Assalaamu’alaikum wr. wb.
Shohib se-iman yang dirahmati Allah , kehidupan di zaman sekarang hampir segala
sesuatu dinilai berdasarkan materi dan uang. Kebanyakan orang setiap hari
disibukkan dengan “dunia”-nya hanya karena menginginkan nasib dan karir yang
lebih baik dikemudian hari, sementara mereka lupa akan nasibnya di akhirat
kelak.
Mudah-mudahan
kita tidak seperti orang-orang kafir yang hanya mementingkan kehidupan duniawi
saja, sebagaimana firman Allah dalam
surah Al-A’laa :
Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan
duniawi.
But ye prefer the life of the world.
Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih
kekal.
Although the Hereafter is better and more lasting.
Istilah
“menabung” bagi kita sudah bukan hal yang asing lagi. Hampir setiap pegawai
atau karyawan perusahaan memiliki rekening tabungan di bank. Tetapi sebagai
seorang muslim, sudahkah kita menyisihkan sebagian waktu di sela-sela kesibukan
dan aktifitas duniawi untuk menambah saldo “tabungan akhirat” kita? Apakah kita
sudah merasa cukup dengan “tabungan” (baca : ibadah) yang fardhu saja?
“Sungguh
yang pertama kali di-hisab dari amal perbuatan manusia di hari kiamat adalah shalat”.
Beliau bersabda : “Allah ‘azza wa jalla berfirman kepada para
malaikat-Nya : Lihatlah shalat hamba-Ku, apakah shalatnya sempurna atau
kurang?Kalau shalatnya sempurna maka ditulis pahalanya dengan sempurna, dan
jika ada yang kurang, Allah berfirman : Lihatlah! Apakah hamba-Ku itu mempunyai
ibadah tambahan? Maka jika dia memiliki ibadah tambahan, Allah berfirman
: Sempurnakanlah bagi hamba-Ku ibadah fardhu-nya. Kemudian amal-amalnya itu
diperhitungkan dalam keadaan demikian (sempurna)”. [riwayat
Ahmad (II/290), Ibnul Mubarak (915), Abu Dawud (no.864, I/322), an-Nasa’i
(I/232), at-Tirmidzi (no.413, I/318), dan al-Hakim (I/262)]
Berdasarkan
hadits di atas, maka bagi siapa saja yang merasa shalat fardhu-nya belum
dilaksanakan dengan sempurna (misalnya : tidak khusu’, tidak pada awal waktu,
dll.), agar berniat sungguh-sungguh dan berusaha sebisa mungkin menyisihkan
beberapa saat saja di sela-sela kesibukan dan kegiatan lainnya untuk
melaksanakan ibadah shalat tambahan sebagai “tabungan” yang akan
memperbaiki nasibnya di hari esok (hari kiamat).
Diantara
shalat tambahan (tathawwu’) yang berhubungan erat dan dilaksanakan
beriringan dengan shalat fardhu adalah shalat sunnah rawatib.
Kata rawatib diambil dari kata raatib yang artinya terus menerus
dan tetap (routine). [lihat Kamus Al-Munawwir]
Shohib
se-iman yang dirahmati Allah , pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan
sebuah risalah mengenai Shalat Sunnat Rawatib yang mu’akkad berdasarkan
riwayat yang shahih -insya Allah- agar sesuai dengan petunjuk Nabi , yang saya kutip dan dirangkum dari
buku-buku berikut ini :
1. Bughyatul Mutathawwi’ fii Shalaatit Tathawwu’, Muhammad bin ‘Umar bin Salim Bazmul
2. Shalaat at-Tathawwu’ Mafhuumun, wa Fadhaa-ilun, wa
Aqsaamun, wa Anwaa’un, wa Adaabun fii Dhau-il Kitaab wa as-Sunnah, Dr. Said bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani
3. Shifatu Shalaati an-Nabiyyi min
at-Takbiir ila at-Tasliim Ka-annaka Taraahu, Muhammad Nashiruddin al-Albani
4. Tamaamul Minnah fii at-Ta’liiq ‘Alaa Fiqh as-Sunnah, Muhammad Nashiruddin al-Albani
Semoga
risalah ini bermanfaat dan menjadi motivasi bagi saya dan Shohib sekalian untuk
memperbaiki dan melengkapi amal-amal fardhu yang sudah kita kerjakan,
sehingga nanti bisa kita rasakan manfaat lebih
dari “tabungan” ini dibandingkan dengan tabungan-tabungan lain yang ada
dunia.
Wallaahu
Waliyyu Taufiq,
Wassalaamu’alaikum
wr. wb.
Al-Faqir
ilaa maghfirati rabbihi
-Rf-
SHALAT SUNNAT RAWATIB
I. Jumlah Shalat Sunnat Rawatib yang Mu’akkad
a.
Dua belas raka’at sehari-semalam
Hadits
dari Ummu Habibah, Ummul Mu’minin r.a. : “Aku mendengar Rasulullah bersabda : Barangsiapa yang shalat (sunnat)
sehari semalam dua belas raka’at, akan dibangun baginya rumah di surga : Empat
raka’at sebelum Zhuhur, dua raka’at sesudahnya, dua raka’at sesudah Maghrib,
dua raka’at sesudah ‘Isya dan dua raka’at sebelum shalat Shubuh”. [riwayat
Muslim (hadits no.728), ad-Darimi (I/335), Abu Dawud (hadits no.1250),
an-Nasa’i (III/262), at-Tirmidzi (hadits no.415, I/131), al-Hakim (I/131)]
Dalil
lain adalah hadits dari ‘Aisyah r.a bahwa ia menceritakan : “Rasulullah pernah
bersabda : “Barangsiapa yang tetap/terus-menerus mengerjakan dua belas raka’at
shalat sunnat, Allah akan membangun baginya rumah di surga : Empat raka’at
sebelum Zhuhur, dua raka’at sesudahnya, dua raka’at sesudah Maghrib, dua
raka’at sesudah ‘Isya dan dua raka’at sebelum shalat Shubuh”. [riwayat
at-Tirmidzi (hadits no.414), Ibnu Majah (hadits no.1140), di-shahihkan
oleh al-Albani]
Berdasarkan
hadits dari Ummu Habibah r.a. dan hadits dari ‘Aisyah r.a. jumlah shalat sunnat
rawatib adalah :
4 raka’at sebelum shalat Zhuhur
2 raka’at sesudah shalat Zhuhur
2 raka’at sesudah shalat Maghrib
2 raka’at sesudah shalat ‘Isya
2 raka’at sebelum shalat Shubuh
12
raka’at dalam sehari-semalam
b.
Sepuluh raka’at sehari-semalam
Hadits
dari Ibnu ‘Umar , dia berkata : “Aku memelihara shalat
sepuluh raka’at dari Nabi : Dua
raka’at sebelum Zhuhur, dua raka’at sesudahnya, dua raka’at sesudah Maghrib di
rumahnya, dua raka’at sesudah ‘Isya di rumahnya, dan dua raka’at sebelum shalat
Shubuh”. [riwayat
al-Bukhari (hadits no.1180, 1165, 1172), Muslim (hadits no.729), at-Tirmidzi
(hadits no.434, I/330), Malik (296), ad-Darimi (I/335), Abu Dawud (hadits
no.1252, I/486), an-Nasa’i (II/119)]
Berdasarkan
hadits dari Ibnu ‘Umar jumlah
shalat sunnat rawatib adalah:
2 raka’at sebelum shalat Zhuhur
2 raka’at sesudah shalat Zhuhur
2 raka’at sesudah shalat Maghrib
2 raka’at sesudah shalat ‘Isya
2 raka’at sebelum shalat Shubuh
10
raka’at dalam sehari-semalam
Syeikh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah mengatakan, kemungkinan
bahwa Rasulullah terkadang melaksanakan dua belas raka’at
sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Aisyah dan Ummu Habibah, dan terkadang
melaksanakan sepuluh raka’at sebagaimana disebut dalam hadits Ibnu Umar. Bila
seorang muslim sedang tekun beribadah, ia bisa mengerjakan dua belas raka’at.
Apabila ada kesibukan, ia bisa shalat sepuluh raka’at saja. Semuanya itu
adalah sunnah rawatib. Yang lebih utama dan sempurna, hendaknya ia mengerjakan
shalat (dua belas raka’at) sebagaimana hadits ‘Aisyah dan Ummu Habibah.
II.
Shalat Sunnat Rawatib Zhuhur
a.
Keutamaannya
Hadits
dari Ummu Habibah r.a. dia berkata : “Aku mendengar Rasulullah bersabda : Barangsiapa memelihara empat
raka’at sebelum Zhuhur dan empat raka’at sesudahnya, maka Allah akan haramkan
baginya masuk neraka”. [riwayat at-Tirmidzi (akhir hadits no.428) ia
mengatakan hadits ini hasan shahih, Ibnu Majah (I/191) di-shahihkan oleh
al-Albani]
b.
Sifat dan Kaifiatnya
Lahiriyahnya
menunjukkan bahwa Nabi mengerjakan shalat (empat raka’at) dengan dua
tasyahud tanpa dipisah dengan salam, sehingga shalat tersebut dikerjakan
seperti layaknya shalat empat raka’at lainnya.
Hadits
dari Ibnu Umar ia
berkata : Rasulullah bersabda :
”Shalat
malam dan siang itu dua raka’at-dua raka’at”. [riwayat an-Nasa’i (III/227), Ibnu
Majah (hadits no.1322) dinilai shahih oleh al-Albani]
Beberapa
ulama mengatakan bahwa shalat (sunnat) malam dan siang hari itu dikerjakan dua
raka’at-dua raka’at. Mereka berpendapat adanya pemisahan tiap dua raka’at.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh asy-Syafi’i dan Ahmad. [Sunan at-Tirmidzi
(II/289-290)]
Al-Albani
mengatakan bahwa pendapat yang lebih utama adalah salam pada setiap dua raka’at
untuk shalat-shalat (sunnat) yang dikerjakan siang hari. [Tamamul
Minnah, bab Shalat Sunnah Zhuhur]
III.
Shalat Sunnat Rawatib Maghrib
Shalat
dua raka’at sesudah shalat Maghrib adalah sunnah yang ditekankan sebagaimana
disebut dalam hadits dari ‘Aisyah, Ummu Habibah dan Abdullah bin Umar .
a.
Dilaksanakan di Rumah
Hadits
dari Mahmud bin Labid, dia berkata bahwa Rasulullah pernah
mendatangi Bani ‘Abdul Asyhal, lalu beliau shalat Maghrib bersama mereka.
Setelah mengucapkan salam beliau bersabda :
“Kerjakanlah dua raka’at ini di rumah
kalian masing-masing”. [riwayat Ahmad (V/428), dan Ibnu Khuzaimah (hadits
no.1200)]
Hadits
dari Ka’ab bin ‘Ujrah, dia berkata bahwa Rasulullah pernah
shalat Maghrib di masjid Bani ‘Abdul Asyhal. Setelah selesai shalat,
orang-orang berdiri untuk mengerjakan shalat sunnat, maka Nabi bersabda :
“Hendaklah kalian mengerjakan shalat ini di
rumah kalian”. [riwayat
an-Nasa’i (III/198), dan Abu Dawud (hadits no.1300), dinilai hasan oleh
al-Albani]
Ibnu
Khuzaimah mengatakan bahwa perintah untuk melakukan hal tersebut hukumnya
sunnat, bukan wajib. Hanya saja, shalat sunnat di rumah itu lebih baik daripada
di masjid. [Shahih Ibnu Khuzaimah (I/209-210)]
b.
Surah yang dibaca
Dalam
shalat sunnat ba’da Maghrib disunnahkan untuk membaca surah al-Kaafirun
dan surah al-Ikhlas.
Hadits
dari Ibnu Mas’ud bahwa
ia berkata : “Tidak bisa kuhitung yang kudengar dari Rasulullah bahwa
beliau membaca pada dua raka’at sesudah Maghrib dan dua raka’at sebelum shalat
Shubuh : Qul yaa ayyuhal kaafiruun dan Qul Huwallaahu Ahad”. [riwayat at-Tirmidzi (hadits no.431), Ibnu Majah
(hadits no.1166), Ahmad, al-Maqdisi, an-Nasa’i, Ibnu Nashr, dan ath-Thabrani]
IV.
Shalat Sunnat Rawatib ‘Isya
Shalat
dua raka’at sesudah shalat ‘Isya adalah sunnah yang ditekankan sebagaimana
disebut dalam hadits dari ‘Aisyah, Ummu Habibah dan Abdullah bin Umar .
Sifat
dan Keutamaannya
Telah
disampaikan sebelumnya, hadits dari Ibnu ‘Umar , dia berkata : “Aku memelihara shalat
sepuluh raka’at dari Nabi : …
dua raka’at sesudah ‘Isya di rumahnya”.
Serta
diriwayatkan pula hadits dari ‘Abdullah bin Syaqiq, dia bercerita, aku pernah
bertanya kepada ‘Aisyah r.a. tentang shalat sunnat yang biasa dikerjakan oleh
Rasulullah . Maka ‘Aisyah menjawab :”… beliau
mengerjakan shalat ‘Isya bersama orang-orang. Kemudian beliau masuk ke rumahku
lagi dan mengerjakan shalat sunnat dua raka’at”. [riwayat Muslim (hadits no.730)]
V.
Shalat Sunnat Rawatib Shubuh
a.
Sifat dan Keutamaannya
Shalat
sunnat dua raka’at sebelum Shubuh termasuk sunnah mu’akkad yang sangat
ditekankan, Nabi membiasakannya dan tidak pernah
meninggalkannya baik ketika di rumah maupun sedang dalam perjalanan.
Hadits
dari ‘Aisyah r.a. dari Nabi , beliau bersabda :
“Dua raka’at fajar (sebelum Shubuh) itu
lebih baik daripada dunia dan se-isinya”. [riwayat Muslim (hadits no.725),
at-Tirmidzi (hadits no.416, I/320), an-Nasa’i (III/252), dan al-Hakim (I/307)]
Hadits
dari ‘Aisyah r.a., dia bercerita bahwa
Nabi tidak
pernah begitu tekun melaksanakan shalat sunnat sebagaimana shalat dua raka’at
sebelum Shubuh. [riwayat al-Bukhari (hadits no.1169), dan Muslim
(hadits no.724)]
Hadits-hadits
di atas menghimpun antara ucapan Rasulullah yang
berisi anjuran untuk melaksanakan shalat sunnat sebelum Shubuh, sekaligus
perbuatan beliau yang selalu memeliharanya.
b.
Meringankan pelaksanaan/bacaannya
Hadits
dari Hafshah, Ummul Mu’minin ,
ia berkata : “Bahwasanya
Rasulullah apabila telah mendengar adzan Shubuh
dikumandangkan dan fajar telah tampak, beliau melaksanakan dua raka’at
singkat/ringan sebelum didirikan shalat Shubuh”. [riwayat
al-Bukhari (hadits no.618), dan Muslim (hadits no.723)]
Hadits
dari ‘Aisyah r.a, ia berkata : “Nabi meringankan shalat dua raka’at sebelum Shubuh,
sehingga karena begitu singkatnya aku bertanya-tanya : Apakah beliau membaca
Ummul Kitab (al-Fatihah) ?” [riwayat al-Bukhari (hadits no.1171), dan Muslim
(hadits no.724)]
c.
Surah yang dibaca
Dalam
dua raka’at shalat sunnat sebelum Shubuh disunnahkan untuk membaca surah al-Kaafirun
pada raka’at pertama dan surah al-Ikhlas pada raka’at kedua.
Hadits
dari Ibnu Mas’ud bahwa
ia berkata : “Tidak bisa kuhitung yang kudengar dari Rasulullah bahwa
beliau membaca pada dua raka’at sesudah Maghrib dan dua raka’at sebelum shalat
Shubuh : Qul yaa ayyuhal kaafiruun dan Qul Huwallaahu Ahad”. [riwayat
at-Tirmidzi (hadits no.431), Ibnu Majah (hadits no.1166), Ahmad, Maqdisi,
an-Nasa’i, Ibnu Nashr, dan ath-Thabrani]
Hadits
dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah dalam dua raka’at sebelum shalat Shubuh biasa
membaca : Qul yaa ayyuhal kaafiruun dan Qul Huwallaahu Ahad. [riwayat
Muslim (hadits no.726)]
Hadits
dari ‘Aisyah r.a. bahwasanya Nabi bersabda : “Dua surat yang paling baik dibaca dalam dua
raka’at sebelum Shubuh adalah Qul yaa ayyuhal kaafiruun dan Qul
Huwallaahu Ahad”. [riwayat Ahmad (VI/239), Ibnu Majah (I/351), Ibnu
Khuzaimah (hadits no.1114), dan Ibnu Hibban (hadits no.610)]
Nabi
pernah mendengar seorang shahabat membaca
surah pertama (al-Kafirun) pada raka’at pertama, lalu beliau bersabda :
“Inilah
hamba yang beriman kepada Tuhannya”
Kemudian
ia membaca surah kedua (al-Ikhlas) pada raka’at kedua, lalu beliau
bersabda pula :
“Inilah
hamba yang mengenal Tuhannya”.
[riwayat ath-Thahawi,
Ibnu Hibban dan Ibnu Basyran, di-hasankan oleh al-Hafizh dalam kitab al-Ahadits
al-‘Aliyat hadits no.16]
Atau
disunnahkan juga membaca ayat ke-136 dari surah al-Baqarah pada
raka’at pertama dan membaca ayat ke-52 dari surah Ali Imran atau ayat
ke-64 dari surah Ali Imran pada raka’at kedua.
Berdasarkan
hadits dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya Rasulullah pernah membaca dalam dua raka’at shalat
sebelum Shubuh : raka’at pertama membaca : Qul Aamannaa billaahi wamaa
unzila ilaina {al-Baqarah :136} dan pada raka’at kedua membaca : Aamannaa
billaahi wasyhad bi annaa muslimuun {Ali Imran : 52} [riwayat Muslim (hadits no.727), dan Abu Dawud]
Dalam
riwayat lain disebutkan pada raka’at pertama membaca : Qul Aamannaa billaahi
wamaa unzila ilaina {al-Baqarah :136} dan pada raka’at kedua membaca : Ta’aalau
ilaa kalimatin sawaa bainanaa wa bainakum {Ali Imran : 64} [riwayat Muslim (hadits no.727), Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim]
d.
Mengqadha bagi yang tidak sempat mengerjakannya
Karena
keutamaan yang ada pada dua raka’at shalat sunnah sebelum Shubuh ini,
disyari’atkan bagi orang yang tidak sempat mengerjakan shalat rawatib sebelum
Shubuh untuk mengerjakannya setelah shalat Shubuh atau setelah matahari terbit.
Hadits
dari Qais bin Amr ia
berkata : Aku ikut shalat Shubuh bersama Rasulullah . Setelah selesai shalat, beliau
melihatku mengerjakan shalat. Beliau bertanya : “Wahai Qais, apakah ada dua
kali shalat (Shubuh) yang kita lakukan?” Aku menjawab : “Wahai
Rasulullah, tadi aku belum sempat melaksanakan dua raka’at sunnah Shubuh”.
Lalu beliau berkata : “Kalau begitu tidak apa-apa”. [riwayat at-Tirmidzi (hadits no.422) di-shahihkan oleh al-Albani]
Hadits
dari Qais bin Qahd , bahwasanya dia pernah shalat Shubuh bersama
Rasulullah , sedangkan dia belum sempat mengerjakan
shalat rawatib dua raka’at sebelumnya. Setelah selesai salam (shalat Shubuh),
dia mengerjakan shalat rawatib dua raka’at yang dilihat oleh Rasulullah , tetapi beliau tidak melarangnya. [riwayat at-Tirmidzi (hadits no.422,
I/324), Abu Dawud (hadits no.1267) dinilai shahih oleh al-Hakim (I/274),
Ibnu Khuzaimah (1116), Ibnu Hibban (hadits no.2471, IV/222), juga dinilai shahih
oleh al-‘Allamah Ahmad Syakir dan oleh al-Albani)]
Hadits-hadits
tersebut sebagai dalil dibolehkannya meng-qadha shalat pada waktu-waktu
terlarang.
Tetapi
(waktu qadha) yang lebih afdhal adalah dikerjakan setelah matahari
terbit, berdasarkan hadits dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah bersabda :
“Barangsiapa tidak sempat melaksanakan dua
raka’at shalat sunnat sebelum Shubuh, maka hendaklah ia mengerjakannya setelah
matahari terbit”.
[riwayat at-Tirmidzi (hadits no.424)
dinilai shahih oleh al-Hakim (I/274), Ibnu Khuzaimah (1117), Ibnu Hibban
(hadits no.2472, IV/224) dan dinilai shahih juga oleh al-Albani)
Wallahu
a’lam.
Allaahumma
shalli ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa Aalihi wa Shahbihi ajma’iin.
Karawang,
Muharram 1425 Hijriyyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar