Sejarah Hidupku
Hari-Hari Masa Kecilku
Minat keagamaan telah muncul sejak aku kecil,
ada fitrah yang menarikku untuk berpegang teguh kepada agama. Dalam bayanganku ke masa depan, pikiranku
tidak pernah keluar dari kerangka agama. Aku melihat diriku sebagai pahlawan
dan mujahid Islam yang mampu mengembalikan kehormatan agama dan kemuliaan
Islam. Pada saat itu aku belum
lulus dari sekolah tingkat pertama. Maklum, pemikiranku waktu itu masih
dangkal. Begitu pula pengetahuanku tentang sejarah kaum Muslimin dan
peradabannya masih sangat terbatas. Aku belum mengetahui kecuali beberapa kisah
tentang Rasulullah saw dan peperangan yang dilakukannya terhadap orang-orang
kafir, dan kisah tentang kepahlawanan dan keberanian Imam Ali as. Aku
mempelajari pemerintahan Mahdiyyah di Sudan, aku merasa kagum dengan
kepribadian Usman Daqnah. Dia adalah salah seorang komandan pasukan Mahdi yang
pemberani di daerah timur Sudan. Jihad yang telah membangkitkan minat saya
manakala guru sejarah kami menggambarkan keberanian dan keagungan
kepribadiannya kepada kami. Dia seorang mujahid di antara bukit dan lembah. Begitulah hatiku tertarik
kepadanya. Saya bercita-cita ingin menjadi seperti dirinya. Mulailah saya
berpikir dengan pikiran saya yang masih dangkal, bahwa untuk bisa mencapai
tujuan ini maka jalan satu-satunya yang terbayang di dalam benak saya ketika
itu ialah saya harus menjadi lulusan akademi militer, sehingga saya terlatih
dalam strategi perang dan penggunaan senjata. Bertahun-tahun saya hidup di atas
angan-angan ini, hingga akhirnya saya pindah ke sekolah tingkatan menengah.
Pada tingkatan ini, pemahaman dan pengetahuan saya mulai berkembang. Mulailah
saya mengenal para pemimpin kemerdekaan dunia Islam, seperti Abdurrahman
al-Kawakibi, as-Sanusi, Umar Mukhtar dan Jamaluddin al-Afghani, seorang pejuang
dan pemikir cemerlang yang bertolak dari Afhghanistan, dan kemudian
berpindah-pindah dari satu ibu kota negara Islam yang satu kepada ibu kota
negara Islam yang lain, dan begitu juga ke negara-negara bukan Islam, untuk
menyebarkan pemikiran yang hidup, yang berbicara tentang sisi-sisi
keterbelakangan dunia Islam dan bagaimana cara menyembuhkannya.
Yang amat menarik perhatian saya ialah metode
jihad yang dilakukannya.Dia melakukannya melalui hikmah, penyebaran pengetahuan
dan pengembangan pemikiran di kalangan umat Islam, tidak melalui jalan
memanggul senjata.
Saya pernah berkeyakinan bahwa setiap orang
yang hendak berjuang dan membela kaum Muslimin, mau tidak mau dia harus
menghunus pedang dan masuk ke dalam medan peperangan. Sementara cara yang
ditempuh oleh Jamaluddin al-Afghani sama sekali berbeda dengan apa yang selama
ini saya bayangkan. Metode kata dan pendidikan yang sadar adalah sesuatu yang
baru dalam pemikiran agama saya. Saya tidak mampu dengan mudah melepaskan diri
dari pemikiran dan cita-cita yang telah saya bangun selama ini di dalam benak
saya, meskipun saya sadar bahwa krisis yang dialami umat ini ialah krisis
pendidikan dan pemikiran. Karena pendidikanlah yang mampu menjadikan setiap
individu mau mengemban tanggung jawabnya. Inilah Jamaluddin, dia mengelilingi
dunia untuk menebarkan cahaya dan keberkahan, dan menyebarluaskan
pemikiran-pemikirannya, yang mendapat sambutan yang hangat dari kaum Muslimin.
Karena, pemikiran-pemikiran yang dilontarkannya mampu menyelesaikan berbagai
permasalahan mereka dan sekaligus sejalan dengan kenyataan mereka. Yang
demikian ini amat mencemaskan kekuatan penjajah. Karena majalah al- 'Urwah al-Wutsqa[1] saja sudah merupakan tantangan yang berat bagi mereka, yang memaksa mereka
untuk melarang penerbitannya.
Pertanyaan yang selalu menghantui benak saya
ialah, Bagaimana seorang individu mampu mengubah perimbangan ini, dan bagaimana
seorang individu mampu membuat takut seluruh kekuatan besar?!
Untuk menjawab pertanyaan ini, di hadapan
saya terbuka beberapa pintu pertanyaan. Sebagiannya sederhana dan sebagiannya
lagi tidak ada jawabannya di Sudan. Ini menjadikan saya berusaha untuk dapat
lepas dari kenyataan ini, dan sekaligus melepaskan berbagai belenggu yang
selama ini mendorong saya untuk tunduk kepada kenyataan agama yang ada, supaya
saya berjalan di dalam hidup ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh kakek-kakek
saya. Akan tetapi, rasa tanggung jawab yang ada di dalam diri saya, dan begitu
juga kecintaan saya kepada Jamaluddin al-Afghani membunyikan lonceng bahaya di
dalam fitrah saya, sehingga menjadikan saya bertanya-tanya,
Bagaimana saya bisa menjadi seperti Jamaluddin
al-Afghani? Apakah agama yang saya warisi ini mampu membawa saya kepada
tingkatan itu? Kemudian saya berkata, "Kenapa tidak?!" Apakah
Jamaluddin mempunyai agama yang berbeda dengan agama kita?! Dan Islam yang
berbeda dengan Islam kita?!"
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya
terombang-ambing selama bertahun-tahun, dan setiap kali saya sampai kepada
sebuah jawaban, maka itu berarti perubahan pada pemahaman saya tentang agama
secara umum. Maka saya pun melihat Jamaluddin sebagai idola dan panutan, setelah
sebelumnya Usman Daqnah, sehingga dengan begitu tentunya berubah pula cara yang
harus ditempuh. Setelah sebelumnya akademi militer sebagai jalan keluar
satu-satunya dalam pandangan saya, maka sekarang cara damailah yang
memperkenalkan saya kepada pemikiran Islam yang orisinil, yang dari
sela-selanya akan muncul kebangkitan Islam.
Bagaimana Permulaannya
Pembahasan tentang cara-cara dan pemikiran
yang benar dan bertanggung jawab adalah sesuatu bahasan yang sulit. Tahapan ini
adalah tahapan yang sulit, meski pun pembahasan yang saya bahas bersifat
spontan. Sepanjang kehidupan saya, saya sering bertanya, berdiskusi dan lain
sebagainya, dan tidak ada waktu yang kosong dari pembahasan.
Setelah serangan keras yang dilancarkan oleh
kaum Wahabi terhadap Sudan, dan pengintensifan diskusi dan dialog, serta
semakin berkembangnya pergerakan agama, mulailah tersingkap banyak
kebenaran,dan semakin jelas berbagai perselisihan dan pertentangan sejarah,
keyakinan dan fikih. Kemudian mulailah upaya-upaya pengkafiran terhadap
beberapa kelompok dan keluar mereka dari tali ikatan Islam, yang mendorong
kepada terbentuknya mazhab-mazhab yang berbeda.
Meskipun pahit apa yang telah terjadi, namun
minat saya untuk melakukan pembahasan malah semakin bertambah, dan saya
merasakan realitas pertanyaan-pertanyaan spontan yang selama ini menggangu
benak saya.
Besarnya perhatian saya kepada ajaran wahabi
dikarenakan diskusi-diskusi dan seminar-seminar yang mereka laksanakan telah
menarik perhatian saya. Hal terpenting yang saya pelajari dari mereka ialah
keberanian menentang ajaran yang ada. Saya pernah meyakini bahwa ajaran adalah
sesuatu yang sakral, yang tidak dapat diserang dan dikritik, meskipun saya
banyak memberikan catatan terhadap kenyataan yang ada, yang didasari oleh
pertimbangan nurani dan fitrah saya.
Saya terus berjalan bersama mereka, dan
banyak sekali diskusi yang terjadi diantara saya dan mereka, yang pada
kenyataannya merupakan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini membingungkan
benak saya. Saya memperoleh jawaban yang memuaskan bagi sebagian pertanyaan
saya, sementara jawaban sebagian yang lain tidak dapat saya temukan pada
mereka. Hal ini menjadi jaminan bagi saya untuk bersimpati dan membantu mereka,
namun dengan tetap disertai beberapa catatan yang merintangi saya untuk
berpegang secara penuh kepada ajaran wahabi. Yang pertama dan yang terpenting
dari itu ialah saya tidak menemukan di sisi mereka apa yang dapat memenuhi
cita-cita risalah saya. Kadang-kadang, rasa was-was menghinggapi diri saya
dengan mengatakan, sesungguhnya apa yang engkau pikirkan dan yang engkau cari
adalah sesuatu yang utopis yang tidak ada kenyataannya, dan ajaran wahabi
adalah ajaran yang paling dekat dengan Islam yang tidak ada tandingannya.
Saya berjalan mengikuti rasa was-was ini dan
sekaligus membenarkannya, disebabkan ketidaktahuan saya terhadap
pemikiran-pemikiran dan ajaran-ajaran yang lain. Namun, dengan cepat saya sadar
bahwa apa yang dilakukan oleh Jamaluddin tidak mungkin merupakan pemikiran
wahabi. Saya pernah berteriak lantang, "Sesungguhnya ajaran wahabi adalah
jalan yang paling dekat kepada Islam disebabkan mereka mengemukakan dalil-dalil
dan nas-nas yang membenarkan mazhab mereka, yang tidak saya temukan pada
kelompok-kelompok lain di Sudan namun kesulitan mereka ialah bahwa mazhab yang
mereka bangun tidak ubahnya seperti rumus-rumus matematika. Yaitu berupa
kaidah-kaidah yang kaku, yang tanpa memiliki refleksi peradaban yang jelas
dalam kehidupan manusia, juga dalam meng-hadapi berbagai macam tataran
kehidupan. Baik dalam tataran individu, tataran sosial, tataran ekonomi atau
tataran politik, dan bahkan di dalam tata cara berhubungan dengan Allah SWT.
Bahkan sebaliknya, ajaran ini menjadikan manusia menjadi liar dan terasing dari
masyarakat, dan sekaligus memberikan surat jaminan untuk mengkafirkan kelompok
masyarakat yang tidak sepaham dengan mereka. Setiap orang dari mereka tidak bisa hidup
bersama dengan masyarakat. Dia selalu membedakan diri dari masyarakat dengan
pakaian dan tingkah lakunya. Seluruh sisi kehidupannya tidak sejalan kecuali
dengan teman-temannya. Saya merasakan kesombongan dan keangkuhan dari mereka.
Mereka memandang manusia mempunyai kedudukan yang tinggi, namun dalam
kehidupannya mereka tidak mau bekerja sama dan membaur dengan masyarakat.
Bagaimana mungkin mereka dapat bekerja sama
dengan masyarakat?! Sementara seluruh yang dilakukan masyarakat adalah bid'ah
dan sesat dalam pandangan mereka.
Saya masih ingat benar manakala bantuan
wahabi masuk ke desa kami, dalam jangka waktu yang tidak berapa lama, dengan
tanpa didasari pengkajian dan kesadaran, sekelompok besar dari para pemuda ikut
bergabung ke dalam barisan wahabi, namun tidak berapa lama kemudian mereka
semua keluar dari barisan tersebut. Menurut perkiraan saya ini disebabkan
karena mazhab baru ini melarang mereka berbaur dengan masyarakat, dan
mengharamkan banyak sekali ke-biasaan yang sudah mendarah daging pada diri
mereka, yang sebenarnya kebiasaan itu tidak bertentangan dengan agama.
Ada baiknya saya sebutkan, bahwa salah satu
di antara yang menyebabkan para pemuda yang bergabung dengan mazhab wahabi
menderita ialah bahwa ada kebiasaan di desa kami, dimana para pemudanya biasa
duduk-duduk di atas hamparan pasir yang bersih di saat malam-malam bulan
purnama, di mana mereka menghabiskan malamnya dengan mengobrol. Saat itulah
merupakan satu-satunya kesempatan bertemu bagi para pemuda desa setelah bekerja
sepanjang had di ladang dan tempat-tempat kerja lainnya. Kini pemimpin mereka
melarang perbuatan itu dan mengharamkannya, dengan alasan bahwa Rasulullah saw
telah mengharamkan perbuatan duduk-duduk di atas jalan. Padahal tempat-tempat
tersebut tidak terhitung jalan. Kedua, dan ini merupakan masalah seluruh orang
wahabi, yaitu bahwa setiap orang dari mereka dalam waktu yang singkat dan
dengan ilmu yang sedikit telah menjadi seorang mujtahid yang berhak memberikan
fatwa dalam masalah apapun. Saya masih ingat, pada satu hari saya duduk
berdiskusi dengan salah seorang dari mereka mengenai banyak hal. Di
tengah-tengah diskusi dia bangkit berdiri setelah mendengar azan Magrib di
mesjid mereka. Saya katakan kepadanya, "Sabar, kita selesaikan dulu
diskusi kita." Dia menjawab, "Tidak ada lagi diskusi. Telah datang
waktu salat, mari kita salat di mesjid." Saya berkata kepadanya,
"Saya salat di rumah", meskipun biasanya saya selalu salat bersama
mereka. Dia berteriak lantang, "Batal salat Anda." Saya merasa heran
dengan kata-kata ini dan sebelum saya sempat meminta penjelasan darinya dia
telah berbalik dan pergi. Saya berkata kepadanya, "Sebentar, apa yang
menyebabkan salat saya di rumah batal?"
Dia menjawab dengan penuh kesombongan,
"Rasulullah saw telah bersabda, 'Tidak ada salat bagi tetangga mesjid
kecuali di mesjid.'" Saya berkata kepadanya, "Tidak ada
perselisihan di dalam keutamaan salat berjamaah di mesjid, namun ini bukan
berarti hilangnya kesahan salat di selain tempat ini. Hadis di atas sedang
menekankan keutamaan di mesjid, bukan sedang menjelaskan hukum salat di rumah.
Adapun dalilnya ialah kita belum pernah melihat di dalam fikih disebutkan bahwa
salah satu yang membatalkan salat ialah salat di rumah, dan tidak ada seorang
pun dari fukaha yang memberikan fatwa demikian. Adapun yang kedua, dengan hak
apa Anda mengeluarkan hukum ini?! Apakah Anda seorang fakih?! Karena sulit
sekali bagi seorang manusia untuk bisa memberikan fatwa dan menjelaskan hukum
tentang permasalahan tertentu. Seorang fakih harus mempelajari seluruh nas yang
berkaitan dengan masalah tersebut. Dia harus mengetahui petunjuk perintah
(dilalah al-amr) dan petunjuk larangan (dilalah an-nahy) di dalam nas. Apakah
perintah menunjukkan kepada hukum wajib atau hukum mustahab, apakah larangan
menunjukkan kepada hukum haram atau hukum makruh. Sungguh, agama ini amat
dalam, maka selamilah dengan kehati-hatian."
Tampak kegusaran pada wajahnya. Dia cemberut dan berkata,
"Anda telah mentakwil hadis, dan takwil itu haram." Lalu dia pun
pergi.
Saya serahkan urusaan saya kepada Allah SWT dari manusia dungu
seperti ini, yang tidak memahami apa pun.
Pikiran inilah yang menjadi penyebab kedua yang menghalangi saya
menjadi seorang wahabi, meski pun saya banyak terpengaruh dengan
pikiran-pikiran mereka dan membelanya.
Dalam keadaan ini untuk beberapa waktu, saya bingung dan tidak
mempunyai arah. Terkadang saya
mendekati mereka dan terkadang pula saya menjauhi mereka. Saya melihat bahwa
jalan satu-satunya yang ada di hadapan saya sebagai ganti dari sekolah di
akademi militer ialah saya harus belajar di fakultas atau universitas Islam,
sehingga saya dapat melanjutkan pengkajiaan saya dengan lebih teliti. Setelah
menyelesaikan ujian masuk universitas, di mana di sana terdapat enam
universitas atau institut yang diminati oleh para mahasiswa, saya memilih
fakultas Islam. Kini, saya telah selesai diterima di salah satu fakultas
Keislaman (yaitu fakultas studi Islam dan bahasa Arab di universitas Wadi
an-Nil di Sudan). Saya sangat senang dengan penerimaan ini. Setelah menunaikan
latihan kemiliteran (bela negara) yang tidak mungkin seseorang dapat memasuki
perguruan tinggi kecuali setelah menunaikan latihan militer ini mulailah para utusan
dari seluruh penjuru Sudan datang ke Universitas, dan saya termasuk yang
pertama dari mereka. Pada saat interview, direktur fakultas bertanya kepada
saya, tokoh mana yang Anda kagumi? Saya katakan kepadanya,
"Jamaluddin", dan saya jelaskan kepadanya alasan saya mengaguminya.
Direktur fakultas merasa puas dengan jawaban saya. Setelah banyak mendapat
pertanyaan, akhirnya secara resmi saya pun diterima di fakultas. Di fakultas,
saya sering mengunjungi perpustakaan, terdapat banyak buku-buku dan ensiklopedia
yang tebal-tebal. Akan tetapi, kesulitan yang saya hadapi ialah dari mana saya
harus mulai? Dan apa yang harus saya baca?
Saya tetap dalam keadaan ini, berpindah dari
suatu buku ke buku yang lain, tanpa mempunyai program yang jelas. Salah seorang
dari kerabat saya telah membukakan pintu yang luas dan penting di dalam
pembahasan dan penyelidikan, yaitu mempelajari sejarah dan mengkaji
mazhab-mazhab Islam, untuk bisa mengetahui kebenaran di antara mereka. Sungguh
ini merupakan pertolongan Allah SWT yang tidak saya duga, saya bisa bertemu
dengan kerabat saya Abdul Mun'im dia lulusan fakultas hukum di rumah paman saya
di kota Athbarah. Saat itu dia sedang berbincang-bincang di halaman rumah
dengan seorang anggota Ikhwanul Muslimin yang merupakan tamu di rumah paman
saya. Saya menajamkan pendengaran saya untuk bisa melndengar apa yang sedang
mereka perbincangkan.... Dengan segera saya menuju kepada mereka manakala saya
tahu topik yang menjadi perbincangan mereka adalah masalah-masalah agama. Saya
duduk di dekat mereka, dan memperhatikan perkembangan perbincangan. Tampak
sekali Abdul Mun'im begitu tenang di dalam perbincangan tersebut, meski pun
begitu gencar provokasi dan serangan dari pihak lawan. Saya tidak mengetahui
secara menyeluruh watak diskusi yang sedang berlangsung, hingga akhirnya
anggota Ikwanul Muslimin itu berkata, "Sy'iah itu kafir dan zindiq!!"
Di sini saya mulai mengerti, dan timbul
pertanyaan di benak saya....
Siapakah Syi'ah itu? Kenapa mereka kafir?
Apakah Abdul Mun'im orang Syi'ah?
Apa yang dikatakannya sesuatu yang asing.
Apakah itu perkataan Syi'ah?!
Harus diakui bahwa Abdul Mun'im telah dapat
mengalahkan lawannya pada setiap masalah yang dikemukaan di dalam diskusi, di
samping tampak sekali kemampuan logika dan kekuatan argumentasinya.
Setelah selesai diskusi dan mengerjakan salat
magrib, saya mendekati Abdul Mun'im. Saya bertanya kepadanya dengan penuh
hormat, "Apakah Anda seorang Syi'ah? Siapakah orang Syi'ah itu? Dan, dari mana
Anda mengenal mereka?"
Abdul Mun'im berkata, "Pelan-pelan, satu
pertanyaan demi satu pertanyaan”.
Saya berkata kepadanya, "Maaf, saya
masih bingung dengan apa yang saya dengar dari Anda."
Abdul Mun'im menjawab, "Ini sebuah
pembahasan yang panjang, yang merupakan hasil kerja keras selama empat tahun,
dan itu pun masih belum sampai kepada kesimpulan yang diinginkan."
Saya potong pembicaraannya, "Kesimpulan
apakah itu?"
Abdul Mun'im menjawab, "Kita hidup di
atas timbunan kebodohan dan pembodohan sepanjang hidup kita. Kita berjalan di
belakang masyarakat kita dengan tanpa bertanya, apakah agama yang ada di sisi
kita ini adalah yang dikehendaki oleh Allah SWT, yaitu Islam? Setelah melakukan
pengkajian, menjadi jelas bagi saya bahwa kebenaran sejauh dalam pandangan
saya, yaitu Syi'ah.
Saya berkata kepadanya, "Mungkin Anda tergesa-gesa,
atau Anda salah... !"
Mendengar itu dia tersenyum sambil berkata,
"Kenapa Anda sendiri tidak mengkajinya dengan teliti dan penuh kesabaran?
Apalagi Anda mempunyai perpustakaan di universitas, yang akan memberikan
manfaat yang banyak sekali kepada Anda."
Saya berkata dengan penuh keheranan,
"Perpustakaan kami perpustakaan Ahlus Sunnah, bagaimana mungkin saya dapat
mengkaji Syi'ah?"
Abdul Mun'im menjawab, "Salah satu bukti
dari kebenaran Syi'ah ialah mereka berargumentasi atas kebenaran mereka dengan
menggunakan kitab-kitab dan riwayat-riwayat ulama Ahlus Sunnah. Karena di dalamnya banyak sekali hal-hal yang
menjelaskan kebenaran mereka dengan jelas sekali."
Saya menimpali, "Kalau begitu,
sumber-sumber rujukan Syi'ah adalah sumber-sumber rujukan Ahlus Sunnah itu
sendiri?"
Abdul Mu'im menjawab, "Tidak, Syi'ah
mempunyai sumber-sumber rujukan tersendiri, yang jumlahnya berkali-kali lipat
dibandingkan sumber-sumber rujukan Ahlus Sunnah, dan semuanya diriwayatkan dari
Ahlul Bait as dan dari Rasulullah saw. Namun demikian, mereka berargumentasi
kepada Ahlus Sunnah dengan menggunakan riwayat-riwayat yang ada di dalam
sumber-sumber rujukan Ahlus Sunnah, dikarenakan Ahlus Sunnah tidak percaya
kepada apa yang ada pada sisi mereka, maka mau tidak mau mereka harus berhujjah
dengan apa-apa yang diyakini oleh kalangan Ahlus Sunnah."
Pembicaraannya menyenangkan saya dan membuat
saya tambah berminat untuk melakukan pembahasan. Saya tanya kepadanya,
"Kalau begitu, bagaimana saya harus memulai?"
Abdul Mu'in menjawab, "Apakah di
perpustakaan Anda terdapat kitab Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Musnad Ahmad,
Turmudzi dan Nasa'i?"
Saya menjawab, "Tentu saja, di
perpustakaan kami terdapat sekumpulan besar kitab-kitab hadis rujukan."
Abdul Mu'im berkata, "Mulailah dari
sini. Kemudian, bacalah kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab sejarah, karena di
dalam kitab-kitab ini terdapat hadis-hadis yang menunjukkan wajibnya mengikuti
ajaran Ahlul Bait as."
Mulailah dia menyebut beberapa contoh
darinya, dengan tidak lupa menyebutkan sumbernya, sekaligus dengan nomer jilid
dan nomer halamannya. Saya terheran-heran. Dengan penuh perhatian saya
mendengarkan hadis-hadis yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Saya ragu
apakah hadis-hadis ini benar-benar ada di dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah. Namun
dengan segera Abdul Mun'im memotong keraguan saya itu dengan mengatakan,
"Catat hadis-hadis ini oleh Anda, dan kemudian carilah di perpustakaan.
Nanti kita ketemu lagi pada hari Kamis yang akan datang,Insya Allah.''
Pada Hari Jumat
Setelah saya merujuk hadis-hadis tersebut ke
dalam Sahih Bukhari, Muslim dan Turmudzi di perpustakaan universitas kami, saya
menjadi yakin akan kebenaran apa yang dikatakannya. Saya kaget dengan
serangkaian hadis-hadis lain yang lebih menunjukkan kepada wajibnya mengikuti Ahlul
Bait, yang membuat saya menjadi shok. Kenapa kita belum pernah mendengar
hadis-hadis ini sebelumnya?!
Maka saya pun menunjukkan serangkaian hadis
ini kepada sebagian teman-teman saya, supaya mereka pun ikut serta
berpartisipasi di dalam kesulitan ini. Sebagian dari mereka memberikan
perhatian, sementara sebagiannya lagi tidak begitu peduli. Namun saya telah
bertekad untuk melanjutkan pengkajian, meski pun untuk itu saya harus
menghabiskan seluruh umur saya. Ketika tiba hari Kamis, saya pergi ke Abdul Mun'im.
Dia menyambut kedatangan saya dengan penuh senang hati. Dia berkata, "Anda tidak boleh
tergesa-gesa, Anda harus melanjutkan pengkajian Anda dengan penuh
kesadaran."
Kemudian kami mulai membahas
permasalahan-permasalahan lain yang beraneka macam, dan itu terus berlangsung
hingga Jumat sore. Saya banyak mendapatkan manfaat dari pembahasan-pembahasan
itu, dan banyak mengetahui sesuatu yang sebelumnya saya tidak ketahui. Sebelum
saya kembali ke kampus dia meminta saya untuk membahas beberapa masalah. Demikianlah
hal itu berlangsung hingga beberapa waktu. Diskusi yang berlangsung di antara
saya dengan dia selalu berubah dari waktu ke waktu. Terkadang saya berbicara
keras kepadanya, dan terkadang saya membantah beberapa permasalahan yang sudah
amat jelas. Sebagai contoh, ketika saya merujuk beberapa hadis di dalam
kitab-kitab rujukan, dan saya meyakini keberadaannya, saya katakan kepadanya,
"Hadis-hadis ini tidak ada." Sampai sekarang saya tidak tahu apa yang
mendorong saya melakukan itu, selain dari perasaan merasa terdesak dan
menginginkan kemenangan.
Dengan cara ini, dan dengan semakin
bertambahnya pembahasan, tersingkaplah kebenaran di hadapan saya yang tidak
saya perkirakan sebelumnya. Sepanjang periode ini saya banyak melakukan diskusi
dengan teman-teman. Ketika meraka tidak mampu lagi menghadapi saya, mereka
meminta saya untuk berdiskusi dengan doktor yang mengajarkan mata kuliah ilmu
fikih kepada kami. Saya katakan, "Tidak ada halangan bagi saya, namun
terdapat penghalang di antara saya dengan dia yang menghalangi saya dapat
berbicara bebas dengannya." Mereka tidak merasa puas dengan jawaban saya.
Mereka mengatakan, "Di antara kami dan Anda ada dosen, jika argumentasi
Anda dapat memuaskannnya maka kami akan bersama Anda..!"
Saya katakan, "Yang menjadi masalah
bukanlah memuaskan atau tidak memuaskan, yang menjadi masalah ialah dalil dan
argumentasi, dan pencarian akan kebenaran...."
Pada permulaan mata kuliah fikih mulailah
saya berdiskusi dengan dosen saya dalam bentuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan. Nampak dia tidak banyak menentang saya, bahkan
sebaliknya dia menekankan kecintaan kepada Ahlul Bait as dan keharusan
mengikuti mereka, serta menyebut keutamaan-keutamaan mereka. Selang beberapa
hari dia meminta saya untuk menemuinya di kantornya, di kantor pusat
universitas. Setelah saya pergi menemuinya, dia menyodorkan kepada saya sebuah
kitab yang terdiri dari beberapa juz, yaitu kitab Sahih al-Kafi, yang termasuk
kitab rujukan hadis yang paling dipercaya di kalangan Syi'ah. Dia meminta
kepada saya untuk tidak semberono terhadap kitab ini, karena kitab ini
merupakan warisan dari Ahlul Bait. Saya tidak dapat berbicara sepatah kata pun
karena saking gugupnya, lalu saya ambil kitab itu dan mengucapkan terima kasih
kepadanya. Saya pernah mendengar kitab ini namun saya belum pernah melihatnya.
Hal ini menjadikan saya ragu apakah doktor ini seorang Syi'ah, meski pun saya
tahu dia itu seorang Maliki. Setelah bertanya ke sana ke mari, menjadi jelas
bagi saya bahwa dia itu seorang sufi yang mencintai Ahlul Bait as.
Ketika teman-teman saya melihat kesesuaian di
antara saya dengan dosen tersebut, mereka meminta kepada saya untuk berdiskusi
dengan dosen lain, yang mengajarkan mata kuliah hadis. Dosen mata kuliah hadis
tersebut adalah seorang laki-laki yang taat beragama, sangat tawadu dan baik
akhlaknya. Saya amat mencintainya. Maka saya pun memenuhi permintaan mereka.
Mulailah terjadi diskusi di antara kami dalam banyak masalah. Saya menanyakan
kepadanya tentang kesahihan beberapa hadis, dan dia pun menguatkan kesahihan
hadis-hadis tersebut. Setelah berjalan beberapa waktu, saya merasakan
ketidaksukaan dia dengan diskusi-diskusi saya, dan begitu juga teman-teman saya
merasakan hal yang sama. Maka saya pun berpikir bahwa cara yang paling baik
untuk melanjutkan diskusi ialah melalui tulisan. Lalu saya tulis sekumpulan
hadis dan riwayat yang menunjukkan secara jelas akan wajibnya mengikuti Ahlul
Bait as, dan saya minta kepadanya untuk membahas kesahihan hadis-hadis ini.
Setiap hari saya meminta jawaban darinya, namun dia membela diri dengan
mengatakan tidak ada pembahasan. Saya terus mengikutinya dengan cara ini,
hingga dia merasakan rasa kegelisahan saya.
Dia mengatakan kepada saya, "Semuanya
sahih."
Saya katakan, "Semuanya jelas
menunjukkan wajibnya mengikuti Ahlul Bait."
Dia tidak menjawab, melainkan bergegas pergi
ke kantor. Tindakannya ini merupakan goncangan bagi saya, dan menjadikan saya
merasakan kebenaran akan perkataaan Syi'ah. Namun saya ingin perlahan-lahan dan
tidak ingin tergesa-gesa di dalam memutuskan.
Kebetulan, dekan fakultas kami adalah
Profesor 'Alwan. Dia mengajar mata kuliah tafsir bagi kami. Pada suatu hari dia
berbicara tentang tafsir firman Allah SWT yang berbunyi, "Seorang peminta
telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi",
"Sesungguhnya Rasulullah saw tatkala
berada di Ghadir khum dia menyeru manusia, maka mereka pun berkumpul. Lalu
Rasulullah saw mengangkat tangan Ali as seraya berkata, 'Barangsiapa yang aku
sebagai pemimpinnya maka inilah Ali sebagai pemimpinnya.' Berita itu pun tersebar ke seluruh pelosok negeri, dan sampai
kepada Harits bin Nukman al-Fihri. Lalu dia mendatangi Rasulullah saw dengan
menunggang untanya. Kemudian dia menghentikan untanya dan turun darinya. Harits
bin Nukman al-Fihri berkata,
'Hai Muhammad, kamu telah menyuruh kami tentang Allah, supaya kami
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa kamu adalah utusan-Nya, dan
kami pun menerimanya. Kamu perintahkan
kami untuk menunaikan salat lima waktu, dan kami pun menerimanya. Kamu
perintahkan kami untuk menunaikan zakat, dan kami pun menerimanya. Kamu
peritahkan kami untuk berpuasa di bulan Ramadhan, dan kami pun menerimanya.
Kamu perintahkan kami untuk melaksakan ibadah haji, dan kami pun menerimanya.
Kemudian kamu tidak merasa puas dengan semua ini sehingga kamu mengangkat
tangan sepupumu dan mengutamakannya atas kami semua dengan mengatakan, 'Siapa
yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka inilah Ali pemimpinnya. 'Apakah
ini dari kamu atau dari Allah?'
Rasulullah saw menjawab, 'Demi Allah yang
tidak ada Tuhan melainkan Dia, sesungguhnya ini berasal dari Allah SWT.' Mendengar itu Hants bin Nukman al-Fihri berpaling dari Rasulullah
saw dan bermaksud menuju ke kendaraannya sambil berkata, 'Ya Allah, seandainya
apa yang dikatakan Muhammad itu benar maka hujanilah kami dengan batu dari
langit atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih.' Maka sebelum Harits bin
Nukman al-Fihri sampai ke kendaraannya tiba-tiba Allah menurunkan sebuah batu
dari langit yang tepat mengenai ubun-ubunnya dan ke mudian tembus keluar dari duburnya,
dan dia pun mati. Kemudian Allah SWT menurunkan firman-Nya,
'Seorang peminta telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi.
Untuk orang-orang kafir, yang tidak seorangpun dapat menolaknya.' "[2]
Setelah selesai pelajaran salah seorang teman saya menemuinya dan
berkata kepadanya, "Apa yang telah Anda katakan adalah perkataan
Syi'ah." Bapak dekan tertegun sejenak, kemudian memandang ke arah
pemerotes seraya berkata, "Panggil Mu'tashim ke ruang kantor...!"
Saya merasa heran dengan permintaan ini, dan
merasa takut bertemu bapak dekan. Namun saya cepat-cepat menguasai diri saya dan pergi menemuinya. Sebelum
sempat saya duduk, bapak dekan berkata kepada saya, "Anda orang
Syi'ah!"
Saya menjawab, "Saya semata-mata hanya
seorang yang sedang mengkaji."
Bapak dekan berkata, "Pengkajian itu
sesuatu yang bagus, dan sesuatu yang harus."
Bapak dekan mulai menyebutkan beberapa
kecurigaan tentang Syi'ah yang banyak disebut orang. Namun dengan pertolongan
Allah SWT saya bisa menjawab semua itu dengan sekuat-kuatnya dalil dan
argumentasi, dan dapat lancar berbicara melebihi dari yang saya duga. Sebelum
menutup pembicaraan kami, dia berpesan kepada saya akan kitab al-Muraja 'at.
Dia mengatakan, "Kitab al-Muraja 'at termasuk kitab yang bagus dalam hal
ini."
Setelah saya membaca kitab al-Muraja 'at,
Ma'alim al-Madrasatain dan beberapa kitab yang lain, maka kebenaran pun menjadi
jelas bagi saya dan tersingkaplah kebatilan dari hadapan saya, disebabkan
dalil-dalil yang jelas, dan argumentasi-argumentasi yang terang, yang
menunjukkan kebenaran mazhab Ahlul Bait as, yang terkandung di dalam kedua
kitab ini. Dengan begitu, kekuatan saya di dalam berdiskusi dan mengkaji pun
menjadi semakin bertambah, sehingga Allah SWT membukakan cahaya kebenaran di
dalam hati saya, dan saya pun mengumumkan Kesyi'ahan saya.
Selanjutnya mulailah periode baru dari
pergumulan. Orang orang yang tidak mampu berdiskusi, mereka tidak menemukan
jalan lain selain dari jalan olok-olok, caci maki, ancaman, fitnah dan jalan-jalan
kebodohan lainnya. Saya serahkan seluruh urusan saya kepada Allah SWT, dan saya
sabar dengan apa yang terjadi, meskipun serangan-serangan yang dialamatkan
kepada saya itu berasal dari teman-teman saya, yang telah mengharamkan makan
dan tidur dengan saya dalam satu atap.
Mereka mengasingkan saya secara penuh,
kecuali sebagian teman yang lebih paham dan lebih terbuka. Setelah berjalan
beberapa waktu, akhirnya saya bisa menormalkan kembali hubungan saya dengan
semuanya, dan dalam bentuk yang lebih baik dari yang semula. Bahkan saya
menjadi orang yang dihormati dan dihargai di tengah-tengah mereka. Sebagian
mereka meminta pertimbangan saya di dalam setiap masalah yang kecil maupun yang
besar, dari masalah-masalah kehidupannya. Namun ini semua tidak berlangsung
lama. Api fitnah pun kembali menyala, setelah tiga orang mahasiswa lainnya
mengumumkan Kesyi'ahan mereka, di samping sekelompok besar mahasiswa yang
menampakkan simpati dan dukungan mereka kepada Syi'ah. Serangkaian konflik dan
guncangan pun mengelilingi kami, dan kami menghadapi semua itu dengan berpegang
teguh kepada akhlak dan hikmah, sehingga kami mampu menghilangkan kemarahan
dengan sesegera mungkin.
DI DESA KAMI
Desa kami (Nadi) adalah salah satu desa kecil
yang berada di kawasan timur Sudan di tepian sungai Nil. Mayoritas penduduknya
berasal dari kabilah Ribathab. Kabilah ini terkenal dengan kecerdasan dan
ketajaman berpikiraya. Mata pencahariannya berkebun pohon kurma dan pertanian
musiman.
Di desa ini, orang-orang wahabi
mengeksploitasi penduduknya yang tulus dengan menyebarkan pikiran-pikiran
wahabi. Mereka menanamkan pengaruhnya kepada pikiran dan pemahaman para
penduduk desa dengan cara yang tidak langsung, yaitu dengan cara banyak
menyelenggarakan berbagai ceramah dan pertemuan. Pada awalnya saya menahan
diri, dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca dan berdakwah kepada
mazhab Ahlul Bait di kalangan keluarga dan saudara. Di antara saya dan kakak
saya paling besar berlangsung perdebatan dan pertengkaran yang cukup sengit,
hingga sampai kakak saya menolak untuk membaca buku-buku Syi'ah dan mengancam
untuk membakarnya. Setelah melalui berbagai macam perdebatan, akhirnya saya
mampu mempengaruhinya, dan dia pun mulai membaca beberapa buku, seperti Ahlul
Bait al-Qiyadah Rabbaniyyah, al-Muraja'at, Ma'alim al-Madrasatain dan buku-buku
lainnya. Hingga akhirnya Allah SWT menunjukkannya kepada cahaya Ahlul Bait as,
dan kemudian dia pun mengumumkan Kesyi'ahannya. Adapun keluarga saya yang lain,
umumnya mereka menunjukkan simpati dan dukungannya.
Dengan begitu maka tersebarlah misi saya di
desa. Saya mulai menjelaskan Mazhab Ahlul Bait kepada para penduduk desa. Maka
bangkitlah kemarahan para penganjur ajaran Wahabi, sehingga setiap ceramah yang
mereka sampaikan selalu berisi kecaman dan fitnahan terhadap Syi'ah. Bahkan,
terkadang mereka menyerang pribadi saya, namun saya menghadapi semua itu dengan
sabar dan lapang dada.
Dialog dengan Seorang Pemimpin Wahabi
Telah berlangsung dialog di antara saya
dengan pemimpin mereka, yang bernama Ahmad Amin. Saya meminta kepadanya untuk
menggunakan nalar dan meninggalkan kesemberonoan dan penyerangan yang tidak
layak. Setelah merasa tidak tahan lagi, dan semakin bertambah kekeraskepalaan
dan keta'asuban mereka, maka saya pun pergi ke mesjid mereka dan menunaikan
salat Zuhur di belakang mereka. Setelah selesai salat Zuhur saya bertanya
kepadanya, "Apakah saya pernah memprotes Anda selama ini dikarenakan Anda
mengecam dan mengkafirkan Syi'ah melalui pengeras suara?!"
Dia menjawab, "Tidak."
Saya bertanya lagi, "Apakah Anda tahu
sebabnya?"
Dia menjawab, "Tidak tahu."
Saya berkata, "Sesungguhnya perkataan
Anda adalah penyerangan dan kebodohan, dan sekaligus penentangan terhadap
pribadi saya. Saya takut memprotes Anda karena saya khawatir itu akan menjadi
pembelaan bagi diri saya dan bukan pembelaan bagi kebenaran. Sekarang, saya
minta kepada Anda untuk melakukan dialog ilmiah dan sistematis di hadapan semua
yang hadir, sehingga tersingkap kebenaran."
Dia berkata, "Tidak ada halangan bagi
saya."
Saya menjawab, "Jika begitu silahkan
tentukan tema-tema yang akan didialogkan."
Dia berkata, "Penyimpangan Al-Qur'an dan
keadilan sahabat."
Saya jawab, "Baik, namun ada dua perkara
penting lainnya yang juga harus didialogkan, yaitu tentang sifat Allah dan
tentang kenabian yang ada di dalam keyakinan riwayat Anda."
Dia menjawab, "Tidak!”
Saya tanya, "Kenapa?"
Dia berkata, "Saya yang menentukan
tema-tema dialog. Jika saya meminta dialog kepada Anda, maka baru Anda yang
berhak menentukan tema-tema dialog."
Saya jawab, "Tidak masalah, kapan kita
lakukan?"
Dia berkata, "Hari ini, setelah salat
Magrib." Dia mengira saya akan takut dengan waktu yang dekat ini. Maka
saya pun menunjukkan persetujuan saya dengan senang, dan kemudian meninggalkan
mesjid.
Setelah menunaikan salat magrib dialog pun
dimulai. Mulailah pemimpin mereka, Ahmad Amin sebagaimana biasanya menyerang
dan mengecam Syi'ah dengan tuduhan bahwa Syi'ah meyakini adanya penyimpangan
terhadap Al-Qur'an (tahrif Al-Qur'an), sambil memegang kitab al-Khuthuth
al-'Aridhah (Garis-Garis Peringatan) karya Muhibbuddin di tangannya. Setelah
dia selesai bicara, mulailah saya bicara. Saya bangkit menjawab semua tuduhan
yang dilontarkannya itu secara rinci. Saya katakan, Syi'ah sama sekali berlepas
diri dari keyakinan tahrif Al-Qur'an. Setelah itu saya katakan kepadanya,
"Sebagaimana perkataan Nabi Isa as, 'Engkau melihat jerami yang ada di
pelupuk mata orang namun engkau tidak melihat batang pohon yang ada di pelupuk
matamu', sesungguhnya riwayat-riwayat yang terdapat di dalam kitab-kitab hadis
Ahlul-Sunnah dengan jelas mengatakan adanya tahrif Al-Qur'an. Sehingga
penisbahan keyakinan adanya tahrif Al-Qur'an kepada Ahlul-Sunnah jauh lebih
dekat dari penisbah-annya kepada Syi'ah." Kemudian saya menyebutkan kurang
lebih dua puluh riwayat, dengan disertai sumber dan nomer halamannya dari kitab
Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Musnad Ahmad dan kitab al-Itgan fi 'Ulum
al-Qur'an, karya as-Suyuthi. Sebagai contoh,
Imam Ahmad bin Hanbal mengeluarkan di dalam
Musnadnya, dari Ubay bin Ka'ab yang berkata, "Berapa ayat Anda membaca
surat al-Ahzab?" Dijawab, "Sekitar tujuh puluh tiga sampai tujuh
puluh sembilan ayat." Ubay bin Ka'ab berkata, "Sungguh, saya telah
membacanya bersama Rasulullah saw panjangnya seperti surat al-Baqarah, dan di
dalamnya terdapat ayat rajam."[3]
Imam Bukhari meriwayatkan di dalam kitab sahihnya, dengan bersanad
dari Ibnu Abbas yang berkata bahwa Umar bin Khattab telah berkata,
"Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad saw dengan kebenaran dan telah
menurunkan Al-Qur'an kepadanya. Di antara ayat-ayat yang diturankan oleh Allah
itu ialah ayat rajam, yang kami telah membacanya, menghapalnya dan memahaminya.
Oleh karena itu, Rasulullah saw melaksanakan hukum rajam, dan begitu juga kami
sepeninggalnya. Sungguh aku khawatir jika jaman berlangsung lama atas manusia
akan ada orang yang mengatakan, 'Demi Allah, kami tidak menemukan ayat rajam di
dalam Kitab Allah', maka mereka pun menjadi sesat karena meninggalkan kewajiban
yang telah diturunkan Allah..." Hingga Umar bin khattab mengatakan,
"Begitu juga kami pernah membaca sebuah ayat di dalam Kitab Allah yang
berbunyi,
'Janganlah kamu membenci bapak-bapakmu, karena yang demikian itu
adalah kekufuran bagimu, dan sesungguhnya kekufuran bagimu ialah kamu membenci
bapak-bapakmu."[4]
Muslim meriwayatkan di dalam kitab sahihnya, "Perawi berkata,
'Abu Musa al-Asy'ari diutus menemui para pembaca Al-Qur'an dari penduduk
Basrah, maka dia pun menemui tiga ratus orang yang baru selesai membaca
Al-Qur'an. Abu Musa al Asy'ari berkata kepada mereka, 'Anda adalah
sebaik-baiknya penduduk Basrah dan para pem-baca Al-Qur'an (qori) mereka, maka
bacalah, dan janganlah Anda semua menunda-nunda sehingga hati Anda menjadi
keras sebagaimana orang-orang sebelum Anda. Sungguh kami pernah membaca sebuah surat yang dari segi panjang dan kekerasannya serupa
dengan surat
al-Bara'ah, namun saya telah lupa dan hanya satu ayat saja yang masih saya
hapal, yaitu 'Sekiranya seorang anak Adam mempunyai dua lembah harta nicaya dia
akan mencari lembah yang ketiga, dan tidak ada yang memenuhi perut anak Adam
kecuali tanah.' Begitu pula kami pernah membaca sebuah surat
yang hampir sama dengan salah satu surat
yang diawali dengan tasbih, namun kami telah lupa kecuali satu ayat darinya,
'Wahai orang-orang yang beriman, kenapa Anda mengatakan apa yang
Anda tidak lakukan. Maka akan ditulis kesaksian pada leher-leher Anda, dan
kelak Anda akan ditanya tentangnya pada hari kiamat. '"[5]
Pada saat saya menyebutkan riwayat-riwayat ini, saya lihat kedua
mata Syeikh terbelalak, mulutnya ternganga, dan tampak sekali keheranan di
wajahnya. Ketika saya berhenti bicara, dengan segera Syeikh berkata, "Saya
belum pernah mendengar dan melihat riwayat-riwayat ini. Saya minta Anda menghadirkan kitab-kitab
rujukan ini ke hadapan saya."
Saya jawab, "Baru saja Anda menyerang
Syi'ah dan menuduhnya meyakini tahrif Al-Qur'an, kenapa Anda tidak menghadirkan
kitab-kitab mereka yang belum pernah Anda lihat selama hidup Anda. Anda harus
menghadirkan kitab-kitab rujukan Anda. Ini perpustakaan Anda, di dalamnya
terdapat sahih Bukhari, sahih Muslim dan kitab-kitab hadis lainnya. Coba
ambilkan kitab-kitab ini, sehinga saya tunjukkan riwayat-riwayat ini kepada Anda.
Ketika dia tidak menemukan jalan keluar, dengan serta merta dia lari ke tema
yang lain, yaitu bahwa Syi'ah meyakini konsep taqiyyah. Bagaimana kita dapat
membenarkan perkataan mereka?!
Timbullah kegaduhan di kalangan hadirin,
hingga akhirnya bangkit salah seorang dari mereka mengumandangkan azan Isya.
Selesai mengerjakan salat kami sepakat untuk meneruskan dialog pada hari-hari
yang akan datang, yaitu dengan cara memilih setiap harinya satu tema yang akan
kami dialogkan. Keesokan harinya di waktu pagi saya tengah duduk di depan rumah
saya, kemudian Syeikh itu lewat dan memberi salam kepada saya dengan penuh
hormat seraya berkata, "Sesungguhnya pembahasan-pembahasan ini tidak
dipahami oleh masyarakat umum, maka alangkah bagusnya jika kita berdialog secara
khusus, antara saya dan Anda."
Saya menjawab, "Saya setuju, namun
dengan syarat Anda harus menghentikan serangan kepada Syi'ah." Sejak saat itu saya tidak mendengar lagi dia
menyerang Syi'ah.
BEBERAPA CATATAN YANG HARUS DIPERHATIKAN
Sebelum saya merekam beberapa pembahasan saya
di dalam buku ini, saya ingin mengisyaratkan beberapa catatan yang dapat saya
simpulkan dari pengalaman-pengalaman saya mengenai metode pembahasan.
1.
Yakin dan tawakkal kepada Allah SWT adalah merupakan titik tolak
pembahasan. Allah SWT telah memberikan cahaya akal kepada manusia, dan
menyerahkan urusan penggunaannya ke tangan manusia. Barangsiapa yang
mengabaikan cahaya ini dan tidak menyalakannya untuk menyingkap kenyataan,
niscaya dia akan hidup di dalam timbunan kebodohan, khurafat dan kesesatan.
Berbeda dengan mereka yang menggunakan dan mengembangkan akalnya. Perbedaan di
antara kedua kelompok ini kembali kepada satu sebab, yaitu yakin dan tidak
yakin. Orang yang merasa lemah dan kalah, dia tidak akan memperoleh manfaat
dari akalnya. Adapun orang yang yakin kepada Allah SWT dan kepada akal yang
telah diberikan-Nya niscaya dia akan sampai kepada puncak pengetahuan dan
peradaban. Oleh karena itu, kebanyakan orang yang menentang cara saya di dalam
pembahasan, mereka menggunakan cara ini untuk melemahkan keyakinan diri saya.
Mereka mengatakan, "Dari mana Anda mempunyai kemampuan untuk membahas
masalah-masalah ini?! Sementara ulama-ulama besar kita belum sampai kepada apa
yang yang Anda katakan. Apa kedudukan Anda di hadapan ulama-ulama besar?!"
Dan hal-hal lain yang digunakan untuk menghancurkan keyakinan diri.
2.
Menjauhkan diri dari tindakan menipu diri. Dalam arti, mencegah merembesnya
kebenaran ke dalam akal. Terkadang itu dilakukan dengan cara menutup diri
terhadap kenyataan, sehingga menjadikan seseorang bersikap ta'assub dan tidak
mau mendengarkan kata-kata dan pikiran orang lain, tidak mau membaca buku-buku,
dan tidak mau bersikap terbuka terhadap keilmuan orang lain. Setiap seruan yang
menyuruh kepada penutupan diri, dengan tidak melakukan pembahasan dan tidak
mencari ilmu, maka seruan yang seperti ini adalah seruan yang ingin mempertebal
kebodohan dan menjauhkan manusia dari kebenaran. Sesungguhnya apa yang
dilakukan oleh orang-orang wahabi, yang melarang manusia membaca buku-buku Syi'ah,
dan duduk serta berdiskusi dengan orang-orang Syi'ah, adalah cara yang lemah,
dan merupakan logika yang tidak sehat. Al-Qur'an al-Karim telah mengecam cara
berpikir yang seperti ini dengan firman-Nya, "Katakanlah, 'Tunjukkanlah
bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar." (QS. Al-Baqarah:111)
3.
Memperkuat keinginan dalam menghadapi
gelombang syahwat dan tekanan masyarakat, yang mengelak dari setiap orang yang
menentang dan membangkangnya. Seseorang harus menghadapi tekanan-tekanan ini
dengan kesabaran dan kemauan kuat, karena kebenaran tidak terbentang mudah bagi
masyarakat dan karakter manusia. Sejarah para nabi Allah telah menunjukan
kepada kita betapa mereka mendapat berbagai macam siksaan yang sangat keras
dari masyarakat mereka. Bani Israil telah membunuh tujuh puluh orang nabi dalam
sehari. Allah SWT berfirman, "Dan tiada seorang nabipun datang kepada
mereka melainkan mereka selalu memperolok-oloknya." (QS. az-Zukhruf: 7)
4.
Di sana
terdapat banyak hijab, yang terkadang menjadi penghalang tersingkapnya
kebenaran. Kita harus memperhatikan dan mengawasinya sehingga kebenaran menjadi
lebih jelas. Di antara hijab-hijab itu ialah:
a) Kecintaan terhadap diri. Ini merupakan seburuk-buruknya
penyakit yang menimpa setiap manusia. Dari penyakit inilah terpantul seluruh
sifat yang tercela, seperti hasud, dengki dan keras kepala. Ketika seorang
manusia menjadikan pikiran dan keyakinanya sebagai bagian dari diri dan
eksistensinya, sehingga meskipun pikiran dan keyakinannya itu merupakan sesuatu
yang khurafat dia tidak mungkin mau menerima segala macam bentuk kritikan yang
ditujukan kepadanya. Karena dia menganggap kritikan itu sebagai kritikan
terhadap diri dan eksistensinya. Dengan insting mempertahankan diri dan
kecintaan terhadapnya, dia akan berperang membela pikiran dan keyakinnya dengan
tanpa kesadaran. Dan terkadang dia bersikap ta'asub terhadap sebuah pemikiran
disebabkan pemikiran itu mendatangkan manfaat baginya atau menolak bahaya
darinya. Oleh karena itu, dia akan sekuat tenaga membelanya dan menolak segala
macam bentuk pemikiran yang lain, meskipun kebenarannya tampak jelas di hadapan
matanya. Atau, terkadang juga dia menyukai sebuah pemikiran karena pemikiran
itu sejalan dengan hawa nafsunya atau hawa nafsu masyarakatnya, sehingga dia
tidak akan mau surut darinya.
b) Kecintaan terhadap nenek moyang. Kecintaan ini mendorong
manusia mengikuti mereka dengan tanpa didasarkan kepada pemikiran dan
perenungan. Karena dorongan penghormatan dan rasa takut, disamping pendidikan,
seseorang tunduk dan menyerah secara mutlak kepada pemikiran dan keyakinan
nenek moyang mereka. Ini merupakan salah satu hijab terbesar yang menghalangi
manusia untuk bisa menyingkap kebenaran.
c) Kecintaan kepada salaf. Pandangan mengkultuskan para ulama dan
orang-orang besar terdahulu, menuntun manusia untuk bertaklid kepada mereka
secara mutlak dan bersandar kepada pemikiran-pemikirannya. Ketundukan yang
seperti ini merupakan pendorong bagi manusia untuk menyimpang dari kebenaran.
Allah tidak menjadikan akal mereka sebagai hujjah bagi kita, melainkan justru
akal seluruh manusia sebagai hujjah baginya. Penghormatan kita kepada mereka
tidak melarang kita untuk mendiskusikan dan mengkaji pemikiran-pemikiran
mereka, supaya kita tidak termasuk ke dalam kelompok orang yang dikatakan oleh
Allah SWT, "Dan mereka berkata, 'Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah
mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan
kami dari jalan yang benar.'" (QS.al-Ahzab: 67)
d) Salah satu faktor lain yang mendorong manusia jatuh pada
kesalahan ialah ketergesa-gesaan. Ketergesa-gesaan ini buah dari senang kepada
kemudahan. Dengan tanpa mau bersusah payah dirinya di dalam pembahasan dan
penyelidikan, ia ingin mengeluarkan hukum sedini mungkin. Barangsiapa yang
menginginkan kebenaran maka dia harus memaksa dirinya untuk bekerja keras di
dalam melakukan pembahasan.
Dan begitu juga catatan-catatan ilmiah lainnya yang mau tidak mau
harus diletakkan oleh seorang pembahas di hadapan kedua matanya sebelum mulai
melakukan pembahasan. Ini pun harus disertai dengan penerimaan total manakala
kebenaran itu muncul. Di samping juga memohon pertolongan kepada Allah SWT
supaya Dia menerangi hati Anda dengan cahaya kebenaran. "Ya Allah,
perlihatkanlah kepada kami kebenaran itu kebenaran dan karuniakanlah kepada
kami kemampuan untuk mengikutinya, dan perlihatkanlah kebatilan itu kebatilan
dan karuniakanlah kepada kami kemampuan untuk menjauhinya." (Hadis)●
BAB II
Dan Tersingkaplah Kebohongan
Hadis yang menyatakan "Kamu harus berpegang teguh kepada
sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin sepeninggalku, dan peganglah erat-erat
serta gigitlah dengan gigi gerahammu" dan hadis yang menyatakan
"Sesungguhnya aku meninggalkan dua perkara yang jika kamu berpegang teguh
kepadanya niscaya kamu tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah dan
sunahku", keduanya bagi saya merupakan dalil terkuat yang saya gunakan
ketika saya cenderung kepada pemikiran Wahabi. Saya hafal betul kedua hadis
tersebut sering diulang-ulang oleh para ulama mereka di dalam buku-buku dan
ceramah-ceramahnya, tidak terlintas di dalam benak saya untuk memeriksa referensi
aslinya. Bagi saya kedua hadis itu sebagai sesuatu yang pasti dan tidak perlu
diragukan lagi. Karena kedua hadis itu merupakan dasar utama bangunan pemikiran
Ahlus Sunnah, lebih khusus lagi pemikiran Wahabi yang dibangun kokoh di atas
dasar kedua hadis ini. Tidak terlintas sedikit pun di dalam benak saya untuk
meragukan kesahihan kedua hadis tersebut. Hadis ini pula yang menjadi landasan
titik tolak bergabungnya saya ke dalam mazhab Ahlus Sunnah. Oleh Karenanya,
keraguan terhadap hadis tersebut merupakan keraguan akan keanggotan saya ke
dalam mazhab Ahlus Sunnah.
Pemikiran ini bukanlah merupakan produk jaman sekarang atau produk
pemikiran Ahlus Sunnah, melainkan telah dirancang sejak masa silam dengan
tujuan untuk menyembunyikan kebenaran dan menghadapi jalan Ahlul Bait,
memerankan Islam dengan bentuknya yang paling indah. Namun sangat disayangkan,
kebanyakkan mazhab pemikiran berdiri di atas reruntuhan perancang yang jahat
itu. Mereka menganut pemikiran-pemikirannya sedemikian rupa, sehingga seolah-olah
sebagai sesuatu yang turun dari Allah. Mereka menyebarkan dan membelanya dengan
segala cara. Wahabi merupakan contoh yang jelas dari korban perancang jahat
tersebut, yang telah menjerumuskan umat Islam ke dalam jurang perpecahan.
Kita akan berusaha menyingkap sedikit tipu daya dan
persekongkolannya pada tiap-tiap bab buku ini.
Yang perlu menjadi perhatian kita dari perancang di atas, di dalam
masalah ini, ialah bahwa kedua hadis di atas adalah merupakan langkah pertama
untuk menyelewengkan agama, merubah perjalanan risalah dan menjauhkan kaum
Muslimin dari hadis Rasulullah saw, "Sesungguhnya aku tinggalkan padamu
dua perkara yang sangat berharga, yang jika kamu berpegang teguh kepada
keduanya niscaya kamu tidak akan tersesat sepeninggalku selama-lamanya, yaitu
Kitab Allah dan 'itrah Ahlul Baitku", yang merupakan hadis mutawatir yang
diriwayatkan oleh kitab-kitab hadis Ahlus Sunnah dan Syi'ah, namun
tangan-tangan jahil telah berusaha menyembunyikannya dari pandangan manusia,
dan sebagai gantinya mereka menyebarkan hadis "Kitab Allah dan
sunahku" dan hadis "Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan
sunah para Khulafa` Rasyidin...." yang kelak akan tersingkap
ke-dhaifan-nya.
Saya terkejut manakala mendengar pertama kali hadis "...
Kitab Allah dan 'itrah Ahlul Baitku". Saya takut ... dan berharap hadis
itu tidak sahih, karena dia akan meruntuhkan bangunan pemikiran agama saya, dan
bahkan lebih jauh lagi akan merobohkan tiang penyangga Ahlus Sunnah. Namun,
angin bertiup tidak sebagaimana yang diinginkan perahu .... dan yang terjadi
justru sebaliknya manakala saya memeriksa kedua hadis di atas ke dalam
referensi-referensi aslinya, saya menemukan bahwa hadis ".. Kitab Allah
dan 'itrah Ahlul Baitku ..." termasuk hadis sahih yang tidak dapat seorang
pun meragukannya. Berbeda dengan hadis "... Kitab Allah dan sunahku
..", yang tidak lebih hanya merupakan hadis ahad yang marfu' atau mursal.
Melihat itu hati saya menjadi terpukul. Dari sinilah awal mula saya melakukan
pembahasan. Setelah itu mulailah terkumpul beberapa petunjuk satu demi satu,
sehingga pada akhirnya tersingkaplah kebenaran dengan sejelas-jelasnya. Di sini
kita akan buktikan ke-dhaif-an hadis "Kamu harus berpegang kepada sunahku
dan sunah para Khulafa` Rasyidin .." dan hadis ".. Kitab Allah dan
sunahku ..", serta sekaligus kesahihan hadis ".. Kitab Allah dan
'itrah Ahlul Baitku ..", yang merupakan peluru pertama yang mengenai
jantung pemikiran Ahlus Sunnah.
Hadis "Kamu Harus Berpegang Teguh
Kepada Sunahku Dan Sunah Para Khulafa`
Rasyidin" Merupakan Kebohongan Yang Nyata
"Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para
Khulafa` Rasyidin sepeniggalku, dan peganglah erat-erat serta gigitlah dengan
gigi gerahammu."
Orang yang melihat hadis ini untuk pertama kali dia akan mengira
hadis ini merupakan hujjah yang kokoh dan petunjuk yang jelas akan kewajiban
mengikuti mazhab para Khulafa` Rasyidin. Yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin
Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, dan tidak mungkin membawanya
ke arti lain, kecuali dengan melakukan takwil yang didasari ta'assub. Dari sini
tampak sekali kehebatan tipuan dan kelihaian para pemalsu. Di dalamnya mereka
menetapkan kebenaran mazhab Ahlus Sunnah —madrasah Khulafa` Rasyidin— dihadapan
madzhab Syi'ah —madrasah Ahlul Bait. Dari sini kita dapat menjelaskan bahwa
pertumbuhan madrasah-madrasah pemikiran Ahlus Sunnah adalah di dalam rangka
menentang mazhab Ahlul Bait. Karena madrasah-madrasah tersebut berdiri di atas
dasar hadis ini dan hadis-hadis lain yang sepertinya.
Namun, dengan menggunakan pandangan ilmiah dan dengan sedikit
bersusah payah di dalam meneliti kenyataan sejarah dan hal-hal yang melingkupi
hadis ini dan hadis-hadis lain yang sepertinya, atau dengan melihat ke dalam
ilmu hadis dan ilmu al-Jarh wa at-Ta'dil, niscaya akan tampak dengan jelas
kebohongan hadis ini.
Sungguh sangat bodoh jika seorang Ahlus Sunnah berhujjah kepada
orang Syi'ah dengan hadis ini. Itu dikarenakan hadis ini hanya ada di kalangan
Ahlus Sunnah, sehingga mereka tidak bisa memaksa orang Syi'ah dengan hadis yang
tidak mereka riwayatkan di dalam kitab-kitab referensi mereka.
Namun, disebabkan saya seorang pembahas dari kalangan Ahlus Sunnah
maka mau tidak mau saya harus bertitik tolak dari kitab-kitab referensi Ahlus
Sunnah, sehingga dapat menjadi pegangan bagi saya; dan ini yang menjadi acuan
saya di dalam melakukan pembahasan. Kita harus bersandar kepada acuan ini di
dalam berdialog dan berargumentasi. Karena sebuah argumentasi tidak dapat
dikatakan argumentasi kecuali jika mengikat pihak lawan, sehingga menjadi
hujjah baginya. Dan ini yang tidak disadari oleh kebanyakkan ulama Ahlus Sunnah
manakala mereka berhujjah kepada orang-orang Syi'ah. Misalnya, mereka berhujjah
dengan menggunakan hadis ini, sementara orang Syi'ah berhujjah dengan
menggunakan hadis ".. Kitab Allah dan 'itrah Ahlul Baitku .."
Perbedaan di antara kedua hujjah ini sangat besar sekali. Karena hadis
"sunahku" hanya ada di dalam kitab-kitab hadis Ahlus Sunnah sementara
hadis "'itrah Ahlul Baitku" dapat ditemukan di dalam kitab-kitab
hadis kedua kelompok.
REFERENSI-REFERENSI HADIS
Sesungguhnya kesulitan pertama yang dihadapi hadis "Kamu
harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin ..."
ialah Bukhari Muslim membuangnya dan tidak meriwayatkannya. Dan ini berarti
kekurangan di dalam derajat kesahihannya. Karena sesahih-sahihnya hadis adalah
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh dua orang Syeikh, yaitu Bukhari dan Muslim.
Kemudian yang diriwayatkan oleh Bukhari saja. Lalu yang diriwayatkan oleh
Muslim saja. Kemudian yang memenuhi syarat keduanya. Kemudian yang memenuhi
syarat Bukhari saja. Dan kemudian yang memenuhi syarat Muslim saja.
Keutamaan-keutaman ini tidak terdapat di dalam hadis di atas.
Hadis di atas terdapat di dalam Sunan Abu Dawud, Sunan Turmudzi
dan Sunan ibnu Majah.
Riwayat Turmudzi
Turmudzi telah meriwayatkan hadis ini dari Bughyah bin Walid. Dan,
inilah pandangan para ulama ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil tentang Bughyah bin
Walid: Ibnu Jauzi berkata tentangnya di dalam sebuah perkataan, "Sungguh
kami ingat bahwa Bughyah telah meriwayatkan dari orang-orang yang majhul dan
orang-orang lemah. Mungkin saja dia tidak menyebutkan mereka dan tidak
menyebutkan orang-orang yang meriwayatkan baginya."[6]
Ibnu Hiban berkata, "Tidak bisa berhujjah dengan
Bughyah."[7]
Ibnu Hiban juga berkata, "Bughyah seorang penipu. Dia meriwayatkan dari
orang-orang yang lemah, dan para sahabatnya tidak meluruskan perkataannya dan
membuang orang-orang yang lemah dari mereka."[8]
Abu Ishaq al-Jaujazani berkata, "Semoga Allah merahmati
Bughyah, dia tidak peduli jika dia menemukan khurafat pada orang tempat dia
mengambil hadis."[9]
Dan ucapan-ucapan lainnya dari para huffadz dan ulama ilmu al-Jarh
wa at-Ta’dil. Dan apa yang telah kita sebutkan itu sudah cukup.
Sanad Hadis Pada Abu Dawud
Walid bin Muslim meriwayatkan hadis dari Tsaur an-Nashibi.
Sebagaimana kata Ibnu Hajar al-'Asqolani, "Kakeknya telah terbunuh pada
hari Muawiyah terserang penyakit sampar. Adapun Tsaur, jika nama Ali disebut
dihadapannya dia mengatakan, "Saya tidak menyukai laki-laki yang telah
membunuh kakek saya."[10]
Adapun berkenaan dengan Walid, adz-Dzahabi berkata, "Abu
Mushir mengatakan Abu Walid seorang penipu, dan mungkin dia telah
menyembunyikan cacat para pendusta."[11]
Abdullah bin Ahmad bin Hambal berkata "Ayah saya ditanya
tentangnya (tentang Walid), dia menjawab, 'Dia seorang yang suka mengangkat-angkat."[12]
Dan begitu juga perkataan-perkataan yang lainnya. Itu sudah cukup
untuk mendhaifkan riwayatnya.
Sanad Hadis Pada Ibnu Majah.
Diriwayatkan melalui tiga jalan:
- Pada jalan hadis pertama terdapat Abdullah bin 'Ala. Adz-Dzahabi
berkata tentangnya, "Ibnu Hazm berkata, 'Yahya dan yang lainnya telah
mendaifkannya.'[13]
Dia telah meriwayatkan hadis dari Yahya, dan Yahya adalah seorang yang majhul
dalam pandangan Ibnu Qaththan."[14]
- Adapun pada jalan yang kedua terdapat Ismail bin Basyir bin
Manshur. Dia itu seorang pengikut aliran Qadariyyah di dalam kitab Tahdzib
at-Tahdzib.[15]
Adapun pada jalan ketiga disisi ibnu majah adalah sebagai berikut:
Hadis diriwayatkan dari Tsaur —seorang nashibi— Abdul Malik bin Shabbah. Di
dalam kitab Mizan al-I'tidal disebutkan, "Dia dituduh mencuri hadis."[16]
Di samping itu, hadis tersebut sebagai hadis ahad. Seluruh
riwayatnya kembali kepada seorang sahabat, Urbadh bin Sariyah. Hadis ahad tidak
bisa digunakan sebagai hujjah, disamping Urbadh termasuk pengikut dan agen
Muawiyah.
Kenyatan Sejarah Dan Hadis Ahlus Sunnah.
Adapun kenyataan sejarah juga mendustakan hadis ini. Sejarah
menyebutkan bahwa sunah yang suci belum ditulis pada masa Rasulullah saw, dan
bahkan di sana
terdapat hadis-hadis yang berasal dari saluran Ahlus Sunnah yang menyebutkan
bahwa Rasulullah saw melarang penulisan hadis. Seperti perkataan Rasulullah
saw,
"Janganlah kamu menulis sesuatu dariku. Barangsiapa yang
menulis sesuatu dariku selain Al-Qur'an maka hendaknya dia menghapusnya."
Sebagaimana yang terdapat di dalam Sunan ad-Darimi[17] dan Musnad Ahmad.
Di dalam sebuah riwayat disebutkan, "Mereka meminta izin
kepada Rasulullah saw untuk menulis hadis beliau, namun Rasulullah saw tidak
mengizinkan mereka." Dan riwayat-riwayat lainnya secara jelas melarang
penulisan hadis yang berasal dari Rasulullah saw. Semua itu tidak lain
merupakan upaya perancang untuk mencegah tersebarnya hadis Rasulullah saw,
supaya kebenaran tidak kelihatan. Mereka tidak berhenti sampai di sini, Umar
telah berijtihad secara gamblang untuk menghapus hadis. Urwah bin Zubair telah
meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab ingin menulis sunah, lalu dia bermusyawarah
tentang hal itu dengan para sahabat. Para
sahabat memberi isyarat supaya dia menuliskannya. Maka mulailah Umar
beristkharah kepada Allah tentang hal itu selama sebulan. Kemudian, pada suatu
hari Allah menetapkan hatinya, lalu dia berkata,
"Tadinya saya bermaksud ingin menulis sunah, namun kemudian
saya ingat satu kaum sebelum kamu yang menulis kitab-kitab dan menekuni
pekerjaan itu lalu mereka meninggalkan Kitab Allah. Demi Allah, saya tidak akan
mengenakan sesuatu apapun kepada Kitab Allah untuk selama-lamanya."[18]
Dari Yahya bin Ju'dah disebutkan bahwa Umar bin Khattab hendak
menuliskan sunah, kemudian tampak baginya untuk tidak menuliskannya, maka dia
pun mengumumkan di kota-kota, barangsiapa yang mempunyai sesuatu (hadis) di
sisinya maka hendaknya dia menghapusnya.[19]
Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa setiap kali Khalifah Umar bin
Khattab mengirim seorang hakim atau gubernur ke sebuah negeri dia memberikan
pesan, dan salah satu dari pesannya ialah, "Ringkaskan Al-Qur'an,
sedikitkan riwayat dari Muhammad, maka aku menyertaimu”.[20]
Sejarah telah mencatat bahwa Khalifah Umar bin Khattab telah
berkata kepada Abu Dzar, Abdullah bin Mas'ud dan Abu Darda, "Hadis apa ini
yang engkau sebarkan dari Muhammad?!"[21]
Juga disebutkan bahwa Umar bin Khattab mengumpulkan hadis dari
seseorang, mereka mengira Umar bin Khattab hendak memeriksa dan meluruskannya
sehingga tidak ada perselisihan di dalamnya, maka merekapun membawa
tulisan-tulisan hadis mereka, lalu Umar membakarnya seraya berkata,
"Kebohongan sebagaimana kebohongan Ahlul Kitab." Sebagaimana yang
diriwayatkan oleh al-Khatib dari al-Qasim di dalam kitab Tagyid al-'Ilm.
Adapun alasan yang disebutkan oleh Umar bin Khattab untuk menyita
sunah adalah alasan yang tidak dapat diterima oleh seorang yang bodoh sekali
pun, apalagi oleh seorang yang berilmu. Karena hal itu bertentangan dengan
Al-Qur'an, ruh agama, dan akal. Bagaimana dia dapat mengatakan "Ringkaskan
Al-Qur'an dan sedikitkan riwayat", padahal Al-Qur'an sendiri mengatakan
bahwa kehujjahannya berdiri dengan sunah. Karena sunah adalah penjelas,
pen-takhsis, pen-taqyid dan lain sebagainya. Allah SWT telah berfirman,
"Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan."
Bagaimana Rasulullah saw menerangkan Al-Qur'an?! Bukankah dengan
sunah?! Allah SWT telah berfirman, "Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan
tidak pula keliru, dan tiadaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
kepadanya. "
Apa manfaat wahyu jika kita diperintahkan untuk menyembunyikan dan
membakarnya. Adapun sunah yang mereka gunakan sebagai hujjah akan wajibnya
mengikuti sunah, telah mengalami serangkaian silsilah persekongkolan.
Persekongkolan ini dimulai sejak jaman Abu Bakar di mana dia membakar lima ratus hadis yang
ditulis pada masa Rasulullah saw di jaman kekhilafahannya.[22] Aisyah
berkata, "Ayah saya mengumpulkan lima
ratus hadis Rasulullah saw, lalu dia tidur dengan keadaan berguling-guling
(tidak tenang). Pada saat bangun pagi dia berkata, 'Wahai anak perempuanku,
kemarikan hadis-hadis yang ada padamu.' Maka saya pun membawakannya, dan lalu
dia membakarnya. Kemudian Ayah saya berkata, 'Saya takut saya mati sementara
hadis-hadis ini masih berada di sisimu.'"[23]
Umar bin Khattab telah memerintahkan kepada seluruh penjuru negeri
pada masa kekhilafahannya, bahwa barang siapa telah menulis sebuah hadis maka
dia harus menghapusnya.[24]
Utsman pun melakukan hal yang sama. Karena dia telah memberi tanda
tangan untuk meneruskan jalan yang telah ditempuh oleh Syeikhain, yaitu Abu
Bakar dan Umar. Usman berkata di atas mimbar, "Tidak boleh seorang pun
meriwayatkan sebuah hadis yang belum pernah didengar pada masa Abu Bakar dan
Umar."[25]
Kemudian sepeninggalnya jalan tersebut diteruskan oleh Muawiyah
bin Abi Sufyan. Muawiyah bin Abi Sufyan berkata, "Wahai manusia,
sedikitkan riwayat dari Rasulullah saw, dan jika kamu menyampaikan hadis maka
sampaikanlah hadis sebagaimana yang telah disampaikan pada masa Umar."[26]
Dengan begitu, perbuatan menghentikan penulisan hadis menjadi
sebuah sunah yang diikuti, dan perbuatan menulis hadis dihitung sebagai sebuah
kemunkaran.
Propaganda yang menyesatkan yang dilakukan oleh para penguasa
dalam masalah penulisan hadis ini tidak lain bertujuan untuk menutupi
keutamaan-keutamaan Ahlul Bait. Mungkin alasan ini tidak bisa diterima oleh
banyak orang, namun inilah kenyataan yang ditemukan oleh para peneliti sejarah.
Lalu setelah itu, sunah yang mana yang telah diperintahkan oleh Rasulullah saw
untuk diikuti?!
Apakah sunah yang telah dihapus oleh Umar atau sunah yang telah
dibakar oleh Abu Bakar?!
Lalu apa yang harus diperbuat oleh orang yang hendak berpegang
kepada sunah sepeninggal Rasulullah saw?!
Sebagai contoh, seseorang hidup bersama para sahabat. Lalu untuk
mengetahui sebuah sunnah Rasulullah saw, apakah dia harus mencari semua sahabat
yang tersebar di berbagai negeri, yang mana sebagian dari mereka ada yang
menjadi gubernur dan komandan?!
Apakah dia harus menemui mereka semua untuk menanyakan sebuah
hukum yang ingin dia ketahui, atau apakah cukup dengan hanya merujuk kepada
para sahabat yang ada, namun yang demikian tentunya tidak mencukupi, karena
terdapat kemungkinan adanya pembatal (nasikh), pengkhusus (mukhashshish) dan
pembatas (muqayyid) sunnah tersebut, dengan hadirnya seorang atau dua orang
sahabat yang tidak ada di kota yang bersangkutan? Dan kehujjahan sunah
—sebagaimana kata Ibnu Hazm— tidak dapat tegak berdiri kecuali dengan mereka.
Jika yang demikian ini sulit bagi orang yang bertemu dengan para sahabat,
padahal jumlah mereka sedikit, maka apa lagi setelah kekuasan Islam bertambah
luas dan telah banyak negeri yang ditaklukkan, sementara semakin banyak
pertanyaan yang muncul tentang berbagai kejadian.
Dengan apa mereka bisa menjawab?!
Begitulah banyak hadis dan hukum yang hilang, dan ini memang
merupakan tujuan dari persekongkolan yang mereka lakukan. Umar bin Khattab
dengan lantang mengatakkan hal itu pada masa Rasulullah saw, ketika Rasulullah
saw bersabda pada saat hendak meninggal dunia,
"Ambilkan aku tulang pundak dan tinta, supaya aku tuliskan
sebuah tulisan yang kamu tidak akan sesat selama-lamanya sesudahnya." Lalu
Umar berkata, "Sesungguhnya dia sedang mengigau, cukup bagi kita Kitab
Allah saja."[27]
Tujuan yang melatarbelakangi pelarangan mendatangkan tulang pundak
dan tinta bagi Rasulullah saw yang hendak menuliskan sebuah tulisan yang akan
mencegah mereka dari kesesatan adalah tujuan yang sama dengan yang
melatarbelakangi pelarangan pengumpulan dan penulisan hadis.
Bagaimana bisa mereka meriwayatkan hadis "Berpegang teguhlah
kepada sunahku" sementara para sahabat dan khalifah tidak berpegang
kepadanya, dan bahkan dengan lantang mereka mengatakan sesuatu yang lain dari
itu, sebagaimana yang diriwayatkan oleh adz-Dzahabi di dalam kitab Tadzkirah
al-Huffadz. Adz-Dzahabi berkata, "Sesungguhnya Abu Bakar Shiddiq
mengumpulkan manusia sepeninggal wafatnya Nabi mereka. Lalu Abu Bakar berkata
kepada mereka, 'Sesungguhnya kamu menyampaikan hadis-hadis Rasulullah saw namun
kamu berselisih tentangnya, dan orang-orang sepeninggalmu akan lebih keras
perselisihannya, maka oleh karena itu janganlah kamu menyampaikan satu hadis
pun dari Rasulullah saw. Dan jika ada orang bertanya kepadamu maka katakanlah,
di antara kita terdapat Kitab Allah, maka halalkan lah apa yang dihalalkannya
dan haramkan lah apa yang diharamkannya."[28]
"Sesungguhnya yang normal ialah tidak ditetapkannya sesuatu
yang belum tersusun dan terbukukan sebagai sumber penetapan hukum bagi umat,
kecuali jika terdapat penanggung jawab yang menjadi rujukan tentangnya."[29]
Umat Islam sepakat bahwa sunah Nabi belum dibukukan pada masa
Rasulullah saw dan pada masa para khalifah, dan sunah tidak dibukukan kecuali
setelah satu abad setengah dari wafatnya Raslullah saw. Lantas dengan alasan
apa mereka mengatakan, "Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku
..."
Hadis Lain
Bunyi nasnya: "Aku tinggalkan dua perkara padamu yang jika
kamu berpegang teguh kepada keduanya niscaya kamu tidak akan tersesat, yaitu
Kitab Allah dan sunah Nabi-Nya."
Hadis ini lebih lemah lagi untuk bisa didiskusikan. Adapun hal-hal
yang dapat kita katakan mengenai hadis ini, di samping hal-hal yang telah
disebutkan pada hadis sebelumnya ialah,
1. Hadis ini tidak diriwayatkan oleh para penulis kitab sahih yang
enam dikalangan Ahlus Sunnah, dan ini sudah cukup untuk mendhaifkannya.
Bagaimana bisa mereka berpegang kepada sebuah hadis yang sama sekali tidak ada
di dalam kitab-kitab sahih dan musnad mereka. Seseorang yang memperhatikan
bagaimana hadis ini diperlakukan dikalangan Ahlus Sunnah, sepertinya dia akan
merasa yakin bahwa hadis ini telah diriwayatkan oleh kitab-kitab sahih,
terutama sahih Bukhari dan sahih Muslim; padahal kenyataannya hadis ini sama
sekali tidak terdapat di dalam kitab-kitab sahih dan musnad.
2. Sesungguhnya sumber-sumber pertama yang menyebutkan hadis ini
ialah kitab al-Muwaththa Imam Malik, Sirah Ibnu Hisyam dan ash-Shawa'iq Ibnu
Hajar, dan saya tidak menemukan kitab lain yang meriwayatkan hadis ini.
Kitab-kitab ini telah menukil kedua hadis ini secara bersama-sama, kecuali
kitab al-Muwaththa.
3. Riwayat hadis ini mursal di dalam kitab ash-Shawa'iq, dan
terpotong sanadnya di dalam Sirah Ibnu Hisyam.[30] Ibnu Hisyam mengaku bahwa dia mengambil
hadis ini dari Sirah Ibnu Ishaq, dan saya telah mencarinya di dalam Sirah Ibnu
Ishaq namun saya tidak menemukannya di dalam semua cetakannya. Lantas, dari
mana sebenarnya Ibnu Hisyam mengambil hadis ini....?!
4. Adapun riwayat Malik terhadap hadis ini adalah khabar marfu'
yang tidak ada sanadnya. Perawi al-Muwaththa berkata, "Telah berkata Malik
kepada saya bahwa telah sampai berita kepadanya sesungguhnya Rasulullah saw
telah bersabda ... (al-hadis)."[31]
Sebagaimana Anda lihat, hadis ini tidak bersanad, maka oleh karena
itu tidak boleh bersandar kepadanya. Mengapa hanya Malik yang meriwayatkan
hadis ini sementara gurunya Abu Hanifah atau muridnya Syafi'i dan Ahmad bin
Hanbal tidak meriwayatkannya. Jika hadis ini sahih maka kenapa para Imam mazhab
dan para Imam hadis berpaling darinya.
5. Al-Hakim mengeluarkan hadis ini di dalam mustadrak-nya[32] dengan dua
jalur. Pada jalur pertama terdapat Zaid ad-Dailasi, dari Doimah, dari Ibnu
Abbas. Kita tidak mungkin dapat menerima hadis ini karena pada sanadnya
terdapat Ikrimah si pendusta.[33] Dia termasuk seorang musuh Ahlul Bait as,
dan termasuk orang yang memerangi dan mengkafirkan Ali as. Adapun pada jalur
yang kedua terdapat Shalih bin Musa ath-Thalhi, dari Abdul Aziz bin Rafi', dari
Ibnu Shalih, dari Abu Hurairah. Hadis ini pun tidak mungkin dapat diterima,
karena menurut riwayat Abu Sa’id al-Khudri hadis ini dikatakan oleh Rasulullah
saw pada saat beliau terbaring hendak wafat, sementara pada waktu itu Abu
Hurairah sedang berada di Bahrain karena diutus bersama 'Ala al-Hadhrami satu tahun setengah sebelum
Rasulullah saw wafat. Lantas kapan Abu Hurairah mendengar Rasulullah saw yang
sedang terbaring hendak wafat mengatakan hadis ini?!
6. Sunan al-Kubra Baihaqi menukil hadis ini pada juz 10, halaman
4, terbitan Dar al-Ma'rifah Beirut - Lebanon . Dia
menukil hadis "Aku tinggalkan padamu Kitab Allah dan 'ltrah Ahlul
Baitku", dan kemudian menukil dua hadis mustadrak dengan nas.
7. Kitab al-Faqih al-Mutafaqqih, karya Khatib al-Baghdadi, jilid
1, halaman 94, mensahihkan hadis ini; dan kemudian Syeikh al- Anshari, anggota
lembaga fatwa Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah Beirut - Lebanon memberikan komentar
tentangnya. Dia menukli dua hadis: Yang pertama hadis mustadrak (dari Abi
Shalih, dari Abu Hurairah). Adapun hadis baru yang dia nukilkan ialah, Saif bin
Umar telah meriwayatkan kepadaku, dari Ibnu Ishaq al-Asadi, dari Shabah bin
Muhammad, dari Abu Hazm, dari Abi Sa'id al-Khudri .... al-hadis. Sanad ini
tidak mungkin dapat diterima berdasarkan kesaksian para ulama ilmu al-Jarh wa
at-Ta'dil, dikarenakan adanya Saif bin Umar, yang telah disepakati kedustaan
dan kebohongannya. Saya akan ketengahkan kepada Anda pandangan para ulama
tentang dia.
8. Kitab al-Ilma' ila Ma'rifah Ushul ar-Riwayah wu Taqyid
as-Sima', karya Qadhi 'lyadh yang hidup pada tahun 479 - 544 Hijrah, hasil
tahkik Sayyid Ahmad Shaqir, cetakan pertama, penerbit Dar ar- Ra's an-Nashirah
—Maktabah al-'Atiqah— Tunis, halaman 9, menukil nas hadis ini dari kitab
al-Faqih al-Mutafaqqih, yang pada sanadnya terdapat Saif bin Umar.
Selain dari yang kami telah sebutkan di atas tidak ada satu buku
pun lainnya yang menukil hadis "Kitab Allah dan sunahku". Dengan
demikian, hadis ini tidak ditetapkan kecuali oleh tiga jalur, yaitu dari Ibnu
Abbas, Abu Sa’id al-Khudri dan Abu Hurairah. Ketiga jalur ini, bersama dengan
kedhaifannya, baru muncul pada pertengahan abad kelima hijrah, yaitu setelah
masa Hakim. Dan tidak satu pun kitab yang lebih tua dari itu yang menyebutkan
ketiga jalan ini. Ini yang pertama. Yang kedua, ketiga sahabat tersebut, yaitu
Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan Abu Sa'id al-Khudri telah meriwayatkan hadis
"Kitab Allah dan 'ltrah Ahlul Baitku" pada abad kedua hijrah,
sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Muslim. Mana di antara keduanya yang
akan kita terima.[34]
Dialog Dengan Muhaddis Dan Hafidz Kota Damaskus, Abdul
Qadir al-Arnauthi
Selama saya tinggal di Syiria saya bertemu dengan Syeikh Abdul
Qadir al-Arnauthi, salah seorang ulama Syiria. Dia mempunyai ijazah di dalam
ilmu hadis.Pertemuan ini berlangsung dengan tanpa persiapan dari saya, melainkan
terjadi dengan kebetulan. Saya mempunyai seorang teman dari Sudan yang
bernama Adil. Saya mengenalnya di kawasan Sayyidah Zainab as, dan Allah SWT
telah menerangi hatinya dengan cahaya Ahlul Bait as. Teman saya ini memiliki
sifat-sifat terpuji yang jarang ditemukan pada yang lainnya. Dia seorang yang
berakhlak, taat beragama dan warak. Keadaan telah memaksanya untuk bekerja di
sebuah ladang di kawasan yang ber-nama "Adliyyah", kurang lebih
berjarak sembilan kilometer sebelah selatan kawasan Sayyidah Zainab as. Di
sebelah ladang tempat dia bekerja terdapat ladang lain milik seorang laki-laki
tua yang dipanggil dengan sebutan Abu Sulaiman.
Ketika tetangga ini tahu bahwa orang Sudan yang bekerja di ladang
sebelahnya itu orang Syi'ah, dia datang dan berbicara kepadanya. Tetangga itu
berkata,
"Wahai saudaraku, orang-orang Sudan itu orang Ahlus Sunnah yang
baik, lantas dari mana kamu menjadi Syi'ah?! Apakah di keluargamu ada orang
yang bermazhab Syi'ah?"
Adil menjawab, "Tidak, namun agama dan keyakinan tidak dibangun
di atas dasar taklid kepada masyarakat dan keluarga."
Tetangga itu berkata, "Sesungguhnya Syi'ah menipu dan
membohongi masyarakat."
Adil menjawab, "Saya tidak melihat yang demikian itu dari
mereka."
Tetangga itu berkata lagi, "Benar, kami mengenal mereka
dengan baik."
Adil berkata, "Wahai haji, apakah Anda percaya pada Bukhari
dan Muslim dan kitab-kitab sahih yang enam?"
Tetangga itu menjawab, "Tentu."
Adil berkata lagi, "Sesungguhnya Syi'ah berargumentasi atas
berbagai keyakinan yang mereka yakini dengan menggunakan sumber-sumber ini,
apalagi sumber-sumber mereka."
Tetangga itu berkata, "Mereka itu berdusta. Mereka mempunyai
sahih Bukhari dan Muslim yang telah diselewengkan."
Adil menjawab, "Mereka tidak mengharuskan saya dengan kitab
tertentu, melainkan mereka meminta saya untuk mencarinya di perpustakaan
manapun di dunia Arab."
Tetangga itu berkata, "Ini bohong, saya wajib mengembalikan
Anda ke dalam Ahlus Sunnah. Karena Rasulullah saw telah bersabda, "Jika
Allah memberikan petunjuk kepada seorang laki-laki dengan perantaraanmu, maka
yang demikian itu lebih baik bagimu dibandingkan seluruh dunia dan
isinya."
Adil berkata, "Kita ini pencari kebenaran dan petunjuk, kita
akan condong bersama argumentasi ke mana pun argumentasi itu condong."
Tetangga itu berkata, "Saya akan mendatangkan kepadamu ulama
terbesar di kota
Damaskus. Yaitu 'Allamah Abdul Qadir ar-Arnauti, seorang ulama terpandang dan
ahli hadis yang hafal Al-Qur'an. Orang-orang Syi'ah telah berusaha membujuknya
dengan uang berjuta-juta supaya dia bersama mereka, namun dia menolaknya."
Teman saya Adil menyetujui rencana ini. Abu Sulaiman berkata
kepadanya, "Janji kita pada hari Senin, Anda dan orang-orang Sudan lainnya
yang terpengaruh pikiran Syi'ah silahkan datang." Adil datang kepada saya.
Dia mengabarkan apa yang telah terjadi, dan meminta saya untuk pergi
bersamanya. Dengan sangat senang saya menerima tawaran itu. Saya janji akan
pergi bersamanya pada hari Senin tanggal 8 Safar 1417 Hijrah, tepat jam 12
siang.
Hari itu adalah hari yang sangat panas. Kami berkumpul di tempat
yang telah dijanjikan, dan kemudian kami bertolak ke ladang bersama tiga
orang Sudan lainnya. Setelah kami sampai,
teman kami Adil menyambut kami di ladang yang hijau yang dipenuhi dengan
berbagai pohon buah-buahan, seperti murbei, persik, apel dan buah-buahan
lainnya yang tidak terdapat di negara kami, Sudan .
Setelah itu kami pun tergesa-gesa menuju ladang tetangganya yang
Ahlus Sunnah itu. Tetangga itu menyambut kedatangan kami dengan kasar. Setelah
beristirahat sejenak di tempat yang dikelilingi sayur-sayuran itu, saya berdiri
untuk mengerjakan salat Zuhur. Pada saat saya mengerjakan salat Zuhur tibalah
rombongan yang membawa Syeikh ar-Arnauthi. Ruangan bangunan telah dipenuhi oleh
manusia sementara bagian luarnya telah dipenuhi oleh mobil. Kebingungan melanda
wajah teman-teman saya, dikarenakan kedudukan yang sedemikian tingginya. Karena
mereka tidak mengira urusan ini sedemikian besarnya. Setelah masing-masing
menempati tempatnya, saya memilih tempat di sebelah Syeikh.
Setelah berlangsung acara perkenalan di antara semua, pemilik
ladang berkata kepada Syeikh, "Mereka ini adalah saudara-saudara kita dari
Sudan .
Mereka telah terpengaruh Syi'ah di kawasaan Sayyidah Zainab. Di antara mereka
ada seorang Syi'ah yang bekerja di ladang sebelah kami."Syeikh itu
bertanya, "Mana yang Syi'ah itu?"
Mereka menjawab, "Pergi ke ladangnya, dan nanti akan kembali
tidak lama lagi."Syeikh berkata, "Kalau begitu kita tunda pembicaraan
kita hingga dia kembali."
Salah seorang Sudan
pergi mencarinya dan kemudian membawanya ke majlis. Syeikh memanfaatkan
kesempatan ini untuk membacakan banyak hadis yang dia hafal di luar kepala.
Adapun tema hadis-hadis yang dibacakannya itu ialah berkenaan dengan keutamaan
sebagian negeri atas sebagian negeri yang lain, khususnya yang berkenaan dengan
negeri Syiria dan kota
Damaskus. Tema ini telah memakan waktu sekitar setengah jam. Sebuah tema yang
tidak ada faidahnya. Saya sangat heran kenapa dia tidak memanfaatkan kesempatan
ini, padahal semua yang hadir telah menajamkan pikiran mereka untuk
mendengarkan hadis yang dapat mereka manfaatkan di dalam agama dan dunia
mereka. Kemudian dia berkata, "Sesungguhnya agama Allah tidak diambil
berdasarkan nasab dan keturunan. Allah SWT telah menjadikan agamanya untuk
semua manusia, lalu dengan hak apa kita mengambil agama kita dari Ahlul Bait?!
Rasulullah saw telah memerintahkan kita untuk berpegang teguh kepada Kitab
Allah dan sunahnya. Hadis ini adalah hadis yang sahih yang tidak ada seorang
pun yang mampu mendhaifkannya, dan tidak ada jalan lain selain jalan ini."
Kemudian dia menepukkan tangannya ke punggung Adil sambil berkata kepadanya,
"Wahai anakku, jangan sampai perkataan Syi'ah dapat menipumu."
Saya memotong pembicaraannya dengan mengatakan, "Yang mulia
Syeikh, kami adalah pencari kebenaran, dan kini perkara telah bercampur
sedemikian rupa sehingga membingungkan kami. Oleh karena itu, kami datang
kepada Anda supaya dapat mengambil manfaat dari Anda manakala kami mengetahui
Anda seorang ulama besar, ahli hadis dan hafidz."Syeikh itu menjawab,
"Itu benar."
Saya berkata lagi, "Sudah merupakan sesuatu yang tidak
diragukan lagi bahwa kaum Muslimin telah terbagi ke dalam beberapa golongan dan
mazhab, dan masing-masing golongan mengklaim bahwa dirinyalah yang benar
sementara yang lainnya salah. Apa yang harus saya lakukan sementara saya
diwajibkan oleh agama Allah untuk mengetahui kebenaran di antara jalan-jalan
yang saling bertentangan itu?! Apakah Allah menghendaki kita berpecah-belah
atau menginginkan kita berada pada satu agama, yaitu kita menyembah Allah
dengan agama yang satu?! Jika ya, lantas jaminan apa yang telah ditinggalkan
oleh Allah dan Rasul-Nya untuk kita supaya umat terjaga dari kesesatan?
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa perselisihan pertama yang
terjadi di antara kaum Muslimin adalah perselisihan yang terjadi secara
langsung setelah Rasulullah saw wafat, padahal Rasulullah saw tidak mungkin
meninggalkan umatnya tanpa ada petunjuk."
Syeikh berkata, "Sesungguhnya jaminan yang telah ditinggalkan
oleh Rasulullah saw untuk mencegah umat dari perselisihan ialah sabdanya yang
berbunyi, "Sesungguhnya aku tinggalkan sesuatu padamu yang jika kamu
berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan tersesat, yaitu Kitab Allah
dan sunah."
Saya berkata, "Beberapa saat yang lalu Anda menyebutkan
terkadang ada sebuah hadis yang tidak ada sumbernya, artinya tidak disebut di
dalam kitab-kitab hadis."
Syeikh menjawab, "Itu benar." Saya katakan kepadanya,
"Hadis ini tidak memiliki sumber di dalam kitab-kitab sahih yang enam,
lantas kenapa Anda menyebutkannya, sementara Anda seorang muhaddis?"
Di sini, bangkitlah kemarahan Syeikh, lalu dia berteriak lantang,
"Apa yang Anda maksud, apakah Anda ingin mendhaifkan hadis ini." Saya
merasa heran kenapa Syeikh sedemikian marah padahal saya tidak mengatakan
apa-apa.
Saya berkata, "Sabar, sesungguhnya pertanyaan saya hanya
satu, yaitu apakah hadis ini terdapat di dalam kitab sahih yang enam?"
Syeikh itu menjawab, "Kitab sahih itu tidak hanya enam. Kitab hadis itu
banyak sekali. Hadis ini terdapat di dalam kitab al-Muwaththa Imam Malik."
Saya berkata dengan menghadap kepada para hadirin, "Baik,
Syeikh telah mengakui bahwa hadis ini tidak terdapat di dalam kitab-kitab sahih
yang enam, dan hanya terdapat di dalam kitab al-Muwaththa Imam Malik."
Dengan nada tinggi dia memotong pembicaraan saya dengan
mengatakan, "Lalu, apakah kitab al-Muwaththa bukan kitab hadis?"
Saya menjawab, "Kitab al-Muwaththa kitab hadis, namun hadis
'Kitab Allah dan sunahku' adalah marfu' dengan tanpa sanad, padahal diketahui
bahwa semua hadis yang terdapat di dalam kitab al-Muwaththa bersanad."
Di sini Syeikh berteriak setelah hujjahnya patah. Dia mulai
memukul saya dengan tangannya dan menggerak-gerakkan tubuh saya ke kanan dan ke
kiri sambil berkata, "Anda ingin mendhaifkan hadis ini, padahal Anda ini
siapa sehingga hendak mendhaifkannya." Dia tidak dapat mengontrol emosinya
sehingga tindak tanduknya telah keluar dari batas-batas yang wajar. Seluruh
orang yang hadir merasa heran dengan gerak dan tingkah lakunya.
Saya berkata, "Ya Syeikh, di sini tempat diskusi dan dalil,
dan cara ini tidak layak untuk diikuti. Saya telah duduk dengan banyak ulama
Syi'ah namun saya tidak pernah melihat sama sekali cara yang seperti ini."
Allah SWT berfirman, 'Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.' Setelah itu, dia sedikit
reda dari kemarahannya.
Saya berkata, "Ya Syeikh, saya bertanya kepada Anda apakah
riwayat Malik terhadap hadis "Kitab Allah dan sunahku" di dalam kitab
al-Muwaththa itu dhaif atau sahih?!"Dengan penuh berat hati Syeikh
menjawab, "Dhaif."
Saya berkata, "Jika demikian, kenapa Anda mengatakan hadis
tersebut ada di dalam kitab al-Muwaththa padahal Anda tahu hadis tersebut
dhaif?"
Dengan nada tinggi Syeikh menjawab, "Sesungguhnya hadis
tersebut mempunyai jalan-jalan yang lain."
Saya berkata kepada para orang-orang yang hadir, "Syeikh
telah melepaskan riwayat al-Muwaththa, dan mengatakan bahwa hadis ini mempunyai
jalan-jalan yang lain, maka marilah kita mendengarkan jalan-jalan itu
darinya."
Di sini Syeikh merasa malu, karena sebenarnya tidak ada jalan yang
sahih yang dimiliki hadis ini. Pada saat itu tiba-tiba salah seorang hadirin
yang duduk berbicara, lalu Syeikh menepuk saya dan berkata sambil menunjuk
kepada orang yang bicara, "Dengarkan dia." Saya tahu dia ingin lari
dari pertanyaan sulit yang saya lontarkan kepadanya. Saya merasakan itu
darinya, namun saya tetap bersikeras dan berkata, "Ya Syeikh, sebutkanlah
kepada kami jalan-jalan lain yang dimiliki hadis ini?"
Dengan nada putus asa Syeikh menjawab, "Saya tidak hapal, dan
saya akan menuliskannya untuk Anda."
Saya berkata, "Subhanallah! Anda hapal seluruh hadis-hadis
ini, hadis-hadis tentang keutamaan negeri-negeri, namun tidak hapal jalan hadis
terpenting yang merupakan pilar utama mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang
menjaga umat dari kesesatan, sebagaimana yang telah Anda katakan."
Mendengar itu Syeikh terdiam seribu bahasa.
Ketika para hadirin merasakan rasa malu Syeikh, salah seorang dari
mereka berkata kepada saya, "Apa yang Anda inginkan dari Syeikh, padahal
Syeikh telah berjanji akan menuliskannya untuk Anda."
Saya berkata, "Saya akan coba dekatkan jalan untuk Anda.
Sesungguhnya hadis ini juga terdapat di dalam kitab Sirah Ibnu Hisyam dengan
tanpa sanad."
Syeikh al-Arnauthi berkata, "Sirah Ibnu Hisyam adalah kitab
sejarah, bukan kitab hadis." Saya berkata, "Kalau begitu berarti Anda
mendhaifkan riwayat ini." Syeikh al-Arnauthi menjawab, "Ya."
Saya berkata, "Anda telah membantu saya menyelesaikan diskusi ini."
Kemudian saya meneruskan perkataan saya dengan mengatakan,
"Hadis ini juga terdapat di dalam kitab al-llma' karya Qadhi 'lyadh, dan
kitab al-Faqih al-Mutafaqqih karya Khatib al-Bagdadi, apakah Anda mengambil
riwayat-riwayat ini?"
Syeikh menjawab, “Tidak”. Saya berkata, "Jika demikian, maka
hadis "Kitab Allah dan sunahku" itu dhaif menurut kesaksian Syeikh,
dan tidak ada jaminan lain di hadapan kita kecuali satu jaminan yang akan
mencegah umat dari perselisihan, yaitu hadis mutawatir dari Rasulullah saw yang
diriwayatkan oleh kitab-kitab hadis Ahlus Sunnah dan kitab-kitab sahih yang
enam selain Bukhari, yaitu sabda Rasulullah saw yang berbunyi,
"Aku meninggalkan dua perkara yang sangat berharga, yang jika
kamu berpegang teguh kepada keduanya niscaya kamu tidak akan tersesat
sepeninggalku, yaitu Kitab Allah, yang merupakan tali yang terbentang di antara
langit dan bumi, dan 'ltrah Ahlul Baitku. Sesungguhnya Zat Yang Maha Mengetahui
telah memberitahukanku bahwa keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga mendatangiku
di telaga," Sebagaimana yang terdapat di dalam riwayat Ahmad bin Hambal.
Tidak ada alternatif lain bagi seorang Mukmin yang menginginkan Islam
sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya selain dari
jalan ini. Yaitu jalan Ahlul Bait yang mereka telah disucikan di dalam
Al-Qur'an al-Karim dari segala dosa dan kotoran. Dan kemudian saya menyebutkan
sekumpulan keutamaan-keutamaan Ahlul Bait as. Tidak sebagaimana biasanya,
Syeikh terdiam tidak mengatakan satu patah kata pun selama saya berbicara.
Ketika murid-murid Syeikh melihat kekalahan di wajah gurunya,
mereka pun membuat kegaduhan dengan berteriak-teriak. Saya berkata,
"Sungguh merupakan dajjal, kemunafikan dan penghindaran dari kebenaran.
Sampai kapan pengingkaran ini akan terus berlangsung?! Kebenaran jelas
ayat-ayatnya, tampak kelihatan penjelasan-penjelasannya, dan saya telah
menegakkan hujjah atas Anda bahwa tidak ada agama selain dari Kitab Allah dan
'ltrah Rasululah saw yang suci."
Syeikh diam dan tidak membantah sedikit pun apa yang saya katakan.
Tiba-tiba dia berdiri sambil berkata, "Saya ingin pergi, saya punya tugas
mengajar", padahal dia tahu dia diundang untuk makan siang!!
Tuan rumah memaksa dia untuk tetap tinggal, dan setelah makanan
disajikan suasana majlis pun menjadi tenang, dan Syeikh tidak mengatakan
sepatah kata apa pun selama menyantap makanan, padahal sebelumnya dia yang
menguasai majlis dan pembicaraan.
Demikianlah nasib setiap orang yang menghindari dan menyembunyikan
kebenaran. Mau tidak mau pasti akan tersingkap di hadapan orang banyak.
Kesulitan Ahlus Sunnah Tidak Akan Terpecahkan
Dengan Kedua Hadis Ini
Jika seandainya kita membiarkan semua itu dan menerima kesahihan
hadis "Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para Khulafa`
Rasyidin .." dan hadis ".. Kitab Allah dan sunahku.. " dengan
tanpa membantah, maka yang demikian itu tidak akan bisa menyelamatkan Ahlus
Sunnah dan tidak akan bisa memecahkan masalah berat yang dihadapinya. Bahkan
justru segenap jalan dan kecendrungan akan mendukung dan memperkuat mazhab
Ahlul Bait as (Syi'ah). Yang demikian itu dikarenakan hadis pertama yang
ber-bunyi, "Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para
Khulafa` Rasyidin al-mahdiyyin sepeninggal."
Para Khalifah Itu Adalah Para
Imam Ahlul Bait
Sesungguhnya kata "khulafa" di dalam hadis ini tidaklah
dikhususkan untuk satu golongan tertentu, dan penafskan kalangan Ahlus Sunnah
bahwa para khalifah itu adalah para khalifah yang empat adalah sebuah
pentakwilan yang tanpa dalil. Karena pernyataan (proposisi) yang dikemukakan
lebih luas dari klaim, dan bahkan bukti-bukti mengatakan sebaliknya. Yaitu
bahwa yang dimaksud dengan para khalifah rasyidin ialah para Imam dua belas
dari Ahlul Bait as. Disebabkan dalil-dalil dan riwayat-riwayat yang pasti yang
menetapkan bahwa para khalifah rasyidin sepeninggal Rasulullah saw itu
berjumlah dua belas orang khalifah. Al-Qanduzi al-Hanafi telah meriwayatkan di
dalam kitabnya Yanabi' al-Mawaddah, "Yahya bin Hasan telah menyebutkan di
dalam kitab al-'Umdah melalui dua puluh jalan bahwa para khalifah sepeninggal
Rasulullah saw itu berjumlah dua belas orang khalifah, dan seluruhnya dari
bangsa Quraisy. Dan begitu juga di dalam Sahih Bukhari melalui tiga jalan, di
dalam Sahih Muslim melalui sembilan jalan, di dalam Sunan Abu Dawud melalui
tigajalan, di dalam Sunan Turmudzi melalui satu jalan, dan di dalam al-Hamidi
melalui tiga jalan. Di dalam Sahih Bukhari berasal dari Jabir yang mengatakan,
"Rasulullah saw telah bersabda, 'Akan muncul sepeninggalku dua belas orang
amir', kemudian Rasulullah saw mengatakan sesuatu yang saya tidak mendengarnya.
Lalu saya menanyakannya kepada ayah saya, 'Apa yang telah dikatakannya?' Ayah
saya men-jawab, 'Semuanya dari bangsa Quraisy.'" Adapun di dalam Sahih
Muslim berasal dari 'Amir bin Sa'ad yang berkata, "Saya menulis surat kepada Ibnu Samrah,
'Beritahukan kepada saya sesuatu yang telah Anda dengar dari Rasulullah saw.'
Lalu Ibnu Samrah menulis kepada saya, 'Saya mendengar Rasulullah saw bersabda
pada hari Jumat sore pada saat dirajamnya al-Aslami, 'Agama ini akan tetap
tegak berdiri hingga datangnya hari kiamat dan munculnya dua belas orang
khalifah yang kesemuanya berasal dari bangsa Quraisy."[35]
Setelah ini tidak ada lagi orang yang bisa berhujjah dengan hadis
"Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para Khulafa`
Rasyidin.." dengan menerapkannya kepada para khalifah yang empat.
Dikarenakan riwayat-riwayat yang mutawatir yang mencapai dua puluh jalan, yang
kesemuanya dengan jelas mengatakan khalifah itu ada dua belas orang; dan kita
tidak akan menemukan penafsiran bagi riwayat-riwayat ini pada dunia nyata
kecuali pada para Imam mazhab Ahlul Bait yang dua belas. Dengan demikian,
Syi'ah adalah satu-satunya kelompok yang merupakan personifikasi dari makna
hadis-hadis ini, dikarenakan penerimaan mereka kepada kepemimpinan Imam Ali as,
kemudian Imam Hasan dan Imam Husain, dan setelah itu sembilan orang Imam dari
keturunan Imam Husain, sehingga jumlah mereka seluruhnya berjumlah dua belas
orang Imam.
Meskipun kata "Quraisy" yang terdapat di dalam
riwayat-riwayat ini bersifat mutlak dan tidak dibatasi, namun dengan
riwayat-riwayat dan petunjuk-petunjuk yang lain menjadi jelas bahwa yang
dimaksud adalah Ahlul Bait. Dan itu disebabkan adanya banyak riwayat yang
menunjukkan kepada kepemimpinan Ahlul Bait. Insya Allah, kita akan memaparkan
sebagiannya pada pembahasan-pembahasan yang akan datang.
Pada kesempatan ini saya cukupkan Anda dengan riwayat yang
berbunyi, "Aku tinggalkan padamu sesuatu yang jika kamu berpegang teguh
kepadanya niscaya kamu tidak akan tersesat sepeninggalku, yaitu Kitab Allah dan
'ltrah Ahlul Baitku."[36]
Agama ini akan tetap tegak berdiri dengan kepemimpinan dua belas
orang khalifah, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh riwayat-riwayat
sebelumnya. Pada saat yang sama terdapat riwayat-riwayat yang menekankan
keseiringan Ahlul Bait dengan Kitab Allah. Ini merupakan sebaik-baiknya dalil
yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan "dua belas orang khalifah"
itu adalah para Imam dari kalangan Ahlul Bait.
Adapun ungkapan "semuanya berasal dari Quraisy" itu
tidak lain merupakan pemalsuan di dalam hadis. Ungkapan ini mereka letakkan
supaya petunjuk yang jelas akan wajibnya mengikuti Ahlul Bait menjadi kabur.
Karena sesungguhnya ungkapan yang benar ialah "semuanya berasal dari Bani
Hasyim", namun tangan-tangan jahat senantiasa mencari keutamaan-keutamaan
Ahlul Bait, untuk kemudian mereka sembunyikan semampu mereka, atau mengganti
dan merubah sesuatu dari mereka yang dapat diselewengkan.[37]
Riwayat ini merupakan salah satu korban daripada pengubahan.
Namun, Allah SWT menampakkan cahaya-Nya. Al-Qanduzi al-Hanafi sendiri telah
menukilnya di dalam kitabnya Yanabi' al-Mawaddah. Pada mawaddah kesepuluh dari
kitab Mawaddah al-Qurba, bagi Sayyid Ali al-Hamadani —semoga Allah SWT
mensucikan jalannya dan mencurahkan keberkahannya kepada kita— disebut-kan,
"Dari Abdul Malik bin 'Umair, dari Jabir bin Samrah yang ber-kata, 'Saya
pernah bersama ayah saya berada di sisi Rasulullah saw, dan ketika itu
Rasulullah saw bersabda, 'Sepeninggalku akan ada dua belas orang khalifah.'
Kemudian Rasulullah saw menyamarkan suar-anya. Lalu saya bertanya kepada ayah
saya, 'Perkataan apa yang disamarkan olehnya?' Ayah saya menjawab, 'Rasulullah
saw berkata, 'Semua berasal dari Bani Hasyim."[38]
Bahkan Al-Qanduzi meriwayatkan banyak hadis lain yang lebih jelas
dari hadis-hadis di atas. Al-Qanduzi telah meriwayat dari 'Abayah bin Rab'i,
dari Jabir yang mengatakan, "Rasulullah saw telah bersabda, 'Saya adalah
penghulu para nabi dan Ali adalah penghulu para washi, dan sesungguhnya para
washi sepeninggalku berjumlah dua belas orang. Yang pertama dari mereka adalah
Ali, dan yang terakhir dari mereka adalah al-Qa'im al-Mahdi."'[39]
Setelah menyebutkan hadis-hadis ini, Al-Qanduzi al-Hanafi tidak
menemukan apa-apa selain harus mengakui dan mengatakan, "Sesungguhnya
hadis-hadis yang menunjukkan bahwa para khalifah sesudah Rasulullah saw
sebanyak dua belas orang khalifah, telah banyak dikenal dari banyak jalan, dan
dengan penjelasan jaman dan pengenalan alam dan tempat dapat diketahui bahwa
yang dimaksud oleh Rasulullah saw dari hadis ini ialah para Imam dua belas dari
Ahlul Bait Rasulullah saw. Karena tidak mungkin kita dapat menerapkannya pada
raja-raja Bani Umayyah, dikarenakan jumlah mereka yang lebih dari dua belas
orang dan dikarenakan kezaliman mereka yang amat keji, kecuali Umar bin Abdul
Aziz, dan dikarenakan mereka bukan dari Bani Hasyim. Karena Rasulullah saw
telah bersabda, 'Seluruhnya dari Bani Hasyim', di dalam riwayat Abdul Malik,
dari Jabir. Dan begitu juga penyamaran suara yang dilakukan oleh Rasulullah saw
di dalam perkataan ini, memperkuat riwayat ini. Dikarenakan mereka tidak
menyambut baik kekhilafahan Bani Hasyim. Kita juga tidak bisa menerapkannya
kepada raja-raja Bani 'Abbas, disebabkan jumlah mereka yang lebih banyak
dibandingkan jumlah yang disebutkan, dan juga dikarenakan mereka kurang menjaga
ayat "Katakanlah, 'Aku tidak meminta upah apapun kepadamu atas risalah
yang aku sampaikan kecuali kecintaan kepada keluargaku'" dan hadis Kisa`.
Maka mau tidak mau hadis ini harus diterapkan kepada para Imam dua belas dari
Ahlul Bait Rasulullah saw. Karena mereka adalah manusia yang paling berilmu
pada jamannya, paling mulia, paling warak, paling bertakwa, paling tinggi dari
sisi nasab, paling utama dari sisi kedudukan dan paling mulia di sisi Allah
SWT. Ilmu mereka berasal dari bapak-bapak mereka, dan terus bersambung kepada
datuk mereka Rasulullah saw.[40] Maka penerapan hadis "Kamu harus berpegang teguh
pada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin yang mendapat petunjuk
sepeninggalku" kepada para Imam Ahlul Bait jauh lebih dekat dibandingkan
menerapkannya kepada para khalifah yang empat. Karena sudah jelas bahwa para
khalifah sepeninggal Rasulullah saw itu berjumlah dua belas orang khalifah,
yang kesemuanya berasal dari Bani Hasyim.
Ahlul Bait, Jalan Untuk Berpegang Kepada
Al-Kitab Dan Sunnah.
Adapun hadis "Aku tinggalkan padamu sesuatu yang jika kamu
berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan sesat selama-lamanya
sepeninggalku, yaitu Kitab Allah dan sunahku" tidak bertentangan dengan
hadis "Kitab Allah dan 'ltrah Ahlul Baitku". Dua hal baru bisa
dikatakan ta'arud (bertentangan) manakala pertentangan yang terjadi di antara
keduanya sedemikian rupa sehingga mustahil untuk dapat dipertemukan. Padahal
kedua hadis di atas dapat diper-temukan dan sama sekali tidak ada pertentangan
di antara keduanya. Ibnu Hajar al-Juhdhi telah menyakinkan kita tentang
mungkinnya menggabungkan kedua hadis di atas. Dia menyebutkan di dalam kitab
ash-Shawa'iq-nya, "Rasulullah saw bersabda di dalam hadisnya, 'Sesungguhnya
aku meninggalkan padamu dua perkara yang jika kamu mengikuti keduanya niscaya
kamu tidak akan tersesat. Yaitu Kitab Allah dan Ahlul Baitku.' Thabrani
menambahkan tentang Ahlul Bait, 'Janganlah kamu mendahului mereka nanti kamu
binasa, janganlah kamu tertinggal dari mereka nanti kamu celaka, dan janganlah
kamu mengajari mereka karena sesungguhnya mereka lebih tahu dari kamu.' Pada
sebuah riwayat disebutkan bahwa 'Kitab Allah dan sunahku' merupakan maksud dari
hadis-hadis yang hanya dibatasi pada Kitab Allah, karena sunnah merupakan
penjelas bagi Kitab Allah, sehingga penyebutan Kitab Allah saja sudah
mencukupi. Alhasil, sesungguhnya anjuran jatuh kepada berpegang teguh kepada
Kitab Allah, sunah-sunnah dan manusia-manusia yang mengetahui keduanya dari
kalangan Ahlul Bait. Dari keterangan hadis-hadis di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa ketiga perkara tersebut akan tetap ada hingga hari
kiamat."[41]
Dengan ungkapan yang lebih teliti, sesungguhnya apa yang dikatakan
oleh Ibnu Hajar tersebut ingin mengatakan bahwa perintah berpegang teguh kepada
sunah tidak dapat dilakukan kecuali melalui jalan para pemeliharanya, yaitu
Ahlul Bait. Karena Ahlul Bait pasti lebih tahu dengan apa yang ada di dalam
rumah. Sebagaimana yang telah ditetapkan oleh riwayat-riwayat dan telah
disaksikan oleh sejarah. Sehingga dengan demikian, sesungguhnya anjuran yang
berasal dari Rasulullah saw telah jatuh pada berpegang teguh kepada Kitab Allah
dan Ahlul Bait; dan berpegang teguh kepada sunah sudah merupakan keharusan dari
berpegang teguh kepada Ahlul Bait.•
BAB III
Hadis "Kitab Allah dan ‘Itrah
Ahlul Bait" di dalam Referensi-Referensi Ahlus Sunnah
Pada pembahasan yang lalu, telah jelas bagi Anda tentang kelemahan
hadis "berpegang kepada sunah", yang dianggap sebagai pilar utama
bagi tegak berdirinya bangunan mazhab Ahlus Sunnah. Inilah yang menyebabkan
kenapa para ulama mereka sedemikian bersungguh-sungguh menyembunyikan riwayat
"Kitab Allah dan 'itrahku", dan menyebarkan hadis "Kitab Allah dan
sunahku", sehingga melekat ke dalam benak masyarakat sedemikian rupa,
sampai derajat manakala saya menyebutkan hadis "'itrah" kepada jamaah
mana pun juga tampak keheranan pada wajah-wajah mereka.
Oleh karena itu, pada pasal ini saya ingin —supaya sempurna
hujjah— membuktikan hadis "'itrah" dari kitab-kitab Ahlus Sunnah
dengan seluruh jalannya, dan inilah rinciannya:
SANAD HADIS
Jumlah Perawi Dari Kalangan Sahabat
Hadis ini telah mencapai derajat mutawatir dari sekumpulan
sahabat, dan inilah sebagian nama-nama mereka:
1. Zaid bin Arqam.
2. Abu sa'id al-Khudri.
3. Jabir bin Abdullah.
4. Hudzaifah bin Usaid.
5. Khuzaimah bin Tsabit.
6. Zaid bin Tsabit.
7. Suhail bin Sa'ad.
8. Dhumair bin al-Asadi,
9. 'Amir bin Abi Laila (al-Ghifari).
10. Abdurrahman bin 'Auf.
11. Abdullah bin Abbas.
12. Abdullah bin Umar.
13. 'Uday bin Hatim.
14. 'Uqbah bin 'Amir.
15. Ali bin Abi Thalib.
16. Abu Dzar al-Ghifari.
17. Abu Rafi'.
18. Abu Syarih al-Khaza'i.
19. Abu Qamah al-Anshari.
20. Abu Hurairah.
21. Abu Hatsim bin Taihan.
22. Ummu Salamah.
23. Ummu Hani binti Abi Thalib.
24. Dan banyak lagi laki-laki dari kalangan Quraisy.
Jumlah Perawi Dari Kalangan Thabi'in
Penukilan hadis ini juga telah mencapai tingkatan mutawatir pada
jaman tabi'in, dan inilah sebagian dari para tabi'in yang menukil hadis
"Kitab Allah dan 'itrahku":
1. Abu Thufail 'Amir bin Watsilah.
2. 'Athiyyah bin Sa'id al-'Ufi.
3. Huns bin Mu'tamar.
4. Harits al-Hamadani
5. Hubaib bin Abi Tsabit.
6. Ali bin Rabi'ah.
7. Qashim bin Hisan.
8. Hushain bin Sabrah.
9. 'Amr bin Muslim.
10. Abu Dhuha Muslim bin Shubaih.
11. YahyabinJu'dah.
12. Ashbagh bin Nabatah.
13. Abdullahbin Abirafi'.
14. Muthalib bin Abdullah bin Hanthab.
15. Abdurrahman bin Abi sa'id.
16. Umar bin Ali bin Abi Thalib.
17. Fathimah binti Ali bin Abi Thalib.
18. Hasan bin Hasan bin bin Ali bin Abi Thalib.
19. Ali Zainal Abidin bin Husain, dan yang lainnya.
Jumlah Para
Perawi Hadis Ini Pada Tiap-Tiap Abad
Adapun orang yang meriwayatkan hadis ini sesudah jaman sahabat dan
tabi'in, dari kalangan ulama umat, para penghafal hadis dan para imam terkenal
selama berabad-abad, bukanlah suatu jumlah yang dapat kami sebutkan nama dan
riwayat mereka satu persatu. Sekelompok para ulama dan peneliti telah
menghitung jumlah mereka, dan untuk lebih rincinya silahkan Anda merujuk kepada
kitab 'Abagat al-Anwar, juz pertama dan kedua.
Pada kesempatan ini saya mencukupkan diri dengan hanya menyebutkan
jumlah mereka pada setiap tingkatan masa, dari abad kedua hingga abad keempat
belas
• Abad kedua: Jumlah perawi sebanyak 36 orang.
• Abad ketiga: Jumlah perawi sebanyak 69 orang.
• Abad keempat: Jumlah perawi sebanyak 38 orang.
• Abad kelima: Jumlah perawi sebanyak 21 orang.
• Abad keenam: Jumlah perawi sebanyak 27 orang.
• Abad ketujuh: Jumlah perawi sebanyak 21 orang.
• Abad kedelapan: Jumlah perawi sebanyak 24 orang.
• Abad kesembilan: Jumlah perawi seabanyak 13 orang.
• Abad kesepuluh: Jumlah perawi sebanyak 20 orang.
• Abad kesebelas: Jumlah perawi sebanyak 11 orang.
• Abad kedua belas: Jumlah perawi sebanyak 18 orang.
• Abad ketiga belas: Jumlah perawi sebanyak 12 orang.
• Abad keempat belas: Jumlah perawi sebanyak 13 orang.
Dengan begitu jumlah para perawi hadis dari abad ketiga hingga
abad keempat belas semuanya berjumlah 323 orang. Perhatikanlah ini!@@@@
HADIS "KITAB DAN 'ITRAH" DI DALAM
KITAB-KITAB HADIS
Adapun mengenai kitab-kitab hadis yang meriwayatkan hadis ini
jumlahnya banyak sekali. Kami akan menyebutkan sebagian darinya:
1. Sahih Muslim, juz 4, halaman 123, terbitan Dar al-Ma'arif Beirut - Lebanon .
Muslim meriwayatkan di dalam kitab sahihnya, "Telah berkata
kepada kami Muhammad bin Bakkar bin at-Tarian, "Telah berkata kepada kami
Hisan (yaitu Ibnu Ibrahim), dari Sa'id (yaitu Ibnu Masruq), dari Yazid bin
Hayan yang berkata, 'Kami masuk kepada Zaid bin Arqam dan berkata, 'Anda telah
melihat kebajikan. Anda telah bersahabat dengan Rasulullah saw dan telah salat
di belakangnya. Anda telah menjumpai banyak kebaikan, ya Zaid (bin Arqam).
Katakanlah kepada kami, ya Zaid (bin Arqam), apa yang Anda telah dengar dari Rasulullah
saw.' Zaid (bin Arqam) berkata, 'Wahai anak saudaraku, demi Allah, telah lanjut
usiaku, telah berlalu masaku dan aku telah lupa sebagian yang pernah aku ingat
ketika bersama Rasulullah. Oleh karena itu, apa yang aku katakan kepadamu
terimalah, dan apa yang aku tidak katakan kepadamu janganlah kamu membebaniku
dengannya.' Kemudian Zaid bin Arqam berkata,
'Pada suatu hari Rasulullah saw berdiri di tengah-tengah kami
menyampaikan khutbah di telaga yang bernama "Khum", yang terletak di
antara Mekkah dan Madinah. Setelah mengucapkan hamdalah dan puji-pujian
kepada-Nya serta memberi nasihat dan peringatan Rasulullah saw berkata,
'Adapun selanjutnya, wahai manusia, sesungguhnya aku ini manusia
yang hampir didatangi oleh utusan Tuhanku, maka aku pun menghadap-Nya.
Sesungguhnya aku tinggalkan padamu dua perkara yang amat berharga, yang pertama
adalah Kitab Allah, yang merupakan tali Allah. Barangsiapa yang mengikutinya
maka dia berada di atas petunjuk, dan barangsiapa yang meninggalkannya maka dia
berada di atas kesesatan.' Kemudian Rasulullah saw melanjutkan sabdanya,
'Adapun yang kedua adalah Ahlul Baitku. Demi Allah, aku peringatkan kamu akan
Ahlul Baitku, aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku, aku peringatkan kamu akan
Ahlul Baitku.' Kemudian kami bertanya kepadanya (Zaid bin Arqam), 'Siapakah
Ahlul Baitnya, apakah istri-istrinya?' Zaid bin Arqam menjawab, 'Demi Allah,
seorang wanita akan bersama suaminya untuk suatu masa tertentu. Kemudian jika
suaminya menceraikannya maka dia akan kembali kepada ayah dan kaumnya. Adapun
Ahlul Bait Rasulullah adalah keturunan Rasulullah saw yang mereka diharamkan
menerima sedekah sepeninggal beliau. " Muslim juga meriwayatkan:
Dari Zuhair bin Harb dan Syuja' bin Mukhallad, semuanya dari Ibnu
'Uliyyah. Zuhair berkata, "Telah berkata kepada kami Ismail bin Ibrahim,
'Telah berkata kepada kami Abu Hayan, 'Telah berkata kepada kami Yazid bin
Hayan yang berkata, 'Saya pergi...' dan kemudian dia menyebutkan hadis di
atas."
Muslim meriwayatkan dari Abu Bakar bin Abi Syaibah yang berkata,
"Telah berkata kepada kami Muhammad bin Fudhail, 'Telah berkata kepada
kami Ishaq bin Ibrahim, 'Telah memberitahukan kepada kami Jarir', keduanya dari
Abi Hayyan .... kemudian dia menyebutkan hadis."
Seluruh riwayat Muslim kembali kepada Abi Hayyan bin Sa'id
at-Tamimi. Adz-Dzahabi telah berkomentar tentangnya,
"Yahya bin Sa'id bin Hayyaan Abu Hayyan at-Tamimi adalah
seorang pejuang yang diagungkan dan dipercaya. Ahmad bin Abdullah al-'Ajali
berkata tentangnya, 'Dia seorang yang dapat dipercaya, saleh dan unggul sebagai
pemilik sunah."[42]
Adz-Dzahabi juga berkata di dalam kitab al- 'lbar, jilid 1,
halaman 205, "Di dalamnya terdapat Yahya bin Sa'id at-Tamimi, Mawla Tim
ar-Rabbab al-Kufi. Dia itu seorang yang dapat dipercaya dan Imam pemilik sunah.
Asy-Sya'bi dan yang lainnya meriwayatkan darinya.
Yafi'i berkata, "Di dalamnya terdapat Yahya bin Sa'id
at-Tamimi al-Kufi. Dia itu seorang yang dapat dipercaya dan Imam pemilik
sunah."[43]
Al-'Asqalani berkata, "Abu Hayyan at-Tamimi al-Kufi adalah
seorang yang dapat dipercaya, salah seorang ahli ibadah yang enam, dan wafat
pada tahun 45 Hijrah."[44]
Dan komentar-komentar para ulama ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil lainnya
tentang Abu Hayyan at-Tamimi.
Sebagaimana diketahui dengan jelas bahwa hadis ini diriwayatkan di
dalam Sahih Muslim, dan ini menunjukkan akan kesasihannya, dikarenakan kaum
Muslimin sepakat untuk mensahihkan selurah hadis yang diriwayatkannya.
Muslim sendiri dengan tegas telah mengatakan bahwa seluruh hadis
yang terdapat di dalam Kitab Sahihnya telah disepakati kesahih-annya. Apalagi
dalam pandangannya sudah tentu sahih. Hafidz as-Suyuthi telah berkata,
"Muslim berkata, 'Tidak semua yang sahih saya letakkan di sini, melainkan
saya hanya meletakkan yang telah disepakati kesahihannya.'" Sebagaimana
tertulis di dalam kitab at-Tadrin ar-Rawi.
An-Nawawi berkata di dalam biografi Muslim, "Muslim telah
menyusun banyak kitab di dalam ilmu hadis, dan salah satunya adalah kitab sahih
ini, yang telah Allah SWT anugrahkan kepada kaum Muslimin."[45]
Dan komentar-komentar yang lainnya yang tidak mungkin disebutkan
seluruhnya.
2. Riwayat hadis pada al-Imam al-Hafidz Abi 'Abdillah al-Hakim
an-Naisaburi, di dalam kitab mustadraknya atas Bukhari dan Muslim, jilid 3,
halaman 22, kitab Ma'rifah as-Shahabah, terbitan Dar al-Ma'rifah Beirut –
Lebanon.
- Abu 'Awanah meriwayatkan hadis ini dari al-A'masy Tsana Habib
bin Abi Tsabit, dari Abi Laila, dari Zaid bin Arqam yang berkata, "Tatkala
Rasulullah saw kembali dari haji wada' dan singgah di Ghadir Khum, Rasulullah
saw menyuruh para sahabatnya bernaung di bawah pepohonan. Kemudian Rasulullah
saw bersabda, 'Aku hampir dipanggil oleh Allah SWT, maka aku harus memenuhi
panggilannya. Sesungguhnya aku meninggalkan dua perkara yang amat berharga,
yang mana yang satunya lebih besar dari yang lainnya, yaitu Kitab Allah dan
'itrah Ahlul Baitku. Maka perhatikanlah bagaimana sikapmu terhadap keduanya,
karena sesungguhnya keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga datang
menemuiku di telaga.' Kemudian Rasulullah melanjutkan sabdanya, 'Sesungguhnya
Allah Azza Wajalla adalah pemimpinku, dan aku adalah pemimpin setiap orang
Mukmin', lalu Rasulullah saw mengangkat tangan Ali seraya berkata, 'Barangsiapa
yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka inilah Ali pemimpinnya."'
Dengan demikian, Rasulullah saw menekankan bahwa yang pertama dari Ahlul Bait
dan sekaligus pemimpin mereka yang wajib diikuti ialah Ali as.
Sebagaimana juga diriwayatkan dari dari Hassan bin Ibrahim
al-Kirmani Tsana Muhammad bin Salma bin Kuhail, dari ayahnya, dari Abi Thufail,
dari Ibnu Watsilah yang berkata bahwa dirinya mendengar Zaid bin Arqam
berkata... (dan dia menyebutkan hadis sebagaimana yang di atas), hanya saja dia
menambahkan, 'Kemudian Rasulullah saw bersabda, Tidakkah kamu tahu bahwa aku
lebih berhak atas orang-orang Mukmin dibandingkan diri mereka sendiri' sebanyak
tiga kali. Mereka menjawab, 'Ya.' Rasulullah saw bersabda lagi, 'Barangsiapa
yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka inilah Ali pemimpinnya.'"
- Al-Hakim juga meriwayatkannya melalui dua jalan yang lain; dan
supaya tidak terlalu panjang saya cukupkan dengan hanya membuktikan dua jalan.
Dan di antara bukti yang menunjukkan kesahihan dan kemutawatiran
hadis ini ialah bahwa al-Hakim telah meriwayatkannya dan telah menetapkan
kesahihannya berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim.
3. Riwayat hadis pada Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, jilid
3, halaman 14, 17, 26 dan 59, terbitan Dar Shadir Beirut - Lebanon.
Telah berkata kepada kami Abdullah, 'Telah berkata kepada kami Abi
Tsana Abu an-Nadzar Tsana Muhammad, yaitu Ibnu Abi Thalhah, dari al-A'masy,
dari 'Athiyyah al-'Ufi, dari Abi Sa'id al-Khudri, dari Rasulullah saw yang
berkata, "Aku merasa segera akan dipanggil (oleh Allah) dan aku akan
memenuhi panggilan itu. Aku tinggalkan padamu dua perkara yang amat berharga,
yaitu Kitab Allah Azza Wajalla dan 'itrahku (kerabatku). Kitab Allah, tali
penghubung antara langit dan bumi; dan 'itrahku, Ahlul Baitku. Dan sesungguhnya
Allah Yang Maha Mengetahui telah berkata kepadaku bahwa keduanya tidak akan
berpisah sehingga berjumpa kembali denganku di telaga. Oleh karena itu,
perhatikanlah bagaimana kamu memperlakukan keduanya itu."
Imam Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkan, "Telah berkata
kepada kami Abdullah, 'Telah berkata kepada kami Tsana bin Namir Tsana
Abdullah, yaitu Ibnu Abi Sulaiman, dari 'Athiyyah, dari Abi Sa'id al-Khudri
yang berkata, 'Rasulullah saw telah bersabda, 'Aku telah tinggalkan padamu dua
perkara yang amat berharga, yang mana salah satunya lebih besar dari yang
lainnya, yaitu Kitab Allah, yang merupakan tali penghubung antara langit dan
bumi, dan 'itrah Ahlul Baitku, Ketahuilah, sesungguhnya keduanya tidak akan
pernah ber-pisah sehingga datang menemuiku di telaga.'" Ahmad bin Hanbal
telah meriwayatkannya dari berbagai jalan, selain jalan-jalan yang di atas.
4. Riwayat hadis dari Turmudzi, jilid 5, halaman 662 - 663,
terbitan Dar Ihya at-Turats al-'Arabi.
Telah berkata kepada kami Ali bin Mundzir al-Kufi, "Telah
berkata kepada kami Muhammad bin Fudhail, 'Telah berkata kepada kami al-A'masy,
dari 'Athiyyah, dari Abi Sa'id dan al-A'masy, dari Habib bin Abi Tsabit, dari
Zaid bin Arqam yang berkata, 'Rasulullah saw telah bersabda, 'Sesungguhnya aku
tinggalkan padamu sesuatu yang jika kamu berpegang teguh kepadanya niscaya kamu
tidak akan tersesat sepeninggalku, yang mana yang satunya lebih besar dari yang
lainnya, yaitu Kitab Allah, yang merupakan tali penghubung antara langit dan
bumi, dan 'itrah Ahlul Baitku. Keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga
datang menemuiku di telaga. Maka perhatikanlah bagaimana kamu memperlakukan
keduanya."'
5. Sebagaimana juga 'Allamah 'Alauddin Ali al-Muttaqi bin Hisam
ad-Din al-Hindi, yang wafat pada tahun 975 H, meriwayatkan hadis ini di dalam
kitabnya Kanz al-'Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al- Af'al, juz pertama, bab kedua
(bab berpegang teguh kepada Al- Qur'an dan sunah), halaman 172, terbitan
Muassasah ar-Risalah Beirut, cetakan kelima, tahun 1985, yaitu hadis nomer 810,
871, 872 dan 873.
Jika kita berlama-lama di dalam bab ini, untuk menyebutkan seluruh
kitab yang meriwayatkan hadis ini, niscaya akan memakan waktu yang lama dan
dibutuhkan kitab tersendiri. Sebagai contoh, di sini kami hanya akan
menyebutkan sekumpulan para hafidz dan ulama yang meriwayatkan hadis ini.
Adapun untuk lebih rincinya lagi silahkan Anda merujuk ke dalam kitab Ihqaq
al-Haq, karya Asadullah al-Tusturi, jilid 9, halaman 311. Sebagian dari mereka
itu ialah:
1. Al-Hafidz ath-Thabrani, yang wafat tahun 340 H, di dalam
kitabnya al-Mu 'jam ash-Shaghir.
2. 'Allamah Muhibbuddin ath-Thabari, di dalam kitabnya Dzakha'ir
al-'Uqba.
3. 'Allamah asy-Syeikh Ibrahim bin Muhammad bin Abi Bakar
al-Himwani, di dalam kitabnya Fara'id as-Sirnthain.
4. Ibnu Sa'ad, di dalam kitabnya ath-Thabaqat al-Kubra.
5. Al-Hafidz as-Suyuthi, di dalam kitabnya Ihya al-Mayyit.
6. Al-Hafidz al-'Asqalani, di dalam kitabnya al-Mawahib al-
Ladunniyyah.
7. Al-Hafidz Nuruddin al-Haitsami, di dalam kitabnya Majma'
az-zawa'id.
8. 'Allamah an-Nabhani, di dalam kitabnya al-Anwar al-
Muhammadiyyah.
9. Allamah ad-Darimi, di dalam sunannya.
10. Al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Husain bin Ali al-Baihaqi, di
dalam kitabnya as-Sunan al-Kubra.
11. 'Allamah al-Baghawi, di dalam kitabnya Mashabih as-Sunnah.
12. Al-Hafidz Abu al-Fida bin Katsir ad-Dimasyqi, di dalam
kitabnya Tafsir al-Qur'an.
13. Kitab Jami' al-Atsir, karya Ibnu Atsir.
14. Muhaddis terkenal, Ahmad bin Hajar al-Haitsami al-Maliki, yang
wafat pada tahun 914 Hijrah, di dalam kitabnya ash- Shawa'ig al-Muhriqah fi
ar-Radd 'ala Ahlil Bida' wa az- Zanadiqah, cetakan kedua, tahun 1965,
Perpustakaan Kairo.
Setelah meriwayatkan hadis tsaqalain Ibnu Hajar berkata,
"Ketahuilah bahwa hadis tentang kewajiban berpegang teguh pada keduanya
(Kitab Allah dan Ahlul Bait) diriwayatkan melalui berbagai jalan oleh lebih
dari dua puluh orang sahabat. Jalan riwayat hadis itu telah disebutkan secara
terperinci pada bab kesebelas (dari kitabnya yang bernama ash-Shawa'iq al-Muhriqah).
Di antaranya disebutkan bahwa hadis itu diucapkan Rasulullah saw
di Arafah pada waktu haji wada'. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau
mengucapkannya ketika sakit menjelang wafat, di hadapan para sahabat yang
memenuhi kamar beliau. Riwayat lain lagi menyebutkan bahwa beliau
mengucapkannya di Ghadir Khum. Ada
juga riwayat yang menyebutkan bahwa beliau mengucapkan ucapannya itu pada saat
beliau pulang dari Thaif, ketika beliau berpidato di hadapan para sahabat.
Tidak dapat dikatakan bahwa riwayat-riwayat itu saling bertentangan, sebab
mungkin saja Rasulullah saw sengaja mengulang-ulang pesannya itu di berbagai
tempat dan situasi untuk menunjukkan betapa besar perhatian beliau terhadap
Al-Qur'an dan Ahlul Bait yang suci. Pada sebuah riwayat yang berasal dari
Thabrani, dari Ibnu Umar yang berkata bahwa perkataan terakhir yang diucapkan
oleh Rasulullah ialah, 'Berbuat baiklah kamu terhadap Ahlul Baitku.' Sementara
pada riwayat lain yang berasal dari Thabrani dan Abi Syeikh disebutkan, 'Allah
SWT mempunyai tiga kehormatan. Barangsiapa yang menjaga ketiganya maka Allah
akan menjaga agama dan dunianya, dan barangsiapa yang tidak menjaga ketiganya
maka Allah tidak akan menjaga dunia dan akhiratnya. Saya bertanya, 'Apa
ketiganya itu?' Rasulullah saw menjawab, 'Kehormatan Islam, kehormatanku dan
kehormatan kerabatku.' Pada riwayat Bukhari yang berasal dari ash-Shiddiq
dikatakan, 'Wahai manusia, apakah Muhammad mencintai Ahlul Baitnya? Artinya,
jagalah Rasulullah dengan menjaga Ahlul Baitnya dan dengan tidak menyakitinya.
Ibnu Sa'ad dan Mala meriwayatkan di dalam sirahnya bahwa Rasulullah saw telah
bersabda, 'Saya berpesan kepadamu untuk berbuat baik kepada Ahlul Baitku.
Karena sesungguhnya besok aku akan memusuhimu tentang perihal mereka. Barang
siapa yang aku menjadi musuhnya maka aku akan memusuhinya, dan barangsiapa yang
aku musuhi maka dia akan masuk ke dalam neraka.' Juga disebutkan bahwa
Rasulullah bersabda, 'Barangsiapa yang menjagaku pada Ahlul Baitku maka berarti
dia telah mengambil perjanjian di sisi Allah.' Ibnu Sa'ad dan Mala
meriwayatkan: Yang pertama, hadis yang berbunyi, 'Aku dan Ahlul Baitku adalah
sebuah pohon di surga, yang dahan-dahannya menjulur sampai ke dunia, maka
barangsiapa yang hendak mengambil jalan menuju Allah maka dia harus berpegang
teguh kepada Ahlul Baitku.' Adapun yang kedua adalah hadis yang berbunyi, 'Pada
setiap generasi umatku terdapat manusia-manusia adil dari kalangan Ahlul
Baitku, yang menyingkirkan dari agama ini segala bentuk penyimpangan
orang-orang yang sesat, pemalsuan orang-orang yang batil, dan petakwilan
orang-orang yang bodoh.' Adapun riwayat yang kedua ialah hadis yang berbunyi,
'lngatlah, sesungguhnya pemimpin-pemimpin kamu adalah utusan kamu kepada Allah,
maka oleh karena itu perhatikanlah siapa yang kamu jadikan utusan ...' Kemudian
mereka berkata, 'Rasulullah saw menamakan keduanya dengan nama ats-Tsaqalain
dikarenakan ats-tsaql ialah segala sesuatu yang berharga, mulia dan terjaga;
dan ke-duanya memang demikian. Karena keduanya adalah tambang ilmu-ilmu agama,
hikmah dan hukum syariat. Oleh karena itu, Rasulullah saw menganjurkan untuk
mengikuti mereka, berpegang teguh kepada mereka dan belajar dari mereka.
Rasulullah saw bersabda, 'Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan hikmah
Ahlul Bait di tengah-tengah kita.’ Ada
pendapat yang mengatakan bahwa keduanya dinamakan dengan ats-Tsaqlain adalah
dikarenakan beratnya bobot kewajiban menjaga hak-hak mereka ..."
Apakah Anda telah menjaga semua ini, wahai Ibnu Hajar, menjaga
Rasulullah saw di dalam Ahlul Baitnya, mengikuti mereka dan mengambil agama
dari mereka?!
Atau sebaliknya, apakah Anda hanya mengatakan sesuatu yang
sebenarnya tidak ada di hati Anda?! "Sungguh besar kemurkaan di sisi Allah
bahwa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan."
Sungguh benar Imam Ja'far ash-Shadiq as manakala mengatakan,
"Mereka mengklaim mencintai kami namun pada saat yang sama mereka
melakukan pembangkangan terhadap kami." Ibnu Hajar dan orang-orang yang
sepertinya, mereka mengklaim mencintai dan mengikuti Ahlul Bait, namun pada
saat yang sama mereka mengambil agama mereka dari orang-orang yang telah
menzalimi Ahlul Bait. Dan Ibnu Hajar sendiri, tatkala membuktikan
keutamaan-keutamaan Ahlul Bait dan mengakui kewajiban berpegang teguh kepada
mereka, namun pada saat yang sama dia menyerang Syi'ah di dalam kitabnya
ash-Shawa'iq, memasukkan mereka ke dalam kelompok yang sesat, dan mencaci maki
mereka dengan seburuk-buruknya cacian.
Lantas, apa dosa mereka, wahai Ibnu Hajar?! Apakah hanya karena
mereka mengikuti Ahlul Bait dan mengambil agama dari kalangan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar