Soal jilbab banyak ulama, termasuk imam mazhab. Umumnya tak ada
perbedaan. Tulisan ini adalah Catatan kecil untuk guru saya DR. Quraish Shihab
atas kekeliruannya.
Persoalan penutup aurat atau jilbab sudah banyak dibahas
oleh empat imam mazhab. Diantaranya; Madzhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab
Syafi'I dan Hambali. Ini bisa dilihat dalam buku Bada'iu ash-Shana'i (V/123), juga
sebagaimana dikutip Syaikh al-Alamah Shalih Abdus Sami' al-Aabi al-Azhary
al-Maliky dalam bukunya Jawahirul
Iklil fi Syarh Mukhtashar al-Alamah asy-Syaikh Khalil fi Madzhab al-Imam Malik
Imam Darit Tanzil (1/41), juga kitab at-Tamhid (6/365), asy-Syarh ash-Shagir (1/400, 401). Imam
Nawawi dalam al-Majmu'
Syarh al-Muhadzdzab (1/159), dalam Hasyiyah al-Bujairamy 'Alal Khatib
(1/298,299).
Karenanya, sangat disayangkan sekali dalam bukuProf. Dr.
Quraish Shihab yang berjudul “Jilbab,
Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan
Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer” banyak tidak
mengacu kepada buku primer. Bahkan, ketika berbicara masalah hukum (fiqh)
sekalipun, penulis buku Jilbab tidak pernah mengutip buku primer dari fiqh yang
bersangkutan. Termasuk ketika mengatakan bahwa ini adalah pendapat Imam anu,
penulis buku Jilbab, hanya mengambil dari buku skunder semisal buku Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy,
atau bahkan buku yang bersifat tersier (tahsinat),
seperti Tafsir Ayat Ahkam,
tidak langsung ke buku aslinya.
Sepengetahuan penulis, buku-buku fiqh yang sempat dikutip
oleh penulis buku Jilbab ini tidak lebih dari tiga buah buku saja; Nailul Authar (hal.88), Bidayatul Mujtahid (hal.105)
dan al-Fiqh al-Islamy wa
Adillatuhu, itupun dikutip masing-masing hanya satu kali saja.
Ketika mengemukakan pendapat para Imam Madzhab, penulis
buku Jilbab misalnya, cukup dengan mengutip buku-buku Tafsir semisal
Ibnul Araby, Imam al-Qurthubi atau buku Ustadz Muhammad Ali as-Sais dalam
karyanya Tafsir Ayat Ahkam.
Padahal, ini sangat penting, mengingat bahasan yang dikemukakan erat kaitannya
dengan masalah hukum yang tentunya bertumpu kepada buku-buku Fiqh. Apalagi misalnya
kalau dielaborasi dari sisi dalil dan hujjah masing-masing madzhab. Namun
demikian, tentu hal ini dikarenakan Pak Quraish sangat sibuk dan banyak hal
lain yang jauh lebih penting yang harus dikerjakan.
Tidak merujuknya ke sumber primer ini, mengakibatkan,
misalnya, kurang tepat dalam menisbahkan pendapat. Satu hal yang dapat saya
jadikan contoh adalah ketika Pak Quraish mengutip pendapat Ustadz Muhammad Ali
as-Sais tentang pendapat Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa kaki wanita
bukan aurat: "Dalam satu riwayat yang dinisbahkan kepada Abu Hanifah
dinyatakan bahwa menurutnya kaki wanita bukanlah aurat dengan alasan bahwa ini
lebih menyulitkan dibandingkan dengan tangan, khususnya wanita-wanita miskin di
pedesaan yang (ketika itu)…."(hal. 48).
Apabila kita merujuk kepada buku-buku bermadzhab Hanafi,
maka akan didapatkan ada dua riwayat yang mengatakan pendapat Abu Hanifah ini.
Satu riwayat disebutkan bahwa memang Abu Hanifah pernah mengatakan bahwa kaki
wanita bukanlah aurat, namun riwayat lain mengatakan bahwa Abu Hanifah pun
berpendapat bahwa kaki wanita tetap aurat.
Dalam al-Fatawa
al-Hindiyyah saja nampak bahwa dalam madzhab Hanafi ada dua
pendapat mengenai penisbahan kepada Abu Hanifah tentang kedua kaki apakah aurat
atau bukan. Namun demikian, dalam buku Dhahirur
Riwayah disebutkan bahwa Abu Hanifah sesungguhnya berpendapat bahwa
kaki wanita pun adalah aurat yang harus ditutup.
Dalam buku Dhahirur
Riwayah disebutkan bahwa Imam Abu Hanifah justru berpendapat bahwa
kaki wanita juga adalah aurat, maka pendapat ini yang harus diambil.
Sebagaimana diketahui, bahwa dalam studi literature
Madzhab Hanafi, dikenal ada tiga tingkatan buku-buku fiqh Hanafi.
Tingkatan paling pertama dan utama adalah apa yang
disebut dengan Masailul
Ushul atau Masail
Dhahir ar-Riwayah yaitu masalah-masalah yang secara tekstual
dicantumkan dan terdapat dalam enam buku induk madzhab Hanafi karya Muhammad
bin Hasan asy-Syaibani yang di dalamnya memuat pendapat-pendapat Abu Hanifah,
Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sendiri. Keenam buku dimaksud
adalah al-Mabsuth,
az-Ziyadaat, al-Jami' ash-Shagir, al-Jami al-Kabir, as-Siyar as-Saghir dan as-Siyar al-Kabir.
Tingkatan kedua adalah Masail an-Nawadir atau Masail Ghair Dhahir ar-Riwayah
yakni masalah-masalah yang diriwayatkan dari para 'sesepuh' madzhab Hanafi,
hanya tidak tercantum dalam buku-buku Dhahir
ar-Riwayah yang enam di atas, akan tetapi tercantum dalam
buku-bukunya yang lain semisal al-Kaisaniyyat,
al-Jurjaniyyat, al-Haruniyyat dan ar-Ruqiyyat.
Tingkatan terakhir adalah tingkatan
paling rendah yakni Masail
al-Fatawa atau
an-Nawazil atau sering juga disebut al-Waqi'at yaitu pendapat-pendapat para imam
madzhab belakangan dan bukan merupakan pendapatnya Abu Hanifah, Abu Yusuf
atau Muhammad.
Apabila terjadi pertentangan antara
tingkat satu dan dua, tentu tingkat satu yang harus diambil. Untuk itu, sekali
lagi saya sampaikan bahwa Abu Hanifah sesungguhnya tidak berpendapat bahwa kaki
wanita itu bukan aurat, tapi sebaliknya, ia tetap aurat dan karenanya
wajib ditutup. Oleh karena itu, Imam az-Zaila'i pengarang buku Tabyin al-Haqaiq Syarh Kanzud Daqaiq
(1/96), mengatakan, pendapat Abu Hanifah tentang kaki wanita bukan aurat
itu—kalaupun pendapat itu betul pendapat Abu Hanifah--boleh jadi untuk wanita
yang sudah tua. Dan untuk yang disebut terakhir ini, para ulama memang membolehkannya untuk
tidak ditutup.
Oleh: Aep Saepulloh Darusmanwiati
Penulis adalah mahasiswa mahasiswa program pascasarjana Universitas al-Azhar Kairo Jurusan Ushul Fiqh. Tulisan ini diringkas dari makalah pada acara bedah buku Jilbab Pakaian Wanita Muslimahdi Kairo Selasa 28 Maret 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar