Kamis, 27 Desember 2012

Kebenaran Yang Hilang (10)


Diskusi Tentang Tauhid Rububiyyah

Untuk menjelaskan kesalahan yang dilakukan secara sengaja oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, dan juga menjelaskan kekeliruan yang menimpa banyak para pengikutnya, yang atas dasar itu kemudian mereka mengkafirkan mayoritas kaum Muslimin hingga jaman kita sekarang ini, mau tidak mau kita harus meletakkan pemikiran-pemikirannya di atas meja pembahasan dan pengkajian.

Kita mulai dengan pembahasan tauhid rububiyyah. Menjelaskan kata ar-rabb dengan arti pencipta, sangat jauh dari apa yang dimaksud oleh Al-Qur'an. Arti kata ar-rabb di dalam bahasa dan di dalam Al-Qur'an al-Karim tidak keluar dari arti "orang yang memiliki urusan pengelolaan dan pengaturan". Makna umum ini sejalan dengan ber-bagai macam ekstensi (mishdaq)-nya, seperti pendidikan, perbaikan, kekuasaan, dan kepemilikan. Akan tetapi, kita tidak bisa menerapkan kata ar-rabb kepada arti penciptaan, sebagaimana yang dikatakan oleh kelompok Wahabi. Untuk membuktikan secara jelas kesalahan ini, marilah kita merenungkan ayat-ayat berikut ini, supaya kita dapat menyingkap arti kata ar-rabb yang terdapat di dalam Al-Qur'an,

Allah SWT berfirman, "Wahai manusia, sembahlah Rabb-mu yang telah menciptakanmu." (QS. al-Baqarah: 21)

Allah SWT juga berfirman, "Sebenarnya Rabb kamu ialah Rabb langit dan bumi yang telah menciptakannya. " (QS. al-Anbiya: 56)

Jika kata ar-rabb berarti pencipta maka di sana tidak diperlukan penyebutan kata "yang telah menciptakanmu" atau kata "yang telah menciptakannya". Karena jika tidak, maka berarti terjadi pengulangan kata yang tidak perlu. Jika kita meletakkan kata al-khaliq (pencipta) sebagai ganti kata ar-rabb pada kedua ayat di atas, maka tidak lagi diperlukan penyebutan kata "yang telah menciptakanmu" dan kata "yang telah menciptakannya". Sebaliknya, jika kita mengatakan bahwa arti kata ar-rabb adalah pengatur atau pengelola, maka di sana tetap diperlukan penyebutan kata "yang telah menciptakanmu" dan kata "yang telah menciptakannya". Sehingga dengan demikian, makna ayat yang pertama ialah "sesungguhnya Zat yang telah menciptakan-mu adalah pengatur urusanmu", sementara pada ayat yang kedua ialah "sesungguhnya pencipta langit dan bumi adalah penguasa dan pengatur keduanya." Adapun bukti-bukti yang menunjukkan kepada makna ini banyak sekali, namun kita tidak mempunyai cukup waktu untuk menjelaskannya secara rinci.

Oleh karena itu, perkataannya yang berbunyi "Adapun tentang tauhid rububiyyah, baik Muslim maupin kafir mengakuinya" adalah perkataan yang tanpa dasar, dan jelas-jelas ditentang oleh nas-nas Al-Qur'an. Allah SWT berfirman, "Apakah aku akan mencari Rabb selain Allah, padahal Dia adalah Rabb bagi segala sesuatu." (QS. al-An'am: 164)

Ini merupakan perkataan Allah kepada Rasul-Nya, supaya dia menyampaikannya kepada kaumnya. Yaitu artinya, "Apakah engkau memerintahkan aku untuk mengambil Rabb (Tuhan) yang aku akui pengelolaan dan pengaturannya selain Allah, yang tidak ada pengatur selain-Nya; sebagaimana engkau mengambil berhala-berhalamu dan mengakui pengelolaan dan pengaturannya.

Jika orang-orang kafir mengakui bahwa pengelolaan dan pengaturan hanya semata-mata milik Allah, sebagaimana dikatakan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, maka ayat ini tidak mempunyai arti sama sekali, sehingga hanya menjadi sesuatu yang sia-sia, na'udzu billah. Karena setiap manusia —berdasakan sangkaan Muhammad bin Abdul Wahhab— baik Muslim maupun kafir, semuanya mentauhidkan Allah di dalam rububiyyah-Nya, maka tentu mereka tidak memerintahkan untuk mengambil Rabb selain Allah. Juga terdapat ayat yang seperti ini yang berkenaan dengan seorang yang beriman dari kalangan keluarga Fir'aun. Allah SWT berfirman, "Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia mengatakan, 'Rabbku ialah Allah', padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. " (QS. al-Mukmin: 28)

Demikian juga, berpuluh-puluh ayat lainnya menguatkan bahwa kata ar-rabb bukanlah berarti pencipta, melainkan pengatur, yang di tangannya terletak pengaturan segala sesuatu. Kata ar-rabb dengan arti ini (yaitu pencipta), sebagaimana ditekankan oleh ayat-ayat Al-Qur'an, tidak menjadi kesepakatan di antara anggota manusia. Dan tidaklah Muhammad bin Abdul Wahhab itu melainkan murid dan pengikut Ibnu Taimiyyah. Dia telah menukil pemikiran ini dari Ibnu Taimiyyah dengan tanpa melalui proses pangkajian, sehingga bahaya yang ditimbulkannya atas kaum Muslimin jauh lebih besar. Ibnu Taimiyyah tidak mengeluarkan pemikiran ini dari kerangka ilmiah. Berbeda dengan Muhammad bin Abdul Wahhab, yang ditunjang oleh keadaan sehingga bisa melaksanakan pemikiran ini pada tataran praktis dan menerapkannya pada kaum Muslimin. Maka hasil dari semua ini ialah, mereka mengkafirkan kelompok lain selain Wahabi. Supaya lebih jelas, kita akan mengkaji pandangannya mengenai seputar tauhid uluhiyyah.

Diskusi Tentang Tauhid Uluhiyyah.

Yang dimaksud dengan tauhid uluhiyyah oleh kalangan Wahabi ialah bahwa ibadah semata-mata hanya untuk Allah SWT, dan seseorang tidak boleh menyekutukan-Nya dengan yang lainnya di dalam beribadah kepada-Nya. Inilah tauhid yang menjadi tujuan diutusnya para nabi dan para rasul.

Tidak ada keraguan sedikit pun tentang pemahaman ini. Namun, di sana terdapat kekaburan mengenai istilah. Karena, di dalam Al-Qur'an, Allah SWT bukanlah berarti al-ma'bud (yang disembah). Kita dapat menamakan tauhid ini dengan tauhid ibadah. Namun demikian tidak ada masalah dengan istilah jika kita telah sepakat mengenai pemahaman.

Kaum Muslimin sepakat akan wajibnya menjauhkan diri dari ber-ibadah kepada selain Allah SWT, dan hanya semata-mata beribadah kepada-Nya. Namun yang menjadi perselisihan ialah mengenai batasan pengertian ibadah. Dan, ini merupakan sesuatu yang paling penting di dalam bab ini. Karena, inilah yang menjadi tempat tergelincirnya kaki kalangan Wahabi. Jika kita mengatakan bahwa tauhid yang murni ialah kita mempersembahkan ibadah semata-mata kepada Allah SWT, maka yang demikian tidak akan ada artinya jika kita tidak mendefenisikan terlebih dahulu pengertian ibadah, sehingga kita mengetahui batasan-batasannya, yang tentunya akan menjadi tolak ukur yang tetap bagi kita untuk membedakan seorang muwahhid dari seorang musyrik. Sebagai contoh, orang yang bertawassul kepada para wali, menziarahi kuburan mereka, dan mengagungkan mereka, apakah termasuk seorang musyrik atau seorang muwahhid? Sebelum kita menjawab, kita harus terlebih dahulu mempunyai ukuran yang dengannya kita dapat menyingkap ekstensi-ekstensi ibadah pada kenyataan di luar.

 

Diskusi Wahabi Tentang Pengertian Ibadah

Kalangan Wahabi menganggap, bahwa seluruh ketundukan, pe-rendahan diri dan penghormatan adalah ibadah.

Maka, setiap orang yang tunduk atau merendahkan diri kepada sesuatu, dia dianggap sebagai hamba sesuatu tersebut. Barangsiapa yang tunduk dan merendahkan diri kepada salah seorang nabi Allah atau kepada salah seorang wali Allah, dengan bentuk ketundukan yang bagaimana pun, maka dia telah menyembahnya, dan dengan begitu berarti dia telah menyekutukan Allah. Seorang yang menempuh perjalanan yang jauh dengan tujuan untuk menziarahi Rasulullah saw, sehingga dapat mencium dan menyentuh makamnya yang suci, dengan tujuan bertabarruk, maka dia terhitung sebagai orang kafir dan orang musyrik. Demikian juga halnya dengan orang yang mendirikan bangunan di atas kuburan, untuk menghormati dan mengagungkan orang yang dikubur di dalamnya

Muhammad bin Abdul Wahhab berkata pada salah satu risalahnya, "... Barangsiapa yang menginginkan sesuatu dari kuburan, pohon, bintang, para malaikat atau para rasul, dengan tujuan untuk memperoleh manfaat atau menghilangkan bahaya, maka dia telah menjadikannya sebagai Tuhan selain Allah. Berarti dia telah berdusta dengan ucapannya yang berbunyi 'tidak ada Tuhan selain Allah'. Dia harus diminta bertaubat. Jika dia bertaubat, dia dibebaskan; namun jika tidak, maka dia harus dibunuh. Jika orang musyrik ini berkata, 'Saya tidak bermaksud darinya kecuali hanya untuk bertabarruk, dan saya tahu bahwa Allahlah yang memberikan manfaat dan mendatangkan madharat.' Katakanlah kepadanya, 'Sesungguhnya Bani Israil pun tidak menghendaki kecuali apa yang kamu kehendaki. Sebagaimana yang telah Allah SWT beritakan tentang mereka. Yaitu manakala mereka telah berhasil menyeberangi laut, mereka mendatangi sebuah kaum yang tengah menyembah berhala mereka. Kemudian Bani Israil berkata, 'Hai Musa, buatkanlah untuk kami seorang Tuhan sebagai-mana Tuhan-Tuhan yang mereka miliki', lantas Musa berkata, 'Sesungguhnya kamu adalah kaum yang bodoh."'[392]

Muhammad bin Abdul Wahhab juga berkata di dalam risalahnya yang lain, "Barangsiapa yang bertabarruk kepada batu atau kayu, atau menyentuh kuburan atau kubah, dengan tujuan untuk bertabarruk kepada mereka, maka berarti dia telah menjadikan mereka sebagai Tuhan-Tuhan yang lain."[393]

Selanjutnya, cobalah perhatikan seorang Wahabi yang bernama Muhammad Sulthan al-Ma'shumi, bagaimana dia menggambarkan orang-orang Muslim yang mengesakan Allah, yang menziarahi kuburan Rasulullah saw, bertabarruk kepadanya, dan mengatakan "Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya" sebagai berikut, "Pada kunjungan saya yang keempat ke kota Madinah, saya menyaksikan di Mesjid Nabawi di sisi kuburan Rasulullah saw yang mulia, banyak sekali terdapat hal-hal yang bertentangan dengan iman, hal-hal yang menghancurkan Islam dan hal-hal yang membatalkan ibadah, yaitu berupa kemusyrikan-kemusyrikan yang muncul disebabkan sikap berlebihan, kebodohan, taklid buta dan ta'assub yang batil. Sebagian besar yang melakukan kemunkaran-kemunkaran ini adalah orang-orang asing yang berasal dari berbagai penjuru dunia, yang mereka tidak memiliki pengetahuan tentang hakikat agama. Mereka telah menjadikan kuburan Rasulullah saw sebagai berhala, disebabkan cinta yang berlebihan, sementara mereka tidak merasa."[394]

Supaya kebodohan yang telah dilakukan oleh kelompok Wahabi menjadi jelas bagi kita, mau tidak mau kita harus mematahkan dan membatalkan kaidah yang mereka jadikan sebagai ukuran di dalam menentukan dan menetapkan ibadah, yaitu ketundukkan, perendahan diri dan penghormatan.

Baik menurut syariat maupun akal, kita tidak dapat meletakkan secara keseluruhan kata khudhu' (ketundukkan) dan tadzallul (perendahan diri) sebagai ibadah. Kita melihat banyak sekali perbuatan yang dilakukan oleh manusia di dalam kehidupan sehari-harinya ynag disertai dengan ketundukkan dan perendahan diri. Sebagai contoh —misalnya— ketundukkan seorang murid kepada gurunya dan begitu juga ketundukkan seorang prajurit di hadapan komandannya. Tidak mungkin ada seorang manusia yang berani mengatakan perbuatan yang mereka lakukan itu ibadah. Allah SWT telah memerintahkan kita untuk menampakkan ketundukkan dan perendahan diri kepada kedua orang tua. Allah SWT berfirman, "Dan turunkanlah sayapmu (rendahkanlah dirimu) di hadapan mereka berdua dengan penuh kasih sayang." Kata "penurunan sayap" di sini adalah merupakan kiasan dari ketundukkan yang sangat. Kita tidak mungkin menyebut perbuatan ini sebagai ibadah. Bahkan, slogan seorang Muslim ialah "tunduk dan merendahkan diri di hadapan seorang Mukmin, serta congkak dan meninggikan diri di hadapan orang kafir". Allah SWT berfirman, "Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang Mukmin, dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir. "

Jika perendahan diri dikatakan sebagai ibadah, berarti Allah telah memerintahkan orang-orang Mukmin untuk beribadah kepada satu sama lainnya. Jelas, ini sesuatu yang mustahil.

Banyak sekali terdapat ayat yang dengan jelas berbicara tentang hal ini, dan menafikan sama sekali klaim yang dikatakan oleh orang-orang Wahabi. Di antaranya ialah, ayat yang menceritakan sujudnya para malaikat kepada Adam. Sujud adalah merupakan peringkat tertinggi dari khudhu' (ketundukkan) dan tadzallul (perendahan diri).

Allah SWT berfirman, "Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para malaikat, 'Sujudlahkamu kepada Adam.'" (QS. al-Baqarah: 34)

Jika sujud kepada selain Allah SWT dan penampakkan puncak ketundukkan dan perendahan diri itu disebut ibadah, sebagaimana yang dikatakan oleh kalangan Wahabi, maka tentu para malaikat — na'udzu billah— telah musyrik dan telah kafir. Tidakkah mereka mentadabburi Al-Qur'an? Atau, apakah pada hati mereka terdapat kunci yang menutup?

Dari ayat ini kita dapat mengetahui bahwa puncak dari ketundukkan bukanlah ibadah. Di samping itu, tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa kata "sujud" di dalam ayat ini bukanlah berarti makna hakiki, atau yang dimaksud dengan sujud kepada Adam ialah menjadikannya sebagai kiblat —sebagaimana kaum Muslimin menjadikan Ka'bah sebagai kiblat mereka. Kedua kemungkinan ini adalah kemungkinan yang batil. Karena, pengertian sujud yang tampak dari ayat ini ialah bentuk sujud sebagaimana yang sudah banyak diketahui, serta tidak bisa dipalingkan kepada makna yang lain. Adapun mengartikannya dengan mengatakan menjadikan Adam sebagai kiblat adalah merupakan sebuah takwil yang tanpa dasar. Karena, sekiranya arti sujud kepada Adam adalah berarti menjadikan Adam sebagai kiblat, maka tidak ada alasan bagi Iblis untuk mengajukan protes. Disebabkan sujud tidak ditujukan kepada Adam dalam arti yang sesungguhnya. Al-Qur'an al-Karim telah mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan kemungkinan di atas. Yaitu melalui perkataan Iblis yang berbunyi, "Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?" (QS. al-Isra: 61)

Yang Iblis pahami dari perintah Allah SWT ialah sujud kepada diri Adam itu sendiri. Oleh karena itu, dia protes dengan mengatakan, "Saya lebih baik darinya." Dengan kata lain dia mengatakan, "Saya lebih utama darinya. Bagaimana mungkin seorang yang lebih utama harus sujud kepada orang yang tidak lebih utama." Jika yang dimaksud dengan sujud di sini ialah menjadikan Adam sebagai kiblat, maka tidaklah harus berarti bahwa kiblat lebih utama dari orang yang sujud. Dengan begitu, berarti Adam tidak mempunyai keutamaan atas mereka. Ini jelas bertentangan dengan zahir ayat. Perkataan Iblis menguatkan pengertian ini. Iblis berkata, "Iblis berkata, 'Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?' Iblis berkata, 'Terangkanlah kepadaku inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku? Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai hari kiamat, niscaya benar-benar akan aku sesatkan keturunannya, kecuali sebagian kecil'" (QS. al-Isra: 61 - 62)

Keengganan Iblis untuk sujud kepada Adam adalah dikarenakan pada sujud tersebut terdapat kedudukan dan keutamaan yang besar bagi Adam. Pada suatu hari seorang Wahabi —yaitu pemimpin jamaah Ansharus Sunnah di kota Barbar, kawasan utara Sudan— pernah memprotes saya berkenaan dengan pembahasan ini. Dia mengatakan, "Sesungguhnya sujudnya malaikat kepada Adam adalah dikarenakan perintah Allah SWT." Dia menyangka dengan perkataannya itu dapat membungkam saya dan menghancurkan argumentasi saya. Saya katakan kepadanya, "Jika demikian, berarti Anda tetap bersikeras bahwa perbuatan ini —yaitu sujud— termasuk kategori syirik, namun Allah SWTmemerintahkannya."

Dia menjawab, "Ya."

Saya bertanya kepadanya, "Apakah perintah Ilahi ini telah menge-luarkan sujudnya malaikat kepada Adam dari katagori syirik?"

Dia menjawab, "Ya."

Saya berkata, "Ini perkataan yang tidak berdasar, yang tidak akan diterima oleh orang yang bodoh sekali pun, apalagi oleh orang yang berilmu. Karena, perintah Ilahi tidak dapat mengubah esensi sesuatu. Sebagai contoh, esensi dari celaan dan caci maki ialah penghinaan. Jika Allah SWT memerintahkan kita untuk mencaci Fir'aun, lantas apakah perintah Ilahi ini dapat mengubah esensi celaan, sehingga dengan demikian celaan kita menjadi pujian dan penghormatan bagi Fir'aun?

Demikian juga, seandainya Allah SWT melarang kita untuk menjamu seorang tamu tertentu, maka pelarangan ini tidak merubah esensi penjamuan, yaitu berupa penghormatan dan pemuliaan, sehingga —misalnya— penjamuan itu menjadi penghinaan bagi tamu, dan demikian juga sujud yang dikarenakan perintah Allah berubah menjadi tauhid yang murni. Tidak, yang demikian ini mustahil. Dengan perkataan ini berarti Anda telah menuduh para malaikat telah berbuat syirik."

Mulailah tampak keheranan di wajahnya. Dia diam dan tidak bicara.

Saya memutus diamnya dengan mengatakan, "Di hadapan Anda ada dua kemungkinan. Yaitu apakah sujud ini keluar dari katagori ibadah, dan ini adalah apa yang kami katakan. Atau, apakah sujud ini merupakan salah satu bentuk ibadah yang paling jelas, sehingga dengan demikian berarti malaikat yang sujud telah berbuat syirik, namun perbuatan syirik yang telah diizinkan dan diperintahkan oleh Allah SWT. Perkataan kedua ini adalah perkataan yang tidak mungkin dikatakan oleh seorang Muslirayang berakal, dan jelas-jelas tertolak berdasarkan firman Allah SWT yang berbunyi, "Katakanlah, 'Sesungguhnya Allah tidak menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji.' Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?'" (QS. al-A'raf: 28)

Sekiranya sujud itu ibadah dan perbuatan syirik, tentu Allah SWT tidak akan menyuruhnya.

Al-Qur'an al-Karim juga telah memberitahukan kita akan sujudnya saudara-saudara Yusuf dan juga ayahnya kepada dirinya. Sujud yang mereka lakukan ini bukan dikarenakan perintah Allah, namun demikian Allah SWT tidak menyebutnya sebagai perbuatan syirik, dan tidak menuduh saudara-saudara Yusuf dan juga ayahnya telah melakukan perbuatan syirik. Allah SWT berfirman, "Dan dia menaikan kedua ibu bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf. Dan Yusuf berkata, 'Wahai ayahku, inilah tabir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan.'" (QS. Yusuf: 100)

Mimpi yang dikatakan Yusuf itu terdapat di dalam surat Yusuf, ayat 4, "Ingatlah ketika Yusufberkata kepada ayahnya, 'Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas buah bintang, matahari dan bulan; aku lihat semuanya sujud kepadaku.''

Allah SWT telah menyebut peristiwa sujudnya mereka kepada Yusuf pada dua tempat. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa semata-mata sujud, yaitu perbuatan yang menampakkan ketundukkan, perendahan diri dan pengagungan, bukanlah ibadah.

Atas dasar ini, kita tidak dapat menamakan seorang Muslim muwahhid yang tunduk dan merendahkan diri di hadapan makam Rasulullah, makam para imam dan makam para wali, sebagai orang musyrik yang menyembah kuburan. Karena, ketundukkan bukanlah berarti ibadah. Jika perbuatan yang semacam ini dikatagorikan sebagai perbuatan ibadah kepada kuburan, maka amal perbuatan kaum Muslimin pada ibadah haji, seperti tawaf mengelilingi Ka'bah, melakukan sa'i di antara shafa dan marwah, dan juga mencium batu hajar aswad, tentu juga termasuk ibadah. Karena dilihat dari bentuk zahir, perbuatan-perbuatan ini tidak berbeda dengan perbuatan mengelilingi kuburan Rasulullah saw, menciumi atau menyentuhnya. Di samping itu, kita mendapati Allah SWT berfirman, "Dan hendaklah mereka melakukan tawaf mengelilingi rumah yang tua itu (Baitullah)." (QS. al-Hajj: 29)

Allah SWT juga berfirman, "Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber'umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i di antara keduanya. " (QS. al-Baqarah: 158)

Apakah Anda memandang bahwa bertawaf mengelilingi batu dan tanah (Ka'bah) merupakan ibadah kepadanya?

Seandainya secara umum ketundukkan dikatakan sebagai ibadah, tentu perbuatan-perbuatan ini pun dikatagorikan sebagai ibadah, dan tidak bisa dirubah esensinya melalui perintah Allah. Karena sebagaimana telah kita jelaskan bahwa perintah Allah tidak dapat mengubah esensi suatu perbuatan. Namun yang menjadi masalah bagi kalangan Wahabi ialah mereka tidak mengetahui defmisi ibadah, dan tidak memahami jiwa dan hakikatnya, sehingga mereka hanya berurusan dengan bentuk lahir saja. ketika mereka melihat seorang peziarah kuburan Rasulullah saw menciumi makam Rasulullah saw, maka dengan serta merta terbayang di dalam benak mereka seorang musyrik yang menciumi berhalanya, lalu dengan segera mereka menyamakan perbuatan seorang Muslim muwahhid yang menciumi kuburan Rasulullah saw dengan perbuatan seorang musyrik yang menciumi berhalanya. Jelas ini sebuah kesalahan. Seandainya semata-mata bentuk luar cukup untuk dijadikan dasar penetapan hukum, maka tentunya mereka pun harus mengkafirkan seluruh orang yang mencium hajar aswad. Akan tetapi, kenyataannya tidaklah demikian. Seorang Muslim yang mencium hajar aswad, perbuatannya itu dihitung sebagai tauhid yang murni, sementara seorang kafir yang mencium berhala, perbuat-annya itu dihitung sebagai perbuatan syirik yang nyata.

Apa bedanya?!

Terdapat ukuran lain yang dengannya kita dapat mengetahui ibadah.

Defenisi Ibadah Berdasarkan Pemahaman Al-Qur'an

Ibadah ialah ketundukan kata-kata dan perbuatan, yang bersumber dari keyakinan adanya sifat uluhiyyah atau sifat rububiyyah pada diri sesuatu yang diibadahi, atau keyakinan bahwa sesuatu itu merdeka di dalam perbuatannya, atau memiliki kekuasaan atas salah satu segi dari kehidupannya secara merdeka dan terlepas dari kekuasaan Allah.

Maka seluruh perbuatan yang disertai dengan keyakinan ini terhitung sebagai perbuatan syirik kepada Allah. Oleh karena itu, kita menemukan orang-orang musyrik jahiliyyah meyakini bahwa sesembahan-sesembahan mereka memiliki sifat-sifat ketuhanan. Al-Qur'an al-Karim dengan gamblang telah menjelaskan hal ini. Allah SWT berfirman, "Dan mereka telah mengambil sembahan-sembahan selain Allah, agar sembahan-sembahan itu menjadi pelindung bagi mereka." (QS. Maryam: 81) Artinya, mereka meyakini sesembahan-sesembahan mereka memiliki sifat-sifat ketuhanan.

Allah SWT berfirman, "Yaitu orang-orang yang menganggap adanya Tuhan yang lain di samping Allah, maka mereka kelak akan mengetahui akibatnya." (QS. al-Hijr: 96)

Ayat-ayat ini membantah perkataan kalangan Wahabi. Ayat ini menjelaskan bahwa terperosoknya para penyembah berhala kedalam kemusyrikan ialah disebabkan mereka meyakini sesembahan-sesembahan mereka memiliki sifat-sifat ketuhanan. Allah SWT telah menjelaskan hal ini di dalam firman-Nya yang berbunyi, "Dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya Kami memelihara kamu dari (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olok kamu, (yaitu) orang-orang yang menganggap adanya Tuhan yang lain di samping Allah; maka kelak mereka akan mengetahui akibatnya." (QS. al-Hijr: 94 - 96)

Ayat-ayat ini menetapkan tolak ukur dasar di dalam masalah syirik. Yaitu keyakinan akan adanya sifat-sifat ketuhanan pada diri ma'bud (sesuatu yang disembah). Oleh karena itu, mereka menolak dan mengingkari akidah tauhid yang dibawa oleh Rasulullah saw. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka, 'Tiada Tuhan selain Allah', mereka menyombongkan diri." (QS. ash-Shaffat: 35)

Oleh karena itu, dakwah para nabi kepada mereka ditujukan untuk memerangi keyakinan mereka yang mengatakan adanya Tuhan selain Allah. Karena, tidaklah masuk akal ada ibadah yang tidak disertai dengan keyakinan adanya sifat ketuhanan pada diri ma'bud (sesuatu yang disembah). Dengan kata lain, meyakini terlebih dahulu, baru kemudian menyembah.

Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata, 'Wahai kaumku, sembahlah Allah. Sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.'" (QS. al-A'raf: 59)

Dengan demikian, Al-Qur'an al-Karim telah menjelaskan penyimpangan mereka dari Tuhan yang sesungguhnya.

Jadi, tolak ukur di dalam masalah syirik ialah ketundukan yang disertai dengan keyakinan akan adanya sifat-sifat ketuhanan. Terkadang, kemusyrikan itu sebagai hasil dari keyakinan adanya sifat rububiyyah pada diri ma'bud (sesuatu yang disembah). Artinya, seseorang meyakini bahwa sesembahannya memiliki kekuasaan atas urusannya, seperti urusan penciptaan, pemberian rezeki, hidup dan mati. Atau, dia memiliki syafa'at dan ampunan. Dengan demikian, orang yang tunduk kepada sesuatu dengan keyakinan sesuatu itu mempunyai sifat-sifat rububiyyah maka berarti dia telah beribadah kepadanya. Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Qur'an menyeru orang-orang kafir dan orang-orang musyrik untuk menyembah Tuhan yang Mahabenar. Allah SWT ber-firman,

"Padahal al-Masih berkata, 'Hai Bani Israil, sembahlah Allah Rabb-mu (Tuhanmu) dan Rabbku (Tuhankuku).'" (QS. al-Maidah: 72)

"Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Rabbmu (Tuhanmu), maka sembahlah Aku." ( QS. al-Anbiya: 92)

Di sana juga terdapat tolak ukur yang ketiga. Yaitu keyakinan bahwa sesuatu itu merdeka di dalam zat dan perbuatannya, dengan tanpa bersandar kepada Allah SWT. Sikap khudhu' yang disertai dengan keyakinan ini terhitung syirik. Jika Anda tunduk di hadapan seorang manusia, dengan keyakinan bahwa dia merdeka di dalam perbuatannya, baik perbuatannya perbuatan yang biasa, seperti berbicara dan bergerak, atau seperti mukjizat yang dilakukan oleh para nabi, maka ketundukan Anda ini masuk ke dalam kategori ibadah. Bahkan, jika seandainya seorang manusia meyakini bahwa tablet obat menyembuhkan penyakit kepala secara merdeka dan terlepas dari kekuasaan Allah SWT, maka keyakinannya ini terhitung syirik.

Dari sini, kita dapat mengetahui bahwa tolak ukur ibadah bukanlah semata-mata penampakkan ketundukan dan perendahan diri, melainkan ketundukan dan perendahan diri dengan ucapan maupun perbuatan kepada sesuatu yang diyakini bahwa dia itu ilah, rabb, atau pemilik salah satu dari urusannya secara merdeka dan terlepas dari kekuasaan Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar