Diskusi Tentang Tauhid Rububiyyah
Untuk menjelaskan
kesalahan yang dilakukan secara sengaja oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, dan
juga menjelaskan kekeliruan yang menimpa banyak para pengikutnya, yang atas
dasar itu kemudian mereka mengkafirkan mayoritas kaum Muslimin hingga jaman
kita sekarang ini, mau tidak mau kita harus meletakkan pemikiran-pemikirannya
di atas meja pembahasan dan pengkajian.
Kita mulai dengan
pembahasan tauhid rububiyyah. Menjelaskan kata ar-rabb dengan arti pencipta,
sangat jauh dari apa yang dimaksud oleh Al-Qur'an. Arti kata ar-rabb di dalam
bahasa dan di dalam Al-Qur'an al-Karim tidak keluar dari arti "orang yang
memiliki urusan pengelolaan dan pengaturan". Makna umum ini sejalan dengan
ber-bagai macam ekstensi (mishdaq)-nya, seperti pendidikan, perbaikan,
kekuasaan, dan kepemilikan. Akan tetapi, kita tidak bisa menerapkan kata
ar-rabb kepada arti penciptaan, sebagaimana yang dikatakan oleh kelompok
Wahabi. Untuk membuktikan secara jelas kesalahan ini, marilah kita merenungkan
ayat-ayat berikut ini, supaya kita dapat menyingkap arti kata ar-rabb yang
terdapat di dalam Al-Qur'an,
Allah SWT berfirman,
"Wahai manusia, sembahlah Rabb-mu yang telah menciptakanmu." (QS.
al-Baqarah: 21)
Allah SWT juga
berfirman, "Sebenarnya Rabb kamu ialah Rabb langit dan bumi yang telah
menciptakannya. " (QS. al-Anbiya: 56)
Jika kata ar-rabb
berarti pencipta maka di sana tidak diperlukan penyebutan kata "yang telah
menciptakanmu" atau kata "yang telah menciptakannya". Karena
jika tidak, maka berarti terjadi pengulangan kata yang tidak perlu. Jika kita
meletakkan kata al-khaliq (pencipta) sebagai ganti kata ar-rabb pada kedua ayat
di atas, maka tidak lagi diperlukan penyebutan kata "yang telah
menciptakanmu" dan kata "yang telah menciptakannya". Sebaliknya,
jika kita mengatakan bahwa arti kata ar-rabb adalah pengatur atau pengelola,
maka di sana tetap diperlukan penyebutan kata "yang telah
menciptakanmu" dan kata "yang telah menciptakannya". Sehingga
dengan demikian, makna ayat yang pertama ialah "sesungguhnya Zat yang
telah menciptakan-mu adalah pengatur urusanmu", sementara pada ayat yang
kedua ialah "sesungguhnya pencipta langit dan bumi adalah penguasa dan
pengatur keduanya." Adapun bukti-bukti yang menunjukkan kepada makna ini
banyak sekali, namun kita tidak mempunyai cukup waktu untuk menjelaskannya
secara rinci.
Oleh karena itu, perkataannya
yang berbunyi "Adapun tentang tauhid rububiyyah, baik Muslim maupin kafir
mengakuinya" adalah perkataan yang tanpa dasar, dan jelas-jelas ditentang
oleh nas-nas Al-Qur'an. Allah SWT berfirman, "Apakah aku akan mencari Rabb
selain Allah, padahal Dia adalah Rabb bagi segala sesuatu." (QS. al-An'am:
164)
Ini merupakan
perkataan Allah kepada Rasul-Nya, supaya dia menyampaikannya kepada kaumnya.
Yaitu artinya, "Apakah engkau memerintahkan aku untuk mengambil Rabb
(Tuhan) yang aku akui pengelolaan dan pengaturannya selain Allah, yang tidak
ada pengatur selain-Nya; sebagaimana engkau mengambil berhala-berhalamu dan
mengakui pengelolaan dan pengaturannya.
Jika orang-orang kafir
mengakui bahwa pengelolaan dan pengaturan hanya semata-mata milik Allah,
sebagaimana dikatakan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, maka ayat ini tidak
mempunyai arti sama sekali, sehingga hanya menjadi sesuatu yang sia-sia,
na'udzu billah. Karena setiap manusia —berdasakan sangkaan Muhammad bin Abdul
Wahhab— baik Muslim maupun kafir, semuanya mentauhidkan Allah di dalam
rububiyyah-Nya, maka tentu mereka tidak memerintahkan untuk mengambil Rabb
selain Allah. Juga terdapat ayat yang seperti ini yang berkenaan dengan seorang
yang beriman dari kalangan keluarga Fir'aun. Allah SWT berfirman, "Apakah
kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia mengatakan, 'Rabbku ialah
Allah', padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan
dari Tuhanmu. " (QS. al-Mukmin: 28)
Demikian juga,
berpuluh-puluh ayat lainnya menguatkan bahwa kata ar-rabb bukanlah berarti
pencipta, melainkan pengatur, yang di tangannya terletak pengaturan segala
sesuatu. Kata ar-rabb dengan arti ini (yaitu pencipta), sebagaimana ditekankan
oleh ayat-ayat Al-Qur'an, tidak menjadi kesepakatan di antara anggota manusia.
Dan tidaklah Muhammad bin Abdul Wahhab itu melainkan murid dan pengikut Ibnu
Taimiyyah. Dia telah menukil pemikiran ini dari Ibnu Taimiyyah dengan tanpa
melalui proses pangkajian, sehingga bahaya yang ditimbulkannya atas kaum
Muslimin jauh lebih besar. Ibnu Taimiyyah tidak mengeluarkan pemikiran ini dari
kerangka ilmiah. Berbeda dengan Muhammad bin Abdul Wahhab, yang ditunjang oleh
keadaan sehingga bisa melaksanakan pemikiran ini pada tataran praktis dan
menerapkannya pada kaum Muslimin. Maka hasil dari semua ini ialah, mereka
mengkafirkan kelompok lain selain Wahabi. Supaya lebih jelas, kita akan
mengkaji pandangannya mengenai seputar tauhid uluhiyyah.
Diskusi Tentang Tauhid Uluhiyyah.
Yang dimaksud dengan
tauhid uluhiyyah oleh kalangan Wahabi ialah bahwa ibadah semata-mata hanya
untuk Allah SWT, dan seseorang tidak boleh menyekutukan-Nya dengan yang lainnya
di dalam beribadah kepada-Nya. Inilah tauhid yang menjadi tujuan diutusnya para
nabi dan para rasul.
Tidak ada keraguan
sedikit pun tentang pemahaman ini. Namun, di sana terdapat kekaburan mengenai
istilah. Karena, di dalam Al-Qur'an, Allah SWT bukanlah berarti al-ma'bud (yang
disembah). Kita dapat menamakan tauhid ini dengan tauhid ibadah. Namun demikian
tidak ada masalah dengan istilah jika kita telah sepakat mengenai pemahaman.
Kaum Muslimin sepakat
akan wajibnya menjauhkan diri dari ber-ibadah kepada selain Allah SWT, dan
hanya semata-mata beribadah kepada-Nya. Namun yang menjadi perselisihan ialah
mengenai batasan pengertian ibadah. Dan, ini merupakan sesuatu yang paling
penting di dalam bab ini. Karena, inilah yang menjadi tempat tergelincirnya
kaki kalangan Wahabi. Jika kita mengatakan bahwa tauhid yang murni ialah kita
mempersembahkan ibadah semata-mata kepada Allah SWT, maka yang demikian tidak
akan ada artinya jika kita tidak mendefenisikan terlebih dahulu pengertian
ibadah, sehingga kita mengetahui batasan-batasannya, yang tentunya akan menjadi
tolak ukur yang tetap bagi kita untuk membedakan seorang muwahhid dari seorang
musyrik. Sebagai contoh, orang yang bertawassul kepada para wali, menziarahi
kuburan mereka, dan mengagungkan mereka, apakah termasuk seorang musyrik atau
seorang muwahhid? Sebelum kita menjawab, kita harus terlebih dahulu mempunyai
ukuran yang dengannya kita dapat menyingkap ekstensi-ekstensi ibadah pada
kenyataan di luar.
Diskusi Wahabi Tentang Pengertian Ibadah
Kalangan Wahabi
menganggap, bahwa seluruh ketundukan, pe-rendahan diri dan penghormatan adalah
ibadah.
Maka, setiap orang
yang tunduk atau merendahkan diri kepada sesuatu, dia dianggap sebagai hamba
sesuatu tersebut. Barangsiapa yang tunduk dan merendahkan diri kepada salah
seorang nabi Allah atau kepada salah seorang wali Allah, dengan bentuk
ketundukan yang bagaimana pun, maka dia telah menyembahnya, dan dengan begitu
berarti dia telah menyekutukan Allah. Seorang yang menempuh perjalanan yang
jauh dengan tujuan untuk menziarahi Rasulullah saw, sehingga dapat mencium dan
menyentuh makamnya yang suci, dengan tujuan bertabarruk, maka dia terhitung
sebagai orang kafir dan orang musyrik. Demikian juga halnya dengan orang yang
mendirikan bangunan di atas kuburan, untuk menghormati dan mengagungkan orang
yang dikubur di dalamnya
Muhammad bin Abdul
Wahhab berkata pada salah satu risalahnya, "... Barangsiapa yang
menginginkan sesuatu dari kuburan, pohon, bintang, para malaikat atau para
rasul, dengan tujuan untuk memperoleh manfaat atau menghilangkan bahaya, maka
dia telah menjadikannya sebagai Tuhan selain Allah. Berarti dia telah berdusta
dengan ucapannya yang berbunyi 'tidak ada Tuhan selain Allah'. Dia harus
diminta bertaubat. Jika dia bertaubat, dia dibebaskan; namun jika tidak, maka
dia harus dibunuh. Jika orang musyrik ini berkata, 'Saya tidak bermaksud
darinya kecuali hanya untuk bertabarruk, dan saya tahu bahwa Allahlah yang
memberikan manfaat dan mendatangkan madharat.' Katakanlah kepadanya,
'Sesungguhnya Bani Israil pun tidak menghendaki kecuali apa yang kamu
kehendaki. Sebagaimana yang telah Allah SWT beritakan tentang mereka. Yaitu
manakala mereka telah berhasil menyeberangi laut, mereka mendatangi sebuah kaum
yang tengah menyembah berhala mereka. Kemudian Bani Israil berkata, 'Hai Musa,
buatkanlah untuk kami seorang Tuhan sebagai-mana Tuhan-Tuhan yang mereka
miliki', lantas Musa berkata, 'Sesungguhnya kamu adalah kaum yang bodoh."'[392]
Muhammad bin Abdul
Wahhab juga berkata di dalam risalahnya yang lain, "Barangsiapa yang
bertabarruk kepada batu atau kayu, atau menyentuh kuburan atau kubah, dengan
tujuan untuk bertabarruk kepada mereka, maka berarti dia telah menjadikan
mereka sebagai Tuhan-Tuhan yang lain."[393]
Selanjutnya, cobalah
perhatikan seorang Wahabi yang bernama Muhammad Sulthan al-Ma'shumi, bagaimana
dia menggambarkan orang-orang Muslim yang mengesakan Allah, yang menziarahi
kuburan Rasulullah saw, bertabarruk kepadanya, dan mengatakan "Saya
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad
adalah hamba dan Rasul-Nya" sebagai berikut, "Pada kunjungan saya
yang keempat ke kota Madinah, saya menyaksikan di Mesjid Nabawi di sisi kuburan
Rasulullah saw yang mulia, banyak sekali terdapat hal-hal yang bertentangan
dengan iman, hal-hal yang menghancurkan Islam dan hal-hal yang membatalkan
ibadah, yaitu berupa kemusyrikan-kemusyrikan yang muncul disebabkan sikap
berlebihan, kebodohan, taklid buta dan ta'assub yang batil. Sebagian besar yang
melakukan kemunkaran-kemunkaran ini adalah orang-orang asing yang berasal dari
berbagai penjuru dunia, yang mereka tidak memiliki pengetahuan tentang hakikat
agama. Mereka telah menjadikan kuburan Rasulullah saw sebagai berhala,
disebabkan cinta yang berlebihan, sementara mereka tidak merasa."[394]
Supaya kebodohan yang
telah dilakukan oleh kelompok Wahabi menjadi jelas bagi kita, mau tidak mau
kita harus mematahkan dan membatalkan kaidah yang mereka jadikan sebagai ukuran
di dalam menentukan dan menetapkan ibadah, yaitu ketundukkan, perendahan diri
dan penghormatan.
Baik menurut syariat maupun
akal, kita tidak dapat meletakkan secara keseluruhan kata khudhu' (ketundukkan)
dan tadzallul (perendahan diri) sebagai ibadah. Kita melihat banyak sekali
perbuatan yang dilakukan oleh manusia di dalam kehidupan sehari-harinya ynag
disertai dengan ketundukkan dan perendahan diri. Sebagai contoh —misalnya—
ketundukkan seorang murid kepada gurunya dan begitu juga ketundukkan seorang
prajurit di hadapan komandannya. Tidak mungkin ada seorang manusia yang berani
mengatakan perbuatan yang mereka lakukan itu ibadah. Allah SWT telah
memerintahkan kita untuk menampakkan ketundukkan dan perendahan diri kepada
kedua orang tua. Allah SWT berfirman, "Dan turunkanlah sayapmu
(rendahkanlah dirimu) di hadapan mereka berdua dengan penuh kasih sayang."
Kata "penurunan sayap" di sini adalah merupakan kiasan dari
ketundukkan yang sangat. Kita tidak mungkin menyebut perbuatan ini sebagai
ibadah. Bahkan, slogan seorang Muslim ialah "tunduk dan merendahkan diri
di hadapan seorang Mukmin, serta congkak dan meninggikan diri di hadapan orang
kafir". Allah SWT berfirman, "Maka kelak Allah akan mendatangkan
suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang
bersikap lemah lembut terhadap orang yang Mukmin, dan bersikap keras terhadap
orang-orang kafir. "
Jika perendahan diri
dikatakan sebagai ibadah, berarti Allah telah memerintahkan orang-orang Mukmin
untuk beribadah kepada satu sama lainnya. Jelas, ini sesuatu yang mustahil.
Banyak sekali terdapat
ayat yang dengan jelas berbicara tentang hal ini, dan menafikan sama sekali
klaim yang dikatakan oleh orang-orang Wahabi. Di antaranya ialah, ayat yang
menceritakan sujudnya para malaikat kepada Adam. Sujud adalah merupakan
peringkat tertinggi dari khudhu' (ketundukkan) dan tadzallul (perendahan diri).
Allah SWT berfirman,
"Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para malaikat, 'Sujudlahkamu
kepada Adam.'" (QS. al-Baqarah: 34)
Jika sujud kepada
selain Allah SWT dan penampakkan puncak ketundukkan dan perendahan diri itu
disebut ibadah, sebagaimana yang dikatakan oleh kalangan Wahabi, maka tentu
para malaikat — na'udzu billah— telah musyrik dan telah kafir. Tidakkah mereka
mentadabburi Al-Qur'an? Atau, apakah pada hati mereka terdapat kunci yang
menutup?
Dari ayat ini kita
dapat mengetahui bahwa puncak dari ketundukkan bukanlah ibadah. Di samping itu,
tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa kata "sujud" di dalam
ayat ini bukanlah berarti makna hakiki, atau yang dimaksud dengan sujud kepada
Adam ialah menjadikannya sebagai kiblat —sebagaimana kaum Muslimin menjadikan
Ka'bah sebagai kiblat mereka. Kedua kemungkinan ini adalah kemungkinan yang
batil. Karena, pengertian sujud yang tampak dari ayat ini ialah bentuk sujud
sebagaimana yang sudah banyak diketahui, serta tidak bisa dipalingkan kepada
makna yang lain. Adapun mengartikannya dengan mengatakan menjadikan Adam
sebagai kiblat adalah merupakan sebuah takwil yang tanpa dasar. Karena,
sekiranya arti sujud kepada Adam adalah berarti menjadikan Adam sebagai kiblat,
maka tidak ada alasan bagi Iblis untuk mengajukan protes. Disebabkan sujud
tidak ditujukan kepada Adam dalam arti yang sesungguhnya. Al-Qur'an al-Karim
telah mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan kemungkinan di atas. Yaitu
melalui perkataan Iblis yang berbunyi, "Apakah aku akan sujud kepada orang
yang Engkau ciptakan dari tanah?" (QS. al-Isra: 61)
Yang Iblis pahami dari
perintah Allah SWT ialah sujud kepada diri Adam itu sendiri. Oleh karena itu,
dia protes dengan mengatakan, "Saya lebih baik darinya." Dengan kata
lain dia mengatakan, "Saya lebih utama darinya. Bagaimana mungkin seorang
yang lebih utama harus sujud kepada orang yang tidak lebih utama." Jika
yang dimaksud dengan sujud di sini ialah menjadikan Adam sebagai kiblat, maka
tidaklah harus berarti bahwa kiblat lebih utama dari orang yang sujud. Dengan
begitu, berarti Adam tidak mempunyai keutamaan atas mereka. Ini jelas
bertentangan dengan zahir ayat. Perkataan Iblis menguatkan pengertian ini.
Iblis berkata, "Iblis berkata, 'Apakah aku akan sujud kepada orang yang
Engkau ciptakan dari tanah?' Iblis berkata, 'Terangkanlah kepadaku inikah
orangnya yang Engkau muliakan atas diriku? Sesungguhnya jika Engkau memberi
tangguh kepadaku sampai hari kiamat, niscaya benar-benar akan aku sesatkan
keturunannya, kecuali sebagian kecil'" (QS. al-Isra: 61 - 62)
Keengganan Iblis untuk
sujud kepada Adam adalah dikarenakan pada sujud tersebut terdapat kedudukan dan
keutamaan yang besar bagi Adam. Pada suatu hari seorang Wahabi —yaitu pemimpin
jamaah Ansharus Sunnah di kota Barbar, kawasan utara Sudan— pernah memprotes
saya berkenaan dengan pembahasan ini. Dia mengatakan, "Sesungguhnya
sujudnya malaikat kepada Adam adalah dikarenakan perintah Allah SWT." Dia
menyangka dengan perkataannya itu dapat membungkam saya dan menghancurkan
argumentasi saya. Saya katakan kepadanya, "Jika demikian, berarti Anda
tetap bersikeras bahwa perbuatan ini —yaitu sujud— termasuk kategori syirik,
namun Allah SWTmemerintahkannya."
Dia menjawab,
"Ya."
Saya bertanya
kepadanya, "Apakah perintah Ilahi ini telah menge-luarkan sujudnya
malaikat kepada Adam dari katagori syirik?"
Dia menjawab,
"Ya."
Saya berkata,
"Ini perkataan yang tidak berdasar, yang tidak akan diterima oleh orang
yang bodoh sekali pun, apalagi oleh orang yang berilmu. Karena, perintah Ilahi
tidak dapat mengubah esensi sesuatu. Sebagai contoh, esensi dari celaan dan
caci maki ialah penghinaan. Jika Allah SWT memerintahkan kita untuk mencaci
Fir'aun, lantas apakah perintah Ilahi ini dapat mengubah esensi celaan,
sehingga dengan demikian celaan kita menjadi pujian dan penghormatan bagi
Fir'aun?
Demikian juga,
seandainya Allah SWT melarang kita untuk menjamu seorang tamu tertentu, maka
pelarangan ini tidak merubah esensi penjamuan, yaitu berupa penghormatan dan
pemuliaan, sehingga —misalnya— penjamuan itu menjadi penghinaan bagi tamu, dan
demikian juga sujud yang dikarenakan perintah Allah berubah menjadi tauhid yang
murni. Tidak, yang demikian ini mustahil. Dengan perkataan ini berarti Anda
telah menuduh para malaikat telah berbuat syirik."
Mulailah tampak
keheranan di wajahnya. Dia diam dan tidak bicara.
Saya memutus diamnya
dengan mengatakan, "Di hadapan Anda ada dua kemungkinan. Yaitu apakah
sujud ini keluar dari katagori ibadah, dan ini adalah apa yang kami katakan.
Atau, apakah sujud ini merupakan salah satu bentuk ibadah yang paling jelas,
sehingga dengan demikian berarti malaikat yang sujud telah berbuat syirik,
namun perbuatan syirik yang telah diizinkan dan diperintahkan oleh Allah SWT.
Perkataan kedua ini adalah perkataan yang tidak mungkin dikatakan oleh seorang
Muslirayang berakal, dan jelas-jelas tertolak berdasarkan firman Allah SWT yang
berbunyi, "Katakanlah, 'Sesungguhnya Allah tidak menyuruh mengerjakan
perbuatan yang keji.' Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak
kamu ketahui?'" (QS. al-A'raf: 28)
Sekiranya sujud itu
ibadah dan perbuatan syirik, tentu Allah SWT tidak akan menyuruhnya.
Al-Qur'an al-Karim
juga telah memberitahukan kita akan sujudnya saudara-saudara Yusuf dan juga
ayahnya kepada dirinya. Sujud yang mereka lakukan ini bukan dikarenakan
perintah Allah, namun demikian Allah SWT tidak menyebutnya sebagai perbuatan
syirik, dan tidak menuduh saudara-saudara Yusuf dan juga ayahnya telah
melakukan perbuatan syirik. Allah SWT berfirman, "Dan dia menaikan kedua
ibu bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya
sujud kepada Yusuf. Dan Yusuf berkata, 'Wahai ayahku, inilah tabir mimpiku yang
dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan.'"
(QS. Yusuf: 100)
Mimpi yang dikatakan
Yusuf itu terdapat di dalam surat Yusuf, ayat 4, "Ingatlah ketika
Yusufberkata kepada ayahnya, 'Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat
sebelas buah bintang, matahari dan bulan; aku lihat semuanya sujud kepadaku.''
Allah SWT telah
menyebut peristiwa sujudnya mereka kepada Yusuf pada dua tempat. Dengan
demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa semata-mata sujud, yaitu perbuatan
yang menampakkan ketundukkan, perendahan diri dan pengagungan, bukanlah ibadah.
Atas dasar ini, kita
tidak dapat menamakan seorang Muslim muwahhid yang tunduk dan merendahkan diri
di hadapan makam Rasulullah, makam para imam dan makam para wali, sebagai orang
musyrik yang menyembah kuburan. Karena, ketundukkan bukanlah berarti ibadah.
Jika perbuatan yang semacam ini dikatagorikan sebagai perbuatan ibadah kepada
kuburan, maka amal perbuatan kaum Muslimin pada ibadah haji, seperti tawaf
mengelilingi Ka'bah, melakukan sa'i di antara shafa dan marwah, dan juga
mencium batu hajar aswad, tentu juga termasuk ibadah. Karena dilihat dari
bentuk zahir, perbuatan-perbuatan ini tidak berbeda dengan perbuatan
mengelilingi kuburan Rasulullah saw, menciumi atau menyentuhnya. Di samping
itu, kita mendapati Allah SWT berfirman, "Dan hendaklah mereka melakukan
tawaf mengelilingi rumah yang tua itu (Baitullah)." (QS. al-Hajj: 29)
Allah SWT juga
berfirman, "Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar
Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber'umrah, maka
tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i di antara keduanya. " (QS.
al-Baqarah: 158)
Apakah Anda memandang
bahwa bertawaf mengelilingi batu dan tanah (Ka'bah) merupakan ibadah kepadanya?
Seandainya secara umum
ketundukkan dikatakan sebagai ibadah, tentu perbuatan-perbuatan ini pun
dikatagorikan sebagai ibadah, dan tidak bisa dirubah esensinya melalui perintah
Allah. Karena sebagaimana telah kita jelaskan bahwa perintah Allah tidak dapat
mengubah esensi suatu perbuatan. Namun yang menjadi masalah bagi kalangan
Wahabi ialah mereka tidak mengetahui defmisi ibadah, dan tidak memahami jiwa
dan hakikatnya, sehingga mereka hanya berurusan dengan bentuk lahir saja.
ketika mereka melihat seorang peziarah kuburan Rasulullah saw menciumi makam
Rasulullah saw, maka dengan serta merta terbayang di dalam benak mereka seorang
musyrik yang menciumi berhalanya, lalu dengan segera mereka menyamakan
perbuatan seorang Muslim muwahhid yang menciumi kuburan Rasulullah saw dengan
perbuatan seorang musyrik yang menciumi berhalanya. Jelas ini sebuah kesalahan.
Seandainya semata-mata bentuk luar cukup untuk dijadikan dasar penetapan hukum,
maka tentunya mereka pun harus mengkafirkan seluruh orang yang mencium hajar
aswad. Akan tetapi, kenyataannya tidaklah demikian. Seorang Muslim yang mencium
hajar aswad, perbuatannya itu dihitung sebagai tauhid yang murni, sementara seorang
kafir yang mencium berhala, perbuat-annya itu dihitung sebagai perbuatan syirik
yang nyata.
Apa bedanya?!
Terdapat ukuran lain
yang dengannya kita dapat mengetahui ibadah.
Defenisi Ibadah Berdasarkan Pemahaman Al-Qur'an
Ibadah ialah
ketundukan kata-kata dan perbuatan, yang bersumber dari keyakinan adanya sifat
uluhiyyah atau sifat rububiyyah pada diri sesuatu yang diibadahi, atau
keyakinan bahwa sesuatu itu merdeka di dalam perbuatannya, atau memiliki
kekuasaan atas salah satu segi dari kehidupannya secara merdeka dan terlepas
dari kekuasaan Allah.
Maka seluruh perbuatan
yang disertai dengan keyakinan ini terhitung sebagai perbuatan syirik kepada
Allah. Oleh karena itu, kita menemukan orang-orang musyrik jahiliyyah meyakini
bahwa sesembahan-sesembahan mereka memiliki sifat-sifat ketuhanan. Al-Qur'an
al-Karim dengan gamblang telah menjelaskan hal ini. Allah SWT berfirman,
"Dan mereka telah mengambil sembahan-sembahan selain Allah, agar
sembahan-sembahan itu menjadi pelindung bagi mereka." (QS. Maryam: 81)
Artinya, mereka meyakini sesembahan-sesembahan mereka memiliki sifat-sifat
ketuhanan.
Allah SWT berfirman,
"Yaitu orang-orang yang menganggap adanya Tuhan yang lain di samping
Allah, maka mereka kelak akan mengetahui akibatnya." (QS. al-Hijr: 96)
Ayat-ayat ini
membantah perkataan kalangan Wahabi. Ayat ini menjelaskan bahwa terperosoknya
para penyembah berhala kedalam kemusyrikan ialah disebabkan mereka meyakini
sesembahan-sesembahan mereka memiliki sifat-sifat ketuhanan. Allah SWT telah
menjelaskan hal ini di dalam firman-Nya yang berbunyi, "Dan berpalinglah
dari orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya Kami memelihara kamu dari
(kejahatan) orang-orang yang memperolok-olok kamu, (yaitu) orang-orang yang
menganggap adanya Tuhan yang lain di samping Allah; maka kelak mereka akan
mengetahui akibatnya." (QS. al-Hijr: 94 - 96)
Ayat-ayat ini
menetapkan tolak ukur dasar di dalam masalah syirik. Yaitu keyakinan akan
adanya sifat-sifat ketuhanan pada diri ma'bud (sesuatu yang disembah). Oleh
karena itu, mereka menolak dan mengingkari akidah tauhid yang dibawa oleh
Rasulullah saw. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya mereka dahulu apabila
dikatakan kepada mereka, 'Tiada Tuhan selain Allah', mereka menyombongkan
diri." (QS. ash-Shaffat: 35)
Oleh karena itu,
dakwah para nabi kepada mereka ditujukan untuk memerangi keyakinan mereka yang
mengatakan adanya Tuhan selain Allah. Karena, tidaklah masuk akal ada ibadah
yang tidak disertai dengan keyakinan adanya sifat ketuhanan pada diri ma'bud
(sesuatu yang disembah). Dengan kata lain, meyakini terlebih dahulu, baru
kemudian menyembah.
Allah SWT berfirman,
"Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata,
'Wahai kaumku, sembahlah Allah. Sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu
selain-Nya.'" (QS. al-A'raf: 59)
Dengan demikian,
Al-Qur'an al-Karim telah menjelaskan penyimpangan mereka dari Tuhan yang
sesungguhnya.
Jadi, tolak ukur di
dalam masalah syirik ialah ketundukan yang disertai dengan keyakinan akan
adanya sifat-sifat ketuhanan. Terkadang, kemusyrikan itu sebagai hasil dari
keyakinan adanya sifat rububiyyah pada diri ma'bud (sesuatu yang disembah).
Artinya, seseorang meyakini bahwa sesembahannya memiliki kekuasaan atas
urusannya, seperti urusan penciptaan, pemberian rezeki, hidup dan mati. Atau,
dia memiliki syafa'at dan ampunan. Dengan demikian, orang yang tunduk kepada
sesuatu dengan keyakinan sesuatu itu mempunyai sifat-sifat rububiyyah maka
berarti dia telah beribadah kepadanya. Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Qur'an
menyeru orang-orang kafir dan orang-orang musyrik untuk menyembah Tuhan yang
Mahabenar. Allah SWT ber-firman,
"Padahal al-Masih
berkata, 'Hai Bani Israil, sembahlah Allah Rabb-mu (Tuhanmu) dan Rabbku
(Tuhankuku).'" (QS. al-Maidah: 72)
"Sesungguhnya
(agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah
Rabbmu (Tuhanmu), maka sembahlah Aku." ( QS. al-Anbiya: 92)
Di sana juga terdapat
tolak ukur yang ketiga. Yaitu keyakinan bahwa sesuatu itu merdeka di dalam zat
dan perbuatannya, dengan tanpa bersandar kepada Allah SWT. Sikap khudhu' yang
disertai dengan keyakinan ini terhitung syirik. Jika Anda tunduk di hadapan
seorang manusia, dengan keyakinan bahwa dia merdeka di dalam perbuatannya, baik
perbuatannya perbuatan yang biasa, seperti berbicara dan bergerak, atau seperti
mukjizat yang dilakukan oleh para nabi, maka ketundukan Anda ini masuk ke dalam
kategori ibadah. Bahkan, jika seandainya seorang manusia meyakini bahwa tablet
obat menyembuhkan penyakit kepala secara merdeka dan terlepas dari kekuasaan
Allah SWT, maka keyakinannya ini terhitung syirik.
Dari sini, kita dapat
mengetahui bahwa tolak ukur ibadah bukanlah semata-mata penampakkan ketundukan
dan perendahan diri, melainkan ketundukan dan perendahan diri dengan ucapan
maupun perbuatan kepada sesuatu yang diyakini bahwa dia itu ilah, rabb, atau
pemilik salah satu dari urusannya secara merdeka dan terlepas dari kekuasaan
Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar