Rindu
itu luka, sayang !
Bukan airmata yang menghanyutkanku
di tepian Sungai Batanghari, bukan pula rasa kalah yang membuatku undur diri
dari ibukota. Hanya rasa rindu yang kupendam belasan tahun memastikan langkahku
di tanah ini. Aku tahu kau kecewa, aku tahu kau resah. Tapi, inilah hidup;
pilihan !
***
Rinai hujan mencumbui tanah merah,
aroma tanah basah tiba-tiba saja menyeruak menemani senja sepi. Aroma yang
mengingatkan saat-saat kita menapaki mimpi di ujung Utara ibukota dulu. Tapi
disini berbeda, kau tak lagi menemani hari-hari panjang ku. Ah, sudahlah !
Romantisme klasik yang bisa mengusik, lupakan. Hujan mulai menebal, sesekali
petir menampar bumi. Senyap diam-diam beralih.
“Guing,
ake ndok belajo..” Suara lengking Ceriyap menyadarkan lamunanku.
“Ndok
belajo apo ?”
“Pelajoron
A B C nio…” Sebuah buku dan pena, ia sodorkan padaku.
Pelajaran mengenal hurufpun
dimulai. Seperti biasa, belum sepuluh menit semangat Ceriyap mulai turun
drastis, bermalas-malasan dia.
“Guing, kawan hopi mancing lagi ?” Ceriyap
mulai mengalihkan konsentrasiku dengan soal pancing memancing. Jelaslah, sudah
ini pertanda prihal baca membaca ini akan berakhir lebih awal.
“Nio
ujon, hopi tokang mancing. Kawan, Belajolah dulu” Sebisa mungkin
kupertahankan konsentrasi Ceriyap. Mulailah ia mengeja..Aaa..Bee, Cee.. Tak
lama
“Guing, berapo nio hargo kudo yayo ?”
Lagi-lagi, prihal baca membaca ia alihkan ke soal kuda. Semenjak melihat video
tentang kuda beberapa waktu lalu. Berulang kali ia bertanya tentang kuda, mulai
dari harga, tingginya dan sampai seberapa cepat kuda itu berlari.
“Ake hopi tentu hargo kudo.Belajolah dulu..”
“Guing,
ake ndok ndengo cerito kudo..”Nampaknya prihal baca membaca memang
harus diakhiri.
Sementara kami belajar, hujan
masih menderah, langit pun berangsur tercabik gulita. Dua batang lilin pun kami
sulut. Cahaya redup lilin yang digesek angin menjadi sanggah bagi kami
melampaui malam. Ceriyap
masih sibuk dengan imajinya soal kuda.
***
Rindu
itu luka, sayang !
Sayang, kalau saja kau ada disini,
bersama kami melewati malam di pesudungon
beratap rumbia berlantai kulit kayu meranti dan tak berdinding ini, pastilah
kau akan suka sekali. Kami tidur di pondok mungil ini bukan untuk bergaya-gaya
di dalam hutan layaknya pecinta alam yang mencari sensasi hidup dalam hutan.
Tapi beginilah hidup keseharian Orang
Rimba (OR), oleh Departemen Sosial mereka dikenal sebagai Suku Anak
Dalam (SAD). Paling memilukan mereka kerap disebut sebagai “Orang Kubu”.
Sayang, kalau saja kau tahu
konotasi dari kata “kubu” itu sungguh memarjinalkan Orang Rimba, pastilah kau
akan marah tiap mendengar mereka disebut kubu. Sayang, kalau masih kau dengar
kata itu untuk merujuk kawan-kawan disini. Kumohon ingatkan mereka, untuk tak
lagi menggunakan kata itu. Paling tidak gunakanlah SAD, meski sebutan itu juga
mengandung banyak distorsi.
Mengapa Orang Rimba menjadi
sebutan yang layak ? Rimba atau hutan, merupakan ruang hidup dan ruang budaya
kawan-kawan disini. Rimbalah yang membentuk jati diri dan identitas kultural
mereka. Maka layaklah kawan-kawan disini dilekatkan dengan identitas ruang
hidup dan budaya mereka. Bandingkan dengan istilah kubu yang berkonotasi
terbelakang, buruk perangai dan berbagai konotasi negatif lainnya yang
menyertai.
Kuasa kata telah ikut menjadi
salah satu picu keterpinggiran kawan-kawan disini. Ah, tak salah memang
Benedict Anderson dengan hipotesa Language
and Power yang mahsyur itu. Betapa bahasa bisa menjadi instrumen
ampuh dalam meminggirkan sebuah komunitas.
Rindu
itu luka, sayang !
Ehm…apa lagi ya yang ingin
kukisahkan. Sesungguhnya banyak hal yang ingin kukisahkan, tapi khawatir kau
anggap aku terlalu naïf dan terjebak dalam relung romantisme. Oh iya,
perkenankan aku berkisah tentang tiga kanti
ku ini; Ceriyap, Besiar dan Beteguh. Sebenarnya banyak kawan-kawan lain, tapi
cukuplah kita mulai dengan tiga ini dulu.
Ceriyap, lincah, mungil dan selalu
ingin tahu tentang hal baru. Jarang sekali ia mengenakan baju, kalau ia sedang
pakai cawot
(kain yang dililitkan membentuk penutup kemaluan) khas sekali kanti satu ini. Waktu
kami berjalan masuk ke rimba dari kantor lapangan, ia bergerak begitu lincah,
dengan ambung
(keranjang) dipikul ia tetap saja bergerak lincah. Sepanjang jalan ia bertanya
tentang banyak hal. Kadang aku kewalahan menjawab pertanyaannya. Pernah suatu
kali ia menanyakan tentang terbuat dari apa langit itu..zshtrt*&%$#@sz&$#@$#%…
Langsung pusing kepalaku memikirkan hal tersebut. Bingung bagaimana secara
sederhana menjelaskan tentang apa itu langit kepada anak yang umurnya belum
genap tujuh tahunan. Apa
kau bisa membantuku, kekasih ?
Perkara umur di komunitas Orang
Rimba memang bukan perkara yang mudah. Hampir semua dari mereka tak tahu pasti
umur. Karena para rerayo
(orang tua) biasanya hanya mengandalkan ingatan kelahiran anak mereka dengan
peristiwa besar yang terjadi ketika itu. Misal, si X lahir saat transmigran
pertama kali datang. Atau, si Y lahir saat banjir godong (besar) atau hal-hal yang serupa.
Jadilah perkara umur itu bukan suatu hal yang mudah diketahui dengan pasti.
Besiar, kanti satu ini cita-citanya ingin menjadi lokoter (dokter).
Minatnya pada prihal yang terkait kesehatan sangat tinggi. Jika ia melihat kita
makan pil tertentu, biasanya langsung ia akan mencecar kita tentang apa dan
bagaimana pil itu. Ketimbang Ceriyap memang Besiar kalah lincah, bahkan
dapatlah kita sebut Besiar ini agak pendiam.
Beteguh, kanti kita satu ini adalah yang paling
dewasa diantara mereka bertiga. Kalau menurut dugaanku usianya sekitar 12-14
tahun. Beteguh ini salah satu yang paling kukagumi. Kalau belajar dengan cepat
ia bisa menangkap. Cita-citanya unik sekali, ingin jadi peneliti. Jadilah tiga
hari penuh kami mendata hewan dan tumbuhan yang mereka kenali. Terkumpul
sekitar 109 hewan dan 111 tumbuhan. Kami berdua sepakat menyebut ini sebagai
penelitian.
Terkagum-kagum saya melihat
kemampuan Beteguh mengingat jenis hewan dan tumbuhan di rimba. Ah, kalau
dipikir-pikir mereka ini jauh lebih pintar dari kita soal ini. Kalau mau diuji
mungkin tak ada separuhnya kemampuan kita prihal nama-nama hewan dan tumbuhan.
Akulah yang belajar dari mereka prihal ini.
Sayang, kali ini cukuplah dulu
kisah ku disini. Aku tahu kisah-kisah ini mungkin tak akan bisa menjadi penawar
rasa kesalmu atas pilihanku ini. Tapi, kuberharap seiring waktu kau akan
terbiasa. Ehm, inginlah kukatakan, aku menantimu disini.
Note
:
Guing,
ake ndok belajo: Kawan, saya mau belajar
Ndok
belajo apo? : Mau balajar apa ?
Pelajoron
A B C nio : Palajaran A, B, C ini..
Guing,
kawan hopi mancing lagi ? : Kawan, kamu tidak manding lagi ?
Nio
ujon, hopi tokang mancing. Kawan, Belajolah dulu : Ini hujan, tidak
bisa mincing. Kamu belajarlah dulu
Guing,
berapo hargo kudo yayo ? : Kawan, berapa harga kuda ?
Ake
hopi tentu hargo kudo yayo.Belajolah dulu : Saya tidak tahu harga
kudanya itu. Belajarlah dulu..
Guing,
ake ndok ndengo cerito kudo : Kawan, saya mau mendengar cerita kuda
“Stop Menggunakan Istilah Orang
Kubu…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar