Sabtu, 25 Agustus 2012

Aids dan Islam; Perspektif Al-Qur'an






oleh: K.H. Husein Muhammad dan Faried F. Saenong

Sekali lagi, tidak ada penyakit kutukan dari Tuhan. Dengan demikian, pengucilan terhadap anggota masyarakat yang terkena penyakit tidak berasal dan tidak memiliki akar-akar geneologis dalam Al-Qur‘ân. Keluarga yang sakit justru harus diperhatikan, ditolong dan disembuhkan. Bukan dengan menjauhi, meninggalkan dan mengucilkan mereka. Allah bahkan mengecam orang-orang yang meninggalkan anggota keluarganya yang sakit, atau masyarakat yang mengucilkan anggotanya yang sakit.
Bom di Bali dan teror-teror bom lainnya telah membuat ketakutan dan kecemasan semua orang di seluruh dunia. Maka semua orang bergerak untuk membicarakan, mendiskusikan, mencari cara antisipatif, membuat undang-undang anti teror, mencari pelaku dan sebagainya. Pendeknya hampir tidak ada orang yang tidak terlibat untuk ikut menanggulangi agar teror dan bom tidak terjadi atau dijatuhkan lagi. Hampir semua orang peduli, karena bom terbukti telah membunuh banyak orang, bahkan terhadap mereka yang tidak berdosa. Bom dan teror telah mengancam kemanusiaan. Tetapi teror HIV/AIDS?. Meski diketahui bahwa virus ini juga merupakan ancaman dan membunuh banyak orang, namun tidak banyak orang yang merasa terancam, dan karena itu keterlibatan mereka untuk menanggulangi penyakit ini relatif rendah.

Para ahli HIV/AIDS sesunguhnya telah menyebut virus dan penyakit ini sebagai masalah kemanusiaan yang besar. AIDS merupakan penyakit yang mematikan, yang belum ada obat penyembuh maupun vaksin pencegah. Ia merupakan penyakit menular dan akan menjadi beban berat bagi pelayanan kesehatan, sistem sosial, ekonomi, serta akan menimbulkan banyak masalah etik, legal, sosial yang menyangkut stigmatisasi, diskriminasi dan hak asasi manusia. Informasi ini memperlihatkan bahwa teror wabah virus HIV/AIDS ini sebenarnya tidak kalah berbahayanya dari teror bom. Orang agaknya lebih melihat banyak persoalan dengan pandangan yang pendek, kini, dan lebih tertarik dengan hal-hal yang nyata. Maka meski kedua teror tersebut sama-sama membunuh, namun kepedulian orang terhadap yang kasat mata, seperti bom tadi menjadi lebih nyata pula. Sementara kematian pada kasus HIV/AIDS berlangsung perlahan-lahan, karena tidak kentara dan tidak kasat mata. Sekian dari penderita virus ini adalah perempuan. Sebagian dari yang terkena virus ini juga anak-anak dan orang-orang yang tidak berdosa. Jumlah korban sangat sulit dipastikan, ia bisa berlipat-lipat dari yang ditemukan. Pengidap HIV terlihat sehat, tetapi membawa penyakit yang hari demi hari akan mengantarkan kepada kematiannya. Penularan virus ini dapat melalui hubungan seksual, transfusi darah dan perinatal. Sungguh mengerikan. Maka semua sepakat bahwa penanganan penyakit ini tidak bisa hanya dari sisi medis, tetapi harus menjadi kewajiban semua pihak, tidak terkecuali para ahli agama (ulama).
‘Penyakit Kutukan’ dalam Al-Qur`ânSecara tersurat atau tersirat, Al-Qur‘ân pernah menyebut beberapa jenis penyakit. Al-Qur‘ân menyebutnya secara tersirat jika Al-Qur‘ân meminjam kata lain yang sepadan atau menyinggung sesuatu yang berkonotasi penyakit. Al-Qur‘ân misalnya menggunakan kata al-dhurr, al-nushb dan al-‘adzâb untuk menjelaskan penyakit yang menimpa Nabi Ayyub as. (Q.S. al-‘Anbiyâ‘ [21]:83 dan Shâd [38]:41). Semuanya memberi penjelasan khusus dengan penggiringan makna ke suatu penyakit.
Dalam 19 cerita Israiliyat yang dikutip Ibn Jarîr Al-Thabarî yang mayoritas melalui Wahb bin Munabbih (tokoh utama Israiliyat), diceritakan bahwa penyakit yang menimpa Nabi Ayyub as., sangat luar biasa. Keadaan diri beliau karena penyakit itu misalnya digambarkan seperti daun yang dimakan ulat atau kulitnya langsung terkelupas jika disentuh. Bahkan seluruh rangkaian fisiknya sangat lemah, sehingga tinggal hatinya saja yang dapat dimanfaatkan untuk beribadah dan memuji Allah. (Tafsîr Al-Thabarî, Jilid 9, Juz 17, h. 42-58). Dalam riwayat lainnya diceritakan bahwa akibat penyakit itu, Nabi Ayyub as. Mendapat hinaan luar biasa dari masyarakatnya. Beliau dijauhkan dari pergaulan sosial dan dikucilkan di rumahnya sendiri. Bahkan, masyarakat sekeliling beliau berhasil membujuk isterinya untuk meninggalkan Nabi Ayyub as. (Q ashash al-‘Anbiya‘, Samîh ‘Âthif Al-Zein, h. 382-383). Seperti pasangan (suami atau isteri) lainnya, Nabi Ayyub as. mengusir isterinya seraya berjanji akan mencambuk isterinya jika telah sembuh. (Q.S. Shâd [38]:44).
Yang menarik dari Q.S. al-‘Anbiyâ‘ [21]:83 dan Shâd [38]:41 adalah perbedaan mufassir dalam memahami kata al-mass (sentuhan), al-dhurr (kesusahan), al-syaithân (syetan), al-nushb (lelah) dan al-‘adzâb (rasa sakit). Ibn Katsîr menjelaskan bahwa al-nushb merupakan penyakit jasmani yang diderita Nabi Ayyub as. Sementara itu, al-‘adzâb merupakan cobaan kemiskinan setelah sebelumnya beliau memiliki harta banyak. (Tafsîr Ibn Katsîr, Juz 4, h.42). Dalam Q.S. al-‘Anbiyâ‘ [21]:83 disebutkan bahwa Nabi Ayyub as. berdoa “innî massanniya al-dhurr” (saya disentuh/ditimpa oleh kesusahan). Dalam ayat ini, subyek kata kerja al-massa dinisbatkan kepada al-dhurr. Sementara itu, dalam Q.S. Shâd [38]:41, Allah menggunakan komposisi kalimat “innî massanniya al-syaithân bi nushb wa ‘adzâb” (saya disentuh oleh syeitan berupa rasa lelah dan sakit). Dengan kata lain, subyek kata kerja al-mass dalam ayat ini dinisbatkan kepada al-syaithân.

Secara khusus, jika Q.S. Shâd [38]:41 dipahami secara tekstual, maka pemahaman yang muncul adalah bahwa segala penyakit dan penderitaan yang dialami Nabi Ayyub as., merupakan penyakit yang berasal dari sentuhan syetan. Pemahamannya kemudian cenderung menjadi lebih mistis. Boleh jadi, pemahaman sebagian orang terhadap penyakit yang berasal dari dunia lain (atau ‘penyakit kutukan’) dipengaruhi oleh ayat ini, jika pemahamannya sangat tekstual. Bahkan ‘penyakit kutukan’ itu bisa menimpa manusia dengan tingkat kesalehan tertinggi seperti nabi Ayyub as. sebagaimana tersurat dalam ayat ini. Bahkan, meskipun masih kontroversial, ada riwayat bahwa nabi termulia, Nabi Muhammad saw., juga pernah merasakan sesuatu yang aneh karena ‘guna-guna’, sebagaimana yang umum dipahami dalam `asbâb al-nuzûl (sebab turunnya) surah al-Falaq.

Namun, pagi-pagi, mayoritas mufassir sudah menepis asumsi ini. Hampir semua mufassir merasa harus menjelaskan sesuatu dalam memahami Q.S. Shâd [38]:41, khususnya kata massanniya al-syaithân (Nabi Ayyub as. disentuh oleh syetan). Dari sekian referensi yang penulis gunakan, tanpa mengurangi rasa hormat, hanya Al-Thabarî yang tidak menjelaskan kata ini. (Tafsîr al-Thabarî, Jilid 10, Juz 23, h. 106). Bahkan Jalâl Al-Dîn Al-Mahalli dalam Tafsîr al-Jalâlain -sebuah kitab tarjamah tafsîriyah, yaitu tafsir yang hanya terfokus pada terjemahan kata per kata- menyempatkan diri memberikan catatan khusus dalm ayat ini. (Tafsîr al-Jalâlain, h. 330). Mayoritas ulama memahami ayat tersebut sebagai kinâyah (perumpamaan dengan pengalihan makna) yang sangat halus. Apalagi, komposisi itu merupakan doa seorang hamba kepada Tuhannya. Terlepas dari perdebatan teologis (Ilmu Kalam) seputar nasib baik dan buruk berasal dari Allah atau tidak, komposisi ayat ini ingin menjelaskan bahwa segala hal yang buruk, tidak berasal dari Allah, tetapi dari selain-Nya. ‘Alî Al-Shâbûnî misalnya juga memahami ayat ini dalam konteks kinâyah (etika hamba terhadap Tuhan), meskipun ia tetap menyandarkan segala hal (baik dan buruk) kepada Allah SWT. (Shafwah al-Tafâsîr, Juz 3, h. 60). Dalam makna serupa dengan ungkapan yang lain, Al-Zamakhsyarî menggambarkan bahwa nabi Ayyub as. tidak menisbatkan timpaan penderitaan itu kepada Allah dengan rasa tawadu yang tinggi, meskipun Allah dapat melakukannya. Tetapi Nabi Ayyub as. menisbatkan penderitaan itu kepada syetan, sambil hanya berharap kepada Allah untuk menyembuhkan penyakit itu. (Tafsîr al-Kasysyâf, Juz 3, h. 376).

Kinâyah dalam makna yang lebih bijak digambarkan oleh Ibn ‘Âsyûr. Ia menjelaskan ayat ini dengan membuat perumpamaan seperti A yang memukul batu dengan tongkat. Secara lahiriyah, si A tidak menyentuh batu tersebut, melainkan tongkat. Ayat ini juga demikian. Bahwa sesuatu yang menyentuh Nabi Ayyûb as. adalah al-nushb (rasa lelah) dan al-‘adzâb (rasa sakit), sebagaimana al-dhurr (kesulitan) yang langsung bertindak sebagai fâ’il (subyek) dalam Q.S. al-`Anbiyâ` [21]:83 . Dalam bahasa Arab, huruf bâ` (dengan) dalam kata bi nushb, dapat dipahami sebagai bâ` al-ta’diyah (huruf transitif atau huruf yang melampaui batas dan fungsinya), sehingga huruf bâ` di sini dapat bertindak sebagai fâ’îl (subyek) yang membutuhkan obyek (transitif). Namun demikian, Ibn ‘Âsyûr cenderung memahami huruf itu sebagai bâ al-sababiyah, yaitu huruf yang menjadi penyebab sehingga Nabi Ayyûb as. ‘disentuh’ oleh ‘syetan’. Singkatnya, Ibn ‘Âsyûr menjauhkan asumsi bahwa Allah yang menimpakan penderitaan itu kepada Nabi Ayyûb as. (Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Juz 11, h. 269-270).

Dalam tafsir-tafsir terakhir ini, jelas sekali bahwa tidak satu penyakitpun yang bersifat kutukan dari Tuhan. Sekalipun ia dipahami berasal dari Tuhan -sebagaimana penafsiran ‘Alî Al-Shâbûnî dan Al-Zamakhsyarî di atas-, ia lebih bijak jika dipahami dalam konteks ujian dan cobaan, bahkan sebagai nikmat. Jangankan penyakit besar seperti AIDS, Nabi Muhammad saw. menegaskan bahwa kesembuhan dari penyakit se-cetek demam, merupakan pengguguran dosa-dosa, melalui refleksi mendalam tentang nikmat kesehatan di masa sakit.
“Setiap musibah yang menimpa orang mukmin, akan mengangkat derajatnya di mata Allah dan menghapuskan dosa-dosanya, termasuk duri yang mengenai tubuhnya”.
Penafsiran yang lebih maju dilakukan oleh Wahbah Al-Zuhailî. Meskipun penafsiran kinâyah di atas juga dilakukan, ia lebih jauh tegaskan bahwa penyakit yang menimpa Nabi Ayyûb as., bukan penyakit kutukan yang kemudian menyebabkan ia terkucilkan dari masyarakat. Penyakit itu tidak lebih dari penyakit kulit yang bisa sembuh hanya dengan mengoleskan air biasa, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat 42 berikutnya. (Al-Tafsîr al-Munîr, Juz 23., h. 207). Pengucilan itu, menurut penulis, lebih disebabkan oleh faktor pembangkangan mereka terhadap seruan-seruan Nabi Ayyub as.
Namun demikian, pemahaman-pemahaman di atas tetap saja bersifat mistis. Meskipun dipahami bahwa penyakit yang menimpa Nabi Ayyub as., berasal dari Tuhan atau syetan, ini berarti bahwa penyakit itu bisa datang melalui proses gaib (metafisis). Penulis sedikit menyayangkan ketika para mufassir berhenti setelah menyematkan penyakit itu berasal dari syetan, tanpa menjelaskan kata al-syaithân itu sendiri. Kata al-syaithân misalnya tidak hanya dapat dipahami sebagai makhluk halus yang durhaka. Kata itu juga digunakan dalam menjelaskan sesuatu yang buruk dan jahat. Bahkan. Salah satu pecahan (derivasi) kata ini juga berarti al-khabîts (kotoran). Ketika menjelaskan kata al-syaithân, Ibn Manzhûr cenderung memberi karakter “hidup”, “buruk” dan “bergerak” pada kata ini. (Lisân al-‘Arab, Juz 7, h. 121). Dalam konteks ini, -tanpa bermaksud mempermudah persoalan- virus, bakteri atau sejenisnya, juga masuk dalam kategori al-syaithân. Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa al-syaithân dapat hidup dalam aliran darah manusia.
* * * * *
Meskipun Al-Qur‘ân sebagai sumber utama dan paling otoritatif menyatakan dirinya sebagai kitab yang menjelaskan segala hal (tibyânan li kulli syay‘), akan tetapi kita tidak menemukan di dalamnya ayat yang menyebutkan penyakit ini secara eksplisit. Al-Qur‘ân memang bukan kitab kedokteran atau kitab ilmu pengetahuan yang menyebutkan segala hal secara detail. Al-Qur‘ân adalah kitab petunjuk bagi mereka yang ingin sehat jasmani dan rohani, mental, spiritual dan sosial. Al-Qur‘ân memberikan garis-garis besar dan prinsip-prinsip perlindungan untuk manusia. Inti keberagamaan adalah perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia. Atas dasar ini semua ahli Islam merumuskan cita-cita ini dalam bahasa yang singkat: “dar‘ al-mafâsid wa jalb al-mashâlih” (mengantisipasi kerusakan dan mencari kebaikan sosial”.

Dalam banyak pandangan kaum muslimin, persoalan HIV/AIDS seringkali dinyatakan sebagai hukuman atau kutukan Tuhan atas para pendurhaka kepada-Nya, karena tidak mengikuti petunjuk-petunjuk Tuhan. HIV/AIDS seringkali dilihat sebagai akibat dari hubungan seksual yang haram, baik karena tidak melalui perkawinan yang sah maupun karena hubungan homoseksual. Ada rujukan ayat Al-Qur‘ân mengenai kutukan akibat hubungan homoseksual ini, yaitu kisah kaum Nabi Luth. Dalam fiqh, homoseksual disebut “liwâth” yang diambil dari kata lûth. Karena itu pendekatan atas persoalan ini harus melalui moral keagamaan. Menurut sebagian mereka, cara penanganannya pada tingkat praksis adalah dengan menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari perbuatan zina. Sebagian lain mengusulkan membakar semua tempat-tempat prostitusi. Tetapi dapatkah kita melihat bahwa mereka yang terkena inveksi virus HIV ini adalah juga perempuan yang baik-baik dan anak-anak yang tidak berdosa? Dengan kata lain penularan HIV/AIDS bisa juga terjadi melalui hubungan seks yang halal, ketika salah satu pasangan suami atau istri mengidap virus ini. Ia juga bisa menular melalui transfusi darah. Apakah dengan alasan di atas mereka juga harus mendapat kutukan Tuhan? Dan apakah dengan membakar rumah-rumah bordil dan prostitusi persoalan AIDS dapat teratasi?

Berdasarkan fakta-fakta medis mengenai odha, di mana mereka yang terkena virus ini tidak hanya orang-orang yang melakukan hubungan seksual yang melanggar norma agama, melainkan juga para istri baik-baik dan anak-anak. Maka generalisasi kutukan terhadap pengidap HIV/AIDS sesungguhnya tidaklah tepat. Tuhan pasti tidak akan mengutuk mereka yang tidak bersalah. “Wa mâ yazhlimu rabbuka `ahadan” (Tuhanmu tidak akan berbuat zalim kepada seseorang). Perbuatan zina atau melacur dan homoseksual menurut Islam adalah jelas hukumnya. Tuhan sudah menyatakan bahwa zina merupakan cara hubungan seks yang buruk dan dimurkai Tuhan. “Wa lâ taqrabû al-zinâ `innahû kâna fâhisyah wa sâ`a sabîlâ”. Tidak seorang ahli tafsir Islam yang menolak pandangan ini.

Pada sisi lain, apakah yang dimaksud dengan kutukan terhadap mereka yang melakukan hubungan seks menyimpang itu? Apakah mereka harus dikucilkan dari kehidupan sosial mereka atau disudutkan dan direndahkan? Dalam pembicaraan kita, kutukan merupakan terjemahan kata laknat dalam bahasa Arab. Laknat dalam bahasa Arab diartikan sebagai dijauhkan dari rahmat Tuhan. Ini sama dengan bahwa mereka tidak mendapatkan kenikmatan dan kasih sayang dari Tuhan, karena mereka tidak menjaga kesehatan reproduksinya sendiri. Sulit dapat dipahami jika kutukan tersebut berarti pengucilan dan bahkan pelenyapan atas hidup mereka. Mengucilkan dan mencibir mereka bisa berarti membiarkan mereka segera mati. Mengucilkan mereka juga sulit dapat diterima nalar, karena berhubungan dengan odha sesungguhnya tidak membahayakan sepanjang tidak dalam bentuk hubungan seksual. Penyebaran atau penularan virus ini, sebagaimana sudah dikemukakan hanya terjadi melalui hubungan seksual tanpa pengaman (kondom) lewat vagina, oral atau anal, atau melalui transfusi darah, melalui jarum suntik yang tidak steril. Penularan tidak terjadi melalui udara, atau dengan melalui jabat tangan, makan bersama dan saling berbicara. Persoalan HIV/AIDS sebenarnya lebih pada persoalan penyakit bukan semata-mata persoalan orang. Maka yang harus dicari penyelesaiannya di samping mengobati adalah menghindari penyakit itu sejauh-jauhnya.

Masalah HIV/AIDS boleh jadi lebih tepat disebut sebagai cobaan, ujian yang buruk atau peringatan Tuhan kepada manusia. Terhadap cobaan buruk ini Tuhan memperingatkan agar semua orang waspada dan berhati-hati, serta menghindari perbuatannya. Al-Qur‘ân menyatakan: “Berhati-hati dan jagalah diri kamu dari sebuah “fitnah” (cobaan buruk) yang tidak hanya menimpa mereka yang melakukan kezaliman (penyimpangan)”. (Q.S. al-‘Anfâl [8]:25).

Ini merupakan perintah Tuhan untuk pencegahan dari semua perbuatan yang buruk yang diarahkan terhadap semua orang yang berada dalam lingkungan sosial yang buruk. Jika persoalan HIV/AIDS bukan hanya dipandang sebagai masalah medis dan kesehatan fisikal, melainkan merupakan masalah sikap mental dan gaya hidup, maka pencegahan harus dilakukan melalui perubahan atasnya. Cara yang dapat dilakukan adalah menghindari hubungan seksual yang menyimpang tadi.
Perempuan dan HIV/AIDSPara ahli menyebutkan bahwa dibanding laki-laki, resiko terkena HIV/AIDS pada perempuan jauh lebih besar, terutama apabila berhubungan seks tanpa memakai kondom. Hal ini disebabkan luasnya jaringan mukosa dan konsentrasi virus HIV dalam air mani. Kerentanan lebih tinggi terjadi pada perempuan remaja. Pada kehidupan sosial, kerentanan perempuan terhadap virus ini nampak dalam kondisi ekonominya. Ini bisa terjadi karena ketimpangan gender. Bias gender telah memberikan kontribusi pada penyebaran virus ini, karena akses ekonomi perempuan selalu dibatasi. Kaum perempuan dalam kebudayaan serba laki-laki (patriarkhi) sering dinomorduakan dan didiskriminasi untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksinya. Apalagi, ketika penyakit-penyakit yang berkaitan dengan organ-organ reproduksinya sering tidak terdeteksi, akibat budaya yang menciptakan ketertutupan bagi perempuan untuk mengungkapkan fakta-fakta biologisnya. Perempuan juga rentan terhadap pelecehan seksual dan kekerasan terhadap dirinya. Jika karena hal-hal tersebut banyak yang terinfeksi virus AIDS, maka memang masuk akal. Dan ini akan bisa membahayakan jika ia kemudian hamil. Virus yang ada dalam tubuhnya bisa menular kepada bayinya.
Ada pula budaya stereotyping yang selalu menyudutkan perempuan pekerja seks di tempat-tempat pelacuran. Jarang sekali orang bicara tentang laki-laki yang datang ke sana. Jika penyebaran virus HIV/AIDS terjadi karena hubungan seksual tidak aman, maka itu berarti ada dua pihak yang terlibat. Seharusnya ada keadilan dalam memandang soal ini. “Al-fâ’il wa al-maf’ûl bih” (yang datang dan yang didatangi) adalah sama-sama perlu diperingatkan.

Karena itu semua, pencegahan dari problem virus HIV/AIDS ini adalah memperkuat jaminan keselamatan keturunan dan kesucian keluarga (hifzh al-nasl wa al-‘irdh), seperti sudah dikemukakan di awal tulisan ini. Dan ini menjadi tanggungjawab kita semua, laki-laki dan perempuan. Al-Qur`ân telah memberikan petunjuk bagi upaya-upaya prevensi ini, melalui penyelamatan dan perlindungan atas organ-organ reproduksi laki-laki maupun perempuan. (Q.S. Al-Mu`minûn [23]:1-7).
Catatan PenutupDengan pemaparan di atas, sekali lagi, tidak ada penyakit kutukan dari Tuhan. Dengan demikian, pengucilan terhadap anggota masyarakat yang terkena penyakit tidak berasal dan tidak memiliki akar-akar geneologis dalam Al-Qur‘ân. Keluarga yang sakit justru harus diperhatikan, ditolong dan disembuhkan. Bukan dengan menjauhi, meninggalkan dan mengucilkan mereka. Allah bahkan mengecam orang-orang yang meninggalkan anggota keluarganya yang sakit, atau masyarakat yang mengucilkan anggotanya yang sakit. Allah menjanjikan siksa bagi orang yang tidak memperhatikan anggota keluarga atau masyarakatnya yang sakit. Dalam kasus nabi Ayyub as., Allah menagih janji dan sumpah Nabi Ayyub as., yang akan mencambuk isterinya yang lalai bahkan meninggalkannya ketika sakit, setelah ia sembuh. (Q.S. Shâd [38]:44).
Bagi odha, hendaklah bersabar dan terus berdoa sambil berusaha menyembuhkan penyakit itu. Keyakinan bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya –seperti yang disebut dalam sebuah Hadis- harus terus hidup dalam dada. Allah bahkan menjanjikan pahala yang besar setelah sembuh nanti, dengan syarat menjadikan kondisi sakit ini sebagai refleksi betapa penting arti kesehatan dalam hidup. Tentu saja, keluarga dan masyarakat dianjutkan agar selalu memberi support agar odha tidak merasa putus asa. Wallahu ‘a’lam bi al-shawâb ]

PUSAT PELATIHAN & INFORMASI ISLAM DAN HAK-HAK PEREMPUAN        
 Rahima Jl. Pancoran Timur IIA No. 10 Perdatam Pasar Minggu Jakarta Selatan 
Telp./Fax. +62.21. 798 4165 e-mail: rahima2000@cbn.net.id CopyRight © Rahima 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar