Kamis, 27 Desember 2012

Kebenaran Yang Hilang (11)


Apakah Keyakinan Tentang Dimilikinya Kemerdekaan Atau Tidak Dimilikinya Merupakan Tolak ukur Tauhid Dan Syirik?

Saya mengkhususkan tema ini pada pembahasan tersendiri. Karena di dalamnya terdapat point penting yang menjadi pemisah antara tauhid dan syirik, yang luput dari perhatian kalangan Wahabi. Mau tidak mau kita harus mengetahuinya, supaya kita dapat mengetahui bagaimana cara menyikapi cara-cara alami dan sebab-sebab gaib. Orang-orang Wahabi berpendapat bahwa bertawassul kepada sebab-sebab yang alami tidaklah menjadi masalah. Seperti menggunakan sebab-sebab di dalam keadaan-keadaan alami. Akan tetapi, menurut pandangan mereka, bertawassul kepada sebab-sebab gaib, seperti -misalnya— Anda meminta sesuatu kepada seseorang yang Anda tidak akan memperoleh sesuatu itu melalui cara-cara alami, melainkan cara-cara gaib, adalah syirik. Ini merupakan kekeliruan yang sangat fatal, di mana mereka menjadikan cara-cara materi dan cara-cara gaib sebagai tolak ukur tauhid dan syirik. Sehingga berpegang kepada cara-cara materi berarti tauhid yang sesungguhnya, sementara berpegang kepada cara-cara gaib berarti syirik yang sebenarnya.

Jika kita melihat secara mendalam kepada cara-cara ini, niscaya kita akan menemukan bahwa tolak ukur tauhid dan syirik berada di luar kerangka cara-cara ini. Tolak ukur tersebut semata-mata kembali kepada diri manusia dan kepada bentuk keyakinannya terhadap cara-cara ini. Jika seorang manusia meyakini bahwa sebab-sebab ini mempunyai kemerdekaan yang terlepas dari kekuasaan Allah SWT, maka keyakinannya ini syirik.

Sebagai contoh, seseorang yakin bahwa suatu obat tertentu dapat menyembuhkan sebuah penyakit secara merdeka dan terlepas dari kekuasaan Allah SWT, maka perbuatan orang ini syirik. Walau bagaimana pun bentuk sebab-sebab tersebut, apakah melalui cara-cara alami atau cara-cara gaib. Yang menjadi dasar dalam masalah ini ialah ada atau tidak adanya keyakinan akan kemerdekaan dari Allah SWT. Jika seseorang meyakini bahwa semua sebab itu tidak merdeka dan tidak terlepas dari kekuasaan Allah SWT, baik di dalam wujudnya maupun di dalam pemberian pengaruhnya, dan bahkan dia itu tidak lebih hanya merupakan makhluk Allah SWT, yang menjalankan perintah dan kehendak-Nya, maka keyakinan orang ini adalah tauhid yang sesungguhnya.

Saya tidak yakin ada seorang Muslim di muka bumi ini yang mempunyai keyakinan bahwa sebab tertentu dapat memberikan pengaruh secara merdeka dan terlepas dari kekuasaan Allah SWT. Oleh karena itu, kita tidak berhak menisbatkan kemusyrikan dan kekufuran kepada mereka. Adapun tawassul mereka kepada para rasul dan para wali, atau tabarruk mereka kepada bekas-bekas peninggalan mereka untuk meminta syafaat atau yang lainnya, tidak termasuk syirik.

Al-Qur'an al-Karim telah berbicara tentang sebab-sebab, di mana dia menisbatkan sebagian sesuatu kepada Allah SWT, dan ada kalanya menisbatkannya kepada yang menjadi sebab-sebabnya secara langsung. Berikut ini saya kemukakan beberapa contoh darinya:

Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Allah Dia lah Maha Pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh." Ayat ini menekankan bahwa rezeki berada di tangan Allah SWT.

Jika kita melihat kepada firman Allah SWT yang berbunyi, "Berilah mereka rezeki (belanja) dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. " Di sini kita melihat rezeki dinisbatkan kepada manusia.

Pada ayat yang lain, Allah SWT menyatakan Diri-Nya sebagai penanam yang hakiki. Allah SWT berfirman, "Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu tanam? Kamu kah yang menanamnya ataukah Kami yang menanamnya?" (QS. al-Waqi'ah: 63 - 64)

Pada ayat yang lain Allah menisbahkan sifat penanaman tersebut kepada manusia. Allah SWT berfirman, "Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanarnnya, karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir." (QS. al-Fath: 29)

Pada sebuah ayat Allah SWT menjadikan pencabutan nyawa berada di tangan-Nya. Allah SWT berfirman, "Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya."

Sementara pada ayat yang lain Allah SWT menjadikan pencabutan nyawa sebagai perbuatan malaikat. Allah SWT berfirman, "Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, dia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya." (QS. al-An'am: 61)

Pada sebuah ayat Allah menyatakan bahwa syafaat hanya khusus milik Allah SWT. Allah SWT berfirman, "Katakanlah, 'Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya.'" (QS. az-Zumar: 44)

Sementara pada ayat yang lain Allah SWT memberitahukan tentang adanya para pemberi syafaat selain Allah. Seperti malaikat, misalnya. Allah SWT berfirman, " Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafaat mereka sedikit pun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridai-Nya." (QS. an-Najm: 26)

Pada sebuah ayat Allah menyatakan bahwa pengetahuan terhadap hal-hal yang gaib adalah sesuatu yang khusus bagi Allah. Allah SWT berfirman, "Katakanlah, 'Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahuiperkarayang gaibkecuali Allah.'" (QS. an-Naml: 65)

Sementara pada ayat yang lain Allah SWT memilih para rasul di antara hamba-hamba-Nya, untuk diperlihatkan kepada mereka hal-hal yang gaib. Allah SWT berfirman, "Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepadamu hal-hal yang gaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya." (QS. Ali Imran: 179)

Dan begitu juga ayat-ayat yang lainnya.

Seorang yang melihat ayat-ayat ini secara sekilas, mungkin dia mengira di sana terdapat sebuah pertentangan. Pada kenyataannya, sesungguhnya ayat-ayat di atas menetapkan apa yang telah kita kata-kan. Yaitu bahwa hanya Allah SWT sajalah yang merdeka di dalam melakukan segala sesuatu. Adapun sebab-sebab yang lain, di dalam melakukan perbuatannya mereka bersandar dan berada di bawah naungan kekuasaan Allah SWT. Allah SWT telah meringkas pengertian ini di dalam firman-Nya yang berbunyi, "Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah lah yang melempar." (QS. al-Anfal: 17)

Allah menyatakan bahwa Rasulullah saw yang telah melempar — dengan kata-kata "ketika kamu melempar". Namun pada saat yang sama Allah SWT menyatakan dirinya sebagai pelempar yang sesung-guhnya, karena sesungguhnya Rasulullah saw tidak melempar melain-kan dengan kekuatan yang telah Allah berikan kepadanya. Sehingga dengan begitu, Rasulullah saw adalah pelempar ikutan (bittaba').

Kita dapat membagi perbuatan Allah kepada dua bagian:

1. Perbuatan dengan tanpa perantara (kunfayakun).

2. Perbuatan dengan perantara. Seperti Allah menurunkan hujan dengan perantaraan awan, menyembuhkan orang sakit dengan perantaraan obat-obatan, dan lain sebagainya.

Jika seorang manusia bergantung dan bertawassul kepada perantara-perantara ini, dengan keyakinan bahwa perantara-perantara tersebut tidak merdeka dan tidak terlepas dari kekuasaan Allah SWT, maka dia itu seorang muwahhid (orang yang mengesakan Allah), namun jika sebaliknya, maka dia orang musyrik.

Apakah Kemampuan Atau Ketidak-mampuan Merupakan Tolak Ukur Tauhid Dan Syirik?

Kalangan orang-orang Wahabi mempunyai kekeliruan yang lain di dalam masalah tauhid dan syirik, dan ini persis sebagaimana yang lalu. Mereka menetapkan bahwa salah satu dari tolak ukur tauhid dan syirik ialah adanya kemampuan atau ketidak-mampuan orang yang diminta pertolongan untuk merealisasikan kebutuhan yang diminta. Jika dia mampu maka tidak masalah, namun jika tidak mampu maka itu syirik. Sungguh ini merupakan kebodohan yang sangat.

Masalah ini sama sekali tidak mempunyai pengaruh di dalam masalah tauhid dan syirik, melainkan hanya merupakan pembahasan tentang bermanfaat atau tidak bermanfaatnya permintaan.

Di antara kekerasan hati orang-orang Wahabi ialah, mereka meng-hardik para peziarah Rasulullah saw dengan mengatakan, "Hai musyrik, Rasulullah saw tidak memberikan manfaat sedikit pun kepadamu."

Mereka memang bodoh. Sesungguhnya masalah bermanfaat atau tidak, itu tidak memberikan pengaruh di dalam masalah tauhid dan syirik.

Bukti kebodohan Wahabi yang lainnya ialah, mereka tidak membolehkan bertawassul dan meminta kepada orang yang sudah meninggal dunia.

Ibnul Qayyum —murid Ibnu Taimiyyah— mengatakan, "Salah satu di antara bentuk syirik ialah meminta kebutuhan dari orang yang telah meninggal dunia, serta memohon pertolongan dan menghadap kepada mereka. Inilah asal muasal syirik yang ada di alam ini. Karena sesungguhnya orang yang telah meninggal dunia, telah terputus amal perbuatannya, dan dia tidak memiliki sedikit pun kekuasaan untuk mendatangkan bahaya dan manfaat bagi dirinya."[395]

Ini termasuk perkataan yang aneh, yang tidak akan keluar kecuali dari orang yang tidak memiliki ilmu dan pemahaman tentang agama. Bagaimana mungkin permintaan sesuatu dari orang yang masih hidup dikatakan tauhid, sementara permintaan sesuatu yang sama dari orang yang telah meninggal dunia dikatakan syirik?! Jelas, perbuatan yang semacam ini keluar dari kerangka pembahasan tauhid dan syirik, dan kita dapat meletakkannya di dalam kerangka pembahasan apakah permintaan ini berguna atau tidak berguna. Dan permintaan yang tidak berguna tidak termasuk syirik.

Sebagaimana yang telah kita utarakan, sesungguhnya yang menjadi tolak ukur dasar di dalam masalah tauhid dan syirik ialah keyakinan. Keyakinan di sini bersifat mutlak. Tidak dikhususkan bagi orang yang hidup atau orang yang mati. Dengan demikian, perkataan Ibnul Qayyim tampak jelas batalnya. Perkataan dia yang berbunyi, "Sesungguhnya orang yang mati telah terputus amal perbuatannya", seandainya benar, itu tidak lebih hanya menetapkan bahwa meminta dari orang yang mati itu tidak berguna, namun tidak menetapkan bahwa perbuatan itu syirik. Adapun perkataannya yang berbunyi, "Orang yang telah mati tidak memiliki sedikit pun kekuasaan untuk mendatangkan bahaya atau manfaat bagi dirinya", adalah merupakan perkataan yang umum yang mencakup orang yang telah mati maupun orang yang masih hidup. Karena seluruh makhluk, baik yang hidup maupun yang mati, tidak memiliki sedikit pun kekuasaan atas dirinya. Dia hanya memiliki kekuasaan atas dirinya semata-mata dengan izin dan kehendak Allah.

Juga masih banyak kekeliruan-kekeliruan lain yang dimiliki kalangan Wahabi, namun kita tidak dapat mendiskusikan semuanya di sini. Para pembaca yang mulia, Anda dapat menjawab kekeliruan-kekeliruan mereka itu berdasarkan dasar-dasar keterangan di atas.

Setiap Muslim boleh memohon pertolongan dan bertawassul kepada para wali Allah di dalam setiap urusan, baik yang gaib maupun yang materi, dengan menjaga dan memperhatikan syarat-syarat sebagai-mana yang telah dijelaskan.

Allah SWT berfirman, "Sulaimanberkata, 'Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singga-sananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.' Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin berkata, 'Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya.' Se-seorang yang mempunyai ilmu dari al-Kitab berkata, 'Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.' Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana hu terletak di hadapannya, ia pun berkata, 'lni termasuk kurnia Tuhanku.'" (QS. an-Naml: 38 - 40)

Jika Sulaiman as meminta perkara gaib ini dari para pengikutnya, dan jika seorang laki-laki yang mempunyai sedikit ilmu dari al-Kitab mampu melaksanakan permintaan itu, maka tentu kita boleh meminta kepada orang yang mempunyai seluruh ilmu al-Kitab. Terlebih lagi kepada Rasulullah saw dan Ahlul Baitnya.

Apakah Bertawassul Kepada Para Nabi Dan Orang-Orang Saleh Itu Haram?

Dari pembahasan yang lalu kita telah mengetahui bahwa tawassul dan istighasah (memohon pertolongan), keluar dari kerangka pembahasan tauhid dan syirik. Sekarang, tersisa pembahasan berikutnya, yaitu, apakah perbuatan itu dibolehkan atau diharamkan.

Belum pernah ada seorang pun dari para ulama Islam —baik dahulu maupun sekarang— yang mengatakan haramnya tawassul. Banyak sekali terdapat riwayat yang memperbolehkan perbuatan tawassul. Berikut ini beberapa contoh dari riwayat-riwayat tersebut:

Usman bin Hanif meriwayatkan,

"Seorang laki-laki buta datang ke hadapan Rasulullah saw dan berkata, 'Berdoalah kepada Allah supaya Dia menyembuhkanku.' Rasulullah saw bersabda, 'Jika kamu ingin, niscaya aku berdoa; namun jika kamu mau, kamu dapat sabar, dan itu lebih baik.' Laki-laki buta itu berkata, 'Berdoalah.' Rasulullah saw memerintahkannya untuk berwudu dengan cara yang paling bagus, kemudian salat dua rakaat, lalu berdoa dengan doa sebagai berikut, 'Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, dan menghadap kepada-Mu, dengan perantaraan Nabi-Mu Muhammad, Nabi yang penuh kasih sayang. Hai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap Tuhanku dengan perantaraanmu, supaya Dia memenuhi kebutuhanku. Ya Allah, jadikanlah dia sebagai pemberi syafaat bagiku.," Usman bin Hanif berkata, "Demi Allah, belum sempat kami berpisah, dan belum lama kami berbicara, sehingga laki-laki buta itu menemui kami dalam keadaan bisa melihat dan seolah-olah tidak pernah buta sebelumnya."[396]

Syeikh Ja'far Subhani melakukan kajian tentang sanad hadis ini di dalam bukunya yang berjudul Ma'a al-Wahabiyyinfi Khuthathihim wa 'Aqa'idihim. Dia berkata, "Tidak ada keraguan tentang kesahihan sanad hadis ini. Bahkan, pemimpin kalangan Wahabi (yaitu Ibnu Taimiyyah) mengakui kesahihan sanad hadis ini, dengan mengatakan, 'Sesungguhnya yang dimaksud dengan nama Abu Ja'far yang terdapat di dalam sanad hadis ini adalah Abu Ja'far al-Khaththi. Dia seorang yang dapat dipercaya.'

Raffa'i, seorang penulis Wahabi abad ini, yang berusaha mendaifkan hadis-hadis yang khusus berkaitan dengan tawassul, telah berkata tentang hadis ini, Tidak diragukan bahwa hadis ini sahih dan masyhur. Telah terbukti tanpa ada keraguan sedikit pun bahwa seorang yang buta dapat melihat kembali dengan perantaraan doa Rasulullah saw."[397]

Raffa'i berkata di dalam kitabnya at-Tawashshul, "Hadis ini telah diriwayatkan oleh Nasa'i, Baihaqi, Turmudzi dan Hakim di dalam kitab Mustadraknya. Zaini Dahlan, di dalam kitabnya Khulashah al-Kalam, menyebutkan hadis ini beserta dengan sanad-sanadnya yang sahih, yang kesemuanya berasal dari Bukhari di dalam tarikhnya, serta Ibnu Majah dan Hakim di dalam Mustadrak mereka berdua. Jalaluddin as-Suyuthi juga menyebutkan hadis ini di dalam kitabnya al-Jami'[398]...[399]"

Di sana juga terdapat riwayat-riwayat lain yang banyak sekali, yang tidak akan kita sebutkan, demi ringkasnya pembahasan. Untuk lebih memperdalam, silahkan merujuk kepada hadis bertawassulnya Adam kepada Rasulullah saw. Sebagaimana yang terdapat di dalam kitab Mustadrak al-Hakim, jilid 2, halaman 15; kitab ad-Durr al-Mantsur, jilid 1, halaman 59; dengan menukil dari Thabrani, Abu Na'im al-Ishfahani. Demikian juga hadis tentang bertawassulnya Rasulullah dengan hak-hak para nabi sebelumnya. Sebagaimana juga Thabrani meriwayatkannya di dalam kitabnya al-Kabir dan al-Awsath. Begitu juga Ibnu Hibban dan al-Hakim, mereka berdua mensahihkannya. Selanjutnya, hadis bertawassul kepada orang-orang yang memohon, yang terdapat di dalam sahih Ibnu Majjah, jilid 1, halaman 261, bab al-Masajid; dan begitu juga di dalam musnad Ahmad, jilid 3, halaman 21. Demikian juga dengan riwayat-riwayat yang lain

Di samping itu, sesuatu yang menunjukkan diperbolehkannya tawassul ialah, ijmak kaum Muslimin, dan begitu juga sejarah hidup orang-orang yang sejaman dengan Rasulullah saw. Kaum Muslimin, sejak dahulu hingga sekarang, mereka bertawassul kepada para nabi dan orang-orang saleh. Tidak ada seorang ulama pun yang memprotes dan mengharamkan perbuatan tawassul.

Kita cukupkan sampai di sini pembahasan mengenai seputar keyakinan-keyakinan Wahabi. Diskusi dengan meraka memerlukan waktu yang panjang dan membutuhkan kitab yang tersendiri. Para ulama telah membantah ajaran kalangan Wahabi di dalam berpuluh-puluh kitab dan makalah yang mereka tulis. 'Allamah Muhsin Amin telah membantah keyakinan-keyakinan Wahabi melalui syairnya yang panjang, yang terdiri dari 546 bait. Silahkan Anda rujuk di dalam kitabnya yang berjudul Kasyf al-Irtiyab fi atba 'i Muhammad bin Abdul Wahhab.

Kontradiksi antara Ajaran-Ajaran Asy’ariyah

Sejarah menyebutkan bahwa Abul Hasan al-Asy'ari telah berpindah dari madrasah Mu'tazilah, dan mengumumkan kebergabungannya kepada madrasah Hanbaliyyah. Akan tetapi, perpindahan ini tidaklah cukup untuk dapat menjadikan dia terlepas sama sekali dari jalan Mu'tazilah. Pengaruh-pengaruh pemikiran Mu'tazilah tampak dengan jelas di dalam jalannya yang baru. Dia berusaha mengemas keyakinan-keyakinan salaf dengan kemasan akal. Namun dia tidak berhasil di dalam usahanya ini. Karena keyakinan-keyakinan salaf merupakan keyakinan-keyakinan sima'i, yang bersandar kepada hadis. Padahal banyak sekali hadis-hadis yang tidak sahih yang disisipkan oleh musuh-musuh agama ke dalam warisan Islam. Hadis-hadis ini tidak sejalan dengan kaidah-kaidah akal. Dengan demikian, hal ini menciptakan pertentangan dan kontradiksi yang amat jelas di dalam jalan Abul Hasan al-Asy'ari. Maka lahirlah sekumpulan pertentangan dan kontradiksi manakala Abul Hasan al-Asy'ari hendak mengargumentasikan keyakinan-keyakinan Ahlul Hadis dengan metode akal.

Di sini, kita akan kemukakan satu contoh dari pertentangan yang ada di dalam ajarannya. Yaitu masalah melihat Allah (ru'yatullah). Kalangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah sepakat bahwa Allah SWT akan dapat dilihat. Abul Hasan al-Asy'ari dan murid-muridnya telah ber-usaha untuk mengeluarkan pembahasan ini dari hanya sekedar kerangka hadis kepada kerangka argumentasi akal.

Kitab-kitab Ahlus Sunnah penuh dengan riwayat-riwayat yang secara jelas menyatakan Allah dapat dilihat dengan mata. Berikut ini beberapa contoh dari hadis-hadis tersebut, sebelum kita menyelami pembahasan.

- Dari Jabir yang berkata, "Kami peraah duduk di sisi Rasulullah saw. Lalu, Rasulullah saw melihat ke bulan pada malam bulan purnama. Kemudian Rasulullah saw berkata, 'Kelak kamu akan melihat Tuhanmu sebagaimana sekarang kamu melihat bulan ini, yang tidak samar di dalam melihatnya. Jika kamu mampu untuk tidak bersikap lemah di dalam mengerjakan salat sebelum terbit dan terbenamnya matahari, maka lakukanlah.' Kemudian Rasulullah saw membaca ayat, 'Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit dan terbenamnya matahari.'"

Sahih Bukhari, jilid 1, bab Keutamaan salat Ashar.

Sahih Muslim, jilid 2, bab Keutamaan salat Subuh dan Asar dan memperhatikan keduanya.

- Di dalam sebuah hadis yang panjang, Abu Hurairah meriwayatkan, "Sekelompok orang berkata, 'Ya Rasulallah, apakah kita akan melihat Tuhan kita pada hari kiamat?'

Rasulullah saw berkata, 'Apakah kamu berselisih di dalam melihat bulan pada malam bulan purnama, ketika tidak ada awan?'

Mereka menjawab, 'Tidak, ya Rasulullah.'

Rasulullah saw bersabda, 'Kamu tidak berselisih di dalam melihat Allah pada hari kiamat, sebagaimana kamu tidak berselisih di dalam melihat salah seorang dari kamu.' Sampai Rasulullah saw mengatakan, 'Hingga jika tidak ada yang tersisa kecuali orang yang dahulu menyembah Allah, dari orang yang saleh maupun crrang yang fasik, Allah SWT mendatangi mereka dalam wajah yang paling dekat yang pernah mereka lihat. Allah SWT bertanya, 'Apa yang sedang kamu tunggu?' .... Setiap umat mencari Tuhan yang dahulu disembahnya.

Mereka menjawab, 'Kami meninggalkan manusia ketika di dunia, dan tidak bergaul dengan mereka, dan sekarang kami tengah menunggu Tuhan yang dahulu kami sembah.'

Allah SWT berkata, 'Aku ini Tuhanmu.'

Mereka berkata, 'Kami tidak akan menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun', sebanyak dua atau tiga kali.

Manakala sebagian dari mereka hampir berpaling, lalu Allah SWT berkata, 'Apakah antara kamu dengan Dia terdapat tanda yang dengannya kamu dapat mengenali-Nya?'

Mereka menjawab, 'Betis.' Maka Allah SWT pun menyingkapkan betisnya." Sahih Bukhari, jilid 6, tafsir surat an-Nisa, dan jilid 9, kitab at-Tauhid. Sahih Muslim, jilid 1, bab "Mengenal Jalan Ru'yah (Melihat Allah)".

- Dari Jarir bin Abdullah yang berkata, "Rasulullah saw telah bersabda, 'Kelak kamu akan dapat melihat Allah dengan matamu."

Sahih Bukhari, jilid 9, kitab at-Tauhid. Firman Allah SWT yang berbunyi, "Mereka melihat kepada Tuhannya."

Dan, berpuluh-puluh hadis lainnya yang terdapat di dalam kitab-kitab sahih. Ibnu Hajar berkata berkenaan dengan hadis-hadis ru'yah (melihat Allah), "Daruquthni telah mengumpulkan hadis-hadis yang berkenaan dengan melihat Allah pada hari akhirat, sehingga terkumpul lebih dari dua puluh hadis. Ibnul Qayyum menyelidiki hadis-hadis ru'yah di dalam kitab Hadi al-Arwah, sehingga mencapai tiga puluh hadis, dan sebagian besarnya sahih. Daruquthni berkata dengan ber-sanad kepada Yahya bin Mu'in, 'Saya mempunyai tujuh belas hadis tentang ru'yah yang kesemuanya sahih.'"[400]

Dengan hadis-hadis yang mereka anggap sahih ini, mereka mem-bangun keyakinan tentang dapat melihat Allah pada hari kiamat. Bahkan, Imam Ahmad bin Hanbal bersikap berlebihan dengan mengkafirkan setiap orang yang menentang keyakinan ini. Mereka tidak berhenti sampai di sini, bahkan mereka mengatakan mungkinnya Allah SWT dilihat di dunia.

Al-Isfira'ini berkata, "Kalangan Ahlus Sunnah sepakat bahwa Allah SWT akan dapat dilihat oleh orang-orang Mukmin pada hari akhirat. Mereka juga mengatakan, Allah dapat dilihat pada setiap keadaan, bagi setiap yang hidup, berdasarkan jalan akal. Adapun pada hari akhirat, Allah SWT pasti dilihat oleh orang-orang Mukmin, berdasarkan jalan riwayat."[401]

Setelah itu, para ulama mereka mengklaim telah melihat Allah SWT di dalam mimpi. Sya'rani, Ibnu Jauzi dan Syabalanji meriwayat-kan bahwa Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, "Saya mendengar ayah saya berkata, 'Saya telah melihat Tuhan yang Mahamulia di dalam mimpi. Saya berkata kepada-Nya, 'Wahai Tuhan, Sesuatu apa yang paling utama mendekatkan seseorang kepada-Mu?'

Tuhan menjawab, 'Perkataan-Ku, hai Ahmad.' Saya bertanya lagi, 'Dengan pemahaman atau dengan tanpa pe-mahaman.'

Tuhan menjawab, 'Dengan pemahaman maupun dengan tanpa pemahaman.'"[402]

Al-Alusi telah mengaku melihat Allah sebanyak tiga kali di dalam kitab tafsirnya Ruh al-Ma'ani, "Demi Allah, alhamdulillah, saya telah melihat Allah sebanyak tiga kali di dalam mimpi. Adapun kali yang ketiga saya melihat-Nya pada tahun 1246 Hijrah. Saya melihat-Nya terdiri dari cahaya, dan tengah menuju ke timur. Dia berbicara kepadaku dengan kata-kata yang saya lupa ketika saya bangun. Saya pernah satu kali melihat-Nya dalam sebuah mimpi yang panjang, seolah-olah saya tengah berada di dalam surga, berada di antara kedua tangan-Nya, dan antara saya dengan Dia terdapat tirai yang dikepang dengan mutiara yang beraneka ragam warnanya. Lalu Allah SWT memerintahkan saya untuk pergi ke makam Isa as, dan kemudian ke makam Muhammad saw. Maka saya pun pergi ke makam keduanya. Kemudian, saya pun melihat apa yang saya lihat. Dan hanya kepunyaan Allahlah karunia dan keutamaan."[403]

Inilah ringkasan keyakinan mereka tentang melihat Allah SWT. Mahatinggi Allah dari apa yang mereka katakan.

Sungguh, mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya.

Tidak diragukan, keyakinan ini menuntut pemikiran-pemikiran sebagai berikuf

1. Sesungguhnya penglihatan inderawi (ar-ru'yah al-hissiyyah), sebagaimana yang ditekankan oleh hadis-hadis ini, menuntut sesuatu yang dilihat itu memiliki kepadatan dan warna, sehingga dapat dilihat. Di antara keharusan dari keyakinan ru 'yah (melihat Allah) ialah bahwa sesuatu yang dilihat tersebut memantulkan cahaya, berada di hadapan yang melihat, terdapat jarak di antara yang melihat dengan yang dilihat, di samping harus sehatnya indera penglihatan. Dengan syarat-syarat ini —nau'udzu billah— tentunya Allah SWT berjisim dan dibatasi oleh tempat. Sungguh, ini adalah sesuatu yang mustahil.

2. Selain itu, keyakinan ini juga mengharuskan Allah SWT tampil dengan wajah-wajah yang berbeda. Sebagaimana kata-kata hadis yang berbunyi, "Allah mendatangi mereka dalam wajah yang tidak mereka kenal. Allah SWT berkata, 'Aku ini Tuhanmu.' Mereka berkata, 'Kami berlindung kepada Allah darimu.' Maka Allah SWT pun mendatangi mereka dalam wajah yang mereka kenal." Adapun jalan yang dengannya mereka dapat mengenal Allah SWT ialah betis Allah. Masya Allah, Allah mempunyai betis yang dapat dibuka dan ditutup...!!

Keyakinan-keyakinan yang jelas-jelas kufur ini, merupakan akibat logis dari hadis-hadis Israiliyyat yang diterima oleh saudara-saudara kita Ahlus Sunnah, yang terdapat di dalam kitab Bukhari dan Muslim. Karena, jika sekiranya hadis-hadis ini tidak ada niscaya akal sehat tidak akan menerima perkataan dan keyakinan ini.

Oleh karena itu, kita mendapati Ahlul Bait as menentang keyakinan ini dan seluruh keyakinan yang mendorong kepada keyakinan tajsim dan tasybih. Mereka mendustakan hadis-hadis yang disisipkan oleh Ka'ab al-Ahbar al-Yahudi dan Wahab bin Manbah al-Yamani, yang telah banyak menyebarkan keyakinan tentang tajsim dan ru 'yah. Keyakinan ini telah memenuhi kitab-kitab Ahlus Sunnah. Sungguh, keyakinan ini amat jauh dari ajaran-ajaran Al-Qur'an.

Beberapa Contoh Hadis Ahlul Bait Yang Menaflkan Keyakinan Ru'yah

1. Muhaddis Abu Qurrah mendatangi Ali Abul Hasan ar-Ridha as. Dia bertanya tentang halal dan haram serta berbagai hukum, hingga pertanyaannya sampai kepada masalah tauhid. Abu Qurrah bertanya,

"Sesungguhnya kami meriwayatkan bahwa Allah SWT Azza Wajalla membagi ru'yah (melihat) dan kalam (bicara) di antara dua orang nabi. Allah SWT memberikan kalam kepada Musa as, dan memberikan ru'yah kepada Muhammad saw."

Abul Hasan as berkata, "Siapa yang menyampaikan ayat-ayat berikut dari Allah SWT kepada jin dan manusia, 'Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala sesuatu yang dapat dilihat mata', 'Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi-Nya', dan juga ayat 'Tidak ada sesuatu pun yang menyerupainya.' Bukankah Muhammad saw?"

Abu Qurrah berkata, "Benar."

Abul Hasan as berkata, "Bagaimana mungkin seorang laki-laki datang kepada seluruh makhluk, lalu mengatakan kepada mereka bahwa dia datang dari sisi Allah, dan menyeru mereka kepada Allah SWT dengan perintah-Nya sambil mengatakan, 'Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia daoat melihat segala sesuatu yang kelihatan', namun kemudian mengatakan, 'Saya telah melihat-Nya dengan kedua mata saya, dan telah meliputi-Nya dengan ilmu saya, dalam bentuk seorang manusia.'

Tidakkah kamu malu? Orang-orang zindiq tidak dapat menuduhnya dengan tuduhan ini, di mana dia datang dengan membawa sesuatu tentang Allah SWT, lalu kemudian datang lagi dengan membawa sesuatu kebalikannya!!"

Abu Qurrah berkata, "Sesungguhnya Allah SWT telah berkata, 'Dan sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada waktu yang lain.'"

Abu Hasan as berkata, "Sesungguhnya setelah ayat ini terdapat ayat lain yang menunjukkan apa yang dilihatnya, di mana Dia berkata, 'Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.' Allah SWT berkata, 'Hati Muhammad tidak mendustakan apa yang telah dilihat kedua matanya.' Kemudian, Allah SWT memberitahukan apa yang telah dilihat oleh Muhammad saw, 'Sesungguhnya dia telah melihat sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.' Tanda-tanda kekuasaan Allah SWT bukanlah Allah SWT. Allah SWT telah berkata, 'Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi-Nya.' Jika mata telah melihat-Nya, maka berarti ilmu telah meliputi-Nya."

Abu Hurairah bertanya lagi, "Kalau begitu, berarti Anda mendustakan riwayat-riwayat ini?"

Abul Hasan as berkata, "Jika sebuah riwayat bertentangan dengan Al-Qur'an, maka aku mendustakan riwayat tersebut.

Kaum Muslimim sepakat bahwa Dia tidak dapat diliputi oleh ilmu, tidak dapat digapai oleh penglihatan mata, dan tidak ada satu pun yang menyerupai-Nya."[404]

2. Abu Abdillah bin Sanan hadir di sisi Imam Abu Ja'far as. Kemudian, seorang laki-laki Khawarij masuk dan berkata, "Wahai Abu Ja'far, apa yang Anda sembah?"

Abu Ja far as menjawab, Allah.

Laki-laki Khawarij itu bertanya lagi, "Kamu telah melihatnya?" Abu Ja'far as menjawab, "Mata tidak dapat melihat-Nya dengan pandangannya, akan tetapi hati dapat melihat-Nya dengan hakikat iman. Dia tidap dapat diketahui dengan qiyas, tidak dapat digapai oleh panca indera, dan tidak dapat diserupakan dengan manusia. Dia disifati dengan ayat-ayat-Nya, dan dikenal dengan tanda-tanda-Nya. Dia tidak berlaku zalim di dalam hukum-Nya. Dia itu adalah Allah. Tidak ada Tuhan selain Dia."

Abu Abdillah bin Sinan berkata, "Maka keluarlah laki-laki Khawarij sambil mengatakan, 'Allah lebih mengetahui di mana Dia harus meletakkan risalah-Nya.'"[405]

3. Ahmad bin Ishaq menulis surat kepada Abul Hasan yang ketiga as, menanyakan tentang keyakinan ru'yah dan beberapa keyakinan yang ada di tengah manusia. Abul Hasan ketiga as menjawab dalam suratnya,

"Ru'yah tidak mungkin terjadi selama di antara yang melihat dan yang dilihat tidak ada udara yang dapat ditembus oleh penglihatan mata. Jika udara terputus, dan tidak ada cahaya di antara yang melihat dan yang dilihat, maka ru'yah tidak terlaksana, disebabkan samar."[406]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar