Senin, 17 Desember 2012

"Hawa Nafsu" Musa Husein Al-Habsyi (3 & 4)


BAGIAN KETIGA

Telaah Kritis Bala Tentara Akal dan Kejahilan

Seusai memaparkan beberapa nash keislaman yang me muat riwayat-riwayat tentara akal dan kejahilan, patut bagi kita untuk berhenti sejenak menelaah dan merenungkan kan dungannya. Karena memang hal itu layak dan seharusnya diperhatikan. Berikut ini ada beberapa butir yang perlu dire nungkan.
1.        Pertama-tama, nash-nash ini berbicara dengan bahasa isyarah (simbolik) yang akrab digunakan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Bahasa ini, pada galibnya, ditemukan dalam nash- nash yang menjelaskan penciptaan manusia dan alam semesta. Dalam rangka memahaminya dengan baik, diperlukan dzaug (cita- rasa) terhadap ruh setiap kalimat yang ada dalam nash itu. Jangan sekali-kali kita terpaku pada arti harfiah kalimat-kali mat tersebut.
2.        Beralih pada nash itu sendiri. Pada nash yang pertama dan kedua kita menemukan bahwa akal dan kejahilan sama- sama melaksanakan perintah "berpaling". Namun, pada perin tah "menghadap", akal saja yang melakukannya sementara kejahilan membangkang. Sebagaimana yang saya fahami dari dua nash tersebut, kejahilan yang dimaksud adalah hawa nafsu. Pandangan itu dupat dibuktikan dengan dua qarînah (alasan semantis); pertama, posisinya yang dilawankan dengan akal; kedua, kata-perkata yang terdapat dalam daftar bala-tentara hawa nafsu. Menurut hemat saya - wallahu a’lam bis-shawâb - bahwa perintah berpaling itu bersifat takwînî (ihwal penciptaan/kos mik) seperti dalam firman Allah: "... dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya me ngatakan “Jadilah”. Lalu jadilah ia". Q.S. Al-Baqarah 117. Perintah takwînî ini berlaku buat akal, hawa nafsu bah kan seluruh jagad raya. Tak satupun yang tidak menunaikan dan menyamhut perintahn-Nya ini. Allah berfirman: "Sesung guhnya perkataan Kami terhadap seauatu apabila Kami meng hendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah”, ma ka jadilah ia." Q.S. Al-Nahl 40. Dan firman Allah SWT: "Maha suci Dia. Apabila Dia telah rnenetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: "Jadilah", maka jadilah ia." Q.S. Maryam 35. Syahwat, sebagaimana akal beserta bala-tentaranya, juga melaksanakan perintah takwînî itu. Akan tetapi, dengan mencermati konteks perintah pertama Ilahi yang vis-a-vis perintah menghadap, kita dapat menyimpulkan hahwa perintah kedua itu bersifat tasyrî'iy (ihwal Syariat). Disini kita dapat memahami mengapa akal menaatinya, sedang kejahilan (Baca: hawa nafsu) menentangnya.
3.        Adalah juga menarik untuk disimak dalam kedua nash tersebut bahwa akal diciptakan dari mâddah (bahan/materi) yang berbeda dengan nafsu dan syahwat. Dalam riwayat pertama disebutkan bahwa akal tergolong makhluk ruhâny yang telah diciptakan Allah dan diletakkan di sisi kanan Arsy. Sementara Allah menciptakan kejahilan atau hawa nafsu dari laut asin yang gelap-gulita. Pada kajian yang terbatas ini, saya tidak bisa memberikan batasan yang jelas tentang mâddah awwaliyyah (bahan-dasar) bagi akal dan hawa nafsu. Ilmu tentangnya hanya ada pada orang yang tnendapat anugrah khusus dari Allah dan mereka yang ahli ta'wil al-ahâdîts (penjelasan makna batin). Meskipun demikian, dari kedua nash itu, dapat dipahami dengan jelas bahwa bahan akal berasal dari kesadaran, pemahaman dan idrâk (pengetahuan kognitif); yang merupakan pancaran Nur Ilahi. Bahan hawa nafsu sama sekali tidak bersentuhan dengan kesadaran dan idrâk. Hawa-nafsu adalah tumpukan zhulmânî (kegelapan) tuntutan dan obsesi. Nur kesadaran dan idrâk tidak bisa menem-busnya. Di lain pihak, akal adalah tumpukan fakultas kesa-daran dan idrâk. Allah menjadikan keduanya sebagai dua poros sentral kepribadian manusia.
4.         Dalam kedua nash tersebut dinyatakan bahwa Allah mengagungkan akal karena ketaatannya dalam menunaikan perintah berpaling dan menghadap. Sementara, Allah mengutuk kejahilan karena menentang perintah-Nya. Adapun yang dimaksud kutukan (laknat) di sini ialah pengusiran dan kejauhan dari rahmat Allah SWT. Nash tersebut seakan-akan menegaskan bahwa kepribadian manusia memiliki dua aspek dasar; yang satu mendekatkannya kepada Allah dan lainnya menjauhkannya dari-Nya. Kedua aspek tersebut adalah akal dan hawa nafsu. Keduanya saling berusaha menyeret manusia ke dua arah yang diametral. Allah telah menjadikan keduanya demikian; akal mendorong manusia menuju Allah dan hawa nafsu mengajak manusia menentang-Nya.
5.        Disebutkan bahwa ketika Allah memberikan 75 karakter sebagai bala-bantuan bagi akal. Hawa nafsu (kejahilan) menuntut kepada Allah untukdiberi bala-bantuan dengan jumlah yang sama. Di kala itu, Allah menegaskan pada kejahilan; "Jika setelah itu kau bermaksiat padaku, sungguh Aku akan mengeluarkanmu bersama tentammu dari rahmat-Ku". Untuk sekedar mengingatkan kembali para pembaca, kedua nash tersebut berbicara dengan menggunakan bahasa simbolik. Ini berarti bahwa dialog antara Allah-akal atau Allah-kejahilan tidaklah bersifat hakiki. Kedua nash tersebut mengisyaratkan posisi dan nilai hawa nafsu menurut pandangan keislaman. Pada saat nash-nash itu menjelaskan tugas hawa nafsu menjauhkan manusia dari Allah dan tugas akal sebaliknya, ia juga menyiratkan bahwa bila hawa nafsu tidak menyeret manusia kepada kemaksiatan, maka ia tetap berada dalam lingkaran rahmat Allah SWT. Sebaliknya, ia akan diusir keluar dari lingkaran rahmat Allah SWT bila menyeret manusia kepada kemaksiatan. Kalau demikian halnya, Islam tidak selalu menganggap hawa nafsu sebagai azab dan siksa bagi manusia. Dengan kata lain, ia adalah rahmat selagi tidak memalingkan manusia dari ketaatan kepada Allah. Namun, apabila ia sudah mulai menyeret manusia kepada kemaksiatan, ia berubah menjadi azab dan siksa bagi kehidupan manusia. Jadi, berbeda dengan beberapa teori yang dinisbatkan kepada agama yang selalu mendiskreditkan hawa nafsu, naluri dan syahwat. Islam menetapkan sebuah prinsip yang sangat penting dalam menyikapi hawa nafsu dan bala-tentaranya di hamparan rahmat Allah. Islam tidak menganggap bahwa mengikuti ajakan hawa nafsu adalah suatu yang selalu akan membawa aib dan mesti dihindari. Mengikuti tuntutan hawa nafsu itu tidak bermasalah selagi ia tidak mengeluarkan manusia dari ketaatan kepada kemaksiatan. Bahkan Islam menegaskan bahwa memenuhi tuntutan syahwat yang terkontrol secara situasional dan kondisional adalah tangga menuju kesempurnaan hidup manusia.
6.        Kedua nash itu mensinyalir dua sisi akal. Pertama, sisi kesadaran dan idrâk. Kedua, sisi efektifitas dan kinerja. Semakin banyak bala-tentara yang datang membantu, semakin efektiflah kerja akal. Sebaliknya, semakin berkurang bala-tentara yang terwujud, semakin mengendur pulalah militansi akal dalam mengendalikan syahwat dan hawa nafsu. Mengutip redaksi di atas: "Tidak akan sempurna karakter-karakterlbala-tentara akal kecuali pada seorang nabi, washi atau Mukmin teruji. Adapun selain mereka selalu tidak sempurna”. Namun, bila secara bertahap akal menyempurnakan diri dengan melepas diri dari tentara kejahilan, maka, saat itu, ia berada setingkat dengan para nabi dan washi. Tak syak lagi, bahwa sempurnanya sisi eksekutif akal mencerminkan sempurnanya sisi pandangan, bashîrah dan kesadarannya. Dengan demikian, asimilasi ini berlangsung melalui tiga tahap: Pertarna, manusia menyempurnakan karakter dan tentara akal. Kedua, maka sempurnalah kemampuan akal dalam melaksanakan tugasnya melawan hawa nafsu. Ketiga, ini berarti sempurnanya bashîrah, kesadaran dan idrâk akal. Pada saat itulah, manusia akan berada setingkat dengan para Nabi dan washî sebagaimanayangtelah dijelaskan dalam nash tersebut. Nash tersebut berusaha membentuk suatu landasan-dasar dan kerangka-kerja yang baik bagi sistem pendidikan dan etika manusia menurut konsep keislaman. Sesungguhnya, akal adalah komposisi dari bashîrah dan kemampuan eksekutif. Lemahnya bashîrah muncul dari mengendurnya kemampuan eksekutifnya. Adapun lemahnya kemampuan eksekutifnya berasal dari berkurangnya bantuan dari tentara akal. Apabila manusia menyempurnakan jiwanya dengan karakter- karakter ini maka kepribadiannya pun akan menjadi sempurna dari sisi bashîrah dan pelaksanaannya atau sisi praktisnya sekaligus.
7.        Nash-nash di atas membagi perilaku manusia dalam dua kategori yang berbeda; takwa dan fujûr (kenistaan). Takwa didefinisikan sebagai mengikuti dan menjadikan akal sebagai hakim atas prilaku manusia. Sedangkan fujûr didefinisikan sebagai mengikuti dan menjadikan hawa nafsu beserta seluruh tentaranya sebagai hakim atas prilakunya. Gerak manusia menuju Allah selalu melewati dua aras; A. Melepas diri dari tentara kejahilan dan hegemoni hawa nafsu. B. Memasuki daerah kekuasaan tentara akal dan menjadikan akal sebagai hakim atas prilaku manusia.
8.        Terdapat 75 pasang bentuk prilaku manusia. Masing-masing darinya tersusun menjadi dua medan yang tarik-menarik dalam jiwa seorang. Salah-satunya bersifat 'aqlânî (rasional) dan yang lain bersifat syahwânî (berasal dari syahwat). Medan pertama berisi bala-tentara akal dan yang kedua berisi bala-tentara kejahilan.
9.        Analisa tentang kedua kelompok prilaku manusia itu, menunjukkan pada kita bahwa Allah SWT telah menjadikan kekuatan yang setara pada masing-masing pihak. Hal itu, supaya manusia tidak semata-mata - secara fatalistik - menjadi sandera hawa nafsu. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kesempurnaan pertumbuhan jiwa manusia dan tingkah-lakunya menuntut keberadaaan hawa nafsu. Maka dari itu, Allah mesti membuat akal resisten terhadap serbuan hawa nafsu sehingga tercipta kekuatan yang berimbang dalam jiwa manusia.
10.     Seratus lima puluh (150) tentara itu bersifat esensial pada jiwa manusia. Semua kelakuan manusia, baik maupun buruk, mempunyai akar yang dalam pada jiwa. Hal ini telah dijelaskan Al-Quran; "Maka diilhamkan padanya kejahatannya dan ketakwaannya." Dengan perkataan lain, keduannya muncul secara intrinsik dan tidak berasal dari faktor-faktor luar.
11.     Prajurit-prajurit akal dapat dikelompokkan dalam dua bagian: kelompok muhaffizat (faktor-faktor pendorong/insentif) dan dhawâbith (faktor-faktor pengekang/pengontrol). Faktor-faktor pendorong bertugas "membangkitkan" jiwa. Seperti keimanan, makrifat, rahmat dan kejujuran. Sedangkan faktor-faktor pengontrol bertugas melakukan tindak preventif dan represif (mengekang). Seperti 'iffah, mawas-diri, sabar, qanâ’ah dan malu. Gabungan dari keduanya akan bisa membangun, menjaga, dan sekaligusjuga menopang peran akal dalam meluruskan kepribadian manusia.
Berikut ini kita akan menguraikan pandangan global di atas: Akal manusia mempunyai dua macam aktifitas utama:
Pertama, menggerakkan manusia untuk merealisasikan tujuan-tujuan kesempurnaan dan kedewasaan manusiawi.
Kedua, mencegah manusia dari segala bentuk ketergelinciran ke dalam jurang yang membahayakan.
Untuk lebih jelasnya, saya sebutkan contoh-contoh berikut ini: Manusia mengalami penyempurnaan dengan bergerak menuju Allah SWT Akal bertugas mengintensifkan iman, dzikrullah, ibadah dan cinta kepada Allah. Gerak manusia dari ego menuju Allah ini merupakan gerak yang paling fundamental dalam kehidupan manusia. Begitu pula manusia akan menjadi sempurna dengan geraknya meleburkan diri bersama Mukminin dan para pemimpin mereka. Inilah yang diistilahkan Islam dengan al-walâ`. Walâ` adalah proses fusi individu ke dalam masyarakat Muslim melalui gotong-royong, solidaritas, silaturahmi dan saling mencintai sesama. Ini adalah gerakan pelumeran ego dan individu ke dalam masyarakat. Gerakan semacam ini juga sangat fundamental bagi manusia. Inilah contoh aktifitas akal.
Dalam perjalanannya itu, manusia selalu menghadapi risiko ketergelinciran. Boleh jadi manusia membanting setir tujuannya untuk bergerak dari ego menuju Allah, dari Allah menuju ego kembali. Karena, mungkin, menumpuknya maksiat, kesalahan dan ketundukannya kepada ajakan syahwat dan hawa-nasfu. Kadang manusia juga tersendat dalam upayanya meleburkan individualitasnya ke dalam umat. Bahkan, dia berbalik dari berintegrasi dengan umat kepada egoisme; temperamental, penuh prasangka, terlalu sensitif' dan posesii'. Jadi, akal memainkan perannya yang efektif dan menentukan dalam mengawasi dua dinamika perjalanan manusia:
  1. Dari ego menuju Allah dan dari individualitas menuju umat.
  2. Menolong manusia untuk tidak terseret ajakan hawa nafsu dan tergelincir bersamanya ke arah yang berlawanan; dari Allah menuju ke ego dan altruisme menuju egoisme. Hanya saja, akal, secara herdiri sendiri, tidak akan mampu menyelesaikan dua perjalanan raksasa ini. Oleh karena itu, akal meminta bantuan beberapa karakter yang bisa menopangnya dalam menempuh dualisme perjalanan ini. Karakter-karakter ini pun terbagi dalam dua kelompok: Pertama, karakter-karakter yang mendorong dinamika manusia dari egoisme menuju Allah dan gerak yang dibutuhkan manusia dari individualisme menuju Walâ` kepada Mukminin.
Sedang sekelompok karakter lain memberi bantuan manusia untuk mengendalikan dan menghaclapi tekanan huwa nafsu. Adalah kecenderungan fitri kepada Allah, cinta Ilahi, zikir, dan ibadahlah yang menyongsong gerak laju manusia menuju Allah. Begitu pula kecenderungan hidup bermasyarakat (homo socius), rasa cinta ada kasih-sayang terhadap sesama adalah motor utama bagi terwujudnya suatu masyarakat. Karakter-karakter ini merupakan bagian yang memotivasi dan "melicinkan jalan" bagi akal agar dapat membangun prilaku rasional manusia. Di sisi lain, terdapat sejumlah karakter yang digunakan untuk mengontrol prilaku rasional manusia. Rasa rnalu, sebagai contoh, bisa mengontrol brutalitas. Hilm (kebijakan intelektual) mencegah amarah yang berlebihan. ‘Iffah bisa mencambuk manusia untuk tidak bertingkah-laku seksual yang keluar dari syariat. Qanâ’ah dapat menyelamatkan manusia dari sikap rakus dan lain-lain. Karakter-karakter pengontrol ini kita sebut juga dengan nama 'isham (bentuk jamak dari 'ishmah [penjagaan]). Semua itu bertugas mencegah manusia dari kehancuran. Seandainya penjagaan-penjagaan itu tiada, niscaya akal sendirian tidak akan bisa menunaikan tugasnya dalam mengendalikan hawa nafsu. Dalam penjagaan ini berlaku juga prinsip kembang-kempis. Prinsip ini mengikuti pola hukum dan sebab-akibat tertentu yang akan lebih saya jelaskan sebentar lagi, Insya-Allah.
12.                 Karakter-karakter ini harus selalu di bahwa naungan akal dan agama. Bila tidak, mereka berubah menjadi anasir yang membahayakan dan faktor yang negatif. Seperti, belas-kasih; kelompok faktor pembangkit derajat manusia, ketika terlepas dari akal dan agama ia bisa berubah menjadi faktor yang sangat berbahaya. Sebagaimana bila belas-kasih ditujukan kepada kalangan orang-orang zalim yang jelas- jelas dilarang oleh akal dan agama. Allah SWT berfirman: "Janganlah kamu berbelas-kasih kepadanya (orang zalim)." Begitu pula infak. Bila ia telah menyeleweng dari akal dan agama akan berubah menjadi faktor destruktif. Allah berfirman: "... dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal". Q.S. Al-Isrâ` 28.
13.                 Bala-tentara kejahilan tidak akan kuasa memaksa irâdah manusia betapa pun kuatnya. la tidak akan mampu merampas kehendak bebas manusia. Keputusan akhir tetap ada di tangan manusia dan pada puncak kekuasaannya. Bala-tentara kejahilan hanya bisa menekan irâdah manusia. la juga bisa menggerakkan irâdah manusia tanpa dapat mencabutnya atau mencabut kemandiriannya dalam memutuskan perkara. Begitupun juga, tidak bisa dipungkiri bahwa irâdah manusia bisa terpengaruh oleh bala-tentara akal ataupun kejahilan.
14.                 Salah-satu barometer kembang-kempis atau pasang-surut bala-tentara akal adalah baik-tidaknya pendidikan akhlak. Karena, pendidikan akhlak dan takwa akan memicu bala-tentara akal, di samping melemahkan dan memperkecil gerak syahwat dan hawa nafsu dalam jiwa. Sebaliknya juga benar. Pemenuhan segala tuntutan syahwat dan hawa nafsu serta sikap apatis terhadap faktor ketakwaan dan pendidikan akhlak bisa lebih mengefektifkan dan mengefesienkan syahwat atau hawa nafsu dan memperlemah peran bala-tentara akal. Karena itu, dalam nash-nash keislaman terdapat perintah agar selalu waspada terhadap pemenuhan tuntutan hawa nafsu, biar halal sekalipun. Itu semua semata-mata demi menjaga supaya manusia tidak terseret hedonisme. Rasulullah SAWW telah menjelaskannya dalam sebuah hadis: "Barangsiapa memakan makanan rnenuruti nafsunya, Allah tidak akan melihatnya sampai ia selesai atau meninggalkannya".[1] Sesungguhnya, mengumbar selera makan artinya memakan apapun yang disukainya. Kalau ada orang yang mengumbar selera makannya pada yang halal, maka tidak jauh kemungkinan dia "terdesak" dan memakan yang haram. Ten-tunya, orang ini -sebagaimana dalam riwayat itu- tidak akan banyak dicurahi rahmat dan "Allah tidak akan melihatnya." Ada beberapa latihan untuk melunakkan dan mengempiskan syahwat dan hawa-nahsu. Ibrahim Al- Khawas berkata: "Obat hati ada lima perkara :
1.       Membaca Al-Quran.
2.       Mengosongkan perut.
3.       Bangun di malarn hari (untuk ibadah)
4.       Tadharru' (rnerendahkan diri kepada Allah) di tengah malam.
5.       Bergaul dengan orang-orang saleh."[2] Ada seorang saleh yang mengatakan: "Allah menciptakan hati sebagai ternpat berzikir. Kemudian ternpat itu berubah menjadi sarang syahwat. Dan syahwat yang bersarang dalam hati tidak akan keluar (lepas) kecuali dengan rasa-takut yang mencekam dan rindu yang mencemaskan kepada Allah."[3]
Tentang permasalahan di atas Imam Ali as berkata dalam khutbahnya yang populer ketika beliau menyifati muttaqin: "Ahli takwa adalah orang yang telah menghidupkan akalnya dan mematikan nafsunya sarnpai luluh keangkuhannya dan lembut kekerasannya. Baginya ternpat yang nyaman dan berkilauan."[4] Maksud dari keangkuhan yang diluluhkan dan kekerasan yang dilembutkan ialah hawa nafsu. Peran tarbiyyah (pendidikan) dan tazkiyyah (penyucian-diri) dalam Islam sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ali ialah melembutkan kekerasan dan meluluhkan keangkuhan perangai hawa nafsu dan bala- tentaranya yang menurut hitungan nash berjumlah 75 karakter. Untuk menghadapi hal tersebut telah dipersiapkan pula 75 bala bantuan bagi akal.
15.     Sempurnanya tentara akal ini bisa menyebabkan aktifnya kekuasaan total terhadap hawa nafsu, syahwat dan insting. Imam Ali as berkata: "Akal yang sempurna akan menaklukkan tabiat jelek manusia".[5] Pada saat yang sama, manusia menjadi kuat dan kokoh. Berbeda dengan anggapan mayoritas orang. Mereka memahami arti kekuatan dan keperkasaan hanya dikala syahwat mendominasi manusia. Sedangkan Islam memandang kekuatan dan keperkasaan adalah dalam pendominasian terhadap hawa nafsu, bukan sebaliknya. Rasullullah SAWW bersabda: "Yang disebut perkasa bukan orang yang rnengalahkan orang lain, narnun orang yang mampu mengalahkan hawa nafsunya."[6] Rasulullah SAWW bersabda pula: "Perkasa bukan dia yang kuat dalam bergulat, namun dia yang bisa menguasai nafsunya saat sedang rnarah."[7] Rasulullah SAWW bersabda juga: "Orang yang paling berani adalah yang (berani) menaklukkan hawa nafsunya."[8] Berbagai Buah Akal yang Sempurna Ketika akal menyempurnakan kekuasaan dan menancapkan cengkramannya atas hawa nafsu; menyerpurnakan peran dan misinya membimbing manusia, ketika itu akal akan menjadi sumber berkah, taufik dan landasan perubahan kehidupan manusia. Berikut ini saya paparkan sebagian hasil dan buah akal yang bagi kehidupan manusia menurut nash- nash keislaman. A. Sikap Istiqâmah Imam Ali as berujar: "Buah akal adalah Istikamah."[9] Imam Ali as berkata: "Buah akal adalah bersatu-padu dengan kebenaran."[10] B. Membenci Dunia Imam Ali as berkata: "Buah akal ialah membenci dunia dan mengekang hawa nafsu."[11] C. Penguasaan atas Hawa Nafsu Imam Ali as bertutur: "Bila akal telah sempurna, maka hawa nafsu akan berkurang."[12] Dari Imam Ali as: "Akal yang sempurna sanggup rnenaklukkan tabiat yang jelek."[13] D. Baik Budi Pekerti clan Prilakunya Imam Ali a.s berkata: "Orang yang sempurna akalnya adalah orang yang baik amal perbuatannya."[14] "Penjagaan-penjagaan"

Setelah kajian kritis pelbagai nash keislaman tentang bala-tentara akal, kini kita kembali pada kajian tentang cara-cara terapi hawa nafsu. Pada pembahasan yang telah lewat kita telah mengetahui babwa akal sendirian tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mengatasi dan membendung hawa nafsu.
Sekiranya akal bertarung sendirian melawan hawa nafsu yang kuat itu, niscaya ia selalu berada pada pihak yang kalah. Karenanya, Allah meletakkan bala-tentara yang bisa diandalkan untuk membantu akal menghadapi bala-tentara hawa nafsu. Jumlah keduanya berimbang. Keduanya memiliki matlamat dan tuntutan yang berbeda secara kontradiktif. Bala-tentara itulah yang di sini kita sebut dengan penjagaan atau al-'isham. Akal selalu meminta bantuan padanya untuk membendung dan mengendalikan kebrutalan hawa nafsu. Atas dasar itu, konsentrasi berbagai penjagaan ini di antara bala-tentara akal yang lain merupakan metode pendidikan yang jitu -juga Islami- dalam terapi hawa nafsu.
Berbagai penjagaan itu sangatlah penting sehagai tindakun preventif dari gempuran-gempuran syahwat dan hawa nafsu yang menyeret manusia ke jurang kemaksiatan. Seandainya penjagaan serupa tidak ada, maka sudah barang tentu akal saja tidak bakalan mampu mengekang nafsu dan mengendalikan syawat. Penjagaan ini selalu mengalami kembang-kempis. Dalam keadaan kembang atau optimal, mereka mampu membentengi manusia dari segala bentuk kesalahan dan kemaksiatan. Namun, ketika "stamina"nya mengempis, syahwat akan menjadi-jadi dan mencampuri sembarang urusan manusia. Optimasi penjagaan ini terjadi dengan ketakwaan, sedang minimasinya disebabkan perbuatan zalim dan dosa. Perbuatan-perbuatan itu mengikis benteng tumpuan manusia untuk menyelamatkan dirinya.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam Doa Kumail: "Ya Allah, ampunilah dosa-dasaku yang meruntuhkan penjagaan." Hubungan antara takwa dan penjagaan bersifat timbal-balik atau mutual. Maksudnya, takwa berpengaruh dalam membantu penjagaan dan penjagaan berpengaruh dalam menopang takwa. Hubungan antara dosa dan penjagaan pun bersifat mutual. Dosa mempengaruhi minimalisasi dan keruntuhan penjagaan. Sedangkan surut dan runtuhnya penjagaan berakibat pada penguasaan syahwat dan hawa nafsu atas jiwa manusia. Penjagaan ini bersifat intrinsik. la telah berkelindan dalam fitrah manusia. Allah meletakkannya untuk menopang akal dalam menjalankan berbagai tugas penting yang dititahkan.
 Sebagian sosiolog meyakini bahwa penjagaan ini berasal dari luar; masyarakat. Penjagaan itu tidak bersifat aprior (qobli), tetapi, ia bersifat aposterior (ba'di) atau yang diperolehnya di tengah-tengah masyarakat yang ia hidup di dalamnya. Oleh karena itu, intensitasnya berbeda-beda dari lingkungan yang satu ke lingkungan yang lainnya. Dengan perkataan lain, ia berkembang dalam lingkungan masyarakat yang konservatif, sementara akan mengempis dalam masyarakat yang liberal. Bahkan, ada masyarakat yang mencapai tingkat dekadensi moral sedemikian rupa yang bisa meniadakan penjagaan jiwa itu secara total. Pendapat di atas mendapat kritik yang tajam sehingga sulit untuk dipertahankan.
Fenomena psikologis yang timbul dari fitrah akan sangat berpengaruh secara sosial. Tidak ada jalan untuk mengisolir fenomena psikologis dari selainnya (baca: fenomena sosial). Sungguh salah besar jika kita menganggap bahwa fenomena psikologis berbeda daripada fenomena sosial disebabkan tidak terjadinya interaksi sosial dalam berbagai fenomena psikologis. Ipso facto, fenomena psikologis seseorang tidak dapat dipandang secara terpisah dari pergumulan sosialnya. Baik dari sisi negatif maupun positif. Perbedaannya adalah bahwa fenomena psikologis bersifat universal dan mencakup seluruh masyarakat di sepanjang sejarah peradaban manusia dalam tingkatan yang berbeda-beda.
Sementara, fenomena sosial terjadi dalam kurun waktu tertentu dan di lingkungan geografis tertentu pula. Untuk memperjelas masalah di atas, berikut ini akan saya berikan contoh. Iman kepada Allah, misalnya, merupakan fenomena psiologis yang muncul dari fitrah. Sebaliknya, atheisme adalah fenomena penyimpangan sosial yang memberontak terhadap petunjuk fitrah. Kedua fenomena ini, sama-sama terdapat dalam sejarah manusia dan tampak di punggung planet ini. Meski demikian, keimanan merupakan keadaan yang berlaku di sepanjang sejarah peradaban manusia dan tak ada jeda bagi keadaan ini. Hatta para peyembah berhala, matahari dan bulan mengekspresikan keadaan ini, meskipun secara salah.
Sementara atheisme tidak memiliki akar semendasar itu dalam sejarah peradaban manusia. Selang beberapa lama atheisme tidak hadir secara kuat dan resmi sebagai suatu tampilan yang berlogika, berbudaya dan berfilsafat. Keimanan kepada Allah merupakan fenomena dan keadaan yang universal dan merata di muka bumi.
Sementara atheisme bagaikan gelembung-gelembung air yang sesekali muncul di sana sini secara lemah kemudian pecah. Gelembung terakhir dan terkuatnya yang unjuk gigi di pentas sejarah politik, peradaban dan pemikiran manusia adalah Marxisme. la mampu mencuat keluar sebagai suatu eksistensi politik internasional yang sensasional, tapi tak lama waktu berlalu gelembung itu pun akhirnya pecah sama-sekali. Berbedajauh dengan keadaan iman kepada Allah. Maka siapa yang tidak membedakan antara fenomena iman kepada Allah dan atheisme pasti membodohi dirinya sendiri. Kita kembali kepada kajian tentang penjagaan. Baru saja kita telah disibukkan mengkaji kedalaman (baca: kefitriaan) penjagaan.
Kita lupa mengkaji sistem penjagaan dan perannya dalam kehidupan manusia atau sistem pendidikan Islami dalam memfungsikan penjagaan guna menandingi hawa nafsu. Selanjutnya, saya akan mengemukakan uraian yang lebih panjang tentang penjagaan. Beberapa waktu lalu, saya telah menulis kajian tentang penjagaan. Karenanya, alangkah baik nya kalau saya nukil kembali beberapa paragrafnya yang berhubungan dengan pembahasan ini. Sesungguhnya, dominasi hawa nafsu atas manusia mempunyai pengaruh yang kuat. Dominasi ini mempunyai peran destruktif' yang luar biasa pada kehidupan manusia.
Selama manusia tidak berdaya mengekang, membatasi dan menetralisir hawa nafsu, dia tidak akan terlepas dari upaya destruktifnya. Kalau demikian, mesti ada suatu metode pendidikan yang sempurna untuk menghadapi dominasi hawa nafsu dan efek-efeknya yang destruktrif dalam kehidupan manusia. Baik dari segi individual ataupun sosial. Metode apakah itu? Orientasi pendidikan yang bagaimanakah yang memungkinkan manusia menguasai hawa nafsu dan syahwatnya? Metode pertama ialah monastisisme atau kehidupan kebiaraan (rahbaniyyah). Monastisisme mempunyai dua tujuan. Pertama, menon-aktifkan syahwat yang ada dalam jiwa manusia. Kedua, mengisolasi diri dari fitnah (rangsangan dan godaan) hidup. Pandangan ini sangat populer dan memiliki akar yang dalam di sepanjang sejarah.
Pandangan ini, secara garis besar, meyakini bahwa masalah utama manusia terletak pada pergesekan antara hawa nafsu dan fitnah. Maka dari itu, keselamatan manusia bisa dicapai dengan menjauhkan hawa nafsu dari fitnah dan kemewahan dunia dan dengan mengekang total syahwat dan berbagai naluri manusia lainnya. Metodologi ini cukup populer dalam sejarah pemikiran umat manusia. Pandangan ini dan berbagai wajah barunya, berakar pada ajaran Kristen ortodoks. Islam benar-benar menolak metode ini. Bahkan menganggap pengisolasian, pemusnahan dan pengekangan bukan saja tidak akan bisa menyelesaikan masalah manusia, bahkan bisa mengakibatkan anomali dan menyalahi sunnatullah pada hakikat manusia.
 Alquran menolak pandangan ini dalam ayat-ayat berikut ini. "Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiop (memasuki) mesjid, makan dan minurnlah, danjanganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allak tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan."
Q.S. Al-A'râf:31. "Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rizki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demiklanlah Kami menjelaskan aya-ayat itu bagi orang-orangyang mengetahui."
Q.S. Al-A'râf:32. "Katakanlah:"Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa ada alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) rnengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui."
Q.S. Al-A'râf:33. Bagian awal ayat ini mengajak manusia menikmati kebaikan-kebaikan duniawi tanpa israf (sikap ekstrem), yaitu pada ayat: "Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan".
 Pada bagian keduanya, ia mengecam sikap orang-orang yang mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah dari kebaikan-kebaikan dunia, yaitu dalam ayat: "Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang menghararnkan) rizki yang baik?" Kemudian ayat itu menyebutkan bahwa dunia dan bermacam-macam kelezatan di dalamnya adalah milik orang Muk-min, dan orang musyrik pun ikut menikmatinya. Adapun di akhirat kelak, kelezatan murni milik orang Mukmin dan musyrik tidak akan mendapatkannya sama sekali.
Sebagaimana tertera dalam ayat: Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat", Lalu ayat tersebut menjelaskan, Allah SWT hanya mengharamkan segala bentuk kekejian di dalam dunia.
Baik yang ditampakkan maupun yang disembunyikan. Allah juga melarang perbuatan dosa dan kezaliman serta permusuhan. Oleh karena itu, Islam menolak anjuran pemutusan hubungan dengan dunia. la menyuruh kaum Muslim bersenang-senang menikmati pesona dunia. Islam mencemooh perbuatan orang-orang yang memutuskan hubungan dengan dunia dan yang mengharamkan keindahan-keindahannya yang telah dihalalkan oleh Allah. Sebagian dari kenikmatan dunia ada yang dijadikan Allah sebagai fitnah buat hamba-Nya. Walau demikian, Dia tidak menyuruh kita mengisolir diri dan menjauhi dunia. Allah hanya menyuruh kita untuk menjauhi segala bentuk fawâhisy (kekejian) dan agar waspadauntuk tidak melanggar hukum-hukum-Nya.
Suatu ketika Imam Ali as mendengar seorang berdoa: "Ya Allah, aku herlindung pada-Mu dari fitnah." Lalu Imam Ali menegurnya: "Aku perhatikan kamu hendak berlindung dari harta dan anakmu! Allah berfirman: 'Anak dan harta bendarnu semata-mata adalah fttnah." Seharusnya kamu berdoa: "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah-fitnah yang menyesatkan."[15] Amiril Mukminin Ali as berkata: "Janganlah ada di antara kalian yang mengatakan: "Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari fitnah". Jelas tak ada seorang pun di antara kalian yang tidak terkena fitnah. Jika kamu ingin berlindung, maka berlindunglah dari fitnah-fitnah yang menyesatkan. Allah berfirman:" Ketahuilah sesungguhnya harta-hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah fitnah...(Q.S. Al-anfâl 28)." Bila begitu, bagaimana Islam menstabilkan dan mengatur hawa nafsu?
Sesungguhnya, Islam telah meletakkan jalan dan metode pendidikan yang baru dalam mengatur hawa nafsu. Metode itu disebut dengan penjagaan yang sudah ada dalam prilaku manusia. la menyerupai insulator dalam elektronika. Anda telah mengerti bagaimana mungkin manusia dapat menggunakan api dan listrik dengan memakai insulator tanpa takut akan bahayanya? Begitu pula manusia dapat berurusan dengan fitnah dan rangsangan atau tipu-dayanya melalui penjagaan ini tanpa sedikitpun harus takut akan bahayanya. Salah besar bila kita mengajak manusia untuk tidak menggunakan api atau listrik karena kedua benda tersebut bisa membakar atau menimbulkan kobaran api.
Namun, perlu diperhatikan, bahwa hubungan kita dengan api atau listrik mesti dengan insulator yang bisa menjaga manusia dari bahaya keduanya. Begitu pula, tidak dibenarkan kita mengajak manusia untuk menjauhi fitnah padahal di antara fitnah itu terdapat harta benda dan anak-anak. Akan tetapi, manusia harus menjaga dirinya dalam berurusan dengan fitnah ini melalui penjagaan. Bilamana penjagaan ini telah sempurna dalam kehidupan individual dan sosial manusia, maka ia akan memainkan peran yang penting dalam melembutkan, menyeimbangkan, menahan dan menundukkan berbagai naluri manusia di hadapan pemiliknya.
Penjagaan memungkinkan manusia "menguasai hawa nafsu dan syahwatnya" sebagaimanayang telah disebut dalam pelbagai nash keislaman. Ungkapan di atas sangat bernilai tinggi. Jelasnya demikian, bahwa di antara manusia ada yang bisa menguasai hawa nafsu dan syahwatnya, dan ada yang dikuasai oleh hawa nafsu dan syahwatnya. Oleh sebab itu, Islam tidak melarang seorang menyelami dunia asalkan dia tahan dan bisa menguasai hawa nafsunya. Inilah tolok-ukur pembeda antara hawa nafsu dan petunjuk. Imam Ash-Shadiq as berkata: "Barangsiapa bisa menguasai nafsunya dalam keadaan marah, takut dan senangnya, maka Allah mengharamkanjasadnya masuk neraka."[16] Dalam hadis yang lain disebutkan: "Barangsiapa bisa menguasai nafsunya dalam keadaan hasrat, takut, senang atau keadaan marahnya, maka Allah mengharamkan jasadnya masuk neraka."[17]

Tiga Kategori Penjagaan
Pertama, penjagaan yang telah dianugrahkan Allah pada lubuk fitrah secara takwînî. Pendidikan akan mengintensifkannya. Rasa malu, 'iffah dan belas-kasih, untuk menyebutkan beberapa. Penjagaan macam ini akan menutupi, melunakkan dan menseimbangkan naluri. Naluri seksual, misalnya, yang ada pada manusia dan binatang. Pada binatang, naluri ini bersifat "telanjang". Sedang pada manusia naluri itu selalu dibungkus dengan rasa malu dan 'iffah. Oleh karenanya, banyak hal yang tidak dilakukan oleh manusia dilakukan oleh binatang. Hal ini bukan karena adanya kelemahan naluri manusia tapi semata-mata ia dijaga oleh rasa "malu dan iffah" yang bisa melunakkan, menyeimbangkan dan mencegah "keliaran" naluri seksual. Demikian pula belas-kasih. la memainkan peran yang besar dalam melunakkan dan menyeiinbangkan naluri amarah. Dalam hal ini manusia dan binatang sama. Bedanya, pada binatang ia terbuka dan bebas, sedangkan pada manusia ia terbungkus dalam belas-kasih.
Kedua, penjagaan yang perlu dicari dan dipraktikkan oleh manusia itu sendiri. Dalam konteks ini, pendidikan mempunyai peran yang vital untuk mengkokohkannya dalam kehidupan seorang. Zikir, salat, puasa, dan takwa, misalnya masuk dalam kategori ini. Salat bisa menjaga seorang dari perbuatan keji dan munkar. Zikir menolak rayuan setan. Dan puasa adalah perisai manusia dari siksa neraka dan takwa merupakan baju yang menutupi dan menjaga manusia dari bencana dosa dan nista serta beragam kesalahan lainnya. Allah SWT berfirman:"... Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik"... Q.S. Al-A'râf:26.
Ketiga, penjagaan yang telah dianugrahkan Allah untuk kepentingan kehidupan sosial manusia. Seperti jamaah atau kelompok mukminin dan kehidupan berkeluarga. Jamaah mukminin akan menjaga seorang dari kehancuran dan keruntuhan. Sedang kehidupan berkeluarga menjaga kehormatan suami-istri. Selanjutnya, di bawah ini saya memberikan dua contoh penjagaan yang telah dianugrahkan oleh Allah pada jiwa manusia atau bersifat intrinsik padanya. Yaitu al-khauf (rasa takut) dan al-hayâ` (rasa malu). Takut kepada Allah Takut kepada Allah adalah salah satu penjagaan terpenting yang telah diletakkan Allah padajiwa manusia. Hal ini telah dijelaskan di kedua hadis akal dan kejahilan di atas yang termuat dalam bagian "bala tentara akal".
Takut merupakan f'aktor terbesar untuk mencegah hawa nafsu. Takut juga mempunyai peran besar dalam membendung dan menahan hawa nafsu. Allah SWT berfirman: "Dan adapun omng-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya”. Q.S. Al-Nâzi’ât:40. Dalam ayat ini digambarkan dengan jelas tentang keterpautan dan hubungan yang berlaku antara takut kepada Allah dan menahan diri dari mengikuti keinginan hawa nafsu. Imam Ash-Shadiq as pernah berkata: "Barangsiapa yang meyakini bahwa Allah melihat dirinya, mendengar apa yang diucapkannya, mengetahui apa yang dilakukannya, baik yang bagus maupun yang yang jelek, kemudian dia rnenjauhi perbuatan jelek, yang demikian ini adalah orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya.".[18] Imam Ali as berkata: "Takut merupakan penahan nafsu dari kelakuan dosa dan yang menghalanginya berbuat kemaksiatan."[19] Takut menghalangi manusia berbuat maksiat. la membatasinya pada yang halal agar manusia tidak terperosok di lembah yang haram.
Takut juga mencegah manusia melakukan segala kemaksiatan dan hal- hal yang diharamkan. Rasululah SAWW bersabda: "Ada tujuh golongan yang bakal mendapat naungan Allah di hari yang tak ada naungan (kiamat) kecuali naungan-Nya. (Golongan tersebut) ialah
1.       Imam yang adil
2.       Pemuda yang hidup tumbuh dengan ibadah kepada Allah SWT.
3.       Orang yang hatinya selalu cenderung pada masjid.
4.       Dua orang yang saling mencintai demi Allah, baik di kala berkumpul maupun di waktu berpisah.
5.       Seorang yang mengeluarkan sedekah kemudian menyembunyikan (amalnya) sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diperbuat tangan kanannya.
6.       Seorang yang berzikir kepada Allah di kala sendirian lalu kedua matanya sembab (bercucuran air mata).
7.       Dan seorangyang diajak rnesum oleh wanita cantik dan berkedudukan lalu orang lelaki itu mengatakan aku takut kepada Allah SWT".[20] Makhâfatullah (takut kepada Allah) mencegah manusia dari pengaruh syahwat terkuat, yaitu syahwat seksual.
Imam Ali as berkata: "Sungguh mengherankan orang yang takut kepada siksaan tapi tidak berupaya menjauhinya dan orang yang mengharapkan pahala tapi tidak pernah taubat dan berbuat baik."[21] Imam Al-Baqir as berkata: "Tiada takut seperti takut yang dapat mencegah dan tiada harapan seperti harapan yang dapat menolong."[22] Jadi, takut mencegah manusia dari terseret melakukan keinginan syahwat dan yang menahan manusia dari perbuatan yang berbau dosa. Imam Ali as berkata: "Sebaik-baik penghalang dari perbuatan maksiat adalah takut."[23] Takut adalah Keamanan Sungguh mengherankan, al-khauf yang sepadan maknanya dengan al-qalaq (kegelisahan atau keresahan), dalam pandangan Islam bisa mempunyai arti al-amân (ketentraman).
Karena takut menghalangi manusia berbuat maksiat, maka, pada hakikatnya, ia menghalangi manusia dari kehancuran dan keterjerumusan; kemaksiatan. Hukum-hukum Allah SWT ada lah tameng yang menjaga manusia dari kehancuran. Singkat kata, takut, pada gilirannya, akan membawa ketenangan dalam kehidupan manusia, berbeda dengan pandangan yang dangkal tentangnya. Dalam riwayat-riwayat berikut ini Anda akan menemukan pengertian di atas. Imam Ali as berkata: "Takut akan membawa rasa aman."[24] Imam Ali as berkata: "Buah takut adalah rasa aman. "[25] Dari Imam Ali as juga: "Takutlah kepada Tuhanmu dan berharaplah pada Rahmat-Nya, maka Dia akan menyelarnatkanmu dari apa yang kamu takuti dan Dia akan meniberimu apa saja yang kamu harapkan."[26] Imam Ali as juga berkata: "Tidak layak bagi orang yang berakal berdiam dalam ketakutan bila ada jalan yang masih memungkinkan untuk rnendapatkan keselamatan."[27]
Takut yang dimaksud dalam nash-nash tersebut ialah keselamatan dari siksaan Allah. Sedangkan keselamatan yang disebut dalam nash tersebut ialah takut dari siksaan Allah. Takut dan selamat ialah salah satu arti yang saling berhubungan. Dan ini adalah satu di antara kekhasan kultur keislaman. Kesimpulannya, takut (kepada Allah) di dunia berarti selamat (dari siksa) di akhirat dan 'selamat' di dunia berarti takut di akhirat. Imam Ali as mengambil pengertian keislaman ini dari sumber kenabian yang tidak bakalan kering. Dalam sebuah hadis, Nabi bersabda: "Allah SWT berfirman: "Demi Keagungan-Ku dan Keperkasaan-Ku, sungguh Aku tidak akan mengumpulkan dua takut dan dua keselamatan pada hamba-Ku.
Bilamana dia "merasa aman," dari-Ku di dunia, Aku jadikan dia takut di hari kiarnat. Sebaliknya, bilamana dia takut pada-Ku di dunia akan Aku selarnatkan dia di hari kiamat."[28] Beberapa Kisah Tentang Peran Takut dalam Mengendalikan Hawa Nafsu Berikut ini saya akan sebutkan beberapa kisah tentang tindak penyelamatan yang dilakukan rasa takut terhadap jiwa manusia dari keterjerumusan di jurang kemaksiatan dan syahwat. Kisah-kisah ini telah disebutkan dalam beberapa riwayat berikut ini:
Diceritakan kepadaku oleh Usman bin Zufar Al-Taimy, dia berkata, Abu Umar Yahya bin Amir Al-Taimy bercerita demikian kepadaku: "Seorang lelaki desa sedang menunaikan haji. Pada suatu malam, mendadak dia melihat seorang wanita cantik yang terurai rambutnya di dekat sungai. Lelaki itu segera memalingkan wajahnya. Namun perempuan itu berkata: "Kemarilah! Mengapa Anda berpaling dariku?” Lelaki itu menjawab: "Sungguh aku takut kepada Allah Pemilik alam semesta”. Kemudian wanita itu mengenakan kerudungnya seraya berkata: "Kamu ketakutan? Kalau demikian, yang pantas takut bersamamu adalah orang yang ingin mengajakmu bermaksiat bersama-sama." Kemudian wanita itu pergi. Akupun mengikutinya dari belakang.
Dia masuk ke salah satu perkampungan orang Arab Badui. Esok harinya, aku menemui salah seorang dari mereka dan menceritakan perihal wanita yang kujumpai dan kejadian yang kualami. Aku ceritakan mulai raut wajahnya sampai cara bertutur katanya. Kemudian salah seorang dari mereka berseru:
"Demi Allah, dia adalah putriku”.
Aku berkata: "Kau mau menikahkannya."
"Tentu saja kepada yang sesuai (kufu') ", sergahnya.
Aku berkata: "Aku dari suku Taimullah. "
Bolehlah. Persesuaian yang terhormat." katanya. Aku tidak beranjak sebelum menikahinya. Akhirnya akupun menikahinya.
Kemudian aku berkata: "Persiapkan dia sampai aku selesai menunaikan haji." Selesai menunaikan haji aku bawa dia ke Kufah dan sekarang dia di sampingku dengan beberapa anak laki-laki dan perempuan."[29] Seorang wanita cantik hermukim di kota Makkah. Dia sudah berkeluarga. Pada suatu hari, dia hercermin seraya sesumbar di hadapan suaminya:
"Apa ada orang yang melihat wajah ini dan tidak terpesona?”
"Ada." jawab suaminya.
"Siapa?" tanyanya.
"Ubaid bin Umair." jawab si suami. Wanita itu kemudian memohon pada suaminya untuk pergi menggoda Ubaid bin Umair.
Suaminya pun mengizinkannya. Dengan penuh semangat, dia mendatangi majlis taklim Ubaid bin Umair dan berpura-pura sebagai penanya hukum. Dia menyendiri di sudut masjid Al-Haram. Lalu dia dengan sengaja menyingkap wajahnya yang bagaikan bulan sabit. Kemudian Ubaid bertanya pada wanita itu:
"Wahai harnba Allah! Ada apa denganmu?
"Aku datang karena terpikat padamu. Maka penuhi hajatku", rayu wanita itu.
Ubaid menjawab: "Baik. Tapi jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu apakah kau akan menjawab dengan jujur? Kalau tidak, aku tidak akan memperhatikan urusanmu."
"Boleh. Tapi janganlah kau bertanya tentang sesuatu yang pasti akan kudustakan", pinta wanita itu.
Ubaid bertanya lagi: "Jawablah dengan jujur. Apakah kau mau sekiranya aku penuhi permintaanmu dan malaikat maut datang kepadamu?"
 "Tentu tidak!", jawab si wanita.
 "Kau berkata benar", seru Ubaid. "Apakah kau mau sekiranya aku memenuhi kemauanmu, kemudian kelak di liang kubur kau didudukkan untuk mempertanggung-jawabkannya?
"Sungguh tidak", jawab wanita itu.
"Engkau berkata benar!", seru Ubaid. "Apakah kamu mau aku memuaskan hasratmu, padahal kelak ketika kitab amal dibagikan kamu belum mengetahui apakah kamu akan mengambilnya dengan tangan kanan atau tangan kiri?
"Sungguh tidak", jawabnya.
"Engkau telah berkata jujur", jawab Ubaid. "Apakah kau mau aku melayani nafsumu, padahal kau tidak bisa memastikan timbangan amalmu itu berat atau ringan?"
"Sungguh tidak!"
“Apakah kau mau aku memenuhi hajatmu, padahal kelak kau akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Allah?”
"Sungguh tidak".
"Kamu berkata jujur." Kemudian Ubaid melanjutkan: "Maka bertakwalah kepada Allah wahai hamba Allah. Sungguh Allah telah memberi sebagian kenikmatan padamu dengan menjadikan wajahmu elok."
Perawi berkata: "Lalu wanita itu kembali dan tersimpu di pangkuan suaminya. Lalu sang suami bertanya: "Wahai istriku, gerangan apa yang telah terjadi pada dirimu?”
Dia menjawab: "Kamu adalah penganggur dan kita juga para penganggur."
Kemudian setelah itu dia tekun salat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya. Setelah itu suaminya berkata: "Sesungguhnya, apa yang telah dilakukan Ubaid untuk merubah istriku. Sebelumnya, setiap malamnya ialah malam penganten baru. Kini dia berubah menjadi biarawati."[30] Abu Said bin Abi Umamah meriwayatkan, ada seorang lelaki mencintai seorang perempuan. Perempuan itu pun menyambutnya dengan mesra.
Maka bertemulah keduanya. Si perempuan merayunya. Lalu lelaki itu berkata: "Ajalku bukan di tanganmu dan juga ajalmu bukan di tanganku, barangkali ajal kita sudah dekat dan kita tidak ingin bertemu Allah dalam keadaan bermaksiat." "Sungguh benar ucapmu itu", jawab si perempuan. Maka kedua sejoli itu mengurungkan niat mereka. Mereka bertaubat dan menjadi di antaru orang-orang yang saleh”. [31] Kharijah bin Ziyad menceritakan bahwa ada seorang lelaki dari bani Sulaimah mengkisahkan: Aku sangat tertarik pada wanita dari suatu suku. Aku selalu membuntutinya di kala dia keluar dari masjid. Kemudian dia mengetahui perbuatanku itu. Pada suatu malam, dia berkata padaku:
"Apakah kamu ada keperluan denganku?"
"Ya!", jawabku.
"Apa keperluanmu?", tanyanya.
"Kecintaanmu”, jawab si lelaki.
"Tundakan itu untuk hari kiamat." sergahnya.
Lelaki itu pun berkata: "Demi Allah sungguh wanita ini menjadikan aku menangis. Dan membuatku tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi."[32]
Syaikh Bani Abdul Qais berkata: "Aku mendengar mereka bercerita tentang seorang lelaki yang merayu perempuan.
Lalu perempuan itu bertanya: "Pernahkah engkau mendengar hadis atau membaca Al-Quran. Sesungguhnya, engkau lebih tahu itu semua daripada aku."
"Kuncilah semua pintu istana ini!" teriak lelaki itu. Kemudian si perempuan itu menutup semua pintu.
Setelah itu lelaki tadi mendekatinya. Tiba-tiba perempuan itu berkata: "Tinggal satu pintu yang belum aku tutup."
"Pintu apa itu?", tanya lelaki dengan penuh keheranan.
"Pintu yang ada di antara kau dan Allah SWT"
Perawi berkata: maka lelaki membatalkan rencananya pada wanita tadi".[33] Ibnu Jauzi berkata, telah sampai sebuah cerita padaku tentang perempuan ahli ibadah dari wilayah Bashrah yang telah membuat kasmaran seorang lelaki dari suku Muhallab. Dia adalah perempuan yang cantik. Banyak orang meminangnya. Namun dia menolaknya. Kemudian ada berita bahwa wanita itu ingin naik haji. Berita ini didengar oleh orang Muhallab itu. Kemudian dia membeli 300 ekor onta dan mengumumkan:
"Barangsiapa ingin pergi haji hendaknya menyewa pada Muhallab."
Lalu wanita itu menyewa padanya. Sesampainya di pertengahan jalan, waktu malam tiba. Orang Muhallab itupun mencoba mendekatinya seraya memberitahukan hasratnya kepadanya:
"Kawinkan dirimu padaku atau kalau tidak, akan kupaksa engkau melayaniku."
"Celaka kau! takutlah kepada Allah," bentak si wanita.
"Sungguh tiada pilihan lain kecuali apa yang kamu dengar dariku!" kata si lelaki itu.
"Demi Allah aku bukan penuntun onta dan aku tidak meninggalkan kampungku kecuali demimu," jawab Muhallabi.
Ketika wanita itu merasa ketakutan, dia berkata lagi: "celaka kau, lihatlah apakah masih ada orang yang belum tidur?"
"Tidak, tidak ada!", jawabnya.
"Lihat lagi," kata wanita itu.
"Tidak ada. Semuanya sudah tidur," jawab Muhallabi.
Kemudian wanita itu berkata: "Celakalah kamu, apakah Tuhan Pemilik alam semesta juga ikut tidur?".
Rasa Malu Perangai kedua dari bala-tentara akal adalah malu. ia mempunyai peran yang krusial dalam membentengi manusia dan menjaganya dari kehancuran. Seringterjadi bahwa seorang terdorong untuk melakukan kemaksiatan sedangkan akal tidak mampu membendungnya.
 Dalam keadaan seperti itulah malu kepada Allah SWT berperan sangat genting. Karena, rasa malu kepada Allah SWT akan mencegah manusiadari kelakuan dosa. Malu - dalam segala tingkatannya - merupakan penjagaan bagi manusia. Malu pada keluarga dan sanak keluarga mengandung tingkat tertentu dari penjagaan. Malu pada manusia biasa mengandung derajat penjagaan yang lebih tinggi. Malu pada orang yang dihormati dan dimuliakan mengandung derajat penjagaan yang lebih tinggi. Malu kepada Allah SWT mengandung derajat penjagaan yang paling tinggi lagi dalam kehidupan manusia.
Bila manusia mampu mengkristalkan rasa-malu kepada Allah dalam dirinya, dan menganggap Allah beserta para malaikat-Nya selalu hadir di sisinya, maka perasaan ini akan benar-benar menjaga seorang dari perbuatan dosa, maksiat dan menyelamatkannya dari perangkap syahwat dengan kadar yang sangat tinggi. Malu pada Allah Bagaimana mungkin seorang melanggar perintah Allah kalau dia menganggap bahwa Allah hadir di kalbunya. Merasa bahwa Allah SWT melihat dan mendengarnya.
Para malaikat Allah yang telah ditugaskan- Nya tidak jauh darinya dan tiada satu masalah yang samar bagi mereka kecuali yang dirahasiakan oleh Allah. Rasulullah SAWW dalam sebuah wasiatnya pada Abu Dzar r.a. bertutur: "Wahai Abu Dzar, bersikapmalulah kepada Allah. Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, aku selalu mengenakan kain penutup ketika buang hajat. Karena aku malu kepada kedua malaikat yang selalu bersamaku"[34] Rasulullah SAWW bersabda: "Bersikapmalulah kepada Allah sebagaimana kamu bersikap malu terhadap tetanggamu yang baik. Karena, rasa malu akan menambah keyakinan."[35]
Rasulullah SAWW bersabda: "Hendaknya kalian semua bersikap malu pada dua malaikat yang selalu bersama kalian. Sama seperti kalian bersikap rnalu kepada dua orang tetangga saleh yang selalu bersama kalian di waktu siang dan malam."[36] Imam Al-Kazhim as berkata tentang malu kepada Allah di tempat rahasia dan sepi demikian: "Bersikapmalulah kalian kepada Allah di tempat-tempat rahasia, sebagaimana kalian bersikap malu pada manusia di tempat-ternpat terbuka."[37] Kalau demikian, malu kepada Allah SWT akan membuahkan derajat yang tinggi dari 'ishmah (keterjagaan dari dosa).
Malu dapat menjaga seorang dari kehancuran. Kandungan nash di bawah ini telah berulang kali disebutkan dalam berbagai nash keislaman. Imam Ali as berkata: "Malu akan membentengi manusia dariperbuatan jelek."[38] Imam Ali as berkata: "Kadar 'iffah Anda dapat diukur dengan kadar malu Anda."[39] Rasulullah SAWW bersabda: "Bersikap malulah kepada Allah secara betulan”. Rasul ditanya: “Siapakah yang mampu bersikap malu kepada Allah secara betulan itu?” Beliau menjawab: "orang yang bersikap malu kepada Allah secara betulan, ialah orang yang mengetahui kalau ajalnya telah ditentukan di hadapan matanya, zuhud pada dunia dan segala hiasanya, menjaga kepala dan apayang dikandungnya dan perut dengan segala isinya."[40]
Imam Musa bin Ja'far as berkata: "Semoga Allah rnenghormati orang yang benar-benar bersikap malu kepada Allah; menjaga kepala dan apa yang ada di dalamnya dan menjaga perut dan segala isinya."[41] Di sela-sela kepala dan perut manusia ada sejumlah syahwat yang siap mempengaruhinya. Mata adalah jendela syahwat. Pendengaran adalah jendela lain bagi syahwat. Perut tempat syahwat. Dan zakar juga tempat syahwat.
Bilamana manusia malu kepada Allah, maka rasa malunya tersebut akan menjaga kepala beserta apa yang terkandung di dalamnya dari jendela-jendela syahwat dan perut beserta apa yang tertampung berupa tempat-tempat syahwat. Imam Ali as berujar: "Paling mulianya wara' adalah meninggalkan perbuatan di waktu sepi apa yang kamu rnalu mengerjakannya di waktu ramai."[42]
Keluhan Tentang Sedikitnya Malu Kepada Allah Dalam banyak doa kita menemukan keluhan-keluhan manusia kepada Allah SWT tentang kurangnya rasa malunya kepada Allah SWT Pengaduan dan keluhan semacam ini merupakan kandungan makna doa yang terlembut. Dalam pengaduan ini, Allah SWT adalah yang menjadi Hakim. Sedang ego manusia adalah pengadu dan yang diadukan ialah hawa nafsu. Adapun isi pengadukan adalah keadaan rasa-malu seseorang. Kesimpulannya, apayangterkandungdalam gugatan tersebut adalah pengaduhan manusia tentang kurangnya atau tiadanya rasa malu dirinya kepada Allah.
Dalam doa Abu Hamzah disebutkan: "Wahai Tuhan! Aku tidak malu kepada-Mu di saat sepi, dan tidak memperhatikan-Mu di saat ramai. Aku telah tertimpa musibah besar. Akulah orang yang lari dari Tuannya. Telah Engkau tutupi kesalahan- kesalahanku, tapi aku masih belum merasa malu. Telah melampaui batas-batas, maksiatku. Engkau hapuskan semua itu di depan matamu-Mu tapi aku tetap tidak peduli.”[43] Doa di atas menunjukkan pengaduan manusia tentang dirinya, maksiat yang dilakukannya dan pelanggarannya terhadap hukum-hukum Allah. Dalam munajat Asy-Syâkin (para pengadu kepada Al-lah), Imam Zainal Abidin as menyebutkan demikian: "Tuhanku, aku mengadukan kepada-Mu tentang hawa nafsu yang mengajak pada kejelekan, bergegas mendatangi dosa, gemar maksiat dan sengaja mencari murka-Mu."[44]




[1] Biharul Anwar, 70-78.
[2] Dzammul Hawâ, karya Ihnu Al-Jauzi:70.
 [3] Ibid.
 [4] Nahjul Balâghah, khutbah 320.
[5] Bihârul Anwâr, 78:9.
[6] Dzammul Hawâ, karya Ibnu Al-Jauzi:39.
[7] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al-Musnad dan Al-Baihaqi.
[8] Biharul Anwâr, 70:76 hadis 5 dan Mustadrak Al-Wasâ`il, 2:345.
[9] Ghurarul Hikam 1:320.



[10] Ghurarul Hikam 1:320.
[11] Ghurarul Hikam 1:323.
 [12] Ghurarul Hikam 1:279.
[13] Bihârul Anwâr, 9:78. [14] Bihârul Anwâr, 9:78. [15] Bihârul Anwâr, 93:235. [16] Bihârul Anwâr, 78:243. [17] Bihârul Anwâr, 71:358.
[18] Ushûlul Kâfî: 40.
 [19] Mîzânul Hikmah, 3:183.
[20] Diriwayatkan Al-Bukhari dalam pembahasan masalah wajibnya melakukan shalat berjamaah bab 8, dalam bagian keharusan mengeluarkan zakat bab 18, dalam bagian Ar-Riqâq dalam kitab Al-Muharib bab 4; Diriwayatkan juga dalani Muslim kitab sahihnya bagian zakat bab 30 serta diriwayatkan dari Abu Al-Faraj dalam kitab Dzamul Hawâ:243.
[21] Bihârul Anwâr, 77:237.
[22] Bihârul Anwâr, 78:164.
[23] Mîzânul Hikmah 3:183.
[24] Mîzânul Hikmah 3:186.
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Ibid.
 [28] Kanzul ‘Ummâl, karya Al-Muttaqi Al-Hindi, hadis 5878.
[29] Dzammul Hawâ, karya Ihnu Jauzi:265-266.
[30] Dzammul Hawâ, karya Ibnu Jauzi:264-265.
[31] Dzammul Hawâ, karya Ibnu Jauzi:268.
[32] Dzammul Hawâ, karya Ibnu Jauzi:268.
[33] Dzammul Hawâ, karya Ibnu Jauzi:268.
[34] Bihârul Anwâr, 77:83; Kanzul ‘Ummâl 5751.
[35] Bihârul Anwâr, 78:200.
[36] Mîzânul Hikmah, 2:568.
[37] Bihârul Anwâr, 78:309.
[38] Mîzânul Hikmah, 2:564.
 [39] Bihârul Anwâr, 70:305.
[40] Bihârul Anwâr, 78:305.
[41] Bihârul Anwâr, 78:305.
[42] Ghurarul Hikam, 2:253.
[43] Doa Abu Hamzah Ats-Tsumâlî. [
44] Ash-Shahîfah Al-Sajjâdiyah, Imam Ali hin Ilusein as.




BAB KEEMPAT
Orang Yang Mengutamakan Nafsunya

Setelah menelusuri kajian tentang pengertian hawa nafsu, keadaan-keadaannya dan cara pengobatannya. Kini saya mulai mengkaji tentang tema orang yang mengutamakan keinginannya di atas keinginan Allah dan yang mengutamakan keinginan Allah di atas keinginannya. Kita rnulai dengan membahas orang yang mengutamakan keinginan dirinya di atas keinginan Allah.
Dalam sebuah hadis Qudsi disebutkan, Rasulullah SAWW mengatakan bahwa Allah SWT, berfirman: "Demi Kemuliaan- Ku, Keagungan-Ku, Kebesaran-Ku, Keperkasaan-Ku, Nur-Ku, Ketinggian-Ku dan ketinggian Kedudukan-Ku. Tiada seorang hamba yang mengutamakan keinginan dirinya di atas keingina n- Ku rnelainkan Kucerai-beraikan urusannya, Kukaburkan dunianya dan Kusibukkan dia dengan urusan duniawi serta Kuberikan dunia kepadanya seperti yang telah Kutakdirkan untuknya (tidak lebih)."
[1] Pembahasan saya dalam bagian ini - sebagaimana dising gung dalam hadis qudsi tersebut- akan terfokus pada tiga per kara:
1.                                Allah SWT akan menyiksa golongan yang mengutamakan keinginan dirinya di atas keinginan Allah dengan tiga hal:
a.                 Allah akan mencerai-beraikan urusannya.
b.                 Allah akan mengaburkan dunianya.
c.                 Allah akan menyibukkan hati mereka dengan urusan duniawi.
2.                                Tiga bentuk siksaan dalam hadis ini didahului dengan sumpah yang sangat berat "Demi Kemulian- Ku, Keagungan- Ku, Kebesaran-Ku, Keperkasaan-Ku, Nur-Ku, Ketinggian-Ku dan tingginya Kedudukan-Ku ". Dan sumpah-sumpah ini meny ingkap betapa pentingnya permasalahan yang disebut setelah itu.
3.                                Gaya bahasa dan redaksi hadis ini menggunakan logika "kalau tidak begini pasti begitu" (al-hashr bayna an-nafyi wa al-itsbât). Gaya bahasa itu tertera pada kalimat "tiada seorang hamba yang mendahulukan keinginannya di atas keinginan Allah melainkan Aku cerai-beraikan urusannya..." Dengan kata lain, bila ada seseorang yang mengutamakan keinginan dirinya di atas keinginan Allah SWT, maka pasti dia akan tertimpa tiga siksaan yang disebutkan dalam hadis Qudsi tersebut.
Aku Cerai-beraikan Urusannya Siksaan pertama yang pasti akan menimpa kelompok manusia ini ialah kekusutan urusan. Seperti, Allah akan mencabut pendirian, kemantapan, integritas, langkah, sikap dan wahana hidupnya. Allah terus mengombang-ambingkan mere ka. Bak sehelai bulu atau sebongkah kayu yang terapung di atas air yang tidak bermuara. Ada dua model kepribadian manusia,
1.   Pribadi yang harmonis.
2.   Model manusia yang gelisah atau kacau-balau.
Kepribadian Harmonis Pribadi yang harmonis selalu berada di bawah sutu ke kuasaan dan penguasa. Sedangkan kepribadian yang gelisah dan rusuh terobang-ambingkan oleh sekian banyak f'aktor yang berbeda. Yang  pertama ialah manusia dalam keadaan monoteis tik dan yang kedua ialah manusia dalam keadaan politeistik. Kepribadian monoteistik berada di bawah kekuasaan, ke hendak, hukum, dan perintah Allah. Dia hanya tertarik kepada "magnetisme" keridhaan Allah. Perintah Tuhan menguasai nya baik di waktu senangatau susah. Wajab dan keridhaan-Nya adalah tujuan hidupnya. Pribadi ini selalu dikuasai oleh perin tah, kekuasaan dan tujuan Ilahi. Perintah dan tujuan yang demikian itulah yang memheri kan keharmonisan dan integritas kepada manusia. Dengan memperhatikan perhedaan sikap politis dan status sosial me reka sekalipun. Terkadang taklif politis Muslim berpindah dan satu keadaan kepada keadaan lain. Seperti, dari sikap berperang kepada sikap berdamai; dari sikap mengangkat senjalu kepada sikap melucuti senjata. Berbagai taklif dan perintah yang seri n g herganti-ganti tersebut tidak akan menimbulkan kemelut (dissociation) dan konflik dalam kepribadian seorang Muslim. Semua itu tidak akan memudarkan integritas atau harmoni yang tumbuh dalam kepribadian monoteistik. Keadaan inilah yang disebut dengan tauhid praktis seba gai lawan tauhid teoretis. Sudah barang tentu, tauhid praktis adalah pantulan tauhid teoretis clalam prilaku hidup seorang. Keadaan tauhid praktis yang begini akan membebaskan manusia dari berbagai pengaruh kekuasaan. Baik yang ada dalam jiwa manusia (hawa nafsu) maupun di luarnya (tagut). Secara integral, dia masuk dalam lingkaran kekuasaan hukum rlan perintah Allah. Hukum Allah sajalah yang menjadi penguasa tindak- tanduknya. Hukum Allah merupakan sibghah (warna) umum dalam kehidupannya. Dan akhirnya, dia adalah perwujudan dari sabda Rasulullah SAWW: "Kalian belum dianggap beriman sehingga keinginan ka lian mengikitti apa yang telah aku bawa."
[2] Syirik merupakan kebalikan dari keadaan di atas. Kesyi rikan mengeluarkan manusia dari garis haluan hukum Allah SWT. Jiwa orang musyrik akan tercabik-cabik hawa nafsn dari arah dalam dan tagut dari arah luar. Manusia yang keluar dari benteng tauhid, akan dimusnah kan agen-agen hawa nafsu dan tagut. Bagaikan bangunan tinggi yang disapu bersih oleh badai. Alquran menjelaskan masalah ini dengan ungkapan sebagai berikut: "Allah ialah wali orang- orang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari bermacam kegel apan. kepada cahaya. Sedang wali-wali orang kafir adalah tagut... ". Q.S. Al-Baqarah:257. Orang mukmin hanya memiliki satu wala' (perwalian) dan komitmen. Sementara orang-orang kafir memiliki pelbagai perwalian sebagaimana yang digambarkan oleh klause, "sedang wali-wali orang kafir itu tagut." Pribadi yang harmonis akan bertahkim dan bertumpu pada satu perintah syar'i yang memusat pada Allah dan keri dhaan-Nya. Kelompok ini melaksanakan perintah syar'i tanpa ragu, takut, bimbang, malu, dan gelisah. Sifat-sifat itu adalah indika tor kepribadian yang pecah (dissociated personality). Jiwa rna nusia yang dipimpin oleh satu faktor akan terhindar dari semua sifat itu. Adapun ciri-khas kelompok monoteistik ini ialah keper cayaan diri, ketenangan, keyakinan, kebulatan tekad, kebera nian, kelapangan jiwa dan hati, kesatriaan, tidak mundur aki bat sendirian dalam sikapnya atau sedikitnya pembela dan banyaknya penentang. Amirul Mukminin Ali as berkata: "Banyaknya yang (mengikutiku) tidak akan menambah kernulian dan ba nyaknya orang yang membenciku tidak akan menimbulkan keterasingan (alienasi)."
[3] Kepribadian kelompok ini bersifat langgeng. Baik di saat senang ataupun susah, lapang atapun menderita, dan kalah ataupun menang. Ammar bin Yasir Semoga Allah merahmati Amar bin Yasir. Dia adalah contoh pribadi yang tenteram; teguh pendirian dan berkepribadian harmonis. Ammar ialah sahabat Nabi yang berada di belakang barisan Imam Ali melawan Muawiyah di perang Shiffin. Kala itu, dia sudah berusia 90 tahun. Namun, jiwa dan raganya pantang menyerah. Dengan gigihnya, dia menerobos pasukan musuh. Tak sedikitpun keraguan tentang kebenaran Imam Ali as dan kebatilan Mu'awiyah menggelayutinya. Di tengah berkecamuknya perang Shiffin dan di hadapan Imam Ali, Ammar menengadahkan kedua tangannya dan bermunajat kepada Allah: "Ya Allah, Engkau Mahatahu. Sekiranya aku mengetahui bahwa Ridha-Mu, diperoleh dengan menenggelamkan diriku ke laut, niscaya akan kulakukan. Ya Allah, Engkau Mahatahu. Sekiranya aku mengetahui bahwa ridha-Mu diperoleh dengan menancapkan pedang di perutku sehingga menembus punggungku, niscaya akan ku lakukan. Ya Allah, aku sungguh telah mengetahui dari apa yang Engkau ajarkan padaku, bahwa hari ini tiada amal yang lebih Engkau ridhai daripada mernerangi orang-orang fasik itu. Seandainya aku mengetahui ada perbuatan lain yang lebih Engkau ridhai dari perbuatan ini, niscaya akan kula kukan!"
[4] Asma' bin Al-Hakam Al-Fazârî bercerita:
"Pada peperan gan Shiffin bersama Imam Ali as, kami berada di bawah bendera yang dipegang Ammar bin Yasir. Ketika itu matahari mulai naik (waktu dhuha). Kami berteduh dengan kain merah. Tiba-tiba ada seorang datang menghadap dengan mengangkat Mushhaf. Persis di hadapanku dia berucap:
'Apakah Ammar bin Yasir ada di tengah-tengah kalian?
"Akulah Ammar", jawab Ammar.
"Apakah engkau Abu Yaqthan?" tanya orang itu.
 "Benar," jawab Ammar.
"Ada yang ingin aku bicarakan. Apakah kita berbicara di sini saja atau empat mata?" Tanyanya.
Ammar menjawab: "Terserah!"
Lalu orang itu memilih di hadapan orang banyak. Ammar menyuruhnya agar memulai angkat bicara. Lalu orang itu mulai berbicara:
"Aku telah meninggalkan keluargaku dalam keadaan yakin akan kebenaran yang sedang kita jalani. Aku yakin mereka (pihak Mu'awiyah) berada dalam kebatilan. Aku senantiasa meyakini demikian. Sampai saat malam tiba, dan terdengar olehku suara azan. Terdengar olehku bahwa kita (kedua belah pihak) sama-sama bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan-Nya. Muazin kita mengumandangkan azan yang sama. Kita melakukan salat dengan cara yang sama. Kita berdoa dengan doa yang sama. Kita membaca Alquran yang sarna. Kita mempercayai Rasul yang sama. Di malam itulah aku dihinggapi keraguan. Aku lewati malam yang entah bagaimana. Hanya Allah yang mengetahui. Pagi tiha. Aku segera mendatangi Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Aku menceritakan semua kejadian tersebut kepadanya.
Dengan tenang beliau berkata padaku: "Apakah engkau sudah bertemu dengan Ammar bin Yasir?"
"Tidak!" Jawabku.
Amirul Mukminin kemudian memerintahkanku untuk menemui Ammar dan memperhatikan apa saja yang diucapkan nya. Maka aku menjumpaimu semata-mata demi menjalankan perintah beliau. Kemudian, dengan nada lantang Ammar berkata:
"Tahukah kamu orang yang membawa bendera hitam yang sedang menghadapku itu? Bendera itu milik 'Amr bin Al-'Ash. Tiga kali aku memeranginya bersama Rasulullah. Ini kali keempatnya. Kali ini bukan yang terbaik dan termulia dari yang sebelumnya. Ini kali justru yang terburuk dan terkeji. Apakah engkau hadir di perang Badr, Uhud dan Hunain? Atau setidaknya ayahmu pernah hadir kemudian mencerikan nya kepadamu?"
"'Tidak pernah," jawab lelaki itu.
 Ammar melanjutkan: "Kami waktu itu bersama Rasulu llah di perang Badr, Uhud dan Hunain. Sedangkan mereka (Amr bin Al-Ash dan pasukannya) bersama orang-orang musyrik. Tahukah kamu pasukan itu dan para prajuritnya? Demi Allah! Seandainya orang-orang yang bersama Mu'a- wiyah itu berubah menjadi satu jasad, maka niscaya akan aku sembelih dan cincang ia. Demi Allah, darah mereka lebih halal daripada darah seekor burung pipit. Apakah ada darah burung pipit yang ha ram?
"Tentu tidak ada!", jawab pemuda itu.
"Nah, begitu pula darah mereka”.
Mengertikah kau akan penjelasanku ini?" tegas Ammar.
"Mengerti," jawabnya.
"Sekarang, pilihlah mana di antara dua kubu ini yang lebih kau senangi!", sergah Ammar. Ketika orang itu hendak pergi, Ammar memanggilnya.
 Dia berkata: "Ketahuilah! Mereka akan penggal leher kita dengan pedang mereka. Kemudian orang-orang yang gemar keba tilan di antara kalian mengatakan, sekiranya mereka tidak benar niscaya mereka tidak akan memenangkan kita. Demi Allah! Mereka tidak mempunyai kebenaran, walau hanya sebesar kotoran mata seekor lalat. Demi Allah! Apabila mereka memukul kita dengan pe dang sampai terkapar di tanah, maka aku pastikan bahwa kita tetap dalam kebenaran dan mereka tetap dalam kebatilan. Aku bersumpah demi Allah! Selamanya tidak akan ada kedamaian sampai satu dari dua kelompok ini mengakui kekafi ran, membenarkan kelompok lainnya, dan meyakini bahwa orang yang terbunuh membela mereka masuk surga. Demi Allah! Hari-hari dunia tidak akan berlalu kecuali mereka bersaksi bahwa korban yang terbunuh masuk surga. Mereka juga harus bersaksi bahwa korban yang terbunuh dari pihak lawan akan mendapat siksa di neraka dan yang masih hidup berada dalam kebatilan".
[5] Kepribadian yang Labil dan Disharmonis Pertama konflik yang terjadi dalam pribadi yang labil dan disharmonis ini adalah antara akal dan hawa nafsu. Hawa nafsu berupaya untuk mencampakkan jiwa dari pengaruh akal dan memaksanya bertekuk lutut. Pada saat itu, jiwa manusia mem belah menjadi dua kubu yang bertikai. Penderitaan manusia pada tahap ini besar sekali. Dhamir, fitrah dan akal mempunyai kekuatan yang mengakar dalam pribadi manusia. Mereka selalu melawan pengaruh hawa nafsu dan berupaya untuk membangkitkan dan mengembalikan ke pribadian manusia pada keadaan semula yang harmonis. Dalam tahap pergolakan internal ini, manusia mengemban penderi taan dan nestapa yang luar biasa. Jika akal melemah dalam mengendalikan prilaku ma nusia atau jiwa tidak mampu lagi mengemban tekanan pergo lakan ini, ia berusaha lari dari kesadarannya. Ini adalah pe nyelesaian negatif bagi ketertekanan yang dialaminya. Penyele saian positifhanya dapat dicapai melalui konsistensi jiwa dalam memenuhi panggilan akal dan fitrah. Manusia yang lemah terhadap kekuasaan hawa nafsu, akan terdisosiasi. Dia lari dari kesadarannya supaya selamat dari siksaan pergolakan dan kepedihan yang dialaminya. Pela rian mereka ialah dengan cara mabuk-mabukan, perjudian, tindak kriminal dan pelampiasan naluri seksual. Mengherankan sekali bagaimana manusia dapat lari dari hawa nafsu menuju hawa nafsu; dari kekejian menuju kekejian. Seandainya dia berbuat sebaliknya, lari dari hawa nafsu menuju Allah, niscaya dia akan selamat dan bahagia. Allah SWT berfirman: "Maka larilah ke Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata untukmu". Q.S. Adz-Dzâriyât:50. Selama manusia tidak berlindung kepada Allah, dia akan selalu kalah melawan hegemoni hawa nafsu. Dia lari ke mabuk- mabukan dan pelampiasan seksual demi melupakan diri, pen deritaan, kepedihan dan siksa yang menimpanya dan demi menyelamatkan "diri" dari dirinya. Alquran mengungkap ma salah ini dengan sangat tepat. Allah berfirman: "Mereka melalaikan Allah, maka Dia melalaikan rnereka dari diri mereka." Q.S. Al- Hasyr:19. Orang yang lari dari keadaan sadar dan menuju minuman keras dan hiburan yang haram, sebenarnya sama dengan orang yang ingin melalaikan dirinya sendiri. Mereka termasuk orang yang lari dari keadaan ingat menuju kepada keadaan lupa. Pelarian dengan cara ini ialah yang paling berbahaya. Dhamir ialah benteng pertahanan akhir jiwa dalam mela wan serbuan hawa nafsu. Jika dhamir telah runtuh, maka tahap awal pertempuran dan pertikaian internal dimulai; tahap pen deritaan dan ketersiksaan manusia. Jika setelah itu hawa nafsu menang lagi, maka semua kekuatan manusia telah terenggut. Dan manusia, secara total, berada dalam kendali hawa nafsu. Tidak hanya sampai di sini penderitaan manusia. Dia akan mulai mengalami perpecahan internal lain. Perpecahan yang terjadi akibat konflik antara berbagai kubu hawa nafsu itu sendiri. Jiwa manusia akan menjadi ajang pertempuran yang tak terbayangkan sengitnya antara berbagai kubu hawa nafsu. Dalam pada itu, disintegrasi, kegelisahan, kegoncangan (psik ologis) manusia makin bertambah clengan bertambahnya ur gensi hasrat masing-masing kubu untuk dipenuhi. Untuk lebih jelasnya di bawah ini akan saya berikan beberapa contoh:
1.            Kadang manusia menjadi mangsa naluri balas den dam/amarah dan naluri cinta kehidupan/ kekuasaan secara ber samaan. Naluri cinta tahta menuntutnya agar berpura-pura lembut kepada para penentangnya, sedangkan naluri balas dendam mendorongnya untuk menghabisi mereka. Lemah-lem but yang ini bukan termasuk sopan-santun yang merupakan bagian dari pasukan akal. Ini hanya sekadar sikap mengu tamakan hawa nafsu yang satu atas yang lainnya.
2.            Seringkali naluri cinta tahta berbenturan dengan na luri cinta status sosial yang menuntut suatu etiket kemasya rakatan. Banyak sekali naluri yang menolak etiket semacam itu seperti naluri seksual. Mengekang naluri seksual untuk mem peroleh kedudukan sosial tidak bisa dikatagorikan 'iffah. Ia semata- mata adalah mengutamakan tuntutan hawa nafsu ter tentu atas hawa nafsu yang lainnya. Lazimnya, naluri seksual manusia mengalahkan naluri cinta kedudukannya. Maka dari itu, banyak skandal seksual yang dari masa ke masa membuat para pemimpin berjumpalitan.
3.            Kadangkala manusia menjadi korban konfrontasi an tara cinta tahta dan takut akan diri sendiri. Naluri yang pertama menuntut manusia untuk menyerang dan bertindak se rampangan.
Sementara naluri yang kedua lebih menuntut ke hati-hatian dan kewaspadaan. Inilah tiga contoh adanya konflik intern berbagai hawa nafsu manusia. Konflik tersebut bersifat free-for- all. Berbagai hawa nafsu dan naluri manusia itu sama-sama menggeret jiwa menuju tujuan-tujuan yang berlawanan secara diametral. Takut, rakus, cinta tahta, kikir, dengki, libido, amarah, dendam, cinta harta dan lain sebagainya akan mengacau-balaukan kehidupan psikologis manusia. Mereka mengeroyok jiwa manusia demi kepuasan masing-masing. Pada saat itu, derita, nestapa, keguncangan, keraguan dan disintegritas psikologis makin menjadi-jadi. Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya, dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu, Allah menghendaki siksa bagi rnereka dalam kehidupan dunia dan akan rnelayang nyawa mereka, sedang mereka dalarn keadaan kafir." Q.S. At-Tauhah: 55. Inilah keadaan disharmonis dan disintegral yang menim pa jiwa manusia, sebagaimana yang diisyaratkan hadis qudsi di atas. Nestapa Manusia Terjadi Dalam Wilayah Hawa Nafsu Terpecahnya kepribadian adalah salah satu derita yang dialami jiwa akibat hawa nafsu. Derita lain yang dialaminya, bersifat intrinsik pada nafsu itu sendiri. Setiap nafsu, menyiksa jiwa dengan caranya sendiri. Karenanya, jika manusia berserah diri pada salah-satu dari pelbagai hawa nafsu ini; seperti tamak, rakus, hasut dan lain sebagainya, tentu dia akan tersiksa tidak keruan. Dalam kaitan ini, Al-Mufid dalam kitab Al-Irsyâd
[6] meriwayatkan ujaran Imam Ali sebagai berikut: "Sungguh mengherankan ihwal manusia ini! Bila karunia harapan mendatanginya, kerakusan menghinakannya. Bila kerakusan sudah meraja lela, obsesi membinasakannya. Bila keputusasaan menguasainya, penyesalan akan mengganyangnya. Bila kebahagiaan meliputinya, kelupaan akan mawasdiri mengancamnya. Bila ketakutan mencekamnya, ketegangan membingungkannya. Bila ketenteraman menyelimutinya, kelunglaian menjeratnya. Bila musibah menimpanya, kegelisahan menghantuinya. Bila rezeki mencucurinya, kekayaan merusaknya. Bila kesulitan menyatroninya, bencana mencekiknya. Bila kelaparan meimpanya, kepapaan merenggutnya. Bila dia sudah terlalu kenyang, kelobaan akan menyusahkannya. Maka, setiap kekurangan baginya membahayakan.
Kelebihan yang diperolehnya membinaskan. Kebaikan yang bersamanya membawa kejahatan. Dan kejahatan yang ada padanya membawa penderitaan . Demikianlah, setiap nafsu menggeret manusia kepada nafsu yang lain dan akhirnya kepada kebinasaan yang menyelu ruh. Dunia Bakal Menyiksa Orang yang Mencarinya Hawa nafsu adalah satu sisi dari ketersiksaan manusia. Sisi lainnya ialah dunia. Dunia adalah terminal, tujuan, objek perintah dan gerak hawa nafsu. Jika Allah telah menjadikan ketersiksaan manusia dalam mengikuti hawa nafsunya, maka ketersiksaan itu terletak pada mencari dunia. Ihwal mengikuti hawa nafsu tidak dapat dipisah kan dari ihwal memburu dunia. Hakikat ini, perlu lebih dijelaskan, sebab ia merupakan salah satu saripati pemikiran keislaman. Sebenarnya, di dunia tidak ada kejelekan dan siksa. Be gitu pula perkara mencari dunia. Tetapi, semua itu selama ia hanya dipakai memenuhi tuntutan gerak, pertumbuhan dan perkembangan manusia. Islam raengajarkan bahwa dunia adalah kebaikan dan bukan kejelekan. Islam jugamelegalisasikan manusia berusaha mencari rizki di dunia. Menurut pandangan Islam, "dunia adalah ternpat usaha para wali Allah dan tempat sujud para kekasih Alloh."
[7] Karena itu, dunia bukanlah kejahatan dan siksaan bagi manusia. Berusaha dan mencari dunia adalah suatu hal yang di syariatkan Allah SWT. Allah berfirman: "Apabila kalian telah menunaikan salat, rnaka bertebaranlah di muka bumi; dan curilah karunia Allah ..." Q.S. Al- Jumu’ah:10. Kalau demikian, di mana letak kejelekan dan siksa ma nusia dalam dunia? Dunia itu baik, begitu pula mencari dunia, kalau kita menjadikannya sebagai jalan menuju keridhaan Allah dan me mandang Allah melaluinya. Akan tetapi, jika arah dan tujuan manusia berubah dari mencari Ridha Allah SWT kepada dunia itu sendiri, maka dunia dibenci oleh Islam dan dianggap sebagai kejelekan dan Allah akan menjadikannya sebagai siksa bagi manusia. Dunia menjadi tercelajika berubah fungsi dalam jiwa seorang dari jembatan menuju Allah menjadi tujuan yang di cari. Jika manusia telah berbalik dari Allah SWT ke dunia, maka segala jerih payah baik yang berupa upaya dan usahanya akan menjudi sia-sia belaka. Pertumbuhan dan kesempurnaannya juga ikut berhenti. Setelah itu semua, gerak-gerik manusia di dalamnya menuju kekacauan dan kerugian. Inilab akibat bagi manusia yang berpaling dari Allah.
Tingkat kehancuran manusia bergantung pada seberapa dera jat penyimpangannya. Penyimpangan manusia bisa mencapai titik di mana ia bergerak ke arah yang berlawanan. Pada saat itu, dia akan mengumumkan perang kepada Allah dan Rasul-Nya. Apapun pasalnya, jika dunia berbalik dari jalan menuju Allah kepada tujuan yang dicari dan dikejar, maka dunia pasti akan berubah menjadi siksa dan azab bagi hidup manusia.
Demikianlah perbedaan antara dunia yang mencari ma nusia dan dunia yang dicari manusia. "Dunia yang mencari manusia" bakal membantu melapangkan jalan manusia menuju Allah, tapi "dunia yang dicari manusia”, akan menghalangi jalannya menuju Allah. Saat itu, dunia pennh dengan kepedihan dan siksaan bagi manusia. Rasulullah SAWW bersabda: "Ketika Allah menciptakan dunia, la mernerintahnya agar taat pada Tuhannya. Allah berfirman pada dunia: berpalinglah dari orang yang membu rumu dan burulah orang yang berpaling darimu!" Dunia selalu menepati janjinya kepada Allah dan kodrat vang ditetaphan- Nya."
[8] Riwayat ini mengisyaratkan bahwa Allah SWT telah men jadikan dunia ini sebagai siksa bagi orang yang mengikutinya dan orang yang menjadikannya sebagai tujuan. Sebaliknya, Allah menjadikannyasebagai kesenangan bagi orang yang mencari Allah SWT dan tidak menjadikan dunia sebagai tujuannya. Rasulullah SAWW bersabda: "Allah telah mewahyukan de mikian kepada dunia: "Waliai dunia, layani orang yang mela yani-Ku dan ganyang orang yang menghambakan diri kepa damu."
[9] Riwayat ini, seperti riwayat sebelumnya, menggunakan simbolisme. Kedua riwayat ini sebenarnya ingin menegaskan bahwa dunia diciptakan untuk berkhidmat kepada manusia yang semata-mata bertujuan kepada Allah SWT. Namun, jika manusia menyeleweng dari tujuan Ilahi ini kepada dunia itu sendiri, maka wajib bagi dunia untuk memperbudak dan mem perhambanya. Dan, sungguh menghamba kepada dunia adalah suatu perkerjaan yang melelahkan dan menyiksa. Rasulullah SAWW bersabda bahwa Allah SWT telah mewa hyukan kepada dunia: "Ganyanglah orang yang berkhidmat kepadamu, dan berkhidmatlah kepada orang yang menolak mu”.
[10] Imam Ali as berkata: "Barangsiapa yang berkhidmat pada dunia, maka dunia akan memperbudaknya dan barangsiapa berkhidmat pada Allah, maka Allah akan membantu nya."
[11] Kepada Musa as Allah berfirman: "Tiada seorang pun dari makhluk-Ku yang mengagungkan dunia, kemudian me rasa bahagia karenanya. Dan tiada seorangpun yang menghi nakannya kecuali dia akan memanfaatkannya."
[12] Banyak lagi riwayat yang mengandung pengertian yang sama atau serupa. Orang yang tidak mengerti bahasa agama Islam dalam menjelaskan sunnatullah di alam raya ini, tidak akan bisa mengerti kandungan nash-nash keislaman tersebut kapanpun juga. Bentuk lain Ketersiksaan Manusia yang Mengikuti Hawa Nafsu Pada kajian sebelumnya, saya telah jelaskan bahwa mak na "Aku porak-porandakan urusannya" adalah disosiasi, disin tegrasi dan konflik antar berbagai kubu hawa nafsu akibat mengikuti hawa nafsu dan memburu dunia. Di sini ada bentuk ketersiksaan lain yang diperoleh ma nusia ketika menyimpang dari Allah SWT ke dunia dan hawa nafsunya.   Ketersiksaan itu berupa kerakusan dan keserakahan. Manusia yang kemauan dan orientasinya bergeser dari Allah menuju dunia, tidak akan pernah terpuaskan oleh dunia. Kerakusannya terhadap dunia tidak akan berakhir. Baik dunia meladeninya maupun membelakanginya. Dunia Seperti Bayangan Manusia Barangkali perumpamaan yang paling indah tentang dunia dan pada pendambanya ialah yang terdapat pada ujaran Imam Ali as: "Dunia seumparna bayanganmu. Jika kamu berhenti, ba yanganmu pun ikut berhenti. Jika kamu mencarinya, ia akan menjauh."
[13] Ungkapan ini benar-benar menukik dalam memberikan gambaran tentang hubungan manusia dengan dunia dan se baliknya. Semakin ngotot dan ngoyo manusia dalam mengejar du nia, tidak semakin banyak perolehannya. Karena, dunia bak bayangan seorang. Di saat orangitu mengejarnya dari belakang, bayangannya muncul di depan. Seolah-olah bayangan itu meno lak untuk dikejar. Maka, mengejar bayang-bayang hanya akan menimbulkan kelelahan dan kepenatan. Begitu pula dengan dunia. Oleh karena itu, sebaik-baik kiat mencari dunia ialah dengan bersahaja kepadanya. Karena ngotot dalam mencari dunia tidak akan menambah perolehan seorang darinya, tapi akan menambah kepenatan dan penderitaannya belaka. Beberapa Nash tentang Ketersiksaan Manusia Berikut ini beberapa nash keislaman tentang ketersik saan orang yang mengikuti hawa nafsu dan menjadikan dunia sebagai tujuan hidupnya. Rasulullah SAWW bersabda: "Cinta dunia akan membawa tiga dampak:
1.       Kesibukan yang tidak akan pernah berakhir.
2.        Kefakiran yang tidak akan pernah tercukupi.
3.       Angan-angan yang tidak akan pernah tercapai."
[14] Kefakiran di sini bukan bersifat kuantitatif. Sebab, ka dang seorang disebut fakir padahal dia memiliki harta yang banyak. Kefakiran di sini bermakna kerakusan terhadap harta benda. Di lain pihak, ada seorang yang kaya, padahal dia tidak memiliki dunia kecuali sedikit saja. Rasulullah SAWW bersabda: "Barangsiapa yang di pagi hari pikirannya sudah disibukkan oleh dunia, maka dia tidak akan mendapatkan apa-apa dari Allah dan hatinya akan tertimpa empat perkara: Pertama, kesumpekan yang terus-me nerus; kedua, kesibukan yang tidak beres-beres; ketiga, kefa kiran yang tidak pernah tercukupi; keempat, angan-angan yang tidak akan kesampaian selamanya."
[15] Imam Ali as menegaskan: "Barangsiapa yang hatinya dipenuhi cinta dunia, maka dia akan selalu terliputi oleh tiga perkara:
1.                                         Kesumpekan yang tidak berarti.
2.                                         Sakit yang tidak pernah sembuh.
3.                                         Harapan yang tidak akan tercapai."
[16] Imam Ali as berkata: "Siapa yang menjadikan dunia sebagai puncak harapannya, maka dia akan menelan keseng saraan dan kegelisahan yang berkepanjangan."
[17] Imam Ali as bertutur: "Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai tujuannya, rnaka dia akan mengalami penang gungan yang luar biasa saat berpisah dengannya."
[18] Imam Ali as berucap: "Menangis hati mereka yang ber senang-senang dengan dunia, meskipun (di saat) gembira. Dan bertambah kebencian rnereka atas diri mereka, meski orang lain ingin seperti mereka karena sekelumit rizki yang mereka pe roleh."
[19] Imam Ash-Shadiq as berkata: "Hati seorang yang tergant ung pada dunia, akan digantungi tiga hal:
1.       Kesumpekan yang tidak mempunyai arti.
2.       Angan-angan yang tidak akan tercapai.
3.       Harapan yang tidak akan bisa didapat."
[20] Inilah sebagian siksa bagi mereka yang mengikuti hawa nafsu di dunia sebelum di akhirat nanti. Sebagian yang lain, seperti ketakutan dan kegelisahan yang dialami orang-orang berharta dan bertahta di lingkarannya sendiri atau di luarnya. Keterceraiberaian Urusannya di Akhirat Kita kembali pada kajian "keterceraiberaian manusia". Namun, kali ini terjadi di akhirat. Mula-mula keterceraiberaian manusia yang mengikuti hawa nafsunya terjadi di antara mereka sendiri. Waktu di dunia jasad-jasad mereka tampak berkumpul, tapi jiwa dan nafsu mereka selalu bertikai. Nah, di akhirat nanti Allah akan me nampakkan pertikaian yang mereka sembunyikan sekarang ini. Allah SWT berfirman: "Setiap suatu umat yang masuk (ke neraka), akan mengutuk kawannya." Q.S. Al- A'râf:38. Gambaran lain pertikaian yang nanti akan terjadi ialah marahnya manusia atas kulit, tangan dan kakinya sendiri ke tika semuanya itu memberi kesaksian atas pelbagai perbuatan keji yang dilakukannya di dunia.
Pada hakikatnya, dia ingin menyembunyikan semua itu dari Allah. Namun, kaki, tangan dan kulitnya sendirilah yang membeberkan. Allah berfirman: "Dan mereka berkata pada kullt mereka mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami? Kulit mereka menjawab: "Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai ber kata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata. Q.S. Al- Fushshilat:21.
Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa orang yang bermaksiat dan mengikuti keinginannya di dunia, akan saling berlepas diri dan saling mengutuk di akhirat. Inilah gambaran yang selaras dengan apa yang telah dialami seorang yang me ngikuti hawa nafsunya di dunia. Rasulullah SAWW bersabda: "Hentikan gangguanmu pada dirimu sendiri dan jangan mengikuti hawa nafsumu untuk bermaksiat kepada Allah. Karena, ia akan rnenghujatrnu di kemudian hari nanti. Sampai- sampai yang satu mempersalahkan yang lain dan mgin berlepas tangan, kecuali jika Allah berkehendak mengampuni dan menutupi dengan rahmat-Nya."
[21] II. Aku Kaburkan Dunianya Bentuk Dhahir dan Batin Dunia Siksa kedua yang bakal dialami orang yang mengikuti hawa nafsu ialah pengaburan dunia. Artinya, menampilkan dunia dalam fenomena yang menggiurkan. Bentuk lahir atau fenomena dunia inilah yang merupakan sumber tipuan dunia dan keterperdayaan manusia. Dengan kata lain, yang menggi urkan adalah permukaan dunia. Dan permukaannya itu mudah lenyap dan hilang. Adapun inti dan batin dunia ialah sumber pelajaran ('ibrah), kejagaan (yaqzhah) dan kezuhudan. Para ahli bashîrah yang terik, akan bisa "membakar" kulit luar dunia yang mudah lenyap itu. Mereka bisa menembus batin dan inti dunia yang membuat mereka zuhud, jaga-siaga dan mengambil pelajaran darinya. Sedangkan mereka yang menyia-nyiakan anugrah bashî rah dari Allah ini, hanya akan bisa melihat dunia secara lahir dan superfisial. Sebagai konsekuensinya, hati mereka akan tertambat, tersungkur dan terperdaya olehnya. Singkat kata, dunia memiliki bentuk lahir dan batin. Sedangkan pandangan manusia terhadapnya terbagi menjadi dua kategori:
1.       Orang yang bashîrahnya tidak bisa menembus lebih dari apa yang tampak dari kehidupan duniawi. Tentang mereka, Allah herfirman: "Mereka hunya mengetahul yang lahir (saja) dari kehulupan dunia; sedangkan rnereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai". Q.S. Ar-Rûm ayat 7.
2.       Orang yang bashîrahnya bisa menerawang dunia sam pai ke yang batinnya. Jika Allah murka pada seseorang, maka Dia akan men cabut bashîrahnya, dan kaburlah baginya yang lahir dan yang batin; kulit dan inti. Pada saat itu, fenomena dunia akan me nipu dan memperdayainya dan tampak padanya hanya sebagai hiasan yang menggiurkan. Alquran menjelaskan: "Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir.... Q.S. Al-Baqarah:212 Pada pembahasan selanjutnya, saya akan mengurai dua sisi kehidupan dunia: yaitu sisi batin dan sisi lahir.
Sisi Batin Dunia Seperti yang telah saya sebutkan bahwa sisi ini tidak akan terlihat kecuali oleh orang-orang yang memiliki bashîrah. Sisi batin ini merupakan sumber kesadaran dan ‘ibrah, bukan sum ber penipuan. Alquran menyifati sisi ini dari dunia dengan cermat sekali. Berikut ini saya sehutkan sebagian sifat batin dunia me nurut Alquran:
1.          Dunia merupakan matâ’ (kesenangan sementara) Allah berfirman: "Padahal kehidupan dunia itu (diban ding dengan) kehidupan akhirat hanya kesenangan (yang sedikit)". Q.S. Ar-Ra'd 26. Matâ' yang digunakan ayat tersebut herarti kelezatan sementara yang dibandingkan dengan kelezatan dan keindahan akhirat yang abadi. Allah SWT berfirman: "Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanya lah sedikit". Q.S. At-Taubah:38.
2.          Dunia adalah 'Aradh (harta benda) Allah SWT berfirman: "Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu)” Q.S. Al-Anfâl:67. Dan firman Allah SWT :"... (lalu kamu membunuhnya) dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak". Q.S. An-Nisâ':94. Dan firman Allah SWT : "... yang niengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata Kami akan beri ampun... " Q.S. Al-A'râf:169. ‘Aradh (harta benda) adalah hal-ihwal yang cepat sirna. Kelezatan duniawi pun demikian. la tidak akan bersifat ahadi bagi siapapun juga.
Meski hegitu, ia sangat menipu dan me ngelabui manusia. Dunia mempunyai dua kondisi. Kondisi yang bisa men jadikan manusia zuhud kepadanya. Kondisi yang mengelabui manusia kepadanya. Adapun kondisi yang bisa membuat manusia zuhud pada nya ialah sifatnya yang seperti 'aradli (harta benda); mudah sirna dan hilang. Sedang kondisi yang menipu dan menjadikan nuinusia .sangat mencintainya, ialah sifatnya yang gampang diperoleh dan cepat didapat ('ajilah).
Manusia sangat suka pada segala yang cepat didapat. Manusia lebih mendahulukan kesenangan yang cepat dirasa daripada yang abadi tapi masih mesti menunggu. Allah SWT berfirman:" Kalau yang kamu serukan kepada mcreka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan tidak berapa jauh pasti mereka mengikutinya" Q.S. At-Taubah: 42. Watak dasar manusia itu tergesa-gesa ('ajul). Ketergesa- gesaan mereka dalam memetik buah yang dekat dan harta benda yang gampang menjadikan mereka gagal menggapai ke lezatan abadi di surga.
3.          Dunia adalah Tempat Penipuan Allah SWT berfirman: "Maka janganlah sekali-kali ke hidupan dunia memperdayakan kamu dan jangan (pula) pe nipu (setan) memperdayakan karnu dalam (mentaati) Allah". Q.S. Luqman:33. Al-Gharûr ialah semua yang menipu manusia, dari harta, status, kekuasaan dan hasrat. Begitulah dengan dunia. Dunia menipu, melalaikan dan menyibukkan manusia. Namun, ia sendiri akan meninggalkan manusia secara tiba-tiba. 4. Dunia adalah Kesenangan yang Memperdayakan Dunia mempunyai dua arti, al-matâ' dan al-gharûr yang kadang digunakan secara terpisah dan kadang secara bersa maan. Allah SWT berfirman: "Kehidupan dunia itu tidak lebih hanyalah kesenangan yang memperdayakan". Q.S. Âlu ‘Imrân: 185 dan Al-Hadîd:20. Sumber tipu-daya itu ialah kesenangan temporal yang segera lenyap ini; dunia.



[1] Dikeluarkan oleh Ibnu Fahd Al-Hilly dalam kitah 'Uddatud Dâ'î:79; Al-Kulayni dalam kitah Ushûlul Kâfî, 2:235; Al-Majlisi dalam kitah Al-Bihâr, 70:78 dan 70:85-86.
[2] Diriwavatkan dari Thabari dalam Kitab Al-Jâmi' Al-Kahîr.
[3] Nahjul Balâghah :36.
[4] Shiffin , karya Nash bin Muzhâhir, 319-320.
[5] Shiffîn , karya Nash bin Muzhâhir, 319-320.
[6] Irsyâdul Mufid :159.
[7] Nahjul Balâghah, hikmah 131.
 [8] Bihârul Anwâr, 70:315.
[9] Bihârul Anwâr, 78:203.
[10] Bihârul Anwâr, 73:121.
[11] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmudî, 2:237.
[12] Bihârul Anwâr, 73:121.
[13] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmudî, 2:284.
[14] Bihârul Anwâr, 77:188.
[15] Mîzânul Hikmah, 3:319.
[16] Syarh Nahjul Balâghah, karya Ibnu Abil Hadid, 19:52; Bihârul Anwâr, 73:130.
[17] Bihârul Anwâr, 73:81.
[18] Bihârul Anwâr, 73:181.
[19] Bihârul Anwâr, 78:21.
[20] Bihârul Anwâr, 73:24.
[21] Al-Mahajjah Al-Baidhâ`, karya Al-Faidh Al-Kâsyânî, 5:111. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar