Rabu, 31 Oktober 2012

Malaikat , Manusia dan Jin adalah Mutlak Tidak Dapat Mengetahui Perkara Ghaib !!





Muqadimmah :

I
stilah “penampakan” kian akrab di telinga masyarakat kita akhir-akhir ini. Bagaimana pandangan syariat menyoroti hal ini? Bagaimana pula dengan keyakinan bahwa sebagian manusia bisa mengetahui hal-hal ghaib ? Simak bahasan berikut ! .

Mempercayai hal-hal yang ghaib merupakan salah satu syarat dari benarnya keimanan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

Alif laam miim. Kitab (Al-Qur`an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur`an) yang diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu. Serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabb mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (Al-Baqarah: 1-5)

Ghaib adalah segala sesuatu yang tersembunyi dan tidak terlihat oleh manusia, seperti surga, neraka dan apa yang ada di dalamnya, alam malaikat, hari akhir, alam langit dan yang lainnya yang tidak bisa diketahui manusia kecuali bila ada pemberitaan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. (Lihat Tafsir Al-Qur`anul ‘Azhim, 1/53)

Alam jin dan wujud jin dalam bentuk asli seperti yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala ciptakan adalah ghaib bagi kita. Namun golongan jin dapat berubah-ubah bentuk –dengan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala– dan amat mungkin bagi mereka melakukan penampakan, sehingga kita dapat melihatnya dalam wujud yang bukan aslinya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

Sesungguhnya ia (setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (Al-A’raf: 27)

Dari Abu As-Sa`ib, maula Hisyam bin Zuhrah, beliau bercerita bahwa dirinya pernah berkunjung ke rumah Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu 'anhu, katanya: “Aku mendapatinya tengah mengerjakan shalat, akupun duduk menunggunya hingga beliau selesai. Tiba-tiba aku mendengar adanya gerakan pada bejana tempat minum yang ada di pojok rumah. Aku menoleh ke arahnya dan ternyata ada seekor ular. Aku segera meloncat untuk membunuhnya, namun Abu Sa’id memberi isyarat kepadaku agar aku duduk. Ketika ia selesai dari shalatnya, ia menunjuk ke sebuah rumah yang ada di kampung itu sambil berkata: ‘Apakah engkau lihat rumah itu?’ ‘Ya,’ jawabku. Ia kemudian menuturkan, ‘Dahulu yang tinggal di rumah itu adalah seorang pemuda yang baru saja menjadi pengantin. Kala itu kami berangkat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ke Khandaq dan pemuda itupun ikut bersama kami. Saat tengah hari, pemuda itu meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk pulang menemui istrinya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengizinkannya sambil berpesan: ‘Bawalah senjatamu karena aku khawatir engkau bertemu dengan orang-orang dari Bani Quraidhah.’ Pemuda itu mengambil senjatanya, kemudian pulang menemui istrinya. Setibanya di rumah, ternyata istrinya sedang berdiri di antara dua daun pintu. Ia mengarahkan tombaknya kepada istrinya untuk melukainya karena merasa cemburu karena istrinya berada di luar rumah. Istrinya berkata kepadanya: “Tahan dulu tombakmu, dan masuklah ke dalam rumah sehingga engkau akan tahu apa yang menyebabkan aku sampai keluar rumah!”

Pemuda itu masuk, dan ternyata terdapat seekor ular besar yang melingkar di atas tempat tidur. Pemuda itu lantas menghunuskan tombaknya dan menusukkannya pada ular tersebut. Setelah itu, ia keluar dan menancapkan tombaknya di dinding rumah. Ular itu (yang belum mati, red.) menyerangnya dan terjadilah pergumulan dengan ular tersebut. Tidak diketahui secara pasti mana di antara keduanya yang lebih dahulu mati, ular atau pemuda itu.’
Abu Sa’id radhiallahu 'anhu melanjutkan ceritanya: ‘Kami menghadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan melaporkan kejadian itu kepadanya dan kami sampaikan kepada beliau: ‘Mohonlah kepada Allah agar menghidupkannya demi kebahagiaan kami.’ Beliau menjawab: ‘Mohonlah ampun untuk shahabat kalian itu!’

Selanjutnya beliau bersabda: ‘Sesungguhnya di Madinah terdapat golongan jin yang telah masuk Islam, maka jika kalian melihat sebagian mereka –dalam wujud ular– berilah peringatan tiga hari. Dan apabila masih terlihat olehmu setelah itu, bunuhlah ia, karena sebenarnya dia adalah setan.” (HR. Muslim no. 2236 dan 139 dari Abu Sa`ib, maula Hisyam bin Zuhrah) [1]

Para Rasul Tidak Mengetahui yang Ghaib !! .

Telah disebutkan sebelumnya bahwa sekumpulan jin datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian mendengarkan bacaan Al-Qur`an. Ketika itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengetahui kehadiran mereka kecuali setelah sebuah pohon memberitahunya –dan Allah Subhanahu wa Ta'ala Maha Kuasa untuk menjadikan pohon dapat berbicara– seperti yang disebutkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu 'anhu.
Ini menunjukkan bahwa beliau tidak mengetahui perkara ghaib kecuali yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala kabarkan.  (Nashihati li Ahlis Sunnah Minal Jin) .

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

Katakanlah: ‘Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak pula aku mengetahui yang ghaib dan tidak pula aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengetahui kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.’ Katakanlah: ‘Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?’ Maka apakah kamu tidak memikirkannya?(Al-An’am: 50)

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

Katakanlah: ‘Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak pula menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman’.” (Al-A’raf: 188)

Para Malaikat Tidak Mengetahui yang Ghaib !!

Kendatipun para malaikat adalah mahluk yang dekat di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, namun untuk urusan ghaib ternyata mereka pun tidak mengetahuinya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman saat pertama kali hendak menciptakan manusia:

Dan ingatlah ketika Rabbmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’
Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui.’ Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!’ Mereka menjawab: ‘Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana’.” (Al-Baqarah: 30-32)

Kaum Jin Tidak Mengetahui yang Ghaib !!

Banyak sekali orang yang tertipu dan keliru kemudian mengira jika bangsa jin mengetahui yang ghaib, terutama bagi mereka yang terjun dalam kancah sihir dan perdukunan.

Akibatnya, kepercayaan dan ketergantungan mereka terhadap jin sangatlah besar sehingga menggiring mereka kepada kekufuran.

Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan tegas telah mementahkan anggapan ini dalam firman-Nya:

Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan.” (Saba`: 14)

Manusia Tidak Dapat Mengetahui Alam Ghaib

Jika para rasul yang merupakan utusan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam menyampaikan syariat-Nya kepada manusia tidak mengetahui hal yang ghaib sedikitpun, maka sudah tentu manusia secara umum tidak ada yang dapat mengetahui alam ghaib atau menjangkau batasan-batasannya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala hanya memerintahkan agar mengimani perkara yang ghaib dengan keimanan yang benar.

Keyakinan seperti ini agaknya sudah mulai membias. Apalagi saat ini banyak sekali orang yang menampilkan dirinya sebagai narasumber untuk urusan-urusan yang ghaib, mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait dengan masa depan seseorang, dari mulai jodoh, karir, bisnis, atau yang lainnya.

Kata ‘dukun’ barangkali sekarang ini jarang didengar dan bahkan serta merta mereka akan menolak bila dikatakan dukun. Dalihnya, apalagi kalau bukan seputar “Kami tidak meminta syarat-syarat apapun kepada anda”, “Kami tidak menyuruh memotong ayam putih”, dan sebagainya. Padahal praktek seperti itu adalah praktek dukun juga. Bedanya, dukun sekarang ini berpendidikan sehingga bahasa yang digunakannya pun bahasa-bahasa ilmiah, sehingga mereka jelas enggan disebut dukun.

Tak ada seorang pun yang dapat melihat dan mengetahui perkara ghaib, menentukan ini dan itu terhadap sesuatu yang belum dan akan terjadi di masa datang. Jika toh bisa, itu semata-mata bantuan dan tipuan dari setan, sehingga dusta bila itu dihasilkan dari latihan dan olah jiwa.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“Dan sesungguhnya Iblis telah dapat membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap mereka lalu mereka mengikutinya, kecuali sebahagian orang-orang yang beriman. Dan tidak adalah kekuasaan Iblis terhadap mereka, melainkan hanyalah agar Kami dapat membedakan siapa yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat dari siapa yang ragu-ragu tentang hal itu. Dan Rabbmu Maha Memelihara segala sesuatu.” (Saba`: 20-21)

Ada pula sebagian manusia yang memiliki aqidah rusak, di mana mereka meyakini adanya sebagian orang yang keberadaannya ghaib dari pandangan manusia, dan biasanya identik dengan orang-orang yang dianggap telah suci jiwanya. Mereka mengistilahkannya dengan roh suci atau rijalul ghaib.

Ketahuilah bahwa tidak ada istilah manusia ghaib !! . Tidak ada pula istilah rijalul ghaib di tengah-tengah manusia. Rijalul ghaib itu tiada lain adalah jin.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (Al-Jin: 6) (Lihat Qa’idah ‘Azhimah, hal. 152) .

Alam ghaib tetaplah ghaib, sesuatu yang tidak bisa diketahui dan dilihat manusia kecuali apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala beritakan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


“(Dia adalah) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (Al-Jin: 26-27)

Kunci-kunci Ghaib adalah Milik Allah Subhanahu wa Ta'ala Semata

Sesungguhnya tak ada seorangpun yang mengetahui perkara ghaib dan hal-hal yang berhubungan dengannya, kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah banyak menegaskan hal ini dalam Al-Qur`an. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


Katakanlah: ‘Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah’, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (An-Naml: 65)



Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat, dan Dialah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

Yang demikian itu ialah Rabb Yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (As-Sajdah: 6)

Dalam ayat lainnya:

Allah berfirman: ‘Bukankah sudah Aku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?’.” (Al-Baqarah: 33)

Banyak sekali dalil-dalil yang berhubungan dengan masalah ini. Namun mungkin yang disebutkan di sini, sudah dapat mewakili bahwa Allah-lah yang mengetahui hal ihwal alam ghaib.

Sedangkan manusia, tak ada yang bisa mengetahui dan melihatnya kecuali apa-apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala kuasakan.

Mudah-mudahan semua uraian-uraian di atas bermanfaat bagi kita semua. Amin yaa Mujiibas sa`iliin.

Wal ’ilmu ‘indallah.





[1]  Terjadi perbedaan pendapat dalam hal membunuh ular yang berada di rumah. Sebagian ulama berpendapat bahwa pemberian peringatan terlebih dahulu itu hanya berlaku di Madinah, adapun di tempat selainnya bisa langsung dibunuh. Ini adalah pendapat Al-Imam Malik, dan yang dikuatkan oleh Al-Maziri. Sebagian yang lain berpendapat bahwa pemberian peringatan terlebih dahulu bersifat umum, bukan hanya di Madinah. Kecuali ular Al-Abtar yakni yang berekor pendek dan Dzu Thufyatain, yang mempunyai dua garis lurus berwarna putih di punggungnya, boleh langsung dibunuh walaupun di rumah. (ed)

KONSULTASI Oleh: Prof. DR. Dr. Wimpie Pangkahila Sp. And, Dokter Ahli Andrologi dan Seksologi




Seks di Akhir Pekan
Bertambahnya usia membuat frekuensi hubungan intim dengan isteri menurun. Jika ia ingin kembali bisa menikmati hubungan seks dua kali seminggu, bagaimanakah caranya?
Kasus:
"Saya pria berusia 45 tahun. Sebelumnya saya rutin melakukan hubungan suami isteri seminggu 2 kali. Belakangan ini saya cuma melakukan hubungan seks di akhir pekan. Apabila sedang in the mood bisa Sabtu dan Minggu berturut-turut. Tapi bila tidak, hanya sekali yaitu Sabtu atau Minggu saja. Pertanyaan saya: Apakah bertambahnya usia mengurangi frekuensi hubungan seks? Apakah hubungan seks seumur saya sekali seminggu termasuk normal atau kurang? Apabila kurang, normalnya seminggu berapa kali? Hubungan seks yang normal biasanya berlangsung berapa menit? Apa yang perlu saya lakukan agar dapat melakukan hubungan seks dengan durasi dan frekuensi yang normal atau setidaknya seminggu 2 kali?"
(Heri Budiman, Jakarta)
Jawab:
Penentu Frekuensi
Frekuensi hubungan seksual ditentukan oleh dorongan seksual, rangsangan seksual yang diterima, keadaan kesehatan tubuh dan ada tidaknya hambatan psikis. Sedangkan dorongan seksual ditentukan oleh hormon testosteron, keadaan kesehatan, faktor psikis, dan pengalaman seksual sebelumnya.
Kalau terdapat hambatan terhadap faktor yang mempengaruhi di atas, maka frekuensi hubungan seksual menurun. Sebagai contoh, kalau dorongan seksual menurun, dengan sendirinya frekuensi hubungan seksual menurun pula. Bila terjadi kejenuhan terhadap suasana yang monoton, frekuensi juga menurun.
Sebaliknya kalau faktor di atas baik, maka frekuensi meningkat. Contohnya, bila dorongan seksual baik maka keinginan melakukan hubungan seksual juga meningkat sehingga frekuensi pun meningkat.
Bila rangsangan seksual yang berasal dari pasangan cukup kuat, baik secara fisik maupun psikis, maka keinginan melakukan hubungan seksual juga meningkat. Sebaliknya, bila rangsangan yang berasal dari pasangan menurun, misalnya karena hambatan komunikasi atau hilangnya daya tarik fisik, maka dorongan seksual menurun dan frekuensi menurun juga.
Wajar Menurun
Kalau Anda mengalami penurunan dalam frekuensi hubungan seksual, itu dapat dimengerti. Memasuki usia pertengahan, wajar kalau frekuensi hubungan seksual menurun karena beberapa hal di atas.
Mungkin keadaan kesehatan tubuh tidak sebaik sebelumnya. Apalagi kalau terdapat gangguan kesehatan yang mungkin tidak Anda sadari, misalnya kadar kolesterol yang tinggi atau diabetes (kencing manis).
Pada usia pertengahan, hambatan psikis pada umumnya muncul antara lain karena kejenuhan dengan suasana bersama pasangan, beban kerja yang semakin meningkat dan tekanan mental.
Tidak ada ketentuan harus berapa kali hubungan seksual dilakukan pada usia pertengahan. Berapa kalipun boleh saja dilakukan asal sesuai dengan kemauan, kemampuan dan kesepakatan dengan pasangan. Demikian juga dengan lamanya melakukan hubungan seksual, jangan ditentukan berdasarkan waktu.
Prinsipnya, hubungan seksual dilakukan untuk kepuasan bersama. Jadi kalau merasa sama-sama sudah cukup puas, berarti hubungan seksual itu harmonis, berapa pun lamanya.
Kalau Anda ingin menambah frekuensi hubungan seksual, perhatikan faktor yang mempengaruhinya. Kalau tidak ada faktor yang mendukung, maka frekuensi sulit ditambah. Hal yang juga penting ialah, apakah istri Anda pun menginginkan hubungan seksual lebih sering atau tidak?



Berhubungan Seks Sekali Seminggu..!
Kasus:
“Saya seorang suami berusia 35 tahun, seusia istri. Kami sudah menikah tujuh tahun dan telah mempunyai dua anak. Sejak awal menikah kami tidak terlalu sering melakukan hubungan seks. Sejak sekitar lima tahun lalu kami hanya melakukan hubungan seksual sekali seminggu. Saya sering merasa lelah dan kebetulan istri pun tidak suka berinisiatif . Kalau saya tidak memulai, istri tidak pernah menyatakan ingin melakukan hubungan seks. Berapa kali seminggu hubungan seksual yang wajar untuk suami istri? Apakah ada gangguan pada diri saya, sehingga sering merasa lelah? Mengapa istri tidak pernah berinisiatif?"
(Laode, Makasar)


Jawab:
”Tergantung Kemampuan
Frekuensi hubungan seksual ditentukan oleh dorongan seksual, keadaan kesehatan tubuh, faktor psikis, dan pengalaman seksual sebelumnya. Kalau dorongan seksual kuat, keadaan kesehatan baik, tidak ada hambatan psikis, dan pengalaman seksual sebelumnya selalu menyenangkan, frekuensi hubungan seksual pun akan cenderung meningkat. Jadi tidak ada ketentuan yang pasti berapa kali hubungan seksual yang wajar dilakukan oleh suami istri. Hubungan seksual boleh dilakukan berapa kali pun, asal sesuai kemampuan dan kemauan setiap pasangan.
Artinya, berapa kali pun hubungan seksual boleh dilakukan asalkan memang dikehendaki dan disepakati bersama. Kalau hanya salah satu pihak yang menghendaki, sedang pasangannya tidak, sebaiknya hubungan seksual tidak dilakukan.
Kalau Anda dan istri merasa cukup dengan berhubungan seksual sekali seminggu, itulah yang terbaik bagi Anda berdua. Kalau Anda dan istri sudah merasa cukup puas dengan frekuensi sekali seminggu itu, tentu tidak akan muncul masalah.
Anda dan istri tidak perlu membandingkan dengan pasangan lain yang mungkin frekuensi hubungan seksualnya lebih tinggi. Biarkan saja mereka melakukannya karena itu memang sesuai dengan kemauan dan kemampuan mereka.
Masalah baru muncul kalau terjadi kesenjangan dalam keinginan melakukan hubungan seksual. Sebagai contoh, bila suami menginginkan hubungan seksual lebih sering, tetapi istri menghendaki sebaliknya, tentu akan muncul masalah. Demikian juga sebaliknya, bila istri menghendaki lebih sering, sedangkan suami menginginkan lebih jarang.
Perlu Kesepakatan
Kelelahan yang kerap Anda alami itu merupakan salah satu penyebab mengapa Anda tidak mampu melakukan hubungan seksual lebih sering lagi. Di sisi lain, istri yang tidak suka mengambil inisiatif juga merupakan penyebab mengapa hubungan seksual tidak berlangsung lebih sering. Bayangkan kalau istri menginginkan lebih sering, sementara Anda tidak mampu karena selalu merasa lelah. 
Bagi kehidupan seksual Anda dan istri, hal yang penting adalah apakah Anda dan istri sudah cukup puas dengan hubungan seksual sekali seminggu itu. Kalau Anda dan istri memang merasa cukup puas, itulah yang terbaik, dan biarkanlah terus berlangsung. Namun, kalau Anda atau istri merasa tidak cukup puas, dapat dicari kesepakatan untuk melakukannya lebih sering. Masalahnya, bagaimana kemampuan Anda atau istri. Untuk meningkatkan kemampuan melakukan hubungan seksual, tentu harus diperhatikan faktor yang menghambat selama ini. Kelelahan yang Anda alami harus diatasi dulu. Untuk itu, Anda memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.
Di sisi lain, keengganan istri untuk berinisiatif harus dilenyapkan. Pertanyaan yang muncul, mengapa istri enggan melakukan hubungan seksual dan tidak pernah berinisiatif?
Apakah mungkin selama ini istri Anda tidak pernah mencapai orgasme dan merasakan kepuasan seksual? Kalau ini yang terjadi, wajar istri Anda tidak pernah berinisiatif dan enggan melakukan hubungan seksual. Ini harus diungkapkan dengan jelas melalui konsultasi lebih jauh. @

Selasa, 30 Oktober 2012

Benarkah Poligami Sunah..?





Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru
kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari kalkulasi ini, sebenarnya tidak beralasan pernyataan "poligami itu sunah".
UNGKAPAN "poligami itu sunah" sering digunakan sebagai pembenaran poligami.   Namun, berlindung pada pernyataan itu, sebenarnya bentuk lain dari pengalihan tanggung jawab atas tuntutan untuk berlaku adil karena pada kenyataannya, sebagaimana ditegaskan Al Quran, berlaku adil sangat sulit dilakukan (An-Nisa: 129).
  DALIL "poligami adalah sunah" biasanya diajukan karena sandaran kepada teks ayat Al Quran (QS An-Nisa, 4: 2-3) lebih mudah dipatahkan. Satu-satunya ayat yang berbicara tentang poligami sebenarnya tidak mengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi, apalagi mengapresiasi poligami. Ayat ini meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang.
  Dari kedua ayat itu, beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh Muhammad Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan-ketiganya ulama terkemuka Azhar Mesir-lebih memilih memperketat.
  Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar'i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287).
  Anehnya, ayat tersebut bagi kalangan yang propoligami dipelintir menjadi "hak penuh" laki-laki untuk berpoligami. Dalih mereka, perbuatan itu untuk mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Menjadi menggelikan ketika praktik poligami bahkan dipakai sebagai tolok ukur keislaman seseorang: semakin aktif berpoligami dianggap semakin baik poisisi keagamaannya. Atau, semakin bersabar seorang istri menerima permaduan, semakin baik kualitas imannya.
Slogan-slogan yang sering dimunculkan misalnya, "poligami membawa berkah", atau "poligami itu indah", dan yang lebih populer adalah "poligami itu sunah".
  Dalam definisi fikih, sunah berarti tindakan yang baik untuk dilakukan. Umumnya mengacu kepada perilaku Nabi. Namun, amalan poligami, yang dinisbatkan kepada Nabi, ini jelas sangat distorsif. Alasannya, jika memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak melakukannya sejak pertama kali berumah tangga?
  Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari kalkulasi ini, sebenarnya tidak beralasan pernyataan "poligami itu sunah".
  Sunah, seperti yang didefinisikan Imam Syafi'i (w. 204 H), adalah penerapan Nabi SAW terhadap wahyu yang diturunkan. Pada kasus poligami Nabi sedang mengejawantahkan Ayat An-Nisa 2-3 mengenai perlindungan terhadap janda mati dan anak-anak yatim. Dengan menelusuri kitab Jami' al-Ushul (kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya Imam Ibn al-Atsir (544-606H), kita dapat menemukan bukti bahwa poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk solusi.
  Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa dilihat pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan Nabi. Kebanyakan dari mereka adalah janda mati, kecuali Aisyah binti Abu Bakr RA.  
Selain itu, sebagai rekaman sejarah jurisprudensi Islam, ungkapan "poligami itu sunah" juga merupakan reduksi yang sangat besar. Nikah saja, menurut fikih, memiliki berbagai predikat hukum, tergantung kondisi calon suami, calon istri, atau kondisi masyarakatnya. Nikah bisa wajib, sunah, mubah (boleh), atau sekadar diizinkan. Bahkan, Imam al-Alusi dalam tafsirnya, Rûh al-Ma'âni, menyatakan, nikah bisa diharamkan ketika calon suami tahu dirinya tidak akan bisa memenuhi hak-hak istri, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya. Demikian halnya dengan poligami. Karena itu, Muhammad Abduh dengan melihat kondisi Mesir saat itu, lebih memilih mengharamkan poligami.
 
Nabi dan larangan poligami
  Dalam kitab Ibn al-Atsir, poligami yang dilakukan Nabi adalah upaya transformasi sosial (lihat pada Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 108-179). Mekanisme poligami yang diterapkan Nabi merupakan strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.
  Sebaliknya, yang dilakukan Nabi adalah membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam berpoligami.
  Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.
  Pada banyak kesempatan, Nabi justru lebih banyak menekankan prinsip keadilan berpoligami. Dalam sebuah ungkapan dinyatakan: "Barang siapa yang mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus" (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 168, nomor hadis: 9049). Bahkan, dalam berbagai kesempatan, Nabi SAW menekankan pentingnya bersikap sabar dan menjaga perasaan istri.
  Teks-teks hadis poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan. Dari sudut ini, pernyataan "poligami itu sunah" sangat bertentangan dengan apa yang disampaikan Nabi. Apalagi dengan melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat tegas menolak poligami Ali bin Abi Thalib RA. Anehnya, teks hadis ini jarang dimunculkan kalangan propoligami. Padahal, teks ini diriwayatkan para ulama hadis terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.
  Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan
putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga." (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).
  Sama dengan Nabi yang berbicara tentang Fathimah, hampir setiap orangtua tidak akan rela jika putrinya dimadu. Seperti dikatakan Nabi, poligami akan menyakiti hati perempuan, dan juga menyakiti hati orangtuanya.  
Jika pernyataan Nabi ini dijadikan dasar, maka bisa dipastikan yang sunah justru adalah tidak mempraktikkan poligami karena itu yang tidak dikehendaki Nabi. Dan, Ali bin Abi Thalib RA sendiri tetap bermonogami sampai Fathimah RA wafat.

Poligami tak butuh dukungan teks
  Sebenarnya, praktik poligami bukanlah persoalan teks, berkah, apalagi sunah, melainkan persoalan budaya. Dalam pemahaman budaya, praktik poligami dapat dilihat dari tingkatan sosial yang berbeda. Bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris, poligami dianggap sebagai strategi pertahanan hidup untuk penghematan pengelolaan sumber daya.
Tanpa susah payah, lewat poligami akan diperoleh tenaga kerja ganda tanpa upah. Kultur ini dibawa migrasi ke kota meskipun stuktur masyarakat telah berubah. Sementara untuk kalangan priayi, poligami tak lain dari bentuk pembendamatian perempuan. Ia disepadankan dengan harta dan takhta yang berguna untuk mendukung penyempurnaan derajat sosial lelaki.  
Dari cara pandang budaya memang menjadi jelas bahwa poligami merupakan proses dehumanisasi perempuan. Mengambil pandangan ahli pendidikan Freire, dehumanisasi dalam konteks poligami terlihat mana kala perempuan yang dipoligami mengalami self-depreciation. Mereka membenarkan, bahkan bersetuju dengan tindakan poligami meskipun mengalami penderitaan lahir batin luar biasa. Tak sedikit di antara mereka yang menganggap penderitaan itu adalah pengorbanan yang sudah sepatutnya dijalani, atau poligami itu terjadi karena kesalahannya sendiri.
  Dalam kerangka demografi, para pelaku poligami kerap mengemukakan argumen statistik. Bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah kerja bakti untuk menutupi kesenjangan jumlah penduduk yang tidak seimbang antara lelaki dan perempuan.
Tentu saja argumen ini malah menjadi bahan tertawaan. Sebab, secara statistik, meskipun jumlah perempuan sedikit lebih tinggi, namun itu hanya terjadi pada usia di atas 65 tahun atau di bawah 20 tahun. Bahkan, di dalam kelompok umur 25-29 tahun, 30-34 tahun, dan 45-49 tahun jumlah lelaki lebih tinggi. (Sensus DKI dan Nasional tahun 2000; terima kasih kepada lembaga penelitian IHS yang telah memasok data ini).
  Namun, jika argumen agama akan digunakan, maka sebagaimana prinsip yang dikandung dari teks-teks keagamaan itu, dasar poligami seharusnya dilihat sebagai jalan darurat. Dalam kaidah fikih, kedaruratan memang diperkenankan.
Ini sama halnya dengan memakan bangkai; suatu tindakan yang dibenarkan manakala tidak ada yang lain yang bisa dimakan kecuali bangkai.
  Dalam karakter fikih Islam, sebenarnya pilihan monogami atau poligami dianggap persoalan parsial. Predikat hukumnya akan mengikuti kondisi ruang dan waktu. Perilaku Nabi sendiri menunjukkan betapa persoalan ini bisa berbeda dan berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Karena itu, pilihan monogami-poligami bukanlah sesuatu yang prinsip. Yang prinsip adalah keharusan untuk selalu merujuk pada prinsip-prinsip dasar syariah, yaitu keadilan, membawa kemaslahatan dan tidak mendatangkan mudarat atau kerusakan (mafsadah).
  Dan, manakala diterapkan, maka untuk mengidentifikasi nilai-nilai prinsipal dalam kaitannya dengan praktik poligami ini, semestinya perempuan diletakkan sebagai subyek penentu keadilan. Ini prinsip karena merekalah yang secara langsung menerima akibat poligami. Dan, untuk pengujian nilai-nilai ini haruslah dilakukan secara empiris, interdisipliner, dan obyektif dengan melihat efek poligami dalam realitas sosial masyarakat.
  Dan, ketika ukuran itu diterapkan, sebagaimaan disaksikan Muhammad Abduh, ternyata yang terjadi lebih banyak menghasilkan keburukan daripada kebaikan. Karena itulah Abduh kemudian meminta pelarangan poligami.
  Dalam konteks ini, Abduh menyitir teks hadis Nabi SAW: "Tidak dibenarkan segala bentuk kerusakan (dharar) terhadap diri atau orang lain." (Jâmi'a al-Ushûl, VII, 412, nomor hadis: 4926). Ungkapan ini tentu lebih prinsip dari pernyataan "poligami itu sunah". []
 
Faqihuddin Abdul Kodir
Dosen STAIN Cirebon dan peneliti Fahmina Institute Cirebon, Alumnus Fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah



Larangan menyimpan Patung, Lukisan, Photo, Anjing dan Lonceng & HUKUM MEMOTRET DENGAN KAMERA





LARANGAN MENGIKUTI KEBIASAAN ORANG-ORANG KAFIR
v                [QS:9. At Taubah: 31].
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah[1] dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.
 [1]. Maksudnya: mereka mematuhi ajaran-ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta, biarpun orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan yang halal.

v                [QS:45. Al Jaatsiyah]
[18] Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
[19] Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari siksaan Allah. Dan Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa.
[20] Al Quran ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini.

v                [QS: 5. Al Maa'idah]
 [49] dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.
 [50] Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?

DALIL TENTANG LARANGAN MENGGAMBAR ATAU MENYIMPAN LUKISAN/PHOTO
LARANGAN MEMAJANG PHOTO DI RUMAH

v                Dari Ibnu Abbas, dari Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Malaikat tidak akan memasuki rumah yang ada anjing atau ada gambarnya”. [Bukhari, Muslim, Tirmizi, Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad & Malik]
v                Dari Abu Thalhah bahwa Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda: “Malaikat tidak mau masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada anjing atau gambar”. [Bukhari dan Muslim]
v                Dari Abul Hayyaj Hayyan bin Hushain, ia berkata: Ali bin Abi Thalib berkata kepada saya: “Maukah kamu saya utus sebagaimana Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam mengutus saya? Yaitu janganlah kamu meninggalkan gambar melainkan kamu rusak (sobek), dan janganlah kamu membiarkan kuburan yang menjulang tinggi melainkan kamu ratakan. [Muslim]

ANCAMAN UNTUK TUKANG PHOTO
v                Dari Ibnu Abbas berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap tukang gambar (pelukis) itu akan masuk neraka. ALLAH akan menjadikan untuknya dengan setiap gambar yang ia buat [berubah menjadi] sesosok jiwa yang akan menyiksanya di neraka Jahanam”. [Bukhari, Muslim, Tirmizi, Nasa’i, Abu Dawud dan Ahmad]
Ibnu Abbas berkata: Apabila kamu terpaksa harus menggambar, maka gambarlah pohon atau sesuatu yang tidak bernyawa. [tambahan matan hadis Bukhari dan Muslim]
v                Dari Abu Hurairah, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda: “ALLAH Ta’ala berfirman: “Siapakah lagi orang yang lebih zalim daripada orang yang mencoba membuat ciptaan seperti ciptaan-KU? Mereka boleh mencoba menciptakan sebuah atom atau menciptakan biji-bijian atau menciptakan gandum”. [Bukhari, Muslim dan Ahmad]

HUKUM MEMOTRET
Pendapat yang paling mahsyur tentang hukum memotret adalah:
1.                HARAM - Ulama (yang berpedoman pada kalimat hadis yang melarang) berpendapat bahwa memotret makhluk hidup adalah haram karena photo adalah sama dengan gambar. Artinya mengambil photo dengan alat termasuk dalam melukis. Karena perbuatan manusia lah dalam menggerakkan kamera, dan membasuh (mem-print) photo tersebut sehingga photo itu muncul dan berbentuk.
2.                MAKRUH - ulama yang melihat kepada makna hadis, kemudian mereka menganggapnya makruh. Pelarangan dalam hadis itu adalah apabila menyaingi penciptaan ALLAH, sementara dalam pemotretan dengan alat tidaklah termasuk menyaingi penciptaan ALLAH, melainkan  perbuatan ini tidak lebih dari sekedar menjiplak makhluk yang telah diciptakan ALLAH ke dalam format media baru tanpa membuat model ciptaan lain.
        Dan pula pada zaman modern seperti sekarang ini, photo kita perlukan untuk berbagai keperluan yang sebagiannya juga digunakan untuk ibadah. Misalnya photo untuk Kartu Tanda Penduduk, untuk syarat pembuatan paspor/visa Haji, dll. Dan juga kita terkadang memerlukan photo-photo sebagai salah satu sarana dakwah menyebarkan ajaran agama ALLAH. Dan tentu niat itu ALLAH yang lebih mengetahuinya.
v                Mensikapi dua hukum itu, tentu saja kegiatan memotret itu tergantung niat. Apabila memotret untuk tujuan komersial yang tidak berhubungan dengan kemaslahatan umat dan jauh dari agama, maka hukumnya mutlak haram. Misalnya pemotretan untuk majalah, surat kabar atau artikel yang sama sekali jauh dari nilai agama Islam.

v                Apabila memotret itu digunakan untuk kepentingan umat dan agama, misalnya memotret untuk keperluan pembuatan KTP, SIM dan lain sebagainya. Maka hukumnya makruh saja. Wallahu a’lam.

HUKUM MEMAJANG PHOTO
Adapun hukum memakai dan menyimpan (mengkoleksi) photo, menurut ulama yang kita ikuti pembagiannya sama seperti tentang lukisan yaitu menjadi:
1.                Memajangnya di tempat terbuka hukumnya HARAM.
2.                Mengumpulkannya dalam album tertutup sehingga tidak terlihat, hukumnya MAKRUH MUTASYABIHAT. Dalil yang meringankan ini adalah tentang Aisyah yang setelah mengetahui kebencian Rasulullah terhadap tirai yang bergambar, kemudian Aisyah memotongnya dan merubahnya menjadi bantal-bantal. Pada hakikatnya bantal itu berasal dari kain yang bergambar. Tetapi karena ia sudah diremehkan (dianggap tidak berguna) maka setelah itu tidak ada celaan lagi dari Rasulullah. Wallahu a’lam.
3.                Memasukkannya ke dalam media digital (CD, harddisk, MMC dan lain sebagainya), hukumnya MUBAH MUTASYABIHAT. Kita mengganggapnya ringan karena apabila sudah dipindah ke media digital, insya ALLAH photo itu tidak berbentuk apapun. Dan ia hanya dapat dilihat dengan bantuan alat (komputer), yang mana alat itupun mempunyai syarat untuk dapat digunakan (harus ada listrik, software dll). Dan photo yang disimpan di komputer tidak dapat dipajang ditempat terbuka, melainkan sekedar wallpaper yang dilihat untuk beberapa saat saja selama komputer itu aktif.





CONTOH-CONTOH PHOTO DAN HUKUM MEMAJANGNYA
Photo seperti ini BOLEH dipajang,
karena bentuk kepalanya (wajah) sudah dirusak. Sehingga ia dianggap sebagai lukisan yang hina.



Photo seperti ini BOLEH dipajang,
karena kepalanya (wajah) dianggap tidak ada



Photo ini TIDAK BOLEH dipajang,
karena mata termasuk bagian dari wajah.


Memajang photo semacam ini sangat jelas hukumnya HARAM.


BAGAIMANA DENGAN MAJALAH, KORAN DAN LAINNYA??
Semua apapun yang berupa patung, gambar lukisan maupun photo akan menarik setan untuk datang dan membuat malaikat menjauh. Karena itu janganlah sekali-kali kita menempelkan (memajang) ditempat terbuka.
ALLAH tentu mengetahui tentang hamba-NYA. Khusus untuk lukisan dan photo yang dimuat dalam majalah dan kabar. Maka janganlah kita letakkan majalah bergambar itu di tempat yang terbuka misalnya di atas meja, melainkan simpan di tempat tertutup dan terhalang dari penglihatan atau photo-photo itu ditutupi atau dibalikkan, sehingga secara zahir ia dianggap tidak terlihat.
Dalam hal ini tidak ada pembedaan, apakah itu photo-photo biasa, atau photo-photo yang memperlihatkan aurat, keduanya tidak boleh terlihat dengan nampak.
Malaikat tidak menyukai ada gambar/photo di dalam rumah kita. Apabila malaikat tidak mau masuk ke dalam rumah kita, niscaya yang masuk malah setan dan jin, padahal kita pastilah ingin di doakan oleh malaikat agar ALLAH berkenan mengampuni segala dosa dan kesalahan.

------selesai------


Catatan pemuat blog ini :
Jangan pernah menafsirkan umum sesuatu, jika dirimu belum benar paham akan suatu tersebut secara mendalam. Tulisan diatas adalah pikiran pandangan lain.

Larangan memakai JILBAB GAUL





Dengan menyebut nama ALLAH Yang Maha Pengasih Maha Penyayang.
Segala puji bagi ALLAH, Rabb yang Maha Suci lagi Maha Agung, penguasa alam semesta.
Salam dan selawat semoga senantiasa kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa sallam, beserta para isteri beliau, dan keturunan serta keluarga beliau.
Sebagai wanita muslim kita diwajibkan menurut aurat. Bagi kebanyakan orang yang dinamai aurat wanita itu adalah dari dada hingga paha, oleh karena itu mereka dengan tanpa merasa berdosa menolak memakai jilbab dan hanya menggunakan kerudung. Sedangkan sebagian orang yang lain berpendapat bahwa aurat wanita adalah dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dan inilah pendapat yang paling benar dan sesuai hukum Islam, sehingga para wanita yang mengikuti syariat Islam pastinya akan menggunakan jilbab atau hijab.
Namun masih banyak yang berpendapat bahwa apabila sudah tertutup semua, maka dianggap sudah menutup aurat. Ternyata tidak semudah itu pengertian menutup aurat yang benar, agama Islam mempunyai aturan bagaimana cara menutupnya dengan benar.
Pada kesempatan ini, kita sampaikan pendapat ulama tentang suatu fenomena di kalangan wanita yaitu perihal JILBAB GAUL, yaitu jilbab yang mengikuti fashion dunia dimana yang ditutupi hanya bagian kepala saja, sedangkan bagian dada dibiarkan terbuka. Ulama dari kelompok Kaum Muda mengatakan bahwa Jilbab seperti ini HARAM dipakai oleh kaum wanita, karena ia tidak sempurna menutup aurat wanita
Semoga kita hanya berpegang kepada hukum ALLAH, agar selamat di dunia dan akhirat.

PERINTAH ALLAH ATAS WANITA
PERINTAH MENUTUPI DADA

[24. An Nuur: 31]
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.

[33. Al Ahzab: 59]
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya[*] ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[*]. Jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.
Dalam Al-Qur’an ALLAH sudah memerintahkan kepada kaum wanita agar menutupi dada. Apabila ALLAH yang mengeluarkan perintah, maka sudah pasti apabila dilanggar maka kita akan disebut orang munafik. Siapa yang menolak perintah ALLAH maka ancamannya neraka.
Munafik artinya mendustakan ayat-ayat ALLAH, yaitu suatu perbuatan dimana seseorang sudah mengetahui tentang perintah ALLAH, tetapi ia menolak perintah itu dan mengganggapnya tidak ada atau ia sengaja menjauhinya.

Menutup dada bagi wanita apabila ia berada di luar rumah bertujuan agar ia terhindar dari fitnah. Karena dengan menampakkan dadanya, wanita akan mengundang perhatian mata kaum lelaki, maka lelaki dapat bernafsu terhadap wanita itu atau berangan-angan atau berpikiran negatif kepada si wanita.
Sedangkan apabila wanita berada di dalam rumah, bersama suami atau mahramnya, maka ia boleh membuka jilbabnya dan menampakkan dadanya.

JILBAB GAUL  DISAMAKAN DENGAN KAASIYAT ‘ARIYAAT
Dari Abu Hurairah RA katanya: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
Ada 2 (dua) golongan penduduk neraka yang keduanya belum terlihat olehku, yaitu
(1) Kaum (sekelompok orang) yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang dipergunakannya untuk memukul orang.
(2) Perempuan-perempuan “kaasiyaat ‘ariyaat” (yang berpakaian tetapi sama juga dengan bertelanjang), dan perempuan-perempuan yang mudah dirayu atau suka merayu, rambut mereka (disasak/disanggul) bagaikan punuk unta. Perempuan-perempuan tersebut tidak dapat masuk surga, bahkan tidak dapat mencium bau surga. Padahal bau surga dapat tercium dari jarak sangat jauh.” [HR. Muslim – Kitab Pakaian dan Perhiasan]
Hadis di atas ditujukan oleh Rasulullah SAW terhadap kaum wanita Muslim, bukan untuk wanita Non-Muslim.
Wanita Non-Muslim tentunya tidak akan memakai tutup kepala (jilbab) kecuali para biarawati, namun mereka inipun tidak sama dengan pakaian wanita muslim, jadi Rasulullah SAW tentu saja tidak akan melihat kepada wanita Non-Muslim, sehingga dalam hadis ini berbunyi “2 golongan yang belum terlihat olehku”.

Penafsiran oleh Imam Nawawi dan para Ulama fiqih:
Kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi adalah tentara/polisi yang tidak melindungi rakyat tetapi sebaliknya menyakiti rakyat.
Istilah cambuk dimasa sekarang disamakan dengan tongkat kecil yang biasa dimiliki oleh para jenderal/petinggi/pemimpin tentara dan polisi. Dan tongkat itu berarti menandakan bahwa pemegangnya adalah orang yang memiliki jabatan yang tinggi dalam Perempuan-perempuan kaasiyaat ‘ariyaat (berpakaian yang seperti tidak berpakaian), mengandung dua makna:
1.          Perempuan yang menutup sebagian dari tubuh mereka dan membuka sebagian yang lain, yaitu jilbabnya tidak menutupi dada.
2.          Perempuan yang pakaiannya terlalu minim, sempit dan ketat (press body) sehingga kelihatan lekuk tubuhnya, terlalu tipis atau tembus pandang (transparent) atau pakaiannya membangkitkan nafsu syahwat kaum lelaki karena sebagian pakaiannya terbuka atau pakaian yang sengaja untuk menampilkan auratnya seperti halnya perempuan dari kaum kafir.
Salah satu aurat wanita adalah dada. Bagian tubuh yang paling dilihat oleh mata kaum lelaki adalah wajah, kemudian payudara. Jilbab gaul tentu saja tidak menutupi dada, justeru sebaliknya malah menampakkannya.
Cobalah tanyakan kepada kaum lelaki, apa yang lebih mereka sukai untuk dipandang, rambut kepala? atau bagian dada?

Jilbab seperti ini tidak beda dengan sekedar topi, apalagi jika leher tidak ditutupi, maka hilanglah makna berjilbab.

Inilah model jilbab yang paling banyak dipakai di dunia.
Jilbab seperti ini terus diperdebatkan oleh ulama. Ada yang membolehkan.Ada yang melarang, dengan alasan tudungnya itu pendek tidak sempurna menutupi dada. Sedangkan menurut kita, jilbab ini memang kurang sempurna untuk menutupi dada. Jadi sebaiknya dihindari.