BAGIAN KETIGA
Telaah Kritis Bala Tentara Akal dan Kejahilan
Seusai memaparkan beberapa nash keislaman yang me muat riwayat-riwayat
tentara akal dan kejahilan, patut bagi kita untuk berhenti sejenak menelaah dan
merenungkan kan dungannya. Karena memang hal itu layak dan seharusnya
diperhatikan. Berikut ini ada beberapa butir yang perlu dire nungkan.
1.
Pertama-tama, nash-nash ini berbicara
dengan bahasa isyarah (simbolik) yang akrab digunakan dalam Al-Qur’an dan
Sunnah. Bahasa ini, pada galibnya, ditemukan dalam nash- nash yang menjelaskan
penciptaan manusia dan alam semesta. Dalam rangka memahaminya dengan baik,
diperlukan dzaug (cita- rasa) terhadap ruh setiap kalimat yang ada dalam nash
itu. Jangan sekali-kali kita terpaku pada arti harfiah kalimat-kali mat
tersebut.
2.
Beralih pada nash itu sendiri. Pada
nash yang pertama dan kedua kita menemukan bahwa akal dan kejahilan sama- sama
melaksanakan perintah "berpaling". Namun, pada perin tah
"menghadap", akal saja yang melakukannya sementara kejahilan
membangkang. Sebagaimana yang saya fahami dari dua nash tersebut, kejahilan
yang dimaksud adalah hawa nafsu. Pandangan itu dupat dibuktikan dengan dua
qarînah (alasan semantis); pertama, posisinya yang dilawankan dengan akal;
kedua, kata-perkata yang terdapat dalam daftar bala-tentara hawa nafsu. Menurut
hemat saya - wallahu a’lam bis-shawâb - bahwa perintah berpaling itu bersifat takwînî
(ihwal penciptaan/kos mik) seperti dalam firman Allah: "... dan bila Dia
berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya me ngatakan
“Jadilah”. Lalu jadilah ia". Q.S. Al-Baqarah 117. Perintah takwînî ini
berlaku buat akal, hawa nafsu bah kan seluruh jagad raya. Tak satupun yang
tidak menunaikan dan menyamhut perintahn-Nya ini. Allah berfirman: "Sesung
guhnya perkataan Kami terhadap seauatu apabila Kami meng hendakinya, Kami hanya
mengatakan kepadanya: “Jadilah”, ma ka jadilah ia." Q.S. Al-Nahl 40. Dan
firman Allah SWT: "Maha suci Dia. Apabila Dia telah rnenetapkan sesuatu,
maka Dia hanya berkata kepadanya: "Jadilah", maka jadilah ia."
Q.S. Maryam 35. Syahwat, sebagaimana akal beserta bala-tentaranya, juga melaksanakan
perintah takwînî itu. Akan tetapi, dengan mencermati konteks perintah pertama
Ilahi yang vis-a-vis perintah menghadap, kita dapat menyimpulkan hahwa perintah
kedua itu bersifat tasyrî'iy (ihwal Syariat). Disini kita dapat memahami
mengapa akal menaatinya, sedang kejahilan (Baca: hawa nafsu) menentangnya.
3.
Adalah juga menarik untuk disimak dalam
kedua nash tersebut bahwa akal diciptakan dari mâddah (bahan/materi) yang
berbeda dengan nafsu dan syahwat. Dalam riwayat pertama disebutkan bahwa akal
tergolong makhluk ruhâny yang telah diciptakan Allah dan diletakkan di sisi
kanan Arsy. Sementara Allah menciptakan kejahilan atau hawa nafsu dari laut
asin yang gelap-gulita. Pada kajian yang terbatas ini, saya tidak bisa
memberikan batasan yang jelas tentang mâddah awwaliyyah (bahan-dasar) bagi akal
dan hawa nafsu. Ilmu tentangnya hanya ada pada orang yang tnendapat anugrah
khusus dari Allah dan mereka yang ahli ta'wil al-ahâdîts (penjelasan makna
batin). Meskipun demikian, dari kedua nash itu, dapat dipahami dengan jelas
bahwa bahan akal berasal dari kesadaran, pemahaman dan idrâk (pengetahuan
kognitif); yang merupakan pancaran Nur Ilahi. Bahan hawa nafsu sama sekali
tidak bersentuhan dengan kesadaran dan idrâk. Hawa-nafsu adalah tumpukan
zhulmânî (kegelapan) tuntutan dan obsesi. Nur kesadaran dan idrâk tidak bisa
menem-busnya. Di lain pihak, akal adalah tumpukan fakultas kesa-daran dan
idrâk. Allah menjadikan
keduanya sebagai dua poros sentral kepribadian manusia.
4.
Dalam kedua nash tersebut dinyatakan bahwa
Allah mengagungkan akal karena ketaatannya dalam menunaikan perintah berpaling
dan menghadap. Sementara, Allah mengutuk kejahilan karena menentang
perintah-Nya. Adapun yang dimaksud kutukan (laknat) di sini ialah pengusiran
dan kejauhan dari rahmat Allah SWT. Nash tersebut seakan-akan menegaskan bahwa
kepribadian manusia memiliki dua aspek dasar; yang satu mendekatkannya kepada
Allah dan lainnya menjauhkannya dari-Nya. Kedua aspek tersebut adalah akal dan
hawa nafsu. Keduanya saling berusaha menyeret manusia ke dua arah yang diametral.
Allah telah menjadikan keduanya demikian; akal mendorong manusia menuju Allah
dan hawa nafsu mengajak manusia menentang-Nya.
5.
Disebutkan bahwa ketika Allah
memberikan 75 karakter sebagai bala-bantuan bagi akal. Hawa nafsu (kejahilan)
menuntut kepada Allah untukdiberi bala-bantuan dengan jumlah yang sama. Di kala
itu, Allah menegaskan pada kejahilan; "Jika setelah itu kau bermaksiat
padaku, sungguh Aku akan mengeluarkanmu bersama tentammu dari rahmat-Ku".
Untuk sekedar mengingatkan kembali para pembaca, kedua nash tersebut berbicara
dengan menggunakan bahasa simbolik. Ini berarti bahwa dialog antara Allah-akal
atau Allah-kejahilan tidaklah bersifat hakiki. Kedua nash tersebut
mengisyaratkan posisi dan nilai hawa nafsu menurut pandangan keislaman. Pada saat
nash-nash itu menjelaskan tugas hawa nafsu menjauhkan manusia dari Allah dan
tugas akal sebaliknya, ia juga menyiratkan bahwa bila hawa nafsu tidak menyeret
manusia kepada kemaksiatan, maka ia tetap berada dalam lingkaran rahmat Allah
SWT. Sebaliknya, ia akan diusir keluar dari lingkaran rahmat Allah SWT bila
menyeret manusia kepada kemaksiatan. Kalau demikian halnya, Islam tidak selalu
menganggap hawa nafsu sebagai azab dan siksa bagi manusia. Dengan kata lain, ia
adalah rahmat selagi tidak memalingkan manusia dari ketaatan kepada Allah.
Namun, apabila ia sudah mulai menyeret manusia kepada kemaksiatan, ia berubah
menjadi azab dan siksa bagi kehidupan manusia. Jadi, berbeda dengan beberapa
teori yang dinisbatkan kepada agama yang selalu mendiskreditkan hawa nafsu,
naluri dan syahwat. Islam menetapkan sebuah prinsip yang sangat penting dalam
menyikapi hawa nafsu dan bala-tentaranya di hamparan rahmat Allah. Islam tidak
menganggap bahwa mengikuti ajakan hawa nafsu adalah suatu yang selalu akan
membawa aib dan mesti dihindari. Mengikuti tuntutan hawa nafsu itu tidak
bermasalah selagi ia tidak mengeluarkan manusia dari ketaatan kepada
kemaksiatan. Bahkan Islam menegaskan bahwa memenuhi tuntutan syahwat yang
terkontrol secara situasional dan kondisional adalah tangga menuju kesempurnaan
hidup manusia.
6.
Kedua nash itu mensinyalir dua sisi
akal. Pertama, sisi kesadaran dan idrâk. Kedua, sisi efektifitas dan kinerja.
Semakin banyak bala-tentara yang datang membantu, semakin efektiflah kerja
akal. Sebaliknya, semakin berkurang bala-tentara yang terwujud, semakin
mengendur pulalah militansi akal dalam mengendalikan syahwat dan hawa nafsu.
Mengutip redaksi di atas: "Tidak akan sempurna
karakter-karakterlbala-tentara akal kecuali pada seorang nabi, washi atau Mukmin
teruji. Adapun selain mereka selalu tidak sempurna”. Namun, bila secara
bertahap akal menyempurnakan diri dengan melepas diri dari tentara kejahilan,
maka, saat itu, ia berada setingkat dengan para nabi dan washi. Tak syak lagi,
bahwa sempurnanya sisi eksekutif akal mencerminkan sempurnanya sisi pandangan,
bashîrah dan kesadarannya. Dengan demikian, asimilasi ini berlangsung melalui
tiga tahap: Pertarna, manusia menyempurnakan karakter dan tentara akal. Kedua,
maka sempurnalah kemampuan akal dalam melaksanakan tugasnya melawan hawa nafsu.
Ketiga, ini berarti sempurnanya bashîrah, kesadaran dan idrâk akal. Pada saat
itulah, manusia akan berada setingkat dengan para Nabi dan washî
sebagaimanayangtelah dijelaskan dalam nash tersebut. Nash tersebut berusaha
membentuk suatu landasan-dasar dan kerangka-kerja yang baik bagi sistem
pendidikan dan etika manusia menurut konsep keislaman. Sesungguhnya, akal
adalah komposisi dari bashîrah dan kemampuan eksekutif. Lemahnya bashîrah
muncul dari mengendurnya kemampuan eksekutifnya. Adapun lemahnya kemampuan
eksekutifnya berasal dari berkurangnya bantuan dari tentara akal. Apabila
manusia menyempurnakan jiwanya dengan karakter- karakter ini maka
kepribadiannya pun akan menjadi sempurna dari sisi bashîrah dan pelaksanaannya
atau sisi praktisnya sekaligus.
7.
Nash-nash di atas membagi perilaku
manusia dalam dua kategori yang berbeda; takwa dan fujûr (kenistaan). Takwa
didefinisikan sebagai mengikuti dan menjadikan akal sebagai hakim atas prilaku
manusia. Sedangkan fujûr didefinisikan sebagai mengikuti dan menjadikan hawa
nafsu beserta seluruh tentaranya sebagai hakim atas prilakunya. Gerak manusia
menuju Allah selalu melewati dua aras; A. Melepas diri dari tentara kejahilan
dan hegemoni hawa nafsu. B. Memasuki daerah kekuasaan tentara akal dan
menjadikan akal sebagai hakim atas prilaku manusia.
8.
Terdapat 75 pasang bentuk prilaku
manusia. Masing-masing darinya tersusun menjadi dua medan yang tarik-menarik
dalam jiwa seorang. Salah-satunya bersifat 'aqlânî (rasional) dan yang lain
bersifat syahwânî (berasal dari syahwat). Medan pertama berisi bala-tentara
akal dan yang kedua berisi bala-tentara kejahilan.
9.
Analisa tentang kedua kelompok prilaku
manusia itu, menunjukkan pada kita bahwa Allah SWT telah menjadikan kekuatan
yang setara pada masing-masing pihak. Hal itu, supaya manusia tidak semata-mata
- secara fatalistik - menjadi sandera hawa nafsu. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, bahwa kesempurnaan pertumbuhan jiwa manusia dan tingkah-lakunya
menuntut keberadaaan hawa nafsu. Maka dari itu, Allah mesti membuat akal
resisten terhadap serbuan hawa nafsu sehingga tercipta kekuatan yang berimbang
dalam jiwa manusia.
10.
Seratus lima puluh (150) tentara itu
bersifat esensial pada jiwa manusia. Semua kelakuan manusia, baik maupun buruk,
mempunyai akar yang dalam pada jiwa. Hal ini telah dijelaskan Al-Quran;
"Maka diilhamkan padanya kejahatannya dan ketakwaannya." Dengan
perkataan lain, keduannya muncul secara intrinsik dan tidak berasal dari
faktor-faktor luar.
11.
Prajurit-prajurit akal dapat dikelompokkan
dalam dua bagian: kelompok muhaffizat (faktor-faktor pendorong/insentif) dan
dhawâbith (faktor-faktor pengekang/pengontrol). Faktor-faktor pendorong
bertugas "membangkitkan" jiwa. Seperti keimanan, makrifat, rahmat dan
kejujuran. Sedangkan faktor-faktor pengontrol bertugas melakukan tindak
preventif dan represif (mengekang). Seperti 'iffah, mawas-diri, sabar, qanâ’ah
dan malu. Gabungan dari keduanya akan bisa membangun, menjaga, dan
sekaligusjuga menopang peran akal dalam meluruskan kepribadian manusia.
Berikut ini kita akan menguraikan pandangan global di atas: Akal manusia
mempunyai dua macam aktifitas utama:
Pertama, menggerakkan manusia untuk merealisasikan tujuan-tujuan
kesempurnaan dan kedewasaan manusiawi.
Kedua, mencegah manusia dari segala bentuk ketergelinciran ke dalam jurang
yang membahayakan.
Untuk lebih jelasnya, saya sebutkan contoh-contoh berikut ini: Manusia
mengalami penyempurnaan dengan bergerak menuju Allah SWT Akal bertugas
mengintensifkan iman, dzikrullah, ibadah dan cinta kepada Allah. Gerak manusia
dari ego menuju Allah ini merupakan gerak yang paling fundamental dalam
kehidupan manusia. Begitu pula manusia akan menjadi sempurna dengan geraknya
meleburkan diri bersama Mukminin dan para pemimpin mereka. Inilah yang diistilahkan
Islam dengan al-walâ`. Walâ` adalah proses fusi individu ke dalam masyarakat
Muslim melalui gotong-royong, solidaritas, silaturahmi dan saling mencintai
sesama. Ini adalah gerakan pelumeran ego dan individu ke dalam masyarakat.
Gerakan semacam ini juga sangat fundamental bagi manusia. Inilah contoh
aktifitas akal.
Dalam perjalanannya itu, manusia selalu menghadapi risiko ketergelinciran.
Boleh jadi manusia membanting setir tujuannya untuk bergerak dari ego menuju
Allah, dari Allah menuju ego kembali. Karena, mungkin, menumpuknya maksiat,
kesalahan dan ketundukannya kepada ajakan syahwat dan hawa-nasfu. Kadang
manusia juga tersendat dalam upayanya meleburkan individualitasnya ke dalam
umat. Bahkan, dia berbalik dari berintegrasi dengan umat kepada egoisme;
temperamental, penuh prasangka, terlalu sensitif' dan posesii'. Jadi, akal
memainkan perannya yang efektif dan menentukan dalam mengawasi dua dinamika
perjalanan manusia:
- Dari ego menuju Allah dan dari
individualitas menuju umat.
- Menolong manusia untuk tidak
terseret ajakan hawa nafsu dan tergelincir bersamanya ke arah yang
berlawanan; dari Allah menuju ke ego dan altruisme menuju egoisme. Hanya
saja, akal, secara herdiri sendiri, tidak akan mampu menyelesaikan dua
perjalanan raksasa ini. Oleh karena itu, akal meminta bantuan beberapa
karakter yang bisa menopangnya dalam menempuh dualisme perjalanan ini.
Karakter-karakter ini pun terbagi dalam dua kelompok: Pertama,
karakter-karakter yang mendorong dinamika manusia dari egoisme menuju
Allah dan gerak yang dibutuhkan manusia dari individualisme menuju Walâ`
kepada Mukminin.
Sedang sekelompok karakter lain memberi
bantuan manusia untuk mengendalikan dan menghaclapi tekanan huwa nafsu. Adalah
kecenderungan fitri kepada Allah, cinta Ilahi, zikir, dan ibadahlah yang
menyongsong gerak laju manusia menuju Allah. Begitu pula kecenderungan hidup
bermasyarakat (homo socius), rasa cinta ada kasih-sayang terhadap sesama adalah
motor utama bagi terwujudnya suatu masyarakat. Karakter-karakter ini merupakan
bagian yang memotivasi dan "melicinkan jalan" bagi akal agar dapat
membangun prilaku rasional manusia. Di sisi lain, terdapat sejumlah karakter
yang digunakan untuk mengontrol prilaku rasional manusia. Rasa rnalu, sebagai
contoh, bisa mengontrol brutalitas. Hilm (kebijakan intelektual) mencegah
amarah yang berlebihan. ‘Iffah bisa mencambuk manusia untuk tidak
bertingkah-laku seksual yang keluar dari syariat. Qanâ’ah dapat menyelamatkan
manusia dari sikap rakus dan lain-lain. Karakter-karakter pengontrol ini kita sebut
juga dengan nama 'isham (bentuk jamak dari 'ishmah [penjagaan]). Semua itu
bertugas mencegah manusia dari kehancuran. Seandainya penjagaan-penjagaan itu
tiada, niscaya akal sendirian tidak akan bisa menunaikan tugasnya dalam
mengendalikan hawa nafsu. Dalam penjagaan ini berlaku juga prinsip
kembang-kempis. Prinsip ini mengikuti pola hukum dan sebab-akibat tertentu yang
akan lebih saya jelaskan sebentar lagi, Insya-Allah.
12.
Karakter-karakter ini harus selalu di
bahwa naungan akal dan agama. Bila tidak, mereka berubah menjadi anasir yang
membahayakan dan faktor yang negatif. Seperti, belas-kasih; kelompok faktor
pembangkit derajat manusia, ketika terlepas dari akal dan agama ia bisa berubah
menjadi faktor yang sangat berbahaya. Sebagaimana bila belas-kasih ditujukan
kepada kalangan orang-orang zalim yang jelas- jelas dilarang oleh akal dan
agama. Allah SWT berfirman: "Janganlah kamu berbelas-kasih kepadanya
(orang zalim)." Begitu pula infak. Bila ia telah menyeleweng dari akal dan
agama akan berubah menjadi faktor destruktif. Allah berfirman: "... dan
janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya, karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal". Q.S. Al-Isrâ` 28.
13.
Bala-tentara kejahilan tidak akan kuasa
memaksa irâdah manusia betapa pun kuatnya. la tidak akan mampu merampas
kehendak bebas manusia. Keputusan akhir tetap ada di tangan manusia dan pada
puncak kekuasaannya. Bala-tentara kejahilan hanya bisa menekan irâdah manusia.
la juga bisa menggerakkan irâdah manusia tanpa dapat mencabutnya atau mencabut
kemandiriannya dalam memutuskan perkara. Begitupun juga, tidak bisa dipungkiri
bahwa irâdah manusia bisa terpengaruh oleh bala-tentara akal ataupun kejahilan.
14.
Salah-satu barometer kembang-kempis
atau pasang-surut bala-tentara akal adalah baik-tidaknya pendidikan akhlak.
Karena, pendidikan akhlak dan takwa akan memicu bala-tentara akal, di samping
melemahkan dan memperkecil gerak syahwat dan hawa nafsu dalam jiwa. Sebaliknya
juga benar. Pemenuhan segala tuntutan syahwat dan hawa nafsu serta sikap apatis
terhadap faktor ketakwaan dan pendidikan akhlak bisa lebih mengefektifkan dan
mengefesienkan syahwat atau hawa nafsu dan memperlemah peran bala-tentara akal.
Karena itu, dalam nash-nash keislaman terdapat perintah agar selalu waspada
terhadap pemenuhan tuntutan hawa nafsu, biar halal sekalipun. Itu semua
semata-mata demi menjaga supaya manusia tidak terseret hedonisme. Rasulullah
SAWW telah menjelaskannya dalam sebuah hadis: "Barangsiapa memakan makanan
rnenuruti nafsunya, Allah tidak akan melihatnya sampai ia selesai atau
meninggalkannya".[1] Sesungguhnya, mengumbar selera makan artinya memakan
apapun yang disukainya. Kalau ada orang yang mengumbar selera makannya pada
yang halal, maka tidak jauh kemungkinan dia "terdesak" dan memakan
yang haram. Ten-tunya, orang ini -sebagaimana dalam riwayat itu- tidak akan
banyak dicurahi rahmat dan "Allah tidak akan melihatnya." Ada
beberapa latihan untuk melunakkan dan mengempiskan syahwat dan hawa-nahsu. Ibrahim Al- Khawas berkata:
"Obat hati ada lima
perkara :
1.
Membaca
Al-Quran.
2.
Mengosongkan
perut.
3.
Bangun di malarn hari (untuk ibadah)
4.
Tadharru' (rnerendahkan diri kepada
Allah) di tengah malam.
5.
Bergaul dengan orang-orang
saleh."[2] Ada seorang saleh yang mengatakan: "Allah menciptakan hati
sebagai ternpat berzikir. Kemudian ternpat itu berubah menjadi sarang syahwat.
Dan syahwat yang bersarang dalam hati tidak akan keluar (lepas) kecuali dengan
rasa-takut yang mencekam dan rindu yang mencemaskan kepada Allah."[3]
Tentang
permasalahan di atas Imam Ali as berkata dalam khutbahnya yang populer ketika
beliau menyifati muttaqin: "Ahli takwa adalah orang yang telah
menghidupkan akalnya dan mematikan nafsunya sarnpai luluh keangkuhannya dan
lembut kekerasannya. Baginya ternpat yang nyaman dan berkilauan."[4]
Maksud dari keangkuhan yang diluluhkan dan kekerasan yang dilembutkan ialah
hawa nafsu. Peran tarbiyyah (pendidikan) dan tazkiyyah (penyucian-diri) dalam
Islam sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ali ialah melembutkan kekerasan dan
meluluhkan keangkuhan perangai hawa nafsu dan bala- tentaranya yang menurut
hitungan nash berjumlah 75 karakter. Untuk menghadapi hal tersebut telah
dipersiapkan pula 75 bala bantuan bagi akal.
15.
Sempurnanya tentara akal ini bisa
menyebabkan aktifnya kekuasaan total terhadap hawa nafsu, syahwat dan insting.
Imam Ali as berkata: "Akal yang sempurna akan menaklukkan tabiat jelek
manusia".[5] Pada saat yang sama, manusia menjadi kuat dan kokoh. Berbeda
dengan anggapan mayoritas orang. Mereka memahami arti kekuatan dan keperkasaan
hanya dikala syahwat mendominasi manusia. Sedangkan Islam memandang kekuatan
dan keperkasaan adalah dalam pendominasian terhadap hawa nafsu, bukan
sebaliknya. Rasullullah SAWW bersabda: "Yang disebut perkasa bukan orang
yang rnengalahkan orang lain, narnun orang yang mampu mengalahkan hawa
nafsunya."[6] Rasulullah SAWW bersabda pula: "Perkasa bukan dia yang
kuat dalam bergulat, namun dia yang bisa menguasai nafsunya saat sedang
rnarah."[7] Rasulullah SAWW bersabda juga: "Orang yang paling berani
adalah yang (berani) menaklukkan hawa nafsunya."[8] Berbagai Buah Akal
yang Sempurna Ketika akal menyempurnakan kekuasaan dan menancapkan
cengkramannya atas hawa nafsu; menyerpurnakan peran dan misinya membimbing
manusia, ketika itu akal akan menjadi sumber berkah, taufik dan landasan
perubahan kehidupan manusia. Berikut ini saya paparkan sebagian hasil dan buah
akal yang bagi kehidupan manusia menurut nash- nash keislaman. A. Sikap
Istiqâmah Imam Ali as berujar: "Buah akal adalah Istikamah."[9] Imam
Ali as berkata: "Buah akal adalah bersatu-padu dengan kebenaran."[10]
B. Membenci Dunia Imam Ali as berkata: "Buah akal ialah membenci dunia dan
mengekang hawa nafsu."[11] C. Penguasaan atas Hawa Nafsu Imam Ali as bertutur:
"Bila akal telah sempurna, maka hawa nafsu akan berkurang."[12] Dari
Imam Ali as: "Akal yang sempurna sanggup rnenaklukkan tabiat yang
jelek."[13] D. Baik Budi Pekerti clan Prilakunya Imam Ali a.s berkata:
"Orang yang sempurna akalnya adalah orang yang baik amal
perbuatannya."[14] "Penjagaan-penjagaan"
Setelah
kajian kritis pelbagai nash keislaman tentang bala-tentara akal, kini kita
kembali pada kajian tentang cara-cara terapi hawa nafsu. Pada pembahasan yang
telah lewat kita telah mengetahui babwa akal sendirian tidak memiliki kemampuan
yang cukup untuk mengatasi dan membendung hawa nafsu.
Sekiranya
akal bertarung sendirian melawan hawa nafsu yang kuat itu, niscaya ia selalu
berada pada pihak yang kalah. Karenanya, Allah meletakkan bala-tentara yang
bisa diandalkan untuk membantu akal menghadapi bala-tentara hawa nafsu. Jumlah
keduanya berimbang. Keduanya memiliki matlamat dan tuntutan yang berbeda secara
kontradiktif. Bala-tentara itulah yang di sini kita sebut dengan penjagaan atau
al-'isham. Akal selalu meminta bantuan padanya untuk membendung dan
mengendalikan kebrutalan hawa nafsu. Atas dasar itu, konsentrasi berbagai
penjagaan ini di antara bala-tentara akal yang lain merupakan metode pendidikan
yang jitu -juga Islami- dalam terapi hawa nafsu.
Berbagai
penjagaan itu sangatlah penting sehagai tindakun preventif dari
gempuran-gempuran syahwat dan hawa nafsu yang menyeret manusia ke jurang
kemaksiatan. Seandainya penjagaan serupa tidak ada, maka sudah barang tentu
akal saja tidak bakalan mampu mengekang nafsu dan mengendalikan syawat.
Penjagaan ini selalu mengalami kembang-kempis. Dalam keadaan kembang atau
optimal, mereka mampu membentengi manusia dari segala bentuk kesalahan dan
kemaksiatan. Namun, ketika "stamina"nya mengempis, syahwat akan
menjadi-jadi dan mencampuri sembarang urusan manusia. Optimasi penjagaan ini
terjadi dengan ketakwaan, sedang minimasinya disebabkan perbuatan zalim dan
dosa. Perbuatan-perbuatan itu mengikis benteng tumpuan manusia untuk
menyelamatkan dirinya.
Sebagaimana
telah dijelaskan dalam Doa Kumail: "Ya Allah, ampunilah dosa-dasaku yang
meruntuhkan penjagaan." Hubungan antara takwa dan penjagaan bersifat
timbal-balik atau mutual. Maksudnya, takwa berpengaruh dalam membantu penjagaan
dan penjagaan berpengaruh dalam menopang takwa. Hubungan antara dosa dan
penjagaan pun bersifat mutual. Dosa mempengaruhi minimalisasi dan keruntuhan
penjagaan. Sedangkan surut dan runtuhnya penjagaan berakibat pada penguasaan
syahwat dan hawa nafsu atas jiwa manusia. Penjagaan ini bersifat intrinsik. la
telah berkelindan dalam fitrah manusia. Allah meletakkannya untuk menopang akal
dalam menjalankan berbagai tugas penting yang dititahkan.
Sebagian sosiolog meyakini bahwa penjagaan ini
berasal dari luar; masyarakat. Penjagaan itu tidak bersifat aprior (qobli),
tetapi, ia bersifat aposterior (ba'di) atau yang diperolehnya di tengah-tengah
masyarakat yang ia hidup di dalamnya. Oleh karena itu, intensitasnya
berbeda-beda dari lingkungan yang satu ke lingkungan yang lainnya. Dengan
perkataan lain, ia berkembang dalam lingkungan masyarakat yang konservatif,
sementara akan mengempis dalam masyarakat yang liberal. Bahkan, ada masyarakat
yang mencapai tingkat dekadensi moral sedemikian rupa yang bisa meniadakan
penjagaan jiwa itu secara total. Pendapat di atas mendapat kritik yang tajam
sehingga sulit untuk dipertahankan.
Fenomena
psikologis yang timbul dari fitrah akan sangat berpengaruh secara sosial. Tidak
ada jalan untuk mengisolir fenomena psikologis dari selainnya (baca: fenomena
sosial). Sungguh salah besar jika kita menganggap bahwa fenomena psikologis
berbeda daripada fenomena sosial disebabkan tidak terjadinya interaksi sosial
dalam berbagai fenomena psikologis. Ipso facto, fenomena psikologis seseorang
tidak dapat dipandang secara terpisah dari pergumulan sosialnya. Baik dari sisi
negatif maupun positif. Perbedaannya adalah bahwa fenomena psikologis bersifat
universal dan mencakup seluruh masyarakat di sepanjang sejarah peradaban
manusia dalam tingkatan yang berbeda-beda.
Sementara,
fenomena sosial terjadi dalam kurun waktu tertentu dan di lingkungan geografis
tertentu pula. Untuk memperjelas masalah di atas, berikut ini akan saya berikan
contoh. Iman kepada Allah, misalnya, merupakan fenomena psiologis yang muncul
dari fitrah. Sebaliknya, atheisme adalah fenomena penyimpangan sosial yang
memberontak terhadap petunjuk fitrah. Kedua fenomena ini, sama-sama terdapat
dalam sejarah manusia dan tampak di punggung planet ini. Meski demikian,
keimanan merupakan keadaan yang berlaku di sepanjang sejarah peradaban manusia
dan tak ada jeda bagi keadaan ini. Hatta para peyembah berhala, matahari dan
bulan mengekspresikan keadaan ini, meskipun secara salah.
Sementara
atheisme tidak memiliki akar semendasar itu dalam sejarah peradaban manusia.
Selang beberapa lama atheisme tidak hadir secara kuat dan resmi sebagai suatu
tampilan yang berlogika, berbudaya dan berfilsafat. Keimanan kepada Allah
merupakan fenomena dan keadaan yang universal dan merata di muka bumi.
Sementara
atheisme bagaikan gelembung-gelembung air yang sesekali muncul di sana sini
secara lemah kemudian pecah. Gelembung terakhir dan terkuatnya yang unjuk gigi
di pentas sejarah politik, peradaban dan pemikiran manusia adalah Marxisme. la
mampu mencuat keluar sebagai suatu eksistensi politik internasional yang
sensasional, tapi tak lama waktu berlalu gelembung itu pun akhirnya pecah
sama-sekali. Berbedajauh dengan keadaan iman kepada Allah. Maka siapa yang
tidak membedakan antara fenomena iman kepada Allah dan atheisme pasti membodohi
dirinya sendiri. Kita kembali kepada kajian tentang penjagaan. Baru saja kita
telah disibukkan mengkaji kedalaman (baca: kefitriaan) penjagaan.
Kita
lupa mengkaji sistem penjagaan dan perannya dalam kehidupan manusia atau sistem
pendidikan Islami dalam memfungsikan penjagaan guna menandingi hawa nafsu.
Selanjutnya, saya akan mengemukakan uraian yang lebih panjang tentang
penjagaan. Beberapa waktu lalu, saya telah menulis kajian tentang penjagaan.
Karenanya, alangkah baik nya kalau saya nukil kembali beberapa paragrafnya yang
berhubungan dengan pembahasan ini. Sesungguhnya, dominasi hawa nafsu atas
manusia mempunyai pengaruh yang kuat. Dominasi ini mempunyai peran destruktif'
yang luar biasa pada kehidupan manusia.
Selama
manusia tidak berdaya mengekang, membatasi dan menetralisir hawa nafsu, dia
tidak akan terlepas dari upaya destruktifnya. Kalau demikian, mesti ada suatu
metode pendidikan yang sempurna untuk menghadapi dominasi hawa nafsu dan
efek-efeknya yang destruktrif dalam kehidupan manusia. Baik dari segi
individual ataupun sosial. Metode apakah itu? Orientasi pendidikan yang
bagaimanakah yang memungkinkan manusia menguasai hawa nafsu dan syahwatnya?
Metode pertama ialah monastisisme atau kehidupan kebiaraan (rahbaniyyah).
Monastisisme mempunyai dua tujuan. Pertama, menon-aktifkan syahwat yang ada
dalam jiwa manusia. Kedua, mengisolasi diri dari fitnah (rangsangan dan godaan)
hidup. Pandangan ini sangat populer dan memiliki akar yang dalam di sepanjang
sejarah.
Pandangan
ini, secara garis besar, meyakini bahwa masalah utama manusia terletak pada
pergesekan antara hawa nafsu dan fitnah. Maka dari itu, keselamatan manusia
bisa dicapai dengan menjauhkan hawa nafsu dari fitnah dan kemewahan dunia dan
dengan mengekang total syahwat dan berbagai naluri manusia lainnya. Metodologi
ini cukup populer dalam sejarah pemikiran umat manusia. Pandangan ini dan
berbagai wajah barunya, berakar pada ajaran Kristen ortodoks. Islam benar-benar
menolak metode ini. Bahkan menganggap pengisolasian, pemusnahan dan pengekangan
bukan saja tidak akan bisa menyelesaikan masalah manusia, bahkan bisa
mengakibatkan anomali dan menyalahi sunnatullah pada hakikat manusia.
Alquran menolak pandangan ini dalam ayat-ayat
berikut ini. "Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiop
(memasuki) mesjid, makan dan minurnlah, danjanganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allak tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan."
Q.S.
Al-A'râf:31. "Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari
Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rizki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu
(disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk
mereka saja) di hari kiamat. Demiklanlah Kami menjelaskan aya-ayat itu bagi
orang-orangyang mengetahui."
Q.S.
Al-A'râf:32. "Katakanlah:"Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang
keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar
hak manusia tanpa ada alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah
dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan)
rnengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui."
Q.S.
Al-A'râf:33. Bagian awal ayat ini mengajak manusia menikmati kebaikan-kebaikan
duniawi tanpa israf (sikap ekstrem), yaitu pada ayat: "Hai anak Adam,
pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah,
dan janganlah berlebih-lebihan".
Pada bagian keduanya, ia mengecam sikap
orang-orang yang mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah dari
kebaikan-kebaikan dunia, yaitu dalam ayat: "Katakanlah: "Siapakah
yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk
hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang menghararnkan) rizki yang baik?"
Kemudian ayat itu menyebutkan bahwa dunia dan bermacam-macam kelezatan di dalamnya
adalah milik orang Muk-min, dan orang musyrik pun ikut menikmatinya. Adapun di
akhirat kelak, kelezatan murni milik orang Mukmin dan musyrik tidak akan
mendapatkannya sama sekali.
Sebagaimana
tertera dalam ayat: Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi
orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di
hari kiamat", Lalu ayat tersebut menjelaskan, Allah SWT hanya mengharamkan
segala bentuk kekejian di dalam dunia.
Baik
yang ditampakkan maupun yang disembunyikan. Allah juga melarang perbuatan dosa
dan kezaliman serta permusuhan. Oleh karena itu, Islam menolak anjuran
pemutusan hubungan dengan dunia. la menyuruh kaum Muslim bersenang-senang
menikmati pesona dunia. Islam mencemooh perbuatan orang-orang yang memutuskan
hubungan dengan dunia dan yang mengharamkan keindahan-keindahannya yang telah
dihalalkan oleh Allah. Sebagian dari kenikmatan dunia ada yang dijadikan Allah
sebagai fitnah buat hamba-Nya. Walau demikian, Dia tidak menyuruh kita
mengisolir diri dan menjauhi dunia. Allah hanya menyuruh kita untuk menjauhi
segala bentuk fawâhisy (kekejian) dan agar waspadauntuk tidak melanggar
hukum-hukum-Nya.
Suatu
ketika Imam Ali as mendengar seorang berdoa: "Ya Allah, aku herlindung
pada-Mu dari fitnah." Lalu Imam Ali menegurnya: "Aku perhatikan kamu
hendak berlindung dari harta dan anakmu! Allah berfirman: 'Anak dan harta
bendarnu semata-mata adalah fttnah." Seharusnya kamu berdoa: "Ya
Allah, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah-fitnah yang menyesatkan."[15]
Amiril Mukminin Ali as berkata: "Janganlah ada di antara kalian yang
mengatakan: "Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari fitnah". Jelas tak
ada seorang pun di antara kalian yang tidak terkena fitnah. Jika kamu ingin
berlindung, maka berlindunglah dari fitnah-fitnah yang menyesatkan. Allah
berfirman:" Ketahuilah sesungguhnya harta-hartamu dan anak-anakmu itu
hanyalah fitnah...(Q.S. Al-anfâl 28)." Bila begitu, bagaimana Islam
menstabilkan dan mengatur hawa nafsu?
Sesungguhnya,
Islam telah meletakkan jalan dan metode pendidikan yang baru dalam mengatur
hawa nafsu. Metode itu disebut dengan penjagaan yang sudah ada dalam prilaku
manusia. la menyerupai insulator dalam elektronika. Anda telah mengerti
bagaimana mungkin manusia dapat menggunakan api dan listrik dengan memakai
insulator tanpa takut akan bahayanya? Begitu pula manusia dapat berurusan
dengan fitnah dan rangsangan atau tipu-dayanya melalui penjagaan ini tanpa
sedikitpun harus takut akan bahayanya. Salah besar bila kita mengajak manusia
untuk tidak menggunakan api atau listrik karena kedua benda tersebut bisa
membakar atau menimbulkan kobaran api.
Namun,
perlu diperhatikan, bahwa hubungan kita dengan api atau listrik mesti dengan
insulator yang bisa menjaga manusia dari bahaya keduanya. Begitu pula, tidak
dibenarkan kita mengajak manusia untuk menjauhi fitnah padahal di antara fitnah
itu terdapat harta benda dan anak-anak. Akan tetapi, manusia harus menjaga
dirinya dalam berurusan dengan fitnah ini melalui penjagaan. Bilamana penjagaan
ini telah sempurna dalam kehidupan individual dan sosial manusia, maka ia akan
memainkan peran yang penting dalam melembutkan, menyeimbangkan, menahan dan
menundukkan berbagai naluri manusia di hadapan pemiliknya.
Penjagaan
memungkinkan manusia "menguasai hawa nafsu dan syahwatnya" sebagaimanayang
telah disebut dalam pelbagai nash keislaman. Ungkapan di atas sangat bernilai
tinggi. Jelasnya demikian, bahwa di antara manusia ada yang bisa menguasai hawa
nafsu dan syahwatnya, dan ada yang dikuasai oleh hawa nafsu dan syahwatnya.
Oleh sebab itu, Islam tidak melarang seorang menyelami dunia asalkan dia tahan
dan bisa menguasai hawa nafsunya. Inilah tolok-ukur pembeda antara hawa nafsu
dan petunjuk. Imam Ash-Shadiq as berkata: "Barangsiapa bisa menguasai
nafsunya dalam keadaan marah, takut dan senangnya, maka Allah
mengharamkanjasadnya masuk neraka."[16] Dalam hadis yang lain disebutkan:
"Barangsiapa bisa menguasai nafsunya dalam keadaan hasrat, takut, senang
atau keadaan marahnya, maka Allah mengharamkan jasadnya masuk neraka."[17]
Tiga Kategori Penjagaan
Pertama,
penjagaan yang telah dianugrahkan Allah pada lubuk fitrah secara takwînî.
Pendidikan akan mengintensifkannya. Rasa malu, 'iffah dan belas-kasih, untuk
menyebutkan beberapa. Penjagaan macam ini akan menutupi, melunakkan dan
menseimbangkan naluri. Naluri seksual, misalnya, yang ada pada manusia dan
binatang. Pada binatang, naluri ini bersifat "telanjang". Sedang pada
manusia naluri itu selalu dibungkus dengan rasa malu dan 'iffah. Oleh
karenanya, banyak hal yang tidak dilakukan oleh manusia dilakukan oleh
binatang. Hal ini bukan karena adanya kelemahan naluri manusia tapi semata-mata
ia dijaga oleh rasa "malu dan iffah" yang bisa melunakkan,
menyeimbangkan dan mencegah "keliaran" naluri seksual. Demikian pula
belas-kasih. la memainkan peran yang besar dalam melunakkan dan menyeiinbangkan
naluri amarah. Dalam hal ini manusia dan binatang sama. Bedanya, pada binatang
ia terbuka dan bebas, sedangkan pada manusia ia terbungkus dalam belas-kasih.
Kedua,
penjagaan yang perlu dicari dan dipraktikkan oleh manusia itu sendiri. Dalam
konteks ini, pendidikan mempunyai peran yang vital untuk mengkokohkannya dalam
kehidupan seorang. Zikir, salat, puasa, dan takwa, misalnya masuk dalam
kategori ini. Salat bisa menjaga seorang dari perbuatan keji dan munkar. Zikir
menolak rayuan setan. Dan puasa adalah perisai manusia dari siksa neraka dan
takwa merupakan baju yang menutupi dan menjaga manusia dari bencana dosa dan
nista serta beragam kesalahan lainnya. Allah SWT berfirman:"... Dan
pakaian taqwa itulah yang paling baik"... Q.S. Al-A'râf:26.
Ketiga,
penjagaan yang telah dianugrahkan Allah untuk kepentingan kehidupan sosial
manusia. Seperti jamaah atau kelompok mukminin dan kehidupan berkeluarga.
Jamaah mukminin akan menjaga seorang dari kehancuran dan keruntuhan. Sedang
kehidupan berkeluarga menjaga kehormatan suami-istri. Selanjutnya, di bawah ini
saya memberikan dua contoh penjagaan yang telah dianugrahkan oleh Allah pada
jiwa manusia atau bersifat intrinsik padanya. Yaitu al-khauf (rasa takut) dan
al-hayâ` (rasa malu). Takut kepada Allah Takut kepada Allah adalah salah satu
penjagaan terpenting yang telah diletakkan Allah padajiwa manusia. Hal ini
telah dijelaskan di kedua hadis akal dan kejahilan di atas yang termuat dalam
bagian "bala tentara akal".
Takut
merupakan f'aktor terbesar untuk mencegah hawa nafsu. Takut juga mempunyai
peran besar dalam membendung dan menahan hawa nafsu. Allah SWT berfirman:
"Dan adapun omng-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan
diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat
tinggalnya”. Q.S. Al-Nâzi’ât:40. Dalam ayat ini digambarkan dengan jelas
tentang keterpautan dan hubungan yang berlaku antara takut kepada Allah dan
menahan diri dari mengikuti keinginan hawa nafsu. Imam Ash-Shadiq as pernah
berkata: "Barangsiapa yang meyakini bahwa Allah melihat dirinya, mendengar
apa yang diucapkannya, mengetahui apa yang dilakukannya, baik yang bagus maupun
yang yang jelek, kemudian dia rnenjauhi perbuatan jelek, yang demikian ini
adalah orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari
keinginan hawa nafsunya.".[18] Imam Ali as berkata: "Takut merupakan
penahan nafsu dari kelakuan dosa dan yang menghalanginya berbuat
kemaksiatan."[19] Takut menghalangi manusia berbuat maksiat. la membatasinya
pada yang halal agar manusia tidak terperosok di lembah yang haram.
Takut
juga mencegah manusia melakukan segala kemaksiatan dan hal- hal yang
diharamkan. Rasululah SAWW bersabda: "Ada tujuh golongan yang bakal
mendapat naungan Allah di hari yang tak ada naungan (kiamat) kecuali
naungan-Nya. (Golongan
tersebut) ialah
1.
Imam
yang adil
2.
Pemuda yang hidup tumbuh dengan ibadah
kepada Allah SWT.
3.
Orang yang hatinya selalu cenderung
pada masjid.
4.
Dua orang yang saling mencintai demi
Allah, baik di kala berkumpul maupun di waktu berpisah.
5.
Seorang yang mengeluarkan sedekah
kemudian menyembunyikan (amalnya) sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa
yang diperbuat tangan kanannya.
6.
Seorang yang berzikir kepada Allah di
kala sendirian lalu kedua matanya sembab (bercucuran air mata).
7.
Dan seorangyang diajak rnesum oleh
wanita cantik dan berkedudukan lalu orang lelaki itu mengatakan aku takut
kepada Allah SWT".[20] Makhâfatullah (takut kepada Allah) mencegah manusia
dari pengaruh syahwat terkuat, yaitu syahwat seksual.
Imam
Ali as berkata: "Sungguh mengherankan orang yang takut kepada siksaan tapi
tidak berupaya menjauhinya dan orang yang mengharapkan pahala tapi tidak pernah
taubat dan berbuat baik."[21] Imam Al-Baqir as berkata: "Tiada takut
seperti takut yang dapat mencegah dan tiada harapan seperti harapan yang dapat
menolong."[22] Jadi, takut mencegah manusia dari terseret melakukan
keinginan syahwat dan yang menahan manusia dari perbuatan yang berbau dosa.
Imam Ali as berkata: "Sebaik-baik penghalang dari perbuatan maksiat adalah
takut."[23] Takut adalah Keamanan Sungguh mengherankan, al-khauf yang
sepadan maknanya dengan al-qalaq (kegelisahan atau keresahan), dalam pandangan
Islam bisa mempunyai arti al-amân (ketentraman).
Karena
takut menghalangi manusia berbuat maksiat, maka, pada hakikatnya, ia
menghalangi manusia dari kehancuran dan keterjerumusan; kemaksiatan.
Hukum-hukum Allah SWT ada lah tameng yang menjaga manusia dari kehancuran.
Singkat kata, takut, pada gilirannya, akan membawa ketenangan dalam kehidupan
manusia, berbeda dengan pandangan yang dangkal tentangnya. Dalam
riwayat-riwayat berikut ini Anda akan menemukan pengertian di atas. Imam Ali as
berkata: "Takut akan membawa rasa aman."[24] Imam Ali as berkata:
"Buah takut adalah rasa aman. "[25] Dari Imam Ali as juga:
"Takutlah kepada Tuhanmu dan berharaplah pada Rahmat-Nya, maka Dia akan
menyelarnatkanmu dari apa yang kamu takuti dan Dia akan meniberimu apa saja
yang kamu harapkan."[26] Imam Ali as juga berkata: "Tidak layak bagi
orang yang berakal berdiam dalam ketakutan bila ada jalan yang masih
memungkinkan untuk rnendapatkan keselamatan."[27]
Takut
yang dimaksud dalam nash-nash tersebut ialah keselamatan dari siksaan Allah.
Sedangkan keselamatan yang disebut dalam nash tersebut ialah takut dari siksaan
Allah. Takut dan selamat ialah salah satu arti yang saling berhubungan. Dan ini
adalah satu di antara kekhasan kultur keislaman. Kesimpulannya, takut (kepada
Allah) di dunia berarti selamat (dari siksa) di akhirat dan 'selamat' di dunia
berarti takut di akhirat. Imam Ali as mengambil pengertian keislaman ini dari
sumber kenabian yang tidak bakalan kering. Dalam sebuah hadis, Nabi bersabda:
"Allah SWT berfirman: "Demi Keagungan-Ku dan Keperkasaan-Ku, sungguh
Aku tidak akan mengumpulkan dua takut dan dua keselamatan pada hamba-Ku.
Bilamana
dia "merasa aman," dari-Ku di dunia, Aku jadikan dia takut di hari
kiarnat. Sebaliknya, bilamana dia takut pada-Ku di dunia akan Aku selarnatkan
dia di hari kiamat."[28] Beberapa Kisah Tentang Peran Takut dalam Mengendalikan
Hawa Nafsu Berikut ini saya akan sebutkan beberapa kisah tentang tindak
penyelamatan yang dilakukan rasa takut terhadap jiwa manusia dari
keterjerumusan di jurang kemaksiatan dan syahwat. Kisah-kisah ini telah
disebutkan dalam beberapa riwayat berikut ini:
Diceritakan
kepadaku oleh Usman bin Zufar Al-Taimy, dia berkata, Abu Umar Yahya bin Amir
Al-Taimy bercerita demikian kepadaku: "Seorang lelaki desa sedang
menunaikan haji. Pada suatu malam, mendadak dia melihat seorang wanita cantik
yang terurai rambutnya di dekat sungai. Lelaki itu segera memalingkan wajahnya.
Namun perempuan itu berkata: "Kemarilah! Mengapa Anda berpaling dariku?”
Lelaki itu menjawab: "Sungguh aku takut kepada Allah Pemilik alam
semesta”. Kemudian wanita itu mengenakan kerudungnya seraya berkata: "Kamu
ketakutan? Kalau demikian, yang pantas takut bersamamu adalah orang yang ingin
mengajakmu bermaksiat bersama-sama." Kemudian wanita itu pergi. Akupun
mengikutinya dari belakang.
Dia
masuk ke salah satu perkampungan orang Arab Badui. Esok harinya, aku menemui
salah seorang dari mereka dan menceritakan perihal wanita yang kujumpai dan
kejadian yang kualami. Aku ceritakan mulai raut wajahnya sampai cara bertutur
katanya. Kemudian salah seorang dari mereka berseru:
"Demi
Allah, dia adalah putriku”.
Aku
berkata: "Kau mau menikahkannya."
"Tentu
saja kepada yang sesuai (kufu') ", sergahnya.
Aku
berkata: "Aku dari suku Taimullah. "
Bolehlah.
Persesuaian yang terhormat." katanya. Aku tidak beranjak sebelum
menikahinya. Akhirnya akupun menikahinya.
Kemudian
aku berkata: "Persiapkan dia sampai aku selesai menunaikan haji."
Selesai menunaikan haji aku bawa dia ke Kufah dan sekarang dia di sampingku
dengan beberapa anak laki-laki dan perempuan."[29] Seorang wanita cantik
hermukim di kota Makkah. Dia sudah berkeluarga. Pada suatu hari, dia hercermin
seraya sesumbar di hadapan suaminya:
"Apa
ada orang yang melihat wajah ini dan tidak terpesona?”
"Ada."
jawab suaminya.
"Siapa?"
tanyanya.
"Ubaid bin Umair." jawab
si suami. Wanita itu kemudian memohon pada suaminya untuk pergi
menggoda Ubaid bin Umair.
Suaminya
pun mengizinkannya. Dengan penuh semangat, dia mendatangi majlis taklim Ubaid
bin Umair dan berpura-pura sebagai penanya hukum. Dia menyendiri di sudut
masjid Al-Haram. Lalu dia dengan sengaja menyingkap wajahnya yang bagaikan
bulan sabit. Kemudian Ubaid bertanya pada wanita itu:
"Wahai
harnba Allah! Ada apa denganmu?
"Aku
datang karena terpikat padamu. Maka penuhi hajatku", rayu wanita itu.
Ubaid
menjawab: "Baik. Tapi jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu apakah
kau akan menjawab dengan jujur? Kalau tidak, aku tidak akan memperhatikan
urusanmu."
"Boleh.
Tapi janganlah kau bertanya tentang sesuatu yang pasti akan kudustakan",
pinta wanita itu.
Ubaid
bertanya lagi: "Jawablah dengan jujur. Apakah kau mau sekiranya aku penuhi
permintaanmu dan malaikat maut datang kepadamu?"
"Tentu tidak!", jawab si wanita.
"Kau berkata benar", seru Ubaid.
"Apakah kau mau sekiranya aku memenuhi kemauanmu, kemudian kelak di liang
kubur kau didudukkan untuk mempertanggung-jawabkannya?
"Sungguh
tidak", jawab wanita itu.
"Engkau
berkata benar!", seru Ubaid. "Apakah kamu mau aku memuaskan hasratmu,
padahal kelak ketika kitab amal dibagikan kamu belum mengetahui apakah kamu
akan mengambilnya dengan tangan kanan atau tangan kiri?
"Sungguh
tidak", jawabnya.
"Engkau
telah berkata jujur", jawab Ubaid. "Apakah kau mau aku melayani
nafsumu, padahal kau tidak bisa memastikan timbangan amalmu itu berat atau
ringan?"
"Sungguh
tidak!"
“Apakah
kau mau aku memenuhi hajatmu, padahal kelak kau akan diminta
pertanggungjawabannya di hadapan Allah?”
"Sungguh
tidak".
"Kamu
berkata jujur." Kemudian Ubaid melanjutkan: "Maka bertakwalah kepada
Allah wahai hamba Allah. Sungguh Allah telah memberi sebagian kenikmatan padamu
dengan menjadikan wajahmu elok."
Perawi
berkata: "Lalu wanita itu kembali dan tersimpu di pangkuan suaminya. Lalu
sang suami bertanya: "Wahai istriku, gerangan apa yang telah terjadi pada
dirimu?”
Dia
menjawab: "Kamu adalah penganggur dan kita juga para penganggur."
Kemudian
setelah itu dia tekun salat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya. Setelah itu
suaminya berkata: "Sesungguhnya, apa yang telah dilakukan Ubaid untuk
merubah istriku. Sebelumnya, setiap malamnya ialah malam penganten baru. Kini
dia berubah menjadi biarawati."[30] Abu Said bin Abi Umamah meriwayatkan,
ada seorang lelaki mencintai seorang perempuan. Perempuan itu pun menyambutnya
dengan mesra.
Maka
bertemulah keduanya. Si perempuan merayunya. Lalu lelaki itu berkata:
"Ajalku bukan di tanganmu dan juga ajalmu bukan di tanganku, barangkali
ajal kita sudah dekat dan kita tidak ingin bertemu Allah dalam keadaan
bermaksiat." "Sungguh benar ucapmu itu", jawab si perempuan.
Maka kedua sejoli itu mengurungkan niat mereka. Mereka bertaubat dan menjadi di
antaru orang-orang yang saleh”. [31] Kharijah bin Ziyad menceritakan bahwa ada
seorang lelaki dari bani Sulaimah mengkisahkan: Aku sangat tertarik pada wanita
dari suatu suku. Aku selalu membuntutinya di kala dia keluar dari masjid.
Kemudian dia mengetahui perbuatanku itu. Pada suatu malam, dia berkata padaku:
"Apakah
kamu ada keperluan denganku?"
"Ya!",
jawabku.
"Apa
keperluanmu?", tanyanya.
"Kecintaanmu”,
jawab si lelaki.
"Tundakan
itu untuk hari kiamat." sergahnya.
Lelaki
itu pun berkata: "Demi Allah sungguh wanita ini menjadikan aku menangis.
Dan membuatku tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi."[32]
Syaikh
Bani Abdul Qais berkata: "Aku mendengar mereka bercerita tentang seorang
lelaki yang merayu perempuan.
Lalu
perempuan itu bertanya: "Pernahkah engkau mendengar hadis atau membaca
Al-Quran. Sesungguhnya, engkau lebih tahu itu semua daripada aku."
"Kuncilah
semua pintu istana ini!" teriak lelaki itu. Kemudian si perempuan itu
menutup semua pintu.
Setelah
itu lelaki tadi mendekatinya. Tiba-tiba perempuan itu berkata: "Tinggal
satu pintu yang belum aku tutup."
"Pintu
apa itu?", tanya lelaki dengan penuh keheranan.
"Pintu
yang ada di antara kau dan Allah SWT"
Perawi
berkata: maka lelaki membatalkan rencananya pada wanita tadi".[33] Ibnu
Jauzi berkata, telah sampai sebuah cerita padaku tentang perempuan ahli ibadah
dari wilayah Bashrah yang telah membuat kasmaran seorang lelaki dari suku
Muhallab. Dia adalah perempuan yang cantik. Banyak orang meminangnya. Namun dia
menolaknya. Kemudian ada berita bahwa wanita itu ingin naik haji. Berita ini
didengar oleh orang Muhallab itu. Kemudian dia membeli 300 ekor onta dan
mengumumkan:
"Barangsiapa
ingin pergi haji hendaknya menyewa pada Muhallab."
Lalu
wanita itu menyewa padanya. Sesampainya di pertengahan jalan, waktu malam tiba.
Orang Muhallab itupun mencoba mendekatinya seraya memberitahukan hasratnya
kepadanya:
"Kawinkan
dirimu padaku atau kalau tidak, akan kupaksa engkau melayaniku."
"Celaka
kau! takutlah kepada Allah," bentak si wanita.
"Sungguh
tiada pilihan lain kecuali apa yang kamu dengar dariku!" kata si lelaki
itu.
"Demi
Allah aku bukan penuntun onta dan aku tidak meninggalkan kampungku kecuali
demimu," jawab Muhallabi.
Ketika
wanita itu merasa ketakutan, dia berkata lagi: "celaka kau, lihatlah
apakah masih ada orang yang belum tidur?"
"Tidak,
tidak ada!", jawabnya.
"Lihat
lagi," kata wanita itu.
"Tidak
ada. Semuanya sudah tidur," jawab Muhallabi.
Kemudian
wanita itu berkata: "Celakalah kamu, apakah Tuhan Pemilik alam semesta juga
ikut tidur?".
Rasa
Malu Perangai kedua dari bala-tentara akal adalah malu. ia mempunyai peran yang
krusial dalam membentengi manusia dan menjaganya dari kehancuran. Seringterjadi
bahwa seorang terdorong untuk melakukan kemaksiatan sedangkan akal tidak mampu
membendungnya.
Dalam keadaan seperti itulah malu kepada Allah
SWT berperan sangat genting. Karena, rasa malu kepada Allah SWT akan mencegah
manusiadari kelakuan dosa. Malu - dalam segala tingkatannya - merupakan
penjagaan bagi manusia. Malu pada keluarga dan sanak keluarga mengandung
tingkat tertentu dari penjagaan. Malu pada manusia biasa mengandung derajat
penjagaan yang lebih tinggi. Malu pada orang yang dihormati dan dimuliakan
mengandung derajat penjagaan yang lebih tinggi. Malu kepada Allah SWT
mengandung derajat penjagaan yang paling tinggi lagi dalam kehidupan manusia.
Bila
manusia mampu mengkristalkan rasa-malu kepada Allah dalam dirinya, dan
menganggap Allah beserta para malaikat-Nya selalu hadir di sisinya, maka
perasaan ini akan benar-benar menjaga seorang dari perbuatan dosa, maksiat dan
menyelamatkannya dari perangkap syahwat dengan kadar yang sangat tinggi. Malu
pada Allah Bagaimana mungkin seorang melanggar perintah Allah kalau dia
menganggap bahwa Allah hadir di kalbunya. Merasa bahwa Allah SWT melihat dan
mendengarnya.
Para
malaikat Allah yang telah ditugaskan- Nya tidak jauh darinya dan tiada satu
masalah yang samar bagi mereka kecuali yang dirahasiakan oleh Allah. Rasulullah
SAWW dalam sebuah wasiatnya pada Abu Dzar r.a. bertutur: "Wahai Abu Dzar,
bersikapmalulah kepada Allah. Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, aku selalu
mengenakan kain penutup ketika buang hajat. Karena aku malu kepada kedua
malaikat yang selalu bersamaku"[34] Rasulullah SAWW bersabda: "Bersikapmalulah
kepada Allah sebagaimana kamu bersikap malu terhadap tetanggamu yang baik.
Karena, rasa malu akan menambah keyakinan."[35]
Rasulullah
SAWW bersabda: "Hendaknya kalian semua bersikap malu pada dua malaikat
yang selalu bersama kalian. Sama seperti kalian bersikap rnalu kepada dua orang
tetangga saleh yang selalu bersama kalian di waktu siang dan malam."[36]
Imam Al-Kazhim as berkata tentang malu kepada Allah di tempat rahasia dan sepi
demikian: "Bersikapmalulah kalian kepada Allah di tempat-tempat rahasia,
sebagaimana kalian bersikap malu pada manusia di tempat-ternpat
terbuka."[37] Kalau demikian, malu kepada Allah SWT akan membuahkan
derajat yang tinggi dari 'ishmah (keterjagaan dari dosa).
Malu
dapat menjaga seorang dari kehancuran. Kandungan nash di bawah ini telah
berulang kali disebutkan dalam berbagai nash keislaman. Imam Ali as berkata:
"Malu akan membentengi manusia dariperbuatan jelek."[38] Imam Ali as
berkata: "Kadar 'iffah Anda dapat diukur dengan kadar malu Anda."[39]
Rasulullah SAWW bersabda: "Bersikap malulah kepada Allah secara betulan”.
Rasul ditanya: “Siapakah yang mampu bersikap malu kepada Allah secara betulan
itu?” Beliau menjawab: "orang yang bersikap malu kepada Allah secara
betulan, ialah orang yang mengetahui kalau ajalnya telah ditentukan di hadapan
matanya, zuhud pada dunia dan segala hiasanya, menjaga kepala dan apayang
dikandungnya dan perut dengan segala isinya."[40]
Imam
Musa bin Ja'far as berkata: "Semoga Allah rnenghormati orang yang
benar-benar bersikap malu kepada Allah; menjaga kepala dan apa yang ada di
dalamnya dan menjaga perut dan segala isinya."[41] Di sela-sela kepala dan
perut manusia ada sejumlah syahwat yang siap mempengaruhinya. Mata adalah
jendela syahwat. Pendengaran adalah jendela lain bagi syahwat. Perut tempat syahwat.
Dan zakar juga tempat syahwat.
Bilamana
manusia malu kepada Allah, maka rasa malunya tersebut akan menjaga kepala
beserta apa yang terkandung di dalamnya dari jendela-jendela syahwat dan perut
beserta apa yang tertampung berupa tempat-tempat syahwat. Imam Ali as berujar:
"Paling mulianya wara' adalah meninggalkan perbuatan di waktu sepi apa
yang kamu rnalu mengerjakannya di waktu ramai."[42]
Keluhan
Tentang Sedikitnya Malu Kepada Allah Dalam banyak doa kita menemukan
keluhan-keluhan manusia kepada Allah SWT tentang kurangnya rasa malunya kepada
Allah SWT Pengaduan dan keluhan semacam ini merupakan kandungan makna doa yang
terlembut. Dalam pengaduan ini, Allah SWT adalah yang menjadi Hakim. Sedang ego
manusia adalah pengadu dan yang diadukan ialah hawa nafsu. Adapun isi
pengadukan adalah keadaan rasa-malu seseorang. Kesimpulannya,
apayangterkandungdalam gugatan tersebut adalah pengaduhan manusia tentang
kurangnya atau tiadanya rasa malu dirinya kepada Allah.
Dalam
doa Abu Hamzah disebutkan: "Wahai Tuhan! Aku tidak malu kepada-Mu di saat
sepi, dan tidak memperhatikan-Mu di saat ramai. Aku telah tertimpa musibah
besar. Akulah orang yang lari dari Tuannya. Telah Engkau tutupi kesalahan-
kesalahanku, tapi aku masih belum merasa malu. Telah melampaui batas-batas,
maksiatku. Engkau hapuskan semua itu di depan matamu-Mu tapi aku tetap tidak
peduli.”[43] Doa di atas menunjukkan pengaduan manusia tentang dirinya, maksiat
yang dilakukannya dan pelanggarannya terhadap hukum-hukum Allah. Dalam munajat
Asy-Syâkin (para pengadu kepada Al-lah), Imam Zainal Abidin as menyebutkan
demikian: "Tuhanku, aku mengadukan kepada-Mu tentang hawa nafsu yang
mengajak pada kejelekan, bergegas mendatangi dosa, gemar maksiat dan sengaja
mencari murka-Mu."[44]
[1] Biharul
Anwar, 70-78.
[2] Dzammul
Hawâ, karya Ihnu Al-Jauzi:70.
[3] Ibid.
[4] Nahjul Balâghah, khutbah 320.
[5] Bihârul
Anwâr, 78:9.
[6] Dzammul
Hawâ, karya Ibnu Al-Jauzi:39.
[7]
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al-Musnad dan Al-Baihaqi.
[8] Biharul
Anwâr, 70:76 hadis 5 dan Mustadrak Al-Wasâ`il, 2:345.
[9] Ghurarul Hikam 1:320.
[10]
Ghurarul Hikam 1:320.
[11]
Ghurarul Hikam 1:323.
[12] Ghurarul Hikam 1:279.
[13]
Bihârul Anwâr, 9:78. [14] Bihârul Anwâr, 9:78. [15] Bihârul Anwâr, 93:235. [16]
Bihârul Anwâr, 78:243. [17] Bihârul Anwâr, 71:358.
[18]
Ushûlul Kâfî: 40.
[19] Mîzânul Hikmah, 3:183.
[20]
Diriwayatkan Al-Bukhari dalam pembahasan masalah wajibnya melakukan shalat
berjamaah bab 8, dalam bagian keharusan mengeluarkan zakat bab 18, dalam bagian
Ar-Riqâq dalam kitab Al-Muharib bab 4; Diriwayatkan juga dalani Muslim kitab
sahihnya bagian zakat bab 30 serta diriwayatkan dari Abu Al-Faraj dalam kitab
Dzamul Hawâ:243.
[21]
Bihârul Anwâr, 77:237.
[22]
Bihârul Anwâr, 78:164.
[23]
Mîzânul Hikmah 3:183.
[24] Mîzânul Hikmah 3:186.
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Kanzul ‘Ummâl, karya Al-Muttaqi
Al-Hindi, hadis 5878.
[29]
Dzammul Hawâ, karya Ihnu Jauzi:265-266.
[30]
Dzammul Hawâ, karya Ibnu Jauzi:264-265.
[31]
Dzammul Hawâ, karya Ibnu Jauzi:268.
[32] Dzammul
Hawâ, karya Ibnu Jauzi:268.
[33]
Dzammul Hawâ, karya Ibnu Jauzi:268.
[34]
Bihârul Anwâr, 77:83; Kanzul ‘Ummâl 5751.
[35]
Bihârul Anwâr, 78:200.
[36]
Mîzânul Hikmah, 2:568.
[37]
Bihârul Anwâr, 78:309.
[38]
Mîzânul Hikmah, 2:564.
[39] Bihârul Anwâr, 70:305.
[40]
Bihârul Anwâr, 78:305.
[41]
Bihârul Anwâr, 78:305.
[42]
Ghurarul Hikam, 2:253.
[43]
Doa Abu Hamzah Ats-Tsumâlî. [
44] Ash-Shahîfah Al-Sajjâdiyah, Imam
Ali hin Ilusein as.
BAB KEEMPAT
Orang Yang Mengutamakan Nafsunya
Setelah menelusuri kajian tentang pengertian hawa nafsu, keadaan-keadaannya
dan cara pengobatannya. Kini saya mulai mengkaji tentang tema orang yang
mengutamakan keinginannya di atas keinginan Allah dan yang mengutamakan
keinginan Allah di atas keinginannya. Kita rnulai dengan membahas orang yang
mengutamakan keinginan dirinya di atas keinginan Allah.
Dalam sebuah hadis Qudsi disebutkan, Rasulullah SAWW mengatakan bahwa Allah
SWT, berfirman: "Demi Kemuliaan- Ku, Keagungan-Ku, Kebesaran-Ku,
Keperkasaan-Ku, Nur-Ku, Ketinggian-Ku dan ketinggian Kedudukan-Ku. Tiada
seorang hamba yang mengutamakan keinginan dirinya di atas keingina n- Ku
rnelainkan Kucerai-beraikan urusannya, Kukaburkan dunianya dan Kusibukkan dia
dengan urusan duniawi serta Kuberikan dunia kepadanya seperti yang telah
Kutakdirkan untuknya (tidak lebih)."
[1]
Pembahasan saya dalam bagian ini - sebagaimana dising gung dalam hadis qudsi
tersebut- akan terfokus pada tiga per kara:
1.
Allah SWT akan menyiksa golongan yang
mengutamakan keinginan dirinya di atas keinginan Allah dengan tiga hal:
a.
Allah akan mencerai-beraikan urusannya.
b.
Allah
akan mengaburkan dunianya.
c.
Allah akan menyibukkan hati mereka
dengan urusan duniawi.
2.
Tiga bentuk siksaan dalam hadis ini
didahului dengan sumpah yang sangat berat "Demi Kemulian- Ku, Keagungan-
Ku, Kebesaran-Ku, Keperkasaan-Ku, Nur-Ku, Ketinggian-Ku dan tingginya
Kedudukan-Ku ". Dan sumpah-sumpah ini meny ingkap betapa pentingnya
permasalahan yang disebut setelah itu.
3.
Gaya bahasa dan redaksi hadis ini
menggunakan logika "kalau tidak begini pasti begitu" (al-hashr bayna
an-nafyi wa al-itsbât). Gaya bahasa itu tertera pada kalimat "tiada
seorang hamba yang mendahulukan keinginannya di atas keinginan Allah melainkan
Aku cerai-beraikan urusannya..." Dengan kata lain, bila ada seseorang yang
mengutamakan keinginan dirinya di atas keinginan Allah SWT, maka pasti dia akan
tertimpa tiga siksaan yang disebutkan dalam hadis Qudsi tersebut.
Aku Cerai-beraikan Urusannya Siksaan
pertama yang pasti akan menimpa kelompok manusia ini ialah kekusutan urusan.
Seperti, Allah akan mencabut pendirian, kemantapan, integritas, langkah, sikap
dan wahana hidupnya. Allah terus mengombang-ambingkan mere ka. Bak sehelai bulu
atau sebongkah kayu yang terapung di atas air yang tidak bermuara. Ada dua
model kepribadian manusia,
1.
Pribadi yang harmonis.
2.
Model manusia yang gelisah atau kacau-balau.
Kepribadian Harmonis Pribadi yang
harmonis selalu berada di bawah sutu ke kuasaan dan penguasa. Sedangkan
kepribadian yang gelisah dan rusuh terobang-ambingkan oleh sekian banyak
f'aktor yang berbeda. Yang pertama ialah
manusia dalam keadaan monoteis tik dan yang kedua ialah manusia dalam keadaan
politeistik. Kepribadian monoteistik berada di bawah kekuasaan, ke hendak, hukum,
dan perintah Allah. Dia hanya tertarik kepada "magnetisme" keridhaan
Allah. Perintah Tuhan menguasai nya baik di waktu senangatau susah. Wajab dan
keridhaan-Nya adalah tujuan hidupnya. Pribadi ini selalu dikuasai oleh perin
tah, kekuasaan dan tujuan Ilahi. Perintah dan tujuan yang demikian itulah yang
memheri kan keharmonisan dan integritas kepada manusia. Dengan memperhatikan
perhedaan sikap politis dan status sosial me reka sekalipun. Terkadang taklif
politis Muslim berpindah dan satu keadaan kepada keadaan lain. Seperti, dari
sikap berperang kepada sikap berdamai; dari sikap mengangkat senjalu kepada
sikap melucuti senjata. Berbagai taklif dan perintah yang seri n g
herganti-ganti tersebut tidak akan menimbulkan kemelut (dissociation) dan
konflik dalam kepribadian seorang Muslim. Semua itu tidak akan memudarkan
integritas atau harmoni yang tumbuh dalam kepribadian monoteistik. Keadaan
inilah yang disebut dengan tauhid praktis seba gai lawan tauhid teoretis. Sudah
barang tentu, tauhid praktis adalah pantulan tauhid teoretis clalam prilaku hidup
seorang. Keadaan tauhid praktis yang begini akan membebaskan manusia dari
berbagai pengaruh kekuasaan. Baik yang ada dalam jiwa manusia (hawa nafsu)
maupun di luarnya (tagut). Secara integral, dia masuk dalam lingkaran kekuasaan
hukum rlan perintah Allah. Hukum Allah sajalah yang menjadi penguasa tindak-
tanduknya. Hukum Allah merupakan sibghah (warna) umum dalam kehidupannya. Dan
akhirnya, dia adalah perwujudan dari sabda Rasulullah SAWW: "Kalian belum
dianggap beriman sehingga keinginan ka lian mengikitti apa yang telah aku
bawa."
[2] Syirik
merupakan kebalikan dari keadaan di atas. Kesyi rikan mengeluarkan manusia dari
garis haluan hukum Allah SWT. Jiwa orang musyrik akan tercabik-cabik hawa nafsn
dari arah dalam dan tagut dari arah luar. Manusia yang keluar dari benteng
tauhid, akan dimusnah kan agen-agen hawa nafsu dan tagut. Bagaikan bangunan
tinggi yang disapu bersih oleh badai. Alquran menjelaskan masalah ini dengan
ungkapan sebagai berikut: "Allah ialah wali orang- orang beriman. Dia
mengeluarkan mereka dari bermacam kegel apan. kepada cahaya. Sedang wali-wali
orang kafir adalah tagut... ". Q.S. Al-Baqarah:257. Orang mukmin hanya
memiliki satu wala' (perwalian) dan komitmen. Sementara orang-orang kafir
memiliki pelbagai perwalian sebagaimana yang digambarkan oleh klause,
"sedang wali-wali orang kafir itu tagut." Pribadi yang harmonis akan
bertahkim dan bertumpu pada satu perintah syar'i yang memusat pada Allah dan
keri dhaan-Nya. Kelompok ini melaksanakan perintah syar'i tanpa ragu, takut,
bimbang, malu, dan gelisah. Sifat-sifat itu adalah indika tor kepribadian yang
pecah (dissociated personality). Jiwa rna nusia yang dipimpin oleh satu faktor
akan terhindar dari semua sifat itu. Adapun ciri-khas kelompok monoteistik ini
ialah keper cayaan diri, ketenangan, keyakinan, kebulatan tekad, kebera nian,
kelapangan jiwa dan hati, kesatriaan, tidak mundur aki bat sendirian dalam
sikapnya atau sedikitnya pembela dan banyaknya penentang. Amirul Mukminin Ali
as berkata: "Banyaknya yang (mengikutiku) tidak akan menambah kernulian
dan ba nyaknya orang yang membenciku tidak akan menimbulkan keterasingan
(alienasi)."
[3]
Kepribadian kelompok ini bersifat langgeng. Baik di saat
senang ataupun susah, lapang atapun menderita, dan kalah ataupun menang. Ammar
bin Yasir Semoga Allah merahmati Amar bin Yasir. Dia adalah contoh pribadi yang
tenteram; teguh pendirian dan berkepribadian harmonis. Ammar ialah sahabat Nabi
yang berada di belakang barisan Imam Ali melawan Muawiyah di perang Shiffin.
Kala itu, dia sudah berusia 90 tahun. Namun, jiwa dan raganya pantang menyerah.
Dengan gigihnya, dia menerobos pasukan musuh. Tak sedikitpun keraguan tentang
kebenaran Imam Ali as dan kebatilan Mu'awiyah menggelayutinya. Di tengah
berkecamuknya perang Shiffin dan di hadapan Imam Ali, Ammar menengadahkan kedua
tangannya dan bermunajat kepada Allah: "Ya Allah, Engkau Mahatahu.
Sekiranya aku mengetahui bahwa Ridha-Mu, diperoleh dengan menenggelamkan diriku
ke laut, niscaya akan kulakukan. Ya Allah, Engkau Mahatahu. Sekiranya aku mengetahui
bahwa ridha-Mu diperoleh dengan menancapkan pedang di perutku sehingga menembus
punggungku, niscaya akan ku lakukan. Ya Allah, aku sungguh telah mengetahui
dari apa yang Engkau ajarkan padaku, bahwa hari ini tiada amal yang lebih
Engkau ridhai daripada mernerangi orang-orang fasik itu. Seandainya aku
mengetahui ada perbuatan lain yang lebih Engkau ridhai dari perbuatan ini,
niscaya akan kula kukan!"
[4] Asma' bin Al-Hakam Al-Fazârî bercerita:
"Pada
peperan gan Shiffin bersama Imam Ali as, kami berada di bawah bendera yang
dipegang Ammar bin Yasir. Ketika itu matahari mulai naik (waktu dhuha). Kami
berteduh dengan kain merah. Tiba-tiba ada seorang datang menghadap dengan
mengangkat Mushhaf. Persis di hadapanku dia berucap:
'Apakah Ammar
bin Yasir ada di tengah-tengah kalian?
"Akulah
Ammar", jawab Ammar.
"Apakah
engkau Abu Yaqthan?" tanya orang itu.
"Benar," jawab Ammar.
"Ada yang
ingin aku bicarakan. Apakah kita berbicara di sini saja atau empat mata?"
Tanyanya.
Ammar menjawab:
"Terserah!"
Lalu orang itu
memilih di hadapan orang banyak. Ammar menyuruhnya agar memulai angkat bicara.
Lalu orang itu mulai berbicara:
"Aku telah
meninggalkan keluargaku dalam keadaan yakin akan kebenaran yang sedang kita
jalani. Aku yakin mereka (pihak Mu'awiyah) berada dalam kebatilan. Aku
senantiasa meyakini demikian. Sampai saat malam tiba, dan terdengar olehku
suara azan. Terdengar olehku bahwa kita (kedua belah pihak) sama-sama bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan-Nya. Muazin kita mengumandangkan
azan yang sama. Kita melakukan salat dengan cara yang sama. Kita berdoa dengan
doa yang sama. Kita membaca Alquran yang sarna. Kita mempercayai Rasul yang
sama. Di malam itulah aku dihinggapi keraguan. Aku lewati malam yang entah
bagaimana. Hanya Allah yang mengetahui. Pagi tiha. Aku segera mendatangi Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib. Aku menceritakan semua kejadian tersebut
kepadanya.
Dengan tenang
beliau berkata padaku: "Apakah engkau sudah bertemu dengan Ammar bin
Yasir?"
"Tidak!"
Jawabku.
Amirul Mukminin
kemudian memerintahkanku untuk menemui Ammar dan memperhatikan apa saja yang
diucapkan nya. Maka aku menjumpaimu semata-mata demi menjalankan perintah
beliau. Kemudian, dengan nada lantang Ammar berkata:
"Tahukah
kamu orang yang membawa bendera hitam yang sedang menghadapku itu? Bendera itu
milik 'Amr bin Al-'Ash. Tiga kali aku memeranginya bersama Rasulullah. Ini kali
keempatnya. Kali ini bukan yang terbaik dan termulia dari yang sebelumnya. Ini
kali justru yang terburuk dan terkeji. Apakah engkau hadir di perang Badr, Uhud
dan Hunain? Atau setidaknya ayahmu pernah hadir kemudian mencerikan nya
kepadamu?"
"'Tidak
pernah," jawab lelaki itu.
Ammar melanjutkan: "Kami waktu itu
bersama Rasulu llah di perang Badr, Uhud dan Hunain. Sedangkan mereka (Amr bin
Al-Ash dan pasukannya) bersama orang-orang musyrik. Tahukah kamu pasukan itu
dan para prajuritnya? Demi Allah! Seandainya orang-orang yang bersama Mu'a-
wiyah itu berubah menjadi satu jasad, maka niscaya akan aku sembelih dan
cincang ia. Demi Allah, darah mereka lebih halal daripada darah seekor burung
pipit. Apakah ada darah burung pipit yang ha ram?
"Tentu
tidak ada!", jawab pemuda itu.
"Nah,
begitu pula darah mereka”.
Mengertikah kau
akan penjelasanku ini?" tegas Ammar.
"Mengerti,"
jawabnya.
"Sekarang,
pilihlah mana di antara dua kubu ini yang lebih kau senangi!", sergah
Ammar. Ketika orang itu hendak pergi, Ammar memanggilnya.
Dia berkata: "Ketahuilah! Mereka akan
penggal leher kita dengan pedang mereka. Kemudian orang-orang yang gemar keba tilan
di antara kalian mengatakan, sekiranya mereka tidak benar niscaya mereka tidak
akan memenangkan kita. Demi Allah! Mereka tidak mempunyai kebenaran, walau
hanya sebesar kotoran mata seekor lalat. Demi Allah! Apabila mereka memukul
kita dengan pe dang sampai terkapar di tanah, maka aku pastikan bahwa kita
tetap dalam kebenaran dan mereka tetap dalam kebatilan. Aku bersumpah demi
Allah! Selamanya tidak akan ada kedamaian sampai satu dari dua kelompok ini
mengakui kekafi ran, membenarkan kelompok lainnya, dan meyakini bahwa orang
yang terbunuh membela mereka masuk surga. Demi Allah! Hari-hari dunia tidak
akan berlalu kecuali mereka bersaksi bahwa korban yang terbunuh masuk surga.
Mereka juga harus bersaksi bahwa korban yang terbunuh dari pihak lawan akan mendapat
siksa di neraka dan yang masih hidup berada dalam kebatilan".
[5] Kepribadian yang Labil dan Disharmonis Pertama
konflik yang terjadi dalam pribadi yang labil dan disharmonis ini adalah antara
akal dan hawa nafsu. Hawa nafsu berupaya untuk mencampakkan jiwa dari pengaruh
akal dan memaksanya bertekuk lutut. Pada saat itu, jiwa manusia mem belah
menjadi dua kubu yang bertikai. Penderitaan manusia pada tahap ini besar
sekali. Dhamir, fitrah dan akal mempunyai kekuatan yang mengakar dalam pribadi
manusia. Mereka selalu melawan pengaruh hawa nafsu dan berupaya untuk
membangkitkan dan mengembalikan ke pribadian manusia pada keadaan semula yang
harmonis. Dalam tahap pergolakan internal ini, manusia mengemban penderi taan
dan nestapa yang luar biasa. Jika akal melemah dalam mengendalikan prilaku ma
nusia atau jiwa tidak mampu lagi mengemban tekanan pergo lakan ini, ia berusaha
lari dari kesadarannya. Ini adalah pe nyelesaian negatif bagi ketertekanan yang
dialaminya. Penyele saian positifhanya dapat dicapai melalui konsistensi jiwa
dalam memenuhi panggilan akal dan fitrah. Manusia yang lemah terhadap kekuasaan
hawa nafsu, akan terdisosiasi. Dia lari dari kesadarannya supaya selamat dari
siksaan pergolakan dan kepedihan yang dialaminya. Pela rian mereka ialah dengan
cara mabuk-mabukan, perjudian, tindak kriminal dan pelampiasan naluri seksual.
Mengherankan sekali bagaimana manusia dapat lari dari hawa nafsu menuju hawa
nafsu; dari kekejian menuju kekejian. Seandainya dia berbuat sebaliknya, lari
dari hawa nafsu menuju Allah, niscaya dia akan selamat dan bahagia. Allah SWT
berfirman: "Maka larilah ke Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi
peringatan yang nyata untukmu". Q.S. Adz-Dzâriyât:50. Selama manusia tidak
berlindung kepada Allah, dia akan selalu kalah melawan hegemoni hawa nafsu. Dia
lari ke mabuk- mabukan dan pelampiasan seksual demi melupakan diri, pen
deritaan, kepedihan dan siksa yang menimpanya dan demi menyelamatkan
"diri" dari dirinya. Alquran mengungkap ma salah ini dengan sangat
tepat. Allah berfirman: "Mereka melalaikan Allah, maka Dia melalaikan
rnereka dari diri mereka." Q.S. Al- Hasyr:19. Orang yang lari dari keadaan
sadar dan menuju minuman keras dan hiburan yang haram, sebenarnya sama dengan
orang yang ingin melalaikan dirinya sendiri. Mereka termasuk orang yang lari
dari keadaan ingat menuju kepada keadaan lupa. Pelarian dengan cara ini ialah
yang paling berbahaya. Dhamir ialah benteng pertahanan akhir jiwa dalam mela
wan serbuan hawa nafsu. Jika dhamir telah runtuh, maka tahap awal pertempuran
dan pertikaian internal dimulai; tahap pen deritaan dan ketersiksaan manusia.
Jika setelah itu hawa nafsu menang lagi, maka semua kekuatan manusia telah
terenggut. Dan manusia, secara total, berada dalam kendali hawa nafsu. Tidak
hanya sampai di sini penderitaan manusia. Dia akan mulai mengalami perpecahan
internal lain. Perpecahan yang terjadi akibat konflik antara berbagai kubu hawa
nafsu itu sendiri. Jiwa manusia akan menjadi ajang pertempuran yang tak
terbayangkan sengitnya antara berbagai kubu hawa nafsu. Dalam pada itu,
disintegrasi, kegelisahan, kegoncangan (psik ologis) manusia makin bertambah
clengan bertambahnya ur gensi hasrat masing-masing kubu untuk dipenuhi. Untuk
lebih jelasnya di bawah ini akan saya berikan beberapa contoh:
1.
Kadang manusia menjadi mangsa naluri
balas den dam/amarah dan naluri cinta kehidupan/ kekuasaan secara ber samaan.
Naluri cinta tahta menuntutnya agar berpura-pura lembut kepada para
penentangnya, sedangkan naluri balas dendam mendorongnya untuk menghabisi
mereka. Lemah-lem but yang ini bukan termasuk sopan-santun yang merupakan
bagian dari pasukan akal. Ini hanya sekadar sikap mengu tamakan hawa nafsu yang
satu atas yang lainnya.
2.
Seringkali naluri cinta tahta
berbenturan dengan na luri cinta status sosial yang menuntut suatu etiket
kemasya rakatan. Banyak sekali naluri yang menolak etiket semacam itu seperti
naluri seksual. Mengekang naluri seksual untuk mem peroleh kedudukan sosial
tidak bisa dikatagorikan 'iffah. Ia semata- mata adalah mengutamakan tuntutan
hawa nafsu ter tentu atas hawa nafsu yang lainnya. Lazimnya, naluri seksual
manusia mengalahkan naluri cinta kedudukannya. Maka dari itu, banyak skandal
seksual yang dari masa ke masa membuat para pemimpin berjumpalitan.
3.
Kadangkala manusia menjadi korban
konfrontasi an tara cinta tahta dan takut akan diri sendiri. Naluri yang
pertama menuntut manusia untuk menyerang dan bertindak se rampangan.
Sementara
naluri yang kedua lebih menuntut ke hati-hatian dan kewaspadaan. Inilah tiga
contoh adanya konflik intern berbagai hawa nafsu manusia. Konflik tersebut
bersifat free-for- all. Berbagai hawa nafsu dan naluri manusia itu sama-sama
menggeret jiwa menuju tujuan-tujuan yang berlawanan secara diametral. Takut,
rakus, cinta tahta, kikir, dengki, libido, amarah, dendam, cinta harta dan lain
sebagainya akan mengacau-balaukan kehidupan psikologis manusia. Mereka
mengeroyok jiwa manusia demi kepuasan masing-masing. Pada saat itu, derita,
nestapa, keguncangan, keraguan dan disintegritas psikologis makin menjadi-jadi.
Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya, dengan (memberi) harta benda dan
anak-anak itu, Allah menghendaki siksa bagi rnereka dalam kehidupan dunia dan
akan rnelayang nyawa mereka, sedang mereka dalarn keadaan kafir." Q.S.
At-Tauhah: 55. Inilah keadaan disharmonis dan disintegral yang menim pa jiwa
manusia, sebagaimana yang diisyaratkan hadis qudsi di atas. Nestapa Manusia
Terjadi Dalam Wilayah Hawa Nafsu Terpecahnya kepribadian adalah salah satu
derita yang dialami jiwa akibat hawa nafsu. Derita lain yang dialaminya, bersifat
intrinsik pada nafsu itu sendiri. Setiap nafsu, menyiksa jiwa dengan caranya
sendiri. Karenanya, jika manusia berserah diri pada salah-satu dari pelbagai
hawa nafsu ini; seperti tamak, rakus, hasut dan lain sebagainya, tentu dia akan
tersiksa tidak keruan. Dalam kaitan ini, Al-Mufid dalam kitab Al-Irsyâd
[6]
meriwayatkan ujaran Imam Ali sebagai berikut: "Sungguh mengherankan ihwal
manusia ini! Bila karunia harapan mendatanginya, kerakusan menghinakannya. Bila
kerakusan sudah meraja lela, obsesi membinasakannya. Bila keputusasaan
menguasainya, penyesalan akan mengganyangnya. Bila kebahagiaan meliputinya,
kelupaan akan mawasdiri mengancamnya. Bila ketakutan mencekamnya, ketegangan
membingungkannya. Bila ketenteraman menyelimutinya, kelunglaian menjeratnya.
Bila musibah menimpanya, kegelisahan menghantuinya. Bila rezeki mencucurinya,
kekayaan merusaknya. Bila kesulitan menyatroninya, bencana mencekiknya. Bila
kelaparan meimpanya, kepapaan merenggutnya. Bila dia sudah terlalu kenyang,
kelobaan akan menyusahkannya. Maka, setiap kekurangan baginya membahayakan.
Kelebihan
yang diperolehnya membinaskan. Kebaikan yang bersamanya membawa kejahatan. Dan
kejahatan yang ada padanya membawa penderitaan . Demikianlah, setiap nafsu
menggeret manusia kepada nafsu yang lain dan akhirnya kepada kebinasaan yang
menyelu ruh. Dunia Bakal Menyiksa Orang yang Mencarinya Hawa nafsu adalah satu
sisi dari ketersiksaan manusia. Sisi lainnya ialah dunia. Dunia adalah
terminal, tujuan, objek perintah dan gerak hawa nafsu. Jika Allah telah
menjadikan ketersiksaan manusia dalam mengikuti hawa nafsunya, maka
ketersiksaan itu terletak pada mencari dunia. Ihwal mengikuti hawa nafsu tidak
dapat dipisah kan dari ihwal memburu dunia. Hakikat ini, perlu lebih
dijelaskan, sebab ia merupakan salah satu saripati pemikiran keislaman.
Sebenarnya, di dunia tidak ada kejelekan dan siksa. Be gitu pula perkara
mencari dunia. Tetapi, semua itu selama ia hanya dipakai memenuhi tuntutan
gerak, pertumbuhan dan perkembangan manusia. Islam raengajarkan bahwa dunia
adalah kebaikan dan bukan kejelekan. Islam jugamelegalisasikan manusia berusaha
mencari rizki di dunia. Menurut pandangan Islam, "dunia adalah ternpat
usaha para wali Allah dan tempat sujud para kekasih Alloh."
[7]
Karena itu, dunia bukanlah kejahatan dan siksaan bagi manusia. Berusaha dan
mencari dunia adalah suatu hal yang di syariatkan Allah SWT. Allah berfirman:
"Apabila kalian telah menunaikan salat, rnaka bertebaranlah di muka bumi;
dan curilah karunia Allah ..." Q.S. Al- Jumu’ah:10. Kalau demikian, di
mana letak kejelekan dan siksa ma nusia dalam dunia? Dunia itu baik, begitu
pula mencari dunia, kalau kita menjadikannya sebagai jalan menuju keridhaan
Allah dan me mandang Allah melaluinya. Akan tetapi, jika arah dan tujuan
manusia berubah dari mencari Ridha Allah SWT kepada dunia itu sendiri, maka
dunia dibenci oleh Islam dan dianggap sebagai kejelekan dan Allah akan
menjadikannya sebagai siksa bagi manusia. Dunia menjadi tercelajika berubah
fungsi dalam jiwa seorang dari jembatan menuju Allah menjadi tujuan yang di
cari. Jika manusia telah berbalik dari Allah SWT ke dunia, maka segala jerih
payah baik yang berupa upaya dan usahanya akan menjudi sia-sia belaka.
Pertumbuhan dan kesempurnaannya juga ikut berhenti. Setelah itu semua,
gerak-gerik manusia di dalamnya menuju kekacauan dan kerugian. Inilab akibat
bagi manusia yang berpaling dari Allah.
Tingkat
kehancuran manusia bergantung pada seberapa dera jat penyimpangannya.
Penyimpangan manusia bisa mencapai titik di mana ia bergerak ke arah yang berlawanan.
Pada saat itu, dia akan mengumumkan perang kepada Allah dan Rasul-Nya. Apapun
pasalnya, jika dunia berbalik dari jalan menuju Allah kepada tujuan yang dicari
dan dikejar, maka dunia pasti akan berubah menjadi siksa dan azab bagi hidup
manusia.
Demikianlah
perbedaan antara dunia yang mencari ma nusia dan dunia yang dicari manusia.
"Dunia yang mencari manusia" bakal membantu melapangkan jalan manusia
menuju Allah, tapi "dunia yang dicari manusia”, akan menghalangi jalannya
menuju Allah. Saat itu, dunia pennh dengan kepedihan dan siksaan bagi manusia.
Rasulullah SAWW bersabda: "Ketika Allah menciptakan dunia, la
mernerintahnya agar taat pada Tuhannya. Allah berfirman pada dunia:
berpalinglah dari orang yang membu rumu dan burulah orang yang berpaling darimu!"
Dunia selalu menepati janjinya kepada Allah dan kodrat vang ditetaphan-
Nya."
[8]
Riwayat ini mengisyaratkan bahwa Allah SWT telah men jadikan dunia ini sebagai
siksa bagi orang yang mengikutinya dan orang yang menjadikannya sebagai tujuan.
Sebaliknya, Allah menjadikannyasebagai kesenangan bagi orang yang mencari Allah
SWT dan tidak menjadikan dunia sebagai tujuannya. Rasulullah SAWW bersabda:
"Allah telah mewahyukan de mikian kepada dunia: "Waliai dunia, layani
orang yang mela yani-Ku dan ganyang orang yang menghambakan diri kepa
damu."
[9]
Riwayat ini, seperti riwayat sebelumnya, menggunakan simbolisme. Kedua riwayat
ini sebenarnya ingin menegaskan bahwa dunia diciptakan untuk berkhidmat kepada
manusia yang semata-mata bertujuan kepada Allah SWT. Namun, jika manusia
menyeleweng dari tujuan Ilahi ini kepada dunia itu sendiri, maka wajib bagi
dunia untuk memperbudak dan mem perhambanya. Dan, sungguh menghamba kepada
dunia adalah suatu perkerjaan yang melelahkan dan menyiksa. Rasulullah SAWW
bersabda bahwa Allah SWT telah mewa hyukan kepada dunia: "Ganyanglah orang
yang berkhidmat kepadamu, dan berkhidmatlah kepada orang yang menolak mu”.
[10]
Imam Ali as berkata: "Barangsiapa yang berkhidmat pada dunia, maka dunia
akan memperbudaknya dan barangsiapa berkhidmat pada Allah, maka Allah akan
membantu nya."
[11]
Kepada Musa as Allah berfirman: "Tiada seorang pun dari makhluk-Ku yang
mengagungkan dunia, kemudian me rasa bahagia karenanya. Dan tiada seorangpun
yang menghi nakannya kecuali dia akan memanfaatkannya."
[12]
Banyak lagi riwayat yang mengandung pengertian yang sama atau serupa. Orang
yang tidak mengerti bahasa agama Islam dalam menjelaskan sunnatullah di alam
raya ini, tidak akan bisa mengerti kandungan nash-nash keislaman tersebut
kapanpun juga. Bentuk lain Ketersiksaan Manusia yang Mengikuti Hawa Nafsu Pada
kajian sebelumnya, saya telah jelaskan bahwa mak na "Aku porak-porandakan
urusannya" adalah disosiasi, disin tegrasi dan konflik antar berbagai kubu
hawa nafsu akibat mengikuti hawa nafsu dan memburu dunia. Di sini ada bentuk
ketersiksaan lain yang diperoleh ma nusia ketika menyimpang dari Allah SWT ke
dunia dan hawa nafsunya. Ketersiksaan
itu berupa kerakusan dan keserakahan. Manusia yang kemauan dan orientasinya
bergeser dari Allah menuju dunia, tidak akan pernah terpuaskan oleh dunia.
Kerakusannya terhadap dunia tidak akan berakhir. Baik dunia meladeninya maupun
membelakanginya. Dunia Seperti Bayangan Manusia Barangkali perumpamaan yang
paling indah tentang dunia dan pada pendambanya ialah yang terdapat pada ujaran
Imam Ali as: "Dunia seumparna bayanganmu. Jika kamu berhenti, ba yanganmu
pun ikut berhenti. Jika kamu mencarinya, ia akan menjauh."
[13]
Ungkapan ini benar-benar menukik dalam memberikan gambaran tentang hubungan
manusia dengan dunia dan se baliknya. Semakin ngotot dan ngoyo manusia dalam
mengejar du nia, tidak semakin banyak perolehannya. Karena, dunia bak bayangan
seorang. Di saat orangitu mengejarnya dari belakang, bayangannya muncul di
depan. Seolah-olah bayangan itu meno lak untuk dikejar. Maka, mengejar
bayang-bayang hanya akan menimbulkan kelelahan dan kepenatan. Begitu pula
dengan dunia. Oleh karena itu, sebaik-baik kiat mencari dunia ialah dengan
bersahaja kepadanya. Karena ngotot dalam mencari dunia tidak akan menambah
perolehan seorang darinya, tapi akan menambah kepenatan dan penderitaannya
belaka. Beberapa Nash tentang Ketersiksaan Manusia Berikut ini beberapa nash
keislaman tentang ketersik saan orang yang mengikuti hawa nafsu dan menjadikan
dunia sebagai tujuan hidupnya. Rasulullah SAWW bersabda: "Cinta dunia akan membawa tiga dampak:
1.
Kesibukan yang tidak akan pernah
berakhir.
2.
Kefakiran yang tidak akan pernah tercukupi.
3.
Angan-angan yang tidak akan pernah
tercapai."
[14]
Kefakiran di sini bukan bersifat kuantitatif. Sebab, ka dang seorang disebut
fakir padahal dia memiliki harta yang banyak. Kefakiran di sini bermakna
kerakusan terhadap harta benda. Di lain pihak, ada seorang yang kaya, padahal
dia tidak memiliki dunia kecuali sedikit saja. Rasulullah SAWW bersabda:
"Barangsiapa yang di pagi hari pikirannya sudah disibukkan oleh dunia,
maka dia tidak akan mendapatkan apa-apa dari Allah dan hatinya akan tertimpa
empat perkara: Pertama, kesumpekan yang terus-me nerus; kedua, kesibukan yang
tidak beres-beres; ketiga, kefa kiran yang tidak pernah tercukupi; keempat,
angan-angan yang tidak akan kesampaian selamanya."
[15]
Imam Ali as menegaskan: "Barangsiapa yang hatinya dipenuhi cinta dunia,
maka dia akan selalu terliputi oleh tiga perkara:
1.
Kesumpekan
yang tidak berarti.
2.
Sakit yang tidak pernah sembuh.
3.
Harapan yang tidak akan tercapai."
[16]
Imam Ali as berkata: "Siapa yang menjadikan dunia sebagai puncak
harapannya, maka dia akan menelan keseng saraan dan kegelisahan yang
berkepanjangan."
[17]
Imam Ali as bertutur: "Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai
tujuannya, rnaka dia akan mengalami penang gungan yang luar biasa saat berpisah
dengannya."
[18]
Imam Ali as berucap: "Menangis hati mereka yang ber senang-senang dengan
dunia, meskipun (di saat) gembira. Dan bertambah kebencian rnereka atas diri
mereka, meski orang lain ingin seperti mereka karena sekelumit rizki yang
mereka pe roleh."
[19]
Imam Ash-Shadiq as berkata: "Hati seorang yang tergant ung pada dunia,
akan digantungi tiga hal:
1.
Kesumpekan yang tidak mempunyai arti.
2.
Angan-angan yang tidak akan tercapai.
3.
Harapan yang tidak akan bisa
didapat."
[20] Inilah sebagian siksa bagi mereka yang
mengikuti hawa nafsu di dunia sebelum di akhirat nanti. Sebagian yang lain,
seperti ketakutan dan kegelisahan yang dialami orang-orang berharta dan
bertahta di lingkarannya sendiri atau di luarnya. Keterceraiberaian Urusannya
di Akhirat Kita kembali pada kajian "keterceraiberaian manusia".
Namun, kali ini terjadi di akhirat. Mula-mula keterceraiberaian manusia yang
mengikuti hawa nafsunya terjadi di antara mereka sendiri. Waktu di dunia
jasad-jasad mereka tampak berkumpul, tapi jiwa dan nafsu mereka selalu
bertikai. Nah, di akhirat nanti Allah akan me nampakkan pertikaian yang mereka
sembunyikan sekarang ini. Allah SWT berfirman: "Setiap suatu umat yang
masuk (ke neraka), akan mengutuk kawannya." Q.S. Al- A'râf:38. Gambaran
lain pertikaian yang nanti akan terjadi ialah marahnya manusia atas kulit,
tangan dan kakinya sendiri ke tika semuanya itu memberi kesaksian atas pelbagai
perbuatan keji yang dilakukannya di dunia.
Pada
hakikatnya, dia ingin menyembunyikan semua itu dari Allah. Namun, kaki, tangan
dan kulitnya sendirilah yang membeberkan. Allah berfirman: "Dan mereka
berkata pada kullt mereka mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami? Kulit
mereka menjawab: "Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai ber kata
telah menjadikan kami pandai (pula) berkata. Q.S. Al- Fushshilat:21.
Dalam banyak
riwayat disebutkan bahwa orang yang bermaksiat dan mengikuti keinginannya di
dunia, akan saling berlepas diri dan saling mengutuk di akhirat. Inilah
gambaran yang selaras dengan apa yang telah dialami seorang yang me ngikuti
hawa nafsunya di dunia. Rasulullah SAWW bersabda: "Hentikan gangguanmu
pada dirimu sendiri dan jangan mengikuti hawa nafsumu untuk bermaksiat kepada
Allah. Karena, ia akan rnenghujatrnu di kemudian hari nanti. Sampai- sampai
yang satu mempersalahkan yang lain dan mgin berlepas tangan, kecuali jika Allah
berkehendak mengampuni dan menutupi dengan rahmat-Nya."
[21] II. Aku Kaburkan Dunianya Bentuk Dhahir dan
Batin Dunia Siksa kedua yang bakal dialami orang yang mengikuti hawa nafsu
ialah pengaburan dunia. Artinya, menampilkan dunia dalam fenomena yang
menggiurkan. Bentuk lahir atau fenomena dunia inilah yang merupakan sumber
tipuan dunia dan keterperdayaan manusia. Dengan kata lain, yang menggi urkan
adalah permukaan dunia. Dan permukaannya itu mudah lenyap dan hilang. Adapun
inti dan batin dunia ialah sumber pelajaran ('ibrah), kejagaan (yaqzhah) dan
kezuhudan. Para ahli bashîrah yang terik, akan bisa "membakar" kulit
luar dunia yang mudah lenyap itu. Mereka bisa menembus batin dan inti dunia
yang membuat mereka zuhud, jaga-siaga dan mengambil pelajaran darinya.
Sedangkan mereka yang menyia-nyiakan anugrah bashî rah dari Allah ini, hanya
akan bisa melihat dunia secara lahir dan superfisial. Sebagai konsekuensinya,
hati mereka akan tertambat, tersungkur dan terperdaya olehnya. Singkat kata,
dunia memiliki bentuk lahir dan batin. Sedangkan pandangan manusia terhadapnya
terbagi menjadi dua kategori:
1.
Orang yang bashîrahnya tidak bisa
menembus lebih dari apa yang tampak dari kehidupan duniawi. Tentang mereka,
Allah herfirman: "Mereka hunya mengetahul yang lahir (saja) dari kehulupan
dunia; sedangkan rnereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai". Q.S. Ar-Rûm ayat 7.
2.
Orang yang bashîrahnya bisa menerawang
dunia sam pai ke yang batinnya. Jika Allah murka pada seseorang, maka Dia akan
men cabut bashîrahnya, dan kaburlah baginya yang lahir dan yang batin; kulit
dan inti. Pada saat itu, fenomena dunia akan me nipu dan memperdayainya dan
tampak padanya hanya sebagai hiasan yang menggiurkan. Alquran menjelaskan:
"Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir....
Q.S. Al-Baqarah:212 Pada pembahasan selanjutnya, saya akan mengurai dua sisi
kehidupan dunia: yaitu sisi batin dan sisi lahir.
Sisi Batin
Dunia Seperti yang telah saya sebutkan bahwa sisi ini tidak akan terlihat
kecuali oleh orang-orang yang memiliki bashîrah. Sisi batin ini merupakan
sumber kesadaran dan ‘ibrah, bukan sum ber penipuan. Alquran menyifati sisi ini
dari dunia dengan cermat sekali. Berikut ini saya sehutkan sebagian sifat batin
dunia me nurut Alquran:
1.
Dunia merupakan matâ’ (kesenangan
sementara) Allah berfirman: "Padahal kehidupan dunia itu (diban ding
dengan) kehidupan akhirat hanya kesenangan (yang sedikit)". Q.S. Ar-Ra'd
26. Matâ' yang digunakan ayat tersebut herarti kelezatan sementara yang
dibandingkan dengan kelezatan dan keindahan akhirat yang abadi. Allah SWT
berfirman: "Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan
kehidupan) di akhirat hanya lah sedikit". Q.S. At-Taubah:38.
2.
Dunia
adalah 'Aradh (harta benda) Allah SWT berfirman: "Kamu menghendaki harta
benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu)” Q.S.
Al-Anfâl:67. Dan firman Allah SWT :"... (lalu kamu membunuhnya)
dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada
harta yang banyak". Q.S. An-Nisâ':94. Dan firman Allah SWT : "...
yang niengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata Kami akan beri
ampun... " Q.S. Al-A'râf:169. ‘Aradh (harta benda) adalah hal-ihwal yang
cepat sirna. Kelezatan duniawi pun demikian. la tidak akan bersifat ahadi bagi
siapapun juga.
Meski
hegitu, ia sangat menipu dan me ngelabui manusia. Dunia mempunyai dua kondisi.
Kondisi yang bisa men jadikan manusia zuhud kepadanya. Kondisi yang mengelabui
manusia kepadanya. Adapun kondisi yang bisa membuat manusia zuhud pada nya
ialah sifatnya yang seperti 'aradli (harta benda); mudah sirna dan hilang.
Sedang kondisi yang menipu dan menjadikan nuinusia .sangat mencintainya, ialah
sifatnya yang gampang diperoleh dan cepat didapat ('ajilah).
Manusia
sangat suka pada segala yang cepat didapat. Manusia lebih mendahulukan
kesenangan yang cepat dirasa daripada yang abadi tapi masih mesti menunggu.
Allah SWT berfirman:" Kalau yang kamu serukan kepada mcreka itu keuntungan
yang mudah diperoleh dan perjalanan tidak berapa jauh pasti mereka
mengikutinya" Q.S. At-Taubah: 42. Watak dasar manusia itu tergesa-gesa
('ajul). Ketergesa- gesaan mereka dalam memetik buah yang dekat dan harta benda
yang gampang menjadikan mereka gagal menggapai ke lezatan abadi di surga.
3.
Dunia adalah Tempat Penipuan Allah SWT
berfirman: "Maka janganlah sekali-kali ke hidupan dunia memperdayakan kamu
dan jangan (pula) pe nipu (setan) memperdayakan karnu dalam (mentaati)
Allah". Q.S. Luqman:33. Al-Gharûr ialah semua yang menipu manusia, dari
harta, status, kekuasaan dan hasrat. Begitulah dengan dunia. Dunia menipu,
melalaikan dan menyibukkan manusia. Namun, ia sendiri akan meninggalkan manusia
secara tiba-tiba. 4. Dunia adalah Kesenangan yang Memperdayakan Dunia mempunyai
dua arti, al-matâ' dan al-gharûr yang kadang digunakan secara terpisah dan
kadang secara bersa maan. Allah SWT berfirman: "Kehidupan dunia itu tidak
lebih hanyalah kesenangan yang memperdayakan". Q.S. Âlu ‘Imrân: 185 dan
Al-Hadîd:20. Sumber tipu-daya itu ialah kesenangan temporal yang segera lenyap
ini; dunia.
[1] Dikeluarkan
oleh Ibnu Fahd Al-Hilly dalam kitah 'Uddatud Dâ'î:79; Al-Kulayni dalam kitah
Ushûlul Kâfî, 2:235; Al-Majlisi dalam kitah Al-Bihâr, 70:78 dan 70:85-86.
[2]
Diriwavatkan dari Thabari dalam Kitab Al-Jâmi' Al-Kahîr.
[3] Nahjul
Balâghah :36.
[4] Shiffin ,
karya Nash bin Muzhâhir, 319-320.
[5] Shiffîn ,
karya Nash bin Muzhâhir, 319-320.
[6] Irsyâdul
Mufid :159.
[7] Nahjul
Balâghah, hikmah 131.
[8] Bihârul Anwâr, 70:315.
[9] Bihârul
Anwâr, 78:203.
[10] Bihârul
Anwâr, 73:121.
[11] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmudî, 2:237.
[12] Bihârul
Anwâr, 73:121.
[13] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmudî, 2:284.
[14] Bihârul
Anwâr, 77:188.
[15] Mîzânul
Hikmah, 3:319.
[16] Syarh
Nahjul Balâghah, karya Ibnu Abil Hadid, 19:52; Bihârul Anwâr, 73:130.
[17] Bihârul
Anwâr, 73:81.
[18] Bihârul
Anwâr, 73:181.
[19] Bihârul
Anwâr, 78:21.
[20] Bihârul
Anwâr, 73:24.
[21]
Al-Mahajjah Al-Baidhâ`, karya Al-Faidh Al-Kâsyânî, 5:111.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar