Senin, 17 Desember 2012

"Hawa Nafsu" Musa Husein Al-Habsyi (7)




BAGIAN KETUJUH

Yang Mengutamakan Keinginan Allah


Dalam bagian yang lalu, saya telah membahas tentang "orang yang mengutamakan keinginan dirinya atas keinginan Allah" secara panjang lebar. Sekarang, saya -Insya Allah- akan membahas tentang "orang yang mengutamakan keingi nan Allah di atas keinginan (nafsu) dirinya". Sebelum memasuki kajian yang lebih mendalam, terlebih dahulu saya hendak memaparkan beberapa redaksi dan versi bagi hadis qudsi yang mulia ini.
Syaikh Ash-Shadûq as meriwayatkan dalam kitab Al- Khishâl dengan sanad dari Abu Ja'far Al-Bâqir as, beliau berkata bahwa  "Sesungguhnya Allah berfirman; Demi keagu ngan-Ku, keindahan-Ku, keperkasaan- Ku, ketinggian-Ku dan ketinggian (tempat)-Ku, tidaklah seorang hamba mengutama kan keinginan-Ku di atas keinginan (nafsu) dirinya, kecuali Aku jadikan kekayaannya dalam jiwanya, harapannya pada akhiratnya, Aku cukupkan harta bendanya, Aku jaminkan riz kinyapada langit dan bumi dan Aku di belakang setiap 'perda gangan' yang dia lakukan." [1]
 Dalam kitab Tsawâbul A'mâl diriwayatkan dengan sa nad dari Ali bin Al-Husein as, beliau berkata bahwa "Sesung guhnya Allah berfirman; "Demi kemulian-Ku, kebesaran-Ku, keagungan-Ku, keperkasaan- Ku, nur-Ku, ketinggian-Ku dan ketinggian tempat-Ku. Tidaklah seorang hamba mengutama kan keinginan-Ku di atas keinginan dirinya melainkan Aku suruh para malaikat-Ku untuk menjaganya, langit dan bumi menjamin rizkinya dan Aku di belakang setiap 'perdagangan'- nya serta dunia akan datang dan selalu berpihak padanya". [2]
Ibnu Fahad meriwayatkan dalam kitabnya 'Uddatud Dâ'î dari Rasulullah SAWW tentang firman Allah sebagai beri kut: "Demi kemulian-Ku, kebesaran-Ku, keagungan-Ku, keper kasaan-Ku, nur-Ku, ketinggian- Ku dan ketinggian tempat-Ku. Tidaklah seorang hamba mengutamakan keinginan-Ku di atas keinginan dirinya melainkan Aku suruh malaikat-Ku untuk menjaganya, langit dan bumi menjamin rizkinya dan Aku berada di belakang setiap perdagangannya serta dunia akan selalu datang dan berpihak padanya." [3]
Syaikh Al-Kulaini meriwayatkan dalam kitab Ushûl Al- Kâfî dengan sanad dari Abu Ja'far as sebagai berikut: "...melainkan Aku suruh malaikat-Ku untuk menjaganya (mencukupinya), langit dan bumi menjamin rizkinya dan Aku bera da di belakang setiap perdagangan yang dia lakukan". [4]
Manusia yang Mengutamakan Keinginan Allah di atas Keinginan Dirinya Pengertian pengutamaan (îtsâr) ini ialah menjadikan ke hendak Allah SWT sebagai hakim (penentu) atas keinginan (nafsu) dirinya dan menahan diri dari ajakan hawa nafsu sesuai dengan ketentuan hukum Allah. Allah SWT berfirman: "Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari ke inginan hawa nafsunya, maka sesunguhnya surgalah tempat tinggalnya". Q.S.An-Nâzi’ât:40-41. Persimpangan antara taqwa dan fujur (kesesatan) adalah titik benturan antara keinginan Allah SWT berupa hukum dan firman-Nya dan keinginan (nafsu) manusia. Jika manusia mengutamakan keinginan Allah SWT atas keinginan (nafsu) dirinya, maka dia akan berjalan di jalan ketaqwaan. Namun, sebaliknya, jika manusia mengutamakan keinginan pribadinya atas keinginan Allah, maka dia akan berjalan di atas jalan fujur.
1. Aku Jadikan Kekayaanya dalam Jiwanya Yang populer di kalangan manusia bahwa kekayaan dan kefakiran adalah dua keadaan yang berhubungan dengan emas perak dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan jiwa. Akan tetapi, Islam mempunyai pengertian tentang ke duanya yang berbeda dengan pengertian pada umumnya. Islam menganggap keduanya sebagai masalah jiwa bukan harta benda.
Maka boleh-boleh saja jika ada seorang yang disebut kaya meskipun tidak berharta dan disebut fakir meskipun berharta banyak. Dalam doa 'Arafah Imam Husein as bermunajat de mikian: ''Ya Allah, jadikanllah kekayaanku dalarn jiwaku, ke yakinan dalam kalbuku, ikhlas dalam amalku, nur dalam penglihatanku dan bashîrah dalam agamaku". Bagaimanakah mungkin kriteria kekayaan dan kefakiran bisa berubah dari emas dan perak kepada jiwa? Sungguh rahasia perubahan (konversi) ini, merupakan bagian dari pelbagai rahasia dan keunikan agama Islam. Maka dan itu, sebaiknya kita merenung sejenak tentang masalah ini. Peran Istilah-istilah Keislaman dalam Meluruskan Pemikiran Kata fakir (faqr) dan kaya (ghinâ) dua istilah yang sering digunakan Islam. Namun demikian, Islam mempunyai perha tian yang khusus terhadap berbagai peristilahan atau termino logi.
Sejumlah besar istilah yang berlaku pada masa jahiliyah telah dihapus oleh Islam. Islam merevisi istilah-istilah itu untuk meluruskan berbagai pemikiran, pandangan dan konsepsi ma nusia. la juga menggunakannya untuk merevisi sistem nilai atau "aksiologi" Jahiliyyah tersebut. Karena, Jahiliyyah me miliki "aksiologi" tersendiri yang berbeda dengan milik Islam. Kadang Islam membuang jauh-jauh nilai Jahiliyyah dan membuat nilai yang sama sekali baru dalam kehidupan sosial. Kadang juga Islam merombak suatu antinorma dalam politik, akhlak, masyarakat dan hukum peradilan menjadi norma yang mesti dijalankan. Di masa Jahiliyyah, wanita adalah antinorma. Mereka merasa naas bila memiliki anak perempuan. Kemudian datang Islam dan merubahnya menjadi norma yang mulia dan tinggi. Perbedaan dalam berbagai norma (nilai) ini timbul akibat adanya perbedaan dalam aksiologi.
Setiap norma atau nilai itu memiliki tolok ukur atau kriteria yang mesti diikuti. Kita tidak akan bisa memahami suatu nilai tanpa berpegangan pada tolok ukur tertentu. Islam menggunakan terminologi yang dibangunnya un tuk merubah sistem nilai Jahiliyyah. Implikasi perubahan ak siologis itu adalah suatu perubahan normatif yang total. Untuk membuktikan hal tersebut akan saya jelaskan peran yang di mainkan oleh istilah baru kefakiran dan kekayaan yang telah digunakan Islam dalam merubah sistem nilai, kemudian dalam merubah norma. Di bawah ini penjelasan labih lanjutnya. Kefakiran dan Kekayaan dalam Sistem Nilai Ishun Kefakiran dan kekayaan menurut manusia, pada umum nya, ialah ungkapan bagi sedikit-banyaknya harta. Dengan kata lain, orang fakir adalah yang tidak banyak memiliki emas, perak atau harta lainnya. Sedang orang kaya adalah yang banyak memiliki emas, perak atau harta lainnya. Konsekuensi logisnya, manusia mendefmisikan derajat-derajat kekayaan melalui ku antitas hartanya. Dengan demikian, orangyang memiliki daya beli paling besar adalah orang yang paling kaya. Sebaliknya orang yang kecil daya belinya adalah orang yang paling miskin. Kalau demikian, menurut manusia, kemiskinan dan kekayaan adalah dua keadaan yang seluruhnya bersifat kuantita tif. Sistem Nilai Jahiliyyah Penggunaan istilah di atas tidak membahayakan dan Islam tidak menentangnya, sekiranya permasalahan itu berhenti sampai pada batasan ini.
Namun, masalah ini tidak hanya begitu saja. Karena, keadaan kuantitatif ini (Baca : kekayaan), dalam sistem nilai Jahiliyyah, berubah menjadi suatu nilai sosial dan politis dengan segala konsekuensinya seperti kehor matan, kemuliaan derajat, kedudukan sosial, pengaruh politis dan kepercayaan manusia. Dan ini ialah contoh paling jelas adanya perubahan kuantitas kepada kualitas dalam sistem nilai Jahiliyyah.
Manakala kita perhatikan dengan cermat perubahan ini, maka kita akan menemukan bahwa emas yang kuantitas beru bah menjadi kualitas yang berarti nilai sosial dan politis. Tidak diragukan lagi bahwa dalam kehidupan masyarakat kuantitas dan kualitas itu mempunyai kaitan langsung. Kita tidak mung kin bisa menutup mata atau menahkannya sama sekali. Namun Islam membalik rumusan ini. Islam menjadikan kuantitas me ngikuti kualitas dan bukan sebaliknya. Sebagai contoh, berubahnya kejujuran dan ketakwaan dalam transaksi (kualitas) menjadi prestasi dalam kinerja ek onomis (kuantitas). Atau berubahnya kejujuran dan ketakwaan dalam kiprah politik menjadi meluasnya dukungan kepadanya dalam pemilihan umum.
Beginilah semestinya keadaan yang normal dalam suatu masyarakat. Adapun, manakala masalahnya berbalik dan kuantitas menjadi tolok ukur suatu sistem nilai dalam kehidupan bermasyarakat dan berpolitik, maka masyarakat pasti akan meng hadapi suatu ancaman luar biasa dalam berbagai nilai dan prinsip yang mereka pegangi. Inilah yang ditemukan dalam peradaban Jahiliyyah; di mana struktur material berkuasa penuh atas struktur maknawi dan moral. Sehingga materi menjadi kriteria aksiologis dan bukan sebaliknya. Hal ini yang terjadi pada kaum muslimin setelah per luasan kawasan Islam.
Islam datang dengan membawa suatu sistem nilai yang baru bagi kehidupan manusia yang tidak dikenal di masa Jahiliyyah. la menjadikan bagian maknawi kehidupan manusia sebagai sumber pokok penilaian dan bagian bendawinya sebagai kelanjutan.
Akan tetapi, ketika peta kawasan kaum Muslim sudah semakin meluas, dan Allah juga telah membukakan bagi mereka harta kerajaan Kisra dan Kaisar, dan cakrawala bumi dengan harta benda yang berlimpah- ruah, mereka mulai menjungkirbalikkan sistem nilai atau ak siologi Islam. Maka, emas dan perak kembali menduduki posis- inya sebagai tolok ukur aksiologis. Situasi dan keadaan mereka kembali seperti semula di awal masa Rasulullah diangkat sebagai Imam, penunjuk jalan dan rasul bagi manusia. Di saat Imam Amirul Mukminin Ali as memegang tam puk kepemimpinan pasca Usman bin Affan, beliau menemukan orang-orang Islam telah benar-benar berbalik. Sama seperti orang yang memakai baju terbalik; bagian luarnya di dalam dan bagian dalamnya di luar; bagian atasnya di bawah dan bagian bawahnya di atas. Tentang Bani Umayyah Imam Ali berkata: "...dan baju yang dipakai seperti jubah (yang terbuat dari kain yang halus) yang dipakai secara terbalik". [5]
Imam Ali as juga menemukan rakyat telah kembali se perti keadaan mereka di saat pertama Rasulullah SAWW di utus. Mereka telah berpaling dari apa yang telah di bawa Rasulullah. Imam Ali as berkata: "Sesungguhnya, malapetaka yang me nimpamu merupakan ulangan dari apa yang terjadi pada masa Allah mengutus Nabirnu SAWW Demi Allah yang mengutus Nabi-Nya dengan kebenaran, kalian akan ditumbangkan, di goncang dengan keras, diayak dan dicampur aduk bak adonan di belanga, sehingga orang-orang yang rendah menjadi tinggi dan orang-orang yang tinggi menjadi rendah..." [6] Dalam ucapan ini, Imam Ali as ingin menjelaskan bahwa mereka akan menghadapi htnah yang besar dan kemurtadan dari nilai-nilai, norma-norma dan landasan-landasan Islam.
Sehagaimana isi belanga yang terjungkir-balik karena men didih di mana yang di atas menjadi di hawah dan yang di bawah menjadi di atas. Begitulah keadaan muslimin setelah meluasnya kawasan geograhs mereka dan setelah Allah melapangkan berbagai rizki bagi mereka. Begitu jugalah tragedi yang dialami peradaban Jahiliyyah setelah berlimpah-ruahnya kenikmatan dan harta benda mereka. Pada saat Islam berusaha merubah aistem nilai Jahiliy yah, pertama-tama yang dilakukannya ialah mencetuskan "kamus" istilah baru yang mengartikan kefakiran dan kekayaan dengan makna baru. Itu semua, pada gilirannya, untuk me- nandingi sistem nilai Jahiliyyah. Inilah yang akan saya bahas, Insya Allah.
Sistem Nilai dan Aksiologi Islum Di sini ada dua aliran dalam menafsirkan kekayaan. Salah satunya dengan ukuran emas yang dimiliki. Ini adalah penafsiran maudhu'iy-mahsus (obyektif-empiris) terhadap kata itu. Pada konteks ini, kata al-ghanî (kaya) ini, kurang lebih, sepa dan dengan makna ats-tsarî (berharta).
Adapun penafsiran lainnya ialah penafsiran yang bersifat dzâtî (subyektif dan esensial). Yaitu kekayaan jiwa yang di peroleh manusia melalui keyakinan dan tawakal seorang kepada Allah. Kekayaan semacam ini tidak ada hubungannya dengan kuantitas harta benda. Pada konteks ini, mungkin saja ada orang yang berharta banyak sementara dia tetap miskin (fakir) dan orang yang tidak berharta sedikit sementara dia kaya raya. Kekayaan dan kefakiran dalam pengertian yang akhir ini, benar-benar berbeda dengan pengertian obyektif-empirisnya. Orang kaya menurut pengertian ini adalah yang kaya jiwanya, bukan yang kaya tangannya atau depositonya. Ketika Islam menentukan pengertian baru ini, sebenar nya ia telah herusaha mengadakan perombakan total dalam sistem nilai Jahiliyyah dan menandingi atau menghadapinya. Berikut ini, saya akan menguraikan nash-nash keislaman yang memuat pengertian kaya dan fakir. Kemudian baru saya akan memulai menguraikan sistem nilai baru yang ditetapkan Islam. Istilah Kaya dalam Nash-nash Keislaman Rasulullah SAWW bersabda: "Tidak disebut kaya orang yang banyak harta, tapi orang kaya adalah orang yang kaya jiwanya". [7]
Rasulullah SAWW bersabda: "Kekayaan ada dl hati (kalbu) dan kefakiran ada di hati juga". [8]
Amirul Mukminin Ali as berkata: "Orang kaya adalah orang yang gonâ’ah." [9]
Amirul Mukminin as herkata: "Tiada simpanan yang lebih kaya daripada gonâ’ah." [10] Amirul Mukminin as berkata: "Aku mencari kekayaan, dan aku tidak mendapatkan kecuali gonâ’ah (rasa cukup). Hen daknya kalian menyandang gonâ’ah agar kalian menjadi kaya." [11]
 Imam Al-Bâqir as berkata: "Tiada kefakiran seperti ke fakiran hati dan tiada kekayaan seperti kekayaan hati". [12]
Imam Al-Hâdi as berkata: "Kekayaan ialah sedikitnya angan-anganmu dan ridha dengan sesuatu yang mencuku pimu". [13]
Kalau demikian, Islam merubah pengertian fakir dan kaya, yang mulanya merujuk kepada emas dan perak menjadi kepada jiwa. Bahkan lebih jauh lagi, nahs-nash ini menegaskan bahwa kaya menurut tolok ukur obyektif mengimplikasikan dengan kefakiran kejiwaan yang subyektif. Pada galibnya, setiap kali bagian dunia seseorang bertam bah, kefakiran jiwanya pun bertambah pula. Dengan kata lain, hubungan yang kontras dan berbanding terbalik antara kaya menurut kerangka obyektif dan kaya menurut kerangka sub yektif-mental bukan saja bersifat konseptual, melainkan juga bersifat aktual dan yang terjadi pada umumnya. Amirul Muk minin as berkata: "Orang yang kaya (dunianya) adalah orang yang fakir". [14]
Imam Zainal Abidin as berkata: "Orang yang mempero leh dunia paling banyak, maka dia adalah yang paling fakir di dalamnya". [15]
Kita bertanya-tanya, apa sangkut-paut dan korelasi an tara kekayaan konvensional dan kefakiran mental? Apa penye bab korelasi yang berbanding terbalik antara kekayaan dengan kerangka obyektif dan subyektif ini? Pada nash berikut ini kita akan temukan jawaban sekaligus penafsiran tentang korelasi negatif antara kekayaan dalam pemahamanan yang ini dan yang sebelumnya. Amirul Mukminin as berkata: "Orang kaya yang rakus adalah orang yang fakir". [16]
Maksud orang kaya dalam nash ini adalah orang kaya menurut ukuran obyektif dan maksud orang fakir adalah menu rut ukuran mental yang subyektif. Adapun kata syarah (rakus) yang menengahi antara keduanya menafsirkan korelasi ini. Karena kaya menurut pengertian manusia secara umum bi asanya mengarah pada kerakusan. Dan ketika bagian dunia manusia bertambah, maka - biasanya - dia akan bertambah tamak. Inilah premis yang pertama. Premis kedua, makin ber tambah rasa tamak dan rakus seseorang, maka semakin ber tambah pula ketersiksaan, kegelisahan dan kesulitannya.
Tentang kedua realitas ini, Al-Quran menjelaskan de mikian, Allah SWT berfirman: "Sesunguhnya Allah menghen daki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa rnereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir .." Q.S. At- Taubah:55. Dan Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya Allah meng hendaki akan mengazab mereka di dunia dengan harta dan anak-anak itu dan agar melayang nyawa rnereka, dalam kea daan kafir..." Q.S. At- Taubah:85. Rakus termasuk paling dahsyatnya keadaan kefakiran ruhani dan kekosongan psikologis (mental) pada manusia. Kea daan ini pernah terjadi pada suatu masyarakat di masa Nabi Daud as sampai Allah memerintahkan mereka untuk ber taubat dan kembali kepada-Nya.
Ayat dalam surat Shâd berikut ini akan menjelaskan intensitas keutamaan jiwa. Allah berfirman: “Sesungguhnya saudaraku im mempunyai sembilan puluh ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja. Maka dia berkata: "Serahkan Lah karnbingmu itu kepadaku dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan...". Q.S. Shâd:23. Suatu Transformasi dalam Sistem Nilai Jadi, Islam telah menciptakan pengertian baru bagi kata kaya. Kekayaan dalam pengertian baru ini berubah dari sudut pandang bendawi menjadi jiwa. Maka dengan demikian beru bahlah kekayaan dari tolok ukur harta kepada tolok ukur jiwa. Nilai manusia dalam agama Islam tidak dilihat dari pemi likan uang dan harta benda, sebagaimana yang berlaku pada masa Jahiliyyah.
Islam meletakkan nilai-nilai kemanusian pada asas iman kepada Allah, takwa, ilmu dan berbagai norma etis lain tanpa harus menafikan pengertian yang sudah populer yang hanya bernuansa ekonomis.  Arti baru yang disajikan Islam ini berorientasi untuk membebaskan nuansa yang melulu bersifat ekonomis pada makna kekayaan dan kefakiran. Sekarang simaklah wacana Imam Ali yang sangat padat dan dalam untuk menyimpulkan revolusi aksiologis yang ter jadi ini: "Kebaikan itu bukanlah bertambahnya hartamu. Tetapi ia adalah bertambahnya ilmumu, sopan santunmu dan penca paianmu dalam beribadah kepada Tuhanmu. Dan jika kamu beramal baik, karnu memuji Aliah dan jika kamu beramal buruk, kamu mernohon arnpunan dari- Nya". [17]
Transformasi nilai ini secara pasti diikuti oleh transfor masi dalam posisi-posisi sosial dan politik. Karena penilaian dalam seluruh peradaban berkait dengan aksiologi atau sistem nilai dari satu segi, dan dari segi lainnya berkait dengan posisi-posisi sosial, politik, ekonomis dan ilmiah. Jika kita perhatikan peradaban Jahiliyyah modern di Barat, maka kita akan temukan pengaruh modal (uang) yang sangat kuat pada pemilihan umum, kantor-kantor berita dan medm-media informasi dan keputusan politik. Menurut hemat saya, semua itu disebabkan oleh peradaban yang ditegakkan di atas dasar aksiologi materialistik yang tidak berlandaskan pada norma-norma etis (akhlak) dan spiritual sama sekali.
Permasalahan tersebut sungguh berbeda dengan apa yang ada dalam agama Islam. Menurut Islam, nilai dan penilaian ditegakkan atas dasar-dasar akhlak, ruhani, hubungan ma nusia dengan Allah, ketakwaan dan pengetahuan. Allah berfir man: "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara ham ba-hamba-Nya, hanyalah ulama". Q.S. Fâthir:28. Allah SWT juga berfirman: "Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling takwa." Q.S. Al-Hujurât:130. Maka dari itu, ketakwaan dan keadilan merupakan pra syarat bagi pemimpin umat Islam, qâdhî (hakim) yang akan memutuskan, orang yang diberi amanat harta benda kaum Muslim dan orang-orang yang menempati posisi-posisi sosio-politis dan keagamaan. Oleh sebab itu, transformasi aksiologis ini, pada akhirnya, akan merebak ke seluruh bidang kehidupan manusia; politis, ekonomis, saintihk, keagamaan dan sosial. Untuk lebih jelasnya perhatikan siklus alami di bawah ini:
1.       Transformasi dan perubahan aksiologis.
2.       Perubahan dalam penilaian dan normatif (nilai).
3.       Perubahan dalam posisi-posisi sosio-politik. Sekarang, setelah usai menjelaskan istilah baru yang di gunakan Islam dan perannya dalam kehidupan manusia, kita mesti kembali menengok hadis tentang kekayaan jiwa yang terdapat dalam hadis "Aku jadikan kekayaannya dalam jiwa nya". Kekayaan jiwa Apakah yang dimaksud dengan kekayaan jiwa atau ghinâ an-nafs ?
Bagaimanakah kita bisa memperoleh kekayaan yang ada dalam jiwa itu? Sesungguhnya kekayaan jiwa adalah terlepasnya rasa per caya pada materi dan dunia, lalu mengikatkan diri pada Allah SWT Karena dunia cepat hilang, sedang Allah SWT tidak akan lenyap; benda sifatnya terbatas, sementara tiada batasan bagi kekuasaan Allah SWT dan keagungan-Nya. Dan ketika itu manusia menjadi kaya karena tawakalnya dan kepercayaannya pada-Nya. Dia tidak pernah lemah atau goyang meskipun situasi dan kondisi gonjang-ganjingdan kega duhan malapetaka membolak-balikkan keadaan dirinya dari yang mudah menjadi sulit, dari yang senang menjadi sedih dan dari yang ceria menjadi sengsara. Yang demikian itu karena adanya kekayaan dalam jiwa yang tidak pernah berpisah dari nya kapanpun juga. Amirul Mukminin Ali as berkata: "... dalam kegoncangan, mereka tegar, dan dalam kesulitan mereka sabar". [18]
Ini karena adanya kekayaan yang bersemayam dalam lubuk jiwa yang tidak bisa dicabut atau dipudarkan oleh situasi dan kondisi apapun juga. Mereka kaya dengan keimanan, ke percayaan, tawakal, dan kerelaan kepada keputusan Allah. Inilah kekayaan dengan Allah (ghinâ billah) yang tidak ada kekayaan melebihinya. Kekayaan ini tidak bisa digoyang oleh situasi dan kondisi yang bagaimanapun juga. Rasulullah SAWW bersabda: "Wahai Abu Dzar, merasalah kaya dengan kekayaan Allah, maka Allah akan mengayakan rnu”. [19]
Imam Ali as berkata: "Kaya dengan Allah ialah paling besarnya kekayaan dan kaya dengan selain Allah merupakan paling besarnya kefakiran dan kesengsaraan". [20]
Berdasarkan pada tolok ukur ini dalam memahami ke kayaan dan kemiskinan atau kefakiran, maka kekayaan ma nusia akan lebih banyak setiap kali kepercayaannya kepada Allah lebih besar. Rasulullah SAWW bersabda: "Barang siapa yang ingin menjadi manusia yang paling kaya, hendaknya dia lebih per caya pada apa yang di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganya sendiri”. [21]
Percaya kepada Allah bukannya meninggalkan (menyia-nyiakan) sebab-sebab material, karena meninggalkan sebab-se bab material berarti keluar dari sunnatullah dan ditentang oleh Islam. Akan tetapi, hakikat pengertian percaya kepada Allah adalah tunduk dan merasa tenang/tentram dengan Allah bukan dengan yang selain-Nya sambil terus memperhitungkan sebab- sebab yang akan membantunya merealisasikan tujuan-tujuan nya. Faktor-faktor untuk Dapat Memperoleh Kekayaan Jiwa Sebenarnya, faktor-faktor yang mendorong manusia un tuk memperoleh kekayaan ini banyak sekali, tapi yang saya akan sebutkan adalah yang beberapa yang terpenting saja.
1.  Keyakinan kepada Allah SWT Yakin pada Allah merupakan paling tingginya derajat kekayaan. Karena, jika manusia yakin pada rahmat, luthf, akan terkabulnya permohonannya. kemahapemberian rizki, belas kasih, kepenyayangan, rahmat yang terus menerus bersam bung tanpa putus, khazanah rahmat yang tidak pernah habis terkuras dan seringnya Allah memberi yang hanya berarti tambahan kemahadermawanan-Nya, maka dia tidak akan pernah merasa fakir dan tersiksa selamanya. Seseorang pasti akan merasakan kefakiran jika ia tidak mempunyai keyakinan ini atau jika keimanannya kepada Allah belum sampai pada batas ini. Sebab, keyakinan kepada Allah merupakan peringkat keimanan paling tinggi dan pemberian Allah paling agung yang dianugrahkan kepada hamba- hamba- Nya. la adalah kunci kekayaan. Amirul Mukminin Ali as berkata: "Kunci kekayaan adalah keyakinan". Dan tak ada lagi kekayaan melebihi keyakinan ini. Imam Al-Bâqir as berkata: "Cukuplah keyakinan seba gai kekayaan dan ibadah sebagai kesibukan". [22]
2.  Ketakwaan Ketakwaan merupakan bagian penting dari faktor penye bab kekayaan. Karena, jika manusia melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah SWT dan berpegang teguh kepadanya, maka Allah akan memberikan perasaan kaya dalam jiwanya dan menjauhkannya kefakiran jiwa. Rasulullah SAWW bersabda: "Cukuplah ketakwaan seba gai kekayaan." [23]
 Imam Al-Bâqir as berkata: "Wahai Jabir, orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang kaya. Mereka dikaya kan dengan sedikit harta dan tuntutan hidup mereka seder hana. Jika kamu lupa kebaikan, mereka akan mengingatkanmu dan jika kamu mau melakukan kebaikan mereka akan membantumu. Mereka mengakhirkan syahwat dan mendahulukan keta atan kepada Allah". [24]
Imam Ash-Shâdiq as berkata: "Barang siapa yang di keluarkan oleh Allah dari kehinaan maksiat menuju kemu liaan takwa, maka berarti Allah telah mengayakannya tanpa harta benda, memuliakannya tanpa keluarga dan menemani nya tanpa teman". [25]
Nash ini sangat jelas dan menukik dalam menerangkan arti kekayaan jiwa yang bisa terjadi tanpa harta. Sebagaimana manusia bisa dimuliakan Allah tanpa keluarga dan dihilangkan keterasingannya tanpa teman. Ketakwaan adalah sumber kekayaan, kemuliaan dan ke akraban (uns) dalam jiwa manusia. Karena, orang yang ber takwa kepada Allah dan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan hukum-hukumNya, maka berarti Allah telah mengayakan jiwanya dan menjauhkan kefakiran, kehinaan dan keterasingan (wahsyah atau alienasi) dari jiwanya. Dalam sebuah hadis qudsi disebutkan yang intinya: "Ti daklah seorang hamba mengutamakan keinginan-Ku di atas keinginannya (nafsunya), kecuali Aku akanjadikan kekayaan nya dalam jiwanya". [26]
Penentangan hawa nafsu adalah penerjemahan yang pasif dari ketakwaan, sedangkan penerjemahan yang aktifnya adalah melakukan hukum-hukum Allah SWT 3. Kesadaran Jika keyakinan dan ketakwaan adalah dua kunci keka yaan, maka kesadaran adalah merupakan kunci yang membuka jalan kepada keyakinan dan ketaqwaan. Manusia tidak bakalan meninggalkan kesadaran dan ke takwaaan kecuali akibat dari kebodohan dan ketiadan kesa daran. Dan kesadaran yang dimaksud di sini ialah keberakalan atau inteleksi (ta'aqqul). Banyak nash yang menegaskan pengertian di atas. Imam Ali as berkata: "Tiada kekayaan (yang lebih agung) daripada akal". [27]
Imam Ali as juga pernah berkata: "Paling kayanya keka yaan adalah akal". [28]
Beliau juga pernah berkata demikian: "Kekayaan orang yang berakal dengan ilmunya dan kekayaan orang bodoh (jahil) dengan hartanya". [29]
Imam Musa Al-Kâzhim as dalam sebuah ucapannya yang populer kepada Hisyam berkata: "Wahai Hisyam! Siapa yang menginginkan kekayaan tanpa harta, ketentraman hati dari sifat dengki, dan keselamatan dalam agama, maka dia harus tunduk patuh kepada Allah SWT dalarn perkara-Nya dan agar menyempurnakan akalnya". [30]
Pengaruh-pengaruh Kekayaan Jiwa dalam Kehidupan Manusia Kekayaan jiwa mempunyai beragam keuntungan yang besar dalam kehidupan manusia. Orang yang telah dikayakan jiwanya oleh Allah, akan selalu merasa berhubungan dengan- Nya dan bersama-Nya. Dia selalu percaya akan dawamnya pertolongan dan ban tuan Allah. Karena, Allah tidak pernah berpisah darinya atau memberatkannya kapanpun juga. Maka dalam lubuk jiwanya, dia akan merasakan kepercayaan yang mutlak, kedamaian, keteguhan, kemantapan dan kesenangan kalbu dan dhamîr. Dia tidak akan pernah dihinggapi penyakit ambisius, deng ki, rakus, atau gelisah. Karena, semua sifat ini merupakan sifat-sifat kefakiran jiwa, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadis Imam Al-Kâzhim as di atas. Imam Ash-Shâdiq as berkata: "Sekaya-kayanya orang adalah yang tidak menjadi tawanan kerakusannya". [31]
Imam Ali as berkata: "Paling mulianya kekayaan adalah meninggalkan angan-angan". [32]
Amirul Mukminin Ali as juga pernah berkata: "Keka yaan yang paling besar adalah keputusasaan akan segala yang ada di tangan manusia." [33]
Harta yang tidak melahirkan kekayaan jiwa adalah sum ber kegelisahan dan ketersiksaan manusia. Malahan, ia akan menambah kerakusan, kegelisahan dan ketersiksaannya. Allah SWT berfirman: "Sesunguhnya Allah menghendaki dengan (rnemberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir.." Q.S. At- Taubah:55.
Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya Allah menghen daki akan mengazab mereka di dunia dengan harta dan anak-anak itu dan agar melayang nyawa mereka, dalam keadaan kafir..." Q.S. At-Taubah:85. II. Langit dan Bumi Menjamin Ui/.kinya Ini adalah bagian kedua dari balasan orang-orang yang mendahulukan keinginan Allah di atas keinginan dirinya dan menjadikan hukum dan kehendak Allah di atas berbagai keingi nan dan nafsu pribadinya.
Orang-orang yang demikian itu akan diganjar oleh Allah SWT sebagai berikut: Pertama, Allah akan menjadikan kekayaannya dalam jiwanya, sebagaimana yang telah saya jelaskan secara terperinci pada pembahasan yang lalu. Kedua, langit dan bumi akan menjamin rizkinya. Seba gaimana yang akan saya jelaskan dibawah ini. Kami tidak perlu menjelaskan bahwa butir ini tidak berarti bahwa manusia dapat berlepas tangan untuk mencari rizki, tapi maksudnya adalah bahwa Allah akan memberinya taufiq (kemudahan atau akomo dasi) dalam usaha dan harkatnya. Taufiq (akomodasi) Taufiq ini adalah maksud dari jaminan langit dan bumi yang diberikan Allah kepada manusia. Betapa banyak usaha manusia yang hilang sia-sia dan tidak membuahkan hasil. Ter kadang bertahun-tahun usia seorang dihabiskan dalam upaya yang terus menerus, tapi dia tidak menggapai apa yang dike hendakinya. Dan betapa banyak pekerjaan yang kecil dan usaha yang sederhana, tapi membuahkan hasil yang baik dan ber kah. Yang pertama adalah gambaran "jeleknya taufiq" dan yang kedua adalah gambaran "baiknya taufiq".
Sedangkan Allahlah pemilik (wali) segala taufiq. Jaminan yang diberikan langit dan bumi melalui perintah Allah SWT itu kepada rizki sang mukmin sebab dia mendahu lukan keinginan Allah SWT atas keinginan dirinya itulah yang disebut taufiq. Taufiq bermakna bahwa Allah menjadikan usa ha dan gerak-geriknya pada tempat yang bermanfaat. Seperti curahan hujan yang mengenai tanah yang subur dan gemuk. Betapa banyak air hujan yang turun ke bumi tanpa bisa menumbuhkan dan menghasilkan apa-apa. Namun, sebaliknya, betapa banyak gerimis yang mengenai tanah yang subur dan dalam cuaca yang baik dapat menghasilkan kebaikan yang banyak dan menyuburkan bumi. Inilah gambaran taufiq. la adalah suatu perkara yang tidak berhubungan dengan usaha dan gerak-gerik manusia (secara langsung), meski dia sedikit memiliki "andil" di dalamnya.
Karena sebab-sebab taufiq yang misterius dan tak dapat dicapai manusia jauh lebih banyak daripada yang dimilikinya dan, tentunya, kesemuanya ada di tangan Allah SWT. Maka, jika Allah telah memudahkan (mem beri taufiq) hamba-Nya, maka hidup, usaha dan pekerjaannya pun akan menjadi berkah. Sebagaimana yang difirmankan Allah melalui lisan Maryam as: "Dan Dia menjadikan aku seo rang yang diberkati di mana saja aku berada ". Q.S. Maryam: 31. Selagi seorang tidak diberi taufiq oleh Allah SWT, dan Allah tidak menghendaki kebaikan baginya, maka pasti dia tidak akan mendapatkan "sebab-sebab kebaikan" dari upa yanya dan akalnya kecuali sedikit sekali. Dalam sebuah hadis disebutkan: "Tidak akan berguna ketekunan usaha tanpa taufiq". [34]
Jika Allah menghendaki suatu kebaikan kepada seorang hamba dan memberinya taufiq, maka berarti Allah meletakkan usahanya di tempat "sebab-sebab kesuksesan dan keuntungan" yang pada akhirnya segala upaya manusia itu akan membuah kan hasil. Amirul Mukminin Ali as berkata: "Sebaik-baiknya kete kunan (usaha) adalah yang disertai dengan taufiq". [35]
Ada sebuah hadis yang berbunyi demikian: "Taufiq ada lah paling utamanya dua 'keberuntungan’”. [36]
Penjelasannya demikian. Keberuntungan pertama -yang sangat tidak berarti- adalah yang didapat manusia melalui sebab-sebab kebahagiaan dan kebaikan akibat ketekunan usa ha, hasil pemikiran dan berbagai potensi yang telah diberikan Allah kepadanya.
Sedangkan keberuntungan lainnya ialah bahwa Allah memberikan hidayah padanya untuk sesuatu yang tidak diketahumya atau tidak terjangkau olehnya dari sebab- sebab yang akan mengantarkannya kepada kebaikan. Kemu dian, Allah meletakkannya di terapat sebab-sehab kebahagian dan kebaikan. Inilah keberuntungan kedua sebagaimana yang disinggung dalam hadis tersebut.
Tak diragukan lagi bahwa taufiq merupakan aksi ghayb (gaib) yang datang dari "dunia luar" yang meletakkan manusia di tempat-tempat dan sebab-sebab kebaikan. Taufiq tidak sama dengan potensi- potensi intelektual yang bersifat htri dan daya yang telah dianugrahkan Allah pada jiwa manusia. Karena potensi-potensi itu secara berdiri sendiri tidak akan mampu menggiring dan mengarahkan manusia kepada sebab-sebab kebaikan atau menjauhkannya dari sebab-sebab kejahatan. Apabila Allah telah menghendaki bagi seorang hamba suatu kebaikan, maka Allah akan menolongnya dengan menata keseriusannya (usahanya) dan meletakkan potensi-potensinya di tempat-tempat yang menyebabkan datangnya kebaikan. Ha dis berikut ini secara tepat menjelaskan hakikat tersebut.
Diriwayatkan bahwa ada seorang lelaki bertanya kepa da Imam Ash-Shâdiq as: "Wahai putra Rasulullah SAWW, bu kankah aku mampu melaksanakan sesuatu yang telah diti tahkan kepadaku?”
Beliau berkata: "Apakah kemampuan (istithâ'ah) itu menurut pandanganmu?”
Dia menjawab: "Kekuatan untuk bertindak?”
Beliau berkata: "Kamu bisa memilikinya kalau pertolo ngan (ma'ûnah) diberikan kepadamu!"
"Apakah ma'unah itu?", Tanyanya lagi.
Beliau menjawab: "Taufiq!"
Dia menyoal lagi: "Mengapa harus diberikan taufiq?”
Imam menjawab: "Apakah dengan kekuatan itu belaka kamu mampu menangkis mara bahaya dan mengambil manfaat tanpa pertolongan Allah SWT?”
Lelaki itu menjawab:"Tidak!"
Kemudian beliau berkata: "Kalau demikian, mengapa ka mu menganggap bisa (melakukan sesuatu) yang kamu tidak mampu atasnya?"
Kemudian beliau melanjutkan: "Bagaimana sikapmu atas suatu pernyataan hamba yang saleh berikut ini: "Dan tiada taufig bagiku melainkan dengan Allah..." Q.S. Hûd:88. [37]
Riwayat ini mengklasifikasikan kemampuan yang aktif dan efektif dalam kehidupan manusia itu dalam tiga kelompok berikut ini:
  1. Hukum-hukum natural dan sosial (sunnatullah) yang mengarahkan manusia menuju kebaikan atau kejelekan.
  2. Berbagai kemampuan yang telah diletakkan Allah pada manusia dan digunakannya untuk merealisasikan sebab-sebab kebaikan atau kejelekan di alam dan masyarakat. 3.        Taufiq dan pertolongan Ilahi yang dengannya Dia me nunjukkan para hamba-Nya sebab-sebab kebaikan yang tidak tampak bagi mereka dan menolong mereka agar memperoleh semuanya. Al-Karâjikî dalam kitabnya Al-Kanz, meriwayatkan uca pan Imam Ash-Shâdiq as sebagai berikut: "Tidak semua orang yang berniat pada sesuatu mampu (melaksanakannya). Tidak semua orang yang mampu (melaksanakan) sesuatu mendapat taufiq untuknya. Dan tidak semua orangyang mendapat taufiq, bisa mencapai tujuan. Karenanya, bila niat, kemampuan (qud rah), taufiq dan ketepatan tujuan (ishâbah) telah berkumpul, maka sempurnalah kebahagiaan seseorang" . [38]
 Taufiq ialah salah satu pintu yang lebar untuk mengenal Allah. Ada tiga pintu manusia untuk mendapat hidayat me ngenal Allah:
A.  Fitrah
 B. Akal (Baca: bukti-bukti rasional)
C.  Ta'âmul billah (hubungan dengan Allah SWT). Yang belakangan disebut ialah termasuk pintu yang sa ngat lebar untuk mengenal Allah yangdimasuki oleh para empu bashîrah .
Berhubungan dengan Allah akan memberikan kei manan, kepercayaan dan ketentraman atau kepasrahan (tawakal) kepada manusia, sementara fitrah dan akal tidak bisa melakukan hal yang sama. Manusia akan memperoleh hal tersebut berkat hubungannya dengan Allah di segala keadaan. Taufiq ilahi dalam kehidupan manusia mempunyai bera gam sebab, aturan dan prinsip. la bukan perkara yang datang secara tiba-tiba. Maka pemilik taufiq pastilah orang yang sudah layak mendapatkannya. Dan siapa yang taufiqnya tercabut dan urusannya sepenuhnya dikuasai nafsunya, maka pastilah itu karena dia telah menyia-yiakan kesempatan itu dan tidak lagi layak menjadi tempat pancaran Ilahi tersebut. Jelas bahwa ini bukan lantas berarti bahwa Allah menjadi kikir untuk memberikan rahmat-Nya atau rahmat-Nya sudah terkuras habis, tapi semata-mata karena Dia melakukan segalanya atas kehendak-Nya.
Karena itu, sebagian ada yang mendapatkannya dan sebagian lain tidak. Sementara manusia berbeda- beda tingkatan dan nasib dalam beroleh taufiq Allah mengikuti kadar kelayakan mereka untuk menerimanya dan keluasan tempat mereka untuk menampungnya. Taufiq ialah rahmat Ilahi yang turun untuk hamba-hamba-Nya tanpa suatu perhitungan. Orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri tidak akan mendapatkannya. Sedangkan Mukminin akan mendapatkan rahmat rabbânî ini menurut kadar keluasaan tempat jiwa mereka. Inilah peran aksi gaib terhadap ihwal rizki yang termasuk dalam permasalahan alam syuhûd (yang tampak nyata).
Hubungan antara Alam Gaib dan Syuhûd Termasuk masalah pokok dalam pemikiran keislaman ialah masalah yang gaib dan hubungannya dengan yang syuhûd (tampak). Pandangan manusia tentang masalah ini sangat ber beda-beda. Di antara mereka ada yang menahkan alam gaib dan ada pula yang mengakui keberadaannya meski menafikan ada nya hubungan antara keduanya. Sedang Islam mengimani yang gaib dan mengajak pe meluknya untuk mengimaninya. Islam menjadikan keimanan terhadap yang gaib sebagai syarat pertama dalam ajaran Islam. Allah berfirman: "Alif Lâm Mîm. Kitab (Alguran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertagwa. Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendiri kan shalat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugrahi kepada mereka". Q.S. Al-Baqarah:1-3.
Dan firman Allah:"Yaitu orang-orang yang takut akan azab Tuhan mereka, sedang mereka tidak melihat- Nya, dan mereka merasa takut akan mengingkarinya." Q.S. Al-Anbiyâ':49. Dan firman Allah: "Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah walaupun ia tidak melihat-Nya". Q.S. Yâsîn:11. Kemudian Islam menghubungkan antara alam gaib dan alam syuhûd. Islam menganggap bahwa antara kedua ufuk yang mempunyai keberadaan yang luas ini memiliki banyak jembatan yang menghubungkan kedua hal tersebut.
Islam mem percayai bahwa setiap darinya saling mempengaruhi yang lain; yang gaib berefek pada hal-hal yang syuhûd dan indrawi dan yang syuhûd juga berpengaruh pada yang gaib. Ketakwaan dan ketakutan kepada Allah "secara gaib" dan mengekang diri dari kemaksiatan mempunyai pengaruh langsung pada kehidupan material manusia; memudahkan yang sulit dan membukakan pintu-pintu penghidupan dan rizki. Allah SWT berfirman: "Barangsiapa yang bertagwa ke pada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya..." Q.S. At-Thalâq:2-3.
Dan firman Allah: "Dan barang siapa yang bertagwa ke pada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan da lam urusannya ...”. Q.S. At-Thalâq:4. Inilah hubungan alam syuhûd dengan alam ghaib. Pada arah yang berlawanan juga terjadi. Rasulullah SAWW bersabda: "Sekiranya tidak ada roti niscaya kita tidak akan shalat." [39] Rasulullah SAWW bersabda: "Karena rotilah kalian ber puasa." [40] Rasulullah SAWW juga pernah bersabda: "Sekiranya tidak ada roti, niscaya kita tidak akan bershalat dan berpuasa serta kita tidak akan melakukan kewajiban-kewajian Tuhan kita". [41]

Peran Faktor Gaib dalam Penafsiran Sejarah.
Karena adanya hubungan yang erat ini, maka Alquran menganggap bahwa alam gaib ialah salah satu faktor paling penting penggerak sejarah dan menahkan teori materialisme dalam menafsirkan sejarah. Alquran menepis asumsi yang ha nya meyakini faktor-faktor material sebagai satu-satunya yang bisa menggelindingkan roda sejarah. Alasannya, ialah sering kali kita mendapati sejarah bergerak ke arah yang berlawanan dengan sasaran yang dituntut oleh faktor material. Renungkanlah ayat-ayat berikut ini: "Sesungguhnya Al lah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jum lahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menim pakan bencana kepada orang-orang yang kafir, dan demikian lah pembalasan kepada orang-orang yang kafir....". Q.S. At-Taubah:25-26.
Butir pertama, yang mesti kita pahami ihwal peran faktor gaib dalam menggerakkan sejarah yang terdapat dalam ayat tersebut adalah bahwa kemenangan datangnya dari Allah sedangkan faktor-faktor material hanyalah sebagai faktor pem bantu (mu'iddât) untuk mencapai kemenangan. Dan bahwa Allah sendirilah yang menganugrahkan kemenangan itu. Allah SWT berfirman: "Sungguh Allah yang menolong kalian di ba nyak tempat...". Q.S. At-Taubah:25.
 Inilah butir yang sangat penting dalam memahami gerak laju sejarah dalam pandangan Islam yang berbeda jauh dari berbagai mazhab materialisme Barat. Butir kedua, ialah kekalahan pada perang Hunain yang bertolak belakang dengan faktor kuantitatif pasukan yang me rupakan bagian faktor-faktor kemenangan dalam penafsiran materialisme terhadap sejarah. Allah berfirman: "... dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jum lahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumiyang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai." Q.S. Al- Taubah 25.
Butir ketiga, turunnya sakînah (ketenangan) dari Allah terhadap Rasul-Nya dan orang-orang Mukmin di medan laga. Sakînah inilah yang menenteramkan mereka dalam suasana terjepit dan mengkokohkan kaki- kaki mereka di atas bumi pertempuran (medan laga) dan mencabut ketakutan, defeatism (perasaan kalah) dan keresahan dari hati mereka. Kesemua itu adalah anugrah dari Allah belaka. Begitu juga dengan cara dikirimkannya "prajurit-prajurit yang tak tampak" untuk memukul mundur barisan kaum kafir, menyebarkan keresahan di dalam hati mereka dan membulatkan tekat Mukminin dalam melawan musuh-musuh mereka.
Allah SWT berfirman: "Kemudian Allah menurunkan ketena ngan kepada Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang ka fir, dan demikianlah pembalasan kepada oranng-orang yang kafir..". Q.S.At-Taubah:26.
Kemudian kita menemukan ayat berikut ini dalam surat Al-Imran: "Ya, (cukup), jika kamu bersabar dan bersiap-siaga, dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itujuga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda. Dan Allah tidak menjadikan pemberian baia bantuan itu melainkan sebagai khabar gembira bagi kemena nganmu, dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Mahaperkasa." Q.S. Âli ‘Imrân:125-126.
Ayat ini menegaskan adanya bala bantuan gaib (imdâd ghaybî) yang turun di saat-saat kesulitan dan ketakutan berupa lima ribu pasukan malaikat untuk menguatkan "posisi tempur" orang-orang Mukmin. Allah juga membangkitkan ketenangan di hati mereka dan menjadikan para malaikat itu sebagai berita gembira bagi mereka di saat-saat paling gawat itu. Ayat ini juga menetapkan prinsip yang jelas dan distingtif dalam memahami gerak laju sejarah antara Islam dan materi alisme.
Allah berfirman: "Dan tiada kemenangan kecuali dari sisi Allah yang Maha Agung nan Bijak". Surat Âli ‘Imrân ini juga menegaskan pelajaran yang dibe rikan Allah kepada orang-orang Mukmin setelah menelan ke kalahan di perang Uhud. Allah berfirman: "Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati. Kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu (termasuk) orang-orang yang beriman". Q.S. Âli ‘Imrân:139. Superioritas di medan laga, pada dasarnya, bersumber dari iman kepada Allah. Setelah itu barulah faktor-faktor bendawi pertempuran (heldpieces) berperan untuk menghadapi musuh.
Kemudian, dalam konteks yang bermiripan, kita baca ayat dalam surah Al-A'râf berikut ini, Allah berfirman: "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pasti lah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (aya-ayat Kann) itu, rnaka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya". Q.S. Al- A'râf:96. Berkah-berkah yang diberikan Allah atas hamba-hamba-Nya dari langit dan bumi ini pertama-tama karena keimanan dan ketakwaan mereka, kemudian, tak lupa pula, faktor-faktor bendawi.
 Inilah sisi positif hubungan peran keimanan dan ketak waan dengan kemenangan dan pertolongan dalam pertempu ran militer; dan dengan kemajuan, kemarakan, kemudahan dan rizki dalam kehidupan urban. Sebaliknya juga benar. Yakni hubungan keruntuhan peradaban dan bangsa dengan mera jalelanya kekejian dan pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah. Mari kita renungkan ayat mulia di bawah ini: "Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyak nya generasi-generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu), telah Kami teguhkan kedudukan me reka di muka bunii, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu, dan Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, kemudian Kami bmasakan mereka, karena dosa me reka sendiri, dan Kami ciptakan sesudah generasi yang lain." Q.S. Al-An'âm:6.
Kehancuran dan keruntuhan ini disebabkan dosa dan maksiat mereka. Permasalahan yang tidak diperhitungkan ma terialisme dalam menafsirkan keruntuhan peradaban ini, jus tru dianggap Alquran sebagai aktor utama dalam menafsirkan sejarah. Kemudian kita menemukan ayat-ayat mulia berikut ini yang melukiskan perputaran sejarah. Allah SWT berfirman: "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umatyang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) keseng saraan dan kemelaratan, supaya mereka bermohon (kepada Allah) dengan tunduk merendah diri, Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras dan setan pun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan. Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu ke senangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka itu mereka berdiam berputus asa. Maka orang-orang yctng zalim itu dimusnakan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam..." Q.S. Al-An’âm:42-45. Inilah tiga babak atau fase sejarah bangsa-bangsa yang dimulai dari kemunculannya sampai kehancurannya.
Dan ada nya interaksi antara yang gaib dan yang syuhûd jelas sekali dalam berbagai fase tersebut. Fase pertama, adalah fase ibtilâ' (ujian). Dalam fase ini, Allah meluruskan tonggak bangsa, meneguhkannya dan memberinya kekuatan. Kejelekan yang dilakukan pada fase ini akan mendatangkan bencana, sementara tadharru' (ketundukan) kepada Allah akan menghilangkannya. Allah berfirman: "... kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) keseng- saraan dan kemelaratan, supaya mereka bermohon (kepada Allah) dengan tunduk merendah diri." Hubungan antara yang gaib dan yang syuhûd seperti adanya kejelekan yang mendatangkan balâ' dan tadharru' yang menyingkirkannya.
 Inilah yang belum ditemukan pemikiran materialis dan yang telah Allah tunjukkan pada kita dalam kitab-Nya. Fase kedua, adalah fase istidrâj dan imlâ' (penguluran dan pemenuhan). Hubungan antara yang ghaib dan yang syu hûd dalam tahapan ini juga adalah jelas sekali. Melampiaskan diri dalam kemaksiatan, menceburkan diri dalam kejelekan, dan tidak mengambil preseden atas datangnya mala petaka pada fase ibtilâ', kadang malah akan membukakan pintu kenik matan dan rizki pada suatu bangsa secara lebar. Namun rizki itu merupakan siksa bukan rahmat. Allah menginginkan mere ka agar terus-menerus berada dalam kesesatan. Setelah itu, barulah Allah menyiksa mereka dengan siksaan Zat yang Maha Perkasa dan Kuasa.
Allah berfirman: "...Maka tatkala mereka melupakan per ingatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun mem bukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka..." Fase ketiga, adalah fase keruntuhan dan kehancuran. Allah berfirman: "...Maka orang-orang yang zalim itu akan dimusnakan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam..." Pujian kepada Allah ini dihaturkan atas datangnya niq mah (siksa), bukan ni'mah (nikmat) dan atas kehancuran dan kebinasaan bukan atas kemakmuran. Hubungan antara yang gaib dan yang tampak (syuhûd) fase ini tidak berbeda dengan fase-fase sebelumnya.
Dengan kata lain, sikap pongah, angkuh, kebablasen (thughyân) dan takabur umat (bangsa) di atas bumi yang menggembirakan mereka akhirnya akan menurunkan azab kehancuran dan ke binasaan yang mengakar bagi mereka. Allah berfirman: "...se hingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah di berikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong- konyong, maka ketika itu mereka terdiam dalam keadaan putus asa..." Jadi, dalam pandangan filsafat sejarah Islam faktor gaib yang sangat penting dalam gerak sejarah. Faktor-faktor Gaib Tidak Menafikan Faktor-Faktor Bendawi Penjelasan di atas tidak ingin menahkan peranan materi dalam kehidupan individual ataupun sosial manusia. Pada da sarnya, Islam mempercayai faktor dualistik gaib bendawi dalam menafsirkan gerak sejarah.
Islam menolak penafsiran sejarah hanya dengan satu faktor baik yang gaib maupun yang bendawi saja. Menurut Islam, hubungan manusia dengan alam mesti dengan memjuk dan mempertimbangan dualisme faktor ini. Hubungan antara Ketakwaan dan Rizki Setelah kita menelusuri hubungan antara yang gaib dan yang tampak (syuhûd) kini mari kita menelaah paragraf dalam hadis qudsi berikut ini: "Tidaklah seorang hamba yang mengu tarnakan keinginanKu di atas keinginan dirinya kecuali Aku jaminkan rizkinya pada langit dan bumi..."
Setelah memahami penjelasan di atas tentang hubungan antara yang gaib dan syuhûd, maka kita tidak perlu lagi me nguras tenaga untuk mengetahui hubungan antara ketakwaan yang merupakan perkara gaib dan maknawi dan rizki yang merupakan perkara indrawi di alam syuhûd. Persoalan ini termasuk yang paling jelas dalam pera daban Islam. Karena, ketakwaan merupakan pintu rahmat Allah yang luas dan dengannya seorang bisa mendapat rizki dari Allah.
Tambahan lagi, takwakal juga bisa menjadi sebab mengu curnya air hujan ke bumi dan menguraikan segala benang kusut yang terjadi. Ketakwaan seorang akan mendatangkan keme nangan, membukakan "pintu yang tertutup" dan jalan keluar bagi keterhimpitan hidupnya. Allah berfirman: "Barang siapa yang bertagwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginyajalan ke luar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dike hendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan keten tuan bagi tiap- tiap sesuatu." Q.S. At-Thalâq:2-3.
Dan firman Allah: "Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan bagmya kemudahan dalam urusannya". Q.S. At-Thalâq:4.
Rasulullah SAWW bersabda: "Sekiranya langit dan bumi tertutuppada seseorang hamba, lalu dia bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan langit dan bumi sebagai kelapangan danjalan keluar baginya" . [42]
Amirul Mukminin as berpesan kepada Abu Dzar saat akan disingkirkan Utsman ke Rabadzah: "Wahai Abu Dzar, se sungguhnya engkau marah karena Allah, rnaka rnohonlah pada Dzat yang engkau marah karena-Nya. Sekiranya langit dan bumi menutup diri kepada seorang hamba kemudian ia bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan menjadikan keduanya sebagaijalan keluar baginya". [43]
Imam Ali as pernah juga berkata demikian: "Barang siapa menyandang ketakwaan, maka akan hilanglah segala kesulitan yang mendekatinya, rnanislah segala kepahitannya, pecahlah segala ombak yang mencoba menggulungnya dan ringanlah segala kesukaran yang menyiksanya". [44]
Imam Ash-Shâdiq as berkata: "Barang siapa berpegang teguh pada (tali) Allah melalui ketakwaan, maka Allah akan menjaganya. Dan siapa yang telah didatangi dan dijaga Allah, maka dia tidak akan peduli sekiranya langit berbenturan dengan bumi dan ada bencana yang turun dan menimpa seluruh penduduk bumi. Karena, dengan ketakwaannya dia akan tetap berada dalam penjagaan Allah dari segala bencana.
Bukankah Allah telah berfirman: 'Sesungguhnya orang-orang yang ber takwa berada di maqam yang aman”. Q.S. Ad- Dukhân:51." Imam Ash-Shâdiq as berkata: "Sesungguhnya Allah telah menjamin orang yang bertakwa kepadaNya untuk meru bahnya dari sesuatu yang dibenci menjadi sesuatu yang disenangi dan Allah akan memberikan rizki kepadanya secara tak diduga-duga”. [45] Imam Al-Jawâd pernah menulis sepucuk surat kepada Sa'd Al-Khair yang demikian bunyinya: "Sesungguhnya de ngan takwa Allah SWT menjaga hamba-hamba-Nya dari hal- hal yang tidak terjangkau oleh pikiran mereka dan dengannya pula Allah menyingkap kebutaan dan kebodohan mereka. Den gan ketakwaan, Nuh as diselamatkan bersama rombongannya yang ada dalam bahtera.
Begitu pula Shaleh as beserta kaumnya dari amukan badai. Dengan ketakwaan orang- orang yang sabar akan beruntung dan orang-orang pilihan akan selamat dari kehancuran". [46]
Kalau demikian, maka orang yang mengutamakan keing inan Allah SWT di atas keinginannya dan mendahulukan per intah Allah dan larangan-Nya di atas kecenderungan, hasrat dan hawa nafsu dirinya, Allah akan suruh langit dan bumi untuk menjamin rizkinya dan menjaga serta tidak menyerahkan (uru sannya) pada dirinya sendiri. Bahkan Allah akan menganugrahi taufiq dalam usaha dan upayanya. Tidak perlu saya ingatkan lagi bahwa semua ini tidak berarti bahwa takwa tidak butuh pada usaha untuk mendapat kan rizki. Islam tidak mengajarkan siapapun untuk merasa cukup dengan takwa saja tanpa usaha untuk mendapatkan rizki. Ketakwaan hanya bisa menyebabkan turunnya taufiq dari Allah atas hamba-Nya. Sehingga usahanya berada pada tempatnya dan menyampaikannya pada sumber-sumber rizki dengan jalur pintas.
 Kisah Tiga Orang yang Diselamatkan Allah karena Ketakwaanya Dengan takwalah Allah menepis segala bentuk mara ba haya dari para hamba, menghilangkan bencana dan menyela matkan mereka dari segala kehancuran dan himpitan hidup. Dari Nafi', dari Ibnu Umar, Rasulullah SAWW bersabda: "Di suatu saat ada tiga orang ycmg sedang berjalan-jalan. Tiba-tiba turun hujan sangat deras sehingga mereka harus bernaung di sebuah gua yang terletak di lereng gunung. Tidak berapa lama, ada batu besar yang jatuh menutupi lobang gua tersebut.
 Lalu mereka saling bertatap mata dan berkata kepada yang lain: 'Tengoklah perbuatan yang kalian lakukan semata- mata dan secara tulus ikhlas untuk Allah. Kemudian, memo honlah kepada Allah dengan perbuatan itu agar Allah menyingkirkan batu ini. Kemudian di antara mereka berkata: "Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai dua orang tua yang sudah lanjut usia dan anak-anak yang masih kecil, sedang akulah yang mesti menanggung penghidupan mereka. Setiap pagi aku datang menemui mereka. Aku perahkan susu untuk mereka. Lalu aku hidangkan pada kedua orang tuaku sebelum kepada anak-anakku. Suatu kali menjelang subuh aku sudah bepergian dan baru tiba di rumah malam harinya. Kemudian aku dapatkan kedua orang tuaku sudah tertidur pulas. Tetapi aku tetap memerah susu sebagaimana lazimnya. Aku bawa susu itu dan aku berdiri di dekat kepala kedua orang tuaku. Aku takut membangunkannya, tapi akujuga takut meniinumkan nya kepada anak-anakku sebelum mereka. Sampai putriku me rengek di kakiku sejadi-jadinya. Keadaan ini berlanjut sampai menjelang fajar. Maka jika Engkau mengetahui bahwa apa yang telah aku kerjakan, itu sernata-rnata karena mengharap ridha-Mu, bukalah batu ini sehingga saya bisa rnelihat langit. "Tak lama waktu berselang, Allah menggeser batu besar itu, hingga mereka bisa mengintip langit. "
Orang yang kedua berkata: "Aku rnempunyai sepupu perempuan (putri paman) yang sangat kucintai layaknya seorang lelaki normal mencintai wanita. Aku telah meminta kehor matannya secara terus terang, tapi ia rnenolaknya sampai aku bisa mernberinya 100 Dinar. Aku berupaya keras agar mendapat sejumlah uang terse but. Setelah aku bisa mengumpulkannya, segera aku mem bawanya kepadanya. Ketika aku 'berada di antara selangkangannya', tiba-tiba dia berkata: 'Hai hamba Allah, bertakwalah kepada Allah. Jangan kau membuka "cincin" ini kecuali den gan hak-Nya. Lalu aku berdiri dan meninggalkannya. "Ya Allah, jika Engkau telah mengetahui bahwa aku benar-benar mengerjakan hal itu karena mengharap ridha-Mu, maka bukalah batu ini. Kemudian, sedikit lagi batu itu bergeser. "
Gilliran orang yang ketiga berkata: 'Sungguh aku per nah menyewa seorang pelayan dengan segenggam padi. Setelah menyelesaikan tugasnya, dia meminta haknya. Lalu kuberikan kepadanya segenggam padi. Tetapi, dia menolaknya dan meninggalkannya begitu saja. "Kemudian aku menanam padi itu hingga bisa dipakai membeli seekor sapi dan penggembalanya. Kemudian pelayan itu datang lagi padaku dan berkata: 'Bertakwalah kepada Allah! Berikan hakku.' Aku jawab: 'Ambillah sapi itu dan penggem balanya. Dia berkata: Bertakwalah kepada Allah dan jangan menghina aku.' Aku berkata: Ambillah sapi itu dan, pengembalanya'. Akhirnya, dia mengambilnya. "Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa aku mela kukan hal itu karena mengharap ridha-Mu, rnaka keluarkanlah sisa batu mi. Kemudian Allah benar-benar menyingkirkan batu tersebut dari mereka". [47]
III. Aku Cukupkan Hartanya Kalimat kafaftu 'alaihi dhai'atahu mempunyai dua kemungkinan arti. Pertama, al-kaff bisa mempunyai arti al-jam' (mengalokasikan) dan adh-dham (menambahkan). Kedua, ber arti al-man' (mencegah), al-daf’ (menolak) atau ash-sharf (me malingkan). Adapun makna wa kafaftu 'alahi dhai 'atahu berdasarkan arti pertama adalah: "Aku akan menghimpun seluruh urusan nya yang bercabang, menyatukan hartanya, menangani per karanya dan menjamin kebutuhan hidupnya."
Ibnu Atsir mengatakan dalam kitab Al-Nihâyah tentang arti al-kaff: "Ada kemungkinan kata itu berarti al- jarn' (pengumpulan) sebagaimana dalam hadis berikut ini, 'Orang Muk min adalah saudara Mukmin lainnya. Yang satu akan me ngumpulkan (memenuhi) harta yang lainnya'. Maksudnya ia lah mengumpulkan kebutuhan hidupnya dan mengalokasikan nya untuknya". [48]
Adapun arti kedua dari kata al-kaff ialah melarang, me malingkan dan mencegah. Dengan begitu, arti kalimat kaffahu 'anhu fa kaffa, ialah "rnencegahnya, memalingkannya dan me larangnya", sehingga sesuatu dapat tercegah, terpalingkan dan terlarang". Maka, berdasarkan pengertian kedua ini, paragraf hadis itu bermakna "Aku akan mencegahnya dari ketercerai-berai kan, menghalanginya dari kesia-siaan dan kebingungan dan memberikan petunjuk kepadanya yang dapat menerangkan ram bu-rambu jalannya". [49]
Dalam kitab Bihârul Anwâr, Allamah Majlisi menjelaskan tentang penafsiran paragraf hadis itu demikian: "Paragraf ha dis ini memuat beberapa kemungkinan arti. Pertama, sebagaimana yang disebutkan dalam An-Ni hâyah . Yaitu, "Pengumpulan harta benda dan sarana kehidupannya." Dalam susunan tersebut terdapat kata kerja yang di-mutta'adi-kan atau ditransitifkan dengan 'alâ yang mengan dung arti berkah atau belas kasih atau beberapa arti yang sepadan dengannya. Atau 'alâ di sini mengandung arti ila seba gaimana yang diisyaratkan dalam kitab An-Nihâyah. Kedua, al-kaff mengandung arti al-man' (larangan), sedangkan 'alâ mempunyai arti fî. Dengan demikian, dhai'atahu mempunyai arti adh-dhiyâ' (kesia-siaan) dan hadis itu akan berarti, "Aku akan mencegah kesia- siaan jiwa, harta, upaya dan semua yang berhubungan dengannya. Makna ini dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan Ash-Shadûq: "Aku akan men cegah kesia-siaannya". [50]
Dalam kajian ini saya memilih pada pengertian yang kedua. Karena, ia menurut hemat saya lebih mendekati dan sesuai dengan konteks hadis tersebut. Khususnya jika kita mengetahui bahwa Ash-Shadûq ra juga meriwayatkan dengan redaksi berikut, wakafaftu 'anhu dhai'atahu (Aku cegah kesia-siaan darinya).
Kalimat ini ditransitifkan dengan kata 'an sebagai ganti dari 'alâ. Sedangkan al-kaff sendiri mempunyai arti ad-daf’ (menolak), al-man' (mencegah) dan ash-sharf (menghalau). Secara linguistik, ad-daf’ berbeda dengan kata ar-raf’ (mengangkat atau mengentaskan). Karena ad- daf’ mempu nyai arti "mencegah sesuatu sebelum kejadian". Sedang ar-raf’ mempunyai arti "menghilangkan sesuatu setelah kejadian". Maka dari, itu ad-daf’ berarti mencegah yang semakna dengan wigayah (menangkal). Sedangkan ar-raf’ mengandung arti al-'ilâj (mengobati). Jadi al-kaff artinya ad-daf’ bukan ar- raf’. Jika demikian halnya, maka artinya Allah SWT mencegah kesia-siaan darinya dan tidak membiarkan hal itu terjadi padanya. Dan ini merupakan suatu hidayah (hidayat atau pe tunjuk). Karena hidayah terbagi menjadi dua. Yaitu, setelah adanya kesesatan dan sebelum adanya kesesatan. Keduanya memang mengacu pada makna petunjuk dan hidayah.
Akan tetapi, hidayah yang pertama terjadi setelah manusia sesat dan tersia-siakan. Sedangkan kedua terjadi tanpa didahului kesesatan atau kesia-siaan. Oleh karena itu, hidayah yang kedua ini lebih kuat dari pada yang pertama. Nash itu menggunakann kalimat kaffa dhai'atahu bukan hidayah. Dan kaffa 'an adh-dhai'ah adalah hasil dari hidayah. Karena itu, nash tersebut menunjukkan arti "menyampaikan pada tujuan" bukan "pengarahan dan peringatan".
Hidayah Mengandung Arti Menyampaikan dan Mengarahkan Hidayah mempunyai dua arti: menyampaikan pada tujuan (îshâl) dan pengarahan (taujîh), peringatan (tadzkîr) dan bukti (dalâlah). Arti yang pertama itu tertera dalam firman Allah: "Sesungguhnya kamu tidak akan memberi hidayah kepa- da orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orangyang dikehendaki-Nya...” Q.S. Al-Qashash:5-6. Jelasnya bahwa hidayah yang dinafikan/ditiadakan di sini adalah yang berarti "menyampaikan pada tujuan" yaitu hi dayah yang hanya khusus milik Allah SWT sendiri. Adapun hidayah dalam arti "mengarahkan dan memperingatkan" ada lah tugas dan misi Rasulullah SAWW pada manusia. Dan tidak mungkin hidayah ini yang dinahkan oleh ayat tersebut dan dikhususkan sebagai milik Allah semata. Allah SWT berfirman: "... dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi hidayah ke jalan yang lurus." Q.S. As-Syu'ârâ`:52.
Dan termasuk dalam pengertian ini juga ialah yang di jelaskan oleh ayat Al-Quran berikut ini yang memuat perkataan orang mukmin. Allah berfirman: "(Orang beriman itu berkata): 'Hai kaumku, ikutlah aku, aku akan menunjukkan jalan yang benar." Q.S. Al-Mukmin:38. Hidayah ini berarti pengarahan, peringatan dan bukti, bukan penyampaian pada tujuan (îshâl). Adapun arti yang sesuai dengan hadis di atas îshâl (menyampaikan pada tujuan). Karena, hidayah dalam arti yang lain tiduk dapat mencegah kesia-siaan manusia dan menjamin sampainya manusia kepada Allah SWT. Lagi pula, makna inilah yang sesuai denga konteks hadis tersebut. Karena, konteks hadis itu sedang membicarakan keu tamaan-keutamaan yang khusus diberikan Allah kepada orang- orang yang mengutamakan keinginan Allah di atas keinginan mereka sendiri. Dan jelas bahwa perbuatan seperti itu akan menyampaikan seorang pada tujuan. Adapun hidayah dalam arti petunjuk dan pengarahan adalah bagian dari rahmat Allah yang universal (umum) yang mencakup orang mukmin dan non-mukmin.
 Dengan kata lain, pengarahan dan peringatan tidak hanya dikhususkan untuk orang-orang mukmin saja atau orang-orang yang mengutama kan keinginan Allah di atas keinginan dirinya saja, tapi juga mencakup orang-orang yang mengutamakan keinginan pribad inya di atas keinginan Allah.

Bagaimana Cara Allah Mencegah Kesia-siaan Hamba-Nya
Kesia-siaan akan tercegah melalui bashîrah. Derajat ba shîrah yang tinggi akan mencegah kesia-siaan manusia secara pasti. Maka, jika Allah menghendaki kebaikan pada seorang dan menghendaki untuk mencegahnya dari kesia-siaan, maka Allah akan memberinya bashîrah itu yang juga akan menjamin kese lamatannya menuju Allah. Bashîrah ini tentu berbeda dengan gerak aktif manusia menuju Allah dengan metode logika dan argumentatif. Mes kipun, langkah ini merupakan gerak yang tidak pernah ditolak oleh Islam. Bahkan Islam mendukungnya, menfokuskan pada nya, mengintensifkannya dan sangat menganjurkannya. Justru mayoritas orang bergerak menuju Allah dengan menggunakan sarana akal (rasio) dan logika. Adapun bashîrah ialah ketajaman pandangan (pengli hatan) yang tidak disertai kekaburan dan distorsi sedikitpun. Ketajaman pandangan ini boleh jadi dihasilkan dari gerak rasional dan logika. Namun, ia juga bisa terjadi akibat kesucian dan kejernihan jiwa. Manusia akan sampai pada derajat bashî rah ini melalui salah satu dari dua jalan tadi; ada kalanya dengan aktivitas akal dengan menjernihkan dan menyucikan jiwa. Dalam pandangan Islam, kedua metode itu bersifat saling bergantung atau interdependen. Oleh sebab itu, seseorang yang hendak mendaki tangga kesempurnaan mesti melalui keduanya secara serentak. Yaitu melalui aktivitas intelektual dan pelati han dan penyucian jiwa.
Dalam firman berikut ini Allah telah menjelaskan keduanya secara bergandengan: "Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada me reka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata." Q.S. Al-Jumu'ah:2. At-tazkiyah (penyucian) adalah penjernihan, pembersihan dan pelatihan jiwa (nafsu). Hal ini adalah pintu yang luas di antar pintu-pintu makrifat Ilahi dalam kehidupan manusia. Sedangkan at-ta'lîm (pengajaran) adalah pintu lainnya.
Alhasil, baik bashîrah itu merupakan buah dari aktivitas akal atau penyucian dan pelatihan jiwa (nafsu), adalah jelas bahwa Allahlah sumber segala bashîrah dalam kehidupan ma nusia. Bashîrah tidak bakal ditemukan selain pada Allah dan tidak akan datang kecuali dari-Nya. Tazkiyah dan ta'lîm ialah dua pintu dan saluran bashîrah manusia. Bashîrah dan Perbuatan Perlu kami jelaskan kembali bahwa Islam menetapkan bahwa ilmu dan tazkiyah atau akal dan penjernihan jiwa saling bergantung untuk merealisasikan bashîrah. Meski demikian, peran faktor tazkiyah lebih efektif dan tepat dalam merealisasi kan bashîrah. Mungkin, karenanya Alquran mendahulukan menyebut kata tazkiyah daripada ilmu dalam ayat itu. Allah SWT berfirman: "... mensucikan mereka dan mengajarkan ke pada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah..." Q.S. Al-Jumu'ah:2.
Pada titik ini, sepatutnya sejenak kita merenungkan kalimat at-tazkiyah ini agar kita bisa menemukan bagaimana sebenarnya tazkiyah (penyucian) dapat terwujud?
Dalam mazhab-mazhab monastis, tazkiyah terwujud me lalui pengisolasian diri, khalwat dan pelarian dari kenyataan hidup. Dengan ini, penempuh tazkiyah dapat "menjauhi" hawa nafsu, syahwat dan htnah. Lain halnya dengan metode yang digunakan Islam. Islam tidak memerintahkan penempuh dan pencari kesucian diri untuk melarikan diri dari htnah atau mematikan hawa nafsu, alih-alih demikian Islam malah me nganjurkan mereka untuk menghadapi berbagai htnah dan mengendalikan dan membimbmg hawa nafsu dan syahwat. Metode pendidikan ini, berpegang pada tindakan dan amal sebagai dasar tazkiyah bukan pengisoliran diri, monastisisme, depresi atau pengebirian. Jadi amal akan berubah menjadi bashîrah. Sebaliknya, bashîrah juga akan berubah menjadi amal. Kemudian apakah yang dimaksud dengan amal ini? Apa pula maksud bashîrah itu? Dan apa hubungan antara keduanya? Hubungan antara Bashîrah dan Amal Kita telah membahas bashîrah secara global. Sementara amal yang kita maksud di sini adalah seluruh upaya yang bertujuan dan dilakukan oleh manusia demi mendapat kerid haan Allah. Amal ini mempunyai dua aspek.
1.                   Aspek gerak positif dengan sasaran ketaatan kepada perintah-perintah Allah SWT.
2.                   Aspek pencegahan negatif jiwa dari segala perbuatan yang dilarang Allah. Kalau demikian, komponen-komponen amal ialah upaya dan tujuan -keridhaan Allah-. Sedang ia terdiri dari dua aspek; gerak (positif) dan al-kaff (pencegahan negatif). Sedangkan korelasi antara amal dan bashîrah bersifat interaktif-dialektis. Sebab, bashîrah adalah sumber amal baik dan amal baik adalah sumber bashîrah. Maka hubungan interaktif antara bashîrah dan amal ini dengan sendirinya meng hasilkan peningkatan amal dan bashîrah secara sinkron. Sesungguhnya amal baik akan menghasilkan intensitas (peningkatan) bashîrah. Sedang bertambahnya bashîrah meng hasilkan pada peningkatan amal baik. Demikianlah amal dan bashîrah saling mengisi terus. Sampai subyeknya mencapai puncak tertinggi dalam amal baik dan bashîrah. Marilah kita renungkan hubungan interaktif antara ba shîrah dan amal ini. Bagian Pertama: Bashîrah adalah Sumber Amal Baik Amal baik adalah buah bashîrah. Karena, bashîrah yang tajam (bisa menerawang) dan intens pasti akan mengantarkan kepada amal baik dan tidak akan terpisah darinya.
Sebaliknya, kekurangan dan keteledoran manusia dalam beramal adalah akibat dari kelemahan dan kekurangan bashîrah. Banyak sekali nash keislaman yang mendukung penger tian di atas. Di bawah ini saya akan sebutkan beberapa di antara. Rasulullah SAWW bersabda Jibril berkata: "Orang yang mempunyai keyakman akan beramal untuk Allah seakan-akan nielihat-Nya. Kalaupun dia tidak melihat-Nya, maka pasti Al lah melihatnya". [51]
 Imam Ali as berkata: "Keyakinan bisa dibuktikan dengan sedikitnya angan-angan, ikhlasnya amal perbuatan dan zuhud pada dunia". [52]
Imam Ali as berkata: "Ketakwaan adalah buah agama dan tengara keyakinan." [53]
Imam Ali as berkata: "Barang siapa yang mempunyai keyakinan, pasti akan beramal dengan penuh kesungguhan." [54]
Imam Ash-Shâdiq as berkata: "Sesungguhnya amal sedi kit yang langgeng dan didasari keyakinan lebih utama di sisi Allah daripada amal banyak yang tidak didasari keyakinan”. [55]
Imam Ash-Shâdiq as berkata: "Tiada amal tanpa keya kinan. Dan tiada keyakinan tanpa kekhusyukan." [56]
Ash-Shâdiq as juga pernah berkata: "Orang yang beramal tanpa bashîrah sama seperti orang yang berjalan menuju fatamorgana. Percepatan langkahnya tidak akan menambah kecuali kejauhan (dari tujuan)." [57]
Ash-Shâdiq as berkata: "Tidak akan diterima amal ke cuali dengan makrifat dan makrifat kecuali dengan amal.
Ba rangsiapa mempunyai makrifat, maka dia akan ditunjukkan olehnya kepada amal (baik)". [58]
Imam As-Shâdiq as: "Kalian tidak akan menjadi orang- orang saleh hingga kalian mengetahui. Dan kalian tidak akan mengetahui hingga kalian mempercayai (tashdîq). Dan kalian tidak akan percaya hingga menyerahkan diri (Islam)." [59]
Karena, kepercayaan akan berkonsekuensi pada makrifat atau pengetahuan dan makrifat akan berkonsekuensi pada amal baik. Imam Muhammad Al-Bâqir as berkata: "Tiada amal yang diterima kecuali dengan makrifat dan tiada makrifat kecuali dengan amal. Barang siapa mengetahui (bermakrifat), maka pengetahuannya akan menunjukkannya pada amal dan barang siapa tidak mengetahui, maka dia tidak akan bera mal”. [60]
Bagian Kedua: Amal Baik adalah Sumber Bashîrah Sebagaimana bagian pertama dari korelasi ini (bashîrah adalah sumber amal baik) bisa dibenarkan, bergitu pula de ngan bagian kedua ini yaitu bahwa amal baik adalah sumber. Bentuk hubungan interaktif antara dua hal ini sering kita temukan dalam berbagai bidang studi keislaman.
Alquran menekankan hubungan bashîrah dengan amal dan peran amal saleh dalam membentuk bashîrah dan mempersiapkan manusia menerima bashîrah dari Allah. Allah SWT berfirman: "Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami. benar-benar akan Kami tun jukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang- orang yang berbuat baik." Q.S. Al-‘Ankabât:69. Ayat mulia dengan tegas menunjukkan bahwa jihad -salah satu mishdâq (ekstensi) palingjelas bagi amal baik- sebagai sebab dimungkinkannya manusia menerima hidayah dari Allah. Allah berfirman: "Benar-benar akan Kami tunjukkan ke pada merekajalan-jalan Kami..."
Dalam sebuah hadis Qudsi, Rasulullah SAWW bersabda: "Senantiasa hamba-Ku melakukan nahlah (ibadah sunnah) semata-semata untuk-Ku sehingga Aku mencintainya. Dan bila Aku telah mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengaran (telinga) yang ia pakai mendengar; penglihatan yang ia pakai melihat; dan tangan yang ia pakai memukul". [61]
Hadis ini cukup populer di kalangan ahli hadis dan diriwayatkan oleh para tsiqah (orang-orang yang terpercaya) dan para pakar hadis. Di samping hadis ini adalah hadis Qudsi. Meskipun diriwayatkan dari berbagai jalur (rawi) yang berbeda, tapi redaksi hampir sama. Riwayat hadis ini sahih dan mempunyai arti yang cukup gamblang bahwa ibadah adalah salah-satu pintu makrifat dan keyakinan.
Seorang hamba akan senantiasa melakukan ibadah nafilah sampai Allah menganugrahkan rizki bashîrah kepa danya. Dengan begitu, dia akan melihat dengan Allah, mendengar dengan Allah dan sadar dengan Allah. Dan barangsiapa yang melihat, mendengar dan mengetahui dengan Allah, maka dia tidak akan pernah berbuat salah. Sudut Negatif Apabila hukum di atas bernilai benar dalam kedua bagian dan sisinya. Yaitu kedua bagian dan sisi hubungan amal dengan bashîrah dan bashîrah dengan amal. Jika demikian halnya, maka hukum yang ini juga akan bernilai benar sebagai sisi negatifnya. Amal jelek (fasad) dapat menyebabkan kerabunan bashî rah , kebutaan dan ketulian.
Sebaliknya, dari sisi yang berlawanan, kebutaan, ketulian dan kerabunan bashîrah dapat menyebabkan amal jelek, kefasadan, dosa, kemaksiatan dan kezaliman. Berikut ini, saya akan memaparkan nash-nash keislaman yang menjelaskan sudut negatif dari hukum ini dalam kedua bagian dan sisinya.

Rusaknya Amal Menyebabkan Hilangnya Bashîrah
Inilah sisi pertama bagi sudut negatif ini. Tak terbilang banyaknya nash keislaman yang menegaskan konsep di atas. Dalam banyak ayatnya Alquran mendukung konsep ini. Allah berfirman: "Maka pernakah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu dan Allah telah me ngunci mati pendengaran dan meletakkan tutupan atas pengli hatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkan sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?" Q.S. Al-Jâtsiah:23.
Orang-orang yang menjadikan tuhan selain Allah; me nyembahnya dan menyekutukannya dengan Allah, maka Allah akan mencabut bashîrah mereka dan mengunci rapat telinga- telinga dan hati-hati mereka. Setelah itu, Allah tutup pengli hatan mereka. Dan jika Allah telah mencabut bashîrah seorang hamba, maka siapakah yang akan memberinya petunjuk? Allah SWT berfirman: "...seperti demikianlah Allah me nyesatkan orang-orang kafir" Q.S. Al-Mukmin:74. Ayat ini adalah ungkapan yang global tentang ayat sebelumnya. Dalam ayat yang lain, Allah SWT berfirman: "... de mikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang berlebihan dan ragu-ragu." Q.S. Al-Mukmin 34.
Isrâf (berlebih-lebihan) akan menyeret manusia pada kesesatan. Allah SWT berfirman: "... dan tidak adayang disesatkan oleh Allah kecuali orang-orang yang fasik." Q.S. Al-Baqarah 26. Allah berfirman: " ... dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim..." Q.S. Ibrahim:27.
Jadi, kefasikan dan kezaliman sama-sama dapat menye babkan kesesatan, sedangkan kesesatan merupakan buah dari kefasikan dan kezaliman. Allah berfirman: "Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati me reka..." Q.S. Al-Muthaffifîn:14.
Maka berbagai dosa dan maksiatyangdilakukan manusia akan bersenyawa dan kemudian menjadi karatyangbisa menu tupi hatinya dari Allah SWT dan dari kebenaran. Allah berfirman: "Sesungguhnya Allah tidak akan mem beri petunjuk kepada orang-orang yang zalim." Q.S. Al-Qashash:5. Allah berfirman: "Sesungguhnya Allah tidak akan mem beri petunjuk pada orang-orang yang kafir..." Q.S. Al-Munâfiqûn:6. Allah befirman: "Sesungguhnya Allah tidak memberi pe tunjuk pada orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.." Q.S. Az-Zumar:3. Rasulullah SAWW bersabda: "Sekiranya omongan kalian (dalam kebatilan) tidak banyak dan hati-hati kalian tidak "bercampur", niscaya kalian akan melihat apa yang aku lihat dan mendengar apa yang aku dengar". [62]
Imam Ali as berkata: "Mana mungkin hidayah turun kepada orang yang dikuasai hawa nafsunya ". [63]
Imam Ali as berkata: "Sungguh jika kalian telah diper intah (dikuasai) hawa nafsu, maka ia (hawa nafsu) akan mem butakan, memalingkan dan menghinakan kalian". [64]
Jadi, memperbanyak omong dalam kebatilan dan men campur-aduk kebatilan dengan kebenaran dalam hati akan membutakan penglihatan dan menulikan pendengaran. Abu Ja'far Al-Bâqir as berkata: "Dalam hati seluruh hamba terdapat titik putih. Jika dla berbuat dosa, rnaka keluar dari titik putih tersebut titik hitam. Tetapi, jika dia bertaubat, hilanglah titik hitam tersebut. Dan bilamana dia terus-menerus melakukan dosa, maka titik hitamnya semakm bertambah hi ngga menutupi seluruh titik putihnya. Kemudian apabila (titik-titik hitam) sudah menutupi seluruh titik putihnya, maka dia tidak akan mungkin kembali melakukan kebaikan untuk se lama-lamanya. Allah berfirman: ".. Sebenarnya apa yang selalu mereka lakukan itu mengaratkan hati mereka”. Q.S. Al-Muthaffifîn. [65]
Noda hitam yang menutup hati sampai benar-benar ter kunci rapat adalah sesuatu yang juga mencabut bashîrah ma nusia. Di lain pihak, kejadian itu sendiri merupakan penjel maan hilangnya bashîrah pada jiwa manusia karena dosa dan maksiat yang telah dilakukannya. Imam Al-Bâqir as berkata: "Tidaklah ada sesuatu yang lebih merusakkan hati daripada kesalahan. Karena, kesalahan itu senantiasa bersamanya hingga mampu menguasai hati ter sebut. Kemudian, ia merubah yang di bawah menjadi di atas dan yang di atas menjadi di bawah".
Rasulullah SAWW pernah bersabda: "Bila seorang mukmin berbuat dosa, maka terdapat noda hitam di dalam hatinya. Kemudianjika ia bertaubat dan meninggalkannya serta beristigfar, rnaka hatinya akan me ngkilat kembali. Danjika dia menambah dosanya, maka akan bertambah pula noda hitam itu. Dan demikian itulah yang disebut dengan rayn (karat) sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah dalam Kitab-Nya". [66]
Imam Ali as berkata: "Jika kalian tunduk patuh pada hawa nafsu, maka ia akan membutakan dan menulikanmu". [67]
Hilangnya Bashîrah akan Melahirkan Keburukan Amal Sebagaimana hukum negatif dalam sisi ini bernilai benar, maka begitu pula sisi lainnya, yaitu munculnya kemaksiatan dan kerusakan akibat dari adanya kesesatan dan kebutaan. Kemudian, kebutaan, kesesatan, kebodohan dan ketiadaan ba shîrah akan mengakibatkan amal jelek, kesengsaraan, kezaliman dan sikap ekstrem (isrâf). Allah SWT berfirman: "Mereka berkata: 'Ya Tuhan kami, kami telah dikuasai oleh kejahatan kami, dan kami adalah orang-orang yang sesat." Q.S. Al-Mukmin:106. Imam Ali as berkata: "Tiada wara' yang disertai kesesa tan”. [68]
Dalam sebuah surat yang ditujukan kepada Mu'awiyah bin Abi Sufyan, Imam Ali menulis demikian: "Seorang yang tidak memiliki penglihatan yang bisa menunjukinya dan pe mimpin yang bisa membimbingnya, hawa nafsu mengajaknya lalu dia memenuhinya dan kesesatan menuntunnya lalu dia mengikutinya, maka dia bersikap serampangan dan bertindak sesat". [69]
Imam Ali as berkata: "Barang siapayang tersesat, maka kebaikan dia anggap jelek dan kejelekan dia anggap baik. Dia akan mabuk seperti kemabukan (orang-orang) sesat ". Hubungan Interaktif antara Bashîrah dan Amal Secara Positif dan Negatif Jelas bahwa antara bashîrah dan amal ada hubungan yang padu, intens dan interaktif. Baik secara positif maupun negatif. Untuk memperjelas persoalan ini, perhatikan di bawah ini:
1.                   Bashîrah menyebabkan amal baik atau saleh.
2.                   Amal baik menyebabkan bashîrah dan hidayah.
3.                   Kesesatan dan hilangnya bashîrah menyebabkan ke zaliman, kekejian, amal jelek, maksiat, dan dosa.
4.                   Amal-amal jelek, kezaliman dan fujur (kedurjaan) me nyebabkan kebutaan dan hilangnya bashîrah. Akhirul Kalam Kesimpulan akhir yang bisa dipetik setelah menelusuri kajian tentang penafsiran paragraf hadis qudsi kafaftu 'alaihi dhai'atahu (Aku cegah kesia-siaan darinya) ialah bahwa ma nusia bilamana menentang hawa nafsunya dan mengutama kan kehendak Allah SWT dan keridhaan-Nya, maka Allah akan menganugrahi nur dan bashîrah serta hidayah. Kemudian Allah akan menuntunnya menelusuri lika liku dan gelap gulita perjalanan. Allah SWT berfirman: "Hai orang-orang yang beriman (kepada rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah ke pada Rasulullah-Nya niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahayayang dengannya kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Mahapengampun lagi Mahapenyavang." Q.S. Al-An fâl:29. Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqon dan menghapuskan segala kesalahanmu dan mengampunimu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar." Q.S. Al-Anfâl:29. Dan Allah SWT berfirman: "...Dan bertaqwalah kepada Allah, Allah mengajarimu, dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu" Q.S.Al-Baqarah:282. Imam Ali as berkata: "Orang yang melekatkan ketak waan dalam hatinya akan diberi hidayah". [70]
Imam Ali as berkata: "Orang yang menyandang pakaian agama akan diberi hidayah...” [71]
Imam Ali as berkata: "Barang siapa menanam pohon ketakwaan, maka dia akan menuai buah hidayah". [72]
Walhamdulillah robbil 'âlamîn.



[1] Bihârul Anwâr , 70:75.
[2] Bihârul Anwâr , 70:77.
[3] Bihârul Anwâr , 70:78.
[4] Bihârul Anwâr , 70:79.
[5] Nahjul Balâghah , 108.
[6] Nahjul Balâghah , 16.
 [7] Tuhaful ‘Uqûl :47.
[8] Bihârul Anwâr , 72:68.
[9] Ghurarul Hikam , 1:62.
[10] Nahjul Balâghah , 1200.
[11] Safînatul Bihâr , 2:87 dan Al-Hayâh 3:342.
[12] Tuhaful ‘Uqûl : 208.
[13] Bihârul Anwâr , 78:368.
[14] Bihârul Anwâr , 78:14.
[15] Al-Khishâl , karya Ash-Shadûq, 1:64.
[16] Bihârul Anwâr , 78:22 dan 10.
[17] Nahjul Balâghah , 1128. [18] Nahjul Balâghah , Khutbah ke-193.
[19] Makârimul Akhlâq , 533. [20] Ghurarul Hikam , karya Al-Âmudî, 1:91-92.
[21] Tuhaful ‘Uqûl , 26.
[22] Al-Kâfî , 2:85.
[23] Tuhaful ‘Uqûl , 30.
[24] Tuhaful ‘Uqûl , 208. [25] Wasâ`il Asy-Syi'ah , 11:191.
[26] Uddatud Dâ’î , karya Ibnu Fahad Al-Hillî.
[27] Tuhaful ‘Uqûl , 142. [28] Nahjul Balâghah , 38.
[29] Ghurarul Hikam , karya Al-Âmudî, 2:47.
[30] Tuhaful ‘Uqûl , 286.
[31] Al-Kâfî , 2:316. [32] Al-Kâfî , 8:23.
[33] Nahjul Balâghah , 9342.
[34] Ghurarul Hikam , karya Al-Âmudî, 2:345.
[35] Ghurarul Hikam , karya Al-Âmudî, 2:351.
[36] Ghurarul Hikam , karya Al-Âmudî, 1:82.
[37] Bihârul Anwâr , 5:42. [38] Bihârul Anwâr , 5:209-210.
[39] Al-Kâfî , 5:73.
[40] Al-Kâfî , 6:303.
[41] Al-Kâfî , 5:73.
[42] Bihârul Anwâr , 70:285.
[43] Nahjul Balâghah , 130.
[44] Nahjul Balâghah , 198.
[45] Bihârul Anwâr , 70:285.
[46] Furû'ul Kâfî , : 8:52.
[47] Shahih Bukhari , Kitah Al-Adab, Bab Terkabulnya doa orang yang berhuat baik pada kedua orang tuanya, 5:40, cet. Mesir, 1286 H.; Fathul Bârî, karya Al-Asqalani, 10:338; Syarah Qasthalânî, 9:5; Shahih Muslim, Kitah Al-Riqâq, Bab Tiga orang yang mendiami Gua dan tawasul dengan perhuatan shaleh, 8:89, cet. Dârul Fikr; Syarah Al-Nawawî, 10:321; Dzammul Hawâ, karya Ibnu Jauzi 246.
[48] An- Nihâyah , karya Ibnu Al-Atsir, 4:90.
[49] Aqrabul Mawârid , 2: 1093.
[50] Bihârul Anwâr , 70:80-81.
[51] Bihârul Anwâr , 77:21.
[52] Ghurarul Hikam , karya Al-Âmudî, 2:376.
[53] Ghurarul Hikam , karya Al-Âmudî, 1:85.
[54] Ghurarul Hikam , karya Al-Âmudî, 2:166.
[55] Al-Kâfî , 2:57.
[56] Tuhaful ‘Uqûl , 233.
[57] Wasâ`il Asy-Syi'ah , 18:122, hadis ke-36.
[58] Al-Kâfî , 1:44.
[59] Bihârul Anwâr , 69:10. [60] Tuhaful ‘Uqûl , 215. [61] Ushûlul Kâfî, 2:352.
[62] Al-Mîzân, 5:292.
[63] Ghurarul Hikam , karya Al-Âmudî, 2:94.
[64] Ghurarul Hikam , karya Al-Âmudî, 1:264.
[65] Ats-Tsaqalain, 5:531.
[66] Ats-Tsaqalain, 5:531.
[67] Ghurarul Hikam , karya Al-Âmudî, 2:345.
[68] Nahjul Balâghah, Kitab ke-7.
[69] Nahjul Balâghah, 31.
[70] Ghurarul Hikam, 2:311.
[71] Ghurarul Hikam, 2:311.
[72] Ghurarul Hikam, 2:245.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar