Rabu, 05 Juni 2013

Harimau dan Hubungannya dengan Manusia di Dunia Melayu

08 Februari 2007
 

Harimau dan Hubungannya dengan Manusia di Dunia MelayuTidak banyak buku yang khusus membahas tentang harimau di Asia Tenggara. Sebagian besar buku berbahasa Inggris dengan topik sama merupakan catatan dan pengamatan penulisnya di kebun-kebun binatang dan sirkus- sirkus atau kehidupan harimau di India. Buku Frontiers of Fear, Tigers and People in The Malay World, 1600-1950, karya Peter Boomgaard dan diterbitkan oleh Universitas Yale tahun 2001, merupakan salah satu sumbangan tulisan mengenai perjalanan nasib harimau di Asia Tenggara, dengan tekanan pada hubungan kehidupan manusia dan harimau di Jawa dan Sumatera. 
  SEBAGAI sejarawan dan ekonom, Peter Boomgaard menitikberatkan studinya kepada arsip yang berkaitan dengan hubungan manusia dan harimau: bagaimana sentimen masyarakat terhadap harimau, bagaimana respons terhadap gangguan harimau, berapa besar kerugian masyarakat akibat gangguan tersebut dan pelbagai peraturan yang lahir akibat gangguan tersebut, seperti Dekrit 8 Agustus 1862 dan pemberian hadiah oleh Gubernur Jenderal Belanda kepada mereka yang berhasil membunuh harimau. Karya Boomgaard ini lebih merupakan kompilasi laporan dari waktu ke waktu (diakronik). Pada beberapa bagian yang mengulas masalah budaya, bukanlah hasil pengamatan langsung si penulis di lapangan. Namun demikian, di beberapa bagian Boomgaard berhasil menggambarkan dan menyimpulkan makna harimau pada kehidupan masyarakat Asia Tenggara, khususnya Sumatera dan Jawa.
  Sebagai ekonom, Boomgaard berkehendak juga meletakan kedudukan harimau dalam peran yang berkaitan dengan kependudukan maupun kegiatan ekonomi, baik yang bersifat agrikultur maupun hortikultur. Selain itu, Boomgaard juga mengemukakan tentang makna pengayoman penguasa, Hindia Belanda yang dianggap sebagai kawula, sehingga seolah-olah pemerintah memperhatikan kesejahteraan  rakyat.
Berapa besar pengaruh harimau pada kepentingan ekonomi Belanda pada waktu itu masih terasa perlu lebih banyak data. Terutama, tanpa mengesampingkan bukti-bukti bahwa harimau sering sekali menjadi pemangsa pekerja perkebunan termasuk perkebunan tebu yang mempunyai nilai ekonomi berarti bagi kepentingan Belanda. Gangguan harimau ini sering kali menyebabkan para pekerja enggan bekerja untuk perkebunan Belanda.
  Selanjutnya, gangguan yang meresahkan para pekerja kebun tebu atau perkebunan lain yang memiliki nilai bagi kepentingan penjajah Belanda, berpengaruh pada wibawa Pemerintah Belanda. Maka tidak mengherankan bahwa kemudian Pemerintah Belanda sebagai "pengayom" masyarakat menawarkan hadiah bagi mereka yang membunuh hewan ini seperti pada subjudul "Ancestor for sale: bounties for the big cats " ( hal 87).
Peraturan dan insentif untuk membunuh harimau jelas hanya bersifat anthropocentric dalam arti demi kepentingan dan nafsu manusia, dan demi kepentingan Pemerintah Belanda untuk mendapat "favor" dari masyarakat luas. Pada zaman itu, baik di Indonesia atau juga dengan Inggris di India, memburu harimau adalah suatu kebanggaan. Ia hampir-hampir merupakan mode pada zaman itu, seperti ditulis oleh Kenneth Anderson dalam bukunya The Tiger Roars, Harper Collins, 1991. Pada kenyataannya dan akhirnya, yang banyak mendapatkan hadiah (bounty) dari pemerintah kolonial adalah orang-orang kulit putih saja. Dengan senjata yang mereka miliki, mereka tidak hirau sama sekali terhadap nasib harimau di kemudian hari.
Buku ini juga terasa lengkap karena Boomgaard menyertakan pula perbandingan angka kematian penduduk karena harimau, per satuan luas antara Jawa, India, dan Sumatera. Di Jawa misalnya, digambarkan bahwa pada tahun 1820 angka kematian karena harimau sangat tinggi, tetapi pada awal abad ke-20 angka itu sama dengan di India ( hlm 79).
  Kematian penduduk karena harimau, baik di Sumatera dan Burma pada awal abad ke-20, relatif di bawah angka kematian di India dan di Jawa. Menurut Boomgaard ada hubungan linear terbalik antara kepadatan penduduk dan jumlah kematian karena harimau dan berbeda kalau dihitung per satuan luas, maka kematian secara komparatif memperlihatkan bentuk kurva linear.
Deskripsi fisik biotik
Pada halaman-halaman pertama dari buku, Boomgard mencoba menggambarkan status fisik-biotik dan aspek ekologik dari harimau di Asia tenggara. Harimau adalah hewan yang paling impresif dan selalu menarik pengunjung di pelbagai kebun binatang di dunia. Sebagian orang yang berkunjung ke kebun binatang, apakah itu Tarunga di Sidney, Marine World di San Franscisco, atau kebun binatang Artist di Amsterdam, dan belum melihat harimau, merasa seperti belum lengkap. Ia menarik perhatian pengunjung bukan hanya karena ia adalah kucing terbesar, tetapi juga kesan mengerikan yang menjadi label dirinya. Sehingga Boomgaard mensitir pendapat Mary Bradley, wisatawan dan pemburu hewan besar, …"he had been terrible in life and he was terrible in death…! "(hal 2)Harimau merupakan salah satu spesies yang memperlihatkan variasi geografik jelas dan menjadi salah satu bukti bahwa evolusi memang berjalan dalam dunia kehidupan. Hewan ini berasal dari daratan kontinental Mongolia Utara. Pada masa glasiasi di mana belahan bumi utara menjadi sangat dingin, seluruh hewan bermigrasi ke daerah-daerah tropik. Harimau ikut serta di dalamnya, mengikuti perpindahan mangsanya. Maka sampai saat ini, masih ada ciri perilaku yang dipertahankan oleh harimau sesuai daerah asalnya, yaitu berendam di air untuk mendapatkan udara sejuk.
  Apabila kita memperhatikan satu per satu harimau-harimau dari pelbagai daerah yang terdapat di kebun binatang, seperti ditulis oleh Boomgaard, akan terlihat jelas bahwa ada perbedaan yang bermakna antara bentuk dan ukuran harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), harimau siberia (Panthera tigris altaica), dan harimau rambut panjang, bertubuh tambun dengan ukuran yang jauh lebih besar dari seekor singa. Harimau india tidak sebesar harimau siberia, tetapi ada varian yang berwarna putih dan selalu menarik pengunjung, seperti halnya harimau rewa yang konon mencapai harga 35.000 dollar AS. Boomgaard tidak lupa menyinggung keunikan harimau jawa atau bali yang relatif lebih gelap dari harimau sumatera. Harimau sumatera berukuran paling kecil, tetapi warna emas mengilap dari dasar loreng yang pekat memberi kesan tersendiri. Sayangnya, buku ini tidak menjelaskan mengapa terjadi perbedaan fisik ini.
  Di beberapa bagian bukunya, Boomgaard menekankan peningkatan populasi harimau dengan dibukanya lahan pertanian atau perkebunan. Hendaknya dipahami bahwa harimau lebih mudah berkembang di hutan-hutan terbuka seperti riverine forest, atau savanna woodland, di mana biomas hewan buruan relatif tinggi. Di tempat seperti ini, hidup berbagai jenis hewan yang menjadi mangsa harimau seperti rusa, kijang, kerbau, dan banteng.
  Contoh perubahan situasi lingkungan seperti yang digambarkan untuk daerah Banten mungkin menarik: ekosistem dari hutan hujan basa tropik ke tanah peladangan yang relatif terbuka. Foto terakhir harimau yang dibuat tahun 1938 oleh Hoogerwerf, juga diambil di daerah Banten, tepatnya di Ujung Kulon (hal 14). Banten yang semula daerah hutan hujan tropik basah biasa, memiliki biomas kehidupan hewan yang kurang tebal atau kurang padat bila dibandingkan daerah hutan savanna (savanna woodland, riverine forest), seperti halnya di Jawa Timur.
Boomgaard juga menyinggung tentang kebiasaan makan harimau yang tidak langsung menyantap mangsanya di tempat penangkapan. Ia, biasanya menarik mangsanya ke dekat-dekat air karena harimau membutuhkan air berlebih sehabis bersantap. Khailash Sankhala dalam bukunya Tiger!, Simon & Schuster, 1977 menceritakan bagaimana harimau memberi makan anak-anaknya. Biasanya, mangsa yang berhasil ditangkap, misalnya kerbau, akan dikosongkan dulu isi perutnya lalu ditarik ke semak-semak terdekat. Di situlah anak-anak harimau bagian dada.
  Harimau dikenal sebagai kucing yang sangat soliter. Ia biasanya menandai daerah hidupnya dengan air kencingnya, dengan kelenjar scent (scentgland), atau dengan cakaran kukunya. Harimau biasanya cenderung menghindari teritorial rekan mereka. Kesendirian hewan ini diperlihatkan terutama saat berburu.
Aspek budaya
  Dari aspek budaya, Boomgaard mencatat beberapa kepercayaan yang berlaku di masyarakat Indonesia menyangkut harimau. Pada suku Jawa, Boomgaard menyinggung tentang kebiasaan membuat perangkap hewan yang disebut bekungkung. Ia juga mendeskripsikan bahwa di Jawa, harimau sering dibunuh, bahkan menjadi obyek tontonan untuk dibunuh ramai-ramai dalam suatu upacara rampogan. Upacara ini dipimpin oleh raja Jawa di mana harimau dan macan dibunuh ramai-ramai di alun-alun. Acara ini merupakan pertunjukan untuk memperlihatkan kekuasaan sang raja. Bahkan digambarkan oleh Boomgaard akan dihukum dengan dimasukan ke dalam kandang harimau. Sementara itu, di Sumatera, masyarakat sering kalienggan membunuh harimau, bahkan di Aceh mereka samasekali tidak mengenal racun yang mampu membunuh hewan menyusui besar seperti harimau (hal 125).
  Di dalam buku ini Boomgaard mengutip komentar Raffles yang menyatakan bahwa adu harimau dan kerbau lebih menarik sebagai tontonan. Namun demikian, perkelahian harimau melawan kerbau atau banteng sesungguhnya tidak seperti lukisan yang dibuat oleh Raden Saleh, di mana harimau berhadapan dengan kerbau atau banteng, karena biasanya harimau tidak akan mengambil risiko menubruk hewan buruan dari depan, apalagi seekor banteng yang gagah. Dari foto-foto di dalam buku Guy Mountfort, Tigers, Wildlife International Series, 1973, atau karya Khailash Shankala, diperlihatkan bahwa harimau cenderung melumpuhkan kerbau dengan menggigit tendon kaki belakang sehingga lumpuh.
Dalam buku ini juga diperlihatkan bahwa Susuhunan kadang menghentikan pertarungan antara kerbau dengan harimau kalau si kerbau sebagai pralambang orang Jawa, tampak akan kalah. Ungkapan ini menarik, karena orang Jawa juga mengenal unen-unen "ojo bodo koyo kebo", artinya jangan bodoh seperti kerbau. Memang, di beberapa tempat, kerbau sangat dihormati seperti halnya kepercayaan di Bagelen yang menyatakan konon keturunan nyai Bagelen dilarang memakan daging kerbau. Namun hendaknya dicatat bahwa harimau, juga ditulis Boomgaard, sering disebut sebagai kyaine, datuk, embahe, atau sima leluhur dan sebutan apa saja yang cenderung refleksi dari sikap respek pada harimau.
  Di Jawa tidak dikenal kebiasaan berburu harimau seperti pada raja-raja di India. Sangat mungkin sekali hal ini bisa dijelaskan dengan kenyataan adanya kepercayaan bahwa hingga saat ini beberapa hewan dapat merupakan hewan siluman atau jadian. Membunuh hewan jadian atau siluman masih dianggap membahayakan si pembunuh atau keluarga si pembunuh. Seperti ditulis Boomgaard bahwa masyarakat enggan menangkap harimau, baik di Sumatera maupun di Jawa, karena adanya kepercayaan bahwa harimau melindungi mereka. Oleh sebab itu, di Jawa dikenal istilah macan bumi atau sima leluhur (hal 171).
Bagaimana menjelaskan tentang adanya kepercayaan bahwa harimau mendapat kedudukan terhormat pada masyarakat Jawa sementara dalam kenyataannya harimau kadang menjadi pemangsa manusia? Untuk menjawabnya, perlu membaca lebih banyak tentang agama-agama di Jawa. Realitas memperlihatkan bahwa di Jawa, bagian ekstrim terbaik yaitu Tuhan dan ekstrim yang kurang baik yaitu Nyai Roro Kidul, seperti juga di Bali ada perwujudan baik dan buruk yang disanjung yaitu Leak dan Barong, dapat juga diterjemahkan pada harimau sebagai penguasa hutan  (ekstrim monde sylvestris) vs masyarakat manusia (dunia peradaban atau monde civilise). Sebagai penguasa hutan, harimau mempunyai hak, seperti Nyai Roro Kidul, sebagai perwujudan Batara Kala.
  Harimau secara simbolik juga menjadi penyeling antar-adegan pada wayang kulit dengan simbol bentuk gunungan yang merupakan refleksi sistem kepercayaan dasar yang bersifat animistik. Simbol kegarangan dan keperkasaan juga dilekatkan pada harimau dan dipakai di dalam tarian atau pertunjukan seperti reog Ponorogo dengan topeng wajah harimau loreng. Ketidakberdayaan penduduk untuk membalas kematian manusia karena diserang harimau, sering kali dikaitkan dengan tabu yang sudah dilanggar oleh si korban sehingga harimau sebagai jelmaan nenek moyang memberi hukuman. Oleh Boomgaard, hal demikian disebutnya sebagai cerita yang sangat "oriental". Kepercayaan tentang harimau itu mulai berubah ketika pemerintah kolonial menerapkan sistem hadiah (bounty) bagi penduduk yang berhasil menangkap atau membunuh harimau. Hadiah berupa uang sebesar 22 florijn dianggap cukup menggiurkan pada saat itu, sehingga banyak penduduk mulai memburu harimau. Akibatnya, pada tahun 1897, ketika peraturan itu dicabut, jumlah harimau di  Jawa sudah mulai menyusut.
Pemakan manusia
  Dari bukunya, Boomgaard memberi semacam kesimpulan ada sejenis hubungan khusus antara manusia dan harimau. Hubungan ini bersifat antagonistik, satu menjadi korban yang lain. Harimau memang hewan predator sehingga selalu ada pihak lain yang harus menjadi korban. Akan tetapi, apabila korban itu adalah manusia, maka harimau akan menghadapi pembalasan dari kerabat korban.Di pelbagai tempat Boomgaard mengumpulkan lebih dari 30 cerita tentang manusia yang dibunuh atau diserang harimau dari tahun 1633-1687 dan 40 cerita penyerangan harimau dari tahun 1812-1869 (hal 39). Dari segi jumlah, Boomgaard mencatat ada 60 orang di sekitar Jakarta pada tahun 1624 yang dibunuh harimau. Angka kematian karena harimau yang paling tinggi terjadi di Lampung pada tahun 1820, mencapai angka 675 orang. Dari perbandingan sejak 1850-an, angka kematian karena harimau di Sumatera jauh lebih tinggi dibandingkan di Jawa (hal 40-71) meskipun jumlah penduduk Sumatera jauh lebih sedikit dibandingkan di Jawa.
Beberapa hipotesa dapat dikemukakan tentang penyebab harimau memangsa manusia. Pertama adalah berkurangnya hal ini, harimau betina sering kali terpaksa membunuh manusia untuk memberi makan anak-anaknya karena mangsa lain sudah sulit didapat. Kedua, manusia sebagai mangsa dianggap kurang berisiko. Penelitian tentang harimau pemakan manusia di Sunderban, India, memperlihatkan bahwa salinitas air mendorong harimau untuk menyukai daging manusia. Faktor air ini dapat menjelaskan juga mengapa pada tahun 1854, angka kematian karena harimau di Palembang cukup tinggi, meskipun tidak setinggi Lampung. Perlu dicatat bahwa air di Palembang saat itu cenderung payau.
Melestarikan harimau
  Sebagian besar tulisan atau karya mengenai harimau di Asia Tenggara dan khususnya di Indonesia lebih mencakup mengenai aspek fisik dan perkembangan harimau. Tulisan tentang hubungan harimau dengan manusia sendiri masih sangat terbatas, belum sepuluh jari terpenuhi, sehingga membaca karya Boomgaard, kita mendapatkan masukan tersendiri, mengapa harimau akhirnya mengalami nasib yang tragis di negeri kita, punah!
  Tentunya kita bertanya-tanya, mengapa di India yang jumlah penduduknya lebih banyak, masih mampu mempertahankan harimau, ada upaya serius melindungi, bahkan mampu mengekspor harimau termasuk harimau putih dari Rewa. Sementara itu, bangsa Indonesia justru ingin kehilangan semua yang dimiliki. Apakah ada perbedaan falsafah hidup yang mendasari sehingga bangsa Indonesia tidak dapat melestarikan hewan ini?
  Di Sumatera tidak diragukan masih terdapat beberapa ekor harimau meskipun sudah langka seperti ditampilkan Boomgaard (hlm 213). Namun demikian, keberadaan hewan ini di wilayah Sumatera bagian selatan segera menyusut cepat. Ini tidak lain karena disinyalir terdapat jaringan pengantar daging harimau ke Jakarta untuk  disantap di beberapa restoran hingga tahun awal 1990-an. Sebelum rezim Soeharto berakhir, beberapa perwira tinggi  atau tokoh dapat memiliki harimau sebagai hewan peliharaan dan dijadikan sasaran berburu. Mereka memasang hasil buruan sebagai trofi dan ada semacam pandangan bahwa mampu menembak hewan dilindungi adalah suatu kebanggaan.
  Karya Boomgaard ini sangat baik. Akan tetapi, dari tataran informasi fisik biologik maupun etologik perlu beberapa tambahan untuk para pembacanya. Beberapa kelemahan juga muncul dalam penulisan nama Latin di mana Boomgaard tidak mengikuti nama lazim ketika menuliskan Bos javanicus untuk menyebut banteng. Sebutan yang lazim dipakai adalah Bos sondaicus untuk menyebut banteng.Deskripsi mengenai persebaran macan tutul atau kumbang, yang didatangkan ke Jawa sebenarnya tak perlu disinggung (Panthera pardus pardus dan Panthera pardus melas) hidup sampai di Pulau Kangean, utara Bali atau sebelah timur Madura. Bahkan, mungkin di pulau-pulau utara Jawa seperti Bawean dan Karimun Jawa juga masih ada sisa-sisa
  macan tutul.
  Justru kehadiran macan tutul ini yang agaknya mendukung tekanan seleksi mengarah kepada lahirnya harimau jawa yang lebih besar dari harimau sumatera. Di samping macan tutul/kumbang, harimau jawa juga mendapat saingan dari anjing ajag (Cuon alpinus).
  Sekalipun demikian buku Boomgaard mempunyai nilai tersendiri bagi pemahaman harimau dan masyarakat di Asia Tenggara, yang dilihat oleh sorang sejarawan dan ekonom. Deskripsi Boomgaard mengenai keberadaan harimau yang berbeda di pelbagai kawasan di Asia Tenggara dan sebenarnya juga di tempat lain seperti India, Iran, Tiongkok, dan Siberia, memperlihatkan bukti adanya evolusi biologik yang bersifat regional. Bahkan kalau  benar hipotesa Joel Cracraft bahwa harimau sumatera berbeda pada level spesies dengan harimau yang lain, maka evolusi makro telah dan memang terjadi dalam hewan ini.
Pengetahuan akan harimau tentunya akan makin kaya kalau saja pembaca bisa membandingkan dengan tulisan-tulisan terdahulu mengenai harimau di pelbagai tempat baik dari segi fisik-morphologi, ontogeni maupun ethologi. Beberapa buku lain yang beredar misalnya tulisan George Schaller, The Deer and the Tiger, 1967; Guy Mountfort, Tigers, 1973; Khailash Shankala, Tiger!, 1977; dan bahkan mahasiswa pencinta harimau juga sudah mengeluarkan catatan mengenai deteksi harimau jawa seperti ditulis Didik Raharyono, Berkawan Harimau Bersama Alam, 2001.
Boedhihartono Staf Pengajar pada D3 Pariwisata UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar