Daya
Tetas dan Laju Pertumbuhan Larva Ikan Hias Betta splendens di Habitat
Buatan
YUSTINA,
ARNENTIS & DARMAWATI
Laboratorium Biologi, PMIPA, FKIP, Universitas Riau
Diterima 02-01-2003 Disetujui 01-03-2003
ABSTRACT
A study on the capacIty of hatchlings
and the acceleration larvas growth of ornamental fishes Betta splendens in the habitats manupulation were carried out
in March–August 2002. A total of 10 individuals Betta splendens at the
gonad maturation degree V, the variation of ovipotition eggs 775-900 grain were
studied. The eggs fertility were 84,40–100%, the capacity of hatchlings were
40,03– 98,84%. The highest acceleration larvas growth can be reach after the
larvas ages were 42 days. The acceleration larvas growth was 0,09 mg for each
day, the acceleration specific growth was 0,32 mm for each day. The highes
larvas mortality at age 14 days
(47,32%), and the lowest mortality at ages 35 days (0,80%). The larvas
mortality can be after the larvas ages were 42 day (0%).
Keywords: Betta splendens,
capacity of hachlings, fertility,
growth, mortality
PENDAHULUAN
Ikan
Betta splendens
merupakan ikan yang memiliki banyak bentuk (Polimorphisme), seperti ekor bertipe
mahkota crown tail,
ekor penuh full tail
dan bertipe slayer, dengan sirip panjang dan berwarna-warni. Keindahan bentuk
sirip dan warna sangat menentukan nilai estetika dan nilai komersial ikan hias Betta splendens
(Anonim 2001). Menurut Kottelat et al, (1996) penampakan warna pada
jenis ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis kelamin, kematangan gonad,
genetik dan faktor geografi.
Ikan
hias Betta splendens
disebut juga ikan laga fighting
fish atau ikan cupang. Ikan jantan memiliki warna mencolok, sirip
panjang dan ukuran tubuh lebih kecil dibanding betinanya (Susanto & Lingga
1997). Ikan Betta splendens
jantan memiliki nilai komersial tinggi sehingga sangat disukai dan diburu oleh
pecinta ikan hias. Salah satu kendala budidayanya adalah untuk mendapatkan ikan
jantan cenderung lebih sukar, karena jumlah benih jantan yang diperoleh setiap
pemijahan sangat rendah dan kualitasnya tidak sesuai dengan yang diinginkan.
Agar produksi benih ikan sesuai dengan kuantitas dan
kualitas yang diharapkan, diperlukan informasi dan data tentang aspek biologi
reproduksi ikan Betta splendens di habitat buatan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui aspek biologi reproduksi ikan Betta splendens meliputi, fertilitas, daya tetas, laju
pertumbuhan dan mortalitas benih ikan Betta splendens di habitat buatan.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai Agustus
Tahun 2002, di laboratorium FKIP Universitas Riau. Bahan yang digunakan yaitu
ikan hias Betta splendens yang telah matang gonad (TKGV) sebanyak sepuluh pasang, makanan ikan
berupa kuning telur, artemia dan jentik nyamuk. Alat yang digunakan yaitu
kertas grafik, timbangan analitik, kaliper, akuarium sepuluh buah ukuran 30 cm
x 30 cm x 30 cm dengan ketebalan 0,5 cm, pH meter, termometer, DO-meter, kaca
loup, tissu atau serbet, serok, sendok cekung dan alat tulis.
Prosedur penelitian terdiri dari 1) pemilihan induk
jantan dan betina; 2) persiapan tempat pemijahan dan penjodohan kedua induk
menurut Susanto & Lingga (1997); 3) pengamatan pemijahan, perhitungan
fekunditas dan fertilitas yang dilakukan 5 jam setelah pemijahan (Yustina &
Arnentis 2002); 4) pengamatan laju pertumbuhan dan mortalitas larva (Syandri
1996) dan 5) pengukuran kualitas air (temperatur, pH dan kandungan oksigen
terlarut) setiap hari sekitar jam 07.00-09.00 WIB .
Analisis data meliputi fertilitas, daya tetas
telur, laju pertumbuhan dan mortalitas larva ikan Betta splendens. Fertilitas telur dihitung dengan cara
memmembandingkan telur yang dibuahi dengan jumlah telur seluruhnya, kemudian
dinyatakan dalam persen menurut rumus:
dibuahi yang telur jumlah
F =% 100x
seluruhnya telur jumlah
130 Jurnal Natur Indonesia 5(2): 129-132 (2003)
Daya tetas
(DT) telur ikan hias Betta splendens dihitung
dengan cara menghitung larva satu persatu, kemudian dinyatakan dalam persen
(Suseno 1983) menurut rumus
larva
jumlah
DT =% 100x
fertil telur
jumlah
Laju pertumbuhan larva dinyatakan sebagai perubahan bobot tubuh rata-rata
selama percobaan berlangsung. Laju pertumbuhan dihitung dengan rumus yang
dikemukakan oleh Zonneveild et al dalam Syandri (1996) yaitu:
Wt −Wo
GR =
t
dengan:
GR = Laju pertumbuhan
Wt = Bobot rata-rata benih pada saat t (mg)
Wo = Bobot rata-rata benih saat awal percobaan (mg)
t = jumlah hari selama percobaan.
GR = Laju pertumbuhan
Wt = Bobot rata-rata benih pada saat t (mg)
Wo = Bobot rata-rata benih saat awal percobaan (mg)
t = jumlah hari selama percobaan.
Laju pertumbuhan spesifik (LPS) yaitu pertumbuhan
panjang setiap harinya dihitung dengan persamaan
yang dikemukakan oleh Wehatherley & Roger (1987)
dalam Syandri (1996) yaitu:
panjang setiap harinya dihitung dengan persamaan
yang dikemukakan oleh Wehatherley & Roger (1987)
dalam Syandri (1996) yaitu:
Log −L Log
eL2 e1
G =
T dimana: G = Laju pertumbuhan panjang spesifik L2 = Panjang pada akhir pengamatan (mm)
L = Panjang pada awal pengamatan (mm)
1
T = Lama waktu antara akhir pengamatan dan awal pengamatan (hari)
Mortalitas larva yaitu jumlah larva yang mati selama pemeliharaan 56 hari. Dihitung dengan rumus:
) ekor (
mati yang larva jumlah
M =
) ekor (
contoh larva jumlah
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Fertilitas dan Daya tetas. Dari sepuluh pasang induk yang diamati,
terdapat sebanyak 775 butir sampai 900 butir telur yang dioviposisikan. Hasil
ini mengindikasikan bahwa ikan Betta splendens termasuk ikan
berfekunditas kecil. Besar kecilnya fekunditas dipengaruhi oleh makan, ukuran
ikan dan kondisi lingkungan (Woynarivich dalam Yustina & Arnentis 2002). Fertilitas berkisar antara 84,40% sampai 100%
dan daya tetas berkisar antara 40,03% sampai 98,84% seperti yang ditunjukkan
dalam Tabel 1.
Yustina, et al.
Tabel
1. Fertilitas dan daya tetas ikan Betta splendens serta suhu, pH dan kandungan oksigen terlarut selama
percobaan.
Ulangan
Fertilitas Daya Tempe-pH air Oksigen percobaan (%) tetas ratur air (unit)
terlarut ( % ) (0C) (ppm)
1 99,63 40,03 2 99,78 65,09 3 99,74 98,84 4 85,00 79,00 5
100,00 68,89 6 93,40 85,30 28 6,3 6,2
28 6,3 6,0
27 6,7 7,2
27 6,7 6,5
28 6,7 6,6
27 6,8 7 94,00 90,10 8 92,80 85,80 9 84,40
64,00
10 87,40
79,00
7.0 28 6,8 6.9 27 6,7 7,2 28 6,4
6,6 28 6,6 6,7
Tingginya persentase fertilitas (84,40-100%)
menunjukkan bahwa sperma jantan memiliki kemampuan untuk membuahi telur.
Keberhasilan pembuahan sangat tergantung pada kualitas dan kuantitas sperma.
Diduga telur yang dikeluarkan oleh betina akibat adanya rangsangan ikan jantan
sehingga setiap telur yang keluar langsung dapat dibuahi. Selain itu didukung
pula oleh kuantitas dan kualitas sperma yang tinggi serta tidak terdapatnya
faktor penghalang dilingkungan seperti arus dan turbiditas air. Keberhasilan
fertilitas tergantung pada periode ejakulasi sperma (mijah) dan kemampuan
sperma bersaing untuk membuahi telur dan peluang fertilitas dipengaruhi oleh
perilaku jantan, anantomi dan fisiologi (Berhead & Muller dalam Hosken
1998).
Daya tetas berkisar antara 40,03–98,84% nilai
ini cukup rendah. Rendahnya daya tetas, diduga disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain pengaruh goncangan air sewaktu perhitungan fertilitas. Hal ini
dapat menyebabkan telur jatuh dari sarangnya.
Guncangan air dapat menurunkan keberhasilan fertilitas dan daya tetas telur
(Affandi & Tang 2000). Selain itu kurangnya kelihaian induk jantan dalam
memungut telur-telur yang jatuh ke dasar akuarium, menyebabkan sel-sel telur
rusak. Menurut Sugandy (2002), bahwa induk yang sudah berpengalaman akan lebih
lihai dalam memelihara telur sehingga daya tetas lebih tinggi.
Kualitas air media pemijahan seperti
temperatur, pH, dan oksigen terlarut berada pada kondisi optimal. Hasil
pengukuran temperatur air dalam akuarium pemijahan berkisar antara 270C sampai 280C.
Kisaran temperatur ini secara umum memenuhi syarat untuk temperatur air pada
wadah pemijahan. Hal yang sama dikemukakan oleh Perkasa (2001), bahwa
temperatur optimal untuk pemijahan ikan hias Betta
splendens berkisar
antara 260C sampai 290C. Peningkatan suhu dan tekanan
oksigen dapat mempengaruhi daya tetas,sedang suhu air dapat mempengaruhi efisiensi perubahan
kuning telur menjadi bobot badan embrio ikan pada proses perkembangan (Effendi
1997). Telur ikan Betta splendens tergolong berukuran sedang, suhu
optimal untuk penetasan berkisar antara 260C sampai 280C,
dengan waktu penetasan sekitar 3 sampai 4 hari.
Pada wadah pemijahan pH air berkisar antara
6,3 sampai 6,8. Kondisi ini termasuk kedalam rentang kisaran pH air pemijahan
ikan Betta splendens, sesuai dengan yang dikemukakan oleh Perkasa
(2001) bahwa pH yang optimal untuk penetasan ikan hias Betta
splendens berkisar antara
6,2–7,8. Selanjutnya bila air pada pH 1-4 atau 11-14 maka ikan tidak dapat
hidup di dalamnya. Kandungan oksigen terlarut berkisar antara 6,0–7,2 ppm.
Laju
Pertumbuhan Larva Ikan Betta splendens.
Pertumbuhan bobot larva (Tabel 2), dari umur
1 hari sampai dengan umur 7 hari tidak terjadi, karena larva belum mendapat
makanan yang cukup dari luar tubuh sehingga yang bertambah adalah panjang.
Kohno et al dalam Syandri (1996) mengemukakan bahwa nutrien
yang berasal dari kuning telur hanya dipergunakan untuk pertumbuhan panjang dan
metabolisme dasar. Selanjutnya dari umur 7 hari sampai 14 hari pertumbuhan
bobot larva terjadi secara perlahan yaitu dari 0,12 menjadi 0,17 mg atau
0,003mg/ hari. Setelah larva berumur 21 hari pertambahan bobot tubuh mulai
meningkat yaitu 0,40 mg menjadi 5,20 mg pada umur 56 hari dengan laju
pertumbuhan harian sebesar 0,09 mg/hari.
Pertumbuhan bobot larva yang
lambat dari umur 1 hari sampai dengan umur 14 hari antara lain disebabkan larva
pada waktu tersebut baru memanfaatkan cadangan makanan berupa kuning telur, dan
makanan alami yaitu berupa fitoplankton, pada penelitian ini makanan yang
diberikan berupa artemia yang disaring. Diduga
Tabel 2. Rataan bobot tubuh,
panjang dan laju pertumbuhan larva ikan Betta splendens selama percobaan.
Umur
|
Bobot
tubuh
|
Panjang tubuh
|
(hari)
|
(mg)
|
(mm)
|
1
|
0,12
|
6,00
|
7
|
0,12
|
7,50
|
14
|
0,17
|
9,00
|
21
|
0,40
|
12,00
|
28
|
0,65
|
15,00
|
35
|
0,95
|
16,00
|
42
|
1,00
|
20,00
|
49
|
3,20
|
25,00
|
56
|
5,20
|
36,00
|
GR
= 0,09
|
G = 0,32
|
Daya tetas dan laju pertumbuhan larva Betta splendens
131
makanan tersebut belum mencukupi untuk proses pertumbuhan larva. Menurut
Kanazawa dalam Syandri (1996) bahwa salah satu komponen
penting bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva harus tersedia fosfolipid
yang diperlukan untuk pertumbuhan sel antara lain membran sel. Secara
biosintesis fosfolipid tidak dapat dipenuhi secara cepat. Oleh karena itu harus
dipasok melalui makanan alami.
Larva ikan Betta
splendens mulai
memanfaatkan artemia secara sempurna setelah berumur 42 hari atau bobot larva
mencapai 1 mg mencapai panjang 25,00 mm, ditandai dengan pertambahan bobot dan
panjang meningkat sampai akhir percobaan. Pertumbuhan larva dari yang berumur
14 hari (0,17 mg) sampai berumur 42 hari (1,00 mg ) menunjukkan pertumbuhan
bobot yang sangat lambat. Hal ini diduga larva ikan Betta
splendens tidak optimal
memanfaatkan artemia pada umur larva dibawah 42 hari, tetapi setelah umur 42
hari larva ikan dapat memanfaatkan artemia sesuai dengan kebutuhannya. Apakah
pertumbuhan bobot dan panjang yang dicapai oleh larva ikan Betta splendens selama
pemeliharaan 56 hari sudah merupakan pertumbuhan maksimal, dalam penelitian
belum dapat diungkapkan, karena belum diperoleh data perbandingan dari
penelitian lain.
Mortalitas
Larva. Rataan
mortalitas larva ikan Betta splendens selama pemeliharaan 56 hari
bervariasi dari hari ke 7 sampai dengan hari ke 35. Mortalitas larva tertinggi
terjadi pada hari ke 7 yaitu sebesar 47,32% dan terendah pada hari ke 35
sebesar 0,80% seperti disajikan pada Tabel 3.
Mortalitas larva yang tertinggi antara lain
disebabkan larva sudah kehabisan cadangan makanan berupa kuning telur,
sedangkan makanan alami yang terdapat di dalam media hidupnya tidak sesuai
dengan kebutuhannya. Tingginya mortalitas larva diduga disebabkan oleh makanan
yang tidak sesuai dengan jenis, ukuran dan jumlahnya. Nagi et al, (1981)
menyatakan bahwa umur berhubungan erat dengan masa kritis yaitu masa penentuan
jenis kelamin pada proses perkembangan gonad dan fase paling kritis dalam daur
larva adalah periode sampai mencapai umur 15 hari (Syandri 1996). Faktor
penyebabnya adalah kurangnya makanan yang tersedia dan lingkungan yang tidak
sesuai.
Pada penelitian ini faktor lingkungan yaitu kualitas air yang
penting sebagai berikut temperatur air 270C280C, ph 6,3–6,8 dan
kandungan oksigen terlarut 6,0-7,2 ppm. Berarti mortalitas larva yang tinggi
132 Jurnal Natur Indonesia 5(2): 129-132 (2003)
Tabel 3.
Persentase rataan mortalitas larva Ikan Betta
splendens selama
pemeliharaan 56 hari.
Hari
|
Rataan
|
SD
|
Komulatif
|
(%)
|
+
|
(%)
|
|
1
|
0,00
|
0,00
|
0,00
|
7
|
0,00
|
0,00
|
0,00
|
14
|
47,32
|
2,61
|
47,32
|
21
|
11,83
|
3,35
|
59,15
|
28
|
9,46
|
1,81
|
68,61
|
35
|
0,80
|
0,00
|
69,41
|
42
|
0,00
|
0,00
|
0,00
|
49
|
0,00
|
0,00
|
0,00
|
56
|
0,00
|
0,00
|
0,00
|
kemungkinan disebabkan oleh kurangnya makanan yang
tersedia baik dalam jenis, jumlah maupun ukuran. Menurut Laskar dalam
Syandri (1996) bahwa 50 persen larva ikan air tawar dapat memangsa dengan
perbandingan bukaan mulut dan mangsa adalah 0,76 mm. Selanjutnya dinyatakan
bahwa ukuran bukaan mulut dan kemampuan membuka akan menentukan ukuran makanan
yang dapat dimakan, yang pada setiap spesies larva berbeda. Bukaan mulut larva
ikan Betta splendens
pada saat memangsa makanan dari luar belum dapat diketahui, tetapi untuk
mengantisipasi ukuran makanan pada penelitian ini, maka dilakukan penyaringan
makanan dengan menggunakan saringan kain siphon. Semakin bertambah umur larva, maka mortalitas semakin
kecil, terbukti pada hari 35 mortalitas hanya sebesar 0,80%, antara lain
disebabkan larva sudah mampu mengkonsumsi artemia yang diberikan dengan baik.
Selanjutnya dari hari ke 36 sampai dengan hari ke 56 mortalitas larva tidak
ada.
KESIMPULAN
Dari sepuluh pasang induk yang dipijahkan jumlah telur
dikeluarkan (oviposisi) bervariasi antara 775 butir sampai 900 butir.
Fertilitas berkisar antara 84,40% sampai 100%, dengan daya tetas antara 40,03%
sampai 98,84%. Laju pertumbuhan larva lambat dibawah umur 42 hari, setelah
berumur 42 hari laju pertumbuhan larva semakin cepat sampai pada umur
Yustina, et al.
pemeliharaam 56 hari dengan laju pertumbuhan
sebesar 0,09 mg/hari dan laju pertumbuhan spesifik sebesar 0,32 mm/hari.
Mortalitas larva yang berumur 1 sampai 7 hari adalah 0%, mortalitas larva
tertinggi terjadi pada umur 14 hari sebesar 47,32%, dan mortalitas terendah
pada umur 35 hari sebesar 0,80%, sedangkan mortalitas larva diatas 42 hari
adalah 0%.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan terima kasih kepada
Bapak H Nur Syawai pengelola dan pecinta ikan hias di kota Pekanbaru yang telah
membantu dalam pengadaan bibit, Bapak Pulungan di laboratorium Biologi
Perikanan Faperika Universitas Riau yang telah menyediakan waktu berkonsultasi
dengan penulis untuk kelancaran penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2001.
Tantangan Bisnis Cupang Hias. Trubus
381. Afandi, R. &
Tang, U.M. 2000. Biologi Reproduksi Ikan. Laporan. Pekanbaru: Pusat Penelitian Kawasan
Pantai dan Perairan. Efendi, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Bogor: Yayasan Pustaka
Nusantara.
Hosken, J.D. 1998. Sperm fertility and skewed paternity during sperm
competition in the Australian long eared but. J. of Zoology 245: 93-100.
Kottelat, Whitten, J.A.,
Wirjoatmodjo, S. & Kartikasari.1996.
Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi.
Jakarta:
Periplus.
Nagy, A., Bercsenyi, M.
& Csenyi, V. 1981. Sex reversal in corp Cyprinus caprio by oral administration of metthytestosteron. Canadian Journal of
Fisheries & Aquatic Science 38: 725-728.
Perkasa, B.E. 2001.
Budidaya Cupang Hias dan Adu. Jakarta:
Penebar Swadaya. Susanto, H. & Lingga, P. 1997. Ikan Hias Air Tawar. Jakarta: Penebar Swadaya.
Sugandy, I. 2002. Budidaya Cupang Hias. Jakarta: Argo Media Pustaka.
Suseno. 1983. Suatu
perbandingan antara pemijahan alami dengan pemijahan tripping ikan mas Cyprinus carpio.
L. terhadap derajat fertilitas dan penetasan telurnya. Tesis Magister Fakultas
Pascasarjana Perikanan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Syandri, H.1996.
Aspek reproduksi ikan bilih Mystacolecus padangencis. Disertasi Program Pasca Sarjana
Fakultas Perikanan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Yustina & Arnentis. 2002. Aspek reproduksi ikan kapiek (Puntius
schwanefeldi Bleeker) di
sungai Rangau-Riau, Sumatra. Jurnal Matematika dan
Sains ITB 7: 5-14.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar