Kamis, 27 Desember 2012

Kebenaran Yang Hilang (12)


Dalil-Dalil Akal Kalangan Asy'ariyyah Tentang Bolehnya Ru'yah, Serta Pembahasannya.

Menurut kalangan Asy'ariyyah, tidak ada halangan dari sisi akal tentang kemungkinan melihat Allah SWT dengan mata. Karena, ke-mungkinan ini tidak menuntut penetapan sesuatu yang mustahil menurut akal atas Allah SWT. Adapun alasan-alasannya adalah sebagai berikut:

1. Di dalam keyakinan bolehnya Allah SWT dilihat dengan mata tidak terdapat penetapan ke-hudutsan-Nya. Karena, sesuatu yang dapat dilihat tidak menjadi sesuatu yang dapat dilihat disebabkan karena ke-hudutsan-Nya (kebaruannya, atau didahului oleh ketiadaan). Karena jika tidak demikian, maka berarti setiap yang huduts dapat dilihat.

2. Di dalam ru'yah tidak terdapat "huduts makna" pada sesuatu yang dilihat. Karena, warna dapat dilihat, namun "huduts makna" tidak terjadi atasnya. Disebabkan warna adalah 'aradh (sifat).

3. Di dalam penetapan dapat dilihatnya Allah SWT dengan mata (ru'yah) tidak terdapat tasybih (penyerupaan Allah SWT dengan makhluk), tajnis, dan juga tidak mengubah-Nya dari hakikat-Nya. Karena warna hitam dan putih tidak homogen (mutajanisan) dan tidak serupa (mutasyabihan) dengan terjadinya penglihatan atas keduanya.

Marilah kita perhatikan klaim-klaim mereka di atas,

1. Kita katakan, benar, bahwa huduts bukan merupakan syarat yang cukup di dalam ru'yah, dan diperlukan syarat-syarat lainnya, seperti jarak yang sesuai, kepadatan yang memungkinkan terpantulnya cahaya, dan tidak teijadinya beberapa kejadian yang menyebabkan tidak adanya ru'yah. Namun, ru'yah itu sendiri mengharuskan adanya arah (disebabkan faktor berada di hadapan), dan sifat fisik (disebabkan faktor kepadatan), yang mana keduanya ini mengharuskan adanya huduts. Sehingga dengan demikian, segala sesuatu yang dapat dilihat oleh mata adalah muhdats (baru, atau didahului oleh ketiadaan), namun tidak sebaliknya.

Berkenaan dengan point yang kedua (Di dalam ru'yah tidak terdapat penetapan "huduts makna"), kita mengatakan, sesungguhnya makna terjadi dikarenakan bersambung dengan cahaya dan mugabalah (berada di hadapan). Jika tidak ada cahaya dan muqabalah, niscaya tidak akan berlangsung penglihatan dengan mata.

Adapun berkenaan dengan point yang ketiga, kita mengatakan, sesungguhnya point yang ketiga hanya semata-mata pengakuan, sebagaimana sebelum-sebelumnya. Karena sesungguhnya tasybih tetap terjadi, dan mereka tidak dapat memungkirinya. Oleh karena hakikat ru'yah terlaksana dengan adanya mugabalah (berada di hadapan), dan muqabalah tidak terlepas dari kenyataan bahwa sesuatu yang dilihat berada pada arah dan tempat tertentu. Dengan demikian, tidak ada tasybih yang lebih jelas dari ini. Disebabkan adanya arah dan sifat fisik. Mahatinggi Allah dari yang demikian itu. Sungguh, tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.

2. Baqilani berkata, "Adapun hujjah atas yang demikian itu ialah bahwa Allah SWT ada. Sesungguhnya sesuatu dapat dilihat disebabkan karena dia ada. Sesuatu tidak dapat dilihat karena jins-nya. Karena kita tidak melihat jins yang bermacam-macam. Demikian juga, sesuatu dapat dilihat bukan karena ke-hudutsan-nya".[407]

Dengan penjelasan lain, "Selama kita melihat a'radh (jamak dari kata 'aradh, yang berarti sifat) maka tentunya kita pun melihat jawahir (jamak dari kata jawhar, yang berarti substansi)."[408]

"Sesungguhnya ru'yah merupakan kesamaan di antara jawhar dan 'aradh. Oleh karena itu, mau tidak mau ru 'yah harus memiliki satu sebab, yaitu kalau tidak wujud maka huduts. Huduts itu sendiri tidak dapat menjadi sebab ('illah), dikarenakan dia adalah perkara ketiadaan ('adami). Sehingga dengan demikian, maka wujudlah yang menjadi sebab dari ru'yah. Kemudian, dapat disimpulkan bahwa ru'yah dapat berlaku pada al-Wajib dan al-mumkin"[409]

Lemahnya argumentasi ini tampak jelas sekali. Karena banyak sekali sesuatu yang tidak dapat dilihat namun keberadaannya (wujudnya) tidak diragukan. Seperti pikiran, keyakinan, dan keinginan.

Ini menunjukkan akan adanya sebab lain bagi ru'yah, namun bukan wujud.

Oleh karena itu, dari kalangan Asy'ari sendiri banyak yang memprotes argumentasi ini. Seperti pensyarah kitab al-Mawaqif, demikian juga Taftazani di dalam Syarh al-Mathali', dan juga al-Qusyji di dalam kitab Syarh at-Tajrid.[410]

Kata "wujud" lebih pas dari kata "huduts" untuk dijadikan sebagai syarat bagi ru'yah. Namun ungkapan yang mengatakan secara mutlak bahwa "setiap yang ada dapat dilihat" adalah ungkapan yang salah. Supaya menjadi benar, ungkapan tersebut harus diberi batasan dengan syarat-syarat ru'yah. Dan, syarat-syarat ru'yah tidak sejalan kecuali dengan mawjud yang berupa makhluk. Adapun berkenaan dengan Allah SWT, tidak mungkin membandingkan makhluk dengan Pencipta, "Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya. " Jangan lupa, bahwa penerapan hukum-hukum alamiah atas Allah SWT adalah tasybih dan kebodohan.

 

Dalil-Dalil Kalangan Asy'ariyyah Tentang Ru'yah Dari Al-Qur'an al-Karim,Dan Pembahasannya.

Allah SWT berfirman, "Sekali-kali janganlah demikian. Sebenamya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia, dan meninggalkan (kehidupan) akhirat. Wajah-wajah (orang-orang Mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya lah mereka melihat. Dan wajah-wajah (orang kafir) pada hari itu muram, mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat. " (QS. al-Qiyamah: 20 - 25)

Kalangan Asy'ari telah membeda-bedakan arti kata an-nazhar. Pertama, dengan arti mengambil pelajaran (i'tibar). Sebagaimana dalam ayat yang berbunyi, "Maka apakah mereka tidak mengambil pelajaran dari unta, bagaimana dia diciptakan." (QS. al-Ghasyiyah: 17) Kedua, dengan arti menunggu (intizhar). Sebagaimana dalam ayat yang berbunyi, "Mereka tidak menunggu melainkan satu teriakan saja." (QS. Yasin: 49) Ketiga, dengan arti rahmat. Sebagaimana dalam ayat yang berbunyi, "Dan Allah tidak akan memberikan rahmat kepada mereka." (Ali 'lmran: 77) Adapun yang keempat ialah dengan arti melihat.

Dari sekian arti ini, kalangan Asy'ari memilih arti "melihat", disebabkan tidak sesuainya arti-arti yang lain. Adapun berkenaan dengan arti yang pertama, yaitu mengambil pelajaran (i'tibar), sesungguhnya negeri akhirat bukanlah negeri pengambilan pelajaran melainkan negeri balasan. Sementara arti yang kedua, yaitu menunggu (intizhar) sesungguhnya kata ini dikaitkan dengan wajah. Di samping itu, pekerjaan menunggu adalah sesuatu yang melelahkan, dan ini tidak sesuai dengan keadaan para ahli surga. Adapun arti rahmat, tidak dapat diterima, dikarenakan tidak mungkin makhluk memberikan rahmat dan kasih sayang kepada pencipta.

Kemudian, mereka memilih makna melihat, dengan petunjuk berdasarkan lidah orang Arab. Yaitu bahwa kata nazhar dengan arti "melihat" selalu diimbuhi kata ila, dan orang-orang Arab tidak menggunakan kata nazhar untuk arti menunggu dengan menggunakan imbuhan ila. Seperti firman-Nya yang berbunyi, "Ma Yandzuruna illa shaihatan wahidah" (Mereka tidak menunggu melainkan satu teriakan saja). Ketika Allah SWT menghendaki arti menunggu, Dia tidak mengim-buhi dengan kata ila. Oleh karena itu, tatkala Allah SWT mengatakan "Ila Rabbiha Nazhirah " (Kepada Tuhannyalah mereka melihat), maka kita tahu bahwa Dia tidak menginginkan arti menunggu, melainkan yang Dia inginkan adalah arti melihat. Demikian juga, tatkala Allah SWT menyertai arti "melihat" dengan menyebut kata "wajah", maka dari situ kita tahu bahwa melihat di sini ialah melihat dengan kedua mata yang ada di wajah."

Mereka juga beragumentasi bahwa kata nazhar di dalam ayat ini tidak mungkin berarti menunggu (intizhar). Karena menunggu (intizhar) merupakan pengurangan, dan yang demikian itu tidak ada pada hari kiamat. Oleh karena surga adalah tempat kenikmatan dan bukan tempat pahala atau siksaan.

Beberapa Catatan Atas Dalil-Dalil Di Atas

1. Adapun perkataan mereka yang mengatakan, jika kata nazhar berarti melihat maka diimubuhi kata ila, sedangkan jika berarti menunggu maka tidak diimbuhi kata ila, perlu kita jawab sebagai berikut: Sesungguhnya kata nazhirah yang terdapat pada ayat di atas adalah isim fa'il. Isim fa'il di dalam amalnya merupakan cabang dari fi'il. Dan, kecabangan (far'iyyah) ini menyebabkan lemahnya 'amil, sehingga oleh karena itu, dia memerlukan sesuatu yang menguatkannya. Di samping itu, di sini, ma'mul juga didahulukan (muqaddam), dan pendahuluan (taqdim) ini tentunya merupakan sebab lainnya lemahnya 'amil. Oleh karena itu, kata nazhirah di sini diimbuhi kata ila.

Di samping itu, penggunaan kata nazhara yang diimbuhi dengan kata ila, dengan arti melihat, juga digunakan di dalam perkataan orang Arab. Sebagaimana perkataan Hasan bin Tsabit di dalam syairnya,

"Wujuhun Yauma Badr Nazhirat Ilar Rahman Ya'ti bil Falah. "

(Pada hari badar, wajah-wajah menanti Tuhan

yang akan datang dengan membawa kemenangan)

Penggunaan yang seperti ini banyak sekali digunakan.

Al-Qur'an al-Karim juga telah mengimbuhi kata isim fa'il nazhirah dengan imbuhan huruf ba di dalam ayatnya yang berbunyi, "Fa Nazhirah Bima Yarji' al-Mursalun". Yang artinya, "Dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu."

Ini artinya, bahwa kata nazhirah dapat berarti "menunggu", baik dengan imbuhan maupun dengan tanpa imbuhan.

2. Adapun perkataan mereka yang mengatakan bahwa "menunggu" adalah berarti pengurangan dan tidak sesuai dengan ahli surga, kita perlu bertanya, dari mana dapat diketahui bahwa ayat-ayat ini berbicara tentang surga?!

Bahkan, kita dapat mengetahui bahwa ayat-ayat ini tengah berbicara tentang saat "hisab", berdasarkan petunjuk ungkapan ayat, "Mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepada mereka malapetaka yang amat dahsyat." Rangkaian ayat ini menceritakan tentang keadaan mereka sebelum masuk ke tempat mereka yang kekal. Karena, jika mereka masuk ke dalam nereka, maka berarti telah ditimpakan kepada mereka malapetaka yang amat dahsyat.

Oleh karena itu, arti "menunggu" sangat tepat sekali. Terlebih lagi, ini merupakan penggunaan yang sebenarnya dalam lidah orang Arab. Dengan demikian, kelompok Asy'ari tidak berhak memblokade makna ini.

Jika kita mengatakan bahwa kata nazhar di dalam ayat di atas berarti menunggu, maka itu artinya kita menafikan Allah dapat dilihat secara inderawi. Sebaliknya, jika kita mengatakan bahwa kata nazhar di dalam ayat di atas berarti melihat, maka yang dimaksud darinya ialah penggunaannya sebagaimana arti kiasan (majazi). Penetapan penggunaan yang seperti ini (yaitu penggunaan kata nazhar dengan arti melihat sebagai arti kiasan) telah dilakukan oleh Syeikh Ja'far Subhani. Yaitu dengan cara men-taqdir-kan (menentukan) adanya mudhaf yang dibuang, sehingga berdasarkan taqdirnya bunyi ayat di atas berbunyi, "ila tsawabi rabbiha nazhirah" (Mereka menunggu ganjaran Tuhannya). Penetapan taqdir yang seperti ini dibenarkan oleh hukum akal, setelah menghadapkan satu sama lain di antara ayat-ayat yang ada. Ayat yang ketiga dihadapkan kepada ayat yang pertama, dan ayat yang keempat dihadapkan kepada ayat yang kedua. Ketika dilakukan penghadapan yang seperti ini, maka kesamaran yang ada pada ayat yang kedua dapat dilenyapkan dengan ayat yang keempat. Berikut ini penyusunan ayat-ayat di atas berdasarkan perbandingan,

a. Ayat "Wajah-wajah (orang-orang Mukmin) pada hari itu berseri-seri", dibandingkan dengan ayat "Dan wajah-wajah (orang kafir) pada hari itu muram".

b. Ayat "Kepada Tuhannyalah mereka melihat" dibandingkan ayat "Mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat".

Oleh karena ayat yang keempat, yang berbunyi "Mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat", jelas artinya, maka dia menjadi petunjuk bagi maksud dari ayat yang kedua, yaitu yang berbunyi "Kepada Tuhannya lah mereka melihat".

Jika maksud dari ayat yang keempat ialah bahwa orang-orang yang berdosa tengah menantikan azab pedih yang akan turun kepadanya, maka ini menjadi petunjuk bahwa kelompok orang-orang yang taat tengah menantikan rahmat dan karunia Allah yang dijanjikan kepada mereka. Sehingga dengan demikian, arti melihat di sini bukanlah berarti melihat kepada Zat Allah SWT. Karena jika tidak, maka tentu dua hal yang saling berhadapan (mutaqabilan) ini telah keluar dari keadaan berhadapan (taqabul), dan ini tentunya menyalahi.

"Dua hal yang saling taqabul —berdasarkan hukum taqabul— harus mempunyai makna dan pemahaman yang sama, dan tidak berbeda sedikit pun di antara keduanya kecuali dalam masalah positif (itsbat) dan negatif (nafi)".[411]

Dengan muqabalah ini ayat menjadi jelas artinya. Terlebih lagi rangkaian ayat ini tengah berbicara tentang saat hisab, sehingga dengan demikian tidak ada yang diharapkan selain dari ganjaran dan rahmat.

Sejumlah riwayat mengisyaratkan kepada makna ini. Seperti riwayat yang terdapat di dalam kitab Tawhid ash-Shaduq, yang berasal dari Imam ar-Ridha as, tentang firman Allah SWT yang berbunyi "Wajah-wajah (orang-orang Mukmin) pada hari itu berseri-seri. Mereka melihat kepada Tuhannya", yaitu yang artinya "wajah-wajah mereka berbinar menantikan ganjaran Tuhannya".[412]

Dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa pemahaman "melihat kepada Zat Allah" itu telah keluar dari kerangka ayat ini dengan kedua kemungkinannya. Jika arti dari kata nazhirah itu menunggu, tentunya terkubur kemungkinan penunjukkan arti ayat ini kepada melihat dengan mata (ru'yah). Demikian juga, jika arti dari kata nazhirah itu melihat, maka itu tidak lain hanya merupakan kiasan dari menunggu rahmat Allah SWT. Sebagaimana ungkapan yang berbunyi, "Jangan kamu melihat kepada tangan si Fulan", dengan arti "Jangan kamu mengharapkan pemberian si Fulan". Penggunaan ungkapan yang seperti ini biasa digunakan. Sebagai contoh, seorang penyair berkata,

"Sesungguhnya aku melihat kepadamu dikarenakan apa yang telah kamu janjikan

Sebagaimana pandangan seorang yang fakir kepada seorang yang kaya."

Oleh karena itu, orang-orang Mukmin melihat (mengharapkan) kepada rahmat Allah SWT pada hari kiamat. Adapun orang-orang yang kafir, keadaan mereka jelas beradasarkan firman Allah SWT yang berbunyi,

"Dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yangpedih." (QS. Ali 'lmran: 77)

Jelas, yang dimaksud dengan ungkapan "tidak melihat kepada mereka" di dalam ayat di atas ialah Allah tidak memberikan rahmat kepada mereka, dan bukannya mereka tidak dapat melihat Allah SWT.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

[1] Yaitu majalah yang diterbitkan oleh Jamaluddin bersama muridnya Muhammad Abduh di kota London.

 

[2] Kitab Nur al-Abshar, karya asy-Syabalanji, hal. 75.

 

[3] Musnad Ahmad, jld. 5, hal. 131.

 

[4] Sahih Bukhari, jld. 8, hal. 26.

 

[5] Sahih Muslim, jld. 3, hal. 155.

 

[6] Al-Mawdhu'at, Ibnu Jauzi, jld. 1, hal. 109.

 

[7] Al-Mawdhu'at, Ibnu Jauzi, jld. 1, hal. 151.

 

[8] Al-Mawdhu'at, Ibnu Jauzi, jld. 1, hal. 218.

 

[9] Khulashah 'Abagat al-Anwar, jld. 2, hal. 350.

 

[10] Khulashah 'Abaqat al-Anwar, jld. 2, hal. 344.

 

[11] Mizan al-I'tidal, jld. 4, hal. 347.

 

[12] Tahdzin at-Tahdzib, jld. 11, hal. 145.

 

[13] Mizan al-I'tidal, jld. 2, hal. 343.

 

[14] Tahdzib at-Tahdzib, jld. 1, hal. 280.

 

[15] Tahdzib at-Tahdzib, jld. 1, hal. 284.

 

[16] Tahdzib at-Tahdzib, jld. 2, hal. 656.

 

[17] Ahmad, Muslim, Turmudzi dan Nasa'i meriwayatkannya dari Abu Sa'id al-Khudri.

 

[18] Diriwayatkan oleh Hafidz al-Maghrib bin Abdul Barr dan Baihaqi di dalam kitab al-Madkhal, dari 'Urwah.

 

[19] Jami' Bayan al-'llm wa Fadhlih, jld. 1, hal. 64 - 65.

 

[20] Tarikh ath-Thabari, jld. 3, hal. 273.

 

[21] Kanz al-'Ummal, jld. 10, hal. 293.

 

[22] Kanz al-'Ummmal, jld. 1, hal. 237 -239.

 

[23] Tadzkirah al-Huffadz, jld. 1, hal. 5.

 

[24] Musnad Ahmad, jld. 3, hal. 12 - 14.

 

[25] Kanz al-'Ummal, jld. 10, hal. 295, hadis 29490.

 

[26] Kanz al-'Ummal,jld. 10, hal. 291, hadis 29413.

 

[27] Sahih Bukhari, kitab ilmu, jld. 1, hal. 30.

 

[28] Adhwa 'ala as-Sunnah al-Muhammadiyyah, Muhammad Abu Rayyah, hal. 53.

 

[29] Ushul al-Fiqh al-Muqaran, Muhammad Taqi al-Hakim, hal. 73.

 

[30] Sirah Ibnu Hisyam, cetakan lama, jld. 2, hal. 603; cetakan ketiga, jld. 4, hal. 185; cetakan terakhir, jld. 2, hal. 221.

 

[31] Al-Muwaththa, Imam Malik, jld. 2, hal. 46.

 

[32] Al-Mustadrak, jld. 1, hal. 93.

 

[33] Nanti akan akan dijelaskan pendapat para ulama ilmu al-Jarh wa ta 'dil tentang 'lkrimah.

 

[34] Saya telah banyak mengambil manfaat dari 'Allamah Sayyid al-Badri tentang penilaian hadis ini.

 

[35] Yanabi' al-Mawaddah, al-Qanduzi al-Hanafi, hal. 104, terbitan Yayasan al-A 'lami, Beirut - Lebanon.

 

[36] Sesungguhnya Ali as adalah Imam pertama dari para Imam dua belas. Di sini, yang menjadi pembahasan penulis ialah siapakah yang dimaksud dengan dua belas orang khalifah itu? Apakah khalifah yang empat atau Imam Ahlul Bait yang dua belas.

 

[37] Silahkan rujuk bab penyelewengan yang dilakukan oleh para muhaddis terhadap hadis.

 

[38] Yanabi' al-Mawaddah, al-Qanduzi al-Hanafi, hal. 104.

 

[39] Yanabi' al-Mawaddah, al-Qanduzi al-Hanafi, hal. 105.

 

[40] Yanabi' al-Mawaddah, hal. 106.

 

[41] Ash-Shawa'iq al-Muhriqah, hal. 150.

 

[42] Tahdzib at-Tahdzib.

 

[43] Mtr at al-Jman, jld. 1, hal. 301.

 

[44] Taqrib at-Tahdzib, jld. 2, hal. 348.

 

[45] Tahdzib al-Asma wa al-Lughat, jld. 2, hal. 91.

 

[46] Tahdzib at-Tahdzib, jld. 2, hal. 226.

 

[47] Syifa al-Asqam, jld. 10, hal. 11.

 

[48] Tahdzib at-Tahdzib, jld. 7, hal. 220.

 

[49] Khulashah 'Abaqat al-Anwar, jld. 2, hal. 47.

 

[50] Tahdzib at-Tahdzib, jld. 5, hal. 303.

 

[51] Tahdzib at-Tahdzib, jld. 5, hal. 303.

 

[52] Tahdzib at-Tahdzib, jld. 5, hal. 303.

 

[53] Mizan al-l’tidal, jld. 2, hal. 417.

 

[54] Tadzkirah Khawash.

 

[55] Yanabi' al-Mawaddah, hal. 118, terbitan Muassasah al-A 'lami Beirut – Lebanon.

 

[56] Ash-hawa'iq, hal. 151.

 

[57] Ash-Shawa'iq, hal 143.

 

[58] Mustadrak al-Hakim, jld 3, hal 197 - 198.

 

[59] Mustadrak al-Hakim, jld 3, hal 197 - 198.

 

[60] Sahih Muslim, bab keutamaan-keutmaan Ahlul Bait.

 

[61] Baihaqi, di dalam Sunan al-Kubra, bab keterangan Ahlul Baitnya (Rasulullah saw); tafsir ath-Thabari, jld 22, hal 5; tafsir Ibnu Katsir, jld 3, hal 485; tafsir ad-Durr al-Mantsur, jld 5, hal 198 - 199; Sahih Turmudzi, bab keutamaan-keutamaan Fatimah; Musnad Ahmad, jld 6, hal 292 - 323.

 

[62] Tafsir ad-Durr al-Mantsur, jld 5, hal 198.

 

[63] Mustadrak al-Hakim, jld 2, hal 416.

 

[64] Musnad Ahmad, jld 3, hal 292 - 323.

 

[65] Lisan al-Arab, jld 9, hal 34.

 

[66] Tafsir ad-Durr al-Mantsur, jld 5, hal 198.

 

[67] Tafsir ad-Durr al-Mantsur, jld 5, hal 198.

 

[68] Wafayat al-A'yan,j\d 1, hal 320.

 

[69] Dala'il ash-Shidq, jld 2, hal 95.

 

[70] Al-Kalimah al-Gharra, Syarafuddin, hal 217.

 

[71] Al-Ghadir, jld 5, hal 266.

 

[72] Penfasiran ayat dari Ibnu Abbas, di dalam kitab tafsir ad-Durr al-Mantsur, jld 5, hal 199.

 

[73] Mustadrak 'ala ash-Shahihain, jld 3, hal 158.

 

[74] Tafsir ad-Durr al-Mantsur, jld 2, pembahasan tafsir surat Ali 'lmran ayat 61.

 

[75] Sahih Bukhari, kitab Manaqib; Sahih Muslim, kitab keutamaan-keutamaan sahabat; dan Musnad Ahmad, riwayat nomer 1463.

 

[76] Sahih Muslim, jld 2, hal 360; Isa al-Halabi, jld 15, hal 176; Sahih Turmudzi, jld 4, hal 293, hadir nomer 3085; al-Mustadrak 'ala ash-Shahihain, jld 3, hal 150.

 

[77] Sahih Bukhari, kitab manaqib; Sahih Muslim. Kitab keutamaan-keutamaan sahabat.

 

[78] Al-Khatim li Washiyi al-Khatim, hal 392.

 

[79] Dala'il ash-Shidg, jld 2, hal 60.

 

[80] Fath al-Barifi Syarh Shahih al-Bukhari, jld 7, hal 61.

 

[81] Minhaj as-Sunnah, jld 4, hal 86.

 

[82] Managib Amirul Mukminin, hal 26 - 27.

 

[83] Al-'Umdah, hal 55.

 

[84] Tarikh Ibnu Katsir, jld 11, hal 147.

 

[85] Al-Khulashah, jld 2, hal 298.

 

[86] Asbab an-Nuzul.

 

[87] Asbab an-Nuzul, al-Wahidi, hal 150.

 

[88] Al-Khasha'ish, hal 29.

 

[89] Ad-Durr al-Mantsur, jld 2, hal 298.

 

[90] Bihar al-Anwar, jld 27, hal 167.

 

[91] Bihar at-Anwart jld 27, hal 170.

 

[92] Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 2, hal. 2.

 

[93] Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 3, hal. 2-5.

 

[94] Musnad Ahmad, jld. 1, hal. 55; Tarikh ath-Thabari, jld. 2, hal. 466; Ibnu Atsir, jld. 2, hal. 124; Ibnu Katsir, jld. 5, hal. 246.

 

[95] Al-'Iqd al-Farid, jld. 3, hal. 64; Abul Fida, jld. 1, hal. 156.

 

[96] Ansab al-Asyraf, jld. 1, hal. 586; Kanz al-'Ummal, jld.3, hal. 140; ar-Riyadh an- Nadhirah,)\A 1, hal. 167.

 

[97] Tankh Ya qubi, jld. 2, hal. 126.

 

[98] Tarikh ath-Thabari, jld. 2, hal. 443 - 446.

 

[99] Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. l, hal. 143, dan jld. 2, hal. 2 - 5.

 

[100] Sahih Bukhari, jld. 5, hal. 177, dan jld. 4, hal. 96.

 

[101] Al-Imamah wa as-Siyasah, jld. l, hal. 25.

 

[102] Tarikh ath-Thabari, jld. 2, hal. 619; Murur adz-Dzahab, jld. l, hal. 414; al- 'Iqd al-Farid, jld. 3, hal. 69; Kanz al-'Ummal, jld. 3, hal. 135; al-Imamah wa as-Siyasah, jld. l, hal. 18; Tarikh adz-Dzahabi, jld. 1, hal. 388.

 

[103] Tarikh Ya'qubi, jld. 2, hal. 115.

 

[104] Al-lmamah wa as-Siyasah, jld. 1, hal. 19.

 

[105] Al-lmamah wa as-Siyasah, jld. 1, hal. 19.

 

[106] Munadzarat fi al-Imamah; al-Manaqib, Ibnu Syahrasyub, jld. 1, hal. 270.

 

[107] Tarikh ath-Thabari, jld. 2, hal. 216 -217.

 

[108] Tafsir ath-Thabari, jld. 19, hal. 72.

 

[109] Al-Bidayah wa an-Nihayah, jld. 2, hal. 40.

 

[110] Muruj adz-Dzahab, Mas'udi, jld. 3, hal. 20.

 

[111] Muruj adz-Dzahab, jld. 3, hal. 20.

 

[112] Yaitu tahun di mana Muawiyah mengumpulkan para pengikutnya pada tahun 42 Hijrah, dan kemudian menamakan mereka dengan nama Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan oleh karena itu tahun tersebut dinamakan dengan "tahun jamaah".

 

[113] Ta`ammulat fl ash-Shahihain, hal. 42 - 43.

 

[114] Abu Hurairah, Mahmud Abu Rayyah, hal. 236.

 

[115] Ibnu Abil Hadid berkata di dalam syarahnya, "Tampaknya, kesalahan berasal dari perawi. Karena Tsawr terletak di Mekkah. Adapun yang benar ialah terletak di antara 'Air dan Uhud.

 

[116] Ahadits Ummil Mukminin 'Aisyah, hal. 399.

 

[117] Ahadits Ummul Mukminin, hal. 400.

 

[118] Tarikh ath-Thabari, jld. 6, hal. 132; Tarikh Ibnu Atsir, jld. 3, hal. 193.

 

[119] Tarikh Thabari, jld. 6, hal. 164; Tarikh Ibnu Atsir, jld. 3, hal. 195.

 

[120] Tarikh ath-Thabari, jld. 6, hal. 108.

 

[121] Al-Ghadir, jld. 7, hal. 288; menukil dari kitab Nuz-hah al-Majalis, jld. 2, hal. 184.

 

[122] Al-Ghadir, jld. 7, hal. 293; menukil dari 'Umdah at-Tahqiq, hal. 154, di mana dikatakan, "Inilah karomah Abu Bakar ash-Shiddiq, yang hanya dimiliki olehnya."

 

[123] Al-Ghadir, jld. 7; menukil dari kitab 'Umdah at-Tahqiq, hal. 134.

 

[124] Tarikh Ibnu Atsir, jld. 3, hal. 149, pada saat menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 56 Hijrah.

 

[125] Sahih Bukhari, jld. 3, hal. 126.

 

[126] Sahih Muslim, bab Tayammum, jld. 1.

 

[127] Sahih Bukhari, jld. 1, kitab Tayammum.

 

[128] Sahih Bukhari, jld. 9, kitab Al-I'tisham.

 

[129] Sahih Bukhari, jld. 5, hal. 202.

 

[130] Sahih Muslim, kitab Jihad, bab Perang Badar, jld. 3.

 

[131] Asy-Syafi fi al-Imamah, hal. 19.

 

[132] Dala'il ash-Shidq, jld. 1, hal. 3.

 

[133] Perkataan muhaqqiq.

 

[134] Al-Muraja'at, hal. 59.

 

[135] Al-Muraja'at, hal. 424.

 

[136] 'Aqidah al-Masih ad-Dajjal, hal. 9.

 

[137] Dala'il ash-Shidq, jld. 1, mukaddimah.

 

[138] Ushul Madzhab asy-Syi'ah, juz 1, hal. 301.

 

[139] Ushul Madzhab asy-Syi'ah, juz 1, hal. 307.

 

[140] Al-lhtijaj, hal.. 321.

 

[141] Ushul Madzhab asy-Syi'ah, jld. 2, hal. 551.

 

[142] Ushul Madzhab asy-Syi'ah, jld. 2, hal. 551.

 

[143] Ushul Madzhab asy-Syi'ah, jld. 2, hal. 551.

 

[144] Asy-Syafi fi Syarh al-Kafi, jld. 2, hal. 62.

 

[145] At-Tawhid, Syeikh Shaduq, hal. 247.

 

[146] Asy-Syi'ah wa Al-Our'an, hal.. 7.

 

[147] Nahjul Balaghah, syarah Muhammad Abduh, hal. 22.

 

[148] Asy-Syi'ah wa Ahlul Bait.

 

[149] Asy-Syi'ah wa Ahlul Bait.

 

[150] Uyun Akhbar ar-Ridha hal.. 85.

 

[151] Nahjul Balaghah, hal. 136, khutbah 92.

 

[152] Al-Ihtijaj, ath-Thabrasi, hal. 84.

 

[153] Tabdid azh-Zhalam, hal. 90.

 

[154] Tabdid azh-Zhalam, hal. 91.

 

[155] Tabdid azh-Zhalam, hal. 40.

 

[156] Tabdid azh-Zhalam, hal. 206.

 

[157] Al-Bidayah wa an-Nihayah, jld. 4, hal. 76; al-Imam ash-Shadiq wa Madzahib al-Arba'ah, hal. 190.

 

[158] Tadzkirah al-Huffazh, jld. 3, hal. 375.

 

[159] Syadzarat adz-Dzahab, jld. 3, hal. 252.

 

[160] Thabaqat asy-Syafi'iyyah, jld. 4, hal. 184.

 

[161] Al-Yaqut fi al-Wa'zh, Abu Faraj Ali Ibnu Jauzi, hal. 48.

 

[162] Al-Yaqut fi al-Wa'zh, Abu Faraj Ali Ibnu Jauzi, hal. 48.

 

[163] Masyariq al-Anwar, karya al-'Adawi, hal. 88.

 

[164] Ad-Din al-Khal.ish, jld. 3, hal. 355.

 

[165] Thabaqat asy-Syafi'iyyah, jld. 3, hal. 22.

 

[166] Al-Kasysyaf, Zamakhsyari, jld. 2, hal. 498.

 

[167] Al-lmam ash-Shadiq wa al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 1, hal. 285.

 

[168] Al-Intifa, Ibnu 'Abdul Barr, hal. 5.

 

[169] Tarikh at-Tasyri' al-lslami, Khudhari, hal. 275.

 

[170] Abu Hanifah, Muhammad Abu Zahrah, hal. 5.

 

[171] Ibid.

 

[172] Al-Khathib, jld. 13, hal. 374.

 

[173] Al-Intifa, Ibnu 'Abdul Barr, hal. 148.

 

[174] Al-Khathib, jld. 3, hal. 374.

 

[175] Ta'wil Mukhtalaf al-Hadits, Ibnu Qutaibah, hal. 63.

 

[176] Al-lntifa, Ibnu 'Abdul Barr, hal. 150.

 

[177] Al-Intifa, Ibnu 'Abdul Barr, hal. 150.

 

[178] Manaqib Abi Hanifah, karya Muwaffiq, jld. 1, jal 137; Tadzkirah al-Huffazh, adz-Dzahabi, jld. 1, hal. 157.

 

[179] Ath-Thabaqat al-Kubra, Sya'rani, jld. 1, hal. 28.

 

[180] Al-Imam ash-Shadiq, Abdul Hal.im al-Jundi, hal. 180.

 

[181] Al-Imam ash-Shadiq, Abdul Hal.im al-Jundi, hal. 162.

 

[182] Al-Imam ash-Shadiq, Abdul Hal.im al-Jundi, hal. 163.

 

[183] Thabaqat al-Fuqaha, Abi Ishaq.

 

[184] Al-Imamah wa as-Siyasah, jld. 2, hal. 156.

 

[185] Mu'jam al-Udaba, jld. 11, hal. 275.

 

[186] Al-Imam ash-Shadiq Mu'allim al-Insan, Ibnu Syahrasyub, hal. 24.

 

[187] Al-lmam ash-Shadiq Mu'allim al-Insan, hal. 52.

 

[188] Syarh al-Muwaththa, Zarqani, jld. 1, hal. 8.

 

[189] Al-Imam ash-Shadiq wa al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 1, hal. 166.

 

[190] Ibnu Khal.akan, jld. 2, hal.. 1116.

 

[191] Seorang qadhi yang menyebarkan mazhab Maliki di negeri Andalus.

 

[192] Manaqib Malik, az-Zawi, hal. 17 dan 18.

 

[193] Ar-Rahmah al-Ghaitsiyyah, hal. 6.

 

[194] Tarikh Baghdad, jld. 1, hal. 164.

 

[195] Jami' Fadha'il al-‘Ilm, jld. 2, hal.. 158.

 

[196] Jami’ Fadha`il al-‘Ilm, jld. 2, hal.. 158.

 

[197] Al-Khathib al-Baghdadi, jld. 2, hal. 175.

 

[198] Al-Imam ash-Shadiq wa al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 1, hal. 498.

 

[199] Tadzkirah al-Huffazh, jld. 1, hal. 176.

 

[200] Tahdzib at-Tahdzib.

 

[201] Al-Manaqib, al-Bazzaz, jld. 2, hal. 153.

 

[202] Jami' Bayan al-'llmu wa Fadhlih.

 

[203] Tawali at-Ta'sis, hal. 86.

 

[204] Al-La'ali al-Mashnu'ah, jld. 1, hal. 217.

 

[205] Al-Intiqa, hal. 70.

 

[206] Ahmad bin Hanbal, Abu Zahrah, hal. 198.

 

[207] Al-lmam ash-Shadiq wa al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 2, hal. 453.

 

[208] Mukaddimah kitab Ahmad bin Hanbal wa al-Mihnah, jld. 3, hal. 131 - 139.

 

[209] Tarikh Ya'qubi, jld. 2, hal. 198.

 

[210] Thabaqat asy-Syafi'iyyah, jld. 1, hal. 270.

 

[211] Zhuhr al-Islam, jld. 4, hal. 8.

 

[212] Tarikh Ibnu Katsir, jld. 10, hal. 239.

 

[213] Tarikh al-Madzahib al-lslamiyyah, Abu Zuhrah, jld. 2, hal. 322.

 

[214] Tarikh Thabari, jld. 4, peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 61 Hijrah, hal. 304.

 

[215] Tarikh Baghdad, jld. 2, hal. 66.

 

[216] Manaqib Ahmad bin Hanbal, hal. 75.

 

[217] Tarikh Baghdad, jld. 4, hal. 119.

 

[218] Ahmad bin Hanbal, Abu Zuhrah, hal. 196.

 

[219] Ahmad bin Hanbal, Abu Zuhrah, hal. 168.

 

[220] Al-Imam ash-Shadiq wa al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 2, hal. 509.

 

[221] Dhuha al-Islam, jld. 2, hal. 235.

 

[222] Zhuhr al-Islam, jld. 4, hal. 96.

 

[223] Wasa'il asy-Syi'ah, jld. 18, hal. 94.

 

[224] Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 4, hal. 14 - 15.

 

[225] Al-Umm, asy-Syafi’i, jld. 5, hal. 22 - 25.

 

[226] Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 5, hal. 119.

 

[227] Tarikh Baghdad, jld. 13, hal. 370.

 

[228] Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 5, hal. 129.

 

[229] Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 5, hal. 141.

 

[230] Al-Mustadrak al-Hakim, jld. 4, hal. 355; Kanz al- 'Ummal, jld. 5, hal. 340, hadis 13129.

 

[231] Al-Fatawa al-Khairiyyah, jld. 2, hal. 150.

 

[232] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 5, hal. 123.

 

[233] Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 5, hal. 123.

 

[234] Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 1, hal. 63.

 

[235] Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 1, hal. 117.

 

[236] Musnad Ahmad, jld. 1, hal. 25; Hifyah al-Awliya, jld. 6, hal. 342; as-Sunan al-Kubra, Baihaqi, jld. 1, hal. 41.

 

[237] Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 1, hal. 242.

 

[238] Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 1, hal. 26.

 

[239] Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 1, hal. 68; al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Khamsah, hal. 37.

 

[240] Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 1, hal. 26.

 

[241] Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba 'ah, jld. 1, hal. 230.

 

[242] Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 1, hal. 307.

 

[243] Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 5, hal. 134.

 

[244] Al-Umm, asy-Syafi’i, jld. 6, hal. 208; al-Fiqh al-lslami wa Adillatuh, jld. 5, hal. 566.

 

[245] Al-Fiqh al-hlami wa Adillatuh, jld. 7, hal. 128.

 

[246] Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 5, hal. 140.

 

[247] Al-Imam ash-Shadiq wa al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 2, hal. 509; Musnad Ahmad bin Hanbal, jld. 1, hal. 120 dan hal. 446; Turmudzi, jld. 1, hal. 142.

 

[248] Sahih Muslim, jld. 1, hal. 51 - 53.

 

[249] Musnad Ahmad, jld. 5, hal. 25; al-Mu'jam al-Kabir, Thabrani, jld. 20, hal. 229 - 230; Majma' az-Zawa 'id, jld. 9, hal. 102; Kam  al-'Ummal, jld. 11, hal. 605, hadis 32 924.

 

[250] Al-Mu'jam al-Kabir, Thabrani, jld. 1, hal. 226; Tarikh Baghdad, jld. 9, hal. 369; Kanz al-'Ummal, jld. 13, hal. 167, hadis 36507. Juga telah ditulis kitab-kitab yang khusus membahas hadis ini, seperti kitab Qishshah ath-Thayr, karya Hakim Naisaburi, yang wafat pada tahun 405 Hijrah.

 

[251] Sahih Turmudzi, jld. 5, hal. 595, hadis 3121; Majma' az-Zawa'id,jld. 9, hal. 126; al-Mustadrak, jld. 3, hal. 130; Misykat al-Mashayih, Khathib Tabrizi, jld. 3, hal. 1721; Khasha'ish Amir al-Mukminin, Nasa'i, hal. 34.

 

[252] Managib al-Kharazmi, hal. 110; Fara'id as-Simthain, jld. 1, hal. 223.

 

[253] Kifayah ath-Thalib, hal. 270; Hilyah al-Awliya`, jld. 1, hal. 65 - 66.

 

[254] Ibnu Jarir ath-Thabari di dalam musnad Ali, dari Tahdzib al-Atsar, hal. 105; al-Mustadrak, jld. 3, hal. 126; Majma' az-Zawa'id, jld.9, hal. 114; al-Mu'jam al-Kabir, Thabrani, jld. 11, hal. 65 - 66; Tarikh Baghdad, jld. 4, hal. 348; Kanz al-'Ummat, jld. 11, hal. 614, hadis 32 877 dan 32078; Dzakha'ir al-'Uqba, hal. 83; juga telah ditulis beberapa kitab yang khusus yang membahas hadis ini, seperti kitab Fath al-Malik al-'Ali, yang berbicara tentang kesahihan hadis ini, karya al-Muqrizi.

 

[255] Ath-Thabaqat, Ibnu Sa'ad, jld. 2, hal. 135; Dzakha'ir al-'Ugba, hal. 83, Manaqib al-Kharazmi, hal. 81; Musnad Ahmad, jld. 5, hal. 113.

 

[256] Dia adalah Abdullah bin Muhammad al-Hanafiyyah, yang mempunyai nama laqab al-Akbar dan nama kunyah Abu Hasyim, yang wafat pada tahun 98 atau 99 Hijrah. Silahkan rujuk kitab Tanqih al-Maqal, karya al-Mamaqani, jld. 2, hal. 212.

 

[257] Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 1, hal. 17.

 

[258] Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 1, hal. 17 - 18.

 

[259] Managib al-Kharazmi, hal. 96 - 97; Fara`id as-Simthain, jld. 1, hal. 344 - 345.

 

[260] Faidh al-Qadir, jld. 4, hal. 357; Fadha'il al-Khamsah min ash-Shihah as-Sittah, jld. 2, hal. hal. 309; 'Ali Imam al-Muttaqin, Abdurrahman asy-Syarqawi, jld. 1, hal. 100 - 101; al-Manaqib, Ibnu Syahrasyub, jld. 2, hal. 361.

 

[261] Al-Bidayah wa an-Nihayah, jld. 7, hal. 356; Kifayah aih-Thalib, hal. 121.

 

[262] Kanz al-'Ummal, hal. 226; ar-Riyadh an-Nadhirah, jld. 2, hal. 218; Kifayah ath-Thalib, hal. 122; al-Ghadir, jld. 3, hal. 353.

 

[263] Al-Muwaththa, Imam Malik, jld. 2, hal. 842; al-Mustadrak, jld. 4, hal. 375; Fadha'il al-Khamsah, jld. 2, hal. 310.

 

[264] Al-lsti'ab, jld. 3, hal. 842; Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 1, hal. 19; Qurthubi menyebutkan di dalam kitab tafsirnya, tatkala berbicara tentang tafsir firman Allah SWT yang berbunyi, "Mengandung dan menyapihnya adalah tiga puluh bulan" (QS. Al-Ahqaf: 15), "Utsman didatangi oleh seorang wanita yang baru melahirkan anaknya enam bulan (anak hasil zina -- penerj.). Lalu Utsman hendak menjatuhkan hadd atas wanita tersebut, namun Imam Ali as berkata kepadanya, 'Bukan itu yang berlaku atasnya. Karena Allah SWT telah berfirman, 'Mengandung sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.'"

 

[265] Al-Isti'ab, jld. 3, hal. 1105 - 1106; Fadha'il al-Khamsah min ash-Shihah as-Sittah, jld. 2, hal. 302; Dzakha'ir al-'Uqba, hal. 84; ash-Shawa'iq al-Muhriqah, hal. 77.

 

[266] Al-Manaqib, Syahrasyub, jld. 2, hal. 367; al-Fushul al-Mi'ah, jld. 5, hal. 366; Kanz al-'Ummal, jld. 3, hal. 379; Bihar al-Anwar, jld. 40, hal. 252; al-Ghadir, jld. 6, hal. 174.

 

[267] Kanz al-'Ummal, jld. 3, hal. 179; Bihar al-Anwar, jld. 40, hal. 257.

 

[268] Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 9, hal. 231; al-Umm, jld. 4, hal. 233; bab "kekhilafahan di dalam memerangi pembuat makar". Syafi’i berkata, "Kita mengenal hukum makar dari Ali as."

 

[269] Ar-Riyadh an-Nadhirah, jld. 3, hal. 163; Dzakaha'ir al-'Uqba, hal. 8l; MaThalib as-Su'ul, hal. 13; Manaqib al-Kharazmi, hal. 48; al-Arba'in, Fakhrurrazi, hal. 466; al-Ghadir, jld. 6, hal. 110.

 

[270] Nahj al-Haq wa Kasyf ash-Shidq, hal. 238; Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid,jld. 1, hal. 19.

 

[271] Nahj al-Haq wa Kasf ash-Shidq, hal. 228; Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 1, hal. 19.

 

[272] Telah lalu penjelasannya.

 

[273] Telah lalu penjelasannya.

 

[274] Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 7, hal. 253.

 

[275] Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 7, hal. 253.

 

[276] Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 1, hal. 26.

 

[277] Al-Irsyad al-Mufid, hal. 256; l'lam al-Wara, hal. 255; Bihar al-Anwar, jld. 46, hal. 62.

 

[278] Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 1, hal. 20.

 

[279] Al-Maghazi, al-Muqidi, jld. 1, hal. 92.

 

[280] Al-Maghazi, jld. 1, hal. 147 - 152; al-Irsyad, Syeikh al-Mufid, hal. 41 - 43; Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 1, hal. 24.

 

[281] Al-Manaqib al-Kharazmi, hal. 167; Manaqib Ibnu al-Maghazili, hal. 198 - 199; Kifayah ath-Thalib, hal. 277; Thabar, jld. 2, hal. 197; Sirah Ibnu Hisyam, jld. 3, hal. 52; Sunan al-Baihaqi, jld. 3, hal. 276; al-Mustadrak, jld. 2, hal. 385; ar-Riyadh an-Nadhirah, jld. 3, hal. 155; Dzakha 'ir al- 'Uqba, hal. 74; Mizan al-I'tidal, jld. 2, hal. 317; Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 1, hal. 29.

 

[282] Dzakha 'ir al-'Uqba, hal. 68; Fadha'il ash-Shahabah, Ahmad, jld. 2, hal. 594; Majma' az-Zawa'id, jld. 6, hal. 114; Nahj al-Haq wa Kasyf ash-Shidq, hal. 239.

 

[283] Tarikh Thabari, jld. 2, hal. 203; al-Kamil, Ibnu Atsir, jld. 2, hal. 110; as-Sirah al-Halabiyyah, jld. 2, hal. 227; al-Bidayah wa an-Nihayah, jld. 4, hal. 28; as-Sirah an- Nabawiyyah, Ibnu Katsir, jld. 3, hal. 55; Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 15, hal. 21; ad-Durr al-Mantsur, jld. 2, hal. 89.

 

[284] Al-Maghazi, al-Waqidi, jld. 2, hal. 470 - 471.

 

[285] Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 1, hal. 20, dan jld. 8, hal. 53.

 

[286] Dia adalah saudara perempuan Amr, yang nama panggilannya (kunyah) adalah Ummu Kultsum.

 

[287] Al-Mustadrak 'ala ash-Shahihain, jld. 3, hal. 33; al-Fushul al-Muhimmah, Ibnu  hubagh al-Maliki, hal. 62; al-Irsyad al-Mufid, jld. 1, hal. 108; Lisan al-'Arab, Ibnu Manzhur, jld. 7,  hal. 127.

 

[288] Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 1, hal. 22.

 

[289] Nahj al-Balaghah, Shubhi ash-Shal.ih, hal. 480 - 481; Qishar al-Hikam, hal. 77.

 

[290] Biografi Imam Ali bin Abi Thalib, dari kitab Tarikh Dimasyq, Ibnu 'Asakir, jld. 1, hal. 205 dan 157; Sunan at-Turmudzi, jld. 5, hal. 596; Fara'id as-Simthain, jld. 1, hal. 259; Majma' az-Zawa'id, jld. 6, hal. 151; al-Mustadrak, al-Hakim, jld. 3, hal. 38 dan hal. 437; Uyun al-Atsar, jld. 2, hal. 132; Musnad Ahmad bin Hanbal, jld. 2, hal. 384; Sahih Muslim, jld. 4, hal. 1878; Ansab al-Asyraf, al-Baladzari, jld. 2, hal. 93; al-Khasha'ish, Nasa'I, hal. 34; Manaqib 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu al-Maghazili, hal. 181; ath-Thabaqat, Ibnu Sa'ad, jld. 2, hal. 110; Yanabi'al-Mawaddah, hal. 49; al-Mu'jam ash-Shaghir, Thabrani, jld. 2, hal. 100; Musnad Abu Dawud ath-Thayalisi, hal. 320; Tadzkirah al-Khawash, Cucu Ibnu Jauzi, hal. 24; as-Sunan al-Kubra, al-Baihaqi, jld. 9, hal. 106 dan hal. 131; Hilyah al-Awliya, jld. 1, hal. 62; Ama al-MaThalib, al-Jazri, hal. 62; Sahih Bukhari, jld. 5, hal. 22; Usud al-Ghabah, jld. 4, hal. 21; al-Bidayah wa an-Nihayah, jld. 4, hal. 182; Tarikh Thabari, jld. 3, hal. 12; Dzakha'ir al-'Uqba, hal. 87; Tarikh al-Islam, adz-Dzahabi, jld. 2, hal. 194; al-'Iqd al-Farid, jld. 2, hal. 194; al-Kamil fi at-Tarikh, jld. 2, hal. 149; Muruj adz-Dzahab, jld. 3, hal. 14; lhqaq al-Haq, jld. 5, hal. 400; Fadha'il al-Khamssah, jld. 2, hal. 161.

 

[291] Lisan al-Mizan, jld. 5, hal. 219; Mizan al-I'tidal, jld. 3, hal. 597.

 

[292] Al-Manaqib, al-Kharazmi, hal. 67; al-Firdaus, jld. 3, hal. 373.

 

[293] Al-Firdaus, jld. 2, hal. 142; hadis 2725; al-Manaqib, al-Kharazmi, hal. 75.

 

[294] Musnad Ahmad, jld. 1, hal. 77; Sunan Turmudzi, jld. 5, hal. 599; Tarikh Baghdad, jld. 13, hal. 288; Kanz al-'Ummal, jld. 13, hal. 639.

 

[295] Sahih Bukhari, jld. 4, hal. 2; Sahih Muslim, jld. 3, hal. 1249; Sunan Ibnu Majah, jl 2, hal. 901.

 

[296] Al-Manaqib, Ibnu al-Maghazili, hal. 200 - 201; Dzakha'ir al-'Uqba, hal. 71.

 

[297] Ma'alim at-Tanzil, al-Baghawi, jld. 3, hal. 400.

 

[298] Musnad Ahmad, jld. 1, hal. 159.

 

[299] Tarikh Thabari, jld. 2, hal. 319 - 321.

 

[300] Musnad Ahmad, jld. 2, hal. 93, dan jld. 4, hal. 368, 372 dan 381.

 

[301] Al-‘Iqd al-Farid, jld. 5, hal. 61.

 

[302] Di antara yang menyebutkan peristiwa Harits bin Nu'man ialah, Fara'id as- Simthain, jld 1, hal. 82; Nur al-Abshar, Syabalanji, hal. 71, terbitan as-Sa'diyyah, dan hal. 71, terbitan al-'Utsmaniyyah; Nadzm Durar as-Samthain, Zarandi al-Hanafi, hal. 93; Yanabi' al-Mawaddah, al-Qanduzi al-Hanafi, hal. 328, terbitan al-Haidariyyah, dan hal. 274, terbitan Islambul.

 

[303] Tarikh Thabari, jld. 3, hal. 208.

 

[304] Telah lalu penjelasannya.

 

[305] Ma'alim at-Tanzil, al-Baghawi, jld. 4, hal. 465; Majma' al-Bayan, jld. 10, hal. 462.

 

[306] Sahih Bukhari, jld. 6, hal. 81.

 

[307] Sunan Turmudzi, jld. 5, hal. 256 - 257.

 

[308] Musnad Ahmad, jld. 3, hal. 212, Ibnu Abi Syaibah, hal. 84 - 85; Kanz al-'Ummal, jld. 2, hal. 431; al-Bidayah wa an-Nihayah, jld. 5, hal. 37.

 

[309] Musnad Abu Dawud, hal. 125; Musnad Ahmad, jld. 3, hal. 184; al-Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah, jld. 12, hal. 169, hadis 12438, dan hal. 173, hadis 12 447; Kanz al-'Ummal, jld. 12, hal. 30, hadis 33831.

 

[310] Al-Mu'jam ash-Shaghir, ath-Thabrani, jld. 1, hal. 256; Kanz al-'Ummal, jld. 1, hal. 210; Majma' az-Zawa 'id, jld. 1, hal. 189.

 

[311] Tanzih al-Anbiya, 'Alam al-Huda asy-Syarif al-Murtadha.

 

[312] Musnad Ahmad, jld. 4, hal. 281.

 

[313] Fadha'il al-Khamsah, Ahmad bin Hanbal, jld. 2, hal. 615.

 

[314] Sahih Muslim, jld. 4, hal. 1871 - 1873; Sahih Bukhari, jld. 5, hal. 23.

 

[315] Sahih Muslim, jld. 5, hal. 1870; Sahih Bukhari, jld. 5, hal. 24.

 

[316] Yaitu firman Allah SWT yang berbunyi, "Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan " (QS. al-Baqarah: 274)

 

[317] al-Mustadrak, jld. 3, hal. 32; Tarikh Baghdad, jld. 13, hal. 19, nomer 6978; al- Firdaus bi Ma'tsur al-Khithab, jld. 3, hal. 455.

 

[318] Fara`id as-Simthain, jld. 1, hal. 143.

 

[319] Kifayah al-Atsar, hal. 38; Bihar al-Anwar, jld. 36, hal. 289.

 

[320] Musnad Ahmad, jld. 3, hal. 3 dan hal. 62; Sunan at-Turmudzi, jld. 5, hal. 624; Tarikh Baghdad, jld. 11, hal. 90; Kanz al- 'Ummal, jld. 12, hal. 112, hadis 34246.

 

[321] Musnad Ahmad, jld. 5, hal. 92 dan 94; al-Mu'jam al-Kabir, jld. 2, hal. 236, hadis 1875, dan hal. 248, hadis 1923.

 

[322] Sahih Bukhari, jld. 4, hal. 218.

 

[323] Sahih Muslim, jld. 3, hal. 1453.

 

[324] Sahih Muslim, jld. 3, hal. 1453.

 

[325] Majma' az-Zawa 'id, jld. 5, hal. 197, jld. 6, hal. 442; Musykil al-Atsar, jld. 1, hal. 224; Musnad Ahmad bin Hanbal, jld. 2, hal. 175 dan hal. 223; terbitan al-Maimanah, al-Kamilfi adh-Dhu'afa, Ibnu 'Uday, jld. 5, hal. 1816; al-Bidayah wa an-Nihayah, jld. 7, hal. 165; Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 8, hal. 259.

 

[326] Kifayah al-Atsar, hal. 69 - 73.

 

[327] Al-Imamah wa as-Siyasah, jld. 1, hal. 22; Kanz al-'Ummal, jld. 5, hal. 588; hadis 14046 dan hadis 1405. Tarikh Thabari, jld. 3, hal. 210; Nahj al-Haq, hal. 264; Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 1, hal. 169.

 

[328] Ibid.

 

[329] Telah lalu penjelasannya.

 

[330] Al-Milal wa an-Nihal., Syahrestani, jld. 1, hal. 144; Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 4, hal. 96.

 

[331] Telah lalu penjelesan mengenainya.

 

[332] Al-lmamah wa as-Siyasah, jld. 1, hal. 14.

 

[333] Syarh as-Sunnah, al-Baghawi, jld. 12, hal. 198; Majma' az-Zawa'id, jld. 6, hal. 251; Kasyf al-Astar, jld. 2, hal. 211.

 

[334] Al-lmamah wa as-Siyasah, jld. 1, hal. 191; Nahj al-Haq, hal. 27; Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 2, hal. 56.

 

[335] Nahj al-Haq, hal. 272; Usud al-Ghabah, jld. 2, hal. 14; ash-Shawa'iq al- Muhriqah, hal. 175, terbitan al-Muhammadiyyah, dan hal. 105, terbitan al-Maimanah Mesir.

 

[336] Telah lalu penjelasannya.

 

[337] Tarikh al-Khamis, jld. 2, hal. 167; Sahih Bukhari, jld. 6, hal. 17.

 

[338] Telah lalu penjelasannya.

 

[339] Ad-Durr al-Mantsur, jld. 2, hal. 466; Nahj al-Haq, hal. 278; Syarh Nahj al- Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 1, hal. 182, dan jld. 12, hal. 17.

 

[340] Nahj al-Haq, hal. 279.

 

[341] Ahkam al-Qur'an, al-Jashshash, jld. 3, hal. 61.

 

[342] Nahj al-Haq, hal. 281; ad-Durr al-Mantsur, jld. 2, hal. 482.

 

[343] Al-Imamah wa as-Siyasah, jld. 1, hal. 28 - 29; Nahj al-Haq, hal. 285.

 

[344] Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 16, hal. 274.

 

[345] Syarh Nahj al-Haq, Ibnu Abil Hadid, jld. 3, hal. 18; Tarikh al-Khamis, jld. 2, hal. 255 dan 259; al-Kamil fi at-Tarikh, jld. 3, hal. 52; al-Imamah wa as-Siyasah, jld. 1, hal. 32; Usud al-Ghabah, jld. 5, hal. 90; Nahj al-Haq, hal. 290.

 

[346] Tarikh al-Khamis, jld. 1, hal. 26; Tarikh Thabari, jld. 5, hal. 49; Tarikh Ya'qubi, jld. 2, hal. 100; al-Ma'arif, Ibnu Quthaibah, hal. 84; Nahj al-Haq, hal. 293; Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 1, hal. 198.

 

[347] Nahj al-Haq, hal. 294; Tarikh al-Khamis, jld. 2, hal. 262; Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 1, hal. 199; Tarikh al-Khulafa, hal. 164.

 

[348] Nahj al-Haq, hal. 295; Usud al-Ghabah, jld. 3, hal. 259; Tarikh Ibnu Katsir, jld. 7, hal. 163; Tarikh al-Khamis, jld. 2, hal. 268; Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 1, hal. 198, dan jld. 3, hal. 40.

 

[349] Tarikh al-Khamis, jld. 2, hal. 271; al-Imamah wa as-Siyasah, jld. 1, hal. 32; Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 1, hal. 238; Nahj al-Haq, hal. 296.

 

[350] Tarikh Ya'qubi, jld. 2, hal. 162; al-Kamil fi at-Tarikh, jld. 3, hal. 56; Nahj al- Haq, hal. 298; Ansab al-Asyraf, jld. 5, hal. 52; Muruj adz-Dzahab, jld. 2, hal. 339.

 

[351] Yanabi' al-Mawaddah, bab 61, hal. 350; Maqtal al-Husain, al-Muqrim.

 

[352] Al-Khuthath al-Muqiziyyah, jld 2, hal 390.

 

[353] Tarikh al-Falsafah al-'Arabiyyah, jld 1, hal 179.

 

[354] Al-Milal wa an-Nihal, asy-Syahrestani, jld 1, hal 164.

 

[355] Mir'at al-'Uqu l fi Syarh Akhbar Aali ar-Rasul, jld 1, hal 84.

 

[356] Mir'at al-'Uqul fi Syarh Akhbar Aali ar-Rasul, jld 84.

 

[357] Perkataan Muhammad Rasyid Ridha, murid Muhammad Abduh di dalam kitab Adhwa` 'ala as-Sunnah al-Muhammadiyyah, karya Muhammad Abu Rayyah, hal 23.

 

[358] Al-Milal wa an-Nihal, Syahrestani, jld 1, hal 165.

 

[359] Fi' 'Aqa'id al-Islam, kumpulan risalah-risalah Muhammad bin Abdul Wahhab, hal 155.

 

[360] Al-Milal wa an-Nihal, jld 1, hal 105.

 

[361] Kitab as-Sunnah, hal 54.

 

[362] Kitab as-Sunnah, hal 76.

 

[363] Kitab as-Sunnah, hal 76.

 

[364] Kitab at-Tauhid, hal 113; Kitab as-Sunnah, hal 65.

 

[365] Kitab at-Tauhid, hal 190.

 

[366] Kitab at-Tauhid, hal 190.

 

[367] Kitab at-Tauhid, hal 184.

 

[368] Kitab at-Tauhid, hal 184.

 

[369] Kitab as-Sunnah, hal 190.

 

[370] Kitab as-Sunnah, hal 71.

 

[371] Kitab as-Sunnah, hal 79.

 

[372] Kitab as-Sunnah, hal 81.

 

[373] Kitab at-Tauhid, hal 217.

 

[374] Kitab at-Tauhid, hal 194.

 

[375] Al-Bidayah wa an-Nihayah, jld 14, hal 4-5.

 

[376] Rihlah Ibnu Bathuthah, hal 95.

 

[377] Al-Milal wa an-Nihal, hal 84.

 

[378] Tafsir Surah an-Nur, Ibnu Taimiyyah, hal 178 - 179.

 

[379] Al-Muqaddimah fi Ushul at-Tafsir, hal 51.

 

[380] Tafsir ath-Thabari, jld 3, hal 7.

 

[381] Tafsir ath-Thabari, jld 3, hal 9.

 

[382] Al-'Aqidah al-Hamawiyyah al-Kubra, yang merupakan kumpulan surat-surat Ibnu Taimiyyah, hal 329 - 332.

 

[383] Faidh al-Qadir, asy-Syaukani.

 

[384] Tafsir ath-Thabari, jld 2, hal 82.

 

[385] Tafsir al-Baghawi.

 

[386] Al-Milal wa an-Nihal, jld 4, hal 42, Syahrestani.

 

[387] Al-Milal wa an-Nuhal, jld 4, hal 42.

 

[388] Al-Milal wa an-Nihal, Syeikh Ja’far as-Subhani.

 

[389] Fi 'Aqa'id al-Islam, Muhammad bin Abdul Wahhab, hal 38.

 

[390] Risalah Arba'ah Qawa'id, Muhammad bin Abdul Wahhab, hal 4.

 

[391] Risalah Arba'ah Qawa'id, Muhammad bin Abdul Wahhab, hal 4.

 

[392] 'Aqa'id al-Islam, kumpulan surat-surat Muhammad bin Abdul Wahhab, hal 26.

 

[393] 'Aqa 'id al-Islam, Muhammad bin Abdul Wahhab, hal 26.

 

[394] Al-Musyahadat al-Ma'shumiyyah 'lnda Qabr Khair al-Barriyyah, hal 15.

 

[395] Fath al-Majid, Mufid bin Abdul Wahhab, hal 67, cetakan 6.

 

[396] Sunan Ibnu Majah, jld 1, hal 331; Mustadrak al-Hakim, jld 1, hal 313; Musnad Ahmad, jld 4, hal 138; al-Jami' ash-Shaghir, hal 59; Talkhish al-Mustadrak, adz-Dzahabi.

 

[397] Al-Tawashshul ila Haqiqah at-Tawassul, hal 158.

 

[398] Kasyf al-Irtiyab, hal 309, menukil dari kitab Khulashah al-Kalam.

 

[399] At-Tawashshul ila Haqiqah at-Tawassul, hal 66.

 

[400] Fath al-Barifi Syarh Shahih al-Bukhari, jld 13, hal 371.

 

[401] Al-Farq Baina al-Firaq, hal 5.

 

[402] Thabaqat asy-Sya'rani, jld 1, hal 44; Manaqib Ahmad, hal 343; Nur al-Abshar, Syabalanji, hal 225.

 

[403] Tafsir Nur al-Ma'ani, jld 9, hal 52, terbitan Dar Ihya at-Turats al-'Arabi - Beirut, tahun 1985 Masehi.

 

[404] At-Tawhid. Karya ash-Shaduq, hal 112, hadis nomer 9.

 

[405] At-Tawhid, karya ash-Shaduq, ha '09, hadis nomer; at-Tawhid, 109.

 

[406] at-Tawhid, karya ash-Shaduq, hal 108, hadis nomer 5.

 

[407] Al-Madzahib al-lslamiyyah, Abdurrahman al-Badawi, jld 1, hal 613.

 

[408] Min al-'Aqidah wa ila ats-Tsawrah, jld 2, hal 253.

 

[409] Al-Milal wa an-Nihal, karya Syeikh Ja'far as-Subhani, jld 2, hal 200.

 

[410] Dala'il ash-Shidq, Syeikh Mudzaffar, jld 2, hal 184.

 

[411] Al-Milal wa an-Nihal, Ja'far as-Subhani, jld 2, hal 205.

 

[412] At-Tawhid, Syeikh Shaduq, hal 116.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar