Rabu, 09 Mei 2012

CUPANG : Hasil Penelitian


Daya Tetas dan Laju Pertumbuhan Larva Ikan Hias Betta splendens di Habitat Buatan
YUSTINA, ARNENTIS & DARMAWATI
Laboratorium Biologi, PMIPA,  FKIP, Universitas Riau
Diterima 02-01-2003 Disetujui 01-03-2003



 ABSTRACT
A study on the capacIty of hatchlings and the acceleration larvas growth of ornamental fishes Betta splendens  in the habitats manupulation were carried out in March–August 2002. A total of 10 individuals Betta splendens at the gonad maturation degree V, the variation of ovipotition eggs 775-900 grain were studied. The eggs fertility were 84,40–100%, the capacity of hatchlings were 40,03– 98,84%. The highest acceleration larvas growth can be reach after the larvas ages were 42 days. The acceleration larvas growth was 0,09 mg for each day, the acceleration specific growth was 0,32 mm for each day. The highes larvas mortality at age  14 days (47,32%), and the lowest mortality at ages 35 days (0,80%). The larvas mortality can be after the larvas ages were 42 day (0%).
Keywords: Betta splendens, capacity of hachlings, fertility,  growth, mortality



 PENDAHULUAN
Ikan Betta splendens merupakan ikan yang memiliki banyak bentuk (Polimorphisme), seperti ekor bertipe mahkota crown tail, ekor penuh full tail dan bertipe slayer, dengan sirip panjang dan berwarna-warni. Keindahan bentuk sirip dan warna sangat menentukan nilai estetika dan nilai komersial ikan hias Betta splendens (Anonim 2001). Menurut Kottelat et al, (1996) penampakan warna pada jenis ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis kelamin, kematangan gonad, genetik dan faktor geografi.
Ikan hias Betta splendens disebut juga ikan laga fighting fish atau ikan cupang. Ikan jantan memiliki warna mencolok, sirip panjang dan ukuran tubuh lebih kecil dibanding betinanya (Susanto & Lingga 1997). Ikan Betta splendens jantan memiliki nilai komersial tinggi sehingga sangat disukai dan diburu oleh pecinta ikan hias. Salah satu kendala budidayanya adalah untuk mendapatkan ikan jantan cenderung lebih sukar, karena jumlah benih jantan yang diperoleh setiap pemijahan sangat rendah dan kualitasnya tidak sesuai dengan yang diinginkan.
Agar produksi benih ikan sesuai dengan kuantitas dan kualitas yang diharapkan, diperlukan informasi dan data tentang aspek biologi reproduksi ikan Betta splendens di habitat buatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek biologi reproduksi ikan Betta splendens meliputi, fertilitas, daya tetas, laju pertumbuhan dan mortalitas benih ikan Betta splendens di habitat buatan.


 BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai Agustus Tahun 2002, di laboratorium FKIP Universitas Riau. Bahan yang digunakan yaitu ikan hias Betta splendens yang telah matang gonad (TKGV) sebanyak sepuluh pasang, makanan ikan berupa kuning telur, artemia dan jentik nyamuk. Alat yang digunakan yaitu kertas grafik, timbangan analitik, kaliper, akuarium sepuluh buah ukuran 30 cm x 30 cm x 30 cm dengan ketebalan 0,5 cm, pH meter, termometer, DO-meter, kaca loup, tissu atau serbet, serok, sendok cekung dan alat tulis.
Prosedur penelitian terdiri dari 1) pemilihan induk jantan dan betina; 2) persiapan tempat pemijahan dan penjodohan kedua induk menurut Susanto & Lingga (1997); 3) pengamatan pemijahan, perhitungan fekunditas dan fertilitas yang dilakukan 5 jam setelah pemijahan (Yustina & Arnentis 2002); 4) pengamatan laju pertumbuhan dan mortalitas larva (Syandri 1996) dan 5) pengukuran kualitas air (temperatur, pH dan kandungan oksigen terlarut) setiap hari sekitar jam 07.00-09.00 WIB .
Analisis data meliputi fertilitas, daya tetas telur, laju pertumbuhan dan mortalitas larva ikan Betta splendens. Fertilitas telur dihitung dengan cara memmembandingkan telur yang dibuahi dengan jumlah telur seluruhnya, kemudian dinyatakan dalam persen menurut rumus:
dibuahi yang telur jumlah
F =% 100x
seluruhnya telur jumlah
130 Jurnal Natur Indonesia 5(2): 129-132 (2003)
Daya tetas (DT) telur ikan hias Betta splendens dihitung dengan cara menghitung larva satu persatu, kemudian dinyatakan dalam persen (Suseno 1983) menurut rumus
larva jumlah
DT =% 100x
fertil telur jumlah
Laju pertumbuhan larva dinyatakan sebagai perubahan bobot tubuh rata-rata selama percobaan berlangsung. Laju pertumbuhan dihitung dengan rumus yang dikemukakan oleh Zonneveild et al dalam Syandri (1996) yaitu:
Wt −Wo
GR =
t
dengan:
GR = Laju pertumbuhan
Wt = Bobot rata-rata benih pada saat t (mg)
Wo = Bobot rata-rata benih saat awal percobaan (mg)
t = jumlah hari selama percobaan.

Laju pertumbuhan spesifik (LPS) yaitu pertumbuhan
panjang setiap harinya dihitung dengan persamaan
yang dikemukakan oleh Wehatherley & Roger (1987)
dalam Syandri (1996) yaitu:

Log −L Log
eL2 e1
G =
T dimana: G = Laju pertumbuhan panjang spesifik L2 = Panjang pada akhir pengamatan (mm) L = Panjang pada awal pengamatan (mm)
1
T = Lama waktu antara akhir pengamatan dan awal pengamatan (hari)
Mortalitas larva yaitu jumlah larva yang mati selama pemeliharaan 56 hari. Dihitung dengan rumus:
) ekor ( mati yang larva jumlah
M =
) ekor ( contoh larva jumlah



HASIL DAN PEMBAHASAN
 Fertilitas dan Daya tetas. Dari sepuluh pasang induk yang diamati, terdapat sebanyak 775 butir sampai 900 butir telur yang dioviposisikan. Hasil ini mengindikasikan bahwa ikan Betta splendens termasuk ikan berfekunditas kecil. Besar kecilnya fekunditas dipengaruhi oleh makan, ukuran ikan dan kondisi lingkungan (Woynarivich dalam Yustina & Arnentis 2002). Fertilitas berkisar antara 84,40% sampai 100% dan daya tetas berkisar antara 40,03% sampai 98,84% seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 1.
Yustina, et al.
 Tabel 1. Fertilitas dan daya tetas ikan Betta splendens serta  suhu, pH dan kandungan oksigen terlarut selama percobaan.
Ulangan Fertilitas Daya Tempe-pH air Oksigen percobaan (%) tetas ratur air (unit) terlarut ( % ) (0C) (ppm)
1 99,63 40,03 2 99,78 65,09 3 99,74 98,84 4 85,00 79,00 5 100,00 68,89 6 93,40 85,30 28 6,3 6,2
28 6,3 6,0
27 6,7 7,2
27 6,7 6,5
28 6,7 6,6
27 6,8 7 94,00 90,10 8 92,80 85,80 9 84,40 64,00
10 87,40 79,00
7.0 28 6,8 6.9 27 6,7 7,2 28 6,4 6,6 28 6,6 6,7
Tingginya persentase fertilitas (84,40-100%) menunjukkan bahwa sperma jantan memiliki kemampuan untuk membuahi telur. Keberhasilan pembuahan sangat tergantung pada kualitas dan kuantitas sperma. Diduga telur yang dikeluarkan oleh betina akibat adanya rangsangan ikan jantan sehingga setiap telur yang keluar langsung dapat dibuahi. Selain itu didukung pula oleh kuantitas dan kualitas sperma yang tinggi serta tidak terdapatnya faktor penghalang dilingkungan seperti arus dan turbiditas air. Keberhasilan fertilitas tergantung pada periode ejakulasi sperma (mijah) dan kemampuan sperma bersaing untuk membuahi telur dan peluang fertilitas dipengaruhi oleh perilaku jantan, anantomi dan fisiologi (Berhead & Muller dalam Hosken 1998).
Daya tetas berkisar antara 40,03–98,84% nilai ini cukup rendah. Rendahnya daya tetas, diduga disebabkan oleh beberapa faktor antara lain pengaruh goncangan air sewaktu perhitungan fertilitas. Hal ini
dapat menyebabkan telur jatuh dari sarangnya. Guncangan air dapat menurunkan keberhasilan fertilitas dan daya tetas telur (Affandi & Tang 2000). Selain itu kurangnya kelihaian induk jantan dalam memungut telur-telur yang jatuh ke dasar akuarium, menyebabkan sel-sel telur rusak. Menurut Sugandy (2002), bahwa induk yang sudah berpengalaman akan lebih lihai dalam memelihara telur sehingga daya tetas lebih tinggi.
Kualitas air media pemijahan seperti temperatur, pH, dan oksigen terlarut berada pada kondisi optimal. Hasil pengukuran temperatur air dalam akuarium pemijahan berkisar antara 270C sampai 280C. Kisaran temperatur ini secara umum memenuhi syarat untuk temperatur air pada wadah pemijahan. Hal yang sama dikemukakan oleh Perkasa (2001), bahwa temperatur optimal untuk pemijahan ikan hias Betta splendens berkisar antara 260C sampai 290C. Peningkatan suhu dan tekanan oksigen dapat mempengaruhi daya tetas,sedang suhu air dapat mempengaruhi efisiensi perubahan kuning telur menjadi bobot badan embrio ikan pada proses perkembangan (Effendi 1997). Telur ikan Betta splendens tergolong berukuran sedang, suhu optimal untuk penetasan berkisar antara 260C sampai 280C, dengan waktu penetasan sekitar 3 sampai 4 hari.
Pada wadah pemijahan pH air berkisar antara 6,3 sampai 6,8. Kondisi ini termasuk kedalam rentang kisaran pH air pemijahan ikan Betta splendens, sesuai dengan yang dikemukakan oleh Perkasa (2001) bahwa pH yang optimal untuk penetasan ikan hias Betta splendens berkisar antara 6,2–7,8. Selanjutnya bila air pada pH 1-4 atau 11-14 maka ikan tidak dapat hidup di dalamnya. Kandungan oksigen terlarut berkisar antara 6,0–7,2 ppm.

Laju Pertumbuhan Larva Ikan Betta splendens.  
Pertumbuhan bobot larva (Tabel 2), dari umur 1 hari sampai dengan umur 7 hari tidak terjadi, karena larva belum mendapat makanan yang cukup dari luar tubuh sehingga yang bertambah adalah panjang. Kohno et al dalam Syandri (1996) mengemukakan bahwa nutrien yang berasal dari kuning telur hanya dipergunakan untuk pertumbuhan panjang dan metabolisme dasar. Selanjutnya dari umur 7 hari sampai 14 hari pertumbuhan bobot larva terjadi secara perlahan yaitu dari 0,12 menjadi 0,17 mg atau 0,003mg/ hari. Setelah larva berumur 21 hari pertambahan bobot tubuh mulai meningkat yaitu 0,40 mg menjadi 5,20 mg pada umur 56 hari dengan laju pertumbuhan harian sebesar 0,09 mg/hari.
Pertumbuhan bobot larva yang lambat dari umur 1 hari sampai dengan umur 14 hari antara lain disebabkan larva pada waktu tersebut baru memanfaatkan cadangan makanan berupa kuning telur, dan makanan alami yaitu berupa fitoplankton, pada penelitian ini makanan yang diberikan berupa artemia yang disaring. Diduga
Tabel 2. Rataan bobot tubuh, panjang dan laju pertumbuhan  larva ikan Betta splendens  selama percobaan.
Umur
Bobot tubuh
Panjang tubuh
(hari)
(mg)
(mm)
1
0,12
6,00
7
0,12
7,50
14
0,17
9,00
21
0,40
12,00
28
0,65
15,00
35
0,95
16,00
42
1,00
20,00
49
3,20
25,00
56
5,20
36,00

GR = 0,09
G = 0,32

Daya tetas dan laju pertumbuhan larva Betta splendens           131
makanan tersebut belum mencukupi untuk proses pertumbuhan larva. Menurut Kanazawa dalam Syandri (1996) bahwa salah satu komponen penting bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva harus tersedia fosfolipid yang diperlukan untuk pertumbuhan sel antara lain membran sel. Secara biosintesis fosfolipid tidak dapat dipenuhi secara cepat. Oleh karena itu harus dipasok melalui makanan alami.
Larva ikan Betta splendens mulai memanfaatkan artemia secara sempurna setelah berumur 42 hari atau bobot larva mencapai 1 mg mencapai panjang 25,00 mm, ditandai dengan pertambahan bobot dan panjang meningkat sampai akhir percobaan. Pertumbuhan larva dari yang berumur 14 hari (0,17 mg) sampai berumur 42 hari (1,00 mg ) menunjukkan pertumbuhan bobot yang sangat lambat. Hal ini diduga larva ikan Betta splendens tidak optimal memanfaatkan artemia pada umur larva dibawah 42 hari, tetapi setelah umur 42 hari larva ikan dapat memanfaatkan artemia sesuai dengan kebutuhannya. Apakah pertumbuhan bobot dan panjang yang dicapai oleh larva ikan Betta splendens selama pemeliharaan 56 hari sudah merupakan pertumbuhan maksimal, dalam penelitian belum dapat diungkapkan, karena belum diperoleh data perbandingan dari penelitian lain.
Mortalitas Larva. Rataan mortalitas larva ikan Betta splendens selama pemeliharaan 56 hari bervariasi dari hari ke 7 sampai dengan hari ke 35. Mortalitas larva tertinggi terjadi pada hari ke 7 yaitu sebesar 47,32% dan terendah pada hari ke 35 sebesar 0,80% seperti disajikan pada Tabel 3.
Mortalitas larva yang tertinggi antara lain disebabkan larva sudah kehabisan cadangan makanan berupa kuning telur, sedangkan makanan alami yang terdapat di dalam media hidupnya tidak sesuai dengan kebutuhannya. Tingginya mortalitas larva diduga disebabkan oleh makanan yang tidak sesuai dengan jenis, ukuran dan jumlahnya. Nagi et al, (1981) menyatakan bahwa umur berhubungan erat dengan masa kritis yaitu masa penentuan jenis kelamin pada proses perkembangan gonad dan fase paling kritis dalam daur larva adalah periode sampai mencapai umur 15 hari (Syandri 1996). Faktor penyebabnya adalah kurangnya makanan yang tersedia dan lingkungan yang tidak sesuai.
Pada penelitian ini faktor lingkungan yaitu kualitas air yang penting sebagai berikut temperatur air 270C280C, ph 6,3–6,8 dan kandungan oksigen terlarut 6,0-7,2 ppm. Berarti mortalitas larva yang tinggi
132 Jurnal Natur Indonesia 5(2): 129-132 (2003)
Tabel 3. Persentase rataan mortalitas larva Ikan Betta splendens selama pemeliharaan 56 hari.
Hari
Rataan
SD
Komulatif

(%)
+
(%)
1
0,00
0,00
0,00
7
0,00
0,00
0,00
14
47,32
2,61
47,32
21
11,83
3,35
59,15
28
9,46
1,81
68,61
35
0,80
0,00
69,41
42
0,00
0,00
0,00
49
0,00
0,00
0,00
56
0,00
0,00
0,00

kemungkinan disebabkan oleh kurangnya makanan yang tersedia baik dalam jenis, jumlah maupun ukuran. Menurut Laskar dalam Syandri (1996) bahwa 50 persen larva ikan air tawar dapat memangsa dengan perbandingan bukaan mulut dan mangsa adalah 0,76 mm. Selanjutnya dinyatakan bahwa ukuran bukaan mulut dan kemampuan membuka akan menentukan ukuran makanan yang dapat dimakan, yang pada setiap spesies larva berbeda. Bukaan mulut larva ikan Betta splendens pada saat memangsa makanan dari luar belum dapat diketahui, tetapi untuk mengantisipasi ukuran makanan pada penelitian ini, maka dilakukan penyaringan makanan dengan menggunakan saringan kain siphon. Semakin bertambah umur larva, maka mortalitas semakin kecil, terbukti pada hari 35 mortalitas hanya sebesar 0,80%, antara lain disebabkan larva sudah mampu mengkonsumsi artemia yang diberikan dengan baik. Selanjutnya dari hari ke 36 sampai dengan hari ke 56 mortalitas larva tidak ada.



 KESIMPULAN
Dari sepuluh pasang induk yang dipijahkan jumlah telur dikeluarkan (oviposisi) bervariasi antara 775 butir sampai 900 butir. Fertilitas berkisar antara 84,40% sampai 100%, dengan daya tetas antara 40,03% sampai 98,84%. Laju pertumbuhan larva lambat dibawah umur 42 hari, setelah berumur 42 hari laju pertumbuhan larva semakin cepat sampai pada umur
Yustina, et al.
pemeliharaam 56 hari dengan laju pertumbuhan sebesar 0,09 mg/hari dan laju pertumbuhan spesifik sebesar 0,32 mm/hari. Mortalitas larva yang berumur 1 sampai 7 hari adalah 0%, mortalitas larva tertinggi terjadi pada umur 14 hari sebesar 47,32%, dan mortalitas terendah pada umur 35 hari sebesar 0,80%, sedangkan mortalitas larva diatas 42 hari adalah 0%.
      
 UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak H Nur Syawai pengelola dan pecinta ikan hias di kota Pekanbaru yang telah membantu dalam pengadaan bibit, Bapak Pulungan di laboratorium Biologi Perikanan Faperika Universitas Riau yang telah menyediakan waktu berkonsultasi dengan penulis untuk kelancaran penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2001. Tantangan Bisnis Cupang Hias.  Trubus 381. Afandi, R. & Tang, U.M. 2000. Biologi Reproduksi Ikan. Laporan. Pekanbaru: Pusat Penelitian Kawasan Pantai dan Perairan. Efendi, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Bogor: Yayasan Pustaka Nusantara.
Hosken, J.D. 1998. Sperm fertility and skewed paternity during sperm competition in the Australian long eared but. J. of Zoology 245: 93-100.
Kottelat, Whitten, J.A., Wirjoatmodjo, S. & Kartikasari.1996. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Jakarta: Periplus.
Nagy, A., Bercsenyi, M. & Csenyi, V. 1981. Sex reversal in corp Cyprinus caprio by oral administration of metthytestosteron. Canadian Journal of Fisheries & Aquatic Science 38: 725-728.
Perkasa, B.E. 2001. Budidaya Cupang Hias dan Adu. Jakarta: Penebar Swadaya. Susanto, H. & Lingga, P. 1997. Ikan Hias Air Tawar. Jakarta: Penebar Swadaya. Sugandy, I. 2002. Budidaya Cupang Hias. Jakarta: Argo Media Pustaka.
Suseno. 1983. Suatu perbandingan antara pemijahan alami dengan pemijahan tripping ikan mas Cyprinus carpio. L. terhadap derajat fertilitas dan penetasan telurnya. Tesis Magister Fakultas Pascasarjana Perikanan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Syandri, H.1996. Aspek reproduksi ikan bilih Mystacolecus padangencis. Disertasi Program Pasca Sarjana Fakultas Perikanan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Yustina & Arnentis. 2002. Aspek reproduksi ikan kapiek (Puntius schwanefeldi Bleeker) di sungai Rangau-Riau, Sumatra. Jurnal Matematika dan Sains ITB 7: 5-14.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar