Senin, 14 November 2011

PILIH SANSE SESUAI KEBUTUHAN

Lidah mertua memang dikenal sebagai tanaman anti polutan, yang bisa menyerap polusi udara dan tanah. Namun, tanaman ini pun tetap cantik dijadikan eksterior rumah. Konon, dilihat berdasarkan bentuk daunnya yang memanjang ke atas dan berujung tajam inilah tanaman unik ini dinamai lidah mertua.
Ragam sansevieria yang mencapai ratusan varian dengan bermacam-macam tingkatan harga membuat para calon pembeli bisa memilih jenis mana yang akan dibeli sesuai dengan tujuannya. Tulisan ini mungkin bisa dijadikan semacam panduan.
Ragam sansevieria yang mencapai ratusan varian dengan bermacam-macam tingkatan harga membuat para calon pembeli bisa leluasa untuk memilih jenis mana yang akan dibeli sesuai dengan tujuannya.
Bagi para hobiis yang memelihara untuk sekedar koleksi di rumah, yang paling tepat adalah memilih jenis-jenis sansevieria yang langka atau unik. Biasanya sansevieria jenis ini tergolong mahal, keperluan rental atau ditempatkan sebagai penghias ruangan, harus disesuaikan dengan jenis dan ukurannya.
Untuk ruangan besar sebaiknya pilih sansevieria yang memiliki postur tinggi atau besar seperti Autralian Black, Liliantrue, Masoniana, atau Tiger. Untuk ruangan sempit atau diletakkan di atas meja, pilih jenis-jenis sansevieria kecil, seperti Moonshine, atau Superba China. Sedang untuk taman di luar rumah bisa pilih sansevieria yang harganya lebih murah. Sebaiknya tetap disesuaikan dengan luas halaman yang akan ditanami sansevieria.
Untuk Sansivieria yang daunnya memanjang ke atas, tumbuhnya lebih cepat, jadi harganya pun tak semahal yang berdaun pendek. Seperti S. laurentii yang daunnya tumbuh tinggi dan berujung tajam. Namun, ada juga Sansevieria berdaun pendek yang dinamai kuku bima.

MEMENUHI SYARAT UNTUK BOOMING.
7 syarat yang mesti dimiliki tanaman agar bisa diterima masyarakat dan menjadi tren. Tiga syarat pertama berhubungan dengan estetika: cantik, variasi bentuk beragam, dan variasi warna tinggi.
Tiga syarat lain berkaitan dengan penanganan: perawatan mudah, tingkat perbanyakan sedang, dan pertumbuhan lambat. Bila tanaman mudah dirawat, biaya perawatan rendah, hobiis dan pemula gampang tertarik. Koleksi tanaman tak akan mengganggu rutinitas sehari-hari. Dua sifat yang disebut terakhir disukai produsen dan pedagang. Bila tanaman terlalu mudah diperbanyak, kejenuhan pasar gampang terjadi. Pertumbuhan lambat membuat periodisasi sebuah tren panjang.
Syarat terakhir tergolong tambahan, tapi berperan penting mempengaruhi publik. Tanaman mesti mempunyai nilai guna selain nilai estetika.
Sansevieria bersifat antipolutan dan antiradiasi. Itu sejalan dengan penelitian yang dilakukan Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA). Jadi, semua syarat untuk jadi tren itu terpenuhi oleh lidah naga.
Kuku bima berharga lebih mahal dibanding Sansevieria yang daunnya memanjang ke atas, karena masa tumbuhnya yang lamban. Harganya pun bisa mencapai Rp 250 ribu - Rp 300 ribu per pot. Bahkan, sampai ada yang dihargai per daun!
Harga sansivera kini cukup beragam dari yang hanya Rp 3000,- sampai yang puluhan juta. untuk jenis laurentii normal setidaknya harga jual berkisar di angka Rp 10 ribu. Namun saat jadi mutasi, jenis berdaun lebar ini paling tidak bisa mendatangkan uang hingga Rp 150 ribu. Berlipat hingga 10-20 kali jadi hal wajar, karena memang jadi barang langka.
Contoh lain dari jenis yang mahal adalah giant yang punya harga pasaran sekitar Rp 75 ribu setiap daunnya. Saat warna mengalami mutasi atau variegata jadi putih, jangan kaget bila penjual akan melepas dengan harga Rp 2 juta. Cukup menggiurkan dan tentunya punya prospek usaha besar. Contoh yang masuk katagori ini antara lain, Giant Varigata (kuning) atau Masoniana milik Agung WS Garden Yogyakarta yang harganya tembus Rp 60 juta rupiah.



Sansevieria Tampil Eksotis di Atas Batu
Menurut pria kelahiran Malang 49 tahun lalu itu, sansevieria yang tetap kerdil justru unik. Buktinya setiap bulan tidak kurang dari 50 pot habis terjual. Harganya pun jelas lebih tinggi, karena tanaman jadi lebih berkarakter. Andi menjual S. trifasciata hahnii dalam batu Rp100.000. Artinya 5 kali lipat
Andi Solviano Fajar kerap terlihat mendatangkan bongkahan batu bahan patung ke kebunnya. Pemain tanaman hias kawakan di Karanganyar, Jawa Tengah, itu beralih profesi? Tidak. Ia membutuhkan batu-batu itu untuk hunian lidah mertua.
Pada 1990-an Andi memanfaatkan batu-batu itu untuk kreasi bonsai dan suiseki. Lalu ketika adenium tren pada 2000-an ia juga menggunakan batu sebagai ornamennya. Kini giliran lidah mertua yang dipadukan dengan batu agar terlihat lebih cantik.
Saat Trubus bertandang ke kebunnya di Desa Krician, Kabupaten Karanganyar, tampak S. trifasciata 'bantel's sensation' berdiri anggun di tengah-tengah sebongkah batu berwarna cokelat muda berdiametar 15 cm. S. trifasciata hahnii 'jade' pun 'ditumbuhkan' di atas batu dan ditempatkan dalam pot keramik bermedia pasir malang dan arang sekam. Calcedone
Batu dipilih Andi untuk media tumbuh sansevieria agar terlihat alami layaknya kebiasaan hidup beberapa jenis sansevieria yang epifit di batu atau batang tanaman. Kesan alami itu jauh lebih menonjol daripada ditanam dalam pot. Batu yang digunakan jenis calcedone. 'Itu jenis batuan alam dengan tingkat kekerasan 3-4 scalemol,' ungkap Bambang Tri Kusmandono Raharjo, pematung di Tulungagung yang sering memasok batu untuk Andi. Itu penting, karena jika tekstur batu terlalu keras sulit dilubangi. Terlalu rapuh pun tidak baik lantaran gampang pecah dan tak tahan lama.
Selain kekerasannya pas, calcedone juga dipilih lantaran corak dan warna abstraknya menawan. Pantas, jenis batuan itu biasa dipakai sebagai bahan patung, perhiasan, sampai furniture. Marmer dan onyx, dua varian calcedone yang banyak dijumpai di alam. Kusmandono menyebutkan daerah Kuningan, Jawa Barat, Nganjuk, Jawa Tengah, dan pesisir antara Tulungagung sampai Wonosari jadi gudang batuan itu.
'Untuk tanaman, biasanya saya carikan batu utuh, bukan berbentuk bongkahan yang diambil dari gunung,' kata pria yang bermain suiseki sejak 1990. Itu agar terkesan alami, bukan pahatan. Ukurannya bervariasi, mulai dari hanya sekepalan tangan, sampai sebongkah dengan lebar lebih dari 30 cm.
Andi tak mengerjakan sendiri, pembuatan lubang untuk memasukkan akar tanaman diserahkan pada Kusmandono. Musababnya, selain butuh bor khusus, juga perlu ketelitian. Setiap batu dibuat satu atau lebih lubang tanam, tergantung ukuran. Lubang itu tembus dari satu sisi ke sisi lain. Maksudnya, agar akar bisa keluar dan mengisap nutrisi yang ada di media dalam pot. 'Batu hanya sebagai pijakan saja,' kata Andi.
Jika batu yang digunakan besar-akar sansevieria tidak tembus ke sisi lubang bawah-harus diisikan media tanam. Dengan begitu akar lama kelamaan tumbuh memanjang dan mampu mencapai media dalam pot. Oleh karena itu media dalam potlah yang menentukan tumbuh subur tidaknya tanaman, bukan batu.
Media yang biasa digunakan Andi adalah campuran arang sekam dan pasir malang. 'Sebelum akar menjangkau media, tanaman tetap disiram dengan menyiramkan air perlahan¬lahan ke dalam lubang,' imbuh ayah satu anak itu. Itu rupanya yang membuat sansevieria dalam batu milik Andi tetap bongsor.
Kerdil
Nun di Malang, Jawa Timur, Agus Gembong Kartiko-hobiis sansevieria di Malang- melakukan hal serupa. Hanya saja jenis batu dan cara tanamnya berbeda. Pria yang gemar mengenakan kaos putih
dan celana hitam itu memilih batuan vulkanik asal Blitar, Jawa Timur. Tekstur batuan ini remah, sehingga perlu hati-hati saat melubanginya. Namun, justru karena remah itulah ia mampu menyerap air dan menyimpannya untuk keperluan tanaman. Makanya, Gembong tidak meletakkan batu itu di atas media seperti yang dilakukan Andi.
Lubang tidak ditembuskan hingga bagian bawah, tapi cukup sedalam 5 cm- tergantung ukuran batu dan rimpang. Paling hanya dibuat lubang kecil di bagian bawah sebagai jalan keluarnya air yang berlebihan. Media yang tersedia hanya terbatas pada yang diisikan ke lubang tanam. Konsekuensinya, tanaman tumbuh lambat. 'Tapi justru itulah yang diinginkan,' tutur Gembong.
Menurut pria kelahiran Malang 49 tahun lalu itu, sansevieria yang tetap kerdil justru unik. Buktinya setiap bulan tidak kurang dari 50 pot habis terjual. Harganya pun jelas lebih tinggi, karena tanaman jadi lebih berkarakter. Andi menjual S. trifasciata hahnii dalam batu Rp100.000. Artinya 5 kali lipat dibandingkan yang ditanam dalam pot. Sansevieria terpasung dalam batu bukan kutukan, tapi sentuhan seni untuk tingkatkan pamor lidah mertua. (Nesia Artdiyasa)

Sansevieria Dipuncak Takhta
Sampai kapan pasar sanggup menyerap sansevieria? Iwan Hendrayanta, ketua Perhimpunan Florikultura Indonesia, menyebutkan tren sansevieria bakal langgeng di tanahair. ‘Sansevieria sudah diterima masyarakat Indonesia,’ katanya. Menurut Iwan grafik tren sansevieria seperti gelombang transversal (naik dan turun, tapi sebetulnya ajek, red). Oleh karena itu sansevieria berpeluang sebagai tanaman sela. Saat tanaman hias lain booming, sansevieria seolah turun. Namun, begitu komoditas itu mulai turun, maka sansevieria berperan sebagai tanaman alternatif yang diburu.
Dua puluh kotak styrofoam 40 cm x 30 cm x 6 cm berjajar dalam greenhouse seukuran 2 kali meja pingpong. Di atas kotak terdapat potongan daun patens, downsii, kirkii, dan pinguicula yang dialasi sekam. Begitulah cara Andy Solviano Fajar memperbanyak sansevieria untuk memenuhi tingginya permintaan. Dalam 3 bulan terakhir, ia memasarkan 200 pot terdiri atas 4— 5 daun. Dari perniagaan itulah, pekebun di Gondangrejo, Karanganyar, Jawa Tengah, itu meraup omzet Rp25-juta per bulan.
Dua ratus pot yang terjual terdiri atas 50 pot patens, 75 pot downsii, 25 pot pinguicula, dan 50 pot kirkii. Bibit yang dijual berumur 5—6 bulan, seukuran kunci sepeda motor. ‘Memang masih kecil, sebab baru dipisah sudah langsung dipesan,’ katanya. Konsumennya pedagang di seputaran Solo, Yogyakarta, dan Blitar. Omzet Andy lebih besar jika memperhitungkan penjualan 20 pot ehrenbergii, pinguicula, dan patens dewasa seharga Rp750-ribu—Rp2,5-juta per pot.
Pundi-pundi ayah 1 anak itu menebal pada awal tahun karena permintaan bibit melonjak 100% ketimbang penghujung 2007.
Andi memperbanyak sansevieria sejak 1,5 tahun silam. Itu dimulai dari keberaniannya mencacah daun kirkii berukuran 10 cm x 20 cm menjadi 5 cm x 5 cm. Perbanyakan itu sukses. Oleh karena itu ia menerapkannya pada spesies lain seperti patens, downsii, dan rorida yang berdaun tebal. Total jenderal diperoleh 3.500 anakan. Saat wartawan Trubus Nesia Artdiyasa, mampir ke kebunnya pada Februari 2008, bibit yang tersisa hanya pinguicula 75 pot, rorida 35, dan kirkii 40
Untuk memenuhi tingginya permintaan, Andy menambah indukan baru. Ia membeli malawi 5 daun seharga Rp2-juta dan mencincangnya menjadi 15 potong. Dua desertii masing¬masing 2 daun seharga Rp750-ribu dipecah menjadi 15 potong. Jebolan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada itu juga memborong 6 pot patens terdiri atas 7 daun. Tanaman seharga Rp250-ribu—Rp750-ribu itu lalu dicacah menjadi 100. ‘Itu untuk persiapan penjualan 5 bulan ke depan,’ kata pemilik nurseri Sekar Jagad itu.
Rezeki nomplok
Berkah sansevieria pun dirasakan Franky Tjokrosaputro, presiden direktur PT Bumi Teknokultura Unggul, di Jakarta. Selama 11 hari pameran di Trubus Agro Expo 2008 di Parkir Timur Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta Pusat, Franky sukses menjual 200 pot Sansevieria cylindrica ‘patula’ dan S. cylindrica ‘bintang.’ Dengan harga tanaman berukuran 10 cm Rp50.000, ia memperoleh pendapatan minimal Rp10-juta. Itu belum termasuk penjualan masoniana congo dan silver.
Menurut Franky nominal itu tak terduga sebelumnya. Pasalnya, cylindrica yang dikebunkan sejak 2005 untuk pasar ekspor. ‘Saya menyiapkan untuk ekspor pada pertengahan 2008. Ternyata sejak awal tahun pasar lokal bisa menyerap. Itu benar-benar rezeki nomplok,’ kata kelahiran Solo 31 tahun silam itu.
Di Medan, Sumatera Utara, Poppy Anggraeni, pun ketiban rezeki sansevieria. Pemilik nurseri Ivanna itu meraup omzet Rp75-juta selama berpameran di Jakarta pada awal Maret 2008. Itu penjualan 300 pot Sansevieria fischerii, ehrenbergii, gold flame, dan pinguicula. Bedanya, 50% penjualan Poppy berasal dari hasil perbanyakan di halaman rumah. Sisanya didatangkan langsung dari negeri Siam. ‘Yang ukuran 20 cm ke bawah hasil anakan sendiri. Yang besar diimpor,’ kata pengusaha rumah makan itu. Kian berkibar
Bukan tanpa sebab 3 pekebun itu mendulang rupiah dari si tanaman ular. ‘Tren sansevieria kian menggila,’ kata Purbo Djojokusumo, pemain tanaman hias yang malang melintang selama 15 tahun itu. Mantan dokter di rumah sakit di Jakarta itu merujuk pada peningkatan permintaan lidah mertua yang melonjak 4 kali lipat sejak sebulan terakhir. Sebelumnya Purbo hanya sanggup menjual 10—20 pot per bulan. Pada Februari 2008 ia kelimpungan melayani permintaan 200 pot kirkii brown.
Harga sansevieria pun terus meroket. Sebut saja kirkii brown yang 2—3 bulan lalu hanya Rp100-ribu per daun, kini menjadi Rp250-ribu. Kirkii silver blue berukuran 20 cm yang semula Rp1-juta per daun naik 10 kali lipat Rp10-juta. Pada Januari 2008, bibit patens 4—5 daun ukuran 5 cm dibanderol Rp100-ribu per tanaman di tingkat pekebun. Spesies itu kini beredar dengan kisaran harga Rp175-ribu—Rp220-ribu di tingkat pekebun dan importir. ‘Itu karena permintaan meningkat, tapi stok lambat bertambah,’ kata Edi Sebayang, kolektor di Tangerang.
Menurut Drs Seta Gunawan, ketua paguyuban sansevieria di Yogyakarta, 3 pemicu tren sansevieria sejak 2 bulan terakhir adalah publikasi media, permintaan tinggi, dan pertambahan pemain. Willy Purnawanto SE dari Masyarakat Sansevieria Indonesia (MSI) di Yogyakarta menambahkan alasan lain. ‘Momentum tren yang sangat tepat. Saat tren di Indonesia, komunitas serupa di mancanegara sedang tumbuh,’ katanya. Menurut Willy, tren bersamaan itu membuat komunikasi antarpemain tak terbatas di wilayah domestik. Namun, mendunia mulai Thailand dan Filipina hingga ke Eropa dan Amerika Serikat.
Tren mancanegara
Pendapat Willy itu disepakati Ruangwit di Thailand. Menurutnya tren sansevieria di negeri Gajah Putih itu baru berlangsung setahun. ‘Tren dipicu terbitnya buku sansevieria karya Pramote Rojruangsang tahun lalu,’ kata Ruangwit kepada 2 wartawan Trubus Andretha Helmina dan Nesia Artdiyasa. Ia berburu lidah mertua ke Eropa, Amerika, dan Filipina melalui dunia maya. Hasilnya vernwood, ehrenbergii, koko, kirkii, dan erythraeae.
Menurut Bunlue Lodwan, presiden Thailand Sansevieria Club (TSC), ‘Sejak 6 bulan terakhir permintaan menggila,’ katanya. Bunlue yang sebelumnya meneruskan usaha sang ayah yang mengebunkan adenium banting setir ke sansevieria. Menurutnya lidah mertua itu diburu distributor dan kolektor dari Thailand, Jepang, dan Indonesia. Selama 6 bulan terakhir pria berusia 25 tahun itu meraup omzet hingga 300.000 bath setara Rp75-juta—Rp90-juta.
Permintaan bertubi-tubi itu menyebabkan harga di Thailand pada Maret 2008 naik 50— 100% ketimbang Januari 2008. Pemasok Bunlue dari Filipina dan Amerika pun menaikkan harga. Di negeri Arroyo dan Bush itu harga naik hingga 20—30% dibanding 2—3 bulan sebelumnya.
Di Thailand saat ini tercatat 120 nurseri sansevieria. ‘Sebelumnya mereka bermain adenium, aglaonema, puring, atau keladi. Kini mereka serius memperbanyak sansevieria,’ kata Pramote Rojruangsang.
Sebuah komunitas di dunia maya pun menggambarkan tren sansevieria. Sebanyak 600 anggota dari berbagai negara bergabung. Sebut saja Perancis, Jerman, Jepang, Vietnam, India, dan Indonesia. Pada pertengahan 2007 sempat beredar kabar komunitas itu mati suri. Namun, pada penghujung 2007 dan awal 2008, interaksi antarhobiis mancanegara itu bergairah kembali. Dari kontak personal itu laju ekspor-impor antarbenua kerap berlangsung dengan volume beragam.
Pemain baru
Di tanahair juga bermunculan pemain baru. Di Yogyakarta, ada M Burhan, pemilik nurseri Bullion 99. Sejak 4 bulan silam pemilik perusahaan valas itu berburu lidah mertua di seputaran Kota Gudeg. Namun, sejak awal tahun ia mendatangkan 200 pot horwood, robusta, hallii, dan patens dari Filipina. Pada Februari setengah stok yang dimiliknya ludes diburu hobiis. Di Solo ada Boy Olifu Gea; di Wonosobo, Belly Rudianto; dan di Blora, Dedy Dwi P.
Di luar Jawa Tengah dan Yogyakarta pun banyak pemain tanaman hias yang melirik sansevieria. Contohnya Handry Chuhairy di Tangerang. Pemilik nurseri Hans Garden itu semula terkenal dengan adenium, pachypodium, dan aglaonemanya. Belakangan Trubus kerap memergoki manajer pasar swalayan itu berburu sansevieria dan berkompetisi di arena kontes. Di Palu, Sulawesi Tengah ada Yusmangun—kolektor aglaonema dan adenium—yang kepincut kecantikan lidah naga. Menurut Poppy, di Gorontalo, kini terdapat 3—4 nurseri yang mulai menjajakan sansevieria.
Gairah para pemain baru itu semakin terwadahi karena ajang kontes kian sering digelar. ‘Dulu kontes sering digelar, tapi peserta minim. Kini sebulan bisa 2 kali, dengan peserta membeludak,’ kata Sudjianto, juri kontes sansevieria asal Wonosobo, Jawa Tengah. Kontes yang digelar Trubus pada awal Maret 2008 tercatat 86 peserta; di Wonosobo, 110 peserta. Bandingkan dengan peserta kontes pada 2007 yang rata-rata hanya diikuti 30—50 peserta.
Risiko tinggi
Peluang di pasar sansevieria bukannya tanpa risiko. Mamay Komarsana, di Cipanas, Cianjur, hanya bisa mengelus dada saat kebun laurentii untuk ekspor ke Korea musnah diserang penyakit Erwinia sp pada 2003. ‘Modal Rp20-juta raib tak kembali. Saya kapok kebunkan lidah mertua berdaun tipis,’ kata mantan pegawai pabrik kabel itu.
Hamid Mahmud Baraja, eksportir di Malang, Jawa Timur, pun mengeluhkan omzet yang diraup dari pasar ekspor menurun drastis. Ia mencontohkan harga laurentii yang semula Rp20.000 merosot menjadi Rp10.000 per tanaman. Menurut Hamid, gempuran penyakit sulit diatasi, sehingga biaya produksi melambung. ‘Lebih besar pasak daripada tiang,’ ujarnya.
Di Puncak, Bogor, ada Samsudin, yang kebingungan melepas 1.000 superba. ‘Saya pikir jenis ini bakal diburu pascalaurentii, ternyata tak ada yang mau,’ kata pria berkacamata itu.
Lantaran tak laku, superba itu dibiarkan tak terawat. Belakangan Samsudin memusnahkan 3.000 superba, hahnii, dan laurentii yang terserang bakteri.
Sejatinya, tak hanya lidah mertua berdaun tipis yang berisiko tinggi. Menurut Andy banyak pekebun di Solo yang mencacah daun kirkii, giant, dan rorida, gagal. Ketiganya termasuk lidah jin berdaun tebal. ‘Bagi yang belum berpengalaman, tingkat kematian tinggi. Bisa di atas 60%,’ katanya. Itulah sebabnya banyak pekebun yang Trubus sambangi takut mencacah daun si lidah naga.
Peluang ekspor
Namun, jika berbagai hambatan teratasi, pasar menanti pasokan sansevieria. Tak melulu pasar domestik yang terbuka, tapi juga ekspor. Franky Tjokrosaputro, mendapat permintaan 3—5 kontainer Sansevieria cylindrica ‘patula’ per bulan dari Belanda pada awal tahun ini. Satu kontainer 40 feet menampung 20.000—30.000 pot patula berukuran 40—50 cm. Permintaan dengan volume setara muncul dari 3—4 pembeli di Korea dan Jepang. ‘Dua negara yang disebut terakhir baru penjajakan,’ katanya.
Franky akan memenuhi permintaan itu pada Juni—Juli 2008. ‘Stok patula di kebun kita baru 100.000 tanaman. Kami masih menunggu panen plasma di Tangerang dan Kebumen,’ katanya. Franky bermitra dengan pekebun di Kebumen dan Tangerang. Kepada mereka, ia memberikan masing-masing 20.000 bibit dan 10.000 bibit. Targetnya 1-juta tanaman per tahun pada 2009—2010 dari lahan 5 ha dan para plasma.
Benarkah peluang ekspor itu realistis? Menurut Hamid peluang ekspor segala macam tanaman hias—termasuk sansevieria—terbentang luas. ‘Asal sanggup memasok rutin 3 kontainer per bulan, negara-negara di Eropa siap menampung,’ kata mantan pengusaha pasta gigi itu. Setelah mengirim sampel, Korea Selatan minta pasokan 3 kontainer Australia black sword . Kini ia baru mengebunkan jenis itu itu di lahan 1 ha.
Menurut Hamid, pekebun yang membidik pasar ekspor mesti siap menjual dengan harga partai. ‘Biasanya harga lebih rendah, tapi volume tinggi. Sistem kerjanya sudah skala komersial seperti di pabrik-pabrik,’ ujarnya.
Prediksi
Sampai kapan pasar sanggup menyerap sansevieria? Iwan Hendrayanta, ketua Perhimpunan Florikultura Indonesia, menyebutkan tren sansevieria bakal langgeng di tanahair. ‘Sansevieria sudah diterima masyarakat Indonesia,’ katanya. Menurut Iwan grafik tren sansevieria seperti gelombang transversal (naik dan turun, tapi sebetulnya ajek, red). Oleh karena itu sansevieria berpeluang sebagai tanaman sela. Saat tanaman hias lain booming, sansevieria seolah turun. Namun, begitu komoditas itu mulai turun, maka sansevieria berperan sebagai tanaman alternatif yang diburu.
Purbo menuturkan pada triwulan ketiga 2008, sansevieria bakal menjadi tanaman yang paling diburu di seluruh dunia. ‘Masa itu sansevieria seperti di puncak takhta. Harga bisa meroket 20 kali lipat karena pemintaan dan ketersediaan tak seimbang,’ katanya. Namun, ia memberi peringatan tren harga bisa terjun bebas pada triwulan ketiga 2009. Musababnya, pekebun di Thailand mulai getol memperbanyak sansevieria.
Pekebun Thailand sudah berhasil memperbanyak sansevieria dengan teknik cacah yang lebih unggul. ‘Tingkat keberhasilan mereka mencapai 100%. Pekebun di Indonesia paling 50%,’ ujar Purbo. Dipastikan, dalam 2 tahun hasil perbanyakan itu siap membanjiri pasar Indonesia.
Edi Sebayang memprediksi tren sansevieria bakal lebih panjang ketimbang adenium yang telah berlangsung 8 tahun. Itu karena perbanyakan dan pertumbuhan lidah jin lebih lambat, tapi berlimpah spesies dan varian. Lantaran itu, Edi mendatangkan 400 patens berumur 1 tahun dari Filipina. Hamparan patens itu kini bisa dilihat di halaman rumahnya.
Soeroso Soemopawiro juga sangat yakin, umur sansevieria bakal panjang karena merujuk ke Negeri Matahari. Menurutnya gembar-gembor sansevieria sebagai antipolutan membuat pemerintah Jepang menganjurkan warganya memelihara lidah naga di setiap rumah. Minat serupa bukan tak mungkin berlaku di tanahair.
Optimisme itulah yang kini dirasakan Andy, Franky, dan Poppy. Bagi mereka perbanyakan satu-satunya jalan meraup untung. ‘Thailand sanggup menjual tanaman dengan harga realistis, kenapa kita tak bisa,’ kata Andy. Bagi Franky harga ekspor yang tak sebaik lokal disiasati dengan peningkatan volume dan pemilihan jenis bandel. (Destika Cahyana/Peliput: Andretha, Argohartono, Dian AS, Imam, Kiki, Lastioro, Nesia, Rosy, dan Vina)
SIKLUS BERULANG SANSEVIERIA.
Sejatinya, tren sansevieria di tanahair bukan kali pertama. Pada 2004-2005, dunia tanaman hias dikejutkan dengan maraknya orang mengebunkan S. laurentii. Kala itu importir dari Korea bergerilya langsung ke pelosok Pulau Jawa untuk mencari kerabat agave itu. Kawasan Bopuncur (Bogor, Puncak, dan Cianjur) di Jawa Barat dan Malang, di Jawa Timur, pun berubah menjadi sentra laurentii. Saking populernya laurentii, tanaman pagar itu menjadi incaran maling.
Sayang, perniagaan ekspor terhenti pada 2005. 'Semua kebun terkena serangan busuk daun karena bakteri Erwinia sp,' kata Anna Sylvana, eksportir sansevieria. Laurentii rentan penyakit tersebut. Hingga 2007 hanya 2 eksportir bertahan: di Yogyakarta dan Malang. Namun, penelusuran terakhir di penghujung 2007, eksportir di Yogyakarta pun gulung tikar.
Menurut Anna tren pada 2004-2005 itu sebetulnya putaran kedua. Pertama kali laurentii dikirim ke mancanegara dimulai pada 2000. Ketika itu nurseri Greenery mendapat permintaan langsung dari Jepang. Ketika itu negeri Sakura itu tengah getol mengkampanyekan sansevieria sebagai antipolusi.
Ketika kegiatan ekspor terhenti, pasar lokal justru terbuka. Namun, jenis yang diminati hobiis lokal bukan laurentii. Yang dicari jenis-jenis berdaun tebal dan bulat. Sebut saja cylindrica, suffruticosa, dan ehrenbergii. Maklum, informasi sansevieria sebagai tanaman antipolusi kian menyebar.
MOMENTUM YANG TEPAT UNTUK SANSEVIERIA.
Bukan tanpa alasan jika kini sansevieria berkibar. 'Harga anthurium sudah tidak masuk akal. Jadi, pemain tanaman hias mencari tanaman lain yang bisa diangkat dengan harga rasional. Sansevieria memenuhi syarat itu,' ujar Iwan.
Harga lidah naga memang terjangkau. 'Ia mengalami kenaikan, tapi bertahap. Tidak sedrastis raja daun,' kata Willy Poernawan, ketua Masyarakat Sansevieria Indonesia (MSI), di Yogyakarta. Sebut saja S. kirkii var. pulchra 'coppertone.' Pada awal 2007 harga 3-4 daun dengan bentangan 20 cm Rp250-ribu. Pertengahan tahun menjadi Rp350-ribu-Rp450-ribu, dan di penghujung tahun Rp750-ribu.
Kenaikan harga yang cenderung bertahap itu membuat pemain mudah memprediksi pasar. 'Pergerakan harga mudah dipantau, harga di mancanegara diketahui persis melalui internet,' ujar Harry. Itulah salah satu alasan Harry nekat bermain sansevieria. Artinya, di bisnis sansevieria, pemula sekalipun tak akan merasa tertipu membeli dengan harga tinggi.
Informasi yang serba terbuka di dunia sansevieria menjadi antitesis bagi orang yang menganggap harga di dunia tanaman hias rawan goreng-menggoreng.
IMPORTIR SANSEVIERIA SIAPA ?
Peluang itu ditangkap para importir tanaman hias. Boen Soediono di Jakarta menjelajahi Thailand. 'Di sana ada 3-4 nurseri yang khusus menyediakan sansevieria,' kata pemilik nurseri Bloemfield itu. Dari perjalanan 4 kali sepanjang 2007 ia membawa 10 jenis baru yang tergolong langka. Antara lain volkensii, koko, horwood, humiflora, hawaiian star, dan suffruticosa 'frosty spears'. Begitu sampai di tanahair, tanaman langsung berpindah tangan.
Menurut Boen sebetulnya lidah mertua impor masuk pertama kali ke tanahair pada 1980 melalui kolektor asal Belanda. Sayang, jumlahnya sangat terbatas sehingga tidak sempat tren. Jenis yang masuk: coral blue dan douglas. Di Wonosobo, coral blue dan douglas ditanam oleh ekspatriat asal Amerika bernama Jack E Craig pada 90-an sebagai elemen taman.
Importir lain, Handhi, mendatangkan lidah jin dari Thailand setiap 2 bulan sejak 2 tahun silam. Jenis yang dibawa twister tsunami. Dalam waktu 6 bulan 50 pot lidah naga setinggi 15 cm dan berdaun 7-8 itu laku dengan harga Rp1-juta per pot. Sejak 4 bulan silam, volume penjualan meningkat menjadi 100 pot per bulan. Jenisnya tak melulu twister, tapi juga patens, suffruticosa, fernwood, dan phillipsiae.
Kehadiran jenis baru dipercaya ikut mendongkrak tren sansevieria. Sejak 3 bulan terakhir omzet nurseri Watuputih dari sansevieria mencapai Rp100-juta per bulan. Yang paling banyak dicari-mencapai 50% volume penjualan-sansevieria berharga Rp500-ribu-Rp1-juta. Semua tanaman didatangkan dari Thailand.
KENDALA BERBISNIS SANSEVIERIA
Namun, bila tergiur bisnis sansevieria, bersiaplah melewati jalan terjal dan berliku. Pada awal 2007, Sarjianto bersama seorang rekan mencacah indukan giant, pinguicula, dan kenya yasin untuk perbanyakan. Enam bulan kemudian saat anakan itu siap dijual permintaan lidah jin nol. 'Selama 3 bulan pasar mandek,' kata pria asal Yogyakarta itu. Padahal, ia berharap meraup omzet minimal Rp20-juta per bulan. Kenyataan, pendapatan ketika itu hanya Rp2-juta per bulan.
Batu sandungan lain, salah penanganan. Sebuah samurai asal Thailand yang dibeli Mimi seharga Rp15-juta pada kuartal awal 2007 semula tampak gagah. Namun, begitu di-repotting, sansevieria itu stres. 'Daun jadi meliuk-liuk karena salah pengemasan saat diimpor. Hingga kini lidah naga itu teronggok di pojokan rumah plastik miliknya.
Penyakit busuk daun tetap jadi momok, terutama untuk jenis laurentii dan hahnii. Hanya dalam hitungan minggu, kebun laurentii dan moonshine untuk ekspor seluas 8 ha milik Greenery luluh-lantak diterjang Erwinia sp. Kini pasar yang dikuasai Indonesia diambil alih oleh Vietnam dan Birma.
Kendala lain, pencurian. Seorang hobiis di Sawangan, Depok, hanya bisa terpekur lesu. Sebanyak 180 jenis sansevieria asal Perancis yang baru datang digondol maling. Padahal, banyak jenis yang mutasi.
KISAH SUKSES PEBISNIS SANSEVIERIA
Suatu sore hari di medio November 2007. Sebuah gerai di pameran Trubus Agro Expo 2007 ramai oleh pengunjung. Ratusan pot sansevieria: gold flame, california, dan pagoda yang terpajang di ruangan berukuran 4 m x 6 m jadi perhatian utama. Di penghujung pameran selama 10 hari, Harry Sugianto, pemilik stan, menuai omzet Rp50-juta dari penjualan 500 pot sansevieria.
Nominal sebesar itu tak pernah terbayangkan sebelumnya. Maklum, Harry tergolong 'anak bawang'. Pensiunan perusahaan alat berat itu baru terjun di bisnis lidah mertua pada Maret 2007. Ketika itu ia nekat ikut pameran pertama kali di Museum Purna Bhakti Pertiwi, Jakarta Timur. Nekat? Ya, ketika itu dunia tanaman hias tengah 'dikuasai' anthurium, si raja daun. Harry kukuh pada pendirian dengan memajang 1 jenis tanaman: sansevieria. 'Waktu itu omzetnya hanya Rp15-juta. Saya betul-betul tak menyangka omzet berlipat 3 kali dalam hitungan bulan,' katanya.
Kini Harry membuka greenhouse di bilangan Lido, Bogor, seluas 500 m2. Itu untuk menampung jenis cylindrica, giant, dan canaliculata. Ketiganya tergolong berdaun tebal. Maklum, sejak sebulan terakhir permintaan yang masuk jenis berdaun tebal, bulat, dan kering yang disukai karena bandel dan tahan banting.
Eksklusif
Wajah baru yang juga ketiban rezeki lidah jin ialah Heroe Pramono di Surabaya. General manajer sebuah perusahaan bahan bangunan itu terjun ke bisnis sansevieria pada Juni 2007. Pada penghujung 2007 Heroe menjual 100 pot lidah mertua per bulan. Jenis yang diburu pelanggan, S. zaelani australian black spot, gold flame, twister, dan patula. Heroe meraup omzet Rp7,5-juta-Rp10-juta per bulan. Manisnya sansevieria juga dirasakan Nanang Prasojo di Yogyakarta.
Sukses 3 pendatang baru di bisnis sanseveria itu bukan tanpa sebab. Penelusuran Trubus ke berbagai daerah, bisnis sansevieria memang tengah menggeliat. 'Sejak 3 bulan silam pasar sansevieria mulai bergerak,' kata Iwan Hendrayanta, ketua Perhimpunan Florikultura Indonesia. Ia merujuk pada pendapatan di nurserinya Rp32-juta per bulan sejak 3 bulan silam. Beberapa pemain fanatik menyebut pergerakan pasar sansevieria sejak setahun silam. Itu terutama untuk jenis eksklusif.
Menurut Agus Mulyadi, pemain sansevieria di Solo, lidah naga disebut eksklusif bila bersosok cantik, langka, dan pertumbuhan lambat. Tiga syarat itu menyebabkan sansevieria eksklusif dibandrol selangit, Rp500-ribu-Rp60-juta per pot. Djumiati Aris Budiman, pemilik nurseri Watuputih, Yogyakarta memberi syarat tambahan. 'Tanaman biasa bisa jadi eksklusif bila mengalami mutasi,' katanya. Sebut saja jenis giant alias masoniana. Tanpa mutasi harganya Rp50-ribu-Rp100-ribu per daun. Namun, giant variegata putih Rp7,5-juta per daun. Giant variegata golden (kuning, red) dibandrol Rp5-juta per daun (baca: Harga Selangit Sanse Variegata, hal 22-24).
Definisi lebih lunak diberikan Soedjianto, pemain di Wonosobo. 'Yang disebut eksklusif semua jenis sansevieria nonlaurentii dan hahnii,' tuturnya. Harganya mulai Rp50-ribu per pot hingga puluhan juta rupiah. Toh, bukan berarti semua lidah naga sekelompok S. trifasciata laurentii dan hahnii tergolong murahan. California yang dibandrol Rp1-juta per pot berdaun 3-4; gold flame Rp250-ribu-Rp1- juta per pot. Golden wendy-sekelompok dengan hahnii-Rp750-ribu-Rp2,5-juta per pot.
SEMARAK KONTES.
Toh, segudang kendala itu tak menyurutkan semangat para pemain. 'Untuk penanaman di lahan luas memang tidak menguntungkan. Tapi, pembudidayaan sebagai tanaman pot tetap prospektif,' kata Lanny Lingga di Bogor. Konsumen sansevieria dalam pot adalah hobiis di tanahair.Sebagai contoh, sejak 3 bulan terakhir superba, superba futura, dan tiger yang dipotkan Liling Watiasita di Yogyakarta laris manis. 'Permintaan pot plant meningkat 30%,' katanya.
Geliat bisnis lidah jin pun didukung maraknya kontes di berbagai daerah. Pada Januari 2008 tercatat 2 kabupaten menggelar kontes: Blora dan Banyumas. Bahkan, Blora kini dicanangkan sebagai kota sansevieria oleh sang bupati, Drs RM Yudhi Sancoyo, MM. Di penghujung 2007, ajang serupa digelar di Surabaya dan Yogyakarta.
Sebulan sebelumnya di Jakarta dan Yogyakarta. 'Sejak 6 bulan terakhir hampir tiap bulan digelar 2 kontes. Peserta berlimpah, mulai 50 hingga tembus 102 peserta,' kata Willy. Bandingkan dengan 2005, saat itu kontes lidah mertua hanya sekali digelar. Sepanjang 2006 hingga April 2007 kontes sansevieria hanya 4 kali.
Frekuensi kontes yang meningkat seiring dengan munculnya komunitas pencinta sansevieria. Di Yogyakarta ada: Masyarakat Sansevieria Indonesia alias MSI. Kini cabang-cabang MSI berdiri di berbagai daerah. Sebut saja Klaten, Solo, Wonosobo, Blora, Tulungagung, Surabaya, dan Ngawi.
Pergerakan tren pun tertangkap di luar Jawa. Wartawan Trubus, Syah Angkasa, melihat pameran di Padang mulai diramaikan lidah naga. Pun di Lampung, Palembang, Medan, dan Bali. Keriuhan lidah jin itu melahirkan kolektor-kolektor tulen.
'Mempunyai sansevieria ibarat mengoleksi lukisan pelukis terkenal. Tak semua yang punya uang bisa memiliki. Jumlahnya terbatas sehingga eksklusif,' kata Michael, kolektor di Semarang. Itulah peluang yang ditangkap orang-orang seperti Harry dan Heroe.
(Destika Cahyana/Peliput: Andretha Helmina, A. Arie Raharjo, Dian Adijaya, Evy Syariefa, Imam Wiguna, Kiki Rizkika, Lastioro Anmi Tambunan, Nesia Artdiyasa, Rosy N Apriyanti, dan Syah Angkasa)
Lidah Jin, Ehgen Bergi, Foscalina
Lidah jin mempunyai bentuk batang kuat dan meruncing dengan warna hijau kuat. Ehgen bergi punya bentuk melengkung dan memiliki kanal lebar dengan paduan warna hijau dan coklat. Foscalina punya karakter lebih lembut dengan batang lebar dan memadukan grafis warna coklat dan hijau.
Lebih Indah dan Lebih Mahal
Ketiga jenis sansevieria ini mempunyai kekuatan lebih di warna dan karakter yang membuatnya bernilai mahal. Mau tahu kelebihannya?
Lidah jin mempunyai bentuk batang kuat dan meruncing dengan warna hijau kuat. Ehgen bergi punya bentuk melengkung dan memiliki kanal lebar dengan paduan warna hijau dan coklat. Foscalina punya karakter lebih lembut dengan batang lebar dan memadukan grafis warna coklat dan hijau.
Dilihat dari jenis dan kelas sansevieria memang beragam, tapi jangan melihat kelas sebagai satu kualitas. Namun lebih pada apreasiasi masyarakat untuk mendapatkan dengan harga lebih mahal. Sebab selain dari kelangkaan harga jual sansevieria, juga dilihat dari karakter tanaman.
Saat kita melihat jenis trifasciata, tentu akan berbeda dengan jenis cylindrica. Karakter cylidrica jelas lebih kokoh dibandingkan dengan trifasciata yang berdaun lebar. Di situ, harga pasar ternyata mengarah pada karakter tanaman, membuat batang keras mempunyai harga lebih mahal.
Kondisi ini membuat jenis lidah jin atau sansevieria aethiopica punya harga lebih mahal. Karakter yang kuat dan kekar, membuatnya masuk dalam jajaran tingkat atas tanaman yang dikenal sebagai lidah mertua ini. Di pasaran untuk jumlah daun 5 buah, penjual akan melepas setidaknya Rp 1,2 juta.
Daun Kuat Lidah Jin
Memang nilainya fantastis untuk sebuah sansevieria yang dulunya dikenal sebagai tanaman pagar. Lidah jin sendiri merupakan salah satu sebutan sansevieria di negara tetangga, Malaysia. Sedangkan di Indonesia disebut dengan lidah mertua. Entah karena lidah para mertua di Indonesia terkenal tajam, tapi yang jelas jenis ini banyak menghuni lahan kolektor tanaman hias.
Bentuk daunnya disebut batang, mempunyai warna hijau dengan bintik hijau tua yang merata di semua bagian daun. Ujungnya runcing yang juga jadi ciri khas jenis sansevieria. Daun yang imiliki termasuk dalam jenis panjang, karena meski mempunyai kanal, tapi arah geraknya lurus mendatar, tak melengkung.
Karakter lurus ini, membuat lidah jin membutuhkan pot lebih besar atau lokasi yang lebih luas, karena ujung runcingnya bisa rusak bila diletakkan berdempetan. Celakanya, ujung yang rusak sudah tak akan kembali. Jadi sayang, bila ujung daun cacat hanya karena kesalahan lokasi.
Untuk proses pertumbuhan juga jadi nilai lebih, karena proses perkembangan lidah jin termasuk lama, sehingga proses perbanyakan juga membutuhkan wkatu lebih, akhirnya jadi jarang di pasaran. Di situ jelas, kalau harga akan lebih mahal.
Saat berencana untuk memiliki jenis ini yang harus diperhatikan pertama kali adalah kesehatan tanaman yang ditandai dengan kondisi daun/batang yang bersih mengkilat dan gemuk. Gemuk disini akan terlihat bahwa kerutan yang muncul tak kusam serta mampu mengeluarkan warna dengan cerah.
Sebaiknya memilih yang sudah mempunyai daun lebih dari 3 untuk menandai kalau daun tumbuh memutar/rouset. Jangan lupa, untuk mengingatkan siapa saja untuk tak mendekati daun yang hendak keluar, karena sangat rentan untuk rusak bila terkena sentuhan.
Lengkungan Daun Ehgen Bergi
Jenis satu ini memang cukup banyak dilihat saat pameran atau bursa, tapi paduan warna coklat dan hijau di tepi daun membuatnya berbeda. Jadi, harga jual yang ditawarkan setidaknya Rp 750 ribu untuk satu pot dengan jumlah daun sekitar 8 lembar. Angka yang mahal bila dibandingkan dengan jenis tanaman lainnya, tapi tetap memiliki keistimewaan sendiri.
“Jenis ini berdaun panjang, tapi melengkung ke bawah,” tandas Penghobi Sansevieria di Sidoarjo Jawa Timur (Jatim), Daeng Yene. Istimewanya arah gerakan daun tak memutar, tapi mendatar, sehingga dari depan daun akan mempunyai muka yang datar dengan daun yang saling bertumpuk. Berbeda dengan tanaman hias lainnya yang bergerak memutar membentuk struktur rouset.
Itu masuk akal bila stau potnya sudah mengocek kantong mahal, karena dari bentuk tanaman sudah mempunyai kelebihan. Warnanya terjadi metamorfosis, dimana saat keluar dari batang warna hijau muda dan makin tua mendekati ujung. Warna tetap jadi satu hal yang sensitif di dunia tanaman hias, sehingga perubahan sedikit apapun akan meningkatkan harga jual dan tentunya popularitas.
Dari list/tepi daun yang muncul juga masih mengandalkan warna, karena dari hijaunya daun akan diikuti dengan gradasi warna coklat. Warna coklat muncul hampir sama dengan warna di bagian daun yang rusak, termasuk struktur bergerigi dan kasar. Tapi jangan khawatir, karena kondisi ini memang normal, bahkan jadi satu kelebihan.
Karakter daun yang bergelombang dan mempunyai kanal besar, membuat jenis ini juga lebih unggul dari yang lain. Cara memilih yang tepat adalah mencari bentuk yang pipih, dimana gerakan daun mengarah ke samping seluruhnya, bukan ke depan dan ke belakang. Biasanya terlihat saat daun sudah berjumlah antara 3-4 lembar. Ini untuk menandakan kemurnian jenis ehgen bergi yang mempunyai gerakan daun tumbuh dalam satu garis lurus.
Foscalina yang Eksotik
Jenis ini memang dari kelas genus kirkii yang mempunyai warna coklat, berdaun lebar, berkanal, dan tepi daun bergelombang. Daun tumbuh memutar dengan bagian tengah yang mempunyai lubang sebagai tempat keluarnya daun baru.
Warna yang muncul terkesan eksotis, karena cenderung gelap, meski hanya memadukan antara warna coklat dan motif bergaris coklat tua. Karakter daun yang muncul tak lagi panjang atau lurus, tapi lebih pipih, melengkung, dan pendek. Ukurannya kecil, dimana untuk 5 daun diametar tak lebih dari 30 cm dan dijual dengan harga Rp 400 ribu. Harga jenis ini memang lebih bersahabat, karena proses pertumbuhan lebih cepat dari dua jenis di atas, sehingga proses perbanyakan jadi lebih cepat. Namun kesulitannya adalah menghasilkan satu prduk berkualitas yang punya kesehatan dan tentunya bentuk yang sempurna.
Memilih jenis ini tak terlalu sulit, tinggal memperhatikan struktur daun. Pada tanaman yang sehat, daun akan halus dan mengkilat. Jangan lupa juga memperhatikan warna yang muncul, karena warna cerah tentu menandakan tanaman tumbuh normal. Terakhir, tentu melihat dari atas untuk menandai arah gerak daun apakah memutar/rouset atau tidak. [wo2k]
Boomieng Sansevieria

Sansevieria Masonia Congo Giant
Suatu sore hari di medio November 2007. Sebuah gerai di pameran Trubus Agro Expo 2007 ramai oleh pengunjung. Ratusan pot sansevieria: gold flame, california, dan pagoda yang terpajang di ruangan berukuran 4 m x 6 m jadi perhatian utama. Di penghujung pameran selama 10 hari, Harry Sugianto, pemilik stan, menuai omzet Rp50-juta dari penjualan 500 pot sansevieria.
Nominal sebesar itu tak pernah terbayangkan sebelumnya. Maklum, Harry tergolong ‘anak bawang’. Pensiunan perusahaan alat berat itu baru terjun di bisnis lidah mertua pada Maret 2007. Ketika itu ia nekat ikut pameran pertama kali di Museum Purna Bhakti Pertiwi, Jakarta Timur. Nekat? Ya, ketika itu dunia tanaman hias tengah ‘dikuasai’ anthurium, si raja daun. Harry kukuh pada pendirian dengan memajang 1 jenis tanaman: sansevieria. ‘Waktu itu omzetnya hanya Rp15-juta. Saya betul-betul tak menyangka omzet berlipat 3 kali dalam hitungan bulan,’ katanya.
Kini Harry membuka greenhouse di bilangan Lido, Bogor, seluas 500 m2. Itu untuk menampung jenis cylindrica, giant, dan canaliculata. Ketiganya tergolong berdaun tebal. Maklum, sejak sebulan terakhir permintaan yang masuk jenis berdaun tebal, bulat, dan kering yang disukai karena bandel dan tahan banting.
Eksklusif
Wajah baru yang juga ketiban rezeki lidah jin ialah Heroe Pramono di Surabaya. General manajer sebuah perusahaan bahan bangunan itu terjun ke bisnis sansevieria pada Juni 2007. Pada penghujung 2007 Heroe menjual 100 pot lidah mertua per bulan. Jenis yang diburu pelanggan, S. zaelani australian black spot, gold flame, twister, dan patula. Heroe meraup omzet Rp7,5-juta-Rp10-juta per bulan. Manisnya sansevieria juga dirasakan Nanang Prasojo di Yogyakarta.
Sukses 3 pendatang baru di bisnis sansevieria itu bukan tanpa sebab. Penelusuran Trubus ke berbagai daerah, bisnis sansevieria memang tengah menggeliat. ‘Sejak 3 bulan silam pasar sansevieria mulai bergerak,’ kata Iwan Hendrayanta, ketua Perhimpunan Florikultura Indonesia. Ia merujuk pada pendapatan di nurserinya Rp32juta per bulan sejak 3 bulan silam. Beberapa pemain fanatik menyebut
Sansevieria 4 pergerakan pasar sansevieria sejak setahun silam. Itu terutama untuk jenis eksklusif. Menurut Agus Mulyadi, pemain sansevieria di Solo, lidah naga disebut eksklusif bila bersosok cantik, langka, dan pertumbuhan lambat. Tiga syarat itu menyebabkan sansevieria eksklusif dibandrol selangit, Rp500-ribu-Rp60-juta per pot. Djumiati Aris Budiman, pemilik nurseri Watuputih, Yogyakarta memberi syarat tambahan. ‘Tanaman biasa bisa jadi eksklusif bila mengalami mutasi,’ katanya. Sebut saja jenis giant alias masoniana. Tanpa mutasi harganya Rp50-ribu-Rp100-ribu per daun. Namun, giant variegata putih Rp7,5-juta per daun. Giant variegata golden (kuning, red) dibandrol Rp5-juta per daun. Definisi lebih lunak diberikan Soedjianto, pemain di Wonosobo. ‘Yang disebut eksklusif semua jenis sansevieria nonlaurentii dan hahnii,’ tuturnya. Harganya mulai Rp50-ribu per pot hingga puluhan juta rupiah. Toh, bukan berarti semua lidah naga sekelompok S. trifasciata laurentii dan hahnii tergolong murahan. California yang dibandrol Rp1-juta per pot berdaun 3-4; gold flame Rp250-ribu-Rp1- juta per pot. Golden wendy-sekelompok dengan hahnii-Rp750-ribu-Rp2,5-juta per pot.
Momentum
Bukan tanpa alasan jika kini sansevieria berkibar. ‘Harga anthurium sudah tidak masuk akal. Jadi, pemain tanaman hias mencari tanaman lain yang bisa diangkat dengan harga rasional. Sansevieria memenuhi syarat itu,’ ujar Iwan.
Harga lidah naga memang terjangkau. ‘Ia mengalami kenaikan, tapi bertahap. Tidak sedrastis raja daun,’ kata Willy Poernawan, ketua Masyarakat Sansevieria Indonesia (MSI), di Yogyakarta. Sebut saja S. kirkii var. pulchra ‘coppertone.’ Pada awal 2007 harga 3-4 daun dengan bentangan 20 cm Rp250-ribu. Pertengahan tahun menjadi Rp350-ribu-Rp450-ribu, dan di penghujung tahun Rp750-ribu.
Kenaikan harga yang cenderung bertahap itu membuat pemain mudah memprediksi pasar. ‘Pergerakan harga mudah dipantau, harga di mancanegara diketahui persis melalui internet,’ ujar Harry. Itulah salah satu alasan Harry nekat bermain sansevieria. Artinya, di bisnis sansevieria, pemula sekalipun tak akan merasa tertipu membeli dengan harga tinggi.
Informasi yang serba terbuka di dunia sansevieria menjadi antitesis bagi orang yang menganggap harga di dunia tanaman hias rawan goreng-menggoreng.
Penuhi 7 Syarat
Djumiati menambahkan 7 syarat yang mesti dimiliki tanaman agar bisa diterima masyarakat dan menjadi tren. Tiga syarat pertama berhubungan dengan estetika: cantik, variasi bentuk beragam, dan variasi warna tinggi. ‘Sebetulnya dengan 3 syarat itu, sebuah tanaman pasti disukai hobiis, tapi tak cukup kuat untuk menjadi tren yang panjang,’ kata Mimi, sapaan Djumiati.
Tiga syarat lain berkaitan dengan penanganan: perawatan mudah, tingkat perbanyakan sedang, dan pertumbuhan lambat. ‘Bila tanaman mudah dirawat, biaya perawatan rendah, hobiis dan pemula
Sansevieria 4 gampang tertarik. Koleksi tanaman tak akan mengganggu rutinitas sehari-hari,’ ujarnya. Dua sifat yang disebut terakhir disukai produsen dan pedagang. Bila tanaman terlalu mudah diperbanyak, kejenuhan pasar gampang terjadi. Pertumbuhan lambat membuat periodisasi sebuah tren panjang. Syarat terakhir tergolong tambahan, tapi berperan penting mempengaruhi publik. Tanaman mesti mempunyai nilai guna selain nilai estetika. Sansevieria bersifat antipolutan dan antiradiasi. Itu sejalan dengan penelitian yang dilakukan Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA). Hasil penelitian selama 25 tahun menyebut lidah mertua mampu menyerap 107 polutan udara. Jadi, semua syarat untuk jadi tren itu terpenuhi oleh lidah naga.
Siklus Berulang
Sejatinya, tren sansevieria di tanah air bukan kali pertama. Pada 2004-2005, dunia tanaman hias dikejutkan dengan maraknya orang mengebunkan S. laurentii. Kala itu importir dari Korea bergerilya langsung ke pelosok Pulau Jawa untuk mencari kerabat agave itu. Kawasan Bopuncur (Bogor, Puncak, dan Cianjur) di Jawa Barat dan Malang, di Jawa Timur, pun berubah menjadi sentra laurentii. Saking populernya laurentii, tanaman pagar itu menjadi incaran maling.
Sayang, perniagaan ekspor terhenti pada 2005. ‘Semua kebun terkena serangan busuk daun karena bakteri Erwinia sp,’ kata Anna Sylvana, eksportir sansevieria. Laurentii rentan penyakit tersebut. Hingga 2007 hanya 2 eksportir bertahan: di Yogyakarta dan Malang. Namun, penelusuran terakhir di penghujung 2007, eksportir di Yogyakarta pun gulung tikar.
Menurut Anna tren pada 2004-2005 itu sebetulnya putaran kedua. Pertama kali laurentii dikirim ke mancanegara dimulai pada 2000. Ketika itu nurseri Greenery mendapat permintaan langsung dari Jepang. Ketika itu negeri Sakura itu tengah getol mengkampanyekan sansevieria sebagai antipolusi. ‘Hasil penelitian NASA sebetulnya menyebut 10 tanaman penyerap polusi,’ tutur Anna. Tanaman lain kurang gaungnya karena berupa tanaman bunga, krisan, yang umurnya pendek. Atau tanaman daun: phylodendron, aglaonema, dan spatiphylum yang lebih cocok untuk indoor. Lidah mertua cocok untuk indoor dan outdoor.
Ketika kegiatan ekspor terhenti, pasar lokal justru terbuka. Namun, jenis yang diminati hobiis lokal bukan laurentii. Yang dicari jenis-jenis berdaun tebal dan bulat. Sebut saja cylindrica, suffruticosa, dan ehrenbergii. Maklum, informasi sansevieria sebagai tanaman antipolusi kian menyebar.
Laju Impor
Peluang itu ditangkap para importir tanaman hias. Boen Soediono di Jakarta menjelajahi Thailand. ‘Di sana ada 3-4 nurseri yang khusus menyediakan sansevieria,’ kata pemilik nurseri Bloemfield itu. Dari perjalanan 4 kali sepanjang 2007 ia membawa 10 jenis baru yang tergolong langka. Antara lain volkensii, koko, horwood, humiflora, hawaiian star, dan suffruticosa ‘frosty spears’. Begitu sampai di tanahair, tanaman langsung berpindah tangan.
Sansevieria 4 Menurut Boen sebetulnya lidah mertua impor masuk pertama kali ke tanahair pada 1980 melalui kolektor asal Belanda. Sayang, jumlahnya sangat terbatas sehingga tidak sempat tren. Jenis yang masuk: coral blue dan douglas. Di Wonosobo, coral blue dan douglas ditanam oleh ekspatriat asal Amerika bernama Jack E Craig pada 90-an sebagai elemen taman. Importir lain, Handhi, mendatangkan lidah jin dari Thailand setiap 2 bulan sejak 2 tahun silam. Jenis yang dibawa twister tsunami. Dalam waktu 6 bulan 50 pot lidah naga setinggi 15 cm dan berdaun 7-8 itu laku dengan harga Rp1-juta per pot. Sejak 4 bulan silam, volume penjualan meningkat menjadi 100 pot per bulan. Jenisnya tak melulu twister, tapi juga patens, suffruticosa, fernwood, dan phillipsiae. Kehadiran jenis baru dipercaya ikut mendongkrak tren sansevieria. Sejak 3 bulan terakhir omzet nurseri Watuputih dari sansevieria mencapai Rp100-juta per bulan. Yang paling banyak dicarimencapai 50% volume penjualan-sansevieria berharga Rp500-ribu-Rp1-juta. Semua tanaman didatangkan dari Thailand.
Kerikil Tajam
Namun, bila tergiur bisnis sansevieria, bersiaplah melewati jalan terjal dan berliku. Pada awal 2007, Sarjianto bersama seorang rekan mencacah indukan giant, pinguicula, dan kenya yasin untuk perbanyakan. Enam bulan kemudian saat anakan itu siap dijual permintaan lidah jin nol. ‘Selama 3 bulan pasar mandek,’ kata pria asal Yogyakarta itu. Padahal, ia berharap meraup omzet minimal Rp20-juta per bulan. Kenyataan, pendapatan ketika itu hanya Rp2-juta per bulan.
Batu sandungan lain, salah penanganan. Sebuah samurai asal Thailand yang dibeli Mimi seharga Rp15-juta pada kuartal awal 2007 semula tampak gagah. Namun, begitu di-repotting, sansevieria itu stres. ‘Daun jadi meliuk-liuk karena salah pengemasan saat diimpor. Hingga kini lidah naga itu teronggok di pojokan rumah plastik miliknya.
Penyakit busuk daun tetap jadi momok, terutama untuk jenis laurentii dan hahnii. Hanya dalam hitungan minggu, kebun laurentii dan moonshine untuk ekspor seluas 8 ha milik Greenery luluh-lantak diterjang Erwinia sp. Kini pasar yang dikuasai Indonesia diambil alih oleh Vietnam dan Birma.
Kendala lain, pencurian. Seorang hobiis di Sawangan, Depok, hanya bisa terpekur lesu. Sebanyak 180 jenis sansevieria asal Perancis yang baru datang digondol maling. Padahal, banyak jenis yang mutasi.
Semarak Kontes
Toh, segudang kendala itu tak menyurutkan semangat para pemain. ‘Untuk penanaman di lahan luas memang tidak menguntungkan. Tapi, pembudidayaan sebagai tanaman pot tetap prospektif,’ kata Lanny Lingga di Bogor. Konsumen sansevieria dalam pot adalah hobiis di tanahair.Sebagai contoh, sejak 3 bulan terakhir superba, superba futura, dan tiger yang dipotkan Liling Watiasita di Yogyakarta laris manis. ‘Permintaan pot plant meningkat 30%,’ katanya.
Geliat isnis lidah jin pun didukung maraknya kontes di berbagai daerah. Pada Januari 2008 tercatat 2 kabupaten menggelar kontes: Blora dan Banyumas. Bahkan, Blora kini dicanangkan sebagai kota sansevieria oleh sang bupati, Drs RM Yudhi Sancoyo, MM. Di penghujung 2007, ajang serupa digelar di Surabaya dan Yogyakarta. Sebulan sebelumnya di Jakarta dan Yogyakarta. ‘Sejak 6 bulan terakhir hampir tiap bulan digelar 2 kontes. Peserta berlimpah, mulai 50 hingga tembus 102 peserta,’ kata Willy. Bandingkan dengan 2005, saat itu kontes lidah mertua hanya sekali digelar. Sepanjang 2006 hingga April 2007 kontes sansevieria hanya 4 kali. Frekuensi kontes yang meningkat seiring dengan munculnya komunitas pencinta sansevieria. Di Yogyakarta ada: Masyarakat Sansevieria Indonesia alias MSI. Kini cabang-cabang MSI berdiri di berbagai daerah. Sebut saja Klaten, Solo, Wonosobo, Blora, Tulungagung, Surabaya, dan Ngawi. Pergerakan tren pun tertangkap di luar Jawa. Wartawan Trubus, Syah Angkasa, melihat pameran di Padang mulai diramaikan lidah naga. Pun di Lampung, Palembang, Medan, dan Bali. Keriuhan lidah jin itu melahirkan kolektor-kolektor tulen ‘Mempunyai sansevieria ibarat mengoleksi lukisan pelukis terkenal. Tak semua yang punya uang bisa memiliki. Jumlahnya terbatas sehingga eksklusif,’ kata Michael, kolektor di Semarang. Itulah peluang yang ditangkap orang-orang seperti Harry dan Heroe.
Wajah baru yang juga ketiban rezeki lidah jin ialah Heroe Pramono di Surabaya. General manajer sebuah perusahaan bahan bangunan itu terjun ke bisnis sansevieria pada Juni 2007. Pada penghujung 2007 Heroe menjual 100 pot lidah mertua per bulan. Jenis yang diburu pelanggan, S. zaelani australian black spot, gold flame, twister, dan patula. Heroe meraup omzet
Sansevieria 3 Rp7,5-juta-Rp10-juta per bulan. Manisnya sansevieria juga dirasakan Nanang Prasojo di Yogyakarta. Sukses 3 pendatang baru di bisnis sanseveria itu bukan tanpa sebab. Penelusuran Trubus ke berbagai daerah, bisnis sansevieria memang tengah menggeliat. 'Sejak 3 bulan silam pasar sansevieria mulai bergerak,' kata Iwan Hendrayanta, ketua Perhimpunan Florikultura Indonesia. Ia merujuk pada pendapatan di nurserinya Rp32-juta per bulan sejak 3 bulan silam. Beberapa pemain fanatik menyebut pergerakan pasar sansevieria sejak setahun silam. Itu terutama untuk jenis eksklusif. Menurut Agus Mulyadi, pemain sansevieria di Solo, lidah naga disebut eksklusif bila bersosok cantik, langka, dan pertumbuhan lambat. Tiga syarat itu menyebabkan sansevieria eksklusif dibandrol selangit, Rp500-ribu-Rp60-juta per pot. Djumiati Aris Budiman, pemilik nurseri Watuputih, Yogyakarta memberi syarat tambahan. 'Tanaman biasa bisa jadi eksklusif bila mengalami mutasi,' katanya. Sebut saja jenis giant alias masoniana. Tanpa mutasi harganya Rp50-ribu-Rp100-ribu per daun. Namun, giant variegata putih Rp7,5-juta per daun. Giant variegata golden (kuning, red) dibandrol Rp5-juta per daun. Definisi lebih lunak diberikan Soedjianto, pemain di Wonosobo. 'Yang disebut eksklusif semua jenis sansevieria nonlaurentii dan hahnii,' tuturnya. Harganya mulai Rp50-ribu per pot hingga puluhan juta rupiah. Toh, bukan berarti semua lidah naga sekelompok S. trifasciata laurentii dan hahnii tergolong murahan. California yang dibandrol Rp1-juta per pot berdaun 3-4; gold flame Rp250-ribu-Rp1- juta per pot. Golden wendy-sekelompok dengan hahnii-Rp750-ribu-Rp2,5-juta per pot.

*Sansevieria Langka Berharga Rp 30 Juta Sansevieria atau biasa disebut lidah mertua ini bagi penggemar
tanaman hias masih diminati. Wajar, karena bentuknya yang
sensual dan khas. Belum lagi khasiatnya yang baik untuk
kesehatan, yaitu sebagai penyerap antioksidan.

Sansevieria adalah tanaman hias yang cukup populer dan sering digunakan sebagai tanaman hias di dalam rumah karena tanaman ini dapat tumbuh dalam kondisi yang sedikit air dan cahaya matahari. Tanaman ini berkembangbiak melalui umbi lapis. Sebagai tanaman gurun, sansevieria memiliki bentuk yang terbilang minimalis. Tanpa banyak variasi, tanpa batang, dengan daun berstruktur keras. Karena bentuk yang tak biasa inilah, hati kolektor biasanya mulai kesengsem dengan tanaman yang sering digunakan anak kecil untuk mainan ‘pedang-pedangan’ ini.
Syaichul Anam, Kolektor yang juga pemilik Gallery Black Gold Sansevieria Collection di Sidoarjo, Jatim, sebagai distributor sekaligus kolektor tanaman hias, Syaichul juga memiliki jenis sansevieria andalan. Sansevieria andalan itu dari jenis Bolpho Pyllom asal Amerika. Jenis ini adalah salah satu jenis sansevieria silindris langka yang biasa hidup di gurun pasir. Ia mendapatkan sansevieria langka ini dari teman sesama kolektor sekitar tahun 2006 lalu. Begitu melihatnya, Syaichul langsung tertarik dengan tanaman ini. Meski tak mau menyebut berapa harga yang dikeluarkan pada saat itu, pria kelahiran Surabaya, 6 Oktober 1963, ini mengaku kagum dengan tanaman ini, karena bentuknya yang sudah bercabang tiga. Tak sia-sia, salah satu koleksi sansevieria langka yang kini berusia 10 tahun ini pun pernah juga dikagumi oleh kolektor yang lain. “Pada setiap pameran saya selalu membawa tanaman ini. Dan sesekali orang bertanya untuk dapat membelinya. Sampai sekarang, nilai yang pernah diajukan pernah mencapai sekitar Rp 30 juta,” terang Syaichul. Mengingat langka dan keunikan Bolpho Pyllom miliknya, Syaichul pun berusaha untuk memperbanyak dan membudidayakan koleksinya ini. Berbagai cara pun ia lakukan demi mendapat bibit tanaman ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar