Fikih Ahmad bin Hanbal
Sudah dikenal bahwa Ahmad bin Hanbal adalah seorang ahli hadis dan
bukan seorang fakih. Para pengikutnya telah
mengumpulkan sebagian pendapatnya yang beraneka ragam, yang dinisbahkan
kepadanya, dan kemudian menjadikannya sebagai sebuah mazhab fikih. Oleh karena
itu, kita mendapati kumpulan hukum fikih yang dinisbahkan kepada Ahmad bin
Hanbal bermacam-macam dan saling bertentangan. Di samping perbedaan mereka di
dalam menafsirkan maksud dari beberapa ungkapan, yang darinya tidak dapat
dipahami hukum agama dalam suatu masalah. Seperti ungkapan "la
yanbaghi" (tidak selayaknya), apakah ungkapan ini dimaksudkan untuk
menunjukkan hukum haram atau hukum makruh. Demikian juga ungkapan
"yu'jibuni" (membuat saya kagum) dan ungkapan "la yu
'jibuni" (tidak membuat saya kagum), serta ungkapan "akrohuhu"
(saya membencinya) dan ungkapan "uhibbuhu" (saya menyukainya).
Di samping itu, Ahmad juga tidak mengaku dirinya termasuk ahli
fikih. Bahkan, dia menghindarkan diri dari mengeluarkan fatwa. Khatib berkata
dengan disertai sanadnya, "Saya pernah berada di samping Ahmad. Lalu
seorang laki-laki bertanya kepadanya tentang halal dan haram. Ahmad berkata
kepadanya, 'Tanyalah kepada orang lain selain kami.' Orang itu berkata, 'Kami
hanya menginginkan jawaban darimu, wahai Aba Abdillah.' Ahmad tetap berkata,
'Tanyalah kepada selain kami. Tanyalah para fukaha, dan tanyalah Abu
Tsaur.'"[215]
Dia tidak menganggap dirinya termasuk ke dalam kelompok para fukaha.
Al-Marwazi berkata, "Saya mendengar Ahmad berkata, 'Adapun
tentang hadis, kami telah beristirahat darinya; sedangkan mengenai
masalah-masalah fikih, saya telah bertekad, jika saya ditanya tentang sesuatu
maka saya tidak akan menjawab.'"[216]
Khatib menyebutkan sekaligus dengan sanadnya, bahwa dia mendatangi
Ahmad bin Harb (seorang zuhud dari Naisabur) yang datang dari Mekkah. Lalu
Ahmad bin Hanbal berkata kepada saya, "Siapa orang Khurasan yang datang
ini?"
Saya jawab, "Dia adalah orang zuhud yang begini begini."
Ahmad bin Hanbal berkata, "Tidak layak bagi seseorang yang
mengklaim sifat zuhud memasukkan dirinya ke dalam urusan pemberian
fatwa.'"[217]
Inilah kebiasaannya. Dia tidak masuk ke dalam urusan pemberian
fatwa. Bahkan dia memandang urusan pemberian fatwa tidak sejalan dengan sifat
zuhud. Bagaimana mungkin dari orang yang seperti ini memiliki fikih atau mazhab
yang diikuti di dalam urusan-urusan ibadah?!
Abu Bakar al-Asyram —murid Ahmad bin Hanbal— berkata, "Dahulu
saya hafal fikih dan perbedaan-perbedaannya, namun sejak saya menyertai Ahmad
saya meninggalkan semuanya itu."
Ahmad bin Hanbal berkata, "Janganlah kamu berkata tentang suatu
masalah yang kamu tidak mempunyai imam di dalamnya."[218]
Atau dengan ungkapan yang lebih jelas, "Janganlah kamu
memberikan fatwa meski pun di tanganmu ada hadis, kecuali jika kamu mempunyai
imam tempat kamu bersandar di dalam fatwa ini."
Ahmad bin Hanbal juga tidak melihat perlunya dilakukan tarjih
(menguatkan yang satu atas yang lain) di antara perkataan-perkataan para
sahabat, jika mereka berselisih di dalam suatu masalah. Dia malah berpendapat
silahkan Anda mengikuti mana yang Anda suka. Inilah jawaban yang diberikannya
kepada Abdurrahman ash-Shair tatkala Abdurrahman ash-Shair bertanya kepadanya,
"Apakah mungkin dilakukan tarjih di antara perkataan-perkataan para
sahabat?"
Orang yang melarang dilakukannya tarjih dan mengambil perkataan yang
paling maslahat adalah orang yang paling jauh dari ijtihad. Salah satu bukti
yang menunjukkan akan tidak adanya mazhab fikih Ahmad bin Hanbal ialah, banyak
dari kalangan para sahabatnya yang fanatik kepadanya berselisih berkenaan
dengan mazhab fikih mereka.
Apakah mereka itu orang-orang Hanafi atau orang-orang Syafi’i?
Seperti Abul Hasan al-Asy'ari, manakala dia meninggalkan paham Mu'tazilah dan
menjadi seorang Hanbali, dia tidak dikenal sebagai orang yang memeluk agama
Allah dengan fikih Hanbali. Demikian juga halnya dengan Qadhi al-Baqalani, yang
tadinya seorang Maliki. Begitu juga dengan Abdullah al-Anshari al-Harawi, yang
wafat pada tahun 481 Hijrah, yang mengatakan,
"Aku adalah Hanbali
selama aku hidup dan sesudah aku mati
Pesanku kepada manusia,
hendaknya mereka menjadi orang-orang Hanbali."
Meski pun dia begitu fanatik kepada Ahmad bin Hanbal, namun di dalam
fikih dia mengikuti jalan Ibnu Mubarak. Inilah yang banyak dikenal dari
orang-orang sezaman dengannya dan dari orang-orang yang dekat dengan masanya. Orang-orang
yang menisbahkan dirinya kepadanya adalah orang-orang yang menisbahkan dirinya
dalam bidang keyakinan, bukan dalam bidang fikih.
Di samping itu, di dalam risalahnya Ahmad bin Hanbal melarang
penggunaan ra'yu, qiyas dan istihsan, dan meletakkan orang-orang yang meyakini
qiyas ke dalam deretan orang-orang Jahmiyyah, Qadhariyyah dan rafidhah
(Syi'ah). Dia juga menyerang pribadi Abu Hanifah. Meski pun demikian,
penggunaan qiyas telah dimasukkan ke dalam fikih Hanbali. Inilah yang
menjadikan kita curiga bahwa Ahmad bin Muhammad bin Harun (Abu Bakar
al-Khalal), yang wafat pada tahun 311 Hijrah, yang merupakan perawi dan penukil
fikih Hanbali, tidak amanah di dalam melakukan penukilan. Dia melakukan
pencampuran di dalam penukilannya. Terlebih lagi bahwa Ahmad bin Muhammad bin
Harun tidak hidup sezaman dengan Ahmad bin Hanbal. Ahmad bin Muhammad bin Harun
telah mengumpulkan berbagai macam masalah fikih yang dinisbahkan kepada Ahmad
bin Hanbal. Kecurigaan ini pun dikuatkan oleh adanya perselisihan riwayat yang
hebat di dalam perkataan-perkataan Ahmad, sehingga sulit bagi akal untuk
menisbahkan seluruhnya kepada Ahmad bin Hanbal.
Abu Zuhrah berkata, "Sesungguhnya fikih yang ternukil dari
Ahmad bin Hanbal, saling berlawanan sedemikian rupa perkataan-perkataannya
sehingga sulit bagi akal untuk menisbahkan seluruhnya kepadanya. Bukalah kitab
mana saja dari kitab-kitab Hanbali, dan bab mana saja dari bab-babnya, niscaya
Anda akan mendapati dia tidak terbebas dari beberapa masalah yang
riwayat-riwayatnya saling berlawanan, antara 'tidak' dan 'ya'."[219]
Mazhab fikih Hanbali tidaklah jelas bagi bagi orang-orang yang hidup
sezaman dengannya, dan memang tidak ada; dia tidak lebih hanya semata-mata
mazhab buatan yang disebarkan dengan kekerasan dan pemaksaan oleh para pengikut
Hanbali. Seperti yang terjadi di kota Baghdad, yang sebelumnya dikuasai oleh
mazhab Syi'ah. Sedangkan di luar kota Baghdad mazhab ini tidak dikenal. Pada
abad ketujuh, hanya beberapa orang saja yang memeluk mazhab ini di Mesir.
Namun, tatkala Muwaffaquddin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Malik al-Hijazi
menduduki posisi jabatan kehakiman, yang wafat pada tahun 769 Hijrah, maka
mazhab Hanbali pun tersebar dengan perantaraannya. Dia mendekati para fukaha
mazhab Hanbali dan meninggikan kedudukan mereka. Sedangkan di daerah-daerah
lain nama mazhab Hanbali tidak banyak disebut. Ibnu Khaldun memberikan analisa
tentang hal itu, "Adapun Ahmad, jumlah mukallidnya sedikit, dikarenakan
mazhabnya jauh dari ijtihad." Sebagaimana yang dia sebutkan di dalam
kitabnya al-Muqaddimah. Orang-orang Hanbali tidak menemukan jalan untuk
menyebarluaskan mazhab mereka kecuali dengan kekacauan dan melakukan pemukulan
terhadap orang di jalan-jalan, sehingga menggoyahkan stabilitas yang ada di
kota Baghdad. Maka keluarlah maklumat dari Khalifah ar-Radhi yang menyalahkan
tindakan mereka dan mengecam mereka karena keyakinan mereka tentang tasybih
(penyerupaan Allah dengan makhluk). Beberapa peng-galan dari maklumatnya
berbunyi sebagai berikut, "Kalian mengira wajah kalian yang buruk serupa
dengan Tuhan semesta alam, dan bentuk kalian yang jelek serupa dengan
bentuk-Nya. Kalian juga menyebutkan telapak tangan, jari jemari, dua kaki naik
ke langit dan turun ke dunia. Mahatinggi Allah dari segala sesuatu yang
dikatakan oleh orang-orang yang zalim dan kufur."[220]
Maka demikianlah keadaan mazhab Hanbali. Mereka tidak mempunyai
banyak pengikut. Orang-orang lari dari mereka disebabkan keyakinan-keyakinan
yang mereka miliki tentang Allah dan penyerupaan yang mereka lakukan terhadap
Allah dengan makhluk-Nya. Mereka mensifati Allah dengan sifat-sifat yang tidak
layak bagi-Nya. Mazhab ini tidak menemukan kesempatan yang cukup untuk
menyebarkan ajarannya, hingga datanglah mazhab Wahabi di bawah pimpinan
Muhammad bin Abdul Wahab, yang dibangun di atas garis mazhab Hanbali. Penguasa
Keluarga Su'ud membantu Muhammmad bin Abdul Wahab menyebarkan mazhabnya dengan
ketazaman pedang, pada awalnya, dan melalui aliran uang rial, pada akhirnya.
Sungguh sangat disayangkan, banyak sekali manusia yang berpegang kepada fikih
Hanbali dengan tanpa mempunyai alasan kecuali hanya bersandar kepada kata-kata
"Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu agama dan
sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka."
Jika tidak demikian, maka mau tidak mau mereka harus membuktikan
argumentasi-argumentasi mereka di dalam tiga hal: Pertama, tentang kedudukan
Ahmad bin Hanbal sebagai fakih. Kedua, bahwa fikih yang dinisbahkan kepada
Ahmad bin Hanbal tidak dipalsukan. Dan yang ketiga, mereka harus membuktikan
dalil yang kuat yang menunjukkan wajibnya mengikuti Ahmad bin Hanbal. Karena
jika tidak, maka itu tidak lain hanya mengikuti sesuatu berdasarkan sangkaan.
Padahal sesungguhnya sangkaan itu tiada memberikan faidah sedikit pun terhadap
kebenaran. Di samping itu, orang-orang yang fanatik kepada Ahmad bin Hanbal
pun, seperti Ibnu Qutaibah, tidak menyebut Ahmad ke dalam kelompok para fukaha.
Jika memang dia seorang fakih dan mujtahid maka tentu Ibnu Qutaibah tidak akan
mengurangi haknya. Demikian juga Ibnu Abdul Barr tidak menyebut namanya
manakala dia menyebut nama-nama para fukaha di dalam kitabnya al-Intiqa. Begitu
juga Ibnu Jarir ath-Thabari, penulis kitab tafsir dan tarikh, dia tidak
menyebut nama Ahmad bin Hanbal di dalam kitabnya Ikhtilaf al-Fuqaha. Ibnu Jarir
ath-Thabari ditanya tentang hal itu. Dia menjawab, "Ahmad bukan seorang
fakih melainkan seorang muhaddis, dan saya tidak melihat dia mempunyai para
sahabat tempat dia bergantung." Para pengikut Hanbali merasa tersinggung
dengan ucapan Ibnu Jarir ath-Thabari lalu mengatakan, "Dia itu (Ibnu
Jarir) seorang rafidhi. Tanyalah kepadanya tentang hadis 'duduk di atas
'arasy', niscaya dia akan mengatakan, 'Sesungguhnya itu mustahil.'"
Kemudian ath-Thabari membacakan syair,
"Mahasuci Zat yang tidak mempunyai teman
dan tidak duduk di atas 'arasy."
Maka mereka pun melarang orang-orang untuk duduk dan datang menemui
ath-Thabari. Mereka melontarkan tuduhan terhadapnya di mihrab-mihrab mereka.
Ketika ath-Thabari sedang berada di rumahnya, mereka melemparinya dengan batu
sehingga batu itu bertumpuk.[221]
Ini menunjukkan kefanatikan dan penyimpangan para pengikut Hanbali
di dalam menyebarkan mazhab mereka, yang tidak diakui oleh para ulama. Syeikh
Abu Zharah berkata, "Banyak dari kalangan orang-orang terkemuka tidak
menghitung Ahmad termasuk ke dalam kelompok fukaha, seperti Ibnu Qutaibah, yang
sangat dekat sekali dengan masa Ahmad, Ibnu Jarir ath-Thabari dan yang lainnya.
▪▪▪▪
PENUTUP
Setelah kita menjelaskan madrasah-madrasah fikih di kalangan Ahlus
Sunnah, tampak jelas bagi kita bahwa tidak ada kelebihan yang dimiliki
mazhab-mazhab ini atas mazhab-mazhab yang lainnya, sehingga bisa tersebar ke
seluruh dunia Islam, sekiranya para penguasa tidak menetapkan para Imam mazhab
yang empat sebagai satu-satunya sumber rujukkan fikih. Karena penguasa yang
sedang berkuasa tidak mungkin memerangi agama, bahkan sebaliknya mereka
menolong dan mendekati para ulama, namun dengan syarat bahwa ajaran-ajaran
mereka tidak mengganggu kepentingan-kepentingan kekuasaan. Sehingga dengan
demikian, kedudukan seorang penguasa berada di atas yang lainnya.
Oleh karena itu, kita mendapati mazhab yang empat telah dipilih oleh
para penguasa dari sekian ratus mazhab yang ada, dan mereka mendapat
pengampunan dan keridaan sultan. Para penguasa mendudukkan para murid
mazhab-mazhab tersebut pada jabatan kehakiman dan menjadikan urusan agama
berada di tangan mereka. Kemudian mereka menyebarkan mazhab-mazhab pendahulu
mereka yang sesuai dengan keinginan penguasa. Sebagaimana yang telah dijelaskan
di atas.
Kebijaksanaan pada masa kekuasaan al-Muntashir al-Abbasi menetapkan
keharusan berpegang kepada perkataan tokoh-tokoh terdahulu, dan tidak boleh
sebuah perkataan disebutkan bersama perkataan mereka. Sementara para ulama di
seluruh negeri memberi fatwa akan wajibnya mengikuti mazhab yang empat dan
mengharamkan mazhab yang lainnya, serta menutup pintu ijtihad.
Ahmad Amin berkata, "Penguasa mempunyai peranan yang besar di
dalam memenangkan mazhab-mazhab Ahlus Sunnah. Biasanya, jika sebuah
pemerintahan yang kuat mendukung sebuah mazhab maka orang-orang akan mengikuti
mazhab tersebut. Mazhab tersebut akan terus berkuasa sampai lenyapnya
pemerintahan yang mendukungnya."[222]
Setelah semua penjelasan ini, apakah masih ada orang yang
berargumentasi tentang wajibnya mengikuti mazhab yang empat?!
Apakah memang ada dalil yang mengatakan bahwa mazhab hanya terbatas
pada mazhab yang empat?!
Jika di sana tidak ada dalil yang menunjukkan tentang wajibnya
berpegang kepada mereka, apakah itu berarti Allah dan Rasul-Nya telah lalai
akan masalah ini, dan tidak menjelaskan kepada mereka tentang dari mana
seharusnya mereka mengambil agama mereka dan syariat hukum mereka?!
Mahasuci Allah dari membiarkan makhluk-Nya dengan tanpa menjelaskan
kepada mereka hukum-hukum mereka dan jalan yang akan menyelamatkan mereka.
Allah SWT telah menjelaskan melalui lidah Rasulullah saw dan telah menegakkan
hujjah akan wajibnya mengikuti 'itrah Rasulullah saw. Akan tetapi, manakala
'itrah Rasulullah saw yang suci menentang para penguasa zalim yang sezaman
dengan mereka dan juga orang-orang yang merampas hak-hak mereka, maka para
penguasa berusaha memalingkan manusia dari mereka dan melarangnya untuk
berpegang kepada mereka. Karena, manusia kebanyakan hanya mengikuti orang yang
keras suaranya. Mereka akan bergerak ke arah mana pun angin bergerak. Mereka
tidak mencari sinar dengan cahaya ilmu dan tidak berlindung kepada pilar yang
kokoh.
Sebaliknya, Anda dapat melihat kepada madrasah Ahlul Bait —Syi'ah—
yang tidak memerlukan para penguasa untuk mencemerlangkan para fukahanya.
Bahkan mereka berpegang teguh kepada apa yang telah dikatakan oleh Rasulullah
saw, "Sesungguhnya aku tinggalkan padamu dua benda yang sangat berharga,
yaitu Kitab Allah dan 'itrah Ahlul Baitku. Sesungguhnya Zat yang Mahatahu telah
memberitahukan aku bahwa keduanya tidak akan pernah berpisah hingga keduanya
menemuiku di telaga."
Mereka berpegang kepada 'itrah Rasulullah saw dan mengambil agama
dan pemikiran mereka darinya. Mereka tidak menyalahi Ahlul Bait Rasulullah dan
tidak mendahuluinya, serta mereka tidak membutuhkan kepada yang lain untuk
memberikan fatwa. Mereka hanya mengambil dari orang-orang yang perkataannya
berasal dari perkataan datuknya, dan perkataan datuknya adalah perkataan
Rasulullah saw, serta perkataan Rasulullah saw adalah perkataan Jibril, dan
perkataan Jibril adalah perkataan Allah SWT.
Seorang penyair berkata,
"Jika engkau ingin mencari mazhab untuk dirimu
yang akan membebaskan kamu pada hari kebangkitan
dari nyala api neraka
maka tinggalkanlah olehmu perkataan Syafi’i, Malik dan
Ahmad, yang diriwayatkan dari Ka'ab al-Ahbar
dan berpeganglah kepada orang-orang yang perkataan
dan ucapannya, 'Datuk kami telah meriwayatkan dari
Jibril, dari al-Bari (Pencipta).'"
Fikih Di Kalangan Syi'ah
Keadaan mengambil agama secara langsung dari para Imam Ahlul Bait as
ini terus berlangsung hingga datangnya Imam yang kedua belas, Muhammad bin
Hasan al-Mahdi as. Imam Mahdi as telah menggariskan jalan yang harus dilalui
oleh orang-orang Syi'ah di dalam mengambil hukum-hukum fikih tatkala beliau
ghaib. Imam Mahdi as berkata,
"Adapun barangsiapa di antara para fukaha yang memelihara dirinya,
menjaga agamanya, menentang hawa nafsunya serta taat dan tunduk kepada perintah
Tuhannya, maka masyarakat umum wajib bertaklid kepadanya."[223]
Dengan begitu maka terbukalah bagi mereka pintu ijtihad, penelitian
dan istinbath. Kemudian, muncullah pemikiran tentang konsep marji’iyyah fikih,
yaitu di mana mereka memilih dari kalangan ulama orang yang paling banyak
ilmunya, paling bertakwa dan paling warak, lalu mereka bertaklid kepadanya di
dalam hukum-hukum fikih dan masalah-masalah yang baru. Para fukaha telah
menjelaskan secara rinci tentang bab ini. Berikut ini saya kemukakan
sebagiannya, yang berasal dari kitab al-Masa'il al-Islamiyyah, karya Ayatullah
Uzhma Sayyid Husain asy-Syirazi, halaman 90:
(Masalah 1): Keyakinan seorang Muslim tentang ushuluddin harus
berdasarkan dalil dan argumentasi. Seseorang tidak boleh bertaklid dalam
masalah ini. Artinya, dia tidak boleh menerima perkataan seseorang dalam
masalah ini dengan tanpa dalil.
Adapun di dalam masalah hukum agama dan cabang-cabangnya, seseorang
harus menjadi mujtahid yang mampu meng-istinbath hukum dari dalil-dalilnya;
atau menjadi mukallid, dalam arti dia beramal sesuai dengan pendapat mujtahid
yang memenuhi semua persyaratan; atau dia melaksanakan kewajibannya melalui
jalan ihtiyath, dalam arti dia memperoleh keyakinan bahwa dirinya telah
menunaikan kewajiban, seperti misalnya jika sekelompok orang dari mujtahid
mengeluarkan fatwa akan wajibnya sebuah perbuatan lalu sekelompok mujtahid yang
lain memberi fatwa bahwa perbuatan tersebut mustahab, maka di sini dia
ber-ihtiyath dengan melakukan perbuatan tersebut. Barangsiapa yang bukan
mujtahid dan tidak mungkin baginya berlaku ihtiyath maka wajib atasnya untuk
bertaklid kepada seorang mujtahid dan beramal sesuai dengan pendapat mujtahid
tersebut.
(Masalah 4): Berkenaan dengan wajibnya bertaklid kepada mujtahid
yang lebih tahu (al-a'lam), jika seseorang mengalami kesulitan di dalam
menentukan mujtahid yang lebih tahu (al-a'lam) maka dia harus bertaklid kepada
mujtahid yang dia sangka lebih tahu. Bahkan, dia wajib bertaklid kepada
mujtahid yang menurut perkiraan kecilnya lebih tahu, dan dia mengetahui bahwa
mujtahid yang lainnya tidak lebih tahu. Adapun jika sekelompok dari para
mujtahid sama di dalam ilmunya —menurut pandangannya— maka dia wajib bertaklid
kepada salah seorang dari mereka. Namun, jika salah seorang dari mereka lebih
warak dari yang lainnya, maka menurut ihtiyath dia wajib bertaklid kepadanya
dan tidak kepada yang lainnya.
(Masalah 5): Fatwa dan pandangan seorang mujtahid dapat diperoleh
melalui salah satu cara dari empat cara berikut ini,
1. Mendengar langsung dari mujtahid yang bersangkutan.
2. Mendengar dari dua orang yang adil yang menukil fatwa mujtahid.
3. Mendengar dari orang yang dapat dipercaya ucapannya dan dapat
dipegang penukilannya.
4. Adanya fatwa di dalam risalah amaliah, disertai dengan keyakinan
akan benarnya apa yang terdapat di dalam risalah amaliah tersebut, dan
terbebasnya dari kesalahan.
Fikih telah berkembang pesat di kalangan Syi'ah. Di kalangan mereka
banyak terdapat hawzah-hawzah agama yang mengeluarkan para fukaha dan marji',
yang kemudian dari sekian banyak fukaha tersebut akan muncul yang tunggal. Ini
terus berlangsung sepanjang sejarah, dan bahkan hingga hari ini.
Seseorang yang merujuk kepada perpustakaan fikih Syi'ah niscaya akan
tercengang di hadapan karya-karya besar itu.
Berikut ini saya nukilkan bagi Anda sedikit contoh dari kitab-kitab
fikih Syi'ah.
Di dalam bab riwayat-riwayat yang berkenaan dengan fikih, banyak
sekali terdapat kitab-kitab yang berkenaan dengan hal ini. Yang paling terkenal
di antaranya ialah:
1. Kitab Wasa'il asy-Syi'ah, terdiri dari 20 jilid besar, karya
al-Hurr al-'Amili.
2. Kitab Mustadrak al-Wasa'il, terdiri dari 18 jilid, karya Nuri
ath-Thabrasi.
Adapun di antara kitab-kitab fikih argumentatif (istidlaliyyah) di
antaranya ialah:
1. Kitab Jawahir al-Kalam, karya Muhammad Hasan an-Najafi, terdiri
dari 43 jilid.
2. Kitab al-Hada'iq an-Nadhirah, karya Syeikh Yusuf al-Bahrani,
terdiri dari 25 jilid.
3. Kitab Mustamsak al-'Urwah al-Wutsqa, karya Sayyid Muhsin
Thabathabai al-Hakim, terdiri dari 14 jilid.
4. Kitab al-Mawsu'ah al-Fiqhiyyah, karya Sayyid Muhammad al-Husaini
asy-Syirazi, termasuk ulama zaman sekarang. Kitab ini telah dicetak dalam
bentuk seratus sepuluh jilid. Kitab ini mencakup seluruh bab fikih. Di
antaranya ialah fikih Al-Qur'an al-Karim, fikih hukum, fikih negara Islam,
fikih pengelolaan, fikih politik, fikih ekonomi dan fikih sosial.
5. Salah satu dari ensiklopedia fikih modern lainnya ialah kitab
Fiqh ash-Shadiq, karya Sayyid Muhammad Shadiq ar-Ruhani, terdiri dari 26 jilid;
kemudian kitab Silsilah Yanabi' al-Mawaddah, karya Ali Ashghar Murwaridi,
terdiri dari 30 jilid.
▪▪▪▪▪
DIALOG YOHANES DENGAN PARA ULAMA
MAZHAB YANG EMPAT
Kita akhiri pasal ini dengan dialog yang terjadi di antara Yohanes
dengan ulama mazhab yang empat. Ini merupakan dialog yang paling indah di dalam
bab ini. Para pembaca hendaknya merenungi berbagai hujjah yang kokoh dan
bijaksana yang terdapat di dalam dialog ini. Saya menukil dialog ini dari kitab
Munadzarah fi al-Imamah, karya Abdullah Hasan.
Yohanes berkata, "Ketika saya melihat berbagai perselisihan di
kalangan para sahabat besar, yang nama-nama mereka disebut bersama nama
Rasulullah di atas mimbar, hati saya menjadi resah dan gelisah, dan hampir saya
mendapat musibah dalam agama saya. Maka saya pun bertekad untuk pergi ke
Baghdad, yang merupakan kubah Islam, untuk menanyakan berbagai perselisihan
yang terjadi di antara para ulama kaum Muslimin yang saya lihat, supaya saya
dapat mengetahui kebenaran dan mengikutinya. Ketika saya berkumpul dengan para
ulama dari mazhab yang empat saya berkata kepada mereka, 'Saya adalah seorang
dzimmi, dan Allah SWT telah menunjukkan saya kepada Islam, maka saya pun
memeluk Islam. Sekarang, saya datang kepada Anda untuk mendapatkan ajaran
agama, syariat Islam dan hadis dari Anda, supaya bertambah pengetahuan saya di
dalam agama saya.'
Yang tertua dari mereka —yang merupakan seorang ulama Hanafi—
berkata, 'Wahai Yohanes, mazhab Islam itu ada empat. Oleh karena itu, pilihlah
salah satu darinya, dan kemudian mulailah baca kitab yang kamu kehendaki.'
Saya berkata kepadanya, 'Saya melihat terdapat perselisihan, namun
saya tahu bahwa kebenaran ada pada salah satu di antaranya. Maka Oleh karena
itu, pilihkanlah bagi saya —menurut yang Anda ketahui— kebenaran sebagaimana
yang dipegang oleh Nabi Anda.'
Ulama Hanafi itu berkata, 'Sesungguhnya kami tidak mengetahui dengan
pasti kebenaran mana yang dipegang oleh Nabi kami, namun kami yakin bahwa jalannya
tidak keluar dari salah satu kelompok Islam yang ada. Masing-masing dari kami
yang empat mengatakan bahwa kamilah yang benar namun mungkin juga salah.
Masing-masing mereka juga mengatakan bahwa selainnya salah namun mungkin juga
benar. Singkatnya, sesungguhnya mazhab Hanafi adalah mazhab yang paling dekat
dan paling sesuai dengan sunah. Mazhab yang paling masuk akal dan mazhab yang
paling tinggi di kalangan manusia. Mazhab Hanafi adalah mazhab yang paling
banyak dipilih oleh umat, dan bahkan mazhab pilihan para sultan. Kamu harus
berpegang kepadanya, niscaya kamu selamat.'"
Yohanes berkata, "Maka berteriaklah Imam dari mazhab Syafi’i,
dan saya kira terdapat perselisihan di antara Syafi’i dan Hanafi. Imam mazhab
Syafi’i itu berkata kepada ulama Hanafi tersebut, 'Diam, jangan kamu bicara.
Demi Allah, kamu telah membual dan telah berdusta. Dari mana kamu
mengistimewakan suatu mazhab atas mazhab-mazhab yang lain, dan dari mana kamu
menguatkan (tarjih) seorang mujtahid atas mujtahid-mujtahid yang lain? Celaka
kamu. Di mana kamu telah mempelajari apa yang telah dikatakan oleh Abu Hanifah,
dan apa-apa yang telah diqiyaskan dengan ra'yunya? Sesungguhnya dia (Abu
Hanifah)lah orang yang disebut dengan sebutan 'tuan ra'yu', yang berijtihad
dengan sesuatu yang bertentangan dengan nas, yang menggunakan istihsan di dalam
agama Allah. Sampai-sampai dia meletakkan pendapatnya yang lemah dengan
mengatakan, 'Jika seorang laki-laki yang berada di India menikahi seorang
wanita yang ada di Romawi dengan akad syar'i. Lalu, setelah beberapa tahun
kemudian laki-laki itu mendatangi istrinya dan mendapatinya dalam keadaan hamil
dan menggendong anak. Laki-laki itu bertanya kepada istrinya, 'Siapa mereka
ini?' Wanita itu menjawab, 'Anak-anakmu'. Kemudian laki-laki itu mengadukan masalah
itu kepada seorang qadhi Hanafi, maka qadhi Hanafi itu akan menetapkan bahwa
anak-anak tersebut adalah berasal dari tulang sulbinya, dan dinisbahkan
kepadanya baik secara zahir maupun secara batin. Dia mewariskan kepada mereka
dan mereka pun mewariskan kepadanya.' Laki-laki itu protes, 'Bagaimana mungkin,
padahal saya belum pernah menyentuhnya sama sekali?' Maka qadhi Hanafi itu
menjawab, 'Mungkin saja Anda pernah berjunub, atau Anda pernah keluar mani lalu
air mani Anda terbang dan jatuh ke dalam kemaluan wanita ini.'[224] Wahai
Hanafi, apakah ini sesuai dengan Kitab dan sunah?'"
Ulama Hanafi menjawab, 'Benar, anak-anak itu dinisbahkan kepadanya.
Karena wanita itu adalah tempat tidurnya, dan tempat tidur dinisbahkan kepada
seorang laki-laki melalui akad syar'i, serta tidak disyaratkan harus adanya
jimak. Rasulullah saw telah bersabda, 'Anak milik tempat tidur (istri),
sedangkan batu milik pelacur.' Ulama Syafi’i itu tetap bersikeras menolak
terjadinya tempat tidur dengan tanpa jimak, dan dia pun berhasil mengalahkan
ulama Hanafi di atas dengan berbagai Hujjah yang dikeluarkan.
Ulama Syafi’i berkata lebih lanjut, 'Abu Hanifah juga berkata, 'Jika
seorang wanita dibawa ke rumah suaminya; lalu seorang laki-laki lain menggaulinya.
Kemudian laki-laki lain itu mengaku di hadapan qadhi Hanafi bahwa dirinya telah
menikahi wanita tersebut sebelum wanita itu dinikahi oleh laki-laki yang
membawanya ke rumahnya, lalu laki-laki yang mengaku itu mengajukan dua orang
fasik untuk memberikan kesaksian palsu atas pengakuannya itu. Maka qadhi Hanafi
itu akan memutuskan bahwa wanita itu haram bagi suaminya yang pertama (yang
membawanya ke rumahnya —penerj.), baik secara zahir maupun batin,
tertetapkannya ikatan pernikahan di antara wanita itu dengan laki-laki yang
kedua, dan wanita itu halal baginya baik secara zahir maupun batin.'[225] Lihatlah,
wahai manusia, apakah ini mazhab orang yang mengenal kaidah-kaidah Islam?'
Ulama Hanafi itu berkata, 'Anda tidak berhak mengkritik. Karena
dalam pandangan kami hukum qadhi berlaku baik secara zahir maupun batin, dan
ini merupakan cabang darinya.' Ulama Syafi’i berhasil mengalahkannya, dan
melarang berlakunya hukum qadhi baik secara zahir maupun batin dengan firman
Allah SWT yang berbunyi,
'Dan hendak lah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa
yang telah diturunkan Allah' (QS. al-Maidah: 49)
Ulama Syafi’i berkata, 'Abu Hanifah telah berkata, 'Jika seorang
laki-laki ghaib dari istrinya, dan terputus khabar mengenainya, lalu datang
seorang laki-laki lain berkata kepada wanita itu, 'Sesungguhnya suami kamu
telah mati, maka oleh karena itu, tinggalkanlah dia.' Lalu wanita itu pun
meninggalkan suaminya yang ghaib itu. Kemudian, setelah habis masa iddah, datanglah
seorang laki-laki menikahinya dan menggaulinya, dan kemudian wanita itu
melahirkan beberapa orang anak. Setelah itu, laki-laki yang kedua itu ghaib,
dan kemudian laki-laki yang pertama muncul di sisi wanita itu, maka seluruh
anak dari laki-laki yang kedua menjadi anak dari laki-laki yang pertama. Dia
menerima waris dari mereka dan mereka menerima waris darinya.'[226]
Wahai orang-orang yang berakal, apakah orang yang pandai dan
mengerti akan mau berpegang kepada perkataan ini?'
Ulama Hanafi menjawab, 'Abu Hanifah mengambil perkataan ini dari
sabda Rasulullah saw yang berbunyi, 'Anak milik ranjang (istri) dan batu milik
pelacur.' Maka ulama Syafi’i memprotes dengan mengatakan bahwa istri disyarati
dengan adanya dukhul (disetubuhi), dan dia mampu mengalahkan ulama Hanafi.
Kemudian ulama Syafi’i berkata, 'lmam kamu Abu Hanifah telah
berkata, 'Laki-laki mana saja yang melihat seorang wanita Muslim, lalu dia
mengklaim bahwa suami wanita tersebut telah menceraikannya, dan kemudian dia
mendatangkan dua orang saksi yang memberikan kesaksian palsu yang menguntungkan
baginya, maka qadhi memutuskan terjadinya talak atas wanita tersebut, dan
wanita itu menjadi haram bagi suaminya, sehingga dengan begitu boleh bagi
laki-laki yang mengklaim itu menikahinya, dan begitu juga bagi saksi.'[227] Dia
menyangka hukum qadhi berlaku baik secara zahir maupun batin.'
Ulama Syafi’i melanjutkan kata-katanya, 'lmam kamu Abu Hanifah
mengatakan, 'Jika empat orang laki-laki bersaksi bahwa seorang laki-laki telah
berzina, jika laki-laki itu membenarkan mereka, maka gugurlah hadd (hukuman),
namun jika dia menyangkal mereka maka tertetapkanlah hukuman baginya.'[228] Ambillah
pelajaran, wahai orang-orang yang memiliki penglihatan.'
Kemudian ulama Syafi’i berkata lagi, 'Abu Hanifah telah berkata,
'Jika seorang laki-laki mensodomi seorang anak laki-laki dan kemudian
membenamkannnya, maka tidak ada hadd baginya kecuali hanya ditegur.'[229]
Padahal Rasulullah saw telah bersabda, 'Barangsiapa yang melakukan
perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah pelakunya (al-fa'il) dan orang yang menjadi
objeknya (al-maf'ul).'[230] Abu Hanifah berkata, 'Jika
seseorang merampas biji gandum lalu dia menggilingnya, maka biji gandum itu
menjadi miliknya karena telah menggilingnya. Jika kemudian pemilik biji gandum
itu hendak mengambil biji gandum yang telah digiling itu dengan cara memberikan
upah menggiling kepada orang yang merampas, maka tidak wajib orang yang
merampas itu memenuhi permintaannya dan dia boleh menolaknya. Jika pemilik
gandum itu terbunuh maka darahnya terbuang dengan sia-sia, sedangkan jika
perampas itu terbunuh maka pemilik gandum itu harus dibunuh karena telah
membunuhnya.'[231]
Abu Hanifah juga berkata, 'Jika seorang pencuri mencuri seribu dinar
dari seseorang lalu dia juga mencuri seribu dinar berikutnya dari yang lain,
kemudian dia menggabungkannya, maka semuanya menjadi miliknya, namun dia wajib
memberi ganti atasnya.'
Abu Hanifah juga berkata, 'Jika seorang Muslim yang bertakwa dan
berilmu membunuh seorang kafir yang bodoh maka orang Muslim itu wajib dibunuh.
Karena Allah SWT telah berfirman, 'Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi
jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.'
(QS. an-Nisa: 141)
Abu Hanifah berkata, 'Jika seseorang membeli ibunya atau saudara
perempuannya, lalu dia menikahi keduanya, maka tidak berlaku hukuman (hadd)
atasnya, meskipun dia mengetahui dan sengaja melakukannya.'[232]
Abu Hanifah berkata, 'Jika seseorang menikahi ibu atau saudara
perempuannya dalam keadaan dia mengetahui bahwa mereka itu adalah ibu atau
saudara perempuannya, dan kemudian dia menggauli mereka, maka tidak ada hukuman
atasnya, disebabkan akad nikah tersebut akad syubhat.'[233]
Abu Hanifah berkata, 'Jika seseorang tidur dalam keadaan junub di
sisi kolam yang berisi minuman keras, lalu dia berbalik di dalam tidurnya dan
kemudian jatuh ke kolam, maka hilang junubnya dan dia menjadi suci.'
Abu Hanifah juga berkata, 'Tidak wajib niat di dalam wudu[234], dan juga di
dalam mandi.'[235]
Padahal di dalam kitab sahih disebutkan, 'Sesungguhnya amal perbuatan itu
(terlaksana) dengan niat.'[236]
Abu Hanifah berkata, 'Tidak wajib membaca basmalah di dalam Fatihah[237], dan
dia mengeluarkannya dari surat al-Fatihah, padahal para khalifah telah
menuliskannya di dalam mushaf-mushaf setelah dilakukan pengeditan terhadap
Al-Qur'an.
Abu Hanifah juga berkata, 'Jika bangkai anjing yang sudah mati
diambil kulitnya, lalu kulitnya itu disamak, maka kulit anjing itu menjadi
suci, meskipun digunakan untuk tempat minum dan hamparan di dalam salat.'[238] Ini bertentangan
dengan nas yang menyatakan najisnya 'ain najasah, yang berarti haramnya
pemanfaatannya.'
Kemudian ulama Syafi’i itu berkata, 'Wahai Hanafi, di dalam mazhabmu
seorang Muslim tatkala hendak salat boleh berwudu dengan menggunakan minuman
keras, dan memulainya dengan membasuh kaki serta mengakhirinya dengan membasuh
kedua tangan.[239]
Kemudian memakai pakaian yang terbuat dari kulit bangkai anjing yang
telah disamak,[240]
sujud di atas kotoran yang telah mengering, bertakbir dengan menggunakan bahasa
India, membaca surat al-Fatihah dengan bahasa Ibrani[241], dan kemudian setelah al-Fatihah membaca 'du
bargeh-ye sabz' —yaitu kata mudhammatan (dua daun hijau), kemudian ruku, lalu
tidak mengangkat kepalanya dari ruku melainkan langsung sujud, serta dua sujud
hanya dipisah dengan jeda waktu yang sangat tipis tidak ubahnya seperti pemisah
di antara dua mata pedang. Dan apabila sebelum salam dia sengaja buang angin,
maka salatnya sah, namun jika dia tidak sengaja buang angin, maka salatnya
batal.'[242]
Ulama Syafi’i kembali berkata, 'Ambillah pelajaran, wahai
orang-orang yang memiliki penglihatan. Apakah seseorang boleh beribadah dengan
ibadah yang seperti ini? Apakah boleh bagi Nabi saw memerintahkan umatnya
dengan ibadah yang seperti ini, yang tidak lain hanya merupakan kebohongan yang
dibuat-buat atas Allah SWT dan Rasul-Nya?'
Ulama Hanafi membantah, dan dengan penuh emosi dia berkata,
'Berhenti! Wahai Syafi’i. Semoga Allah merobek mulutmu. Kamu kira kamu ini
siapa sehingga berani mengecam Abu Hanifah, mazhab kamu tidak ada apa-apanya
dibandingkan mazhabnya. Mazhab kamu lebih layak disebut mazhab Majusi. Karena
di dalam mazhabmu seorang laki-laki boleh menikahi anak perempuan dan saudara
perempuannya hasil zina, dan boleh mengumpulkan dua orang saudara perempuan
hasil zina, dan begitu juga boleh menikahi ibunya hasil zina, begitu juga
bibinya hasil zina.[243]
Padahal Allah SWT telah berfirman,
'Diharamkan atas kamu menikahi ibumu, anak-anak perempuanmu,
saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan bapakmu dan
saudara-saudara perempuan ibumu.' (QS. an-Nisa' 23)
Sifat-sifat hakiki ini tidak berubah dengan terjadinya perubahan
syariat dan agama. Jangan kamu mengira, wahai Syafi’i, wahai dungu, bahwa
terlarangnya mereka dari menerima waris berarti mengeluarkan mereka dari
sifat-sifat hakiki ini. Oleh karena itu, sifat-sifat tersebut di-idhafah-kan
kepadanya, sehingga dikatakan 'anak perempuan dan saudara perempuannya dari
hasil zina'. Pembatasan (taqyid) ini tidak menyebabkannya menjadi majazi
(kiasan), sebagaimana kata-kata kita yang berbunyi, 'saudara perempuannya yang
berasal dari nasab', melainkan hanya untuk memerinci. Sesungguhnya pengharaman
di atas mencakup segala sesuatu yang terkena lafaz di atas, baik yang hakiki
maupun yang majazi, berdasarkan kesepakatan. Berdasarkan kesepakatan, nenek
termasuk ke dalam kategori ibu, dan begitu juga cucu perempuan dari anak
perempuan, maka Oleh karena itu, tidak diragukan haramnya keduanya dinikahi
berdasarkan ayat ini. Perhati-kanlah, wahai orang-orang yang berpikir, bukankah
mazhab ini tidak lain mazhab Majusi.
Hai Syafi’i, Imam kamu membolehkan manusia bermain catur,[244] padahal
Rasulullah saw telah bersabda, 'Tidak menyukai permainan catur kecuali seorang
penyembah berhala.'
Hai Syafi’i, Imam kamu membolehkan berjoged, memukul rebana dan
meniup seruling[245]
bagi manusia. Allah memburukkan mazhabmu, di mana di dalamnya seorang laki-laki
menikahi ibu dan saudara perempuannya, bermain catur, berjoged dan memukul
rebana. Tidaklah ini semua kecuali kebohongan yang dibuat-buat atas Allah SWT
dan Rasul-Nya saw. Tidak akan ada orang yang berpegang kepada mazhab ini
kecuali orang yang buta hatinya dari kebenaran."'
Yohanes berkata, "Perdebatan panjang terjadi di antara mereka
berdua, lalu ulama Hanbali membela ulama Syafi’i sedangkan ulama Maliki membela
ulama Hanafi, sehingga terjadilah perselisihan di antara ulama Maliki dan ulama
Hanbali. Ulama Hanbali berkata, 'Sesungguhnya Malik telah membuat suatu bid'ah
di dalam agama, yang karena bid'ah itu Allah SWT telah membinasakan umat-umat
terdahulu, namun Malik malah membolehkannya. Yaitu perbuatan mensodomi hamba
sahaya. Padahal Rasulullah saw telah bersabda, 'Barangsiapa yang mensodomi
budak laki-laki, maka bunuhlah pelaku (al-fa'il) dan orang yang menjadi
objeknya (al-maf'ul).'[246]
Saya pernah melihat seorang bermazhab Maliki mengadukan seseorang
kepada qadhi, bahwa dia telah menjual budak laki-laki kepadanya namun budak itu
tidak dapat digauli. Maka qadhi itu memutuskan ada kekurangan pada budak
laki-laki itu, dan Oleh karena itu, pembelinya dapat mengembalikannya kembali
kepada penjualnya. Apakah kamu tidak malu kepada Allah, hai Maliki, mempunyai
mazhab yang seperti ini, sementara kamu mengaku-ngaku bahwa mazhabmu adalah
sebagus-bagusnya mazhab?! Imam kamu menghalalkan daging anjing. Allah pasti
memburukkan mazhab dan keyakinanmu.'
Dengan serta merta ulama Maliki menghardik dan berteriak, 'Dia kamu,
hai mujassim (orang yang mengatakan Allah berjisim). Justru mazhab kamu yang
lebih layak untuk dilaknat dan dijauhi. Karena dalam pandangan Imam kamu, Ahmad
bin Hanbal, Allah itu jisim yang duduk di atas 'arasy. Pada setiap malam Jumat
Allah SWT turun dari langit dunia ke atap-atap mesjid dalam bentuk wajah yang
tidak berjanggut, rambut yang keriting, mempunyai dua sandal yang talinya
terbuat dari bunga kurma, serta mengendarai keledai yang diiringi beberapa
serigala.'"[247]
Yohanes berkata, "Maka terjadilah perselisihan antara Hanbali
dengan Maliki serta Syafi’i dengan Hanafi. Mereka saling meninggikan suara
mereka dan menelanjangi keaiban mereka masing-masing, hingga menjengkelkan
semua orang yang mendengarkan perbincangan mereka, lalu orang-orang yang hadir
pun mencela dan mengecam mereka.
Lalu saya berkata kepada mereka, 'Demi Allah, saya bersumpah, saya
tidak senang dengan keyakinan-keyakinan Anda. Jika Islam benar sebagaimana yang
Anda katakan, maka sungguh celaka. Demi Allah, saya bersumpah kepada Anda,
supaya Anda menutup pembahasan ini dan pergi. Karena sekarang masyarakat umum
telah mencela dan mengecam Anda."
Yohanes berkata, "Maka mereka pun berdiri, lalu berpisah dan
kemudian tidak keluar dari rumah masing-masing selama seminggu. Tatkala mereka
keluar rumah, masyarakat mengecam mereka. Setelah beberapa hari kemudian mereka
pun berdamai dan berkumpul di mustanshiriyyah, dan saya pun duduk dan
berbincang-bincang kembali bersama mereka. Saya berkata kepada mereka, 'Saya
menginginkan seorang ulama dari kalangan ulama rafidhi, supaya kita berdialog
dengannya tentang mazhabnya. Apakah Anda bersedia mendatangkan seorang dari
mereka untuk kita berdialog dengannya?'
Ulama-ulama mazhab empat itu berkata, "Wahai Yohanes, kelompok
Rafidhah itu jumlahnya sedikit. Mereka tidak bisa menampakkan diri di
tengah-tengah kaum Muslimin, karena sedikitnya jumlah mereka, dan juga karena
banyaknya musuh mereka. Mereka tidak akan menampakkan diri, apalagi dapat
berdebat dengan kita tentang mazhab mereka. Mereka itu sangat sedikit jumlahnya
dan sangat banyak musuhnya."
Yohanes berkata, "Ini merupakan pujian buat mereka, karena
Allah SWT telah memuji kelompok yang sedikit dan mencela kelompok yang banyak.
Allah SWT berfirman,
'Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang bersyukur.' (QS. Saba:
13)
'Dan tidaklah beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit.'(QS.
Hud: 40)
'Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi
ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.'(QS. al-An'am: 116)
'Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.' (QS.
al-A'raf: 17)
'Akan tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.' (QS. al-Baqarah:
243)
'Akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.' (QS. al-An'am: 37)
'Akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman.' (QS. ar-Ra'd: 1)
Dan ayat-ayat lainnya."
Para ulama tersebut berkata, "Wahai Yohanes, keadaan mereka
lebih besar dari yang disifatkan. Karena, jika kami mengenal salah seorang dari
mereka, maka kami akan terus membuntutinya hingga kami membunuhnya. Karena
dalam pandangan kami, mereka itu kafir dan halal darahnya. Bahkan, di kalangan
para ulama kita ada yang memberikan fatwa bahwa harta dan wanita mereka
halal."
Yohanes berkata, "Allah Mahabesar. Ini perkara yang besar
sekali. Anda memandang mereka berhak mendapatkan semua ini, apakah karena
mereka mengingkari syahadatain?”
Para ulama menjawab, "Tidak."
Yohanes bertanya lagi, "Apakah karena mereka tidak menghadap
kiblat kaum Muslimin?"
Mereka menjawab, "Tidak."
Yohanes bertanya sekali lagi, "Apakah karena mereka mengingkari
salat, puasa, haji, zakat atau jihad?"
Mereka menjawab, "Tidak. Bahkan mereka mengerjakan salat,
puasa, zakat, haji dan jihad."
Yohanes kembali bertanya, "Apakah karena mereka mengingkari
hari kebangkitan, shirat, timbangan dan syafaat?"
Para ulama menjawab, "Tidak. Bahkan mereka mengakui yang
demikian dengan sebaik-baiknya pengakuan."
Yohanes bertanya lagi, "Apakah karena mereka membolehkan
perbuatan zina, sodomi, meminum khamar, riba, alat musik dan alat-alat hiburan
lainnya?"
Mereka menjawab, "Tidak. Bahkan mereka menjauhi dan
mengharamkannya."
Yohanes berkata, "Demi Allah, sungguh mengherankan, bagaimana
mungkin sebuah kaum yang bersaksi dengan dua syahadat (syahadatain),
mengerjakan salat dengan menghadap kiblat, berpuasa di bulan Ramadan, pergi
haji ke Baitul Haram, meyakini hari kebangkitan dan rincian perhitungan,
dihalalkan darahnya, hartanya dan wanitanya, padahal Nabi Anda sendiri telah
bersabda, 'Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah. Jika mereka
mengatakan itu, maka terjagalah dariku darahnya, hartanya dan wanitanya. Adapun
perhitungan mereka berada di tangan Allah."[248]
Para ulama itu berkata, "Wahai Yohanes, sesungguhnya mereka
telah membuat bid'ah di dalam agama. Salah satunya ialah, mereka mengatakan
bahwa Ali as adalah manusia paling utama setelah Rasulullah saw, dan mereka
lebih mengutamakannya atas para khalifah yang tiga, padahal generasi pertama
telah sepakat bahwa khalifah yang paling utama adalah khalifah yang
pertama."
Yohanes berkata, "Bagaimana pendapat Anda jika ada orang yang
mengatakan bahwa Ali lebih baik dan lebih utama dari Abu Bakar, apakah Anda
akan mengkafirkannya?"
Mereka menjawab, "Ya. Karena dia telah menyalahi ijma'."
Yohanes bertanya lagi, "Bagaimana pendapat Anda tentang
muhaddis Anda yang bernama al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Musa bin
Mardawaih?"
Para ulama menjawab, "Dia orang yang dapat dipercaya. Diterima
riwayatnya dan lurus sifatnya."
Yohanes berkata, "Ini kitabnya yang berjudul Kitab al-Manaqib.
Di dalam kitab ini dia meriwayatkan bahwa Rasulullah saw telah bersabda, 'Ali
adalah sebaik-baiknya manusia, barangsiapa yang enggan menerimanya, maka dia
telah kafir.'
Di dalam kitab ini juga disebutkan, dari Salman, dari Rasulullah saw
yang bersabda, "Ali bin Abi Thalib adalah sebaik-baiknya orang yang aku
jadikan pengganti sepeninggalku."
Di dalam kitab ini juga disebutkan, dari Anas bin Malik yang berkata
bahwa Rasulullah saw telah bersabda, "Saudaraku, pembantuku dan
sebaik-baiknya orang yang aku jadikan pengganti sepeninggalku adalah Ali bin
Abi Thalib."
Dari Imam Anda, Ahmad bin Hanbal, dia meriwayatkan di dalam
musnadnya bahwa Rasulullah saw telah bersabda kepada Fatimah, "Tidakkah
engkau rida aku nikahkan engkau dengan orang yang paling pertama masuk Islam
dari umatku, dan orang yang paling banyak ilmunya serta paling besar
kebijaksanaannya."[249]
Ahmad juga meriwayatkan di dalam musnadnya bahwa Rasulullah telah
bersabda, "Ya Allah, datangkanlah kepadaku hamba-Mu yang paling Kamu
cintai."[250]
Lalu datanglah Ali bin Abi Thalib. Hadis ini juga disebutkan oleh Nasa'i dan
Turmudzi di dalam kitab sahih mereka.[251] Mereka berdua juga termasuk ulama Anda.
Akhthab Kharazmi juga meriwayatkan hadis ini di dalam kitab
al-Manaqib —dia juga termasuk dari ulama Anda— dari Muadz bin Jabal yang
berkata, "Rasulullah saw telah bersabda, 'Wahai Ali, aku mengunggulimu
dengan kenabian, karena tidak ada nabi sepeninggalku; namun kamu mengungguli
manusia dengan tujuh hal, yang tidak ada seorang pun dari bangsa Quraisy yang
mendebatmu tentang hal itu: kamu adalah orang yang pertama kali beriman kepada
Allah di antara mereka, orang yang paling menunaikan perintah Allah dan
perjanjian dengan-Nya, orang yang paling rata di dalam pembagian, orang yang
paling adil kepada rakyat, orang yang paling tahu tentang permasalahan dan
orang yang paling besar keutamaannya di sisi Allah pada hari kiamat."[252]
Penulis kitab Kifayah ath-Thalib, yang merupakan salah seorang dari
ulama Anda berkata, "Hadis ini hadis hasan yang tinggi, dan al-Hafidz Abu
Na'im meriwayatkannya di dalam kitab Hilyah al-Awliya."[253]
Yohanes berkata, "Wahai para pemimpin Islam, hadis-hadis yang
sahih ini yang diriwayatkan oleh para Imam Anda, dengan jelas mengatakan
kelebih-utamaan dan kelebih-baikan Ali atas seluruh manusia. Lantas, apa dosa
kaum Rafidhahl Sesungguhnya ini adalah semata-mata dosa dari para ulama Anda
dan orang-orang yang meriwayatkan dengan tidak benar serta membuat-buat
kebohongan atas Allah dan Rasul-Nya."
Mereka berkata, "Wahai Yohanes, sesungguhnya mereka tidak
meriwayatkan dengan tidak benar, dan juga tidak membuat-buat kebohongan, hanya
saja hadis-hadis ini mempunyai takwil dan pertentangan."
Yohanes berkata, "Takwil yang mana yang dapat diterima terhadap
hadis-hadis yang ditujukan secara khusus kepada manusia tertentu. Karena nas
hadis-hadis ini secara eksplisit mengatakan bahwa Ali lebih baik dari Abu
Bakar, dan ini tidak dapat ditakwilkan kecuali jika Anda mengeluarkan Abu Bakar
dari kelompok manusia. Kalaupun seumpamanya kita menerima bahwa hadis-hadis ini
tidak menunjukkan kepada makna di atas, namun coba beritahukan kepada saya mana
di antara mereka berdua yang paling banyak berjihad?"
Mereka menjawab, "Ali."
Yohanes berkata, "Allah SWT telah berfirman, 'Allah melebihkan
orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk dengan pahala yang
besar.' (QS. an-Nisa: 95)
Bunyi nas ini begitu amat jelas."
Mereka berkata, "Abu Bakar juga seorang mujahid. Maka Oleh
karena itu, tidak harus Ali lebih utama dari Abu Bakar."
Yohanes berkata, "Jihad yang lebih sedikit apabila dibandingkan
kepada jihad yang lebih banyak, maka dianggap duduk. Kalaupun seumpamanya
maknanya demikian, lantas apa yang dimaksud oleh Anda dengan 'orang yang lebih
utama'?"
Mereka menjawab, "Yaitu orang yang terkumpul pada dirinya berbagai
kesempurnaan dan keutamaan, baik yang berupa bawaan maupun yang diperoleh
karena jerih payah usaha, seperti kemuliaan asal-usul, keilmuan, kezuhudan,
keberanian, dan sifat-sifat lainnya yang merupakan cabang dari sifat-sifat
ini."
Yohanes berkata, "Seluruh keutamaan ini ada pada diri Ali as,
dalam bentuk yang lebih baik dibandingkan yang lainnya."
Yohanes berkata, "Adapun dari segi kemuliaan asal (nasab), dia
adalah putra paman Rasulullah saw, suami dari putrinya dan ayah dari kedua
cucunya.
Adapun dari sisi ilmu, Rasulullah saw telah bersabda, 'Saya adalah
kota ilmu dan Ali adalah pintunya.'[254] Akal dapat memahami bahwa seseorang tidak
dapat mengambil manfaat sedikit pun dari sebuah kota kecuali jika dia mengambil
dari pintunya. Sehingga dengan begitu maka jalan untuk mengambil manfaat dari
Rasulullah saw hanya melalui Ali as. Ini adalah kedudukan yang tinggi.
Rasulullah saw juga telah bersabda, 'Orang yang paling mengetahui di antara
kamu adalah Ali.'[255]
Kepadanyalah dinisbatkan seluruh permasalahan, berhentinya seluruh golongan,
dan berpihaknya seluruh kelompok. Dia adalah pemuka dan sumber keutamaan, serta
pemenang yang memenangkan arenanya. Setiap orang yang unggul di dalamnya
semuanya mengambil darinya, mengikuti jejaknya dan meniru contohnya. Anda tentu
telah mengetahui bahwa semulia-mulianya ilmu adalah tentang Ketuhanan. Ilmu ini
dikutip dari perkataannya, dinukil darinya dan bermula dari dirinya.
Sesungguhnya kelompok Mu'tazilah, mereka itu adalah ahli fikir. Dari
mereka inilah manusia belajar tentang ilmu ini, dan mereka itu adalah
murid-muridnya. Karena guru besar mereka yang bernama Washil bin 'Atha adalah
murid Abi Hasyim Abdullah bin Muhammad ibn al-Hanafiyyah,[256] sementara
Abi Hasyim Abdullah adalah murid ayahnya, dan ayahnya adalah murid Ali bin Abi
Thalib as.
Adapun kelompok Asy'ari, mereka itu berakhir kepada Abu Hasan
al-Asy'ari. Dia adalah murid dari Abu Ali al-Juba'i, dan Abu Ali al-Juba'i
adalah murid Washil bin 'Atha.[257]
Adapun kelompok Imamiyyah dan Zaidiyyah, bermuaranya mereka
kepadanya amat jelas sekali.
Adapun dalam bidang ilmu fikih, dia itu adalah pokok dan dasarnya. Seluruh
fakih di dalam Islam menisbatkan diri mereka kepadanya.
Adapun Malik, dia mengambil fikih dari Rabi'ah ar-Ra'y, sementara
Rabi'ah ar-Ra'y mengambil dari 'lkrimah, 'lkrimah mengambilnya dari Abdullah,
dan Abdullah mengambilnya dari Ali.
Adapun Abu Hanifah mengambil fikih dari Imam Ja'far ash-Shadiq as.
Sementara Syafi’i adalah murid Malik, dan Hanbali adalah murid Syafi’i.[258] Adapun
tentang merujuknya para fukaha Syi'ah kepadanya adalah sesuatu yang jelas sekali.
Begitu juga tentang merujuknya para fukaha dari kalangan para sahabat kepadanya
adalah sesuatu yang jelas, seperti Ibnu Abbas dan yang lainnya. Berikut ini
adalah perkataan Umar yang diucapkannya tidak hanya sekali, 'Aku tidak dilanda
masalah selama masih ada Abul Hasan.'[259] Umar juga mengatakan, 'Seandainya tidak ada
Ali maka celakalah Umar."[260]
Turmudzi telah berkata di dalam kitab sahihnya, dan begitu juga
al-Baghawi telah berkata dari Abu Bakar, 'Rasulullah saw telah bersabda,
'Barangsiapa yang hendak melihat kepada Adam di dalam keilmuannya, kepada Nuh
di dalam pemahamannya, kepada Yahya bin Zakaria di dalam kezuhudannya, dan
kepada Musa bin Imran di dalam kekuatannya, maka hendaklah dia melihat kepada
Ali bin Abi Thalib.'[261]
Baihaqi telah berkata, 'Rasulullah saw telah bersabda, 'Barangsiapa
yang hendak melihat kepada Adam di dalam keilmuannya, kepada Nuh di dalam
ketakwaannya, kepada Ibrahim di dalam kesabarannya, kepada Musa di dalam
kewibawaannya, dan kepada Isa di dalam ibadahnya, maka hendaklah dia melihat
kepada Ali bin Abi Thalib.'[262] Dialah yang telah menjelaskan hukuman meminum minum-an
keras,[263]
yang telah memberikan fatwa berkenaan dengan seorang wanita yang melahirkan
pada usia enam bulan kandungannya.[264] Dialah yang telah menyelesaikan pembagian uang
dirham kepada pemilik adonan roti.[265] Dia juga yang telah memerintahkan untuk
membelah seorang anak menjadi dua bagian.[266] Dialah yang telah memerintahkan untuk
memenggal leher seorang hamba sahaya, dan yang bertindak sebagai hakim pada
kasus orang yang mempunyai dua kepala."[267] Dia juga yang telah menjelaskan hukum makar
(bughat),[268] dan dia juga yang telah memberi fatwa
berkenaan dengan seorang wanita yang hamil karena zina.[269]
Salah satu di antara cabang ilmu adalah ilmu tafsir. Manusia telah
mengetahui kedudukan Ibnu Abbas di dalam ilmu tafsir. Dia adalah murid Ali. Dia
telah ditanya, 'Bagaimana kedudukan ilmumu dibandingkan ilmu putra pamanmu?'
Ibnu Abbas menjawab, 'Laksana setetes air hujan di lautan yang sangat
luas.'"[270]
Salah satu cabang ilmu yang lain adalah ilmu tarekat dan ilmu
hakikat. Anda mengetahui bahwa tokoh-tokoh ilmu ini yang ada di seluruh negeri
Islam, mereka semua berakhir kepadanya, dan berhenti di sisinya. Asy-Syibli,
al-Hambali, Sirri as-Saqathi, Abu Zaid al-Busthami, Abu Mahfudz, yang dikenal
dengan sebutan al-Kurkhi, dan yang lain-nya, dengan tegas mengakui hal ini.
Cukup menjadi bukti bagi yang demikian itu, sobekan-sobekan yang menjadi slogan
mereka, dan mereka menisbatkan sobekan-sobekan tersebut —melalui sanad
mu'an'an— kepadanya, dan mengatakan bahwa dialah yang telah menuliskannya.[271]
Di antara cabang ilmu berikutnya adalah ilmu nahwu. Seluruh manusia
telah mengetahui bahwa Ali as lah yang telah menciptakannya. Dia telah
mendiktekan berbagai kumpulan yang hampir mendekati katagori mukjizat kepada
Abul Aswad ad-Du`ali. Karena kemampuan manusia biasa tidak cukup untuk dapat
menghasilkan penemuan yang seperti ini.
Bagaimana bisa memiliki sifat seperti ini seorang laki-laki yang
manakala ditanya, apa arti kata abban, dia berkata, 'Aku tidak akan mengatakan
tentang Kitab Allah berdasarkan pikiranku', dan memberikan putusan tentang
bagian warisan yang diterima kakek dengan seratus perkataan yang berbeda satu
sama lainnya. Dia mengatakan, 'Jika aku menyimpang maka luruskanlah, dan jika
aku berada pada jalan yang benar maka ikutilah aku.'[272] Apakah seorang yang berakal akan
membandingkan orang yang seperti ini dengan orang yang me-ngatakan, 'Tanyailah
aku sebelum kalian kehilanganku',[273] 'Tanyailah aku tentang jalan-jalan yang ada
di langit. Karena sesungguhnya demi —Allah— aku lebih mengetahui jalan-jalan
yang ada di langit dibandingkan jalan-jalan yang ada di bumi.' Ali as juga
berkata, 'Sesungguhnya di sini, sambil dia menunjuk ke arah dadanya, terdapat
ilmu yang banyak.' Dia juga mengatakan, 'Sekiranya terbuka tirai penutup, tidak
akan bertambah keyakinanku.'[274]
Adapun dalam masalah zuhud, dia adalah penghulu orang-orang zuhud.
Tidak pernah sekali pun dia makan sampai kenyang. Dia adalah orang yang paling
keras di dalam masalah pakaian dan makanan.
Abdullah bin Abi Rafi' berkata, 'Saya masuk menemui Ali bin Abi
Thalib pada hari raya. Lalu dia mengambil sebuah kantong tertutup yang berisi
roti kering yang telah hancur, kemudian dia pun memakannya.
Saya berkata, 'Wahai Amirul Mukminin, kenapa Anda menutup kantong
tersebut, padahal hanya berisi roti yang telah kering ?'
Ali bin Abi Thalib menjawab, 'Saya takut kedua anak saya akan
membubuhinya dengan minyak atau mentega.'"[275]
Pakaian yang dikenakannya selalu bertambalkan kulit atau sabut.
Kedua sendalnya terbuat dari sabut. Dia biasa memakai pakaian yang kasar, dan
jika kepanjangan, dia memotongnya dengan pisau dan tidak menjahitnya kembali.
Makanan yang dimakannya hanya berbumbukan garam atau cuka. Kalaupun lebih dari
itu, dia cukup menambahkannya dengan tanaman hasil bumi. Kalaupun lebih baik lagi,
dia hanya menambahkan dengan sedikit susu unta. Dia tidak memakan daging
kecuali hanya sedikit. Dia berkata, 'Jangan engkau jadikan perutmu menjadi
kuburan binatang', meskipun demikian dia adalah manusia yang paling kuat dan
paling kokoh.[276]
Adapun dari sisi ibadah, dari dialah manusia belajar salat malam,
dawam membaca wirid dan melakukan ibadah-ibadah nafilah. Bagaimana pendapat
Anda tentang seorang laki-laki yang dahinya kapalan tidak ubahnya seperti lutut
unta. Salah satu bukti bagaimana dia begitu menjaga kewajiban agamanya, dia
membentangkan tikar sajadah yang terbuat dari kulit pada saat perang Shiffin.
Dia tetap mengerjakan salatnya pada saat anak-anak panah berjatuhan di
hadapannya dan melewati kedua telinganya. Dia tidak gentar, dan terus
melanjutkan salatnya hingga selesai.
Jika Anda menyimak dan memperhatikan berbagai doa dan munajatnya,
serta melihat pengagungan Allah yang terdapat di dalam doanya, dan begitu juga
ketundukan akan kebesaran-Nya dan kekhusyukan akan keagungan-Nya, niscaya Anda
akan mengetahui betapa besar keikhlasan yang terkandung di dalamnya. Imam Ali
Zainal Abidin, setiap malamnya mengerjakan salat sebanyak seribu rakaat, namun
dia masih mengatakan, 'Aku tertinggal apabila dibandingkan dengan ibadah Ali.'[277]
Adapun dalam masalah keberanian, Ali bin Abi Thalib adalah tokohnya.
Dia adalah seorang pemberani yang tidak pernah lari dari medan perang, dan
tidak pernah gentar menghadapi sekelompok pasukan. Tidak ada seorang pun yang
datang menantang kecuali pasti dibunuhnya. Tebasan pedangnya hanya sekali
tebasan, dan tidak memerlukan kepada tebasan yang kedua.
Di dalam hadis disebutkan bahwa pukulan-pukulan pedangnya ganjil.[278] Orang-orang
musyrik, jika melihat Ali di dalam medan peperangan mereka berwasiat kepada
satu sama lainnya. Dengan pedangnyalah bangunan agama menjadi kokoh, dan para
malaikat merasa kagum akan kehebatan serangan dan pukulan pedangnnya.
Di dalam perang Badar, yang merupakan cobaan berat atas kaum
Muslimin, Ali bin Abi Thalib berhasil membunuh pahlawan-pahlawan Quraisy,
seperti Walid bin 'Utbah, 'Ash bin Sa'id, dan Naufal bin Khuwailid, yang
menahan Abu Bakar dan Thalhah sebelum hijrah. Rasulullah saw telah bersabda,
'Segala puji bagi Allah yang telah memperkenankan doaku berkenaan dengannya.'[279] Ali bin Abi
Thalib terus membunuhi pahlawan-pahlawan Quraisy satu demi satu, sehingga dia
berhasil membunuh setengah dari keseluruhan jumlah kaum musyrik yang terbunuh
di perang Badar, yang jumlah keseluruhannya sebanyak tujuh puluh orang.
Sementara seluruh kaum Muslimin yang lainnya, beserta tiga ribu malaikat,
berhasil membunuh setengah yang lainnya.[280] Di sini lah Jibril berkata,
'Tidak ada pedang kecuali Dzul Fiqar, dan tidak ada pemuda kecuali
Ali."[281]
Pada saat perang Uhud, manakala kaum Muslimin tercerai berai dari
Rasulullah saw, dan Rasulullah saw dibanting ke tanah dan dipukuli dengan
tombak dan pedang oleh orang-orang musyrik, Ali as berdiri kokoh di hadapan
Rasulullah saw sambil menghunus pedang. Ketika Rasulullah saw melihat
kepadanya, setelah siuman dari pingsannya, Rasulullah saw bertanya, 'Wahai Ali,
apa yang telah dilakukan oleh kaum Muslimin?'
Ali bin Abi Thalib as menjawab, 'Mereka telah melanggar sumpah dan
telah lari dari medan peperangan.'
Rasulullah saw berkata, 'Lindungi aku.' Maka Ali pun membuka
kepungan mereka, dan menghadapi sekelompok pasukan demi sekelompok pasukan
musuh, sambil memanggil kaum Muslimin, hingga akhirnya mereka kembali
berkumpul. Jibril as berkata kepada Rasulullah saw, 'Sungguh ini merupakan
pembelaan. Para malaikat merasa kagum dengan pembelaan yang dilakukan oleh Ali
untukmu.'
Rasulullah saw berkata, 'Tidak ada yang mencegahnya melakukan itu.
Karena dia adalah bagian dariku dan aku bagian darinya.'[282] Karena
keteguhan Ali itulah akhirnya sebagian kaum Muslimin kembali lagi, termasuk
Usman, yang baru kembali setelah tiga hari. Rasulullah saw berkata kepada
Usman. 'Engkau pergi membawa peringatan.'[283]
Pada perang Khandaq, pada saat kaum musyrikin mengepung kota Madinah,
sebagaimana yang dikatakan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur'an, '(Yaitu) ketika
mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi
penglihatanmu dan hatimu naik menyesak sampai ketenggorokan dan kamu menyangka
terhadap Allah dengan berbagai macam sangkaan' (QS. Al-Ahzab: 10), dan Amr bin
Abdul Wudd berhasil mendobrak parit kaum Muslimin, serta menantang duel kepada
kaum Muslimin, sementara tidak ada seorang pun dari kaum Muslimin yang berani
menghadapinya, maka tampillah Ali bin Abi Thalib dengan mengenakan sorban
Rasulullah saw, sementara tangannya menenteng sebilah pedang. Dengan cepat Ali
bin Abi Thalib memukulkan pedangnya kepada Amr bin Abdi Wudd, dengan sebuah
pukulan pedang yang menyamai amal perbuatan seluruh jin dan manusia hingga hari
kiamat.[284]
Di mana Abu Bakar, Umar dan Utsman pada saat itu?
Orang yang membaca kitab peperangan karya al-Waqidi dan kitab
sejarah karya al-Baladzari, niscaya akan mengetahui bagaimana kedudukan Ali di
sisi Rasulullah, dari sisi jihad dan keberaniannya pada perang Ahzab, perang
Bani Musthaliq, pada saat mengangkat pintu benteng khaibar, dan pada saat
perang khaibar. Peristiwa-peristiwa ini merupakan peristiwa-peristiwa yang amat
terkenal.
Abu Bakar al-Anbari meriwayatkan di dalam kitabnya al-Amali, Ali
duduk di sisi Umar di mesjid, sementara di samping mereka banyak orang yang
hadir. Pada saat Ali berdiri dan meninggalkan majlis, salah seorang dari mereka
yang hadir mengatakan bahwa Ali itu sombong.
Umar berkata, 'Orang sepertinya berhak untuk sombong. Kalau bukan
karena pedangnya tidak akan tegak berdiri pilar-pilar agama. Dia adalah orang
yang paling mengetahui di antara umat ini, dan paling mempunyai kedudukan.'
Orang itu bertanya kepada Umar, 'Lantas, apa yang mencegah Anda
darinya, wahai Amirul Mukminin?'
Umar menjawab, 'Tidak ada yang kami tidak sukai darinya kecuali
karena umurnya yang masih muda, kecintaannya kepada Bani Abdul Muththalib, dan
dia yang membawa surat al-Bara'ah ke kota Mekkah.'
Ketika Ali bin Abi Thalib mengajak Muawiyah untuk berduel hingga
terbunuh salah seorang dari mereka, guna menghentikan peperangan di antara
umat, Amr bin Ash berkata kepada Muawiyah, 'Laki-laki itu telah bertindak adil
kepadamu.'
Muawiyah berkata kepada Amr bin Ash, 'Belum pernah sekali pun engkau
menipuku di dalam memberikan nasihat kepadaku kecuali pada hari ini. Engkau
menyuruhku untuk berduel dengan Abul Hasan, padahal engkau tahu dia adalah
seorang pemberani yang perkasa? Aku lihat, tampaknya engkau menginginkan
kekuasaan negeri Syam sepeninggalku.'[285]
Orang Arab merasa bangga apabila berhadapan dengan Ali bin Abi
Thalib as di dalam medan peperangan. Kabilah mereka merasa bangga apabila yang
membunuh mereka adalah Ali. Hal ini tampak jelas sekali dalam ucapan-ucapan
mereka. Ummu Kultsum[286]
berkata berkenaan dengan terbunuhnya Amr bin Abdul Wudd,
'Seandainya pembunuh Amr bukanlah pembunuhnya, niscaya aku akan
menangisinya selamanya, dan sekejap pun aku tidak mau hidup. Namun, pembunuhnya
adalah orang yang tidak ada tandingannya, yang ayahnya telah menganggapnya
sebagai orang yang terpandang.'[287]
Adapun tentang kedermawanannya, dialah yang telah menyelesaikan
puasanya hingga tiga hari berturut-turut dengan menyedekahkan makanan untuk
buka puasanya kepada peminta-minta setiap malamnya. Hingga Allah SWT menurunkan
ayat berkenaan dengannya, 'Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari
masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?' (QS.
Al-Insan: 1)
Kemudian dia menyedekahkan cincinnya ketika ruku, maka turunlah ayat
yang berbunyi, 'Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan
orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat dalam
keadaan ruku.' (QS. Al-Maidah: 55)
Dia juga bersedekah dengan empat dirham, lalu Allah SWT menurunkan
ayat yang berbunyi, 'Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di
siang hari secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat
pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidakpula
mereka bersedih hati.' (QS. Al-Baqarah: 274)
Dialah orang yang menyiram kebun pohon korma dengan tangannya dan
kemudian menyedekahkan uang upah yang diperoleh darinya. Muawiyah bin Abi
Sufyan, yang merupakan musuhnya, manakala Mahjan adh-Dhibbi berkata kepadanya,
'Saya telah datang dari sisi manusia yang paling kikir', mengatakan, 'Celaka
engkau, apa yang engkau katakan? Engkau mengatakan dia manusia yang paling
kikir? Tidak, seandainya dia mempunyai sebuah rumah yang terbuat dari lempengan
emas dan sebuah rumah lagi yang terbuat dari jerami, niscaya terlebih dahulu
dia akan menginfakkan rumahnya yang terbuat dari emas, sebelum rumahnya yang
terbuat dari jerami.'[288]
Dialah yang telah mengatakan, 'Wahai kuning (emas), wahai putih
(perak), bujuklah selain aku. Jauhlah, jauhlah engkau dariku. Sesungguhnya aku
telah memberimu talak tiga, yang tidak ada kemungkinan untuk kembali.'[289]
Dialah yang telah merelakan jiwanya dengan tidur di ranjang
Rasulullah saw pada malam ketika rumah Rasulullah saw dikepung orang-orang
musyrik Quraisy. Hingga Allah SWT menurunkan ayat berkenaan dengannya, Dan di
antara manusia ada orang yang mengorbasnkan dirinya karena mencari keridaan
Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.'" (QS. Al-Baqarah:
207)
Yohanes berkata, "Ketika mendengar perkataan ini, tidak ada seorang
pun dari mereka yang mengingkarinya. Mereka mengatakan, 'Anda benar. Apa yang
Anda katakan ini, kami telah membacanya di dalam kitab-kitab kami, dan kami
telah menukilnya dari imam-imam kami. Akan tetapi, kecintaan Allah dan
Rasul-Nya dan juga perhatian keduanya adalah sesuatu yang ada di belakang semua
ini. Mungkin saja Allah SWT mempunyai perhatian yang lebih besar dibandingkan
perhatian yang diberikan-Nya kepada Ali.'
Yohanes berkata, 'Sesungguhnya kita tidak mengetahui yang ghaib, dan
tidak ada yang mengetahui yang ghaib selain Allah. Apa yang Anda katakan ini
adalah sebuah kebohongan, padahal Allah SWT telah berfirman, 'Terkutuklah
orang-orang yang banyak berdusta.' (QS. adz-Dzariyat: 10) Kita semata-mata
hanya menghukumi berdasarkan bukti-bukti yang menunjukkan kelebih-utamaan Ali,
dan kemudian kita pun mengemukakan bukti-bukti tersebut.
Adapun mengenai perhatian Allah terhadap Ali as, keutamaan-keutamaan
di atas merupakan dalil yang pasti akan besarnya perhatian Allah SWT
terhadapnya. Perhatian mana yang lebih baik dari dijadikannya dia oleh Allah
SWT sebagai manusia yang paling mulia nasabnya setelah Rasulullah, sebagai
manusia yang paling besar kesabarannya, sebagai manusia yang paling berani
hatinya, sebagai manusia yang paling banyak jihadnya, paling banyak
kezuhudannya, paling banyak ibadahnya, paling tinggi kedermawanannya, paling
tinggi kewarakannya, dan sifat-sifat kesempurnaan lainnya yang telah
disebutkan. Ini adalah perhatian dari Allah SWT terhadapnya.
Adapun mengenai kecintaan Allah SWT dan Rasul-Nya kepadanya,
Rasulullah saw telah memberikan kesaksian tentang hal itu pada banyak
kesempatan. Salah satunya adalah apa yang telah dikatakan oleh Rasulullah saw
pada saat perang khaibar, yang tidak ada seorang pun dapat mengingkarinya. Rasulullah
saw berkata, 'Besok, saya akan memberikan panji ini kepada seorang laki-laki
yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan dicintai oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.'[290] Kemudian
Rasulullah saw memberikan panji tersebut kepada Ali.
Seorang ulama Anda yang bernama Akhthab Kharazmi meriwayatkan di
dalam kitabnya yang berjudul al-Manaqib, bahwa Rasulullah saw telah bersabda,
'Ya Ali, sekiranya seorang hamba beribadah kepada Allah SWT sebagaimana yang
telah dilakukan oleh Nuh kepada kaumnya, dan dia mempunyai emas sebanyak gunung
Uhud, lalu diinfakkannya di jalan Allah, serta mempunyai umur yang panjang
sehingga dapat menunaikan ibadah haji sebanyak seribu kali, kemudian dia
terbunuh di antara Shafa dan Marwa secara teraniaya, namun dia tidak menjadikan
kamu sebagai pemimpin, niscaya dia tidak akan bisa mencium baunya surga dan
tidak akan bisa memasukinya.'[291]
Di dalam kitab yang sama juga disebutkan bahwa Rasulullah saw telah
bersabda, 'Sekiranya manusia sepakat di dalam mencintai Ali bin Abi Thalib,
niscaya Allah SWT tidak akan menciptakan neraka.'[292]
Di dalam kitab al-Firdaus disebutkan, 'Kecintaan kepada Ali adalah
kebaikan yang bersamanya tidak ada satu pun keburukan yang dapat mendatangkan
bahaya, dan kebencian kepadanya adalah keburukan yang bersamanya tidak ada satu
pun kebaikan yang dapat mendatangkan manfaat.'[293]
Di dalam kitab Ibnu Khaluyah, dari Hudzaifah bin Yaman yang berkata,
'Rasulullah saw telah bersabda, 'Barangsiapa yang hendak bersedekah dengan batu
cincin yakut yang telah Allah SWT ciptakan dengan tangan-Nya, dan kemudian
Allah SWT katakan kepadanya, 'jadilah', lalu kemudian batu cincin yakut itu pun
jadi, maka hendak-nya dia menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin
sepeninggalku'
Pada Musnad Ahmad bin Hanbal, di dalam jilid pertama disebutkan
bahwa Rasulullah saw memegang tangan Hasan dan Husain seraya berkata,
'Barangsiapa yang mencintaiku dan mencintai kedua anak ini serta mencintai ayah
keduanya, niscaya pada hari kiamat dia akan berada dalam derajatku."'[294]
Yohanes berkata, "Wahai para imam Islam, apakah setelah semua
ini masih terdapat pembicaraan tentang perkataan Allah SWT dan Rasul-Nya yang
berkaitan dengan kecintaan kepadanya dan pelebihannya atas orang-orang yang
tidak memiliki keutamaan-keutamaan ini?'
Para imam tersebut menjawab, "Wahai Yohanes, orang-orang
Rafidhi (Syi'ah) menyangka Rasulullah saw telah mewasiatkan kekhilafahan kepada
Ali as, dan telah menetapkannya baginya. Sedangkan menurut pandangan kami,
Rasulullah saw tidak mewasiatkan kekhilafahan kepada siapa pun."
Yohanes berkata, "Ini kitab Anda, di dalamnya disebutkan, 'Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan kaum
kerabatnya secara makruf.' (QS. al-Baqarah: 180)
Di dalam Kitab Bukhari Anda disebutkan bahwa Rasulullah saw telah
bersabda, Tidaklah seorang Muslim berhak tidur kecuali dia meletakkan wasiatnya
di bawah kepalanya.'[295]
Apakah Anda membenarkan Nabi Anda saw memerintahkan sesuatu yang
tidak dikerjakannya, padahal Kitab suci Anda mengecam keras orang yang
memerintahkan apa yang tidak dilakukannya. Allah SWT berfirman, 'Mengapa kamu
menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan dirimu
sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab? Maka tidakkah kamu berpikir?' (QS.
al-Baqarah: 44)
Demi Allah, jika Nabi Anda meninggal dunia dengan tidak meninggalkan
wasiat, berarti dia telah melanggar perintah Tuhannya, menyalahi ucapannya
sendiri, dan tidak mengikuti jejak nabi-nabi terdahulu yang memberikan wasiat
tentang siapa yang akan meneruskan urusanya sepeninggalnya. Padahal Allah SWT
telah berfirman, 'Maka ikutilah petunjuk mereka.' (QS. al-An'am: 90) Namun,
tentunya Nabi Anda tidak berbuat demikian. Apa yang Anda katakan tidak lain
adalah semata-mata karena kebodohan dan kekeras-kepalaan Anda. Karena, Imam
Ahmad bin Hanbal telah meriwayatkan di dalam kitab Musnadnya, bahwa Salman
telah berkata, 'Ya Rasulullah, siapakah washi Anda?'
Rasulullah saw berkata, 'Wahai Salman, siapa washi saudara saya Musa
as?'
Salman menjawab, 'Yusya' bin Nun.'
Kemudian Rasulullah saw berkata, 'Sesungguhnya washi dan pewarisku
adalah Ali bin Abi Thalib.'
Di dalam kitab Ibnu al-Maghazili asy-Syafi’i, dengan sanad yang
menyambung kepada Rasulullah saw, disebutkan bahwa Rasulullah saw telah bersabda,
'Setiap nabi mempunyai washi dan pewaris. Adapun washi dan pewarisku adalah Ali
bin Abi Thalib.'[296]
Inilah Imam al-Baghawi Muhyis Sunnah ad-Din, salah seorang muhaddis
dan mufassir besar Anda. Dia telah meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya yang
berjudul Ma'alim at-Tanzil, pada penafskan firman Allah SWT yang berbunyi, 'Dan
berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.' (QS. asy-Syu'ara:
214) Dia menyebutkan, 'Dari Ali as yang berkata, 'Ketika ayat ini turun,
Rasulullah saw memerintahkan kepadaku untuk mengumpulkan Bani Abdul Muththalib
baginya, maka aku pun mengumpulkan mereka. Pada saat itu terkumpullah kurang
lebih empat puluh orang dari Bani Abdul Muththalib. Setelah menjamu mereka
dengan hidangan kaki kambing dan susu, Rasulullah saw pun berkata kepada
mereka, 'Wahai putra-putra Abdul Muththalib! Demi Allah, tidak seorang pun
pemuda bangsa Arab yang telah membawa untuk kaumnya sesuatu yang lebih berharga
dan lebih utama dari apa yang aku bawa untuk kamu semua! Aku datang mem-bawa
kebaikan dunia dan akhirat. Dan Allah telah memerintahkan aku menyerukan kepada
kalian agar menerimanya. Maka siapakah di antara kalian yang bersedia
memberikan dukungan bagiku dalam urusan ini; dan sebagai imbalannya, ia akan
menjadi saudaraku yang terdekat, washi (penerima dan pengemban wasiat)ku, serta
menjadi khalifah (pengganti)ku di antara Anda semua?' Tidak ada seorang pun
dari mereka yang menerima tawaran Rasulullah saw.
Ali berkata, 'Lalu aku pun berdiri dan berkata, 'Aku, wahai
Rasulullah, yang akan menjadi pembantumu.'
Kemudian Rasulullah saw berkata kepada Ali, 'lnilah saudaraku,
wasbiku dan khalifahku di antara Anda semua. Dengar lah kata-katanya, dan
taatlah kepadanya.' Maka bangkitlah mereka itu sambil tertawa dan berkata
kepada Abu Thalib, 'Lihatlah, betapa ia telah memerintahkan Anda agar
mendengarkan kata-kata anakmu dan taat kepadanya.'[297]
Riwayat ini juga telah diriwayatkan oleh Imam Anda Ahmad bin Hanbal
di dalam Musnadnya,[298]
oleh Muhammad bin Ishaq ath-Thabari di dalam kitab tarikhnya,[299] dan juga
oleh al-Kharkusyi. Jika riwayat ini dusta, maka berarti Anda telah memberikan
kesaksian bahwa para Imam Anda meriwayatkan riwayat dusta atas Allah dan
Rasul-Nya. Padahal Allah SWT telah berfirman, 'lngatlah, kutukan Allah
(ditirnpakan) atas orang-orang yang zalim.' (QS. Hud: 18) 'Yaitu orang-orang
yang mengada-adakan kebohongan atas Allah.' (QS. Yunus: 69 dan 96)
Allah SWT juga berfirman di dalam Kitab-Nya, 'Dan kita minta supaya
laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang berdusta.' (QS. Ali 'lmran: 61)
Jika para Imam Anda tidak berdusta, dan memang demikian perkaranya,
lantas, apa dosa orang-orang rafidhil Jika demikian, takutlah Anda kepada
Allah, wahai para Imam Islam. Demi Allah, apa yang Anda katakan tentang
peristiwa al-Ghadir yang dikatakan oleh orang Syi'ah
Para Imam tersebut menjawab, "Para ulama kami sepakat bahwa itu
tidak lain hanyalah cerita dusta yang diada-adakan."
Yohanes berkata, "Allah Mahabesar. Ini Imam Anda dan sekaligus
muhaddis Anda, Ahmad bin Hanbal meriwayatkan di dalam Musnadnya bahwa Barra bin
'Azib telah berkata, 'Kami bersama-sama Rasulullah saw di dalam perjalanan
kami. Lalu kami singgah di Ghadir Khum, kemudian salah seorang dari kami
menyeru kami agar menunaikan salat jamaah. Seseorang menyapu untuk Rasulullah
saw yang sedang berteduh di bawah dua pohon. Kemudian Rasulullah saw
mengerjakan salat Zuhur. Selesai salat Rasulullah saw mengangkat tangan Ali as
seraya bersabda, 'Bukankah kamu semua mengetahui bahwa aku lebih utama atas
seluruh orang Mukmin dibandingkan diri mereka sendiri?'
Semua yang hadir menjawab, 'Benar.' Kemudian Rasulullah saw
mengangkat tangan Ali tinggi-tinggi, sehingga tampak putihnya ketiak keduanya,
seraya berkata, 'Barangsiapa yang aku sebagai pemimpinnya, maka inilah
pemimpinnya. Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang
yang memusuhinya, tolonglah orang yang menolongnya dan telantarkanlah orang
yang menelantarkannya.'
Kemudian Umar bin Khattab berkata, 'Selamat bagi Anda, wahai Putra
Abu Thalib. Sekarang, Anda telah menjadi pemimpin setiap Mukmin laki-laki dan
Mukmin perempuan.'
Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkan riwayat ini di dalam Musnadnya
melalui jalan lain, yang bersanad kepada Abu Thufail; dia juga meriwayatkannya
melalui jalan yang ketiga, yang bersanad kepada Zaid bin Arqam.[300] Ibnu 'Abdu
Rabbih juga meriwayatkannya di dalam kitab al- ‘Iqd al-Farid.[301] Sa'id bin Wahab juga meriwayat-kannya.
Begitu juga ats-Tsa'labi di dalam kitab tafsirnya.[302] Ats-Tsa'labi menguatkan riwayat ini dengan
riwayat yang diriwayatkannya berkenaan dengan penafsiran ayat 'Seorang peminta
telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi.' Dia mengatakan bahwa Harits
bin Nu'man al-Fihri mendatangi Rasulullah saw, yang sedang berada di tengah
sahabat-sahabatnya. Harits bin Nu'man al-Fihri berkata, 'Ya Muhammad, engkau
telah menyuruh kami supaya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan
bahwa engkau adalah utusan Allah, dan kami pun menerimanya. Engkau juga
menyuruh kami untuk mengerjakan salat lima waktu, dan kami pun menerimanya.
Kemudian engkau memerintahkan kami untuk berpuasa di bulan Ramadan, dan kami
pun tetap menerimanya. Selanjutnya engkau memerintahkan kami untuk menunaikan
haji, dan kami pun tetap menerimanya. Namun engkau tidak merasa cukup dengan
itu, hingga akhirnya engkau mengangkat kedua lengan anak pamanmu dan
mengutamakannya atas kami sambil berkata, 'Barangsiapa yang aku adalah
pemimpinnya maka inilah Ali pemimpinnya. 'Apakah ini berasal darimu atau dari
Allah?'
Rasulullah saw menjawab, 'Demi Allah, yang tidak ada Tuhan selain
Dia, sesungguhnya ini berasal dari Allah.'
Kemudian Harits bin Nu'man al-Fihri meninggalkan Rasulullah saw
seraya berkata, 'Ya Allah, seandainya apa yang dikatakan oleh Muhammad itu
benar, maka turunkanlah hujan batu dari langit ke atas kami.' Belum sempat
Harits bin Nu'man al-Fihri sampai ke tempat dia menambatkan binatang
tunggangannya, tiba-tiba Allah SWT menu-runkan sebuah batu dari langit yang
tepat mengenai ubun-ubun kepalanya dan menembuh keluar dari duburnya, hingga
dia pun tersungkur dan mati. Kemudian turunlah ayat Al-Qur'an yang berbunyi,
'Seorang peminta telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi.' (QS.
al-Ma'arij: 1)
Bagaimana bisa Anda mengatakan riwayat-riwayat ini dusta dan tidak
sahih sementara para Imam Anda meriwayatkannya?"
Para Imam itu berkata, "Wahai Yohanes! Benar, para Imam kami
telah meriwayatkan itu. Namun, jika Anda kembali kepada akal dan pikiran Anda,
niscaya Anda akan tahu bahwa mustahil Rasulullah saw menetapkan yang demikian
itu atas Ali bin Abi Thalib as, lalu seluruh sahabat bersepakat untuk
menyembunyikan nas ini, dan kemudian mengalihkannya kepada Abu Bakar at-Timi
yang lemah, yang berasal dari klan yang kecil. Padahal, para sahabat, jika
Rasulullah saw memerintahkan mereka untuk membunuh diri mereka sendiri niscaya
mereka akan lakukan. Bagaimana mungkin seorang yang berakal dapat membenarkan
sesuatu yang mustahil ini?"
Yohanes menjawab, "Anda jangan merasa heran dari hal ini. Umat
Nabi Musa as, yang jumlah mereka enam kali lipat lebih banyak dari umat Nabi
Muhammad saw, manakala Nabi Musa as mengangkat saudaranya Harun as sebagai
khalifah (pengganti)nya atas mereka, sementara Harun as itu sendiri adalah Nabi
mereka, dan mereka lebih mencintainya dibandingkan Musa as, mereka berpaling
kepada Samiri dan menyembah patung anak sapi. Oleh karena itu, tidaklah begitu
mengherankan manakala para sahabat berpaling dari washi Rasulullah saw,
sepeninggal beliau, kepada orang tua yang Rasulullah saw telah menikahi
putrinya. Sepertinya, jika Al-Qur'an al-Karim tidak menceritakan kisah
penyembahan patung anak sapi yang dilakukan oleh umat Nabi Musa, Anda tidak
akan membenarkannya."
Para Imam itu berkata, "Wahai Yohanes, Ali tidak menentang
mereka. Bahkan diam dan berbait kepada mereka."
Yohanes menjawab, "Tidak diragukan, bahwa tatkala Rasulullah
saw meninggal dunia jumlah kaum Muslimin sedikit. Di tengah-tengah mereka ada
pendusta yang bernama Musailamah al-Kadzdzab, yang mempunyai pengikut sebanyak
delapan puluh ribu orang. Sementara orang-orang Muslim yang ada di Madinah
dipenuhi oleh orang-orang munafik. Seandainya dia menampakkan perlawanan dengan
pedang, niscaya setiap orang yang anak atau saudaranya pernah dibunuh oleh Ali
bin Abi Thalib di medan perang akan memeranginya. Sementara, hanya sedikit
sekali ketika itu orang yang kabilah, kerabat atau sahabatnya yang tidak pernah
dibunuh oleh Ali bin Abi Thalib di medan perang. Oleh karena itu, Ali bin Abi
Thalib lebih memilih sabar, dan hanya menentang mereka melalui jalan hujjah dan
argumentasi selama enam bulan. Kejadian ini merupakan sesuatu yang tidak
diragukan di kalangan Ahlus Sunnah. Kemudian, salah seorang dari mereka
menuntut baiat darinya. Menurut kalangan Ahlus Sunnah Ali bin Abi Thalib telah
berbaiat, sementara menurut kalangan Rafidhah (Syi'ah) Ali bin Abi Thalib tidak
berbaiat. Sementara Tarikh Thabari[303] mengatakan bahwa Ali tidak
berbaiat; hanya saja Abbas, manakala melihat fitnah ada di depan mata, dia
berteriak, "Anak saudaraku telah memberikan baiat.'
Anda tentu tahu, bahwa seandainya kekhilafahan bukan milik Ali maka
tentu dia tidak akan mengklaimnya. Karena, jika dia mengklaimnya, sementara
kekhalifahan bukan miliknya, maka dia seorang pendusta. Padahal Anda
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw telah bersabda, 'Ali bersama kebenaran, dan
kebenaran bersama Ali.'[304]
Bagaimana mungkin dia mengklaim sesuatu yang bukan merupakan haknya.
Karena Jika demikian berarti Nabi Anda telah berdusta.
Anda merasa heran dengan pembangkangan yang dilakukan oleh Bani
Israil kepada Nabi mereka di dalam masalah khalifah (pengganti)nya, dan
keberpalingan mereka kepada Samiri dan patung anak sapi. Namun —sungguh
merupakan sesuatu yang aneh— pada saat yang sama Anda meriwayatkan bahwa Nabi
Anda bersabda, 'Niscaya kalian akan mengikuti jejak Bani Israil. Bahkan,
seandainya mereka masuk ke lobang biawak, kalian pun akan ikut memasukinya.'[305] Di dalam
Kitab suci Anda disebutkan bahwa Bani Israil membangkang nabi mereka di dalam
masalah khalifahnya, dan mereka malah berpaling kepada sesuatu yang tidak layak
untuknya."
Para ulama itu berkata, "Wahai Yohanes, apakah Anda melihat Abu
Bakar tidak layak untuk jabatan kekhilafahan?"
Yohanes berkata, "Demi Allah, saya tidak melihat Abu Bakar
layak untuk jabatan kekhilafahan, namun saya juga tidak fanatik terhadap
kelompok Rafidhah. Saya membaca kitab-kitab Islam, dan di sana saya melihat
bahwa para Imam Anda memberitahukan kita, sesungguhnya Allah SWT dan Rasul-Nya
memberitahukan bahwa Abu Bakar tidak layak untuk jabatan kekhilafahan."
Para Imam itu bertanya, "Di mana itu?"
Yohanes menjawab, "Saya lihat di dalam kitab Bukhari Anda,[306] di
dalam kitab al-Jam' Baina ash-Shihah as-Sittah, di dalam kitab Sahih Abu Dawud,
Sahih Turmudzi,[307]
dan Musnad Ahmad bin Hanbal disebutkan bahwa Rasulullah saw telah mengutus Abu
Bakar membawa Surat al-Bara'ah ke Mekkah. Ketika Abu Bakar sampai ke Dzil
Khulaifah, Rasulullah saw memanggil Ali dan berkata kepadanya, 'Susul Abu
Bakar, ambil tulisan darinya, dan bacakan kepada mereka.' Maka Ali pun menyusul
Abu Bakar, lalu mengambil tulisan darinya. Kemudian Abu Bakar kembali ke
hadapan Rasulullah saw dan berkata, 'Ya Rasulullah, apakah ada ayat yang turun
berkenaan denganku?'
Rasulullah saw menjawab, Tidak ada. Hanya saja Jibril as datang
kepadaku dan berkata, 'Tidak akan melaksanakan tugas ini kecuali kamu atau
seorang laki-laki dari kamu.'
Jika memang demikian perkaranya, dan jika memang Abu Bakar tidak
layak menunaikan ayat-ayat yang mudah dari Nabi saw semasa beliau hidup, maka
bagaimana mungkin dia layak memangku jabatan kekhilafahan sepeninggal beliau.
Dari sini, kita dapat mengetahui bahwa Ali as layak untuk menunaikan tugas dari
Nabi saw. Wahai kaum Muslimin, kenapa Anda bersikap pura-pura dari kebenaran
yang sedemikian jelas? Dan kenapa Anda condong kepada mereka? Apa yang Anda
takutkan?"
Ulama Hanafi menundukkan kepalanya sejenak, kemudian dia
mengangkatnya kembali seraya berkata, "Wahai Yohanes! Sungguh, Anda
melihat dengan pandangan yang adil, dan sesungguhnya kebenaran persis
sebagaimana yang Anda katakan. Saya ingin lebih menambahkan tentang makna hadis
ini untuk Anda. Yaitu bahwa Allah SWT hendak menjelaskan kepada manusia bahwa
Abu Bakar tidak layak untuk kedudukan kekhilafahan. Oleh karena itu, Rasulullah
saw mengirim Ali di belakangnya, dan memberhentikan Abu Bakar dari kedudukan
yang agung ini, supaya manusia tahu bahwa Abu Bakar tidak layak untuk kedudukan
tersebut, dan bahwa yang layak menduduki kedudukan tersebut adalah Ali as.
Rasulullah saw bersabda, 'Tidak akan menyampaikan tugas ini dari kamu kecuali
kamu atau seorang laki-laki dari kamu.'[308] Bagaimana pendapatmu, wahai Maliki?"
Ulama Maliki itu berkata, "Demi Allah, pikiran saya masih
dibingungkan oleh kenyataan bahwa Ali menentang Abu Bakar di dalam masalah
kekhilafahannya selama enam bulan. Dan, setiap dua orang yang berselisih tentang
suatu perkara, maka mau tidak mau salah seorang dari mereka pasti berada di
pihak yang benar. Jika kita mengatakan Abu Bakar yang benar, berarti kita telah
menyalahi makna ucapan Rasulullah saw yang mengatakan, 'Ali bersama kebenaran,
dan kebenaran bersama Ali.' Ini adalah hadis sahih, yang tidak ada perselisihan
tentangnya." Kemudian dia melihat ke arah ulama Hanbali, untuk mengetahui
pandangannya.
Ulama Hanbali berkata, "Sahabat-sahabatku, betapa banyak kita
telah bersikap pura-pura dari kebenaran? Demi Allah, sesungguhnya saya yakin
bahwa Abu Bakar dan Umar telah merampas hak Ali as."
Yohanes menuturkan, "Di dalam melakukan pembahasan, banyak
sekali pertentangan yang timbul di antara mereka. Namun titik persamaan dari
pembicaraan mereka ialah bahwa kebenaran berada di pihak Rafidhah. Yang paling
dekat dengan kebenaran di antara mereka ialah ulama Syafi’i. Ulama Syafi’i itu
berkata, "Bukankah Anda tahu bahwa Rasulullah saw telah bersabda,
'Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak mengenal imam zamannya, maka dia
mati sebagai orang Yahudi atau sebagai orang Nasrani.'
Apa yang yang dimaksud dengan imam zaman? Dan siapakah dia?"
Mereka menjawab, "Imam zaman kita adalah Al-Qur'an, karena
kepadanyalah kita mengikuti."
Ulama Syafi’i itu berkata, "Anda semua salah. Karena Rasulullah
saw telah bersabda, 'Para Imam itu dari kalangan Quraisy.'[309] Beliau tidak
mengatakan, 'lmam itu adalah Al-Qur'an.'"
Mereka berkata lagi, "Rasulullah saw Imam kita."
Ulama Syafi’i itu menjawab, "Anda semua salah. Kafena, tatkala
para ulama kita dikritik kenapa Abu Bakar dan Umar meninggalkan jenazah
Rasulullah yang masih terbaring belum dimandikan, untuk pergi menuntut jabatan
kekhilafahan, dan ini menunjukkan kerakusan mereka akan jabatan tersebut, serta
menodai keabsahan kekhilafahan mereka berdua, para ulama kita menjawab, bahwa
apa yang mereka berdua lakukan adalah semata-mata kerena melihat sabda
Rasulullah saw yang berbunyi, 'Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak
mengenal siapa Imam zamannya, maka berarti dia mati dengan kematian
jahiliyyah.' Oleh karena itu, mereka berdua pun bersegera pergi untuk
menentukan Imam zamannya, karena takut akan ancaman Rasulullah saw dalam hadis
ini. Dari sini, kita dapat mengetahui bahwa yang dimaksud dengan Imam di sini
bukanlah Rasulullah saw."
Mereka berkata kepada ulama Syafi’i itu, "Anda sendiri, siapa
Imam Anda, wahai Syafi’i?"
Ulama Syafi’i itu menjawab, "Jika saya termasuk kelompok Anda,
maka saya tidak mempunyai Imam; sedangkan jika saya termasuk kelompok (Syi'ah)
Itsna 'Asyariiyah, maka Imam saya adalah Muhammad bin Hasan as."
Para ulama itu berkata, "Demi Allah, ini adalah perkara yang
sulit untuk bisa diterima. Bagaimana mungkin Imam kamu adalah seorang manusia
yang mempunyai umur yang sedemikian panjang, yang tidak ada seorang pun yang
mempunyai umur sepertinya, serta tidak ada seorang pun yang melihatnya? Hal ini
amat sulit untuk bisa diterima?"
Ulama Syafi’i itu berkata, "Dajjal, yang termasuk kelompok
kafir, Anda katakan dia ada dan hidup, dan dia ada sebelum Mahdi dan Samiri.
Demikian juga, Anda tidak mengingkari adanya Iblis. Berkenaan dengan Khidhir
dan Isa, Anda juga mengatakan bahwa keduanya masih hidup. Di kalangan Anda
terdapat riwayat-riwayat yang menunjukkan akan pemanjangan umur bagi kelompok
orang yang bahagia dan kelompok orang yang celaka. Al-Qur'an al-Karim
mengatakan bahwa para pemuda ashabul kahfi telah tidur selama tiga ratus
sembilan tahun dengan tidak makan dan tidak minum. Lantas, apakah mustahil
apabila salah seorang dari keturunan Rasulullah saw hidup dalam masa yang lama
dengan makan dan minum, hanya saja dia tidak memberitahukan kita bahwa
seseorang telah melihatnya? Dengan demikian, penolakan kamu akan hal ini
tidaklah beralasan."
Yohanes berkata, "Sesungguhnya Nabi Anda telah bersabda,
'Sepeninggalku umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan.
Hanya satu golongan yang selamat, sementara tujuh puluh dua lainnya berada di
dalam neraka. Apakah Anda tahu, golongan mana yang selamat itu?"
Mereka menjawab, "Mereka itu adalah kelompok Ahlus Sunnah wal
Jamaah. Karena, tatkala Rasulullah saw ditanya tentang siapakah golongan yang.
selamat itu, Rasulullah saw menjawab, 'Orang-orang yang berpijak pada sunahku
sekarang dan sunah para sahabatku.'"[310]
Yohanes kembali bertanya, "Dari mana Anda tahu bahwa Anda
berpijak pada sunah Rasulullah saw?"
Mereka menjawab, "Ulama-ulama terkemudian menukilkan itu dari
ulama-ulama terdahulu."
Yohanes berkata lagi, "Lantas, siapa yang berpegang kepada
nukilan Anda?"
Dengan heran mereka bertanya, "Memangnya kenapa?"
Yohanes menjawab, "Karena dua hal:
Pertama, sesungguhnya para ulama Anda banyak sekali menukil
hadis-hadis yang menunjukkan kepada keimamahan Ali bin Abi Thalib as dan
kelebih-utamaannya, sementara Anda mengatakan bahwa yang demikian itu dusta,
dan itu berarti Anda memberi kesaksian bahwa para ulama Anda telah menukil
berita dusta. Oleh karena itu, mungkin saja nukilan ini pun dusta."
Kedua, Rasulullah saw salat sebanyak lima kali di mesjid setiap
harinya. Namun, mereka tidak mencatat apakah Rasulullah saw membaca bismillah
di dalam surat al-Fatihah atau tidak? Apakah Rasulullah saw meyakini membaca
bismillah di dalam surat al-Fatihah itu wajib atau tidak? Apakah Rasulullah saw
menurunkan kedua tangannya di dalam salatnya atau tidak? Jika dia menyedekapkan
kedua tangannya, apakah menyedekapkan tangannya di atas pusar atau di bawah
pusar? Apakah di dalam wudu dia mengusap kepalanya sebanyak tiga helai rambut,
seperempat kepala, separuhnya atau seluruhnya. Jika sesuatu yang setiap harinya
dilakukan berulang kali oleh Rasulullah saw saja tidak dicatat oleh kalangan
salaf Anda, maka bagaimana mungkin mereka mencatat sesuatu yang tidak dilakukan
oleh Rasulullah saw kecuali hanya sekali atau dua kali! Bagaimana mungkin
mereka mencatat sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw di dalam
hidupnya kecuali hanya sekali atau dua kali. Ini merupakan sesuatu yang sulit
sekali untuk bisa diterima! Bagaimana bisa Anda mengatakan bahwa Ahlus Sunnahlah
yang berpijak pada sunah Rasulullah saw, padahal sebagian mereka bertentangan
dengan sebagian mereka yang lainnya di dalam masalah keyakinan; sementara
berkumpulnya dua hal yang saling bertentangan (ijtima' an-naqidhain) adalah
sesuatu yang msutahil."
Yohanes menuturkan, "Mereka semua pun terdiam. Kemudian terjadi
pembicaraan di antara mereka, dan keluar suara-suara dengan nada tinggi di
antara mereka. Mereka berkata, 'Yang benar ialah kita tidak mengetahui siapakah
kelompok yang selamat itu. Masing-masing dari kita menyangka bahwa dialah
kelompok yang selamat, dan bahwa orang lain di luar mereka celaka. Padahal,
bisa saja sebenarnya dia yang celaka, dan kelompok lainnya justru yang
selamat."
Yohanes berkata, "Kelompok Rafidhah yang Anda anggap sesat ini,
justru mereka merasa yakin merekalah kelompok yang selamat, dan selain mereka
akan celaka. Mereka berargumentasi atas hal itu dengan mengatakan bahwa
keyakinan mereka lebih menepati kebenaran, dan lebih jauh dari keraguan."
Para ulama itu berkata, "Wahai Yohanes, katakanlah! Demi Allah,
kami tidak akan menuduh Anda. Karena kami tahu bahwa Anda mendebat kami untuk
memunculkan kebenaran."
Yohanes berkata, "Menurut keyakinan Syi'ah bahwa Allah SWT itu
gadim, dan tidak ada yang qadim selainnya. Syi'ah mengatakan Allah SWT itu ada,
bukan jisim, tidak menempati tempat, dan terbebas dari hulul (penitisan ke
dalam makhluk). Sementara keyakinan Anda menetapkan bahwa selain Dia ada
delapan lainnya yang qadim, yaitu sifat-sifat-Nya. Hingga Imam Anda, Fakhrur
Razi mengecam Anda dengan mengatakan, 'Sesungguhnya orang-orang Nasrani dan
orang-orang Yahudi menjadi kafir karena mereka menetapkan dua Tuhan yang qadim
di samping Allah, sementara sahabat-sahabat kita menetapkan sembilan yang
qadim.' Adapun Ibnu Hanbal, salah seorang dari Imam Anda mengatakan,
'Sesungguhnya Allah adalah jisim, dan sesungguhnya Dia bertengger di atas
'arasy, dan turun ke bumi dengan wajah berkepala botak.' Demi Allah, bukankah
demikian yang Anda katakan?"
Mereka menjawab, "Benar."
Yohanes berkata, "Jika demikian, tentunya keyakinan mereka
lebih bagus dari keyakinan Anda. Syi'ah meyakini bahwa Allah SWT tidak
melakukan sesuatu yang buruk, tidak melanggar sesuatu yang wajib, dan tidak ada
kezaliman sedikit pun di dalam perbuatan-Nya. Mereka rida dengan qadha
(ketetapan) Allah, karena Allah SWT tidak menetapkan kecuali kebaikan. Mereka
meyakini bahwa perbuatan Allah SWT mempunyai maksud dan tujuan, serta tidak
sia-sia. Mereka meyakini bahwa Allah SWT tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya. Tidak menyesatkan seorang pun dari hamba-Nya,
tidak menghalangi mereka dari ibadah, menginginkan ketaatan hamba-Nya, dan
melarang mereka dari maksiat. Mereka juga yakin bahwa mereka merdeka di dalam
amal perbauatan mereka. Sementara keyakinan Anda mengatakan bahwa semua
keburukan berasal dari Allah SWT —Mahasuci Allah dari yang demikian itu.
Keyakinan Anda juga mengatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi pada wujud,
yang berupa kekufuran, kefasikan, kemaksiatan, pembunuhan, pencurian dan zina,
semuanya itu diciptakan oleh Allah SWT pada diri pelakunya, dan dikehendaki
oleh-Nya terjadi pada diri mereka. Dia menetapkan qadha(ketetapan) atas mereka,
dan menghilangkan kebebasan dari diri mereka, lalu kemudian mengazab mereka.
Anda tidak rida dengan ketetapan Allah SWT. Dan, bahkan Allah SWT pun tidak
rida dengan ketetapan-Nya. Keyakinan Anda mengatakan Allahlah yang telah
menyesatkan hamba-Nya, menghalangi mereka dari ibadah dan keimanan. Padahal,
Allah SWT berfirman, 'Dan Dia tidak meridai kekafiran bagi hamba-Nya. Jika kamu
bersyukur, niscaya Dia meridai bagimu kesyukuranmu; dan seorang yang berdosa
tidak akan memikul dosa orang lain.' (QS. az-Zumar: 7)
Cobalah berpikir, apakah keyakinan Anda lebih baik dari keyakinan
mereka, atau keyakinan mereka lebih baik dari keyakinan Anda?!
Syiah mengatakan, para nabi terjaga dari dosa (maksum) sejak
permulaan umurnya hingga akhir hidupnya. Baik dari dosa kecil maupun dosa
besar, baik yang berhubungan dengan wahyu maupun yang bukan, baik yang
disengaja maupun yang tidak disengaja. Sementara keyakinan Anda mengatakan,
mereka bisa terkena salah dan lupa. Anda menuduh Rasulullah saw lupa Al-Qur'an.
Anda mengatakan bahwa Rasulullah saw mengerjakan salat Subuh, lalu membaca
surat an-Najm yang berbunyi, 'Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik)
menganggap al-Lata, al-'Uzza dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian
(sebagai anakperempuan Allah)?' (QS. an-Najm: 19 - 20)
Ini adalah kekufuran dan kemusyrikan yang jelas sekali. Bahkan,
sebagian dari ulama Anda telah menulis sebuah kitab yang khusus mencatat
dosa-dosa yang dinisbatkan kepada para nabi as. Kemudian, kalangan Syi'ah
menjawab kitab tersebut dengan menulis sebuah kitab yang mereka beri judul
Tanzih al-Anbiya (membersihkan para nabi).[311] Sekarang, di antara dua keyakinan
ini, mana yang lebih dekat kepada kebenaran dan lebih selamat, menurut Anda?
Keyakinan Syi'ah mengatakan bahwa Rasulullah saw tidak meninggal
dunia kecuali setelah meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan meneruskan
kepemimpinan sepeninggalnya. Dia tidak meninggalkan umatnya dalam keadaan
terlantar dan tidak juga menyalahi firman Allah SWT. Sementara keyakinan Anda
mengatakan, Rasulullah saw meninggalkan umatnya dalam keadaan terlantar, dan
tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan meneruskan kepemimpinan
sepeninggalnya. Padahal, Kitab suci yang turun kepada Anda mengatakan wajibnya
seseorang meninggalkan wasiat. Demikian juga, hadis Nabi Anda menyatakan
wajibnya meninggalkan wasiat. Oleh karena itu, berdasarkan keyakinan Anda ini
berarti Rasulullah saw telah memerintahkan sesuatu yang tidak dikerjakannya.
Mana di antara dua keyakinan ini yang paling layak mendapat keselamatan?
Keyakinan Syi'ah mengatakan bahwa Rasulullah saw tidak meninggalkan
dunia ini kecuali setelah menetapkan kekhilafahan Ali bin Abi Thalib as, dan
tidak meninggalkan umat dalam keadaan terlantar. Rasulullah saw berkata kepada
Ali as pada hadis Yaum ad-Dar, 'Engkau adalah saudaraku, washiku, dan
khalifahku setelahku. Maka dengarlah dan taatilah dia.' Anda semua
menukilkannya, dan demikian juga dengan para Imam Qari, ath-Thabari,
al-Kharkusyi dan Ibnu Ishaq.
Rasulullah saw juga bersabda pada hari Ghadir Khum, 'Barangsiapa
yang aku sebagai pemimpinnya maka inilah Ali pemimpinnya." Hingga Umar
berkata kepada Ali, 'Selamat, selamat bagi kamu, hai Ali. Sekarang, kamu telah
menjadi pemimpin setiap Mukmin laki-laki dan Mukmin perempuan.' Imam Anda Ahmad
bin Hanbal menukilkannya di dalam kitab Musnadnya.[312] Rasulullah saw juga telah berkata kepada
Salman berkenaan dengan Ali, 'Sesungguhnya washiku dan pewarisku adalah Ali bin
Abi Thalib.' Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Anda Ahmad bin Hanbal.[313]
Rasulullah saw juga telah bersabda, 'Sesungguhnya pada malam mikraj
para nabi telah berkata kepadaku, 'Kami diutus untuk menyatakan kenabianmu dan
kewalian Ali bin Abi Thalib.' Anda meriwayatkan hadis ini di dalam kitab
ats-Tsa'labi dan kitab al-Bayan. Rasulullah saw juga bersabda, 'Sesungguhnya
Ali mencintai Allah dan Rasul-Nya.' Hadis ini Anda riwayatkan di dalam kitab
Bukhari dan Muslim.[314]
Rasulullah saw bersabda, 'Tidak ada yang dapat menunaikan tugas ini kecuali
aku atau seorang laki-laki dariku.' Yang Rasulullah saw maksud adalah Ali bin
Abi Thalib. Hadis ini diriwayatkan di dalam kitab al-Jam' Baina ash-Shahihain.
Dalam hadis yang lain Rasulullah saw bersabda, 'Kedudukan engkau di sisiku
tidak ubahnya seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi
sepeninggalku.' Hadis ini diriwayatkan di dalam kitab Sahih Bukhari.[315] Allah SWT
juga telah menurunkan ayat Al-Qur'an berkenaan dengan Ali, 'Bukankah telah
datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan
sesuatu yang disebut.' (QS. ad-Dahr: 1)
Pada kesempatan lain Dia juga menurunkan ayat berkenaan dengan Ali,
'Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang
beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat dalam keadaan ruku.' (QS.
al-Maidah: 55)
Dia adalah pemilik ayat sedekah.[316] Pukulan pedangnya kepada 'Amr bin Abdul
Wudd, lebih utama dari amal perbuatan yang dilakukan umat hingga hari kiamat.[317] Dia adalah
saudara Rasulullah saw, suami dari putrinya, pintu kota ilmu, pemimpin
orang-orang yang bertakwa, pemuka agama, dan pemimpin kelompok al-ghurr
al-muhajjalin.[318] Dia adalah penyelesai kesulitan, dan
pengudar keruwetan. Dia adalah Imam yang berdasarkan nash Ilahi. Kemudian
setelahnya adalah Hasan dan Husain, yang Rasulullah saw telah berkata tentang
keduanya, 'Keduanya ini adalah imam, baik ketika duduk maupun berdiri. Dan
bapak keduanya lebih baik dari keduanya.'[319]
Rasulullah saw bersabda, 'Hasan dan Husain adalah dua penghulu
pemuda ahli surga.'[320]
Kemudian, Ali Zainal Abidin. Kemudian, putra-putranya yang maksum, yang
diakhiri oleh al-Hujjah al-Qa'im al-Mahdi Imam Zaman as, yang mana barangsiapa
yang mati dalam keadaan tidak mengenalnya maka dia mati dalam keadaan
jahiliyyah.'
Anda meriwayatkan di dalam kitab-kitab sahih Anda, dari Jabir bin
Samurah yang berkata, 'Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Sepeninggalku
akan ada dua belas orang amir', kemudian beliau mengatakan sesuatu yang tidak
terdengar oleh saya.'[321]
Di dalam kitab Bukhari Anda[322] disebutkan bahwa Rasulullah saw telah
bersabda, 'Urusan manusia akan tetap berjalan selama pemimpin mereka masih dua
belas orang laki-laki'. Kemudian Rasulullah saw mengatakan sesuatu yang tidak
terdengar oleh saya.
Di dalam Sahih Muslim disebutkan, 'Urusan agama ini akan tetap tegak
berdiri hingga datangnya hari kiamat, dan pada mereka terdapat dua belas orang
khalifah, yang kesemuanya berasal dari Qurasy."[323] Di dalam kitab al-Jam' Baina ash-Shahihain,
dan juga di dalam kitab sahih yang enam (ash-shihah as-sittah) disebutkan bahwa
Rasulullah saw bersabda, 'Sesungguhnya urusan ini tidak akan berlalu sehingga
datangnya dua belas orang kahlifah, yang kesemuanya mereka berasal dari bangsa
Quraisy.'[324]
Seorang ulama Anda, muhaddis Anda dan kepercayaan Anda, penulis
kitab Kifayah ath-Thalib, dari Anas bin Malik yang berkata, 'Saya pernah bersama
Abu Dzar, Salman, Zaid bin Tsabit, dan Zaid bin Arqam berada di sisi Nabi saw.
Pada saat itu masuklah Hasan dan Husain as. Melihat itu Rasulullah saw pun
menciumi keduanya. Setelah itu, Abu Dzar berdiri dan mencium kedua tangan
keduanya, dan kemudian duduk kembali bersama kami.
Secara perlahan-lahan saya bertanya kepada Abu Dzar, 'Wahai Abu
Dzar, Anda adalah seorang orang tua dari kalangan sahabat Rasulullah saw. Anda
berdiri menghampiri kedua anak kecil Bani Hasyim, kemudian sibuk dengan
keduanya dan menciumi kedua tangankeduanya.'
Abu Dzar menjawab, 'Benar. Kalau sekiranya engkau mendengar
sebagaimana yang telah aku dengar tentang keduanya, niscaya engkau akan
melakukan lebih dari apa yang telah aku lakukan.'
Kami bertanya, 'Wahai Abu Dzar, apa yang telah engkau dengar dari
Rasulullah saw tentang keduanya?'
Abu Dzar menjawab, 'Saya telah mendengar Rasulullah saw berkata
kepada Ali dan kepada keduanya, 'Demi Allah, sekkanya seorang hamba mengerjakan
salat dan puasa hingga lusuh, niscaya salat dan puasanya itu tidak akan
memberikan manfaat kepadanya kecuali dengan mencintai engkau dan berlepas diri
dari musuh-musuh engkau.
Ya Ali, Barangsiapa yang bertawassul kepada Allah dengan perantaraan
hakmu, maka Allah SWT berkewajiban untuk tidak menolaknya dengan kegagalan.
Ya Ali, Barangsiapa yang mencintaimu dan berpegang kepadamu, maka
berarti dia telah berpegang kepada tali yang amat kuat.' Anas bin Malik
berkata, 'Kemudian, Abu Dzar pun berdiri dan keluar. Lalu, kami pun maju ke
hadapan Rasulullah dan bertanya, 'Ya Rasulullah saw, Abu Dzar telah
memberitahukan kami begini-begini.'
Rasulullah saw menjawab, 'Sungguh benar apa yang telah dikatakanoleh
AbuDzar.'[325]
Kemudian, Rasulullah saw bersabda, 'Allah SWT telah menciptakanku
dan Ahlul Baitku dari cahaya yang sama, tujuh ribu tahun sebelum Dia
menciptakan Adam. Kemudian, kami dipindahkan dari tulang sulbinya ke dalam
tulang-tulang sulbi yang suci, dan kemudian kepada rahim-rahim yang suci.'
Saya bertanya, 'Ya Rasulullah, ketika itu Anda semua di mana? Dan
dalam bentuk apa Anda semua ketika itu?
Rasulullah saw menjawab, 'Ketika itu kami berupa bayangan dari
cahaya, tergantung di bawah 'arasy, dalam keadaan senantiasa bertasbih dan
mensucikan Allah SWT.'
Kemudian Rasulullah saw meneruskan sabdanya, 'Ketika aku diangkat ke
langit dan sampai ke sidrah al-muntaha, Jibril meninggalkanku.
Lalu aku berteriak, 'Wahai kekasihku, Jibril, engkau meninggalku
pada maqam yang seperti ini?'
Jibril menjawab, 'Wahai Muhammad, aku ddak boleh naik ke tempat ini.
Karena kedua sayapku akan terbakar. Kemudian, aku dilempar dari satu cahaya ke
cahaya yang lain. Masya Allah. Kemudian Allah SWT berkata, 'Ya Muhammad,
sesungguhnya Aku memandang ke bumi sekali pandangan, lalu Aku memilihmu dan
menjadikan kamu sebagai nabi. Kemudian, Aku memandang ke bumi sekali lagi, lalu
Aku memilih Ali dan menjadikannya sebagai washimu, pewaris ilmumu, dan Imam
sepeninggalmu. Lalu, Aku mengeluarkan dari tulang sulbimu keturunan yang suci
dan para Imam yang maskum, yang akan menjadi perbendaharaan ilmu-Ku. Seandainya
bukan karena mereka, niscaya Aku tidak akan menciptakan dunia dan akhirat,
serta surga dan neraka. Maukah kamu melihat mereka?'
Aku katakan, 'Ya, wahai Tuhanku.' Kemudian, datang seruan, 'Hai
Muhammad, angkat kepalamu', maka aku pun mengangkat kepalaku. Tiba-tiba aku
melihat cahaya Ali, Hasan, Husain, Ali bin Husain, Muhammad bin Ali, Ja'far bin
Muhammad, Musa bin Ja'far, Ali bin Musa, Muhammad bin Ali, Ali bin Muhammad,
Hasan bin Ali, dan al-Hujjah bin Hasan, cahayanya berkilau di antara mereka,
seperti bintang yang bersinar —salawat dan salam atas mereka.
Aku berkata, 'Wahai Tuhanku, siapakah mereka?'
Allah SWT menjawab, 'Mereka itu adalah para imam yang suci
sepeninggalmu, yang berasal dari tulang sulbimu. Dan, ini adalah al-Hujjah yang
akan memenuhi bumi dengan kebenaran dan keadilan, setelah sebelumnya dipenuhi
dengan kerusakan dan kezaliman, yang akan menyembuhkan hati orang-orang yang
beriman.'
Lalu, kami pun berkata, 'Ya Rasulullah, demi ayah dan ibu kami,
sungguh engkau telah mengatakan sesuatu yang aneh (mengagumkan).'
Rasulullah saw menjawab, 'Yang lebih aneh dari ini ialah,
sesungguhnya kaum-kaum mendengarkan hal ini dariku, namun kemudian mereka
berbalik ke belakang, setelah Allah SWT memberi petunjuk kepada mereka, dan
mereka menyakitiku berkenaan dengan mereka (para Imam dari kalangan Ahlul
Bait). Sungguh, Allah SWT tidak akan memberikan syafaatku kepada mereka."'[326]
Yohanes berkata, "Keyakinan kamu ialah, bahwa tatkala
Rasulullah saw meninggal dunia dia tidak meninggalkan wasiat, dan tidak
menetapkan siapa penggantinya. Kemudian, Umar bin Khattab memilih Abu Bakar dan
berbaiat kepadanya, yang kemudian diikuti oleh umat. Selanjutnya, Abu Bakar
menamakan dirinya sebagai khalifah (pengganti) Rasulullah saw. Anda tahu bahwa
tatkala Rasulullah saw meninggal dunia, Abu Bakar dan Umar meninggalkan jenazah
Rasulullah yang belum dimandikan dan dikafani. Mereka berdua pergi ke Saifah
Bani Sa'idah, dan berselisih dengan kalangan Anshar mengenai kekhilafahan. Abu
Bakar merebut kekhilafahan sementara jenazah Rasulullah saw masih terbujur.
Tidak ada yang meragukan bahwa Rasulullah saw tidak menunjuk Abu Bakar sebagai
khalifah. Abu Bakar telah menyembah berhala selama empat puluh tahun sebelum
menjadi Muslim. Padahal, Allah SWT telah berfirman, 'Sesungguhnya janjiku tidak
berlaku bagi orang-orang yang zalim.' (QS. al-Baqarah: 124)
Abu Bakar menahan warisan Fatimah yang berasal dari ayahnya. Fatimah
berkata, 'Hai Abu Bakar, engkau mewarisi ayahmu, sementara aku tidak mewarisi
ayahku? Sungguh, engkau telah mengatakan sesuatu yang mengada-ada.' Fatimah
memprotes Abu Bakar dengan firman Allah SWT yang berbunyi,
'Yang akan mewaris aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya'gub.' (QS.
Maryam: 6)
'Dan Sulaiman telah mewarisi Dawud.' (QS. an-Naml: 16)
Allah SWT juga berfirman, 'Allah mensyariatkan bagimu tentang
(pembagianpusaka untuk) anak-anakmu.' (QS. an-Nisa: 11)
Abu Bakar menahan Fatimah untuk mendapatkan tanah fadak, pa-dahal
Fatimah telah mengklaimnya, dan mengatakan bahwa Rasulullah saw telah
menghadiahinya kepada dirinya. Namun, Abu Bakar tidak membenarkan kesaksian
Fatimah mengenainya, padahal Fatimah termasuk ahli surga, dan Allah SWT telah
menghilangkan dosa darinya, yang merupakan sesuatu yang lebih umum dari dusta
dan yang lainnya.
Abu Bakar berkata, Turunkan aku dari kedudukan ini. Sesungguhnya aku
bukanlah yang terbaik selama Ali ada di tengah-tengah kamu.'[327] Jika dia
benar-benar dengan perkataannya ini, maka dia tidak layak mendahului Ali bin
Abi Thalib as. Namun, jika dia dusta maka dia tidak layak untuk menduduki kursi
keimamahan.
Abu Bakar berkata, 'Sesungguhnya aku mempunyai setan yang senantiasa
mengikutiku. Oleh karena itu, jika aku menyimpang maka luruskanlah aku.'[328] Seseorang
yang senantiasa diikuti setan, maka dia tidak layak menduduki kursi
keimamahan!!
Abu Bakar berkata berkenaan dengan Umar, 'Sesungguhnya pembaiatan
Abu Bakar sebuah kekeliruan. Semoga Allah SWT melindungi kaum Muslimin dari
keburukannya. Barangsiapa yang mengulangi sepertinya, maka bunuhlah.'[329] Dari sini,
dapat diketahui bahwa pembaiatannya adalah sesuatu yang salah dan tidak benar,
dan orang yang melakukan hal yang sama wajib diperangi.
Abu Bakar tertinggal dari pasukan Usamah, dan Rasulullah saw telah
mengangkat Usamah sebagai komandan Abu Bakar. Namun, Rasulullah saw tidak
pernah sekali pun mengangkat seseorang sebagai pemimpin atau komandan Ali.[330]
Rasulullah saw belum pernah sekali pun mengangkat Abu Bakar sebagai
pemimpin, kecuali di dalam membawa surat al-Bara'ah. Namun, tatkala Abu Bakar
keluar membawa surat al-Bara'ah, Allah SWT memerintahkan Rasulullah saw untuk
memberhentikannya dari tugas ini, dan memberikannya kepada Ali.[331]
Abu Bakar tidak mengetahui hukum syariat, hingga dia memotong tangan
kiri seorang pencuri dan membakarnya secara sekonyong-konyong.[332] Padahal
Rasulullah saw telah bersabda, 'Tidak menyiksa dengan api kecuali Tuhan pemilik
api.'[333]
Ketika Abu Bakar ditanya tentang orang yang tidak punya anak dan
ayah (kalalah), dia tidak mengetahui apa yang harus dia katakan, lalu dia pun
berkata, 'Aku akan menjawab dengan pikiranku. Jika benar maka itu dari Allah,
namun jika salah maka itu dari setan.'
Seorang nenek bertanya kepadanya tentang warisan yang diterimanya.
Abu Bakar menjawab, 'Saya tidak menemukan apa pun tentang Anda, baik di dalam
Al-Qur'an maupun di dalam sunah Muhammad. Kembalilah, hingga aku bertanya.'
Maka Mughirah bin Syu'bah pun memberitahunya bahwa Rasulullah saw memberi
seperenam bagi bagian nenek. Abu Bakar sering meminta fatwa kepada para sahabat
di dalam masalah hukum.
Abu Bakar tidak mengecam Khalid bin Walid di dalam membunuh Malik
bin Nuwairah, dan di dalam menikahi istrinya di malam terbunuh suaminya dengan
tanpa menanti iddah.
Abu Bakar mengutus sekelompok orang ke rumah Amirul Mukminin as,
manakala Amirul Mukminin as menolak untuk berbaiat. Dia mengancam untuk
membakar rumah,[334]
sementara di dalam rumah terdapat Fatimah as dan sekelompok orang dari Bani
Hasyim dan lainnya. Oleh karena itu, mereka mengecam keras perbuatannya.
Ketika Abu Bakar naik ke mimbar, datang Hasan dan Husain beserta
sekelompok orang dari kalangan Bani Hasyim dan lainnya. Mereka mengecamnya,
lalu Hasan Hasan dan Husain berkata kepadanya, 'lni maqam kakekku. Kamu tidak
layak untuknya.'[335]
Ketika hampir meninggal dunia, Abu Bakar berkata, 'Oh, seandainya
aku meninggalkan rumah Fatimah dan tidak membukanya paksa. Oh, seandainya dahulu
aku menanyakan Rasulullah saw, apakah kalangan Anshar mempunyai hak dalam
urusan ini?'
Di dalam kitab-kitab Anda disebutkan bahwa Abu Bakar menyalahi
Rasulullah saw di dalam mengangkat pengganti. Karena dia telah mengangkat Umar
sebagai penggantinya. Juga disebutkan bahwa Rasulullah saw belum pernah sekali
pun mengangkatnya sebagai pemimpin, kecuali dalam perang Khaibar, itu pun dia
kembali dengan gagal. Rasulullah saw mengangkatnya sebagai petugas pengumpul
zakat, namun Abbas memprotesnya, maka Rasulullah saw pun memberhentikannya.
Para sahabat mengecam Abu Bakar di dalam mengangkat Umar sebagai penggantinya.
Bahkan Thalhah sampai berkata, 'Anda telah mengangkat Umar, seorang laki-laki
yang bersikap kasar dan berhati keras.'
Adapun Umar, orang-orang membawa seorang wanita yang telah berzina
yang sedang hamil ke hadapannya, dengan serta merta dia memerintahkan supaya
wanita itu dirajam. Ali berkata kepadanya, 'Jika Anda mempunyai alasan untuk
merajam wanita tersebut, namun Anda tidak mempunyai alasan untuk merajam bayi
yang sedang dikandungnya.' Mendengar itu Umar pun mengurungkan niatnya, lalu
berkata, 'Seandainya tidak ada Ali maka celaka lah Umar.'[336]
Umar meragukan kematian Rasulullah saw seraya berkata, 'Muhammad
tidak mati dan tidak akan mati'. Akhirnya, Abu Bakar membacakan ayat,
'Sesungguhnya kamu akan mati, dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).' (QS.
az-Zumar: 3) Setelah itu baru kemu-dian Umar mengatakan, 'Anda benar.' Umar
berkata lagi, 'Sepertinya saya belum pernah mendengar ayat ini.'[337]
Orang-orang membawa seorang wanita gila yang telah berzina ke
hadapan Umar. Umar memerintahkan supaya wanita gila itu dirajam.
Namun, Ali berkata, 'Pena terangkat dari orang yang gila hingga dia
sadar' Mendengar itu Umar pun mengurungkan niatnya, lalu berkata, 'Seandainya
tidak ada Ali maka celaka lah Umar.'[338]
Di dalam khutbahnya Umar berkata, 'Barangsiapa yang meninggikan
mahar wanitanya, aku akan masukkan maharnya ke dalam baitul mal. Seorang wanita
protes kepadanya, 'Anda mencegah kami dari apa yang telah Allah SWT halalkan
bagi kami. Padahal Allah SWT telah berfirman,
'Dan jika kamu ingin mengganti istrirnu dengan istri yang lain, sedang
kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka
janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun. Apakah kamu
akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan
(menanggung) dosa yang nyata?'
Maka, orang-orang pun berkata, 'Seluruh manusia lebih fakih dari
Umar. Bahkan orang-orang yang terbaring di dalam rumah-rumah sekali pun.'[339]
Dia memberikan kepada Hafshah dan Aisyah, masing-masingnya sebanyak
dua ratus ribu dirham. Dia mengambil uang dari baitul mal sebanyak dua ratus
dirham, lalu kaum Muslimin mengecamnya, kemudian dia berkata, 'Saya
mengambilnya sebagai hutang.'[340]
Dia mencegah Hasan dan Husain untuk bisa menerima warisan dari
Rasulullah saw, dan mencegah keduanya untuk memperoleh khumus.[341]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar