior lain di
ruangan itu.
"Cantik," kata Tody.
"Tapi, belum menandingi Irawati," kata Johan.
"Sudah ada pacarnya?"
"Ah, ente berlagak pula."
"Hei....? Maksudmu?"
"Bukan kau yang sudah memetiknya?"
"Bah, gila kau! Siapa maksudmu?"
"Itu.... yang kausimpan di kantor."
Tody tiba-tiba merasa dadanya menyenak. Lebih-lebih setelah bertatapan dengan mata Johan
yang memperoloknya. Dalam beberapa helaan napas, dia bisa menstabilkan diri. Lalu katanya,
"Gadis itu yang kumaksud."
Gadis yang barusan digojlog Johan duduk di tengah-tengah kelompoknya. Di celah pakaianpakaian
yang lusuh dan kotor itu, kelunakan matanya tak berkurang sama sekali.
"O, dia. Sudah."
"Siapa?"
"Anak AKABRI," kata Johan.
"Bagaimana kau tahu?"
"Pernah kulihat."
"Kalau begitu, sejak lama kau mengincarnya."
"Ah, tiap cewek aku incar. Mereka mau atau tidak, itulah soalnya."
Untuk beberapa saat mereka diam. Mereka memperhatikan gadis-gadis di aula itu. Bentakanbentakan
senioren berbauran dalam paduan yang membisingkan.
"Eh, omong-omong," kata Tody, sesaat dia melirik Johan, dan sebelum bertemu pandang dia
melanjutkan, "kau kenal Irawati?"
Johan tertawa kecil. Dia mempermainkan geretannya lima enam kali, memperhatikan pijar-pijar
batunya. Tody maklum. Dia mengeluarkan kreteknya, dan mereka merokok.
"Kukenal," kata Johan tak acuh. Dia lebih asyik dengan asap rokoknya. Dan, dia puas bisa membuat lingkaran-lingkaran bulat dari asap rokoknya. "Pacarku dulu dekat rumahnya," lanjutnya.
"Bagaimana keadaan lingkungannya?"
"Hm, biasa saja."
"Bagaimana yang biasa itu?"
"Ah, kau tentunya lebih tahu."
"Tidak. Aku tidak tahu. Cuma, aku merasa ada sedikit kelainan pada gadis itu."
"Abnormal?"
"Mau dibilang “abnormal”, ya tidak. Tapi, yah, semacam kelainan dari gadis-gadis lain."
Johan menggigit-gigit ujung rokoknya.
"Kehidupan mewah," katanya. "Ayahnya punya perusahaan yang lumayan besarnya. Kabarnya
punya hubungan dengan salah seorang Aspri presiden."
"Hm. Itu saja?"
"Dia suka pesta-pesta. Teman-temannya banyak. Boleh dibilang, dia pusat sentrifugal remajaremaja elite di kota ini."
"Aktivis youth centre?"
"Uh, apa youth centre? Mana mau mereka masuk youth centre atau Pramuka segala macam?
Semacam peradaban bebas, begitulah."
"Peradaban bebas, atau liar?"
"Tak tahulah. Pokoknya mereka sering kumpul-kumpul dari rumah ke rumah."
"Hm, morfinis?"
"Ah, itu aku tak tahu," kata Johan.
Tody terdiam, sedang Johan mengedarkan mata ke seputar aula, mencari sasaran bentakan.
Tetapi, cama-cami berlaku tertib. Johan kehilangan alasan untuk membentak. Maka dia
mengalihkan perhatiannya kepada Tody. Masih termangu dia.
"Terus terang," kata Johan, "aku heran, bagaimana kau bisa kenal cewek itu. Dia bilang, kalian
berkenalan sebelum Mapram ini?"
Tody tetap membisu. Johan masih menunggu beberapa saat. Lantaran Tody tetap seperti
semula, maka katanya, "Oke, aku pergi dulu."
Dari merasakan lintasan angin yang ditimbulkan tubuh Johan, barulah Tody menyadari
kesendiriannya. Lalu dia melangkah pelan-pelan keluar dari aula Fakultas Sastra itu. Berjalan
terus memijak rerumputan, membelah halaman, dan pergi ke fakultas lain.
"Terus terang, aku heran bagaimana kau bisa kenal cewek itu." Kalimat ini berputaran terus di
benak Tody. Ya, bagaimana aku bisa mengenalnya? Tody menghela napas dalam-dalam. Gadis
itu datang membawa problem baru dalam hidup ini. Tindakannya mengacaukan image yang
kupelihara selama ini. Sebagai aktivis mahasiswa, ya, memang tak ada salahnya pacaran. Tetapi, pacaran dengan menggunakan kekuasaan sungguh-sungguh buruk. Memanfaatkan ketakutan
seorang gadis untuk memulai pacaran, sungguh-sungguh buruk. Dan, itulah anggapan setiap
orang sekarang di kampus ini. Padahal, padahal, padahal, ah! Sepatu Tody tersandung kerikil.
Siapa gadis itu, dan bagaimana dia sampai berani ke kantor panitia, tak seorang pun tahu pasti.
Bahkan aku pun tidak. Jika saja orang punya alat untuk mencek isi dadaku, ya, jika saja! Biar
orang tahu bahwa aku sama sekali tidak memanfaatkan situasi Mapram ini untuk kepentingan
pribadiku. Peristiwa ini teramat kecil sebenarnya dibandingkan dengan rangkaian kehidupan yang harus kujalani. Tetapi, kekonyolan membuatku bingung.
Atau, barangkali aku terlalu lemah? Atau, barangkali lantaran gadis itu cantik? Di dasar hatiku,
sebenarnya aku menginginkannya. Cuma, aku tidak menginginkan situasi semacam sekarang ini. Jika saja bisa berkenalan dengannya bukan dalam posisi sebagai ketua panitia Mapram! Ya, jika saja. Tetapi, bagaimana bisa? Lingkungan kehidupan gadis itu bukan lingkungan kehidupanku.
Akan berkepanjangan pembicaraan dengan diri sendiri itu seandainya Tody tidak melihat Anton
berjalan bergegas. Begitu matanya menangkap Tody, Anton mengacungkan ibu jarinya.
Gondrongnya melambai-lambai diterpa angin. Dan, Tody melihat keceriaan pemuda itu. Alangkah
bedanya kami, pikir Tody. Dia begitu bergairah dalam setiap keadaan.
"Ayo, minum dulu. Ada informasi gawat!" kata Anton. Tanpa menunggu jawaban Tody, dia
berjalan terus. Tody terpaksa mengekorinya. "Minum di mana kita?"
"Di mana saja, asal kau tak terlalu lincah," kata Tody.
"Ke warung itu saja. Wah, cewek-mu itu membuat perutku lapar."
"Cewek-ku? Apa-apaan kau?"
"Nantilah kuceritakan. Sekarang, aku perlu sepiring nasi rames dan beberapa potong tempe
goreng. Kalau kondisi mengizinkan, yah, aku juga memerlukan telor dan ikan seadanya."
Mereka masuk ke warung. Begitu duduk, Anton menyambar peyek.
"Bukan main, bukan main," katanya.
"Apanya bukan main?"
"Kau," ujar Anton dengan mata tersenyum-senyum.
"Ah, mulailah."
"Nanti dulu! Sembari makan akan lebih puitis."
"Aku tak perlu puitis-puitisan."
"Nah, itulah. Kau terlalu kaku. Kau tidak melihat kehidupan ini dalam seluruh fasetnya. Kau
kelewat serius. Makanya kau tak tahu, cewek itu, siapa namanya? Irawati. Ya, Ira, cinta sama
kau."
Tody tersedak, dan cepat-cepat meletakkan gelasnya.
"Jangan main-main kau," katanya kemudian.
"Siapa yang main-main? “Kan kubilang, bukan main, bukan main."
"Ya, ya, ya. Lalu, bagaimana?"
"Ini berdasarkan penelitian ilmiah psikologis. Kesimpulannya, dia mencintai kau! Hebat nggak?"
"Kau biasa omong kosong."
"Bah! Kau meragukan ilmuku? Aku sudah gunakan teknik-teknik interviu yang berdasarkan
metodologi."
"Aaah, itu urusanmu. Aku cuma ingin tahu bagaimana hasil pemeriksaan. Sebab, sebagai ketua
panitia, aku bertanggung jawab kalau ada cama-cami yang mengalami gangguan jiwa selama
Mapram ini."
"Lebih-lebih menyangkut dia. Nah, aku mulai saja." Anton menyemba telor mata sapi. "Waktu
aku masuk ke ruangan yang pengap itu, ah, ya, kau perlu minta fan pada pengurus universitas.
Dia menatapku nanap.
Matanya yang bagus seperti mata cincin itu berketap-ketip. Aku jadi ingat kijang minta kacang di
kebun binatang. Itu yang namanya mata redup-redup memanggil bak bintang kesepian di kangit
kelam."
"Ah, kau bertele-tele!" bentak Tody.
"Uraian ilmiah tak harus kaku. Perlu juga bahasa indah. Kuteruskan. Aku pun membalas
menatapnya lekat-lekat. Seraya mengirimkan hipnoseku, aku berkata, “Hello, Nona.” Bibirnya
hampir terkuak. Tak jadi. Tak kuketahui kenapa. Aku duduk di depannya. Sesaat kupandangi dia.
Dan, terasa ada kepinding di kursi yang kududuki." Mulut Anton berdecap-decap mengunyah.
Tody pelahan menggigit kerupuk. Takut gemeretak kerupuk itu mengganggu Anton.
"Kemudian kataku, “Namaku Antonius. Mudah-mudahan nama itu tidak menakutkan Anda.” Dia
tersenyum.
Kupikir, senyumnya layak ditampilkan di teve untuk reklame apa saja. “Aku juga panitia Mapram,” kataku.
“Tapi, ketahuilah aku adalah senior yang paling baik di antero kampus ini.”
"Ah, masak?" katanya. Senyumnya tambah mekar.
"Kalau tak percaya, tanyakan rektor kita," kataku. "Rektor dan beberapa profesor di kampus ini
pernah kumapram."
Dia tertawa. Dan, melihat tawanya itu, aku berpikir. Andainya aku belum punya pacar, dia patut
dicintai. Lalu kutanya, "Kabarnya kau membenci semua senior di kampus ini?"
"Siapa bilang?" katanya.
"Ada. Kabarnya kau membangkang setiap perintah senioren."
"Tidak, tidak. Saya tidak membangkang. Saya cuma tidak mampu melaksanakan perintahperintah
yang kelewat di luar batas saja."
"Perintah bagaimana yang di dalam batas?"
"Ah," katanya. Dan, dia mengedikkan bahunya, kayak marah.
"Kau bisa cerita setiap perlakuan senioren yang tidak sepantasnya. Sebab, memang tugasku
untuk menampung info-info tentang mereka. Aku bertugas di bidang pengawasan senioren.
Semacam provoost-nya mahasiswa, begitulah," kataku.
"Apa-apaan itu?" pintas Tody.
"Diam sajalah. Itu teknik biasa. Menghadapi pasien, kita harus menempatkan diri satu front
dengan mereka. Nah, kulanjutkan ya? Kulihat pancaran matanya kian bersahabat. Sedikit mesra.
“Ceritakanlah kalau ada kesulitanmu,” kataku.
"Betul Mas pengawas Kakak-kakak Senior?" tanyanya.
"Ya. Itu bisa kaucek nanti sama ketua panitia. Kau sudah kenal, “kan?"
Dia mengangguk. Kemudian matanya kelihatan terhujam ke lantai. Istilah populernya, dia
tersipu-sipu.
Pada hematku, dia menyimpan sesuatu di hatinya.
Lalu kejarku, "Atau kau takut padanya?"
"Tidak, tidak, tidak," katanya cepat. Dan aku pun mengambil pangkal tolak bahwa dari titik inilah
aku harus memulai.
"Yah, dia memang tak patut ditakuti. Sebab, setahuku, dia sangat baik. Atau, tidak?" kataku.
"Tidak, tidak, tidak," katanya.
"Tidak bagaimana?"
"Ah, tak tahu," katanya. Nampak-nampaknya dia memendam rasa. Di ruangan sebelah ramai
anggota panitia yang bekerja. Di antara mereka ada yang menjenguk lewat pintu, dan berseru,
"Hop, Anton mulai main film lagi?"
Kurang ajar sekali. Tapi, tak kupedulikan. Gadis itu makin menarik perhatianku. Perhatian dalam
arti ilmiah tentunya. Jadi obyek studi. Dari ruangan itu aku melihat lewat jendela, ke arah
bangunan fakultasmu. Mencari-cari kau. Tapi, terang saja kau tak kelihatan. Lalu interviu
kulanjutkan, "Kudengar kau pingsan beberapa kali. Betul? Kenapa?"
Dia agak gugup.
"Kalau kau pingsan lantaran perlakuan senioren, kau boleh melaporkan sekarang padaku.
Senioren mana dan bagaimana perlakuannya."
Pada mulanya dia tak mau menjelaskan. Tapi, dengan teknik interviuku yang brilian, akhirnya
lamat-lamat dia menceritakan persoalannya. Rupa-rupanya Johan punya perhatian padanya. Kau
tahu sendiri tabiat Johan. Agak punya badakisme. Dia sangat offensive. Gadis itu jadi bulanbulanan
terus-menurus. Gadis itu merasa tak aman.
"Saya bosan dikejar-kejar," katanya.
"Dikejar bagaimana?"
"Terlalu banyak lelaki yang agresif. Sejak SMA, saya sering pusing dibuat oleh lelaki-lelaki yang
tak tahu malu."
"Barangkali karena kau primadona di SMA-mu?"
"Bukan itu. Tapi, memang lelaki selamanya mau jadi penakluk. Mereka akan bangga kalau dapat
menaklukkan seorang perempuan. Semakin kita mengelak, semakin dia ngotot. Dan, begitu kita
jauh, dia akan meninggalkan kita."
"Wah, hebat pandanganmu. Naga-naganya kau sudah berpengalaman nih," kataku.
"Pengalaman? Ah, entahlah," katanya.
Omong punya omong, dia kelepasan bicara. Dan, aku pun tahu tentang cintanya padamu."
"Uf, bagaimana mungkin!" kata Tody.
"Apa yang tak mungkin di kolong langit ini? Selama bumi masih berputar, segala macam
kemungkinan bisa terjadi. Dia mencintaimu."
"Apa dia bilang?"
"Katanya, karena kau diam bagai gunung, kau kukuh dalam pendirian. Dia merasa, kau seorang
lelaki yang setia."
"Antooon, Anton. Dia baru dua atau tiga hari mengenalku. Bagaimana bisa dia membuat
kesimpulan begitu?" kata Tody.
"Sewaktu Onassis ketemu Jaqueline...."
"Bah! Aku bukan Onassis! Kau mengada-ada!"
"Mengada-adakan yang ada, apa salahnya?" kata Anton. Tody tersenyum pahit. Dia melayangkan
pandang ke luar. Bangku-bangku di warung itu kosong. Stofles berisi emping melompong di
depannya.
"Kau belum pernah mengalami kegagalan, Anton. Makanya kau bisa percaya pada gadis-gadis.
Kalau harus ada yang tidak kau percayai di muka bumi ini, kupikir itu adalah dirimu sendiri.
Bukan gadis-gadis."
"Bah!" gerutu Anton.
"Sebab, kau selamanya mendapatkan gadis yang kau inginkan, Anton. Dan, kautinggalkan jika
kau tertarik pada gadis lain. Aku tidak seperti kau. Kau ingat Werdaningsih pada pelonco dua
tahun yang lalu? Aku cuma menjadi penjemput dan pengantar, ternyata. Di akhir perpeloncoan,
orang tuanya mengucapkan terima kasih. Lalu Werdaningsih memberikan tanda mata, fulpen
Parker satu set. Katanya itu kiriman tunangannya di luar negeri, untukku sebagai tanda terima
kasihnya sebab aku telah menjaga Werda. Memangnya aku ini buldog mereka?"
"Itu karena kau tak hati-hati. Kau terlalu berharap."
"Berharap, katamu? Apakah ada yang tidak berharap kalau seorang lelaki menjemput dan
mengantar seorang gadis yang bukan adik, bukan apa-apanya? Apakah ada? Tunjukkan
orangnya, siapa di antara teman-teman kita yang tanpa pretensi dalam mengawal gadis-gadis.
Kecuali.... ya, kecuali jika memang dia bertugas dalam kepanitiaan untuk menjemput dan
mengantar. Bahkan itu pun bukan mustahil punya harapan-harapan tertentu."
"Anggap sajalah pengalaman pahit itu kecelakaan."
"Lalu dengan Lidia. Polanya sama. Kekonyolan yang kualami sama. Kepahitannya juga sama."
"Habis, kau mendekati cewek-cewek yang sudah bertunangan," kata Anton.
"Bagaimana aku tahu dia sudah bertunangan? Selama pelonco dia seperti seorang kekasih."
"Sempat kaucium?"
"Ah!"
"Kalau sempat kaucium, itu sudah sangat memadai. Tak perlu susah-susah."
"Apakah kaupikir hubungan lelaki dan wanita hanya cium-cium dan dekap-dekap saja?"
"Untuk permulaannya, tak apalah. Nanti kalau sudah cocok betul, baru dipikirkan lebih lanjut."
"Bagiku tidak sesederhana itu. Lebih luhur."
"Boleh luhur. Tapi, harus punya reserve."
"Reserve tinggal reserve. Tapi, kalau diperlakukan seperti buldog pengawal, tentu saja sakit.
Pahit."
"Mulailah dari sekarang."
"Sekarang lebih sulit, Anton. Dulu aku cuma anggota panitia. Sekarang ketua. Mau tidak mau
banyak sekali bedanya. Aku harus hati-hati."
Anton diam.
Tody pun membisu. Dia mengawasi muka Anton. Memperhatikan dagu Anton yang kukuh.
Matanya yang hitam jernih dan selalu bagaikan tersenyum. Mata yang ramah. Di botol limun,
Tody melihat mukanya sendiri. Tak terang. Cuma, dia bisa membayangkan matanya yang selalu
murung.
"Soalnya, Anton, bagaimana kita bisa mengetahui bahwa selama Mapram ini seorang gadis betulbetul
mau bercinta, bukan hanya sekadar mencari perlindungan?" tanya Tody lambat-lambat.
"Kenapa harus dipersoalkan? Pokoknya, selama dia mau, manfaatkan!"
"Ah, aku tak bisa begitu."
"Kau mau bercinta kayak Nabi-Nabi? Hah!"
"Aku bukan Nabi. Cuma, aku tak suka keisengan."
"Kalau kau terlalu serius, sebelum umur tiga puluh jidatmu sudah berkerut tujuh dan kepalamu
botak.
Maka kau pun digolongkan barang tua. Kalau barang antik, masih lumayan. Ada harganya.
Mungkin disenangi oma-oma pengumpul barang antik. Tapi, kalau rongsokan? Wah, wah, minta
ampun."
"Jadi, bagaimana harus kubuat?"
"Nah, kembali ke soal gadis yang bernama Irawati itu. Mumpung dia bilang sedang tertarik pada
kau, ya, jadikanlah dia kekasihmu."
"Kalau hanya untuk keamanan saja?"
"Ya, kapan-kapan cari yang lain."
"Artinya, aku harus mengalami kekonyolan yang sama?"
"Jangan lihat tindakannya menipu kau. Lihat saja tindakan kau yang memanfaatkan dia. Aman.
Tenteram. Senang. Itu akan membahagiakan jiwa."
Tody menggeleng-geleng. "Kukira kau bisa memberi advis yang ilmiah berdasarkan ilmu
psikologimu," keluhnya.
"Yah, itu berdasarkan ilmu."
"Ilmu playboy!"
"Kau mau mencari cinta yang sejati, sekali nemplok langsung pada kau? Wah, itu payah. Kalau
kau ngotot, akhirnya kau jadi pastor. Daripada begitu, lebih baik sekarang kau masuk seminari.
Belum terlambat. Orang tuamu di Flores sana akan senang sekali."
Tody mengeluh.
Anton mengipas-ngipaskan buku ke lehernya. Hawa di warung itu semakin pengap.
"Oke, bayarlah. Kita omong-omong di bawah pohon cemara itu," kata Anton. Lalu dia
mendahului keluar.

Cukup lama Widuri membiarkan ruangan itu hening. Cuma suara mesin tik dari ruangan sebelah
terdengar. Di sudut ruangan, duduk Irawati. Dia pun dibalut senyap. Matahari mencorong di
langit. Kemudian Widuri merasa bosan membaca. Pori-pori kulit menganga dalam sungkupan
hawa siang yang terik.
Widuri mengangkat kepala, dan tersenyum kepada Irawati yang menatapnya.
"Panas ya?" kata Widuri.
Irawati mengangguk.
"Konstruksi bangunan ini memang kurang baik. Angin tidak bebas bertiup dari luar."
Di kejauhan, pucuk cemara bergoyang diterpa angin. Menimbulkan imaji sejuk.
"Mari, kita keluar," kata Widuri kemudian.
Irawati mengikutinya.
Kedua gadis itu berendengan di sepanjang jalan di kampus. Cemara menderaikan daunnya.
Seperti sajak Chairil Anwar. Rambut Widuri yang tergerai hingga bahu berberaian dalam
hembusan angin dari selatan.
Jalan yang mereka susuri memanjang ke depan. Matahari menimpakan sari-sari panasnya ke
aspal yang tak terlindung pepohonan. Uap panas menari-nari di permukaan aspal.
"Kau disuruh apa sama Mas Tody." Tiba-tiba Widuri bertanya membuat Irawati gelagapan.
"Eh, tidak, tidak apa-apa," jawabnya kemudian.
Dan, keduanya diam lagi. Celepak sepatu masing-masing berdesir-desir di pasir. Mereka berjalan
dari kelindungan pohon yang satu ke kelindungan pohon yang lain. Gedung Induk Universitas
Gadjah Mada megah dalam balutan cat putihnya. Langit biru dan awan mengapas putih. Jantung
Kampus Gadjah Mada itu dari kejauhan terlihat anggun.
Teriakan-teriakan senior yang membentak cama-cami semayup dibawa angin. Widuri menatap ke
arah teriakan-teriakan itu, sedang Irawati melangkah dengan kepala tertunduk.
"Kau sering sakit, Dik Ira?"
"Saya? Ah, tidak. Kenapa?"
"Kenapa kau gampang pingsan?"
"Saya pun tak tahu. Cuma, saya kepingin pingsan kalau hati saya jengkel."
"Waktu Mapram dulu, saya pun pernah pingsan. Tapi, memang karena badan saya lemah. Dulu
saya sakit-sakitan. Dan, penakut. Saya takut pada semua senior."
"Kabarnya Mapram dulu lebih berat?"
"Yah, lebih berat. Dulu tak pernah pulang di bawah jam dua belas malam. Bahkan sampai jam
satu, jam dua. Apel pagi jam lima. Siang terbakar panas, malam kedinginan. Betul-betul
sengsara. Tapi, yah, bisa juga dilalui. Solidaritas antarteman sangat tebal. Mereka, para cama,
akan mengantar teman-teman putri pulang. Kadang-kadang ada juga Kakak Senior yang
mengantar."
Langkah mereka tetap beraturan. Irawati memperhatikan seekor burung yang menyambarnyambar
pucuk pohon cemara.
"Dik Ira dengan siapa biasa pulang?"
Irawati gelagapan lagi. Burung yang diperhatikannya tadi membubung tinggi ke angkasa. Tinggal
titik hitam di langit.
"Dengan teman," katanya pelahan sekali.
"Teman se-Mapram?"
"Ya, eh...."
Widuri meliriknya. Dan, dia melihat kecanggungan di wajah Irawati. Sementara itu, Irawati
sendiri sedang
berpikir, kenapa harus takut? Kenapa harus ragu-ragu?
"Dengan Mas Tody," katanya tuntas, dan melirik Widuri.
Akan halnya Widuri, gadis ini hanya menatap kerikil di jalanan.
Pacarnyakah lelaki itu? Pacarnyakah? Kalau bukan, pikir Irawati, kenapa dia mendadak menatap
ke tanah?
Kenapa dia tak berani membalas tatapanku?
"Rumah kalian berdekatan?" tanya Widuri.
"Tidak," jawab Irawati.
"Ooo," kata Widuri pelahan.
Maka Widuri - mahasiswa ekonomi tingkat tiga itu - menapaki jalan dengan membisu. Cemara
tak bosan-bosannya bergoyang. Gerumbul semak di pinggir jalan tetap berbunga cantik walau
tak terpelihara. Rumput-rumput ada yang berbunga kecil-kecil sebesar pentol korek api,
berwarna putih dan ungu. Seekor kumbang menggeremet di bunga liar itu.
"Haus?" kata Widuri.
"Ya," kata Irawati.
"Mari kita ke kafetaria sana."
Mereka melintasi jalan setapak yang dihampiri kerikil dan pecahan genteng. Batu yang terinjak
berbunyi berderik-derik. Jalan berkerikil itu melintang dalam ujud perempatan.
Dan, suara dari samping, "Hai, Ira!"
Anton dan Tody.
"Hai, Wiwik!" tambah Anton.
"Dari mana, Mas Anton?" tanya Widuri.
Anton menunjuk warung di luar kampus. Tody bertatapan dengan Irawati. Dan, ah, ah, ah!
Memang lain.
Mata gadis itu tersipu-sipu, pikir Tody. Kemudian dia berabh memandang Widuri. Cepat sekali
Widuri meloncatkan pandangan ke tempat lain.
"Kami mau minum," kata Widuri. "Ikut?"
Anton menggeleng. Dia lantas menepuk-nepuk perutnya. Widuri mengangkat bahu, lalu menarik
tangan Irawati. Dan, sebelum melangkah, Irawati melontarkan pandang lagi, membuat Tody
menelan ludah yang agak tersekat. Berjalan beberapa langkah, Tody menoleh lagi. Lalu menoleh
kepada Anton sebab terdengar Anton tertawa kecil.
Kedua gadis itu lenyap di pintu kafetaria. Anton tertawa lagi. Lebih keras dari sebelumnya.
"Ngetawain apa?" Tody dongkol.
"Ngetawain cinta!"
"Hah, gila!"

Mereka kembali melangkah. Ujung sepatu sandal Anton menendang-nendang kerikil sehingga
beberapa butir kerikil bertemperasan ke rerumputan di pinggir jalan.
"Kelihatannya mereka akrab," kata Anton.
Tody tak menimpali.
"Widuri kesepian," lanjut Anton.
"Oh, ya? Kenapa tak kaupacari?"
"Mana dia mau?"
"Kenapa tidak?"
"Karena dia tahu aku sudah punya pacar."
"Kan ada gadis-gadis yang bangga sebab bisa merebut pacar gadis lain."
"Tapi, dia bukan tipe itu."
"Bah! Sejauh mana sudah kaukenal dia?"
"Berdasarkan analisa, Bung."
"Ah, analisamu sering ngawur."
"Eh, jangan meremehkan. Sudah berapa orang yang terganggu jiwanya berhasil kusembuhkan."
"Iya, menghadapi orang senewen kau memang bisa. Tapi, yang waras tunggu dulu."
"Lebih mudah menghadapi orang normal daripada yang mengalami gangguan jiwa."
"Tapi, kau tak bisa menyembuhkan dirimu sendiri."
"Bajingan!"
"Ya, kau pun perlu menyembuhkan diri sendiri. Kenapa kau tak pernah puas pacaran?"
"Siapa bilang tak pernah puas? “Kan aku sudah stop untuk yang sekarang. Setelah dia, tidak akan
pindah lagi. Dia betul bakal jadi ibu anak-anakku."
"Betul nih?"
"Tunggu saja tanggal mainnya."
"Wah, hebat."
"Ya, memang hebat." Anton tertawa mengakak.
"Jadi, kita tak perlu melihat cewek cantik di Fakultas Sastra itu?"
"Kenapa tidak?" kata Anton cepat.
"Katamu tak bakal pindah lagi?"
"Tukar pacar memang tidak. Tapi, melihat-lihat “kan boleh saja? Setiap keindahan, di mana pun
tempatnya, harus dinikmati. Ibarat melihat lukisan, aku senang lukisan Rusli. Tapi, itu “kan tidak
menutup kemungkinan untuk melihat pameran Nashar, Zaini, atau Affandi. Nah, mari kita lihat
cewek yang seperti bintang film Prancis itu."
"Pacarmu tidak bakal cemburu?"
"Wah! Ini bukan ngecap. Tapi, dia memang orang yang paling sempurna. Dia memahamiku dan
mempercayaiku. Itulah sebabnya aku tak akan mencari yang lain sampai kapan pun. Sebab, aku
tak akan bisa mendapat gadis yang melebihi dia."
Mereka melangkah lebih bergegas. Tetapi, baru kira-kira sepuluh langkah, Anton memperlambat
langkahnya.
"Eh, omong-omong soal Widuri lagi. Berdasarkan analisaku, dia mencintai kau, Tody."
Tody berhenti, dan katanya, "Antooon, Anton. Tiap gadis mencintaiku. Aduh, aku bisa bunuh diri
nanti."
"Ini sungguh-sungguh. Soalnya, waktu kita rapat pembentukan panitia Mapram ini tempo hari,
waktu kau dipilih jadi ketua, dua bulan yang lalu ya....?"
"Hm."
"Sehabis rapat malam itu, kami, aku dan Widuri, pulang bersama."
"Wow! Kaucium dia?"
"Ah, diam dulu! Sepanjang jalan, dia banyak sekali menanyakan kau."
"Seberapa banyak? Berikan angka-angka statistik. Jangan mengada-ada."
"Hampir sembilan puluh dua persen percakapan mengenai kau."
"Apa saja yang kalian bicarakan?"
"Dia yang bertanya. Aku cuma berfungsi menjawab kayak komputer."
"Apa yang ditanyakannya?"
"Apakah kau sudah punya pacar...."
"Hah! Tidak mungkin!"
"Kenapa?"
"Tidak mungkin. Tidak mungkin gadis Jawa seterus terang itu. Tak mungkin se-blak-blak-an itu."
"Ya, memang bukan pertanyaan langsung sepersis kalimat itu. Dari pembicaraan hilir-mudik
sepanjang jalan itu, maksudnya kutangkap, itulah kira-kira."
"Lalu, apa jawabmu?"
"Kubilang, kau tak punya pacar. Belum punya pacar."
"Terus?"
"Dia diam."
"Terus?"
"Kucubit tangannya."
"Terus?" Tody tambah antusias.
"Kutanya dia, apakah dia mau jadi pacarmu."
"Terus?"
"Mau?" desakku.
"Terus?"
"Ah, mungkin dia sudah ada yang punya," katanya."
"Terus?" Tody lebih bersemangat.
"Terus, terus, terus becak kami masuk lobang di dekat rumahnya, lalu tamat."
"Ah, brengsek!" keluh Tody sembari menghembuskan napas jengkel.
"Ini sungguh-sungguh, Tody."
"Bagaimana bisa membedakan imajinasimu dengan fakta-fakta? Kau sudah ketularan pasienpasienmu!"
"Kalau tak percaya, apa boleh buat?"
"Andainya betul, kenapa baru sekarang kauceritakan?"
"“Kan baru sekarang kita ketemu sejak rapat itu? “Kan aku riset ke luar daerah selama ini? Lalu
sibuk di biro konsultasi itu. Bagaimana bisa menceritakannya?"
"Ah, kau memang pikun!"
"Kau pun, ketemu-ketemu terus mengajukan persoalan!" Anton bersiul-siul. Lagu Blowing in The
Wind baru sepotong, dia memutus dengan siulan yang panjang ke arah seorang gadis yang
mereka papasi. Tody mengangguk menyalami gadis itu.
"Gila kau! Itu asisten di fakultasku," kata Tody dengan suara tersekap.
"Oh, ya? Lumayan juga pinggulnya."
"Jangan kurang ajar kau!"
"“Kan di tingkatmu tidak ada asistensi-asistensian?"
"Walaupun begitu, dia asisten di fakultasku!"
"Ho, aku juga asisten di fakultasku. Malah kalau perlu, dia kujadikan pasienku."
"Ah," kata Tody.
Mereka kembali melangkah.
"Nah, ternyata ada dua gadis mencintai kau. Widuri dan Irawati," kata Anton.
"Itu semua dugaan-dugaanmu."
"Selain itu, mungkin masih ada gadis lain. Siapa tahu? Ya, kita harus punya kepercayaan pada
diri sendiri. Setiap gadis mungkin saja mencintai kita. Yang jadi soal cuma kesempatan. Moment!
kita harus menciptakan moment yang tepat."
Tody membisu, menekuri tanah yang akan dipijaknya.
Anton meliriknya, mengawasi tubuh lampai yang berjalan diam-diam itu. Meneliti rambut Tody
yang tersisir rapi. Rambut yang hitam, dan - paling tidak - sekali dalam dua puluh hari dipangkas.
Sempat pula Anton menatap baju tetoron Tody yang rapi dan dimasukkan ke celananya yang
berwarna gelap itu. Sepatunya yang mengkilat itu, pikir Anton, setiap pagi minimal memerlukan
waktu dua puluh menit untuk mempersiapkan itu semua.
Anton tersenyum seraya memandang kulit sepatu sandalnya. Lalu dia menendang kerikil lagi.
Dan, keduanya tiba di jalan beraspal yang membelah kampus.
"Jangan terlalu ragu-ragu. Punyailah keberanian," kata Anton. "Pilih satu di antara kedua gadis
itu."
"Ah, kau membuat aku bingung," kata Tody.
"Kenapa harus bingung?"
"Urusan dengan cami itu saja sudah memusingkan kepala. Kau tambah lagi dengan soal Widuri.
Itu membuat aku canggung menghadapinya. Padahal kami harus sering bertemu dalam
kegiatan-kegiatan di kampus ini."
"Untuk sementara, urus dulu cami itu. Sedikit agresiflah. Dan, andainya kau jatuh cinta, jangan
cinta tanpa reserve. Kalau dia banyak tingkah, kau tidak terlalu kecewa."
Tody menggeleng-geleng.
"Tak sanggup?" kata Anton.
Tody membisu.
"Jadi, masih mau bercinta kayak Nabi-Nabi?"
Tody tetap memperhatikan batu-batu di jalan.
"Kalau kau mau bercinta kayak Nabi-Nabi, kau harus baca lebih teliti kitab-kitab suci. Perempuan
kayak apa yang bisa merebut hati Nabi-Nabi, dan perempuan kayak apa yang menjadi istri
mereka. Setahuku, dalam kitab suci tak ada disebut-sebut wanita yang jadi nyonya Nabi karena
keistimewaan dirinya. Oh, ya, ada. Nabi Ibrahim. Dia punya istri dua orang, dan keduanya tak
banyak cingcong. Nah, kau bisa meniru jejak Nabi Ibrahim."
"Uf, kau tambah sinting!" keluh Tody.
"Itu hanya sekadar advis. Boleh diturut, boleh tidak. "
Tody berdecak jengkel.
"Kau tak pernah serius," katanya.
"Kau kelewat serius," kata Anton.
"Hidup ini singkat, Anton. Kalau tidak serius, bagaimana jadinya?"
"Karena hidup ini singkatlah makanya kita harus menikmatinya dengan humor. Kau tak tahu kenapa kau harus lahir, dan kapan kau mati. Jangka hidup kita sama sekali tak terduga. Kita datang dari misteri, dan akan kembali ke alam misteri yang tak seorang pun mengetahuinya
bagaimana keadaan di situ. Lalu, apakah selama jangka waktu yang tak bisa diduga lamanya ini
kita harus berkerut kening terus-menerus? Alangkah sia-sianya hidup."
Tody diam-diam mencerna ucapan itu.
"Hei, jangan termenung!" kata Anton. "Termenung sambil berjalan itu betul-betul buruk untuk
peradaban."
Tody membisu. Mereka berjalan ke selatan.
Angin berdesah di gerumbul semak di pinggir jalan. Rambut Anton berkibaran.
"Kau ada persoalan, cepat datang ke tempatku. Cuma, tunggu sampai aku berada lagi di kota ini.
Soalnya, besok aku ke luar daerah lagi, melanjutkan riset tempo hari. Selama aku tak di sini, kau
harus easy going.
Paham?"
Tanpa sadar Tody mengangguk.
"Tak peduli apa motif cami itu. Kalau dia bilang menyukai kau, sukai pula dia. Jangan pikir-pikir
terlalu dalam kenapa dia menyukai kau. Apakah karena kau ketua, karena kau hampir
dokterandus, karena segala macam, jangan pedulikan. Pokoknya bercinta. Kalau dia cuma isengiseng
atau mempermainkan kau, kau pun harus siap menganggap pengalaman itu sebagai
keisengan pula. Itu namanya bercinta dengan reserve. Paham?"
Seperti robot, Tody mengangguk.

Cemara Sepi
DI SUDUT yang gelap, Gedung Gadjah Mada, Widuri tegak diam-diam. Cama-cami sudah
bersiap-siap untuk pulang. Tinggal apel malam. Lampu-lampu di kantor panitia menyala terang.
Anggota panitia masih banyak yang bekerja. Lalu, dari pintu, keluar Tody. Di sudut yang gelap
itu, mata Widuri tak berkedip. Kemudian keluar pula Irawati. Dia tersenyum. Dari kejauhan,
Widuri melihat senyum itu samar-samar. Maka dia menghela napas dalam-dalam sepenuh dada.
Keduanya, Tody dan Irawati, meninggalkan kantor itu. Lalu Widuri pun meninggalkan sudutnya
yang gelap. Dia berjalan pelahan ke kantor panitia.
Tak ada bulan di langit. Makin kelam. Pohon cemara yang tegak hanyalah berupa bayangan
kehitaman, bayangan yang menuding bintang-bintang.
Tody berjalan membisu dengan tangan di saku celana. Langkah Irawati berayun di sampingnya.
Gadis itu melirik lelaki berpakaian necis yang berjalan di sampingnya. Lalu dia membandingkan
dengan pakaiannya yang lusuh. Pakaian untuk Mapram. Andainya bukan sedang Mapram, dia
bisa melihatku dalam pakaian apik, pikir Irawati. Dan, dia ingat fashion baru di Majalah Femina.
Dan, dia ingat pula bagaimana teman-temannya selalu menertawakan lelaki-lelaki yang terlalu
necis. Lelaki abad pertengahan, kata mereka. Pemuda-pemuda modern lebih suka pakaian yang
sedikit acak-acakan, tetapi tetap mengikuti mode.
Jalan memanjang di depan Tody dan Irawati.
"Kok diam saja sih?" kata gadis itu.
"Hm?" gumam Tody dan mencabut tangannya dari saku.
Irawati mengayun-ayunkan tasnya. Topi Mapramnya yang berbentuk kerucut didekap di
dadanya. Atribut-atribut Mapram lainnya ada di dalam tasnya.
"Tinggal dua hari lagi," katanya.
"Lalu mulai kuliah," kata Tody.
"Bagaimana biar bisa naik tingkat tiap tahun ya?"
"Belajar."
"Bagaimana cara belajar?"
"Belajar ya belajar."
Gadis itu tertawa halus.
Tody mendongkol. Merasa diejek.
"Baca saja buku “Bagaimana Belajar Efisien”!" katanya.
"Bagaimana caranya mempelajari buku itu?"
Tody menghembuskan napasnya keras-keras. Jengkel. Merasa dipermainkan.
Memang gadis itu sengaja mempermainkannya.
Terbukti, dia tersenyum-senyum.
"Kita naik becak saja," kata Tody.
"Tapi, tadi sudah janji mau jalan," kata gadis itu.
"Sekarang naik becak," kata Tody tandas.
"Nggak mau, ah!"
"Kalau begitu, kau pulang sendiri."
"Alaaa, Mas Tody. Begitu saja marah."
"Siapa marah?"
"Ooo, nggak marah to?"
Dan, gadis itu memegang tangan Tody. Dan, lelaki itu mengherani keagresifan itu. Belum pernah
dia menemukan gadis seberani ini. Belum pernah. Lebih-lebih gadis yang berasal dari lingkungan
Keluarga Jawa. Maka Tody semakin bertanya-tanya. Gadis macam apa sebenarnya yang berjalan
merendenginya ini! Jari-jari gadis itu halus dan hangat. Lunak, tetapi mencekam. Lalu Tody
membalasnya. Dan, keduanya terus berjalan.
Dingin merambat dari malam yang kian tua. Angin yang bertiup, giris mengenai kulit. Tetapi,
telapak tangan keduanya tetap hangat. Dan, semakin hangat. Dering bel semayup. Mereka
melintasi Bioskop Royal, yang memajang poster film silat. Nama Wang Yu tertulis besar,
berhadapan dengan poster film dengan nama peran utama Chen Chen.
"Mas Tody suka film silat?" tanya gadis itu.
"Suka."
"Apa sih bagusnya?"
"Tak tahu. Pokoknya suka."
"Lha iya, tapi “kan ada sebabnya. Ceritanya, aksinya, atau apa...."
"Ah, entah!" Tody berdecak.
"Selain film silat?" tanya gadis itu lagi, mengusik.
"Koboi."
"Kok senang?"
"Senang melihat pemandangan-pemandangan padang rumput. Itu mengingatkan pada
daerahku."
"Di mana?"
"Nusa Tenggara."
"O, jauh."
Tody diam. Sepatunya berdetuk-detuk di aspal. Lampu-lampu jalan bersinar redup. Tiga tiang
listrik mereka lalui dengan membisu.
Alangkah kakunya lelaki ini, pikir Irawati. Alangkah angkernya. Tapi, masakan tak bisa
ditaklukkan?
Alangkah agresifnya gadis ini, pikir Tody. Bagaimana latar belakang kehidupannya sehingga
sikapnya sebebas ini? Apakah dia semacam gadis yang pernah diceritakan Anton? Gadis yang
bisa ditemui di depan bioskop lalu diajak nonton dan minum-minum di restoran, diantar pulang,
kemudian dicium di bawah kerindangan pohon di depan rumahnya? Semacam gadis itukah dia
ini?
Mereka saling menaksir-naksir. Berbincang-bincang, tetapi masing-masing dengan dirinya sendiri.
Lelaki ini, kata hati Irawati, barangkali tipe anak sekolahan. Yang dunianya cuma di balik dinding
sekolah. Yang gemetar bila mencium seorang gadis. Cuma, sekarang telapak tangannya hangat.
Lalu Irawati mempererat cekalan jarinya. Tody merasa jarinya diremas. Dia melirik. Gadis itu
menyandarkan kepalanya ke bahunya. Rambutnya beberapa helai lepas dari kucirnya dan
menyenggol-nyenggol leher Tody. Geli. Tody menatap sekilas.... berkeliling. Lengang. Maka dia
membiarkan kepala gadis itu tersandar di situ. Adapun Irawati, selesai meremas jari Tody tadi
lantas mengendorkannya. Dia mengira lelaki itu akan melepaskan pegangan tangannya, lalu
memindahkan tangan itu ke bahunya. Dan, Irawati bersiap-siap merangkul pinggang lelaki itu.
Tetapi, itu semua tidak terjadi. Tidak terjadi. Tidak terjadi. Dan, mereka terus berjalan.
"Sehabis Mapram ini Mas Tody harus datang ke rumah, ya?"
Tody cuma menggumam.
"Mau?" kata gadis itu sembari menggeser kepalanya sehingga wajahnya menghadap wajah Tody.
Begitu dekat. Sampai terasa tiupan udara dari hidung gadis itu oleh Tody.
Tody mengangguk.
"Betul?" Suara gadis itu mengajuk.
"Ya."
"Janji?" Lebih mengajuk lagi.
"Ya."
Betul-betul anak sekolahan, pikir Irawati. Andainya dia berpengalaman dengan gadis-gadis, dia
tentunya akan melihat bahwa ketika "Janji?" itu diucapkan mereka berada di bawah keremangan
rindangnya pohon mahoni. Di situ, seharusnya dia berkata, "Ini janji." Dan, mencium. Tetapi, itu
tak terjadi. Tak terjadi. Tak terjadi.

LONGDRESS-kah namanya? Dan, pakaian itu membuat Irawati bagaikan dewi yang melangkah
hati-hati menginjak bumi. Pakaian itu berwarna putih. Lunak-mengkilat. Tiap kali gerakan, walau
bagaimanapun halusnya, menguar keharuman dari tubuh pamakainya. Keharuman yang
menyejukkan.
Sepanjang jalan yang dilintasi becak, Tody menikmati keajaiban itu. Menikmati keharuman yang
mengambang serta kelunakan kulit gadis itu manakala mereka bersentuhan lengan. Eyeshadow
membuat mata gadis itu tambah redup mempesona. Tanpa itu pun sebenarnya alisnya yang
lancip dan bulu matanya yang lentik telah menjadi mata itu menawan.
Mereka ke Malam Inaugurasi. Sementara tangannya ditindih tangan gadis itu, Tody melayangkan
pikirannya ke rumah gadis itu. Pada ibu gadis itu. Seorang perempuan berkulit kuning, halus, dan
bersih. Matanya lunak dan senyumnya lembut. Suaranya juga lunak. Dalam bayangan Tody,
perempuan tua itu belum pernah marah seumur hidupnya. Betapa beda dengan gadis ini. Maka
Tody kian bertanya, bagaimana mungkin dari rahim seorang ibu yang selembut itu muncul gadis
sebinal Irawati? Perempuan tua itu setidaknya akan mewariskan sedikit kelembutan kepada anak
gadisnya ini. Bukan kebinalan. Tetapi, gadis ini sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda sifat
ibunya.
Secara fisik, dia memang lembut, sekarang. Dengan pakaian putihnya yang panjang menutup
kaki, lengan telanjang mulus, dia nampak setulus Malaikat. Gerak-geriknya pun tak seliar harihari
sebelumnya. Boleh jadi, sedemikian besar pengaruh pakaian itu pada perujudannya.
Rambut gadis itu tersanggul rapi ke atas kepala sehingga lehernya yang jenjang nampak indah.
Membuat dia nampak anggun. Boleh jadi, dia sengaja menyesuaikan diri dengan dandanannya.
Maka langkahnya tak lagi binal. Di pintu rumah tadi, ibunya mencium kening gadis itu. Lembut.
"Aku tak pernah melihat ayahmu. Di mana dia selama ini?" tanya Tody tiba-tiba.
"Sering bepergian," jawab Irawati.
Lalu sepi lagi. Cuma lalulintas yang ramai.
"Kau tak punya saudara?" usik Tody.
"Ada beberapa orang. Tapi, semua sudah berumah tangga. Tinggal di kota lain. Jakarta,
Bandung, Duesseldorf, New York."
"Hm. Jadi kau paling kecil?"
"Ya."
"Satu-satunya perempuan?"
"Ya."
Mahasiswa-mahasiswa telah memenuhi aula yang luas. Di antara kepala-kepala hitam, mencuat
kepala-kepala plontos. Kebanyakan mahasiswa baru mengenakan peci universitas, dengan
kebanggaan sebab pertama kali berhak memakai peci itu. Widuri menatap kedatangan Tody, dan
melihat betapa cantiknya Irawati. Widuri merasa sanggulnya berat. Maka gadis berkebaya itu
meraba sanggulnya. Ternyata masih rapi. Dia berkebaya warna hijau pupus. Dengan wajahnya
yang hitam manis, mata yang teduh, dan profil bulat telur, dia sungguh-sungguh mewakili tipe
gadis Jawa. Imaji Jawa yang menyimpan misteri dalam ketenangan, kepasrahan, dan ketulusan.
Dia adalah denting-denting gamelan di tengah keheningan. Atau seruling yang semayup di hutan
bambu. Dia adalah lubuk yang dinaungi pohon beringin, bukan sungai berarus deras.
Maka Widuri duduk diam-diam di samping temannya sekuliah. Sesekali mengiyakan ucapan
temannya itu, lalu kembali menatap lurus ke depan. Sekali, walau tak diinginkan, matanya
singgah pada gadis langsing yang ber-longdress itu. Irawati tertawa-tawa bercanda dengan
teman-temannya.
Acara-acara telah dimulai. Widuri tak tertarik pada pidato-pidato. Jika dia menatap ke depan, dia
melayangkan pandang ke dekorasi di dinding. Menikmati hasil kerjanya. Ide-ide untuk elemen
dekorasi itu berasal darinya. Janur di sudut aula, juga bergantungan di berbagai tempat. Di aula
itulah bergabung keindahan mode-mode mutakhir pakaian para mahasiswa dengan keindahan
anyaman bunga dan daun hijau yang tetap klasik.
Faraitody berpidato. Mata Widuri ingin beralih, dan berpindah pada teman yang menyenggolnya
dan berkata, "Nampak-nampaknya ketua kita ini jadi dengan gadis itu."
Widuri tak menjawab.
"Anak mana dia?"
"Sastra," kata Widuri.
"Ekonomi dengan sastra, itu tak cocok."
"Kenapa tidak?"
"Pasti banyak perbedaan cara berpikir. Sastra lebih cocok dengan psikologi atau filsafat."
"Ah, siapa bilang!" kata Widuri. "Nyatanya, itu Kamal dari kedokteran dengan anak sospol. Ya
akur. Tak ada apa-apa. Atau hukum dengan teknik, ya bisa juga. Atau seperti itu, Peter dari
sastra dengan Jenny dari biologi. Harmonis."
Temannya diam. Widuri pun diam. Di depan sana, di bawah sorotan lampu, Tody masih
berpidato.

Ada kerusuhan mahasiswa di depan papan pengumuman. Siang itu baru saja pegawai tata usaha
menempelkan pengumuman di situ. Beberapa mahasiswa kecewa karena pengumuman itu tidak
menyangkut hasil ujian. Mereka mundur dengan murung. Ada yang menggerutu. Tetapi, Widuri
tetap asyik membaca pengumuman itu. Memang tidak menyangkut kepentingan tingkatnya.
Pengumuman itu mengenai pengiriman mahasiswa untuk ikut BIMAS ke desa-desa.
Kemudian Widuri meninggalkan tempat itu. Dadanya berdebaran. Dia mengedarkan pandang. Di
situ hanya nampak mahasiswa-mahasiswa bergerombol. Maka dia meneruskan langkahnya.
Pelan-pelan menuruni tangga yang melengkung dari lantai tiga itu. Di lantai dua juga banyak
mahasiswa bergerombol. Widuri menajamkan pandangan. Beberapa temannya melambai. Dia
membalas tak antusias. Tak berniat berhenti. Dia terus menuruni tangga.
Tody berdiri di dekat pilar besar penyangga atap teritisan gedung universitas. Widuri mendekati.
"Pengumuman untuk BIMAS sudah keluar," katanya.
"Ya. Aku sudah tahu," kata Tody.
"Mas Tody ditempatkan di desa saya," kata Widuri.
"Eh, itu desamu?"
"Ya."
"Bagaimana keadaan di sana?"
"Tentu saja sepi."
"Kebanyakan desa “kan sepi."
"Tapi, di sana lebih-lebih lagi. Selama enam bulan Mas Tody harus hidup di tengah-tengah
kesepian itu."
"Ah, tak jadi soal. Aku juga berasal dari desa yang sepi."
Mata gadis itu berkedip-kedip terkena asap rokok Tody. Dan lelaki itu melihat bibir yang
kemerahan tanpa lipstik itu juga berkedip-kedip. Gadis itu menggigit bibir.
"Andainya sekarang libur," kata gadis itu pelahan.
"Lantas?" tanya Tody.
Gadis itu tersentak.
"Eh, tidak. Tak apa-apa," katanya cepat-cepat. Keduanya lalu diam. Tody mengetuk-ngetuknya
sepatunya untuk merontokkan tanah yang melekat pada solnya.
"Enam bulan itu lama," kata Widuri lambat-lambat.
"Yah, lumayan lama."
"Bagaimana kegiatan-kegiatan di sini?"
"Yah, ditinggal."
Gadis tu merasakan sesuatu mengganjal di lekuk hatinya.
"Bagaimana ujianmu?" tanya Tody.
"Belum diumumkan."
"Rasa-rasanya bagaimana?"
"Saya kira, paling tidak jatuh tiga vak."
"Kenapa begitu?"
"Waktu ujian itu saya tidak siap."
"Terlalu sibuk?"
"Ya. Sebenarnya saya mau mengurangi kesibukan saya, tapi belum juga ada pengganti.
Terutama untuk mengasuh majalah fakultas. Sungguh-sungguh memusingkan kepala."
"Kenapa tidak merekrut anak-anak BKS-Pers Mahasiswa?"
"Kebanyakan memikirkan aktif di luar kampus. Soalnya, mengurusi penerbitan kampus ini sama
sekali tak mendapat imbalan. Bahkan sering harus mengeluarkan duit sendiri."
Tody mengangguk-angguk. Dan, begitulah percakapan mereka selama menyangkut kehidupan di
kampus.
"Seperti untuk penerbitan bulan depan," kata Widuri, "naskah-naskah belum terkumpul."
"Minta pada Peter, Glady, atau teman-teman yang biasa menulis di koran-koran."
"Sudah saya minta, tapi mereka janji melulu. Kalau Mas Tody punya tulisan....?"
"Wah, aku tak sempat menulis."
Keduanya tertarik akan suara deruman sepeda motor. Seorang gadis baru menstandarkan motor
bebeknya, dan tersenyum ke arah mereka.
"Miss University kita," kata Widuri pelan.
"Memang cantik dia," kata Tody. Matanya melekat sebentar pada wajah miss university itu.
Tetapi, kemudian pikirannya melayang pada miss university-nya sendiri: Irawati. Ingat bahwa dia
harus menunggu gadis itu. Lalu katanya, "Kau mau ke atas?"
"Barusan."
"Kalau begitu, aku pergi dulu. Mau ketemu Pak Dekan."
Widuri bergumam. Sebelum Tody melangkah, gadis itu berkata, "Kalau ke desa saya, datanglah
ke rumah."
"Yah."
"Akan saya surati ayah saya, biar dia membantu Mas."
"Bagus sekali kalau bisa."
Widuri masih tegak sendiri sementara Tody menanjaki tangga pelan-pelan, sampai lelaki itu
lenyap di lantai dua. Widuri berjalan tanpa menggerakkan tas di tangannya. Dia keluar dari
naungan atap Gedung Induk Universitas Gadjah Mada. Tubuhnya diterkam cahaya matahari.
Tetapi, dia tetap melangkah pelahan. Bayangan tubuhnya di tanah berada di sebelah kanannya.
Panjangnya hanya sepertiga tubuhnya. Bayangan itu setia mengikutinya.
Begitu puluhan kemurungan setia mengikutinya. Dia tak tahu kenapa dirinya gampang murung.
Dia takut pada kesepian sebab kesepian gampang sekali menghunjamkan panah-panah
kemurungan. Itulah sebabnya kenapa dia mengisi hidupnya dengan kesibukan-kesibukan yang
tak henti-hentinya. Dia mengikuti setiap kegiatan di kampus itu. Jadilah dia seorang aktivis
kampus. Tetapi, jika sedang sendirian, dia merasa bahwa segala kegiatannya hanyalah pelarian.
Semacam kompensasi. Dia takut sendirian. Dia takut terlalu luas waktu untuk memikirkan diri
sendiri. Sebab, sekali dia berpikir, yang datang hanyalah gambaran-gambaran kemurungan.
Sejak SMP, Widuri mengalami pindah dari pemondokan ke pemondokan. Di desa kabupaten, Di
Wonosobo. Dan, kini, di Yogya ini, manakala liburan tiba, dia tidak tahu apa yang harus
diperbuat. Kembali ke desa? Apa yang dikerjakannya di sana?
Rumahnya tergolong besar dan berhalaman luas. Di antara rumah-rumah di desa itu, rumah
orang tua Widuri gampang dicari. Sebuah rumah yang bersih, dengan pohon-pohon sawo di
pekarangan. Teriakan-teriakan gembira mereka bisa didengar hingga jauh. Tetapi, sejak kecil, itu
semua tak punya arti bagi Widuri.
Bahkan rumah itu tidak mampu mengusir kemurungannya yang berkepanjangan. Bahkan rumah,
lebih melecut-lecut perasaannya.
Di rumah itu tak ada seorang ibu. Ibunya sudah lama meninggal. Jika pun dia ingin merawat
ayahnya yang kian tua itu, itu pun tak akan kesampaian. Lelaki tua itu lebih suka berada di dekat
penggilingan padinya. Lelaki tua itu merasa nyaman merasakan getaran huller-nya dan membaui
aroma sekam.
Tody akan ke desa itu. Dia akan berbicara dengan penduduk desa, dengan bahasa Jawa yang
kadang tersendat-sendat. Dia akan bergaul dengan penduduk desa. Andainya aku berada di desa
itu, pikir Widuri. Aku bisa membantunya. Kami bisa sering bersama-sama. Bisa ke sendang
bersama. Atau ke pancuran. Atau ke mana saja.
Kami akan berjalan di pematang sawah, menyeberang kali lewat titian bambu, dan dia akan
memegangi aku sebab takut jika aku terpeleset. Andainya terpeleset dan jatuh, tak akan sakit
jika jatuhnya ke tumpukan jerami. Berdua. Aih!
Widuri menghela napas dalam-dalam, dan merasakan matahari yang membakar. Apa gunanya
memikirkan itu? Andainya aku pulang, lalu bagaimana? Apakah akan bersamanya galang-gulung?
Padahal aku tahu dia sudah punya kekasih yang dicintainya. Padahal aku tahu dia sama sekali
tak membutuhkan aku.
Cuma, dengan bergaul, dia akan beperhatian kepadaku. Bukankah pepatah lama bilang: witing
tresna jalaran saka kulina? Cinta datang karena kebiasaan. Apalagi didukung suasana desa yang
sepi. Suasana yang akan memacu bentukan cinta. Tapi, itu berarti aku merebutnya. Merampas
dari sisi Irawati. Apakah aku akan jadi perampas? Perampas? Perampas? Ah!
Widuri merasa sesuatu menyamak di ulu hatinya. Tidak! Tidak! Tidak! Teriaknya dalam dada.
Membuat dadanya bertambah sesak. Di bawah matahari yang terik, di atas aspal yang
menyengat, dia merasa sulit bernapas.
Jika ada yang harus disesali, itu adalah diriku sendiri. Kenapa tidak sejak dulu-dulu aku
menunjukkan gejala bahwa aku mencintainya? Padahal kami sering ketemu. Jauh lebih dulu dan
jauh lebih sering dari Irawati. Kenapa Irawati yang baru dikenal bisa menimbulkan cintanya?
Kenapa? Apakah aku terlalu pasif? Tapi, apakah pantas seorang perempuan agresif terhadap
lelaki? Dengan berpasif, kapan cinta seorang lelaki bisa diduga datangnya? Maut dan cinta
barangkali segolongan: takdir. Lalu, menunggu takdir? Ah, ah, ah!
Setumpuk keluh berberaian dalam dada Widuri. Dia sudah lama kukenal, pikir Widuri. Kami lama
bergaul. Tetapi, kenapa hanya menjadi pergaulan formal saja? Kenapa kalau bertemu kami
hanya bicara soal kampus saja? Kenapa Irawati yang baru dikenalnya bisa menarik hatinya?
Lantaran dia lebih cantik? Apakah Faraitody lebih terpana pada kecantikan rupa saja? Apakah dia
lelaki macam itu? Dan, lebih jelekkah rupaku dibandingkan dengan Irawati? Ah, bagaimana bisa
membandingkan kecantikan yang berbeda? Bisakah membandingkan mawar dengan melati, atau
dahlia dengan anyelir?
Pertanyaan demi pertanyaan beruntutan, dan tak akan terjawab oleh Widuri. Dia hanya bisa
terus berjalan, menekuri tanah. Tak mempedulikan dering becak dan klakson motor.

Mesin skuter berderum derum. Tuternya berbunyi empat-lima kali panjang-panjang. Tody
menjenguk lewat jendela warung. Lalu cepat-cepat membayar minuman dan keluar.
Irawati menggoyang-goyang stir skuternya.
"Jadi, kita pergi?" tanyanya.
"Oke."
Lalu gadis itu turun dari sadel. Tody menggantikan tempatnya, dan mereka beranjak.
"Tak ambil jaket dulu?" kata Irawati di sela redanya mesin antara persneling satu dengan dua.
"Tak usah," jawab Tody sembari menancap gas.
"Nanti dingin...."
"Ada kau “kan hangat."
"Aha, mulai pandai merayu. Kenapa tak sejak dulu-dulu begitu?"
"Ah, diamlah."
Dan, kecepatan skuter bertambah lagi. Angin berkesiur. Mereka semakin jauh dari Kampus
Gadjah Mada. Meninggalkan jajaran pohon cemara dan pohon flamboyan.
Hari kesembilan dalam pergaulan mereka. Kini mereka disambut naungan pohon mahoni
sepanjang jalan ke luar kota. Angin pun mulai terasa kemurniannya. Jalan kian menanjak.
Semakin tertinggal bau kota yang hiruk dan tengik. Mereka melaju menuju Kaliurang.
Di jalan yang berkelok-kelok, Irawati mendempel ketat ke punggung Tody. Lelaki itu menaksirnaksir jalan di depannya, dan merasakan getaran mesin lewat tangannya yang mencengkeram gas.
Tubuh gadis itu lunak. Pipinya menempel di bahu Tody. Anak-anak rambutnya mengelus pipi
Tody.
Keluarga gadis itu mempunyai rumah peristirahatan di Kaliurang. Rumah yang halamannya
berumput halus dan ditumbuhi bunga-bunga. Dan, sepi. Hanya ada pelayan - suami-istri - yang
selamanya bersikap hamba terhadap majikannya. Kedua orang itu, dari tahun ke tahun
mengabdikan diri untuk kesenangan majikan mereka, orang-orang kota itu. Dari tahun ke tahun
mereka hidup di daerah gunung yang sepi pada hari-hari bukan hari libur. Tak pernah
memikirkan lain, kecuali memikirkan tugas-tugas di lingkaran bungalow itu.
Ke situlah sekarang tujuan skuter itu. Irawati mengomando apakah skuter harus belok kiri, terus,
lewati pertigatan, terus, belok kanan, menanjak lagi, terus, dan hop! Tody memijak rem.
"Bunyikan tuternya," kata Irawati.
Mendengar tuter panjang-panjang memanggil, sepotong kepala muncul dari balik gerumbul
bunga. Lalu tubuhnya keluar bergegas, dan berlari ke pintu pagar. Pintu pagar dibukanya lebarlebar.
"Ayo, masuk," kata Irawati.
Tody mendorong skuter memasuki halaman sembari mengawasi rumah yang pintunya berbingkai
merah itu.
Berjuta-juta menusia harus hidup di rumah-rumah gedek yang pengap. Tetapi, di gunung
didirikan rumah sebagus ini hanya untuk dihuni sesekali, pikir Tody. Dia membisu. Tak
memperhatikan pembicaraan Irawati dengan pelayan yang membungkuk-bungkuk mengiringkan
langkah majikannya itu. Pelayan itu, tak putus-putusnya melaporkan keadaan bungalow.
Katanya, dia telah menanam sepuluh batang pohon bunga matahari di halaman belakang.
Sebulan lagi tempat ini akan menguning oleh cemerlangnya bunga. Di dekat jendela kamar tidur,
sudah ditanamnya bunga sedap malam sebagaimana dipesankan oleh Ndoro Putri. Dia berbicara
terus, tetapi masih sempat melayangkan mata pada Tody.
Siapa lelaki ini? Dia bukan yang dulu. Kelihatannya dia ini sopan. Tidak gondrong. Pakaiannya
rapi. Tidak pakai jean biru. Dan, tidak kurang ajar. Bukan seperti yang dulu, yang berani
merangkul-rangkul Den Ayu Ira. Bukan pula seperti pemuda yang pakai Yamaha besar yang
suara Yamahanya diderum-derumkan tempo hari.
Berkilasan wajah-wajah pemuda di benak lelaki tua itu untuk dibandingkan dengan Tody. Dia
ingat bahwa pemuda ini tak ada di antara rombongan yang datang tempo hari.
"Kita minum dulu. Haus, “kan?" kata Irawati.
"Yah," kata Tody sembari duduk di kursi plastik di teras.
"Masih kuat naik ke hutan?"
"Kenapa tidak? Ke bulan pun jadi," kata Tody.
Hutan yang dimaksud adalah cemara dan pinus yang menyelimuti perbukitan. Di situ burungburung
bercericit dengan bebas. Berlompatan dari ranting ke ranting. Dan, di dahan-dahan
pohon banyak bergayutan anggrek liar. Bunga-bunganya putih kontras dengan coklatnya batang
pohon serta kehijauan daun-daunan. Tanah disemaki oleh belukar. Di antara belukar itu ada
yang berbunga kecil-kecil. Tempat yang tak ditumbuhi belukar, adalah hamparan rumput yang
empuk. Hawa tempat itu sejuk dan hening. Angin yang bertiup dingin akan menimbulkan
gesekan berkepanjangan di daun-daun.
Irawati melangkah merambah-rambah semak. Betisnya tersangkut-sangkut ranting. Tetapi, dia
tak mengurangi langkahnya. Dia tetap merendengi Tody yang memegang tangannya. Jalanan
setapak itu biasa dilalui oleh para pencari kayu. Tetapi, hari itu tak ada tanda-tanda bekas dilalui
seseorang. Rumput dan semak masih sesegar pagi tadi.
"Capek?" tanya Tody.
"Tidak," jawab Irawati walau napasnya terengah.
"Kalau capek kita berhenti dulu."
"Tidak. Terus saja."
Mereka menyusuri jalan kecil yang mendaki. Irawati bergayut di lengan Tody. Sesaat gadis itu
mengedarkan pandang, dan kemudian berkata, "Itu anggrek yang kelihatan dari bawah tadi."
Lalu mereka menyimpang, keluar dari jalan rintisan pencari kayu. Langkah mereka menembus
semak yang ranting-rantingnya mengait-ngait. Gerumbul demi gerumbul mereka lalui, sampai
akhirnya tiba di bawah anggrek itu.
"Pohonnya terlalu besar. Dan licin lagi. Sulit memanjatnya," kata Tody.
"Angkat saya, Mas," kata Irawati.
"Bagaimana caranya?"
Irawati mempertemukan jari-jari kedua tangan Tody.
"Pegang kuat-kuat. Biar saya berpijakan di sini," katanya.
Irawati menanggalkan sepatunya, bersitumpu ke bahu Tody, dan berpijak pada telapak tangan
Tody yang bertautan. Dia berdiri hingga perutnya ditentang kepada lelaki itu. Namun begitu,
anggrek yang bergayut di dahan pohon belum terjangkau.
"Angkat lebih tinggi, Mas Tody!"
Tody lebih meninggikan telapak tangannya.
Gadis itu meraup batang-batang anggrek. Tubuhnya bergoyangan. Tody menatap betis yang
rapat ke mukanya. Betapa mulus. Betapa kuning. Seperti gading terpahat.
Irawati merentakkan gerumbulan anggrek itu.
Keseimbangannya goyah. Tak tertahankan, dia memberosot di badan Tody, terus ke bawah, dan
membuat Tody pun goyah. Dan, ah, mereka berdua terjatuh. Dan, ah, ah, ah, mereka
bergulingan di rerumputan yang lunak. Tubuh gadis itu terangkul oleh Tody. Gadis itu tertawa
bagai burung nuri. Dia merangkul Tody. Muka mereka bersentuhan. Tak tahu siapa yang
mendahului, bibir mereka sudah bertautan.
Di tanah tergeletak gerumbul anggrek. Bunganya yang putih mekar mengintaikan benang sari.
Angin memberisikkan daun-daun. Ranting-ranting bergesekan, dan ada yang berbunyi berciutan.
Kicau burung meningkah suara pepohonan, berpadu dengan kesejukan daerah pegunungan itu.
Dari bawah, semayup terdengar lebuh sapi. Sapi yang kesepian di tengah padang. Batu-batu
gunung yang sebesar gajah bertonjolan diam-diam di tanah.
Anggrek yang tadi bergayut di cabang pohon kini menggeletak tak diurus, di dekat dua orang
yang masih bergulungan. Dua orang yang lidahnya berpilin. Tubuh mereka bagai saling melilit.
Rambut gadis itu berberaian. Sebagian menutupi wajah Tody. Sementara itu, sisa anggrek yang
masih tergantung di cabang bergoyang-goyang. Tetapi, kini tinggal sulur yang kurus dengan
bunga-bunga kecil.
Matahari tak berdaya di balik rerimbunan pohon serta lindungan belukar. Siang selamanya sejuk
di situ. Matahari hanya merupakan berkas-berkas sinar lewat celah dauh dan ranting. Tanah
yang lembab, rumput yang tebal, itulah yang paling terasa.
Irawati menelentang menatap celah-celah dedaunan. Kepalanya tertaruh di dada Tody yang
beraturan turun-naik oleh napas. Sementara itu, Tody asyik dengan pikirannya sendiri.
Alangkah aneh hidup ini. Untuk berciuman saja, harus berkendaraan sekian jauh, naik bukit, dan
segala macam. Berciuman saja harus melalui prosedur bertele-tele. Tidak ekonomis untuk enersi.
Tetapi, Irawati berpikir lain. Dia masih merasa-rasakan sensasi yang baru saja dialaminya.
Bergulingan di atas rumput dengan lelaki yang sangat sopan. Alangkah hebat! Tidak di kamar,
tidak di rumah, tidak di teras, tetapi di hutan! Di hutan! Di atas kelembutan rumput yang lembab.
Di balik semak-semak yang rimbun. Alangkah hebat! Jika ini dilakukannya dengan Robby atau
Yanuar, itu biasa. Tetapi, kali ini dilakukannya dengan seorang lelaki yang necis, lelaki yang
pernah berpidato di depan ribuan mahasiswa, dosen, dan profesor! Bukan main! Sensasi mana
yang bisa menandingi? Tinneke tidak akan pernah mengalaminya. Juga tidak Lucky. Alangkah
hebat kau, Ira!
Lalu dia menggeser kepalanya hingga menghadap muka Tody. Lelaki itu mengelus onggokan
rambut yang terletak di dadanya. Gadis ini selembut anak kelinci, pikir lelaki itu. Cuma,
agresivitasnya kayak macan. Bagaimana masa depan yang dimungkinkan oleh kelinci yang
sekaligus macan ini?
Tetapi, pikiran itu diputus oleh mulut Irawati yang mulai lagi mengulum bibirnya.

Berkata dalam Diam
MAHASISWA peserta BIMAS telah disebarkan ke berbagai desa. Tiba di perbatasan desa, seorang
lelaki telah berdiri di situ.
"Saudara Faraitody?" katanya sembari mengulurkan tangannya.
"Ya," jawab Tody.
"Saya Hermanu, ayah Widuri. Saya menerima surat Widuri yang mengabarkan perihal
kedatangan Saudara. Saya akan membantu tugas-tugas Saudara selama di sini."
"Terima kasih, Pak. Tetapi, sebaiknya jangan panggil saya begitu resmi. Sebut saja nama saya.
Atau “berkau”saja. Itu lebih enak buat telinga saya."
Pak Hermanu mengangguk-angguk. Mereka berjalan pelan-pelan menuju pusat desa. Sesekali
Tody mengawasi wajah berwarna tembaga serta urat-urat di lengan lelaki tua itu. Mata lelaki tua
itu bersinar ramah.
Mereka pun terlibat pembicaraan hilir-mudik.
Memenuhi keinginan lelaki tua itu maka Tody terpaksa menceritakan Padang Mautenda di
daerahnya. Padang yang luas dengan rumput-rumput setinggi manusia.
Adapun lelaki tua itu menceritakan pengalamannya ketika pertempuran masa revolusi. Juga
tentang teman-temannya yang diantaranya sekarang sudah menjadi jenderal. Yang paling
dibanggakan lelaki tua itu adalah huller-nya yang jarang macet.
"Cuma, untuk mengangkat solarnya kemari yang sulit," katanya menambahkan.
"Kalau rusak?" tanya Tody.
"Saya reparasi sendiri. Tanpa sekolah teknik, saya bisa mengetahui seluk-beluk mesin itu."
Dari jalan desa itu, Tody menatap perbukitan tandus yang melingkari desa. Jika saja bukit-bukit
itu ditanami tumbuhan yang bisa dimanfaatkan, akan menguntungkan sekali. Tanahnya masih
luas, tetapi sayang kering-kerontang.
"Menginap di rumah saya saja," kata Pak Hermanu.
"Saya akan senang sekali. Tapi, saya sudah ditetapkan menginap di rumah Pak Lurah."
Batu-batu berserakan di sepanjang jalan. Dan, mereka tiba di rumah yang mereka tuju. Sebuah
rumah dengan pendopo yang luas. Rumah beton yang di depannya ada regol dan kentongan
besar. Tody melihat anak-anak kecil telah banyak mengiringkan langkahnya. Dan, di rumah itu
pun telah banyak orang yang menunggunya.
Seketika ingatannya melayang ke kampungnya. Sebuah kampung kecil yang penduduknya akan
berkumpul jika dia pulang pada waktu liburan SMA dulu. Dia sekolah di kota kabupaten, tinggal
di sebuah asrama yang kehidupannya sangatlah teratur. Dia ingat siapa saja pengawas di asrama
itu. Mereka adalah pastor-pastor berkulit bule. Kehidupan di astama itu sangat kontras dengan
keadaan di kampungnya. Di asrama, pada jam tertentu harus tidur. Tetapi, di kampung, sampai
pukul berapa pun orang masih duduk-duduk mengobrol.
Di desa ini pun tak banyak bedanya dengan di kampung Tody. Pada mata anak-anak kecil yang
duduk diam-diam di pendopo, itulah Tody melihat anak-anak kampungnya. Dan, pada gurat
wajah orang-orang tua di desa itu, dia melihat wajah Pak Tuanya, Kakek, atau kerabatkerabatnya di kampung.
Pak Kasmat, lurah desa itu, adalah lelaki sederhana. Wajahnya bisa dicarikan kemiripannya di
mana saja di Indonesia. Wajah yang berwarna coklat tembaga, mata yang hitam, dan mulut
yang ramah. Dia antusias terhadap kemajuan desanya juga terhadap kemajuan desa-desa lain di
Indonesia. Sekalipun dia tak bisa membayangkan di mana Flores itu berada. Dia mengira, Flores
berada di Ambon sebab nama Ambon lebih dikenalnya.
Ketika matahari mulai memerah di balik bukit barulah pendopo itu sepi. Anak-anak berlarian ke
padang-padang. Mereka ingat kambing-kambing mereka yang harus segera digiring pulang.
Ketika lampu-lampu minyak sudah mulai menyala, seorang gadis melintasi di ruang tengah.
Gerak-geriknya kikuk sehingga Tody mengira gadis ini pun seorang tamu. Tetapi, Pak Kasmat
memanggil gadis itu. Makin kikuk gadis itu dibuatnya.
"Anak saya," kata Pak Kasmat, "Tamat SKKA tahun ini di Magelang. Sekarang ikut membantu
mengajar baca-tulis anak-anak di desa ini."
Sekilas Tody memperhatikan wajah gadis itu. Profilnya tak jauh berbeda dari saudara lelakinya
yang tadi ikut ngobrol. Kulitnya hitam manis, dan matanya hitam jernih. Dan, gampang sekali dia
tersipu-sipu. Sewaktu bersalaman dengan Tody pun gadis itu tak mau mengangkat mukanya.
Dia bahkan tak mengucap apa pun. Padahal Tody ingin sekali mendengarkan vokalnya. Gadis itu
kembali masuk ke ruang dalam dan tak keluar-keluar lagi.
Malam yang beringsut adalah suara jangkerik dan kodok yang bersimfoni tak henti-hentinya.
Sejuta kunang-kunang bertebaran di kegelapan. Sesekali burung-burung malam berdeguk-deguk.
Selebihnya, sepi.
Tody berlari-lari di sepanjang jalan desa. Setiap pagi, jika berangkat mandi, dia sengaja berlari.
Dia menuju pancuran. Matahari yang masih merah di balik bukit, merupakan pemandangan yang
memikat di desa itu. Bayang-bayang pohon memanjang di tanah.
Tody bersamplokan dengan Murtini, anak lurah desa itu. Gadis betul-betul pemalu. Maka selama
beberapa hari Tody berada di rumah gadis itu, baru sekitar sepuluh kalimat yang mereka ucap
dalam perbincangan. Karena Tody pun merasa tak ada gunanya berbincang-bincang, gadis itu
lebih-lebih lagi pendiamnya. Mereka tinggal di bawah satu atap, tetapi hanya anggukan yang
terjadi sebagai ganti tegur-sapa.
Sekarang pun mereka hanya saling mengangguk. Tody tetap berlari-lari. Suatu kebiasaan
sewaktu dia masih di kampungnya. Ke mana saja berlari-lari. Ingin ke tengah padang, berlari. Ke
rumah, berlari. Mandi, berlari. Bahkan mau berak pun, berlari-lari menuju sungai.
Gadis itu berhenti. Dia menjinjing kendi berisi air. Dia menatap tubuh lelaki yang semakin jauh
itu.
"Sombong!" cibirnya. "Mentang-mentang orang kota, sombongnya bukan main!"
Tapi, pikirnya, betulkah dia sombong? Terhadap orang-orang di desa sini dia tidak sombong. Tak
ada orang di desa sini yang mengatakan bahwa dia sombong. Bahkan saudaraku sendiri
membantah ketika aku katakan bahwa dia angkuh.
"Cuma, dia memang pendiam," kata Partono. "Dia tidak mau bicara kalau tidak ada keperluan. Di
kopernya banyak buku. Jika sedang tak ada urusan, dia selamanya membaca. Membaca terus."
Memang, Tody tak punya keperluan langsung dengan Murtini. Murtini bukan petani. Tody hanya
berurusan dengan para petani yang akan dibimbingnya meningkatkan cara kerja. Murtini hanya
diam di dapur kalau sedang di rumah. Atau di depan kelas kalau di sekolah. Itu jelas di luar
urusan Tody. Tody hanya berpikir, bagaimana meningkatkan produksi pertanian di desa itu. Lain
itu tidak.
Maka Murtini melangkah pelan-pelan. Air dalam kendinya berdecik-decik setiap kali langkahnya
terayun. Batu-batu di jalanan menggeletak diam saat dipijaknya. Dan, diam-diam pula Murtini
menaruh kendinya di dapur.
Tody mencuci pakaiannya di pancuran. Hari itu dia tidak mengunjungi petani-petani. Kemarin dia
baru saja meninjau dukuh yang letaknya di balik bukit. Jalan menuju ke situ buruk sekali. Hanya
kuda yang cocok melintasi jalan itu. Perumahan hanya terdiri atas kurang-lebih lima belas rumah.
Tanahnya tandus berbatu-batu. Orang-orang di situ hanya menanam ketela pohon. Lain dari
ketela pohon tak mau hidup dan tak menghasilkan. Anak-anak kecil setempat tidak bersekolah.
Mereka mengikuti setiap langkah Tody dengan wajah mereka yang dungu serta tubuh telanjang.
Tody murung melihat perut anak-anak kecil itu. Dibandingkan dengan rusuk, perut itu kelihatan
menonjol. Tanda-tanda bahwa mereka kurang gizi.
Apa yang bisa di-BIMAS-kan di dukuh yang miskin itu? Sawah tak ada. Bimas ketela pohon
barangkali, tulis Tody di dalam buku hariannya.
Sekarang dia menikmati gemerisik air yang jatuh dari pancuran. Tempat itu sejuk. Dan, sepi.
Maka dia bersiul-siul.
Ketika Tody menjemur cuciannya di samping rumah, Murtini sedang mengiris bawang. Dari celah
pintu dapur, gadis ini memperhatikan lelaki yang sedang menjemur pakaian itu. Tody masih
tetap bersiul-siul sambil mengibaskan pakaian-pakaian yang basah sebelum di-sampir-kan di tali
jemuran. Rumah itu sepi. Pak Lurah Kasmat sedang ke kantor kecamatan.
Jeritan dari balik pintu dapur membuat Tody kebingungan. Tetapi, desah dan keluh dari pintu
dapur itu cepat menyadarkannya. Dia berlari memasuki dapur.
Murfini menekap jarinya. Darah merembes dari jari yang tersekap itu.
"Kenapa?"
"Kena pisau," sendat gadis itu.
Tody memeriksa jari gadis itu. Darah masih menetes.
"Oh, tunggu sebentar!" Dia berlari ke kamarnya mengambil obat.
Gadis itu meringis menahan perih. Tetapi, matanya terus memperhatikan profil lelaki di
depannya.
"Sakit?"
Murtini menggeleng.
Tody membalut luka itu.
"Sebaiknya dibawa ke poliklinik," katanya.
"Ah, tidak perlu."
Jari-jari gadis itu masih dalam genggaman tangan Tody. Selesai mengikatkan simpul balutan,
Tody melepaskan pegangannya.
Lalu gadis itu memijit balutan itu.
"Masih sakit?"
"Tidak."
"Kalau terasa berdenyutan, bilang. Itu perlu ke poliklinik."
Poliklinik hanya ada di kota kecamatan.
Tody meneruskan menjemur pakaian-pakaian basahnya. Murtini kembali menatapnya. Ternyata
dia baik, pikirnya. Penuh perhatian. Matanya yang gugup melihat lukaku, bisa dijadikan tanda
bahwa dia bukan seorang yang sombong. Dan, melihat balutannya yang rapi, bisa diduga bahwa
dia seorang yang baik. Pendopo rumah itu senyap. Tody membaca di sudut ruangan. Murtini
menating kopi dan meletakkan hati-hati di depan lelaki itu.
"Eh, tak mengajar?"
"Libur," kata gadis itu.
"Enak ya di sini?"
"Ah, tentunya lebih enak di kota."
"Waktu kau di Magelang, bagaimana?"
"Ya, senang. Banyak teman."
"Sering nonton film tentunya."
"Ah, enggak." Sesaat gadis itu memperhatikan sampul buku yang sedang dipegang Tody. "Tak
bertugas hari ini?"
"Tidak. Masih capek," kata Tody.
"Sudah melihat sendang?"
"Sendang? Di mana?"
"Di balik bukit. Airnya jernih. Banyak ikannya."
"Kapan-kapan aku kepingin ke sana."

Matahari masih seperti hari-hari sebelumnya. Bersinar cerah. Tanah yang ditimpanya masih
menyimpan sisa embun tadi malam. Tetapi, nanti akan cepat sekali menjadi kering-kerontang.
Hari ini dia akan mencuci lagi, pikir Murtini. Biasanya setiap empat hari sekali dia mencuci. Lalu
Murtini mengintai-intai lewat pintu dapur yang separo terbuka.
Tody masih bergurau dengan anak-anak tetangga. Dia mengajarkan beberapa patah kata bahasa
Indonesia kepada anak-anak. Yang sempat tertangkap oleh telinga Murtini adalah perkataan
“kerja keras” yang diartikan “nyambut gawe sing kuat”. Terjemahan itu kurang tepat, pikir Murtini.
Tetapi, bagaimana yang tepat? “kerja” dalam bahawa Jawanya adalah “gawe”, “keras” adalah
“atos”. Jadi, “gawe atos”? Wah, lucu!
Anak-anak kecil itu tertawa-tawa senang jika mengetahui kata-kata Indonesia yang mirip dengan
bahasa daerah mereka. Semakin anak-anak kecil itu gembira, semakin tak sabar Murtini
menunggu di dapur.
Jangan-jangan dia tidak mencuci hari ini, keluhnya dalam hati. Bayang-bayang pohon di tanah
tinggal sepanjang sepertiga panjang benda aslinya.
Akhirnya anak-anak kecil itu bubar setelah Tody menyuruhnya bubaran. Mereka pergi
berpencaran. Ada yang ke padang, ada pula yang ke huma.
Nah, akhirnya pergi juga, pikir Murtini. Dia menunggu sampai lelaki itu lenyap di pengkolan jalan.
Lalu dia pun mengumpulkan pakaian ayahnya yang sudah kotor, memasukkannya ke dalam
ember. Kemudian, dia pun keluar menyusul langkah Tody.
Tody bersiul-siul sembari menyabuni pakaiannya di sebuah batu besar, sebesar kepala kerbau. Di
bawah pancuran persis, air membuih dan bersuara parau. Air di situ setinggi betis, dan mengalir
pelahan ke selokan yang memanjang melingkari desa. Air itu sejuk. Nyaman. Apalagi pada waktu
siang hari. Rerumputan tumbuh subur di sekitar kubangan. Sesekali kaki Tody menendangnendang
permukaan air.
Dan, Murtini tiba di situ.
"Hai!" sapa Tody.
Gadis itu senyum tersipu. Dan, meletakkan embernya ke batu di samping Tody.
"Mari saya cucikan," kata Murtini. Lalu dia menarik pakaian yang sedang disabuni oleh Tody.
"Ah, tak usah. Biar aku cuci sendiri."
Tetapi, gadis itu tetap menarik pakaian itu, dan berpindahlah pakaian yang berbusa-busa itu ke
batunya. Bahkan pakaian lain yang belum disabuni.
Tody berpindah pula ke batu di depan gadis itu.
"Lalu, apa yang kukerjakan?" kata Tody bingung.
Gadis itu hanya tersenyum.
"Kemarikan satu biar kucuci," kata Tody.
"Izinkanlah saya mencuci semua," kata Murtini.
Bah, minta izin segala, pikir Tody. Maka dia diam seraya memandangi gadis itu menyabuni
pakaian-pakaian itu dengan cepat.
"Kaupelajari juga cara-cara mencuci pakaian waktu di SKKA dulu?" tanya Tody.
Gadis itu mengangguk.
"Bukan main!"
"Apanya yang bukan main?"
"Sekolah itu. Memang, nyata benar bedanya antara hasil cucianmu dengan cucianku. Cucianmu
jauh lebih bersih dan cepat."
Gadis itu tak menjawab. Tetap tersenyum-senyum.
Anak-anak rambut gadis itu bergoyang-goyang saat dia membilas pakaian. Telapak tangannya
berwarna kemerahan. Lengannya yang mengintai dari balik kebaya yang tergulung hingga siku
itu nampak lebih kuning dari wajah pemiliknya.
Matahari kelihatan dari celah-celah daun dan ranting pohon mangga yang menaungi tempat itu.
Murtini masih asyik membilas-bilas pakaian. Sementara itu, Tody hanya bisa menciduk-ciduk air
dengan telapak tangannya, dan mempermainkan air itu.
"Di kampung Mas Tody ada pancuran seperti ini?" tanya Murtini tiba-tiba.
"Ada."
"Orang-orang mandi di pancuran juga?"
"Ada yang di situ, ada pula yang di rumah kalau mereka punya sumur. Tapi, aku lebih suka
mandi di pancuran sebab airnya lebih nyaman."
Gadis itu tetap menunduk. Tody melihat rambut yang tak tersanggul rapi itu. Rambut itu hanya
digelungkan agar tak tergerai sehingga ada helai-helai rambut yang jatuh di keningnya. Sesekali
gadis itu berusaha mengembalikan rambut yang jatuh di dahi ke atas, berkumpul kembali
dengan yang lain. Alis gadis itu hitam tebal, dan bulu matanya menekuk menaungi matanya yang
selamanya malu-malu menatap.
"Mas Tody sudah jadi ke sendang?"
"Belum."
"Kapan ke sana?"
"Belum pasti."
"Nanti?"
"Aku belum tahu tempatnya. Aku masih menunggu Mas Partono. Dia janji akan mengantarku ke
sendang."
"Saya mau mengantar," kata gadis itu tanpa mengangkat kepala.
"Kau?"
Murtini mengangguk.
"Kau “kan banyak kerja di rumah?"
"Ah, tidak apa-apa. Saya juga kepingin ke tempat itu. Lama sekali saya tidak ke sana. Ada kirakira
dua tahun."
"Begitu lama?"
"Walaupun masih di lingkungan desa ini, tetapi banyak tempat yang jarang saya kunjungi." Gadis
itu melirik sekejap. Sangat sekejap. Sebelum sempat bertatapan dengan Tody, dia telah
menekuni pekerjaannya kembali.
"Tempat itu jauh, “kan?" kata Tody.
"Saya bisa berjalan jauh."
Tody mengawasi tumit dan betis gadis itu yang penuh serta terendam air.
"Menurut cerita orang-orang tua, sendang itu berasal dari tongkat yang ditancapkan ke dalam
tanah oleh seorang sakti," kata Murtini.
"Eh, di daerahku pun ada dongeng semacam itu."
"Mungkin orang sakti itu juga pergi ke tempat Mas Tody."
"Merenangi Lautan Hindia?" Tody tertawa.
Mendengar tawa itu, Murtini mengangkat kepalanya. Dia ikut tersenyum.
Sementara itu, sepasang mata yang sejak tadi mengintai dari rerimbunan semak, menatap sirik.
Dia menggemeretakkan geraham menahan kejengkelan yang meluncas-luncas. Sepasang mata
itu milik seorang lelaki muda.
Lama dia mengintai. Semakin lama, semakin kejengkelan itu merayapi seluruh jaringan
tubuhnya. Maka akhirnya dia merentak, meninggalkan tempat itu. Dan, di sepanjang jalan dia
mengutuki kenyataan yang baru saja dilihatnya.
"Bajingan lelaki itu!" kutuknya berkepanjangan.
"Mentang-mentang orang kota, dia merayu gadis itu! Terkutuk dia! Disambar geledek!"

Lelaki itu adalah Maryoto. Seorang dengan bahu bidang dan mata tajam. Dia drop-out-an sebuah
universitas, lalu kembali ke desa itu. Kebetulan orang tuanya mempunyai tanah yang luas di desa
itu. Melihat keakraban gadis itu dengan Tody, hatinya terbakar. Dia menginginkan gadis itu
menjadi istrinya. Sekarang dia menyaksikan Murtini berjalan berdampingan dengan lelaki kota
itu, mendekati bukit. Entah apa yang dibicarakan lelaki terkutuk itu hingga Murtini tertawa-tawa.
Bajingan kota itu! Dia membuat dada Maryoto mau meledak. Maryoto terengah berjalan
merambahi belukar.
Rimbunan demi rimbunan belukar dilalui Maryoto. Dia bagaikan pemburu yang menguntit
mangsa. Sepasang rusa berjalan tanpa menyadari bahwa ada sepasang mata yang memancarkan
kebencian tak lepas mengikuti mereka.
O, Murtini, kenapa kau sebaik itu padanya? Pada lelaki yang baru beberapa minggu kaukenal!
Pada lelaki yang bukan mustahil akan meninggalkan desa ini tanpa sepercik pun kenangan! Ah,
kau membuat prahara di dadaku, Murtini! Murtini! Murtini!
Dan, Maryoto lebih terengah. Jalan yang dilaluinya sungguh tak pernah dilalui manusia. Bahkan
kuda pun tidak. Kaki lelaki muda itu terkait-kait akar-belukar.
Kedua orang itu, Murtini dan Tody, ditimpa sinar matahari keemasan dari langit. Keringat
berlelehan dari leher mereka. Tetapi, tak terasakan oleh mereka. Lebih-lebih oleh gadis itu. Dia
memang sedang melangkah di jalan setapak itu, tetapi ingatannya berkelebat-kelebat ke kota
tempatnya sekolah dulu. Itulah yang mereka sedang bicarakan sekarang. Murtini menceritakan
bagaimana sewaktu indekos di Magelang. Menceritakan bagaimana dia permisi kepada pemilik
rumah jika ingin menonton film, bagaimana dia panik jika kiriman dari desa terlambat, dan
semacamnya dan sejenisnya.
Tetapi, ketika Tody bertanya, "Kau sudah punya pacar waktu itu?", wajah gadis itu, berubah
murung. Mendung menyaputi wajahnya. Dia hanya menatap tonjolan batu-batu besar di bukit.
Maka cepat-cepat Tody mengalihkan pembicaraan, "Capek?"
"Tidak."
“Tapi, kau sudah keringatan."
"Ya," jawab Murtini.
"Kita istirahat?"
"Di sini? Ah, sudah tanggung. Lebih baik kita teruskan saja. Tinggal dekat. Di balik pengkolan itu,
kita sudah sampai."
Jalanan agak menurun kini. Mereka memijak kerikil yang mudah sekali menggelincirkan tubuh.
Gadis itu tanpa sadar berpegangan lengan Tody. Mereka sudah semakin dekat sendang.
Permukaan sendang bagai cermin besar yang menantang matahari. Permukaan air itu sangat
tenang. Selapis goyangan pun tak nampak. Air di situ bagai sedang menahan napas.
Dan, kedua orang itu pun menahan napas. Sebab, jalan semakin terjal. Tetapi, keinginan mereka
untuk tiba di pinggir sendang yang sejuk itu semakin kuat. Kerikil bertaburan di jalan setapak
sehingga mereka harus semakin berhati-hati. Namun, bagaimanapun hati-hatinya, gadis itu tetap
saja tergelincir. Tody berusaha menahan tubuh gadis itu. Gadis itu memang tak sampai terguling.
Cuma, kakinya terbenam ke dalam kerikil.
Murtini terduduk. Tody membongkar timbunan kerikil untuk mengeluarkan sandal gadis itu.
Murtini memijiti kakinya dengan wajah keruh. Keringat tambah ramai menghiasi wajahnya.
"Keseleo?" tanya Tody.
"Tak tahu. Tapi, sakit."
"Mungkin keseleo. Sebab, kakimu terpelecok tadi."
Murtini masih mengurut-urut mata kakinya.
"Ke tempat teduh dulu. Ke bawah pohon itu," kata Tody.
Gadis itu tegak, tetapi meringis menahan sakit. Tody menuntunnya ke bawah kerindangan pohon
di pinggir sendang. Gadis itu tak bisa lagi merasakan keindahan sendang itu. Persendian kakinya
sangat nyeri.
Tody menimbang-nimbang, haruskah dia mengurut persendian kaki gadis itu. Dia pernah ikut
latihan kempo. Soal urut-mengurut sedikit banyak diketahuinya. Cuma, benarkah gadis ini betulbetul
keseleo? Kalau hanya sekadar sakit biasa, bukankah riskan memegang-megang kaki
seorang gadis? Lebih-lebih memegang-megang betis yang penuh dan kuning seperti itu.
Mata gadis itu semakin panik. Keringat yang menetes di jidatnya tak kunjung berhenti. Bahkan
dia telah mulai mengeluh. Maka Tody pelan-pelan menjamah pergelangan kaki gadis itu.
Gadis itu menjerit seraya menahan tangan Tody.
"Tahankan saja dulu. Tak apa-apa. Gigit ujung saputanganmu kuat-kuat," kata Tody seraya
mengulangi mengurut pergelangan kaki gadis itu. Dengan indra perasa di jarinya, dia bisa
menemukan sendi yang keseleo.
Di lereng bukit, di balik semak-semak, Maryoto menahan gelepar-gelepar di dadanya. Kebencian
berkembang-biak tanpa batas. Terkutuk bajingan kota itu! Berani dia memegang-megang kaki
Murtini! Terkutuk dia!
Tetapi, Maryoto tetap diam di tempat persembunyiannya. Cuma menggemeretakkan geraham,
itu yang bisa dilakukannya. Sementara itu, Murtini menahan nyeri yang tak alang-kepalang
rasanya. Tekanan jari lelaki itu hampir tak tertanggungkan. Bagaikan jepitan kakaktua. Tangan
yang kelihatan halus, dengan jari-jari kurus itu ternyata menyimpan tenaga yang kuat.
Berkali-kali Tody berkata pelahan, "Tahankan sebentar saja. Nanti akan baik, akan baik. Nyerinya
akan makin berkurang." Dia terus menekan-nekan, mengembalikan letak sendi itu pada
kedudukan semula.
Mereka tak memperhatikan lagi burung-burung yang datang-pergi ke sendang itu. Tak melihat
pula ikan-ikan yang sesekali meletik ke permukaan air. Ini yang menyebabkan permukaan air
bergoyang sesaat. Angin yang bertiup memang terasa sepoi, tetapi mereka tak tahu bagaimana
bunga-bunga liar di pinggir sendang bergoyang. Bunga-bunga berwarna merah, ungu, kuning,
dan putih. Bunga yang besarnya maksimal setutup botol.
Memang betul nyeri semakin berkurang. Murtini tak perlu lagi menggigit saputangan. Dia telah
menghapus keringat di keningnya. Bernapas pun tidak setersengal tadi.
"Di mana Mas Tody belajar memijit?" tanyanya.
"Well? Masih sakit?"
"Masih agak terasa, tapi sudah jauh berkurang sakitnya."
"Nah, bagus! Tak sia-sia pengetahuan kempo itu. Aku dulu sering latihan beladiri kempo. Sering
jatuh-bangun. Akibatnya sering keseleo. Lalu, aku serius mempelajari urut-mengurut ini. Nah,
persendian kakimu sudah baik. Agak linu-linu sedikit, tapi itu akan hilang dengan sendirinya.
Atau, masih sakit?"
Murtini mengangguk. Maka Tody tak jadi melepaskan kaki gadis itu.
Angin mengibaskan rambut gadis itu. Sejuk. Tak lagi terasa nyeri. Juga tidak sakit. Yang
dirasakan gadis itu hanyalah tekanan jari lelaki itu. Nyaman. Dan, dia memperhatikan tangan
lelaki itu. Lalu berpindah ke matanya yang lunak. Mata yang bersinar tulus. Lalu ke dagunya
yang berwarna kehijau-hijauan bekas cukuran. Ke bahunya yang tak terlalu bidang. Ke dadanya
yang agak tipis. Dada orang yang terlalu banyak menghadapi meja tulis dan buku. Kemudian
Murtini menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya panjang-panjang.
Tody mengangkat kepala.
"Tak sakit lagi, “kan?" tanyanya.
"Tidak. Terima kasih," kata Murtini.
Lalu Tody melepaskan pegangan tangannya pada kaki itu, dan Murtini merasakan sesuatu
terlepas dari dirinya.
Untuk sesaat hanya angin yang berdesau. Kemudian, tanpa saling memandang, mereka
bersamaan berkata, "Tempat...."
Keduanya saling menatap. Lalu tertawa bersama.
"Eh, teruskanlah. Apa yang mau kaubilang?"
"Ah, Mas Tody saja."
"Tempat ini bagus," kata Tody.
"Eh, saya juga mau bilang begitu, tadi."
"Kalau aku penduduk di desa ini, aku akan membuat rumah di sini."
"Jalan ke sini sulit. Kendaraan tak bisa masuk. Minimal gerobak sapi baru bisa lewat. Tetapi,
dengan keadaan jalan seperti yang kita lewati tadi, tempat ini justru akan tetap begini
selamanya. Lereng bukit itu terlalu terjal."
"Ya, memang sulit dilalui."
Murtini mengedarkan pandangan. Angin menyebabkan permukaan sendang bagaikan sutera
yang bergerak selapis demi selapis.
"Aih, nanti saya akan bawa pohon bunga itu. Untuk ditanam di halaman," kata Murtini.
Tody menatap matahari yang telah menggelincirkan diri.
"Ambillah sekarang. Biar kita cepat pulang."
"Pulang? Kenapa begitu buru-buru?"
"Jalan pulang akan lebih sulit terasa."
"Kita baru sebentar di sini."
"Sebentar? Hampir sejam sudah."
"Sejam? Ah, kok cepat sekali waktu berjalan."
Murtini mengangkat tasnya. "Eh, ya, hampir lupa," katanya seraya mengeluarkan bungkusan dari
tasnya.Isinya lemper.
Lelaki di balik semak itu berkali-kali menepuk nyamuk yang mengganggunya sedari tadi. Sejuta
kutuk tak berkeputusan berloncatan di dadanya. Di sana, bajingan dari kota itu enak-enakan
makan lemper. Berduaan lagi. Terkutuk! Tertawa-tawa! Terkutuk!
Dan, agas yang beterbangan di dekat telinga semakin menyebalkan hati Maryoto yang pepat. Dia
mengusir serangga-serangga halus yang mengganggunya itu. Di sana, lelaki itu enak-enakan
makan. Bah, dikupaskan oleh Murtini pula. Bajingan terkutuk! Bajingan! Bajingan! Bajingan!
Terkutuk! Terkutuk! Disambar geledek dia!
Sikap beherapa orang desa hari-hari belakangan ini agak mengherankan Tody. Termasuk Pak
Hermanu, ayah Widuri. Lelaki itu tidak mau lagi bercerita-cerita seperti waktu yang lalu. Apakah
yang terjadi? Pemuda di desa itu pun ada yang tak lagi antusias mendengarkan uraian-uraian
dari Tody. Hanya Pak Lurah dan Partono yang tidak menunjukkan perubahan sikap. Juga Murtini
serta anak-anak kecil. Anak-anak kecil masih bergerombol di halaman jika Tody memanggil
mereka.
Maka ketika bertemu dengan Pak Hermanu, Tody sengaja menjejeri langkah lelaki tua itu. Dia
bisa merasakan bahwa lelaki tua itu seakan tidak mau didekati. Tak lagi ditemukan oleh Tody
mata Pak Hermanu yang bersinar ramah. Yang ada hanya dinginnya sambutan.
"Kapan berakhir BIMAS-nya?" tanya Pak Hermanu datar.
"Ya? Tiga bulan lagi," tanya Tody. Dia melirik, menaksir-naksir bahwa di balik pertanyaan lelaki
tua itu tersimpan makna: kenapa belum juga meninggalkan desa ini?
"Kalau kembali ke Yogya, akan menyelesaikan studi?"
"Ya," kata Tody.
"Lalu?"
"Lalu, bagaimana ya? Maksud Bapak?"
"Selesai studi, tentunya berumah tangga. Iya toh?"
"Oh, itu belum saya rencanakan."
"Masak?"
Jidat Tody berkerut.
"Di kota tentunya sudah ada calon," kata lelaki tua itu.
Tody tak menimpali. Dia melangkah diam-diam. Seperti elang, Pak Hermanu melirik. Berusaha
menangkap kesan di wajah lelaki muda itu. Tetapi, wajah Tody tetap beku.
Mereka melewati sawah. Padi baru setinggi lutut anak kecil. Sawah itu salah satunya yang
mendapat BIMAS. Tody merasa bungah melihat padi yang subur itu. Tetapi, kegembiraan itu
cepat hilang manakala menyadari langkah-langkah yang menjejerinya. Dia kembali ingat sikap
orang-orang di desa itu terhadap dirinya. Terutama sikap lelaki tua ini. Dulu dia sangat antusias
membantu. Dengan wibawa yang dipunyainya, dia begitu gampang mempengaruhi orang-orang
desa agar mengikuti nasihat-nasihat Tody. Tetapi, sekarang sikapnya sedingin pemilik restoran
yang mencurigai tamunya bakal nganglap. "Kalau Widuri, kira-kira berapa lama lagi kuliahnya
ya?" tanya Pak Hermanu tiba-tiba.
"Dia? Kalau tidak salah, kira-kira dua atau tiga tahun lagi. Biasanya agak lambat waktu membuat
skripsi."
"Kalian sering ketemu di sana?"
"Ya, sering. Kami sama-sama pengurus Dewan Mahasiswa."
"Sering juga omong-omong dengan dia?"
"Sering juga. Tapi, biasanya soal urusan universitas."
Untuk beberapa saat keduanya diam. Sandal lelaki tua itu terdepak-depak. Sepatu Tody
berkeresek di pasir. Kemudian Pak Hermanu berkata lambat, "Sebenarnya anak perempuan tak
perlu sekolah terlalu tinggi. Toh akhirnya dia harus jadi istri. Tapi, apa mau dibilang? Dia ingin
meneruskan sekolah. Bagaimana melarangnya, sedangkan orang yang kehidupannya lebih
sederhana saja mau menyekolahkan anaknya. Dan, saya cukup mampu. Cuma, sayangnya dia
anak satu-satunya. Perempuan lagi. Kalau dia lelaki, tak perlu dirusuhkan."
Tody diam-diam menyimak. Lelaki tua itu menatap daun-daun padi yang gemerisik.
"Saya merasa diri saya tambah tua. Padahal dia belum menampakkan tanda-tanda mau kembali.
Apa sesungguhnya yang dicarinya di kota itu, saya tak bisa paham. Titel? Ah, buat apa? Dia ingin
jadi orang berpangkat? Ah, buat apa? Bagaimanapun, kebahagiaan yang patut untuknya adalah
menjadi seorang istri.
Sebagai ibu anak-anaknya. Saya lebih senang melihat dia jadi ibu rumah tangga yang bahagia
daripada jadi pejabat tinggi."
"Ya," kata Tody.
Lelaki tua itu menghentikan langkahnya, dan menatap Tody lekat-lekat.
"Apakah nampak tanda-tanda dia akan kawin?" tanyanya mendadak.
Tody terperangah.
"Itu.... itu...."
"Apakah dia sudah punya teman lelaki yang akrab?"
Ludah mengumpul di kerongkongan Tody.
Dengan susah-payah dia menjawab, "Itu.... saya kurang tahu."
Pak Hermanu menunduk. Kemudian kembali melangkah. Tody meredakan debur-debur
jantungnya. Dia ngeri menerima tatapan mata lelaki tua itu. Tatapan yang menikam.
Hingga mereka berpisah, Tody masih merasakan sisa deburan di dadanya. Adapun lelaki tua itu
melangkah dengan kepala menekuri tanah. Makin jauh, makin jauh. Tody merasa makin lepas
dari hunjaman yang menikam. Dia memandangi punggung lelaki tua itu hingga lenyap di balik
pepohonan. Dia membiarkan kesenyapan tempat itu menyungkupnya. Itu jauh lebih
menyenangkan.
Ah, Widuri! Gadis yang berkulit sawo, bermata teduh, dan berapi-api jika mengikuti rapat Dewan
Mahasiswa. Tetapi, selalu tersipu di luar sidang. Gadis yang selalu serius, yang anggun, yang
segan jika lelaki menggurauinya. Itulah dia, Widuri. Widuri! Widuri!
Tody tersentak. Sentuhan di bahunya mengagetkannya. Partono tersenyum.
"Ngapain?" katanya.
Tody hanya menggeleng.
"Nampak-nampaknya memang lebih subur dari padi jenis biasa," kata Partono sembari
mengedarkan pandang matanya ke sawah di samping mereka.
"Yah," kata Tody.
"Kalau seluruh sawah bisa di-BIMAS-kan, alangkah baiknya."
"Ya," kata Tody lagi.
"Berapa bagian lagi yang harus di-BIMAS-kan?"
"Kira-kira empat puluh persen lagi."
"Bisa mencapai target?"
"Mudah-mudahan saja bisa."
Partono diam. Mereka berdiri menatap sawah hijau yang terbentang.
"Selesai BIMAS, kau akan kembali ke Yogya?" tanya Partono.
Tody diam.
"Dan, melupakan desa ini," lanjut Partono.
"Ah, masak dilupakan."
"Ya, biasanya begitu. Kau akan jadi sarjana, jadi orang berpangkat, kawin, dan sibuk di kota."
"Ah, masak begitu," kata Tody diiringi tawa kecil.
"Kau sudah punya rencana kawin?"
Tody cuma menggeleng.
"Calon tentunya sudah ada?"
Bah, kenapa pembicaraan hari ini hanya mengenai kawin melulu! Tetapi, bayangan Irawati
menyelinap diam-diam di pelupuk mata Tody. Bisakah gadis itu kujadikan calon istri? Ah!
Keberdiaman Tody membuat Partono melangkah maju dan berdiri di pinggir jurang. Dia menatap
kedalaman jurang yang gelap. Dasar jurang itu tak bisa terduga berapa meter. Dia melemparkan
batu ke dalam jurang, tetapi tak terdengar suara batu itu menyentuh dasar jurang.
"Kau merasa adanya perubahan di desa ini?" tanya Partono.
"Ya!" sahut Tody cepat. "Apa yang terjadi?"
"Bagaimana kau bisa merasakan perubahan itu?"
"Ada beberapa penduduk desa ini yang seperti membenciku."
"Yah, begitulah tinggal di daerah kecil. Orang-orang gampang sekali berubah sikap. Aku sendiri
sebenarnya tak suka tinggal di desa ini. Tapi, orang tuaku meminta agar aku mengusahakan
tanah kami. Lagi pula, aku sudah beristri, punya anak, dan harus bekerja. Apa yang sudah
kudapat dari sekolah, sebenarnya tak ada manfaatnya di sini. Aku menyesal terlalu buru-buru
meninggalkan sekolah dan kawin." Sesaat Partono diam. Dia ingin menanamkan ucapannya lebih
dalam. "Kau merasa ada orang yang tidak menyukaimu. Ya, memang. Kenyatatan itu akan
menimpamu. Desa ini sebenarnya terbagi dua. Sebagian di bawah pengaruh Ayah, sebagian lain
di bawah pengaruh Pak Tarmiji. Tetapi, dalam pemilihan lurah, ayahku menang. Hanya saja,
bekasnya masih ada sampai sekarang. Oleh karena kau tinggal di rumah Ayah, otomatis
kelompok Pak Tarmiji menganggap kau masuk golongan Ayah."
"Tapi, mula-mula mereka tidak memusuhiku," kata Tody.
"Yah. Cuma, belakangan ini, Maryoto.... kaukenal dia? Dia anak Pak Tarmiji, mulai menghasut
penduduk desa. Dia bahkan berhasil menarik Pak Hermanu ke pihaknya. Padahal selama ini
orang tua itu tak pernah berpihak. Entah kenapa dia mau dipengaruhi Maryoto."
"Kenapa Maryoto memusuhiku?" tanya Tody.
Partono mengangkat bahu.
"Aku tidak pernah menyakiti hatinya," kata Tody perlahan.
"Tak pernah menyakiti hatinya?" ulang Partono sepatah-sepatah. Dia melekatkan tatapan ke
mata Tody.
"Apa alasannya memusuhiku?"
"Kau akan mengetahuinya nantinya."
"Kenapa? Kenapa? Kenapa?"
Partono cuma menggeleng, lalu kembali menatap kejauhan.
"Aku datang ke sini untuk kebaikan penduduk desa ini," kata Tody.
"Ya, begitulah memang. Tapi, tidak selamanya kebaikan akan menghadapi kebaikan. Tapi,
percayalah bahwa tidak seluruh penduduk desa ini membencimu. Hanya sebagian kecil saja. Jadi,
tak perlu terlalu kaupikirkan."
Dari celah ventilasi, sinar matahari memanjang lurus ke lantai. Matahari pagi. Tody masih
berbaring-baring di divannya. Dia menyimak nyanyian yang didendangkan Murtini dari dapur.
Belakangan ini gadis itu sangat penggembira. Sesebentar dia menyanyi. Dan, dia juga sudah
berani menyapa, "Hai, Mas Tody! Mandi dong!" Atau, "Nanti Mas Tody mau ke kecamatan? Saya
ikut ya?" Senyumnya yang semula selalu tersipu, kini telah mekar dalam lekukan yang lebih
kentara. Begitu pula matanya. Mata yang dulu tak pernah berani bertatapan lebih dari dua sekon,
kini berani lekat-lekat menatap. Bahkan sampai membuat Tody harus menelan ludah berkali-kali.
Tatapan gadis itu seakan mengandung sejuta misteri.
Tody menghitung hari-hari yang telah dilaluinya di desa itu. Telah banyak perubahan. Bibit
unggul yang di-BIMAS-kan telah mulai tumbuh. Tetapi, suasana lain ikut pula tumbuh. Kebencian
yang tersekap, dan cinta yang tersekap pula. Segalanya serba tersekap di desa ini.
KAU tak akan tahu seseorang membencimu, kecuali dari intuisimu yang menangkapnya lewat
pancaran matanya. Dan, kau tak akan tahu seseorang mencintaimu, kecuali intuisimu pula yang
memberitahu.
Begitulah Tody mencatat dalam buku hariannya.
Tiga bulan lebih aku di desa ini. Kemarin aku bertemu dengan Maryoto, dan aku melihat
keculasan di mata lelaki itu. Lelaki yang pernah mengenyam pendidikan tinggi di universitas itu,
jauh lebih berbahaya dari bajingan desa yang biasa. Ayahnya kaya, dan dia merasa menjadi
separo raja di desa ini. Apa yang kurang?
Dia tampan. Jauh lebih pintar dari pemuda desa yang lainnya. Andainya merayu, dia tentu lebih
pintar dari bintang-bintang film Indonesia atau India. Pastilah gadis-gadis di desa ini dan
sekitarnya akan bertekuk lutut. Bahkan istri-istri yang tak kuat iman pun bisa dibujuknya. Ini
menurut cerita Partono.
Padahal yang kulihat, tulis Tody dalam buku hariannya, tak lebih dari tatapan ular berbisa yang
menyimpan sejuta dendam. Apa penyebabnya, aku tak bisa mengetahuinya. Sebab, bibir lelaki
itu selamanya terkunci rapat. Atau barangkali dia menganggap aku merebut popularitasnya di
desa ini? Tapi, itu jelas tak beralasan. Aku selamanya diam-diam saja di rumah. Kalau keluar
pun, selamanya untuk urusan para petani. Tak pernah dengan gadis-gadis. Aku selamanya
menghormati dia seperti halnya aku menghormati penduduk terhormat lainnya.
Ah, peduli setan dengan lelaki itu. Biar dia membenciku. Peduli apa? Aku hanya menjalankan
tugasku. Ya, dia lebih baik dipersetankan saja. Biar dia tertimbun kebenciannya yang melingkarlingkar itu.
Cuma, soal mata Murtini yang makin lain maknanya. Tiap hari ketemu, kian sering pancaran itu
menelan masuk ke dalam kemisterian. Mata yang hitam jernih itu bersorot lunak, dan kelunakan
itu tambah merusuhkan hatiku. Bibirnya yang mungil, adalah pesona yang diam-diam melilit.
Berjalan di bawah matahari desa yang terik. Disungkup angin sepoi. Di atas tanah yang
bergeronjalan. Dan, berbicara, gadis itu kian dekat jua. Kalau tak salah, gadis itu telah
melepaskan jarum-jarum cinta lewat matanya. Di desa ini, segalanya dimulai dari mata. Sebelum
bibir terkuak bicara, mata telah lebih dulu menyampaikan pesan. Bibir bisa saja mengatakan,
“Pak Polan sudah panen”. Tetapi, matanya ternyata menyimpan cinta. Atau bibir mengucapkan,
“Gadis anu yang dilamar pemuda anu”. Padahal matanya menyorotkan harapan, “Aku pun ingin
kaulamar!” Ah, ah, ah!
Lalu Tody menutup buku hariannya dan menyimpannya ke dalam kopor.
Sekarang mereka pulang dari kecamatan. Di depan mereka tadi ada orang, tetapi orang itu telah
jauh melampaui mereka sebab mereka berjalan pelan-pelan. Jalanan lengang. Batu-batu
bergeletak ditimpa panas matahari. Pohon petai cina berjejeran di sepanjang jalan.
Tody malas berbicara. Sungkupan terik menyebabkan bibirnya kering. Sementara itu, Murtini
menenteng tasnya, juga tak berbicara. Butir-butir keringat menyembul di ujung hidungnya.
Tody menatap langit seraya berkata, "Kita harus buru-buru."
Mendung begitu cepat meredam panas matahari. Murtini ikut memandang ke atas. Maka mereka
bergegas melangkah. Angin menerbangkan debu-debu jalanan. Murtini terbatuk. Cepat sekali
keterikan itu: digantikan angin yang giris. Angin yang membawa uap air.
Tody mengedarkan pandangan berkeliling. Lengang. Hanya pohon petai cina dan jambu mete
yang terlihat. Jika hujan turun, ke mana harus berlindung? Ah, tetes-tetesnya mulai terasa.
Mereka semakin bergegas sehingga napas Murtini terengah. Tetesan hujan semakin kerap. Dan,
akhirnya merupakan rintik-rintik.
"Eh, wah, gawat!" kata Tody.
"Ya, gawat," kata Murtini, tetapi tangannya memegang Tody agar tidak berlari.
"Ayo," kata Tody seraya menarik tangan Murtini.
"Percuma. Toh kita akan basah juga."
Hujan tumpah dari langit. Pakaian gadis itu lekat ke badannya. Rambut basah. Lalu dia
mengambil saputangan yang tadi menutupi kepalanya. Sembari tertawa dia meremas
saputangan itu.
"Mandi," katanya. Suaranya yang penuh kegembiraan itu menjengkelkan Tody. Lelaki itu merasa
risi sebab air hujan masuk ke dalam sepatunya. Akan halnya Murtini, tenang-tenang saja
bergayut di lengannya. Gadis ini melangkah bagaikan menuju ke pesta. Tak ada lagi bagian
pakaian maupun badan yang kering. Seperti sengaja mandi di pancuran.
"Waktu kecil saya pernah mandi di bawah teritisan atap kalau hujan," kata gadis itu. "Tapi, kalau
ketahuan Ayah, saya dimarahi. “Anak perempuan tak boleh begitu,” katanya. Padahal saya
kepingin sekali mandi waktu hujan."
Tody tak menimpali. Dia mendan tetesan hujan mengalir di bibirnya. Terasa asin. Mungkin
bercampurdengan keringat dari wajahnya tadi. Namun, rasa haus toh lenyap pula.
"Waktu kecil, di kampung, Mas Tody sering mandi hujan?"
"Sering."
"Enak ya?"
"Ya."
"Mandi di teritisan juga?"
"Tidak. Di tengah padang."
"Wah, apa tak bahaya? Orang bilang, mandi hujan di tengah lapangan terbuka sangat
berbahaya. Bisa disambir petir."
"Ya. Tapi, kami tahu kapan saat-saat harus tiarap kalau kilat menyambar. Walaupun memang
ada juga yang tersambar kilat dan mati terbakar."
Kilat menyambar.
Murtini lebih bergayut lagi. Ketika petir menggelegar, gadis itu semakin rapat ke tubuh Tody.
"Kenapa harus ke padang?" tanya gadis itu meneruskan.
"Di situ lebih menyenangkan. Kerbau dan kuda-kuda ada di situ."
"Tapi, berbahaya. Seharusnya waktu hujan jangan ke padang."
"Seharusnya. Tapi, siapa yang takut hidup di tengah padang? Sama saja dengan nelayan. Orang
menganggap lautan berbahaya. Tapi, nelayan mana takut turun ke laut?"
Kilat menyambar lagi. Pemandangan terhalang oleh tirai hujan. Tody berusaha menatap
berkeliling.
"Ayo, kita ke sana!" Dia menyeret gadis itu ke pondok di tengah tegalan. Mereka melalui tanah
yang becek. Semakin jauh dari jalan desa, tanah semakin beriumpur. Mereka masuk ke pondok
itu. Murtini bersedekap sambil mengedarkan pandangan ke seputar tempat di bawah atap. Tody
mengeluarkan rokok dari kantongnya. Namun, seluruhnya kuyup. Tak mungkin bisa disulut. Di
luar, hujan masih menderu. Atap ilalang pondok itu melindungi mereka, tetapi rasa dingin
tetapmerayap-rayap.
Baju Murtini yang lengket ke tubuhnya menyebabkan bayangan lekukan tubuhnya semakin
kentara. Dia berdiri canggung. Terus-menerus menggigil kedinginan. Tody mencoba menyalakan
geretan gasnya. Berhasil. Di situ ada jerami dan ranting kering. Maka dia membuat perapian.
Kehangatan merambat perlahan.
"Ke sini, Tini."
Gadis itu melangkah hati-hati.
Tody mencangkung di dekat api, memanasi telapak tangannya. Di dekatnya, Murtini pun
memanasi telapak tangannya. Tody kepingin merokok. Maka dia melirik rokoknya yang basah.
Gadis itu tetap menggigil. Pakaiannya yang basah menghalangi kehangatan yang diberikan oleh
api. Bibir yang menggigil itu telah berwarna kebiruan. Air menetes dari rambut gadis itu.
"Siang yang brengsek!" ujar Tody.
Gadis itu mengangkat kepalanya sekejap. Dia merasa BH-nya yang basah lebih sempit dari
biasanya. Giginya gemeletuk. Rasa iba merayapi hati Tody.
"Dingin?" tanyanya sambil menyentuh bahu gadis itu. Dia tahu bahwa pertanyaan itu sebenarnya
tak perlu dilontarkan. Cuma, pertanyaan itu membuat Murtini menatapnya. O, wajah yang pucat,
bibir yang kebiruan, dan gigi yang gemeletuk. Kesemuanya membuat gadis itu seperti bayi yang
meminta perlindungan. Dan, matanya, matanya yang meminta perlindungan itu kian merasukkan
iba ke lekuk hati Tody.
Maka bahu Murtini dipeluknya. Kepala gadis itu dekat sekali dengan kepala Tody. Wajah yang
tengadah itu telah rapat ke wajah Tody. Keinginan untuk merokok membuat bibir Tody gatal.
Lalu, dia mencium gadis itu. Dia mengulum bibir yang menggigil itu.
Gadis itu merasakan kehangatan diperolehnya dari badan lelaki itu. Maka dia memeluknya kuatkuat
sehingga mereka terguling ke atas jerami kering. Air menetes dari baju mereka. Tetapi,
mana mereka menyadari?
Murtini menyerudukkan wajahnya serapat-rapatnya ke muka lelaki itu. Rambutnya yang basah
melilit leher Tody. Dan, gadis itu tergial manakala lehernya diseruduk ciuman Tody.
Air yang jatuh dari atap bagaikan tirai. Di luar pohon jambu mete hanya tinggal bayangan kabur.
Murtini tak kedinginan lagi. Mereka masih berguling di jerami kering. Badan mereka telah
menghangat.
Api gemeratak membakar ranting kering. Sepercik api melayang, hinggap di badan Tody. Nyeri.
Dia tersadar dan mencoba melepaskan pelukan. Murtini tak mau melepaskan pelukannya.
Matanya terpejam sehingga dia tak tahu api telah membakar jerami tempat mereka berguling.
Mendengar detas-detas jerami terkabar, Tody mendorong tubuh gadis itu dan bangkit buru-buru.
Murtini merasa sesuatu lepas dari dirinya. Bagaikan terbangun dari mimpi mendapatkan barang
berharga, dia membuka matanya untuk siap mengeluh. Maka dia melihat Tody yang sibuk
mematikan api yang menjalar di jerami. Lalu dia pun ikut mematikan api. Api di jerami mati.
Ranting-ranting tetap menyala.
Tody duduk. Murtini mendekatinya, dan ingin memeluknya lagi. Tetapi, lelaki itu berkata, "Wah,
pakaianmu jadi kotor."
"Biarlah." Tatapan mata gadis itu mengatakan bahwa dia masih ingin dicium, atau mencium lagi.
Maka Tody terombang-ambing perasaannya. Di pondok yang sepi ini, ada seorang gadis yang
punya bibir mengulum basah, punya mata yang meminta. Lalu, apa lagi yang dicari?
Tody merasakan debur-debur di dadanya. Jika itu terjadi, jjka ajakan mata yang meminta itu
dituruti, bagaimana? Dan, Tody menarik napas sepenuh dada, untuk meredakan debur-debur
yang tak menentu itu.
Murtini, setelah menunggu sekian lama dan pelukan tak kunjung terjadi, meraih tangan lelaki itu,
memegang jari-jari lelaki itu. Lalu dia mengaitkan jari-jari lelaki itu pada jari-jari tangannya
sendiri. Kemudian dia memuntirnya sambil matanya menatap lekat-lekat.
Debur-debur jantung Tody kembali bergolak. Dia seorang gadis yang punya sinar cinta di
matanya. Tetapi, aku tidak mencintainya. Jika itu kulakukan, ya, apa sulitnya membuka pakaian
gadis ini? Itu namanya keisengan. Itu noda. Suatu waktu aku akan meninggalkannya. Jika
keisengan semacam ini menimpa adikku, bisakah aku menerima? Jika anakku kelak
mengalaminya, bisakah aku mengutuk lelaki yang melakukannya?
"Aku tidak mencintamu, Tini," kata Tody dalam hati. "Karena itu aku tak berniat menjadikan kau
istriku. Karena itu aku tak mau menodaimu. Andainya aku mencintaimu, akan lain lagi soalnya.
Walaupun ujudnya serupa: persetubuhan, tapi bagiku maknanya sangat berbeda. Jika aku
melakukannya pada dirimu, itu namanya penodaan. Tapi, jika kulakukan pada orang yang
kucintai, ya, bagiku itu baru percintaan. Cuma, bagaimana membedakannya? Kau tak akan tahu.
Orang lain tak akan tahu. Yang tahu hanya aku. Sebab, aku merasakan cinta itu dalam denyutdenyut
darahku. Aku bisa membedakan mana keisengan, mana cinta."
Jari-jari gadis itu masih meremas-remas jari-jari Tody. Hujan tinggal rintik-rintik.
"Ayo, kita pulang," kata Tody.
Murtini tersentak.
"Pulang?" Dia menatap ke luar. "Tapi, masih hujan."
"Tak apa-apa. Kita jalani saja."
"Mas Tody...," keluh gadis itu.
Tody tak menjawab. Dia bangkit, tetapi Murtini menahan tangannya. Lalu memeluknya, dan
menciumnya. Tody membalas sesaat. Menggigit pelahan bibir gadis itu. Kemudian mendorong
tubuh gadis itu pelahan pula.
"Sudah pengalaman kau rupanya," kata Tody disertai tawa.
Murtini tersentak. Kemudian terpana. Pelahan wajahnya yang bergairah berubah menjadi layu.
Tody tak memperhatikan hal itu. Dia nekat berdiri, dan Murtini bangkit mengikutinya. Wajah
gadis itu menekuri tanah. Dia mengiggit bibirnya. Hatinya rusuh.
"Sudah pengalaman kau rupanya." Ucapan ini menghujam berkali-kali ke telinganya. Dia melirik
lelaki itu. Tetapi, Tody asyik memilih tanah yang akan dipijaknya.
Sudah pengalaman kau rupanya. Kalimat ini berputaran tak henti-hentinya, mengguncangguncang seluruh lekuk hati Murtini.
Sisa hujan kemarin masih nampak di tanah. Becek. Dan, jalanan ke dukuh di bukit adalah tanah
liat licin. Tetapi, Tody tak membatalkan niatnya ke dukuh itu.
Baru beberapa tanjakan dilaluinya. Masih jauh. Tanah merah menempel di sol sepatunya. Berat
untuk melangkah. Dia lepas dari jalan menurun yang satu, dan di depannya tegak Maryoto.
"Selamat pagi," sapa Tody.
Maryoto cuma berguman.
"Mau ke dukuh sana?" tanya Tody.
Maryoto tak menjawab. Matanya menyelidik-nyelidik.
"Ada apa?" tanya Tody curiga.
"Ada yang mau saya bicarakan," kata Maryoto sepatah-sepatah.
"Ya? Ah, kebetulan sekali. Saya juga kepingin sekali bicara dengan Bung."
Kening Maryoto berkerut. Dia melirik gerumbul semak di sampingnya. Terdengar suara
berkeresek disemak itu.
"Saya dengar Bung melarang petani-petani menerima bibit unggul. Bahkan sawah Bung sendiri
tidak boleh di-BIMAS-kan."
"Oh, ya?" kata Maryoto dingin.
"Saya ingin tahu alasan Bung."
"O, itu urusan saya sendiri. Itu sawah saya. Hak saya."
"Ya. Tapi, pemerintah mengharapkan sawah-sawah di sini di-BIMAS-kan."
"Tanpa BIMAS hasilnya sudah berlebih untuk kami sekeluarga."
"Peningkatan produksi bukan hanya untuk kepentingan pemilik sawah saja. Ini menyangkut
program pemerintah. Untuk kepentingan bersama."
"Hm," guman lelaki itu. "Saya tidak peduli segala macam program. Yang saya tahu, sawah-sawah
itu milik keluarga kami. Kami berhak sepenuhnya. Mau ditanami, mau dibiarkan saja, itu hak
kami. Tak ada yang bisa mengganggu gugat."
Tody terdiam.
"Sekarang saya mau bicara, tidak menyangkut BIMAS segala macam. Saya tidak peduli produksi
naik atau merosot."
"Ya?"
"Ini urusan pribadi. Pribadi saya dan pribadi Bung."
"Maksudmu?"
"Saya harap Bung meninggalkan desa ini."
"Bah! Tugas saya masih lama di sini!"
"Saya tak suka melihat Bung di sini."
"Bah." Tody tertawa kecil. "Kenapa?"
Maryoto diam sesaat. Sikapnya sudah seperti koboi yang siap duel. Maka Tody menghentikan
tawanya.
"Saya tidak suka melihatmu, karena kau merayu Murtini!"
Jantung Tody berdetak lebih kencang.
"Saya lama hidup di kota. Karena itu saya tahu bagaimana kehidupan di kota. Saya tahu
bagaimana orang-orang di sana diperbudak nafsu. Pikiran orang-orang kota cuma seks! Saya
tahu betul itu. Empat tahun saya di universitas. Walaupun tidak mendapatkan apa-apa, tapi saya
tahu bagaimana kehidupan mahasiswa-mahasiswanya. Pacaran, lalu ditinggalkan. Setiap lelaki
ingin menyetubuhi pacarnya!"
"Hm, kau menyamaratakan dengan pengalaman sendiri," kata Tody datar.
"Begitulah kehidupan di kota. Karena itu, aku tidak ingin kau mempermainkan Murtini!"
Tody mengejek.
"Apa urusanmu? Ayah dan saudaranya tidak bilang apa-apa."
Kemarahan membakar wajah Maryoto pula.
"Karena mereka tidak tahu kebajingananmu!"
Tody melekukkan senyuman sinis. Dia mendengus. Dia muak melihat cara tegak lelaki di
depannya. Mirip bintang film Indonesia. Overacting.
"Bung, apa yang kauketahui tentang hubungan kami?" tanya Tody tawar.
"Kau merayunya!"
"Begitu? Nah, di sini kubilang bahwa aku tak pernah merayunya!" Lalu Tody membalik dan
melangkah.
"Tunggu!" bentak Maryoto.
Pelan-pelan. Tody membalik badan.
"Merayu atau tidak, kau tidak boleh mencintainya!"
Tody tertawa kecil. Ini menyakitkan telinga Maryoto.
"Mencintai atau tidak, itu bukan urusan Bung!"
Maryoto menahan gelepar kebencian di dadanya.
"Aku tidak ingin bermusuhan dengan kau," kata Tody, "tapi sikapmu selalu menantang. Apa
sebenarnya maksudmu?"
Maryoto mengigit-gigit bibir.
"Atau kau mencintai gadis itu?" kata Tody.
Darah Maryoto bergemuruh. Lebih-lebih melihat mata yang mengejeknya itu. Dia menaksir-naksir
tubuh langsing yang tegak di depannya.
"Kau tak boleh mencintainya!" kata Maryoto dengan suara gemetar.
Tody kembali tertawa. Lalu melangkah lagi.
"Kau harus meninggalkan desa ini!"
Tody hanya menjawab dengan tawa kecil, dan terus melangkah.
Maryoto memburu dan mencengkeram bahunya hingga Tody berhenti. Tody menatap tangan
yang mencengkeram bahunya.
"Aku tidak suka kekerasan," katanya lunak.
"Persetan! Kau perlu dihajar!" Dan, pukulan Maryoto hinggap di dagu Tody. Tody terbanting ke
tanah. Lalu bangkit pelan-pelan sembari mengusap dagunya. Maryoto tegak di depannya dengan
kaki terpentang.
"Kalau kau mencintai gadis itu, caranya bukan dengan memusuhiku," kata Tody.
Wajah Maryoto tambah menyala. Manakala bergabung dengan warna kulitnya yang sawo, jadilah
warna padam dan gelap. Dia menghunjamkan tinju. Tody mengelak.
"Jangan," kata Tody sembari mundur, tetapi, Maryoto tambah kalap. Dia menerjang, dan tanpa
diketahui bagaimana kejadiannya, tiba-tiba dia merasa tubuhnya terbanting ke tanah.
Sesaat dia terheran-heran. Tody tegak di depannya sambil berkata pelan, "Sudah kubilang,
jangan...."
"Terkutuk!" teriak Maryoto. Dia bangkit dan kembali menerjang. Hanya sedikit kelitan, lalu
pukulan Tody hinggap di rusuk lelaki itu. Maryoto tersedak. Kenyerian yang amat sangat dia
rasakan ketika dia jatuh lagi ke tanah.
Dia berdiri pelan-pelan, lalu maju dengan hati-hati. Dia bertanya-tanya dalam hati, bagaimana
mungkin kepalan yang tak begitu besar itu bisa menjatuhkannya. Kemudian dia maklum ketika
melihat sikap kaki dan pertahanan Tody dalam kuda-kuda kempo.
Lalu Maryoto berteriak, "Kalian kemari!"
Semak-semak tersibak. Muncul dua orang pemuda desa. Tody mengawasi bahu mereka yang
kukuh serta tangan mereka yang tegap. Tody menghela napas dalam-dalam. Tak terelakkan,
pikirnya.
Ketiga orang itu serentak menyerang. Tody mengelak dan kakinya masuk ke perut salah
seorang, dan kepalan tangannya menimpa wajah Maryoto. Kedua orang itu terbanting. Tinggal
seorang lagi berdiri melongong-longong. Yang tadi terkena terjangan di perut masih mengerangngerang.
Maryoto mengusap wajahnya. Sakit. Tetapi, lebih sakit lagi hatinya. Maka dia
menerjang lagi. Tanpa perhitungan. Tody berkelit, tetapi yang seorang lagi memukulkan
pentungan ke bahunya. Tody terjajar di tanah. Maryoto mau menerkam, tetapi dengan telak
tumit Tody masuk ke perutnya. Maryoto terbanting ke tanah. Pemuda yang satu lagi menerjang
dengan pentungan. Beberapa pukulan tiba di tubuh Tody yang masih menggeletak di tanah.
Namun, akhirnya Tody berhasil merebut pentungan itu dan langsung menerjang pemiliknya.
Tody bangkit sembari memijit-mijit bahunya. Linu. Untuk beberapa saat dia memperhatikan
ketiga orang yang mengerang-ngerang di tanah itu. Lalu dia meninggalkan tempat itu. Tak jadi
dia ke dukuh di bukit itu. Pakaiannya berlepotan tanah, dan bahunya terasa sakit.
Dia kembali ke tempatnya tinggal.
Murtini sedang menjemur padi ketika Tody tiba.
"Kenapa? Kenapa, Mas Tody?" tanyanya resah.
"Jatuh," kata Tody. Dia membasuh lengannya yang kotor dengan air dari gentong. Setelah
menanggalkan sepatunya, dia langsung masuk ke kamarnya.
Murtini mengikutinya.
"Jatuh di mana, Mas Tody?"
"Di bukit."
"Jalan licin. Ngapain ke sana?"
Tody tak menjawab.
Murtini berdiri di mulut pintu. Tody canggung menghadapinya. Sebab, sebetulnya dia mau
membuka bajunya.
"Ada luka?" tanya gadis itu.
Tody menggeleng. Dia cuma berharap, cepat-cepatlah gadis itu berlalu dari pintu itu. Tetapi,
gadis itu malah masuk.
Terpaksa Tody berkata, "Aku mau ganti pakaian, Tini. Keluarlah sebentar."
"Ah, tak apa-apa. Ganti saja."
Gadis itu duduk di kursi, dan membuka-buka buku di meja.
"Sudah?" tanya gadis itu kemudian.
"Ya," jawab Tody.
Gadis itu berdiri, lalu mendekat dan merapikan baju Tody.
Tubuh mereka berhadapan rapat. Tinggi gadis itu hanya sebahu Tody. Murtini berharap lelaki itu
akan merangkulnya. Lalu, juga menghimpitnya dalam ciuman. Tetapi, Tody tetap beku. Malahan
menjauhi gadis itu.
Murtini menghembuskan napas yang sejak tadi tertahan.
"Mas Tody," desah gadis itu.
Tody tak bereaksi. Dia tetap melangkah dan keluar dari kamar itu. Masih juga memijit-mijit
bahunya yang pegal.
Dan, Murtini pun keluar.
Gadis itu melihat Tody berdiri di depan rumah. Ingin sekali dia memanggilnya. Rumah kebetulan
sedang sepi. Dia ingin sekali mendesahkan kepada lelaki itu kata-kata, "Aku mencintai kau, Mas
Tody." Tetapi, lelaki itu begitu dingin. Dia tak mencintaiku. Aku sama sekali tak masuk hitungan
dalam hatinya.
Ah! Murtini mengeluh tanpa suara, dan tegak diam-diam di sudut ruangan tengah. Sementara
itu, jam dinding berdetik-detik di tengah ruangan yang hening.

Semakin berbahaya. Semakin dekat ke pinggir jurang. Binar-binar di mata gadis itu, bagaimana
menanggulanginya? Tody kian hari kian tersudut dalam kemelut. Hatinya rapuh sebab orangorang
di rumah itu teramat baik terhadapnya. Bahkan seperti membukakan kesempatan baginya
untuk mencintai gadis itu. Peluang-peluang telah terbuka. Tetapi, Tody tidak berani meraih dan
masuk ke dalam peluang itu.
Tiap kali muncul keinginannya merangkul Murtini, bayangan Irawati melintas. Gadis mungil
bermata sayu itu! Senyumnya seolah memperolok dunia. Bibir yang pernah dikulumnya di atas
rerumputan dan di bawah kerindangan pohon-pohon pinus di Kaliurang itu senantiasa
menghambat pikiran Tody. Pikiran untuk memasukkan gadis lain ke dalam hatinya.
Maka dia menjadi rusuh manakala Pak Kasmat dan Partono mengajaknya omong-omong.
Pembicaraan itu serius sebab keadaan di desa itu juga sedang serius.
"Orang-orang mulai memusuhimu," kata Pak Kasmat. "Ini kenyataan yang buruk. Memang bukan
seluruh penduduk desa membencimu. Tapi, ini bisa menghambat kelancaran tugas-tugasmu."
"Pokok pangkalnya dari Maryoto," kata Partono menimpali.
"Yah," desah Pak Kasmat. Keduanya lalu menatap Tody dalam-dalam. Maka Tody canggung
dibuatnya. Dia mengisap rokoknya kuat-kuat, memenuhi paru-parunya dengan asap, dan dia
hampir batuk.
Keadaan memang semrawut. Absurd. Tody sendiri sudah tak betah tinggal di desa itu. Dia ingin
cepat-cepat meninggalkan desa itu. Meninggalkan segala kemelut.
"Aku sendiri tidak tahu apa yang sedang mereka rencanakan," kata Partono. "Mereka sering
membuat pertemuan di rumah Maryoto."
"Di sini, sudah bercampur antara dendam lama dengan kebencian baru," kata Pak Kasmat.
"Tapi, kenapa Pak Hermanu bisa mereka pengaruhi? Orang tua itu selama ini cukup bijaksana
dalam menilai persoalan," kata Partono.
Tody tetap membisu. Lurah dan anaknya itu menatapnya lagi.
"Tentunya ini membingungkan kau," kata Partono. "Baiklah, kujelaskan. Di desa ini ada tiga
orang yang dihormati penduduk. Pak Tarmiji, Pak Hermanu, dan Ayah sendiri. Antara Ayah dan
Pak Tarmiji pernah timbul persaingan waktu pemilihan lurah. Waktu itu Pak Hermanu berpihak
pada Ayah. Pak Hermanu seorang yang berpengalaman. Dia pernah jadi polisi di zaman Belanda.
Dia pernah tinggal di banyak negeri. Ketika dia kembali ke desa ini, tujuan dia memang mencari
hidup yang tenteram. Itu sejak istrinya meninggal. Selamanya dia sangat bijaksana. Penduduk
desa yang mengalami kesulitan, selalu datang padanya untuk meminta nasihat. Andainya dia ikut
pemilihan lurah tempo hari, bukan mustahil dia yang menang. Tapi, dia tak tertarlk. Dia hanya
mau mendukung Ayah. Cuma, sekarang, entah kenapa berpihak pada Maryoto. Maryoto sendiri
sudah jelas, dia anak Pak Tarmiji. Dan, dia memang punya ganjalan pribadi dengan keluarga
kami." Partono menatap keluar lewat pintu. Di luar, kelam membatasi pemandangan. Suara
jengkerik berderik-derik. Terdengar pula suara kodok dari selokan.
Tody memperhatikan wajah Partono. Profil yang manis, dengan kulit warna sawo serta mata
lunak. Sebagai pemuda desa, dia terlalu halus. Andainya terus kuliah, pikir Tody, dia akan jadi
sarjana yang jujur. Pikiran itu terputus oleh suara Partono, "Sejak Murtini pulang dari Magelang,
Maryoto menginginkan jadi istrinya. Tapi, Murtini tak mengacuhkannya."
Dada Tody berdebaran. Dia ingat perkelahian di atas bukit. Mungkinkah orang-orang ini
mengetahui hal itu?
"Dan, sejak kau tinggal di rumah ini, Maryoto tentunya tambah panik. Tak diacuhkan Murtini saja
membuat dia blingsatan, apalagi melihat Murtini pergi berduaan dengan kau."
Tody memainkan geretannya untuk mengurangi kecanggungan yang menghimpit. Lampu gas
berdesah di atas mereka. Tentunya Murtini sedang berbaring di kamarnya. Mungkin dia tahu
pembicaraan ini. Tody mengeluh dalam dada.
"Nah, itulah soalnya," kata Partono.
Pak Kasmat menggulung rokok, lalu pelan-pelan membakarnya. Dan, pelan-pelan pula
mengisapnya. Segalanya berjalan pelan-pelan. Cuma, mata orang tua itu tak lepas dari wajah
Tody.
"Apakah kau sudah ada rencana untuk kawin?" tanya lelaki tua itu.
Tody gelagapan. Napasnya sesak.
"Maaf, Tody," kata Partono. "Kami akan berterus terang saja. Ini memang tidak sesuai dengan
adat kami, tapi keadaan mendesak. Kami ingin mengetahui, apakah kau mencintai Murtini?"
Segumpal napas menyekat tenggorokan Tody. Dadanya bagai disesaki oleh tekanan yang keras.
Kedua lelaki di depannya memperhatikan kerisauan di wajahnya.
Lalu Partono berkata lagi, "Apakah kau sudah mencintai seseorang di Yogya?"
Jantung Tody terperangah. Seandainya dia ikan, tentu sudah menggelepar.
"Ya," desahnya.
Partono dan ayahnya saling menatap, lalu keduanya menunduk. Mereka melepaskan keluhan
pula. Ruangan itu sepi. Detak-detak jam terdengar dari sudut ruangan. Suara kentongan dari luar
berirama memecah kesenyapan.
"Kalau begitu, kami terlalu gegabah menduga," kata Partono pelahan.
Tody tetap membisu.
"Tapi, waktu kutanya apakah kau sudah punya calon, kau membisu. Kenapa?"
"Ah," keluh Tody. Matanya menghunjam ke lantai. Di lantai itu bayangan Murtini membias.
Rambutnya yang diekor kuda, kuduknya yang bersih, serta lehernya yang jenjang. Leher yang
telah dicium Tody, di pondok waktu hujan turun dengan derasnya. Mungkinkah dia mengira aku
mencintainya? Berulang-ulang Tody berpikir.
Aku tak pernah merayunya. Aku bukan termasuk tipe perayu. Aku bukan semacam Anton, Udin,
atau teman-teman yang lihai berpacaran. Tetapi, kenapa aku dihadapkan pada kenyataan yang
seabsurd ini?
"Yah, kami terlalu gegabah menganggap kau mencintai Murtini," kata Partono lesu.
"Aku.... aku.... aku...." Namun, Tody tak mampu mengucapkan apa-apa. Dan, memang tak ada
perkataan yang siap dibukanya. Dia bingung.
"Kalau begitu, hanya kesalahpahaman. Maryoto mengira kau merebut Murtini," kata Pak Kasmat.
"Kalau dia tahu bahwa kau tidak mencintai Murtini, dia tidak akan memusuhimu lagi."
"Iya kalau Murtini mencintai dia. Kalau malah mencintai Tody?" keluh Partono.
Tody mengikuti tatapan mata Partono ke arah kelamnya malam. Partono lebih mengetahui isi
hati adiknya sebab gadis itu berkali-kali menanyakan keadaan Tody. Dan, Partono ikut
menghancurkan hati adiknya sebab mengatakan bahwa ada peluang untuk cinta. Maka Murtini
membakar dirinya dengan api cinta.
Sekarang dia akan terbakar hangus. Ah, Murtini. Partono mengeluh diam-diam. Mereka
dibesarkan berdua di rumah itu. Baru kemarin rasanya Partono melihat gadis itu berangkat
sekolah ke kota. Masih tampil sebagai gadis tanggung. Lalu, setiap pulang dari kota, dia telah
begitu cepat menjadi gadis dewasa.
Ah, ternyata lelaki itu tak mencintainya. Bahkan sudah punya calon di kota. Ah! Partono
termangu-mangu. Dia tak mendengar ketika ayahnya berkata, "Andainya kau belum punya
seseorang yang kaucintai, kami senang sekali menerimamu di rumah ini sebagai bagian dari
kami, Nak Tody."
Ludah menyekat kerongkongan Tody.
"Tapi, begitupun janganlah berubah. Tetap jalankan tugasmu. Kami akan tetapi membantumu."

Burung berkicau di pohon dekat jendela. Tody merasa ludahnya getir. Terlalu banyak merokok
tadi malam. Matahari mengirimkan sinarnya lewat celah jendela. Tidak seperti biasanya, Tody
malas bangun. Tubuhnya lunglai. Dia malas untuk melakukan apa pun. Dia ingin tiduran saja -
kalau bisa -seharian di kamar yang tertutup itu. Tetapi, itu tak mungkin dilakukannya. Dia tetap
harus bangkit.
Cahaya pagi menyergap pupil matanya. Silau. Ternyata dia terlambat bangun. Rumah sudah
sepi. Dia tak lagi berlari ke pancuran.
Dia tak ingin berkeliling. Dia tak ingin melihat-lihat sawah hasil BIMAS. Persetan BIMAS.
Tubuhnya letih.
Dia berbaring-baring di kamar. Matahari bergeser di langit. Bayangan-bayangan benda kian
memendek. Berbagai wajah memintas dalam kepala Tody. Irawati, Widuri, Murtini, ibu Irawati,
ibu Murtini, ibunya sendiri di Flores sana. Lalu Partono, Margriet, Maryoto, Pak Kasmat, Pak
Hermanu, Widuri, Irawati, Irawati, Irawati.
Pintu depan berderit. Murtini pulang dari mengajar. Tody tak ingin bertemu dengan gadis itu.
Terdengar suara langkah di ruang tengah. Lalu pintu kamar Tody tersibak sedikit, dan terdengar
suara pelahan, "Mas Tody?"
Tody pura-pura tidur. Tetapi, Murtini menguakkan pintu dan masuk.
"Mas Tody," kata gadis itu lagi.
"Ya?" Tody bangkit.
Murtini tegak di depannya dengan matanya yang murung bagai mata kucing sakit. Maka kemelut
kembali melilit hati Tody.
"Saya sudah mengetahui pembicaraan Mas Tody dengan Ayah dan Mas Tono tadi malam."
Tody duduk di pinggiran divan. Gadis itu menjejerinya.
"Saya pun sadar bahwa saya terlalu berani mencintaimu," kata Murtini dalam suara tersekap.
Tody masik juga diam.
"Tapi, bagaimanapun saya tidak akan melupakanmu, sekalipun saya sadari bahwa saya tidak
cukup berharga untuk mendampingimu." Gadis itu gemetar menahan isak.
Tody luluh mendengar suara yang murung itu.
"Saya memang tak berhak mendapatkan cintamu," kata gadis itu. Lalu dia menengadah
memandang wajah Tody. "Tapi, saya tetap akan mencintaimu walau saya tak berharga sama
sekali."
"Ah, jangan begitu, Tini," kata Tody cepat-cepat untuk mengatasi gemuruh di dadanya.
"Ya, saya tak berharga sama sekali. Sebab, sebab..." Gadis itu menangis.
Tody memegang bahu gadis itu. Maka gadis itu tambah terisak.

"Sebab, di kota.... saya.... telah.... telah kehilangan kesucian saya....," kata gadis itu tersendat.
Lalu dia bangkit dan meninggalkan tempat itu. Hampir berlari dia berlalu.
Tody terpaku. Pintu masih terbentang, tetapi dia menatap kekosongan. Di luar, anak-anak ramai
memanjati pohon sawo. Tetapi, yang terdengar oleh telinga Tody hanyalah isak tertahan seorang
gadis.

Yang Terhempas
POHON asam jawa di sepanjang jalan di depan Perpustakaan Universitas Gadjah Mada
meluruhkan daun-daun majemuknya. Ada yang melayang-layang sebelum tiba di tanah.
Terkadang buah asam yang sudah tua mengelotok menimbulkan detasan yang agak keras. Bijibiji
asam bertebaran, disusul oleh kulit asam jawa yang coklat.
Lalu angin yang ditimbulkan oleh knalpot motor dan mobil menerbangkan daun-daun halus dan
kulit asam itu. Lebih bertebaran lagi. Lebih tersingkir dari jalan aspal. Kemudian tercampak ke
rerumputan di pinggir jalan. Sepasang kaki menapaki rerumputan itu. Pemilik kaki itu berjalan
dengan menekap buku-bukunya di dada. Membisu. Menekuri kehijauan. Tiba di gerbang
perpustakaan, dia membelok. Masih menunduk. Menatap buku-buku di dadanya. Menekankan
agak kuat buku-buku itu ke atas tonjolan di dada, dan berpikir, sesungguhnya sudah
sepantasnya ini digumuli mulut seorang bayi.
Widuri masuk ke perpustakaan. Di dalam, hening dan sejuk. Beberapa mahasiswa duduk tanpa
suara di kursi-kursi yang berderet.
Di kampus, tak ada lagi kegiatan setelah Mapram berakhir. Yang ada tinggal kuliah-kuliah. Dan,
Widuri ingin mengejar ketinggalannya dalam studi. Tiap hari dia membenamkan diri di
perpustakaan itu. Dia bertekat, harus bisa menyelesaikan sarjana mudanya tahun ini. Setelah itu,
ke doktoral! Lalu, dotoranda! Lalu apa? Menjadi pegawai di salah satu perusahaan. Lalu? Lalu?
Lalu?
Dan, dia menghela napas dalam-dalam, merasakan kesepian yang mencekik. Inikah hidup yang
harus dilaluinya? Karir? Kembali dalam kesendirian yang menerkam-nerkam.
Widuri membuka-buka halaman bukunya tanpa semangat. Deretan huruf dan gambar grafik di
situ tambah meruwetkan pikiran. Di kamar asrama, buku ini pun menimbulkan kejengkelan. Di
sini juga. Sebaris kalimat pertama hanya merupakan kata-kata bahasa Inggris cetak. Otak Widuri
malas untuk mengolahnya menjadi sebuah makna. Dia benci pada buku itu. Benci! Benci!
Tetapi, ujian ulangan tinggal dekat hari. Dia tak ingin jatuh dalam ujian nanti. Harus lulus. Ya,
lulus. Tapi, setelah itu, apa? Buat apa cepat-cepat lulus? Setelah lulus toh tak punya lagi
kegiatan-kegiatan di kampus. Yang ada cuma pekerjaan. Lalu, kesepian yang pasti melilit. Lebihlebih
lagi penilaian masyarakat: ah, perawan tua itu!
Jika kegiatan di kampus berakhir, maka mulailah himpitan ini. Ah, jika saja Faraitody berada di
kota ini. Dari Asrama Syantikara ke Asrama Realino taklah jauh. Akan kudekati dia. Takkan
kubiarkan kesepian ini menikam lebih lama lagi. Takkan kubiarkan malam-malam penuh
keseganan yang tak berujung pangkal ini. Akan kuhilangkan malu-malu yang menimbulkan
kesepian ini. Akan kumulai agresivitas yang pasti akan mengagetkannya.
Tapi, mungkinkah? Mungkinkah? Mungkinkah aku dapat mendekatinya? Sanggupkah aku,
padahal aku telah tahu bahwa dia bercintaan dengan gadis lain? Sanggupkah aku jadi perusak
cinta milik dua orang yang berkasihan? Oh, alangkah terkutuknya perbuatan itu! Aku tidak
sanggup. Biarlah dia dengan gadis yang dicintainya bahagia.
Dan, Widuri tersentak lantaran suara di dekatnya, "Hai, jangan melamun, Mbak!"
Dia mengangkat kepala. Oh, Irawati tegak di situ. Tersenyum-senyum. Matanya yang hitam
seperti menertawakannya.
"Kok melamun sih? Ayo, kita jalan-jalan."
"Duh, aku mau ujian, Dik Ira."
"Alaaa, tinggalkan sesekali buku-buku itu."
Mereka bertatapan. Widuri memperhatikan pakaian mini gadis itu, yang membalut tubuh yang
mungil.
Maka Widuri menarik napas dalam-dalam.
"Ayolah, Mbak. Aku lihat Mbak tadi masuk ke sini. Aku panggil-panggil nggak nyahut. Sewaktu
berjalan pun Mbak melamun. Mikirin apa sih?"
"Tidak, tidak ada," kata Widuri cepat-cepat.
"Kalau begitu, ayolah jalan-jalan."
"Ke mana?"
"Ke mana saja. Nonton kek, lihat-lihat ke Malioboro kek."
"Ah, dengan membawa buku-buku begini?"
"Apa salahnya?" Lalu Irawati merapikan buku-buku Widuri, dan sekalian memasukkan ke dalam
tas.
Kemudian menarik tangan Widuri dan menyodorkan tas itu.
"Ah, aku mau ujian, Dik Ira," kata Widuri separo mengeluh. Tetapi, Irawati tetap menarik
tangannya sehingga gadis itu terpaksa berdiri.
"Nah, gitu dong."
Mereka keluar dari perpustakaan. Sampai keluar dari halaman, belum ada yang memulai bicara.
Irawati berjalan dengan langkah berayun. Rambutnya tergerai hingga bahu. Sepatunya berwarna
putih, tinggi hingga betis. Widuri melangkah seperti biasa: pelahan dan menunduk.
Kini mereka di kerindangan pohon asam jawa.
"Lama juga Mas Tody pergi," kata Irawati. Dan, dia melihat ketersentakan wajah Widuri.
Irawati tersenyum.
"Panas ya, Mbak Wid?" tanyanya kemudian.
"Ya, panas," jawab Widuri dalam desah.
"Di desa, Mas Tody tentunya kepanasan juga," kata Irawati.
Sebongkah duri mengganjal di lekuk hati Widuri sehingga dia sukar bernapas. Apa sebenarnya
yang dimaui gadis ini? Kenapa dia menyindir-nyindir begini?
"Mbak sudah lama mengenal Mas Tody ya?"
"Yah."
"Bagaimana sebenarnya dia?"
"Aku tak tahu."
"Tabiatnya, bagaimana sebenarnya?"
"Aku tak tahu."
"Selama bergaul dengan dia, tentunya Mbak tahu, apakah dia pemarah, gampang tersinggung,
penggembira, atau bagaimana."
"Aku tak terlalu akrab dengan dia. Aku tak tahu tabiatnya."
"Ah, masak iya?" kata Irawati diiringi tawa renyah.
Widuri diam. Matanya terhunjam ke tanah, ke sampah yang bertebaran di tanah. Di sampingnya,
Irawati tertawa-tawa. Oh, orang macam apakah sebenarnya gadis ini? Widuri mengeluh. Belum
pernah dalam pergaulannya dia bertemu dengan gadis macam Irawati ini.
"Mas Tody itu kelihatannya diam, tapi sebenarnya ganas. Nafsunya, wah!"
Jantung Widuri terperangah. Oh, gadis macam apakah dia ini?
Irawati meliriknya. Dia tersenyum melihat kekecutan wajah Widuri. Langkah mereka masih tetap
beraturan.
"Kami pernah ke Kaliurang," kata Irawati. "Di situ baru kelihatan belangnya. Selama ini dia
kelihatan soleh sekali. Padahal, wah!"
Widuri menelan ludah yang menggumpal di tenggorokannya.
"Tapi, aku mencintainya," kata Irawati. Lalu dia mengintai lagi reaksi Widuri. Namun, yang
terlihat hanya kebekuan di matanya dan di bibirnya yang bertaut dingin. Padahal yang sedang
bergolak di dalam adalah kekacaubalauan. Nyeri segenap relung hatinya.
Irawati mencari-cari kata-kata yang lebih efektif.
"Dia tidak sama dengan lelaki yang pernah kukenal," katanya kemudian.

Sama atau tidak, apa peduliku? Tetapi, ucapan itu hanya ada dalam dada Widuri yang bergelora.
"Mbak tahu bagaimana aku menaklukkannya?"
Widuri tetap diam.
"Agak lama prosesnya. Dia kerap lewat di depan rumahku. Pura-pura bertamu di rumah
tetanggaku.
Tetapi, matanya selalu terarah padaku jika kebetulan aku duduk di teras. Waktu Mapram itu, aku
tidak menyangka dia jadi ketua panitia. Kebetulan sekali aku pingsan. Kemudian, setelah itu dia
menyuruhku datang ke kantor. “Kau tak usah ikut Mapram,” katanya.
“Tapi, saya kepingin dapat ijasah,” kataku.
“Ah, ijasah soal gampang,” katanya.
Begitulah makanya terpaksa aku menemaninya di kantor panitia. Waktu pulang, sebenarnya aku
sudah punya pengawal. Tapi, dia bilang, “Aku yang mengantarmu.”
“Ah,” kataku. “Nanti pengawal saya marah.”
“Akan kuhadapi,” katanya.
Aku masih keberatan, tapi dia bilang, “Kau butuh ijasah tidak?” Ya, terpaksa aku mengalah."
Widuri membisu,
Irawati tersenyum-senyum.
"Lalu, ketika tiba di rumah, ketika aku memijit bel, dia memegang tanganku. Kemudian memutar
badanku hingga menghadapnya. Kemudian, kemudian, dia menciumku."
Benci, muak, dongkol berbauran jadi satu di dada Widuri. Tetapi, dia tetap diam. Tidak mungkin
Mas Tody akan berlaku seperti itu! Aku mengenalnya bertahun-tahun. Dia tak pernah sebiadab
itu! Widuri membantah dalam hati. Tak tersuarakan.
"Aku marah-marah. Tapi, katanya, “Sorry, soalnya aku tak tahan. Lama sekali aku menunggu
kesempatan seperti ini. Lama sekali aku memendam rasa. Sejak lama aku mencintaimu, Ira.” itu
katanya. Dan, hatiku pun jadi lemah. Kalau dia memang sudah sejak lama mencintaiku,
kenyataan itu memang tak terelakkan. Dan, sejak saat itu, aku pun ingin mengenalnya lebih
dalam."
Widuri membisu sekalipun di dadanya bertimbun sejuta kata. Dia ingin membantah cerita itu. Itu
semua bohong! Bohong! Bohong!
"Boleh nggak ya, datang ke desa tempat tugas Mas Tody?"
Widuri tak menjawab.
"Boleh nggak ya?" ulang Irawati.
"Kenapa tidak?" kata Widuri tanpa mengangkat kepala.
"Aku kepingin menemuinya. Aku rindu."
Widuri menatap langit. Biru dan bersih. Matahari di timur semakin merambati kaki langit.
"Aaah, panas sekali," kata Widuri. "Kepalaku Pusing. Aku mau pulang saja, Dik Ira."
"Eeeh, kok pulang?"
"Pusing. Padahal aku harus ujian,"
Tanpa menunggu jawaban Widuri membelok ke kiri. Ini tidak sopan. Sangat tidak sopan,
pikirnya. Tapi, persetan dengan kesopanan! Gadis itu membuat kepalaku pening. Bukan hanya
pening. Bahkan nyeri! Nyeri! Nyeri! Widuri melangkah cepat-cepat.
Irawati kepingin tertawa. Dia berhenti melangkah untuk mengawasi tubuh dengan blus hijau
muda itu semakin menjauh. Ternyata betul yang kuduga, pikirnya. Dia mencintai Mas Tody. Ahha,
ternyata betul. Dia marah mendengar ceritaku. Cerita bohong. Ah-ha! Lalu Irawati berjalan
pelan-pelan dengan mengayun-ayunkan tasnya.

Kenapa dia selembut itu? Tentunya dia masih suci. Tentunya dia diinginkan banyak lelaki.
Tentunya Faraitody pun menyukainya. Wajahnya yang melankolis itu, wajah yang keibuan itu,
tentunya menimbulkan simpati di hati banyak lelaki. Cuma, dia pura-pura tak menyadari. Tetapi,
dengan sikapnya itu, dia tambah anggun. Bagai dewi-dewi yang memandang kesibukan manusia.
Dengan matanya yang jernih, dia menatap manusia-manusia.
Itulah dia: Widuri. Dan, Irawati berusaha mengusir bayangan gadis itu. Tetapi, tatapan mata
gadis itu terus melekat dalam pikirannya. Tatapan yang seakan berkata, "Aku selamanya
bersikap baik padamu. Aku selamanya melindungimu waktu Mapram. Kenapa kau membalas
dengan tuba? Sikapmu, Dik Ira, membuat aku menelan racun yang kausodorkan. Hatiku sakit,
Dik Ira. Sakit sekali!"
Irawati mengedikkan kepala, mengembalikan jurai-jurai rambutnya yang jatuh di kening. Ya, dia
baik sekali. Tapi, kenapa begitu baik? Apa maksudnya? Karena dia berwajah melankolis? Karena
dia punya senyum sentimentil? Karena tiap mahasiswa respek padanya? Itukah penyebabnya?
Ya, itulah. Dia ingin memperlihatkan kelebihannya dan keistimewaannya. Dia ingin menunjukkan
bahwa dia seorang gadis yang sempurna. Dan, aku hanyalah gadis liar. Murah.
Nah, itulah. Dia ingin menyodorkan susu sebab khawatir menerima tuba dalam kehidupannya.
Dia baik padaku karena khawatir aku merebut pacarnya. Tapi, tunggu dulu! Dia baik padaku
sebelum aku mengenal Tody. Ya, sebelum aku kenal Mas Tody, dia sudah melindungiku dari
gojlogan para senioren.
Kalau begitu, kebaikan-kebaikannya adalah untuk menyempurnakan image dirinya sebagai gadis
yang lembut, suci, dan berhati mulus. Lantas aku ini apa? Seorang gadis liar. Berhati culas.
Bernoda. Jahat. Kejam. Dibandingkan dengan dia, apalah artinya aku! Masuk Gadjah Mada
dengan sogok. Baca buku bahasa Inggris tak becus. Bergaul dengan anak-anak yang kebanyakan
bukan mahasiswa, kebanyakan jebolan sekolah. Padahal, dia aktivis kampus. Mulai rektor sampai
dengan profesor, juga mahasiswa-mahasiswa mengenalnya. Apakah aku ini dibanding dia?
Irawati menatap bunga-bunga yang bermekaran di halaman rumahnya. Pilar teras tegak diamdiam
menyangga atap. Di pilar itu, melilit jalaran anggur. Di tengah halaman, tumbuh
seonggokan perdu mawar. Bunganya menyala. Bunga melati menghiasi teritisan. Putih. Lalu,
bunga anyelir yang bergoyang-goyang ditiup angin. Tangkainya yang panjang meliuk-liuk.
Gadis itu meneliti kukunya. Warna jambonnya masih menyala. Dan, dia ingat kuku-kuku Widuri
yang tidak berwarna, tetapi menarik. Segala perujudan gadis itu mencerminkan kehalusan jiwa,
pikir Irawati. Kenapa dia bisa begitu? Kenapa dia bisa menjaga kesucian? Orang semacam itu,
tentulah akan mendapatkan jodoh orang yang suci pula. Seorang lelaki yang berhati tulus. Lelaki
semacam.... ya, Faraitodylah. Lelaki yang mencintainya tanpa cabang di hatinya. Dan, ya,
tentunya Faraitody pun mencari perempuan yang keibuan.
Faraitody akan mengabaikan aku kalau dia lebih mengenal diriku. Dan, tentunya dia akan
berpaling pada Widuri kembali. Setinggi-tinggi burung, dia akan mencari tempat bertengger yang
dirasa paling sesuai. Burung merpati tidak alan bertengger di rumpun bambu yang meliuk-liuk
ditiup angin. Maka Irawati menghembuskan napas panjang-panjang, lalu memandang kamarnya
lewat jendela yang terpentang. Terlihat sebagian wajah Mick Jagger yang melekat di dinding.
Wajah lusuh tetapi menyimpan pesona.
Irawati bangkit. Dia ingat telah berjanji dengan teman-temannya. Kemudian dia tersenyumsenyum.
Sewaktu berjalan ke kamarnya, tiba-tiba muncul ide yang cemerlang. Dia ingin
membuat surprise untuk teman-temannya. Bukankah surprise jika dia bisa datang dengan
seorang gadis baik-baik, seorang mahasiswa hampir doktoral, dan diduga keras masih perawan?
Maka Irawati menggelinding ke kamarnya dan berganti pakaian. Tak lama kemudian dia telah
meluncur dengan skuternya di jalan raya. Angin menerpa wajahnya dan mengibar-ngibarkan
rambutnya. Dia merengut ketika seorang pemuda memacu Yamahanya dan menjejerinya. Dan,
dia mencibir ketika pemuda itu menyapanya, "Hai."
Siang seperti ini, tentunya Widuri berada di perpustakaan lagi. Ke sana tujuan Irawati. Dan,
memang gadis itu sedang melamun menghadapi bukunya.
Dari pintu Irawati telah memasang senyumnya.
Widuri mengeluh dalam dada. Irawati duduk mendampinginya.
"Ayo, jalan-jalan, Mbak," kata Irawati.
"Aku harus belajar, Dik Ita."
"Alaaa, tiap kali aku ajak jalan-jalan, Mbak nggak mau. Kenapa sih?"
Widuri tak menjawab.
"Ayolah kita jalan-jalan. Berdua saja."
Widuri tetap diam.
"Mbak Wid kenapa sih kok kayak memusuhi aku?"
"Kapan aku memusuhimu?" kata Widuri gugup.
"Ya, buktinya tak pernah mau bergaul dengan aku."
Widuri mengeluh.
"Apa sih salahku?" tanya Irawati.
Widuri menyusut-nyusut halaman bukunya.
"Mbak kayak mendendam padaku," kata Irawati.
Napas Widuri terasa sesak. Mereka berbicara dengan suara berbisik. Tetapi, ucapan-ucapan
gadis itu
menghunjam sekuat-kuatnya ke hati Widuri. Irawati memegang pergelangan tangan Widuri, dan
memijitnya.
"Ayo, dong."
"Lusa aku ujian, Dik Ira."
"Malah kebetulan. Hitung-hitung rekreasi, biar pikiran jadi tenang, Mbak."
Widuri menimbang-nimbang.
"Ayo, dong, Mbak. Biar orang melihat bahwa sebenarnya kita ini akur."
"Akur?"
"Ya, soalnya banyak orang mengira kita ini bersaing."
Dada Widuri kembali sesak. Bahkan lebih terhimpit.
"Ada yang bilang, aku merebut pacar Mbak."
"Ah," keluh Widuri dengan napas serabutan.
"Padahal aku tidak merasa begitu. Atau, apakah memang benar, Mbak Wid?" Mata Irawati
menghunjam pada wajah Widuri, membuat gadis ini merasa giris. "Betul, Mbak Wid?" ulang
Irawati.
Widuri mencoba tertawa, tapi sumbang. Lalu katanya, "Ah, siapa bilang?"
"Ada. Hatiku sakit. Orang-orang menuduhku menyakiti hati Mbak Wid. Padahal aku sama sekali
tak merasa begitu. Aku tak pernah mengetahui bahwa Mas Tody pacar Mbak Wid. Kalau itu
betul, aku bersedia mundur. Aku akan menarik diri."
"Ah," keluh Widuri lagi. Lebih tersendat.
"Apakah yang dibilang orang-orang itu benar, Mbak Wid?"
Widuri menggeleng.
"Tidak," katanya.
Irawati melepaskan napas lega.
"Ah, syukurlah," katanya.
Widuri pun melepaskan napas, tetapi bukan napas lega. Napas murung.
"Kalau begitu, ayolah jalan-jalan, Mbak. Biar orang melihat bahwa di antara kita sebenarnya tidak
pernah ada permusuhan."
"Jalan-jalan ke mana?" tanya Widuri tanpa semangat.
Irawati tersenyum.
"Kita ke Kaliurang. Aku punya bungalow di sana. Kita omong-omong. Kalau Mbak Wid tidak mau
omong, ya belaiar di situ. Aku juga mau membaca."
Widuri menyusun buku-bukunya pelan-pelan, dan memasukkan ke dalam tasnya. Seulas senyum
tak pernah lepas dari bibir Irawati. Lalu dia menggandeng lengan Widuri dan menariknya cepatcepat
meninggalkan perpustakaan. Mereka melaju di jalan menanjak. Sepanjang jalan dinaungi
pohon-pohon mahoni. Pepohonan berlari kebelakang, berlawanaan dengan arah mereka.
Musik keras yang hingar-bingar terdengar dari bungalow itu.
"Lho, kok ramai?" kata Widuri.
"Wah, rupanya teman-temanku ke sini. Kok mereka nggak bilang ya?" Wajah Irawati keruh,
"Bagaimana cara mengusir mereka?"
"Kenapa diusir?"
"Mereka akan mengganggu ketenangan kita."
"Kita duduk di luar saja."
Lalu mereka berdua melangkah pelan-pelan. Telinga Widuri sakit mendengar lagu-lagu yang
hingar dari tape stereo.
"Kita masuk sebentar ya, Mbak? Biar jangan dianggap sombong," kata Irawati.
Widuri mengangguk.
"Hai, Ira!" Seorang pemuda jangkung berambut gondrong bangun dari duduknya.
"Hai, Yan!"
Widuri mengedarkan pandang ke seputar ruangan. Anak-anak muda, lelaki dan perempuan,
duduk seenak mereka. Malah ada yang tiduran di lantai.
"Lama kami menunggu. Eh, ini siapa?"
"Oh, ya. Ini Mbak Wid. Perkenalkan, Mbak, ini Yanuar."

Widuri cuma bergumam sementara tangannya diremas seorang pemuda. Kemudian dia
mengangguk kepada yang lain. Dia duduk di kursi. Kepalanya pening mendengar jreng-jreng
musik di ruangan itu. Orang-orang muda di situ, terkontak, mengetuk-ngetukkan kaki ke lantai.
Alangkah bebasnya anak-anak ini, pikir Widuri. Lelaki-perempuan tak canggung-canggung saling
merangkul. Malahan ada yang bercanda di lantai, bergumulan sambil tertawa-tawa. Kayak anak
kucing. Bising!
Widuri berkali-kali melirik Irawati. Dia berharap, gadis itu mengajaknya keluar dari tempat itu.
Tetapi, Irawati sudah terlibat pembicaraan gembira dengan teman-temannya. Tak mungkin
menariknya keluar dari kegembiraan itu.
Udara di gunung itu sesungguhnya sejuk. Tetapi, karena anak-anak muda itu menutup seluruh
jendela, musik menerjang-nerjang gendang telinga, dan hidung harus mengisap udara penuh
asap rokok, maka kesejukan udara gunung hilang. Bau udara langu. Aneh, pikir Widuri. Dia ingin
keluar, tetapi Yanuar mengajaknya bicara terus.
Irawati entah di sudut mana. Yanuar melihat keresahan di wajah Widuri. Wajah yang halus dan
takut-takut itu menggairahkan sekali. Maka lelaki yang separo kelopak matanya tertutup itu
tersenyum-senyum tak henti-hentinya. Asap rokoknya terus berkepulan.
Widuri merasa kerongkongannya getir. Haus. Lalu, seorang gadis menyodorkan minuman. Dia
langsung meminumnya. Anak-anak muda di situ mengegol-ngegolkan pinggulnya mengikuti
irama musik yang hangat. Segalanya centang-perentang di ruangan itu. Tingkah anak-anak
muda, musik, dan suara-suara gila, segalanya membuat kepala Widuri pening. Urat-urat di
pelipisnya tegang. Dia ingin keluar, ingin melepaskan diri dari libatan yang tak keruan itu.
Perasaannya sangat tidak keruan pula sekarang. Suatu perasaan yang betul-betul belum pernah
dialaminya. Pening, runyam, dan sebagainya. Kelopak mata berat. Layu segenap jaringan di
tubuhnya.
Dan, tubuh Widuri layu.

Bungalow telah sepi. Lampu-lampu menyala menerangi tempat Widuri berbaring. Widuri
menyalangkan mata. Sesaat dia terpana. Di mana aku berada? Yang menjawab hanya kesepian.
Juga tubuhnya yang lunglai. Seluruh persendian copot rasanya. Lalu dia ingat, dia ingat, dan dia
ingin menjerit. Tetapi, kerongkongannya tersumbat. Maka dia pun terkulai dalam isak. Menangisi
siang yang paling hitam dalam hidupnya.
Dia ingat, tubuhnya tadi lemah sekali. Lalu anak-anak muda itu, entah siap saja namanya,
bergantian... oh! Siapa yang duluan? Siapa? Siapa? Siapa? Siapa yang mengangkatnya ke
ranjang ini? Oh!
Widuri membenamkan wajahnya ke bantal. Menyekap mulut dan hidungnya agar tidak bisa
bernapas. Dia ingin mati dengan jalan tak bisa bernapas. Tetapi, paru-parunya melenting
sehingga peluang bernapas tetap ada. Dan, dia menangis berkepanjangan.
Oh, Irawati! Gadis itu pangkal bencana! Dia membawaku ke sarang binatang-binatang buas! Di
mana? Di mana dia sekarang?
Widuri bangkit terkapai-kapai. Memungut pakaian yang tergeletak diam-diam di lantai, dan
mengenakan pada tubuhnya yang layu. Dia melangkah bagai menyeret tubuh yang bukan
miliknya lagi.
Irawati duduk di ruangan tengah. Matanya tak berkedip memandang sosok yang keluar dari
kamar itu. Sejuta kutuk boleh tersekap dalam mata Widuri, namun yang nampak oleh Irawati
hanya mata yang sarat air mata.
"Irawati, kenapa kau sekejam ini?" Tersendat-sendat suara Widuri.
Irawati tak bereaksi. Dia mengisap rokoknya dalam-dalam.
"Apa salahku padamu?"
Tak juga menjawab Irawati.
Widuri memandang wajah gadis itu. Wajah gadis itu juga kusut. Rambutnya belum lagi dirapikan.
Orang semacam apakah sebenarnya yang duduk di depanku ini? Serigala berkulit gadis cantik,
pikir Widuri. Ya, di dalam matanya yang sayu itu ternyata tersimpan kebinatangan seekor
serigala.
Widuri bersandar di dinding. Dia mengawasi gadis yang duduk tak acuh di depannya.
"Apa salahku padamu, Irawati?" desah Widuri.
Irawati membersihkan kuku-kuku kakinya.
Di luar, senja telah menyungkup pegunungan. Matahari telah lenyap di balik punggung gunung.
"Katakaniah, Ira, kenapa kau begini kejam."
Irawati mengangkat kepalanya, sekejap.
"Pernahkan aku menyakiti hatimu?"
Irawati tak menjawab.
"Jawablah, Ira."
"Tidak," kata Irawati datar.
"Lalu, kenapa kau menjerumuskan aku seperti sekarang ini?"
"Karena kau terlalu baik!" Irawati melirik.
Jantung Widuri menggelepar. "Karena kau terlalu baik!" Tidak salahkan yang kudengar ini?
"Karena kau terlalu sempurna sebagai seorang gadis."
Widuri terpana.
"Karena kau memiliki segala yang baik, yang diinginkan setiap lelaki."
"Apa maksudmu?" Widuri terbata-bata berkata.
"Ya, karena kau terlalu sempurna, suci, dan mulia. Kau harus mengalami kejadian tadi. Ya, agar
kau tidak menyombongkan kesucianmu."
"Kapan aku menyombongkan diriku?"
Irawati tak menjawab. Widuri dilibat tanda tanya yang tak henti-hentinya mengalir di benaknya.
Orang macam apakah yang kuhadapi ini? Orang macam apakah ini? Dan, Widuri menjadi
ketakutan.
"Antarkan aku pulang," katanya kemudian. Terbata-bata.
Tanpa suara, Irawati bangkit. Mereka meninggalkan bungalow itu. Sesaat Widuri menatap
bangunan yang tegak membisu itu. Rumah yang bagus, rumah milik orang yang tak kekurangan
apa pun, tapi isinya kebinatangan seekor serigala.
Bunga-bunga di halaman tak lagi punya arti. Segala isi rumah itu adalah perlengkapan berlumur
dosa. Maka risau dan rusuh bergalauan di hati Widuri.

Menangis di kamar yang tertutup, menghujani bantal dengan air mata, menangisi kemelut yang
menggapai-gapai, menangisi tubuh yang lunglai, layu, kering, keropos, lungkrah, dan segalanya
terkumpul dalam tubuh Widuri. Dia merasa tubuhnya tinggal sisa sekarang.
Di kamar mandi, penghuni Asrama Syantikara bernyanyi-nyanyi. Lagu Tetty Kadi atau siapa,
Widuri tak sempat memikirkan. Dia sibuk meratapi nasib dirinya.
Karma apakah yang kualami ini? Kejahatan apa yang pernah kulakukan? Keterkutukan apa yang
telah diperbuat orang tuaku? Kenapa aku harus mengalami nasib seperti ini? Kehilangan kesucian
yang kujaga bertahun-tahun! Kesucian yang ingin kuberikan kepada lelaki yang kucintai. Ya,
lelaki yang kucintai! Ah, siapa? Siapa?
Gadis macam apakah gadis yang dicintai Mas Tody itu? Gadis perokok, bergulung-gulung dengan
anak-anak muda liar, berpelukan dengan lawan jenisnya, dan lelaki itu bukanlah Tody. Atau,
salahkah penglihatanku? Kenyataankah yang kulihat tadi? Aku melihat Irawati bergumul dengan
seseorang sambil tertawa-tawa. Pemandangan menjijikkan bertirai kepulan asap rokok yang
memengapkan. Realitakah itu? Atau, pemandanganku yang salah?
Kenyataan atau bukan, tidak jadi soal. Yang jelas, gadis itu telah menjerumuskanku ke jurang
paling berduri. Kenapa dia sekejam itu? Oh, gadis yang dicintai lelaki yang kucintai. Oh! Dia telah
menghancurkan seluruh kebanggaan yang kupertahankan selama bertahun-tahun. Dia
menjerumuskan diriku ke tempat kuku-kuku serigala. Serigala yang tentunya pernah
memamahnya pula.
Bagaimana harus menghindari tatapan sejuk mata suster pengawas itu? Suster tua berkerudung
dan berpakaian putih itu punya mata yang bisa menembus hingga lekuk hati gadis-gadis asrama
itu. Senyumnya yang selamanya menyayang itu bagaimana mungkin mengelakinya, jika dia
bertanya, "Apa yang kautangisi, Widuri?"
Pertanyaan suster itu tidak akan serupa dengan pertanyaan teman sekamar. Teman sekamarnya
terus pergi begitu tak berhasil mengorek keterangan dari Widuri. Karena dia kehilangan akal
untuk mengorek lebih lanjut. Tetapi, Suster Maria tidak akan berlalu sebelum mendapatkan
jawaban dari orang yang ditanya.
Maka Widuri menghentikan isaknya. Dia mengusap wajahnya. Matanya perih. Segumpal tangis
masih tersekap di dalam dada. Namun, dia menutup mulut rapat-rapat, menggigit bibirnya
hingga terasa sakit.
Sentuhan halus di bahu membuat Widuri tersentak. Lalu terdengar suara lunak, "Widuri."
Gadis itu bangun tergesa. Suster Maria duduk di pinggiran tempat tidur.
"Waktu makan malam tiba, Widuri," kata suster itu.
"Saya tidak lapar. Tidak makan."
"Kau sakit?" Tatapan mata Suster Maria bening.
Widuri mengangguk.
"Kalau begitu, kau harus pergi ke dokter,"
"Oh, tidak, tidak, tidak!" Widuri hampir menjerit.
"Kenapa tidak? Kalau kau sakit, kita pergi ke dokter. Ayo," kata Suster Maria.
"Tidak. Tak perlu ke dokter." Terengah Widuri berkata.
"Tentunya sakitmu parah. Matamu bengkak. Badanmu panas," kata Suster sambil mengelus dahi
Widuri. "Kau tak mau makan dan tidak juga shalat. Kalau sakit, mari ke dokter."
"Saya tidak sakit, saya tidak sakit. Oh..."
"Lalu?"
Lalu Widuri kembali menangis. Suster itu mengelus-elus rambut Widuri.
"Ada yang kausedihkan?"
Widuri mengangguk.
"Kabar dari rumah?"
Widuri menggeleng.
"Lalu, apa?"
Widuri hanya menangis.
"Dikhianati pacarmu?"
Widuri menggeleng, dan semakin parah menangis.
"Katakanlah, Widuri, apa yang menyusahkanmu. Katakanlah biar saya ikut memikirkannya. Biar
saya ikut memecahkannya."
Elusan di rambut itu tidak meredakan tangis Widuri. Malahan dia ingat ibunya, perempuan yang
telah tiada sejak dia masih kecil. Ya, perempuan yang senantiasa dirindukan perujudan kasih
sayangnya. Widuri, seorang gadis kecil yang ditinggal ibunya. Gadis kecil yang dibiarkan
merangkak dewasa.
Sementara gadis-gadis lain berbincang tentang pakaian dengan ibu mereka, Widuri harus
memikirkan sendiri pakaian yang harus dikenakannya. Sementara gadis lain bisa menanyakan
kepada ibunya tentang bagaimana lelaki yang baik itu, Widuri harus memikirkannya sendiri.
Gadis lain bisa menceritakan kepada ibunya tentang lelaki yang dicintainya, maka Widuri harus
menyimpannya buat dirinya sendiri. Widuri, gadis yang sendiri mengemban hidupnya yang sepi.
Seorang ayah, apalah artinya bagi kecamuk hati seorang gadis.
Suster Maria masih mengelus-elus bahu Widuri. Matanya yang bening menatap nanap dan
tembus ke lekuk hati gadis yang sedang menangis itu. Maka Widuri menjatuhkan wajahnya ke
dada suster itu. Dia benamkan tangisnya di situ, membasahi pakaian yang putih itu.
"Apa yang menyusahkanmu, Widuri?"
"Saya.... saya.... kehilangan...."
"Kehilangan....?"
"Kehormatan saya, kesucian saya, perawan saya!" jerit Widuri tersekap dada Suster.
"Oh!" Suster Maria terperangah.
Dia memeluk gadis itu.
"Kenapa sampai terjadi? Kenapa sampai.... ?" Ah, dia sulit mempercayainya. Gadis yang begitu
taat shalat, pendiam, lebih suka membaca buku-buku pelajaran katimbang pesta, bagaimana
bisa mengalami ini?
Gadis yang disayanginya - walau berlainan anutan, namun disayanginya seperti anak sendiri –
bagaimana bisa mengalami ini? Gadis muslim yang diam-diam sering duduk di sudut
mendengarkan nyanyian kebaktian sore dari Kapel, bagaimana bisa mengalami ini? Gadis yang
termangu-mangu mendengarkan suara orgel yang lamat-lamat diantarkan angin, gadis yang
duduk tekun selama misa Natal berjalan, bagaimana mengalami ini? Ah, tak mungkin! Tak
mungkin! Tetapi, air matanya yang menembus pakaian ini jelas suatu pengakuan yang jujur.
"Kenapa sampai terjadi, Widuri?" ulang suster tua itu dalam keluh.
Tangisan menggelombang dari dada Widuri. Lalu, dengan suara tersendat dia menceritakan
kejadian seluruhnya. Setitik air mata memercik dari mata Suster Maria. Maka dia memeluk Widuri
erat-erat. Belasan tahun sudah dia mengabdikan kasih untuk manusia, dan inilah manusia yang
harus paling dikasihinya. Inilah, gadis yang lembut dalam pelukan, yang menangis
berkepanjangan, yang menangisi kesucian, yang merasa bahwa kesucian adalah segala-galanya.
Tangis Widuri menggigit-gigit relung hati Suster Maria. "Kalau begitu, mari ke polisi. Orang-orang
itu perlu ditindak," kata Suster Maria dengan suara serak.
Bibirnya menggigil.
"Tidak, tidak, tidak!" isak Widuri.
"Kenapa tidak? Hukum harus ditegakkan. Walaupun mereka anak-anak orang berpangkat, tak
peduli! Saya akan menuntutnya!"
"Tidak. Oh, tidak, tidak, tidak. Oh, Ibu, tidak...," kata Widuri sembari membenamkan wajahnya
lebih dalam lagi ke dada suster tua itu.
Oh, nyes! Dada suster itu sejuk. Gadis itu menyebutnya “Ibu”. Oh, anakku, anakku yang malang.
Dan, Suster Maria menangis.
"Mereka harus menerima hukuman," katanya gemetar.
"Tuhan akan membalasnya," isak Widuri.
"Ya, Tuhan akan membalas perbuatan yang buruk. Tetapi, selain itu masih ada hukum, Anakku.
Biar kita tegakkan hukum manusia lebih dulu."
"Tidak, tidak...."
"Kalau tidak dihukum, mereka akan mengganggu gadis-gadis lain."
Widuri membisu.
"Apakah kau rela kejadian ini akan terulang lagi?"
"Oh, tidak. Jangan, jangan lagi, jangan lagi...."
"Karena itu, marilah ke polisi."
Widuri gemetar.
"Tidak!" Dia menggeleng kuat-kuat.
"Kenapa?"
"Orang-orang akan tahu, orang-orang akan tahu, semua akan tahu.... oh!"
Jantung Suster Maria menggelepar. Dia melepaskan napas berat. Lalu dia menunduk.
"Yah," katanya, "kita hidup di negeri yang penilaian orang banyak sangat mempengaruhi hidup
kita."
Kamar itu sepi. Asrama Syantikara itu senyap. Penghuninya sedang belajar di ruang baca.
"Tapi, serigala-serigala itu masih berkeliaran," kata Suster Maria pelahan. Matanya yang tua dan
bening berkaca-kaca. "Berapa banyak lagi korban?"
Widuri tak menjawab. Air matanya telah kering. Matanya perih sebab kehabisan air mata.
"Dan kalau Tuhan menjadikannya.... oh, siapa yang harus jadi bapanya?" keluh Suster Maria.
Dia memeluk gadis itu erat-erat, membenamkan kasih sayangnya ke wajah yang berlindung
padanya.
CEMARA di Kampus Gadjah Mada masih seperti dulu jua. Ditinggalkan selama tiga bulan, tak ada
perubahan. Justru Faraitody yang berubah. Hatinya dilanda risau berkepanjangan. Dia tidak
berani bertatapan dengan siapa pun di kampus. Dia merasa setiap orang mengejeknya,
menghinanya. Belum habis masa BIMAS-nya di desa, tetapi dia sudah menerima panggilan dari
universitas. BIMAS tidak diselesaikan. Sisanya, tiga bulan lagi, akan ditekel rekannya dari desa
berdekatan.
Tak ada yang lebih memerihkan hati kecuali kegagalan. Dia dianggap gagal sebab dia tidak
disenangi penduduk desa. Pemuda-pemuda desa telah membuat resolusi, menuntut agar dia
ditarik dari desa itu. Hanya dua puluh lima tanda tangan, tetapi tanda tangan milik generasi
muda di desa itu. Mereka menolak kehadiran Tody di desa mereka. Adakah yang lebih
menyakitkan lagi?
Faraitody merasa telah mengabdikan diri buat kepentingan desa itu, tetapi begitulah peneriman
orang-orang setempat. Ya, mereka justru mengusirnya. Mereka mem-persona-nongrata-kannya,
menurut istilah anak-anak sospol.
Lalu, bagaimana bisa menghadapi orang banyak? Ke mana pun dia berjalan, orang akan mencibir
dan mengatakan, "Hm, si intelektuil yang gagal, yang tak bisa turun ke masyarakat, apa lagi
yang mau diomongkan?"
Maka Tody murung sepanjang hari. Pukulan itu teramat berat. tetapi, kenapa tidak berusaha
mencari peluang yang lebih segar? Berkutat di kampus cuma akan mengingatkan pada
pengalaman pahit, pikir Tody.
Dan, setelah senja dilihatnya cerah, dia keluar dari gerbang Asrama Realino. Dia menuju rumah
yang halamannya ditumbuhi bunga bermekaran. Rumah yang pilar terasnya dirambati jalaran
anggur. Rumah yang menyimpan senyum syahdu seorang gadis. Ya, ke sana dia melangkah. Ke
rumah Irawati.
Baru saja Tody menekan bel, pintu terkuak. Irawati muncul. Kelopak mata gadis itu terangkat.
Dia terkejut.
"Hai, Mas Tody! Bilangnya enam bulan?"
Tody tak menjawab. Dia mengamati pakaian gadis itu serta tas di tangan gadis itu. Lalu katanya,
"Kau mau pergi?"
"Ya. Eh, tidak, tidak! Ayo, masuk, Mas Tody."
"Lebih enak di teras ini saja."
Langkah gadis itu melenggang mendahului Tody berjalan menuju kursi di teras.
"Kok mendadak sekali pulangnya, Mas Tody?"
Tody tak menjawab.
"Senang di desa?"
"Ya, senang."
"Tentu saja senang. Di sana pasti banyak cewek. Mas Tody pasti populer di sana."
Wajah Tody kembali disaputi mendung. Tetapi, gadis itu tak memperhatikannya. Sebab,
sesebentar gadis itu mengawasi jalan raya.
"Kau menunggu seseorang?" tanya Tody.
"Ah, tidak!" kata Irawati cepat-cepat.
"Kalau kau ada janji, biar aku pulang," kata Tody.
"Ah, tidak."
Sesaat mereka diam. Kumbang menggeremet di daun anggur.
"Masih akan kembali ke desa lagi, Mas Tody?"
"Tidak."
"Saya kira Mas Tody sudah kawin dengan cewek sana."
"Ah, kawin bukan soal gampang."
"Ah, siapa bilang? Banyak mahasiswa yang ke desa terus kawin dengan orang sana."
"Hm," gumam Tody.
Irawati tertawa-tawa kecil.
"Bagaimana kuliah-kuliahnya, Dik Ira?" tanya Tody tiba-tiba.
"Uh, sulit. Dosen-dosennya banyak yang omong Inggris melulu."
"Risikonya milih jurusan Inggris."
"Saya jadi malas kuliah."
"Nanti tak naik tingkat."
"Biarin saja. Saya tak kepingin jadi sarjana. Bikin botak kepala."
"Lalu, kau mau jadi apa?"
"Ya, apa saja."
"Lantas, untuk apa masuk universitas?"
"Iseng-iseng," kata Irawati seraya tertawa.
"Menunggu kawin?"
"Yah, kalau ada yang mau."
"Bah!" Tody menggeleng-geleng.
"Bah!" Irawati menendang kaki Tody.
Dan, Tody tertawa. Deru sepeda motor di jalan raya membuat Irawati cepat-cepat menoleh. Lalu
motor itu melaju melintasi rumah Irawati. Irawati bernapas lega.
"Ah, sebenarnya kau mau pergi, “kan?" kata Tody.
Gadis itu gelagapan.
"Biar lain kali saja aku datang." Lalu Tody berdiri.
"Jangan. Di sini saja, Mas Tody. Nggak apa-apa. Saya nggak mau pergi kok."
Tetapi, Tody telah berdiri. Gadis itu pun berdiri dan menahan lengan Tody.
Tody berpikir, andainya benar gadis ini mau pergi, aku harus mengantarnya. Tapi, dia bilang tak
mau pergi, dan dia seperti menanti seseorang. Apakah dia bermaksud mengkonfrontasikan aku
dengan pemuda lain? Bah!
Maka Tody melangkah.
"Jangan pergi, Mas Tody!"
Tody menepiskan tangan gadis itu. Maka tas yang sedari tadi dipegang Irawati terjatuh. Isinya
tumpah ke lantai. Gadis itu buru-buru memungutinya.
Tody merasa menyesal. Lalu dia membantu memunguti benda-benda yang berserakan. Dan, dia
tertarik pada beberapa benda. Seperti obat-obatan. Ada cairan dalam ampul. Dan, ini tablet
bersampul kertas timah, bertuliskan Valium 10.
Tody terpaku. Irawati berusaha merampas tablet itu dari tangan Tody. Tody menggenggamnya,
tak mau menyerahkan.
"Kembalikan!" Suara gadis itu terengah.
Tody mengawasi wajahnya yang keruh.
"Sebentar," katanya, lalu dia merebut tas gadis itu. Gadis itu berusaha merampas kembali
tasnya, tetapi Tody menepiskan tangannya. Dia tuangkan isi tas itu ke meja. Bungkusan kertas
jatuh dan serbuk-serbuk daun semak berhamburan.
"Kembalikan!" jerit gadis itu.
Tody melemparkan tas itu ke lantai.
Irawati dengan gugup mengumpulkan benda-benda itu di meja. Dan, tergesa-gesa memasukkan
ke tasnya. Napasnya terengah. Dia mendekap tasnya erat-erat.
"Hm, morfinis," kata Tody pelahan.
Gadis itu mengedikkan bahu, lalu melangkah ke arah pintu masuk.
"Tunggu!" Tody menyemba bahu gadis itu.
Irawati menatapnya.
"Untuk apa barang-barang itu?" tanya Tody dingin.
"Itu bukan urusanmu!" Suara Irawati ketus.
"Katakan! Dari mana kauperoleh barang-barang itu!"
"Bukan urusanmu!" jerit gadis itu.
Tody mencengkeram bahu gadis itu kuat-kuat.
"Katakan! Di mana sumber barang-barang terkutuk itu!"
"Itu urusanku!"
"Aku harus mengetahui siapa sumbernya. Sumber yang merusak orang-orang muda di kota ini.
Katakan, dimana!"
"Saya tak akan mengatakannya!"
"Ayo, katakan!" Tody memencet bahu gadis itu.
"Terkutuk! Lepaskan! Aduh, lepaskan!" Irawati menggeliat-geliat menahan rasa sakit di bahunya.
"Ayo, dari mana kauperoleh ganja, morfin, dan valium itu! Aku harus tahu. Aku harus memberi
tahu polisi!"
Tiba-tiba gadis itu memutar kepalanya dan menggigit tangan Tody. Terpaksa Tody melepaskan
cekalan tangannya. Irawati berlari masuk rumah, dan menghempaskan daun pintu.
Tody terpaku sembari mengusap-usap tangannya yang tergigit. Gadis semacam inilah ternyata
yang kupergauli selama belakangan ini? Kalau begitu, dia berkali-kali pingsan waktu Mapram
dulu, oleh sebab biasa menggunakan narkotika. Mungkin lantaran masa pemakaian narkotiknya
terlewati maka dia pingsan.
Bah!
Tody berjalan cepat-cepat. Gadis yang punya mata sendu, ternyata mata mengantuk yang ditayang
ganja. Bibir yang menggigil itu, ternyata bukan karena takut menghadapi senioren,
melainkan karena ketagihan narkotik. Bah!

102
Gadis yang begitu cantik, punya orang tua kaya dan menyayanginya, kenapa sampai terlibat
dalam kebiasaan terkutuk itu? Apa sebenarnya yang merusuhi hatinya? Seseorang bisa terlibat
narkotik biasanya lantaran hantaman-hantaman hidup yang menggoncangkan dirinya. Nah, gadis
itu? Frustasi macam apa yang mau singgah kepadanya? Ah!
Berkurung di kamar Asrama Realino. Itu yagg bisa diperbuat Tody masa ini. Dia tak punya gairah
menjenguk gedung fakultasnya. Dia membenam diri dengan membaca novel-novel. Mulai dari
cerita silat sampai poketbook Amerika dan Inggris. Lemari perpustakaan asrama yang selama ini
diabaikannya, ternyata sekarang merupakan tempat yang paling menyenangkan. Untuk
sementara, selamat tinggal, textbook yang memusingkan kepala di perpustakaan universitas.
Tak ada yang mengganggunya. Cuma, sore itu, ketika matahari sangat bagus merahnya di langit
barat, pintu kamar Tody tiba-tiba terbuka dengan kasar. Terkutuk! Tak ada yang berani kurang
ajar di asrama ini. Selamanya, penghuni-penghuni lain akan mengetuk pintu terlebih dahulu.
Anton cengar-cengir di ambang pintu. Tody melepaskan napas panjang.
"Well?" tegur Anton.
Tody cuma menggeser kursi untuk tempatnya duduk.
"Bagaimana perkembangan cintamu?"
Tody mengangkat bahu.
"Down lagi?"
Tody tak menjawab. Dia kembali membaca. Anton menyentakkan buku itu.
"Kalau Tuan Besar lagi ngomong, jangan membaca dulu!" katanya. Dia mengamati muka Tody
yang murung. "Frustrasimu lipat ganda rupanya."
Tody tertawa pahit.
"Kalau begitu, yuk, kita nonton."
"Ah, malas."
"Ke rumah cewek-ku?"
"Malas."
"Aku traktir di Restoran Singapura?"
"Ah."
"Ke gereja?"
"Ah, jangan ganggu aku," kata Tody lemah.
"Wah, gawat ini."
Keduanya diam. Anton menjenguk keluar lewat jendela. Dan, dia berteriak mengejek pukulan mis
pemain badminton di halaman. Kemudian dia kembali mengawasi wajah Tody.
Tanpa mengangkat kepala, Tody bertanya, "Kau tahu banyak anak muda di Yogya ini yang
terlibat narkotik?"
"Yah. Ada kutahu. Tapi, tunggu dulu. Banyak yang kaumaksud itu, berapa orang? Setahuku
cuma segelintir saja."
"Kau tahu di antaranya ada mahasiswa?"
"Yah. Ada yang sudah konsultasi ke biro kami. Sudah sembuh."
"Sebaiknya kauselidiki di mana mereka memperoleh barang-barang itu."
"Kenapa aku? Itu urusan polisi."
"Apa salahnya membantu polisi?"
"Tugasku menyembuhkan gangguan jiwa orang. Bukan intel."
"Di mana tanggung jawab sosialmu?"
"Alaaa, sok tanggung jawab sosial segala. Kalau aku berbuat sebaik-baikya dalam tugasku, itu
sudah bertanggung jawab sosial namanya. Tanggung jawab sosial bukan berarti harus jadi intel
polisi. Aku memang tahu sejak lama ada beberapa orang yang suka pakai morfin. Tugasku
menyembuhkan gangguan kejiwaan mereka, bukan menangkap mereka, atau menyerahkannya
pada polisi.
"Tapi, selama sumber barang-barang itu belum diberantas, masih akan banyak orang-orang
muda yang rusak," kata Tody.
"Tugas polisi atau Kopkamtib memberantasnya."
"Mereka mungkin belum tahu."
"Itu gunanya intel, informan, atau segala macam yang serem-serem itu. Tugasnya mencari itu,
bukan cuma nunjukin gagang pistol di balik bajunya. Bukan nakut-nakutin rakyat kecil."
"Karena itu kita terpanggil untuk membantu polisi."
"Wah, wah, wah. Kayak seruan penyebar Al-kitab saja. “Kan sudah ada pembagian kerja? Kenapa
harus sibuk di luar bidang kita?"
"Ini untuk keselamatan masyarakat," kata Tody.
Anton memegang bahu Tody dan berkata, "Kau seorang modernis Tody?"
"Kuharap begitu."
"Nah, kau tahu ciri masyarakat modern?"
"GNP tinggi...."
"Huh! Apa GNP? Oh, ya, kau anak ekonomi. Kalau orang sospol akan bilang begini: modern,
kalau dalam sistem masyarakat kita, ada sistem-sistem dengan spesialisasi yang tegas, dan
masing-masing bergerak dengan karakteristiknya sendiri sehingga tercipta mekanisme untuk
hidup lebih baik bagi individu-individu dalam masyarakat. Semakin modern, semakin tegas pula
masing-masing spesialisasi itu. Hm, agak ilmiah juga. Jadi, kalau polisi, dia harus berlaku sesuai
dengan sistem spesialisasinya. Kalau pejabat ya jangan memborong. Atau, jenderal jangan jadi
pengusaha. Itulah konkritnya!"
Tody diam.
"Bukan aku tak mau membantu polisi. Tapi, bantuanku adalah dengan sistem yang ada dalam
spesialisasiku. Kalau dibilang harus membantu pembangunan, misalnya, “kan bukan berarti
wartawan harus ikut menguruk semen. Dia bekerja di bidangnya, sesuai dengan sistem
spesialisasinya. Begitu juga spesialisasi lainnya."
Tody membisu.
Anton tertawa kecil.
"Kayak kuliah ya?"
Beberapa saat mereka diam. Di luar, penghuni asrama berteriak-teriak menyemangati permainan
badminton yang terus berlangsung.
"Tapi, omong-omong, kenapa kau tertarik soal itu?"
"Yah," kata Tody menunduk. "Sebab, baru-baru ini aku tahu ada sorang mahasiswi juga terlibat."
"Eh, itu hebat. Siapa?"
"Irawati," kata Tody hambar. Ludahnya terasa pahit.
"Bah!" Anton menggaruk-garuk kepalanya. "Bagaimana bisa?" katanya kemudian.
Tody cuma mengangkat bahu.
"Dia dari keluarga yang pecah?" tanya Anton lagi.
"Setahuku tidak. Ibunya sangat lembut. Baik sekali."
"Dari seorang ibu yang baik, bagaimana bisa ada gadis sebrengsek itu?"
Tody termangu-mangu.
"Ah, sudahlah! Lupakan dia. Biar orang tuanya atau polisi yang mengurusnya."
Tody tak jua keluar dari ketermenungannya.
"Atau, kau masih mencintainya?" tanya Anton.
Tody mengeluh halus.
"Apa cinta itu sebenarnya, Anton?" Dan, bayangan Murtini yang menangis di depannya
berkelebat di kepala
Tody. Pun, rumah desa yang dinaungi pohon sawo itu.
Anton tertawa-tawa kecil.
"Sudah berkali-kali kubilang, jangan sentimentil!" katanya. "Ayo, kita jalan-jalan. Sesekali
begadang apa salahnya?" Lalu dia menyeret Tody. "Banyak melamun akan berakibat dua
kemungkinan. Kalau tidak jadi pengarang, ya jadilah orang gila, Karena kau tak punya bakat
menulis, maka kau bisa senewen. Ayo!"
Kemudian mereka menyusuri jalan ke arah selatan. Anton menepuk-nepuk kantong celananya.
"Kebetulan aku baru terima honor dari risetku. Nah, kita bisa minum-minun bir dan makan
panggang ayam, sambil membicarakan keadilan sosial buat rakyat yang makan gaplek. Sesekali
menikmati ironi kayak pejabat-pejabat penting “kan lumayan?" katanya.
Mereka tak mempedulikan serombongan orang muda yang mendatangi mereka dari arah depan.
Tepat lima langkah di depan mereka, orang-orang muda ini berhenti.
"Nah, ini dia!" kata seorang pemuda gondrong.
"Hantam saja, Yan!" kata temannya.
"Tunggu. Kita tanyai dulu," kata Yanuar seraya mengibaskan gondrongnya.
Lalu dia mendekati Tody.
"Kamu yang mengancam Irawati?" tanyanya.
Darah Tody berdesir.
"Kamu yang mau melaporkan Irawati pada polisi?"
Tody menggigit-gigit bibir. Anton mengamati kelima anak muda itu.
"Nah, memang dia. Lihat saja, dia gugup," kata Yanuar,
"Sikat saja!" kata temannya.
Cepat sekali kelima anak muda itu menerjang. Pukulan sisi tangan Yanuar hinggap di mulut
Tody. Kaki seseorang masuk ke perut Anton.
"BaJingan!" sungut Anton sembari bangun dari kejatuhannya.
Tody mundur sambil mengusap bibirnya yang berdarah. Lalu, terjangan berikutnya disambut oleh
keduanya dengan jurus karate dan kempo. Perkelahian tak bisa dielakkan. Dua melawan lima.
Tetapi, kelima anak muda itu dalam beberapa jurus sudah tersengal-sengal napas mereka
sehingga Anton dan Tody dapat bolak-balik mengirimkan pukulan dan tendangan. Kelima
pemuda itu bergelimpangan.
Tody meludahkan darah dari bibirnya yang perih.
"Edan!" katanya. Lalu dia menyusul langkah Anton. Seperti tak terjadi apa-apa, Anton berjalan.
Anton tertawa begitu Tody menjejerinya.
"Tody, aktivis kampus, bertarung dengan brandal-brandal kota. Kalau difilmkan, wah, hebat!"
katanya.
Tody menggumamkan gerutuan.
"Sempat juga yokogeri bangsat itu ke perutku. Bajingan!" sungut Anton.
Tody menepis-nepis debu dari celananya.
"Gara-gara cewek," kata Anton.
"Bikin malu," kata Tody.
"Tapi, kempomu masih tangguh. Digabungkan dengan karateku, kita bisa jadi pendekar dalam
film silat," kata Anton.
"Ah, taik film!" gerutu Tody.
"Bisa sakit dada si Gondrong yang kena chudantsuki yang kuberikan."
"Sudahlah. Kita jadi minum bir nggak?" kata Tody.
"Tentu saja. Bahkan cari tukang pijit halus pun aku siap."
Mereka berjalan lebih bergegas.

Betapapun kepinginnya Tody bertemu dengan Widuri, itu sudah tidak mungkin lagi. Sayang
keinginan itu terlampau terlambat datangnya. Setelah gerombolan teman Irawati memukul
mulutnya, setelah menenggak bir dan menerima advis Anton, barulah keinginan itu timbul.
Tetapi, Widuri tidak lagi berada di Yogya. Dia telah kembali ke desanya. Kepahitan beruntun
datang pada gadis itu. Empedu paling amis yang disodorkan realita, berkali-kali harus dia telan.
Tak terelakkan. Dia menangis tanpa suara selama berhari-hari. Satu-satunya kata yang terus
berputar hanyalah: karma, karma, karma! Karma apakah yang kualami ini? Karma apakah yang
menimpaku ini? Dia tak mampu melihat jahatnya realita. Dia hanya bisa mencari kejahatan pada
dirinya. Maka dia tak menemukannya hingga dia menerima surat dari ayahnya. Dia harus pulang
ke desanya.
Itulah rumput semak yang meranggas dalam hidup Widuri. Sekarang tak ada lagi kecerahan.
Segalanya berbaur dalam bayangan kelabu. Segalanya. Kecuali mata Suster Maria yang bening.
Suster Maria yang tua, yang mencium pipinya sebagai ucapan selamat berpisah di stanplat bus.
Suster Maria yang mengantarkannya hingga bus lenyap dari pandang matanya. Tak akan lenyap
mata perempuan tua berkerudung dan pakaian putih itu, mata yang berlinang itu, dari ingatan
Widuri.
Dan, sekarang Tody layak melagukan nyanyian murung sepanjang hari. Di matamu kujenguk
jendela yang baur. Karena mataku kabur. Kubiarkan sinar kasihmu terbenam pilu. Karena hatiku
beku. Pangganglah aku dengan kesengsaraan, pangganglah aku dengan penyesalan. Biar diriku
terlantar!
Memang, Tody akan telantar. Dia harus menghadapi hidup yang me-rumpun-semak-meranggas
pula. Daun-daun hidupnya kering, maka yang tinggal hanyalah ranting-ranting runcing mencuat
menahan teriknya matahari.
Ah, apakah hidup ini memang rentetan nasib demi nasib? Tody mengeluh sembari melipat surat
dari ayahnya. Harga ternak sedang naik di Jawa maka ayahnya mempertaruhkan ternak-ternak
mereka yang terbaik untuk dikirim ke Surabaya. Tetapi, badai telah menelan ternak-ternak itu.
Sederhana sekali memang. Siapa yang bisa menghalangi badai Lautan Hindia yang menerkam
laut di sepanjang Nusa Tenggara? Siapa pun tak akan bisa. Satu-satunya yang bisa diperbuat,
sebenarnya, adalah tidak mengirim ternak itu dengan kapal yang kecil. Tetapi, semuanya telah
terjadi. Yang tinggal sekarang hanyalah ternak-ternak kerdil yang membuat setiap peternak
berpengalaman murung.
"Tody, apa boleh buat. Kau terpaksa berhenti sekolah. Ayah tidak bisa lagi mengirimkan biaya.
Weta-mu Margriet pun sudah Ayah panggil pulang. Kita miskin sekarang. Lebih miskin dari
kerabat kita yang kaukenal hidupnya susah selama ini." Itu kata ayahnya dalam surat.
Tody menelan empedu pahit itu. Weta-nya (adik), Margriet, sudah dipanggil pulang. Tetapi, dia
toh hanya adik perempuan. Aku, seorang lelaki. Apakah aku harus kembali ke kampung karena
ketiadaan biaya sekolah? Apakah harus ditinggalkan waktu enam bulan lagi ini? Harus
meninggalkan skripsi yang terbengkalai ini?
Lelaki muda itu menghembuskan napas getir. Lalu, dia menceritakan kesulitannya kepada dekan
fakultasnya. Dekan sekaligus kosultannya dalam riset untuk skripsi.
"Kenapa kau tak kerja saja?" kata dekan itu.
"Saya sudah coba melamar ke beberapa perusahaan, tapi sia-sia. Malahan mental saya jadi
rapuh lantaran seringnya menghadapi tulisan TIDAK ADA LOWONGAN di tiap kantor. Tulisan itu
seperti mengejek ke mana pun saya pergi. Lebih-lebih jika menghadapi ucapan-ucapan bagian
personalia yang saya datangi."
"Ke perusahaan mana saja kau sudah melamar?"
Tody menyebutkan satu per satu nama perusahaan itu.
"Semua menolak?"
"Ya."
"Apa alasannya?"
"Karena saya tidak punya pengalaman kerja."
"Apakah ijasah sarjana mudamu tidak mereka hargai sama sekali?"
"Ah," keluh Tody. Dia menunduk murung. Lelaki tua itu mengamatinya lekat-lekat.
"Kau betul-betul mau kerja?"
"Yah," desah Tody.
Dekan itu berpikir-pikir. Kemudian katanya. "Aku punya teman baik. Perusahaannya ada
beberapa buah di berbagai kota. Kau bisa mencoba ke situ. Bawalah rekomendasiku."
Jantung Tody gemetaran saking girang. Gedebur-gedebur di dadanya tak henti-henti sementara
menunggu dekan itu menulis katabelece.
Jika musim hujan tiba, rumput semak yang meranggas akan hijau kembali. Selembar katabelece
telah mengubah kehidupan.
Apakah bedanya diriku yang sekarang dengan diriku yang dulu? Apakah beda otakku yang
sekarang dengan otakku yang dulu? Masih yang dulu jua. Tetapi, begitu berubah sikap pegawai
perusahaan itu, pikir Tody. Lebih-lebih bagian personalia itu. Tiap kali menatap muka orang itu,
Tody langsung ingat senyuman sinis waktu pertama kali Tody memijak kantor itu. Dan, sekarang
muka itu begitu gugup begitu melihat Tody keluar dari kamar direksi dan menyodorkan perintah
penempatannya di kantor itu. Langsung perintah dari presiden direktur! Tak perlu lagi liku-liku
yang menyakitkan hati. Dengan selembar katabelece, itulah segala-galanya teraih!
Mungkin karena rekomendasi dekan itu maka Tody dipercaya oleh presdirnya. Presdir itu jarang
datang ke kantor. Dia harus membagi waktunya untuk perusahaan-perusahaan yang lain di
Jakarta, Bandung, dan Surabaya.
Bulan ketiga Tody di kantor itu, dia merasa telah terangkat ke atas dengan mendadak. Sebab,
presdirnya memintanya melaporkan perkembangan perusahaan itu selama presdirnya itu tak
ada.
Tody menyukai lelaki gemuk yang tak pernah lepas dengan cerutu di tangannya itu. Presdir itu
bagai seorang ayah layaknya. Suaranya yang berat, matanya yang selalu seperti bercanda, dan
yang gampang memekarkan senyuman itu, adalah bayangan ayahnya bagi Tody. Ah, andai saja
lelaki yang duduk di kursi menghadap meja jati besar, berbaju putih dengan dasi rapi itu
ayahnya!
Tetapi, dia bukan ayahnya. Ayahnya adalah lelaki yang suka berpakaian warna gelap, merokok
lintingan, dan kalau sore hari selamanya berada di rumah. Akan halnya presdir ini, adalah tipe
bisnismen tulen. Sibuk sepanjang hari. Bepergian tak henti-hentinya. Hanya sebentar duduk di
kantor, itu pun untuk menginterlokal perusahaannya yang di kota lain. Melompat dari kesibukan
yang satu ke kesibukan yang lain.
Lelaki semacam itu jelas bukan ayah yang ideal. Sebagai boss, memang boleh. Tody patut
menyerap vitalitas lelaki tua itu. Cuma, kini presdir itu dihadapkan pada kericuhan dalam rumah
tangganya. Kericuhan yang datang dari anak gadisnya. Kemelut menjaring keluarganya. Dia
sedang menghadapi air mata istrinya, serta tangisan anak-gadisnya yang tak henti-hentinya. Kini
dia menyadari bahwa kesibukannya membuat istrinya harus memikul beban yang berat selama
ini. Istrinya kesepian di rumah yang besar. Seharusnya, di hari tua ini dia setia menemani istrinya
di rumah. Seharusnya dia menikmati mekarnya bunga-bunga yang dirawat istrinya, dan melihat
bunga yang tumbuh di dalam rumahnya, yakni anak-gadisnya yang kian dewasa.
Apakah yang kucari selama ini dengan kesibukan yang mendera? Bekerja tak berkeputusan.
Untuk apa?
Uang? Untuk kebahagiaan keluarga? Uang telah terkumpul selama ini. Anak-anak lelaki sudah
disekolahkan semuanya. Sekolah ke Amerika, Jerman, atau ke mana saja. Semuanya telah hidup
memuaskan, menimbulkan rasa iri keluarga-keluarga Yang lain. Betapa bahagianya keluarga itu.
Punya anak-anak lelaki yang semuanya sukses karir. Itu kata orang. Tapi, kenapa aku sendiri tak
pernah puas? Kenapa aku tak jua berhenti bekerja? Presdir itu diam-diam berdesah di kamar
kerjanya.
Presdir itu termangu. Tody mengira, dia sedang memikirkan perusahaan lain miliknya. Dan, lelaki
tua berambut putih itu tetap menyudutkan diri dengan pertanyaan-pertanyaan di benaknya.
Kenapa aku tak memulai kehidupanku yang tua dengan tenang di rumah? Kenapa? Oh, karena
aku takut menjadi tua! Aku takut mati sebagai kakek-kakek pikun. Karena itu maka aku harus
memelihara diriku sebagai lelaki perkasa, penuh vitalitas. Sekali aku berhenti bekerja, aku tak
ubahnya kakek-kakek pensiunan. Alangkah mengerikan. Aku takut menjadi tua. Ya, itulah
soalnya!
Tapi, bagaimana dengan istriku? Dia menjadi tua begitu cepatnya. Lebih-lebih masa belakangan
ini. Kerut-kerut di pinggir matanya sangat kentara. Seperti sentakan saja ketuaan itu nampak di
wajahnya.
Sedang aku....?
Lelaki tua itu mengusap mukanya yang bulat.
Ah, aku egois! Aku membiarkan istriku menjadi tua seorang diri. Seharusnya kami menjadi tua
bersama-sama. Kami, seharusnya sudah menjadi kakek-nenek yang menatap cucu-cucu bermainmain.
Kapankah aku memperhatikan anak-anakku? Kalau anak-anak lelakiku sukses, aku akan memetik
kebanggaan. Inilah anak-anak bisnismen tulen yang bisa mengendalikan perusahaan raksasanya
dan pula bisa mendidik anak-anaknya. Aku akan merasa diriku sebagai Kennedy Tua yang
mendidik Kennedy-Kennedy Muda jadi orang besar semua. Aku pun mencibiri pengusahapengusaha
dan pejabat-pejabat tinggi yang keluarganya mengalami dekaden. Toh keluarga
mereka mengalami kehancuran, dan keluargaku tidak. Cuma, berkat pendidikankukah itu?
Lelaki tua itu mengeluh. Dia mengusap-usap telinganya. Istriku! Dialah yang mendidik anakanakku
selama ini. Aku hanya menyediakan materi. Adapun jiwa mereka, istrikulah yang mengisi.
Dan, dia telah berhasil. Dia telah melahirkan dan mendidik anak-anak lelaki yang kini dikagumi
orang banyak. Cuma, kenapa sekarang dia gagal mendidik si bungsu yang paling disayanginya?
Kepada sibiran tulang yang dimanja itu, kenapa didikannya gagal?
Apakah memang benar bahwa anak-anak lelaki harus dididik ibu, sedang anak-anak perempuan
harus diperhatikan oleh ayah? Kalau benar, berarti aku telah lalai. Siapa pun tidak kudidik
dengan baik. Bahkan satu-satunya anak perempuan juga tidak.
Aku hanya membebani perempuan yang kucintai sejak gadis hingga menjadi nenek-nenek itu
dengan kemelut rumah tangga, keluh lelaki tua itu tersekap.
Tak pernah diketahui oleh Tody bahwa bossnya sedang mengalami kegalauan pikiran. Sebab, dia
tidak tahu bahwa lelaki tua yang gemuk itu punya anak perempuan bernama IRAWATI!

Tody gugup menerima panggilan dan presdirnya. Lelaki tua itu tidak masuk kantor. Tody harus
datang ke rumahnya.
Was-was berkecamuk di dada Tody. Bukan hanya alamat rumah itu yang merusuhkan hatinya,
melainkan juga persoalan yang sedang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini. Persoalan
kepercayaan.
Padahal - inilah yang mengganggu tidurnya selama beberapa hari ini - dia tak bisa memelihara
kepercayaan itu.
Dia sendiri tidak tahu bagaimana segampang itu dia menduduki jabatan yang sangat meriskir
kepercayaan itu. Jalan untuk menuju kedudukan itu seperti jalan yang baru saja diresmikan
menteri PU layaknya: mulus. Dan, kemudian Tody mengambil uang dari situ juga seperti
menciduk air di dalam saja.
Uang itu memang bukan untuk pribadi. Tetapi, apa bedanya? Yang jelas, kas telah berkurang.
Dengan apa lagi keburukan itu harus dibandingkan? Tody mengeluh berkepanjangan. Nanti sore
dia harus ke rumah presdir.
Tody kemudian ingat wajah Sartono yang beriba-iba, dan setumpuk uang di dalam tasnya.
"Tolonglah, Mas Tody. Tolonglah."
"Aku tak bisa. Sungguh! Bagaimana aku menolongmu?"
"Cuma tiga hari saja. Aku sedang menawarkan motorku. Kalau laku, ditambah dengan bantuan
orang tuaku, aku akan mengganti uang itu."
Tody lama terdiam.
"Ini menyangkut reputasi, Mas Tody," kata Sartono.
Tody membisu.
Sartono telah memakai dana Dewan Mahasiswa yang ada di bawah tanggung jawabnya. Tim peneliti keuangan yang dibentuk rektor akan memeriksa dana-dana yang diberikan kepada Dewan Mahasiswa itu.
Di sinilah kenapa Sartono panik.
"Kau tahu sendiri, aku bukan orang kaya," kata Tody pelahan.
"Kan bisa, kau usahakan dari kantor?" desak Sartono.
"Mana bisa ngebon sebanyak itu?"
"Ambil saja uang kantormu."
"Bah! Korupsi?" kata Tody keras.
"Bukan korupsi. Kita cuma memakai sementara. Dalam tiga hari sudah kukembalikan. Takkan
ada yang tahu."
"Aku tak berani," kata Tody.
"Aduh, Mas, kau tak mau menolong? Aku bisa dipecat dari universitas. Aku tidak skripsi, Mas.
Harapan orang tuaku satu-satunya cuma padaku."
Tody menatap mata yang berlinangan.
"Tolonglah aku, Mas Tody. Kumohon, Mas...."
Tody membisu.
Sartono mengeluh-ngeluh.
"Kalau tiba-tiba kasku diperiksa, aku bisa kiamat," kata Tody kamudian.
"Takkan ketahuan. Pada hari apa diperiksa?"
"Memang belum diperiksa."
"Ah, kalau begitu, tak ada risikonya. Tolonglah aku, Mas, tolonglah. Aku masih ingin
menyelesaikan kuliahku."
Tody tak bersuara.
"Orang tuaku akan mengganti uang itu," kata Sartono.
"Kenapa bisa habis dana dewan itu?"
"Ah, entahlah. Sedikit demi sedikit aku tak sadar memakainya. Kesalahan universitas juga.
Kenapa selama pengurus dewan yang lama tak pernah diadakan pemeriksaan? Kenapa setelah rektor baru sekarang harus diperiksa?"
"Karena rektor yang sekarang lebih tegas. Dan, barangkali pengurus dewan yang lama memang tak terlalu banyak main."
"Ah, siapa bilang? Semua pengurus dewan korup!" kata Sartono.
"Kenapa kau memakai uang dewan?" tanya Tody jengkel.
"Oh, kecuali kau. Kecuali kau," kata Sartono cepat-cepat.
Untuk sesaat mereka membisu. Ruangan itu senyap. Tody menatap buku-bukunya di meja. Dia membaca, tetapi wajah Sartono terus mengganggu dengan beriba-ibanya.
"Kau tak mempercayai aku, Mas?"
"Bukan soal percaya atau tidak, Ton. Aku tak berani memakai uang kantor."
"Cuma tiga hari. Takkan seorang pun tahu. Kau bisa mengembalikan uang itu diam-diam tanpa
seorang pun tahu."
Tanpa seorang pun tahu. Tak seorang pun tahu. Tetapi, muka Sartono yang memelas itu tak muncul-muncul setelah lewat tiga hari. Dia telah lenyap dari Yogya. Kegelisahan menggelepar di dada Tody. Dia mencari Sartono ke kampus, ke tempat mondoknya, tetapi Sartono telah lenyap.
Bagaimana mengganti uang itu? Setengah juta! Angka yang mendirikan bulu kuduk kalau harus menggantinya. Berhari-hari Tody gelisah. Namun, dia berusaha menyembunyikan kegelisahannya dari siapa pun. Di mana Sartono? Lelaki yang matanya bisa berlinangan itu lenyap bagai ditelan bumi. Terkutuk!
Hanya tiga hari. Tak seorang pun tahu. Sekarang, sudah lewat dari tiga hari. Bahkan sudah seminggu. Dan, Tody dipanggil presdirnya. Oh, bagaimana mempertahankan nama baik?
Bagaimana memelihara nama baik dekannya yang telah merekomendasikan dia sebagai mahasiswa pinter, jujur, dan bertanggung jawab?
Tody mengeluh. Namun, dia harus tetap melangkah mencari nomor rumah presdirnya. Dan, jantungnya hampir copot sebab rumah yang harus dimasukinya, rumah bertaman indah itu, rumah Irawati! Risau dan rusuh bercampur dalam adonan yang pekat di dada Tody. Sebelum bel dibunyikan, pintu telah terbuka.
"Tuan dan Nyonya menunggu di ruang dalam," kata pelayan menyebutnya.
Tody bensaha meredakan jantungnya yang tak beraturan lagi denyutnya. Dia melintas di atas permadani yang menyekap suara sepatunya. Terus melangkah mendikuti langkah pelayan. Maka Tody tak mampu meredakan debur-debur di dadanya.
Ibu Irawati tersenyum murung. Presdir itu mengisap cerutunya sebelum bertanya, "Bagaimana keadaan kantor, Tody?
"Baik-baik saja, Pak."
"Hm." Lelaki tua itu menaksir-naksir.
Tody sempat melirik ibu Irawati yang mengusap matanya.
"Kau sudah ada rencana kawin, Tody?" tanya lelaki tua itu.
Tody gelagapan.
"Belum," katanya kemudian.
"Kalau tak salah; kau teman Irawati ya?"
"Ya," desah Tody.
"Kenapa tak pernah lagi datang ke sini?"
"Oh," keluh Tody.
"Selama ini kau tahu kalau aku ayah Ira?"
"Tidak."
"Hm." Lelaki tua itu menaksir-naksir lagi.
"Rupa-rupanya Nak Tody bertengkar dengan Irawati?" Tiba-tiba ibu Irawati menyeling.
"Oh, tidak, tidak, tidak," kata Tody gugup.
"Lalu, kenapa mendadak tak muncul-muncul kemari?"
"Saya... saya... saya..." Tody merasa napasnya menghimpit.
"Ah, sudahlah," kata ayah Irawati. "Itu urusan dulu. Aku mau membicarakan urusan sekarang.
Urusan kantor."
Napas Tody sesak. Paru-parunya memberontak.
"Begini, Tody," kata lelaki tua itu pelan-pelan. "Beberapa hari yang lalu, ada pegawai yang
mengabarkan bahwa uang setengah juta di bawah tanggung jawabmu tidak ada di kas."
Tody menggigil.
"Uang itu tidak banyak sebenarnya," kata lelaki tua itu meneruskan.
Tody mengulum ludah yang terasa pahit. Getir.
"Betulkah uang itu kauambil?"
Seluruh jaringan tubuh Tody menggeletar.
"Ya," desahnya. Matanya terhunjam ke lantai. Keringat merembes dari sejumlah pori-pori
kulitnya.
"Ah," keluh lelaki tua itu.
Ibu Irawati mengusap matanya lagi.
"Saya akan menggantinya," kata Tody. Bibirnya garing.
"Ya? Kapan?"
Tody terhimpit.
Ibu Irawati pindah duduk ke samping Tody.
"Begini, Nak Tody," katanya lunak. "Kami menyukai kau. Sejak lama saya menyukaimu. Saya
akan senang kalau kau jadi anak saya."
Tody menatapnya nanap. Lalu berpindah ke tangan perempuan tua itu yang memegang
bahunya.
"Kami mengetahui bahwa kau seorang yang jujur."
Tody terengah.
"Karena itu saya senang waktu kau bergaul dengan Irawati dulu. Walaupun kemudian putus,
tetapi saya masih tetap berharap kau jadi bagian keluarga kami."
Lelaki tua itu menangkap kegelisahan di mata Tody. Maka katanya, "Langsung saja. Begini, Tody.
Kami punya anak perempuan. Sudah dewasa. Kami ingin kau menjadikannya istrimu."
Jantung Tody telah berkali-kali terperanjat. Tetapi, sekarang lebih-lebih kadar kagetnya.
"Sebenarnya.... sebenarnya... sebenarnya... apa maksud Bapak dan Ibu?" katanya terbata-bata.
"Itulah. Kau jadi suami Irawati," kata lelaki tua itu datar.
"Saya belum berniat kawin masa sekarang ini," kata Tody pelahan.
"Tapi, kami memohon dengan teramat sangat."
Tody terpaku. Apa-apaan ini?
"Kenapa?"
Ibu Irawati mengusap matanya yang dirembesi air.
"Aku telah berbuat baik kepadamu selama ini," kata lelaki tua itu. "Dan, sekarang aku memohon
kepada kau."
Tody mengahhkan matanya ke arah ibu Irawati. Perempuan tua itu menatapnya nanap dengan
mata yang bersimbahan air.
"Dan, soal setengah juta uang kantor itu bisa kita lupakan saja," kata lelaki tua itu.
Tody membisu.
"Kenapa saya harus mengawini dia?" tanya Tody terputus-putus.
"Karena... karena..." Perempuan tua itu semakin terisak.
"Langsung saja," kata ayah Irawati. "Karena dia hamil," lanjutnya datar.
Bah! Sejuta petir boleh berdegar, tetapi tidak sekaget ini Tody mendengarnya.

Hari-hari Berempedu
O, NAMA BAIK, alangkah pahitnya kau! Hargaku setengah juta rupiah. Aku harus menjadi suami
perempuan yang tak kucintai, dan sudah menyimpan benih akibat keliarannya! Setelah
terbanting-banting mempertahankan idealisme, setelah tersaruk-saruk merindukan cinta, maka
inilah hasilnya: seonggok sisa!
Jika uanglah yang menjadi ukuran kebahagiaan, maka hanya seorang yang bahagia dalam
peristiwa ini, yaitu Sartono. Dia mendapat setengah juta dan tak perlu dikembalikan. Kemudian
masih mendapat tambahan lagi sesuai dengan janji ayah Irawati. Lelaki tua itu sungguh-sungguh
bisnismen. Dia mampu menggunakan otaknya dan tenaga orang untuk kepentingannya.
Tody seorang yang harus meratapi rumpun semak hidupnya. Semaknya kembali meranggas. Dari
kekeringan menuju kekeringan yang lain, itulah yang dialaminya. Untuk setengah juta rupiah, dia
harus menjual dirinya. Oh, malangnya lelaki miskin, malangnya si idealis yang ingin bernama
bersih.
Dia takut nama baiknya sebagai pejuang mahasiswa menjadi rusak. Dia khawatir dekannya yang
mengharapkannya jadi intelektuil mengetahui lenyapnya uang kas yang harus dipertanggungjawabkannya.
Dia tak mau orang menilainya sebagai koruptor. Dia tak ingin ada orang yang
mencibir, "Hm, si intelektuil yang ikut gerakan antikorupsi itu tak lebih dari anjing rakus juga.
Bah!"
Tak akan ada yang percaya kendatipun dia berteriak setinggi langit bahwa setengah juta itu
sama sekali bukan dia yang menggunakan. Dia ditipu Sartono. Tak akan ada yang mau
mempercayainya. Itu semua sudah dalam perhitungan ayah Irawati. Maka, yang mengenyam
kebahagiaan dari kemelut ini adalah Sartono yang tetirah ke Bali.
Akan halnya Tody? Dialah seorang suami yang murung. Sejak perkawinannya, tak satu pun
sentuhan diberikannya kepada Irawati. Bahkan matanya pun berusaha untuk tidak menatap
perempuan itu. Mereka tinggal di bawah atap yang sama, namun hati tak pernah berdekatan
satu sama lain. Itulah yang dirasakan Tody. Entahlah yang dirasakan Irawati. Matanya selalu
ingin bertemu dengan mata lelaki itu, tetapi tak pernah kesampaian. Dan, Irawati menghela
napas yang berat.
Dia ingat akan upacara perkawinan mereka. Tanpa senyuman Tody memasukkan cincin ke
jarinya. Malahan matanya berlinangan. Jelas bukan gembira. Dia seperti anak kecil yang dipaksa
orang tuanya agar berbaikan dengan musuh yang telah menjewer telinganya di depan temantemannya.
Murung. Pahit. Getir.
Dan, di kamar mereka, Tody membuka sepatu tanpa memandang Irawati. Mengganti baju tanpa
suara. Lalu, membaringkan dirinya tanpa menyentuh Irawati sedikit pun.
Hari-hari adalah pantang senyum. Makan pagi dengan menekuri piringnya, makan siang jarang di
rumah, dan makan malam tanpa suara. Rumah mereka sepi. Tody lebih suka berada di luar
rumah, di kantornya, atau di perpustakaan universitas.
Tiap kali memandang punggung perempuan yang menjadi istrinya itu, Tody merasa memandang
seonggok dosa. Inilah iblis yang memakai kulit perempuan cantik. Iblis yang menyeringai siap
menerkam. Tody merasa berada dalam cengkeraman kuku-kuku iblis. Maka akan tersiksalah
selamanya.
Ah, perkawinan adalah sesuatu yang suci. Tak boleh dua kali dalam hidup. Hanya kematian yang
boleh memisahkan. Begitu ujar kitab suci. Lalu, sampai mati harus bersama seseorang yang akan
menyiksa dirinya? Harus bersama perempuan yang telah memerangkap dirinya dan menusuknya
dengan belung berkarat? Ah!
Cuma, malam itu Tody mengira istrinya sudah tidur. Maka dia masuk kamar dengan langkah
bersijingkat. Baru saja dia membaringkan diri, perempuan itu membalik badan, menelentang
menatap langit-langit dan berkata pelahan, "Mas Tody."
Tody diam.
"Aku tahu kau membenciku," kata Irawati.
Tody cuma menghembuskan napas kuat-kuat.
"Tapi, bagaimanapun kita telah menjadi suami istri. Aku istrimu, dan kau suamiku. Untuk selamalamanya
kita akan bersama."
Tody tak bereaksi.
"Anak yang kukandung ini tak kuketahui siapa ayahnya. Aku penuh noda untuk didampingkan
dengan kau.
Aku sama sekali tak berharga."
"Hargamu setengah juta!" kata Tody dingin.
Irawati merasakan tusukan nyeri di dadanya.
"Waktu Papa dan Mama bertengkar, baru aku sadar bahwa yang kulakukan selama ini telah
berakibat jauh.
Papa dan Mama tak pernah kulihat bertengkar. Kali ini, karena diriku maka mereka berselisih
hebat.
Sampai-sampai Papa menempeleng Mama. Ah, Mama yang kusayangi ditempeleng Papa. Papa
bilang, Mama tak bisa mendidik anak. Mama menangis. Menangis terus. Lalu Papa menyuruh
menggugurkan kandunganku. Dia mau mengirimku ke Jerman. Tapi, Mama melarang. Papa
bilang, “Kau mau arang tercoreng di kening kita dan semua orang melihatnya? Anak kita yang
lain akan malu!”
Mama tetap tak setuju.
Dosa anak kita adalah dosa kita, sudah sebegitu mengerikannya. Masih harus ditambah dosa
yang lain.
Bagaimana pertanggungjawaban kita pada Tuhan?” kata Mama. Papa terdiam. Mama tak hentihentinya
menangis. Kemudian... itulah, kita dikawinkan," kata Irawati.
Suara itu lunak, tetapi bagi telinga Tody menyakitkan.
Dia membelakangi Irawati, dan memulai kebiasaannya belakangan ini, menjelang tidur:
mengenangkan mata Widuri, bibir Murtini, Widuri, Murtini, Widuri, Murtini.
"Satu tempo anak ini akan lahir," kata Irawati tersendat. "Dan, dia mengira Mas Todylah
ayahnya."
Tody merasa perutnya mual. Dan, dia jengkel lamunannya terputus.
"Dan, dia mengira dia berhak memasang fam keluargamu di belakang namanya. Kau mungkin
membencinya. Bahkan melarangnya menggunakan fam keluargamu. Dia akan terheran-heran."
"Bisa diam enggak? Aku mau tidur!" kata Tody tawar.
Irawati menutup rapat mulutnya. Dari pinggir matanya, mengalir air bening. Hangat menimpa
pipinya. Dia menatap langit-langit kamar, tetapi pemandangan berbaur dengan air mata.
Tody mengatur jalan pernapasannya untuk mempercepat proses tidurnya. Dia memejamkan
mata. Irawati hanya menatap punggungnya. Lalu, perempuan itu berkata pelahan, "Aku akan
berusaha jadi orang baik, Mas Tody."
"Jadi baik atau jadi lonte, itu bukan urusanku!" kata Tody tanpa nada.

Sore itu, di Bioskop Royal, Tody bertemu Anton.
"Hai, ini sang manajer! Traktir dulu, ah!"
Tody tersenyum pahit.
"Kudengar kau sudah lulus. Di perusahaan mertuamu, kau sudah jadi direktur utama. Bukan
main, bukan main! Segalanya sudah kau raih. Ijasah sarjana, bini, dan kedudukan bagus."
Tody mengeluh tanpa suara. Mereka duduk di dekat gambar-gambar poster film.
"Kebetulan sekali ketemu," kata Anton. "Ada suster mau ketemu kau."
"Ngapain?"
"Mana aku tahu? Aku takut mengusut-usut suster. Takut kualat."
"Suster di mana?"
"Ayo, kuantar. Aku memang kepingin bertamu ke situ."
Mereka berjalan ke utara. Banyak mahasiswa Universitas Islam bergerombol di dekat pagar yang
mereka lintasi. Tanpa antusias, Tody membaca spanduk di dinding kampus itu. Kemudian dia
menatap ke utara, ke bekas kampusnya: Gadjah Mada. Pohon cemara bergoyang-goyang, dan
kerinduan melilit relung hati Tody. Dia merindukan kehidupan kampus kembali. Kehidupan yang
penuh gairah.
Jalan yang mereka lalui membentang dari Kampus UII menuju Kampus Gadjah Mada. Sekarang
mereka melintasi Rumah Sakit Panti Rapih.
"Waktu aku bertamu ke Asrama Syantikara, seorang suster pengawas di situ bertanya apa aku
kenal kau. Kenal sekali, kataku. Lalu, aku dimintainya memanggil kau kalau sempat."
Tody canggung berdiri dalam tatapan mata Suster Maria yang bening.
"Saudara Tody?" kata Suster Maria.
Tody mengangguk.
"Saya ada keperluan sedikit," kata suster itu seraya menatap Anton.
Anton tertawa.
"Oh, saya pergi dulu. Boleh saya menemui salah seorang penghuni asrama ini?" katanya.
Suster Maria mengangguk.
"Begini, Tody. Kau ingat Widuri?"
Tody merasakan debaran di dadanya. Dia mengangguk cepat.
"Sebenarnya lama sekali saya ingin membicarakan ini dengan kau. Tapi, saya pikir, setelah dia
kawin toh tidak ada gunanya lagi."
"Dia sudah kawin?"
"Yah."
Tody menghembuskan napas dalam satu keluhan.
"Tapi, katanya dia tidak bahagia. Sebab, perkawinan mereka karena terpaksa. Hampir sebulan
sekali datang surat darinya. Dia meminta nasihat saya. Tapi, apa yang bisa saya nasihatkan?
Saya tak mungkin mengubah jalan hidupnya. Nasihat saya apalah artinya." Suster Maria menatap
Tody.
"Dia kawin sudah hamil."
"Bah?"
"Waktu masih di Yogya sini, dia diperkosa oleh sekelompok anak muda."
"Siapa? Siapa? Siapa?" tanya Tody dengan napas memburu.
"Itu sudah berlalu. Widuri sendiri tak ingin peristiwa itu diketahui orang banyak."
Tody tersandar di kursinya.
"Lalu, ayahnya mengalami petaka. Pabrik penggilingan padi mereka musnah terbakar. Widuri
dipanggil pulang. Tak mungkin lagi melanjutkan kuliah. Dan, dia tahu dirinya hamil setelah
pulang ke desa. Lalu, tak lama kemudian dia kawin dengan seorang lelaki bernama Maryoto."
Tody merasa dadanya ditindih seonggok batu. Sesak.
"Belakangan lelaki itu tahu bahwa anak yang dikandung Widuri bukan anaknya. Perlakuannya
sangat kejam terhadap Widuri. Lebih-lebih setelah anak itu lahir. Maka Widuri sakit-sakitan
sekarang. Dia pernah menceritakan tentang kau. Katanya kau seorang yang baik. Jika dia mati,
dia ingin kau merawat anak itu. “Saya yakin, Ibu,” begitu katanya dalam surat, “Mas Tody mau
memenuhi permintaan saya ini.” Ah, lebih baik kau membacanya sendiri," kata suster tua itu
sembari mengeluarkan surat dari balik bajunya yang putih.
Tangan Tody gemetar.
Widuri, gadis yang membisu bagai pohon cemara di tengah padang, ternyata menyimpan sejuta
cinta. Kesepiannya ia tangguhkan seorang diri, kesengsaraannya adalah kerikil yang terpecah di
terik matahari.
Hancur dalam kepingan.
Dia kawin dengan seorang lelaki yang hanya ingin menaklukkan perempuan. Bukan karena
mencintainya. Dan, memang Widuri tak berani mengharapkan cinta dari lelaki itu. Dia cuma
membutuhkan seorang suami, agar sewaktu melahirkan dia bisa menulis namanya dengan
sebutan “nyonya”. Sebab, itu penting sekali. Sementara itu, setelah mengetahui keadaan Widuri,
Maryoto merasa ditipu.
Inilah karma, pikir Pak Hermanu, ayah Widuri yang menahan gelombang pada usia tua. Lalu,
orang tua ini bolak-balik menggali dosa, mencocokkan dengan kenyataan pahit yang harus
ditanggungkan anaknya dan dirinya sendiri.
Anaknya mencintai seorang pemuda, sedang pemuda itu tak membalas cinta gadis itu. Lalu dia
membenci pemuda itu, dan menghancurkan perasaan serta harapan-harapan pemuda itu. Maka
pemuda itu meninggalkan desa tanpa harga diri lagi.
Inilah balasan untuk setiap dengki dan keculasan, pikir lelaki tua itu. Dan, dia mengeluh.

Semakin berat kandungan Irawati, kian menyeringai ejekan. Tody tak tahan. Makin tak tahan
disiksa batinnya yang menghimpit. Dia yang selamanya berusaha hidup puritan, murni, dan jujur,
bagaimana bisa mengawini perempuan yang telah mengandung benih lelaki lain?
Pada belahan lain perasaannya, dia kadang-kadang iba melihat perempuan kurus itu. Dengan
pakaian hamilnya yang longgar, dia mondar-mandir di seputar rumah dengan mengemban beban
berat di perutnya. Sangat berubah dia. Dia yang dulunya begitu ceria, gadis yang lincah dan
senang bercanda, kini membisu sepanjang hari. Jika Tody berada di rumah, Irawati seperti
kucing yang didatangi tuannya dengan sebatang lidi di tangan, siap untuk mengusirnya. Matanya
selalu ketakutan.
Tetapi, belahan lain dari perasaannya, Tody merasa dihimpit oleh ejekan. Ha, lelaki yang menjual
dirinya! Lelaki yang mau menampung barang sisa! Lelaki yang hidup di bawah atap rumah yang
dibelikan oleh mertua! Air yang diminum adalah karena perempuan itu. Nasi yang ditelan adalah
berkat perempuan itu, perempuan yang dibencinya.
Akhirnya Tody tak tahan. Ketika sebuah perusahaan asing membutuhkan kepala proyek untuk
ditempatkan di daerah terpencil di Cilacap, dia melamar. Dan, diterima lamarannya. Tak ada
kebahagiaan yang bisa menandinginya. Dia berangkat tanpa pesan kepada istrinya. Dengan
bekal sebuah kopor, dia ingin segalanya tertinggal!
Usaha yang dihirupnya terasa nyaman. Kilauan atap seng perumahan pegawai proyek yang
dipimpinnya terasa indah. Dan, deruman mesin buldoser yang menguruk tanah terasa empuk di
telinga. Segalanya indah. Segalanya kemilau.
Tody menganggap hidupnya harus diawali di proyek itu. Andainya dia harus memperingati hari
penting dalam hidupnya, hanya ada dua: hari kelahirannya dan hari pertama dia menjadi kepala
proyek itu.
Kontak hanya berlangsung dengan Anton. Dia sering menulis surat buat Anton. Suatu hari dia
menulis surat begini:
Tak ada yang menandingi daerah ini, Anton. Ada sebuah sungai kecil yang airnya sangat jernih.
Di waktu istirahat, aku sering mancing di situ. Ikan-ikan sangat senang padaku.
Kau pernah bilang, bahwa aku potensiil jadi senewen. Dengan bangga kukabarkan pada kau
bahwa kemungkinan itu sangat jauh dariku sekarang. Memang ada di antara karyawan yang tak
tahan kesepian. Ada yang ingat bini, pacar, dan sebagainya. Mereka agak terganggu jiwanya.
Aku sedang pikir-pikir, apakah proyek ini memerlukan psikolog. Andainya diperlukan, aku akan
mengusahakan agar kaulah orangnya. Ingat, pasienmu bukan aku. Aku sangat sehat, dan otakku
sangat baik sekarang.
Soal cewek, seperti yang kautanyakan dalam suratmu yang lalu, bukan masalah yang sulit.
Dengan jip, dalam tiga jam bisa ke kota peristirahatan. Di situ ada kolam renang, hotel yang
bagus (sudah di up-grade untuk menyongsong PATA), dan ada nite-club tak resmi. Hostesnya,
yaaa, lumayan! Kapan-kapan akan kuceritakan lebih mendetil bagalmana kehidupan di situ.
Bagaimana pula aku mengenal seorang gadis yang nampak-nampaknya kesepian. Katanya dia
dikecewakan seorang lelaki. Mungkin juga dia cuma membohongiku. Kata salah seorang stafku di
kantor, biasa gadis-gadis penghibur mengarang cerita-cerita yang sedih. Mereka menghibur lelaki
dengan kesedihan hidup mereka. Tapi, aku tak peduli.
Nah, kalau kau ingin mengikuti kisah-kisahku selengkapnya di sorga ini, balaslah surat ini. Dan,
jangan lupa, jangan kau menyampaikan kabar-kabar buruk. Jangan sama sekali. Biar kehidupan
sorgawi ini tidak rusak.
Perubahan yang drastis telah terjadi pada diri Tody. Dia bukan lagi lelaki murung dan termangumangu
untuk menilai setiap langkahnya. Dia melakukan apa saja yang paling baik untuk
menyenangkan dirinya.
Lampu-lampu berwarna biru redup dan merah samar. Kursi-kursi terisi penuh. Salah seorang
stafnya baru saja melambaikan tangan dan keluar menggandeng perempuan. Tody tersenyumsenyum.
Untuk beberapa saat dia menunggu. Lalu, seorang gadis telah tegak di depannya.
Senyum gadis itu mekar.
"Sorry ya. Agak lama menunggu," kata gadis itu sembari duduk.
"Banyak tamu rupanya?" kata Tody.
"Ah, enggak."
Lalu percakapan selanjutnya hanya basa-basi. Apa pun yang dipercakapkan, toh nanti akan
berakhir dengan gandengan tangan dan meninggalkan ruangan itu.
Eyeshadow menyebabkan mata gadis itu kelihatan redup. Dan, hidungnya yang mirip hidung
Gina Lollo selamanya menimbulkan keinginan Tody untuk mengusapnya. Bibirnya merekah
menandakan dia siap dicium kapan saja, di mana saja.
"Kata Mas Tody mau mengantar saya ke tempat orang tua saya di Surabaya?" kata gadis itu.
"Ya. Tunggu senggang dulu dong."
"Lima bulan saya tak pulang."
"Ngumpulin duit terus?"
"Ih!" Gadis itu mencubit Tody.
"Orang tuamu tahu kau di sini?"
"Tentu saja tidak. Mereka kira saya masih sekolah."
"Kenapa sekolahnya ditinggal?"
"Buat apa sekolah?"
"Ya, betul. Lebih enak jadi ratu kecantikan atau ratu pariwisata. Kau pernah ikut pemilihan?"
"Ah, malu dong. Mana mungkin menang."
"Kenapa tidak? Kau cantik,...."
"Ih!" Gadis itu mencubit Tody hingga Tody tergial. Pasangan-pasangan mulai berdansa. Musik
pelahan mengiringi. Lampu-lampu hidup-mati-hidup-mati.
Terima kasih untuk suratmu, Anton. Aku kepingin menceritakan cewek yang sangat
mengagumkan.
Namanya Elsye. Aku tak tahu apa itu nama palsu atau asli.
Aku tak peduli. Biar palsu, tapi bagian lain dari dirinya tak ada yang palsu. Bulu matanya lentik
tapi bukan bulu palsu. Ya, mempesona. Dan, dadanya, pinggulnya, wah! Baru sekarang aku
sadar kenapa kau dulu tekun sekali memandangi dada dan pinggul gadis-gadis. Komposisi bagian
tubuh itu memang sangat menentukan untuk ujud keindahan.
Anton, nampak-nampaknya ada perkembangan baru dalam hubungan kami. Kaubayangkan, dia
sering datang ke rumahku. Ini keajaiban. Kata stafku, gadis itu akan memporot uangku. Tapi,
kenyataannya? Wah, dia menangis waktu kukasih duit sebagaimana lazimnya dalam bisnis
semacam itu. Dia menangis sedih. Katanya, dia ingin diperlakukan sebagai manusia, bukan
barang dagangan. Bayangkah, Anton. Dia tak mau hubungan komersil. Aku mengajuknya, “Kalau
begitu, kau tak boleh melayani lelaki lain.” Nah, gawat! Sebab, dia betul-betul tak mau lagi ke
nite-club itu. Dia tinggal di rumahku. Aku jadi pusing tujuh keliling.
Dia sudah mulai bicara soal cinta. Tapi, aku selamanya ingat advis kau. Bercinta dengan reserve.
Dia agresif, Anton. Sampai aku agak gugup. Dia bertingkah kayak biniku saja. Dia merapikan
buku-bukuku.
Merapikan meja kerjaku, Cuma, satu hal yang menimbulkan kejengkelanku. Dia mulai berani
mengatur aku memilih-milih pakaian. Kalau mau bepergian, dia memaksaku agar aku berpakalan
yang mode serta warnanya serasi dengan warna pakaiannya. Itu membikin aku panik.
Bagaimana kalau betul-betul jadi istriku? Mungkin dia akan mengatur lebih mendetil lagi.
Mungkin dia akan mengatur jam berapa aku harus membaca, jam berapa aku harus berak. Bah!
Berurusan dengan perempuan memang rumit, Anton. Bercinta memang menyenangkan. Tapi,
kalau harus lebih serius, yah, minta ampun. Terlalu banyak tetak-bengek yang memusingkan
kepala. Sekarang memang belum nampak tanda-tanda dia menuntut ini-itu. Mungkin karena
belum banyak perbandingan, soalnya di sini tidak begitu ramai. Bagaimana kalau kami tinggal di
tempat yang punya lingkungan beraneka macam? Apakah dia tidak akan mendesakku agar aku
memenuhi tuntutan-tuntutannya yang sesuai dengan kodrat perempuan, yang selamanya punya
"rising demand", tuntutan yang selalu meningkat?
Aku ingat bagaimana merajalelanya korupsi di negeri ini. Konon karena ulah para istri yang tak
pernah merasa berkecukupan. Kaum istri suka membandingkan kekayaan-kekayaan materiil
dengan lingkungannya.
Anton yang baik, andainya kau ada di sini, aku ingin kau menyelidiki gadis itu. Tipe bagaimana
sebenarnya dia. Nampak-nampaknya dia sangat mengagumi diriku. Baginya, aku seperti
pahlawan saja. Sementara itu, dia sangat memaksaku agar aku berpakaian kayak Rahadian
Yamin. Itu, peragawan yang gambarnya sering di majalah. Aku merasa dia mengagumi
kepintaranku, dan ingin menyempurnakan diriku dalam ujud yang paling sesuai dengan anganangannya.
Orang macam apakah itu, Anton?
Begitulah, Anton, kabar dariku. Oh, ya, soal istriku yang kausinggung-singgung dalam suratmu,
kuharap tak perlu kau mengabarinya padaku. Dia boleh-boleh saja konsultasi jiwa ke biro kalian.
Sebagai sahabat, kuharap kau mau memahamiku. Aku sangat ingin hidup sendiri. Dan,
bagaimana dengan dirimu? Tentunya, setelah lulus sarjana kau mau mengurangi kebinalanmu.
Aku menunggu kau mengabariku kapan kau kawin? Itu penting.
Tody baru saja menerima laporan dari kawannya. Kemudian dia kembali mengenangkan wajah
Anton. Rambutnya yang gondrong, senyumnya yang seperti bercanda, dan nasihat-nasihatnya.
Hanya kepada Anton dia menceritakan rencananya untuk bekerja di proyek ini. Walaupun Anton
menasihatinya agar dia tetap di Yogya, Tody tetap berkeras untuk meninggalkan segalanya. Dia
cuma berkata, "Tidak enak bernaung di bawah ketiak mertua."
Sementara itu, di rumah Tody, Elsye bernyanyi-nyanyi sembari menyapu ruang depan, dan
membersihkan kursi-kursi dengan kelud. Keningnya berkemyit ketika sebuah Mercedez 350
berhenti di depan rumah. Karena perjalanan jauh, tubuh mobil itu berselimut debu.
Eisye mengamati penumpang mobil itu. Seorang sopir tua, lalu seorang perempuan muda. Siapa
mereka?
Perempuan muda itu bertanya kepada tukang kebun di halaman. Tukang kebun menjawab
anggukan. Lalu mobil masuk ke halaman.
Perempuan muda itu turun dari mobil. Elsye mengawasi tubuh yang dibalut pakaian hamil. Dan,
perempuan hamil itu berkernyit keningnya menatap Elsye. Lalu dia bertanya, "Di sini tinggal
Faraitody?"
Elsye mengangguk.
Perempuan hamil itu melangkah masuk tanpa menunggu dipersilakan. Dia meletakkan tubuhnya
yang letih. Dia mengedarkan pandang berkeliling.
"Adik siapa?" tanyanya.
"Nyonya siapa?" tanya Elsye.
"Saya Irawati, Istri Faraitody."
Jantung Elsye menggelepar. Dia mengawasi mata yang sayu lantaran capek itu. Lalu, mengawasi
perut yang membusung. Irawati mengusap-usap rambutnya.
"Adik siapa?" tanya Irawati lagi.
"Saya.... saya.... saya....."
Nah, aku menang angin, pikir Irawati. Padahal, sejak awal tadi dadanya sudah berdebaran tak
menentu begitu melihat wanita di rumah itu. Dia merasakan gigilan yang hampir tak tertahankan
merambati sekujur tubuhnya. Kecanggungan gadis yang duduk di depannya merupakan peluang
bagi Irawati untuk menguasai medan.
"Adik di sini juga, tinggal?" tanyanya.
Elsye gelagapan. Sekejap dia menatap Irawati. Namun, sebelum dihunjani oleh Irawati dengan
pandangan dia kembali menunduk.
Sebenarnya usia mereka sebaya. Tetapi, kehamilan perempuan itu membuat Elsye merasa lebih
muda dan gugup.
"Sudah lama Adik mengenal Mas Tody?"
"Tiga bulan ini," kata Elsye terputus-putus.
"Hm," gumam Irawati.
Udara sangat panas. Kemarau di daerah itu telah berjalan lama. Tanah-tanah telah kering
kerontang.
Kendaraan yang lewat menerbangkan debu yang mengawan rendah. Membuat orang gampang
terbatuk-batuk.
Tody menghadapkan fan ke arahnya. Angin buatan itu meniup seluruh pori-pori tubuhnya,
mengalahkan panas yang diantarkan atap seng. Dari kamar kerjanya, dia memandang pekerjapekerja
hilir-mudik di halaman. Dan, tiba-tiba pintu terbuka menyentak. Wajah stafnya nongol.
Wajah yang gugup.
Tody mengangkat alis.
"Gawat, Pak," kata staf itu terengah.
"Ya?"
"Istri Bapak datang."
Sesaat saja Tody mengangkat kepala. Kemudian bahunya terangkat sebelah. Tak peduli.
"Dia ketemu Elsye di rumah Bapak."
Tody cuma bergumam.
"Sopir istri Bapak menunggu di luar."
Tody tetap tak peduli.
"Dia menunggu Bapak."
"Suruh kembali saja. Aku pulang sendiri nanti sore."
Stafnya keluar. Masih dililit tanda tanya dia. Jika aku bisa setenang itu menghadapi istriku,
alangkah baiknya, pikirnya. Aku akan menaklukkan istriku. Bukan kayak sekarang. Melihat bekas
lipstik di bajuku saja, dia melabrakku sampai aku blingsatan dibuatnya. Boss itu, tenang-tenang
saja walau istrinya menemukan gundiknya di rumahnya. Bukan main, bukan main.
Di sini pegawai staf itu terbengong-bengong. Di sana, Elsye tergugup-gugup. Irawati mengambil
peranan menyerang.
"Aku istrinya," katanya. "Lihatlah, aku sedang hamil. Beratus kilometer mengadakan perjalanan,
untuk menemuinya. Andainya kau mengalami seperti yang kualami ini, apakah yang akan
kaulakukan?"
Elsye tak menjawab.
"Boleh jadi dia bilang tak bahagia dalam rumah tangganya. Ada dia bilang begitu?"
Elsye menggeleng.
"Dia tak pernah menceritakan rumah tangganya?"
Elsye tetap menggeleng.
"Dia tak pernah mengatakan bahwa dia punya istri?"
Menggeleng lagi Elsye.
"Tak pernah kautanyakan?"
Elsye menggeleng.
Irawati menghembuskan napas panjang. Entah keluhan, entah kepanasan, tak bisa diduga.
"Apakah kau tak pernah meneliti lelaki yang kaugauli, apakah dia beristri atau belum?"
Elsye menggeleng lagi. Udara yang dihirupnya terasa pengap.
Tak ada mobil di halaman. Rumah pun sepi. Jika dua orang perempuan di bawah satu atap,
seharusnya terdengar suara kicau mereka. Mungkin membicarakan diri sendiri, atau merasani
perempuan lain. Tetapi, cuma kesenyapan yang ada. Nah, tentunya Irawati sudah pergi.
Tody lega.
Tody masuk ke rumah. Makanan masih tertutup di meja. Dia mengedarkan pandangan.
Segalanya rapi. Tak ada tanda-tanda perselisihan. Di mana Elsye?
Tody membuka pintu kamarnya. Sesosok tubuh berbaring di tempat tidur. Kamar itu gelap sebab
jendela tertutup. Fan mendengung di sudut ruangan. Tody bersijingkat ke tempat tidur.
"Hello, Elsye Sayang." Dan, dia mencium pipi perempuan itu. Tetapi, pipi itu dirasanya basah.
Dia mengelus pipi perempuan itu.
"Kenapa, Sayang?"
Sepasang tangan memeluknya, dan tangisan meledak.
Eh, bau parfum ini bukan milik Elsye. Dan, isak ini.... ah!
Tody meneliti tubuh perempuan itu dalam keremangan kamar. Dia tersentak. Lalu merenggutkan
badannya dan cepat-cepat menyalakan lampu. Cahaya menyergap menyinari Irawati yang duduk
di pinggiran tempat tidur. Tody terpana.
Irawati masih terisak.
"Kenapa kau kemari?" tanya Tody dingin.
Irawati hanya menatapnya dengan bersimbah air mata.
"Mana Elsye?" Lebih dingin suara Tody.
"Sudah pergi," kata Irawati.
"Kenapa dia pergi?"
"Dia pergi, dia pergi...."
"Apa yang kaubilang pada dia?"
"Tak apa-apa. Tak ada."
"Jadi, kenapa dia pergi?" Suara Tody sengit.
Irawati menekap mukanya. Air matanya merembes dari celah jarinya.
"Kauusir?"
"Tidak, tidak, tidak...."
"Dia jauh lebih baik dari kau. Tahu?"
"Ya," desah Irawati.
"Dia leblh berhak di rumah ini!"
Irawati tak menjawab.
"Aku mencintainya!" kata Tody keras.
"Ya, aku tahu."
"Jadi, kenapa kau masih di sini?" kata Tody ketus.
"Karena aku mencintaimu."
"Taik cinta!"
"Karena aku istrimu, aku istrimu...."
"Jangan sebut-sebut itu!"
"Istrimu! Disaksikan orang tuaku! Disaksikan pastor!"
"Siapa yang menyaksikan persetubuhanmu dengan ayah anakmu itu?"
Isak Irawati kembali berdesakan.
"Tak usah menangis. Memuakkan! Aku harus mencari Elsye. Ke mana dia?"
"Kembali ke tempatnya. Ke tempat peristirahatan itu. Di Bandungan."
Tody menggeram.
"Jadi, kau tahu siapa dia?"
"Ya, aku tahu," kata Irawati tanpa mengangkat kepala.
"Dari siapa kau tahu?"
"Anton."
Tody menggumamkan makian dalam bahasa Flores.
"Kau mencintai pelacur!" kata Irawati.
"Bah! Pelacur? Lalu, kau sendiri apa? Anak seorang kaya, terhormat, berpendidikan, apa lagi?
Apa lagi?
Tapi, yang kaukerjakan apa? Tak lebih dari lonte! Bahkan lebih kotor lagi. Sampai tak tahu sumber benih dalam perutmu! Fuih!"
Irawati terdiam.
"Kaupikir kau lebih baik dari dia? Aku mencintainya. Itu di atas segala-galanya. Tak peduli siapadia, dan bagaimana dia!" Tody gemetar. "Sekarang aku bebas dari kekuasaan ayahmu. Tak ada lagi kekuasaannya untuk memaksa aku memperistrimu. Aku bebas untuk mencintai siapa saja yang kuinginkan. Dan, jelas bukan kau! Kau sama sekali tak punya arti, tak punya harga! Tahu?"
"Ya," desah Irawati.
"Nah, kalau sudah jelas, tinggalkan rumah ini. Ini rumahku. Kedudukan yang kuperoleh sekarang berkat pribadiku, bukan hadiah dari ayahmu!"
"Ya," desah perempuan itu lebih pelahan.
Tody mondar-mandir.
"Mana mobilmu? Aku ingin kau pergi sekarang!"
"Masih mengantar Elsye."
"Hm." Tody mondar-mandir lagi.
Irawati mengangkat kepala, menatap ujung kaki Tody.
"Kenapa aku tak boleh memulai hidup lebih baik?" katanya terbata-bata.
"Karena kau tak berhak. Kau kotor! Hina!"
"Kenapa seorang pelacur boleh?"
Tody terdiam.
"Kalau aku memang serupa dengan lonte, kenapa dia boleh dan aku tidak?" Suara perempuan itu murung.
Sesaat Tody tercenung, tetapi kemudian berkata tajam, "Karena aku mencintai dia. Kau tak punya arti apa-apa buatku. Habis!"
Irawati menelan air matanya.
Tody keluar dari kamar itu.
"Kau harus meninggalkan rumah ini. Segera!" katanya keras.
Irawati mengusap air matanya. Lalu, katanya pelahan, "Izinkanlah aku numpang istirahat sesore ini. Nanti malam aku kembali ke Yogya."
Tody tak menjawab. Dia melangkah keluar.
Irawati kembali membaringkan diri. Punggungnya terasa nyeri. Sekujur tulang-tulangnya serasa
ditusuk ribuan jarum. Dia mengeluh tanpa suara.

Semak Kering Meranggas
TODY melarikan jipnya kencang-kencang di jalan berdebu. Senja telah remang-remang, tetapi
dia kenal betul akan jalan yang menuju tempat peristirahatan itu. Langsung ke hotel dia.
Tak ada tanda-tanda bersedih tertinggal di mata Elsye. Perempuan ini tersenyum-senyum
menyambut kedatangan Tody.
"Habis dilabrak istrimu, Mas Tody?" katanya.
Tody tak menjawab.
"Saya akan meninggalkan tempat ini," lanjut Elsye.
"Ah! Kenapa?"
"Yah, mau apa lagi?"
"Kita kawin," kata Tody.
Elsye tertawa nyaring.
"Istrimu galak. Saya takut."
"Dia tak punya arti apa-apa."
"Siapa mau percaya?"
"Dia sudah kusuruh pergi."
Elsye menatap Tody dalam-dalam.
"Bagaimana kau bisa berbuat begitu pada istrimu yang sedang hamil?"
"Ah, peduli amat!"
Elsye tercengang.
"Aku tak mencintainya," kata Tody.
"Tapi, dia sudah hamil."
"Ah!" Mulut Tody nyaris terbuka untuk mengatakan bahwa anak yang dikandung istrinya itu
bukan benih darinya. Tetapi, kemudian mukanya padam. Bagaimana harus menerangkan
kebusukan yang mau tak mau akan merembet pada kelemahan dirinya nanti? Ya, kenapa dirinya
mengawini perempuan itu? Bukankah itu hanya menepuk air di dulang?
"Selama ini saya sangat mengagumi Mas Tody. Bagi saya, kau adalah lelaki yang sempurna.
Tapi, dengan perlakuan Mas Tody terhadap istri seperti itu, saya kehilangan kekaguman saya.
Makanya saya sungguh-sungguh tak menyesal menerima persyaratan dari istrimu itu."
"Syarat-syarat apa?"
"Dia memberi saya uang." Lalu Elsye mengeluarkan seberkas uang dari tasnya, dan selembar
cek. "Ini cukup untuk membuka butik yang saya inginkan selama ini, di Surabaya. Saya sama
sekali tidak menyesal kehilangan Mas Tody." Dan, Elsye tertawa lagi.
Tody termangu-mangu. Elsye kembali melipat-lipat pakaiannya, memasukkan ke dalam kopor.
"Kau sungguh-sungguh, Elsye?"
"Tentu saja sungguh-sungguh. Terus terang, akupun takut mengalami nasib seperti istrimu kalau saya hamil nanti. Siapa tahu kau masih akan ketemu sama perempuan lain?"
Tody terdiam.
"Sebelum saya mengetahui kau sudah beristri, saya mengira kau adalah orang yang sering datang dalam mimpi-mimpi saya selama ini. Ya, saya memang pemimpi. Itu sebabnya saya datang kemari. Saya bosan sekolah. Di sekolah, belum tentu saya akan ketemu lelaki yang tampan, punya kedudukan bagus, dan bergaji gede. Di tempat ini, saya berharap dapat menemukan orang yang saya impikan. Di sini lebih mungkin ketemu dengan orang-orang yang saya impikan. Sebab, hanya orang-orang yang berduit saja bisa datang ke sini. Siapa tahu ada yang mencintai saya?"
Tody menelan ludahnya.
"Andainya kau belum beristri, saya akan bahagia sekali. Kau orang yang saya cari-cari selama ini. Tapi, sekarang lain sekali soalnya. Saya hanya ingin jadi first lady!"
Tody merasa lidahnya getir.
Yang tinggal sekarang hanya sisa-sisa bau parfum dan keringat Irawati di bantal, dan di bantal
yang satu lagi bau keringat serta parfum Elsye. Segalanya tinggal bekas. Malam yang berlalu
adalah kecamuk gelisah. Siang yang datang adalah kemarau garing. Perempuan-perempuan di
tempat peristirahatan Bandungan itu tak ada pesonanya lagi.
Dan, Tody lebih sering membuka botol sampanye, bols, martini, dan semacamnya. Diam-diam
dia mereguk minuman-minuman itu di rumah. Dan, diam-diam pula dia menanti rambatan
gelombang yang datang dari kepalanya, yang akan mengantarnya tidur.
Hanya seorang yang dekat kepadanya, Anton. Tetapi, dia sedang jengkel kepada lelaki itu.
Memberi tahu Irawati alamat di tempat terpencil ini, sungguh-sungguh tak bisa dimaafkan.
Antonlah penyebab kericuhan yang ada sekarang. Dialah penyebab kerisauan yang bergalauan
sekarang ini.
Tetapi, surat Anton masih datang.
Aku tahu kau marah padaku, Tody. Kuharap, kemarahanmu itu tidak menjadikan persahabatan
kita rusak. Aku tak bisa merahasiakan keadaanmu pada istrimu. Tak bisa. Seorang perempuan
hamil, duduk di depanku, dan bersimbah air mata. Apa yang bisa kulakukan lagi? Dia bukan
hanya sebagai pasien biro konsultan kami. Dia adalah istri sahabat baikku.
Dia sudah lama menjadi pasien biro kami. Dia mengalami stres yang parah. Dia dihimpit
penyesalan yang tak henti-hentinya. Walaupun dia sudah berhasil menghentikan kecanduannya
terhadap narkotik tanpa obat-obatan pembantu dari dokter (itu ketangguhan yang tidak setiap
morfinis sanggup melakukannya), dia takkan bisa keluar dari tekanan batinnya tanpa bantuan
kau.
Itu sebabnya aku memberi tahu alamatmu. Maafkanlah kelancanganku. Aku tak punya pilihan lain. Soalnya, aku tadinya tak mengetahui masalah kalian mendasar. Kukira hanya seperti yang kaubilang, "Tak enak bernaung di bawah ketiak mertua." Aku kira kau hanya ingin menunjukkan eksistensimu sebagai lelaki yang tangguh, yang menegakkan kepala menghadapi realita.
Maafkanlah, belakangan aku mengetahui persoalan kalian. Semua telah diceritakan istrimu
padaku. Jika begitu keadaannya, kau membutuhkan seorang psikolog yang sekaligus pastor sebagai penasihatmu. Semacam Brouwer dari Bandung itu barangkali. Bukan semacam aku. Aku masih terlalu muda untuk memberikan pandangan-pandangan.
Mungkin ini tak menggugah perasaanmu. Sejak pulang dari tempatmu, istrimu sakit-sakitan
terus. Memang, sejak semula badannya lemah. Ini tentunya disebabkan faktor psikisnya yang
kacau.
Tody hampir mencampakkan surat itu, tetapi bagian akhirnya surat itu menarik perhatiannya.
Matanya tertancap pada sebuah nama dengan hurup "W" mengawali nama. Cepat-cepat dia
menelusuri alinea itu.
Widuri baru-baru ini datang ke Yogya untuk berobat. Dia sudah punya anak, tetapi katanya dia
tak bahagia. Kulihat, dia memang kurus sekali. Matanya rawan, jiwanya letih seperti halnya
tubuhnya. Dia bilang, dia ingin menitipkan anaknya padamu dan istrimu.
Ah, Tody, maafkanlah kalau aku terlalu berani mengatakan ini. Hidupmu sangat unik. Kau yang
begitu puritan, pendiam, dan jujur, tapi bisa mengalami kejadian begitu rumit dalam persoalan
cintamu. Dua perempuan mencintaimu, dan keduanya tak bahagia. Seorang istrimu, dan seorang
lagi istri orang lain.
Kau ingat pembicaraan kita di kampus tempo hari? Di bawah cemara yang derainya takkan bisa
kita lupakan. Aku waktu itu bilang, “Widuri mencintaimu.” Ya, cinta yang unik. Kukira karena dia
dididik oleh lingkungan kulturil yang mewajibkan orang harus menyekap perasaan. Itulah yang
menyebabkan dia menyembunyikan cintanya. Kuituril Jawa hanya menghargai orang yang bisa
menahan dan menyembunyikan gejolak perasaan. Marah tak boleh kelihatan, sedih dalam
kematian tak perlu ditunjukkan, benci yang nampak hanya ciri seorang yang kasar. Begitu juga
cinta. Sayang, dulu-dulu kau tak dapat menangkap yang tersirat di balik yang nampak itu.
Barangkali di sinilah esensi filsafat hidup Jawa, “tepo seliro” yang terkenal itu. Kita harus berusaha
bisa menangkap apa yang tersirat da]am perasaan orang lewat “sasmito”, lewat intuisi saja."
Tody melipat surat itu pelan-pelan. Oh, Widuri yang sengsara, Widuri yang kadang-kadang
menatap dengan nanap sewaktu rapat-rapat Dewan Mahasiswa di Kampus Gadjah Mada.
Apakah sebenarnya pangkal dari seluruh kemelut ini? Keragu-raguan, ketidakberanian
mengekspresikan perasaan, lingkungan yang ketat menyorot dengan kultur yang penuh kepurapuraan?
Itukah? Itukah? Itukah? Kenapa harus disekap perasaan kalau memang tidak ada
dosanya untuk mengekspresikan? Dan, inilah sekarang akibatnya. Rumpun semak meluruhkan
daun-daunnya yang kering. Daun yang menggumpal jadi satu, dan namanya: kemelut.
Tody meremas kemelut yang menggumpal pada dirinya.
Dia datang ke Yogya. Jipnya meraung membelok ke rumah Anton. Anton terperanjat menyambutnya.
"Aku mau ke desa Widuri," kata Tody datar. "Bagaimana pendapatmu?"
"Pendapatku? Ngapain ke sana?" kata Anton terbata-bata.
"Menyuruhnya bercerai dari suaminya!"
"Ah, gila kau!"
"Aku kenal betul suaminya. Bajingan itu!"
"Bajingan atau budiman, itu suaminya."
"Dia harus bercerai. Aku akan mengawininya."
"Jangan gila-gilaan, Tody. Kita hidup dalam masyarakat yang punya norma-norma. Apa penilaian
orang terhadap perbuatan semacam itu?"
"Persetan penilaian orang! Bertahun-tahun aku dilibat penilaian orang, dan aku menerima akibatnya. Kesengsaraan!"
"Ah, kita pikirkan dulu pelan-pelan. Dia hanya ingin agar kau dan Irawati merawat anaknya. Aku tak tahu kenapa," kata Anton.
Tody menyandarkan diri ke sandaran kursi. Tubuhnya letih.
"Sendiri aku tersiksa, di sana dia tersiksa pula. Padahal kami akan bahagia kalau bersama-sama.
Kenapa harus menundanya lebih lama? Aku akan paksa suaminya menceraikan dia. Persetan!
Aku akan mengawininya di pencatatan sipil. Biar dia diberkati pastor!" kata Tody.
"Ah, janganlah."
"Kau selamanya memahamiku, Anton. Berilah aku dorongan spirit." Suara Tody melemah.
Anton terdiam. Mata Tody resah. Di halaman, jip Tody masih gemetar oleh sisa mesinnya yang
masih panas. Debu menyelimuti tubuh mobil itu.
Secara materiil, apa lagi yang kurang bagimu, Tody? Anton berpikir diam-diam. Kedudukan
punya kans yang cemerlang, gaji besar, tapi matamu tak beda dengan remaja-remaja yang
kehilangan kepercayaan pada diri sendiri. Alangkah berbeda dengan masa kita ketika masih
menghirup udara nyaman kampus.
Tuhan Allah, inikah Widuri yang kukenal dulu? Tody terpaku di pendopo rumah Pak Hermanu.
Mesin jipnya masih berdetik-detik karena kepanasan, dan masih dirubungi anak-anak. Inikah
Widuri yang bermata jernih tempo hari?
Oh, dia bukan lagi pohon cemara berdaun hijau teduh. Dia tinggal sebatang pohon yang telah
kering, mencuat menahan kemarau. Oh, derita apa yang ditimpakan suamimu? Sengsara apa
yang kautelan bulan-bulan ini, Widuri?
Tody ingin merangkul perempuan yang berdiri mematung di depannya. Sedikit saja perempuan
itu bergerak maju. Tody akan menerkamnya, membenamkan dalam pelukannya. Tetapi, Widuri
seperti arca tua. Dan, Pak Hermanu tertegak bagai batu gunung yang keropos di samping anakgadisnya.
"Widuri," desah Tody.
Bibir gadis itu, yang pucat, terkuak.
"Mas Tody...."
"Aku datang, Widuri," kata Tody terengah.
"Kenapa kau datang? Untuk apa?"
Tody terpaku. Setumpuk kata yang siap dikeluarkannya menggumpal di dadanya, membuat
napasnya sesak.
"Aku akan membawamu pergi. Kita memulai hidup baru. Jauh, jauh dari sini."
Senyuman Widuri samar.
"Ah," keluhnya.
"Duduklah dulu, Nak Tody," kata Pak Hermanu. "Wiwik, duduklah. Maaf, Nak Tody, Widuri
sedang sakit."
Tody merasa kakinya melayang mencapai kursi.
"Tidak, Mas Tody," kata Widuri hampir tak terdengar. "Saya akan tetap di sini. Selama-lamanya
akan disini. Dan, saya kira takkan lama lagi."
"Wiwik!" kata Pak Hermanu tersekap.
Widuri menatap ayahnya, dan dia tersenyum pias.
Tody merasa sejuta kunang-kunang mengerjap-ngerjap. Enam jam sendirian terbanting-banting
di dalam jip yang berlari dalam kecepatan tinggi. Tubuhnya lunglai.
"Saya sudah tahu kau kawin dengan Irawati," kata Widuri. Suaranya mengambang di telinga
Tody. "Satu keinginan saya, Mas Tody, barangkali Ayah tidak setuju, tapi ini keinginan saya, kau dan Irawati memelihara anak saya kalau saya mati."
"Bah!" Jantung Tody menyentak. "Kenapa kematian segampang itu kaukira?" katanya dalam
napas memburu.
Widuri tersenyum pahit.
"Anak saya laki-laki, Mas Tody. Istrimu akan mau memeliharanya. Saya yakin. Katakan saja anak itu bukan dari benih suami saya. Istrimu akan memahaminya. Dia akan kasihan pada anak itu."
Tody menggigil. Gemetaran sekujur jaringan tubuh Pak Hermanu.
"Umurmu masih panjang, Widuri. Masih panjang. Kau harus meninggalkan ketakbahagiaan di
sini. Memulai kebahagiaan dengan aku di tempat lain." kata Tody.
Widuri menggeleng-geleng.
"Tinggalkan suamimu! Tinggalkan desa terkutuk ini!" Mata Tody menyala-nyala melintasi dari
wajah Widuri ke wajah Pak Hermanu. Lelaki tua itu tertunduk.
"Saya tidak akan meninggalkan desa ini untuk selama-lamanya," kata Widuri pelan.
"Ah!" Tody meremas jari-jari tangannya sendiri hingga tulang-tulangnya berbunyi gemeratak.
"Kematian itu tak bisa diduga datangnya, Mas Tody. Dan, terasa menyenangkan kalau memang kita tunggu dan harapkan."
"Bah! Kau harus hidup! Harus! Harus! Harus! Sakitmu bisa sembuh!" Suara Tody meninggi.
Widuri hanya mengangkat bahu. Matanya berkaca-kaca. Mata yang buram. Kaca-kacanya pun suram.
"Jadi, kau menolak cintaku?" kata Tody.
"Sebelum kau mengetahui isi hati saya, saya sudah mencintaimu, Mas Tody. Tetapi, nasib saya seperti rumput-rumput yang menunggu hujan di musim kemarau."
"Sekarang belum terlambat."
"Kalau kau memang mencintai saya, peliharalah anak saya kalau saya mati nanti."
"Bah!" Tody menghembuskan napas yang menggelora. Namun, badai di dadanya tetap tak mau reda. Widuri mengusap lelehan air matanya.
"Saya lebih suka mati dalam keadaan bersih dari cibiran orang, Mas Tody, daripada hidup menahan nista. Seorang istri tak boleh meninggalkan suaminya untuk ikut lelaki lain betapapun suaminya iblis laknat.
Itulah nasib yang harus dijalani dalam karmanya."
"Bah! Apa itu karma!" Tody melarikan jipnya kencang-kencang. Jalan yang menghubungkan desa itu dengan Yogya membanting-banting tubuh mobil itu. tetapi, Tody tak peduli. Badannya terlonjak-lonjak, tetapi persetan!
Dia menginjak gas lebih dalam lagi. Tiga puluh, empat puluh, lima puluh, enam puluh,
spedometer menanjak terus. Ban mencicit-cicit manakala mobil menginjak jalan beraspal.
Kecepatan bertambah lagi. Tody mengejar senja yang hampir pergi. Malam sudah mulai
menggeser-geser. Jip itu meraung. Spedometer bergerak melampaui kulminasi. Meraung.
Melayang. Dan, terbanting. Dan, ringsek. Dan, penduduk panik. Dan, ambulan PDR meraungraung ke Yogya.
Perawat-perawat berpakaian putih bersih berseliweran di Rumah Sakit Panti Rapih.
"Mama, Papa, mana Mas Tody?" keluh Irawati.
Ibunya menggenggam telapak tangan Irawati.
"Sebentar lagi dia datang, sebentar lagi," kata perempuan tua itu.
Irawati kembali memejamkan mata. Dokter memeriksa nadinya.
Kamar bercat putih itu sejuk. Bau formalin mengambang. Irawati menanti saat kelahiran anaknya. Tubuhnya terlalu lemah akibat krisis.
"Bagaimana keadaannya?" bisik ayah Irawati kepada istrinya.
Perempuan itu menatap nanap.
"Krisis. Baru saja keluar dari kamar operasi," katanya dalam bisik pula.
"O, mudah-mudahan selamat." Lelaki tua itu menatap anaknya. Wajah Irawati yang terpejam pias mengingatkannya ketika anak ini masih kecil, ketika masih dalam bobongannya. Anak perempuan satu-satunya yang disayangi seluruh kduarga.
"Bagaimana kalau dia tidak mau menemui Ira?" katanya.
"Oh, janganlah, janganlah," keluh istrinya.
Kemudian ruangan itu sepi. Suara napas Irawati berat. Dokter belum memastikan apakah operasi caesar dijalankan atau tidak. Irawati tetap memanggil-manggil suaminya. Di bawah atap yang sama, Tody terbaring lemah. Dia telah siuman. Dia mengamati langit-langit kamar yang kabur.
Dia menyadari bahwa sekarang seluruh tubuhnya tak bisa digerakkan. Dia melihat balutan dan
balutan. Oh, apakah yang terjadi? Di manakah aku? Denyutan pertanyaan merambat di
kepalanya. Seorang perawat yang sejak tadi duduk di sampingnya, berdiri dan keluar memanggil dokter. Dokter kemudian memeriksa keadaan Tody. Lalu dia mengangguk-angguk.
"Panggillah Nyonya itu," katanya.
Hampir berlari perawat itu keluar.
"Nyonya bisa bicara, tapi jangan lama-lama. Dia perlu istirahat," kata dokter itu. Lalu dia keluar diiringkan perawat. Perempuan tua itu duduk hati-hati. Bagai memegang gelas yang rapuh, dia memegang telapak tangan kiri Tody yang tidak terbalut.
"Nak Tody," katanya hampir berbisik. Kelopak mata Tody bergerak.
"Bagaimana perasaanmu?"
Tody cuma bergumam.
"Ira juga dirawat di sini," kata perempuan tua itu tersendat.
Kelopak mata Tody bergerak lagi.
"Dia akan melahirkan."
Cuma gumaman jawaban Tody.
"Dia menyebut-nyebut namamu terus."
Kelopak mata Tody terpejam.
"Dia mengalami krisis." Tangan perempuan tua itu mengelus kulit tangan Tody yang sudah mati rasa. "Dia ingin ketemu dengan Nak Tody."
Kelopak mata Tody terangkat sekejap, tetapi kemudian mengatup kembali.
Persis ketika perempuan tua itu berkata, "Kau mau menemuinya, bukan?"
Ibu Irawati resah.
"Dia belum mengetahui kecelakaanmu. Dia mengira kau masih di tempatmu bertugas."
Riak menggumpal di tenggorokan Tody.
"Kata dokter, dia akan lebih kuat kalau bisa bertemu dengan Nak Tody."
Tody bergumam.
Ibu Irawati mendekatkan telinganya, tetapi tetap tak bisa menangkap kata-kata yang digumamkan Tody.
"Oh, kau tentunya membencinya. Oh, janganlah, janganlah, Nak Tody. Kalau mau membenci, kutuklah saya. Sebab sayalah yang tak bisa membimbingnya. Sayalah yang menyebabkan dia liar." Perempuan tua itu terisak. "Kau bisa membayangkan bagaimana seorang ibu mengetahui bahwa anak yang dikasihinya ternyata pendek umur. Itulah yang saya alami sekarang ini, Nak Tody. Itulah yang menyiksa saya dari tahun ke tahun."
Tody membisu dalam balutan perbannya.
"Waktu dia kecil, iseng-iseng saya membawanya ke worang peramal. Ahli kebatinan. Wajah
peramal itu murung setelah melihat muka dan rajah tangan Ira. Dia tak mau memberitahukan
ramalannya. Dia cuma menasihatkan agar saya berlaku sebaik-baiknya kepada Ira. Nasihat yang aneh. Ira anak perempuan saya satu-satunya. Tanpa nasihat itu pun saya tentu menyayanginya lebih dari anak-anak yang lain. Oh, kau mendengar cerita ini, Nak Tody?"
Gumaman hanya berhenti di tenggorokan Tody.
"Kemudian seorang ahli kebatinan lain menafsirkan nasihat itu. Katanya, “Nasib manusia tak
terelakkan. Ira tidak panjang umur.” Bisa kaubayangkan perasaan saya, Nak Tody? Anak yang
paling saya sayangi, akan hilang. Akan hilang. Saya memanjakannya. Saya tak pernah
menghalangi keinginannya. Bagaimana mungkin menghalanginya sedangkan saya tahu dia akan meninggalkan saya dalam waktu yang singkat? Itulah, Nak Tody, itulah. Ramalan itu telah
menghancurkan diri saya. Dan, itu pula yang menghancurkan diri Ira. Tiap kali memandangnya,
saya teringat ramalan hidupnya. Hati saya rusuh berkepanjangan. Tak pernah tenang." Air mata perempuan itu membasahi seluruh wajahnya. Bahkan ada yang menetes ke ranjang Tody.
Akan tetapi, Tody tak merasakan apa-apa.
"Saya berusaha membantah ramalan itu. Dan, sekarang dokter-dokter terpandai di Panti Rapih ini akan membantah ramalan terkutuk itu. Tapi, bantulah mereka, Nak Tody. Bantulah saya.
Bantulah Ira. Dia ingin bertemu dengan kau. Ingin melihat bahwa kau tidak membencinya. Kalau bisa melihat kau mencintainya. Oh, itu terlalu mahal. Kau tidak membencinya, itu sudah cukup baginya."
Tody merasakan rambatan nyeri di perutnya.
Perempuan tua itu lebih erat mendekap tangan Tody.
"Mengangguklah, Nak Tody, tanda kau mau ketemu Ira tanpa rasa benci."
Tody tak bereaksi.
"Tolonglah saya, Nak Tody. Hanya kau yang bisa menolong." Perempuan tua itu berberai air
mata.
Tody menatap wajah yang pilu. Mata yang hitam berkedip-kedip menatapnya penuh harap. Mata seorang ibu. Maka Tody ingat kepada ibunya di pulau yang jauh di sana. Lalu terbayang pula kerabat-kerabatnya, ayahnya, adiknya, dan ibunya lagi. Lalu dia mengangguk.
Ibu Irawati melepaskan napas lega. Tetapi, kemudian kembali gugup melihat Tody terbatukbatuk.
Rasa nyeri menikam dada Tody. Makin kabur pandangan matanya. Bayangan ibunya, ayahnya,
Margriet, padang-padang penggembalaan, rumput-rumput setinggi pinggang, ibunya, ayahnya,
Margriet, beputaran dalam bayangan yang kabur dan kelabu.
Dia terbatuk dan muntah. Darah!
Ibu Irawati panik. Dia memijit bel panjang-panjang. Perawat dan dokter datang berlari-larian.
Di ruangan lain, Irawati membuka matanya. Tertatap wajah ayahnya.
"Mas Tody belum datang, Pa?" tanyanya dalam desah.
"Sedang dijemput Mama. Sebentar lagi, sebentar lagi."
Rambatan nyeri di perutnya membuat Irawati terengah dan mengerang. Ayahnya memijit bel
panjang-panjang. Perawat dan dokter datang berlari-lari.
"Segera dioperasi," kata dokter itu.
Ayah Irawati menatap brankar yang didorong perawat-perawat. Lantai rumah sakit mengkilat,
dan brankar meluncur tanpa suara.
Di mana Tody? Ah, apakah dia tak mau bertemu dengan Ira? Ayah Irawati menghela napas berat berkali-kali. Dia menatap kesibukan para perawat yang tidak menimbulkan suara.
Di bawah atap yang sama, mereka berbaring. Tetapi, mereka tak saling menatap. Masing-masing dihimpit oleh kesengsaraan. Keduanya ingin saling bertemu. Sejak tadi Irawati memanggil-manggil Tody.
Tody pun ingin bertemu dengan gadis itu. Ingin sekali. Ingin sekali.
Burung gereja mencicit di teritisan rumah sakit. Perawat-perawat melangkah dengan sepatu yang berdesir-desir. Topi dan pakaian mereka yang putih bergerak-gerak dari gang ke gang. Wajah mereka tulus menatap orang-orang yang berbaring.
Rumah sakit itu hening. Rumput dan bunga di halaman kadang-kadang bergoyang tertiup angin.
Dan, di ruang operasi rengekan bayi menyibukkan dokter-dokter bermasker. Burung gereja menangisi siang yang terik, bersama tangis bayi yang baru lahir.
Ayah Irawati melihat istrinya mendatanginya dengan kepala tertunduk. Oh, wajah tua yang pias, wajah yang kuyu, tubuh yang lunglai. Oh, jangan menyampaikan kabar sedih. Jangan mengatakan bahwa Tody masih membenci Ira yang malang.
Ya, tak ada yang akan disampaikan. Ucapan tak ada lagi tersisa.
Burung gereja masih juga mencicit di ranting-ranting pohon. Sayapnya yang kecil menerjangnerjang dedaunan dan ranting. Bising dalam keheningan tempat itu.
Anton termangu-mangu. Tak sadar matahari di kulminasi membakar ubun-ubunnya. Dari matanya merembes kesedihan. Merembes ke arah dua gundukan tanah di depannya. Gundukan yang berdampingan, dengan nama Faraitody Wangge (3 Juli 1946 - 12 Mei 1973) dan Nyonya Irawati Faraitody Wangge (13 November 1953 - 12 Mei 1973).
Selamat siang, Orang Muda, Selamat siang, Kesedihan!

Tamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar