Qum, Muharram 1417 H.
Madrasah al-Imam Amirul
Mukminin
Nashir Makarim Syirazi
PROLOG
Bismillahirrahmânirrahîm
Maksud dan Tujuan Penulisan Buku
1. Dewasa ini
kita tengah menyaksikan perubahan spektakuler yang berasal dari agama samawi
terbesar, Islam. Umatnya telah menemukan kembali jatidirinya, setelah cukup
lama tersesat dalam ideologi asing yang justeru tidak dapat menyelesaikan
persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Tapi kini rnereka telah sadar dan kembali
lagi ke Islam urrtuk menemukan solusi atas masalah-masalah rnereka. Ya, Islam
telah lahir kembali pada zaman kita ini.
Bagaimana bisa
demikian? Faktor apa yang menyebabkan semua ini? Itu
adalah pembahasan tersendiri. Tapi penting untuk kita ketahui bahwa dampak dari
perubahan ini sangat terasa di dunia Islam, bahkan di luar dunia Islarn
sekalipun. Karenanya banyak pihak yang ingin tahu, apa solusi Islam dan risaah
baru apa yang dibawanya untuk masyarakat dunia?
Oleh karena itu, pada situasi yang amat sensitif seperti
ini, adalah kewajiban kita untuk menjelaskan Islam apa adanya, tanpa
bumbu-bumbu, dan dengan bahasa yang jelas dan mudah dipahami oleh umum,
sehingga dengan demikian, kita dapat memenuhi kehausan orang-orang yang ingin
tahu lebih banyak tentang Islam dan mazhab-rnazhabnya, sementara itu pada saat
yang sama, tidak memberikan kesempatan kepada orang luar untuk berbicara dan
mengambil keputusan-keputusan atas nama kita.
2. Adalah sesuatu yang tidak dapat diingkari bahwa -
seperti juga pada agama-agama lain - terdapat berbagai aliran dalam Islam.
Masing-masing memiliki kekhususannya sendiri, baik pada sisi aqidah, keyakinan,
maupun pada sisi praktek keagarnaannya. Meskipun demikian, perbedaan-perbedaan
antara aliran-aliran Islam itu tidak sampai pada tingkat yang dapat menghalangi
mereka untuk melakukan kerjasama yang erat. Apalagi melalui kerjasama ini,
mereka dapat memelihara eksistensi mereka dari gempuran gencar Barat dan Timur,
dan pada waktu yang sama, tidak memberi peluang kepada musuh bersama mereka
untuk menjalankan niat busuknya. Akan tetapi, tentu saja, untuk mewujudkan
kerjasarna dan saling pengertian ini, memperkokoh dan mempereratnya, memerlukan
pemenuhan beberapa syarat. Antara lain, dan ini yang paling penting,
masing-masing aliran hendaknya mengenal aliran lainnya dan
kekhususan-kekhususan yang ada padanya dengan baik, karena hanya dengan saling
mengenal itulah banyak kesalahpahaman dapat dijernihkan, dan itu berarti
membuka jalan bagi kerjasama.
Jalan terbaik untuk saling mengenal ini ialah dengan cara
mempelajari ajaran setiap mazhab, baik ushûl maupun furû’,
langsung dari ulama-ulama terkemuka mazhab tersebut. Sebab, jika melalui
orang-orang yang tidak mengerti atau melalui pihakpihak yang memusuhi mazhab
tersebut, pasti tidak akan mencapai sasaran. Malah dapat merubah sikap saling
pengertian menjadi kebencian dan permusuhan.
3. Berdasarkan dua hal di atas, maka kami mencoba
menghimpun pokok-pokok ajaran Syi'ah Imamiyah, baik akidah maupun furu’
dan menuangkannya ke dalam buku kecil ini dengan karakteristik sebagai berikut:
1) Padat dan merupakan intisari dari persoalan-persoalan
utama sehingga para pembaca tidak perlu repot-repot mencarinya di berbagai
buku.
2) Gamblang dan jelas. Bahkan untuk menjaga agar tidak
terjadi kekaburan, kami sengaja menghindarkan penggunaan istilah-istilah tehnis
yang hanya dipahami kalangan ilmiah dan pusat-pusat kajian agama, hauzah, tanpa
sedikitpun mengurangi kedalaman masalah yang dibahas.
3) Sekedar penjelasan ajaran, bukan bersifat argumentatif.
Akan tetapi, pada masalah-masalah yang dianggap penting, sesuai dengan
kapasitas yang ada pada tulisan padat semacam ini, kami juga menyertakannya
dengan dalil-dalil tertentu, baik dari al-Qur’an, Sunnah, maupun akal.
4) Jauh dari basa-basi, diplomasi, dan vonis awal,
sehingga apa yang dikemukakan itulah adanya.
5) Memelihara kesopanan dan etika penulisan terhadap
semua mazhab pada semua kajiannya.
Terakhir, kitab kecil ini, dengan karakteristik di atas,
disusun pada saat pelaksanaan haji, di mana hati dan jiwa seseorang biasanya
lebih bersih dan lebih tulus, kemudian dilanjutkan dengan diskusi-diskusi
mendalam bersama sejumlah ahli, sehingga akhirnya dapat disempurnakan dengan
izin Allah SWT. Harapan kami, kiranya maksud dan tujuan seperti yang telah kami
utarakan di atas dapat tercapai serta merupakan tabungan kami di akhirat nanti.
رَبَّنّا إِنَّنَا
سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِيْ لِلإِيْمَانِ أَنْ آمِنُوْا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا
فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا وَ كَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَ تَوَفَّنَا مَعَ
اْلأَبْرَارِ
Tuhan kami! Kami telah mendengar peryeru yang menyeru
kepada keaimanan: "Hendaklah kamu beriman kepada Tuhanmu'; maka kami
beriman. Tuhan kami! Ampunilah kami atau dosa-dosa kami, hapuskanlah
keburukan-keburukan kami dari diri kami, dan wafatkanlah kami bersama abrâr,
orang-orang saleh. (QS, Âli ‘Imrân: 193)
Qum, Muharram 1417 H.
Madrasah al-Imam Amirul Mukminin
Nashir Makarim Syirazi
I
MA’RIFATULLAH DAN TAUHID
1. Adanya Yang Mahakuasa Mahatinggi
Syi'ah meyakini bahwa Allan SWT adalah pencipta alam
semesta. Keagungan ilmu dan kekuasaan-Nya tampak dengan jelas pada seluruh
jagad raya, dalam diri rnanusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, bintang-bintang di
langit, alam metafisik nan mahatinggi, dan di mana saja.
Syi'ah meyakini bahwa semakin kita mengamati rahasia alam
semesta, maka kita akan semakin rnenyadari kebesaran, keluasan ilmu dan
kekuasaan-Nya. Dan, semakin ilmu pengetahuan manusia berkembang, maka
pintu-pintu baru ilmu dan hikmah-Nya semakin terbuka bagi kita sehingga pikiran
kita semakin luas. Dengan demikian, kecintaan dan kedekatan kita kepada-Nya
semakin bertambah, dan kita akan diliputi oleh cahaya jalâl dan jamâl-Nya.
Allah berfirman: “Dan di bumi ada tanda-tanda
kebesaran-Nya bagi orang-orang yang yakin. Juga di diri kamu sendiri. Apakah
kamu tidak melihat”. (QS. Adz-Dzâriyât 20-21)
Allah berfirman: “Sesungguhnya pada penciptaan langit
dan bumi dan pada pergantian siang dan malam ada tanda-tanda kebesaran Tuhan
bagi orang-orang yang berpikir, yaitu orang-orang yang mengingat Allah saat
berdiri, duduk, atau berbaring, dan bertafakkur tentang penciptaan langit dan
bumi. (Mereka berkata:) “Tuhan kami! Engkau tidak ciptakan ini sia-sia”. (QS.
3:190-191)
2. Sifat Jamal dan
Jalal-Nya
Syi'ah meyakini bahwa Allah SWT bersih dari segala cela
dan kekurangan. Ia bersifat dengan segala sifat kesempumaan. Bahkan Ia adalah
kesempurnaan itu sendiri dan mutlak sempurna, mutlaq al-kamal wa kamal
al-rnutlaq. Dengan kata lain, seluruh kesempurnaan dan keindahan yang ada
di alam semesta ini berasal dari diri-Nya Yang Mahasuci.
“Dialah Allah, yang tiada Tuhan selain Dia. Mahapenguasa,
Mahasuci, Mahasejahtera, Mahapemberi keamanan, Mahpemelihara, Mahaperkasa,
Mahakuasa, Mahabesar, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah
Allah Yang Mahapencipta, Mahamengadakan, Mahapembentuk, bagi-Nyalah nama-nama
yang baik, bertasbihlah kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi, dan Dia
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana”. (QS. 59:23-24)
3. Dzat Yang Tak Terbatas
Syi'ah meyakini bahwa Allah adalah Dzat Yang Tak Terbatas
dari segala sisi: ilmu, kekuasaan, keabadian, dan sebagainya. Oleh karena itu, Dia tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, karena keduanya
terbaras. Tetapi pada waktu yang sama, hadir di setiap ruang dan waktu karena
Dia berada di atas keduanya.
“Dan Dialah yang di langit adalah Tuhan dan di bumi juga
Tuhan. Dia Mahbijaksana lagi Mahamengetahui”. (QS. 43:84)
“Dan Dia bersama kamu di mana pun kamu berada, dan Dia
Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
(QS.57:4)
Ya, memang Dia lebih dekat kepada kita dari pada kita kepada
diri kita sendiri. Bahkan Dia ada di dalam diri kita d~ur di mana saja, tapi
pada saat yang sama tidak menempati ruang.
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehenya
sendiri”. (QS. 50:16)
Dialah Yang Mahapertama dan Mahaterakhir. Yang Mahatampak
dan Mahatersemburyi. Dia Mahamengetahui segala sesuatu. (QS.57:3)
Adapun ayat-ayat semacam “Ia adalah pemilik singgasana
lagi Mahamulia” (QS. 85:1), ataupun ayat “Tuhan Yang Mahapengasih
bersemayam di atas singgasana”[1] (QS. 20:5), ayat-ayat di atas sama sekali tidak
menunjukkan bahwa Allah menempati ruangan tertentu, karena maksud dari kata
‘arsy atau singgasana dalam ayat ini bukan dalam pengertian fisik, melainkan
bahwa kekuasaan-Nya mencakup alam fisik dan meta-fisik sekaligus. Dalam pada
itu, jika kita katakan bahwa Allah menempati ruang, maka sesungguhnya kita
telah membatasi-Nya dan memberi-Nya sifat makhluk sehingga tak ubahnya seperti
makhluk, padahal Dia adalah “Tida ada sast pun yang serupa dengan-Nya”
(QS. 42:11), dan “Tidak satu pun yang menyamai-Nya” (QS. 112:4)
4. Allah Bukan Jasmani dan Tidak Dapat Dilihat
Syi’ah meyakini bahwa Allah Swt tidak dapat dilihat
dengan kasat mata, sebab sesuatu yang yang dapat dilihat dengan kasat mata
adalah jasmani dan memerlukan ruang, warna, bentuk, dan arah, padahal semua itu
adalah sifat-sifat makhluk, sedangkan Allah jauh dari segala sifat-sifat
makhluk-Nya. Oleh karena itu, meyakini bahwa Allah dapat dilihat dapat membawa
kepada kemusyrikan.
Dia tidak dapat dijangkau oleh penglihatan sedang Dia
menjangkau penglihatan, dan Dia Mahahalus lagi Mahatahu. (QS. 6:103)
Dan ketika Bani Israil menuntut Nabi Musa as agar mereka
dapat melihat Allah SWT sebagai syarat keimanan mereka dengan mengatakan; “Kami
tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah secara langsung” (QS.
2:55), Nabi Musa membawa mereka ke bukit Tur dan menyampaikan permintaan mereka
kepada Allah. Tapi malah mendapat jawaban dari Allah: “Sekali-kali engkau
tidak akan melihat-Ku. Tapi lihatlah gunung itu. Jika ia masih berada di
tempatnya maka engkau akan melihat-Ku. Maka tatkala Tuhannya bertajalli;
menampakkan diri; bagi gunung itu, gunung itu hancur lebur dan Musa jatuh
pingsan. Ketika ia siuman, ia berkata: "Mahasuci Engkau. Aku kembali
pada-Mu, dan aku orang pertama yang beriman”. (QS.7:143)
Ini menunjukkan bahwa Allah mutlak tidak dapat dilihat.
Adapun adanya beberapa ayat atau pun riwayat yang
menengarai adanya kemungkinan melihat Allah, maka yang dimaksud bukan
rnelihat-Nya secara kasat mata, tapi melalui penglihatan batin atau mata hati,
sebab al-Quran tidak saling bertentangan, tapi justeru saling rnenafsirkan, al-Qurn
yufassiru ba'dhuhu ba'dhan.[2]
Karena itu, ketika seseorang bertanya kepada Amirul
Mukminin Ali Ibn Abi Thalib: "Apakah engkau pernah melihat
Tuhanmu?" Amirul Mukminin menjawab, "Bagaimana aku bisa menyembah
Tuhan yang tidak kulihat?" Tapi buru-bur Amirul Mukminin
menyempurnakan kalimatnya, "Tapi Dia tidak dapat dilihat oleh mata. Dia
hanya dapat dijangkau oleh kekuatan hati yang penuh dengan iman". (Nahjul
Balaghah, Khutbah 179)
Syi'ah meyakini bahwa memberikan sifat-sifat makhluk
kepada Allah seperti ruang, arah, fisik, atau dapat dilihat akan membuat
seseorang tidak dapat mengenal Allah dan dapat rnembawa kepada kemusyrikan
Mahasuci Allah dari sifat-sifat makhluk. Sesungguhnya Ia
tidak serupa dengan apa pun.
5. Tauhid Adalah Jiwa Ajaran Islam
Syi'ah meyakini bahwa di antara persoalan-persoalan
paling penting dalam kaitannya dengan ma'rifUtulhah atau mengenal Allah
ialah pengetahuan akan tauhid dan keesaaan Tuhan. Tauhid tidak hanya merupakan
salah satu prinsip agama, tapi ia adalah ruh dan jiwa seluruh ajaran Islam,
baik pokok-pokok ajarannya (ushuluddin) maupun cabang-cabangnya (furu’)
mengkristal dalam tauhid. Seluruhnya dikaitkan dengan tauhid dan keesaan.
Keesaan Dzat Yang Mahasuci, keesaan sifat-sifat dan perbuatan-Nya, bahkan
keesaam (baca: kesatuan) misi para nabi, agama Ilahi, kiblat, kitab, hukurn,
dan peraturan hukum bagi seluruh umat manusia. Demikian pula persatuan Muslimin
dan satunya hari kebangkitan.
Oleh karena itulah, maka setiap penyimpangan dari tauhid
dan kecondongan ke syirk dianggap oleh al-Quran sebagai dosa yang tak
terampuni. “Sesungguhrrya Allah tidak mengampuni jika Dia disekutukan, tapi
mengarrpuni selain itu, bagi yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa meryekutukan
Allah sungguh telah melakukan dasa besar. (QS. 4:48) Dan “Dan
sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu bahwa
jika engkau menyekutukan Tuhan niscaya amalmu akan terhapus dan masuk dalam
golongan orang-orang rugi”. (QS. 39:65)
6. Sub-Tauhid
Syi'ah meyakini bahwa tauhid memiliki balgian-bagian,
antara lain empat hal berikut:
1) Tauhid Dzat.
Yaitu bahwa Dzat Allah itu esa. Tidak ada yang serupa
dengan-Nya. Tidak ada tandingan dan tidak ada yang menyamai-Nya.
2) Tauhid Sifat.
Yaitu bahwa sifat-sifat seperti ilmu, kuasa, keabadian
dan sebagainya rnenyatu dalam Dzat-Nya, bahkan adalah Dzat-Nya sendiri.
Sifat-sifat itu tidak sama dengan sifat-sifat makhluk, yang masing-masing
berdiri sendiri dan terpisah dari yang lainnya.
Hanya saja, untuk menyelami hakikat kesatuan Dzat dan
sifat-sifat-Nya ini menuntut kejelian dan kedalaman berpikir.
3) Tauhid Afal atau Perbuatan
Yaitu bahwa segala perbuatan, gerak, dan wujud apapun
pada alam semesta ini bersumber dari keinginan dan kehendak-Nya.
Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia adalah
Pemelihara segala sesuatu”. (QS. 39:62)
Dia memiliki kunci-kunci langit dan bumi. (QS. 42:12)
Memang tidak ada yang menentukan dalam wujud, alam
semesta ini, kecuali Allah. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa kita terpaksa
dalam perbuatan-perbuatan kita (determinis). Sama sekali tidak. Kita justru
bebas memilih dan memngambil keputusan.
Sesungguhnrya Kami telah memberikan petunjuk kepada
manusia. Ada yang bersyukur dan ada pula yang ingkar. (QS.
76:3)
Sesungguhnya munusia tidak rrrendapatkan apa-apa kecuali
apa yang telah diusahakannya. (QS. 53:39)
Kedua ayat di atas dengan tegas rnenjelaskan bahwa
manusia bebas dalam kehendaknya (free will). Akan tetapi, karena
kebebasan dan kemampuan kita untuk mengerjakan sesuatu datangnya dari Allah,
maka perbuatan-perbuatan kita disandarkan kepada Allah, namun tanpa sedikitpun
mengurangi tanggungjawab kita terhadapnya.
Tuhan memang yang telah menghendaki kita bebas dalam
perbuatan-perbuatan kita, karena Dia ingin menguji dan membawa kita ke jalan
kesempurnaan. Sebab manusia tidak akan mencapai kesempurnaan kecuali dengan
kebebasan berkehendak ~'ree will) dan mengikuti jalan kebenaran melalui
pilihannya sendiri; itu karena perbuatan yang dipaksakan dan di luar kemauan
seseorang tidak menggarnbarkan apakah ia baik atau buruk.
Jika kita terpaksa dalam perbuatan-perbuatan kita, maka
tidak ada artinya pengutusan para nabi, turunnya kitab-kitab samawi, ajaran
agama, pengajaran, pendidikan, dan sebagainya. Demikian pula tidak ada artinya
pahala dan azab Tuhan.
Inilah yang diajarkan madrasah Ahlubait bahwa tidak jabr
(mutlah terpaksa) dan ridak pula tafwidh (bebas mutlak), tapi di
antara keduanya.
Sesungguhnya tidak jabr dan tidak pula tafwidh, tapi di
antara keduanya (Ushul al-Kafi, I, hal.160)
4) Tauhid Ibadah:
Yaitu bahwa ibadah hanya ditujukan kepada Allah SWT
semata dan tidak ada yang patut disembah kecuali Allah SWT. Sub Tauhid
Ibadah ini adalah sub tauhid yang paling utama dan yang paling rnendapat
perhatian para Nabi.
Sesungguhnya mereka tidak diperintahkan kecuali untuk
menyembah Allah, semata-mata taat kepada-Nya, hanif, lurus dan bersih,
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus. (QS. 98:5)
Dan tauhid seseorang akan semakin dalam jika ia menempuh
tahapan-tahapan perjalanan kesempurnaan akhlak dan irfan sehingga ia
akan mencapai suatu kedudukan atau maqam di mana hatinya hanya terpaut
pada Allah swt semata, selalu mencari-Nya kapan dan di manapun, tidak
memikirkan apa-apa keduali Dia, dan selalu sibuk dengan-Nya.
“Segala sesuatu yang membuatmu lupa kepada Allah ia
adalah berhalamu”.
Syi'ah meyakini bahwa sub-sub tauhid tidak hanya terbatas
pada empat sub yang kami sebutkan di atas, tapi masih ada sub-sub lainnya,
seperti tauhid kepemilikan (tauhid milkiyyah).
Apayang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah. (QS. 2: 284) dan tauhid keputusan, tauhid hakimiyyah,
Barangsiapa tidak memutuskan perkara dengan apa yang
telah diturunkan Allah, maka sesunguhnya mereka adalah orang-orang kafir (QS. 5:44)
7. Mukjizat Para Nabi Seizin Allah
Syi’ah meyakini bahwa melalui tauhid af’al, tauhid
perbuatan, akan semakin menegaskan kebenaran bahwa mukjizat para nabi dan
peristiwa-peristiwa luara biasa di alam terjadi karena izin Allah Swt,
sebagaimana dilansir al-Quran dalam kisah Isa as:
Dan engkau menyembuhkan penderita butasejak lahir dan
penderita belang dengan izin-Ku, dan ingatlah ketika engkau menghdiupkan orang
mati. (QS. 5:110)
Atau kisah salah seorang menteri Nabi Sulaiman,
Berkatalah orang yang memiliki ilmu dari al-Kitab, “Aku
akan mendatangkannya kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman
melihatnya sudah berada di hadapannya, ia berkata, “Ini merupakan karunia
Tuhanku”. (QS. 27:40)
Dengan demikian, menisbahkan penyembuhan penyakit yang
tidak dapat disembuhkan atau menghidupkan orang mati kepada Nabi Isa as, dengan
izin Allah, tidak bertentangan dengan tauhid, bahkan itulah tauhid itu sendiri.
8. Malaikat
Syi'ah meyakini bahwa malaikat itu ada dan masing-masing
menerima tugas khusus. Ada yang bertugas menyampaikan wahyu kepada para nabi,
mencatat amal perbuatan manusia, mencabut nyawa, membantu orang-orang beriman
yang istiqamah, membantu kaum mukminin yang berada di medan perang, menghukum
para pembangkang, dan sebagainya yang berhubungan dengan alam semesta ini.
Adanya tugas-tugas malaikat itu sama sekali tidak menyalahi prinsip tauhid
perbuatan, tauhid af’al, atau tauhid pemeliharaan, tarhid rububi. Malah sebaliknya, justru mendukung tauhid, karena semuanya dengm izin Allah,
kekuatan-Nya, dan atas perintah-Nya.
Dari sini dapat kita lihat bahwa adanya syafaat para
nabi, imam, dan malaikat sama sekali tidak bertentangan dengan tauhid, bahkan
adalah tauhid itu sendiri, sebab terjadi seizin-Nya.
Tidak ada yang memberi syafaat kecuali setelah mendapat
izin-Nya. (QS. 10: 3)
Penjelasan lebih luas tentang masalah ini dan masalah
tawassul akan kami uraikan pada pembahasan kenabian.
9. Ibadah Hanya untuk Dia
Syi'ah meyakini bahwa ibadah hanya untuk Allah SWT
semata, sebagaimana telah kami singgung dalam pembahasan Tauhid Ibadah. Oleh
karena itu, barangsiapa menyembah selain Allah, dia adalah musyrik.
Inilah pula misi para nabi, sebagaimana banyak dikutip
al-Quran dari lisan para nabi.
Sembahlah Allah semata. Kamu tidak mempunyai Tuhan selain
Dia. (QS. 7:59, 65, 73, 85)
Menarik bahwa dalam shalat-shalat kita, ketika membaca
surah al-Fatihah, kita selalu mengulang-ulangi perinsip ini melalui ayat:
Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu pula
kami memohon pertolongan. (QS. 1:5)
Dengan demikian, jelas bahwa meyakini adanya syafaat para
nabi dan para malaikat atas izin Allah, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran,
bukan merupakan perbuatan menyembah atau beribadah kepada mereka. Sama sekali
tidak. Demikian pula bertawassul kepada para nabi, sama sekali tidak dapat
digolongkan sebagai ibadah kepada mereka, dan sama sekali tidak bertentangan
dengan tauhid perbuatan atau tauhid ibadah, sebab yang dilakukan hanyalah
meminta kepada mereka agar memohon kepada Allah supaya mengatasi kesulitan yang
dihadapinya. Pembahasan mengenai ini akan diuraikan pada kajian Nubuwah.
10. Dzat Tuhan Tidak Dapat Dijangkau
Syi'ah meyakini bahwa betapapun jejak-jejak wujud Tuhan
begitu banyaknya di alam semesta ini, namun tidak seorang pun yang mengetahui
hakikat Allah sebenarnya atau dapat menjangkau-Nya, sebab dzat Tuhan tak
terbatas, sedangkan kita, dari sisi apa pun, terbatas dan berujung. Oleh karena
itu, kita tidak dapat menjangkau-Nya, tapi Dia menjangkau segala sesuatu.
Ketahuilah! Sesungguhnya Dia menjangkau segala sesuatu. (QS. 41:54)
Dan Sesungguhnya Allah menjangkau mereka semua. (QS. 85:20)
Dalam sebuah hadis Nabi bahkan disebutkan,
Kami tidak menyembah-Mu sebenar-benarnya penyembahan dan
tidak pula mengetahui-Mu sebenar-benanya pengetahuan. (Bihar alAnwar, 68:23)
Namun ini ridak berarti bahwa ketika kita tidak dapat
mengetahui hakikat Allah secara detail, berarti kita juga tidak dapat
mengetahui hakikat-Nya secara umum, ilm ijmali, sehingga kita harus
meninggalkan upaya kita untuk rnengenal-Nya dan cukup puas dengan melafalkan
lafal-lafal yang kita sendiri tidak memahaminya. Sama sekali tidak demikian,
karena hal ini dapat menghambat kita untuk mengenal Allah, sesuatu yang tidak
dapat diterima oleh Syi'ah dan tidak pula diyakini, karena al-Quran dan
kitab-kitab suci lainnya justeru turun untuk memperkenalkan Allah, sehingga
kita dapat mengenal-Nya.
Dalam hal ini, banyak hal vang dapat dijadikan contoh,
misalnya ruh. Kita tidak mengetahui apa hakikat ruh sebenarnya, tapi kita
mengetahui secara umum bahwa ruh itu ada dan kita melihat tanda-tandanya.
Imam Muhammad Al-Baqir dalam salah satu haditsnya
mengatakan:
Setiap kali kamu menggambarkan Tuhan dengan pikiranmu
yang paling dalam sekalipun, tetap saja itu adalah makhluk dan ciptaan seperti
kamu, yang dikembalikan kepadamu. (Bihar al-Anwar,
66:293)
Dalam hadits lain, dengan redaksi yang sangat indah dan
jelas, Imam `Ali as telah menjelaskan cara mengenal Allah. Imam berkata:
Allah tidak memberitahu akal bagaimana cara menjangkau
sifat-sifat-Nya, tapi pada saat yang sama tidak menghalangi akal untuk
mengetahui-Nya. (Nahjul-balaghah: khutbah 49)
11. Tidak Ta'thil dan Tidak Pula Tasybih
Syi'ah meyakini bahwa ta'til ma'rifatullah atau
anggapan tidak ada jalan untuk mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya adalah
pendirian yang keliru. Demikian pula tasybih atau menyamakan Allah
dengan makhluk-Nya. Bahkan tasybih adalah perbuatan yang sesat dan
syirik. Dengan kata lain, kita tidak dapat mengatakan bahwa Allah SWT sama
sekali tidak dapat diketahui dan jalan untuk mengenal-Nya tertutup. Demikian
pula kita tidak dapat mengatakan bahwa Allah mempunyai keserupaan dengan
mahkluk-Nya. Kedua
jalan pikiran ini berlebih-lebihan, ifrath dan tafrith.
[1] Berdasarkan beberapa
ayatal-Quran dapat dipahami bahwa “Kursi”-Nya meliputi alam materi. Firman Allah, “Kursi-Nya mencakup langit dan bumi”. (QS. 2:225)
[2] Ungkapan di atas sangat populer dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas.
Sementar itu, dalam kitab Nahjul Balaghah diriwayatkan pula dari Amirul
Mukminin as dengan redaksi yang berbeda, yaitu “Sesungguhnya
al-Quran, satu sama lainnya saling membenarkan”.
II
KENABIAN
12. Falsafah Pengutusan Nabi
Syi'ah meyakini bahwa tujuan Allah mengutus para nabi dan
rasul ialah untuk membimbing umat manusia dan menuntun mereka mencapai
kesempurnaan hakiki dan kebahagiaan abadi. Seandainya para nabi itu tidak
diutus maka tujuan penciptaan manusia tidak akan tercapai dan manusia akan
tenggelam dalam kesesatan.
(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa kabar
gembira dan peringatan supaya manusia tidak punya alasan (atas
penyimpangan-penyimpangannya) terhadap Allah sesudah diutusnya para rasul (QS.
4:165)
Syi'ah meyakini bahwa di antara para rasul itu ada "ulul-azmi"
atau lima rasul pembawa syariat dan kitab suci yang baru, yaitu, Nuh, Ibrahim,
Musa, Isa, dan terakhir Nabi Muhammad saw.
Dan ingatlah ketika Kami mengambil perjanjian daripara
nabi dan dari darimu serta Nuh, Ihrahim, Musa, dan Isa putra Maryam. Kami telah
mengambil dari mereka perjanjian yang berat. (QS. 33:7)
Bersabarlah sebagaimana para rasul ului-azni bersabar.
(QS. 46:35)
Syi'ah meyakini bahwa Nabi Muhammad saw adalah nabi
terakhir dan penutup para rasul. Tidak ada nabi atau rasul sesudahnya.
Syanatnya ditujukan kepada seluruh umat manusia dan akan tetap eksis sampai
akhir zaman, Dalam arti bahwa universalitas ajaran dan hukum Islam marnpu
menjawab kebutuhan manusia sepanjang zaman, baik jasmani maupun rohani.
Kemudian, siapa pun yang mengklaim dirinya sebagai nabi atau membawa risalah
baru sesudah Nabi Muhammad saw, sesat dan tidak dapat diterima.
Muhammad bukan bapak siapa pun di antara kamu. Tapi ia
adalah utwan Allah dan penutup para nabi. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui
segala sesuatu. (QS. 33:40)
13. Hidup Rukun dengan Pemeluk Agama Samawi Lain
Betapa pun Syi'ah menganggap bahwa Islam adalah
satu-satunya agama resrni Ilahi saat ini, tetapi Syi'ah meyakini bahwa wajib
hukumnya hidup rukun dan damai dengan perneluk agama samawi lain, apakah mereka
hidup di negeri Islam atau di tempat lain, kecuali jika mereka memerangi Islam.
Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil
kepada orang-orang yang tidak memerangimu dalam agama dan tidak mengusirmu dan
negerimu. Sesungguhhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. 60:8)
Syi'ah meyakini bahwa melalui kajian-kajian rasional,
Islam dapat dijelaskan dengan baik kepada seluruh dunia; dan melalui daya tarik
Islam yang luar biasa, Syi'ah percaya bahwa jika Islam dijelaskan dengan baik,
maka banyak pihak yang akan cenderung ke Islam, lebih-lebih dewasa ini, dimana
banyak pihak yang tertarik pada Islam.
Oleh karena itu Syi'ah meyakini bahwa Islam tidak dapat
didakwahkan secara paksa.
Tidak ada pemaksaan dalam beragama. Sesungguhnya telah
jelas mana yang benar dan mana yang salah.(QS.
2:256)
Pada saat yang sama Syi'ah juga meyakini bahwa kepatuhan
kaum Muslimin kepada ajarannya merupakan cara lain untuk menjelaskan Islam,
sebagaimana sabda Imam Ja'far as:
Jadilah pendakwah-pendakwah tidak dengan lidahmu.
Dengan demikian tidak periu kekerasan atau pemaksaan.
14. Kemaksuman Para Nabi
Syi'ah meyakini bahwa semua nabi maksum, yakni
terpelihara dan perbuatan salah, keliru, dan dosa sepanjang hidup mereka, baik
sebelum masa kenabian maupun sesudahnya. Sebab jika seorang nabi melakukan
kesalahan atau dosa, maka kepercayaan yang diperlukannya untuk posisi kenabian
dengan sendirinya sirna dan orang tidak mempercayainya lagi sebagai penghubung
mereka dengan Tuhan. Orang-orang juga tidak akanlagi
menganggapnya sebagai panutan hidup mereka.
Oleh karena itu Syi'ah meyakmi bahwa adanya sejumlah ayat
yang mengesankan seolah-olah sejumlah nabi pernah berbuat dosa sama sekali
tidak dapat difahami dalam pengertian telah betul-betul melakukan perbuatan
dosa. Tidak demikian maksud ayat-ayat tersebut. Tapi semacam tark al-awla atau
perbuatan meninggalkan yang utama. Maksudnya, di antara dua perbuatan baik,
nabi bersangkutan justru memilih yang manfaatnya lebih sedikit, padahal ia
lebih pantas memilih yang lebih utama. Atau dengan kata lain, termasuk dalam
kategori:
Perbuatan bcak untuk maqam abrar, orang-orang baik,
adalah buruk untuk maqam muqarrabin, orang-orang dekat.
Karenanya setiap orang dituntut melakukan perbuatan
sesuai dengan maqamnya.
15. Para Nabi Adalah Hamba-hamba Allah
Syi'ah meyakini bahwa keagungan para nabi dan rasul
terletak pada keberadaan mereka sebagai hamba-hamba yang taat kepada Allah.
Oleh karena itu, dalam shalat-shalat kita, kita selalu mengulang-ulangi ikrar
bahwa Nabi Muhmamad saw adalah hamba Allah dan utusan-Nya:
Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.
Kami meyakini bahwa tidak seorang nabi pun yang pernah
mengaku sebagai tuhan atau mengajak orang lainmenyembah dirinya.
Tidak patut bagi seorang manusia yang Allah berikan
kepadanya kitab, hikmah, dan kenabian, lalu berkata kepada orang-orang:
"Jadilah hamba-hambaku, bukan Allah. (QS. 3:79)
Termasuk Nabi Isa as. la tidak pernah mengajak orang agar
menyembah dirinya. Malah selalu menyatakan dirinya adalah hamba dan utusan
Tuhan.
Isa al-Masih tidak pernah enggan untuk menjadi hamba Allah.
Demikian pula para malaikat muqarrabin, yang amat dekat dengan Allah. (QS.
4:172)
Adapun masalah trinitas, yaitu kepercayaan adanya tiga
tuhan, sejarah modern Nasrani sendiri membukukan bahwa hal itu tidak pernah ada
pada abad pertama Masehi, tapi baru muncul sesudah itu.
16. Mukjizat dan Pengetahuan Ghaib
Status para nabi sebagai hamba-hamba Alah tidak
menghalangi mereka untuk mengetahui perkara-perkara masa lalu, sekarang, dan
atau yang akan datang, dengan izin Allah.
Allah Mahamengetahui yang ghaib. Dia tidak akan
memberitahukan rahasia keghaiban-Nya kepada siapa pun kecuali kepada rasul yang
dipilihnya. (QS. 72:26-27)
Kita mengetahui bahwa di antara mukjizat Nabi Isa as
ialah mengungkapkan hal-hal yang tersembunyi:
Dan aku beritahukan kepadamu apa yang kamu makan dan apa
yang kamu simpan di rumahmu. (QS. 3:49)
Demikian juga Rasulullah saw. labanyak menginformasikan
berita-berita ghaib melalui wahyu Allah:
Itu adalah berita-berita ghaib yang Kami wahyukan
kepadamu. (QS. 12:102)
Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menolak bahwa
para nabi dapat menginformasikan hal-hal ghaib yang diperolehnya dari wahyu dan
dengan izin Allah Swt. Adapun adanya ayat yang menyatakan bahwa Rasulullah saw
tidak memiliki pengetahuan ghaib, yaitu ayat:
Dan aku tidak mengetahui yang ghaib dan tidak pula
mengatakan bahwa aku adalah malaikat. (QS. 6:50)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa pada dasamya Rasulullah
saw memang tidak memiliki pengetahuan ghaib. Tetapi tidak berarti bahwa dia
tidak memperolehnya dan Allah Swt. Karena ayat-ayat al-Quran
saling menafsirkan satu sama lainnya.
Syi'ah meyakini bahwa para nabi mampu mengerjakan
perkara-perkara luar biasa serta mukjizat-mukjizat besar dengan izin Allah Swt.
Keyakinan ini sama sekali tidak syirik dan tidak pula
bertentangan dengan status kehambaan para nabi itu. Nabi Isa as misalnya,
sebagaimana diungkapkan dalam al-Quran, dengan tegas mengatakan bahwa atas izin
Allah ia telah menghidupkan orang mati dan menyembuhkan penyakit kusta dan
belang.
Dan aku menyembuhkan penyakit kusta dan belang dan aku
menghidupkan orang mati, dengan izin Allah.
(QS. 3:49)
17. Maqam Syafaat Para Nabi
Syi'ah meyakini bahwa para nabi, apalagi Nabi Muhammad
saw, memiliki kewenangan memberi syafaat. Mereka akan memberi syafaat kepada
golongan pendosa tertentu, tentu setelah memperoleh izin dari Allah Swt.
Tidak ada pemberi syafaat kecuali setelah mendapat
izin-Nya. (QS. 10:3)
Siapakah yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa
seizin-Nya (QS. 2:255)
Dengan demikian, jika di beberapa ayat al-Quran terkesan
ada penafian syafaat secara mutlak seperti ayat:
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dan
rezeki yang telah Kami berikan kepada kamu sebelum datang hari yang ketika itu
tidak ada lagi jual beli, tidak ada persahabatan yang akrab, dan tidak ada
syafaat; dan orang-orang kafir itulah yang orang-orang yang zaim." (QS.
2:254)
Yang dimaksud bukan syafaat sebagaimana yang kita
jelaskan di atas, tapi syafaat yang bersifat independen dan tanpa izin Allah,
atau syafaat orang-orang yang belum mencapai tingkat kewenangan memberi
syafaat. karena seperti yang kita tegaskan berkali-kali, ayat-ayat Al-Quran
saling menjelaskan satu sama lain.
Syi'ah menyakini bahwa syafaatt adalah sarana yang sangat
penting bagi pendidikan dan pengembalian orang-orang yang tergelincir ke jalan
yang lurus, memotivasi mereka kepada kesucian dan takwa, serta menghidupkan
kembali harapan di hati mereka, sebab syafaat bukan perkara tanpa aturan. Ia
hanya diberikan kepada orang-orang yang memenuhi syarat untuk menerimanya, yaitu
para pendosa yang dosa-dosanya tidak membuatnya putus hubungan dengan para
pemberi syafaat. Dengan demikian, syafaat merupakan peringatan kepada
orang-orang yang tergelincir agar tidak menutup jalan dan tetap memberikan
ruang untuk kembali ke jalan yang benar agar tidak kehilangan kesempatan
mendapatkan syafaat.
18. Tawassul
Syi'ah meyakini bahwa masalah tawassul serupa
dengan masalah syafaat, yaitu bahwa orang-orang yang menghadapi berbagai
problema, apakah problema duniawi atau ruhani, dapat bertawassul atau
meminta kepada Allah melalui para kekasih-Nya agar problema yang mereka hadapi,
dengan izin-Nya, dapat diatasi. Dengan kata lain, dan satu
sisi, ia memohon langsung kepada Allah, tapi dari sisi lain, menjadikan para
kekasih-Nya sebagai perantaranya.
Dan seandainya ketika mereka menzalimi diri mereka
(berbuat dosa) datang kepadamu, lalu minta ampun kepada Allah dan dimintakan
ampun oleh Rasul, tentulah mereka akan dapati Allah Mahapengampun lagi
Mahapengasih." (QS. 4:64)
Dalam kisah Nabi Yusuf, kita melihat betapa
saudara-saudara Yusuf as meminta ayahnya, Nabi Ya'qub as, bersedia menjadi
perantara mereka kepada Allah seraya berkata:
Ayah, mohonkan ampunan buat kami atas dosa-dosa kami.
Kami adalah orang-orang yang bersalah" (QS. 12:97)
Dan Nabi Ya'kub as pun menerima permintaan mereka dan
bersedia menjadi perantara dengan mengatakan:
Aku akan mohonkan ampun buat kamu kepada Tuhanku."
(QS. 12:98)
Ini adalah bukti bahwa tawassul dilakukan oleh umat
terdahulu. Tapi harus diingat bahwa tawassul tidak boleh melewati atas yang
diizinkan, yaitu dengan menganggap para kekasih Allah itu dapat melakukan
sesuatu tanpa izin Allah, karena perbuatan demikian dapat membawa kepada
kemusyrikan. Demikian pula tidak boleh dilakukan dalam bentuk ibadah kepada
para kekasih Allah itu, karena perbuatan demikian syirik dan kafir; karena para
kekasih Allah itu tidak dapat mendatangkan kebaikan atau keburukan tanpa izin
Allah.
Katakanlah aku tidak dapat mendatangkan suatu manfaat
buat diriku dan tidak pula dapat mencegah suatu mudharat dari diriku, kecuali
yang dikehendaki Allah. (QS. 7:188)
Namun harus diakui terdapat sikap berlebih-lebihan pada
sebagian kalangan awam di semua aliran Islam sehingga kita harus selalu
membimbing dan menuntun mereka.
19. Kesatuan Da'wah Para Nabi
Syi'ah meyakini bahwa semua nabi mempunyai tujuan yang
sama, yaitu membawa manusia kepada kebahagiaan yang hakiki melalui iman kepada
Allah dan hari akhir, pengajaran dan pendidikan agama yang benar serta
memperkokoh prinsip-prinsip akhlak. Oleh karena itu, kami menghormati semua
nabi, seperti yang diajarkan al-Quran kepada kita:
Kami tidak membeda-bedakan seorang pun sesama
utusan-Nya" (QS. 2:285)
Namun demikian, agama-agama samawi itu berkembang secara
bertahap, seiring dengan kesiapan manusia menerima ajaran-ajaran Tuhan. Semakin
ke sini semakm sempurna dan semakin dalam, hingga tiba giliran agama Islam yang
merupakan agama terakhir dan tersempurna.
Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu
dan telah Aku cukupkan kepada kamu nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam sebagai
agama bagi Kamu. (QS.5:3)
20. Pemberitaan Nabi-Nabi Terdahulu
Kami meyakini bahwa banyak di antara para nabi terdahulu
telah mengabarkan kedatangan nabi-nabi sesudahnya. Misalnya, Nabi Musa as dan
Isa as telah mengabarkan kedatangan Nabi Muhammad saw. Bahkan buku-buku mereka
masih merekam hal itu hingga saat ini. Al-Quran sendiri
berkata:
Mereka yang mengikuti nabi yang ummi. (QS. 7:157)
Oleh karena itu, sejarah mencatat bahwa sebelum agama
Islam lahir, banyak warga Yahudi yang sengaja datang ke kota Madinah untuk
berjumpa dengan Nabi Muhammad saw, karena kitab-kitab mereka mengabarkan bahwa
dari kota inilah akan muncul seorang nabi yang membawa agama baru. Tapi ketika
nabi yang mereka harap-harapkan itu betul-betul datang, sebagian mereka beriman
kepadanya, tapi sebagian lain mengingkarinya karena kepentingan mereka
terancam.
21. Para Nabi dan Perbaikan Keadaan Hidup
Syi'ah meyakini bahwa agama-agama samawi yang diturunkan
kepada para nabi, terutama agama Islam, tidak hanya datang untuk memperbaiki
kehidupan individu atau terbatas pada masalah-masalah maknawiyah dan akhiak
saja, tapi sekaligus untuk rnemperbaiki dan menyempurnakan seluruh aspek
kehidupan sosial. Bahkan banyak di antara pranata ilmu dan pengetahuan moderen
yang sangat dibutuhkan oleh kehidupan dewasa ini justeru di.peroleh dari para
nabi, sebagaimana yang diisyaratkan al-Quran pada beberapa ayatnya.
Syi'ah juga meyakini bahwa di antara tujuan utama para
nabi ialah tegaknya keadilan sosial dalam masyarakat manusia.
Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti
yang jelas dan Kami turunkan bersama mereka al-kitab dan al-mizan agar mereka
dapat menegakkan keadilan dalam mayarakat.
(QS. 57:25)
22. Menolak Rasialisme
Syi'ah meyakini bahwa para nabi, terutarna nabi terakhir,
Muharnmad saw, menolak dengan keras segala bentuk rasialisme, apakah
berdasarkan darah atau warna kulit. Dalam pandangan para nabi itu, semua umat
manusia, dari suku, bahasa, dan ras apapun adalah sama. Al-Quran menyeru semua
kelompok manusia dengan firman-Nya:
Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu
dari laki dan perempuan dan Kami jadikan kamu hersuku-suku dan berbangsa-bangsa
agar kamu saling mengenal. Sesungsuhnya orang yang paling mulia di sisi Aliah
adalah yang paling bertaqwa. (QS. 49: 13)
Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa ketika Nabi saw
berada di Mina, saat menunaikan ibadah haji, la berseru kepada orang-orang yang
berkumpul di sekelilingnya:
Hai sekalian manusial Sesungguhnya Tuhan kamu satu dan
nenek moyang kamu juga satu. Ketahuilah! Tidak ada kelebihan bangsa Arab atas
Ajam atau Ajam atas Arab. Tidak ada kelebihan
berkulit hitam atas berkulit merah atau berkulit merah atas berkulit hitam.
Mereka semua sama, kecuali dengan taqwa. Nabi berkata: "Bukankah telah kusampaikan?"
Mereka menjawab: "Ya". Nabi kemudian melanjutkan: ''Pesan ini harus
disampaikan oleh orang-orang yang hadir di sini kepada mereka yang tidak hadir.
(Tafsir al Qurtubi, 9 : h 162)
23. Islam dan Fitrah Manusia
Syi'ah meyakini bahwa secara fitrah, di dasar hati yang
paling dalam, setiap manusia memiliki bibit-bibit keimanan kepada Allah,
tauhid, dan pokok-pokok ajaran para nabi. Para nabi kemudian menyirami
bibit-bibit yang ada itu dengan air wahyu Ilahi dan menjauhkannya dari
hama-hama kemusyirkari dan penyimpangan.
la merupakan fitrah Allah yang telah difitrahkannya pada
manusia. Sesungguhnya tidak dda perubahan pada dptaan Allah. Dan itu adalah
agama yang lurus, tapi sebagian besar manusia tidak mengetahui. (QS. 30:30)
Oleh karena itu, agama selalu menyertai manusia sepanjang
sejarah. Ada pun sikap tidak beragama praktis sangat
jarang terjadi dan merupakan pengecualian, demikian tegas sejarawan. Terbukti
bahwa bangsa-bangsa yang mendapat tekanan propaganda gencar agar meninggalkan
agama, begitu mendapatkan kebebasan, segera kembali ke agamanya.
Tapi kita juga tidak dapat mengingkari bahwa rendahnya
tingkat intelektualitas pada banyak umat terdahulu menyebabkan tercampurnya
pemikiran keagamaan mereka dengan khurafat; dan para nabi berperan besar menghilangkan
khurafat-khurafat itu dari kehidupan beragama mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar