Senin, 17 Desember 2012

AQIDAH SYIAH (5 & 6)


V
IMAMAH


44. Keniscayaan Imamah
Syi’ah meyakini bahwa kebijaksanaan Tuhan (al-hikmah al-ilahiah) menuntut perlunya pengutusan para rasul untuk membimbing umat manusia. Demikian pula mengenai imamah, yakni bahwa kebijaksanaan Tuhan juga menuntut perlunya kehadiran seorang imam sesudah meninggalnya seorang rasul guna terus dapat membimbing umat manusia dan memelihara kemurnian ajaran para nabi dan agama Ilahi dari penyimpangan dan perubahan. Selain itu, untuk menerangkan kebutuhan-kebutuhan zaman dan menyeru umat manusia ke jalan serta pelaksanaan ajaran para nabi. Tanpa itu, tujuan penciptaan, yaitu kesempurnaan dan kebahagiaan, al-takamul wa al-sa'adah, sulit dicapai, karena tidak ada yang membimbing, sehingga umat manusia tidak tentu arah dan ajaran para nabi menjadi sia-sia.
Oleh karena itu kami meyakini bahwa sesudah Nabi Muhammad saw, ada seorang imam untuk setiap masa.
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bergabunglah bersama orang-orang yang benar, al-shadiqin.(QS. 9:119)
Ayat ini tidak berlaku untuk satu masa saja, tapi untuk seluruh zaman. Seruan agar orang-orang beriman bergabung dalain barisan orang-orang benar, al-shadiqin, pertanda adanya imam maksum yang harus diikuti pada setiap zaman, sebagaimana disebutkan oleh banyak mufassir Sunni dan Syi’ah terhadap makna ayat ini.[1]

45. Hakikat Imamah
Syi’ah meyakini bahwa imamah bukan sekedar jabatan politik atau kekuasaan formal, tetapi sekaligus sebagai jabatan spiritual yang sangat tinggi. Selain menyelenggarakan pemerintahan Islam, Imam bertanggung jawab membimbing umat manusia dalain urusan agama dan dunia mereka. Imam juga membimbing pikiran dan rohani masyarakat. Memelihara syariat Nabi Muhammad saw agar tidak menyimpang atau berubah serta memperjuangkan tcrcapainya tujuan pengutusan Nabi Muhammad saw.
Jabatan tinggi ini diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim as setelah Ibrahim melewati fase kenabian dan nsalah, dan setelah lulus dan sejumlah ujian berat. Ibrahim as. meminta kepada Allah agar jabatan ini diberikan juga kepada sebagian keturunannya, tetapi Allah menegaskan kepada Ibrahim bahwa orang-orang zalim dan para pendosa tidak akan mencapai posisi mi.
Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat lalu ia menyempumakannya. Tuhan berfirman kepadanya: "Aku angkat engkau sebagai imam bagi umat manusia." Ibrahim berk.ata: "Berikan pula kepada keturunanku". Tuhan berfirman: "Ketetapan-Ku ini tidak akan mengenai orang-orang zalim." (QS. 2:124)
Jelas sekali bahwa kedudukan yang demikian tinggi ini tidak dapat diterjemahkan sebagai jabatan pemerintahan formal. Dengan demikian, jika imamah tidak diterjemahkan sebagaimana yang telah kami gambarkan di atas, maka ayat di atas tidak mempunyai pengertian yang jelas.
Syi’ah mevakini bahwa para nabi utama, ulul-azmi, terutama Nabi Muhammad saw, adalah sekaligus sebagai imam-imam yang memiliki otoritas kepemimpinan spiritual ruhaniah dan kepemimpinan formal material. Dengan demikian, Nabi Muhammad saw tidak sekedar menyampaikan ajaran Allah, tapi sekaligus memimpin umat manusia, dan jabatan imamah ini diberikan kepada Nabi saw sejak awal kenabiannya.
Syi’ah juga meyakini bahwa garis imamah sesudah Rasulullah saw dilanjutkan oleh orang-orang suci dan dzuriyatnya, keturunannya.
Dan batasan di atas mengenai imamah tampak bahwa untuk mencapai kedudukan ini dituntut syarat-syarat yang sangat berat, baik dari sisi taqwa, yaitu telah mencapai tingkat ishmah, terpelihara dari perbuatan-perbuatan dosa, maupun dari sisi ilmu dan pengetahuan yang mencakup seluruh bidang pengetahuan dan aturan agarna serta pengetahuan tentang manusia dan kebutuhannya untuk setiap zaman.

46. Keterpeliharaan Imam dari Dosa dan Kesalahan
Syi’ah meyakini bahwa seorang imam wajib bersifat ma'shum, terpelihara dari perbuatan dosa dan kesalahan, karena, disamping makna ayat di atas, seorang yang tidak maksum tidak dapat dipercaya sepenuhnya untuk diambil darinya prinsip-prinsip agama maupun cabang-cabangnya. Oleh karena itu Syi’ah meyakini bahwa ucapan seorang imam maksum, perbuatan, dan persetujuannya, adalah hujjah syar'iyyah, kebenaran agama, yang mesti dipatuhi.
Yang Syi’ah maksud dengan persetujuan imam maksum atau taqrir al-Ma'shum ialah sang imam tidak menegur suatu perbuatan yang berlangsung di hadapannya, bahkan membiarkannya saja.


47. Imam Pemelihara Agama
Syi’ah meyakini bahwa seorang imam tidak membawa syariat baru. Kewajibannya hanyalah menjaga agama Islam, memperkenalkan, mengajarkan, menyampaikannya, dan membimbing manusia kepada ajaran-ajaran yang luhur.

48. Imam Orang Paling Tahu tentang Agama
Syi’ah meyakini bahwa seorang imam harus menguasai dan memiliki pengetahuan yang utuh terhadap semua pokok agama Islam, cabang-cabangnya, hukum, peraturan, dan tafsir al-Quran. Pengetahuan ini bersifat rabbani, suci dan di dapat dan Nabi saw, supaya sang imam mendapat kepercayaan penuh dan umat dan dapat diandalkan dalain memahami hakikat Islam.

49. Nash atas Imam
Syi’ah rneyakini bahwa seorang imam, penerus Rasulullah saw, harus ditetapkan melalui nash atau pengangkatan yang jelas oleh Rasulullah saw atau oleh imam sebelumnya. Dengan kata lain, seorang imam, seperti halnya Nabi saw, ditetapkan oleh Allah Swt, tetapi melalui Nabi saw, sebagaimana keterangan al-Quran dalain pengangkatan Ibrahim as sebagai imam:
Sesungguhnya Aku mengangkatmu sebagai imam bagi umat manusia. (QS. 2:124)
Dalain pada itu, penentuan tingkat taqwa, seseorang telah mencapai tingkat ishmah dan telah mencapai tingkat pengetahuan seluruh hukum dan ajaran Allah Swt tanpa ada kesalahan sedikitpun tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah dan rasul-Nya. Oleh karena itu, penentuan bahwa seseorang telah mernenuhi sifat ishmah datangnya dan Rasulullah saw.
Dengan demikian, Syi’ah meyakini bahwa keimaman para imam maksum tidak diperoleh melalui pemilihan masyarakat.

50. Penetapan para Imam oleh Nabi saw
Syi’ah meyakini bahwa Nabi Muhammmad saw-lah yang telah menetapkan para imam sesudahnya, sebagaimana yang telah dilakukannya dalain hadits populer al-tsaqalain. Diriwayatkan dalain Shahih Muslim bahwa suatu hari Nabi berpidato di sebuah oase yang bemama Khum, terletak antara Mekkah dan Madinah. Nabi saw bersabda:
... Aku hanyalah seorang manusia, yang jika utusan Tuhanku datang kepadaku akan kupenuhi. Aku tinggalkan pada kalian dua pusaka yang berat. Pertama, kitab Allah. Di dalainnya terdapat petunjuk dan cahaya... (Kedua) Ahlubaitku. Aku ingatkan kamu pada Allah tentang Ahlubaitku. Aku ingatkan kamu pada Allah tentang Ahlubaitku. Aku ingatkan kamu pada A.llah tentang Ahlubaitku. (Shahih Muslim, 4: 1873)
Hadis yang sama juga diriwayatkan dalain Shahih Turmuzi. Bahkan pada Shahih Turmuzi terdapat pernyataan tegas Nabi saw yang mengangkat imam sesudahnya dan lingkungan keluarganya. Demikian pula hadis-hadis yang diriwayatkan dalain Sunan al-Darimi, Khasaish al-Nasai, Musnad Ahmad, dan sumber-sumber utama Islam terkenal lainnya.[2]
Hadits Tsaqalain atau hadis Dua Pusaka ini sedikitpun tidak dapat diragukan kebenarannya, oleh siapa saja, karena la terrnasuk hadits mutawatir yang tidak dapat diingkan atau dipersoalkan kebenarannya oleh seorang muslim.Oleh karena itu, dan beberapa riwayat dapat dilihat betapa Nabi saw telah mengulangi hadis ini berkali-kali dan di berbagai tempat yang berbeda.
Tentu saja tidak semua kerabat Nabi memangku jabatan tinggi ini, sebagai pendamping al-Quran. Dengan demikian, maka yang dimaksud hanyalah para imam maksum dari dzuriyat Rasul saw.
Perlu disebutkan di sini bahwa dalain beberapa riwayat terdapat redaksi "Sunnati" atau Sunnahku sebagai ganti dari redaksi "Ahlubaiti", Ahlubaitku. Akan tetapi riwayat ini dhaif, diragukan kebenarannya, dan tidak dapat diandalkan.
Pada sisi lain, terdapat hadis lain yang populer dan sahih, yang diriwayatkan oleh banyak kitab hadis utama seperti: Sahih Bukhari, Muslim, Turmuzi, Abu Daud, Musnad Ibn Hanbal, bahwa Nabi saw bersabda:
Agama ini akan terus tegak hingga datangnya hari kiamat atau datang kepada kamu dua belas orang khalifah, (imam) semuanya berasal dan suku Quraisy. (Muslim, III, h. 1453, Bukhari, m, h. 101, Turmuzi, IV, h. 501 dan Abu Daud, IV, bab al-Mahdi)
Syi’ah meyakini bahwa ddak ada tafsiran yang paling tepat mengenai dua belas Imam yang dimaksud Nabi pada hadis di atas kecuali apa yang diyakini oleh kaum Syi’ah Imamiyyah. Ya, apakah ada tafsiran lain yang lebih tepat? Tidak ada. Renungkan!

51. Pengangkatan Ali oleh Nabi saw
Syi’ah meyaikini bahwa Nabi Muhainmad saw, atas perintah Allah, telah menunjuk dan mengangkat 'Ali as sebagai khalifah sesudahnya. Ia lakukan itu berkali-kali dan dalain berbagai kesempatan yang berbeda. Di Ghadir Khum, dekat dengan Juhfah, misalnya, Nabi saw membacakan khutbahnya yang sangat populer di depan para sahabatnya, sepulangnya dari menunaikan Haji Wada'. Nabi bersabda:
Wahai orang-orang! Bukankah aku lebih utama atas dirimu daripada kamu sendiri? Mereka berkata: "Betul". Nabi melanjutkan: "Barangsiapa yang aku adalah pemimpinnya, maulahu, maka 'Ali adalah pemimpinnya."[3]
Karena kami tidak bermaksud menguraikan masalah ini panjang lebar atau melakukan argumentasi terhadap keyakinan ini, kiranya cukup dengan mengatakan bahwa adalah mustahil kita lewati hadis di atas begitu saja atau menafsirkannya sebatas pada cinta kepada 'Ali, padahal Nabi saw begitu memperhatikan masalah ini.
Bukankah hadis di atas sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibn al-Atsir dalain kitabnya al-Kamil bahwa di awal kenabiannya, atas penntah Allah:
Dan berilah peringatan kepada keluarga dekatmu. (QS. 26: 214)
Nabi Muhammad saw mengumpulkan segenap keluarganya dan menawarkan kepada mereka agama Islarn. Pada kesempatan itu Nabi bersabda:
Siapakah di antara kamuyang bersedia membantuku dalain urusan ini sehingga ia menjadi saudaraku, washiku, dan khalifahku pada kamu. Tidak seorang pun yang menyambutnya kecuali ‘Ali yang berkata kepada Nabi saw: Aku wahai Nabi Allah yarig akan membantumu
Kemudian Nabi bersabda: Inilah ('Ali) saudaraku, washiku, dan khalifahku pada kamu.[4]
Bukankah ini pula yang diinginkan Rasulullah saw pada saat-saat terakhir kehidupannya, sebagaimana yang diriwayatkan Bukhan bahwa Rasulullah saw berkata:
Bawakan aku kertas supaya aku tuliskan buat kamu wasiat yang dengannya kamu tidak akan sesat sesudahku nanti"
Tapi sayang, sebagian menentang penulisan wasiat ini, mencegah Nabi melakukannya, bahkan mengucapkan kalimat-kalimat yang merendahkan Nabi saw. (Sahih Bukhari, V, hal. 11, Muslim, III, hal. 1259)
Sekali lagi, tujuan penulisan buku ini hanya sekedar menguraikan aqidah dengan sedikit dalil; kalau tidak, tentu berbeda penguraiannya.

52. Penegasan Tiap Imam atas Imam Sesudahnya
Syi’ah meyakini bahwa setiap imam dari dua belas imam telah diangkat dengan tegas, nash, oleh imam sebelumnya. Imam pertama adalah ‘Ali Ibn Abi Thalib, kemudian secara berturut-turut, (2) Hasan Ibn ‘Ali al-Mujtaba, (3) Husain Ibn ‘Ali Sayyidus-syuhada, penghulu para syuhada, (4) ‘Ali Ibn Husain, (5) Muhammad Ibn ‘Ali al-Baqir, (6) Ja'far Ibn Muhammad al-Shadiq, (7) Musa Ibn Ja'far, (8) 'Ali Ibn Musa al-Ridha, (9) Muhammad Ibn ‘Ali al-Taqi, (10) 'Ali Ibn Muhammad al-Naqi (11) Hasan Ibn ‘Ali al-Askari, dan terakhir, (12) Muhammad Ibn Hasan al-Mahdi. Syi’ah meyakini bahwa Imam Muhammad Ibn Hasan al-Mahdi masih hidup.
Keyakinan kepada Imam Mahdi yang akan memenuhi dunia dengan keadilan setelah dipenuhi dengan kezaliman dan kekejaman tidak terbatas pada kaum Syi’ah saja, tetapi seluruh kaum Muslirnin. Untuk itu banyak ulama Ahlussunnah yang menulis buku tentang kemutawatiran hadis-hadis tentang Imam Mahdi ini. Bahkan Rabithah Alain Islarni pemah mengeluarkan nsalah yang menyatakan bahwa kedatangan Imam Mahdi merupakan urusan musallainmat dalain agama atau sesuatu yang tidak dapat ditolak kebenarannya.[5]   Rabitah mengutip banyak hadis Nabi tentang al-Mahdi dan kitab-kitab utama. Hanya saja, sebagian ulama Ahlussunnah percaya bahwa al-Mahdi yang dimaksud baru akan lahir di akhir zaman, sementara Syi’ah meyakini bahwa al-Mahdi yang dimaksud adalah imam kedua belas, masih hidup dan akan muncul dengan izin Allah untuk menegakkan keadilan dan mengadili para tiran.

53. 'Ali Sahabat Utama
Syi’ah meyakini bahwa 'Ali adalah sahabat Nabi paling utama. Kedudukannya dalain Islam langsung di bawah Nabi saw. Pada saat yang sama Syi’ah menganggap bahwa sikap ghuluw, berlebih-lebihan kepada ‘Ali haram hukumnya. Dalain pada itu Syi’ah meyakini bahwa menganggap ‘Ali sebagai Tuhan atau serupa dengan itu kafir hukumnya dan keluar dari barisan Muslimin. Syi’ah berlepas diri dari orang dan aqidah semacam itu. Tapi sayang, sebagian pihak terjebak dalain kekeliruan, sehingga menyamaratakan Syi’ah dengan kelompok-kelompok menyimpang ini, padahal ulama-ulama Syi’ah justeru menganggap kelompok ini keluar dan Islam.

54. Sahabat di Hadapan Hukum Akal dan Sejarah
Syi’ah meyakini bahwa di antara sahabat Nabi terdapat pnbadi-pribadi agung yang telah disebutkan keutamaannya oleh al-Quran dan Sunnah. Akan tetapi tidak berarti bahwa semua Sahabat tidak ada yang salah atau perbuatan-perbuatan mereka benar semuanya tanpa kecuali. Pada banyak ayat al-Quran, teru-tama pada suratal-Bara`ah, al-Nur, dan al-Munafiqin, al-Quran bercerita tentang kaum munafik yang notabene adalah sebagian sahabat itu sendiri, dan mengecam mereka dengan keras, meskipun mereka adalah sahabat Nabi saw. Selain itu, terdapat pula di antara sahabat Nabi, orang yang telah menyulut api fitnah sehingga pecah perang sesama kaum Muslimin sesudah wafat Nabi saw, melanggar baiat yang telah diberikan kepada khalifah, dan menumpahkan darah ribuan kaum Muslimin. Apakah pantas orang-orang seperti itu kita anggap bersih dan suci?
Dengan kata lain, bagaimana mungkin kita dapat memutuskan kedua belah pihak yang terlibat percekcokan, misalnya pihak-pihak yang terlibat dalain perang Jamal dan Siffin, bahwa semuanya benar? Sungguh keputusan yang kontradiktif dan tidak dapat diterima. Adapun alasan pihak yang dapat menerima sikap kontradiktif ini, yang merujuk kepada persoalan ijtihad, bahwa memang ada yang benar dan ada yang salah, akan tetapi karena kedua-duanya telah mengamalkan ijtihad, maka yang keliru sekalipun, tetap mendapat pahala, karena ia telah melakukan ijtihad. Sedangkan kekeliruannya, dimaafkan. Cara berpikir seperti ini tidak dapat diterima.
Bagaimana mungkin kita dapat membenarkan seseorang yang melanggar baiatnya kepada khalifah Rasulullah dengan alasan ijtihad, tapi kemudian sengaja menyulut api peperangan dan menumpahkan darah orang-orang saleh? Jika dosa penumpahan darah dapat dimaafkan karena alasan ijtihad, itu berarti semua perbuatan dosa dapat dimaafkan karena alasan ijtihad. Nauzubillah.
Dengan terus terang kanni katakan bahwa Syi’ah meyakini bahwa seorang manusia, meskipun sahabat Nabi, tergantung pada amalnya, sesuai prinsip al-Quran yang menyatakan:
Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. (QS. 49:13)
Berdasarkan hal ini, maka untuk menentukan kualitas sahabat, kita juga harus mengukurnya dari amal perbuatan mereka, supaya keputusan yang kita ambil logis dan dapat diterapkan pada semuanya.
Maka siapa saja di antara sahabat Nabi yang selaina bersama Nabi ikhlas dan terus dalain garis ini dalain menjaga Islam dan kesetiaan kepada al-Quran sesudah wafatnya, Syi’ah akui dia dan mengkategorikannya sebagai orang saleh. Tetapi Sahabat yang munafiq di zaman Rasul dan selalu mengganggu Rasul atau berubah sesudah Nabi meninggal dunia, dan yang telah merugikan Islam dan kaum Muslimin, tentu Syi’ah tidak akan mencintainya sedikitpun. Allah berfirman:
Engkau takkan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir mencintai orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya, meskipun mereka adalah omng tua mereka sendiri, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, atau keluarga dekat mereka. Mereka adalah orang-orang yang telah ditetapkan iman oleh Allah dalain hati mereka. (QS. 58:22)
Ya, orang-orang yang menentang atau mengganggu Rasul, baik pada masa hidupnya atau sesudah wafatnya, menurut keyakinan Syi’ah, sedikitpun tidak pantas mendapat pujian atau penghormatan.
Tetapi kita tidak boleh lupa bahwa sejumlah sahabat Nabi telah berjuang habis-habisan untuk menyebarkan agama Islam sehingga Allah memuji mereka dan memuji para penerus mereka, tabiin, yang mengikuti jalan para Sahabat yang saleh; pujian yang juga diberikan kepada siapa saja berjalan di jalan yang lurus hingga hari akhir.
Para pemeluk Islam awal-awal sekali, al-sabiqun al-awalum, dari golongan Muhajirin dan Anshar dan para pengikut mereka dengan kebaikan, Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah. (QS.9:100)
Demikianlah keyakinan Syi’ah tentang Sahabat secara ringkas.

55. Ilmu Imam-imam Ahlubait Berasal dari Nabi
Syi’ah meyakini bahwa ucapan para imam, perbuatan, dan taqrir, persetujuan mereka, yang dapat dilihat dari tidak adanya teguran mereka terhadap suatu perbuatan yang berlangsung di hadapan mereka, adalah hujjah, kebenaran yang harus diikuti, dan merupakan sanad, pegangan bagi Syi’ah. Karena Nabi saw, sebagaimana hadis mutawatir, telah memerintahkan agar kita berpegang teguh kepada kitab Allah dan keluarganya. Di samping itu, mereka adalah orang-orang suci, ma'shum, yang telah diselainatkan Allah dari perbuatan dosa dan kesalahan. Karena itu, maka salah satu sumber fiqh Syi’ah, setelah al-Quran dan Sunnah Nabi, ialah ucapan para imam dari Ahlulbait, perbuatan, dan taqrir mereka.
Jika kita perhatikan bahwa para irnam as itu hanya menukil hadisnya dari nenek moyang mereka hingga ke Rasulullah saw, maka hadis-hadis mereka sesungguhnya adalah hadis-hadis Rasulullah saw juga. Dan kita tahu bahwa periwayatan oleh seorang tsiqah, yang dapat dipercaya, diterima oleh seluruh ulama Islam.
Imam Muhammad Ibn 'Ali al-Baqir berkata kepada Jabir:
Jabir, jika yang kami ucapkan kepada kalian itu adalah pandangan kami sendin dan dilandasi hawa nafsu, maka kami akan celaka. Tapi ketahuilah, yang kami ucapkan kepada kalian itu adalah hadis-hadis Rasulullah saw. (Jami' Ahadits Syi’ah: I, hal. 18)
Dalain riwayat lain disebutkan bahwa Seseorang bertanya kepada Imam Ja'far Shadiq tentang suatu masalah dan Irnarn memberikan jawabannya, namun orang itu kemudian bertanya lagi: "Bagaimana jika masalah ini begini dan begitu, apa pendapatmu?' Imam berkata: "Ketahuilah Tidak satu jawaban pun yang kuberikan kepadamu kecuali dari Rasulullah saw. Kami sama sekali bukan termasuk dalain kelompok orang yang dapat ditanya "Apa pendapatmu". (Ushul Kafi, 1, hal. 58)
Dalain pada itu, perlu kami sebutkan di sini bahwa Syi'ah juga memiliki kitab-kitab hadis utama yang kami percayai validitasnya, sepera al-Kafi, al-Tahzib, al-Istibshar, dan Man la Yahduruhul-faqih. Akan tetapi tidak berarti bahwa Syi’ah menerima begitu saja seluruh riwayat yang disebutkan dalain kitah-kitab tersebut, karena, selain kitab-kitab hadis, Syi’ah juga mempunyai kitab-kitab rijal yang berfungsi mengungkap keadaan para perawi pada semua level sanad. Jika para perawinya, pada semua level sanad, dapat dipercaya, tsiqat, Syi’ah terima hadis tersebut. Tapi jika tidak, Syi’ah akan menolaknya. Dengan demikian, Syi’ah baru dapat menerima riwayat-riwayat yang terdapat dalain kitab-kitab utama tersebut, jika ia memenuhi kriteria di atas.
Selain itu, boleh jadi ada riwayat yang dari segi sanad dapat dikategorikan sebagai riwayat mu'tabarah, dapat diterima, tetapi karena ada cacat-cacat lain pada riwayat tersebut, para ulama dan fuqaha Syi’ah, dari dahulu hingga sekarang, mengabaikannya. Riwayat semacam ini Syi’ah namakan riwayat mu'radh anha atau riwayat yang diabaikan, dan sudah barang tentu tidak mendapat tempat di kalangan Syi’ah.
Dari sini tampak bahwa jika seseorang ingin mendapat keterangan tentang aqidah Syi’ah, maka sangat keliru sekali jika hanya bersandarkan pada sebuah atau beberapa riwayat yang terdapat pada buku-buku tersebut tanpa melakukan penelitian sanadnya.
Dengan kata lain, pada sebagian mazhab Islam, terdapat kitab-kitab hadis yang disebut al-sihah. Parapenyusunnya tidak ragu sedikitpun mengkategorikan seluruh riwayat yang terdapat pada kitab-kitab tersebut sahih, demikian pula anggapan lainnya. Namun tidak demikian sikap Syiah terhadap kitab-kitab muktabarahnya. Kitab-kitab itu memang betul disusun oleh orang-orang tsiqat, dapat dipercaya, akan tetapi untuk menentukan kesahihan hadits-haditsnya hanis dikembalikan ke llm al-rijal untuk dilakukan penelitian terhadap para perawinya.
Jika poin ini diperhatikan, ia dapat menjelaskan banyak permasalahan dan keraguan yang diarahkan ke aqidah Syi’ah. Tetapi jika diabaikan, berakibat pada banyak kekeliruan dan kesalahpaharnan terhadap aqidah Syi’ah.
Ringkasnya, hadis-hadis para Imam Dua Belas menempati posisi yang sangat tinggi di mata ajaran Syi’ah, yaitu setelah al-Quran dan sunnah Nabi, tetapi dengan catatan, bahwa hadis-hadis tersebut pasti datangnya dari para imam dengan jalan diakui.

[1] Fakhrul-Razi, setelah pembahasan panjang tentang ayat di atas demikian berkomentar; "Ayat ini menjelaskan bahwa setiap orang yang jaiz al-khatha, dapat melakukan kesalahan, harus bergabung dan mengikuti orang yang telah dijamin kebenarannva atau al-Ma'shum. Mereka adalah orang yang dimaksud oleh Allah sebagai orang-orang yang benar di atas, as-shodiqun. Dengan demikian wajib bagi setiap orang yang jaiz al-khatha untuk menyelamatkannya dan kesalahan. Prinsip ini bukan hanya berlaku pada satu masa saja, tapi untuk sepanjang masa. Dengan demikian, pada setiap masa pasti ada al-Ma'shumin (lihat Tafsir al-Kabir, jilid XVI, h. 221)
[3] Hadits di atas diriwayatkan dengan banyak jalan. Perawinya mencapai jumlah 110 Sahabat, 84 Tabi'in, dan tidak kurang dan 360 sumber Islam utama telah menukilnya. (lihat Payame Qur'an jilid 9, h. 181 dst)
[5] Risalah tertanggal 24 Syawal 1396 H ini ditandatangani oleh pimpinan 'Idarah Majma' al-Fiqh al-Isiami", Muhammad al-Muntashir al-Khatami.














VI
BERBAGAI MASALAH


Di samping kajian-kajian terdahulu yang menjelaskan pokok-pokok aqidah Syi'ah, terdapat pula beberapa aqidah lain yang akan kami bahas pada bab ini.

56. Baik Buruk Secara Rasional
Syi'ah meyakini bahwa akal manusia dapat mengetahui hal-hal yang baik dan buruk; hal itu karena Allah Swt telah menganugerahkan pada manusia suatu daya yang dengannya dapat menangkap mana yang baik dan mana yang buruk. Karena itu, meskipun pada saat agama Ilahi belum turun, tapi manusia sudah mengetahui berbagai masalah melalui akalnya; inisalnya, baiknya keadilan dan berbakti, buruknya perbuatan zalim dan aniaya, baiknya jujur, amanat, berani, dan dermawan, buruknya dusta, khianat, dan kikir, dan sebagainya. Hanya saja akal manusia tidak dapat menangkap semua persoalan, karena keterbatasan ilmu manusia. Oleh karena itu Allah mengutus para nabi dan menurunkan kitab-kitab-Nya agar dapat menyempurnakan potensi ini, sehingga dengan Demikian, di satu sisi mendukung kemampuan akal, dan di sisi lain, menjelaskan sisi-sisi yang tidak dapat dijangkau oleh akal manusia.
Jika kita menolak secara total kemampuan akal untuk menentukan kebenaran, maka dengan sendirinya kita tidak akan dapat menetapkan adanya Allah, pengetahuan kepada-Nya, atau legalitas ajaran para nabi, sebab semua itu ditetapkan melalui akal. Selain itu, adalah sangat jelas bahwa penjelasan-penjelasan agama baru dapat diterima jika prinsip tauhid dan nubuwwah sudah ditetapkan terlebih dahulu oleh akal, karena penetapan kedua prinsip ini tidak dapat dilakukan hanya melalui argumentasi syar'iy.

57. Keadilan Tuhari
Oleh karena itu Syi'ah meyakini keadilan Tuhari. Mustahil Allah berbuat zalim kepada hamba-hamba-Nya. Mustahil pula menghukum seseorang atau memaafkannya tanpa alasan. Mustahil Allah melanggar janji-Nya sendiri atau memilih seseorang yang bejat, pembuat kesalahari, dan pendusta untuk jabatan kenabian dan kerasulan. Mustahil pula membiarkan hamba-hamba-Nya, yang Dia ciptakan untuk membuat mereka bahagia, tanpa seorang pembimbing atau peinimpin, karena semua perbuatan-perbuatan ini buruk, sedangkan Allah mustahil melakukan perbuatan buruk.

58. Kebebasan Manusia
Berdasarkan alasan yang sama, maka Syi'ah meyakini bahwa Allah Swt telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang bebas dan berbuat sesuatu atas kemginan dan piliharinya sendiri, karena jika manusia majbur, terpaksa, atau tidak punya peran dalam perbuatan-perbuatannya, maka konsekuensinya adalah bahwa hukuman kepada para penjahat merupakan perbuatan yang buruk sedang memberi ganjaran kepada pelaku kebaikan tidak ada gunanya sama sekali. Tentu saja hal ini mustahil bagi Allah Swt.
Ringkasnya, keyakinan adanya kebaikan dan keburukan yang bersifat rasional serta kemampuan akal manusia untuk mengetahui banyak kebenaran merupakan prinsip dasar agama, syariat, dan keimanan kepada kenabian dan kitab-kitab samawi. Akan tetapi, sebagaimana yang telah kami tegaskan, kemampuan akal manusia terbatas, sehingga tidak mampu menjangkau semua kebenaran yang dapat membawa manusia kepada kebahagiaan dan keSempurnaan. Oleh karena itu, manusia membutuhkan para nabi dan kitab-kitab samawi.

59. Dalil Aqli Sumber Hukum
Berdasarkan apa yang telah kami smggung di atas, Syi'ah meyakini bahwa dalil aqli atau argumen rasional tergolong salah satu sumber utama agama. Yang kami maksud dengan dalil aqli di sini ialah bahwa akal manusia mengetahui dengan pasti beberapa hal dan dapat melakukan penilaian terhadapnya. Maka, jika seandainya pun kita tidak temukan dalil yang tegas dalam al-Quran dan Sunnah, bahwa perbuatan-perbuatan zalim, khianat, dusta, membunuh, mencuri, dan merampas hak orang lain adalah perbuatan haram, terlarang, kita tetap akan mengharamkan perbuatan-perbuatan tersebut, sebab Demikianlah penilaian akal kita. Kita yakin sepenuhnya bahwa Allah yang Mahamengetahui lagi Mahabijaksana itu pasti memutuskan hal yang sama dan ddak akan pernah menyetujui perbuatan-perbuatan tersebut. Ini cukup menjadi hujjah Ilahi buat kita.
Sementara itu, al-Quran penuh dengan ayat-ayat yang menyatakan pentingnya akal dan argumentasi rasional. al-Quran mengajak orang-orang yang berakal agar mengamati tanda-tanda kebesaran Tuhari di langit dan buini sebagai cara menyeru ke jalan tauhid.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan buini serta perselisihan malwn dan siang terdapat tanda-tanda bagi orag-orang yang berakal. (QS. 3:190)
Pada kesempatan lain, al-Quran menganggap bahwa tujuan dari penjelasan tanda-tanda kebesaran Tuhari ialah untuk menambah kemampuan daya tangkap manusia.
Lihatlahl bagaimana Kami datangkan silih berganti tanda-tanda kebesaran supaya mereka mengerti. (QS. 6:65)
Al-Quran juga menyeru semua umat manusia agar membedakan kebaikan dari keburukan, untuk itu hendaknya menggunakan kekuatan berpikir.
Katakan, apakah sama antara orang buta dengan orang melihat? Apakah kamu tidak berpikir? (QS. 6:50)
Terakhir,
Sesungguhnya sejelek-jeieknya makhluk di sisi Allah adalah tuli, bisu, yang tidak berpikir. (QS. 8:22)
Dan ayat-ayat lainnya yang serupa.
Dengan penegasan yang Demikian kuat tentang peran akal, bagaimana mungkin kita dapat mengabaikan peran akal dan tidak mendudukkannya pada posisi yang semestinya.

60. Kembali kepada Keadilan Tuhari
Telah kami singgung sebelumnya bahwa Syi'ah meyakini keadilan Tuhari dan bahwa Allah tidak berbuat zalim kepada hamba-hamba-Nya karena perbuatan zalim itu buruk, dan Allah jauh dan melakukan hal yang buruk.
Tuharimu tidak. berbuat zalim kepada siapapun. (QS. 18:49)
Karena itu, jika ada sebagian yang menerima hukuman, baik di dunia maupun di akhirat, itu akibat perbuatannya sendiri.
Sekali-kali Allah tidak berbuat zalim kepada mereka, tapi mereka sendiri yang menzaliini diri mereka. (QS. 9:70)
Prinsip ini tidak hanya berlaku pada manusia, tapi mencakup semua makhluk.
Dan Allah tidak pernah menghendaki kezaliman pada semua alam. (QS. 3:108).
Dengan Demikian, ayat-ayat di atas berupa penegasan atas hukum akal dan petunjuk kepadanya.



Menolak Taklif Di luar Kemampuan
Dalam pada itu, berdasarkan prinsip yang telah disebutkan terdahulu, Syi'ah meyakini bahwa Allah Swt tidak akan menugasi manusia, taklif, sesuatu yang tidak mampu dilakukannya.
Allah tidak akan mmugasi suatu jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya. (QS. 2:286)

61. Filosofi Bencana
Berdasarkan prinsip yang sama pula Syi'ah meyakini bahwa berbagai bencana alam yang menimpa umat manusia seperti gempa buini, angin ribut, dan sebagainya, kadang mengandung unsur hukuman, sebagaimana yang terjadi pada kaum Luth,
Maka ketika datang perkara Kami, "Kami balikkan negeri kaum Luth,", yaitu yang bagian atasnya ke bawah, dan Kami hujani dengan batu dari tanah yang terbakar secara bertubi-tubi. (QS. 11:82)
Atau yang terjadi pada kaum Saba,
Mereka berpaling, maka Kami kirim banjir besar kepada mereka. (QS. 34:16)
Tapi kadang pula sebagai peringatan kepada umat manusia agar mereka kembali ke jalan yang benar.
Telah tampak kerusakan di darat maupun di laut karena ulah tangan-tangan manusia, maka Allah akan membuat mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, supaya mereka kembali. (QS. 30: 41)
Tentu bencana semacam ini adalah bagian dari kasih sayang-Nya. Sedangkan yang berupa hukuman, itu karena kesalahari manusia sendiri dan karena kejahilannya.
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu kaum sampai kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka. (QS. 13:11)
Apa yang nenimpamu berupa kebaikan datangnya dari Allah, dan apa yang menimpamu berupa keburukan datangnya dari dirimu sendiri. (QS. 4:79)

62. Alam Semesta Tatanan Paling Sempurna
Syi'ah meyakini bahwa alam semesta merupakan tatanan yang paling sempurna. Semua berjalan sesuai tata tertib yang telah ditetapkan. Tidak ada penyimpangan, ketidakadilan, atau kejahatan. Kalau toh ada keburukan-keburukan pada masyarakat manusia, itu karena ulah manusia sendiri.
Sekali lagi kami tegaskan bahwa Syi'ah meyakini bahwa keadilan Ilahi merupakan prinsip dasar pandangan dunia Islam. Tanpa itu, tauhid, kenabian, dan hari akhir akan terancam.
Imam Ja'far al-Shadiq berkata:
Sesungguhnya prinsip dasar agama itu ialah tauhid dan keadilan.
Imam menambahkan:
Adapun tauhid ialah jangan membolehkan sesuatu pada Tuhari yang engkau sendiri tidak boleh melakukannya, sedang keadilan ialah jangan menisbahkan sesuatu kepada Penciptamu yang engkau sendiri dikecam karenanya. (Bihar al- Anwar, V: 17) Renungkan!.

63. Dasar Hukum Islam Yang Empat
Seperri telah kami singgung sebelumnya, dasar hukum Islam atau fiqh yang dipercayai Syi'ah ada empat:
Pertama, al-Quran, kitab Allah, yang merupakan sumber utama hukum dan pengetahuan Islam.
Kedua, sunnah Rasul saw dan para Imam yang suci.
Ketiga, Ijma' atau kesepakatan para ulama dan fuqaha yang mengungkapkan adanya ketetapan al-ma'shum padanya.
Keempat, Dalil Aqli atau argumentasi rasional. Yang dimaksud ialah akal yang pasti atau yang disebut dengan dalil al-aql al-qat'iy. Adapun dalil al-aql al-zharini, atau dalil akal yang berlandaskan kepada perkiraan-perkiraan rasional, seperti qiyas dan istihsan, tidak dapat diterima oleh fiqh Syi'ah dalam masalah apa pun. Karena itu betapa pun seorang faqih melihat ada maslahat tertentu pada suatu masalah, tapi karena tidak ada dasar hukumnya dalam al-Quran dan al-Sunnah, ia tidak dapat menganggapnya sebagai hukum Allah. Kami juga tidak dapat memberiarkan qiyas yang bersifat zharini itu atau apa saja yang serupa dengannya sebagai sarana untuk menyingkap adanya hukum agama.
Adapun dalam keadaan-keadaan pasti, seperti buruknya perbuatan zalim, dusta, mencuri, khianat dsb, maka hukum akal di sini mencerininkan hukum agama, sesuai dengan kaidah.
Setiap sesuatu yang telah diputus oleh akal maka Demikian pula keputusan agama.
Sebetulnya, riwayat-riwayat yang ada pada Syi'ah, baik dari Nabi saw maupun dari para Imam yang suci, sudah lebih dari cukup untuk berbagai kebutuhari umat: ibadah, politik, ekonoini, sosial, dan lain sebagainya. Karena itu tidak perlu merujuk ke dalil-dalil yang bersifat zhanni. Bahkan Syi'ah yakin, persoalan-persoalan baru sekalipun telah termasuk dalam prinsip-prinsip dasar dan garis-garis besar, kulliyat, yang terdapat pada al-Kitab, sunnah Rasul, dan sunnah para Imam maksum, sehingga kita tidak perlu merujuk ke dalil-dalil yang zharini, tapi cukup dengan merujuk ke garis-garis besar.

64. Pintu Ijtihad Selalu Terbuka
Syi'ah meyakini bahwa pintu ijtihad terbuka lebar untuk semua persoalan agama. Parafuqaha yang kompeten dapat melakukan istinbath atau yurisprudensi hukum dari empat sumber hukum di atas dan menyajikannya kepada pihak yang belum memiliki kemampuan istinbath, meskipun pandangan mereka mungkin berbeda dengan pandangan fuqaha sebelumnya. Syi'ah juga meyakini bahwa seseorang yang belum mencapai otoritas istinbath hukum hendaknya merujuk atau bertaqlid kepada para fuqaha hidup yang menguasai persoalan zaman dan masyarakat.
Bagi Syi’ah, persoalan merujuk kepada para ahli oleh orang-orang awam dalam masalah fiqih atau taqlid merupakan persoalan yang amat jelas dan disadari oleh semua orang awam. Akan tetapi taqlid harus dilalkukan terhadap orang yang masih hidup, tidak boleh kepada orang yang telah meninggal dunia, kecuali jika sebelumnya memang ia telah bertaqlid kepadanya. Hal ini supaya fiqih terus berkembang di diriainis.
Maka para fuqaha yang dijadikan tempat rujukan oleh orang-orang awam disebut marja’ taqlid, atau tempat rujukan dalam taqlid.
65. Tidak Ada Kefakuman Hukum dalam Islam
Syi’ah meyakini bahwa tidak ada kefakuman hukum dalam Islam, dalam arti bahwa Islam telah menjelaskan semua permasalahari yang dibutuhkan mamnusia hingga hari akhir; kadang bersifat khusus dan kadang yang lain tercakup dalam hukum umum. Yang mereka lakukan hanya mengungkap hukum Ilahi dari sumber hukum yang empat dan menyajikannya kepada umat.
Lalu, bagaimana agama dapat kita katakan sempurna jika tidak mencakup semua hukum untuk sepanjang masa, padahal Allah telah menegaskan dalam kitab-Nya:
Hari ini Kusempurnakan bagimu agamamu dan Kulengkapkan atasmu nikmat-Ku dan Aku merestui Islam sebagai agama bagimu. (QS. 5-3)
Dan Nabi saw sendiri menyatakan ketika Haji Wada’.
Wahai manusia, Deini Allah, tidak satupun yang mendekatkan kamu ke sorga dan menjauhkan kamu dari neraka kecuali sudah kuperinntahkan kepadamu, dan tidak satupun yang mendekatkan kamu ke neraka dan menjauhkan kamu dari sorga kecuali sudah kularang kamu melakukannya. (Ushul al-Kafi, 11/74 dan Bihar al-Anwar, jilid 67 hal. 96)
Dalam hadis populer lain, Imam Ja'far Shadiq as menyebutkan bahwa:
Sesungguhnya tidak ada permasalahari hukum kecuali sudah dtjelaskan oleh A!i as dalam kitabnya, termasuk hukum membayar diyat atas goresan kecil di tubuh (Jaini al-Ahadits, 1/18)
Dengan Demikian, maka tidak perlu merujuk ke dalil-dalil zanni seinisal qiyas dan istihsan.

66. Taqiyyah dan Filosofinya
Syi'ah meyakini bahwa jika seseorang berada di tengah-tengah lingkungan orang-orang fanatik, keras kepala, dan tidak bisa diajak berpikir rasional, sehingga akan membahayakan keselamatan dirinya jika dia menampakkan aqidah yang dianutnya, sementara itu tidak ada manfaat berarti yang dapat diperolehnya dan penampakan aqidahnya itu, dalam situasi seperti ini ia harus menyembunyikan aqidahnya dari menyelamatkan dirinya. Sikap semacam ini Syi'ah menyebutnya taqiyyah, yang  berlandaskan pada dua ayat al-Quran dan dalil aqli.
Pertama,berkaitan dengan seorang mukrnm dari keluarga Fira'un. Al-Quran menegaskan:
Dan seorang mukinin dari keluarga Fira'un yang menyembunyikan imannya berkata: "Apakah kalian akan membunuh seseorang yang berkata Allah adalah Tuhariku padahal ia telah membawakan kalian kebenaran-kebenaran dari Tuhari kalian." (QS. 40:28)
Kalimat yaktumu imanah, menyembunyikan imannya, jelas-jelas menegaskan masalah taqiyyah. Maka apakah bijaksana jika mukinin dan keluarga Fira'un itu terang-terangan menyatakan imannya, padahal dapat membahayakan keselamatannya? Selain itu tidak ada manfaat yang dapat diperolehnya.
Kedua, berkaitan dengan sekelompok pejuang mukinin pada masa awal Islam yang hidup di tengah-tengah kaum musyrikin fanatik. Kepada mereka Allah memerintahkan taqiyyah dengan firman-Nya:
Orang-orang beriman tidak boleh menjadikan orang-orang kafir sebagai peinimpin-peinimpin mereka dengan meninggalkan orang-orang beriman. Barangsiapa melakukan itu, maka putus hubungannya dengan Allah kecuali jika ada sesuatu yang kamu takuti dari mereka. (QS. 3:28)
Definisi taqiyyah ialah menyembunyikan keyakinan atau aqidah di hadapan lawan fanatik dan keras kepala yang dapat membahayakan keselamatan diri, harta dan kehormatannya, di samping tidak ada hasil memadai yang dapat diraih. Dalam keadaan seperti ini seseorang tidak boleh mencelakakan dirinya dan menyia-nyiakan potensinya. Ia harus menjaganya untuk digunakan pada keadaan-keadaan yang diperlukan. Imam Ja'far Shadiq berkata:
T'aqiyyah itu tamengnya orang mukinin. (Wasail Syiah XI/461[1])
Ungkapan bahwa taqiyyah adalah tameng merupakan perumpamaan yang sangat menarik yang menggambarkan bahwa taqiyyah adalah alat pertaharian diri menghadapi lawan. Dalam catatan sejarah telah populer bahwa Sahabat Ammar Ibn Yasir telah bertaqiyyah di hadapan kaum musyrik dan mendapatkan pembenaran dari Nabi Muhammad saw.
Selain itu, apa yang biasa dilakukan para tentara saat berperang, melawan musuh, seperti bersembunyi dan menyimpan rahasia perang pada dasamya merupakan bagian dari taqiyyah yang lazim terjadi pada kehidupan manusia.
Secara urnum, taqiyyab ialah menyembunyikan sesuatu yang apabila menampakkannya dapat berakibat buruk dan dapat mencelakakan diri, di samping tidak memperoleh sesuatu hasil yang memadai.
Sikap seperti ini logis sekali dan dibenarkan oleh syariat. Bukan saja orang Syi'ah yang melaksanakannya, tapi seluruh kaum Muslimin, bahkan seluruh orang-orang berakal, yaitu ketika hal itu diperlukan. Karena itu amat mengherankan jika ada sebagian pihak menganggapnya khas Syi'ah kemudian menjadikannya sasaran tembak terhadap Syi'ah, padahal masalahnya sangat jelas, berakar pada al-Quran dan Sunnah, diamalkan para sahabat, dan dibenarkan oleh semua orang-orang berakal.

67. Posisi Haram Taqiyyah
Syi'ah percaya bahwa sebab utama kesalahfahaman ini adalah kurangnya informasi yang cukup tentang aqidah Syi'ah atau mendapatkannya dari musuh-musuh Syi'ah. Kami berharap, melalui keterangan yang kami berikan ini persoalannya menjadi jelas.
Namun Demikian, kami harus tegaskan bahwa pada beberapa keadaan, taqiyyah haram hukumnya, yaitu ketika dasar agama, Islam, Quran, atau tatanan Islam dalam bahaya. Dalam situasi seperti ini, seseorang harus menampakkan aqidahnya, meskipun nyawa sebagai taruharinya. Karena itulah Syi'ah meyakini bahwa kebangkitan Imam Husain di Karbala merupakan penvujudan dan tujuan mulia ini, sebab penguasa Bani Umaiyah telah sangat rnembahayakan dasar Islam. Kebangkitan Imam Husain telah menggagalkan niat jahat Bani Umayyah dan telah menyelamatkan Islam dari marabahaya.

68. Ibadah Islam
Syi'ah meyakini dan menunaikan semua amal ibadah yang diperintahkan al-Quran dan al-Sunnah, seperti shalat lima, yang merupakan bcntuk hubungan paling utama antara seorang hamba dengan Tuharinya, dan puasa Ramadhari, yang merupakan sarana terbaik untuk memperkuat iman, pensucian diri, taqwa, dan melawan hawa nafsu.
Syi'ah meyakini bahwa haji yang merupakan sarana sangat efektif untuk mewujudkan rasa taqwa, memperkokoh silaturrahini, dan sebab bagi kejayaan kaum Muslimin wajib hukumnya bagi orang yang mampu, paling tidak sekali dalam hidupnya. Demikian pula zakat, khumus, amar ma'ruf, nahi munkar, dan jihad menghadapi musuh-musuh Islam dan musuh-musuh kaum Muslimin. Semua itu wajib hukurnnya, meskipun harus diakui terdapat perbedaan-pcrbedaan antara Syi'ah dengan mazhab-mazhab lain mengenai rincian perkara-perkara di atas, sebagaimana perbedaan arara sesama mazhab empat dalam masalah ibadah maupun lainnya.

69. Menggabungkan Dua Shalat
Di antara perbedaan-perbadaan itu ialah Syi'ah meyakini bahwa antara shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya boleh dijamak atau digabung dalam satu waktu. Meskipun Demikian, meinisahkannya lebih utama daripada menggabungkannya.
Syi'ah meyakini bahwa hukum bolehnya menggabungkan dua shalat itu datang dan Nabi saw sendiri untuk memudahkan umatnya. Dalam Sahih al-Turmudzi disebutkan balswa Ibn Abbas berkata:
Sesungiuhnya Rasulullah saw menggabungkan antara shalat Zhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya' di dalam kotaMadiriah dan tanpa rasa takut atau karena faktor hujan.
Ibn Abbas ditanya, untuk apa Rasululah saw melakukan itu? Ia menjawab: "Rasulullah ingin agar umatnya tidak jatuh dalam kesulitan. (Sunan al Turmudzi 1/354 dan Sunan Baihaqi III/167)
Maksud hadis di atas ialah jika shalat secara terpisah dirasa berat, lebih-lebih pada kondisi kehidupan sosial dewasa ini, terutama kehidupan di pusat-pusat industri, dimana keterikatan dengan lima waktu malah membuat sebagian orang tidak shalat sama sekali, maka rukhsah, kemudahari yang diberikan Rasul ini patut dilaksanakan. Dengan Demikian ia dapat menunjang penegakan shalat secara utuh. Renungkan!


70. Sujud di atas Tanah
Syi'ah meyakini bahwa ketika seseorang sujud dalam shalat ia harus melakukannya dengan meletakkan dahinya di atas tanah atau segala sesuatu yang merupakan bagian dari buini, atau yang tumbuh dari buini, seperti daun, dahari, dan seluruh tumbuh-tumbuhari, kecuali tumbuhari-tumbuhari yang dikonsumsi untuk makanan atau pakaian. Karena itu, Syi'ah tidak memberiarkan sujud di atas sajadah yang terbuat dari kain.
Selain itu, Syi'ah menganggap bahwa sujud di atas tanah lebih afdal dari sujud di atas jenis buini apa pun. Oleh karena itu, agar lebih mudah, banyak penganut Syi'ah yang membawa-bawa lempengan tanah kering yang suci, biasa disebut turbah, untuk digunakan saat sujud dalam shalat. Dasar hukum Syi'ah ialah hadis Rasulullah saw yang menyatakan:
Buini dijadikan untukku sebagai masjid dan pensuci.
Kata masjid disini maksudnya ialah tempat sujud. Hadis ini diriwayatkan oleh kitab-kitab Sihah dan lain sebagainya.[2]
Akan tetapi boleh jadi ada yang menafsirkan kata masjid di sini bukan dalam arti tempat sujud, tapi tempat shalat, yang berarti boleh shalat di mana saja di muka buini ini. Pandangan ini bertolak belakang dengan pandangan yang membatasi shalat hanya pada tempat-tempat tertentu saja. Akan tetapi karena pada riwayat itu digunakan kata tahur, yang berarti tanah itu mensucikan, maksudnya dengan tayammum, maka ia lebih tepat diartikan sebagai tempat sujud daripada tempat shalat, sehingga maknanya menjadi tanah itu mensucikan dan sekaligus sebagai tempat sujud.
Selain hadis di atas, terdapat banyak sekali riwayat-riwayat Ahlubait yang menegaskan bahwa sujud itu harus di atas tanah, batu, dan sejenisnya.

71. Ziarah Kubur Para Nabi dan Imam
Syi'ah  meyakini bahwa ziarah ke makam Nabi Muhammad saw, para Imam Ahlubait, wali-wali Allah, dan segenap syuhada merupakan amal yang sangat dianjurkan, sunnah muakkadah. Kitab-kitab Ahlussunnah dan Syi'ah penuh dengan riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang keutamaan ziarah ke makam Nabi saw, sehingga jika riwayat-riwayat ini dikumpulkan akan melahirkan kitab tersendiri.
Dalam perjalanan panjang sejarah, para ulama besar dan segenap lapisan kaum Muslimin, sangat menaruh perhatian pada masalah ziarah ini, sehingga banyak sekali buku yang ditulis mengenai berbagai pengalaman ruharii yang diperoleh para penziarah Nabi dan tokoh-tokoh besar lainnya, sehingga dapat kita katakan bahwa masalah ziarah ini merupakan masalah yang disepakati oleh seluruh kaum Muslimin.
Namun, tentu saja seseorang harus membedakan antara ziarah dan ibadah. Ibadah atau menyembah hanya dilakukan untuk Allah Swt semata, sementara ziarah dimaksudkan untuk memuliakan para pembesar Islam dan memohon syafaatnya di sisi Allah Swt. Bahkan Rasulullah saw sendiri sering berziarah ke kuburan Baqi dan mengucapkan salam kepada penghuni kubur.
Dengan Demikian, seseorang tidak perlu meragukan keabsahari amal ini.

72. Upacara Berkabung dan Filosofinya
Syi'ah meyakini bahwa memperingati hari-hari kematian para syuhada Islam, terutama syuhada Karbala, merupakan bagian dari upaya menghidupkan nama besar, perjuangan, dan pengorbanan mereka untuk Islam. Oleh karena itu Syi'ah selalu memperingati hari-hari bersejarah itu sepanjang tahun, terutama hari-hari Asyura, yakni sepuluh hari pertama bulan Muharram. Pada hari itu, al-Imam Husain, putra ‘Ali Ibn Abi Thalib, putra Fathimah al-Zahra, cucu Rasulullah saw dan "penghulu para pemuda sorga", sebagaimana sabda Nabi saw, syahid membela Islam. Syi'ah memperingati hari kesyahidannya dan para syuhada yang berjuang bersamanya, menguraikan sejarah hidup, perjuangan, kepahlawanan, dari cita-cita suci mereka, kemudian membacakan doa untuk mereka.
Syi'ah meyakini bahwa Bani Uinayyah telah membangun pemerintahan yang amat membahayakan Islam, merubah, dan merusak syariat Islam, bahkan berusaha menghapus nilai-nilai Islam. Yazid adalah salah seorang dari mereka. Ia adalah penguasa yang zalim, bejat, pembuat maksiat, dan jauh dari nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, Imam Husain bangkit menentangnya, yaitu pada tahun 61 H. Tapi Imam dan seluruh pembelanya gugur di buini Karbala, sementara kaum perempuan Ahlulbait Nabi diperlakukan sebagai tawanan.
Namun Demikian, pengorbanan ini telah menyadarkan kaum Muslimin dewasa itu betapa bejatnya Bani Umayyah dan sekaligus membangkitkan semangat perlawanan yang luar biasa terhadap kekuasaan Bani Umayyah. Pemberontakan deini pemberontakan menentang kezaliman Bani Umayyah muncul silih berganti, hingga pada akhimya berhasil meruntuhkan pilar-pilar kezaliman mereka dan menghapus nama mereka dari muka buini untuk selama-lamanya. Uniknya, pada setiap pemberontakan menentang Bani Umayyah pasca Asyura, bahkan hingga masa kekuasaan Bani Abbasiyah yang otoriter, para pemberontak justeru menggunakan semboyan:
menuntut balas untuk menyenangkan atau mendapat keridhaan keluarga Muhammad
atau semboyan:
Menuntut balas atas terbunuhnya Husain.
Bagi masyarakat Syi'ah dewasa ini, Kebangkitan atau Revolusi Imam Husain as. merupakan simbol perlawanan menentang segala bentuk kesewenang-wenangan, kezaliman, dan ketidakadilan. Semboyan
Kami pantang Menghinakan diri, dan Hidup adalah ideologi dan jihad.
Dan lain sebagainya yang diajarkan oleh madrasah Karbala senantiasa mendorong kami untuk selalu menentang penguasa-penguasa yang zalim dan melepaskan diri dari cengkraman mereka, dengan berteladan kepada perjuangan Sayyidus-syuhada, penghulu para syuhada, Imam Husain dari sahabat-sahabatnya.
Singkat kata, peringatan hari-hari bersejarah para syuhada Islam, terutama syuhada Karbala, akan membangkitkan dalam diri kita semangat perjuangan, keberanian, pengorbanan, dan syahadah di jalan aqidah dan iman. Pada saat yang sama memberikan pelajaran yang sangat berharga tentang harga diri dan ketidaktundukan kepada kezaliman. Inilah filosofi peringatan hari-hari bersejarah para syuhada yang dilangsungkan setiap tahun.
Boleh jadi ada yang tidak mengerti Sama sekali makna peringatan-peringatan itu sehingga menganggapnya sebagai peristiwa masa lalu yang telah ditelan oleh debu sejarah. Tapi kaum Syi'ah merasakan betul betapa peringatan itu sangat berpengaruh pada sejarah masa lalu, hari ini, dan esok pagi.
Tentu kita tidak lupa upacara bcrkabung yang dilakukan Nabi dan kaum Muslimin saat pamannya Hamzah gugur di medan perang Uhud, seperti direkam oleh semua buku sejarah ternama, yaitu bahwa ketika Nabi saw lewat di dekat rumah salah seorang Anshar, beberapa hari setelah tragedi Uhud, ia mendengar isak tangis dan ratapan. Nabi lalu menangis dan bersedih: "Tapi kasihan Hamzah, tidak ada penangis-penangis untuknya". Saad Ibn Muaz mendengar itu dan segera bergegas ke pemukiman Bani Abdul-asyhal. Ia perintahkan kaum perempuan pergi ke rumah Hamzah dan mengadakan upacara berkabung. (al-Kamil Ibn Atsir, II, h. 163 dan Sirah Ibn Hisyam, III, h. 104)
Tentu saja mendirikan upacara berkabung tidak hanya untuk Hamzah, tapi untuk semua syuhada, supaya generasi-generasi sesudahnya terus mengingat dan menghargai jasa-jasa mereka, sehingga senantiasa memacu semangat kaum Muslimin. Dan secara kebetulan, saat saya menulis baris-baris ini, bertepatan dengan hari Asyura, 10 Muharram 1417 H. Sungguh hari yang luar biasa. Dunia Syi'ah tenggelam dalam keharuan yang sangat dalam. Laki, perempuan, tua, muda, semua mengenakan pakaian hitam, larut dalam suasana berkabung atas peristiwa yang menimpa Imam Husain dan syuhada Karbala. SeDemikian besar pengaruhnya, sehingga jika mereka diininta untuk memerangi musuh-musuh Islam saat itu juga, pasti mereka segera bangkit menyerbu medan jihad dan memberikan apa saja yang dapat mereka berikan, seakan darah kesyahidan mengalir di sekujur tubuh mereka dan seakan tengah berada di medan Karbala bersama-sama Imam Husain, bergumul melawan musuh-musuh Islam dengan semangat tinggi.
Lirik-Lirik syair yang dilantunkan pada upacara agung ini penuh dengan nilai-nilai heroisme: menentang segala bentuk kolonialisme dan keangkuhan, pantang menyerah kepada kezaliman, dan lebih mengutamakan mati dalam kemuliaan daripada hidup penuh kehinaan.
Syi'ah meyakini bahwa ini merupakan modal besar yang harus terus dipelihara guna terus menghidupkan Islam, iman , dan taqwa.

73. Nikah Mut'ah
Syi'ah meyakini bahwa nikah ada dua macam, (1) daim, permanen, dan (2) muwaqqat, temporer. Nikah daim dilakukan untuk waktu yang tak terbatas, sementara nikah muwaqqat atau yang dalam istilah fiqh lebih dikenal dengan sebutan nikah mut'ah masa berlakunya ditetapkan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
Nikah mut’ah halal hukumnya dan memiliki banyak kesamaan dengan nikah daim. Antara lain: (1) perlunya mahar, (2) tidak adanya penghalang pada pihak perempuan, (3) ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan masalah anak, di mana anak-anak yang lahir buah nikah mut'ah sama posisinya dengan anak-anak yang lahir hasil nikah daim, sedikitpun tidak berbeda, dan (4) kewajiban iddah sesudah perpisahan. Semua ketentuan di atas diyakini Syi'ah dengan sepenuhnya. Dengan kata lam, nikah mut'ah adalah nikah dalam arti sebenarnya.
Akan tetapi tentu saja ada perbedaan-perbedaannya dengan nikah daim, yaitu antara lain: (1) suami tidak wajib memberi nafkah lahir kepada isteri dan (2) kedua-duanya, suaini-isteri, tidak saling mewarisi. Adapun anak-anak, mereka mewarisi kedua orang tuanya, Demikian pula sebaliknya.
Apa pun persoalannya, kehalalan nikah mut'ah ini dipahami Syi'ah dari al-Quran yang berkata:
Perempuan-perempuan yang kamu nikmati, (menikahinya secara mut'ah) berikanlah maharnya kepada mereka, sebagai suatu kewajiban atasmu.(QS. 4:24)
Mengomentari ayat ini, banyak ahli hadis terkemuka dan mufassir temarna menegaskan bahwa ayat tersebut memang menerangkan kehalalan nikah mut’ah. Antara lain dapat dilihat pada kitab Tafsir Thabari yang banyak mengutip riwayat-riwayat Nabi saw yang menegaskan kehalalan nikah mut’ah ini. Demikian pula kesaksian sejumlah besar sahabat Nabi saw. Hal yang sama juga dapat dilihat pada kitab Tafsir al-Durr al-Mantsur dan Sunan Baihaqi, di mana keduanya banyak mengutip riwayat-riwayat tentang kehalalan nikah mut’ah. Bahkan dalam kitab Shahih Bukhari, Musnad Ahmad, Shahih Muslim, dan kitab-kitab hadis lainnya, banyak diriwayatkan hadis-hadis tentang berjalannya nikah mut’ah pada masa Rasulullah saw, meskipun harus diakui terdapat pula riwayat-riwayat yang berseberangan.
Sejumlah fuqaha Sunni percaya bahwa nikah mut’ah memang halal di zaman Rasulullah saw, tapi kehalalannya sudah dibatalkan atau mansukh. Sebagian lainnya percaya bahwa hingga akhir hayat Rasulullah saw, hukum nikah mut’ah tidak pernah dimansukh, tetap halal. Tetapi kemudian haram karena Khalifah Umar telah membatalkannya. Populer pemyataan Umar:
Dua mut’ah yang dulu halal di zaman Rasulullah, aku haramkan dan akan kuhukum pelakunya, yaitu mut’ah perempuan dan mutab haji.[3]
Dengan demikian ada tiga pendapat di kalangan Sunni mengenai kehalalan nikah mut’ah ini. Pertama, menganggap nikah mut’ah telah dibatalkan kehalalannya sejak zaman Rasulullah saw. Kedua, pembatalannya terjadi pada masa kekhalifahan Umar Ibn al-Khattab. Dan ketiga, menolaknya sama sekali; tapi pendapat ketiga ini praktis sedikit sekali.
Perbedaan pandangan seperti ini, sangat lumrah dalam ilmu fiqh. Akan tetapi fuqaha Syi'ah sepakat bahwa nikah mutali halal hukurnnya dan tidak pernah dibatalkan kehalalannya, baik di zaman Rasulullah, apalagi sesudah wafatnya. Bahkan tidak boleh membatalkan suatu hukum yang telah ditetapkan kehalalannya oleh Rasulullah saw.
Syi'ah meyakini bahwa jika kehalalan nikah mut'ah tidak disalahgunakan ia akan memberikan solusi yang sangat baik bagi berbagai problerna sosial, khususnya orang-orang muda yang karena sesuatu dan lain hal belum dapat membina rumah tangga permanen dan para musafir yang terpaksa berpisah dengan keluarganya untuk waktu yang lama karena pekerjaan-pekerjaan mereka. Mengharamkan nikah mut’ah buat kelompok-kelompok ini akan mendorong mereka melakukan perbuatan-perbuahin maksiat; lebih-lebih di era kita saat ini, dimana usia perkawinan semakin meningkat dan pengumbar-pengumbar syahwat semakin meraja-lela. Karena itu, jika jalan ini ditutup maka pasti akan semakin membuka jalan maksiat.
Tapi kehalalan hukum nikah mut'ah ini tidak boleh disalahgunakan. Tidak boleh dijadikan alat untuk mengumbar hawa nafsu atau menyeret perempuan ke lembah kemaksiatan dan kenistaan. Syiah sangat menentang hal ini dan menentang keras segala praktik macam ini. Tapi penyalahgunaan oleh beberapa budak nafsu tidak dapat dijadikan alasan untuk menghapus hukum ini dari akarnya. Itu tidak mungkin. Karena itu, yang perlu kita lakukan adalah bagaimana mencegah penyalagunaan kehalalan hukum nikah ini, bukan menghapusnya.

74. Latar Belakang Syi'ah
Syi'ah meyakini bahwa tasyayyu atau syiahisme sudah dimulai sejak zaman Rasulullah saw dan melalui ungkapan-ungkapan beliau sendiri. Banyak bukti akurat tentang hal itu. Antara lain, riwayat-riwayat yang banyak, yang menyebutkan bahwa maksud orang-orang beriman dan beramal salih dalam ayat:
Sesungsuhnya orang-orang beriman dan beramal saleh adalah sebaik-baiknya mahkluk. (QS. 98:7)
Para mufassir menyebutkan bahwa yang dimaksud orang yang beriman dan beramal saleh dalam ayat ini adalah ‘Ali dan para pengikutnya, ''Ali wa syiatuhu.
Mufassir terkenal al-Suyuthi dalam kitabnya al-Dur ul-Mantsur meriwayatkan sebuah hadits yang dikutipnya dari Ibn Asakir yang meriwayatkan dari Sahabat Jabir Ibn 'Abdillah bahwa:
Suatu hari kami bersama-sama Rasulullah saw. Tiba-tiba 'Ali datang. Rasulullah menunjuk 'Ali dan berkata: "Demi yang diriku berada di tangan-Nya! Sesungguhnya ini ('Ali, pen) dan para pengikutnya, sungguh merupakan orang-orang yang beruntung di hari kiamat". (al-Dur al-Mantsur, VI/379)
Lalu turunlah ayat:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk (QS. 98:7)
Maka sejak itu, jika ‘Ali datang, para Sahabat menyambutnya dengan mengucapkan, “Makhluk paling baik datang”.
Makna yang sama, dengan sedikit perbedaan, juga diriwayatkan oleh Ibn Abbas, Abu Barzah, Ibn Mardawaih, dan Atiyyah al-'Ufi.
Dengan Demikian kita lihat bahwa pemberian nama Syi'ah pada orang-orang yang memiliki hubungan khusus dengan ‘Ali telah terjadi pada masa Rasulullah saw, bahkan Nabi sendiri yang memberikan nama itu kepada mereka; bukan pada zaman khulafa, Safawi, atau lain sebagainya.
Syi'ah sangat menaruh hormat kepada mazhab-mazhab lain, ikut shalat berjamaah bersama-sama mereka dalam satu shaf, mengerjakan ibadah haji pada waktu dan tempat yang sama, serta bahu membahu mewujudkan cita-cita mulia Islam. Tapi pada waktu yang sama, Syi'ah meyakini bahwa mengikuti ‘Ali as memiliki keunggulan-keunggulan dan mendapatkan perhatian khusus dari Rasulullah saw. Karena itu kaum Syi'ah memilih menjadi penganutnya.
Namun Demikian, sekelompok penentang Syi'ah terus memaksakan pendapatnya seakan Syi'ah memiliki hubungan dengan 'Abdullah Ibn Saba, seorang Yahudi yang kemudian masuk Islam, dan mengikuti ajaran-ajarannya. Sungguh pandangan yang aneh. Sebab Syi'ah sama sekali tidak pernah berhubungan dengan orang ini. Bahkan di kitab-kitab rijal mereka disebutkan bahwa orang bemama 'Abdullah Ibn Saba adalah sesat dan menyimpang. Malah ada beberapa riwayat Syi'ah yang menyatakan bahwa Imam ‘Ali telah memerintahkan hukuman mati terhadap 'Abdullah Ibn Saba karena ia telah murtad dan keluar dari agama Islam.
Terlepas dari semua itu, sebetulnya tokoh dengan nama 'Abdullah Ibn Saba ini diragukan keberadaannya. Sebagian ahli percaya bahwa tokoh ini fiktif dan tidak pernah ada dalam sejarah, apalagi sebagai pendiri Syi'ah. Tapi anggaplah bahwa 'Abdullah Ibn Saba ini memang ada, namun menurut Syi'ah ia adalah seorang yang sesat dan menyimpang.

75. Peta Mazhab Syi'ah
Penting untuk disinggung di sini bahwa pusat Syi'ah tidak selalu di Iran. Di abad-abad pertama Islam, justeru Syi'ah sangat kuat di negeri-negeri seperti Kufah, Yaman, dan Madinah. Bahkan di Syam sendiri, yang nota bene merupakan basis utama Bani Umayyah yang senantiasa menjelek-jelekkan Syi'ah terdapat beberapa pusat Syi'ah, meskipun tidak seluas di Irak. Di Mesir selalu ada komunitas Syi'ah, dan bahkan Mesir pernah diperintah oleh penguasa-penguasa Syi'ah, yaitu pada masa kekhalifahan Fatimiyah.
Dewasa ini Syi'ah tersebar di seantero dunia, termasuk Saudi Arabia, khususnya di wilayah timur.















Tidak ada komentar:

Posting Komentar