V
IMAMAH
44. Keniscayaan Imamah
Syi’ah meyakini bahwa kebijaksanaan
Tuhan (al-hikmah al-ilahiah) menuntut perlunya pengutusan para rasul
untuk membimbing umat manusia. Demikian pula mengenai imamah, yakni
bahwa kebijaksanaan Tuhan juga menuntut perlunya kehadiran seorang imam sesudah
meninggalnya seorang rasul guna terus dapat membimbing umat manusia dan
memelihara kemurnian ajaran para nabi dan agama Ilahi dari penyimpangan dan
perubahan. Selain itu, untuk
menerangkan kebutuhan-kebutuhan zaman dan menyeru umat manusia ke jalan serta
pelaksanaan ajaran para nabi. Tanpa itu, tujuan penciptaan, yaitu kesempurnaan
dan kebahagiaan, al-takamul wa al-sa'adah, sulit dicapai, karena tidak
ada yang membimbing, sehingga umat manusia tidak tentu arah dan ajaran para
nabi menjadi sia-sia.
Oleh karena itu
kami meyakini bahwa sesudah Nabi Muhammad saw, ada seorang imam untuk setiap
masa.
Wahai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bergabunglah bersama orang-orang
yang benar, al-shadiqin.(QS. 9:119)
Ayat ini tidak
berlaku untuk satu masa saja, tapi untuk seluruh zaman. Seruan agar orang-orang
beriman bergabung dalain barisan orang-orang benar, al-shadiqin,
pertanda adanya imam maksum yang harus diikuti pada setiap zaman, sebagaimana
disebutkan oleh banyak mufassir Sunni dan Syi’ah terhadap makna ayat ini.[1]
45. Hakikat
Imamah
Syi’ah meyakini
bahwa imamah bukan sekedar jabatan politik atau kekuasaan formal, tetapi
sekaligus sebagai jabatan spiritual yang sangat tinggi. Selain menyelenggarakan
pemerintahan Islam, Imam bertanggung jawab membimbing umat manusia dalain
urusan agama dan dunia mereka. Imam juga membimbing pikiran dan rohani
masyarakat. Memelihara syariat Nabi Muhammad saw agar tidak menyimpang atau
berubah serta memperjuangkan tcrcapainya tujuan pengutusan Nabi Muhammad saw.
Jabatan tinggi
ini diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim as setelah Ibrahim melewati fase
kenabian dan nsalah, dan setelah lulus dan sejumlah ujian berat. Ibrahim as.
meminta kepada Allah agar jabatan ini diberikan juga kepada sebagian
keturunannya, tetapi Allah menegaskan kepada Ibrahim bahwa orang-orang zalim
dan para pendosa tidak akan mencapai posisi mi.
Dan ingatlah
ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat lalu ia
menyempumakannya. Tuhan berfirman kepadanya: "Aku angkat engkau sebagai
imam bagi umat manusia." Ibrahim berk.ata: "Berikan pula kepada
keturunanku". Tuhan berfirman: "Ketetapan-Ku ini tidak akan mengenai
orang-orang zalim." (QS. 2:124)
Jelas sekali
bahwa kedudukan yang demikian tinggi ini tidak dapat diterjemahkan sebagai
jabatan pemerintahan formal. Dengan demikian, jika imamah tidak
diterjemahkan sebagaimana yang telah kami gambarkan di atas, maka ayat di atas
tidak mempunyai pengertian yang jelas.
Syi’ah mevakini
bahwa para nabi utama, ulul-azmi, terutama Nabi Muhammad saw, adalah
sekaligus sebagai imam-imam yang memiliki otoritas kepemimpinan spiritual
ruhaniah dan kepemimpinan formal material. Dengan demikian, Nabi Muhammad saw
tidak sekedar menyampaikan ajaran Allah, tapi sekaligus memimpin umat manusia,
dan jabatan imamah ini diberikan kepada Nabi saw sejak awal kenabiannya.
Syi’ah juga
meyakini bahwa garis imamah sesudah Rasulullah saw dilanjutkan oleh
orang-orang suci dan dzuriyatnya, keturunannya.
Dan batasan di
atas mengenai imamah tampak bahwa untuk mencapai kedudukan ini dituntut
syarat-syarat yang sangat berat, baik dari sisi taqwa, yaitu telah mencapai
tingkat ishmah, terpelihara dari perbuatan-perbuatan dosa, maupun dari
sisi ilmu dan pengetahuan yang mencakup seluruh bidang pengetahuan dan aturan
agarna serta pengetahuan tentang manusia dan kebutuhannya untuk setiap zaman.
46.
Keterpeliharaan Imam dari Dosa dan Kesalahan
Syi’ah meyakini
bahwa seorang imam wajib bersifat ma'shum, terpelihara dari perbuatan
dosa dan kesalahan, karena, disamping makna ayat di atas, seorang yang tidak
maksum tidak dapat dipercaya sepenuhnya untuk diambil darinya prinsip-prinsip
agama maupun cabang-cabangnya. Oleh karena itu Syi’ah meyakini bahwa ucapan
seorang imam maksum, perbuatan, dan persetujuannya, adalah hujjah
syar'iyyah, kebenaran agama, yang mesti dipatuhi.
Yang Syi’ah
maksud dengan persetujuan imam maksum atau taqrir al-Ma'shum ialah sang
imam tidak menegur suatu perbuatan yang berlangsung di hadapannya, bahkan
membiarkannya saja.
47. Imam
Pemelihara Agama
Syi’ah meyakini
bahwa seorang imam tidak membawa syariat baru. Kewajibannya hanyalah menjaga
agama Islam, memperkenalkan, mengajarkan, menyampaikannya, dan membimbing
manusia kepada ajaran-ajaran yang luhur.
48. Imam Orang
Paling Tahu tentang Agama
Syi’ah meyakini bahwa
seorang imam harus menguasai dan memiliki pengetahuan yang utuh terhadap semua
pokok agama Islam, cabang-cabangnya, hukum, peraturan, dan tafsir al-Quran.
Pengetahuan ini bersifat rabbani, suci dan di dapat dan Nabi saw, supaya
sang imam mendapat kepercayaan penuh dan umat dan dapat diandalkan dalain
memahami hakikat Islam.
49. Nash atas
Imam
Syi’ah rneyakini
bahwa seorang imam, penerus Rasulullah saw, harus ditetapkan melalui nash
atau pengangkatan yang jelas oleh Rasulullah saw atau oleh imam sebelumnya.
Dengan kata lain, seorang imam, seperti halnya Nabi saw, ditetapkan oleh Allah
Swt, tetapi melalui Nabi saw, sebagaimana keterangan al-Quran dalain
pengangkatan Ibrahim as sebagai imam:
Sesungguhnya Aku
mengangkatmu sebagai imam bagi umat manusia. (QS. 2:124)
Dalain pada itu,
penentuan tingkat taqwa, seseorang telah mencapai tingkat ishmah dan
telah mencapai tingkat pengetahuan seluruh hukum dan ajaran Allah Swt tanpa ada
kesalahan sedikitpun tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah dan rasul-Nya. Oleh
karena itu, penentuan bahwa seseorang telah mernenuhi sifat ishmah
datangnya dan Rasulullah saw.
Dengan demikian,
Syi’ah meyakini bahwa keimaman para imam maksum tidak diperoleh melalui
pemilihan masyarakat.
50. Penetapan
para Imam oleh Nabi saw
Syi’ah meyakini
bahwa Nabi Muhammmad saw-lah yang telah menetapkan para imam sesudahnya,
sebagaimana yang telah dilakukannya dalain hadits populer al-tsaqalain.
Diriwayatkan dalain Shahih Muslim bahwa suatu hari Nabi berpidato di
sebuah oase yang bemama Khum, terletak antara Mekkah dan Madinah. Nabi saw
bersabda:
... Aku hanyalah
seorang manusia, yang jika utusan Tuhanku datang kepadaku akan kupenuhi. Aku
tinggalkan pada kalian dua pusaka yang berat. Pertama, kitab Allah. Di
dalainnya terdapat petunjuk dan cahaya... (Kedua) Ahlubaitku. Aku ingatkan kamu
pada Allah tentang Ahlubaitku. Aku ingatkan kamu pada Allah tentang Ahlubaitku.
Aku ingatkan kamu pada A.llah tentang Ahlubaitku. (Shahih Muslim, 4: 1873)
Hadis yang sama
juga diriwayatkan dalain Shahih Turmuzi. Bahkan pada Shahih Turmuzi
terdapat pernyataan tegas Nabi saw yang mengangkat imam sesudahnya dan
lingkungan keluarganya. Demikian pula hadis-hadis yang diriwayatkan dalain Sunan
al-Darimi, Khasaish al-Nasai, Musnad Ahmad, dan sumber-sumber utama Islam
terkenal lainnya.[2]
Hadits Tsaqalain
atau hadis Dua Pusaka ini sedikitpun tidak dapat diragukan kebenarannya, oleh
siapa saja, karena la terrnasuk hadits mutawatir yang tidak dapat
diingkan atau dipersoalkan kebenarannya oleh seorang muslim.Oleh karena itu, dan
beberapa riwayat dapat dilihat betapa Nabi saw telah mengulangi hadis ini
berkali-kali dan di berbagai tempat yang berbeda.
Tentu saja tidak
semua kerabat Nabi memangku jabatan tinggi ini, sebagai pendamping al-Quran.
Dengan demikian, maka yang dimaksud hanyalah para imam maksum dari dzuriyat
Rasul saw.
Perlu disebutkan
di sini bahwa dalain beberapa riwayat terdapat redaksi "Sunnati"
atau Sunnahku sebagai ganti dari redaksi "Ahlubaiti",
Ahlubaitku. Akan tetapi riwayat ini dhaif, diragukan kebenarannya, dan
tidak dapat diandalkan.
Pada sisi lain,
terdapat hadis lain yang populer dan sahih, yang diriwayatkan oleh banyak kitab
hadis utama seperti: Sahih Bukhari, Muslim, Turmuzi, Abu Daud, Musnad Ibn
Hanbal, bahwa Nabi saw bersabda:
Agama ini akan
terus tegak hingga datangnya hari kiamat atau datang kepada kamu dua belas
orang khalifah, (imam) semuanya berasal dan suku Quraisy. (Muslim, III, h.
1453, Bukhari, m, h. 101, Turmuzi, IV, h. 501 dan Abu Daud, IV, bab al-Mahdi)
Syi’ah meyakini
bahwa ddak ada tafsiran yang paling tepat mengenai dua belas Imam yang dimaksud
Nabi pada hadis di atas kecuali apa yang diyakini oleh kaum Syi’ah Imamiyyah.
Ya, apakah ada tafsiran lain yang lebih tepat? Tidak ada. Renungkan!
51. Pengangkatan
Ali oleh Nabi saw
Syi’ah meyaikini
bahwa Nabi Muhainmad saw, atas perintah Allah, telah menunjuk dan mengangkat
'Ali as sebagai khalifah sesudahnya. Ia lakukan itu berkali-kali dan dalain
berbagai kesempatan yang berbeda. Di Ghadir Khum, dekat dengan Juhfah,
misalnya, Nabi saw membacakan khutbahnya yang sangat populer di depan para
sahabatnya, sepulangnya dari menunaikan Haji Wada'. Nabi bersabda:
Wahai
orang-orang! Bukankah aku lebih utama atas dirimu daripada kamu sendiri? Mereka
berkata: "Betul". Nabi melanjutkan: "Barangsiapa yang aku adalah
pemimpinnya, maulahu, maka 'Ali adalah pemimpinnya."[3]
Karena kami tidak
bermaksud menguraikan masalah ini panjang lebar atau melakukan argumentasi
terhadap keyakinan ini, kiranya cukup dengan mengatakan bahwa adalah mustahil
kita lewati hadis di atas begitu saja atau menafsirkannya sebatas pada cinta
kepada 'Ali, padahal Nabi saw begitu memperhatikan masalah ini.
Bukankah hadis di
atas sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibn al-Atsir dalain kitabnya al-Kamil
bahwa di awal kenabiannya, atas penntah Allah:
Dan berilah
peringatan kepada keluarga dekatmu. (QS. 26: 214)
Nabi Muhammad saw
mengumpulkan segenap keluarganya dan menawarkan kepada mereka agama Islarn.
Pada kesempatan itu Nabi bersabda:
Siapakah di
antara kamuyang bersedia membantuku dalain urusan ini sehingga ia menjadi
saudaraku, washiku, dan khalifahku pada kamu. Tidak seorang pun yang
menyambutnya kecuali ‘Ali yang berkata kepada Nabi saw: Aku wahai Nabi Allah
yarig akan membantumu
Kemudian Nabi
bersabda: Inilah ('Ali) saudaraku, washiku, dan khalifahku pada kamu.[4]
Bukankah ini pula
yang diinginkan Rasulullah saw pada saat-saat terakhir kehidupannya,
sebagaimana yang diriwayatkan Bukhan bahwa Rasulullah saw berkata:
Bawakan aku
kertas supaya aku tuliskan buat kamu wasiat yang dengannya kamu tidak akan
sesat sesudahku nanti"
Tapi sayang,
sebagian menentang penulisan wasiat ini, mencegah Nabi melakukannya, bahkan
mengucapkan kalimat-kalimat yang merendahkan Nabi saw. (Sahih Bukhari,
V, hal. 11, Muslim, III, hal. 1259)
Sekali lagi,
tujuan penulisan buku ini hanya sekedar menguraikan aqidah dengan sedikit
dalil; kalau tidak, tentu berbeda penguraiannya.
52. Penegasan
Tiap Imam atas Imam Sesudahnya
Syi’ah meyakini
bahwa setiap imam dari dua belas imam telah diangkat dengan tegas, nash,
oleh imam sebelumnya. Imam pertama adalah ‘Ali Ibn Abi Thalib, kemudian secara
berturut-turut, (2) Hasan Ibn ‘Ali al-Mujtaba, (3) Husain Ibn ‘Ali Sayyidus-syuhada,
penghulu para syuhada, (4) ‘Ali Ibn Husain, (5) Muhammad Ibn ‘Ali al-Baqir, (6)
Ja'far Ibn Muhammad al-Shadiq, (7) Musa Ibn Ja'far, (8) 'Ali Ibn Musa al-Ridha,
(9) Muhammad Ibn ‘Ali al-Taqi, (10) 'Ali Ibn Muhammad al-Naqi (11) Hasan Ibn
‘Ali al-Askari, dan terakhir, (12) Muhammad Ibn Hasan al-Mahdi. Syi’ah meyakini
bahwa Imam Muhammad Ibn Hasan al-Mahdi masih hidup.
Keyakinan kepada
Imam Mahdi yang akan memenuhi dunia dengan keadilan setelah dipenuhi dengan
kezaliman dan kekejaman tidak terbatas pada kaum Syi’ah saja, tetapi seluruh
kaum Muslirnin. Untuk itu banyak ulama Ahlussunnah yang menulis buku tentang
kemutawatiran hadis-hadis tentang Imam Mahdi ini. Bahkan Rabithah Alain Islarni
pemah mengeluarkan nsalah yang menyatakan bahwa kedatangan Imam Mahdi merupakan
urusan musallainmat dalain agama atau sesuatu yang tidak dapat ditolak
kebenarannya.[5] Rabitah mengutip banyak hadis Nabi tentang
al-Mahdi dan kitab-kitab utama. Hanya saja, sebagian ulama Ahlussunnah percaya
bahwa al-Mahdi yang dimaksud baru akan lahir di akhir zaman, sementara Syi’ah
meyakini bahwa al-Mahdi yang dimaksud adalah imam kedua belas, masih hidup dan
akan muncul dengan izin Allah untuk menegakkan keadilan dan mengadili para
tiran.
53. 'Ali Sahabat
Utama
Syi’ah meyakini
bahwa 'Ali adalah sahabat Nabi paling utama. Kedudukannya dalain Islam langsung
di bawah Nabi saw. Pada saat yang sama Syi’ah menganggap bahwa sikap ghuluw,
berlebih-lebihan kepada ‘Ali haram hukumnya. Dalain pada itu Syi’ah
meyakini bahwa menganggap ‘Ali sebagai Tuhan atau serupa dengan itu kafir
hukumnya dan keluar dari barisan Muslimin. Syi’ah berlepas diri dari orang dan
aqidah semacam itu. Tapi sayang, sebagian pihak terjebak dalain kekeliruan,
sehingga menyamaratakan Syi’ah dengan kelompok-kelompok menyimpang ini, padahal
ulama-ulama Syi’ah justeru menganggap kelompok ini keluar dan Islam.
54. Sahabat di Hadapan
Hukum Akal dan Sejarah
Syi’ah meyakini
bahwa di antara sahabat Nabi terdapat pnbadi-pribadi agung yang telah
disebutkan keutamaannya oleh al-Quran dan Sunnah. Akan tetapi tidak berarti
bahwa semua Sahabat tidak ada yang salah atau perbuatan-perbuatan mereka benar
semuanya tanpa kecuali. Pada banyak ayat al-Quran, teru-tama pada
suratal-Bara`ah, al-Nur, dan al-Munafiqin, al-Quran bercerita tentang kaum
munafik yang notabene adalah sebagian sahabat itu sendiri, dan mengecam mereka
dengan keras, meskipun mereka adalah sahabat Nabi saw. Selain itu, terdapat
pula di antara sahabat Nabi, orang yang telah menyulut api fitnah sehingga
pecah perang sesama kaum Muslimin sesudah wafat Nabi saw, melanggar baiat yang
telah diberikan kepada khalifah, dan menumpahkan darah ribuan kaum Muslimin.
Apakah pantas orang-orang seperti itu kita anggap bersih dan suci?
Dengan kata lain,
bagaimana mungkin kita dapat memutuskan kedua belah pihak yang terlibat
percekcokan, misalnya pihak-pihak yang terlibat dalain perang Jamal dan Siffin,
bahwa semuanya benar? Sungguh keputusan yang kontradiktif dan tidak dapat
diterima. Adapun alasan pihak yang dapat menerima sikap kontradiktif ini, yang
merujuk kepada persoalan ijtihad, bahwa memang ada yang benar dan ada yang
salah, akan tetapi karena kedua-duanya telah mengamalkan ijtihad, maka yang
keliru sekalipun, tetap mendapat pahala, karena ia telah melakukan ijtihad.
Sedangkan kekeliruannya, dimaafkan. Cara berpikir seperti ini tidak dapat
diterima.
Bagaimana mungkin
kita dapat membenarkan seseorang yang melanggar baiatnya kepada khalifah
Rasulullah dengan alasan ijtihad, tapi kemudian sengaja menyulut api peperangan
dan menumpahkan darah orang-orang saleh? Jika dosa penumpahan darah dapat
dimaafkan karena alasan ijtihad, itu berarti semua perbuatan dosa dapat
dimaafkan karena alasan ijtihad. Nauzubillah.
Dengan terus
terang kanni katakan bahwa Syi’ah meyakini bahwa seorang manusia, meskipun
sahabat Nabi, tergantung pada amalnya, sesuai prinsip al-Quran yang menyatakan:
Sesungguhnya orang
yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. (QS. 49:13)
Berdasarkan hal
ini, maka untuk menentukan kualitas sahabat, kita juga harus mengukurnya dari
amal perbuatan mereka, supaya keputusan yang kita ambil logis dan dapat
diterapkan pada semuanya.
Maka siapa saja
di antara sahabat Nabi yang selaina bersama Nabi ikhlas dan terus dalain garis
ini dalain menjaga Islam dan kesetiaan kepada al-Quran sesudah wafatnya, Syi’ah
akui dia dan mengkategorikannya sebagai orang saleh. Tetapi Sahabat yang
munafiq di zaman Rasul dan selalu mengganggu Rasul atau berubah sesudah Nabi
meninggal dunia, dan yang telah merugikan Islam dan kaum Muslimin, tentu Syi’ah
tidak akan mencintainya sedikitpun. Allah berfirman:
Engkau takkan
mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir mencintai
orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya, meskipun mereka adalah omng tua
mereka sendiri, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, atau keluarga dekat
mereka. Mereka adalah orang-orang yang telah ditetapkan iman oleh Allah dalain
hati mereka. (QS. 58:22)
Ya, orang-orang
yang menentang atau mengganggu Rasul, baik pada masa hidupnya atau sesudah
wafatnya, menurut keyakinan Syi’ah, sedikitpun tidak pantas mendapat pujian
atau penghormatan.
Tetapi kita tidak
boleh lupa bahwa sejumlah sahabat Nabi telah berjuang habis-habisan untuk
menyebarkan agama Islam sehingga Allah memuji mereka dan memuji para penerus
mereka, tabiin, yang mengikuti jalan para Sahabat yang saleh; pujian
yang juga diberikan kepada siapa saja berjalan di jalan yang lurus hingga hari
akhir.
Para pemeluk
Islam awal-awal sekali, al-sabiqun al-awalum, dari golongan Muhajirin dan
Anshar dan para pengikut mereka dengan kebaikan, Allah ridha kepada mereka dan
mereka ridha kepada Allah. (QS.9:100)
Demikianlah
keyakinan Syi’ah tentang Sahabat secara ringkas.
55. Ilmu
Imam-imam Ahlubait Berasal dari Nabi
Syi’ah meyakini
bahwa ucapan para imam, perbuatan, dan taqrir, persetujuan mereka, yang
dapat dilihat dari tidak adanya teguran mereka terhadap suatu perbuatan yang
berlangsung di hadapan mereka, adalah hujjah, kebenaran yang harus
diikuti, dan merupakan sanad, pegangan bagi Syi’ah. Karena Nabi saw,
sebagaimana hadis mutawatir, telah memerintahkan agar kita berpegang
teguh kepada kitab Allah dan keluarganya. Di samping itu, mereka adalah
orang-orang suci, ma'shum, yang telah diselainatkan Allah dari perbuatan
dosa dan kesalahan. Karena itu, maka salah satu sumber fiqh Syi’ah, setelah
al-Quran dan Sunnah Nabi, ialah ucapan para imam dari Ahlulbait, perbuatan, dan
taqrir mereka.
Jika kita
perhatikan bahwa para irnam as itu hanya menukil hadisnya dari nenek moyang
mereka hingga ke Rasulullah saw, maka hadis-hadis mereka sesungguhnya adalah
hadis-hadis Rasulullah saw juga. Dan kita tahu bahwa periwayatan oleh seorang tsiqah,
yang dapat dipercaya, diterima oleh seluruh ulama Islam.
Imam Muhammad Ibn
'Ali al-Baqir berkata kepada Jabir:
Jabir, jika yang
kami ucapkan kepada kalian itu adalah pandangan kami sendin dan dilandasi hawa
nafsu, maka kami akan celaka. Tapi ketahuilah, yang kami ucapkan kepada kalian
itu adalah hadis-hadis Rasulullah saw. (Jami' Ahadits Syi’ah: I, hal. 18)
Dalain riwayat
lain disebutkan bahwa Seseorang bertanya kepada Imam Ja'far Shadiq tentang
suatu masalah dan Irnarn memberikan jawabannya, namun orang itu kemudian
bertanya lagi: "Bagaimana jika masalah ini begini dan begitu, apa
pendapatmu?' Imam berkata: "Ketahuilah Tidak satu jawaban pun yang
kuberikan kepadamu kecuali dari Rasulullah saw. Kami sama sekali bukan termasuk
dalain kelompok orang yang dapat ditanya "Apa pendapatmu". (Ushul
Kafi, 1, hal. 58)
Dalain pada itu,
perlu kami sebutkan di sini bahwa Syi'ah juga memiliki kitab-kitab hadis utama
yang kami percayai validitasnya, sepera al-Kafi, al-Tahzib, al-Istibshar,
dan Man la Yahduruhul-faqih. Akan tetapi tidak berarti bahwa Syi’ah
menerima begitu saja seluruh riwayat yang disebutkan dalain kitah-kitab
tersebut, karena, selain kitab-kitab hadis, Syi’ah juga mempunyai kitab-kitab rijal
yang berfungsi mengungkap keadaan para perawi pada semua level sanad. Jika para
perawinya, pada semua level sanad, dapat dipercaya, tsiqat, Syi’ah
terima hadis tersebut. Tapi jika tidak, Syi’ah akan menolaknya. Dengan
demikian, Syi’ah baru dapat menerima riwayat-riwayat yang terdapat dalain
kitab-kitab utama tersebut, jika ia memenuhi kriteria di atas.
Selain itu, boleh
jadi ada riwayat yang dari segi sanad dapat dikategorikan sebagai riwayat mu'tabarah,
dapat diterima, tetapi karena ada cacat-cacat lain pada riwayat tersebut, para
ulama dan fuqaha Syi’ah, dari dahulu hingga sekarang, mengabaikannya. Riwayat
semacam ini Syi’ah namakan riwayat mu'radh anha atau riwayat yang
diabaikan, dan sudah barang tentu tidak mendapat tempat di kalangan Syi’ah.
Dari sini tampak
bahwa jika seseorang ingin mendapat keterangan tentang aqidah Syi’ah, maka
sangat keliru sekali jika hanya bersandarkan pada sebuah atau beberapa riwayat
yang terdapat pada buku-buku tersebut tanpa melakukan penelitian sanadnya.
Dengan kata lain,
pada sebagian mazhab Islam, terdapat kitab-kitab hadis yang disebut al-sihah.
Parapenyusunnya tidak ragu sedikitpun mengkategorikan seluruh riwayat yang
terdapat pada kitab-kitab tersebut sahih, demikian pula anggapan lainnya. Namun
tidak demikian sikap Syiah terhadap kitab-kitab muktabarahnya. Kitab-kitab itu
memang betul disusun oleh orang-orang tsiqat, dapat dipercaya, akan
tetapi untuk menentukan kesahihan hadits-haditsnya hanis dikembalikan ke llm
al-rijal untuk dilakukan penelitian terhadap para perawinya.
Jika poin ini
diperhatikan, ia dapat menjelaskan banyak permasalahan dan keraguan yang
diarahkan ke aqidah Syi’ah. Tetapi jika diabaikan, berakibat pada banyak
kekeliruan dan kesalahpaharnan terhadap aqidah Syi’ah.
Ringkasnya,
hadis-hadis para Imam Dua Belas menempati posisi yang sangat tinggi di mata
ajaran Syi’ah, yaitu setelah al-Quran dan sunnah Nabi, tetapi dengan catatan,
bahwa hadis-hadis tersebut pasti datangnya dari para imam dengan jalan diakui.
[1] Fakhrul-Razi, setelah pembahasan panjang tentang ayat
di atas demikian berkomentar; "Ayat ini menjelaskan bahwa setiap orang yang jaiz al-khatha,
dapat melakukan kesalahan, harus bergabung dan mengikuti orang yang telah
dijamin kebenarannva atau al-Ma'shum. Mereka adalah orang yang dimaksud oleh
Allah sebagai orang-orang yang benar di atas, as-shodiqun. Dengan demikian
wajib bagi setiap orang yang jaiz al-khatha untuk menyelamatkannya dan
kesalahan. Prinsip ini bukan
hanya berlaku pada satu masa saja, tapi untuk sepanjang masa. Dengan demikian,
pada setiap masa pasti ada al-Ma'shumin (lihat Tafsir al-Kabir, jilid XVI,
h. 221)
[3] Hadits di
atas diriwayatkan dengan banyak jalan. Perawinya mencapai jumlah 110 Sahabat, 84 Tabi'in,
dan tidak kurang dan 360 sumber Islam utama telah menukilnya. (lihat Payame
Qur'an jilid 9, h. 181 dst)
[4] Lihat
al-Kamil Ibnu Atsir, II, h. 63, Musnad Ahmad, I, h. 11, Ibnu Abil-Hadid dalam
Syarah Nahjul Balaghah, XIII, h. 210 dan lain sebagainya.
[5] Risalah
tertanggal 24 Syawal 1396 H ini ditandatangani oleh pimpinan 'Idarah Majma'
al-Fiqh al-Isiami", Muhammad al-Muntashir al-Khatami.
VI
BERBAGAI MASALAH
Di samping
kajian-kajian terdahulu yang menjelaskan pokok-pokok aqidah Syi'ah, terdapat
pula beberapa aqidah lain yang akan kami bahas pada bab ini.
56. Baik Buruk
Secara Rasional
Syi'ah meyakini
bahwa akal manusia dapat mengetahui hal-hal yang baik dan buruk; hal itu karena
Allah Swt telah menganugerahkan pada manusia suatu daya yang dengannya dapat
menangkap mana yang baik dan mana yang buruk. Karena itu, meskipun pada saat
agama Ilahi belum turun, tapi manusia sudah mengetahui berbagai masalah melalui
akalnya; inisalnya, baiknya keadilan dan berbakti, buruknya perbuatan zalim dan
aniaya, baiknya jujur, amanat, berani, dan dermawan, buruknya dusta, khianat,
dan kikir, dan sebagainya. Hanya saja akal manusia tidak dapat menangkap semua
persoalan, karena keterbatasan ilmu manusia. Oleh karena itu Allah mengutus
para nabi dan menurunkan kitab-kitab-Nya agar dapat menyempurnakan potensi ini,
sehingga dengan Demikian, di satu sisi mendukung kemampuan akal, dan di sisi
lain, menjelaskan sisi-sisi yang tidak dapat dijangkau oleh akal manusia.
Jika kita menolak
secara total kemampuan akal untuk menentukan kebenaran, maka dengan sendirinya
kita tidak akan dapat menetapkan adanya Allah, pengetahuan kepada-Nya, atau
legalitas ajaran para nabi, sebab semua itu ditetapkan melalui akal. Selain
itu, adalah sangat jelas bahwa penjelasan-penjelasan agama baru dapat diterima
jika prinsip tauhid dan nubuwwah sudah ditetapkan terlebih dahulu
oleh akal, karena penetapan kedua prinsip ini tidak dapat dilakukan hanya
melalui argumentasi syar'iy.
57. Keadilan
Tuhari
Oleh karena itu
Syi'ah meyakini keadilan Tuhari. Mustahil Allah berbuat zalim kepada hamba-hamba-Nya.
Mustahil pula menghukum seseorang atau memaafkannya tanpa alasan. Mustahil
Allah melanggar janji-Nya sendiri atau memilih seseorang yang bejat, pembuat
kesalahari, dan pendusta untuk jabatan kenabian dan kerasulan. Mustahil pula
membiarkan hamba-hamba-Nya, yang Dia ciptakan untuk membuat mereka bahagia,
tanpa seorang pembimbing atau peinimpin, karena semua perbuatan-perbuatan ini
buruk, sedangkan Allah mustahil melakukan perbuatan buruk.
58. Kebebasan
Manusia
Berdasarkan
alasan yang sama, maka Syi'ah meyakini bahwa Allah Swt telah menciptakan
manusia sebagai makhluk yang bebas dan berbuat sesuatu atas kemginan dan
piliharinya sendiri, karena jika manusia majbur, terpaksa, atau tidak
punya peran dalam perbuatan-perbuatannya, maka konsekuensinya adalah bahwa
hukuman kepada para penjahat merupakan perbuatan yang buruk sedang memberi
ganjaran kepada pelaku kebaikan tidak ada gunanya sama sekali. Tentu saja hal
ini mustahil bagi Allah Swt.
Ringkasnya,
keyakinan adanya kebaikan dan keburukan yang bersifat rasional serta kemampuan
akal manusia untuk mengetahui banyak kebenaran merupakan prinsip dasar agama,
syariat, dan keimanan kepada kenabian dan kitab-kitab samawi. Akan tetapi,
sebagaimana yang telah kami tegaskan, kemampuan akal manusia terbatas, sehingga
tidak mampu menjangkau semua kebenaran yang dapat membawa manusia kepada
kebahagiaan dan keSempurnaan. Oleh karena itu, manusia membutuhkan para nabi dan
kitab-kitab samawi.
59. Dalil Aqli
Sumber Hukum
Berdasarkan apa
yang telah kami smggung di atas, Syi'ah meyakini bahwa dalil aqli atau
argumen rasional tergolong salah satu sumber utama agama. Yang kami maksud
dengan dalil aqli di sini ialah bahwa akal manusia mengetahui dengan
pasti beberapa hal dan dapat melakukan penilaian terhadapnya. Maka, jika
seandainya pun kita tidak temukan dalil yang tegas dalam al-Quran dan Sunnah,
bahwa perbuatan-perbuatan zalim, khianat, dusta, membunuh, mencuri, dan
merampas hak orang lain adalah perbuatan haram, terlarang, kita tetap akan
mengharamkan perbuatan-perbuatan tersebut, sebab Demikianlah penilaian akal
kita. Kita yakin sepenuhnya bahwa Allah yang Mahamengetahui lagi Mahabijaksana
itu pasti memutuskan hal yang sama dan ddak akan pernah menyetujui
perbuatan-perbuatan tersebut. Ini cukup menjadi hujjah Ilahi buat kita.
Sementara itu,
al-Quran penuh dengan ayat-ayat yang menyatakan pentingnya akal dan argumentasi
rasional. al-Quran mengajak orang-orang yang berakal agar mengamati tanda-tanda
kebesaran Tuhari di langit dan buini sebagai cara menyeru ke jalan tauhid.
Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan buini serta perselisihan malwn dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orag-orang yang berakal. (QS. 3:190)
Pada kesempatan
lain, al-Quran menganggap bahwa tujuan dari penjelasan tanda-tanda kebesaran
Tuhari ialah untuk menambah kemampuan daya tangkap manusia.
Lihatlahl
bagaimana Kami datangkan silih berganti tanda-tanda kebesaran supaya mereka
mengerti. (QS. 6:65)
Al-Quran juga
menyeru semua umat manusia agar membedakan kebaikan dari keburukan, untuk itu
hendaknya menggunakan kekuatan berpikir.
Katakan, apakah
sama antara orang buta dengan orang melihat? Apakah kamu tidak berpikir? (QS. 6:50)
Terakhir,
Sesungguhnya
sejelek-jeieknya makhluk di sisi Allah adalah tuli, bisu, yang tidak berpikir.
(QS. 8:22)
Dan ayat-ayat
lainnya yang serupa.
Dengan penegasan
yang Demikian kuat tentang peran akal, bagaimana mungkin kita dapat mengabaikan
peran akal dan tidak mendudukkannya pada posisi yang semestinya.
60. Kembali
kepada Keadilan Tuhari
Telah kami
singgung sebelumnya bahwa Syi'ah meyakini keadilan Tuhari dan bahwa Allah tidak
berbuat zalim kepada hamba-hamba-Nya karena perbuatan zalim itu buruk, dan
Allah jauh dan melakukan hal yang buruk.
Tuharimu tidak.
berbuat zalim kepada siapapun. (QS. 18:49)
Karena itu, jika
ada sebagian yang menerima hukuman, baik di dunia maupun di akhirat, itu akibat
perbuatannya sendiri.
Sekali-kali Allah
tidak berbuat zalim kepada mereka, tapi mereka sendiri yang menzaliini diri
mereka. (QS. 9:70)
Prinsip ini tidak
hanya berlaku pada manusia, tapi mencakup semua makhluk.
Dan Allah tidak
pernah menghendaki kezaliman pada semua alam. (QS. 3:108).
Dengan Demikian,
ayat-ayat di atas berupa penegasan atas hukum akal dan petunjuk kepadanya.
Menolak Taklif Di
luar Kemampuan
Dalam pada itu,
berdasarkan prinsip yang telah disebutkan terdahulu, Syi'ah meyakini bahwa
Allah Swt tidak akan menugasi manusia, taklif, sesuatu yang tidak mampu
dilakukannya.
Allah tidak akan
mmugasi suatu jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya. (QS. 2:286)
61. Filosofi
Bencana
Berdasarkan
prinsip yang sama pula Syi'ah meyakini bahwa berbagai bencana alam yang menimpa
umat manusia seperti gempa buini, angin ribut, dan sebagainya, kadang mengandung
unsur hukuman, sebagaimana yang terjadi pada kaum Luth,
Maka ketika
datang perkara Kami, "Kami balikkan negeri kaum Luth,", yaitu yang
bagian atasnya ke bawah, dan Kami hujani dengan batu dari tanah yang
terbakar secara bertubi-tubi. (QS. 11:82)
Atau yang terjadi
pada kaum Saba,
Mereka berpaling,
maka Kami kirim banjir besar kepada mereka. (QS. 34:16)
Tapi kadang pula
sebagai peringatan kepada umat manusia agar mereka kembali ke jalan yang benar.
Telah tampak
kerusakan di darat maupun di laut karena ulah tangan-tangan manusia, maka Allah
akan membuat mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, supaya
mereka kembali. (QS. 30: 41)
Tentu bencana
semacam ini adalah bagian dari kasih sayang-Nya. Sedangkan yang berupa hukuman,
itu karena kesalahari manusia sendiri dan karena kejahilannya.
Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu kaum sampai kaum itu mengubah
apa yang ada pada diri mereka. (QS. 13:11)
Apa yang
nenimpamu berupa kebaikan datangnya dari Allah, dan apa yang menimpamu berupa
keburukan datangnya dari dirimu sendiri. (QS. 4:79)
62. Alam Semesta
Tatanan Paling Sempurna
Syi'ah meyakini
bahwa alam semesta merupakan tatanan yang paling sempurna. Semua berjalan
sesuai tata tertib yang telah ditetapkan. Tidak ada penyimpangan,
ketidakadilan, atau kejahatan. Kalau toh ada keburukan-keburukan pada masyarakat
manusia, itu karena ulah manusia sendiri.
Sekali lagi kami
tegaskan bahwa Syi'ah meyakini bahwa keadilan Ilahi merupakan prinsip dasar
pandangan dunia Islam. Tanpa itu, tauhid, kenabian, dan hari akhir akan
terancam.
Imam Ja'far
al-Shadiq berkata:
Sesungguhnya
prinsip dasar agama itu ialah tauhid dan keadilan.
Imam menambahkan:
Adapun tauhid
ialah jangan membolehkan sesuatu pada Tuhari yang engkau sendiri tidak boleh
melakukannya, sedang keadilan ialah jangan menisbahkan sesuatu kepada
Penciptamu yang engkau sendiri dikecam karenanya. (Bihar al- Anwar, V: 17)
Renungkan!.
63. Dasar Hukum
Islam Yang Empat
Seperri telah
kami singgung sebelumnya, dasar hukum Islam atau fiqh yang dipercayai Syi'ah
ada empat:
Pertama, al-Quran, kitab
Allah, yang merupakan sumber utama hukum dan pengetahuan Islam.
Kedua, sunnah Rasul saw
dan para Imam yang suci.
Ketiga, Ijma' atau kesepakatan
para ulama dan fuqaha yang mengungkapkan adanya ketetapan al-ma'shum
padanya.
Keempat, Dalil
Aqli atau argumentasi
rasional. Yang dimaksud ialah akal yang pasti atau yang disebut dengan dalil
al-aql al-qat'iy. Adapun dalil al-aql al-zharini, atau dalil akal
yang berlandaskan kepada perkiraan-perkiraan rasional, seperti qiyas dan
istihsan, tidak dapat diterima oleh fiqh Syi'ah dalam masalah apa pun.
Karena itu betapa pun seorang faqih melihat ada maslahat tertentu pada suatu
masalah, tapi karena tidak ada dasar hukumnya dalam al-Quran dan al-Sunnah, ia
tidak dapat menganggapnya sebagai hukum Allah. Kami juga tidak dapat
memberiarkan qiyas yang bersifat zharini itu atau apa saja yang
serupa dengannya sebagai sarana untuk menyingkap adanya hukum agama.
Adapun dalam
keadaan-keadaan pasti, seperti buruknya perbuatan zalim, dusta, mencuri,
khianat dsb, maka hukum akal di sini mencerininkan hukum agama, sesuai dengan
kaidah.
Setiap sesuatu
yang telah diputus oleh akal maka Demikian pula keputusan agama.
Sebetulnya,
riwayat-riwayat yang ada pada Syi'ah, baik dari Nabi saw maupun dari para Imam
yang suci, sudah lebih dari cukup untuk berbagai kebutuhari umat: ibadah,
politik, ekonoini, sosial, dan lain sebagainya. Karena itu tidak perlu merujuk
ke dalil-dalil yang bersifat zhanni. Bahkan Syi'ah yakin,
persoalan-persoalan baru sekalipun telah termasuk dalam prinsip-prinsip dasar
dan garis-garis besar, kulliyat, yang terdapat pada al-Kitab, sunnah
Rasul, dan sunnah para Imam maksum, sehingga kita tidak perlu merujuk ke
dalil-dalil yang zharini, tapi cukup dengan merujuk ke garis-garis
besar.
64. Pintu Ijtihad
Selalu Terbuka
Syi'ah meyakini
bahwa pintu ijtihad terbuka lebar untuk semua persoalan agama. Parafuqaha yang
kompeten dapat melakukan istinbath atau yurisprudensi hukum dari empat
sumber hukum di atas dan menyajikannya kepada pihak yang belum memiliki
kemampuan istinbath, meskipun pandangan mereka mungkin berbeda dengan
pandangan fuqaha sebelumnya. Syi'ah juga meyakini bahwa seseorang yang belum
mencapai otoritas istinbath hukum hendaknya merujuk atau bertaqlid
kepada para fuqaha hidup yang menguasai persoalan zaman dan masyarakat.
Bagi Syi’ah,
persoalan merujuk kepada para ahli oleh orang-orang awam dalam masalah fiqih
atau taqlid merupakan persoalan yang amat jelas dan disadari oleh semua orang
awam. Akan tetapi taqlid harus dilalkukan terhadap orang yang masih hidup,
tidak boleh kepada orang yang telah meninggal dunia, kecuali jika sebelumnya
memang ia telah bertaqlid kepadanya. Hal ini supaya fiqih terus berkembang di
diriainis.
Maka para fuqaha
yang dijadikan tempat rujukan oleh orang-orang awam disebut marja’ taqlid,
atau tempat rujukan dalam taqlid.
65. Tidak Ada
Kefakuman Hukum dalam Islam
Syi’ah meyakini
bahwa tidak ada kefakuman hukum dalam Islam, dalam arti bahwa Islam telah
menjelaskan semua permasalahari yang dibutuhkan mamnusia hingga hari akhir;
kadang bersifat khusus dan kadang yang lain tercakup dalam hukum umum. Yang
mereka lakukan hanya mengungkap hukum Ilahi dari sumber hukum yang empat dan
menyajikannya kepada umat.
Lalu, bagaimana
agama dapat kita katakan sempurna jika tidak mencakup semua hukum untuk
sepanjang masa, padahal Allah telah menegaskan dalam kitab-Nya:
Hari ini
Kusempurnakan bagimu agamamu dan Kulengkapkan atasmu nikmat-Ku dan Aku merestui
Islam sebagai agama bagimu. (QS. 5-3)
Dan Nabi saw sendiri
menyatakan ketika Haji Wada’.
Wahai manusia,
Deini Allah, tidak satupun yang mendekatkan kamu ke sorga dan menjauhkan kamu
dari neraka kecuali sudah kuperinntahkan kepadamu, dan tidak satupun yang
mendekatkan kamu ke neraka dan menjauhkan kamu dari sorga kecuali sudah
kularang kamu melakukannya. (Ushul al-Kafi, 11/74 dan Bihar al-Anwar,
jilid 67 hal. 96)
Dalam hadis
populer lain, Imam Ja'far Shadiq as menyebutkan bahwa:
Sesungguhnya
tidak ada permasalahari hukum kecuali sudah dtjelaskan oleh A!i as dalam
kitabnya, termasuk hukum membayar diyat atas goresan kecil di tubuh (Jaini
al-Ahadits, 1/18)
Dengan Demikian,
maka tidak perlu merujuk ke dalil-dalil zanni seinisal qiyas dan istihsan.
66. Taqiyyah dan
Filosofinya
Syi'ah meyakini
bahwa jika seseorang berada di tengah-tengah lingkungan orang-orang fanatik,
keras kepala, dan tidak bisa diajak berpikir rasional, sehingga akan
membahayakan keselamatan dirinya jika dia menampakkan aqidah yang dianutnya,
sementara itu tidak ada manfaat berarti yang dapat diperolehnya dan penampakan
aqidahnya itu, dalam situasi seperti ini ia harus menyembunyikan aqidahnya dari
menyelamatkan dirinya. Sikap semacam ini Syi'ah menyebutnya taqiyyah,
yang berlandaskan pada dua ayat al-Quran dan dalil aqli.
Pertama,berkaitan dengan
seorang mukrnm dari keluarga Fira'un. Al-Quran menegaskan:
Dan seorang
mukinin dari keluarga Fira'un yang menyembunyikan imannya berkata: "Apakah
kalian akan membunuh seseorang yang berkata Allah adalah Tuhariku padahal ia
telah membawakan kalian kebenaran-kebenaran dari Tuhari kalian." (QS.
40:28)
Kalimat yaktumu
imanah, menyembunyikan imannya, jelas-jelas menegaskan masalah taqiyyah.
Maka apakah bijaksana jika mukinin dan keluarga Fira'un itu terang-terangan
menyatakan imannya, padahal dapat membahayakan keselamatannya? Selain itu tidak
ada manfaat yang dapat diperolehnya.
Kedua, berkaitan dengan
sekelompok pejuang mukinin pada masa awal Islam yang hidup di tengah-tengah
kaum musyrikin fanatik. Kepada mereka Allah memerintahkan taqiyyah dengan
firman-Nya:
Orang-orang
beriman tidak boleh menjadikan orang-orang kafir sebagai peinimpin-peinimpin
mereka dengan meninggalkan orang-orang beriman. Barangsiapa melakukan itu, maka
putus hubungannya dengan Allah kecuali jika ada sesuatu yang kamu takuti dari
mereka. (QS. 3:28)
Definisi taqiyyah
ialah menyembunyikan keyakinan atau aqidah di hadapan lawan fanatik dan keras
kepala yang dapat membahayakan keselamatan diri, harta dan kehormatannya, di
samping tidak ada hasil memadai yang dapat diraih. Dalam keadaan seperti ini
seseorang tidak boleh mencelakakan dirinya dan menyia-nyiakan potensinya. Ia
harus menjaganya untuk digunakan pada keadaan-keadaan yang diperlukan. Imam
Ja'far Shadiq berkata:
T'aqiyyah itu
tamengnya orang mukinin. (Wasail Syiah XI/461[1])
Ungkapan bahwa taqiyyah
adalah tameng merupakan perumpamaan yang sangat menarik yang menggambarkan
bahwa taqiyyah adalah alat pertaharian diri menghadapi lawan. Dalam
catatan sejarah telah populer bahwa Sahabat Ammar Ibn Yasir telah bertaqiyyah
di hadapan kaum musyrik dan mendapatkan pembenaran dari Nabi Muhammad saw.
Selain itu, apa
yang biasa dilakukan para tentara saat berperang, melawan musuh, seperti
bersembunyi dan menyimpan rahasia perang pada dasamya merupakan bagian dari taqiyyah
yang lazim terjadi pada kehidupan manusia.
Secara urnum, taqiyyab
ialah menyembunyikan sesuatu yang apabila menampakkannya dapat berakibat buruk
dan dapat mencelakakan diri, di samping tidak memperoleh sesuatu hasil yang
memadai.
Sikap seperti ini
logis sekali dan dibenarkan oleh syariat. Bukan saja orang Syi'ah yang
melaksanakannya, tapi seluruh kaum Muslimin, bahkan seluruh orang-orang
berakal, yaitu ketika hal itu diperlukan. Karena itu amat mengherankan jika ada
sebagian pihak menganggapnya khas Syi'ah kemudian menjadikannya sasaran tembak
terhadap Syi'ah, padahal masalahnya sangat jelas, berakar pada al-Quran dan
Sunnah, diamalkan para sahabat, dan dibenarkan oleh semua orang-orang berakal.
67. Posisi Haram
Taqiyyah
Syi'ah percaya
bahwa sebab utama kesalahfahaman ini adalah kurangnya informasi yang cukup
tentang aqidah Syi'ah atau mendapatkannya dari musuh-musuh Syi'ah. Kami
berharap, melalui keterangan yang kami berikan ini persoalannya menjadi jelas.
Namun Demikian,
kami harus tegaskan bahwa pada beberapa keadaan, taqiyyah haram
hukumnya, yaitu ketika dasar agama, Islam, Quran, atau tatanan Islam dalam
bahaya. Dalam situasi seperti ini, seseorang harus menampakkan aqidahnya,
meskipun nyawa sebagai taruharinya. Karena itulah Syi'ah meyakini bahwa
kebangkitan Imam Husain di Karbala merupakan penvujudan dan tujuan mulia ini,
sebab penguasa Bani Umaiyah telah sangat rnembahayakan dasar Islam. Kebangkitan
Imam Husain telah menggagalkan niat jahat Bani Umayyah dan telah menyelamatkan
Islam dari marabahaya.
68. Ibadah Islam
Syi'ah meyakini
dan menunaikan semua amal ibadah yang diperintahkan al-Quran dan al-Sunnah,
seperti shalat lima, yang merupakan bcntuk hubungan paling utama antara seorang
hamba dengan Tuharinya, dan puasa Ramadhari, yang merupakan sarana terbaik
untuk memperkuat iman, pensucian diri, taqwa, dan melawan hawa nafsu.
Syi'ah meyakini
bahwa haji yang merupakan sarana sangat efektif untuk mewujudkan rasa taqwa,
memperkokoh silaturrahini, dan sebab bagi kejayaan kaum Muslimin wajib hukumnya
bagi orang yang mampu, paling tidak sekali dalam hidupnya. Demikian pula zakat,
khumus, amar ma'ruf, nahi munkar, dan jihad menghadapi musuh-musuh Islam dan
musuh-musuh kaum Muslimin. Semua itu wajib hukurnnya, meskipun harus diakui
terdapat perbedaan-pcrbedaan antara Syi'ah dengan mazhab-mazhab lain mengenai
rincian perkara-perkara di atas, sebagaimana perbedaan arara sesama mazhab
empat dalam masalah ibadah maupun lainnya.
69. Menggabungkan
Dua Shalat
Di antara
perbedaan-perbadaan itu ialah Syi'ah meyakini bahwa antara shalat Zhuhur dan
Ashar serta Maghrib dan Isya boleh dijamak atau digabung dalam satu waktu.
Meskipun Demikian, meinisahkannya lebih utama daripada menggabungkannya.
Syi'ah meyakini
bahwa hukum bolehnya menggabungkan dua shalat itu datang dan Nabi saw sendiri
untuk memudahkan umatnya. Dalam Sahih al-Turmudzi disebutkan balswa Ibn
Abbas berkata:
Sesungiuhnya
Rasulullah saw menggabungkan antara shalat Zhuhur dan Ashar dan antara Maghrib
dan Isya' di dalam kotaMadiriah dan tanpa rasa takut atau karena faktor hujan.
Ibn Abbas
ditanya, untuk apa Rasululah saw melakukan itu? Ia menjawab:
"Rasulullah ingin agar umatnya tidak jatuh dalam kesulitan. (Sunan al
Turmudzi 1/354 dan Sunan Baihaqi III/167)
Maksud hadis di
atas ialah jika shalat secara terpisah dirasa berat, lebih-lebih pada kondisi
kehidupan sosial dewasa ini, terutama kehidupan di pusat-pusat industri, dimana
keterikatan dengan lima waktu malah membuat sebagian orang tidak shalat sama
sekali, maka rukhsah, kemudahari yang diberikan Rasul ini patut
dilaksanakan. Dengan Demikian ia dapat menunjang penegakan shalat secara utuh.
Renungkan!
70. Sujud di atas
Tanah
Syi'ah meyakini
bahwa ketika seseorang sujud dalam shalat ia harus melakukannya dengan
meletakkan dahinya di atas tanah atau segala sesuatu yang merupakan bagian dari
buini, atau yang tumbuh dari buini, seperti daun, dahari, dan seluruh
tumbuh-tumbuhari, kecuali tumbuhari-tumbuhari yang dikonsumsi untuk makanan
atau pakaian. Karena itu, Syi'ah tidak memberiarkan sujud di atas sajadah yang
terbuat dari kain.
Selain itu,
Syi'ah menganggap bahwa sujud di atas tanah lebih afdal dari sujud di atas
jenis buini apa pun. Oleh karena itu, agar lebih mudah, banyak penganut Syi'ah
yang membawa-bawa lempengan tanah kering yang suci, biasa disebut turbah,
untuk digunakan saat sujud dalam shalat. Dasar hukum Syi'ah ialah hadis
Rasulullah saw yang menyatakan:
Buini dijadikan
untukku sebagai masjid dan pensuci.
Kata masjid
disini maksudnya ialah tempat sujud. Hadis ini diriwayatkan oleh kitab-kitab Sihah
dan lain sebagainya.[2]
Akan tetapi boleh
jadi ada yang menafsirkan kata masjid di sini bukan dalam arti tempat
sujud, tapi tempat shalat, yang berarti boleh shalat di mana saja di muka buini
ini. Pandangan ini
bertolak belakang dengan pandangan yang membatasi shalat hanya pada tempat-tempat
tertentu saja. Akan tetapi karena pada riwayat itu digunakan kata tahur,
yang berarti tanah itu mensucikan, maksudnya dengan tayammum, maka ia lebih
tepat diartikan sebagai tempat sujud daripada tempat shalat, sehingga maknanya
menjadi tanah itu mensucikan dan sekaligus sebagai tempat sujud.
Selain hadis di
atas, terdapat banyak sekali riwayat-riwayat Ahlubait yang menegaskan bahwa
sujud itu harus di atas tanah, batu, dan sejenisnya.
71. Ziarah Kubur
Para Nabi dan Imam
Syi'ah
meyakini bahwa ziarah ke makam Nabi Muhammad saw, para Imam Ahlubait, wali-wali
Allah, dan segenap syuhada merupakan amal yang sangat dianjurkan, sunnah
muakkadah. Kitab-kitab Ahlussunnah dan Syi'ah penuh dengan riwayat-riwayat
yang menjelaskan tentang keutamaan ziarah ke makam Nabi saw, sehingga jika
riwayat-riwayat ini dikumpulkan akan melahirkan kitab tersendiri.
Dalam perjalanan
panjang sejarah, para ulama besar dan segenap lapisan kaum Muslimin, sangat
menaruh perhatian pada masalah ziarah ini, sehingga banyak sekali buku yang
ditulis mengenai berbagai pengalaman ruharii yang diperoleh para penziarah Nabi
dan tokoh-tokoh besar lainnya, sehingga dapat kita katakan bahwa masalah ziarah
ini merupakan masalah yang disepakati oleh seluruh kaum Muslimin.
Namun, tentu saja
seseorang harus membedakan antara ziarah dan ibadah. Ibadah atau menyembah
hanya dilakukan untuk Allah Swt semata, sementara ziarah dimaksudkan untuk
memuliakan para pembesar Islam dan memohon syafaatnya di sisi Allah Swt. Bahkan
Rasulullah saw sendiri sering berziarah ke kuburan Baqi dan mengucapkan salam
kepada penghuni kubur.
Dengan Demikian,
seseorang tidak perlu meragukan keabsahari amal ini.
72. Upacara
Berkabung dan Filosofinya
Syi'ah meyakini
bahwa memperingati hari-hari kematian para syuhada Islam, terutama syuhada
Karbala, merupakan bagian dari upaya menghidupkan nama besar, perjuangan, dan
pengorbanan mereka untuk Islam. Oleh karena itu Syi'ah selalu memperingati
hari-hari bersejarah itu sepanjang tahun, terutama hari-hari Asyura, yakni
sepuluh hari pertama bulan Muharram. Pada hari itu, al-Imam Husain, putra ‘Ali
Ibn Abi Thalib, putra Fathimah al-Zahra, cucu Rasulullah saw dan "penghulu
para pemuda sorga", sebagaimana sabda Nabi saw, syahid membela Islam.
Syi'ah memperingati hari kesyahidannya dan para syuhada yang berjuang
bersamanya, menguraikan sejarah hidup, perjuangan, kepahlawanan, dari cita-cita
suci mereka, kemudian membacakan doa untuk mereka.
Syi'ah meyakini
bahwa Bani Uinayyah telah membangun pemerintahan yang amat membahayakan Islam,
merubah, dan merusak syariat Islam, bahkan berusaha menghapus nilai-nilai
Islam. Yazid adalah salah seorang dari mereka. Ia adalah penguasa yang zalim,
bejat, pembuat maksiat, dan jauh dari nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, Imam
Husain bangkit menentangnya, yaitu pada tahun 61 H. Tapi Imam dan seluruh
pembelanya gugur di buini Karbala, sementara kaum perempuan Ahlulbait Nabi
diperlakukan sebagai tawanan.
Namun Demikian,
pengorbanan ini telah menyadarkan kaum Muslimin dewasa itu betapa bejatnya Bani
Umayyah dan sekaligus membangkitkan semangat perlawanan yang luar biasa
terhadap kekuasaan Bani Umayyah. Pemberontakan deini pemberontakan menentang
kezaliman Bani Umayyah muncul silih berganti, hingga pada akhimya berhasil
meruntuhkan pilar-pilar kezaliman mereka dan menghapus nama mereka dari muka
buini untuk selama-lamanya. Uniknya, pada setiap pemberontakan menentang Bani
Umayyah pasca Asyura, bahkan hingga masa kekuasaan Bani Abbasiyah yang
otoriter, para pemberontak justeru menggunakan semboyan:
menuntut balas
untuk menyenangkan atau mendapat keridhaan keluarga Muhammad
atau semboyan:
Menuntut balas
atas terbunuhnya Husain.
Bagi masyarakat
Syi'ah dewasa ini, Kebangkitan atau Revolusi Imam Husain as. merupakan simbol
perlawanan menentang segala bentuk kesewenang-wenangan, kezaliman, dan
ketidakadilan. Semboyan
Kami pantang
Menghinakan diri, dan Hidup adalah ideologi dan jihad.
Dan lain
sebagainya yang diajarkan oleh madrasah Karbala senantiasa mendorong kami untuk
selalu menentang penguasa-penguasa yang zalim dan melepaskan diri dari
cengkraman mereka, dengan berteladan kepada perjuangan Sayyidus-syuhada,
penghulu para syuhada, Imam Husain dari sahabat-sahabatnya.
Singkat kata,
peringatan hari-hari bersejarah para syuhada Islam, terutama syuhada Karbala,
akan membangkitkan dalam diri kita semangat perjuangan, keberanian,
pengorbanan, dan syahadah di jalan aqidah dan iman. Pada saat yang sama
memberikan pelajaran yang sangat berharga tentang harga diri dan
ketidaktundukan kepada kezaliman. Inilah filosofi peringatan hari-hari
bersejarah para syuhada yang dilangsungkan setiap tahun.
Boleh jadi ada
yang tidak mengerti Sama sekali makna peringatan-peringatan itu sehingga
menganggapnya sebagai peristiwa masa lalu yang telah ditelan oleh debu sejarah.
Tapi kaum Syi'ah merasakan betul betapa peringatan itu sangat berpengaruh pada
sejarah masa lalu, hari ini, dan esok pagi.
Tentu kita tidak
lupa upacara bcrkabung yang dilakukan Nabi dan kaum Muslimin saat pamannya
Hamzah gugur di medan perang Uhud, seperti direkam oleh semua buku sejarah
ternama, yaitu bahwa ketika Nabi saw lewat di dekat rumah salah seorang Anshar,
beberapa hari setelah tragedi Uhud, ia mendengar isak tangis dan ratapan. Nabi
lalu menangis dan bersedih: "Tapi kasihan Hamzah, tidak ada
penangis-penangis untuknya". Saad Ibn Muaz mendengar itu dan segera
bergegas ke pemukiman Bani Abdul-asyhal. Ia perintahkan kaum perempuan pergi ke
rumah Hamzah dan mengadakan upacara berkabung. (al-Kamil Ibn Atsir, II,
h. 163 dan Sirah Ibn Hisyam, III, h. 104)
Tentu saja mendirikan
upacara berkabung tidak hanya untuk Hamzah, tapi untuk semua syuhada, supaya
generasi-generasi sesudahnya terus mengingat dan menghargai jasa-jasa mereka,
sehingga senantiasa memacu semangat kaum Muslimin. Dan secara kebetulan, saat
saya menulis baris-baris ini, bertepatan dengan hari Asyura, 10 Muharram 1417
H. Sungguh hari yang luar biasa. Dunia Syi'ah tenggelam dalam keharuan yang
sangat dalam. Laki, perempuan, tua, muda, semua mengenakan pakaian hitam, larut
dalam suasana berkabung atas peristiwa yang menimpa Imam Husain dan syuhada
Karbala. SeDemikian besar pengaruhnya, sehingga jika mereka diininta untuk
memerangi musuh-musuh Islam saat itu juga, pasti mereka segera bangkit menyerbu
medan jihad dan memberikan apa saja yang dapat mereka berikan, seakan darah
kesyahidan mengalir di sekujur tubuh mereka dan seakan tengah berada di medan
Karbala bersama-sama Imam Husain, bergumul melawan musuh-musuh Islam dengan
semangat tinggi.
Lirik-Lirik syair
yang dilantunkan pada upacara agung ini penuh dengan nilai-nilai heroisme:
menentang segala bentuk kolonialisme dan keangkuhan, pantang menyerah kepada
kezaliman, dan lebih mengutamakan mati dalam kemuliaan daripada hidup penuh
kehinaan.
Syi'ah meyakini
bahwa ini merupakan modal besar yang harus terus dipelihara guna terus
menghidupkan Islam, iman , dan taqwa.
73. Nikah Mut'ah
Syi'ah meyakini
bahwa nikah ada dua macam, (1) daim, permanen, dan (2) muwaqqat,
temporer. Nikah daim dilakukan untuk waktu yang tak terbatas, sementara nikah
muwaqqat atau yang dalam istilah fiqh lebih dikenal dengan sebutan nikah
mut'ah masa berlakunya ditetapkan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
Nikah mut’ah
halal hukumnya dan memiliki banyak kesamaan dengan nikah daim. Antara
lain: (1) perlunya mahar, (2) tidak adanya penghalang pada pihak perempuan, (3)
ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan masalah anak, di mana anak-anak yang
lahir buah nikah mut'ah sama posisinya dengan anak-anak yang lahir hasil nikah
daim, sedikitpun tidak berbeda, dan (4) kewajiban iddah sesudah perpisahan.
Semua ketentuan di atas diyakini Syi'ah dengan sepenuhnya. Dengan kata lam,
nikah mut'ah adalah nikah dalam arti sebenarnya.
Akan tetapi tentu
saja ada perbedaan-perbedaannya dengan nikah daim, yaitu antara lain:
(1) suami tidak wajib memberi nafkah lahir kepada isteri dan (2) kedua-duanya,
suaini-isteri, tidak saling mewarisi. Adapun anak-anak, mereka mewarisi kedua
orang tuanya, Demikian pula sebaliknya.
Apa pun
persoalannya, kehalalan nikah mut'ah ini dipahami Syi'ah dari al-Quran yang
berkata:
Perempuan-perempuan
yang kamu nikmati, (menikahinya secara mut'ah) berikanlah maharnya kepada
mereka, sebagai suatu kewajiban atasmu.(QS. 4:24)
Mengomentari ayat
ini, banyak ahli hadis terkemuka dan mufassir temarna menegaskan bahwa ayat
tersebut memang menerangkan kehalalan nikah mut’ah. Antara lain dapat dilihat
pada kitab Tafsir Thabari yang banyak mengutip riwayat-riwayat Nabi saw
yang menegaskan kehalalan nikah mut’ah ini. Demikian pula kesaksian sejumlah
besar sahabat Nabi saw. Hal yang sama juga dapat dilihat pada kitab Tafsir
al-Durr al-Mantsur dan Sunan Baihaqi, di mana keduanya banyak
mengutip riwayat-riwayat tentang kehalalan nikah mut’ah. Bahkan dalam kitab Shahih
Bukhari, Musnad Ahmad, Shahih Muslim, dan kitab-kitab hadis lainnya, banyak
diriwayatkan hadis-hadis tentang berjalannya nikah mut’ah pada masa Rasulullah
saw, meskipun harus diakui terdapat pula riwayat-riwayat yang berseberangan.
Sejumlah fuqaha
Sunni percaya bahwa nikah mut’ah memang halal di zaman Rasulullah saw, tapi
kehalalannya sudah dibatalkan atau mansukh. Sebagian lainnya percaya
bahwa hingga akhir hayat Rasulullah saw, hukum nikah mut’ah tidak pernah
dimansukh, tetap halal. Tetapi kemudian haram karena Khalifah Umar telah
membatalkannya. Populer pemyataan Umar:
Dua mut’ah yang dulu
halal di zaman Rasulullah, aku haramkan dan akan kuhukum pelakunya, yaitu
mut’ah perempuan dan mutab haji.[3]
Dengan demikian
ada tiga pendapat di kalangan Sunni mengenai kehalalan nikah mut’ah ini.
Pertama, menganggap nikah mut’ah telah dibatalkan kehalalannya sejak zaman
Rasulullah saw. Kedua, pembatalannya terjadi pada masa kekhalifahan Umar Ibn
al-Khattab. Dan ketiga, menolaknya sama sekali; tapi pendapat ketiga ini
praktis sedikit sekali.
Perbedaan
pandangan seperti ini, sangat lumrah dalam ilmu fiqh. Akan tetapi fuqaha Syi'ah
sepakat bahwa nikah mutali halal hukurnnya dan tidak pernah dibatalkan
kehalalannya, baik di zaman Rasulullah, apalagi sesudah wafatnya. Bahkan tidak
boleh membatalkan suatu hukum yang telah ditetapkan kehalalannya oleh Rasulullah
saw.
Syi'ah meyakini
bahwa jika kehalalan nikah mut'ah tidak disalahgunakan ia akan memberikan
solusi yang sangat baik bagi berbagai problerna sosial, khususnya orang-orang
muda yang karena sesuatu dan lain hal belum dapat membina rumah tangga permanen
dan para musafir yang terpaksa berpisah dengan keluarganya untuk waktu yang
lama karena pekerjaan-pekerjaan mereka. Mengharamkan nikah mut’ah buat
kelompok-kelompok ini akan mendorong mereka melakukan perbuatan-perbuahin
maksiat; lebih-lebih di era kita saat ini, dimana usia perkawinan semakin
meningkat dan pengumbar-pengumbar syahwat semakin meraja-lela. Karena itu, jika
jalan ini ditutup maka pasti akan semakin membuka jalan maksiat.
Tapi kehalalan
hukum nikah mut'ah ini tidak boleh disalahgunakan. Tidak boleh dijadikan alat
untuk mengumbar hawa nafsu atau menyeret perempuan ke lembah kemaksiatan dan
kenistaan. Syiah sangat
menentang hal ini dan menentang keras segala praktik macam ini. Tapi
penyalahgunaan oleh beberapa budak nafsu tidak dapat dijadikan alasan untuk
menghapus hukum ini dari akarnya. Itu tidak mungkin. Karena itu, yang perlu
kita lakukan adalah bagaimana mencegah penyalagunaan kehalalan hukum nikah ini,
bukan menghapusnya.
74. Latar
Belakang Syi'ah
Syi'ah meyakini
bahwa tasyayyu atau syiahisme sudah dimulai sejak zaman Rasulullah saw
dan melalui ungkapan-ungkapan beliau sendiri. Banyak bukti akurat tentang hal
itu. Antara lain, riwayat-riwayat yang banyak, yang menyebutkan bahwa maksud
orang-orang beriman dan beramal salih dalam ayat:
Sesungsuhnya
orang-orang beriman dan beramal saleh adalah sebaik-baiknya mahkluk. (QS.
98:7)
Para mufassir
menyebutkan bahwa yang dimaksud orang yang beriman dan beramal saleh dalam ayat
ini adalah ‘Ali dan para pengikutnya, ''Ali wa syiatuhu.
Mufassir terkenal
al-Suyuthi dalam kitabnya al-Dur ul-Mantsur meriwayatkan sebuah hadits
yang dikutipnya dari Ibn Asakir yang meriwayatkan dari Sahabat Jabir Ibn
'Abdillah bahwa:
Suatu hari kami
bersama-sama Rasulullah saw. Tiba-tiba 'Ali datang. Rasulullah menunjuk 'Ali dan
berkata: "Demi yang diriku berada di tangan-Nya! Sesungguhnya ini ('Ali,
pen) dan para pengikutnya, sungguh merupakan orang-orang yang beruntung di hari
kiamat". (al-Dur al-Mantsur, VI/379)
Lalu turunlah
ayat:
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah
sebaik-baik makhluk (QS. 98:7)
Maka sejak itu,
jika ‘Ali datang, para Sahabat menyambutnya dengan mengucapkan, “Makhluk paling
baik datang”.
Makna yang sama,
dengan sedikit perbedaan, juga diriwayatkan oleh Ibn Abbas, Abu Barzah, Ibn
Mardawaih, dan Atiyyah al-'Ufi.
Dengan Demikian
kita lihat bahwa pemberian nama Syi'ah pada orang-orang yang memiliki hubungan
khusus dengan ‘Ali telah terjadi pada masa Rasulullah saw, bahkan Nabi sendiri
yang memberikan nama itu kepada mereka; bukan pada zaman khulafa, Safawi, atau
lain sebagainya.
Syi'ah sangat
menaruh hormat kepada mazhab-mazhab lain, ikut shalat berjamaah bersama-sama
mereka dalam satu shaf, mengerjakan ibadah haji pada waktu dan tempat yang
sama, serta bahu membahu mewujudkan cita-cita mulia Islam. Tapi pada waktu yang
sama, Syi'ah meyakini bahwa mengikuti ‘Ali as memiliki keunggulan-keunggulan
dan mendapatkan perhatian khusus dari Rasulullah saw. Karena itu kaum Syi'ah
memilih menjadi penganutnya.
Namun Demikian, sekelompok
penentang Syi'ah terus memaksakan pendapatnya seakan Syi'ah memiliki hubungan
dengan 'Abdullah Ibn Saba, seorang Yahudi yang kemudian masuk Islam, dan
mengikuti ajaran-ajarannya. Sungguh pandangan yang aneh. Sebab Syi'ah sama
sekali tidak pernah berhubungan dengan orang ini. Bahkan di kitab-kitab rijal
mereka disebutkan bahwa orang bemama 'Abdullah Ibn Saba adalah sesat dan
menyimpang. Malah ada beberapa riwayat Syi'ah yang menyatakan bahwa Imam ‘Ali
telah memerintahkan hukuman mati terhadap 'Abdullah Ibn Saba karena ia telah
murtad dan keluar dari agama Islam.
Terlepas dari
semua itu, sebetulnya tokoh dengan nama 'Abdullah Ibn Saba ini diragukan
keberadaannya. Sebagian ahli percaya bahwa tokoh ini fiktif dan tidak pernah
ada dalam sejarah, apalagi sebagai pendiri Syi'ah. Tapi anggaplah bahwa
'Abdullah Ibn Saba ini memang ada, namun menurut Syi'ah ia adalah seorang yang
sesat dan menyimpang.
75. Peta Mazhab
Syi'ah
Penting untuk
disinggung di sini bahwa pusat Syi'ah tidak selalu di Iran. Di abad-abad
pertama Islam, justeru Syi'ah sangat kuat di negeri-negeri seperti Kufah,
Yaman, dan Madinah. Bahkan di Syam sendiri, yang nota bene merupakan basis
utama Bani Umayyah yang senantiasa menjelek-jelekkan Syi'ah terdapat beberapa
pusat Syi'ah, meskipun tidak seluas di Irak. Di Mesir selalu ada komunitas
Syi'ah, dan bahkan Mesir pernah diperintah oleh penguasa-penguasa Syi'ah, yaitu
pada masa kekhalifahan Fatimiyah.
Dewasa ini Syi'ah tersebar di seantero
dunia, termasuk Saudi Arabia, khususnya di wilayah timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar