Apakah Keyakinan Tentang
Dimilikinya Kemerdekaan Atau Tidak Dimilikinya Merupakan Tolak ukur Tauhid Dan
Syirik?
Saya mengkhususkan tema ini pada pembahasan
tersendiri. Karena di dalamnya terdapat point penting yang menjadi pemisah
antara tauhid dan syirik, yang luput dari perhatian kalangan Wahabi. Mau tidak
mau kita harus mengetahuinya, supaya kita dapat mengetahui bagaimana cara
menyikapi cara-cara alami dan sebab-sebab gaib. Orang-orang Wahabi berpendapat
bahwa bertawassul kepada sebab-sebab yang alami tidaklah menjadi masalah.
Seperti menggunakan sebab-sebab di dalam keadaan-keadaan alami. Akan tetapi,
menurut pandangan mereka, bertawassul kepada sebab-sebab gaib, seperti
-misalnya— Anda meminta sesuatu kepada seseorang yang Anda tidak akan
memperoleh sesuatu itu melalui cara-cara alami, melainkan cara-cara gaib,
adalah syirik. Ini merupakan kekeliruan yang sangat fatal, di mana mereka
menjadikan cara-cara materi dan cara-cara gaib sebagai tolak ukur tauhid dan
syirik. Sehingga berpegang kepada cara-cara materi berarti tauhid yang
sesungguhnya, sementara berpegang kepada cara-cara gaib berarti syirik yang
sebenarnya.
Jika kita melihat secara mendalam kepada
cara-cara ini, niscaya kita akan menemukan bahwa tolak ukur tauhid dan syirik
berada di luar kerangka cara-cara ini. Tolak ukur tersebut semata-mata kembali
kepada diri manusia dan kepada bentuk keyakinannya terhadap cara-cara ini. Jika
seorang manusia meyakini bahwa sebab-sebab ini mempunyai kemerdekaan yang
terlepas dari kekuasaan Allah SWT, maka keyakinannya ini syirik.
Sebagai contoh, seseorang yakin bahwa suatu
obat tertentu dapat menyembuhkan sebuah penyakit secara merdeka dan terlepas
dari kekuasaan Allah SWT, maka perbuatan orang ini syirik. Walau bagaimana pun
bentuk sebab-sebab tersebut, apakah melalui cara-cara alami atau cara-cara
gaib. Yang menjadi dasar dalam masalah ini ialah ada atau tidak adanya
keyakinan akan kemerdekaan dari Allah SWT. Jika seseorang meyakini bahwa semua
sebab itu tidak merdeka dan tidak terlepas dari kekuasaan Allah SWT, baik di
dalam wujudnya maupun di dalam pemberian pengaruhnya, dan bahkan dia itu tidak
lebih hanya merupakan makhluk Allah SWT, yang menjalankan perintah dan
kehendak-Nya, maka keyakinan orang ini adalah tauhid yang sesungguhnya.
Saya tidak yakin ada seorang Muslim di muka
bumi ini yang mempunyai keyakinan bahwa sebab tertentu dapat memberikan
pengaruh secara merdeka dan terlepas dari kekuasaan Allah SWT. Oleh karena itu, kita tidak berhak
menisbatkan kemusyrikan dan kekufuran kepada mereka. Adapun tawassul mereka
kepada para rasul dan para wali, atau tabarruk mereka kepada bekas-bekas
peninggalan mereka untuk meminta syafaat atau yang lainnya, tidak termasuk
syirik.
Al-Qur'an al-Karim telah berbicara tentang
sebab-sebab, di mana dia menisbatkan sebagian sesuatu kepada Allah SWT, dan ada
kalanya menisbatkannya kepada yang menjadi sebab-sebabnya secara langsung.
Berikut ini saya kemukakan beberapa contoh darinya:
Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Allah
Dia lah Maha Pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh."
Ayat ini menekankan bahwa rezeki berada di tangan Allah SWT.
Jika kita melihat kepada firman Allah SWT
yang berbunyi, "Berilah mereka rezeki (belanja) dan pakaian (dari hasil
harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. " Di sini
kita melihat rezeki dinisbatkan kepada manusia.
Pada ayat yang lain, Allah SWT menyatakan
Diri-Nya sebagai penanam yang hakiki. Allah SWT berfirman, "Maka
terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu tanam? Kamu kah yang menanamnya
ataukah Kami yang menanamnya?" (QS. al-Waqi'ah: 63 - 64)
Pada ayat yang lain Allah menisbahkan sifat
penanaman tersebut kepada manusia. Allah SWT berfirman, "Tanaman itu menyenangkan
hati penanam-penanarnnya, karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang
kafir." (QS. al-Fath: 29)
Pada sebuah ayat Allah SWT menjadikan
pencabutan nyawa berada di tangan-Nya. Allah SWT berfirman, "Allah
memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum
mati di waktu tidurnya."
Sementara pada ayat yang lain Allah SWT
menjadikan pencabutan nyawa sebagai perbuatan malaikat. Allah SWT berfirman,
"Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, dia
diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak
melalaikan kewajibannya." (QS. al-An'am: 61)
Pada sebuah ayat Allah menyatakan bahwa
syafaat hanya khusus milik Allah SWT. Allah SWT berfirman, "Katakanlah,
'Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya.'" (QS. az-Zumar: 44)
Sementara pada ayat yang lain Allah SWT
memberitahukan tentang adanya para pemberi syafaat selain Allah. Seperti
malaikat, misalnya. Allah SWT berfirman, " Dan berapa banyaknya malaikat
di langit, syafaat mereka sedikit pun tidak berguna kecuali sesudah Allah
mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridai-Nya." (QS. an-Najm:
26)
Pada sebuah ayat Allah menyatakan bahwa
pengetahuan terhadap hal-hal yang gaib adalah sesuatu yang khusus bagi Allah.
Allah SWT berfirman, "Katakanlah, 'Tidak ada seorang pun di langit dan di
bumi yang mengetahuiperkarayang gaibkecuali Allah.'" (QS. an-Naml: 65)
Sementara pada ayat yang lain Allah SWT
memilih para rasul di antara hamba-hamba-Nya, untuk diperlihatkan kepada mereka
hal-hal yang gaib. Allah SWT berfirman, "Dan Allah sekali-kali tidak akan
memperlihatkan kepadamu hal-hal yang gaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang
dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya." (QS. Ali Imran: 179)
Dan begitu juga ayat-ayat yang lainnya.
Seorang yang melihat ayat-ayat ini secara
sekilas, mungkin dia mengira di sana terdapat sebuah pertentangan. Pada
kenyataannya, sesungguhnya ayat-ayat di atas menetapkan apa yang telah kita
kata-kan. Yaitu bahwa hanya Allah SWT sajalah yang merdeka di dalam melakukan
segala sesuatu. Adapun sebab-sebab yang lain, di dalam melakukan perbuatannya
mereka bersandar dan berada di bawah naungan kekuasaan Allah SWT. Allah SWT
telah meringkas pengertian ini di dalam firman-Nya yang berbunyi, "Dan
bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah lah yang
melempar." (QS. al-Anfal: 17)
Allah menyatakan bahwa Rasulullah saw yang
telah melempar — dengan kata-kata "ketika kamu melempar". Namun pada
saat yang sama Allah SWT menyatakan dirinya sebagai pelempar yang
sesung-guhnya, karena sesungguhnya Rasulullah saw tidak melempar melain-kan
dengan kekuatan yang telah Allah berikan kepadanya. Sehingga dengan begitu,
Rasulullah saw adalah pelempar ikutan (bittaba').
Kita dapat membagi perbuatan Allah kepada dua
bagian:
1. Perbuatan dengan tanpa perantara
(kunfayakun).
2. Perbuatan dengan perantara. Seperti Allah
menurunkan hujan dengan perantaraan awan, menyembuhkan orang sakit dengan
perantaraan obat-obatan, dan lain sebagainya.
Jika seorang manusia bergantung dan bertawassul
kepada perantara-perantara ini, dengan keyakinan bahwa perantara-perantara
tersebut tidak merdeka dan tidak terlepas dari kekuasaan Allah SWT, maka dia
itu seorang muwahhid (orang yang mengesakan Allah), namun jika sebaliknya, maka
dia orang musyrik.
Apakah
Kemampuan Atau Ketidak-mampuan Merupakan Tolak Ukur Tauhid Dan Syirik?
Kalangan orang-orang Wahabi mempunyai
kekeliruan yang lain di dalam masalah tauhid dan syirik, dan ini persis
sebagaimana yang lalu. Mereka menetapkan bahwa salah satu dari tolak ukur
tauhid dan syirik ialah adanya kemampuan atau ketidak-mampuan orang yang
diminta pertolongan untuk merealisasikan kebutuhan yang diminta. Jika dia mampu
maka tidak masalah, namun jika tidak mampu maka itu syirik. Sungguh ini
merupakan kebodohan yang sangat.
Masalah ini sama sekali tidak mempunyai
pengaruh di dalam masalah tauhid dan syirik, melainkan hanya merupakan
pembahasan tentang bermanfaat atau tidak bermanfaatnya permintaan.
Di antara kekerasan hati orang-orang Wahabi
ialah, mereka meng-hardik para peziarah Rasulullah saw dengan mengatakan,
"Hai musyrik, Rasulullah saw tidak memberikan manfaat sedikit pun
kepadamu."
Mereka memang bodoh. Sesungguhnya masalah
bermanfaat atau tidak, itu tidak memberikan pengaruh di dalam masalah tauhid
dan syirik.
Bukti kebodohan Wahabi yang lainnya ialah,
mereka tidak membolehkan bertawassul dan meminta kepada orang yang sudah
meninggal dunia.
Ibnul Qayyum —murid Ibnu Taimiyyah—
mengatakan, "Salah satu di antara bentuk syirik ialah meminta kebutuhan
dari orang yang telah meninggal dunia, serta memohon pertolongan dan menghadap
kepada mereka. Inilah asal muasal syirik yang ada di alam ini. Karena
sesungguhnya orang yang telah meninggal dunia, telah terputus amal
perbuatannya, dan dia tidak memiliki sedikit pun kekuasaan untuk mendatangkan
bahaya dan manfaat bagi dirinya."[395]
Ini termasuk perkataan yang aneh, yang tidak akan keluar kecuali
dari orang yang tidak memiliki ilmu dan pemahaman tentang agama. Bagaimana
mungkin permintaan sesuatu dari orang yang masih hidup dikatakan tauhid,
sementara permintaan sesuatu yang sama dari orang yang telah meninggal dunia
dikatakan syirik?! Jelas, perbuatan yang semacam ini keluar dari kerangka
pembahasan tauhid dan syirik, dan kita dapat meletakkannya di dalam kerangka
pembahasan apakah permintaan ini berguna atau tidak berguna. Dan permintaan
yang tidak berguna tidak termasuk syirik.
Sebagaimana yang telah kita utarakan, sesungguhnya yang menjadi
tolak ukur dasar di dalam masalah tauhid dan syirik ialah keyakinan. Keyakinan
di sini bersifat mutlak. Tidak dikhususkan bagi orang yang hidup atau orang
yang mati. Dengan demikian, perkataan Ibnul Qayyim tampak jelas batalnya.
Perkataan dia yang berbunyi, "Sesungguhnya orang yang mati telah terputus
amal perbuatannya", seandainya benar, itu tidak lebih hanya menetapkan
bahwa meminta dari orang yang mati itu tidak berguna, namun tidak menetapkan
bahwa perbuatan itu syirik. Adapun perkataannya yang berbunyi, "Orang yang
telah mati tidak memiliki sedikit pun kekuasaan untuk mendatangkan bahaya atau
manfaat bagi dirinya", adalah merupakan perkataan yang umum yang mencakup
orang yang telah mati maupun orang yang masih hidup. Karena seluruh makhluk,
baik yang hidup maupun yang mati, tidak memiliki sedikit pun kekuasaan atas
dirinya. Dia hanya memiliki kekuasaan atas dirinya semata-mata dengan izin dan
kehendak Allah.
Juga masih banyak kekeliruan-kekeliruan lain yang dimiliki
kalangan Wahabi, namun kita tidak dapat mendiskusikan semuanya di sini. Para pembaca yang mulia, Anda dapat menjawab
kekeliruan-kekeliruan mereka itu berdasarkan dasar-dasar keterangan di atas.
Setiap Muslim boleh memohon pertolongan dan bertawassul kepada
para wali Allah di dalam setiap urusan, baik yang gaib maupun yang materi, dengan
menjaga dan memperhatikan syarat-syarat sebagai-mana yang telah dijelaskan.
Allah SWT berfirman, "Sulaimanberkata, 'Hai
pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa
singga-sananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang
berserah diri.' Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin berkata, 'Aku akan datang
kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari
tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya.'
Se-seorang yang mempunyai ilmu dari al-Kitab berkata, 'Aku akan membawa
singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.' Maka tatkala Sulaiman melihat
singgasana hu terletak di hadapannya, ia pun berkata, 'lni termasuk kurnia
Tuhanku.'" (QS. an-Naml: 38 - 40)
Jika Sulaiman as meminta perkara gaib ini dari para pengikutnya,
dan jika seorang laki-laki yang mempunyai sedikit ilmu dari al-Kitab mampu
melaksanakan permintaan itu, maka tentu kita boleh meminta kepada orang yang
mempunyai seluruh ilmu al-Kitab. Terlebih lagi kepada Rasulullah saw dan Ahlul
Baitnya.
Apakah Bertawassul Kepada Para Nabi Dan Orang-Orang Saleh Itu Haram?
Dari pembahasan yang lalu kita telah mengetahui bahwa tawassul dan
istighasah (memohon pertolongan), keluar dari kerangka pembahasan tauhid dan
syirik. Sekarang, tersisa pembahasan berikutnya, yaitu, apakah perbuatan itu
dibolehkan atau diharamkan.
Belum pernah ada seorang pun dari para ulama Islam —baik dahulu
maupun sekarang— yang mengatakan haramnya tawassul. Banyak sekali terdapat
riwayat yang memperbolehkan perbuatan tawassul. Berikut ini beberapa contoh
dari riwayat-riwayat tersebut:
Usman bin Hanif meriwayatkan,
"Seorang laki-laki buta datang ke hadapan Rasulullah saw dan
berkata, 'Berdoalah kepada Allah supaya Dia menyembuhkanku.' Rasulullah saw
bersabda, 'Jika kamu ingin, niscaya aku berdoa; namun jika kamu mau, kamu dapat
sabar, dan itu lebih baik.' Laki-laki buta itu berkata, 'Berdoalah.' Rasulullah
saw memerintahkannya untuk berwudu dengan cara yang paling bagus, kemudian
salat dua rakaat, lalu berdoa dengan doa sebagai berikut, 'Ya Allah,
sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, dan menghadap kepada-Mu, dengan perantaraan
Nabi-Mu Muhammad, Nabi yang penuh kasih sayang. Hai Muhammad, sesungguhnya aku
menghadap Tuhanku dengan perantaraanmu, supaya Dia memenuhi kebutuhanku. Ya
Allah, jadikanlah dia sebagai pemberi syafaat bagiku.," Usman bin Hanif
berkata, "Demi Allah, belum sempat kami berpisah, dan belum lama kami
berbicara, sehingga laki-laki buta itu menemui kami dalam keadaan bisa melihat
dan seolah-olah tidak pernah buta sebelumnya."[396]
Syeikh Ja'far Subhani melakukan kajian tentang sanad hadis ini di
dalam bukunya yang berjudul Ma'a al-Wahabiyyinfi Khuthathihim wa 'Aqa'idihim. Dia berkata, "Tidak ada keraguan tentang
kesahihan sanad hadis ini. Bahkan, pemimpin kalangan Wahabi (yaitu Ibnu
Taimiyyah) mengakui kesahihan sanad hadis ini, dengan mengatakan, 'Sesungguhnya
yang dimaksud dengan nama Abu Ja'far yang terdapat di dalam sanad hadis ini
adalah Abu Ja'far al-Khaththi. Dia seorang yang dapat dipercaya.'
Raffa'i, seorang penulis Wahabi abad ini,
yang berusaha mendaifkan hadis-hadis yang khusus berkaitan dengan tawassul,
telah berkata tentang hadis ini, Tidak diragukan bahwa hadis ini sahih dan
masyhur. Telah terbukti tanpa ada keraguan sedikit pun bahwa seorang yang buta
dapat melihat kembali dengan perantaraan doa Rasulullah saw."[397]
Raffa'i berkata di dalam kitabnya at-Tawashshul, "Hadis ini
telah diriwayatkan oleh Nasa'i, Baihaqi, Turmudzi dan Hakim di dalam kitab
Mustadraknya. Zaini Dahlan, di dalam kitabnya Khulashah al-Kalam, menyebutkan
hadis ini beserta dengan sanad-sanadnya yang sahih, yang kesemuanya berasal
dari Bukhari di dalam tarikhnya, serta Ibnu Majah dan Hakim di dalam Mustadrak
mereka berdua. Jalaluddin as-Suyuthi juga menyebutkan hadis ini di dalam
kitabnya al-Jami'[398]...[399]"
Di sana
juga terdapat riwayat-riwayat lain yang banyak sekali, yang tidak akan kita
sebutkan, demi ringkasnya pembahasan. Untuk lebih memperdalam, silahkan merujuk
kepada hadis bertawassulnya Adam kepada Rasulullah saw. Sebagaimana yang
terdapat di dalam kitab Mustadrak al-Hakim, jilid 2, halaman 15; kitab ad-Durr
al-Mantsur, jilid 1, halaman 59; dengan menukil dari Thabrani, Abu Na'im
al-Ishfahani. Demikian juga hadis tentang bertawassulnya Rasulullah dengan
hak-hak para nabi sebelumnya. Sebagaimana juga Thabrani meriwayatkannya di
dalam kitabnya al-Kabir dan al-Awsath. Begitu juga Ibnu Hibban dan al-Hakim,
mereka berdua mensahihkannya. Selanjutnya, hadis bertawassul kepada orang-orang
yang memohon, yang terdapat di dalam sahih Ibnu Majjah, jilid 1, halaman 261,
bab al-Masajid; dan begitu juga di dalam musnad Ahmad, jilid 3, halaman 21.
Demikian juga dengan riwayat-riwayat yang lain
Di samping itu, sesuatu yang menunjukkan diperbolehkannya tawassul
ialah, ijmak kaum Muslimin, dan begitu juga sejarah hidup orang-orang yang sejaman
dengan Rasulullah saw. Kaum Muslimin, sejak dahulu hingga sekarang, mereka
bertawassul kepada para nabi dan orang-orang saleh. Tidak ada seorang ulama pun
yang memprotes dan mengharamkan perbuatan tawassul.
Kita cukupkan sampai di sini pembahasan mengenai seputar
keyakinan-keyakinan Wahabi. Diskusi dengan meraka memerlukan waktu yang panjang
dan membutuhkan kitab yang tersendiri. Para
ulama telah membantah ajaran kalangan Wahabi di dalam berpuluh-puluh kitab dan
makalah yang mereka tulis. 'Allamah Muhsin Amin telah membantah
keyakinan-keyakinan Wahabi melalui syairnya yang panjang, yang terdiri dari 546
bait. Silahkan Anda rujuk di dalam kitabnya yang berjudul Kasyf al-Irtiyab fi
atba 'i Muhammad bin Abdul Wahhab.
Kontradiksi antara Ajaran-Ajaran
Asy’ariyah
Sejarah menyebutkan bahwa Abul Hasan al-Asy'ari telah berpindah
dari madrasah Mu'tazilah, dan mengumumkan kebergabungannya kepada madrasah
Hanbaliyyah. Akan tetapi, perpindahan ini tidaklah cukup untuk dapat menjadikan
dia terlepas sama sekali dari jalan Mu'tazilah. Pengaruh-pengaruh pemikiran
Mu'tazilah tampak dengan jelas di dalam jalannya yang baru. Dia berusaha
mengemas keyakinan-keyakinan salaf dengan kemasan akal. Namun dia tidak
berhasil di dalam usahanya ini. Karena keyakinan-keyakinan salaf merupakan
keyakinan-keyakinan sima'i, yang bersandar kepada hadis. Padahal banyak sekali
hadis-hadis yang tidak sahih yang disisipkan oleh musuh-musuh agama ke dalam
warisan Islam. Hadis-hadis ini tidak sejalan dengan kaidah-kaidah akal. Dengan
demikian, hal ini menciptakan pertentangan dan kontradiksi yang amat jelas di
dalam jalan Abul Hasan al-Asy'ari. Maka lahirlah sekumpulan pertentangan dan
kontradiksi manakala Abul Hasan al-Asy'ari hendak mengargumentasikan
keyakinan-keyakinan Ahlul Hadis dengan metode akal.
Di sini, kita akan kemukakan satu contoh dari
pertentangan yang ada di dalam ajarannya. Yaitu masalah melihat Allah
(ru'yatullah). Kalangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah sepakat bahwa Allah SWT akan
dapat dilihat. Abul Hasan al-Asy'ari dan murid-muridnya telah ber-usaha untuk
mengeluarkan pembahasan ini dari hanya sekedar kerangka hadis kepada kerangka
argumentasi akal.
Kitab-kitab Ahlus Sunnah penuh dengan
riwayat-riwayat yang secara jelas menyatakan Allah dapat dilihat dengan mata.
Berikut ini beberapa contoh dari hadis-hadis tersebut, sebelum kita menyelami
pembahasan.
- Dari Jabir yang berkata, "Kami peraah
duduk di sisi Rasulullah saw. Lalu, Rasulullah saw melihat ke bulan pada malam
bulan purnama. Kemudian Rasulullah saw berkata, 'Kelak kamu akan melihat
Tuhanmu sebagaimana sekarang kamu melihat bulan ini, yang tidak samar di dalam
melihatnya. Jika kamu mampu untuk tidak bersikap lemah di dalam mengerjakan
salat sebelum terbit dan terbenamnya matahari, maka lakukanlah.' Kemudian
Rasulullah saw membaca ayat, 'Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum
terbit dan terbenamnya matahari.'"
Sahih Bukhari, jilid 1, bab Keutamaan salat
Ashar.
Sahih Muslim, jilid 2, bab Keutamaan salat
Subuh dan Asar dan memperhatikan keduanya.
- Di dalam sebuah hadis yang panjang, Abu
Hurairah meriwayatkan, "Sekelompok orang berkata, 'Ya Rasulallah, apakah
kita akan melihat Tuhan kita pada hari kiamat?'
Rasulullah saw berkata, 'Apakah kamu
berselisih di dalam melihat bulan pada malam bulan purnama, ketika tidak ada
awan?'
Mereka menjawab, 'Tidak, ya Rasulullah.'
Rasulullah saw bersabda, 'Kamu tidak
berselisih di dalam melihat Allah pada hari kiamat, sebagaimana kamu tidak
berselisih di dalam melihat salah seorang dari kamu.' Sampai Rasulullah saw
mengatakan, 'Hingga jika tidak ada yang tersisa kecuali orang yang dahulu
menyembah Allah, dari orang yang saleh maupun crrang yang fasik, Allah SWT
mendatangi mereka dalam wajah yang paling dekat yang pernah mereka lihat. Allah
SWT bertanya, 'Apa yang sedang kamu tunggu?' .... Setiap umat mencari Tuhan
yang dahulu disembahnya.
Mereka menjawab, 'Kami meninggalkan manusia
ketika di dunia, dan tidak bergaul dengan mereka, dan sekarang kami tengah
menunggu Tuhan yang dahulu kami sembah.'
Allah SWT berkata, 'Aku ini Tuhanmu.'
Mereka berkata, 'Kami tidak akan menyekutukan
Allah dengan sesuatu apa pun', sebanyak dua atau tiga kali.
Manakala sebagian dari mereka hampir
berpaling, lalu Allah SWT berkata, 'Apakah antara kamu dengan Dia terdapat
tanda yang dengannya kamu dapat mengenali-Nya?'
Mereka menjawab, 'Betis.' Maka Allah SWT pun
menyingkapkan betisnya." Sahih Bukhari, jilid 6,
tafsir surat
an-Nisa, dan jilid 9, kitab at-Tauhid. Sahih Muslim, jilid 1, bab
"Mengenal Jalan Ru'yah (Melihat Allah)".
- Dari Jarir bin Abdullah yang berkata, "Rasulullah saw telah
bersabda, 'Kelak kamu akan dapat melihat Allah dengan matamu."
Sahih Bukhari, jilid 9, kitab at-Tauhid. Firman Allah SWT yang
berbunyi, "Mereka melihat kepada Tuhannya."
Dan, berpuluh-puluh hadis lainnya yang terdapat di dalam
kitab-kitab sahih. Ibnu Hajar berkata berkenaan dengan hadis-hadis ru'yah
(melihat Allah), "Daruquthni telah mengumpulkan hadis-hadis yang berkenaan
dengan melihat Allah pada hari akhirat, sehingga terkumpul lebih dari dua puluh
hadis. Ibnul Qayyum menyelidiki hadis-hadis ru'yah di dalam kitab Hadi
al-Arwah, sehingga mencapai tiga puluh hadis, dan sebagian besarnya sahih.
Daruquthni berkata dengan ber-sanad kepada Yahya bin Mu'in, 'Saya mempunyai
tujuh belas hadis tentang ru'yah yang kesemuanya sahih.'"[400]
Dengan hadis-hadis yang mereka anggap sahih ini, mereka mem-bangun
keyakinan tentang dapat melihat Allah pada hari kiamat. Bahkan, Imam Ahmad bin
Hanbal bersikap berlebihan dengan mengkafirkan setiap orang yang menentang
keyakinan ini. Mereka tidak berhenti sampai di sini, bahkan mereka mengatakan
mungkinnya Allah SWT dilihat di dunia.
Al-Isfira'ini berkata, "Kalangan Ahlus Sunnah sepakat bahwa
Allah SWT akan dapat dilihat oleh orang-orang Mukmin pada hari akhirat. Mereka
juga mengatakan, Allah dapat dilihat pada setiap keadaan, bagi setiap yang
hidup, berdasarkan jalan akal. Adapun pada hari akhirat, Allah SWT pasti
dilihat oleh orang-orang Mukmin, berdasarkan jalan riwayat."[401]
Setelah itu, para ulama mereka mengklaim telah melihat Allah SWT
di dalam mimpi. Sya'rani, Ibnu Jauzi dan Syabalanji meriwayat-kan bahwa
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, "Saya mendengar ayah saya berkata,
'Saya telah melihat Tuhan yang Mahamulia di dalam mimpi. Saya berkata
kepada-Nya, 'Wahai Tuhan, Sesuatu apa yang paling utama mendekatkan seseorang
kepada-Mu?'
Tuhan menjawab, 'Perkataan-Ku, hai Ahmad.' Saya bertanya lagi,
'Dengan pemahaman atau dengan tanpa pe-mahaman.'
Tuhan menjawab, 'Dengan pemahaman maupun
dengan tanpa pemahaman.'"[402]
Al-Alusi telah mengaku melihat Allah sebanyak tiga kali di dalam
kitab tafsirnya Ruh al-Ma'ani, "Demi Allah, alhamdulillah, saya telah
melihat Allah sebanyak tiga kali di dalam mimpi. Adapun kali yang ketiga saya melihat-Nya pada
tahun 1246 Hijrah. Saya melihat-Nya terdiri dari cahaya, dan tengah menuju ke
timur. Dia berbicara kepadaku dengan kata-kata yang saya lupa ketika saya
bangun. Saya pernah satu kali melihat-Nya dalam sebuah mimpi yang panjang,
seolah-olah saya tengah berada di dalam surga, berada di antara kedua
tangan-Nya, dan antara saya dengan Dia terdapat tirai yang dikepang dengan
mutiara yang beraneka ragam warnanya. Lalu Allah SWT memerintahkan saya untuk
pergi ke makam Isa as, dan kemudian ke makam Muhammad saw. Maka saya pun pergi
ke makam keduanya. Kemudian, saya pun melihat apa yang saya lihat. Dan hanya
kepunyaan Allahlah karunia dan keutamaan."[403]
Inilah ringkasan keyakinan mereka tentang
melihat Allah SWT. Mahatinggi Allah dari apa yang mereka katakan.
Sungguh, mereka tidak menghormati Allah
dengan penghormatan yang semestinya.
Tidak diragukan, keyakinan ini menuntut
pemikiran-pemikiran sebagai berikuf
1. Sesungguhnya penglihatan inderawi
(ar-ru'yah al-hissiyyah), sebagaimana yang ditekankan oleh hadis-hadis ini,
menuntut sesuatu yang dilihat itu memiliki kepadatan dan warna, sehingga dapat
dilihat. Di antara keharusan dari keyakinan ru 'yah (melihat Allah) ialah bahwa
sesuatu yang dilihat tersebut memantulkan cahaya, berada di hadapan yang
melihat, terdapat jarak di antara yang melihat dengan yang dilihat, di samping
harus sehatnya indera penglihatan. Dengan syarat-syarat ini —nau'udzu billah—
tentunya Allah SWT berjisim dan dibatasi oleh tempat. Sungguh, ini adalah
sesuatu yang mustahil.
2. Selain itu, keyakinan ini juga
mengharuskan Allah SWT tampil dengan wajah-wajah yang berbeda. Sebagaimana
kata-kata hadis yang berbunyi, "Allah mendatangi mereka dalam wajah yang
tidak mereka kenal. Allah SWT berkata, 'Aku ini Tuhanmu.' Mereka berkata, 'Kami
berlindung kepada Allah darimu.' Maka Allah SWT pun mendatangi mereka dalam
wajah yang mereka kenal." Adapun jalan yang dengannya mereka dapat
mengenal Allah SWT ialah betis Allah. Masya Allah, Allah mempunyai betis yang
dapat dibuka dan ditutup...!!
Keyakinan-keyakinan yang jelas-jelas kufur
ini, merupakan akibat logis dari hadis-hadis Israiliyyat yang diterima oleh
saudara-saudara kita Ahlus Sunnah, yang terdapat di dalam kitab Bukhari dan
Muslim. Karena, jika sekiranya hadis-hadis ini tidak ada niscaya akal sehat
tidak akan menerima perkataan dan keyakinan ini.
Oleh karena itu, kita mendapati Ahlul Bait as
menentang keyakinan ini dan seluruh keyakinan yang mendorong kepada keyakinan
tajsim dan tasybih. Mereka mendustakan hadis-hadis yang disisipkan oleh Ka'ab
al-Ahbar al-Yahudi dan Wahab bin Manbah al-Yamani, yang telah banyak
menyebarkan keyakinan tentang tajsim dan ru 'yah. Keyakinan ini telah memenuhi
kitab-kitab Ahlus Sunnah. Sungguh, keyakinan ini amat jauh dari ajaran-ajaran
Al-Qur'an.
Beberapa
Contoh Hadis Ahlul Bait Yang Menaflkan Keyakinan Ru'yah
1. Muhaddis Abu Qurrah mendatangi Ali Abul
Hasan ar-Ridha as. Dia bertanya tentang halal dan haram serta berbagai hukum,
hingga pertanyaannya sampai kepada masalah tauhid. Abu Qurrah bertanya,
"Sesungguhnya kami meriwayatkan bahwa
Allah SWT Azza Wajalla membagi ru'yah (melihat) dan kalam (bicara) di antara
dua orang nabi. Allah SWT memberikan kalam kepada Musa as, dan memberikan
ru'yah kepada Muhammad saw."
Abul Hasan as berkata, "Siapa yang
menyampaikan ayat-ayat berikut dari Allah SWT kepada jin dan manusia, 'Dia
tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala
sesuatu yang dapat dilihat mata', 'Sedang ilmu mereka tidak dapat
meliputi-Nya', dan juga ayat 'Tidak ada sesuatu pun yang menyerupainya.'
Bukankah Muhammad saw?"
Abu Qurrah berkata, "Benar."
Abul Hasan as berkata, "Bagaimana
mungkin seorang laki-laki datang kepada seluruh makhluk, lalu mengatakan kepada
mereka bahwa dia datang dari sisi Allah, dan menyeru mereka kepada Allah SWT
dengan perintah-Nya sambil mengatakan, 'Dia tidak dapat dicapai oleh
penglihatan mata, sedang Dia daoat melihat segala sesuatu yang kelihatan',
namun kemudian mengatakan, 'Saya telah melihat-Nya dengan kedua mata saya, dan
telah meliputi-Nya dengan ilmu saya, dalam bentuk seorang manusia.'
Tidakkah kamu malu? Orang-orang zindiq tidak
dapat menuduhnya dengan tuduhan ini, di mana dia datang dengan membawa sesuatu
tentang Allah SWT, lalu kemudian datang lagi dengan membawa sesuatu
kebalikannya!!"
Abu Qurrah berkata, "Sesungguhnya Allah
SWT telah berkata, 'Dan sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada waktu yang
lain.'"
Abu Hasan as berkata, "Sesungguhnya
setelah ayat ini terdapat ayat lain yang menunjukkan apa yang dilihatnya, di
mana Dia berkata, 'Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.' Allah
SWT berkata, 'Hati Muhammad tidak mendustakan apa yang telah dilihat kedua
matanya.' Kemudian, Allah SWT memberitahukan apa yang telah dilihat oleh
Muhammad saw, 'Sesungguhnya dia telah melihat sebagian dari tanda-tanda
(kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.' Tanda-tanda kekuasaan Allah SWT
bukanlah Allah SWT. Allah SWT telah berkata, 'Sedang ilmu mereka tidak dapat
meliputi-Nya.' Jika mata telah melihat-Nya, maka berarti ilmu telah
meliputi-Nya."
Abu Hurairah bertanya lagi, "Kalau
begitu, berarti Anda mendustakan riwayat-riwayat ini?"
Abul Hasan as berkata, "Jika sebuah
riwayat bertentangan dengan Al-Qur'an, maka aku mendustakan riwayat tersebut.
Kaum Muslimim sepakat bahwa Dia tidak dapat
diliputi oleh ilmu, tidak dapat digapai oleh penglihatan mata, dan tidak ada
satu pun yang menyerupai-Nya."[404]
2. Abu Abdillah bin Sanan hadir di sisi Imam Abu Ja'far as.
Kemudian, seorang laki-laki Khawarij masuk dan berkata, "Wahai Abu Ja'far,
apa yang Anda sembah?"
Abu Ja far as menjawab, Allah.
Laki-laki Khawarij itu bertanya lagi, "Kamu telah
melihatnya?" Abu Ja'far as menjawab, "Mata tidak dapat melihat-Nya
dengan pandangannya, akan tetapi hati dapat melihat-Nya dengan hakikat iman.
Dia tidap dapat diketahui dengan qiyas, tidak dapat digapai oleh panca indera,
dan tidak dapat diserupakan dengan manusia. Dia disifati dengan ayat-ayat-Nya, dan
dikenal dengan tanda-tanda-Nya. Dia tidak berlaku zalim di dalam hukum-Nya. Dia
itu adalah Allah. Tidak ada Tuhan selain Dia."
Abu Abdillah bin Sinan berkata, "Maka
keluarlah laki-laki Khawarij sambil mengatakan, 'Allah lebih mengetahui di mana
Dia harus meletakkan risalah-Nya.'"[405]
3. Ahmad bin Ishaq menulis surat kepada Abul Hasan yang ketiga as,
menanyakan tentang keyakinan ru'yah dan beberapa keyakinan yang ada di tengah
manusia. Abul Hasan ketiga as menjawab dalam suratnya,
"Ru'yah tidak mungkin terjadi selama di antara yang melihat
dan yang dilihat tidak ada udara yang dapat ditembus oleh penglihatan mata.
Jika udara terputus, dan tidak ada cahaya di antara yang melihat dan yang
dilihat, maka ru'yah tidak terlaksana, disebabkan samar."[406]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar