Selasa, 18 Desember 2012

Kebenaran Yang Hilang (6)


Contoh-Contoh Dari Penyelewengan Yang Dilakukan Para Penulis
Seluruh kitab yang memberi jawaban terhadap Syi'ah tidak dimaksudkan kecuali untuk menyerang, mencemarkan, memalsukan dan menyebarkan tuduhan dan kebohongan. Di samping di dalam menjawab keyakinan-keyakinan Syi'ah mereka bersandar kepada kitab-kitab Ahlus Sunnah. Yang demikian ini bukanlah sesuatu yang objektif di dalam berdialog dan berargumentasi.
Syeikh al-Mudzaffar berkata mengenai hal ini, "Ketahuilah, sesungguhnya tidak dibenarkan berargumentasi terhadap lawan kecuali dengan menggunakan argumentasi yang menjadi hujjah atasnya. Oleh karena itu, Anda dapat melihat penulis —Allamah al-Hilli— dan yang lainnya manakala mereka menulis argumentasi atas Ahlus Sunnah mereka selalu menyebut hadis-hadis mereka, bukan hadis-hadis kita. Sementara mereka (Ahlus Sunnah) tidak berpegang kepada kaidah pembahasan dan tidak meniti jalan dialog sebagaimana yang semestinya."[137]
Mereka juga hanya memberi jawaban terhadap gambaran umum tentang keyakinan Syi'ah, dengan tanpa menjawab secara logis setiap bagian dari bagian-bagian mazhab Syi'ah. Sikap yang demikian ini tidaklah adil di dalam bab keamanahan ilmiah. Oleh karena itu, Anda mendapati Doktor Bashir al-Ghifari berkata di dalam mukaddimah bukunya yang berjudul Ushul Madzhab Syi'ah, halaman 15, ".. Karena sebagian keyakinan ada yang cukup untuk mengetahuinya hanya dengan semata-mata mengemukakannya. Oleh karena itu, Syeikh Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa penggambaran mazhab yang batil telah cukup untuk menerangkan kebatilan mazhab tersebut, dan tidak diperlukan dalil yang lain yang mengiringi penggambaran tersebut."
Jika apa yang dikatakannya itu benar, maka mau tidak mau seseorang yang menggambarkan suatu akidah harus mengimani dan mempercayai akidah tersebut, sehingga dia mempunyai kebebasan yang cukup di dalam menjelaskan keyakinan-keyakinannya. Sungguh merupakan sebuah kezaliman manakala suatu pihak masuk untuk menggambarkan keyakinan-keyakinan pihak lain dengan gambaran yang paling buruk. Apa yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah adalah merupakan suatu bentuk pembodohan terhadap pengikut-pengikutnya, manakala mereka menggambarkan mazhab-mazhab yang bertentangan dengan mereka dengan gambaran sebagai mana yang mereka kehendaki. Jika ini cukup untuk menjadi hujjah, maka tentu seorang kafir yang hidup di Eropa yang mempunyai pandangan yang buruk tentang Islam, sebagai akibat dari gambaran yang diberikan oleh kalangan orientalis dan para musuh agama, tentu mereka termaafkan. Sungguh, ucapannya ini lemah, dan metodeloginya salah, sehingga tidak dapat digunakan untuk berargumentasi. Namun sayangnya memang inilah watak dan kebiasaan mereka. Berikut ini kami ketengahkan beberapa contoh penyimpangan dan penyelewengan:
1. Kitab Ushul Madzhab 'ala asy-Syi'ah. Karya Dr. Nashir Abdullah al-Ghifari, yang merupakan disertasinya untuk memperoleh gelar doktor, dari Universitas Muhammad bin Su'ud al-Islamiyah, dan dia memperoleh peringkat Summa Cumlaude. Kebohongan-Kebohongannya Atas Syi'ah:
a. Dia mengatakan, "Jadi, Syi'ah memerangi Sunah. Oleh karena itu, Ahlus Sunnah dinamakan dengan nama ini disebabkan mereka mengikuti sunah al-Musthafa saw."[138] Kemudian, setelah itu dia berusaha mengeluarkan riwayat-riwayat Syi'ah yang mewajibkan untuk mengikuti sunah. Dia berkata, "Hanya saja seseorang yang mempelajari nas-nas Syi'ah dan riwayat-riwayatnya, terkadang dia sampai kepada kesimpulan bahwa Syi'ah secara zahir mengakui sunah namun secara batin mengingkarinya. Karena sebagian besar dari riwayat-riwayat dan perkataan-perkataan mereka mengarah menjauhi sunah sebagaimana yang dikenal oleh kaum Muslimin, baik dari segi pemahaman, penerapan, sanad dan matan."[139]
Adapun perkataannya yang mengatakan bahwa Syi'ah memerangi sunah, tidaklah pada tempatnya. Karena kitab-kitab hadis yang ada pada Syi'ah berkali-kali lipat lebih banyak dibandingkan kitab-kitab hadis Ahlus Sunnah. Bahkan, riwayat-riwayat yang ada di dalam kitab al-Kafi saja melebihi riwayat-riwayat yang terdapat di dalam kitab sahih yang enam (ash-Shihah as-Sittah). Apalagi bila ditambah dengan beberapa ensiklopedia hadis seperti Bihar al-Anwar yang mencapai 110 jilid.
Jika Syi'ah memerangi sunah, lantas untuk apa semua ensiklopedia hadis ini?
Atau, apa yang dimaksud dengan sunah olehnya?
Apakah yang dimaksud adalah riwayat-riwayat yang diriwayatkan oleh Ahlus Sunnah di dalam kitab-kitab sahih mereka?
Jika benar, maka ini merupakan hujjah bagi mereka namun tidak bagi Syi'ah.
Adapun perkataannya yang mengatakan, "Sesungguhnya sebagian besar riwayat-riwayat dan perkataan-perkataan mereka mengarah menjauhi sunah sebagaimana yang dikenal oleh kaum Muslimin..." adalah perkataan yang aneh. Karena, jika mereka sejak awal sepakat dengan Ahlus Sunriah di dalam hadis-hadis, baik dari segi sanad, matan, penerapan dan pemahaman, maka tentu tidak ada alasan untuk berbeda dan berselisih. Syi'ah mengimani sunah Rasulullah saw dan berpegang teguh kepadanya. Pemonopolian Ahlus Sunnah terhadap sunah Rasulullah saw adalah sesuatu yang tidak adil.
Kemudian yang kedua, apakah Anda dan kaum Anda merupakan sumbu agama, sehingga Anda berhak mengukur segala sesuatu dengan diri Anda?! Keadilan manakah yang mengiyakan perkataan yang seperti ini.
b. Penyelewengannya terhadap kebenaran, dengan cara menukil nas-nas yang dipotong, sehingga merubah arti. Pada akhir mukaddimahnya dia mengatakan, "Saya bertekad untuk menukil huruf demi huruf, dengan tujuan untuk menjaga objektifitas dan pentingnya ketelitian di dalam penukilan. Ini merupakan keharusan metodelogi ilmiah di dalam menukil perkataan pihak lawan."
Apakah tuan Doktor berpegang teguh kepada apa yang dikatakannya?
▪ Di dalam halaman 252, juz 2, di dalam perkataannya tentang "melihat Allah" dia menyebutkan sebuah hadis dari Ibnu Babawaih al-Qummi, dari Abi Bashir, dari Abi Abdillah as. Abi Bashir berkata, "Saya berkata kepadanya, 'Beritahukan aku tentang Allah Azza Wajalla, apakah orang-orang Mukmin akan melihat-Nya pada hari kiamat?'
Abi Abdillah as menjawab, 'Ya.'"
Dia menukil riwayat ini dari kitab at-Tawhid, halaman 117, namun dia tidak menyebutkan riwayat secara sempurna, sehingga merubah arti sama sekali. Berikut ini kami ketengahkan riwayat tersebut secara sempurna, dan silahkan Anda sendiri menilai.
Abi Bashir berkata, "Saya berkata kepadanya, 'Beritahukan aku tentang Allah Azza Wajalla, apakah orang-orang Mukmin akan melihat-Nya pada hari kiamat?'
Abi Abdillah as menjawab, 'Ya. Bahkan mereka telah melihatNya sebelum hari kiamat.'
Saya bertanya, 'Kapan?'
Abi Abdillah as menjawab, 'Ketika Allah SWT berkata kepada mereka, 'Bukankah Aku ini Tuhanmu.' Lalu mereka menjawab, 'Benar, Kamu adalah Tuhan kami.'
Kemudian Imam as diam beberapa saat, lalu melanjutkan perkataannya, 'Sesungguhnya orang-orang Mukmin pasti melihat Allah di dunia, sebelum hari kiamat. Bukankah kamu sedang melihat-Nya pada waktu sekarang?'
Abi Bashir berkata, 'Saya menjadi tebusan Anda, apakah boleh saya ceritakan tentang hal ini dari Anda.'
Abi Abdillah as menjawab, 'Tidak. Karena jika kamu menceritakannya, maka pengingkar yang bodoh akan mengingkari makna yang kamu katakan, dan akan menganggapnya bahwa itu tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya). Padahal, penglihatan dengan hati bukanlah sebagaimana penglihatan dengan mata. Mahasuci Allah dari apa-apa yang disifatkan oleh orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan oleh orang-orang yang mengingkariNya."'
Anda dapat melihat betapa perbedaan di antara arti yang pertama dengan arti yang kedua. Bahkan, arti yang pertama, berdasarkan teks riwayat, seluruhnya berasal dari ucapan para musyabbihin dan mulhidin.
Kenapa dia tidak menukil perkataan Imam Muhammad al-Baqir as tatkala dia ditanya oleh seorang Khawarij. Orang khawarij berkata, "Wahai Abu Ja'far, apa yang kamu sembah?"
Imam Muhammad al-Baqir as menjawab, "Allah."
Orang khawarij itu bertanya lagi, "Apakah kamu telah melihat-Nya?"
Imam Muhammad al-Baqir as menjawab, "Tentu, akan tetapi bukan dengan penglihatan mata, melainkan dengan hakikat iman. Dia tidak dikenal melalui "qiyas, dan tidak dipahami melalui indera. Dia digambarkan melalui ayat-ayat, dan dikenal melalui dalil-dalil. Tidak ada penyimpangan di dalam hukum-Nya. Dia itulah Allah, yang tiada Tuhan selain Dia."[140]
▪ Salah satu bukti lain dari pemotongan riwayat yang dia lakukan ialah perkataannya tentang kaifiyyah (keadaan) Allah. Dia menukil sebuah riwayat dari kitab Bihar al-Anwar, yaitu riwayat dari Abi Abdillah Ja'far ash-Shadiq yang mengatakan bahwa Imam Ja'far ash-Shadiq as ditanya tentang Allah SWT, "Apakah Allah dapat dilihat pada hari kiamat?"
Imam Ja'far ash-Shadiq as menjawab, "Mahasuci Allah dari yang demikian itu. Dia Mahatinggi dan Mahabesar. Sesungguhnya penglihatan tidak dapat menggapai sesuatu kecuali yang mempunyai warna dan kaifiyyah, sedangkan Allah SWT adalah pencipta warna dan kaifiyyah."[141]
Nashir Abdullah al-Ghifari memberikan komentar mengenai hal ini, "Tampak sekali bahwa hujjah yang digunakan oleh mereka, yang meletakkan riwayat ini atas Ja'far, mengandung penafian wujud al-Hak. Karena sesuatu yang secara mutlak tidak memiliki kaifiyyah tidak ada wujudnya."[142] Pertama-tama, kita akan memberikan komentar atas kaidah yang dia katakan, dan kemudian baru kita menyebutkan bukti pemotongan di dalam hadis.
Dia mengatakan, "Sesuatu yang secara mutlak tidak memiliki kaifiyyah tidak ada wujudnya".
Dia menyebutkan kaidah ini —yang merupakan sebuah kaidah yang aneh— sebagai lawan dari hadis Imam Ja'far ash-Shadiq as di atas. Sungguh, akal yang tidak yang diterangi dengan riwayat Ahlul Bait, dan malah terdidik dengan riwayat-riwayat Ka'ab al-Ahbar dan Wahab bin Manbah, tidak dapat memahami hadis-hadis Ahlul Bait.
Apa yang dimaksud dengan kata-kata "secara mutlak" olehnya. Apakah artinya sesuatu yang tidak memiliki kaifiyyah dari seluruh magulat al-kaif (kategori keadaan)?
Jika yang dia maksud adalah ini, maka benar bahwa Allah SWT keluar dari maqulat al-kaif. Dia tidak diliputi oleh pertanyaan di mana, arah mana atau tempat apa. Barangsiapa yang mengatakan Allah SWT berbentuk dengan salah satu kategori keadaan atau bentuk sebagaimana yang dikenal, maka dia telah kafir, dan telah mensifati Allah dengan sifat-sifat materi. Karena kaifiyyah (bentuk) adalah termasuk keharusan jisim dan keterbatasan, sedangkan Allah SWT tidak terbatas dan bukan materi. Inilah kesalahan saudara penulis. Tatkala dia membayangkan Allah SWT dengan bercorak dengan satu keadaan, maka ini kembali kepada pemahamannya yang bersifat inderawi. Dia tidak mampu memahami sesuatu kecuali dalam batas-batas inderawi, oleh karena itu dia mengingkari wujud setiap maujud yang keluar dari kerangka kaif.
Atau, mungkin yang dimaksud olehnya adalah kaif yang keluar dari maqulat al-kaif (kategori keadaan) yang sudah dikenal, maka ini tidak dinamakan kaif, sehingga dengan begitu perkataannya tidak mengena.
Kemudian dia menyebutkan sebagian riwayat, untuk menguatkan perkataannya dan sekaligus untuk membuktikan pertentangan yang terjadi di dalam riwayat-riwayat Syi'ah. Dia berkata, "Sebagaimana hadis ini bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh penulis al-Kafi, dari Abi Abdillah as yang berkata, '... namun mau tidak mau kita harus membuktikan bahwa Dia mempunyai kaifiyyah yang tidak layak atasnya selain dari-Nya, tidak ada yang bersekutu dengan-Nya di dalamnya, tidak ada sesuatu selain Dia yang meliputinya, dan tidak ada yang mengetahuinya selain Dia.'"[143]
Berikut ini kami nukilkan riwayat tersebut secara keseluruhan, supaya terbukti bagi Anda sesuatu yang bertentangan dengan apa yang dia katakan, Seorang penanya berkata, "Anda telah membatasi-Nya jika Anda menetapkan wujud-Nya." Abu Abdillah as berkata, "Aku tidak membatasi-Nya melainkan aku menetapkan-Nya. Karena tidak ada kedudukan di antara penafian dan penetapan." Penanya bertanya lagi, "Apakah Dia mempunyai esensi?" Abu Abdillah as menjawab, "Ya, karena tidak tertetapkan sesuatu kecuali dengan esensi. Mau tidak mau kita harus keluar dari penghentian (ta'thil) dan penyerupaan (tasybih). Karena barang siapa yang menafikan-Nya maka berarti dia telah mengingkari-Nya dan meniadakan ke-rububiyyahan-Nya. Dan barang siapa yang menyerupakan-Nya dengan sesuatu selain-Nya maka berarti dia telah menetapkan-Nya dengan sifat-sifat makhluk yang tidak layak menyandang sifat ketuhanan. Namun, mau tidak mau harus ditetapkan bahwa Dia mempunyai kaifiyyah yang tidak layak atasnya selain dari-Nya, yang tidak ada yang bersekutu dengan-Nya di dalamnya, yang tidak ada sesuatu selain-Nya yang meliputinya dan tidak ada yang mengetahuinya selain-Nya."[144]
Baca dan renungilah makna yang dapat diambil dari riwayat ini. Sungguh dia berbeda sama sekali dengan apa yang dikatakan oleh Nashir Abdullah al-Ghifari yang mengatakan, "Sesuatu yang secara mutlak tidak mempunyai kaifiyyah, berarti tidak ada wujudnya." Perkataan Imam kepada penanya yang menanyakan "Apakah Dia mem-punyai kaifiyyati', dan Imam menjawab, "Tidak", adalah merupakan jawaban atas kaidah yang dilandasi dengan hadis yang dipotong. Kaifiyyah yang dimaksud dan diyakini oleh penulis adalah kaifiyyah yang termasuk ke dalam sifat-sifat maudhu'. Imam as telah mensucikan Allah dari sifat-sifat yang demikian dengan jawaban yang di-berikannya kepada penanya, "Karena kaifiyyah adalah sisi sifat dan keterliputan." Yang demikian ini tidak berlaku atas Allah SWT. Sedangkan kaifiyyah yang dikatakan oleh Imam as pada akhir hadis, "kaifiyyah yang tidak ada yang berhak atasnya selain dari-Nya, yang tidak ada sesuatu yang bersekutu dengan-Nya di dalamnya..." adalah kaifiyyah yang kalau pun dinamakan dengan nama kaifiyyah, itu adalah hanya semata-mata kiasan, disebabkan kekurangan kata-kata bahasa. Dan dia tidak dinamakan dengan sebutan kaifiyyah kecuali semata-mata termasuk ke dalam bab persekutuan kata (al-isytirak al-lafdzi), sehingga dia sama dari sisi kata namun berbeda dari sisi arti.
Riwayat ini juga telah diriwayatkan oleh Ibnu Babawaih al-Qummi dengan sanad dan matan yang sama, "... namun mau tidak mau harus ditetapkan bahwa Dia adalah Zat yang tidak ber-kaifiyyah, yang tidak layak atasnya selain dari-Nya, yang tidak ada yang bersekutu dengan-Nya di dalamnya, yang tidak ada sesuatu selain Dia yang meliputinya, dan yang tidak ada yang mengetahuinya selain Dia."[145]
Riwayat ini menghilangkan kesamaran dan menjelaskan seluruh yang dimaksud. Yaitu menafikkan seluruh kaifiyyah. Karena menetapkan kaifiyyah untuk Allah SWT adalah perbuatan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Adapun yang dimaksud darinya ialah menetapkan seluruh sifat-sifat kesempurnaan-Nya, dan itu adalah Zat-Nya itu sendiri.
2. Ihsan Ilahi Zahir.
Dia termasuk salah seorang penulis yang amat memusuhi Syi'ah. Dia mempunyai sejumlah buku jawaban atas Syi'ah, dan saya mempunyai empat buku darinya:
- Asy-Syi'ah wa as-Sunnah.
- Asy-Syi'ah wa Ahlul Bait.
- Asy-Syi'ah wa al-Qur'an.
- Asy-Syi'ah wa at-Tasyayyu'.
Dia telah menggunakan seluruh kemampuannya untuk menjawab dan menyerang pemikiran-pemikiran Syi'ah. Alangkah indahnya jika sekiranya dia bersikap bersih, jujur dan santun. Dia telah membuat kebohongan-kebohongan atas Syi'ah sedemikian rupa sehingga menjadikan anak-anak menjadi beruban dan orang-orang dewasa menjadi tua renta. Saya mengajak seluruh orang yang berakal lurus untuk membaca buku-bukunya, lalu silahkan menilai metode yang digunakannya, kemudian melihat kebohongan-kebohongannya, dan berikutnya menyaksikan pemalsuannya, setelah sebelumnya terlebih dahulu merujuk kepada buku-buku Syi'ah yang berbicara tentang topik pembahasan yang sama.
Di sini saya cukup kan dengan menyebutkan beberapa bukti. Karena tidak diperlukan jawaban dan pembahasan secara rinci. Sebelum saya menjeleskan berbagai pemalsuan yang dilakukannya terhadap ke-benaran, terlebih dahulu saya akan memberikan dua catatan singkat tentang cara penjelasan dan metode penyampaian pikiran yang dilakukannya:
a. Catatan Pertama: Di dalam menjelaskan dan mengemukakan keyakinan-keyakinan Syi'ah dia bertumpu kepada cara-cara yang tidak layak dan dengan menggunakan judul-judul yang menjijikkan, sehingga dengan begitu dia menciptakan tabir pemisah di antara pembaca dengan keyakinan-keyakinan Syi'ah. Seharusnya dia mengikuti cara-cara yang sehat di dalam menjawab, yaitu dengan pertama-tama menyebutkan keyakinan-keyakinan Syi'ah, lalu menyebutkan dalil-dalil mereka serta menjawab dalil-dalil yang mereka kemukakan, dan berikutnya kemudian berargumentasi atas keyakinan yang dimilikinya.
Sebagai contoh, dia mengatakan di dalam bukunya asy-Syi 'ah wa as-Sunnah, halaman 53, di bawah judul "Masalah al-Bada", "Salah satu dari pemikiran yang disebarkan oleh orang-orang Yahudi dan Abdullah bin Saba ialah berlakunya al-bada, yaitu lupa dan kebodohan pada Allah SWT. Mahatinggi Allah dari apa yang mereka katakan."
Kemudian, Dia menyebutkan riwayat-riwayat dari kitab-kitab Syi'ah mengenai seputar al-bada, dengan tanpa menyebutkan dalil-dalil yang dikemukakan Syi'ah tentang al-bada, baik yang berasal dari Al-Qur'an, riwayat-riwayat Bukhari dan Muslim, perkataan-perkataan para ulama Ahlus Sunnah dan akal; dan dengan tanpa menjelaskan bagaimana pemahaman Syi'ah tentang al-bada, melainkan dia justru mendefenisikannya sendiri dengan menyebutnya sebagai "bodoh dan lupa". Lalu, dengan berpijak kepada defenisi yang salah ini, dia mulai memberikan penafsiran kepada riwayat-riwayat Syi'ah yang berbicara tentang al-bada. Hal yang sama pun dia lakukan terhadap masalah tagiyyah. Dia menyebutkannya di dalam halaman 127, di bawah judul "Syi'ah dan Kebohongan". Dia memulai perkataannya, "Syi'ah dan kebohongan tidak ubahnya seperti dua kata yang searti (sinonim), yang tidak ada perbedaan sedikit pun di antara keduanya. Keduanya saling bertalian sejak hari pertama didirikannya mazhab ini. Tidaklah permulaan mazhab ini melainkan dimulai dari kebohongan dan dengan kebohongan..."
Sementara pada ayat yang lain Al-Qur'an al-Karim menyebutnya secara makna,
"Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman." (QS. an-Nahl: 106)
Tagiyyah, ialah berarti menyembunyikan keimanan dan menampakkan kebalikannya, manakala seseorang mengkhawatirkan atas dirinya, hartanya dan kehormatannya. Dan ini merupakan sesuatu yang tidak dipermasalahkan oleh seorang Muslim pun. Karena orang yang dipaksa tidak dihisab atas sesuatu yang dipaksakan atasnya. Bahkan terkadang seseorang wajib melakukan taqiyyah manakala jika dia tidak melakukan taqiyyah hal itu akan membahayakan orang lain atau membahayakan kepentingan agama. Hal ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang Mukmin keluarga Fir'aun. Karena, pada keadaan terpaksa hukum tidak berlaku atas maudhu' (objek hukum).
Allah SWT berfirman, "Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang." (QS. al-Baqarah: 173)
Apa yang disampaikan oleh Ihsan Ilahi Zahir dalam masalah ini tidak lain hanyalah merupakan rekayasa dan tipu muslihat yang licik. Dia menjelaskan tagiyyah dengan kebohongan, dan kemudian menganggapnya sebagai sebuah kebenaran yang tidak diragukan. Ketika pengertian yang disampaikannya ini tertanam di dalam benak pembaca, dengan segera dia membanjiri para pembaca dengan riwayat-riwayat Syi'ah yang berbicara tentang taqiyyah.
Sehingga dengan demikian, pembaca meletakkan kata "bohong" pada tempat kata "taqiyyah". Sehingga dengan begitu pembaca akan keluar dengan makna-makna yang menjadikannya benci dari segala sesuatu yang dikatakan Syi'ah.
Saya tidak sedang menolak atau membuktikan kebenaran apa yang dikatakan oleh Syi'ah, karena dia —Ihsa Ilahi Zahir— bukan-lah seorang ahli diskusi dan argumentasi. Dia tidak menyebutkan satu pun argumentasi yang menentang, sehingga perlu untuk dijawab. Yang menjadi fokus perhatian kita ialah hanya metode penyampaiannya saja.
b. Catatan Kedua: Tidaklah logis jika sekiranya Anda memperolok-olok dan menghakimi keyakinan orang, hanya karena semata-mata keyakinannya itu bertentangan dengan keyakinan-keyakinan Anda. Namun sungguh amat disayangkan, itulah metode dia dan metode penulis-penulis lainnya. Mereka mengatakan, segala sesuatu yang berbeda dengan kita adalah salah. Salat mereka tidak sama dengan salat kita, puasa mereka berbeda dengan salat kita, dan zakat mereka tidak sama dengan zakat kita.
Seolah-olah mereka adalah sumbu agama dan para pemimpin kaum Muslimin, yang mau tidak mau segala sesuatu harus berputar di sekelilingnya. Mereka melanggar kaidah yang mengatakan, "Kita senantiasa bersama dalil, kami condong ke mana pun dalil condong."
Ini bertentangan dengan metode yang digunakan oleh Al-Qur'an di dalam melakukan pembahasan dan dialog ilmiah, yang mengakui kedua belah pihak. Allah SWT dan Rasul-Nya tahu bagaimana berbicara kepada orang-orang kafir dan orang-orang musyrik.
Allah SWT berfirman, "Kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. " (QS. Saba: 25)
Perhatikanlah perlakuan santun yang indah ini. Al-Qur'an tidak mengatakan kepada mereka bahwa sesungguhnya kami berada dalam kebenaran sedangkan kamu berada dalam kesesatan. Melainkan Al-Qur'an mengatakan, apakah kami atau kamu berada dalam kebenaran atau kebatilan. Inilah metode al-Qur'an tatkala menawarkan kebebasan berdialog kepada semua, "Katakanlah, 'Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.'" (QS. al-Baqarah: 111)
Rasulullah saw mendengarkan argumentasi-argumentasi mereka dan menjawabnya dengan cara yang paling bagus. Al-Qur'an al-Karim telah merekam contoh yang banyak, baik yang bersama Rasulullah saw maupun yang bersama para Nabi sebelumnya. Di dalam kisah Ibrahim dan Namrud, serta Musa dan Fir'aun terdapat sebaik-baiknya pelajaran. Allah SWT merekam hujjah dan argumentasi orang-orang di dalam Al-Qur'an-Nya, dan Dia tetap memberikan kesucian kepada ayat-ayat yang merekamnya sebagaimana kepada ayat-ayat lainnya. Seorang Muslim tidak boleh menyentuhnya dengan tanpa wudu, berdasarkan fiqih Syi'ah.
Kemana Ihsan Ilahi Zahir dan orang-orang yang sepertinya dari menggunakan metode Al-Qur'an yang indah ini. Dia bangga dengan dirinya dan kelompoknya sambil mengatakan, "Kamilah para pembaca Al-Qur'an yang membacanya sepanjang malam dan siang."[146]
Apa faedah orang yang membaca Al-Qur'an namun tidak mentadabburi ayat-ayatnya, dan mengambil pelajaran yang dapat membukakan jalan baginya di dalam kehidupan, serta bertanya kepadanya bagaimana memperlakukan orang lain yang menentang dirinya di dalam masalah akidah dan mazhab. Sungguh benar Imam Ali tatkala mengatakan, "Betapa banyak orang yang membaca Al-Qur'an namun Al-Qur'an melaknatnya.
Contoh-Contoh Dari Pemalsuan Ihsan Ilahi Zahir
▪ Dia menukil di dalam kitabnya asy-Syi'ah wa Ahlul Bait, halaman 40, sebuah teks dari Imam Ali as di dalam kitab Nahjul Balaghah, untuk membuktikan bahwa Imam Ali as mengakui syura dan tidak mengakui nas, dan bahwa syura orang-orang Muhajir dan orang-orang Anshar adalah diridai oleh Allah, serta kepemimpinan tidak dapat terlaksana dengan tanpa mereka. Ini merupakan kesimpulan yang dia ambil dari teks Imam Ali as, dan sebagaimana yang Anda ketahui ini jelas-jelas bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh Syi'ah. Berikut ini teks yang menjadi tempat dia mengambil kesimpulan di atas,
"Adapun hak musyawarah hanyalah bagi kelompok Muhajirin dan Anshar. Bila mereka telah sepakat memilih seseorang dan menamakannya sebagai Imam, maka yang demikian itulah yang diridai Allah SWT. Dan bila setelah itu ada orang yang keluar dari kesepakatan dengan tidak mengakuinya lalu menimbulkan kekacauan, maka mereka itu akan memaksanya agar kembali. Dan bila dia menolak, mereka pun akan memeranginya atas dasar penyimpangan dari jalan kaum Mukmin, sementara Allah akan memusuhi selama dia berpaling."
Setelah saya merujuk kepada sumber rujukan, tampak jelas bahwa laki-laki ini tidak jujur di dalam penukilannya. Dia hanya mengambil bagian tengah perkataan yang diinginkannya dan meninggalkan bagian awal dan akhirnya, sehingga dengan begitu dia memalsukan dan menyelewengkan kebenaran dan fakta.
Berikut ini teks yang berubah pemahamannya secara keseluruhan. Apa yang dikatakan oleh Imam Ali as ini adalah termasuk bab memaksa lawan dengan apa yang telah mereka paksakan untuk diri beliau. Ini merupakan kutipan surat Imam Ali as yang ditujukan kepada Muawiyah,
"Sesungguhnya aku telah dibaiat oleh orang-orang yang sebelumnya telah membaiat Abu Bakar, Umar dan Usman atas dasar yang sama seperti rnereka itu. Maka tiada lagi pilihan lain bagi yang hadir, dan tiada lagi hak menolak bagi yang tidak hadir. Adapun hak musyawarah hanyalah bagi kelompok Muhajirin dan Anshar. Bila mereka telah sepakat memilih seseorang dan menamakannya Imam, maka yang demikian itulah yang diridai Allah SWT. Dan bila setelah itu ada orang yang keluar dari kesepakatan dengan tidak mengakuinya lalu menimbulkan kekacauan, maka mereka itu akan memaksanya agar kembali. Dan bila dia menolak, mereka pun akan memeranginya atas dasar penyimpangannya dari jalan kaum Mukmin, sementara Allah akan memusuhinya selama dia berpaling.
Demi Allah, wahai Muawiyah, sekiranya Anda melihat dengan mata hati, bukannya dengan hawa nafsu, niscaya akan Anda sadari bahwa aku adalah yang paling tidak berdosa dalam soal pembunuhan terhadap Usman. Dan Anda pasti akan merasa yakin bahwasannya aku berada jauh dari itu. Kecuali Anda memang sengaja ingin melekatkan kejahatan pada seseorang yang tidak melakukannya. Maka perbuatlah apa saja yang Anda ingin perbuat. Wassalam."[147]
Amirul Mukminin as berhujjah atas Muawiyah dengan hujjah yang sama yang diajukan oleh Muawiyah dan para pengikutnya pada saat berhujjah mengenai keabsahan kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Usman. Imam Ali as memaksa Muawiyah dengan hujjah yang sama sebagaimana yang pernah diajukan oleh Muawiyah. Imam Ali as berkata, Jika baiat para khalifah sebelumku itu sah, maka demikian pula bait kepadaku. Manusia telah membaitku, dan tidak ada jalan bagi seseorang untuk mengingkarinya setelah itu. Seseorang yang menyaksikan baiat tiada lagi mempunyai hak untuk memilih, sebagaimana yang telah terjadi di dalam pembaiatan Umar, setelah Abu Bakar menentukannya. Mereka tidak mempunyai hak memilih setelah Abu Bakar menentukannya. Serta orang yang tidak hadir tidak bisa menolak, sebagaimana Imam as tidak bisa menolak pembaiatan Abu Bakar di Saqifah. Karena pembaiatan itu dilakukan secara tersembunyi. Inilah musyawarah sebagaimana yang Anda dengung-dengungkan. Baik itu pada kepemimpinan Abu Bakar, Umar maupun Usman. Itulah keridaan Allah sebagaimana yang Anda katakan. Maka tidak boleh seseorang keluar dari kesepakatan itu, karena jika tidak maka mereka akan memaksanya untuk kembali, sebagaimana yang telah mereka lakukan terhadap orang-orang yang menahan zakat manakala mereka tidak mau membayarkan zakat kepada Abu Bakar, karena dia bukan merupakan khalifah yang sah dalam pandangan mereka. Kamu tidak mempunyai jalan untuk lari, wahai Muawiyah, karena orang-orang telah sepakat membaiatku. Kecuali jika Anda memang sengaja ingin melekatkan kejahatan kepada orang yang tidak melakukannya. Maka perbuat lah apa saja yang Anda ingin perbuat.
Inilah arti yang dapat disimpulkan dari serangkaian kalimat di atas, namun ini tidak sejalan dengan hawa nafsu Ihsan Ilahi Zahir.
▪ Dia menyebutkan di dalam bukunya sebuah hadis yang dinisbahkan kepada Imam Hasan al-Askari yang berkata, "Sesungguhnya seseorang yang membenci keluarga Muhammad, dan para sahabatnya yang baik-baik, atau salah seorang dari mereka, niscaya Allah SWT akan mengazabnya dengan sebuah azab, yang kalau sekiranya azab itu dibagi-bagi sebanyak bilangan makhluk Allah, maka akan membinasakan seluruh mereka."[148]
Kemudian Ihsan Ilahi Zahir melanjutkan, "Oleh karena itu, datuk besarnya, Ali bin Musa, yang dijuluki dengan sebutan arRidha -Imam yang kedelapan di kalangan Syi'ah— manakala ditanya tentang sabda Rasulullah saw yang berbunyi, "Sahabat-sahabatku laksana bintang gemintang, maka siapa saja dari mereka yang kamu ikuti pasti kamu mendapat petunjuk", dan juga tentang sabdanya yang berbunyi, "Seru para sahabatku untukku", dia menjawab, "Ini benar."[149]
Dia ingin berargumentasi dengan hadis ini bahwa pandangan Ahlul Bait terhadap sahabat adalah pandangan yang mengakui keadilan para sahabat seluruhnya, sehingga dengan demikian Syi'ah tidak berhak mencela atau mengkritik seorang pun dari mereka, karena yang demikian itu berarti bertentangan dengan para Imam mereka.
Renungkanlah kebohongan yang jelas ini manakala saya nukilkan kepada Anda seluruh teks hadis di atas,
"Perawi berkata, 'Ayahku berkata kepadaku, 'Seseorang telah berkata, 'lmam Ali ar-Ridha telah ditanya tentang sabda Nabi saw yang berbunyi, 'Sahabat-sahabatku laksana bintang gemintang, maka siapa saja dari mereka yang kamu ikuti pasti kamu mendapat petunjuk", dan juga sabdanya saw yang berbunyi, 'Serulah para sahabatku untukku'. Imam ar-Ridha as menjawab, 'Hadis ini benar. Yang Rasulullah saw maksudkan adalah mereka yang tidak berubah sepeninggalnya.' Kemudian Imam ar-Ridha as ditanya lagi, 'Bagaimana Rasulullah saw tahu bahwa mereka akan berubah?' Imam ar-Ridha as menjawab, 'Berdasarkan apa yang telah mereka riwayatkan bahwa Nabi saw telah bersabda, 'Sekelompok orang dari sahabatku akan diusir dari telagaku pada hari kiamat, sebagaimana diusirnya sekelompok unta dari sumber air. Maka aku berkata, 'Ya Rabb, sahabatku, sahabatku.' Lalu aku dijawab, 'Engkau tidak tahu apa yang telah mereka lakukan setelah ketiadaanmu.' Maka mereka pun digiring ke arah utara. Lalu aku mengatakan, 'Enyahlah, enyahlah mereka yang telah berubah setelah ketiadaanku.'"[150]
Lihatlah pengkhianatan yang dia lakukan di dalam penukilan hadis, bagaimana dia mengubah pengertiannya secara keseluruhan.
Bukankah saya telah katakan kepada Anda bahwa dia (Ihsan Ilahi Zahir —penerj.) itu seorang pendusta?!
Perkataan Imam ar-Ridha as yang berbunyi "Berdasarkan apa yang telah mereka riwayatkan", yang dimaksud olehnya adalah apa yang diriwayatkan oleh para muhaddis dan para huffadz dari kalangan Ahlus Sunnah. Untuk membuktikan kebenaran perkataan Imam ar-Ridha as saya nukilkan bagi Anda beberapa riwayat yang terdapat di dalam Bukhari dan Muslim.
Bukhari meriwayatkan di dalam tafsir surat al-Maidah, bab "Wahai Rasul, Sampaikan Apa Yang Telah Diturunkan Kepadamu", dan di dalam tafsir surat al-Anbiya; sebagaimana juga diriwayatkan oleh Turmudzi di dalam bab sifat-sifat kiamat, bab "apa yang terjadi ber-kenaan dengan kebangkitan, dan juga tafsir surat Thaha, bahwa Rasulullah saw telah bersabda, "Didatangkan sekelompok orang dari umatku, lalu mereka digiring ke arah utara, maka aku berkata, 'Tuhanku, sahabatku, sahabatku', lalu dijawab, 'Engkau tidak tahu apa yang telah mereka lakukan setelah ketiadaanmu.' Maka aku berkata sebagaimana yang dikatakan oleh seorang hamba yang saleh, 'Saya menjadi saksi atas mereka selama saya berada di tengah-tengah mereka, dan tatkala Engkau wafatkan aku, maka Engkaulah pengawas atas mereka.' Kemudian dijawab, 'Sesungguhnya mereka berbalik ke belakang (murtad) sejak engkau berpisah dari mereka."'
Bukhari meriwayatkan di dalam kitab "ad-Da'wat", bab Haudh; serta Ibnu Majah di dalam kitab "al-Manasik", bab "Khutbah Pada Hari Menyembelih Kurban", hadis nomer 5830; sebagaimana juga Ahmad meriwayatkan di dalam musnadnya melalui berbagai jalan,
"Serombongan sahabatku mendatangiku di telaga. Hingga ketika aku mengenali mereka, mereka dihilangkan dariku, maka aku pun berkata, 'Sahabatku'. Lalu dijawab, 'Kamu tidak tahu apa yang telah mereka lakukan sepeninggalmu.'"
Di dalam Sahih Muslim, kitab al-Fadha'il, bab "Pembuktian Telaga Nabi Kita", hadis 40, disebutkan, "Sekelompok orang yang telah bersahabat denganku datang menemuiku di telaga. Hingga tatkala aku melihat mereka, mereka pun dipisahkan dariku, lalu aku berseru, 'Ya Tuhan, sahabatku.' Kemudian aku dijawab, 'Sesungguhnya kamu tidak tahu apa yang telah mereka lakukan sepeninggalmu.'"
Bukhari juga meriwayatkan, "Aku akan mendahului kalian di telaga haudh. Siapa yang berlalu dariku dia akan minum dan siapa yang telah minum tidak akan dahaga untuk selama-lamanya. Kelak ada sekelompok orang yang aku kenal dan mereka juga mengenalku datang kepadaku; kemudian mereka dipisahkan dariku. Aku akan berkata, 'Sahabatku, sahabatku.' Lalu dijawab, 'Kamu tidak tahu apa yang telah mereka lakukan sepeninggalmu.' Dan aku pun berkata, 'Enyahlah, enyahlah mereka yang telah berubah setelah ketiadaanku.'"
Jika tidak khawatir akan keluar dari topik pembahasan, niscaya saya akan berbicara secara panjang lebar tentang masalah ini.
Ya Ihsan Ilahi Zahir, jika Anda sanggup menjulurkan tangan Anda untuk menyelewengkan apa-apa yang terdapat di dalam hadis-hadis Syi'ah, namun Anda tidak akan bisa menyelewengkan apa-apa yang terdapat di dalam kitab-kitab sahihmu.
▪ Pada halaman 66, dari buku yang sama, Ihsan Ilahi Zahir menukil sebuah perkataan Imam Ali as dari kitab Nahjul Balaghah. Berikut ini apa yang dikutipnya,
"Tinggalkanlah aku, dan pergilah kepada orang lain selainku. Aku seperti salah seorang dari kamu. Mungkin aku akan mendengar dan mentaati kepada orang yang kamu serahkan urusanmu kepadanya. Aku menjadi pembantu (wazir) kamu, itu lebih baik bagimu dibandingkan aku menjadi pemimpinmu."
Ketika saya merujuk kepada sumber nas yang disebutkan, saya menemukan rekayasa dan tipu daya yang dilakukannya. Karena dia hanya mengambil permulaan dan akhir nas, dan membuang pertengahannya, sehingga dengan begitu maknanya menjadi berubah. Berikut ini saya nukilkan bagi Anda bunyi nas secara lengkap,
Imam Ali as berkata tatkala orang-orang hendak membaiatnya, setelah terjadi peristiwa pembunuhan Usman,
"Tinggalkanlah aku, dan pergilah kepda orang lain selainku. Kita sedang menghadapi suatu hal yang mempunyai (beberapa) wajah dan warna, yang tidak ditanggung oleh hati dan tidak dapat diterima oleh akal. Awan sedang menggelantung di langit dan wajah-wajah tidak dapat dibedakan. Kamu seharusnya tahu bahwa apabila aku menyambutmu, aku akan memimpinmu sebagaimana yang aku ketahui, dan tidak akan memusingkan apa pun yang mungkin dikatakan dan dicercakan orang. Apabila kamu meninggalkan aku, maka aku akan menjadi seperti salah seorang dari kalian. Mungkin aku akan mendengar dan mentaati kepada orang yang kamu serahkan urusanmu kepadanya. Akan akan menjadi pembantu (wazir) kamu, itu lebih baik bagimu dibandikan aku menjadi pemimpinmu."[151]
Lihatlah nas yang telah dibuangnya. Betapa maknanya menjadi berubah sama sekali dengan tanpa mencantumkannya. Perbuatan yang demikian ini, disebut apa, wahai Ihsan?! Siapa yang telah berdusta atas Ahlul Bait?!
Yang termasuk kebohongan bukan hanya Anda mengatakan sesuatu lalu Anda menisbahkannya kepada orang yang tidak mengatakannya, melainkan juga termasuk kebohongan manakala Anda menyelewengkan maksud perkata seseorang lalu Anda menisbahkannya kepada orang itu.
Subhanallah, Amirul Mukminin as telah tahu bahwa mereka tidak teguh di dalam baiatnya, dan kelak mereka akan berbalik darinya dan memeranginya pada perang Jamal, Shiffin dan Nahrawan, serta akan berhujjah kepadanya dengan beribu-ribu macam pembenaran dan alasan. Oleh karena itu, Amirul Mukminin as mendirikan hujjah atas mereka, dan memberitahukan kepada mereka tentang jalan yang akan ditempuhnya di dalam masalah hukum. Yaitu jalan kebenaran. Dan kebenaran itu pahit dan sulit, "Dan kebanyakan dari mereka tidak menyukai kebenaran."
Telah terbukti apa yang telah dikatakannya, namun saya tidak mengharapkan tindakan pembelotan dan pembenaran ini terus ber-langsung hingga sekarang, di mana mereka menyelewengkan ucapan-ucapannya.
Saya akhiri dengan (menyebutkan) pemalsuan dan penyelewengan ini. Saya persilahkan kepada pembaca untuk memberikan komentar. Saya cukupkan sampai di sini, karena jika saya terus menyebutkan contoh-contoh pemalsuan dan penyelewengan yang dia lakukan, niscaya akan banyak memakan waktu. Secara singkat dapat saya katakan bahwa orang ini tidaklah jujur, bahkan kepada dirinya sendiri. Perbuatannya ini didorong oleh rasa permusuhannya yang sangat kepada Ahlul Bait dan para pengikutnya. Karena jika tidak, maka untuk apa semua kesewenang-wenangan yang mencolok ini? Apakah dia ingin membuktikan kebenaran yang dihilangkan, kepada manusia? Sementara dia mengikuti kebatilan dan pemalsuan sebagai alat dan tujuan?!
Di dalam bukunya yang berjudul asy-Syi'ah wa Ahlul Bait, halaman 67, Ihsan Ilahi Zahir berkata, "Ath Thabrasi juga menukil dari Imam Muhammad a-Baqir yang menegaskan bahwa Ali membenarkan kekhilafahannya (Abu Bakar), mengakui kepemimpinannya (Abu Bakar), dan berbait kepada pemerintahannya (Abu Bakar." Sebagaimana juga dia menyebutkan bahwa tatkala Usamah bin Zaid, kekasih Rasulullah saw, hendak keluar meninggalkan Madinah, Rasulullah saw meninggal dunia. Ketika surat sampai kepada Usamah, maka Usamah pun bergerak bersama pasukan yang menyertainya masuk ke kota Madinah. Ketika dia melihat orang-orang sepakat terhadap kekhilafahan Abu Bakar, dia pun pergi ke Ali bin Abi Thalib dan berkata, 'Apa ini?' Ali menjawab, 'lni adalah sebagaimana yang kamu lihat' Usamah bertanya, 'Apakah kamu telah berbaiat kepadanya?' Ali menjawab, 'Sudah.'"
Dia telah menukil peristiwa ini dari kitab al-Ihtijaj, karya ath-Thabrasi. Berikut ini saya ketengahkan kepada Anda bunyi teks secara lengkap dari sumber di atas,
"Diriwayatkan dari al-Baqir as, bahwa Umar bin Khattab berkata kepada Abu Bakar, 'Tulis kepada Usamah supaya dia datang menghadapmu. Karena dengan kedatangannya itu akan terputuslah keburukan dari kita. Maka Abu Bakar pun menulis surat kepadanya,
'Dari Abu Bakar, khalifah Rasulullah saw, kepada Usamah bin Zaid. Amma ba'du,
Perhatikanlah, jika sudah sampai suratku kepadamu, maka datanglah kepadaku beserta pasukan yang bersamamu. Karena sesungguhnya kaum Muslimin telah sepakat atasku dan telah menyerahkan urusan kepemimpinan mereka kepadaku. Jangan kamu tidak datang, karena itu berarti kamu membangkang, dan akan menimpa kepadamu sesuatu yang tidak kamu sukai. Wassalam.'
Perawi melanjutkan riwayatnya, 'Maka Usamah pun menulis surat jawaban kepada Abu Bakar sebagai berikut,
'Dari Usamah bin Zaid, petugas Rasulullah saw pada peperangan Syam. Amma ba'du,
Telah sampai kepadaku surat darimu, yang mana bagian awalnya bertentangan dengan bagian akhirnya. Pada bagian awal engkau mengatakan bahwa engkau adalah khalifah Rasulullah, sedangkan pada bagian akhirnya engkau mengatakan bahwa kaum Muslimin telah sepakat atas engkau dan mereka telah menyerahkan urusan kepemimpinan mereka kepadamu, serta telah meridaimu. Ketahuilah, sesungguhnya aku dan orang-orang yang bersamaku dari jamaah kaum Muslimin dan Anshar, demi Allah, tidak meridaimu dan tidak menyerahkan urusan kepemimpinan kami kepadamu. Ingatlah, engkau harus mengembalikan hak kepada pemiliknya dan harus melepaskannya kepada mereka. Karena sesungguhnya mereka jauh lebih berhak atas urusan ini dibandingkan engkau. Engkau telah mengetahui apa yang telah dikatakan oleh Rasulullah saw tentang Ali pada hari al-Ghadir. Belum terlalu lama waktu berlalu namun engkau telah melupakannya. Lihatlah kedudukanmu, dan janganlah kamu menentang, karena yang demikian itu berarti kamu telah membangkang kepada Allah dan Rasul-Nya, dan membangkang orang yang telah diangkat oleh Rasulullah saw sebagai khalifah atasmu dan atas sahabatmu. Aku belum diturunkan dari jabatanku hingga Rasulullah saw meninggal dunia, sementara kamu dan sahabatmu —Umar— pulang dan membangkang, serta tinggal di Madinah dengan tanpa ijin.'"
Abu Bakar bermaksud melepaskan kekhilafahan dari pundaknya. Perawi berkata, "Maka Umar berkata kepadanya, 'Jangan kamu lakukan, karena sesungguhnya pakaian ini adalah pakaian yang Allah kenakan kepadamu. Jangan engkau melepasnya, nanti kamu akan menyesal.'" Umar mendesaknya untuk menulis banyak surat kepada Usamah, dan mendatangi si fulan si fulan supaya mereka menulis surat kepada Usamah, agar tidak memecah belah jamaah kaum Muslimin, dan supaya Usamah masuk bersama mereka kepada apa yang telah mereka perbuat.
Perawi berkata, "Maka Abu Bakar menulis surat kepadanya dan begitu juga sekelompok orang dari orang-orang munafik, 'Hendaknya kamu rida dengan apa yang telah kami bersepakat atasnya, dan janganlah kamu meliputi kaum Muslimin dengan fitnah yang berasal darimu."' Perawi menuturkan lebih lanjut, "Ketika surat-surat datang kepada Usamah, maka Usamah bergerak memasuki kota Madinah dengan pasukan yang menyertainya. Ketika dia melihat manusia bersepakat atas Abu Bakar, maka dia pun bertolak kepada Ali bin Abi Thalib as dan bertanya kepadanya, 'Apa ini?' Ali menjawab, 'lni adalah sebagaimana yang kamu lihat.' Usamah bertanya lagi kepada Ali, 'Apakah kamu telah berbaiat kepadanya?' Ali menjawab, 'Ya, wahai Usamah.' Usamah bertanya lagi, 'Karena taat atau karena terpaksa?' Ali menjawab, 'Karena terpaksa.'"
Perawi melanjutkan, "Maka Usamah pun berangkat dan datang menemui Abu Bakar seraya berkata kepadanya, 'Salam atasmu, wahai khalifah kaum Muslimin.' Dengan serta merta Abu Bakar menjawab kepadanya, 'Salam atasmu, wahai komandan.'"[152]
Kita tidak akan mengatakan lebih banyak kepadanya dari apa yang telah dikatakan oleh Allah SWT di dalam Kitab-Nya yang mulia,
"Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah? Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata bagi mereka." (QS. al-Baqarah: 50)
"Tetapi karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merubah perkataan Allah dari tempat-tempatnya, dan mereka sengaja melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS. al-Maidah: 13)
3. Kitab Tabdid azh-Zhalam wa Tanbih an-Niyam ila Khathar at-Tasyayyu' 'ala al-Muslimin wa al-Islam, Karya Ibnu Jabhan.
Saya belum melihat sebuah kitab yang lebih besar permusuhannya kepada Ahlul Bait dan para syi'ahnya dibandingkan kitab ini. Dia telah membulatkan tekadnya untuk mencaci maki mereka dan membuat kebohongan-kebohongan atas mereka, dengan tanpa adanya objektifitas di dalam diskusi dan dialog. Seluruh yang berasal darinya adalah tidak lain berisi pengkafiran, pengfasikan dan pemberangusan terhadap pendapat-pendapat orang lain. Orang yang membaca bukunya akan mendapati saya amat lapang dada.
Saya yakin dia tidak menginginkan dari kitabnya ini selain dari ingin menyulut fitnah di antara kalangan Syi'ah dan Ahlus Sunnah, serta memecah belah barisan kaum Muslimin dengan berbagai macam cara, supaya bertambah bala dan kelemahan yang menimpa mereka. Alangkah bagusnya jika bukunya ini dikirimkan kepada musuh-musuh Islam dan kaum Muslimin, yaitu negara Israel.
Di samping dia seseorang yang lebih bodoh untuk bisa diajak berdiskusi, karena tidak ada satu dalil pun yang dikemukakannya, bukunya ini tidak lebih hanya berupa kumpulan kebohongan dan rekayasa atas Ahlul Bait dan para pengikutnya. Dia menafikan seluruh keutamaan yang datang berkenaan dengan mereka, dan mengingkari ayat-ayat dan hadis-hadis yang dengan jelas menunjukkan wajibnya berpegang teguh kepada mereka.
Berikut ini beberapa contoh dari cara-cara yang dia gunakan di dalam mendaifkan hadis-hadis yang menyebutkan keutamaan-keutamaan Ahlul Bait:
a. Setelah menyebutkan sekumpulan hadis dia mengatakan, "Kami menolaknya dan kami menolak monster kemanusiaan yang bergantung padanya."[153]
a.1. Hadis pertama, "Perumpamaan Ahlul Baitku di sisimu tidak ubahnya seperti pintu pengampunan. Siapa saja yang memasukinya akan aman." "Perumpamaan Ahlul Baitku di sisimu tidak ubahnya seperti bahtera Nuh. Siapa saja yang berpegang kepadanya akan selamat dan siapa saja yang tertinggal darinya akan tenggelam."
Dia mendhaifkan hadis ini dengan selemah-lemahnya argumentasi. Dia mengatakan, "Hadis ini mengharuskan bahwa keselamatan dan keamanan terletak di dalam berpegang kepada Ahlul Bait, dan kecelakaan serta kemusnahan terletak di dalam ketertinggalan dari mereka. Yang demikian ini tidak dibolehkan berdasarkan ucapan Al-Qur'an. Karena Al-Qur'an tidak mensyaratkan untuk keselamatan kecuali dengan beriman kepada Allah dan beramal saleh, dan tidak memperingatkan kehancuran kecuali atas kekufuran dan melaksanakan perbuatan maksiat; serta tidak ada satu pun ayat di dalam Kitab Allah yang bertentangan dengan ucapan kita ini."[154]
Saya katakan, "Namun, apa hubungannya perkataan Anda dengan hadis ini. Karena pembuktian sesuatu tidak menafikan selainnya. Ini yang pertama.
Yang kedua, seluruh Al-Qur'an menentang ucapan Anda. Al-Qur'an yang ada di tangan Anda ini memerintahkan kita untuk berpegang kepada para nabi dan para rasul, dan menetapkan kekufuran orang yang tidak berpegang kepada mereka, "Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa saja yang kamu dilarang olehnya maka jauhilah." Demikian juga Al-Qur'an memerintahkan kita untuk berpegang kepada para wali, "Taatilah Allah, dan taatilah Rasul serta ulil amri dari kamu." Perintah di dalam ayat ini dengan jelas menunjukkan kepada wajib, maka dengan demikian wajib hukumnya berpegang kepada mereka. Allah SWT juga telah mewajibkan kepada kita untuk berpegang kepada orang-orang Mukmin dan mengikuti jalan mereka.
Allah SWT berfirman, "Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan dia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan dia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali." (QS. an-Nisa: 115)
Maka, tidak berpegang teguh kepada mereka berarti kehancuran. Namun amat disayangkan, Ibnu Jabhan tidak merujuk kepada Kitab Allah sehingga dia tahu bagaimana perbuatan masuk pintu bagi Bani Israil merupakan pengampunan bagi dosa-dosa mereka, "Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak di mana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud, dan kata-kanlah, 'Bebaskanlah kami dari dosa', niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu. Dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS. al-Baqarah: 58)

Kemudian dia berdalih, "Oleh karena Syi'ah merupakan produk kebohongan, maka mereka pun memberi warna pensucian dan pengagungan terhadap kebohongan, dan menamakannya bukan dengan namanya, melainkan dengan menggunakan kata "taqiyyah" untuk menyebutnya.."
Demi Allah, saya bertanya kepada Anda, hai Ihsan Ilahi Zahir, cara apakah ini yang Anda gunakan di dalam pembahasan ilmiah ini. Ini tidak lain semata-mata hanya penyerangan dan pengolok-olokkan. Bagaimana bisa dia menafsirkan tagiyyah dengan kebohongan? Padahal Al-Qur'an sendiri telah menggunakan kata ini. Allah SWT berfirman,
"Janganlah orang-orang Mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi pemimpin dengan meninggalkan orang-orang Mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah dia dari pertolongan Allah, kecuali karena siasat memelihara diri (taqiyyah) dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. " (QS. Ali Imran: 28).
Ibnu Jabhan bukan tidak mengetahui hal itu, namun rasa permusuhan dan kebenciannya yang sangat kepada Ahlul Bait telah mendorongnya melakukan demikian. Kita akan tambahkan kemarahannya dengan firman Allah SWT yang berbunyi,
"Katakanlah, 'Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas apa yang aku sampaikan kecuali kecintaan kepada keluargaku.'" (QS. asy-Syura: 23)
Dia berargumentasi, "Kenapa kita harus mengikuti Ahlul Bait. Apakah mereka mempunyai ilmu yang belum disampaikan oleh Rasulullah saw kepada kaum Muslimin seluruhnya. Sesungguhnya keyakinan yang seperti itu berarti menuduh Rasulullah saw telah melakukan pilih kasih dan menyembunyikan risalah.
Selama agama telah sempurna, maka apalagi yang dibutuhkan dari Ahlul Bait?"
Lihatlah oleh Anda ketololan argumentasi ini. Jika penyampaian dan penjelasan hukum-hukum agama kepada sebagian orang tanpa sebagian orang yang lain berarti tindakan pilih kasih, maka berarti Rasulullah saw —yang merupakan Rasul Allah bagi seluruh manusia— harus menyampaikan sendiri risalahnya kepada seluruh manusia seorang demi seorang, atau paling tidak kepada mereka yang hidup sezaman dengannya. Yang demikian ini tentu tidak akan dikatakan oleh seorang yang berakal. Di samping urusan ini tidak termasuk ke dalam kerangka tabligh.
Ahlul Bait memiliki sifat-sifat yang menjadikan mereka mempunyai kelayakan atas kepemimpinan umat. Sudah merupakan sesuatu yang jelas bahwa manusia berbeda-beda di dalam tingkat pemahaman dan penguasaan mereka, dan juga berbeda-beda di dalam tingkat keimanan mereka. Rasulullah saw telah menyampaikan ajarannya bagi seluruh manusia, namun Ahlul Bait adalah manusia yang paling dahulu keimanannya, paling banyak jihadnya dan paling utama ketakwaan dan kewarakannya. Oleh karena itu Allah SWT mensucikan mereka dari segala dosa di dalam Kitab-Nya.
Lantas, kedengkian apakah ini, wahai Ibnu Jabhan?!
Jika kesempurnaan agama menafikan kebutuhan manusia, maka kenapa kita membutuhkan sahabat dan salaf saleh dan mengikuti mereka?!
Dengan dalil-dalil yang bodoh ini Ibnu Jabhan menolak hadis ini.
a.2. Hadis kedua: "Saya tinggalkan padamu dua benda yang sangat berharga, yaitu Kitab Allah dan 'itrahku."
Dia mengatakan, "Hadis ini telah diselewengkan, yang benar adalah 'Kitab Allah dan sunahku'. Kalau pun seumpama hadis ini tidak diselewengkan, lantas siapa yang dimaksud dengan 'itrah yang diisyaratkan di dalam hadis ini."[155]
Dengan sangat mudah dia menolak hadis "Kitab Allah dan 'itrahku".
Pembahasan mengenai hal ini telah kita lakukan pada permulaan buku.
Sudah merupakan sesuatu jelas, sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama ilmu ushul, bahwa qadhiyyah (proposisi) tidak menetapkan maudhu'-nya. Hadis ini sedang dalam tataran menetapkan garis umum gadhiyyah, yaitu wajibnya berpegang teguh kepada Kitab Allah dan 'itrah Ahlul Bait. Adapun pembicaraan mengenai apa itu Kitab Allah dan siapa itu 'itrah Ahlul Bait, tidak dapat diketahui dari hadis ini. Maka oleh karena itu diperlukan dalil lain, yang akan menjelaskan siapa keduanya yang dimaksud.
Bagaimana dia mengkritik hadis ini dengan mengatakan, "Siapa Ahlul Bait itu?!"
Pertanyaan ini seharusnya dia ajukan kepada Rasulullah saw.
a.3. Hadis ketiga: "Hai Ali, tidak mencintaimu kecuali orang Mukmin dan tidak membencimu kecuali orang munafik."
Ibnu Jabhan berkata, "Hadis ini maudhu' (palsu) dan sama sekali tidak benar. Karena kecintaan kepada selain Allah dan Rasul-Nya tidak bisa menjadi ukuran bagi keimanan. Karena kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya pasti mengharuskan kecintaan kepada orang-orang saleh, dan tidak akan terlepas darinya."
Pertama, kenapa dia mengecualikan Rasulullah saw? Jika yang menjadi ukuran ialah istitba' (hubungan keharusan), maka kecintaan kepada Allah mengharuskan juga kecintaan kepada Rasul-Nya dan hamba-hamba-Nya yang saleh.
Kedua, jika kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya mengharuskan kecintaan kepada orang-orang saleh, maka kecintaan kepada orang-orang saleh juga mengharuskan kecintaan kepada Rasul-Nya dan kecintaan kepada Allah. Ini membuktikan kebenaran hadis ini. Karena hadis ini sedang menjelaskan bagaimana mengetahui orang munafik. Karena orang yang menampakan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya tidak dapat mengumumkan ketidak-cintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya, karena jika tidak maka tentu dia tidak disebut orang munafik, namun dia bisa mengumumkan kebenciannya kepada siapa saja yang lain. Dan oleh karena Imam Ali as termasuk ke dalam kelompok orang yang saleh, maka siapa saja yang membencinya —berdasarkan hukum keharusan (istiba')— berarti dia membenci Allah dan Rasul-Nya. Sehingga dengan demikian hadis ini memberikan jikuran yang akurat di dalam mengenal orang-orang munafik.
Ketiga, jika yang menjadi slogan Anda ialah bahwa kecintaan dan kebencian bukan ukuran bagi keimanan dan keyakinan, lantas kenapa Anda mengkafirkan Syi'ah, kalau bukan karena kebencian mereka terhadap sebagian sahabat —sebagaimana persangkaan Anda?!
Kenapa Anda mencintai mereka dan mencintai salaf saleh, padahal di antara mereka ada yang dari kalangan Bani Umayyah dan Bani Abbas, dan Anda berjuang membela dan mempertahankan mereka?!
Bukankah Anda mengharapkan pahala dari yang demikian itu?!
Jika jawabannya tidak, maka seluruh perkataan Anda sia-sia dan hanya menghabiskan waktu.
a.4. Hadis keempat: "Saya adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya."
Ibnu Jabhan berkata, "Sesungguhnya bunyi teks hadis menunjukkan kebodohannya dan kebodohan orang yang menisbahkannya kepada Rasulullah saw. Karena jelas sekali ketidak-cocokkan antara kata "kota" dengan kata "ilmu", dan tidak ada keserasian sama sekali antara pemahaman kedua kata tersebut dengan lafazh keduanya. Jika dia mengatakan, 'Saya adalah lautan ilmu dan Ali adalah pantainya', maka itu jauh lebih layak."
Dia melanjutkan argumentasinya, "Kenapa Rasulullah saw menjadikan ilmu ini berada di sebuah kota dan menjadikan kuncinya berada di tangan Ali? Kenapa Rasulullah tidak menjadikan kota tersebut untuk umum dengan tanpa pintu, sehingga memudahkan setiap orang memasukinya dari arah mana saja yang mereka kehendaki?"
Inilah tingkat keilmuannya dan batas akhir argumentasinya. Yaitu dia berargumentasi dengan adanya kontradiksi di antara kata "kota" dan kata "ilmu". Hadis di atas secara khusus tidak sedang mendefinisikan ilmu, sehingga harus mengatakan "laut".
Melainkan hadis di atas hendak menjelaskan hubungan antara ilmu dengan Ali as. Yang menjadi perhatian hadis ini ialah hubungan secara umum di antara keduanya, maka perumpamaan kota lebih jelas disebabkan tidak dapatnya seseorang memasukinya kecuali melalui pintunya.
Adapun perkataan Ibnu Jabhan yang menyebutkan, "Kenapa Rasulullah saw tidak menjadikan kota itu untuk umum dengan tanpa pintu, sehingga memudahkan setiap orang untuk memasukinya dari arah mana saja yang mereka kehendaki", maka jawabannya cukup dengan firman Allah SWT yang berbunyi,
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mengetahui." (QS. an-Nahl: 43)
Inilah metode yang digunakannya, yang menunjukkan kepada permusuhannya yang sangat kepada Rasulullah saw dan 'ltrah Ahlul Baitnya yang suci. Dengan pemikiran yang dangkal ini dan dengan dalil-dalil yang lucu, dia berusaha menafikan keutamaan-keutamaan Ahlul Bait, dan sebaliknya dia mensahihkan seluruh riwayat yang lemah dan hadis-hadis yang tertolak, baik dari sisi matan dan sanad, hanya karena hadis-hadis tersebut menetapkan keutamaan salah seorang salaf.
Wahai para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, apakah Anda menerima orang yang seperti ini sebagai salah seorang ulama dari Anda, yang membela Anda dan mengakui mewakili Anda. Jika "iya", maka salam atas Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Dan jika tidak, maka kenapa Anda tidak memprotes dan menghentikannya. Buku yang ada di tangan saya ini merupakan cetakan ketiga. Mungkin saja buku ini telah dicetak berpuluh-puluh kali. Maka oleh karena itu, hentikanlah!
Sangat disayangkan sekali pada buku tersebut tertulis kata-kata "Buku ini dicetak dengan ijin dari kepala kantor pengkajian ilmiah, pemberian fatwa, dakwah dan penerangan".
Subhanallah, sebuah nama yang bertentangan sama sekali dengan buku ini. Pengkajian ilmiah apa, padahal dia tidak mengkaji isi buku ini sendiri. Jika tidak, maka dinisbahkan juga kepadanya apa yang telah dinisbahkan kepada penulisnya, yaitu berupa kebodohan, sedikitnya pemahaman, penyelewengan dan pemalsuan kebenaran. Karena pengakuan terhadap sesuatu berarti pembenaran terhadapnya.
Dakwah apa, dan penerangan apa?!
Kecuali jika dakwah tersebut dakwah kepada perpecahan dan perselisihan, dan penerangan kepada pertentangan-pertentangan yang mendatangkan cela ini. Sampai kapan paham Wahabi akan hidup di dalam pertentangan ini. Ketika Dr. Turabi mendhaifkan hadis "lalat" dengan dalil-dalil yang logis dan argumentasi-argumentasi yang ilmiah, dengan serta merta mereka menghunuskan pedang terhadapnya dan memfatwakan kekafirannya. Namun tatkala Ibnu Jabhan mendhaifkan berpuluh-puluh hadis sahih dan mutawatir di sisi Anda, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang demikian itu tidak mengusik ketenangan mereka!
b. Contoh-Contoh Kebohongan Yang Dibuatnya Atas Syi'ah:
b.1. Dia berkata pada halaman 494 dari bukunya, "Sebagai tambahan dari itu, bahwa azan mereka berbeda dengan azan kita, salat mereka berbeda dengan salat kita, puasa mereka berbeda dari puasa kita, dan mereka tidak mengakui zakat dan para mustahik-nya."
b.2. Dia berkata pada halaman 495 dari bukunya, "Mereka meyakini bahwa mereka tidak akan disiksa karena dosa besar dan dosa kecil mereka. Mereka mengatakan bahwa orang selain mereka akan kekal di dalam neraka. Kemudian, mereka membolehkan meminjamkan kemaluan wanita, mereka menggugurkan salat Jumat, salat berjamaah dan hudud, dengan alasan ghaibnya Imam. Mereka menamakan umat Muhammad sebagai umat yang terkutuk. Serta mereka meyakini bahwa melaknat sahabat dan para Ummul Muk-minin sebagai sebesar-besarnya pendekatan kepada Allah."
b.3. Dia menyebutkan di dalam halaman 222, "Mungkin para pembaca yang mulia tidak akan percaya bahwa menikahi ibu dalam pandangan mereka adalah termasuk berbuat kebajikan kepada orang tua, dan merupakan sebesar-besarnya pendekatan kepada Allah."
b.4. Dia juga menyebutkan, "Orang Syi'ah menyodorkan tangannya mengajak Anda bersalaman, namun itu dilakukannya untuk membuat Anda lengah sementara dia memasukkan tangan yang satunya lagi ke dalam kantong Anda."
b.5. Pada halaman 58 dia mengatakan, "Orang Syi'ah mengatakan bahwa setiap anak yang dilahirkan pada hari-hari Asyura, maka dia itu sayyid. Demikian juga setiap anak yang dikandung oleh ibunya pada hari-hari Asyura maka dia itu sayyid, meskipun kandungan itu berasal dari hubungan yang tidak sah." Bahkan, dia tidak cukup sampai di sini. Dia memanjangkan lidahnya terhadap Imam Ja'far ash-Shadiq as, putra Rasulullah saw, yang diyakini oleh sekelompok kaum Muslimin sebagai Imam yang maksum, sementara sekelompok kaum Muslimin yang lain meyakininya sebagai kampiun ilmu dan ulama. Para Imam mazhab yang empat telah berhutang kepadanya dengan keutamaan-keutamaannya.
Sejarah belum pernah menyebutkan kepada kita ada orang yang mencelanya, meskipun dari kalangan orang-orang yang memusuhinya. Hingga datang Ibnu Jabhan berkata tentangnya, "Sesungguhnya perkataan Ja'far yang berbunyi 'Barangsiapa yang menginginkan dunia maka dunia tidak akan memuaskanmu dan barangsiapa yang menginginkan akhirat maka akhirat tidak akan menjagamu’ adalah perkataan orang yang unggul di dalam cara-cara bersilat lidah dan orang yang terampil memainkan teknik-teknik Dajjal. Jika perkataan yang berbunyi 'manusia mengikuti agama rajanya' itu benar, maka tentu benar pula perkataan yang berbunyi 'manusia mengikuti agama imam mereka'. Oleh karena Anda adalah duplikat yang sesuai dengan aslinya (yaitu Ja'far), yang Anda akui sebagai pendiri besar seluruh keyakinan-keyakinan Anda."[156]
Lihatlah, sejauh mana kebencian dan permusuhan dia kepada Ahlul Bait Rasulullah.
b.6. Cara ini bukan merupakan hasil ciptaan Ibnu Jabhan. Sebelumnya, Ustaznya pun telah mendahuluinya dengan cara-cara yang seperti ini, yaitu pendiri ajaran Wahabi, Muhammad bin Abdul Wahab. Di dalam sebuah risalahnya yang berjudul fi ar-Radd 'ala ar-Rafidhah, halaman 34 dia mengatakan, "Mereka membolehkan nikah mut'ah, dan bahkan menjadikannya lebih baik dari tujuh puluh kali nikah permanen. Syeikh mereka yang bernama Ali bin al-'Ali telah membolehkan dua belas orang dari mereka menikahi mut'ah seorang wanita dalam satu malam. Jika lahir seorang anak dari hasil hubungan mereka, maka dilakukan undian di antara mereka, dan orang yang keluar nomer undiannya, maka anak itu menjadi miliknya."
b.6. Dalam halaman 44 dari bukunya dia mengatakan, "Orang-orang Yahudi telah dirubah menjadi monyet dan babi. Juga telah dinukil bahwa yang demikian pun telah terjadi pada sebagian orang rafidhi (Syi'ah) di kota Madinah al-Munawwarah dan kota-kota lainnya. Bahkan dikatakan bahwa mereka telah berubah wajah dan rupanya tatkala mati. Wallahu A'lam."
Inilah cara mereka di dalam menjawab Syi'ah. Dalil-dalil mereka tidak keluar dari dongeng-dongeng seribu satu malam.
4. Adapun kebohongan-kebohongan Ahmad Amin di dalam kitab Dhuha al-Islam, kita maafkan dan tidak akan kita sebutkan. Terutama setelah sampai kepada kita permohonan maafnya atas apa yang telah ditulisnya tentang Syi'ah. Yang demikian itu telah disebutkan oleh al-Imam asy-Syeikh Muhammad Husain Kasyif al-Ghitha, di dalam kitabnya Ashl asy-Syi'ah wa Ushuluha, halaman 72,
"Termasuk sesuatu yang jarang terjadi, Ahmad Amin, setelah beredar bukunya dan setelah beberapa orang ulama Najaf mendatanginya, pada tahun 1349 Hijrah dia mendatangi Kota Ilmu, Najaf, dan berkesempatan menziarahi makam-makam suci yang ada di kota tersebut, bersama rombongan dari Mesir yang kira-kira terdiri dari 30 orang guru dan murid. Mereka mengunjungi kami di Universitas kami. Pada suatu malam dari malam-malam bulan Ramadhan, mereka menghadiri sebuah acara perayaan kami yang penuh sesak. Di situ kami mengkritiknya secara halus, dan sekaligus memaafkan atas apa yang telah dilakukannya. Kami ingin berjalan bersamanya dengan terhormat, dan mengucapkan salam kepadanya. Adapun alasan terbesar yang dia ajukan dalam masalah penulisan bukunya ialah karena sedikitnya informasi dan referensi yang dia miliki. Namun kita katakan, 'lni juga tidak mencukupi. Karena orang yang hendak menulis tentang sesuatu tema, maka pertama-tama dia harus mengumpulkan referensi dalam jumlah yang cukup, dan kemudian meneliti dan mempelajarinya secara mendalam. Dan jika tidak, maka tidak boleh baginya menyelami tema tersebut dan berbicara tentangnya. Bagaimana bisa perpustakaan-perpustakaan Syi'ah, salah satunya adalah perpustakaan kami, mencakup kurang lebih 5000 judul buku, yang sebagian besarnya terdiri kitab-kitab Ahlus Sunnah, dan itu pun terletak di kota Najaf, sebuah kota yang fakir dari segala sesuatu, kecuali ilmu dan kesalehan -InsyaAllah; sementara perpustakaan-perpustakaan Kairo yang besar, tidak memiliki buku-buku Syi'ah kecuali hanya sedikit sekali."
Benar, kaum tersebut tidak memiliki pengetahuan apa pun tentang Syi'ah, namun mereka menulis segala sesuatu tentangnya.•
BAB VIII
MAZHAB YANG EMPAT DALAM SOROTAN
Perselisihan Antar Mazhab
Pengaruh peristiwa saqifah dan pengalihan kekhilafahan dari Ahlul Bait terpantul di dalam semua segi dan tingkatan. Pengalihan ini telah memberikan pengaruh yang negatif ke dalam sejarah dan ilmu hadis serta ilmu-ilmu lainnya. Pengaruh-pengaruh negatifnya tampak dengan jelas di dalam dunia fikih Islam, sehingga menyebabkan banyak terciptanya madrasah-madrasah fikih, yang bertentangan satu sama lainnya.
Sejarah telah menceritakan kefanatikan masing-masing kelompok terhadap madrasah fikih mereka, dan juga berbagai pertengkaran dan perselisihan yang terjadi di antara mereka, hingga sampai tingkatan di mana sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain. Juga tersingkap dengan jelas bagi kita betapa besarnya peranan para penguasa di dalam hal ini, dan bagaimana mereka mempermainkan agama kaum Muslimin. Seorang imam yang sejalan dengan hawa nafsu mereka akan menjadi imam bagi kaum Muslimin, dan manusia diharuskan secara langsung atau pun tidak langsung untuk bertaklid dan mengikutinya.
Setelah terjadi berbagai kejadian yang melingkupi, akhirnya tertetapkanlah bahwa marji'iyyah fiqhiyyah (pemegang otoritas fikih) berada di tangan empat imam, dari sekian ratus mujtahid yang ada. Mereka itu adalah Malik, Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Kemudian setelah masa mereka diharamkan ijtihad, dan semua orang diperintahkan untuk bertaklid kepada mereka. Semua itu kembali kepada sejarah tahun 645 Hijrah, yaitu manakala para penguasa yang berkuasa melihat bahwa kepentingan mereka menuntut dibatasinya ijtihad hanya pada keempat orang Syeikh tersebut. Sekelompok ulama telah bersikap ta'assub dengan pemikiran ini, dan mereka mengumumkan persetujuan mereka. Sedangkan sekelompok ulama yang lain me-mandang bahwa kebijaksanaan ini tidak lain hanya merupakan pem-bendungan terhadap kebebasan dan pemberangusan terhadap kemampuan. Ibnu Qayyim telah menulis satu pasal khusus yang panjang, di dalam kitabnya yang bernama I'lam al-Muwaqqi'in, di mana di dalam pasal itu dia menyelidiki secara mendalam argumen orang-orang yang meyakini wajib ditutupnya pintu ijtihad, dan kemudian mementahkan seluruh argumen tersebut dengan dalil-dalil yang kuat. Meski pun pandangan yang mengatakan wajibnya berhenti pada ijtihad Imam yang empat, bertentangan dengan agama dan akal yang sehat, namun justru pandangan ini yang menang, disebabkan dukungan yang diberikan para penguasa terhadap pandangan yang akan menjamin kepentingan mereka ini.
Ustadz Abdul Muta'al ash-Sha'idi berkata, "Saya dapat memastikan —setelah ini— bahwa pelarangan ijtihad telah berlangsung dengan cara-cara yang zalim, dengan berbagai cara kekerasan dan bujukan harta. Tidak diragukan, seandainya cara-cara ini memenangkan selain mazhab yang empat —yang kita ikuti sekarang— maka dapat dipasti-kan mayoritas kaum Muslimin bertaklid kepadanya, dan tentu diterima oleh orang-orang yang mengingkarinya sekarang. Dengan demikian, kita sekarang sedang berada dalam pelepasan dari keterikatan kepada mazhab yang empat, yang telah dipaksakan kepada kita dengan cara-cara yang busuk; dan sedang dalam proses menghidupkan kembali ijtihad di dalam hukum-hukum agama kita. Karena pelarangannya tidak terjadi kecuali dengan jalan pemaksaaan. Sedangkan Islam tidak meridai sesuatu kecuali yang diperoleh dengan jalan kerelaan dan musyawarah di antara kaum Muslimin. Sebagaimana yang difirman-kan oleh Allah SWT, "Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka." (QS. asy-Syura: 38)
Inilah kenyataan pahit yang dapat ditemukan oleh seorang pengkaji yang adil di dalam sejarah mazhab yang empat. Dengan hak apa kaum Muslimin dipaksa untuk tunduk kepada salah satu darinya. Dan dengan alasan apa para ulama dilarang untuk berijtihad, dan kenapa keempat imam itu yang dipilih sementara yang lain tidak?! Padahal masih ada para ulama yang lebih utama dan lebih berilmu dibandingkan mereka, sebagai contoh:
1. Sufyan ats-Tsauri
Dia dilahirkan pada tahun 65 Hijrah. Dia mempunyai mazhab khusus, namun tidak bertahan lama mengamalkan mazhabnya, dikarenakan sedikit pengikutnya, dan tidak adanya dukungan penguasa kepadanya. Dia adalah salah seorang murid Imam Ja'far ash-Shadiq as, dan lulusan madrasah beliau. Dia termasuk sebagai salah satu fukaha yang sering melakukan perjalanan di dalam mencari ilmu.
Al-Manshur bermaksud membunuhnya, namun tidak berhasil karena dia melarikan diri. Akhirnya dia wafat dalam persembunyian pada tahun 161 Hijrah. Mazhabnya masih terus diamalkan hingga abad keempat Hijrah.
2. Sufyan bin 'Uyainah.
Seorang alim dan fakih yang lurus. Dia mengambil ilmunya dari Imam Ja'far ash-Shadiq as, az-Zuhri, Ibnu Dinar dan yang lainnya. Syafi’i berkata tentangnya, "Saya belum pernah melihat ada seorang yang memiliki alat kelengkapan untuk memberi fatwa, sebagaimana pada Sufyan, dan saya belum pernah melihat ada orang yang lebih layak darinya di dalam memberikan fatwa. Dia mempunyai mazhab yang diamalkan, namun kemudian padam pada abad keempat Hijrah.
3. Al-Awza'i.
Al-Awza'i termasuk salah seorang dari ulama. Mazhabnya tersebar di Syam, dan diamalkan oleh para penduduknya untuk beberapa waktu. Al-Awza'i amat dihormati dan amat dekat dengan penguasa. Dia termasuk orang yang didukung oleh penguasa. Oleh karena itu, penguasa menjadikannya sebagai simbol agama. Dan manakala kalangan Bani Abbas datang, mereka mendekatinya, disebabkan kedudukan yang dimilikinya di mata penduduk negeri Syam. Al-Manshur menghormatinya dan senantiasa mengiriminya surat, dikarenakan mengetahui bahwa dia berpaling dari keluarga Muhammad saw. Namun demikian, mazhabnya tetap tenggelam manakala Muhammad bin Usman —seorang bermazhab Syafi’i— ditetapkan sebagai qadhi atas kota Damaskus. Lalu Muhammad bin Usman menetapkan hukum berdasarkan mazhab Syafi’i, memberlakukan dan menyebarkannya di negeri Syam, sehingga akhirnya orang-orang Syam berpindah ke mazhab Syafi’i pada tahun 302 Hijrah.
Dan berpuluh-puluh para mujtahid lainnya, seperti Ibnu Jarir ath-Thabari, Dawud Ibnu Ali adz-Dzahiri, Laits bin Sa'id, al-A'masy, asy-Sya'bi dan yang lainnya. Kenapa mazhab yang empat ini tetap hidup dan tersebar, sementara yang lainnya tidak?!
Apakah karena para imamnya adalah sealim-alimnya manusia pada zamannya?!
Atau, apakah karena manusia rida kepada mereka, sehingga menjadikan mereka sebagai imamnya?!
Semua ini tidak terdapat pada mazhab yang empat. Silahkan Anda rujuk ke dalam sejarah, di mana sejarah membuktikan adanya para ulama yang lebih alim dari mereka. Akal sendiri menghukumi ternafikannya syarat ini. Karena penentuan kelebih-aliman (al-a'lamiyyah) adalah sesuatu yang sulit. Sebagaimana juga tersebarnya mazhab-mazhab ini, dan terkenalnya para imam mereka, tidak berlangsung pada sebuah keadaan di mana kebebasan dan keunggulan keilmuan berkuasa atas mereka. Bahkan tampak jelas bagi seseorang pengkaji sejarah, bahwa mazhab-mazhab tersebut dipaksakan kepada kaum Muslimin oleh para penguasa melalui ketazaman mata pedang. Adapun kesepakatan dan keridaan manusia atas mereka adalah sesuatu yang tidak terlihat sama sekali bekas-bekasnya di dalam sejarah. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya. Setiap orang bersikap ta'assub dengan mazhabnya, dan sebagian mereka mengecam keyakinan-keyakinan sebagian yang lainnya, sehingga menimbulkan perselisihan-perselisihan berdarah, yang menelan beribu-ribu korban dari kaum Muslimin. Maka mereka menjadi musuh satu sama lain, dan masing-masing memperlakukan yang lainnya sebagai orang yang keluar dari agama. Sampai-sampai Muhammad bin Musa al-Hanafi —qadhi Damaskus— yang wafat pada tahun 506 Hijrah berkata, "Seandainya saya mem-punyai sedikit saja kekuasaan niscaya saya akan memungut upeti (jizyah) dari orang-orang Syafi’i." Sementara Abu Hamid ath-Thusi, yang wafat pada tahun 567 Hijrah berkata, "Kalau saya mempunyai kekuasaan niscaya saya tetapkan upeti (jizyah) atas orang-orang Hanbali." Banyak sekali peristiwa yang terjadi di antara orang-orang Hanafi dengan orang-orang Hanbali, dan antara orang-orang Hanbali dengan orang-orang Syafi’i. Para khatib Hanafi mengutuk orang-orang Hanbali dan orang-orang Syafi’i dari atas mimbar. Sementara orang-orang Hanbali membakar mesjid orang-orang Syafi’i di Marwa. Berkobar api fitnah dan fanatisme di antara orang-orang Hanafi dan orang-orang Syafi’i di kota Naisabur, sehingga pasar dan toko-toko dibakar. Banyak sekali orang-orang Syafi’i yang terbunuh, lalu orang-orang Syafi’i melakukan balas dendam pada tahun 554 Hijrah. Hal yang sama pun terjadi di antara orang-orang Syafi’i dengan orang-orang Hanbali, sehingga memaksa penguasa turun tangan untuk me-nyelesaikan perselisihan mereka dengan kekerasan, dan itu terjadi pada tahun 716 Hijrah.[157]
Mazhab-mazhab lain sepakat marah terhadap orang-orang Hanbali disebabkan tindak tanduk Ibnu Taimiyyah. Diumumkan di kota Damaskus dan kota-kota lainnya, "Barangsiapa yang berpegang kepada agama Ibnu Taimiyyah, maka halal harta dan darahnya." Dengan kata lain, mereka memperlakukan orang-orang Hanbali sebagaimana orang-orang kafir. Di sisi lain, kita mendapati Syeikh Ibnu Hatim al-Hanbali berkata, "Barangsiapa yang tidak bermazhab Hanbali, maka dia bukan Muslim."[158]
Dia mengkafirkan seluruh kaum Muslimin kecuali orang-orang Hanbali. Sebaliknya, Syeikh Abu Bakar al-Maghribi —penceramah di mesjid-mesjid Baghdad— mengkafirkan seluruh orang Hanbali.[159]
Dan peristiwa-peristiwa lainnya yang membuat hati berdarah-darah. Kefanatikan mereka sudah sampai tingkat membunuh para ulama dan para fukaha dengan menggunakan racun. Inilah Fakih Abu Manshur —yang wafat pada tahun 567 Hijrah— dibunuh oleh seorang yang bermazhab Hanbali dengan racun, karena fanatik dengan mazhab Hanbali. Ibnu al-Jauzi berkata, "Orang Hanbali itu memperdaya seorang wanita agar mau membawakan nampan yang berisi manisan kepada Fakih Abu Manshur. Wanita itu berkata, 'Tuanku, ini titipan dari kekasihku.' Lalu dia, istrinya, anaknya dan satu anaknya lagi yang masih kecil memakan manisan itu, maka mereka pun mati. Padahal dia adalah seorang ulama Syafi’i yang terkemuka."[160]
Demikianlah, kefanatikan setiap orang kepada imamnya telah sampai kepada tingkatan di mana mereka membuat hadis-hadis tentang keutamaan imam mereka, dan menisbahkan hadis-hadis tersebut kepada Rasulullah saw. Kefanatikan mereka telah menjadikan mereka keluar dari batas-batas akal sehat dan kewajaran. Sebagai contoh, mereka menisbahkan sebuah hadis kepada Rasulullah saw yang berbunyi, "Sesungguhnya Adam merasa bangga dengan diriku, dan aku merasa bangga dengan seorang laki-laki dari umatku yang bernama Nu'man." Dalam bentuk lain juga disebutkan, "Para nabi merasa bangga dengan diriku, dan aku merasa bangga dengan Abu Hanifah. Barangsiapa yang mencintainya maka dia telah mencintaiku, dan barangsiapa yang membencinya maka dia telah membenciku."[161] Mereka bersikap berlebihan terhadap terhadap Abu Hanifah, hingga mereka berkata tentang keutamaan-keutamaannya, "Allah mengkhususkan syariah dan karomah bagi Abu Hanifah. Salah satu dari karomahnya ialah bahwa Khidhir as datang mengunjunginya setiap hari pada waktu Subuh, dan belajar darinya tentang hukum-hukum syariat hingga lima tahun. Manakala Abu Hanifah meninggal dunia, Khidhir as berdoa kepada Allah, "Ya Rabb, apabila saya mempunyai kedudukan di sisi-Mu, maka izinkanlah Abu Hanifah untuk mengajarku dari dalam kuburaya, sebagaimana biasanya, sehingga aku menjadi manusia yang paling tahu dengan sempurna tentang syariat Muhammad. Maka Allah memenuhi permintaannya. Khidhir as menyelesaikan pelajarannya dari Abu Hanifah, sementara Abu Hanifah berada di dalam kuburnya, dalam jangka waktu dua puluh lima tahun. Demikian juga dongeng-dongeng lain yang semacamnya, yang biasa dibacakan di majlis-majlis Abu Hanifah dan mesjid-mesjid mereka di India.[162]
Orang-orang Maliki pun mengklaim beberapa perkara yang dimiliki Imamnya. Di antaranya ialah, "Dengan pena kekuasaan Allah, tertulis pada pahanya (Imam Malik), 'Malik hujjah Allah di bumi-Nya'. Juga disebutkan bahwa Malik menghadiri orang yang meninggal dunia dari para sahabatnya di dalam kuburnya, dan menyingkirkan kedua malaikat dari si mayit, serta tidak membiarkan keduanya untuk meng-hisab amal perbuatan si mayit.[163]
Juga disebutkan bahwa Malik melemparkan kitabnya al-Muwaththa ke air namun tidak basah.
Orang-orang Hanbali berkata tentang Imam mereka, "Ahmad bin Hanbal adalah Imam kami. Barangsiapa yang tidak menerimanya, maka dia itu pembuat bid'ah." Jika demikian, maka seluruh kaum Muslimin adalah pembuat bid'ah berdasarkan kaidah ini.
Mereka mengatakan, tidak ada seorang pun setelah Rasulullah saw yang menegakkan urusan Islam sebagaimana yang telah dilakukan oleh Ahmad bin Hanbal. Abu Bakar pun tidak bisa menyamainya. Allah SWT menziarahi kuburnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu al-Jauzi di dalam kitab Manaqib Ahmad, halaman 454, "Abu Bakar bin Makarim bin Abi Ya'la al-Harbi —dia adalah seorang tua yang saleh— berkata, 'Pernah pada sebagian tahun sebelum masuknya bulan Ramadan hujan turun lebat sekali selama beberapa hari. Maka aku pun tidur pada suatu malam dari bulan Ramadan, lalu aku ber-mimpi —sebagaimana kebiasaanku— berziarah ke kuburan Imam Ahmad bin Hanbal. Aku melihat kuburannya telah menempel ke tanah seukuran satu saf —barisan dari tanah liat atau batu bata— atau dua saf. Aku berkata, 'lni terjadi atas kuburan Imam Ahmad bin Hanbal disebabkan lebatnya hujan yang turun.' Lalu aku mendengar Imam Ahmad bin Hanbal berkata dari dalam kubur, 'Tidak, ini melainkan berasal dari wibawa Allah SWT yang telah mengunjungiku. Aku ber-tanya kepada-Nya tentang rahasia Dia menziarahiku pada setiap tahun. Allah Azza Wajalla menjawab, 'Ya Ahmad, ini dikarenakan engkau telah menolong perkataan-Ku, sehingga dia tersebar dan dibaca di mihrab-mihrab.' Lalu aku pun mendatangi liang lahadnya dan menciumnya seraya berkata, 'Tuanku, apa rahasianya kenapa tidak ada satu pun kuburan yang diciumi selain dari kuburanmu? Imam Ahmad bin Hanbal menjawab, 'Anakku, karomah ini bukan kepuanyaanku melainkan kepunyaan Rasulullah saw, karena aku mempunyai beberapa helai rambutnya Rasulullah saw. Ingatlah, siapa saja yang mencintaiku maka dia harus menziarahiku pada bulan Ramadan.' Dia mengatakan yang demikian sebanyak dua kali."
Dan keutamaan-keutamaan lainnya, yang menunjukkan kefanatikan dan sikap berlebihan yang bukan pada tempatnya. Kefanatikan, dengan jelas dapat disaksikan di dalam syair-syair mereka:
"Telah tumbuh Mazhab Nu'man menjadi sebaik-baiknya mazhab
laksana bulan yang bercahaya sebaik-baiknya bintang
mazhab-mazhab ahli fikih telah menyusut
mana mungkin gunung-gunung kokoh menenun sarang laba-laba."
Seorang penyair bermazhab Syafi’i berkata,
"Perumpamaan Syafi’i di kalangan ulama adalah laksana bulan purnama di antara bintang-bintang di langit
Katakan kepada orang yang membandingkannya dengan Nu'man karena kebodohan apakah mungkin cahaya dapat dibandingkan dengan kegelapan."
Sedangkan seorang penyair bermazhab Maliki mengatakan,
"Jika mereka menyebutkan kitab-kitab ilmu, maka datangkan
apakah dapat sebanding dengan kitab al-Muwaththa karya Malik
Dengan berpegang kepadanya tangan kekuasaan menjadi mendapat
petunjuk barangsiapa yang menyimpang darinya dia akan celaka."
Sedangkan seorang penyair Hanbali berkata,
"Aku telah menyelidiki syariat-syariat ulama seluruhnya,
namun aku belum pernah melihat ada yang seperti keyakinan Hanbal."
Dalam sebuah syair yang lain seorang Hanbali berkata,
"Aku adalah seorang Hanbali,
selama aku hidup maupun sesudah mati.
Wasiatku kepada seluruh manusia,
hendaklah mereka bermazhab Hanbali."
Demikianlah, setiap orang dari mereka sangat fanatik terhadap imamnya, amat bangga dengan mazhabnya dan mengingkari mazhab-mazhab yang lain. Hingga sampai dikatakan, "Barangsiapa yang menjadi Hanafi maka diberi hadiah, dan barangsiapa yang menjadi Syafi’i akan dihukum."[164] As-Subki berkata di dalam kitab Thabagat asy-Syafi’iyyah, "Inilah Abu Sa'id, yang wafat pada tahun 562 Hijrah. Dia asalnya seorang yang bermazhab Hanafi, lalu berpindah ke mazhab Syafi’i. Dia mendapat kesusahan karena perpindahan itu. Demikian juga as-Sam'ani, tatkala berpindah dari mazhab Hanafi ke mazhab Syafi’i dia mendapat cobaan yang berat. Api fitnah meletus di mana-mana dan timbul peperangan di antara kedua belah pihak. Peperangan terjadi dari sejak Khurasan hingga ke Irak, dan penduduk Marwa dilanda ketakutan yang sangat. Maka diberlakukanlah keadaan darurat. Lalu para ahli ra'yu bergantung kepada ahli hadis, dan mereka pergi ke pintu penguasa .... dan seterusnya."[165]
Kejadian-kejadian yang seperti ini banyak sekali terjadi hingga tidak dapat dihitung. Contoh-contoh yang telah kita sebutkan di atas cukup memberikan gambaran betapa besar perselisihan dan kefanatikan yang berkembang di antara mazhab-mazhab, sehingga sikap menyembunyikan mazhab yang dianut amat diperlukan. Abu Bakar Muhammad bin Abdul Baqi, yang wafat pada tahun 535 Hijrah, seorang yang bermazhab Hanbali, menggambarkan keadaan menyembunyikan mazhab yang terjadi kala itu di dalam sebuah syairnya,
"Jagalah lidahmu, sedapat mungkin jangan sampai menceritakan
yang tiga, yaitu umur, harta dan mazhab.
Karena atas yang tiga akan dikenakan yang tiga
yaitu dikafirkan, dihasudi dan dituduh sebagai pembohong."
Zamakhsyari telah menggambarkan perselisahan dan kerasnya perbenturan di antara mazhab-mazhab di dalam syairnya,
"Jika mereka menanyakan mazhabku,
saya tidak akan membukanya dan akan menyembunyikannya,
karena menyembunyikannya lebih selamat bagiku.
Jika aku katakan aku seorang Hanafi
mereka akan katakan bahwa aku membolehkan thala,
yaitu minuman yang diharamkan.
jika aku katakan aku seorang Syafi’i
mereka akan katakan bahwa aku membolehkan menikahi anak
perempuan sendiri, padahal itu diharamkan.
Jika aku katakan aku seorang Maliki
mereka akan katakan bahwa aku membolehkan kepada mereka memakan anjing.
Jika aku katakan aku dari ahlul hadis dan kelompoknya
mereka akan katakan bahwa aku adalah kambing jantan yang tidak bisa paham dan mengerti."[166]
an>11. Seorang penulis Mesir yang bernama Muhammad Abdul Hafidz. Dia mempunyai kitab yang berjudul Limadza Ana Ja'fari (Kenapa Saya bermazhab Ja'fari).
12. Seorang penulis Sudan, yaitu Doktor Sayyid Abdul Mun'im Muhammad al-Hasan. Dia mempunyai kitab yang berjudul Bi Nur Fathimah Ihtadaitu (Dengan Cahaya Fatimah Saya Mendapat Petunjuk).
13. Syeikh Abdullah Nashir dari Kenya. Dia menjadi Syi'ah setelah sebelumnya menjadi salah seorang Syeikh Wahabi. Dia mempunyai berbagai kitab di dalam masalah ini, di antaranya ialah, asy-Syi'ah wa al-Qur'an, asy-Syi'ah wa al-Hadits, asy-Syi'ah wa ash-Shahabah, asy-Syi'ah wa at-Taqiyyah dan asy-Syi'ah wa al-Imamah.
14. Yang mulia al-'Alim al-Khathib al-Munadzir Sayyid Ali al-Badri. Dia mempunyai jasa yang besar di dalam menyebarkan mazhab Ahlul Bait as setelah menjadi Syi'ah. Dia berkeliling dunia melakukan berbagai dialog. Lalu hasil-hasil dialognya itu dia bukukan ke dalam kitab besar, yang sedang dalam proses pencetakan, dengan judul Ahsan al-Mawahib fi Haqa'iq al-Madzahib.
15. Seorang penulis dari Syiria yang bernama Sayyid Yasin al-Ma'yuf al-Badrani. Dia mempunyai sebuah kitab dengan judul Ya Laita Qawmi Ya'lamun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar