KLIPPING DAKWAH
(Seri 1 )
Topik:
(Busana Muslimah yang Indah dan ber-Cahaya)
“….Kalau 10 orang lelaki bukan muhrim tengok sehelai rambut kakak ini, bermakna kakak mendapat 10 dosa….” ( Azab Koma di Tanah Suci – Bab2/hal. 4.)
“Saya sempat su’udzon kepada Allah, kalau nanti berjilbab bagaimana dengan karir menyanyi? Pasti risi, banyak hambatan. Ternyata, di luar dugaan. Setelah saya menutup aurat, semua pikiran jahat yang ada di benak saya tidak pernah terbukti,”; “..dengan menutup aurat rezekinya bertambah dua kali lipat.” ( Tri Utami – Bab2/hal. 8.)
“ Bukan saya tak menyadari konsekuensi yang harus dihadapi. Meski memakai jilbab, tawaran sinetron tetap mengalir. “; “ Apa boleh buat, demi prinsip, puluhan juta rupiah saya lepas. Tapi saya tidak menyesal. Saya yakin Allah akan membukakan pintu rezeki yang lain buat saya. “; “ Bersyukur kepada Allah. Ternyata inilah jalan keluar yang Engkau berikan, atas doa-doaku selama ini. Kau tutup pintu rezeki di sinetron yang memaksaku membuka aurat, tapi Kau buka pintu rezeki lain. Pintu rezeki yang tidak hanya memberi manfaat secara lahir tapi juga batin. Ada nilai ibadah yang saya emban. Alhamdulillah.“ ( Ida Leman – Bab2/hal. 11, 12.)
“ aku memang sangat bersyukur karena merasa mendapat banyak kemudahan setelah berani menyandang atribut muslimah ini. “ ( Tya Sulestyawati– Bab2/hal. 16.)
“Saya hendak menjalankan ajaran agama secara total, dan karena itu saya mesti berjilbab.“ ( Hj. Luthfiah Sungkar– Bab2/hal. 20.)
“ Selain dari dalam, penjagaan dari luar pun tidak sedikit. Itulah manfaatnya berjilbab,” (Mieke Wijaya– Bab2/hal. 26.)
“Setelah aku mulai memahami Islam, aku merasa sangat dekat dengan-Nya. Aku berusaha melaksanakan semua perintah-Nya. Termasuk mengenakan jilbab “ ; “. Ah, kalau aku membenci jilbab, bisa-bisa aku akan membenci Islam..” ( Tetraswari D.H.– Bab2/hal. 30.)
“Dia memakai kerudung yang, masya Allah, seakan-akan memancarkan cahayanya. Saya termenung dan berpikir dalam hati, kalaulah dia yang menganut Islam selepas Kristen, terpanggil memakai kerudung, kenapa saya yang terlahir sebagai Islam, tidak? “ (Wan Azizah Wan Ismail – Bab2/hal..36.)
____________________________________
PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb,
“Klipping Dakwah” Seri 1 dengan topik “JILBAB” ini disusun berdasarkan artikel-artikel, surat-surat electronic (Email) yang penyusun peroleh dari rekan-rekan kaum muslim baik di Indonesia maupun negara tatangga Malaysia, Singapore dan Brunei. serta dari situs-situs (Website) Media massa.
Klipping ini disusun semata-mata dengan tujuan untuk dapat saling mengingatkan diantara sesama muslim, guna untuk meperoleh ridhoNya, berbagi pengalaman, dan dapat mengambil hikmah yang terkandung dalam masing-masing pengalaman, agar kita selalu berada pada jalur yang benar sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW dan Al-Qur’an. Tiada sedikitpun maksud saya dalam menyusun klipping ini untuk dijadikan sebagai bahan per-debatan bagi pembacanya.
Terima kasih saya sampaikan kepada rekan-rekan yang telah memberikan bahan-bahan klipping ini antara lain:
- Anggota Milis <daarut-tauhiid@egroups.com>
- Anggota Milis <dakwah@ptmultidata.com>
- "Ade Jachja. D" <Jachja@vico.co.id>
- "Nani Mintarsih" <nani@centrin.net.id>
- “Indratmoko Poerwanto”< indra99@gmx.net>
- "Miftachul Arifin (BAT OP AEE)" <Miftachul.Arifin@infineon.com>
- dan yang lainnya yang tak mungkin disebutkan satu-persatu.
“Klipping Dakwah” disusun berdasarkan bab-bab sebagai berikut:
Bab 1 : Risalah Jilbab,
Judul: “Kerudung Wanita atau Jilbab, Perintah Allah yang sudah dilupakan Ummat Islam” (disusun oleh Drs. Muhammad S.A. untuk kalangan sendiri pada tahun 1991.).
Artikel ini saya peroleh melalui Fax dari rekan Ade Jachja D <Jachja@vico.co.id>, dan di-tik ulang dengan melengkapi pada beberapa bagiannya, terutama pada tanda rujukan pada setiap hadits yang tidak tercantum pada naskah aslinya, catatan kaki (footnote) dan sisipan huruf arab. Rujukan / Riwayat hadits dikutip dari kitab “Mahkota Pokok-Pokok Hadis Rasulullah SAW, oleh Syekh Manshur Ali Nashif, Jilid 1, 2, 3, 4, 5.” Namun demikian tidak merubah / mengurangi inti pokok yang hendak disampaikan dalam artikel ini.
Bab 2 : Pengalaman Religius,
Pada bab ini saya himpun beberapa email, isi sesuai aslinya, kutipan artikel dari surat kabar, majalah, yang ada sangkut pautnya dengan artikel pada Bab 1. Dan beberapa kisah nyata yang dapat kita ambil hikmahnya agar kita dapat terhindar dari petaka yang dialami orang lain.
Bab 3 : Tuntunan Hidup dan Lain Lain,
Pada bab ini saya himpun beberapa email, isi sesuai aslinya, yang ada sangkut paut-nya dengan artikel pada Bab 1. Dan dapat dijadikan pedoman untuk merefleksikan dan memposisikan diri kita. Sudah-kah para kaum wanita muslim berada pada posisi sebagai seorang Muslimah ?
Kita menyadari bahwa tidak semua kaum muslim memiliki perangkat komputer yang dapat turut serta ikut dalam diskusi yang dilakukan pada group daarut-tauhiid@egroups.com, dakwah@ptmultidata.com dll. Oleh sebab itu, Klipping Dakwah ini disusun terutama untuk mereka agar syiar Islam dapat menyentuh sampai ke-penjuru negeri.
Penyusunan Klipping Dakwah ini TIDAK UNTUK DIPERJUAL BELIKAN, melainkan dapat dibagikan secara CUMA-CUMA / GRATIS kepada sesama kaum muslim. Cara penyusunan ini tiada bedanya dengan cara penyusunan klipping secara manual dengan menggunting dan menempelkan berbagai artikel koran, majalah dsb. Namun dengan cara elektronic ini (“cut & Paste”) pendistribusiannya dapat lebih cepat melalui sarana Email. Pada kesempatan ini juga saya menghimbau kepada rekan-rekan yang sekiranya mempunyai kelebihan kertas, tinta printer, untuk dapat memperbanyak Klipping ini dan membagikannya kepada segenap kaum muslim.
Insya Allah pada seri berikutnya, saya akan mencoba menghimpun artikel-artikel lainnya dengan topik semisal ‘Shalat’, ‘Puasa” dan sebagainya. Bagi rekan-rekan yang telah memiliki artikel-artikel tersebut ataupun pengalaman religius pribadi dan ingin disampaikan kepada segenap kaum muslim, dapat mengirimkannya langsung ke saya melalui email atau fax.
Mohon maaf, bilamana dalam klipping ini terdapat kekeliruan yang tidak disengaja dan semoga Allah swt memberikan rahmat dan hidayahNya kepada kita semua.
Wabillahitaufiq Walhidayah, Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Jakarta, Januari 2000 / Syawwal 1420H.
Penyusun Klipping,
KERUDUNG WANITA ATAU JILBAB
PERINTAH ALLAH
YANG SUDAH DILUPAKAN UMMAT ISLAM
---- “Gambar close-up wanita memakai jilbab’-----
tidak dapat kami sisipkan dalam kolom ini,
mengingat kualitas gambar yang diterima
melalui fax tidak bisa direproduksi.
|
Untuk Kalangan Sendiri – 1991 - JAKARTA, INDONESIA
KERUDUNG WANITA ATAU JILBAB
PERINTAH ALLAH
YANG SUDAH DILUPAKAN UMMAT ISLAM
Bismil-laahir-rahmaanir-rahim,
Ada satu peribahasa yang pendek, sederhana, tetapi dalam artinya, yang berbunyi sbb.:
“Tak kenal, maka tak sayang”,
Sesuai dengan bunyi peribahasa diatas, ada satu perintah Allah yang penting sekali yang hampir tak dikenal atau dianggap enteng oleh umat Islam, yaitu keharusan kaum wanita memakai kerudung kepala.
PERINTAH ALLAH SWT UNTUK MEMAKAI KERUDUNG / JILBAB
Keharusan kaum wanita memakai kerudung kepala tertera dalam surat An Nur ayat 31 yang cukup panjang, yang penulis kutip satu baris saja, yang berbunyi sbb.:
“ Katakanlah kepada wanita yang beriman,……. Dan hendaklah mereka menutupkan kerudung kepalanya sampai kedadanya”…..
Dan seperti yang tercantum dalam surat Al Ahzab ayat 59 yang artinya sbb.:
“ Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isteri engkau, anak-anak perempuan engkau dan isteri-isteri orang-orang mu’min, supaya mereka menutup kepala dan badan mereka dengan jilbabnya supaya mereka dapat dikenal orang, maka tentulah mereka tidak diganggu (disakiti) oleh laki-laki yang jahat. Allah pengampun lagi pengasih”.
Perintah Allah diatas adalah jelas dan tegas yang wajib hukumnya bagi kaum wanita sebagaimana dinyatakan Allah pada pembukaan surat An-Nur tersebut yang berbunyi sbb.:
“ Inilah satu surah yang Kami turunkan kepada Rasul dari Kami wajibkan menjalankan hukum-hukum syariat yang tersebut didalamnya. Dan Kami turunkan pula didalamnya keterangan-keterangan yang jelas, semoga kamu dapat mengingatnya”.
Dari bunyi ayat diatas, jelaslah wanita yang tidak memakai kerudung telah melakukan dosa yang besar karena ingkar kepada hukum syariat Islam yang diwajibkan oleh Allah. Perintah Allah diatas ini ditegaskan lagi oleh Nabi Muhammad SAW dalam hadist beliau yang artinya sbb:
“Wahai Asma! Sesungguhnya seorang perempuan apabila sudah cukup umur, tidak boleh dilihat seluruh anggota tubuhnya, kecuali ini dan ini. sambil Rasulullah menunjuk muka dan kedua tapak tangannya”. (Riwayat: Abu Daud)
Sekarang kalau kita keliling diseluruh Indonesia, Malaysia, Singapore dan Brunei, sedikit sekali kaum wanita Islam yang memakai kerudung kepala, umumnya hanya anak-anak gadis sekolah pesantren. Jumlah kaum wanita yang memakai kerudung kepala bisa dihitung dengan jari, tidak ada artinya dari jumlah penduduk Islam yang jumlah lebihKurang dari 180 juta.
Kalau begitu gambarannya, banyak sekali kaum wanita yang masuk neraka, cocok sekali dengan bunyi hadits dibawah ini yang artinya sbb.:
“ Saya berdiri dimuka pintu sorga, tiba-tiba umumnya yang masuk kesorga orang-orang miskin, sedang orang yang kaya-kaya masih tertahan, hanya saja bahagian mereka telah diperintah masuk neraka, dan aku berdiri di muka pintu neraka maka kebanyakan yang masuk neraka wanita”.. (Riwayat: Usamah bin Zaid ra.)
Banyak kaum wanita yang masuk neraka, semata-mata karena didalam hidupnya tak mau memakai kerudung kepala atau jilbab, didalam neraka akan mendapat siksaan yang berat sekali sebagaimana diceritakan Nabi Muhammad SAW dalam hadits beliau yang artinya sbb:
“Wanita yang akan digantung dengan rambutnya, sampai mendidih otak dikepalanya didalam neraka, ialah wanita yang memperlihatkan rambutnya kepada laki-laki yang bukan muhrimnya”. (Riwayat: ……………………)
Hadits diatas adalah bahagian akhir dari hadits Nabi Muhammad SAW yang cukup panjang, yang menceritakan berbagai macam siksa neraka yang diperlihatkan Allah waktu beliau pergi mi’raj. Waktu beliau menceritakan nasib kaum wanita yang berat siksanya didalam neraka karena tak mau memakai kerudung kepala atau jilbab didalam hidup, beliau meneteskan air mata.
Begitulah Nabi Muhammad SAW menangisi nasib kaum wanita dari ummatnya nanti di akhirat, tetapi sekarang kalau kaum wanita Islam disuruh memakai kerudung kepala, banyak alasannya, ada yang mengatakan fanatik agama, sudah kuno tak cocok dengan zaman, panas, dan lain sebagainya.
Sikap kaum wanita di zaman sekarang sungguh bertolak belakang dengan sikap kaum wanita di zaman dahulu waktu ayat kerudung kepala itu turun sebagaimana diceritakan Aisyah, isteri Nabi Muhammad SAW berikut ini:
“Telah berkata Aisyah: Mudah-mudahan Allah memberi rahmat atas perempuan-perempuan Muhajirat yang dahulu, Diwaktu Allah menurunkan ayat kerudung itu, mereka koyak kain-kain berlukis mereka yang belum dijihat, lalu mereka jadikan kerudung”. (Riwayat: Abu Daud dan Bukhari)
Sikap wanita Islam di Medinah pada waktu turunnya ayat kerudung itu, betul-betul cocok dengan pribadi seorang beriman, sebagai yang digambarkan Allah didalam Al-Qur’an, yaitu jika mereka mendengar ayat-ayat Allah dibacakan, mereka lalu berkata: “Kami mendengar dan kami patuh”.[1])
Tetapi sekarang sikap kaum wanita Islam, jika dibacakan ayat mengenai keharusan memakai jilbab, mereka berkata: “Kami mendengar, tetapi kami ingkar”[2]. Kalau begitu sikap kaum wanita Islam terhadap ayat jilbab ini, betul tidak cocok dengan pengakuannya kepada Allah didalam shalat yang berbunyi sbb.:
“La syarikallahu wabiza lika ummirtu wa anna minal muslimin”
yang artinya:
“Tiada syarikat bagi Engkau dan aku mengaku seorang muslimah”.
Seorang wanita yang mengaku dirinya seorang muslimah, yaitu tunduk patuh kepada seluruh perintah Allah, harus berpakaian muslimah didalam hidupnya, yaitu terdiri dari jilbab dan pakaian yang menutup seluruh anggota tubuhnya, berlengan panjang sampai pergelangan tangannya dan memakai rok yang menutup sampai mata kakinya. Kalau mereka tidak berpakaian seperti diatas, mereka bukan disebut wanita muslimah. Jadi pernyataannya didalam shalat yang berbunyi: “Aku mengaku seorang muslimah” adalah dusta kepada Allah.
TERHAPUSNYA PAHALA KARENA TIDAK MEMAKAI JILBAB
Seseorang yang bersumpah palsu saja dimuka pengadilan adalah berat hukumannya, apalagi seorang yang berjanji palsu dihadapan Allah, tentu berat hukuman didalam neraka, yaitu sampai di gantung dengan rambutnya hingga mendidih otaknya.[3] Kaum wanita menyangka bahwa tidak memakai jilbab adalah dosa kecil yang tertutup dengan pahala yang banyak dari shalat, puasa, zakat dan haji yang mereka lakukan. Ini adalah cara berpikir yang salah harus diluruskan. Kaum wanita yang tak memakai jilbab, tidak saja telah berdosa besar kepada Allah, tetapi telah hapus seluruh pahala amal ibadahnya sebagai bunyi surat Al-Maidah ayat 5 baris terakhir yang artinya sbb:
“….. Barang siapa yang mengingkari hukum-hukum syariat Islam sesudah beriman, maka hapuslah pahala amalnya bahkan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi”.
Sebagaimana telah diterangkan dimuka, memakai jilbab bagi kaum wanita adalah hukum syariat Islam yang digariskan Allah dalam surat An-Nur ayat 59. Jadi kaum wanita yang tak memakainya, mereka telah mengingkari hukum syariat Islam dan bagi mereka berlaku ketentuan Allah yang tak bisa ditawar lagi, yaitu hapus pahala shalat, puasa, zakat dan haji mereka?.
Sikap Allah diatas ini sama dengan sikap manusia dalam kehidupan sehari-hari sebagai terlambang dari peribahasa seperti:“Rusak susu sebelanga, karena nila setitik,”. Contoh segelas susu adalah enak diminum. Tetapi kalau dalam susu itu ada setetes kotoran manusia, kita tidak membuang kotoran tersebut lalu meminum susu tersebut, tetapi kita membuang seluruh susu tersebut.
Begitulah sikap manusia jika ada barang yang kotor mencampuri barang yang bersih. Kalau manusia tidak mau meminum susu yang bercampur sedikit kotoran, begitu juga Allah tidak mau menerima amal ibadah manusia kalau satu saja perintah-Nya diingkari.
Di dalam surat Al A’raaf ayat 147, Allah menegaskan lagi sikapNya terhadap wanita yang tak mau memakai jilbab, yang berbunyi sbb.:
“Orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, juga mendustakan akhirat, hapuslah seluruh pahala amal kebaikan. Bukankah mereka tidak akan diberi balasan selain dari apa yang telah mereka kerjakan?”
Kaum wanita yang tak memakai jilbab didalam hidupnya, mereka telah sesuai dengan bunyi ayat Allah diatas ini, hapuslah pahala shalat, puasa, zakat, haji mereka.
Sungguh-sungguh betul harus dikasihani wanita seperti ini dengan menyadarkan mereka supaya patuh kepada Allah, yaitu keharusan memakai jilbab didalam hidup mereka. Kaum wanita yang tak mau memakai jilbab, mengucapkan “Allahu Akbar” didalam shalat mereka, yang artinya “Allah Yang Maha Besar”, Dialah yang Maha Kuasa dan pemimpin tertinggi yang harus dipatuhi seluruh perintahNya, sedang dia adalah hamba Allah yang lemah dan hina dina yang tak berdaya sama sekali.
Tetapi diluar shalat dia tak mau memakai jilbab yang melambangkan ciri khas seorang wanita muslimah. Kalau begitu ucapan “Allahu Akbar” didalam shalat mereka adalah kosong tidak berbekas dihati mereka.
Jadi dapat dimengerti kenapa shalat mereka tidak ada nilainya disisi Allah, atau telah hapus pahalanya sesuai dengan bunyi surat Al Maidah ayat 5 baris terakhir dan surat Al A’raaf ayat 147 di atas tadi.
Kaum wanita yang tak mau memakai jilbab berada dalam neraka sebagaimana bunyi hadits Nabi Muhammad SAW diatas, juda ditegaskan Allah sebagaimana firmanNya di dalam surat Al A’raaf ayat 36 yang artinya seperti:
“Adapun orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal didalamnya”.
Kaum wanita yang tak mau memakai jilbab, adalah mendustakan ayat Allah surat An Nur ayat 31 dan Al Ahzab ayat 59 dan menyombongkan diri terhadap perintah Allah tersebut, maka sesuai dengan bunyi ayat tersebut diatas mereka kekal didalam neraka.
Ummat Islam selama ini menyangka tidak kekal didalam neraka, karena ada syafaat atau pertolongan Nabi Muhammad SAW yang memohon kepada Allah agar ummat yang berdosa dikeluarkan dari neraka. Mereka yang dikeluarkan Allah dari neraka, mereka yang dalam hidupnya ada perasaan takut kepada Allah. Tetapi kaum wanita yang tak mau memakai jilbab, tidak ada perasaan takutnya akan siksa Allah, sebab itulah mereka kekal didalam neraka.
Seseorang yang sadar akan dosanya digambarkan Nabi Muhammad SAW seperti bunyi hadits yang artinya seperti:
“Sesungguhnya seorang mukmin dosanya itu bagaikan bukit besar yang kuatir jatuh padanya, sedang orang kafir memandang dosanya bagaikan lalat yang hinggap diatas hidungnya”. (Riwayat: ……………………)
Sekarang kaum wanita yang tak mau berjilbab, dapat menanya hati nurani mereka masing-masing. Apakah terasa berdosa bagaikan gunung yang sewaktu-waktu jatuh menghimpitnya atau bagaikan lalat yang hinggap dihidung mereka?.
Kalau kaum wanita yang tak mau memakai jilbab, menganggap enteng dosa mereka bagaikan lalat yang hinggap dihidungnya, maka tak akan bertobat didalam hidupnya. Atau dalam perkataan lain tidak ada perasaan takutnya kepada Allah, sebab itu mereka kekal didalam neraka sebagaimana bunyi surat Al-A’raaf ayat 36 di atas. Jadi mereka tak mendapat syafaat atau pertolongan Nabi Muhammad SAW nanti di akhirat.
Banyak sekali kaum wanita yang tak berjilbab sungguhpun mereka mendirikan shalat, puasa, zakat dan haji, tetapi telah hapus nilai pahalanya disisi Allah telah terjadi di zaman kita ini dan akan berketerusan sampai hari kiamat, kecuali dakwah menghidupkan risalah jilbab ini dikerjakan bersama-sama oleh seluruh ummat Islam, yaitu dengan mencetak ulang buku yang tipis ini dengan jumlah yang banyak dan disebarkan secara cuma-cuma ketengah-tengah ummat Islam.
Sesungguhnya banyak kaum wanita yang hapus pahala shalatnya yang hidup di zaman ini dan di zaman yang akan datang, semata-mata karena mereka tidak memakai jilbab didalam hidup mereka, telah diisyaratkan Nabi Muhammad SAW dikala hidup beliau sebagaimana bunyi hadits dibawah ini yang artinya sbb:
“Ada satu masa yang paling aku takuti, dimana ummatku banyak yang mendirikan shalat, tetapi sebenarnya mereka bukan mendirikan shalat, dan neraka jahanamlah bagi mereka”. (Riwayat: ……………………)
Tafsir “…sebenarnya bukan mendirikan shalat…” dari hadits diatas, ialah nilai shalat mereka tidak ada disisi Allah karena telah hapus pahalanya disebabkan kaum wanita mengingkari ayat jilbab. Begitulah Nabi Muhammad SAW memberi peringatan kepada kita semua, bahwa banyak ummatnya dari kaum wanita yang masuk neraka biarpun mereka mendirikan shalat, tetapi tidak memakai jilbab didalam hidup, apakah kita yang mengaku mencintai sesama ummat Nabi Muhammad SAW akan diam berpangku tangan membiarkan kaum wanita berada berketerusan dalam dosa ?.
Kalau begitu dimana letak kecintaan dan persaudaraan kita sesama ummat Islam yang diidam-idamkan Nabi Muhammad SAW dikala hidup beliau banyak yang masuk sorga sebagaimana bunyi hadits beliau yang artinya sbb.:
“Kegembiraanku didalam sorga, ialah melihat banyak ummatku yang masuk sorga”. (Riwayat: ……………………)
Kita mengaku sebagai ummat Nabi Muhammad SAW yang mencintai beliau, apakah tidak ada keinginan hendak menghibur beliau nanti didalam sorga, yang dikala hidupnya bersusah payah bermandikan keringat dan menyabung nyawanya menyampaikan risalah agama Islam ketengah-tengah ummat manusia, dengan hiburan yang paling menggembirakan hati beliau, yaitu dengan melihat ummatnya banyak yang masuk sorga.
Kalau kita merasa mencintai Nabi Muhammad SAW sadarkanlah kaum wanita Islam agar mau memakai jilbab, yaitu dengan mencetak ulang buku yang tipis ini dalam jumlah banyak dan menyebar luaskan ketengah-tengah ummat Islam yang belum sadar atau alpa dengan pentingnya risalah jilbab ini dihidupkan bukan saja oleh anak gadis-gadis sekolah pesantren, tetapi juga oleh seluruh wanita Islam yang mengaku ummat Nabi Muhammad SAW .
Nabi Muhammad SAW sangat mencintai ummatnya, sehingga waktu menjelang wafat, yang teringat oleh beliau adalah ummatnya yang banyak dengan berkata: “Ummatku….. ummatku….. ummatku….”. Nabi Muhammad SAW dikala menghadapi ajalnya, bukan teringat akan anak dan isteri-isterinya yang miskin yang akan beliau tinggalkan, tetapi teringat akan ummatnya agar jangan jatuh masuk neraka, yang salah satu penyebabnya ialah kaum wanita tak mau memakai jilbab.
Kaum wanita yang tak mau memakai jilbab, tidak saja menjerumuskan dirinya sendiri masuk neraka, tetapi juga menjerumuskan suaminya masuk neraka sebagaimana bunyi hadits Nabi Muhammad SAW dibawah ini yang artinya seperti:
“Seorang suami yang membiarkan isterinya keluar rumah dengan terbuka auratnya, maka tiap langkah dari isterinya, dia membangun rumah didalam neraka buat sua-minya”. (Riwayat: ……………………)
Kenapa pihak suami yang membiarkan isterinya keluar rumah tanpa memakai jilbab akan masuk neraka? Karena kaum laki-laki adalah pemimpin di rumah tangga, dan tiap-tiap pemimpin akan diminta pertanggung jawabannya.
Orang tua yang membiarkan anaknya yang perempuan keluar rumah tanpa memakai jilbab, nanti dipengadilan Allah di akhirat mereka akan dituntut oleh anaknya sebagaimana diceritakan Nabi Muhammad SAW dalam hadits berikut:
“Nanti dipengadilan Allah, seorang anak diputuskan Allah masuk neraka. Tetapi sebelum anak tersebut dimasukkan kedalam neraka, si anak menuntut kepada Allah: Ya, Allah, aku tidak ridho masuk neraka, kalau tidak bersama orang tuaku”, kemudian setelah Allah meminta pertanggung jawaban orang tua si anak tadi, maka kedua orangtuanya dimasukkan ke dalam neraka bersama anaknya”. (Riwayat: ……………………)
Demikianlah seorang wanita yang tak memakai jilbab, tidak saja menjuruskan dirinya masuk neraka, tetapi juga suami dan kedua orangtuanya, karena kedua orang tuanya tidak mendidik anak gadisnya memakai jilbab sejak dari kecil, sehingga jilbab itu terasa asing bagi mereka setelah mereka meningkat dewasa.
Kalau begitu gambarannya, sungguh banyak ummat Nabi Muhammad SAW bahwa ummatnya banyak yang masuk neraka, semata-mata karena banyaknya kaum wanita yang tak memakai jilbab, sebab itu kita yang mengaku mencintai Allah dan RasulNya, apakah tidak terpanggil hati untuk mengembirakan Allah dan RasulNya. Menggembirakan Allah, ialah dengan banyaknya hambanya yang bertobat, baik kaum wanita kembali memakai jilbab dalam hidup.
Telah bersabda Rasulullah S.A.W. yang artinya sbb:
“Sesungguhnya Allah lebih gembira menerima taubat hambaNya, melebihi dari kegembiraan seseorang yang menemukan kembali dengan tiba-tiba, untanya yang telah hilang daripadanya ditengah hutan”. (Riwayat: ……………………)
Jika seluruh wanita Islam di Indonesia, Malaysia, Singapore dan Brunei mau memakai jilbab, bukan main kegembiraan Allah melihat banyaknya hamba-hambaNya yang bertobat dan begitu juga Nabi Muhammad SAW bukan main gembiranya melihat banyaknya ummatnya yang masuk sorga.
Tetapi Allah tidak akan merobah nasib ummat Islam nanti di akhirat, sebelum ummat Islam sendiri turun tangan berusaha memperbaiki nasibnya, yaitu dengan menyadarkan kaum wanita agar ikhlas memakai jilbab. Dan salah-satunya cara ialah dengan mencetak ulang buku yang tipis ini dalam jumlah yang banyak dan menyebarkan secara cuma-cuma ketengah-tengah ummat Islam.
Ummat Islam banyak yang menganggap enteng pengadilan Allah dipadang Mahsyar dan siksa neraka. Manusia pada hari kiamat dikumpulkan Allah sejak dari Nabi Adam sampai manusia terakhir yang tak terhingga banyak. Semuanya berdiri telanjang bulat bermandikan keringat dibawah panas matahari yang sangat panas. Lamanya berdiri menurut Nabi Muhammad SAW ialah 50.000 tahun. Bayangkan berdiri ribuan tahun menahan lapar dan haus, bukan main melelahkan sebagaimana yang diceritakan Nabi Muhammad SAW dalam hadits dibawah ini:
“Manusia pada hari kiamat ada yang bermandikan keringat dan bermohon kepada Allah SWT: Ya Allah, beri aku istirahat barang sejenak biarpun dalam api neraka”. (Riwayat: ……………………)
Manusia di padang Mahsyar berada dalam ketakutan, ingat dosa yang banyak dan amal yang sedikit. Sedangkan manusia yang beramal banyak masih berada dalam ketakutan sebagaimana bunyi hadits yang artinya seperti:
“Andaikan dihari kiamat itu ada seorang mempunyai amal tujuh puluh nabi pasti ia akan merasa remeh semua amalnya itu, bahkan ia masih merasa takut tidak akan selamat dari bahaya hari kiamat”. (Riwayat: ……………………)
Jadi dapat dibayangkan rasa takut kaum wanita yang tak memakai jilbab nanti di hari kiamat, karena sadar didalam hidupnya ia berada dalam lautan dosa disebabkan terbuka auratnya di muka umum. Biarpun mereka mengerjakan shalat, puasa, zakat, berzikir dan haji, tetapi semua pahalanya telah hapus disisi Allah SWT. Kaum wanita yang tak mau memakai jilbab lupa akan wasiat Nabi Muhammad SAW yang artinya seperti:
“Jangan kau melihat kecilnya dosa, tetapi perhatikan kepada siapakah kau berdosa itu”. (Riwayat: ……………………)
Kaum wanita yang hidup di zaman ini, menganggap kecil dosa tak memakai jilbab, tetapi mereka lupa bahwa mereka berdosa kepada Allah SWT Tuhan Semesta Alam, Zat Yang Maha Kuasa yang menciptakan dirinya.
Semua manusia lupa perasaan malu berdiri telanjang bulat dihari kiamat, sebagaimana bunyi hadits yang artinya seperti:
“Manusia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan tidak beralas kaki, bertelanjang, dan tidak bersunat, keringatnya hingga mulut mereka, dan sebahagiannya sampai pada cuping telinganya”.. (Riwayat: ……………………).
Isteri Nabi Muhammad SAW yang bernama Saudah bertanya mengenai hadits tersebut diatas yang artinya seperti:
“Ya, Rasulullah, alangkah jeleknya diantara kita yang saling berlihat-lihatan antara yang satu dengan yang lainnya”, lalu Nabi menjawab “Manusia pada waktu itu sangat sibuk dengan urusan mereka, dan setiap diri pada hari itu memiliki urusan yang besar”.. (Riwayat: ……………………)
Bagaimana seramnya hari kiamat itu, dilukiskan Nabi Muhammad SAW dalam hadits berikut ini:
“ Andaikata seorang melakukan amal tujuhpuluh Nabi, niscaya ia merasa sedikit amalannya, karena ngerinya keadaan hari kiamat, dan andaikata setimba dari bahan bakar neraka dituangkan ditempat matahari terbit niscaya akan mendidihkan orang yang berada ditempat matahari terbenam, dan andaikan neraka jahanam itu mengaung sekali saja, niscaya tidak ada Malaikat yang muqorroh atau Nabi dan Rasul melainkan akan bertekuk lutut sambil berkata: Tuhanku, kasihanilah diriku, sehingga Nabi Ibrahim lupa terhadap putranya Ishaq, dan hanya berdoa: Ya Tuhan, aku KholilMu Ibrahim, maka jangan Kau lupakan aku". (Riwayat: ……………………)
Begitu menakutkan hari kiamat dan seramnya neraka jahanam sebagaimana bunyi hadits diatas, tetapi kaum wanita yang tak mau memakai jilbab masih bisa ketawa, enak makan dan enak tidur. Kaum wanita seperti ini betul-betul bangga dirinya disebut wanita modern, berdandan seperti wanita Barat[4] yang tak mengenal Islam, tetapi nanti diakhirat berada dalam kemiskinan amal sebagai sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya seperti:
“Tiada kepapaan yang paling besar, kecuali perasaan bangga diri”. (Riwayat: ……………………)
Tafsir “kepapaan yang paling besar” dari hadits di atas, ialah kemiskinan amal nanti di akhirat disebabkan perasaan bangga diri disebut wanita modern, sebab itu kaum wanita tersebut merasa hina memakai jilbab, yang melambangkan seorang wanita itu disebut wanita muslimah.
Mengingat banyaknya penghuni neraka itu, dapat dibayangkan betapa besarnya api neraka tersebut.
Abu Hurairah, seorang sahabat Nabi Muhammad SAW bercerita mengenai betapa besarnya api neraka tersebut sebagai berikut yang artinya seperti:
“Kami bersama Rasulullah yang kemudian kami mendengar sesuatu yang jatuh, lalu Rasulullah bertanya: Tahukah kamu suara apakah itu? Kami menjawab: Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui. Nabi Menjawab: Itu adalah sebuah batu yang jatuh kedalam neraka jahanam sejak tujuh puluh tahun yang lalu dan kini telah berakhir memasuki dasarnya”. (Riwayat: ……………………)
Betapa panasnya api neraka tersebut dapat dibayangkan dari bunyi hadits berikut ini:
“Allah memerintahkan menyalakan neraka selama 1.000 tahun hingga menjadi merah, kemudian menyalakan lagi 1.000 tahun hingga menjadi berwarna putih, kemudian dinyalakan lagi 1.000 tahun hingga berwarna hitam, yaitu hitam kegelapan”. (Riwayat: ……………………)
Siksa neraka yang paling ringan saja bukan main beratnya sebagaimana yang diceritakan Nabi Muhammad SAW dalam hadits berikut:
“Sesungguhnya yang paling ringan siksaan penduduk neraka pada hari kiamat, yaitu orang tersebut memakai dua sandal dari api neraka itu lalu mendidihkan otaknya dari panas kedua sandalnya”. (Riwayat: ……………………)
Mengenai makanan dan minuman penduduk neraka diceritakan Allah SWT didalam surat Al-Waqiah ayat berikut:
“(51) Kemudian wahai orang-orang yang sesat dan mendustakan, (52) Kamu pasti akan memakan pohon zakum, (53) Pengisi perutmu, (54) Lalu kamu meminum air panas, (55) Sebagai unta yang kehausan, (56) Itulah suguhan untuk mereka pada Hari Pembalasan.”
Mengenai pohon zakum yang menjadi makanan penduduk neraka, Nabi Muhammad SAW menceritakan sbb:
“Jika sekiranya setetes dari makanan zakum itu diteteskan pada segenap lautan dunia, maka akan rusaklah penduduk dunia ini bagi segenap kehidupan penduduknya, lalu bagai manakah bagi orang yang makannya dari makanan zakum tersebut”. (Riwayat: ……………………)
Sungguh tak terbayang beratnya siksaan didalam neraka, memakan pohon zakum dan meminum air mendidih sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Muhammad ayat 15:
“…. Apakah yang demikian itu sama dengan penderitaan orang yang kekal dalam neraka, yang diberi minuman dengan air yang mendidih, lalu memotong usus mereka?”. (Riwayat: ……………………)
Penderitaan penduduk neraka diatas itu masih belum cukup, masih ada siksa yang lebih berat lagi, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Kahfi ayat 29:
“Sesungguhnya Kami menyediakan bagi mereka yang zalim berupa neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta air minum niscaya mereka akan diberi dengan air seperti besi mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek”.
Kalau meminum air mendidih saja tak sanggup kita menahan sakitnya, apalagi meminum air seperti besi mendidih.
Betul-betul Allah SWT maha siksaanNya sebagaimana yang sering diperingatkanNya di dalam Al Qur’an, tetapi wanita Islam yang tak mememakai jilbab tak menyadarinya.
Siksa neraka diatas masih ditambah Allah SWT dengan siksaan yang berikut sebagaimana firmanNya dalam surat An-Nisa ayat 56:
“Sesungguhnya mereka yang kafir dengan ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka kedalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, agar mereka merasakan siksaan. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Dalam surat An-Naba ayat berikut, renungkanlah minuman nanah[5] yang menjijikan bagi penduduk neraka:
“(21) Sesungguhnya neraka jahanam itu, disediakan, (22) untuk tempat kembali bagi orang-orang yang durhaka, (23) Disitu mereka tinggal berabad-abad lamanya, (24) Tidak pernah merasakan kesejukan, tidak pula mendapat minuman, (25) Kecuali air mendidih dan nanah.”
Melihat ingus anak kecil yang berlepotan, kita sudah jijik, apalagi meminum nanah yang dipaksakan oleh malaikat neraka yang kasar-kasar dan bengis-bengis.
Disamping siksa-siksa neraka diatas, masih ada siksa neraka yang tak kalah pedihnya, yaitu disengat kalajengking yang sangat berbisa dan digigit ular-ular berbisa.
Ummat Islam didalam hidupnya, mengucapkan shalawat untuk Nabi Muhammad SAW diakhir shalatnya dengan ucapan yang berbunyi “ Allahuma Shali ala Muhammad ”. Shalawat kita kepada Nabi Muhammad SAW adalah suatu doa kepada Allah SWT untuk Muhammad SAW yang artinya “Ya Allah berkahilah kehidupan Muhammad”. Kenapa kita sebagai ummat Nabi Muhammad SAW mendoakan beliau dengan doa tersebut diatas, sedangkan beliau sudah jelas masuk sorga dan pemimpin ummat manusia nanti disorga. Doa yang pendek tersebut diatas untuk Nabi Muhammad SAW, adalah lambang kecintaan kita sebagai ummat Muhammad SAW kepada beliau, agar Allah SWT mengkaruniai beliau yang salah satu diantaranya dilambangkan dengan meratanya kaum wanita Islam memakai Jilbab, sehingga banyak ummat Islam masuk sorga, yang merupakan kegembiraan paling besar bagi Nabi Muhammad SAW di sorga yang akan dibanggakannya kepada para nabi-nabi yang lain. Jadi begitulah tujuan kita bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW.
Tetapi jika kaum wanita Islam yang jumlah demikian banyaknya tidak memakai jilbab, jelaslah akan banyak ummat Muhammad SAW nanti yang masuk neraka, tidak ada kegembiraan nabi Muhammad SAW nanti di sorga, dan tidak ada yang akan dibanggakannya nanti kepada para nabi-nabi yang lain.
Kalau begitu apa konsekwensi shalawat kita kepada Nabi Muhammad SAW yang melambangkan kecintaan kita kepada beliau, harus diikuti dengan perjuangan yang sungguh-sungguh dan tidak henti-hentinya menyadarkan kaum wanita agar ikhlas memakai jilbab. Dan salah-satunya cara yang penulis lihat ialah dengan menyebar luaskan buku tipis ini agar dibaca oleh seluruh ummat Islam. Tetapi jika anda bersikap diam saja, berarti tidak ada kecintaan anda kepada Nabi Muhammad SAW, dan shalawat anda adalah kosong, karena tidak ada perbuatan anda yang sesuai dengan bunyi shalawat anda.
Nabi Muhammad SAW telah bersabda:
“Perumpamaan orang yang berdo’a tanpa amal, bagaikan orang yang memanah tanpa senar”. (Riwayat: ……………………)
Sesuai dengan bunyi hadits Nabi Muhammad SAW diatas ini, ummat Islam yang berpangku tangan membiarkan kaum wanita yang tak mau memakai jilbab, berarti doanya yang terlambang dalam shalawatnya untuk Nabi Muhammad SAW, bagaikan orang yang memanah tanpa senar, tidak ada bukti kecintaan mereka kepada Nabi Muhammad SAW
Patut anda ketahui, menghidupkan sunnah Rasul yang sudah hilang adalah tinggi nilainya disisi Allah SWT sebagaimana bunyi hadits dibawah ini yang artinya sbb.:
“Mereka yang menghidupkan sunnah-sunnahku yang sudah hilang ditengah-tengah kekacauan ummatku, pahalanya sama dengan pahala seratus orang mati syahid”. (Riwayat: ……………………)
Kalau menghidupkan sunnah Rasul yang sudah hilang demikian tinggi nilai pahalanya, apalagi menghidupkan perintah Allah SWT, yaitu keharusan wanita memakai jilbab yang sudah dilupakan atau dianggap sepele oleh kaum wanita, tentu pahalanya tidak kurang dari pahala seratus orang yang mati syahid.
Apakah anda tidak menginginkan pahala seratus orang mati syahid, biarpun perang agama yang dilalui Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya telah lewat dan tak mungkin terjadi lagi?
Patut anda ketahui, orang mati syahid diberi Allah SWT kesempatan memasukan 70 orang dari anggota keluarganya ke dalam sorga. Jadi kalau anda mendapat pahala 100 orang mati syahid, anda dapat memasukan 7.000 orang dari anggota keluarga anda masuk sorga, mulai dari nenek moyang anda sampai anak cucu keturunan anda. Inilah satu kegembiraan penduduk sorga yang paling besar nanti, jika dapat berkumpul dengan kaum keluarga.
Jadi ini kesempatan yang paling berharga yang diberikan kepada ummat Muhammad SAW yang hidup dibelakangnya.
Sebab itu sekali lagi penulis menghimbau ummat Islam agar mau mengeluarkan hartanya untuk mencetak ulang buku tipis yang sederhana ini didalam jumlah yang banyak dan menyebar luaskan ketengah-tengah ummat Islam. Kalau perlu bagi mereka yang kaya, juga menyediakan busana muslimahnya bagi mereka yang kurang mampu agar shalawat anda betul-betul cocok dengan kemampuan anda, lambang kecintaan anda kepada Nabi Muhammad SAW.
Ummat Islam di abad ini memimpikan kenaikan Islam yang mereka idam-idamkan selama ini. Kenaikan Islam, bukan ditandai oleh banyak mesjid yang besar-besar dan indah yang kita bangun, bukan pula ditandai oleh banyaknya orang Islam yang pintar-pintar dan kaya-kaya. Kenaikan Islam ditandai oleh banyaknya ummat Muhammad SAW yang bertaqwa kepada Allah SWT, salah satu dilambangkan dengan meratanya kaum wanitanya memakai jilbab, lambang mereka wanita muslimah.
Nabi Muhammad SAW tidak bangga dengan banyaknya mesjid yang besar-besar dan indah-indah yang kita bangun, sebagaimana bunyi hadits yang artinya sbb.:
“Dibelakang hari banyak ummatku yang membangun mesjid, tetapi demi keindahan dan kebanggaan saja” (Riwayat: ……………………)
dari bunyi hadits Nabi Muhammad SAW diatas, beliau akan lebih bangga kalau ummatnya dari golongan kaum wanita seluruh memakai jilbab dari pada melihat bangunan mesjid yang besa-besar dan indah-indah.
Menghidupkan risalah jilbab ini adalah termasuk jihad fisabilillah, suatu perjuangan yang berat dalam menyadarkan wanita Islam agar kenal identitasnya sebagai wanita muslimah, lebih berat dari membangun mesjid yang besar-besar dan indah-indah. Sebab itu kenapa nilai amalnya sangat tinggi disisi Allah SWT .
Ummat Islam mengucapkan : “assalamualaikum warahmatullah wa barakatu” di pembukaan pidatonya di muka umum dan diakhir shalatnya. Ucapan diatas adalah suatu doa untuk sesama ummat Muhammad SAW yang artinya “Semoga keselamatan bagi anda dengan rahmat Allah” . Dengan doa seperti diatas, kita mengharapkan agar mereka selamat dunia dan juga selamat nanti diakhirat.
Tetapi jika kita membiarkan saja kaum wanita Islam tak memakai jilbab, berarti banyak ummat Muhammad SAW yang tak selamat nanti di akhirat, dan ucapan salam kita tadi akan diminta pertanggung jawaban oleh Allah SWT, sebagaimana firmanNya di dalam Al Qur’an yang artinya sbb.:
“Sesungguhnya penglihatan, pendengaran, hati dan pikiran itu akan diminta pertanggung jawaban”.
Tanyalah diri anda sendiri, berapa banyak anda telah mengucapkan ‘asslamu’alaikum’ pada waktu anda berpidato, waktu ketemu sesama muslim dan diakhir shalat anda, tetapi sebaliknya kaum keluarga anda yang perempuan, kenalan anda yang perempuan yang tak akan selamat nanti diakhirat karena tak memakai jilbab, anda biarkan saja dibawah penglihatan anda.
Kalau begitu ucapan salam anda kosong, bagaikan orang yang memanah tanpa senar.
HIKMAH MEMAKAI JILBAB
Sekarang ini kalau ada kaum wanita yang memakai kerudung banyak yang salah. Mereka memakai selendang yang hanya menutup sebagian saja rambutnya, atau memakai topi dimana telinganya dan leher masih kelihatan. Jelas ini salah dan berdosa karena merobah-robah ketentuan Allah SWT bagaimana seorang wanita harus memakai kerudung kepala.
Gambar di Caver adalah lukisan seorang wanita bagaimana seharusnya memakai kerudung atau jilbab. Sungguh-sungguh betul agung dan mulia wanita seperti lukisan di atas dalam pandangan Allah SWT, para malaikat dan orang beriman dan nyata bedanya dengan wanita yang bukan muslimah. Kaum wanita yang memakai kerudung seperti photo diatas dan berbusana muslimat yang lengannya sampai pergelangan tangan dan memakai rok sampai mata kaki, mereka dapat mengerjakan shalat tanpa memakai mukenah.
Dengan memakai jilbab dan busana muslimat, kaum wanita dapat mengerjakan shalat di mana saja, lebih-lebih bagi mereka yang dalam perjalanan, seperti naik kereta api atau kapal udara. Banyak kaum wanita tidak mengerjakan shalat waktu keluar rumah karena tak membawa mukenah, dan ini besar risikonya sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW dibawah ini:
“Siapa yang meninggalkan shalat satu kali saja dengan sengaja, maka namanya ditulis dipintu neraka” (Riwayat: ……………………)
Hikmah yang lain dari wanita memakai jilbab, yaitu bagi mereka yang sudah bersuami. Suami istri yang habis bersenggama wajib melakukan mandi junub, kalau tidak maka shalatnya tidak diterima Allah SWT. Kaum wanita yang tak mau memakai jilbab, malu melakukan mandi junub, karena tiap kali rambutnya basah. Tetapi dengan memakai jilbab, wanita yang sudah mandi junub, rambutnya yang basah tidak akan dilihat orang. Mandi junub ini adalah perintah Allah SWT dan sunnah Rasul yang boleh dikatakan tak dikenal lagi oleh ummat Islam, karena para ulama tak pernah mendakwahkan, begitu juga orang tua tak pernah menasehati anak mereka yang akan kawin agar melakukan mandi junub sehabis bersenggama.
Sungguh banyak ummat Islam yang shalatnya tak diterima Allah SWT, semata-mata karena tidak melakukan mandi junub tersebut. Mandi junub ini harus dilakukan oleh anak laki-laki yang sudah pernah kedatangan mimpi dan mengeluarkan mani didalam tidurnya. Mandi junub yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW sbb.:
“Sebelum mandi berwudhuk dahulu, Baru kemudian mandi junub dengan membasahi seluruh badan mulai dari rambut dengan berniat terlebih dahulu, “ Aku sengaja mandi junub mandi junub ikhlas karena Allah”. Setelah selesai mandi junub, beliau berwudhuk lagi untuk mengerjakan shalat.”
Jadi dengan menyebarluaskan buku ini anda tidak saja menghidupkan risalah jilbab, tetapi juga menghidupkan kewajiban mandi junub, salah satu sunnah Rasul yang sudah hilang.
Bagi kaum wanita yang sadar mau memakai jilbab, janganlah memakai jilbab karena mengharap masuk sorga atau takut masuk neraka, tetapi dengan niat semata-mata mencari ridha Illahi.
PENUTUP
Dengan taksiran kaum wanita Islam Indonesia, Malaysia, Singapore dan Brunei ada 90 juta orang, maka diperlukan 90 juta exemplar buku ini yang harus dicetak. Jika ongkos cetak satu buku Rp. 150,-,[6] maka diperlukan dana sebesar Rp. 13.5 milyar untuk proyek dakwah risalah jilbab ini. Jumlah ini cukup besar, kecuali jika orang-orang kaya turun tangan demi pengabdian kepada Allah SWT.
Seandainya Sultan Brunei bersedia turun tangan membiayai penyebaran buku ini dengan dana sekitar Rp. 5.8 milyar atau US$ 3 juta tidak ada artinya bagi beliau dibandingkan dengan rizki yang banyak yang dikaruniakan Allah SWT dari hasil eksport minyaknya.
Bagi yang kurang mampu, bergotong royonglah mencetak buku ini biarpun dalam jumlah yang sedikit, tetapi dikerjakan terus menerus sebagaimana bunyi hadits berikut yang artinya:
“Amal yang paling disukai Allah ialah amal yang dikerjakan terus-menerus, biarpun sedikit”. (Riwayat: ……………………)
Kepada yang sudah membaca buku ini, edarkanlah buku ini kepada kaum keluarga dan kenalan anda, dengan diiringi doa yang artinya sbb.:
“Ya Allah, bukakanlah hati kaum wanita Islam agar mau memakai jilbab dan bukakan juga hati orang kaya Islam agar mau mencetak buku yang berjudul : “Jilbab dan Siksa beraka yang disepelekan Ummat Islam” agar tersebar luas ditengah-tengah ummat Islam dalam rangka menyelamatkan ummat Muhammad SAW dari kejatuhan kedalam neraka. Jika tidak Engkau tolong kami, maka banyak sekali kaum wanita Islam yang tak akan sabar memakai jilbab sebagaimana yang Engkau perintahkan sampai hari kiamat”.
Akhirnya penulis akhiri tulisan ini, dengan memohon ampun kepada Allah SWT sekiranya ada yang salah dalam tulisan. Amien..!.
Drs. Muhammad S.A.
________________
1. AZAB KOMA DI TANAH SUCI
Subject: [daarut-tauhiid] Azab Koma di Tanah Suci
Date: Thu, 06 Jan 2000 03:24:05 +0100
From: Indratmoko Poerwanto <indra99@gmx.net>
Reply-To: daarut-tauhiid@egroups.com
Organization: none
To: daarut-tauhiid@egroups.com
Assalamu'alaikum wr.wb.
Sehubungan dengan diskusi mengenai jilbab, saya teringat pernah mendapatkan sebuah tulisan/kisah dari seorang netter berkenaan dengan hal itu. Mudah-mudahan kita semua bisa mengambil manfaat dan pelajaran darinya. Wassalamu'alaikum wr.wb.
---------------------------------------------------------------
Azab Koma di Tanah Suci
Selama hampir sembilan tahun menetap di Mekah dan membantu ayah saya menguruskan jemaah haji dan umrah, saya telah melalui pelbagai pengalaman menarik dan pelik. Bagaimanapun, dalam banyak-banyak peristiwa itu, ada satu kejadian yang pasti tidak akan saya lupakan sampai bila-bila. Ianya berlaku kepada seorang wanita yang berusia di pertengahan 30-an. Kejadian itu berlaku pada pertengahan 1980-an semasa saya menguruskan satu rombongan haji. Ketika itu umur saya 20 tahun dan masih menuntut di Universiti al-Azhar, Kaherah. Kebetulan ketika itu saya balik ke Mekah sekejap untuk menghabiskan cuti semester. Saya menetap di Mekah mulai 1981 selepas menamatkan pengajian di sekolah agama Gunung Semanggol, Perak.
Keluarga saya memang semuanya di Mekah, cuma saya seorang saja tinggal dengan nenek saya di Perak. Walaupun masih muda, saya ditugaskan oleh bapa saya, haji Nasron untuk menguruskan jemaah haji dan umrah memandangkan saya adalah anak sulung dalam keluarga.
Berbalik kepada cerita tadi, ketibaan wanita tersebut dan rombongan haji di lapangan terbang Jeddah kami sambut dengan sebuah bas. Semuanya nampak riang sebab itulah kali pertama mereka mengerjakan haji. Sebaik sampai, saya membawa mereka menaiki bas dan dari situ, kami menuju ke Madinah. Alhamdulillah, segalanya berjalan lancar hinggalah kami sampai di Madinah. Tiba di Madinah, semua orang turun dari bas berkenaan. Turunlah mereka seorang demi seorang sehingga tiba kepada giliran wanita terbabit. Tapi tanpa apa-apa sebab, sebaik sahaja kakinya mencecahkan bumi Madinah, tiba-tiba wanita itu tumbang tidak sedarkan diri.
Sebagai orang yang dipertanggungjawabkan mengurus jemaah itu, saya pun bergegas menuju ke arah wanita berkenaan.
"Kakak ni sakit," kata saya pada jemaah-jemaah yang lain.
Suasana yang tadinya tenang serta merta bertukar menjadi cemas. Semua jemaah nampak panik dengan apa yang sedang berlaku. "Badan dia panas dan menggigil. Kakak ni tak sedarkan diri,cepat tolong saya. . . kita bawa dia ke hospital," kata saya.
Tanpa membuang masa, kami mengangkat wanita tersebut dan membawanya ke hospital Madinah yang terletak tidak jauh dari situ. Sementara itu, jemaah yang lain dihantar ke tempat penginapan masing-masing. Sampai di hospital Madinah, wanita itu masih belum sedarkan diri. Berbagai-bagai usaha dilakukan oleh doktor untuk memulihkannya, namun semuanya gagal.
Sehinggalah ke petang, wanita itu masih lagi koma. Sementara itu, tugas mengendalikan jemaah perlu saya teruskan. Saya terpaksa meninggalkan wanita tersebut terlantar di hospital berkenaan. Namun dalam kesibukan menguruskan jemaah, saya menghubungi hospital Madinah untuk mengetahui perkembangan wanita tersebut. Bagaimanapun, saya diberitahu dia masih tidak sedarkan diri.
Selepas dua hari, wanita itu masih juga tidak sedarkan diri. Saya makin cemas, maklumlah, itu adalah pengalaman pertama saya berhadapan dengan situasi seperti itu. Memandangkan usaha untuk memulihkannya semuanya gagal, maka wanita itu dihantar ke hospital Abdul Aziz Jeddah untuk mendapatkan rawatan lanjut sebab pada masa itu hospital di jeddah lebih lengkap kemudahannya berbanding hospital madinah.
Namun usaha untuk memulihkannya masih tidak berhasil. Jadual haji mesti diteruskan. Kami bertolak pula ke Mekah untuk mengerjakan ibadat haji. Selesai haji, sekali lagi saya pergi ke Jeddah.
Malangnya, bila sampai di hospital King Abdul Aziz, saya diberitahu oleh doktor bahawa wanita tersebut masih koma. Bagaimanapun, kata doktor, keadaannya stabil. Melihat keadaannya itu, saya ambil keputusan untuk menunggunya di hospital.
Selepas dua hari menunggu, akhirnya wanita itu membuka mata-nya. Dari sudut matanya yang terbuka sedikit itu, dia memandang ke arah saya. Tapi sebaik saja terpandang wajah saya, wanita tersebut terus memeluk saya dengan erat sambil menangis teresak-esak. Sudah tentu saya terkejut sebab saya ni bukan muhrimnya. Tambahan pula kenapa saja dia tiba-tiba menangis?
Saya bertanya kepada wanita tersebut, "Kenapa kakak menangis?
"mazlan . . . kakak taubat dah lan. Kakak menyesal, kakak takkan buat lagi benda-benda yang tak baik. Kakak bertaubat, betul-betul taubat".
"Kenapa pulak ni kak tiba-tiba saja nak bertaubat?", tanya saya masih terpinga-pinga. Wanita itu terus menangis teresak-esak tanpa menjawab pertanyaan saya itu. Seketika kemudian dia bersuara, menceritakan kepada saya mengapa dia berkelakuan demikian, cerita yang bagi saya perlu diambil iktibar oleh kita semua.
Katanya, "mazlan, kakak ni sudah berumah tangga, kahwin dengan lelaki orang putih. Tapi kakak silap. Kakak ini cuma Islam pada nama dan keturunan saja. Ibadat satu apa pun kakak tak buat.
Kakak tak sembahyang, tak puasa, semua amalan ibadat kakak dan suami kakak tak buat. Rumah kakak penuh dengan botol arak. Suami kakak tu kakak sepak terajang, kakak pukul-pukul saja", katanya tersedu-sedan.
"Habis yang kakak pergi haji ini?"
"Yalah. . . kakak tengok orang lain pergi haji, kakak pun teringin juga nak pergi."
"Jadi apa sebab yang kakak menangis sampai macam ni sekali. Ada sesuatu ke yang kakak alami semasa sakit?", tanya saya lagi.
Dengan suara tersekat-sekat, wanita itu menceritakan, "mazlan. . .Allah itu Maha Besar, Maha Agung, Maha Kaya. Semasa koma itu, kakak telah di azab dengan seksaan yang benar-benar pedih atas segala kesilapan yang telah kakak buat selama ini".
"Betul ke kak?" tanya saya, terkejut.
"Betul mazlan. Semasa koma itu kakak telah ditunjukkan oleh Allah tentang balasan yang Allah beri kepada kakak. Balasan azab lan, bukan balasan syurga. Kakak rasa seperti di azab di neraka.
"Kakak ni seumur hidup tak pernah pakai tudung. Sebagai balasan, rambut kakak di tarik dengan bara api. Sakitnya tak boleh nak kakak ceritakan macam mana pedihnya. Menjerit-jerit kakak minta ampun minta maaf kepada Allah. "Bukan itu saja, buah dada kakak pula diikat dan disepit dengan penyepit yang dibuat drp bara api, kemudian ditarik kesana-sini. . . putus, jatuh ke dalam api neraka. Buah dada kakak rentung terbakar, panasnya bukan main. Kakak menjerit, menangis kesakitan.
Kakak masukkan tangan ke dalam api itu dan kakak ambil buah dada tu balik".
Tanpa mempedulikan pesakit lain dan jururawat memerhatikannya wanita itu terus bercerita. Menurutnya lagi, setiap hari dia diseksa, tanpa henti, 24 jam sehari. Dia tidak diberi peluang langsung untuk berehat atau dilepaskan daripada hukuman. Sepanjang masa koma itu dilaluinya dengan azab yang amat pedih. Dengan suara tersekat-sekat, dengan air mata yang makin banyak bercucuran, wanita itu meneruskan ceritanya,
"Hari-hari kakak diseksa. Bila rambut kakak ditarik dengan bara api, sakitnya terasa seperti nak tercabut kulit kepala. Panasnya pula menyebabkan otak kakak terasa seperti menggelegak. Azab itu cukup pedih. . . pedih yang amat sangat. . . tak boleh nak diceritakan".
Sambil bercerita, wanita itu terus meraung, menangis teresak-esak. Nyata dia betul-betul menyesal dengan kesilapannya dahulu. Saya pula terpegun, kaget dan menggigil mendengar ceritanya. Begitu sekali balasan Allah kepada umatnya yang ingkar.
"Mazlan. . . kakak ni nama saja Islam, tapi kakak minum arak, kakak main judi dan segala macam dosa besar. Kerana kakak suka makan dan minum apa yang diharamkan Allah, semasa tidak sedarkan diri itu kakak telah diberi makan buah-buahan yang berduri tajam. Tak ada isi pada buah itu melainkan duri-duri saja. Tapi kakak perlu makan buah-buah itu sebab kakak betul-betul lapar.
"Bila ditelan saja buah-buah itu, duri-durinya menikam kerongkong kakak dan bila sampai ke perut, ia menikam pula perut kakak. Sedangkan jari yang tercucuk jarum pun terasa sakitnya, inikan pula duri-duri besar menyucuk kerongkong dan perut kita. "Habis saja buah-buah itu kakak makan, kakak diberi pula makan bara-bara api. Bila kakak masukkan saja bara api itu ke dalam mulut, seluruh badan kakak rasa seperti terbakar hangus. Panasnya cuma Allah saja yang tahu. Api yang ada di dunia ini tidak akan sama dengan kepanasannya. "Selepas habis bara api, kakak minta minuman, tapi. . . kakak dihidangkan pula dengan minuman yang dibuat dari nanah. Baunya cukup busuk.
Tapi kakak terpaksa minum sebab kakak sangat dahaga. Semua terpaksa kakak lalui. . . azabnya tak pernah rasa, tak pernah kakak alami sepanjang kakak hidup di dunia ini".
Saya terus mendengar cerita wanita itu dengan tekun. Terasa sungguh kebesaran Allah.
"Masa diazab itu, kakak merayu mohon kepada Allah supaya berilah kakak nyawa sekali lagi, berilah kakak peluang untuk hidup sekali lagi. Tak berhenti-henti kakak memohon.
Kakak kata kakak akan buktikan bahawa kakak tak akan ulangi lagi kesilapan dahulu.
Kakak berjanji tak akan ingkar perintah Allah akan jadi umat yg soleh. Kakak berjanji kalau kakak dihidupkan semula, kakak akan tampung segala kekurangan dan kesilapan kakak dahulu, kakak akan mengaji, akan sembahyang, akan puasa yang selama ini kakak tinggalkan".
Saya termenung mendengar cerita wanita itu. Benarlah, Allah itu Maha Agung dan Maha Berkuasa. Kita manusia ini tak akan terlepas daripada balasan-Nya.
Kalau baik amalan kita maka baiklah balasan yang akan kita terima, kalau buruk amalan kita, maka azablah kita di akhirat kelak.
Alhamdulillah, wanita itu telah menyaksikan sendiri kebenaran Allah.
"Ini bukan mimpi mazlan. Kalau mimpi azabnya takkan sampai pedih macam tu sekali.
Kakak bertaubat mazlan, kakak tak akan ulangi lagi kesilapan kakak dahulu.
Kakak bertaubat. . . kakak taubat nasuha", katanya sambil menangis-nangis.
Sejak itu wanita berkenaan benar-benar berubah. Bila saya membawanya ke Mekah, dia menjadi jemaah yang paling warak. Amal ibadahnya tak henti-henti.
Contohnya, kalau wanita itu pergi ke masjid pada waktu maghrib, dia cuma akan balik ke bilik-nya semula selepas sembahyang subuh.
"Kakak. . . yang kakak sembahyang teruk-teruk ni kenapa. Kakak kena jaga juga kesihatan diri kakak. Lepas sembahyang isyak tu kakak baliklah, makan nasi, berehat. . . ", tegur saya. "Tak apalah mazlan. Kakak ada bawa buah kurma. Bolehlah kakak makan semasa kakak lapar.
"Menurut wanita itu, sepanjang berada di dalam masjidil haram, dia mengqadakan semula sembahyang yang ditinggalkannya dahulu. Selain itu dia berdoa, mohon kepada Allah supaya mengampunkan dosanya. Saya kasihan melihatkan keadaan wanita itu, takut kerana ibadah dan tekanan perasaan yang keterlaluan dia akan jatuh sakit pula. Jadi saya menasihatkan supaya tidak beribadat keterlaluan hingga mengabaikan kesihatannya.
"Tak boleh mazlan. Kakak takut. . . kakak dah merasai pedihnya azab Tuhan.
Mazlan tak rasa, mazlan tak tau. Kalau mazlan dah merasai azab itu, mazlan juga akan jadi macam kakak. Kakak betul-betul bertaubat".
Wanita itu juga berpesan kepada saya, katanya, "mazlan, kalau ada perempuan Islam yang tak pakai tudung, mazlan ingatkanlah pada mereka, pakailah tudung. Cukuplah kakak seorang saja yang merasai seksaan itu, kakak tak mau wanita lain pula jadi macam kakak. "Semasa diazab, kakak tengok undang-undang yang Allah beri ialah setiap sehelai rambut wanita Islam yang sengaja diperlihatkan kepada orang lelaki yang bukan muhrimnya, maka dia diberikan satu dosa. Kalau 10 orang lelaki bukan muhrim tengok sehelai rambut kakak ini, bermakna kakak mendapat 10 dosa.
"Tapi mazlan, rambut kakak ini banyak jumlahnya, beribu-ribu. . . kalau seorang tengok rambut kakak, ini bermakna beribu-ribu dosa yang kakak dapat.
Kalau 10 orang tengok, macam mana? Kalau 100 orang tengok? itu sehari, kalau hari-hari kita tak pakai tudung macam kakak ni? Allah. . .
"Kakak berazam, balik saja dari haji ini, kakak akan minta tolong dari ustadz supaya ajar suami kakak sembahyang, puasa, mengaji, buat ibadat.
Kakak nak ajak suami pergi haji. Seperti mana kakak, suami kakak tu islam pada nama saja.
Tapi itu semua kesilapan kakak. Kakak sudah bawa dia masuk Islam, tapi kakak tak bimbing dia. Bukan itu saja, kakak pula yang jadi seperti orang bukan islam".
Sejak balik dari haji itu, saya tak dengar lagi apa-apa cerita tentang wanita tersebut. Bagaimanapun, saya percaya dia sudah menjadi wanita yang benar-benar solehah. Adakah dia berbohong kepada saya tentang ceritanya diazab semasa koma?
Tidak. Saya percaya dia bercakap benar. Jika dia berbohong, kenapa dia berubah dan bertaubat nasuha? Satu lagi, cubalah bandingkan azab yang diterimanya itu dengan azab yang digambarkan oleh Allah dan Nabi dalam al-Quran dan Hadis.
Adakah ia bercanggah? Benar, apa yang berlaku itu memang kita tidak dapat membuktikannya secara saintifik, tapi bukankah soal dosa dan pahala, syurga dan neraka itu perkara ghaib? Janganlah bila kita sudah meninggal dunia, bila kita sudah diazab barulah kita mahu percaya bahwa "Oh. . . memang betul apa yang Allah dan Rasul katakan. Aku menyesal". itu dah terlambat.
------- End of Forwarded Message------------
2. AMAL BAIK DAN AMAL BURUK
Subject: [daarut-tauhiid] Sebuah Alkisah.....
Date: Mon, 17 Jan 2000 19:59:54 +0700
From: "Nani Mintarsih" <nani@centrin.net.id>
Reply-To: daarut-tauhiid@egroups.com
To: <daarut-tauhiid@egroups.com>, <ade@ifs.co.id>,
<supray@hotmail.com>
ASS. WR. WB
Sebuah Alkisah.........
Begini.......
Sebagai bilal pengurusan jenazah, banyak pengalaman yang telah saya tempuhi. Ada di antaranya yang cukup menyedihkan. Tidak kurang juga yang benar-benar memberi keinsafan. Salah satu daripada pengalaman-pengalaman itu membabitkan masalah kain kapan tidak muat padahal mayat yang hendak di kapankan bersaiz kecil. Ini bertentangan dengan satu lagi mayat yang saya uruskan, di mana kain kapannya mencukupi walapun orangnya berbadan tinggi dan gemuk.
Sepanjang pengelaman saya dalam pengurusan jenazah sejak lebih 30 tahun lalu, saya mengunakan kain kapan sebanyak 24 ela untuk mengapankan mayat. Jumlah itu selalunya mencukupi tidak kira sama ada mayat bersaiz besar atau kecil, gemuk atau kurus. Tetapi sewaktu menguruskan satu jenazah di negeri Selangor beberapa tahun lalu, kain kapan sebanyak 24 ela yang saya sediakan itu tidak mencukupi padahal mayatnya kecil sahaja.
Mayat itu berkeadaan biasa, berbadan kurus dengan ketinggian lebih kurang lima kaki. Saya di beritahu arwah meninggal dunia kerana sakit jantung. Orangnya sudah tua, umurnya sekitar 60-an. Seperti biasa sebelum memandikan mayat, saya memotong dahulu kain kapannya sebanyak tiga keping.
Panjangnya mengikut ketinggian arwah kemudian ditambah satu hasta di hujung kepala dan satu hasta di hujung kaki. Selepas semuanya siap disusun, saya mula memandikan arwah dengan bantuan adik saya, Rafeah.
Tiada keanehan ketara berlaku semasa arwah di mandikan, cuma mukanya agak kuning dan najisnya, Maha Suci Allah amat banyak. Makin dikorek makin banyak yang keluar. "Eh, ada lagi najis", kata adik saya Rafeah kehairanan. Selalunya tidak sampai setengah jam, najis sudah habis keluar tetapi yang ini, lebih 45minit baru habis. Setelah lebih dua jam berlalu, baru selesai tugas kami memandikan mayat itu. Selalunya satu setengah jam sudah mencukupi.
Bila semuanya sudah bersih, arwah dipindahkan untuk dikapan. Sebaik sahaja arwah diletakkan ke atas kain kapan, saya terperanjat besar bila mendapati kain putih yang saya sediakan tadi tidak muat. Entah macam mana kain kapan di hujung kepala dan di hujung kakinya cuma tinggal satu jari sahaja.
"Eh, kenapa tak cukup. Takkan salah potong", saya berkata pada adik saya.
Wajahnya turut berkerut kehairanan bila mendapati kain kapan yang kami sediakan itu tidak muat. Kami berdua sama-sama bingung dan bertanya-tanya di mana silapnya. Nak katakan saya tersalah ukur semasa memotong tadi, mustahil. Rafeah sendiri menyaksikan dan membantu saya memotong kain itu.
Sudah bertahun-tahun kami berdua melakukan perkerjaan ini, tidak mungkin kami tersalah potong. Nak katakan pembekal kain bersalah ukur, juga tidak mungkin.
Sebelum memotong, kami mengukur terlebih dahulu kain kapan itu dan mendapatinya cukup 24 ela. Setiap kali berlaku kematian, orang yang sama itulah yang membekalkan kain kapan kepada saya. Tidak mungkin dia tersalah ukur. Saya mula berkecimpung dalam pengurusan jenazah sejak berusia 17 tahun lagi. Waktu itu saya mengikut nenek saya menguruskan jenazah di kawasan Klang sebelum di lantik sebagai bilal pengurusan jenazah wanita oleh Jabatan Agama Islam Selangor pada tahun 1973.
sepanjang tempoh pembabitan saya dalam bidang itu, inilah kali pertama saya berdepan dengan masalah saya berdepan dengan masalah kain kapan tidak muat.
Mungkin inilah yang dikatakan habuan dan bahagian masing-masing. Entah apa amalan arwah semasa hayatnya hanya Tuhan sahaja yang mengetahui. Semoga Tuhan meng-ampunkan segala dosanya dan mencucuri rahmat di atas rohnya.
Untuk menambah kain putih yang lain, dah tak ada. Kain yang saya bawa itu semuanya sudah di pakai, tiada lagi saki-bakinya. Mahu tak mahu mayat arwah dikapankan juga menggunakan apa yang ada. Maha Suci Allah, saya sekali lagi teperanjat beser bila mendapati kain kapan itu tidak mencukupi untuk membungkus mayat arwah.
Bahagian tengahnya ternganga seperti membungkus nasi lemak. Selalunya kain kapan yang saya sediakan boleh menutup hingga ke bahagian tepi. Puas saya tarik untuk cuba menutup bahagian yang ternganga tetapi gagal. Untuk mengatasi masalah itu, saya terpaksa menggunakan kapas untuk menutup bahagian yang ternganga sebelum mengikatnya kemas-kemas.
Sebaik sahaja selesai kerja-kerja mengapan, arwah disembahyangkan kemudian dibawa ke tanah perkuburan. Dan dengan itu selesailah kewajiban saya. Namun cerita-cerita daripada salah seorang yang membantu kerja-kerja pengebumian jenazah membuatkan diri saya menjadi bertambah bingung.
Menurutnya, semasa jenazah hendak dikebumikan, satu keanehan berlaku yang benar-benar memberi keinsafan kepada sesiapa sahaja yang hadir. Ketika jenazah diturunkan, liang lahad yang disediakan didapati tidak cukup panjang hingga menyebabkan bahagian kaki jenazah membengkok. Akibatnya, jenazah terpaksa ditarik naik dan liang lahad digali semula. Bila kubur siap di gali, jenazah diturunkan untuk kali kedua. Allah Maha Besar, liang lahad masih sempit walaupun telah digali melebihi enam kaki. Setiap yang hadir bertambah hairan. Apakah amalannya hingga di seksa begitu rupa?
Jenazah dinaikkan semula dan liang lahad ditebuk lagi untuk kali ketiga. Bila selesai kerja-kerja menggali, jenazah diturunkan. Alhamdulillah, cubaan kali ketiga berjaya dan jenazah akhirnya selamat dikebumikan. Masing-masing menghembus nafas lega.
Apa yang berlaku pada jenazah itu memanglah menyedihkan. Saya sendiri tertanya-tanya bagaimana kain kapan yang saya bawa itu tidak muat dengannya. Untuk memastikan kedudukan sebenarnya, saya pergi ke kedai yang membekalkan kain kapan kepada saya untuk bertanya berapa banyak kain putih yang dibekalkan kepada saya. Jika betul 24 ela,kenapa kain itu tidak cukup sedangkan mayat yang dikapankan bersaiz kecil.
Jawapan yang diberikan oleh pekedai itu menyedarkan saya tentang kebesaran Allah. Menurutnya, kain putih yang dibekalkan kepada saya sama seperti kebiasaannya, ia itu 24 ela. Jika kain itu tidak mencukupi itu bukanlah salah sesiapa sebaliknya merupakan ketentuan Allah. Maha Suci Allah Allah, memang benar apa yang dinyatakan oleh pekedai itu. Apa yang berlaku ke atas jenazah itu merupakan balasan daripada Allah. Mungkin ada di antara amalan-amalannya yang bertentangan dengan ajaran Tuhan. Entah apa yang dilakukan oleh allahyarham semasa hayatnya, wallahualam, hanya Tuhan sahaja yang mengetahuinnya.
Tetapi daripada cerita-cerita yang saya dengar, arwah dikatakan menpunyai tabiat buruk
- suka mengumpat dan mengatakan orang. - Tidak cukup dengan itu, arwah juga dikatakan suka mengambil tahu urusan orang serta gemar membawa mulut dari rumah ke rumah.[7] Bukanlah niat saya untuk membongkarkan keburukan arwah tetapi sekadar memberi nasihat. Semoga apa yang berlaku menjadi pengajaran dan memberi pedoman dan iktibar mereka yang masih hidup.
Hindarkan perkara-perkara keji demi kesejahteraan kita sendiri. Pengalaman yang cukup menginsafkan itu jauh berbeza dengan apa yang saya lalui semasa menguruskan satu lagi jenazah kira-kira sebulan kemudian.
Orangnya saya kenal, berbadan gemuk dan berusia sekitar 50-an.Punca kematiannya ialah darah tinggi. Sewaktu menatap jenazahnya untuk kali petama, saya mendapati mukanya tenang dan jernih. Walaupun bertubuh besar, tetapi Maha Suci Allah, badannya lembut dan ringan. Saya dan adik saya Rafeah tidak mengalami sebarang masalah untuk mengalih-alihkan badannya. Najisnya tak ada langsung. Puas kami menekan dan mengorek, tetapi tiada sebarang kesan najis.
"Bersih betul mayat ini", saya berbisik kepada Rafeah. Tiada langsung kesan kotoran pada tubuhnya, seolah-olah dirinya telah di bersihkan sebelum menghembus nafas terakhir. Seronok betul kami menguruskannya. Mayat itu selesai di mandikan dalam tempoh tidak sampai sejam.
Sewaktu hendak mengapan jenazah, kami berdua pada mulanya di selubungi kebimbangan takut-takut peristiwa kain kapan tidak muat berulang lagi. Maklumlah, sedangkan jenazah kecil pun tak muat inikan pula jenezah yang besar. Tetapi syukur alhamdulillah, kain kapan yang kami bawa sebanyak 24 ela itu cukup untuk menutupi eluruh bahagian. Selesai kerja-kerja mengapan jenazah disembayangkan. Kerana terlalu ramai yang hadir, jenazah disembahyangkan dua kali. Kali pertama di rumah dan kali kedua di masjid. Jenazah akhirnya dibawa ke tanah perkuburan dan selamat dikebumikan. Perjalanan lancar tanpa sebarang halangan. Saya sendiri berasa seronok menguruskannya. Sesungguhnya Allah Maha Berkuasa dan Maha Mengetahui. Arwah memang dikenali di kalangan penduduk-penduduk kampungnya sebagai seorang yang kuat beribadat. Sifatnya yang suka bersedekah dan menolong orang ternyata mendapat balasan yang setimpal.
Keadaannya jauh berbeza dengan jenazah kurus yang tidak muat kain kapannya. Bukan menghina atau mencaci tetapi itulah hakikatnya. Perbezaan itu jelas menunjukkan betapa pentingnya kita hidup berlandaskan agama. Buatlah apa yang disuruh dan tegah apa yang di larang, Insya-Allah selamat didunia dan akhirat.
Gimana serem khan
Wassalamualaikum
3. BERKAH BUSANA MUSLIMAH
TRI UTAMI,
Penyanyi bertubuh mungil Tri Utami mengaku sempat su’udzon kepada Allah. Akibat negative thinking itu dia melakukan taubat, dan istigfar berulang-ulang. Ihwal prasangka buruk itu terjadi ketika Iie –panggilan akrab Tri Utami – akan ‘hijrah’ dari busana ‘biasa’ menuju busana Muslimah yang serba tertutup.
“Saya sempat su’udzon kepada Allah, kalau nanti berjilbab bagaimana dengan karir menyanyi? Pasti risi, banyak hambatan. Ternyata, di luar dugaan. Setelah saya menutup aurat, semua pikiran jahat yang ada di benak saya tidak pernah terbukti,” ungkap Iie.
Bahkan, lanjutnya ketika ditemui Republika dalam acara “Konser Amal Panggilan Nurani untuk Duka Halmahera dan Ambon”[8] beberapa waktu lalu, dengan menutup aurat rezekinya bertambah dua kali lipat. Melihat kenyataan itu barulah adik kandung dari penata musik Purwatjaraka ini sadar. Ternyata pikiran manusia itu tidak ada apa-apanya dibandingkan kehendak-Nya. “Makanya, kita jangan sok tahu, melawan kekuasaan Allah,” ujar Iie dengan mata berbinar.
Memang, nyaris setahun ini, Tri Utami yang juga vokalis dari Krakatau Band tampil beda. Sebelumnya, penyanyi bersuara tinggi ini selalu tampil lincah, berjins ketat, lengkap dengan jaket kulitnya. Tapi kini, penyanyi yang berangkat ke Tanah Suci tahun 1998 ini telah menutup auratnya. Kendati menutup rapat auratnya, namun menurutnya hal itu sama sekali tidak mengganggu aktivitasnya, berikut ketika sedang beraksi di atas panggung. “Segalanya it’s oke.”
Penyanyi asal Bandung ini mengaku hijrah ke busana Muslimah berkat hidayah Allah. Selain itu, tambahnya, juga atas dorongan dan semangat dari sang suami, Andi Analta Baso Amir. Ketika tampil dalam acara Konser Amal, itu Iie hadir bersama suaminya. “Kalau mau tahu suami saya, itu yang pakai sorban,” ujar Iie dengan nada bangga seraya menunjuk suaminya.
Dikalangan artis, penampilan suaminya ini sangat berbeda dengan yang lain. Ia selalu mengenakan busana gamis (baju panjang), lengkap dengan sorban di kepalanya. Dengan penampilannya ini, Iie mengaku tidak risi. Malah pasangan duet Utha Likumahua ini mengaku sangat bangga dan hormat kepada suaminya. “Alhamdulillah, saya menjadi begini berkat suami. Suami saya ini selalu memberikan bimbingan agama kepada saya. “ tuturnya berterus terang.
Mengenai masalah agama, artis yang telah menelurkan lima album ini mengaku selalu meminta bantuan sang suami. Tapi bukan berarti dia pilih-pilih dalam mengikuti kegiatan keagamaan. “Saya tidak ikut pengajian khusus. Dimanapun ada pengajian, saya suka datang.” ujarnya.
Saat ini artis yang belum juga dikarunia momongan itu, kini sedang mempersiapkan diri berangkat ke Prancis. Di Negeri Menara Eifel itu, ia bersama Krakatau Band akan mengikuti konser band-band dari seluruh dunia. * (vie).----
( Suplemen Harian Umum Republika “Dialog Jumat”, Jumat 21 Januari 2000, Halaman 1 )
4. KETIKA HIDUP SUDAH LENGKAP
IDA LEMAN,
Ida Leman tak menyangka bakal lebih dikenal sebagai perancang busana muslimah. Padahal, dulu dia sudah malang melintang di dunia film dan model yang glamor. Bahkan pernah buka-bukaan segala. Tapi, perjalanan kehidupan telah mengantarkannya untuk kembali ke fitrah. "Apa bekal saya ke akhirat?" katanya seperti dia tuturkan kepada wartawan Panji Almaidha Sitompul.
"Sudah jelek, jelek pula kelakuannya." Begitu ayah sering mengumpat saya. Dulu, saya orangnya pendek, hitam, pokoknya paling jelek di keluarga. Dan paling bandel. Saya memang tipe pemberontak, melawan adat istiadat yang sudah berurat berakar. Bagaimana anak seorang ustadz, dari keluarga yang teguh beragama, sejak remajanya terobsesi menjadi bintang film. Ayah pun, ketika akhirnya saya betul-betul menjadi bintang film, terpaksa saja mengizinkan. Cuma dia memberi persyaratan yang ketat: tidak boleh buka-bukaan.
Apa saya menurut? Tidak. Bahkan, di samping jadi bintang film, saya juga jadi fotomodel. Pernah ayah marah besar ketika mengetahui pose saya yang menantang di kalender. Maka, vonis pun dijatuhkan: saya sama sekali tidak boleh main film. Padahal saya sangat menikmati betul kerja di dunia seni. Emosi saya pun langsung tak terkendali. Ultimatum ayah ini membuat hidup saya bagai terhenti. Dan, sebagai ungkapan rasa kesal, pintu kamar saya banting dan segala peralatan yang ada di kamar saya lemparkan.
Ayah juga sangat keras mendidik. Anak-anak gadisnya dilarang keluar rumah. Untuk pergi ke tetangga saja harus mencuri-curi. Apalagi untuk pacaran. Toh saya menjalin hubungan dengan Masdiarman, anak bako (om). Karena saya tak boleh keluar rumah, maka dialah yang sering bertandang ke rumah saya.
Mengetahui saya ada ‘apa-apa’ dengannya, ayah langsung menyatakan tidak setuju. Usut punya usut, ternyata itu karena perbedaan strata. Ayah masih keturunan tengku, keluarga bangsawan, sedangkan keluarga Masdiarman tidak. Tapi saya tak peduli. Terus saja saya berpacaran. Akhirnya, ketika saya duduk di bangku SKKA (Sekolah Kesejahteraan Keluarga) Medan, saya dijodohkan dengannya. Hal ini sudah menjadi kebiasaan di kampung saya.
Oh ya, selepas SMP, saya masuk SKKA St. Anna di Medan. Waktu itu keluarga kami tinggal di kota ini. Memang sekolah Kristen. Bukan apa-apa, saya terpaksa bersekolah di situ karena saya terlambat mendaftar. Sebelumnya saya berniat masuk sekolah perawat di Bukittinggi. Tapi karena terlalu lama mendaftar walhasil saya tidak diterima.
Ketidaksukaan ayah kepada saya ia tunjukkan dengan memindahkan saya ke Batusangkar. Enam bulan saya di sana. Di Padang badan saya kurus kering. Saya tak tahan jauh-jauh dari pacar. Berat badan yang semula 50 kilogram susut menjadi 47 kilogram.
Setelah itu saya ikut adik ke Jakarta. Kebetulan adik yang baru menikah ini pindah rumah ke Jakarta. Karena saya pintar mendesain rumah, saya diminta ikut serta. Makin jauhlah jarak saya dengan Masdiarman. Hubungan kami dilanjutkan dengan surat-suratan. Semuanya lancar-lancar saja. Ia rajin membalas surat-surat saya. Surat kami rada lucu. Tidak pakai pos. Tapi dititipkan pada sopir truk yang membawa rokok Medan - Jakarta.
Tiba-tiba saja saya menerima berita bak petir di siang bolong. Tiada angin tiada hujan, Masdiarman memutuskan hubungan. Selidik punya selidik, ternyata ia tersinggung oleh ucapan ayah. Ini gara-gara nasihat ayah agar ia tidak bekerja terlalu keras karena menderita sakit kuning. "Kamu sakit kuning, Ida sakit kuning, akan jadi apa anak kalian nanti," kata ayah. Mendengar itu Masdiarman ngambek. Dia kirim surat untuk memutuskan hubungan. Sebenarnya dia cuma mau mengancam. Tapi, giliran ayah yang tersinggung. Ayah meminta saya memutuskan hubungan. Saya tidak mau. Saya nangis sejadi-jadinya di dalam kamar.
Keluarga saya lalu pindah ke Jakarta setelah bisnis rokok ayah gulung tikar. Saat itulah saya mendapat kabar, Masdiarman dipaksa kawin dengan famili kami yang lain yang lebih kaya. Saya sadar, ternyata keluarga Masdiarman materialistis. Begitu tahu ayah bangkrut, mereka bukannya menolong, malah menjauh. Saya jadi benci dengannya.
Jadi bintang film. Tidak lama setelah kami di Jakarta, saya mencoba berbagai kursus, antara lain kursus kecantikan. Saya memang suka merias wajah. Saya bahkan sempat menjadi penjual sabun, tapi hanya lima hari. Ayah melarang karena saya harus menjajakannya dari rumah ke rumah.
Suatu hari pada 1974 saya membaca tawaran beasiswa belajar akting selama enam bulan. Iklan itu dibikin Inter Studio, yang dikenal sebagai pencetak bintang-bintang top. Waktu masih sekolah dasar, saya memang pernah ikut sandiwara sekolah. Ayah pun bekas pemain tonil. Sedikit banyak darah seni mengalir dalam diri saya. Tahu orangtua tidak setuju, saya mendaftar diam-diam. Mana ada dalam kamus orang Minang yang taat beragama mengizinkan anak gadisnya jadi bintang film.
Syukurlah saya termasuk di antara 16 orang yang lulus. Begitu lulus, barulah ayah tahu. Kaget dia. Tapi melihat kesungguhan saya, hingga sampai lulus seleksi yang begitu ketat, ayah mengizinkan dengan persyaratan yang cukup ketat pula. Tidak boleh buka-bukaan, tidak boleh adegan aneh-aneh. Saya pun mulai tampil di layar lebar walau sebatas peran-peran kecil.
Tawaran main film terus berdatangan. Saya nikmati betul dunia akting. Akting saya dipuji. Apalagi kemudian saya menikah dengan Irwinsyah yang sutradara. Saya menikah pada 1982, umur saya 27 tahun waktu itu.
Hingga sebelum saya berhaji dan pakai jilbab, sudah sekitar 50 film yang telah saya bintangi. Selain di layar lebar, saya juga merambah ke sinetron yang waktu itu sedang booming. Hari-hari saya disibukkan dengan akting. Sampai anak kami berjumlah tiga orang dan Mario akhirnya mengikuti jejak orangtuanya jadi bintang film, kesibukan saya masih seputar syuting dan syuting. Sering kami memboyong anak-anak ke lokasi syuting biar mereka tahu pekerjaan orangtuanya.
Haji dan jilbab.
Pada 1988 saya menunaikan ibadah haji. Mungkin mukjizat, sesampainya di Tanah Air, kok saya enggan melepas busana muslimah. Predikat hajah di depan nama saya seakan-akan memberi warning, peringatan. "Kamu bukan Ida sebulan lalu yang bebas menunjukkan aurat." Dorongan-dorongan itulah yang makin memantapkan saya terus mengenakan busana muslim walau pada awalnya terasa gerah.
Saya juga heran kenapa saya bertekad mempertahankan busana yang diwajibkan Islam ini. Padahal banyak rekan-rekan artis yang telah menunaikan ibadah haji. Namun selepas itu dengan gampang mereka kembali ke "dunianya", tetap dengan busana sebelum berhaji. Malah banyak yang tetap suka buka-bukaan. Seakan-akan berhaji itu hanya sekadar membayar utang. Kalau sudah selesai, ya sudah.
Sebenarnya memakai jilbab bukan hal aneh bagi saya. Waktu kecil saya sekolah madrasah. Ayah punya sekolah, namanya Al-Ulum di Jalan Ismailiah Medan. Walaupun saya memberontak, sebenarnya hingga dewasa nasihat ayah, yang selalu dia berikan kepada kami dulu menjelang tidur, masih terbawa-bawa.
Saya juga berpikir, semua sudah saya dapat. Jadi bintang film sudah, terkenal sudah--persis seperti yang saya cita-citakan sejak kecil. Sudah punya suami dan anak. Lengkap sudah hidup saya. Maka, bukankah sebaiknya saya memakai jilbab sesuai dengan ajaran agama? Toh kita tidak hidup selamanya. Masih ada alam lain setelah mati. Apakah saya sudah punya modal untuk itu?
Apalagi dunia saya, dunia selebritis, akrab dengan keglamoran, yang notabene dekat dengan setan. Apakah saya akan terus terbawa arus glamor, pesta, dan hura-hura? Apa hanya itu tujuan hidup saya? Hati berontak. Tidak, bukan itu yang saya mau. Orangtua saya juga tidak pernah mengajarkan saya untuk menjauhi Sang Khalik, Sang Pencipta.
Bukan saya tak menyadari konsekuensi yang harus dihadapi. Meski memakai jilbab, tawaran sinetron tetap mengalir. Cuma, ya itu, sutradara menghendaki saya menanggalkan jilbab. Permintaan sutradara tak serta merta saya tolak. Selain mencoba menawar, saya yakinkan sutradara agar saya tetap dibolehkan memakai penutup kepala tanpa mengurangi arti sosok yang saya perankan.
Saya juga minta petunjuk Allah melalui salat istikharah. Saya minta Allah memilihkan jalan terbaik yang harus saya pilih. Kalau memang tawaran sinetron itu menimbulkan murka-Mu, jauhkan. Tapi kalau bermanfaat untuk umat, dekatkanlah. Ternyata Dia memang tidak meridhai saya untuk menerima tawaran sinetron. Setiap tawar-menawar selalu saja berlangsung sulit.
Umpamanya ketika saya ditawari memerankan Mbak Pur dalam suatu iklan. Mbak Pur, itu lo perempuan Jawa yang saya perankan dalam sinetron Losmen. Pengiklan meminta saya mengenakan busana Jawa lengkap dengan sanggul, persis dalam Losmen. Tentu saya menolak. Lalu saya tawarkan bagaimana kalau saya hanya menggunakan tutup kepala berwarna hitam. Mereka tetap tidak setuju. Apa boleh buat, demi prinsip, puluhan juta rupiah saya lepas. Tapi saya tidak menyesal. Saya yakin Allah akan membukakan pintu rezeki yang lain buat saya.
Yang begitu itu berlangsung selama dua tahun. Saya benar-benar melepas aktivitas keartisan, baik sebagai pemain film maupun foto model. Setiap hari kerja saya mengurus anak-anak dan rumah tangga. Mulai dari mengantar Mario syuting, menjemputnya kembali, menemani anak-anak jalan-jalan, dan menyediakan makanan serta menyambut suami dan anak-anak pulang. Pekerjaan yang sebelumnya hampir tak pernah saya lakukan. Tapi saya enjoy, saya menikmati. Nikmat sekali. Saya jadi berpikir, ternyata salah penilaian berprofesi ibu rumah tangga itu pekerjaan yang membosankan.
Perancang. Tentu, sesekali, ada pula kerinduan untuk kembali ke dunia artis yang sudah mendarah daging. Meski menikmati suasana baru menjadi ibu rumah tangga tulen, toh rasanya ada bagian yang hilang dari diri saya. Dan itu menimbulkan kegalauan.
Suatu hari datang teman ibu bernama Tati Abdillah, mantan sekjen Parfi. Ia mengajak saya ikut pameran. Tentu saja saya bingung apa yang mau saya pamerkan. Ia menyarankan pakaian pribadi saya yang dipamerkan. Mungkin ia merasa busana muslimah yang saya kenakan cukup modis. Lantas saya berpikir, kenapa saya tidak mencoba merancang sendiri busana-busananya. Sekalian mengamalkan ilmu yang pernah saya dapatkan ketika di SKKA.
Mulailah saya membeli bahan pakaian. Untuk modal awal saya pinjam uang dari Mario, anak saya. Kebetulan waktu itu ia tengah teken kontrak film Sesaat dalam Pelukan. Honornya sekitar Rp1 juta, saya pinjam setengahnya. Saya pun sibuk merancang puluhan desain pakaian muslim. Untuk mendesain sket pakaian, saya tahan sampai berjam-jam. Tapi kalau disuruh menjahit, nanti dulu. Saya tidak betah.
Akhirnya jadilah pakaian-pakaian itu. Untuk menambah ramai stan, saya berkonsinyasi dengan Ibu Norma, pemilik toko di Tanah Abang. Wah, stan milik saya jadi makin semarak.
Seminggu pameran, stan saya ramai dikunjungi dan banyak yang membeli. Saya benar-benar tidak menyangka. Di sana pikiran saya mulai terbuka. Pengunjung yang datang tidak hanya memuji desain saya, banyak juga yang mengeritik. Ada yang mengatakan baju muslim kampungan, tidak trendi. Ada juga yang bilang, baju muslimah hanya untuk mereka yang sudah menyandang predikat haji. Saya katakan kepada mereka, busana muslimah bukan busana haji, tetapi diwajibkan dalam Islam. Ada ibu-ibu yang mengeluh wajahnya bulat, jadi makin jelek kalau pakai jilbab. Saya terangkan bahwa jilbab bisa disesuaikan dengan bentuk wajah.
Di antara lalu lalang pengunjung, saya menengadah ke atas. Bersyukur kepada Allah. Ternyata inilah jalan keluar yang Engkau berikan, atas doa-doaku selama ini. Kau tutup pintu rezeki di sinetron yang memaksaku membuka aurat, tapi Kaubuka pintu rezeki lain. Pintu rezeki yang tidak hanya memberi manfaat secara lahir tapi juga batin. Ada nilai ibadah yang saya emban. Alhamdulillah.
Cobaan lagi. Saat saya mulai menikmati "dunia" saya yang baru, datang cobaan yang tidak saya sangka-sangka. Suami dan ayah dari anak-anak saya dipanggil menghadap-Nya. Saya betul-betul syok. Begitu tiba-tiba semua ini ya Allah. Kenapa cobaan datang silih berganti. Terus terang waktu itu saya bagai kehilangan akal. Bahkan seperti orang yang tidak beragama. Dunia serasa berhenti. Semua terasa gelap. Saya merasa tak mampu menghadapi dan menjalani hidup sendirian. Apalagi anak-anak masih kecil.
Lama saya larut dalam kesedihan. Untunglah Allah cepat mengingatkan. Pikiran waras saya segera berjalan. Apa kalau saya menangis setiap hari Mas Irwin bisa hidup lagi? Kenapa saya tidak pelihara dan jaga amanah yang ia tinggalkan, yaitu tiga anaknya? Bukankah doa-doa saya dan anak-anak lebih berguna untuknya ketimbang berember-ember air mata?
Waktu itu tidak pernah terlintas di pikiran saya untuk menikah lagi. Terus terang sampai sekarang pun saya masih sering terbayang Mas Irwin. Tapi itu wajar, bagaimanapun ia pernah lama menjadi bagian hidup saya dan anak-anak.
Bisnis dan ibadah.
Kini sembilan tahun telah berlalu sejak kepergian Mas Irwin. Saya sudah menikah kembali. Sejak dua tahun lalu saya resmi dilamar Mas Agung Wibowo. Saya kenal Mas Agung ketika mengadakan pameran busana di Batam. Ia memang bertugas di Batam. Waktu itu anak-anak saya boyong. Selepas pagelaran busana, saya ajak anak-anak berlibur ke Singapura. Mas Agung ikut bersama kami. Setelah itu saya kembali ke Jakarta dan Mas Agung tetap di Batam.
Saya kaget juga ketika Mas Agung datang ke Jakarta, menetap di sana dan melamar saya. Mula-mula saya ragu. Tapi kemudian saya berpikir, mungkin ini yang namanya jodoh. Selain itu saya juga minta petunjuk dari Allah dengan salat istikharah. Kalau memang ia jodoh saya, dekatkan ya Allah, tapi kalau tidak, jauhkan ia dari saya. Ternyata ia memang, insya Allah, jodoh saya. Sampai proses pernikahan tidak pernah ada aral. Anak-anak juga menyukainya. Malah mereka menganjurkan.
Sekarang Butik Ida Leman Collection sudah mempunyai 10 cabang di Indonesia. Alhamdulillah usaha kecil-kecilan ini bisa membantu ekonomi keluarga. Saya juga sering diundang kedutaan di luar negeri untuk pagelaran busana muslimah. Sudah banyak negara yang saya singgahi.
Namanya pagelaran busana muslimah, jelas mengandung unsur dakwah. Saya juga menyadarinya. Sebelum pagelaran saya sempatkan berpidato. Isinya mengajak wanita muslimah untuk berbusana terhormat yang menutupi aurat. Lengkap dengan hadis-hadisnya. Makin banyak waktu yang diberikan panitia, makin semangat saya berceramah.
Selain dengan pagelaran, upaya sosialisasi busana muslimah juga lewat televisi. Antara lain melalui pakaian yang dipakai penyanyi. Dengan mempertontonkannya di televisi, mudah-mudahan orang menirunya. Tidak apa-apa rancangan saya dicontek. Mencontoh yang benar kan malah berpahala.
Data Pribadi: Nama : Hidayati Ahmad Leman (Ida Leman)
Lahir : Padang, 16 November 1955
Ayah : Haji Ahmad Leman, Ibu : Hajah Sofinah
Suami : Agung Wibowo
Anak: 1.Mario Pratama (16)
2.Stephanie (12)
3.Maureen Pratiwi (10)
4.Nicole Anggid Wibowo (1,7)
Pendidikan: SD di Padang, SMP dan SKKA di Medan. Kursus akting di Inter Studio Jakarta (1974)
Film yang dibintangi: 1.November 1828 , 2.Sakura dalam Pelukan, 3.Aduhai Manisnya, 4.Sejuta Serat
Sutera, 5.Kupu-kupu Putih, 6.Jangan Ambil Nyawaku, 7.Kerikil-kerikil Tajam,
8.Kristal-kristal Cinta, 9.Bukan Istri Pilihan, 10.Amalia SH, 11.Penginapan
Bu Broto, dll.
Sinetron : 1.Maharani , 2.Losmen, 3.Rumah Kehidupan (1999)
( Sumber: Panjimas Online - http://www.panjimas.co.id )
5. SALAWAT DAN HARMONI KEHIDUPAN
TYA SULESTYAWATI,
Berprestasi di usia muda. Dialah pemimpin sekaligus konduktor T&T Orchestra yang dalam beberapa penampilan terakhir mendapat sambutan meriah. Tya Sulestyawati, 19 tahun, tidak berani jauh-jauh dari ajaran agama. "Bagaikan partitur yang harus dipedomani," tuturnya. Tanpa partitur, orkestra kehidupan akan kacau balau.
"Apa? Kamu mau pakai jilbab? Papa nggak salah dengar, nih?" ujar Papa, tak bisa menutupi kekagetannya. Niat memakai jilbab memang aku utarakan tiba-tiba, pas ketika Papa sedang sibuk-sibuknya mengedit sebuah jingle hasil aransemenku.
"Iya. Boleh, kan Pa?"
"Ya boleh. Tapi kamu serius?"
Pagi keesokan harinya, diam-diam, aku pergi ke butiknya Tante Ida Royani dan membeli satu stel pakaian muslimah. Kebetulan sorenya akan ada acara ratiban yang memang rutin diadakan di lingkungan keluarga dan teman-teman Papa. Aku pakai, eh rasanya pas, gitu. Sementara Mama tak henti-hentinya menggoda dengan berdecak-decak. Aku cuek saja.
Terus, keesokannya lagi, ketika ada acara lain di rumah. Aku keluar dengan busana biasa, oblong pendek, nggak pakai jilbab, jins ketat. Yaa, gaya abege begitu deh. Eh, kok aku jadi risih. Kayaknya aku tidak memakai apa-apa. Padahal begitulah penampilanku sehari-hari. Aku tidak kuat, aku masuk ke kamar dan sejak itu aku tidak berani melepas jilbab lagi bila bertemu selain keluarga. Jodoh, kali, ya.
Sejuknya Air Salawat.
Keinginan untuk memakai jilbab sih sebenarnya sudah ada jauh-jauh hari sebelumnya. Bermula ketika secara tiba-tiba Papa menodongku untuk mengaransir salawat badar. Aku ingat banget, karena itu diutarakan Papa di meja makan. Awal Februari 1998. Seperti biasa, kami ngobrol tentang berbagai hal. Terutama tentang krisis moneter yang mulai membuat panik masyarakat. "Kayaknya kita mesti bikin sesuatu yang bisa sedikit menenangkan hati. Apa, ya?" kata Papa.
Papa coba mencari rujukan dari ajaran-ajaran agama berupa zikir atau doa. Setelah menu-naikan ibadah haji setahun sebelumnya, Papa memang semakin banyak meluangkan waktu untuk menggali khazanah Islam yang berhubungan dengan latihan kejiwaan. "Ya, sudah. Bikin salawat saja," kata Papa kemudian. Dan, yang mengejutkanku, "Tya yang bikin aransemennya. Dalam seminggu ini harus klar."
Waduh, jelas aku langsung bingung saat itu. Sejak kecil aku memang sekolah di sekolah Islam, tapi aku kan tidak menguasai betul makna atau tujuan salawat. Dengar-dengar, sih, biasa. Terutama pada bulan Ramadan. Dengan feeling musikku aku bahkan sering mengeritik pembawaan salawat di televisi. Wah, kayaknya nggak enak, deh, kalau salawatnya di-popin begitu. Mestinya begini, begini, begini. Tapi untuk membuat aransemennya, kan kita mesti menyelami makna liriknya.
Akhirnya aku tanya ke sana ke mari. Kepada tanteku, guru ngajiku, juga teman-teman yang aku anggap tahu. Pokoknya, satu minggu itu, tidak ada urusan lain kecuali salawat. Dan alhamdulillah, dengan bantuan papa, Tante Neno Warisman, Ustaz Muchyar (qari’ inter-nasional yang menjadi guru ngaji Tya, Red.), dan teman-teman, aransemen itu jadi juga dalam waktu yang begitu pendek. Aku puas, dan pada hari terakhir proses aransir, tak terhitung berapa kali Salawat Badar itu aku lantunkan. Tidak sekadar untuk memperlancar atau memeriksa apakah masih ada kekurangannya, tapi sepertinya memang ada kenikmatan tersendiri ketika melantunkan puja-puji dan doa untuk Rasulullah itu.
Shalaatullah, salaamullah, ‘ala taha rasulillah
shalaatullah, salaamullah, ‘ala yasin habibillah
tawassalna bi bismillah,
wa bil hadi rasulillah
wakuli mujahidillillah
biahlil badri ya Allah.
Perfect! Malam itu, usai proses mixing, sebelum pulang meninggalkan studio, aku sempatkan dulu mampir ke musala untuk salat isya. Masya Allah, ketika telapak tanganku menyambut air yang mengucur dari keran untuk berwudu, tiba-tiba, sejuknya air terasa merambat dan menyelimuti sekujur tubuhku. Dadaku bergemuruh, ada rasa haru, bangga, damai, bahagia, dekat dengan Rasulullah, dan entah perasaan apa lagi. Sulit aku gambarkan dengan kata-kata. Tapi aku bisa mendengar, ada bisikan dalam hatiku, "Ya Allah, begitu sayangnya Engkau kepadaku sehingga pekerjaan berat itu bisa aku selesaikan."
Dalam salat, semua perasaan itu tumpah menjadi air mata ke permukaan sajadah. Aku nggak tahu, semua itu persisnya karena apa. Tapi yang jelas, sejak saat itu, aku merasa selalu ingin memenuhi semua ajaran agama yang aku tahu. Untuk berbuat yang tidak-tidak, abring-abringan seperti biasa, rasanya tidak tega. Salat, yang sebelumnya masih ada bolong-bolongnya, tidak lagi, deh. Rugi rasanya untuk ditinggalkan. Perayaan hari ulang tahunku yang ke-19 beberapa pekan setelah itu, aku rencanakan tidak pakai pesta-pestaan. Aku berniat mengundang anak yatim, makan-makan dengan mereka, ngobrol, dan membagi-bagikan sembako. Saat itu pulalah terbetik juga keinginan untuk memakai jilbab. Pakai jilbab, tidak, ya? Kayaknya boleh juga.
Dibawa ke Neurolog. Untuk semua itu, terus terang, aku memang harus berterima kasih kepada Papa. Setelah memanjatkan puji syukur kehadirat Allah s.w.t., tentunya. Karena dukungan Papa-lah yang membuat aku bisa seperti ini. Pada usia tiga tahun, aku sudah didaftarkan ke Yayasan Musik Indonesia. Sederhana saja alasannya: Papa memergokiku sedang memencet-mencet tuts organ sementara para pembantu berderet di sampingku, berperan sebagai penyanyi. "Mbak, Mas, sini. Nyanyi, ya, nyanyi, ya, Tya yang main organ."
Papa pula yang bisa memahami ketika di SMA prestasiku jeblok karena terlalu sibuk di paduan suara. Sebagai dirigen paduan suara SMA 34, aku sebenarnya hebat, mampu mem-bawa grupku meraih juara satu dalam sebuah festival. Tapi, beberapa hari setelah menerima piala kejuaraan itu, aku menerima rapor yang merahnya ada sembilan. Yang hijau cuma Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Agama, dan Kesenian. Papa dan Mama terang saja kaget dan sempat marah-marah. "Nih, kamu ranking satu dari belakang!" teriak Mama. Aku diam saja. Besoknya, aku dibawa ke seorang neurolog. Di sebelahku duduk pasien lain, penyandang cacat mental. Aduuuh, aku kan tidak apa-apa. Pelajaranku jeblok gara-gara aku terlalu konsentrasi ke paduan suara. Kala itu, kalau sudah kena musik, aku memang langsung lupa dengan yang lain. Untunglah Papa mengerti dan justru mendorong aku dan adik-adikku, Gion dan Sati, untuk membentuk grup musik T&T Explotion yang kini menjadi T&T Orchestra.
Dan, yang paling penting, karena bimbingan Papa pulalah maka rasa keberagamaanku terus tumbuh. Aku tidak hanya dipilihkan TK, SD, dan SMP Islam Al-Azhar, tapi juga di rumah setiap minggu ada pengajian yang harus aku ikuti. Dan, ini yang paling berkesan, kebiasaan Papa bercerita tentang agama betul-betul sangat membantu pemahamanku tentang agama. Kayaknya Papa memang keranjingan cerita, di meja makan, di mobil, di ruang kerja, bahkan sampai di restoran. Anehnya, cerita-cerita Papa tidak pernah membosankan, kadang-kadang sampai menuangkan kecap ke dalam gelas minuman segala, untuk menggambarkan ba-gaimana kotoran mengendap di dalam diri kita bila tak mengindahkan ajaran agama.
Sebelum aku menginjak SMA, cerita Papa masih berkisar tentang halal-haram, surga-neraka, dan kisah-kisah nabi yang ringan-ringan. Tapi, setelah itu, cerita Papa mulai tentang yang abstrak-abstrak menyangkut hakikat beragama. Sejak muda Papa memang rajin mengikuti pertemuan sebuah kelompok latihan olah jiwa yang membantu dia dalam memahami ajaran-ajaran agama. Mungkin untuk orang seusiaku hal itu masih terlalu berat, tapi karena Papa tidak bosan-bosannya bercerita, ditambah dengan caranya yang enak, pelan-pelan aku nyambung juga.
Ya Syariat, Ya Hakikat.
Dalam pemahamanku, kehidupan keagamaan kita memang harus meliputi syariat dan hakikat. Aku harus berupaya keras menjalankan semua syariat agama seperti salat, puasa, zakat, berbuat baik, patuh kepada kedua orangtua, dan sebagainya. Tapi di samping itu, yang tidak kalah penting, aku juga harus memahami hakikat dari segala syariat yang aku jalankan itu. Pada tataran syariah, kita salat kan untuk mendapatkan pahala. Tapi, kadang-kadang, kita salat tapi tidak bisa merasakan pahalanya. Pahala itu apa, sih? Nah, bila kita sudah bisa sedikit memahami bahkan bisa merasakan nikmatnya pahala salat, ketika nggak salat pun kita sebenarnya bisa merasakan itu dengan hanya mengingatnya.
Konon musik itu haram. Tapi aku bilang, tidak, sepanjang kita tahu aplikasinya. Kalau aplikasinya untuk abring-abringan, mengajak yang munkar, ya haram lah. Tapi kalau apli-kasinya untuk syiar, persatuan bangsa, membuat kita merasa dekat dengan Allah, dengan Rasulu-Nya, mengajak beribadah, ya pasti berpahala, dong.
Masih ada yang mengira musik islami itu hanya yang memakai rebana atau gambus. Tentu bukan itu ukurannya. Yang harus kita lihat adalah liriknya. Musik etnik Arab memang punya minor harmonik dan tangga nada yang khas. Itu memang bagus kita pakai pada lagu-lagu religius. Tapi manfaatnya hanya untuk menciptakan nuansa atau konotasi etnik Arab yang memang mayoritas muslim. Cuma, ya tanpa nuansa Arab pun sebuah lagu tetap bisa dinilai religius bila hakikat lagunya memang bagus.
Menjaga Harmoni.
Setelah pakai jilbab lantas kehidupan keagamaan kita sudah sempurna? Ya tentu tidak, dong. Cuma, aku memang sangat bersyukur karena merasa mendapat banyak kemudahan setelah berani menyandang atribut muslimah ini.
Kalau membayangkan awal aku terjun ke dunia musik ini, terus terang, tanpa kasih sayang-Nya, rasanya tidak mungkin aku bisa berbuat banyak. Sebelumnya, sebagai pemimpin biro iklan yang juga untuk media audio visual, Papa sudah punya jingle maker yang hebat. Tapi karena satu dan lain hal, Papa melepas dia ke tempat lain dan harus mencari jingle maker baru. Entah mendapat dorongan dari mana, saat itu Papa bilang, "Eh sini. Kamu bikin jingle, ya. Pokoknya sore ini harus jadi. Studio sudah di-booking satu ship." Aku tidak bisa menolak. Waduh, bagaimana, ini. Tapi, dengan bismillah, aku kerahkan semua pengetahuan yang aku miliki dari sekolah musik selama ini, aku keluarkan semua pengalaman yang pernah aku timba dari musisi-musisi senior, alhamdulillah, "todongan" Papa bisa aku laksanakan dan sukses. Hasil kerjaku cukup bisa diterima secara luas. Mega Shalawat, contohnya. Setelah itu, ya jadilah studio sebagai tempat nongkrong-ku. Bukan hanya jingle maker, aku juga mem-buat aransemen, dan tampil sebagai konduktor. Kalau Allah tidak sayang, bisa, nggak tuh?
Karena itu, aku dan teman-teman membuat komitmen, kami tidak akan menerima order yang kira-kira menyerempet bahaya. Membuat jingle iklan bir, misalnya. Bahkan di T&T Orchestra kita sudah berjanji tidak akan memainkan lagu-lagu pop Barat. Alasannya, tidak banyak lagu pop Barat yang punya misi dan visi. Lagu Indonesia lebih jelas bisa kita pilih untuk mengadakan penampilan yang penuh makna. Aku yakin komitmen kami itu tidak membatasi ruang gerak kami. Ruang gerak yang nggak aneh-aneh masih luas, kok, untuk kita berkiprah.
Hidup, seperti juga sebuah orkestra, harus dijaga harmoninya. Sementara ajaran agama, ya itulah partitur yang harus kita pedomani.
-Muzakkir Husain, Dodi Sukmajadi-
Biodata Tya Sulestyawati Subyakto
Lahir Jakarta, 2 Maret 1979
Pendidikan TK, SD, SMP Al-Azhar Kemang, 1983-1993
SMA 34 Jakarta, 1996
Fakultas Keguruan dan Pendidikan, Universitas Katolik Atmajaya, tidak selesai
Pendidikan musik: Yayasan Musik Indonesia, 1983-1986
Yayasan Pendidikan Musik, Jakarta, 1986-1990
Konon musik haram.
Tapi tidak, bagi Tya. Tergantung aplikasinya.
Kalau mengajak kemunkaran, pasti haram.
Kalau imbauannya itu untuk mendekatkan kita dengan Allah dan Rasul-Nya,
tentu berpahala.
-----------------------------------------
( Sumber: Panjimas Online - http://www.panjimas.co.id )
6. UJIAN YANG MEMBAWA HIKMAH
Hj. LUTHFIAH SUNGKAR,
Sebenarnya dia bukan tipe mubaligah yang “toleran”. Dia malah terkesan “keras” dan ketat. Namun karena disampaikan dengan tegas tapi lembut, meneduhkan, penuh keibuan, rupanya apa yang dia sampaikan cukup menyentuh, cukup mengena. Maka dia pun menjadi mubaligah yang digandrungi kaum ibu dan remaja--bahkan bapak-bapak di banyak pengajian yang dia adakan. Seperti yang terjadi pada acara “Penyejuk Iman Islam” di Indosiar Jumat lalu, begitu line dibuka untuk penanya, telepon segera berdering. Dan belum lagi dia selesai menjawab, telepon berdering lagi. Sering penanya sampai terguguk, menangis, saat men-ceritakan masalahnya. Sebuah dakwah yang sangat interaktif. Kepada Hamid Ahmad dan Iqbal Setyarso dari Panji dia menuturkan pengalaman religiusnya yang sangat menarik--pengalaman yang telah mengantarnya menjadi mubaligah seperti sekarang ini. Silakan ikuti.
Suatu kali handphone saya berdering. Dari seorang jamaah saya rupanya. “Saya tak melayani konsultasi via handphone. Tolong, telepon lagi ke nomor telepon rumah, ya. Saya sedang dalam perjalanan.” , “Tidak bisa, Bu. Saya sudah mau bunuh diri,” kata suara dari seberang, gusar. Suara seorang remaja putri. Buru-buru saya berkata, “Baiklah, baiklah. Anda tarik nafas dalam-dalam, ucapkanlah laa ilaaha illallaah. Tenangkan diri Anda. Apa sih, masalahnya?”
Penelepon itu mengatakan dia mengalami dilema. Dengan pacarnya, dia sudah hidup seperti layaknya suami istri. Sejak pacaran, ia sudah tiga kali melakukan aborsi. Setiap ketemu, si pacar selalu minta tidur bersama. Kalau menolak, dia takut pacarnya akan memutuskan hubungan. “Kalau sudah ditinggal, siapa yang mau menikah dengan saya yang sudah tak perawan lagi. Kalau saya layani dia, sampai berapa kali saya harus mengaborsi kandungan saya sementara orangtua saya tak mau tahu.” Rupanya, orangtuanya melarang ia menikah sebelum selesai kuliah. Dia merasa, masa depannya sudah demikian hancurnya. Ia bingung, apa yang harus diperbuatnya.
Saya ingatkan, dia belum hancur sama sekali, asal mau taubatan nasuha, tobat sebenar-benarnya tobat. Singkirkan masa lalu dengan kembali ke jalan Allah. Tinggalkan pacarnya, yang jelas-jelas bukan tipe lelaki yang bisa diharapkan sebagai suami. Kenakanlah busana muslimah, hiduplah seterusnya di jalan Allah, insya Allah, akan dipertemukan dengan jodoh yang didambakannya.
Itu baru secuil kisah yang pernah saya alami selama menjadi mubaligah.
Membela Perempuan.
Apa yang terjadi pada diri penelepon yang nyaris bunuh diri itu, sebetulnya banyak dialami remaja kita. Termasuk di SMP (sekolah menengah umum). Saya berprinsip, sebaiknya, kalau anak sudah balig, sudah ingin pacaran, segerakan saja menikah. Orangtua jangan menghalang-halangi, karena semakin dilarang, berati kita akan mendapatkan kenyataan yang lebih buruk.
Anda tahu, kini banyak remaja putri, yang sudah tak perawan lagi, merasa masa depannya suram, mereka jadi “ayam-ayam kampus”. Semua, karena orangtua tak mau tahu, anak dibiarkan pacaran. Kalau putri kita dibiarkan pergi berdua saja dengan pacarnya, busananya ketat, apalagi pusarnya kelihatan, apa yang bisa dilakukannya? Hasrat sudah ada, kawin dilarang, mereka akan main api tanpa sepengetahuan orangtua. Kalau mereka putus, selalu, yang perempuan yang menanggung bebannya. Bagaimana tidak? Si cowok biarpun dia biasa berzina, saat menikah tetap mengharapkan perempuan perawan. Ini tidak adil.
Saya memang terdorong mengungkapkan ayat-ayat yang membela kaum perempuan. Mengenai hak-hak kaum perempuan, sebagai istri terutama. Semua bukan argumentasi pemikiran kita tetapi Al-Quran yang mengatakan demikian. Ayat-ayat yang jarang disebut orang bahwa perempuan sabar menghadapi suami yang berbuat neko-neko itu besar pahalanya. Ada ayat-ayat yang demikian meninggikan perempuan, membuat kaum perempuan tersanjung, merasakan manisnya menjadi orang beriman.
Jumat 10 September 1999, pukul 08.00. Telepon Indosiar, yang sedang menayangkan acara “Penyejuk Iman Islam” berdering. Seorang ibu, bernama Ike, mengadu bahwa anaknya yang baru masuk perguruan tinggi kena godaan teman wanita yang lebih tua. Selisih empat tahun. “Susah sekali diomongin, bagaimana caranya supaya anak saya tetap tekun kuliahnya. Bagaimana caranya?” tanyanya.
Luthfiah menjawab, “Ini ujian. Setiap orang akan diuji. Ibu ini diuji Allah. Ketika datang ujian, ibu sudah sok tahu duluan, jangan-jangan anak saya sesudah pacaran meninggalkan kuliah. Lihat dulu masalahnya, bagaimana hubungan mereka, nggak usah lihat umurnya. Lihat akidahnya. Kalau sudah sekufu, seakidah, ya, kasih, dong. Kalau sudah demikian, nggak usah repot-repot, kembalikan kepada Allah. Bukankah Allah yang memberikan jodoh, sudah diatur Allah, baca surat Ar-Ruum: 21.”
Suamiku, Ujianku.
Kalau orang suka dengan dakwah saya, mungkin karena isi ceramah saya umumnya pernah saya alami. Kalau saya mengajak tahajud, saya sudah menjalani salat tahajud dengan penuh tawadhu’. Kalau saya mengajak pendengar bersabar, saya sudah menjalani hidup bersabar sebagai istri selama pernikahan pertama saya. Sungguh, akan berbeda, kalau penceramah hanya menyampaikan isi, tetapi ia tak mengerjakannya apa yang diceramahkannya secara sungguh-sungguh.
Saya lahir di Solo. Ibu saya keturunan Sunda, ayah orang Arab bermarga Sungkar. Saya dididik dalam keluarga yang strijk dalam agama. Sejak kecil saya sudah belajar agama. Saya sejak kecil punya cita-cita bisa tampil di muka umum. Tetapi itu tidak mungkin karena saya perempuan. Pasti akan dilarang. Adik kandung saya saja, Mark Sungkar, yang ngebet mau menjadi penyanyi, membuat nenek saya menangis. Terlebih saat dia belajar seni suara di Jerman, nenek jadi semakin rajin salat sunah dan berdoa agar adik saya mengubah keputusannya. Di mata keluarga, menjadi penyanyi itu kurang patut.
Pada 1965 saya dinikahkan. Kami sama-sama orang Arab, tapi memiliki visi dan gaya hidup yang sungguh bertolak belakang. Saya, seorang gadis desa yang lugu dengan nilai-nilai agama yang ketat, mendapat suami yang terbiasa dengan gaya hidup glamor, di tengah kalangan jet set, dan nilai-nilai yang longgar pula. Sementara saya dididik menjadi istri santun, taat kepada suami, tak pernah nangga (kelayapan ke rumah tetangga).
Setelah menikah, saya diboyong ke Jakarta. Orangtua saya berharap, dengan keteguhan agama saya, saya bisa mengubah suami saya. Saya berupaya mengingatkan suami, kadang sampai ikut ke mana ia pergi, sekadar menemani. Saya berusaha mengikuti. Terkadang sampai ikut ke bar. Tetapi, harapan ia bisa mengubah gaya hidupnya tak pernah menjadi kenyataan. Semakin hari kelakuannya semakin menjadi-jadi.
Kalau mengikuti nilai yang dibangun dalam keluarga saya, sungguh tak mudah bertukar suami. Bayangkan saja, saya anak Jawa dengan didikan Arab di Solo zaman itu, mungkin saja terlalu santun untuk bisa bilang “tidak”. Apalagi menuntut perceraian. Bagi keluarga kami, perceraian itu aib. Dan kalaupun sudah telanjur terjadi, sedapat mungkin diupayakan rujuk kembali. Sampai pada suatu ketika, setelah kami membangun rumah mewah di Petamburan (Jakarta Pusat), saya dilanda kejenuhan luar biasa. Sungguh, saya jadi tak merasakan gregetnya hidup. Masa, sih, hidup saya hanya begini-begini saja, ikut suami yang tak jelas apa visinya? Dari situ lantas timbul tekad, saya akan mengubah total penampilan. Saya hendak menjalankan ajaran agama secara total, dan karena itu saya mesti berjilbab. Itu terjadi sekitar 18 tahun lalu.
Namun berjilbab di waktu itu bisa dicibiri orang kalau belum berhaji. Kalau kita berjilbab, padahal belum berhaji, orang akan mencibir, “Eh kapan pulang hajinya?” Lain dengan sekarang. Maka, saya pun bertekad, saya mesti berangkat haji agar bisa bebas mengenakan busana muslimah. Kebetulan, suami saya juga hendak berangkat haji. Ini berkat desakan temannya agar dia berhaji setelah membangun rumah di Petamburan.
Saya bilang pada suami, saya mau ikut ke Mekah, pakai tabungan saya sendiri. Sepulang dari Mekah, ternyata kelakuan suami saya tak berubah. Saat kami sudah pindah ke Kemang (Jakarta Selatan) pun, ternyata kelakuannya tak berubah. Malah, kalau dulu ia berusaha menutupi, makin hari ia makin terangan-terangan dengan perbuatannya. Malah cenderung demonstratif, dan dia merasa hebat. Anak-anak kami yang makin dewasa makin risih melihat kelakuan ayah mereka.
Akhirnya saya hanya bisa bersabar. Saya cukup melapor kepada Allah, sembari berusaha tetap lurus. Saya kemudian memutuskan ingin mempelajari dakwah. Saya lampiaskan kekecewaan saya menghadapi perangai suami, dengan masuk jurusan dakwah di Universitas Islam As-Syafi’iyah, sampai selesai.
Keasyikan saya dengan aktivitas keagamaan sempat membuat orang heran, suami saya begitu, tapi saya malah aktif dengan kegiatan keislaman. Saya terus aktif menuntut ilmu dan ikut pengajian.
Suami masih dengan gaya hidupnya. Rasanya, sudah kelewat sering saya mengajak suami menyatukan visi. Tapi dia sulit berubah. Sampai puncaknya, dia jenuh dengan ajakan-ajakan saya. Suatu ketika terlontarlah pernyataan dari mulutnya.
“Kalau begitu, kita cerai saja.”
“Baiklah kalau begitu.” Tampaknya, ia memang menghendaki perceraian itu. Nyatanya, dugaan saya tak sepenuhnya benar. Ini pertama kalinya saya menyaksikannya marah besar. Sampai nyaris menyakiti fisik saya. Dia marah karena anak-anak sudah menyiapkan surat pernyataan bersegel yang tinggal ditekennya. Ia marah sekali, anak-anak memudahkan perceraian itu.
Hal yang dianggap aib dalam keluarga saya, perceraian, akhirnya tak bisa kami hindari. Meskipun demikian, keluarga saya membujuk saya untuk sabar, dan rujuk kembali. Diminta keluarga, dan demi menjaga nama baik keluarga, saya kembali rujuk. Harapan saya, dia bertobat dan hidup sebagaimana tuntunan agama. Saya jalani rumah tangga kami dengan kesabaran. Saya memaafkannya karena sadar benar betapa Allah memberi balasan besar bagi istri yang sabar menghadapi ujian seperti ini.
Karena suasana makin tak nyaman di rumah, saya ke Australia mempelajari public speaking di sebuah college di Sidney selama tiga tahun, sembari mengajar di masjid-masjid di Australia. Anak-anak saya bawa semua. Mereka saya masukkan ke public school. Suami saya yang tetap asyik dengan gaya hidupnya masih mondar-mandir Jakarta-Australia, menjenguk anak-anak.
Kami di Australia hanya empat tahun, sampai anak saya duduk di kelas tujuh. Sebab, saat itulah sekolah mewajibkan mereka minum pil KB (antihamil). Segera saja mereka saya bawa pulang ke Indonesia. Pada usia itulah anak-anak di Australia sudah menjalani seks bebas, dan itu tak bisa dilarang. Maka untuk mencegah mereka hamil terlalu muda, diberikanlah pil KB.
Di Tanah Air, saya mulai merasa Allah menggiring saya pada cita-cita masa kanak-kanak saya: tampil di muka umum. Awalnya, saya menyalurkan keinginan dakwah itu dengan membuat pengajian keluarga. Kemudian, saya mengisi kegiatan ibu-ibu PKK di sekitar tempat tinggal saya di Petamburan, Jakarta. Mengajari mereka bahasa Inggris, biarlah dengan gratisan saja asal ada penyaluran.
Selain itu saya juga aktif dalam kegiatan pengajian di masjid, sebagai pendengar. Sampai suatu ketika, saya mendengar, ada yang enggan datang ke pengajian, karena nggak punya duit. Soalnya, setiap pengajian di masjid, selalu diedarkan kotak tromol yang mesti diisi duit sekadarnya. Hati saya tersentak.
Lantas saya sendiri juga mencoba mengukur diri saya, ah rasanya saya juga bisa mengajar. Baiklah, sekarang ibu-ibu mengaji saja di rumah saya, tidak pakai bawa duit, malah kalau yang dhuafa saya siapkan uang transpor. Sejak itulah, rumah saya setiap Ahad pagi dihadiri ibu-ibu yang mendengarkan ceramah saya. Saking banyaknya jamaah, saya sampai membuka tenda agar yang meluber di luar tidak kepanasan.
Rupanya begitulah Allah menggiring hamba-Nya. Cita-cita saya di waktu kecil akhirnya dikabulkan, meski melalui jalan berliku.
Menghadapi suami seperti itu, kesabaran ternyata ada batasnya juga. Sungguh, meski sudah saya kuat-kuatkan, memang sulit sekali membuatnya berubah. Kami menjalani nikah-rujuk itu sampai tiga kali, dengan begitu, jatuhlah talak bain. Artinya, tak mungkin kami menikah lagi terkecuali ada muhallil, yakni saya menikah dengan seseorang, kemudian bercerai dulu baru boleh menikah lagi dengan dia. Tapi itu rasanya mustahil. Sebab, dengan suami saya sekarang, kami sudah merasa sama-sama cocok.
Telepon di Indosiar berdering lagi. Seorang ibu, Prapti di Jakarta, mengeluh suaminya sering berselingkuh. “Saya sudah minta cerai, tapi nggak dikasih. Kalau dianya sih bilang, ya udah, kita cerai. Ini sampai ketiga kali, tapi masih belum juga dipenuhi. Dia malah sering pergi. Bagaimana, ini, Bu Hajjah?”
Luthfiah menjawab, “Laki-laki diberi kelebihan, dan dia wajib mengayomi wanita, maka dia tidak bisa sembarangan mengatakan talak. Laki-laki diberi amanat Allah, dia pegang talak. Ini tak bisa sembarang dia bilang, ‘Saya ceraikan, saya ceraikan.’ Nggak bisa. Kalau Ibu mau kembali lagi, nikah lagi aja. Bikin akad baru lagi, diberikan kesempatan talak satu dan talak dua itu, supaya kita menyesal serta tak mengulangi kesalahan lagi. Kalau tidak ada penyesalan, hancur dong.”
Sekufu. Sejak menjanda, saya semakin rajin salat tahajud. Kalau Allah akan memberikan jodoh kembali, saya hanya mengharapkan lelaki yang bisa menyayangi anak-anak saya dan ibunda saya. Selain itu, ia bisa sama-sama bersujud kepada Allah, yang dari lisannya hanya keluar kalam Allah, bisa bersama-sama berjalan di jalan Allah khususnya dalam dakwah.
Alhamdulillah, doa saya dikabulkan. Tujuh tahun lalu, saya menikah dengan dokter Mulya Tarmizi. Dari soal nasib, kami punya persamaan, bahwa masing-masing merasa tidak satu visi dengan pasangannya dalam memandang dan menjalani hidup. Insya Allah, kami kini sama-sama cocok, bisa bersatu dalam dakwah, mengisi hidup dengan amalan dan makin merasakan nikmatnya menjadi orang beriman. Baik saya maupun suami saya, sama-sama punya waktu khusus untuk berdakwah.
Saya dengan suami kedua ini dipertemukan Allah saat sama-sama diminta berceramah mengenai masalah AIDS di sebuah stasiun televisi swasta. Saya bicara dari perspektif Islam, dia dari perspektif kedokteran. Bagaimana kami sepakat menikah, ini lantaran anak-anak sayalah yang merekomendasikannya. Menurut pandangan anak-anak saya, kami berdua sudah se-kufu. Mereka jugalah yang mendorong pernikahan ini. Soalnya, sebagai janda, tentu sebaiknya anak-anaknyalah yang mengupayakan jodoh, biar mereka tahu benar siapa ayah-nya.
Biodata Singkat: Nama : Luthfiah Sungkar
Lahir : Solo, 12 Juni 1947
Menikah : Pertama, 1965, dikaruniai lima anak, enam cucu
Kedua, 1992, dengan dr. Mulia Tarmizi, belum dikarunia anak
Pendidikan : Kursus bahasa Inggris, komputer, sarjana jurusan Dakwah
Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta; diploma Public Speaking di sebuah college di Sidney, Australia
Aktivitas Tetap : Pengajar Islamic English pada Universitas Islam Jakarta; pengasuh acara live “Penyejuk Iman ” di sebuah stasiun televisi swasta; setiap Minggu pagi bertablig di rumah
--------------------------------
( Sumber: Panjimas Online - http://www.panjimas.co.id )
( PENGALAMAN RELIGIUS / PANJI NO.23 TAHUN III 22 SEPTEMBER 1999 )
7. ALLAH SELALU MEMBERI YANG TERBAIK
MIEKE WIJAYA,
Ada satu problem yang selalu mengikuti langkah manusia: kesenjangan antara yang diinginkan dengan yang terjadi. Bagi Mieke Wijaya, artis lawas yang berulang tahun ke 59 pada bulan ini, memahami kesenjangan itu sebagai cobaan. Bagaimanakah potensi negatif dari setiap cobaan bisa diubah menjadi positif? Berikut pengalaman istri aktor almarhum Dicky Iskandar Zulkarnaen ini sebagaimana dituturkan kepada Minggarini dan Arimurti, reporter magang dari Jurusan Komunikasi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Hidup, ya cobaan.
Karena setiap kejadian memang tak selalu sesuai dengan harapan kita. Atau sebaliknya, tak semua yang kita inginkan, bahkan telah kita upayakan, bisa menjadi kenyataan. Pada akhirnya, semua tergantung kepada sikap kita menghadapi setiap cobaan itu. Ketika mobil yang kita kendarai terserempet bajaj, misalnya, apakah membuat kita memaki-maki atau justru beristigfar dan menyelesaikannya dengan baik-baik? Bisakah cobaan-cobaan "sepele" seperti itu menjadikan kita lebih tabah dan mawas diri? Barangkali memang ada kesalahan-kesalahan kecil yang telah kita perbuat, lalu kita melalaikannya, maka Allah menegur kita melalui cobaan itu.
Hasil mawas diri itu lantas coba kita simpulkan dalam setiap salat, yang minimal lima kali sehari, dengan doa, "Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in." Hanya kepada-Mu- lah kami menyembah, dan hanya kepada-Mu-lah kami mohon pertolongan. Dengan demikian, insya Allah, cobaan-cobaan itu justru akan menjadi tangga bagi kita untuk meningkatkan kualitas jiwa, kualitas iman, dan tentu pada akhirnya kualitas hidup. Jika tidak, mungkin kita akan merasakan kesengsaraan yang panjang dalam hidup. Setiap cobaan, sekecil apa pun, selalu saja menjadi batu sandung yang mengakibatkan luka dan semakin membuat kita rapuh. Sengsara sekali, kan?
Diantar Doa Duha. Saya belajar melihat sisi positif sebuah musibah dari peristiwa sakit hingga wafatnya suami saya, Dicky Zulkarnaen, pada 1995. Almarhum terserang stroke setahun sebelumnya, dan sejak saat itu dia sudah tidak bisa bicara atau mengucapkan kata-kata lagi. Kami sudah melakukan semua upaya untuk menyembuhkan dia. Februari 1994, dia menjalani operasi jantung di rumah sakit Mount Elizabeth, Singapura. Kembali ke Tanah Air, ternyata sakitnya tidak sembuh juga. Maka pada Maret 1994, dia harus dirawat lagi di RSUP Pertamina, Jakarta, dan selanjutnya berobat jalan.
Kondisi suami saya sejak itu tidak pernah pulih. Bahkan pada Agustus 1994, secara medis, dia dinyatakan telah mati. Dia memang sudah tidak mampu memberi respon apa-apa. Wilayah putih pada biji matanya juga sudah melebar. Tapi saya tidak menyerah. Saya berusaha keras untuk tetap mempertahankan dia, dengan segala cara, dengan segala doa. "Saya tidak bisa membayangkan hidup tanpa dia, Ya Allah. Jangan ambil dia. Masa-masa yang telah kami lewati terlalu indah untuk segera berakhir." Saya hampir-hampir tak punya kegiatan lain kecuali menemani dia di sisi pembaringan. Saya yakin, Allah pasti melihat dan mendengar setiap usaha dan doa yang kami lakukan.
Dan ternyata dia memang bertahan terus. Saya yakin, itu karena doa-doa yang saya pintakan setiap saat. Meski kondisinya tetap sama; dikatakan telah meninggal, tidak, karena dia masih bernyawa; dikatakan hidup juga tidak karena dia tidak bisa merespon apa-apa. Saya terus berdoa, terus bermunajat, agar dia tetap diizinkan berada di tengah-tengah kami.
Hingga suatu hari, saya merasa ada sesuatu yang keliru. Ya, sehari menjelang kematiannya, ketika pagi harinya saya tatap lagi wajahnya yang baru saja saya cukur, saya tiba-tiba dihinggapi perasaan bersalah: kok saya terus ngotot mempertahankan dia? Sudah setahun lebih dia terbaring, dengan kondisi seperti itu, karena doa-doa saya. Dia belum bisa pergi karena saya belum merelakannya, belum mengikhlaskannya. Dia bertahan dalam kondisi antara hidup dan mati, hanya untuk memenuhi keinginan saya. "Ya, Allah, hamba-Mu mohon ampun. Selama ini saya seakan berupaya melawan kehendak-Mu." Dalam setiap upaya penyembuhan yang saya lakukan selama ini, tak sedikitpun terbetik dalam hati kemungkinan dia memang sudah saatnya menghadap Sang Pencipta. "Astagfirullah, ampuni hamba-Mu, ya Allah. Kini, apa pun yang Engkau inginkan, pasti itulah yang terbaik. Saya ikhlas. Ambillah dia bila itu yang terbaik; sembuhkan dia bila itu lebih baik."
Keesokan harinya, pagi Jum’at 10 Maret 1995, saya masih sempat menerima telpon Nia (artis Nia Zulkarnaen, putri pasangan Mieke dan Dicky, Red.), mengabarkan hasil pemeriksaan laboratorium ayahnya. "Hasilnya bagus, Ma!" ujar Nia gembira. Berita itu lantas saya sampaikan kepada almarhum.
Beberapa saat kemudian, kakak Nia masuk untuk melaksanakan salat Duha dekat ayahnya. Sementara dia salat, saya ambil buku Kumpulan Doa Salat Duha, dan saya baca sambil memeluk almarhum. Pada saat itulah, tanpa saya sadari, almarhum menghembuskan nafasnya yang terakhir. Saya baru mengetahuinya setelah selesai berdoa. Dia telah pergi, betul-betul pergi. Pergi dengan tenang dan damai. Pergi ketika saya betul-betul telah siap melepaskannya dan mengikhlaskannya. Pergi ketika saya sedang berdoa dan menyerahkan keputusan kepada-Nya, "Ambillah dia, ya Allah, bila itu yang terbaik. Sembuhkan dia bila itu lebih baik." Innalillahi wa innailahi rajiun. Semua kita memang miliknya semata, dan pada akhirnya semua kita akan kembali kepada-Nya jua. Bagi kami yang ditinggalkan, jelas sangat tidak mudah. Tapi kami ikhlas karena pasti itulah yang terbaik.
Sempat Jauh. Mengenang itu semua, lagi-lagi saya merasa bersyukur telah dibekali nilai-nilai agama sejak dini. Sejak usia lima tahun kami sudah disuruh berpuasa, diajari salat, dipanggilkan guru ngaji. Menginjak usia remaja saya bahkan sempat belajar melagukan Al-Quran di bawah bimbingan seorang qari’ah terkenal. Saya yakin, nilai-nilai keagamaan itulah yang selalu muncul, membantu saya ketika mengambil sikap, pada setiap masa-masa sulit seperti peristiwa di atas.
Memang, ketika sibuk-sibuknya di dunia film, saya sempat merasa jauh dari kenikmatan ibadah. Salat sering tertinggal, ngaji pun jadi jarang. Tapi, alhamdulillah, semua tidak hilang sama sekali. Sejalan dengan bertambahnya usia, kesadaran saya pun tumbuh kembali. Terlebih ketika mulai tergolong tidak muda lagi, dan anak-anak mulai tumbuh menjadi remaja. Secara rutin kami memanggil ustadz ke rumah, untuk belajar mengaji, memperlancar ibadah, dan memperluas wawasan keagamaan. Dan setelah menunaikan ibadah haji pada 1993, saya merasa tak ingin lagi melakukan apa pun yang kira-kira dilarang agama. Insya Allah.
Alhamdulillah, cucu-cucu saya sejak usia tujuh tahun sudah bisa berpuasa secara penuh. Mereka juga sudah hapal doa-doa salat dan doa sehari-hari. Menyenangkan sekali. Setiap saya salat, mereka pasti berebut ikut. Juga setiap saya akan ke acara-acara keagamaan. Menurut saya, dampaknya bagus. Mereka akan merasa dekat dengan nilai-nilai agama dan tanpa dipaksa-paksa akan menjaga prilaku sesuai dengan norma-norma. Mudah-mudahan.
Mama Harus Pakai Jilbab.
Dulu, sebagai artis, saya tidak pernah membayangkan mengenakan jilbab seperti ini setiap hari. Bukan cuma karena sempat jauh dari agama, tapi juga dalam pemahaman saya, pakaian muslimah itu tidak wajib hukumnya. Boleh pakai, boleh tidak. Malah saya pikir, memakai jilbab justru menimbulkan kesan pamer, "Nih, gue udah haji, nih. Makanya gue pake jilbab." Karenanya, ketika akan berangkat menunaikan ibadah haji, saya sempat bilang sama anak-anak, "Ah, kayaknya, nanti kalau Mama pulang, nggak akan pakai jilbab, deh. Kecuali pada momen-momen tertentu saja."
Eh, rupanya kata-kata saya itu dicatat malaikat. Suatu ketika di masjid Nabawi, sambil menunggu waktu salat Isya sehabis salat Magrib, saya sedang duduk membaca Quran, datanglah seorang wanita Maroko, mengaku berprofesi sebagai guru, mengajak saya ngobrol tentang Islam di Indonesia. "Apakah wanita-wanita Indonesia memakai jilbab?"
"Sebagian, ya. Dan kecendrungannya semakin lama semakin bertambah. Dibanding ketika saya remaja, sekarang jumlah pemakai jilbab jauh sangat banyak sekali."
"Oh, senang mendengarnya. Lantas, Anda sendiri bagaimana?"
"Saya? Ah, saya tidak."
Wanita itu tersenyum, menunjuk Al-Quran di tangan saya, lantas meminta, "Maukah Anda membacakan surah An-Nisa ayat 31 untuk saya?"
Kenapa tidak, pikir saya. Saya lantas membaca ayat yang dimaksud, sekaligus dengan terjemahannya. Pada intinya, ayat tersebut menyatakan bahwa setiap muslimah wajib menutup auratnya dengan pakaian panjang, tanpa melihat apakah dia sudah haji atau belum. Pada saat itulah saya tersadar, "Oh ternyata memang wajib, toh?" Saya membayangkan, anak-anak pasti surprise melihat mamanya tak lagi mau melepaskan jilbab sepulang dari haji. "Ya, sejak saat ini, Mama harus selalu pakai jilbab."
Aduh, Ada Kewajiban, nih!.
Bagi sementara orang, ibadah itu menyulitkan. Tapi dalam pengalaman saya, tidak. Jilbab ini, misalnya, tetap tidak menghalangi saya untuk terus menggeluti dunia akting. Ketika harus memerankan tokoh antagonis, misalnya, ya saya memilih melepaskan jilbab ketika shooting. Tidak apa-apa, untuk menjaga citra jilbab itu sendiri.
Begitu pula dengan salat, puasa, dan ibadah sehari-hari lainnya. Bila kita memang sudah bertekad akan menjalankannya, Allah pasti memberi kemudahan, sesibuk apa pun kita. Dan untungnya, saya ini termasuk orang yang tidak bisa tenang bila waktu salat telah tiba sementara saya belum menunaikannya. Saya pasti gelisah, tidak peduli ketika itu saya sedang berada di dalam kendaraan, di pasar, di ruang dokter, dan sebagainya. Saya pasti akan segera mencari tempat untuk menunaikan salat.
Saya juga sering mengingatkan teman-teman sesama artis, jangan karena ada shooting lalu kita meninggalkan salat. "Bilang saja, ‘aduh, ada kewajiban superpenting, nih!" Kalau betul-betul kepepet, dalam perjalanan jauh, misalnya, Allah Maha bijaksana, salat bisa dijamak. Bahkan, kalau kita sedang sakit pun, salat bisa dilaksanakan sambil tidur. Jadi, sebenarnya tidak ada alasan untuk meninggalkan ibadah.
Jaga Terus. Barangkali, karena selalu menjaga ibadah itulah, alhamdulillah, selama ini saya juga dijaga Allah dari hal-hal yang tidak pantas. Jangankan berbuat, untuk berpikir atau berniat saja saya pasti gemetar. Entah, kok rasanya ada sensor di dalam dada ini yang setiap saat memberi peringatan.
Selain dari dalam, penjagaan dari luar pun tidak sedikit. Itulah manfaatnya berjilbab, aktif dalam kegiatan agama di lingkungan rumah, di masyarakat, dan di lembaga-lembaga sosial. Saya senang menghabiskan waktu di yayasan-yayasan Islam seperti Al-Islamiyah Foundation, BAZIS DKI, Bidang Kesejahteraan dan Kerohanian Parfi, Yayasan Al-Ikhsan, yang secara rutin mengadakan acara penyantunan terhadap fakir miskin. Lingkungan seperti itu juga sangat efektif menjaga saya untuk tetap berada di jalan yang diridai Allah. Mau meleset sedikit, "Eit! Ibu kan sudah menjadi tempat kami bertanya. Beri contoh yang baik, dong!"***
Muzakkir Husain
Biodata Nama Mieke Wijaya
Lahir Bandung ,17 Maret 1940
Pendidikan terakhir: Akademi Teater Perfini "Usmar Ismail"
Organisasi: Ketua Bidang Kesejahteraan dan Kerohanian Parfi
Penasehat Yayasan Al-Ikhsan, Jakarta
Pengurus BAZIS DKI Jakarta
Koordinator Seni Budaya Al-Islamiyah Foundation, Jakarta
Koordinator Bidang Seni Budaya, DPP PPP
Prestasi: Berkali-kali terpilih sebagai Aktris Terbaik dan Pemeran Pembantu Terbaik pada Festival Film Indonesia sejak 1955. Terakhir berhasil meraih Asian Television Awards untuk Pemeran Pembantu Terbaik dalam sinetron "Jakarta-Perth", di Singapura, 1996.
-------------------------------
( Sumber: Panjimas Online - http://www.panjimas.co.id )
8. KELUARGA, LAUTAN HIKMAHKU
TETRASWARI DIAHINGATI HANDRIANTO,
Ini sebagian lembaran hidup seorang muslimah Jawa. Ibu muda yang masa kanak-kanak dan remajanya berada di lingkungan sekuler, menemukan pencerahan menjelang menikah sampai berkeluarga. Ada banyak hikmah ia temukan dalam usianya yang masih relatif muda. Untuk Panji, Tetraswari Diahingati Handrianto menuangkan sendiri pengalaman religiusnya.
"What is God to you?" tanya Ellen McCally, saudara angkatku yang berasal dari Amerika. Ia tinggal di rumah kami selama setahun dalam rangka pertukaran pelajar. Untuk sejenak aku terpaku. Mungkin karena tidak sabar menunggu, dia menjawab sendiri menurut versinya tentang Tuhan, yang kemudian aku benarkan.
Aneh, mengapa aku tidak mampu menjawab? Yang pasti bukan karena keterbatasan kemampuan bahasa Inggrisku, melainkan mungkin karena keterbatasanku mengenai konsep Tuhan dalam Islam, agama yang kuanut. Sebenarnya, banyak pertanyaan yang seharusnya sudah kupikirkan pada usia itu (18 tahun). Bagi seorang muslimah, usia 13 adalah batas ketika dia harus mulai berpikir kritis tentang siapa dia, dari mana dia, dan untuk apa dia hidup. Tapi mengapa aku tidak demikian? Penyesalan ini terus mengikutiku sampai kini. Sampai aku mampu menjawab semua pertanyaan itu.
Sinis terhadap Islam.
Sewaktu kecil aku tinggal dalam suasana kampung di Bogor. Di belakang rumah kami, hanya selisih tiga petak rumah, ada madrasah. Setiap sore selalu terdengar suara anak-anak sebayaku mengaji Al-Quran dengan hafalan. Tapi setiap mendengar suara-suara itu, hanya ketakutan yang kurasakan. Masih ingat ketika setiap malam Jumat di TVRI ada acara pembacaan ayat suci Al-Quran aku buru-buru minta ibu atau kakakku mematikan televisi. Aku merasa takut. Waktu masuk kelas 4 SD, aku berkawan dengan mereka yang hampir semuanya sudah mampu membaca Al-Quran walaupun perlahan-lahan. Aku malu dan mulai ikut kegiatan di madrasah belakang rumah.
Sialnya, madrasah itu bahasa pengantarnya bahasa Sunda. Aku sama sekali tidak mengerti penjelasan ustadz, ditambah lagi, semua murid madrasah sudah mampu membaca dan banyak hafal ayat. Aku malu dan lengkap sudah keenggananku mengaji. Terlebih keluargaku keluarga Jawa yang sangat "jawa". Bayangkan saja, tatkala aku kanak-kanak, katakanlah sampai usia 12 tahun, bapak sering meninggalkan aku karena dia tengah belajar di luar negeri. Aku dapat mengetahui kondisi bapak dari sikap ibu sehari-hari. Kalau ibu terlihat gelisah, kerap menangis, pasti ujian bapak tidak bagus nilainya. Atau, bapak sedang mengalami kesulitan belajar. Kalau sedang dalam kondisi demikian, ibu jadi sering salat. Aku tidak tahu persis apakah doa-doa dalam salat yang ibu ucapkan dalam bahasa Arab atau bahasa Jawa. Yang jelas, di depannya aku pernah melihat ada dupa, kembang, buah pisang, dan jajan pasar. Aku masih terlalu kecil untuk bisa bertanya untuk apa semua itu. Yang aku ingat, aku selalu exited menanti ibu selesai salat untuk kemudian melahap semua makanan yang ada.
Pada zaman itu, kami memang belum dekat dengan kehidupan bernuansa Islami walaupun kami mengaku muslim. Paling tidak itulah jawabanku setiap teman Amerikaku bertanya, What's your religion? Pernah memang orangtuaku mengundang guru mengaji khusus untuk kami berempat (aku mempunyai tiga kakak laki-laki), tapi entah kenapa kami justru selalu ngerjain guru kami itu. Guru mengaji itu anak buah bapak di kantor. Kebetulan pemahaman Islamnya baik sehingga dipercayakanlah dia mengajari kami berempat. Dasar kami memang bandel, saat dia sedang mengajar, kami suka cekikikan sendiri atau kalau dia mau menulis kapurnya kami sembunyikan. Terus kami pura-pura ikut mencari. Pokoknya, guru bisa tidak nyaman mengajari kami. Akhirnya dia berhenti mengajari kami.
Pandanganku yang amat minor tentang Islam hadir justru saat aku duduk di bangku SMA. Pada zaman itu mulai merebak penggunaan kerudung oleh remaja-remaja muslimah. Aku memandangnya secara sinis. Kampunganlah, ekstremislah atau bisa menimbulkan penyakit kulit bila badan tak terkena sinar matahari. Ketika ada kasus pelarangan jilbab di SMA negeri yang kemudian masuk ke pengadilan sehingga ramai, aku menjadi tak habis pikir. Kalau mau pakai jilbab ya sekolah saja di sekolah Islam atau madrasah. Mengapa harus pusing. Kalau ingin sekolah negeri ya jilbabnya dibuka. Itu yang terlintas di benakku. Bahkan saat pecah peristiwa Tanjung Priok, dari berita di koran aku merasa bahwa mereka adalah Islam militan yang memang harus diredam pergerakannya. Tak lupa aku bangga dengan TNI yang tegas menegakkan hukum di bumi pertiwi ini.
Itulah masa kanak-kanak dan remaja yang aku anggap sebagai pikiran yang sangat situasional, masih mudah terombang-ambing oleh informasi yang sudah terdistorsi, terutama mengenai Islam. Apalagi pemerintah Orde Baru waktu itu masih menganggap kekuatan Islam sebagai ekstrem kanan, sama bahayanya dengan ekstrem kiri alias komunis.
Akan halnya dengan kedua orangtuaku, ada satu hal yang kusyukuri. Sejak beberapa tahun belakangan, bapak dan ibu rajin salat. Beliau pun sudah berhaji dua tahun lalu. Satu kemajuan besar dalam keluargaku. Keluarga di mana aku menjadikannya sebagai lahan berbakti. Bagaimanapun, kepada orangtua anak tak pernah bisa membalas budi, terutama kepada ibu. Kepada dia, aku berutang nyawa karena dia yang melahirkanku. Mana mungkin aku membalasnya? Berbakti saja, sebenarnya tak cukup karena saat melahirkan aku, ibu bertaruh nyawa.
Aku paham bagaimana sulitnya menjadi orangtua karena kini aku seorang ibu dari seorang putri. Semoga kami sekeluarga menjadi orang saleh yang selalu bergerak di jalan Allah. Terlebih, kedua orangtuaku makin sepuh. Tak terbayang, andai mereka karena perbedaan memandang sesuatu hal antara kami yang dianggap fundamentalis dengan orangtuaku, lantas hadir ranjau-ranjau menuju husnul khatimah. Jangan. Ya Allah, jauhkan kami, orangtua kami, dari aral menuju-Mu.
Tertolong Sikap Bapak.
Tatkala aku sekolah di Bandung, aku punya kawan pria yang amat dekat. Dia Katolik. Dia pernah bilang, “Kenapa sih Islam itu pakai azan segala. Mengganggu orang tidur.” Saat itu, dengan pemahaman Islam yang dangkal, aku tak bisa memberi jawaban. Aku orangnya pasif. Bahkan dia pernah mengajakku keluar dari Islam. Caranya lembut. Kebetulan waktu itu menjelang ujian semester. Biasa, di kalangan umat Katolik kalau mau ujian, mereka berdoa di gereja, ada novena di gereja. Dia bilang,”Semua orang datang di gereja. Cuma ada satu orang yang sangat kuharapkan bisa hadir di sana, ternyata tidak datang. Orang itu, kamu.”
Mendengar itu, dalam hati aku tertawa. Ah, aku tahu kamu mau mengajak aku masuk Ka-tolik. Meski aku orangnya rame, waktu itu suka cekakakan, untuk soal pindah agama rasanya tak bakalan, deh. Soalnya, bapak sudah mewanti-wanti aku, ketika dia tahu aku dekat dengan kawan yang Katolik ini. Waktu bapak tahu aku dekat dengan dia, bapak bilang, ”Kamu jangan cari masalah.” Memang, sejak pertama aku di Bandung dan belum merasa fit in, kawan dekat yang laki-laki, ya cuma dia ini. Bapak mengingatkanku, dengan nada keras lagi. Aku memang bersyukur benar. Dalam soal agama, bapak keras terhadapku dalam arti dia tak ingin anaknya keluar dari Islam.
Saat kawan Katolik-ku menyoal azan yang menurut dia mengganggu itu, aku belum bisa menjawabnya. Kalau sekarang aku ditanya hal yang sama, aku akan katakan, azan itu panggilan salat. Semua orang harus mendengarnya, harus diingatkan. Makanya dikeraskan dengan maksud membangunkan. Orang nonmuslim seharusnya mengerti itu. Maklum, kita di sini negeri sekuler sejak awal. Mereka sulit memahami azan.
Hubunganku dengannya tak berlanjut. Memasuki usia kepala dua aku mulai menghadapi problem serius. Dengan bantuan ibu semua masalah itu bisa selesai dengan baik. Sebagai anak bungsu aku cenderung manja. Sangat bergantung pada ibu. Sampai-sampai terpikir, aku tak mungkin sanggup hidup bila ibu menghadap-Nya. Hubunganku dengan ibu begitu erat, seperti seorang ibu dan bayinya. Padahal aku juga sadar, aku sudah beranjak dewasa.
Suatu ketika, entah sengaja atau tidak, aku pernah mendengar bahwa sebagai manusia, kita hanya boleh bergantung kepada Yang Mahakuasa dan bila kita bergantung kepada sesama, Allah mampu mengubah menjadi sebaliknya. Itulah yang terjadi kemudian. Kami seperti musuh dalam selimut gara-gara ibu tak setuju dengan calon mantu yang kuajukan.
Sebagai anak manja yang tinggal di luar kota kelahiran, mendapatkan teman pria yang melindungi membuat aku sangat senang. Hubungan kami sangat dekat dan ibu waktu itu sangat merestui mengingat beliaulah yang punya ide untuk “menjadikan” kami. Begitu hubungan kami sudah menjurus ke arah perkawinan, Allah berkehendak lain. Makin dekat hubungan kami, makin menjauh hubungan pacarku dan keluarganya dengan keluargaku. Puncaknya, orangtuaku menolak lelaki itu. Aku berontak. Selama ini orangtuaku selalu bilang ya terhadap apa yang kuminta. Aku kehilangan arah. Orang yang selama ini kupercaya tiba-tiba menjadi musuhku. Berkali-kali aku harus menemui seorang psikolog dan seorang temanku yang kebetulan dokter mengatakan bahwa aku menderita psikosomatis.
Aku tak tahu persis kronologinya, yang kuingat, aku pernah sampai menginginkan kematian dengan cara yang buruk. Aku pernah menyilet nadiku meski tak sampai pendarahan hebat. Karena memang saat itu aku juga masih takut mati. Silet yang tajam sempat menghunjam tapi tak sampai memutus nadiku. Alhamdulillah, aku tak jadi gelap mata meneruskan perbuatan bodoh itu. Kalau ingat hal itu, aku malu kepada Allah.
Rindu Salat.
Walaupun selama itu aku sering tidak mengingat Allah, aku merasakan bahwa Dia mengetahui kesulitanku, Dia menyayangiku. Sampai suatu ketika, Allah mengirimkan se-orang lain yang dapat aku ajak bicara dan percaya. Dia mengirimkan seorang saudara jauh, yang tidak pernah aku kenal sebelumnya, yang entah kenapa, begitu memperhatikan keluarga kami. Dari saudara inilah aku dikenalkan kepada seorang pembimbing (ustadzah).
Ustadzah itu memang bukan guru mengaji biasa. Ia menerangkan Islam melalui pemikiran yang aku belum sampai untuk ke sana. Namun ada satu hal yang selalu aku ingat darinya. Ia suatu ketika mengatakan, segala sesuatu yang menyangkut urusan hidup sesuai dengan ajaran Islam. Dengan kata lain tolok ukur perbuatan kita adalah hukum Islam. Karena pasti akan diridhai Allah dan menghasilkan akhir yang baik. Bila suatu pekerjaan dimulai dengan baik akan memberikan hasil yang baik pula. Demikian juga dalam menentukan jodoh, apabila sejak awal menimbulkan keburukan, tentunya tidak akan menghasilkan akhir yang baik.
Kata-katanya membuatku lega. Sampai sekarang aku selalu mengingatnya. Maka setiap aku akan memulai sesuatu aku selalu berpikir dahulu, apakah ini baik? Apakah sesuai dengan ajaran Islam? Apakah Allah akan ridha dengan perbuatan ini? Apakah ini semata-mata karena Allah dan tak karena yang lain? Setelah hati ini pasti dan pengetahuan aku mengatakan ya, aku lakukan pekerjaan itu.
Setelah aku mulai memahami Islam, aku merasa sangat dekat dengan-Nya. Aku berusaha melaksanakan semua perintah-Nya. Termasuk mengenakan jilbab. Cerita tentang jilbabku juga malu benar kalau kuingat. Setelah beberapa kali aku mengaji, ustadzahku kerap bertanya, kapan aku berjilbab? Aku cuma menjawab sekenanya dan tak tergerak untuk berjilbab. Mengaji pun karena dasarnya diarahkan saudara jauhku, terasa selalu ada “pesan sponsor” sehingga belum sepenuhnya aku mencemplungkan diri dalam ikhtiar mendekati Allah.
Sampai suatu ketika kudengar mantan pacarku ternyata menikah. Gadis yang dinikahinya ternyata berjilbab. Entah pikiran dari mana aku jadi benci benar dengan jilbab. Kebencian yang kualami sempat kurenungkan sehabis salat. Bahkan terbawa sepanjang perjalanan Jakarta-Bogor ke tempatku bekerja. Ah, kalau aku membenci jilbab, bisa-bisa aku akan membenci Islam. Bisa-bisa aku akan mudah membenci sesuatu yang terkait dengan masa laluku. Aku akan makin jauh dari Islam. Maka kulawan kebencian itu. Bagaimana sih kalau aku juga berjilbab. Biarlah, apa yang semula kubenci, kuhadapi dalam keseharianku.
Dalam perlawanan batin inilah aku tampil berjilbab. Aku juga mulai “nakal” dengan makin rajin mengajukan pertanyaan yang mungkin saja naif kepada ustadzah. Bukan kepuasan batin karena pencecaranku itu yang kudapat, tapi suasana baru. Bahwa aku menemukan keindahan Islam. Keluasan ajaran-Nya melalui argumentasi ustadzah.
Aku mulai bisa berjalan tegak kendati orangtuaku menganggap kegiatan mengajiku sebagai pelarian. Saudara yang menghubungkan aku dengan pembimbing dan teman-teman aktivis Islam banyak memberi dukungan. Ia selalu bercerita tentang teman-temannya beserta kegiatan keislaman di lingkungan pergaulannya. Penuturannya sangat menarik sehingga aku bergabung dengan mereka.
Pengajian yang kuikuti di pesantren Al Azhar Bogor, membuatku makin mantap berjilbab. Jilbabku bukan lagi perlawanan atas kebencian, tetapi benar-benar kesiapan batin sehingga aku sepenuhnya mengenakan busana muslimah ini sesuai perintah-Nya.
Efek lain dari pengajian itu, setiap hari aku amat merindukan waktu salat. Ingin cepat salat fardu dan salat duha atau terjun di samudera keheningan bertahajud. Pada kesempatan itulah aku begitu bebas mengadu, bebas bercerita, dan sering aku mengucapkan ya Allah, I love you, aku mencintai-Mu.
Teman-teman kuliahku yang sering meneleponku ke kantor sering mendapatkan aku tidak di tempat karena sedang salat. Maka proteslah mereka, "Kamu kok salat melulu sih!" Aku hanya dapat tersenyum menanggapinya.
Karunia dan Peringatan-Nya.
Mahabesar Allah yang selalu mendengar jerit tangis umatnya. Tidak sedikit pengalaman yang membuat bertambah kecintaanku pada Allah. Terutama ketika Dia mendengar jeritan permohonan aku. Aku pun merasa kecintaanku ini timbul karena kecintaan Allah padaku. Saat itu aku memang sudah bekerja di Jakarta dengan menduduki posisi yang boleh dibilang strategis dan putus hubungan dengan calon yang tidak direstui ibu. Seperti biasa, aku merasa takut (aku selalu ketakutan pada situasi baru).
Waktu itu aku berpikir, alangkah indahnya hidup kalau aku bisa mendapatkan seorang suami yang saleh di kota metropolitan yang banyak polusi akhlak ini. Aku begitu takut mendapatkan laki-laki yang salah karena bagaimanapun, aku adalah seorang yang sangat menginginkan keluarga sakinah. Sejak remaja pun aku sudah membayangkan memiliki keluarga damai, sejahtera, bahagia. Aku percaya, kebahagiaan dunia terindah dan membawa nilai amal adalah kebahagiaan bersama keluarga.
Waktu itu, setiap selesai salat, aku selalu berdoa lama sekali. Aku berdoa dengan menggunakan kata-kataku sendiri, memohon, Allah menghadirkan jodoh muslim nan saleh. Tak berapa lama, saudara jauh yang pernah membantu aku dulu, kini membantu lagi dengan memperkenalkan aku pada seorang muslim yang aku anggap saleh. Setahun kemudian ia menjadi suamiku.
Aku percaya keluarga adalah lautan yang di dalamnya kita dapat menjaring ibadah. Oleh sebab itu, keluarga menjadi prioritas utama dibanding hal-hal lain di dunia ini. Dengan alasan ini juga aku memutuskan untuk keluar dari kantor tempat aku bekerja selama tiga tahun terakhir. Padahal boleh dibilang di kantor itu aku berpendapatan lebih dari cukup. Terlebih kedudukan aku cukup tinggi dan mempunyai prospek yang cerah. Tapi dengan jabatan di bidang akuntansi dan keuangan itu, aku kerap harus pulang larut. Suamiku selalu mengatakan bahwa rezeki kita dari Allah adalah tetap, dalam arti, kalaupun pendapatan kita berkurang, pengeluaran kita pun bisa berkurang. Dengan percaya pada pernyataan ini dan semata-mata untuk membina keluarga sakinah mawadah wa rahmah yang diridhai Allah, aku keluar dari kantor walaupun gaji suami (yang lebih rendah dari gajiku) secara akal, jauh dari cukup.
Sekali lagi Allah menggunakan kekuasaan-Nya dalam menentukan nasib dan keluargaku. Sewaktu kuliah di Bandung dulu, aku pernah mengajar paro waktu pada sebuah lembaga bahasa. Agar tidak terlalu menganggur, suamiku mengizinkan aku untuk bekerja paro waktu lagi. Alhamdulillah tanpa mengalami kesulitan, tiga bulan setelah keluar dari kantor yang dulu, aku mulai mengajar pada lembaga bahasa yang sama di Jakarta ini. Ternyata Allah memberikan lautan yang lebih luas lagi untukku menjaring ibadah. Bukankah dengan mengajarkan ilmu yang bermanfaat pada orang lain, terlebih jika ikhlas dan sadar semata-mata karena Allah, kita juga beribadah? Dan yang tak kalah penting, aku dapat membantu suami dalam menjamin roda kehidupan keluarga terus berputar.
Sembilan bulan lamanya aku dikaruniai-Nya hadiah berbulan madu. Aku amat bersyukur, Allah demikian mengerti bahwa aku memerlukan waktu untuk mengenal suami dan menyatukan visi mengenai keluarga dengannya. Karena waktu yang cukup itu, aku merasa benar-benar siap waktu membawa Arini dalam perutku selama sembilan bulan kemudian. Sampai-sampai aku sering memberi nasihat pada kakak dan adik ipar yang juga hamil. Begitu banyak buku mengenai persalinan yang aku baca. Dalam hati aku mengatakan, aku siap.
Mungkin pada waktu itu aku agak sombong, seolah-olah aku sudah tahu semua. Alhamdulillah Allah menyadarkan aku kembali dengan memberikan persalinan yang sulit. Aku harus diinduksi selama 24 jam dan harus tetap tidur telentang selama itu pula. Juga postpartum syndrom yang kualami selama seminggu, disusul dengan Arini yang harus masuk rumah sakit untuk disinar karena kuning dan terakhir aku mengalami demam tinggi begitu Arini keluar dari rumah sakit sehingga kami harus dipisahkan. Pada saat-saat itu aku berpikir apakah ini ujian atau peringatan. Tapi apa pun itu, aku bersyukur, karena aku diajari untuk bersabar dan berintrospeksi diri, langsung dari Allah.
Islam Rasional.
Ilmu agamaku tidaklah tinggi, tapi Allah menghadiahkan padaku tidak hanya seorang suami yang saleh, dia juga seorang guru yang sabar dan cukup luas ilmu agamanya. Dari dialah aku mendapat jawaban atas pertanyaan siapa aku, dari mana aku, dan untuk apa aku hidup. Dari dia pula aku mendapat penjelasan mengenai tak adanya Tuhan selain Allah, mengapa mempercayai Muhammad, mengapa mempercayai Al-Quran. Semua penjelasannya masuk akal, bahkan tanpa mengetahui isi Al-Quran sebelumnya.
Aku begitu mantap. Aku tidak beragama Islam karena bapakku muslim, tak juga karena nenek moyangku muslim, bahkan aku tidak tahu apakah mereka membaca dua kalimah syahadat atau tidak. Tidak juga karena aku telah mengalami cobaan atau peringatan nan berat. Tapi aku menjadi muslim karena akal membawaku percaya bahwa ada kuasa yang mahatinggi, yang tak mungkin dimiliki oleh Tuhan lain selain Allah. Aku menjadi pengikut Muhammad karena secara akalku percaya beliaulah utusan Allah, manusia yang Al-Amin. Tak mungkin berbohong.
Tak ada doa yang lebih sering kuucapkan selain memohon Allah meridhai keluarga menjadi keluarga sakinah mawadah wa rahmah. Alhamdulillah sampai saat ini kami diberikan kebahagiaan dan kesejahteraan. Memang kadang-kadang kami dihadapi kesulitan keuangan juga cobaan dalam kesehatan. Tapi Allah selalu saja mengangkat kesulitan kami.
Pernah suatu saat suami harus pergi untuk menghadiri pernikahan seorang famili di luar kota. Padahal saat itu dana kami benar-benar sedang minim dan bulan masih jauh dari tanggal baru. Aku ditinggal untuk beberapa hari dengan seorang bayi dua bulan dan uang hanya Rp30.000, tak ada juga tabungan sepeser pun. Aku ingat waktu itu bahwa aku punya "tabungan" pada tetangga. Dia pernah berutang padaku. Karena perlu dana untuk membayar telepon dan koran, maka dengan terpaksa aku menagih uang itu. Tapi bukannya aku mendapat pengembalian, aku malah mendapat keluhan bahwa anaknya yang seumur anakku sedang sakit, dan dia tidak punya uang untuk membawa anaknya ke Puskesmas.
Karena iba, aku menjadi bingung. Di satu pihak aku butuh uang untuk keluarga, di pihak lain seorang tetangga mengeluh pada aku. Apa yang harus aku perbuat? Aku kemudian ingat sikap Rasul. Beliau selalu membantu orang yang membutuhkan bantuan dan berkorban untuk mereka serta mengajak keluarganya untuk bersabar. Dengan pikiran itulah disertai ucapan semua ini semata-mata karena Allah, aku serahkan separo dari uang yang aku miliki kepada tetanggaku itu.
Tanpa diduga suamiku bisa pulang lebih awal dari rencana semula. Wajahnya berseri-seri. “Ada rezeki buat Arini,” ujarnya. Ternyata pada pertemuan keluarga itu suamiku banyak mendapatkan hadiah uang dari kerabatnya, disertai ucapan selamat atas kelahiran Arini. Alhamdulillah, aku langsung teringat apakah ini juga kado dari Allah atas kesabaranku kemarin? Ini membuatku makin percaya, Allah melihat segala sesuatu. Baik hal-hal kecil maupun besar yang terjadi pada diri dan keluargaku. Aku makin mencintai-Nya.
Bio Data Nama : Tetraswari Diahingati, S.E.
Tanggal Lahir : 9 Mei 1969
Menikah : 31 Desember 1995
Suami : Ir. Budi Handrianto
Anak : Arini Izzataddini
Pendidikan: Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Katolik Parahyangan, Bandung (1993)
SMA Negri 2 Bogor, (1987)
SMP Negri 2 Bogor (1984)
Gertrude Fellows School, Ames, Iowa USA (1978-1981)
SDN Pengadilan 2 Bogor (1978)
Organisasi: Lingkar Studi Muslimah (LSM), Bogor (anggota)
Forum Kajian dan Amal Islam (Fokalis), Jakarta (sekretaris)
Pengalaman Kerja: Periset Paro Waktu Matari Adv. Inc., Bandung (1988-1991)
Instruktur Paro Waktu LBIB Yayasan LIA, Bandung (1991-1993)
Chief Accountant PT Petrolog Multi Usaha Mandiri, Jakarta (1993-1996)
English Instructor pada Lembaga Bahasa LIA, Pengadegan Jakarta (1996-sekarang).
( Sumber: Panjimas Online - http://www.panjimas.co.id )
( PENGALAMAN RELIGIUS / PANJI NO. 17 TAHUN III. 11 AGUSTUS 1999 )
9. KEBERANIAN DARI ALLAH
WAN AZIZAH WAN ISMAIL,
Tidak ringan cobaan yang dia hadapi. Tapi dia merasa Allah menyertainya.
Ketika pamor suaminya, Anwar Ibrahim, semakin bersinar setelah terpilih menjadi wakil perdana menteri pada 1993, Wan Azizah Wan Ismail, 46 tahun, seakan menjadi role model bagi wanita Malaysia. Istilah "kerudung Datin Azizah" sempat mencuat, membedakan gaya berkerudung yang sudah ada dengan gaya Azizah yang mirip mahasiswi. Beberapa pengamat melihat, justru penampilan Azizah-lah yang turut mendongkrak citra Anwar sebagai pemimpin masa depan tanah Melayu-Islam. Pakar oftalmologi ini memang mempesona: tertib berbahasa, luwes membawa diri, rendah hati, ramah, dan murah senyum.
Namun segalanya seakan berubah. Setelah pemecatan Anwar, diikuti dengan pemenjaraan terhadap suaminya itu, pada 20 September lalu, Azizah tampil beda. Ibu dari enam anak ini--Nurul Izzah (17), Nurun Nuha (14), Nurul Ihsan (13), Nurul Ilham (11), Nurul Iman (8), dan Nurul Hana (6)--kini menjadi wanita pemberani, tegas, dan lantang. Dia tampil mengambil alih kepemimpinan gerakan reformasi yang ditinggalkan suaminya, jago menyampaikan pidato, tak canggung mengeritik pemerintah, meski tetap selalu tersenyum. Namanya lalu disandingkan dengan beberapa wanita Asia lain yang terpaksa terjun ke kancah politik karena tuntutan keadaan, seperti Corazon Aquino dari Filipina, Benazir Bhutto dari Pakistan, dan Sonia Gandhi dari India. Tapi, semudah itukah perubahan tersebut?
Selayaknyalah tidak. Sebab, di balik penampilannya yang tegar itu, Azizah menghadapi tidak sedikit tekanan. Dakwaan korupsi dan homoseksual terhadap suaminya merupakan beban yang paling berat. Ditambah sikap represif pemerintah yang membatasi ruang gerak Azizah sekeluarga. Kediamannya kini dijaga setidaknya delapan polisi setiap saat, siang dan malam, tak seorang pun selain keluarga yang boleh berkunjung. Teleponnya disadap, e-mail-nya diputus, dan, yang lebih pedih lagi, dia dan anak-anak tidak diperkenankan menjenguk Anwar di penjara. Sejak penahanan hingga hari ini, baru sekali dia sekeluarga boleh bertemu Anwar, yaitu setelah persidangan hari kedua, dua pekan lalu. Selebihnya, mereka hanya bisa melihat Anwar dari kejauhan, ketika disidangkan. Kini, Nurul Hana, anaknya terkecil, sedang demam panas merindukan ayahnya.
Yang tak kalah menyakitkan, sebagian besar media massa Malaysia mengikuti sikap Mahathir. Anwar seakan telah divonis bersalah meski pengadilan baru memulai persidangan. Aib keluarga Anwar dibahas panjang hampir setiap hari. Termasuk cerita tentang perkawinan Anwar-Azizah yang diisukan tidak direstui sehingga menempuh cara kawin lari. Azizah bahkan disebut mencontoh sikap Hillary Clinton yang membela habis-habisan suaminya yang diterpa isu skandal seks. Padahal, ia melihat semua itu semata sebagai panggilan agama.
Bisakah Azizah bertahan? Berikut penuturan Wan Azizah kepada Muzakkir Husain dari Panji, dalam kesempatan wawancara di kediamannya, Jalan Setiamurni I/8 Bukit Damansara, Kuala Lumpur.
Sebenarnya Bang Anwar sudah ditekan untuk mundur jauh sebelum dia dilucuti dari tugas sebagai timbalan (deputi) perdana menteri, 2 September lalu. Semula dia tetap bertahan. Tapi lama kelamaan dia kesal juga dan berkata kepada saya, "Saya nak mundur." Saya kata, jangan! Karena, jika melakukannya, berarti kita mengaku kalah.
Rupanya pihak kerajaan sudah tak tahan akan dia karena suka mengeritik perilaku korup, menentang kronisme, kolusi, dan nepotisme. Dia terlalu populer sehingga harus dicegah jangan sampai ikut pilihan raya tahun depan. Tentu dia akan semakin keras menghapus KKN bila memegang tali teraju kerajaan nantinya.
Sejak saat itu pula saya sudah mendapat firasat akan ada sesuatu yang berat akan menimpa kami. Benar saja, Mahathir memakai tangan besinya, melucuti Bang Anwar bahkan menahannya di bawah akta keselamatan negara (Internal Security Act-ISA, yang membolehkan penangkapan seseorang tanpa kesalahan yang jelas dan tanpa pengadilan, Red.). Hari-hari berat pun bermulalah. Hari-hari yang tak mungkin saya lalui tanpa pertolongan Allah.
Martabat Keluarga.
Kami tidak berniat menentang kerajaan, hanya maukan keadilan. Ini sebab utama mengapa adanya reformasi. Bukan untuk bergaduh. Pihak kerajaan tidak memberi pilihan buat kami selain melawan. Saya tentu melawan. Saya percaya, karena saya di pihak yang benar, maka Tuhan akan bersama saya.
Martabat keluarga saya telah diinjak-injak. Dakwaan ke atas suami saya tidak rasional. Saya adalah orang yang paling dekat dengan dia sejak kami menikah pada 1980. Saya tahu apa yang dia lakukan. Saya tahu dia tidak melakukan rasuah (korupsi) apalagi perilaku seksual di luar tabi’i (homoseksual). Saya meneladani cara hidup dia. Dia taat sembahyang, selalu pulang ke rumah, tak pernah lupa menelepon atau mengirim faks bila berada di tempat jauh. Dia itu family man. Bila ada masa, dia akan ajarkan anak-anaknya pengetahuan agama. Dia imami sembahyang kami, dia pun rutin khutbah ke mana-mana. Adakah dia sempat berpikir nak berbuat durjana seperti yang dituduhkan? Itu semua fitnah, karut, hanyalah konspirasi politik untuk hilangkan suami saya, supaya beliau tidak bertanding dalam pemilihan dan meneruskan karier politiknya.
Pedihnya, pers tempatan (dalam negeri) dikawal pula oleh kerajaan. Hampir semua akhbar turut mengaibkan suami saya, keluarga saya. Kalaupun betul suami saya tak bermoral, umpamanya, biarlah undang-undang yang menentukan. Jangan kami terlalu diaibkan sekali dengan pemberitaan yang tak adil setiap hari. Sepertinya tidak ada lagi sisi hidup kami yang tidak dikomentari dengan negatif. Bukan hanya komentar-komentar para politikus yang mencari muka lagi yang mereka muat berpanjang-panjang, tapi sampai-sampai ada yang menulis bahwa perkawinan kami tak direstui orangtua, kami kawin lari, dan sebagainya.
Ada lagi yang menyamakan saya dengan Hillary Clinton, sebab tuduhan seksual kepada Bang Anwar. Kalau Hillary masih terus mempertahankan suaminya yang nyata mengakui skandalnya dengan Monica Lewinsky, mengapa saya tidak boleh membela suami saya, sedangkan dia sudah berpuluh kali menyatakan tidak melakukan perbuatan terkutuk itu. Dan saya menjadi saksi kebenaran perkataannya.
Melawan Kezaliman.
Setelah Bang Anwar ditangkap, kami pun rasanya telah dimasukkan ke dalam penjara. Rumah dikawal siang malam, nak terima tamu tak boleh, nak email pun tak boleh, dapat menelepon tapi itu pun direkod. Terlebih lagi, ketemu Bang Anwar pun tak boleh. Jelas kami semua bimbang di rumah ini. Apalagi kami mendengar kabar, kemungkinan besar Bang Anwar akan disuntik HIV untuk membuktikan dia bersalah. Astaghfirullahal ‘azhim.
Hingga tanggal 29 September lalu, pertama kali Bang Anwar dibawa ke mahkamah, itulah pertama kali saya dan anak-anak boleh melihat dia sejak ditahan. Dan, ya Allah, ya Tuhankuu.… Ketika saya melihatnya pertama kali, saya shock. Sebelum ditahan, dia sehat wal afiat. Sekarang saya dapati mukanya lebam-lebam dan tubuhnya secara keseluruhan tidak stabil. Terus terang, keadaan ini amat merisaukan saya. Naluri saya mengatakan, dia telah disiksa.
Menurut Bang Anwar, pada malam penahanan, matanya ditutup dan tangannya digari ke belakang. Setibanya di penjara Bukit Aman, beliau dipukuli di bagian muka, bagian kepala, dan tengkuk. Hidung dan bibirnya berdarah. Bang Anwar mengalami kecederaan kuat sehingga pingsan satu hari.
Saya yakin, dia lebih terok (sengsara) lagi dari yang dia ungkapkan. Dia menghindari anak-anaknya sedih. Saya perhatikan, setiap mau berdiri, dia goyah, dan menahankan sakit pada perut. Kesan lebam yang belum hilang setelah sepuluh hari menunjukkan adanya tumbukan yang kuat.
Inilah yang semakin membulatkan tekad saya, dan saya juga yakin, tekad rakyat Malaysia. Bahwa kezaliman telah berlaku. Seakan tampak dengan nyata, orang yang digari tangannya ke belakang, ditutup matanya, dan dipukuli. Itu hanya bagian dari kezaliman yang lebih luas dan dalam masa yang lebih panjang dari rezim Mahathir. Tekad untuk meneruskan reformasi yang sudah dimulai oleh Bang Anwar muncul dan tidak akan terbendung lagi.
Saya teringat kata-kata Bang Anwar bahwa itu bagian dari panggilan agama, yaitu perintah menegakkan keadilan di muka bumi. Adalah wajib meluruskan yang bengkok, mengoreksi yang salah. Kita memang diperintahkan untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Dalam Islam, menuduh seorang muslim berzina tanpa dapat menunjukkan saksi empat orang, samalah dia dengan fitnah. Yang melakukan itu bisa dicambuk 80 kali sebagai hukuman memfitnah. Saya yakin, itulah yang tengah berlaku, dan setting politik yang melatar-belakanginya itulah yang harus direformasi. Rasa takut dalam diri saya seakan hilang. Saya ikhlas menerima risiko yang terberat sekalipun. Saya yakin saya benar, maka Allah akan menemani saya. Insya Allah. Allah akan menolong orang yang menuntut yang hak.
Kepedihan dan tekanan merupakan cobaan dari Allah untuk menguji bagaimana kita menangani sebuah masalah. Apakah tetap dengan ketakwaan, dengan iman dan amal, atau putus asa dan kufur.
Hikmah Besar.
Masih banyak karunia Allah yang boleh saya syukuri. Anak-anak, alhamdulillah, di luar batas yang mereka mampu pikul, tetap bisa tegar. Terkadang saya bimbang apakah mereka akan terus kuat, tidak boleh jumpa bapa atau sekadar menelepon, tapi lagi-lagi Allah memberikan kekuatan. Saya yakin, Dia tidak memberi beban melebihi yang bisa kami pikul.
Terutama anak sulung saya, Nurul Izzah. Dia tiba-tiba menjadi wanita perkasa yang tampil mengawal muruah (harga atau kehormatan diri) keluarga. Pada saat-saat lemah, saya sering mendapat inspirasi lagi dari dia. Ketegarannya sehari-hari dan ketabahannya setiap kali berdoa membangkitkan ketegaran dan ketabahan pada diriku sendiri. Mestilah Allah yang menurunkan karunia itu melalui Izzah.
Musibah ini telah membuat kami semua semakin mendekatkan diri kepada Allah. Kami memperbanyak istighfar, memohon keridhaan Allah s.w.t., bila kemungkinan melakukan sesuatu yang telanjur pada masa dulu. Justru dengan musibah ini saya merasa Allah menyayangi kami, dengan memberi kami petunjuk dan sekaligus menarik kami kembali sekiranya telah terlewat atau terlebih.
Hikmah yang lain lagi, walaupun musibah ini memang sangat berat dipikul, tetapi ianya telah membawa kesadaran kepada rakyat. Rakyat jelata semuanya tercelik matanya bahwa negara kami memerlukan perubahan, reformasi, untuk mendapatkan suasana yang sebaik mungkin. Mereka bersedia untuk berjuang bersama, menghilangkan penekanan dari peringkat atasan yang telah mengungkung kebebasan hukum, pada pihak kehakiman, pihak polis, pihak pers. Berjuang menghapuskan praktek-praktek korupsi, kolusi, kronisme, dan nepotisme. Sehingga Malaysia akan lebih berjaya lagi. Insya Allah.
Satu lagi hikmahnya, saya tahu, Bang Anwar baru sekarang dilihat bukan sama-sama sekongkol dengan Mahathir, bukan sekongkol dengan pihak-pihak yang ingin mengungkung rakyatnya. Ya, memang dia pernah di dalam kerajaan yang sekarang. Tapi kerajaan itu pulalah yang dulu menahannya pada tahun 1970-an, dan kerajaan itu juga yang dia masuki dengan keinginan mengubah dari dalam. Tapi nyata sekali dia tidak berdaya. Jadi, dia dipecat dan dihina begitu sekali membuka mata kita bahwa dia telah mencoba, dan karena kecobaannya itu, penentangannya itu membawa akibat. Ya, semua ini mesti mempunyai hikmah.
Ngidam Kelapa Muda.
Saya sudah terlibat dengan perjuangan Bang Anwar sejak dulu lagi. Saya istri pejuang. Jadi bila perkara ini berlaku, ia bukan perkara baru dalam hidup saya. Dulu pun kami begini juga.
Istri seorang pejuang perlu kuat. Perlu tabah. Itulah yang telah saya tanam sejak dahulu. Saya masih ingat masa saya mengandungkan Nurul Izzah dahulu. Saya mengidam kelapa muda yang pohonnya ada di depan rumah. Saya minta Abang Anwar ambilkan. Tapi karena kesibukannya yang tak kenal waktu, walaupun itu satu kerja mudah, permintaan saya itu tidak pernah dia tunaikan. Sampai sekarang saya masih ingat peristiwa itu.
Yang saya tangkap, bukanlah dia mengabaikan saya karena perjuangannya. Tapi dia memberi peringatan kepada saya agar tidak menjadi perempuan yang lemah. Sebaliknya saya perlu tahu tanggung jawab suami saya di luar lebih besar. Perkara kecil tidak perlu diperbesarkan. Kalau boleh diuruskan sendiri, jangan terlalu bergantung pada suami. Peringatan inilah yang sedikit sebanyak membentuk siapa diri saya hari ini.
Jilbab Gadis Belanda.
Ketika saya belia, tidak ada apa-apa yang istimewa. Saya belajar di sekolah rendah misionaris Kristen. Sekolah itu boleh menerima pelajar muslim di bawah pengawasan pemerintah. Ketika murid-murid nonmuslim belajar bahasa Melayu, kami yang muslim masuk kelas agama. Kebanyakan sekolah-sekolah pada masa itu menyediakan kelas agama sesuai anak didiknya.
Selain di sekolah, pendidikan keagamaan saya juga berlangsung di rumah, di bawah asuhan keluarga bapa. Usia sebelas bulan saya dititipkan di rumah bibi di Kedah karena bapa saya, hospital assistant di sebuah rumah sakit di Singapura, mendapat tugas belajar ke Inggris. Suasana keagamaan di seputar rumah cukup baik untuk membentuk religiusitas saya.
Tapi pengetahuan keagamaan saya rasanya jauh lebih mendalam ketika saya belajar di Irlandia. Mungkin karena dorongan naluri, ingin mendapat komunitas yang sesuai dengan negara asal, di sana saya banyak mengikuti pengajian keislaman yang diadakan oleh persatuan-persatuan muslim yang ada. Saya merasakan betul masa-masa itu sebagai periode menggali pengetahuan, umum dan agama.
Suatu hari pada 1973, saya berkenalan dengan seorang gadis Belanda yang sangat cantik. Dia juga mahasiswi tugas belajar di Irlandia. Dia memakai kerudung yang, masya Allah, seakan-akan memancarkan cahayanya. Saya termenung dan berpikir dalam hati, kalaulah dia yang menganut Islam selepas Kristen, terpanggil memakai kerudung, kenapa saya yang terlahir sebagai Islam, tidak? Saya juga teringat dari sejarah Malaysia, kerudung sebenarnya termasuk pakaian asli orang-orang Melayu. Saya tergerak ingin mengenakan kerudung, dan alhamdulillah sejak saat itu tidak pernah tanggal lagi.
Sejak awal saya tidak merasa janggal memakai kerudung. Memang sempat lingkungan saya memberi reaksi lucu: saya dianggap biarawati Cina. Saya jelaskan kepada mereka konsep jilbab dari aspek agama dan kultur. Pada akhirnya mereka menerima saja saya berpakaian begini.
Bertemu di Hospital. Kembali dari Irlandia, saya masuk bekerja di hospital besar Kuala Lumpur. Di sanalah saya bertemu Bang Anwar, pada 1979. Aneh, juga, sebab saya sebenarnya sedang bertugas merawat seorang pasien yang ternyata abang iparnya. Dia datang membezuk, dan pada masa itulah kami berkenalan. Kami menikah pada 1980.
Sejak berkenalan saya sudah melihat keutamaan pribadi Bang Anwar. Dia ramah tapi sopan. Bahkan setelah melamar pun, dia tidak ingin mengajak saya jalan bersama karena menjaga muruah. Inilah yang membuat saya sedih, dia dituduh yang tidak-tidak, bahkan kisah perkawinan kami ditulis tidak-tidak.
Mengenang itu semua, saya terdorong akan kembali menekuni pekerjaan di hospital. Selama ini pun saya tidak meninggalkan bidang kedokteran ini sama sekali dengan menjadi sukarelawan di Hospital Universiti. Tapi saya amat berharap, selepas ini semua, saya boleh melakukannya lagi sepenuh waktu. Apalagi saya baru saja mendapat ijazah post graduate di bidang ini. Di tengah hiruk pikuk reformasi ini, setelah saya bertemu Bang Anwar kemarin, pihak universiti datang ke rumah untuk menyampaikan ijazah kepada saya. Hal ini baru pertama kali berlaku, presiden universiti datang ke rumah mahasiswa untuk memberikan ijazah. Dia datang sekaligus untuk menyampaikan simpati dan mendoakan reformasi terus berjalan. Alhamdulillah.
Nama Datin Seri Wan Azizah Wan Ismail
Lahir Singapura, 3 Desember 1952
Pendidikan : Kedokteran Mata di College of Surgeons, Dublin, Irlandia
Pengalaman: Dokter bagian Mata Hospital Besar Kuala Lumpur
Sukarelawan Hospital Universiti, Kuala Lumpur
Kepedihan dan tekanan merupakan cobaan dari Allah
untuk menguji bagaimana kita menangani sebuah masalah.
Apakah tetap dengan ketakwaan, dengan iman dan amal,
atau putus asa dan kufur.
-----------------------------
( Sumber: Panjimas Online - http://www.panjimas.co.id )
10. BERMESRAAN DENGAN JILBAB
Pertanyaan:
“Busana muslim makin populer saat ini. Tidak lagi hanya di masjid atau di pesantren-pesantren, tapi di pusat-pusat perbelanjaan pun dengan mudah kita saksikan orang-orang yang berbusana muslim. Namun, saya agak terusik ketika sering menemukan di antara mereka ada yang bermesra-mesraan layaknya sedang pacaran atau mungkin sepasang suami-istri. Bagaimana masalah ini dilihat dari etika Islam?” Su’aidah Arfah (Jambi).
Jawaban Prof. Ali Mustafa Yaqub, M.A. (Guru Besar Institut Ilmu Al-Quran, Jakarta)
Bersikap mesra terhadap istri atau sebaliknya adalah hal yang dianjurkan agar bahtera rumah tangga tetap harmonis. Tetapi, meskipun "bermesraan" itu hukumnya halal bagi pasangan suami-istri, bukan berarti boleh dilakukan di sembarang tempat. Jika hal itu dilakukan di tempat umum sehingga dengan mudah dilihat orang lain, maka apa yang tadinya dihukumi halal pun menjadi haram.
Jangankan memperlihatkan perbuatan mesra atau intim, menceritakannya saja (kepada orang lain) tidak boleh. Dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Muslim, disebutkan: "Kalau ada seorang istri atau suami menceritakan kepada orang lain tentang apa yang dilakukannya dengan suami atau istri pada malam hari, dia itu tidak akan mendapatkan bau surga." Artinya, baunya saja tidak dapat, apalagi untuk masuk surga.
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim, disebutkan:
"Setiap umat-Ku akan diampuni dosanya kecuali orang-orang yang memamerkan atau memperlihatkan maksiatnya."
Kalau dilihat dari kedua hadis tersebut, perbuatan suami-istri yang melakukan perbuatan intim dan dilihat atau ditonton orang lain, haram hukumnya. Perbuatan seperti itu termasuk dalam kategori dosa yang berat sehingga Allah sendiri tidak mau mengampuninya, kecuali kalau betul-betul bertobat.
Nah, karena bermesraan di depan umum itu termasuk perbuatan munkar, maka bagi mereka yang melihat atau mengetahuinya, wajib untuk mencegah atau mengingatkan. Memang tidak mudah mencegahnya, terlebih saat ini kehidupan masyarakat kita makin permisif dan individualis. Apa yang sebelumnya dianggap tabu, kini dianggap sebagai hal yang biasa. Orang pun malas mengingatkan karena hal tersebut dianggap bukan menjadi tanggung jawabnya, itu urusan orang lain. Sedangkan si pelaku, menganggap tindakan bermesraan itu wajar dan halal karena dilakukannya dengan istri atau suaminya.
Tugas kita sebagai sesama muslim adalah saling mengingatkan. Namun, tentu harus dilakukan dengan cara yang baik agar selain pesan yang kita berikan bisa diterima, mereka juga tidak tersinggung atau merasa dipermalukan.
Rasulullah sebagai junjungan dan panutan kita, telah memberikan teladan yang baik tentang etika suami-istri. Beliau, misalnya, tidak pernah bepergian dengan membawa keempat istrinya sekaligus. Untuk itu, pernah suatu kali Nabi memilih--istrinya yang akan diajak pergi--dengan cara mengundinya. Nabi juga tidak pernah tidur satu ranjang dengan lebih dari satu istri. Dengan demikian jelaslah, hubungan mesra Nabi dengan istrinya tidak terlihat atau ditonton oleh istrinya yang lain.
Orang yang dengan sengaja mempertontonkan kemesraan atau keintimannya di depan orang lain adalah orang yang sudah tidak punya rasa malu. Akibatnya, martabat orang tersebut bisa jatuh lebih rendah dari binatang. Lihat saja, dalam bermesraan atau berhubungan intim, binatang juga sembunyi-sembnyi melakukannya.
Apakah dengan tidak bersikap mesra terhadap istri atau tidak melayani sikap manja istri di depan umum berarti si suami tidak setia? Tentu saja tidak. Kesetiaan dan rasa sayang terhadap pasangannya tidak bisa diukur dari "berani-tidaknya" bermesraan di depan umum. Yang lebih penting dari seorang suami adalah sikapnya yang dewasa dan tindakannya yang bertanggung jawab.
Salah satu bentuk tanggung jawab suami adalah memenuhi kebutuhan rohani istri dan menyadarkan istri bahwa bermesraan di depan umum adalah haram hukumnya. Tetapi, selagi tidak mengandung unsur yang haram, sudah selayaknya sang suami memberikan perhatian lebih pada istrinya, baik dengan cara bermesraan atau dengan memenuhi kebutuhan jasmaninya.
Secara umum, sang suami punya tanggung jawab moral terahadap istri dan anak-anaknya agar terhindar dari murka Allah. Dalam Surah at-Tahrim Ayat 6 dikatakan:
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka..."
Tanggung jawab sang suami itu tidak hanya mengajak istri untuk tidak berbuat maksiat seperti yang telah disebutkan, tetapi juga menjaga anak-istri dengan tidak memberikan makanan yang haram, tidak boleh menyekolahkan yang menyebabkan si anak menjadi musyrik. Suami atau ayah dari anak-anaknya juga bertanggung jawab dalam memberikan pengarahan dan pengajaran.
( Sumber: Panjimas Online - http://www.panjimas.co.id )
------------------------------------
11. ---( masih dalam proses ‘research & editing’ )-----
( Sumber: …………………………………………. )
( ……………………………..)
CIRI-CIRI WANITA SOLEHAH
Subject: [daarut-tauhiid] CIRI-CIRI WANITA SOLEHAH
Date: Mon, 3 Jan 2000 14:14:19 +0800
From: "Miftachul Arifin (BAT OP AEE)" <Miftachul.Arifin@infineon.com>
Reply-To: daarut-tauhiid@egroups.com
To: "'DT'" <daarut-tauhiid@egroups.com>
CIRI-CIRI WANITA SOLEHAH
Tidak banyak syarat yang dikenakan oleh Islam untuk seseorang wanita untuk menerima gelar solehah, dan seterusnya menerima pahala syurga yang penuh kenikmatan dari Allah s.w.t. . Mereka hanya perlu memenuhi 2 syarat saja yaitu:
1. Taat kepada Allah dan RasulNya
2. Taat kepada suami
Perincian dari dua syarat di atas adalah sebagai berikut:
1- Taat kepada Allah dan RasulNya
Bagaimana yang dikatakan taat kepada Allah s.w.t. ?
i) Mencintai Allah s.w.t. dan Rasulullah s.a.w. melebihi dari segala-galanya.
ii) Wajib menutup aurat
iii) Tidak berhias dan berperangai seperti wanita jahiliah
iv) Tidak bermusafir atau bersama dengan lelaki dewasa kecuali ada bersamanya mahramnya.
v) Sering membantu lelaki dalam perkara kebenaran, kebajikan dan taqwa
vi) Berbuat baik kepada ibu & bapa
vii) Sentiasa bersedekah baik dalam keadaan susah ataupun senang
viii) Tidak berkhalwat dengan lelaki dewasa
ix) Bersikap baik terhadap tetangga
2. Taat kepada suami
i) Memelihara kewajipan terhadap suami
ii) Senantiasa menyenangkan suami
iii) Menjaga kehormatan diri dan harta suaminya selama suami tiada di rumah.
iv) Tidak cemberut di hadapan suami.
v) Tidak menolak ajakan suami untuk tidur
vi) Tidak keluar tanpa izin suami.
vii) Tidak meninggikan suara melebihi suara suami
viii) Tidak membantah suaminya dalam kebenaran
ix) Tidak menerima tamu yang dibenci suaminya.
x) Senantiasa memelihara diri, kebersihan fisik dan kecantikannya serta kebersihan rumahtangga.
FAKTOR YANG MERENDAHKAN MARTABAT WANITA
Sebenarnya puncak rendahnya martabat wanita adalah datang dari faktor dalam. Bukanlah faktor luar atau yang berbentuk material sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh para pejuang hak-hak palsu wanita.
Faktor-faktor tersebut ialah:
1- Lupa mengingat Allah
Kerana terlalu sibuk dengan tugas dan kegiatan luar atau memelihara anak-anak, maka tidak heran jika banyak wanita yang tidak menyadari bahwa dirinya telah lalai dari mengingat Allah.
Dan saat kelalaian ini pada hakikatnya merupakan saat yang paling berbahaya bagi diri mereka, di mana syetan akan mengarahkan hawa nafsu agar memainkan peranannya. Firman Allah s.w.t. di dalam surah al-Jathiah, ayat 23: artinya:
" Maka sudahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmunya. Dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya."
Sabda Rasulullah s.a.w.: artinya:
"Tidak sempurna iman seseorang dari kamu, sehingga dia merasa cenderung kepada apa yang telah aku sampaikan." (Riwayat Tarmizi)
Mengingati Allah s.w.t. bukan saja dengan berzikir, tetapi termasuklah menghadiri majlis-majlis ilmu.
2- Mudah tertipu dengan keindahan dunia
Keindahan dunia dan kemewahannya memang banyak menjebak wanita ke perangkapnya. Bukan itu saja, malahan syetan dengan mudah memperalatkannya untuk menarik kaum lelaki agar sama-sama bergelimang dengan dosa dan noda. Tidak sedikit yang sanggup durhaka kepada Allah s.w.t. hanya kerana kenikmatan dunia yang terlalu sedikit. Firman Allah s.w.t. di dalam surah al-An'am: artinya:
" Dan tidaklah penghidupan dunia ini melainkan permainan dan kelalaian dan sesungguhnya negeri akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa, oleh karena itu tidakkah kamu berfikir."
3- Mudah terpedaya dengan syahwat
4- Lemah iman
5- Bersikap suka menunjuk-nunjuk.
Ad-dunya mata' , khoirul mata' al mar'atus sholichah
Dunia adalah perhiasan, perhiasan dunia yang baik adalah Wanita sholichah.
Best Regards
Miftachul Arifin
Equipment Engineer
PT. INFINEON TECHNOLOGIES
* (62-770) 612103 Ext. 104
· miftachul.arifin@infineon.com
12 BARISAN DI AKHIRAT
Subject: [daarut-tauhiid] 12 Barisan di akhirat
Date: Mon, 3 Jan 2000 14:08:44 +0800
From: "Miftachul Arifin (BAT OP AEE)" <Miftachul.Arifin@infineon.com>
Reply-To: daarut-tauhiid@egroups.com
To: "'DT'" <daarut-tauhiid@egroups.com>
Suatu ketika, Muaz b Jabal ra menghadap Rasulullah saw dan bertanya:"Wahai Rasulullah, tolong uraikan kepadaku mengenai firman Allah SWT:
"Pada saat sangkakala ditiup, maka kamu sekalian datang berbaris-baris" Surah an-Naba':18
Mendengar pertanyaan itu, baginda menangis dan basah pakaian dengan air mata. Lalu menjawab: 'wahai Muaz, engkau telah bertanya kepadaku, perkara yang amat besar, bahwa umatku akan digiring, dikumpulkan berbaris-baris Maka dinyatakan apakah 12 barisan tersebut.....
BARISAN PERTAMA
Digiring dari kubur dengan tidak bertangan dan berkaki. Keadaan mereka ini dijelaskan melalui satu seruan dari sisi Allah Yang Maha Pengasih: "Mereka itu adalah orang-orang yang sewaktu hidupnya menyakiti hati tetangganya, maka demikianlah balasannya dan tempat kembali mereka adalah neraka..."
BARISAN KEDUA
Digiring dari kubur berbentuk babi hutan. Datanglah suara dari sisi Yang Maha Pengasih: "Mereka itu adalah orang yang sewaktu hidupnya meringan-ringankan sholat, maka inilah balasannya dan tempat kembali mereka adalah neraka..."
BARISAN KETIGA
Mereka berbentuk keledai, sedangkan perut mereka penuh dengan ular dan kala jengking. "Mereka itu adalah orang yang enggan membayar zakat, maka inilah balasannya dan tempat kembali mereka adalah neraka..."
BARISAN KEEMPAT
Digiring dari kubur dengan keadaan darah seperti air pancuran keluar dari mulut mereka. "Mereka itu adalah orang yang berdusta di dalam jual beli,
BARISAN KELIMA
Digiring dari kubur dengan bau busuk dari bangkai. Ketika itu Allah SWT menurunkan angin sehingga bau busuk itu mengganggu ketenteraman di Padang Mahsyar. "Mereka itu adalah orang yang menyembunyikan perlakuan durhaka takut diketahui oleh manusia tetapi tidak pula merasa takut kepada Allah SWT, maka inilah balasannya dan tempat kembali mereka adalah neraka..."
BARISAN KEENAM
Digiring dari kubur dengan keadaan kepala mereka terputus dari badan. "Mereka adalah orang yang menjadi saksi palsu, maka inilah balasannya dan tempat kembali mereka adalah neraka..."
BARISAN KETUJUH
Digiring dari kubur tanpa mempunyai lidah tetapi dari mulut mereka mengalir keluar nanah dan darah. "Mereka itu adalah orang yang enggan memberi kesaksian di atas kebenaran, maka inilah balasannya dan tempat kembali mereka adalah neraka..."
BARISAN KEDELAPAN
Digiring dari kubur dalam keadaan terbalik dengan kepala ke bawah dan kaki ke atas. "Mereka adalah orang yang berbuat zina, maka inilah balasannya dan tempat kembali mereka adalah neraka..."
BARISAN KESEMBILAN
Digiring dari kubur dengan berwajah hitam gelap dan bermata biru sementara dalam diri mereka penuh dengan api gemuruh. "Mereka itu adalah orang yang makan harta anak yatim dengan cara yang tidak sebenarnya, maka inilah balasannya dan tempat kembali mereka adalah neraka..."
BARISAN KESEPULUH
Digiring dari kubur mereka dalam keadaan tubuh mereka penuh dengan penyakit sopak dan kusta. "Mereka adalah orang yang durhaka kepada orang tuanya, maka inilah balasannya dan tempat kembali mereka adalah neraka..."
BARISAN KESEBELAS
Digiring dari kubur mereka dengan berkeadaan buta mata-kepala, gigi mereka memanjang seperti tanduk lembu jantan, bibir mereka melebar sampai ke dada dan lidah mereka terjulur memanjang sampai ke perut mereka dan keluar beraneka kotoran. "Mereka adalah orang yang minum arak, maka inilah balasannya dan tempat kembali mereka adalah neraka..."
BARISAN KEDUA BELAS
Mereka digiring dari kubur dengan wajah yang bersinar-sinar laksana bulan purnama. Mereka melalui titian sirat seperti kilat. Maka, datanglah suara dari sisi Allah Yang Maha Pengasih memaklumkan: "Mereka adalah orang yang beramal saleh dan banyak berbuat baik. Mereka menjauhi perbuatan durhaka, mereka memelihara sholat lima waktu,ketika meninggal dunia keadaan mereka sudah bertaubat, maka inilah balasannya dan tempat kembali mereka adalah syurga, mendapat ampunan, kasih sayang dan keredhaan Allah Yang Maha Pengasih..."
Semoga kita semua di saf yang Ke-12 yang mendapat rahmat dari Allah SWT....Amin...
Best Regards
Miftachul Arifin
Equipment Engineer
PT. INFINEON TECHNOLOGIES
* (62-770) 612103 Ext. 104
* miftachul.arifin@infineon.com
------------------------------------------------------------------------
Riwayat Hadits yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim
45 - Hadits riwayat Abdullah bin Umar ra.: Dari Rasulullah saw.
beliau bersabda: “Wahai kaum wanita! Bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar (memohon ampun). Karena, aku melihat kalian lebih banyak menjadi penghuni neraka.” Seorang wanita yang cukup pintar di antara mereka bertanya: “ Wahai Rasulullah, kenapa kaum wanita yang lebih banyak menjadi penghuni neraka?“. Rasulullah saw. menjawab: “Kalian banyak mengutuk dan mengingkari kebaikan suami. Aku tidak melihat kekurangan akal dan agama yang lebih menguasai pemilik akal daripada kalian.”. Wanita itu bertanya lagi: “Wahai Rasulullah, apakah kekurangan akal dan agama itu?”. Rasulullah saw. menjawab: “Yang dimaksud dengan kurang pada akal adalah karena dua orang saksi wanita sama dengan seorang saksi pria. Ini adalah kekurangan akal. Wanita menghabisi waktu malamnya tanpa mengerjakan shalat dan tidak puasa di bulan Ramadlan (karena haidh), ini adalah kekurangan pada agama.”
1063 - Hadits riwayat Ibnu Umar ra. Dari Nabi saw. Bahwa beliau bersabda:
“Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap apa yang dipimpin. Seorang raja adalah pemimpin bagi rakyatnya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap yang dipimpinnya. Seorang lelaki adalah pemimpin keluarganya, dan ia akan dimintai pertang-gungjawabannya terhadap mereka. Seorang wanita adalah pemimpin bagi rumah suami dan bagi anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap yang dipimpinnya. Seorang hamba adalah pemimpin bagi harta tuannya, dan dia juga akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap apa yang dipimpinannya. Dan ingat, setiap kamu adalah pemimpin. Setiap kamu akan dimintai pertanggungjawabannya atas apa yang kamu pimpin. “
1194 - Hadits riwayat Ali bin Abu Thalib ra. ia berkata:
Dihadiahkan kepada Rasulullah saw. pakaian bergaris. Rasulullah saw. mengirimkannya kepadaku, maka akupun memakainya. Tetapi, aku melihat kemarahan di wajah beliau. Beliau bersabda: “Sungguh, aku mengirimkan pakaian itu kepadamu bukannya untuk engkau pakai. Tetapi, aku mengirimkannya, agar engkau memotong-motongnya menjadi kerudung buat para wanita. “
1493 - Hadits riwayat Ibnu Abbas ra.: Dari Atha` bin Abu Rabah ia berkata:
Ibnu Abbas ra. pernah berkata kepadaku: “Maukah engkau aku perlihatkan seorang wanita penghuni surga?” Aku menjawab: “Mau”. Ia berkata: “(yaitu) Wanita berkulit hitam itulah. Ia pernah datang kepada Nabi saw. dan berkata: Sesungguhnya aku terserang penyakit ayan dan (ketika kambuh kadang) auratku terbuka, aku ingin sembuh, maka do`akanlah buatku kepada Allah demi kesembuhanku.” Nabi saw. bersabda: “Kalau kamu mau bersabar, maka bagimu adalah surga. Dan kalau kamu mau sembuh, aku akan do`akan kepada Allah semoga Dia menyembuhkan penyakitmu”. Wanita itu berkata: “Baiklah aku akan bersabar, tapi aku ingin tidak terbuka auratku, maka do`alah buatku kepada Allah agar auratku tidak terbuka”. Lalu Rasulullah berdo`a untuknya .
1565 - Hadits riwayat Usamah bin Zaid ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:
“Aku berdiri di depan pintu surga. Tiba-tiba saya melihat kebanyakan orang yang memasuki surga ialah orang-orang miskin. Aku juga melihat para penguasa sedang ditahan, kecuali calon para penghuni neraka yang memang langsung disuruh untuk pergi ke neraka. Aku lalu berdiri di depan pintu neraka. Ternyata kebanyakan yang di neraka adalah kaum wanita”.
1566 - Hadits riwayat Imran bin Hushain ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya minoritas para penghuni surga adalah kaum wanita. “
115 - Hadits riwayat An Nu'man bin Basyir ra. ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:
“Ahli neraka yang paling ringan siksanya pada hari kiamat, adalah seseorang yang pada lekukan telapak kakinya diberi dua bara yang menyebabkan otaknya mendidih.”
Kutipan terjemahan ayat-ayat Al-Qur’an
AN NUUR (24:1)
(Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam)nya, dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatinya.
AN NUUR (24:31)
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
AL AHZAB (33:59)
Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
AL MAA-IDAH (5:5)
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerina hukum-hukum Islam). Maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.
AL A'RAAF (7:36)
Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, mereka itu penghuni-penghuni neraka; mereka kekal didalamnya.
AL A'RAAF (7:147)
Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan mendustakan akan menemui akhirat, sia-sialah perbuatan mereka. Mereka tidak diberi balasan selain dari apa yang telah mereka kerjakan.
AL WAAQIAH
(56:51) Kemudian sesungguhnya kamu hai orang yang sesat lagi mendustakan,
(56:52) benar-benar akan memakan pohon zaqqum,
(56:53) dan akan memenuhi perutmu dengannya.
(56:54) Sesudah itu kamu akan meminum air yang sangat panas
(56:55) Maka kamu minum seperti unta yang sangat haus minum.
(56:56) Itulah hidangan untuk mereka pada hari Pembalasan".
MUHAMMAD (47:15)
(Apakah) perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertaqwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari susu yang tiada berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka di dalamnya memperoleh segala macam buah-buahan dan ampunan dari Tuhan mereka, sama dengan orang yang kekal dalam, dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya.
AN-NABA'
(78:21) Sesungguhnya neraka jahannam itu (padanya) ada tempat pengintai,
(78:22) lagi menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas,
(78:23) mereka tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya,
(78:24) mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman,
(78:25) selain air yang mendidih dan nanah.
AL KAHFI (18:29)
Dan katakanlah:"Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek..
AN NISAA' (4:31)
Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kamu masukkan kamu ke tempat yang mulia(surga).
AN NISAA' (4:56)
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
[1] Sami’na wa atho’na gufranaka.
[2] Seperti yang sering dikatakan para ahli-kitab “Sami’na wa’ashaina”, yang mengingkari ajakan Rasulullah SAW.
[4] Berdandan seperti yang diperlihatkan oleh kaum wanita dari benua Amerika, Eropa, Australia dll,pada umumnya sebagaimana yang sering kita lihat dalam tayangan film-film dan berbagai acara musik di televisi.
[7] Selalu ingin tahu urusan pribadi dan rumah-tangga orang lain (umumnya aib-nya), yang kemudian memper-gunjing-kannya dengan tetangga atas inisiatif orang tersebut atau meng-gosip !.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar