Rabu, 05 Juni 2013

Harimau Jawa.

Harimau Jawa tergolong dalam kerajaan haiwan dalam filum kordata (bersaraf tunjang), sub-filum vertebrata (bertulang belakang), kelas mamalia (berdarah panas, berbulu dengan kelenjar menyusu), susunan maging (Carnivor), keluarga felidae (kucing), genus panthera, spesies tigris (harimau), sub-spesies Panthera tigris sondaica.
Harimau dipercayai berasal daripada sejenis haiwan pemangsa zaman purba yang dikenali sebagai Miacids. Miacids hidup pada akhir zaman Cretaceous kira-kira 7065 juta tahun dahulu semasa zaman dinosaur di Asia Barat (Andrew Kitchener, "The Natural History of Wild Cats").  Sulur-galur harimau kemudiannya berkembang di kawasan timur Asia di China dan Siberia sebelum berpecah dua, satunya bergerak ke arah hutan Asia Tengah ke barat dan baratdaya menjadi harimau Caspian. Sebahagian lagi bergerak dari Asia Tengah ke arah kawasan pergunungan barat, dan seterusnya ke Asia tenggara dan kepulauan Indonesia, sebahagiannya ke barat sehingga ke India (Hemmer,1987)
Dalam spesies harimau moden, terdapat terdapat lima sub-spesies harimau dalam Genus Panthera yang masih hidup pada masa sekarang dari jumlah asal lapan sub-spesies harimau moden. Tiga sub-spesies harimau yang selebihnya telah pun dianggap pupus secara rasmi. 
Harimau Jawa pernah mengdiami kawasan hutan hujan di kepulauan Jawa, Indonesia. Kegiatan pemburuan dan pembukaan tanah oleh manusia telah menyebabkan harimau Jawa tidak dapat menghadapi ancaman yang berterusan dan dipercayai pupus. Kali terakhir harimau Jawa dilihat ialah pada 1972. Satu-satunya gambar harimau Jawa dirakamkan oleh A. Hoogerwerf's Udjung Kulon:  The Land of the last Javan Rhinoceros. Leiden: Brill Academic Publishers. 1970. 


Kemungkinan makanan utama harimau Jawa adalah rusa, kijang, kancil, babi liar, ikan, monyet, landak, dan termasuk semua jenis burung sama seperti harimau Sumatera. Dipertimbangkan oleh IUCN punah sekitar tahun 1972-an. Kabar angin menyebutkan masih didengar suaranya di Jawa Barat. Selama tahun 1993 dan 1999 dilakukan survey di Taman Nasional Meru Betiri tapi tidak ditemukan bukti keberadaannya.


Benarkah HARIMAU JAWA masih ada?


Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica), yang ukuran tubuhnya berada di antara ukuran tubuh subjenis harimau Sumatera dan harimau Bali, bertahan sedikit lebih lama. Pada tahun 1850-an, harimau Jawa dianggap sebagai 'gangguan' di beberapa daerah perkotaan dan pada tahun 1872 hadiah yang diberikan bagi sebuah kepala harimau yang terbunuh di Tegal, Jawa Tengah, adalah sekitar 3.000 gulden. Waktu itu ada beberapa lusin harimau dibunuh dalam usaha memperoleh hadiah tersebut. Bahkan sampai abad ini harimau Jawa bukan tidak biasa ditemui dan meminta korban ratusan jiwa manusia setiap tahunnya, namun penduduk tidak mau memerangi harimau ini, karena jika mereka melakukannya, berdasarkan pengalaman, akan menyebabkan rusaknya tanaman mereka oleh serbuan kawanan babi. Meskipun demikian, seorang pemburu ulung Ledeboer mengaku telah menembak 100 ekor harimau antara tahun 1910 dan 1940. Selain itu keadaan menyedihkan yang dialami harimau ini tidak didukung oleh adanya permintaan terus-menerus dari pembuat topeng merak dan harimau Singabarong yang digunakan dalam pertunjukan tari tradisional reog ponorogo di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sampai tahun 1940 harimau sering terlihat dan ditembak di bagian selatan Jawa Barat, dan kadang-kadang beberapa ekor mencapai daerah Subang dan Cibadak. Populasi ini kemudian merosot dan mendekati pertengahan tahun 1960-an, harimau Jawa hanya ditemukan di suaka alam Ujung Kulon, Leuweung Sancang, Baluran dan Meru Betiri. 

Perlawanan perjuangan rakyat pada waktu itu menyebabkan kelompok­kelompok penduduk bersenjata mencari perlindungan di berbagai kawasan tersebut. Harimau mati karena tidak tahan terhadap serangan anthrax atau karena menipisnya populasi rusa. 
Tidak satu pun kawasan hutan yang tersisa di jawa pada pertengahan abad ini merupakan habitat utama harimau dan hutan ini semakin lama semakin terpenggal-penggal. Jelas bahwa kepunahan harimau Jawa terjadi karena ruang gerak tidak tersedia lagi. Kesimpulan yang sama berlaku juga bagi harimau Bali, tetapi diperburuk ketika beberapa harimau yang masih tersisa dipromosikan sebagai sasaran olah raga berburu pada tahun 1930-an.
Berbagai survai yang dilakukan oleh PHPA dan World Wide Fund for Nature pada tahun 1976, menegaskan bahwa ada tiga ekor harimau di Taman Nasional Meru Betiri, tetapi tidak ditemukan bukti-bukti adanya perkembangbiakan. Binatang-binatang ini tidak membatasi kegiatannya hanya di dalam taman, namun mereka juga tidak menggunakan seluruh kawasan berhutan yang tersedia. 
Pada tahun 1979 tiga ekor harimau masih tersisa. Presiden Soeharto menekankan kebutuhan untuk melindungi harimau tersebut, namun usaha ini memerlukan relokasi 5.000 buruh perkebunan. Beberapa politikus menganggap tindakan untuk menyelamatkan beberapa ekor harimau ini terlalu berlebihan, sehingga usaha konservasinya menjadi terhambat.
Berbagai instruksi yang diperlukan untuk melindungi harimau akhirnya dikeluarkan, namun tidak pemah benar-benar dilakukan sehingga pada pertengahan tahun 1980-an harimau Jawa tidak lebih dari sekedar simbol bagi divisi tentara Siliwangi dijawa Barat, binatang buruan ini tidak ditemukan oleh mahasiswa peserta berbagai ekspedisi, dan hanya simbol dorongan hati manusia.
Meskipun Meru Betiri merupakan tempat perlindungan terakhir bagi harimau, sebenarnya bukan merupakan habitat khusus yang tepat bagi harimau, dan secara alami harimau tidak akan hidup dalam kepadatan yang sangat tinggi, karena dataran alluvial yang lebih rendah yang menyediakan populasi mangsa besar terutama rusa telah diubah menjadi perkebunan, segera sesudah Perang Dunia II .
Laporan saksi mata dan jejak -jejak harimau dilaporkan ditemukan pada tahun 1979 di lereng Gn. Slamet bagian selatan yang berhutan, namun karena tidak ada pengamatan ulang semenjak itu, tampaknya tidak ada harapan harimau tersebut dapat bertahan hidup.
Menetapkan waktu kepunahan binatang yang secara metafisik memegang peranan penting seperti harimau, sulit dilakukan karena penduduk mempunyai kesan yang melekat erat tentang harimau , tidak mengherankan jika kadang­kadang laporan mengenai harimau tunggal yang terpencil muncul di berbagai surat kabar, tetapi hampir pasti apa yang diberitakan itu adalah macan kumbang Panthera pardus yang lebih mudah menyesuaikan diri , yang nama lokalnya sangat mirip.
Meskipun tidak pernah diumumkan secara resmi, seseorang dapat menyatakan, tanpa merasa takut akan munculnya pertentangan pendapat, bahwa harimau Jawa telah punah. Bukti-bukti kuat tentang keberadaannya tidak mungkin ditunjukkan sejak 15 tahun terakhir, meskipun banyak ekspedisi yang telah dilakukan. Luas Taman Nasional Meru Betiri hanya 50 km2, kawasan seluas ini secara normal dihuni enam atau tujuh ekor harimau betina dan tiga ekor harimau jantan. Jumlah yang sedikit lebih banyak dapat dipaksakan menghuni kawasan tersebut jika harimau-harimau itu memangsa binatang ternak di sekitar Taman Nasional. 
Laporan baru mengenai kematian binatang ternak yang disebabkan oleh harimau tidak ada, dan bertambahnya kepadatan harimau akan melebihi daya dukung.Jika masih ada satu atau dua ekor yang tersisa, harimau Jawa secara esensial tetap punah, terutama ditinjau dari segi ekologi dan evolusi. Kondisi mengerikan yang dialami saudara sepupunya di Sumatera. Jaringan para pemburu dan petugas dalam pengumpulan kulitnya, menjadi peringatan bahwa memburu seekor harimau bukan merupakan hal yang sulit, ikatkan seekor kambing lapar yang mengembik-embik pada sebatang pohon di tengah hutan dan dalam beberapa hari binatang buruan anda akan datang. 
 


Benarkah HARIMAU JAWA masih ada?
Benarkah Harimau Jawa masih ada? 2 June 2009
Apakah periode defekasi harimau jawa selama tujuh tahun? Tentu tidak. Defekasi harimau di habitat insitunya dapat terjadi 4 kali dalam satu minggu, bergantung pada pemangsaan dan besarnya mangsa. Tetapi mengapa setelah tujuh tahun baru ditemukan kembali feses harimau jawa? Tentu karena tidak ada periset yang memantau keberadaan harimau jawa di TNMB secara kontinyu, walau Jagawana sekalipun.
Sepertinya ada siklus tujuh tahunan tentang kehebohan harimau jawa di TNMB. Tahun 1990 Pusat Informasi Pecinta Alam (PIPA) Besuki menyatakan menemukan jejak kaki harimau jawa. Tahun 1997 tim ekspedisi PL-Kapai ?97 mengklaim menemukan bekas aktivitas harimau jawa meliputi feses, cakaran di pohon, jejak tapak kaki dan rambut (seperti yang terpajang di web ini). Walaupun sampel temuan rambut baru teridentifikasi sebagai milik harimau jawa setelah dianalisis pada tahun 2001 (Kompas, 29/09/2003). Agustus 2004 penduduk tepi kawasan TNMB menemukan feses harimau jawa.
Sebenarnya pada tahun 1993 seorang jagawana TNMB pernah melihat langsung harimau loreng melintas di depan mobil yang ditumpanginya bersama turis asing sewaktu menuju pantai Sukamade (pengakuan langsung kepada penulis tahun 2002). Selain itu pasca ekspedisi PL-Kapai ?97 pernah ditemukan feses harimau jawa oleh jagawana TNMB di Sukamade pada bulan Mei 1998. Feses tersebut berdiameter 7 cm, dengan pajang 25 cm, terdiri dari dua bolus, mengandung rambut kijang dan babi hutan. Berdasarkan ukuran feses diperkirakan tubuh harimau jawa pelaku defekasi memiliki panjang tubuh sekitar 300 cm dengan berat badan berkisar 200 kg.
Berbagai temuan hasil ekspedisi PL-Kapai ?97 diyakini milik harimau jawa setelah dilakukan penyaringan data secara ketat. Acuan pembanding bekas aktivitas berasal dari macan tutul dan harimau sumatera koleksi Kebun Binatang Surabaya (exsitu) serta dari TN Way Kambas Lampung (insitu). Setelah tahap penyaringan data dilalui justru diperoleh pengetahuan tentang kriteria ukuran baku bekas aktivitas harimau jawa ?tertuang dalam buku Berkawan Harimau Bersama Alam (terbit 2001).
Pembuktian keberadaan harimau jawa tidak hanya sebatas opini, sebab Desember 1998 diprakarsai Mitra Meru Betiri (MMB) cabang Jogjakarta ?Matalabiogama Fakultas Biologi UGM menyelenggarakan Seminar Nasional Harimau Jawa di UC UGM yang dihadiri oleh 150 akademisi dan praktisi hidupan liar. Seminar nasional itu terselenggara berkat dukungan Indonesian Wildlife Fund dan Sumatran Tiger Project ?(sekarang Sumatran Tiger Consevation Programe?). Pada seminar nasional tersebut dihasilkan 11 poin rekomendasi dan pengakuan
eksistensi harimau jawa diberbagai hutan tersisa di Jawa, sehingga perlu dilakukan ekspedisi-ekspedisi susulan dengan melibatkan masyarakat.
Jika di Jogjakarta tahun 1998 dilakukan seminar nasional harimau jawa, pada tahun yang sama di Gunung Betiri seorang pemanen buah kemiri mengaku mengikuti harimau loreng betina dengan seekor anaknya selama tiga jam. Bahkan bulan September 2004 yang lalu, pemanen madu sempat menjumpai jejak macan selebar piring makan. Perjumpaan dengan harimau jawa juga terinformasikan oleh penduduk sekitar hutan lindung di Jawa Tengah.
Keyakinan bahwa eksistensi harimau jawa tidak hanya di ?habitat terakhirnya? TN. Meru Betiri digaungkan oleh Tim Pembela dan Pencari Fakta Harimau Jawa (TPPFHJ) Kappala Indonesia ke seluruh Jawa. Sehingga bersama BKSDA Jatim II tahun 1999 dilakukan ekspedisi harimau jawa di luar kawasan Meru Betiri meliputi Gunung Ijen sampai Gunung Raung. Usaha pengumpulan data bekas aktivitas harimau jawa juga merambah kawasan Gunung Slamet Jawa Tengah tahun 1999 dan 2000. Hasilnya diketahui bahwa di Gunung Raung maupun di Gunung Slamet berlandaskan temuan rambut yang dianalisis menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) masih ada harimau jawa.
Untuk pemfokusan kajian terhadap karnivor jawa, maka sejak 2002 TPPFHJ menyapihkan diri dari Kappala Indonesia menjadi PKJ. Gerakan penyelamatan harimau jawa kemudian dikembangkan ke dunia maya dengan alamat portal: www.javantiger.or.id. Sehingga dunia dapat mendengar bahwa harimau jawa di Pulau Jawa masih eksis dan masih menjadi bahan kajian serius. Terbukti dengan hasil skripsi 4 orang mahasiswa yang berhasil mencapai derajat sarjana {1 dari F.Biologi UGM mengangkat tema rambut; 2 dari Jurusan Biologi F.MIPA Unpad mengangkat tema rambut; dan 1 dari F.Geografi UGM mengangkat tema kelayakan TNMB sebagai habitat harimau jawa}.
Perjuangan pembuktian keberadaan harimau jawa yang dilakukan oleh generasi muda Indonesia secara sungguh-sungguh selama bertahun-tahun sampai menguras kocek pribadi, tidak pernah mendapat respon positif dari bangsa ini. Bahkan banyak perilaku yang cenderung menisbikan usaha-usaha tersebut, salah satu contoh tercermin di harian Kompas (29/11/2004) yang mengusung berita tentang punahnya harimau jawa. Termuat di halaman 10 bertajuk: Populasi Harimau Terancam, pada alenia ketiga dituliskan: ?Kini tiga dari delapan sub­spesies harimau sudah punah, yaitu harimau bali (1940-an), harimau kaspia (1970-an), dan harimau jawa (1980-an)?. Apakah sumber pengetahuan tentang keberadaan harimau jawa yang dihasilkan oleh anaknegri ini tidak bernilai ilmiah. Ataukah harus ?bule? dulu baru bisa diakui ke-ilmuannya oleh bangsa ini? Apakah feses temuan penduduk tepi hutan TNMB yang tersusun dari rambut babi hutan berdiameter 5 cm, panjang 22 cm, mengandung kuku kaki babi hutan pada pertengahan Agustus 2004 bukan milik harimau jawa? Padahal kandungan kuku kaki prey pada feses jelas menunjukkan bekas aktivitas macan loreng, karena macan tutul tidak berperilaku seperti itu.
Menindak lanjuti terhadap temuan feses tersebut Kappala Jember, Balai TNMB, STCP dan PKJ serta PPS Jogja pada akhir Oktober 2004 yang baru lalu bergabung melakukan survey manual selama tujuh hari. Data terbaru yang ditemukan berupa cakaran harimau jawa dengan luka goresan tertinggi 226 cm dari permukaan tanah dan jarak antar goresan kuku 4 cm (dapat disaksikan pada video flip di web ini). Temuan itu penulis simpulkan sebagai bekas aktivitas harimau jawa.
Semoga kasus publikasi temuan Homo floresiensis alias manusia kerdil dari Liang Bua tidak akan pernah menimpa Panthera tigris sondaica yang endemik jawa. Dimana usaha pembuktian keberadaan ?satwa punah? yang telah dirintis anaknegri selama bertahun-tahun terhapus begitu saja oleh sebuah foto harimau jawa terbaru hasil jepretan peneliti dari ?luar negeri? yang selalu didukung dana dan peralatan canggih. Harapan itu akan terwujud jika pers turut peduli terhadap publikasi ilmiah temuan terbaru anaknegri Indonesia sendiri.
Berdasarkan argumen temuan data di atas, akhirnya kepada siapapun yang menyatakan harimau jawa punah, penulis ajukan pernyataan: buktikan bahwa harimau jawa sudah punah!
Harimau Jawa Masih Hidup?
Selasa, 18 November 2008 | 16:38 WIB

BOYOLALI, SELASA — Para pecinta lingkungan meyakini bahwa harimau jawa sudah punah. Namun, peristiwa yang terjadi di Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, membuat petugas Balai Taman Nasional Gunung Merbabu bingung. Seorang perempuan tewas dimangsa macan. Saksi yang melihat macan itu menyebut ciri harimau jawa.
Koordinator Polisi Hutan Balai Taman Nasional Gunung Merbabu Eko Novi yang saat dihubungi pada Senin (16/11) berada di Boyolali, mengutarakan, saat ini petugasnya masih belum memiliki referensi soal macan tersebut. Penelitian secara mendetail untuk mengetahui jenis macan tersebut belum bisa dilakukan.
Minggu sore warga sekitar Desa Ketundan, Kecamatan Pakis, menemukan sesosok mayat perempuan tanpa identitas yang berusia sekitar 30 tahun. Daging paha korban sudah habis hingga menyisakan tulang, sedangkan pakaian korban terkoyak-koyak.
Sehari sebelumnya, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merbabu Untung Suprapto sempat mengutarakan, warga yang menyaksikan macan itu menyebutkan, postur macan tersebut tidak terlalu besar. Tubuhnya ada totol-totol sehingga pihaknya menduga macan ini tergolong macan tutul.
"Namun, ada juga warga yang bilang melihat ada coklat-coklat kulitnya. Saya jadi bingung lagi. Soalnya kalau itu, berarti harimau jawa. Padahal, sudah hampir punah dan hanya ada di Meru Betiri di Jember. Malah jadi bingung," kata Untung.



Selasa, 18 November 2008 | 06:16 WIB
BOYOLALI, SELASA — Kerusakan ekosistem yang mulai mengganggu mata rantai makanan hewan di Gunung Merbabu, Jawa Tengah, membuat daerah jelajah macan semakin luas sehingga membahayakan manusia.
Minggu (16/11) sore seorang perempuan berusia sekitar 30 tahun ditemukan tewas akibat dimangsa macan di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu, Dusun Krembyungan, Desa Ketundan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang.
Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merbabu Untung Sugiyono di Boyolali, Senin, mengatakan, perempuan yang identitasnya tak diketahui ini diperkirakan sudah tewas satu hari sebelumnya. Korban ditemukan di hutan yang berjarak sekitar satu jam perjalanan dari Dusun Krembyungan.
"Daging paha korban habis sehingga tinggal tulang. Pakaian korban juga tercabik-cabik. Warga yang berupaya mengevakuasi korban sempat melihat ada seekor macan muncul tidak jauh dari sana," kata Untung.
Ia mengutarakan, selama ini petugasnya sama sekali belum pernah menemukan macan di Gunung Merbabu. Diduga, macan tersebut kesulitan mencari makanan di daerah ketinggian sehingga mulai memperluas wilayah jangkauannya yang bisa mencapai radius 100 kilometer persegi.
"Rusa dan kijang yang menjadi makanan macan ini semakin berkurang karena perburuan liar yang marak ataupun karena rusa tersebut kesulitan mendapat makanan karena rusaknya ekosistem. Akibatnya, macan mulai turun dan manusia menjadi sasaran," kata Untung.
Koordinator Polisi Hutan Balai Taman Nasional Gunung Merbabu Eko Novi mengutarakan, jarak penemuan mayat tersebut dari jalur pendakian Wekas, Pakis, hanya sekitar 2 kilometer sehingga pendaki harus lebih waspada.
Para pendaki diimbau mendaki dalam rombongan dan menghindari berteduh di pohon-pohon lebat bila sedang hujan. "Kami tak akan menutup jalur pendakian, tetapi akan mengirimkan pemberitahuan kepada pengelola jalur pendakian untuk mengingatkan pendaki. Kami akan selidiki jenis macan itu."


Macan tutul timur jauh yang diberi nama Alyona saat diperiksa Clay Miller (kanan) dari Wildlife Conservation Society dan John Lewis (kiri) dari Wildlife Vets
 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar