BAGIAN KELIMA
Perbandingan Dunia dan Akhirat
Dengan meninjau kembali Alquran, kita akan bisa membandingkan dunia dan akhirat dalam
beberapa sifat yang disebutkannya. Pada kajian sebelumnya saya sudah sebutkan
bahwa Alquran menganggap dunia sebagai harta benda yang semu, cepat hilang dan
sebagai kesenangan yang sementara. Adapun akhirat merupakan tempat tinggal yang
abadi. Allah SWT berfirman: "Hai kauinku, sesungguhnya ke hidupan dunia
ini hanyalah kesenangan (sementara), sesung guhnya akhirat itulah negeri yang
kekal" Q.S. Al-Mukmin:39. Dunia adalah hiburan dan permainan.
Sementara akhirat adalah tempat kehidupan yang sebenarnya. Allah SWT
Berfirman: "Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda-gurau dan
main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah ycing sebenarnya kehidupan, kalau
mereka men getahui". Q.S. Al-‘Ankabût:64. Dunia dalam berbagai Wacana lmam
Ali as Amirul Mukminin Ali as mengulas dunia dalam berbagai wacananya dengan
panjang lebar. Beliau menyingkap isi dunia yang menipu manusia dengan
menampakkan batin dan hakikatnya. Wacana-wacana Imam Ali ini sarat dengan
kesadaran. Berikut ini saya cantumkan beberapa di antaranya: Imam Ali berkata:
"Demi Allah! Dunia kalian ini di sisiku, tak ubahnya kafilah yang singgah
di oasis. Segera setelah kepala mereka memberi aba-aba, mereka beranjak
meneruskan perjalanan. "Demi Allah! Kelezatan-kelezatan dunia di hadapan
ma taku tak ubahnya air sangat punas yang bernanah yang termi num olehku
tumpahannya; buah pahit mematikan yang ter pakna kutelan, bisa ular yang sangat
berbahaya dan jeratan api neraka". [1]
Menurut Imam Ali, dunia fenomenal seakan oasis yang indah. Manusia beradu
memperebutkannya. Sedang dunia dari sudut pandang batinnya, tak lain adalah
persinggahan yang buru-buru ditinggalkan. Oleh karena itu, menurut pandangan
Imam Ali, beragam kelezatannya yang diperebutkan banyalah air sangat panas yang
bernanah dan ular yang penuh dengan bisa. Ketika diminta Muawiyah untuk
menyifati Imam Ali as, Dharar bin Hamzah Asy-Syaibani berkata: "Sungguh,
aku telah melihat tingkahnya di waktu malam mulai melepaskan tabir
kegelapannya; menghadap mihrabnya sembari memegang janggutnya. Bergeletar
tubuhnya layaknya orang yang tersengat binatang berbisa dan menangis layaknya
orang tertimpa musibah, lalu berkata: "Wahai dunia! Kau da tang padaku?
Apakah kau mengejarku ataukah kau rindu padaku? Tidak, sungguh tidak! Pergilah
dan rayu orang selainku! Aku tidak butuh padamu! "Sungguh kau telah aku
talak tiga yang tidak mungkin ada rujuk kembali. Hidupmu pendek, bahayamu besar
dan angan-anganmu hina. Ah, betapa sedikit nya bekal dan panjangnya
jalan." [2]
Dalam
riwayat itu Imam Ali menyingkap tiga realitas batin dunia kepada mereka yang
tertipu olehnya;
1.
Hidupmu
pendek.
2.
Bahayamu
besar.
3.
Dan angan-anganmu hina. Imam Ali as
berkata: "Camkanlah! Dunia adalah tempat yang menipu. Setiap hari ia
berselingkuh dengan istri orang, setiap malam ia membunuh rumah tangga, dan
setiap saat ia memecah perkumpulan." [3]
Imam Ali as berkata: "Dunia itu bila datang menipu, bila pergi
membahayakan." [4]
Imam Ali as berkata: "Dunia bagaikan tipu-muslihat yang hilang,
fatamorgana yang cepat lenyap dan punuk onta yang doyong." [5]
Tentang sifat lahir dan batin dunia, Imam Ali mengung kapkan:
"Perurnparnan dunia itu bak seekor ular; lernbek tubuh nya, tapi
mengandung bisa yang mematikan. Orang-orang yang berakal akan berhati-hati
darinya, tapi anak-anak akan me megangnya dengan tangan mereka." [6]
Dalam mutiara hikmah di atas, Imam Ali ingin menjelaskan bahwa dimensi
lahir dunia itu lunak bak seekor ular. Sedangkan dimensi batinnya penuh dengan
tipu-muslihat dan kesementaraan mirip dengan rongga mulut ular yang penuh bisa
yang mematikan. Manusia di hadapan dunia ini terbagi menjadi dua kelom pok:
Pertama, cerdik-pandai yang punya bashîrah yang akan memperlakukan dunia dengan
penuh kehati- hatian. Seperti perlakuan seorang berakal terhadap seekor ular
yang lunak. Kedua, ialah orang yang tertipu oleh bentuk lahir dunia yang
memperlakukan dunia seperti bocah memperlakukan se ekor ular yang halus dan
lunak.
Dalam salah satu khutbahnya Imam Ali as berkata: "Dunia ini ialah
kampung yang dilingkari bencana; dipenuhi pengkhianatan; tak pernah langgeng
ihwalnya dan tak selamat penghuninya. Keadaannya selalu berganti dan masanya
selalu berubah. Hidup di dalamnya tercela dan keamanan di dalamnya tak ada.
Para penghuninya adalah sasaran lemparan panah-panahnya dan cengkeraman
kematiannya.
"Ketahuilah, wahai hamba-hamba Allah, bahwa kamu sekalian serta segala
yang kamu miliki dari dunia ini, berada di jalan orang-orang sebelurn kamu yang
telah pergi mening galkannya. Mereka lebih panjang usianya daripada kamu; lebih
makmur kediamannya dan lebih banyak bekas peninggalannya. "Suara-suara
mereka kini redup redam, kegiatan mereka hilang lenyap, tubuh-tubuh mereka
hancur- lulur, rumah-ru mah mereka sunyi-senyap dan peninggalan-peninggalan me
reka kini hanyalah reruntuhan.
"Istana-istana mereka yang dibangun megah dengan ham paran
permadani-permadani yang rapi, kini berganti batu-batu sandaran yang keras dan
liang-liang lahad yang terbelah dan dengan beranda yang dibuat dari debu
kehancuran. "Tempat-tempatnya berdekatan, namun para penghuninya saling
berjauhan. Merasa sendiri kesepian di antara pen duduknya, dilanda kesibukan di
antara para penganggur. Tiada terhibur dengan perasaan berada di tanah air dan
tiada saling berkunjung di antara para tetangga, kendatipun ja raknya amat berdekatan.
"Betapa mungkin mereka saling berkunjung, sedangkan jasad-jasad mereka
telah dihancur-luluhkan oleh kerapuhan dan diremuk-redamkan oleh tanah dan
bebatuan.
"Kini, bayangkanlah seolah-olah kalian sendiri telah men jadi seperti
mereka. Tertahan di atas tempat pembaringan seperti itu, terkungkung dalam
ruangan persimpanan yang tertu tup rapat. Apa kiranya yang akan kalian lakukan
apabila telah mencapai akhir perjalanan, saat tanah-tanah pekuburan di
putar-balikkan dan kalian dibangkitkan kembali di padang Mahsyar? "Di
tempat itu, tiap-tiap diri merasakan pembalasan atas segala yang telah
dikerjakannya dahulu, dan mereka dikem balikan kepada Allah Penguasa mereka
yang sebenarnya, dan (pada saat itu) lenyaplah dari mereka segala yang mereka
ada- adakan". Q.S. 10:30" [7]
Syarif Al-Rady dalam "Nahjul Balâghah" herkata bahwa Amirul
Mukminin as pernah berkata pada Syuraih bin Al- Haris:
"Kudengar Anda telah membeli rurnah dengan harga 80 Dinar, dan telah
Anda buat akta jual belinya, lengkap dengan saksi-saksinya? "Benar, wahai
Amirul Muminin." jawab Syuraih.
Maka Imam Ali menatapnya dengan wajah yang penuh amarah, lalu berkata
padanya:
"Hai Syuraih, suatu hari maut akan menjelangmu, dan ia tidak akan
membaca akta jual-beli itu, dan tidak akan mena nyakan kepadamu tentang
bukti-buktimu. la akan membawamu pergi sampai menyerahkan dirimu ke tempat
kuburanmu dan meninggalkanmu sendirian di sana. "Maka perhatikan
baik-baik, wahai Syuraih, jangan sampai Anda membeli rumah itu dengan uang yang
bukan milikmu. Atau membayar harganya dengan harta yang bukan menjadi hakmu
yang halal. Sehingga berbuat begitu Anda telah merugi kehilangan rumah di dunia
dan rumah di akhirat! "Ketahuilah, sekiranya Anda datang kepadaku ketika
hen dak membeli rumah yang telah Anda beli itu, pasti kutuliskan bagi Anda
sebuah akta yang akan membuat Anda kehilangan hasrat untuk membelinya, meski
hanya dengan satu Dirham atau kurang dari itu! Inilah akta itu: 'lnilah rumah
yang telah dibeli oleh seorang hamba yang hina-dina dari seorang harnba lainnya
yang telah terpaksa pergi meninggalkannya; sebuah rumah di antara rumah-rumah
ke angkuhan, yang dimiliki oleh kaum yang sedang menuju kefa naan dan dihuni
oleh kaum yang akan diliputi kebinasaan. 'Rumah ini memiliki empat batas:
(pertama) yang ber batasan dengan sumber segala penyakit; (kedua) berbatasan
dengan pengundang segala musibah; (ketiga) berbatasan dengan hawa nafsu yang
membinasakan; (keempat) berbatasan dengan setan yang menyesatkan..., dan di
bagian inilah dibuat kan pintu rumah itu!
'Rurnah ini dibeli oleh seorang yang terperdayakan oleh angan-angannya dari
seorang yctng terperanjatkan oleh da tangnya ajal, dengan harga berupa keluar
dari kejayaan hidup sederhana dan masuk ke dalam kesengsaraan mencari, ber-
susah payah dan merengek. [8]
'Dan bila si pembeli ditimpa suatu kerugian yang berada dalam jaminan si
penjual, maka kedua-duanya akan dihadap kan di tempat pengumpulan dan
perhitungan - pusat segala pahala dan hukuman - di saat telah dikeluarkan
perintah untuk menuntaskan segala urusan. la akan diantar ke sana oleh maut;
pencerai- berai tubuh-tubuh para raja; pencabut nyawa kaum tiran yang
bersimaharajala; penghancur kerajaan Fir'aun, Kisra dan Kaisar, juga para
penguasa Tubba' dan Himyar, serta semua yang menumpuk-nurnpuk harta dalam
jumlah besar. Mereka yang mendirikan bangunan-bangunan megah dan
bermewah-mewah, mengukir dan melukis, menyembunyikan dan menyangka akan hidup
untuk selama-lamanya. Atau yang - katanya- mempersiapkan bagi sang
keturunan.... 'Maka pada hari itu akan merugilah orang-orang yang berbuat
kebatilan.' (Q.S. 40 : 68). 'Demikianlah akta ini dibuat, disaksikan oleh akal
di kala ia melepaskan diri dari kungkungan hawa nafsu dan selamat dari segala
ikatan duniawai." [9]
Pada kesempatan lain ketika menyifati dunia, Imam Ali berkata:
"Sesungguhnya dunia itu keruh airnya, berlumpur sumbernya, memikat
pemandangannya dan memunah kebu tuhannya. Godaannya berubah-ubah, sinarnya
tenggelam, bay angannya lenyap dan sandarannya doyong. "Manakala buronnya
mulai tenang dan pernbangkangnya mulai santai, ia segera injakkan kaki-kakinya,
jeratkan tali- talinya dan lepaskan panah-panahnya kepada rnanusia. Setelah
itu, ia tangkap manusia dengan laso angan-angan dan me nggeretnya ke
pembaringan yang pengap, pengembalian yang seram, pembeberan tipu-muslihat dan
pembalasan amal per buatan. Begitu seterusnya dari yang awal hingga yang akhir.
(Di dalamnya), maut terus membabat dan durja terus rnerambah. (Satu demi satu
penduduknya) mengikuti para pendahulu dan melewati para kawanan. (Sampai datang)
titik pengha bisan dan puncak kefanaan." [10]
Imam Ali juga pernah berseru: "Apa yang hendak kukata tentang tempat
yang awalnya kesukaran, akhirnya kefanaan, halalnya diperhitungkan dan haramnya
diberi balasan. Orang yang berkecukupan di dalamnya akan difitnah dan yang ber
kekurangan akan resah. Orang yang mengejarnya selalu luput, dan yang enggan
terhadapnya, maka ia akan lulut. Orang yang bercermin padanya akan berpandangan
dan yang memandang inya akan buta." [11]
Beberapa hari menjelang khilafahnya, kepada Salman Al-Farisi Imam Ali
menulis demikian: "Amma ba'du. Dunia seumpama ular yang lembek tubuhnya,
(tapi) mematikan bisanya. Oleh sebab itu, tinggalkan apa yang menakjubkan kamu
di dalamnya karena sedikitnya yang akan membarengimu darinya. Lupakan
hasrat-hasratmu padanya, karena kamu yakin akan meninggalkannya. Waspadai ia di
saat kau dekat padanya. "Setiap kali kawan dunia menik mati kesenangan, ia
datang menyambarnya dan setiap kali dia merasa tenang, ia datang
menghebohkannya. Wassalam." [12]
Imam Ali pernah menyifati dunia demikian: "Ketahuilah! (masa) dunia
sudah berlalu; kepergiannya sudah dipersilahkan, kebaikannya sudah usang, dan
ia sudah melesat jauh. la menggusah para penduduknya dengan kebinasaan dan meng
giring para tetangganya dengan kematian. Pahit sudah apa yang pernah manis
darinya dan keruh sudah apa yang pernah jernih darinya. Dunia bak sisa sedikit
air kulah dan seteguk air maqlah. Tak akan kenyang orang kehausan bila
menyeruput nya. "Wahai hamba-hamba Allah! Berazamlah untuk mening galkan
tempat ini; yang telah ditakdirkan baginya kemusna han. Janganlah kalian
terkecoh oleh angan-angan dan berpan jang-panjangan usia.” [13]
Dalam khutbahnya yang lain Imarn Ali berseru: "Amma ba'du, aku
peringatkan kalian akan dunia! Sungguh ia panorama kehijauan yang indah, penuh
dengan berane ka rnacam syahwat, cinta pada 'âjilah, suka pada yang sedikit,
bersolek dengan angan- angan dan berdandan mengenakan tipu-niuslihat.
Kenikmatannya tidak kekal dan kesengsaraannya tidak terhindar. Sesak dengan
penipuan yang membahayakan, perubahan yang meraibkan, pemusnahan yang
mengganaskan dan perampasan yang mematikan. "Sekalipun bila ia mewujudkan
impian orang yang ber hasrat padanya dan melegakannya, maka itu tak lebih dari
apa yang telah difirmankan Allah: "Dan berilah perumpamaan kepada mereka
(manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari
langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian
tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S. 18 (Al-Kahfi) : 45). "Tak
seorangpun di dalamnya yang mendapat suka, ke cuali disertai duka. Tak
seorangpun yang bergembira batinnya, kecuali disengsarakan lahirnya. Tak ada
gerimis kemudahan bagi seorang, kecuali (setelahnya) meluap kepadanya banjir
kesulitan. "Jelasnya, jika ia di pagi hari menolongmu, maka di sore hari
ia akan mempersulitmu. Jika satu sisi darinya sangat lezat dan manis, maka
"pahitnya" sisi lainnya ialah infeksi. Tiada orang yang bisa meraih
nikmat-nikmatnya dengan leluasa, kecuali akan menelan sisa-sisanya dengan
lelah. Tak seorangpun bersore hari di bawah "sayap" ketenteramannya,
kecuali akan berpagi hari di atas "tumpukan bulu" ketakutannya. Men
cengangkan tipu-muslihat yang dimilikinya dan membinasa kan si fana yang melata
di atasnya. "Tiada yang baik dari bekal-bekalnya melebihi takwa. Siapa
yang mempersedikit darinya akan memperbanyak apa yang akan menyelamatkannya dan
siapa yang memperbanyak darinya maka akan juga memperbanyak apa yang
mencelakakannya dan kehilangan apa yang sedikit darinya. Betapa banyak orang
bergantung padanya, ia ganyang dan yang percaya padanya, ia hempaskan. Betapa
banyak orang besaryang ia hinakan dan orang mulia yang ia rendahkan.
Tahtanya bergantian, hidupnya kotor jernihnya bergaram, manisnya ber jadam,
makanannya beracun dan sarana-sarananya berujung. "Kehidupannya di ambang
kematian dan kesehatannya di ambang kesakitan. Rajanya ditaklukkan,
bangsawannya di tawan, hartawannya disiksa dan tetangganya dijarah.
"Bukankah kalian ini di tempat-tempat orang sebelum kalian yang lebih
panjang usianya, lebih langgeng pening galannya, lebih jauh angan-angannya,
lebih mantap persiapan nya dan lebih garang bala tentaranya.
Mereka mengabdi kepada dunia dengan sebenar-benar pengabdian dan
mengorbankan diri untuknya dengan sebenar-benar pengorbanan diri. Kemu dian
mereka meninggalkannya tanpa bekal yang memadai dan kendaraan yang bisa
menempuh jalan. "Terdengarkah oleh kalian bahwa dunia mengorbankan dirinya
untuk mereka atau membantu mereka dengan bantuan atau berlaku baik dalam
persahabatannya dengan mereka. Jus tru, ia menggempur mereka dengan ulat tanah,
menggasak mereka dengan bermacam bencana, menghinakan mereka de ngan kesialan,
membenamkan batang hidung mereka ke tanah, rnenjejak mereka dengan tapal unta
dan menghadang mereka dengan segala kesulitan hidup. "Kalian semua telah
tahu "keculasan" dunia kepada orang yang merunduk, mangabdi dan
mencintainya sampai akhir hayat mereka. Tengoklah! Dunia hanya membekali mereka
de ngan kelaparan, menghiasi mereka dengan kesempitan, menerangi mereka dengan
kegelapan atau meninggalkan mereka dalam penyesalan.
"Apakah demi ini kalian berkorban dan kepada ini kalian berserah diri
? Atau memang sedemikian rupa kalian berhasrat kepadanya? la adalah tempat yang
sangat buruk bagi yang tidak mencelanya dan tidak awas terhadapnya.
"Ketahuilah -dan kalianpun mengetahuinya-, bahwa ka lian semua ini akan
segera meninggalkannya dan menjauh darinya. Ambillah pelajaran dari orang-orang
yang berkata: “ Siapa yang lebih dahsyat kekuatannya dari kami..' (Q.S.
Fushshilat 15). "Saat diusung ke pemakaman, mereka tak bisa memanggil
tumpangan dan saat digelongsorkan ke liang lahad, mereka tak bisa memerintah
kacung.
Dari rnuka bumi ini digali kubur mereka, dari tanah dirancang kafan mereka
dan dengan tulang belulang mereka bersahabat. Mereka bertetangga, tapi tak sa
ling menanggapi undangan, tak tolong menolong melawan ke laliman atau tak
saling menghadiri perjamuan. Bila hujan datang mereka tak gembira dan bila
niusim kemarau berkepan jangan mereka tak putus asa. Mereka berkumpul, tapi
sendiri- sendiri dan bertetangga, tapi jauh-jauh. Mereka berdekatan tapi tak
saling mengunjungi dan mendekati. Mereka adalah orang- orang sopan yang takkan
bisa naik pitarn dan orang- orang tolol yang takkan pernah dengki. "Kalian
tak perlu khawatir akan keberingasan rnereka dan kalian tak bisa mengharap
pertolongan dari mereka.
Mereka telah menggantikan (bentuk) lahir bumi dengan batinnya,
kelapangannya dengan kesempitannya, kekeluargaannya de ngan keasingannya dan
kecemerlangannya dengan kegulitaan nya. Mereka meninggalkannya seperti ketika
memasukinya; telanjang bulat. Mereka bergerak meninggalkannya menuju hidup yang
abadi dan tempat yang kekal”. [14]
Dalam khutbah lain Imam Ali berkata: "Aku peringatkan kamu sekalian
akan dunia. la adalah tempat yang goyah dan bukan pijakan yang kukuh. la
berhias dengan tipu-muslihatnya dan tertipu dengan perhiasannya. la acuh tak
acuh pada Tuhan nya, maka Dia campur-adukkan halalnya dengan haramnya, baiknya
dengan buruknya, hidupnya dengan matinya dan ma-nisnya dengan pahitnya.
"Allah tidak menyucikannya buat para kekasih-Nya dan tidak juga
mengotorinya buat para rnusuh-Nya. Kebaikannya terpencil, keburukannya terpampang,
timbunan hartanya habis, kekuasaannya tercabut dan manusianya rusak. Apa
baiknya tempat yang roboh karena berakhirnya pembangunan, usia yang usai karena
terpakainya pembekalan dan waktu yang ha bis karena terputusnya perjalanan.
Jadikanlah perintah Allah sebagai "mata pencaharian" kalian dan
mintalah Dia (rnenolongmu) untuk memenuhi hak-Nya yang Dia minta dari ka lian.
'' [15]
Imam Ali pernah berseru demikian dalam salah satu khutbahnya yang lain:
"... Wahai hamba-hamba Allah, kuwasiatkan kepada kalian untuk menolak
dunia yang akan me ninggalkan kalian, meski kalian ogah meninggalkannya, dan
yang akan melumatkan tubuh-tubuh kalian, meski kalian ingin meremajakannya
kembali.
"Kalian dan dunia itu seumpama kafilah yang menempuh jalan yang hampir
sampai dan orang yang menuju ke pos yang hampir tiba. Sejauh apa jarak musafir
dan tujuan yang hendak dicapainya? Serentang apa waktu sehari bagi orang yang
meluangkannya? Dan (bayangkan) secepat apa "pencari gigih" me
ninggalkan dunia? "Jangan bersaing mencari kehormatan dan kebanggaan
dunia, jangan terperangah akan perhiasan dan kenikmatannya dan jangan genta
rakan kenestapaan dan kesulitannya.
Karena, pada hakikatnya, kehormatan dan kebanggaannya terputus; perhiasan
dan kenikmatannya lenyap; dan kenestapaan dan kesulitannya fana. Segenap saat
yang ada padanya, akan berak hir, dan segenap yang hidup di dalamnya akan
binasa. "Tiadakah dari peninggalan-peninggalan orang terda hulu yang bisa
kalian jadikan tempat berbenah dan dari nenek moyang kalian yang bisa kalian jadikan
cermin dan ibrah, kalau memang kalian berakal.
Tidakkah kalian melihat orang- orang yang telah lalu tidak ada yang kembali
dan orang-orang yang tertinggal tidak adayang kekal. Tidakkah kalian menyak
sikan hal ihwalpenghuni duniayang bercabang-cabang; mayat yang ditangisi dan
dibelasungkawai, orang terkapar yang pe nuh luka, orang yang mudik, orang yang
memperbaiki diri (karena mau mati), pencari dunia yang dikejar maut, lalai yang
tidak dilalaikan (oleh Allah) dan orang tertinggal yang meniti jalan orang yang
terdahulu.
"Hai manusia ingatlah pada pembasmi segala kelezatan, peredam segala
syahwat dan pemupus segala angan-angan di saat-saat kalian meloncat ke berbagai
kedurjaan. Mohonlah pertolongan dari Allah untuk dapat melaksanakan hak-Nya,
nikmat- nikmat-Nya dan kebaikan-Nya yang tak terbilang." [16]
Inilah bentuk (dimensi) pertama bagi kehidupan duniawi. Sengaja kami
perbanyak pemaparan nash- nash keislaman ini guna menyifati dimensi kedua
dunia. Karena mayoritas manusia seringkali mengambil lahir dunia daripada
mengambil batinnya. Penglihatan mereka hanya sampai ke lahir dunia dan tidak
pernah menembus batinnya. Maka semoga dalam nash- nash tersebut kita menemukan
sesuatu yang bisa membantu kita untuk memandang dunia secara utuh;
lahir-batinnya. Sisi Lahir Duma Sisi lahir kehidupan dunia adalah tipu-daya
(ighrâ'). Karena, ia menipu dan mempesona orang-orang yang tidak memi liki
bashîrah. Dunia selalu berupaya keras untuk merayu, menipu, me mikat dan
menghibur mereka dengan al-lahwu (hiburan yang menyesatkan) dan al-la'ib
(permainan). Allah SWT berfirman: "Dan tiadalah kehidupan duma ini, selain
dari main-main dan senda gurau belaka...". Q.S. Al- An'âm:32. Pada ayat
lain Allah berfirman: "Dan tiadalah ke hidupan dunia ini, selain dari
main-main dan senda gu rau...." Q.S. Al-‘Ankabût:63) Allah juga berfirman:
"Bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu." Q.S. Al-Hadîd: 20.
Dalam firman-firman di atas, Allah menjelaskan bahwa kata bentuk lahir dari
dunia adalah la'ibun dan lahwun (per mainan dan senda gurau). Jelas bahwa dua
sifat itu bertentan gan dengan kesungguhan dan perhatian. Bentuk lahir dunia
benar-benar bisa menyibukkan manusia dengan hiburan dan permainan. la merusak
sikap serius dan waspada manusia. Imam Ali menyatakan bahwa : "Dunia itu
layaknya lumadhah." [17]
Imam Ali as berkata: "Siapa yang sudi membuang lu madhah?’[18]
Imam Ali as berkata: "Aku
peringatkan kalian akan dunia. la seperti manisan. la diliputi berbagai
syahwat." [19]
Perbandingan antara Sisi Lahir dan Batin Dunia Dalam Alquran terdapat suatu
perbandingan antara lahir dan batin dunia. Di bawah ini ada beberapa ayat yang
perlu kiranya kita cermati.
1.
Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu,
adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah
dengan suburnya karena air itu tanaman-tanaman bumi, di antaranya ada yang di
makan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya,
dan memakai (pula) perhiasa nnya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka
pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau
siang, lalu Kami jadikan (tanaman-tana mannya) laksana tanaman-tanaman yang
sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin.
Demikian Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang- orang
yang berfikir". Q.S. Yunus 24. Ayat ini adalah sebuah contoh yang
mengungkap tentang kehidupan, keindahan, hiasan, dan kebinasaan mendadak yang
akan menjadi keberakhiran dunia. Dalam ayat ini, dunia diperumpamakan seperti
hujan yang turun dari langit ke bumi. Airnya menyirami tumbuh-tumbuhan yang
segera menjadi subur karenanya. Sehingga tumbuh-tumbuhan itu bisa dimakan oleh
manusia dan bina tang di samping menjadi hiasan bumi itu sendiri. Namun,
apabila bumi mulai indah mempesona, secara mendadak datanglah perintah Allah
SWT berupa petir, badai dan lain-lain.
Kemudian bumi itu centang-perenang dan ludes sama sekali. Seperti tak
pernah ada pemandangan yang hijau royo-royo itu sebelumnya. Beginilah gambaran
yang jelas tentang dua dimensi ke hidupan dunia; lahir dan batinnya. Ayat tadi
menyerupakan bentuk lahir dunia dengan kesuburan, keelokan, dan peman dangan
panoramik yang memikat mata dan hati yang memandangnya. Namun, manakala jiwa
mulai asyik dengannya, datanglah - secara tiba-tiba - perintah Allah yang
mengakibatkan keporak-parikkan menyeluruh. Pada saat itu, hati akan ngeri
melihatnya batin dunia. Dan bagian pertama dari ayat tersebut menggambarkan
penyebab penipuan dan keangkuhan karena dunia, yakni sisi lahir dunia.
Sedangkan bagian kedua merupakan sumber nasi hat dan ibrah, dan ia adalah
dimensi batin dunia.
2.
Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya kami telah men jadikan apa yang ada di
bumi sebagai perhiasan baginya agar Kami menguji mereka siapakah di antara
mereka yang terbaik perbuatannya". Q.S. Al-Kahfi:7. Tidak diragukan lagi
bahwa dunia adalah perhiasan yang memikat hati-hati umat manusia. Akan tetapi,
ia mengandung bencana, cobaan dan membawa dampak kehancuran bak um pan
perburuan. 3. Allah SWT berfirman: "Ketahuilah, bahwa sesungguh nya
kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan
bermegah-megah antara karnu ser ta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta
dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian
tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi
hancur. Dan di akhrat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta
keridhaan-Nya.
Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan belaka." Q.S.
Al-Hadîd 20. Ayat ini juga memperlihatkan kedua sisi kehidupan dunia itu. Baik
yang lahir maupun yang batin. la bagaikan curahan hujan yang turun dari langit
menyirami bumi. Kemudian tumbuh tanaman-tanaman yang indah dan menarik
perhatian para petani. Namun, setelah itu mengering, menguning dan akhir nya
rusak.
Pelbagai
Cara Pandang terhadap Dunia
ada hakikatnya, multidimensionalitas dunia terjadi aki bat beragamnya cara
memandang dunia. Sebab, meski dunia itu satu, tapi sikap dan cara manusia
memandangnya berbeda. Ada manusia yang melihat dunia dengan pandangan yang
terdistorsi hingga tertipu olehnya (ightirâ') dan ada manusia yang memandangnya
dengan pandangan mengambil pelajaran (i'tibâr). Begitulah dua cara melihat
dunia ini; yang satu dang kal dan terhenti pada posisi lahir dunia.
Maka, baginya dunia ialah penjerumus dan penipu manusia. Sedangkan yang
lainnya adalah pandangan yang menerawang jauh sampai ke batin kehidupannya dan
orang ini akan zuhud terhadapnya. Kalau demikian, masalahnya sebenarnya
berpulang pada cara pan dang dan bagaimana manusia mempersepsinya. Jadi agar
manusia memperbaiki perlakuannya terhadap dunia, maka sebelumnya, hendaknya
mesti memperbaiki cara pandangnya terhadap dunia. Karena perlakuan manusia ter
hadap sesuatu bergantung pada cara pandangnya terhadap hal itu.
Orang yang melihat dunia dengan pandangan yang terdis torsi, akan tersesat
dan terperdaya. Kehidupan dunia bagi me reka adalah permainan dan pelalaian
(lahwun wa la'ibun), sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Alquran di atas.
Adapun orang-orang yang melihat dunia dengan pandangan i'tibâr, mereka akan
berbuat di dunia dengan penuh kejujuran dan kesungguhan serta akan menyibukkan
diri dengan akhirat daripada menjadikan dunia sebagai hiburan semata. Dalam
untaian kata Imam Ali as berikut ini, beliau men jelaskan tentang titik
perbedaan manusia memandang dunia. Imam Ali as bersabda: "Dahulu aku
mempunyai saudara seagama, yang agung di depan mataku karena remehnya dunia di
hadapan matanya". [20]
Amirul Mukminin Ali as menyifati dunia demikian: "Apa yang hendak
kukata tentang tempat yang awalnya kesusahan dan akhirnya kehancuran? Halalnya
diperhitungkan dan ha ramnya diberi balasan. Hartawannya celaka dan fakir
miskin nya menderita". [21]
Dalam khutbah yang lain, beliau berseru: "Siapa yang mengejarnya,
dunia akan luput darinya dan siapa yang enggan kepadanya dunia akan lulut di
hadapannya". [22]
Inilah sunnatullah yang melandasi hubungan manusia dengan dunia yang tidak
akan berubah. Orang yang mengekor di belakang dunia dan membuntutinya, hanya
akan dibuat capek dunia.
Setiap kali mendapat rizki yang dia dambakan, dia ingin yang lebih dari itu
dan berusaha lagi untuk mencapai keinginannya yang ini dan demikian seterusnya.
Sebaliknya, orang yang agak cuek terhadap dunia, maka ia akan datang dan orang
itu akan meraih apa yang didambanya. Berikut ini saya kutipkan ucapan Imam Ali
as yang berkaitan secara langsung dengan pokok permasalahan kita, yaitu:
"... Orang yang melihat melalui dunia, akan berpandangan dan yang melihat
kepada dunia akan terbutakan." [23]
Syarif Al-Rady dalam menafsirkan perkataan ini berkata: "Orang yang
merenungkan mutiara hikmah ini akan mendapat arti yang agung dan dalam."
Wacana itu ingin menjelaskan adanya dualitas panda ngan terhadap dunia:
Pertama, ibshâr biddunnyâ (memandang melalui dunia) yang penuh dengan
pelajaran. Kedua, ibshâr iladdunnyâ (memandang kepada dunia) pandangan yang
terdistorsi oleh tipuan dan fitnah dunia. Untuk lebih jelasnya, jika dunia
dipakai sebagai cermin untuk melihat berbagai peradaban kuno, orang- orang
zalim serta kesombongan mereka di bumi yang Allah siksa dengan sebenar-benar
siksaan, maka pandangan semacam ini adalah pandangan yang mengambil pelajaraan
dan mauizah. Adapun jika dunia menjadi tujuan pandangannya dan ma ta
pencahariannya, maka dunia akan memperdayainya, men jadi fitnah baginya dan,
pada gilirannya, akan membutakannya. Dan manusia yang sudah terdistorsi
pandangannya ini akan melihat dunia itu manis dan menawan.
Jadi, pandangan yang pertama itu adalah bahan pela jaran, kesadaran dan
ketercerahan, sedang pandangan kedua adalah bahan fitnah, penipuan,
pendistorsian dan pemanipu lasian. Ibnu Abi Al-Hadîd dalam bukunya menjelaskan
untaian kata ini dalam dua bait syairnya: Dunia bagai mentan yang menyorotkan
sinarnya yang menghancurkan.
Jika kau tatap pancaran canayanya butalah matamu. Namun, jika kamu melihat
dengan cahayanya cerahlah peiiglihatanmu. Tentang dua cara memandang ini, lebih
khusus Imam pernah berkata: "la (Allah) ciptakan pendengaran untuk
menyimpan hal-hal yang penting, penglihatan untuk memperjelas kesamaran,
sebagai pelajaran bagimu ... Mereka digelayuti angan-angan tanpa harapan ...
Mereka sibuk memperhatikan kesehatan tubuh, tapi tidak sibuk memperhatikan
kedekatan ajal. Apakah sanak- kerabat bisa menghalaunya (maut) atau raungan
tangis bisa berguna baginya? Di pemakaman yang tertutup rapat dan pem baringan
yang sempit mereka ditinggalkan sebatang kara. Ku lit-kulit tubuh mereka akan
digerogoti ulat dan sisa-sisanya akan diterbangkan badai kemudian sedikit demi
sedikit keduanya itu akan menghapuskan nisan mereka ..." [24]
Dalam konteks yang sama Imam Ali as berkata: "Dunia semata-mata titik
pandang orang buta. la tidak dapat melihat apa yang berada di baliknya.
Sementara orang yang berpandangan (tidak buta) bisa menernbus dunia dan
mengetahui bahwa ada tempat dibaliknya. Maka orang yang melihat akan berang kat
dari dunia, sedangkan orang buta berangkat menuju dunia. Orang yang melihat
mencari bekal dari dunia, sedangkan orang buta mencari bekal untuk dunia".
[25]
Sungguh orang yang buta adalah orang yang padangan nya tidak bisa menembus
inti dunia. Dia sangat bergantung pada dunia karena ia adalah puncak tujuannya.
Adapun orang yang melek, pandangannya mampu menembus inti dunia. Dia bisa
melihat ada akhirat setelah dunia dan dia pun tidak bergantung padanya karena
yakin pasti akan meninggalkannya. Ibnu Abi Al-Hadîd - penyarah kitab Nahjul
Balâghah - mempunyai penjelasan indah tentang masalah ini selain apa yang telah
kami sebutkan di atas: "Penyerupaan dunia dan apa yang terjadi setelahnya
dengan orang buta dan kegelapan yang dikhayalkannya. Kegelapan, baginya,
seperti benda inderawi. Padahal, kegelapan itu sebenarnya tidak bisa diindera.
Kegelapan itu adalah ketidak beradaan cahaya atau tanpa cahaya. Misalnya, orang
yang melihat lobang kecil yang gelap, dia akan segera mengkhayalkan wujud gelap
di dalamnya. Padahal kegelapan itu tidak ada. Dan yang ada hanya ketidakadaan
cahaya karena sedang meli hat kegelapan.
"Adapun orang yang melihat benda-benda inderawi de ngan menggunakan
pancaran sinar, maka dia akan sepenuhnya bisa "menyaksikan"
benda-benda inderawi itu dengan yakin. "Begitu pula keadaan dunia dan
akhirat. Penggemar du nia menjadikannya puncak tujuan semata-mata. Mereka meny
angka dan rnengkhayalkan adanya benda inderawi yang me reka lihat, padahal
sebenarnya rnereka tidak melihat apa-apa atau buta. Sedang penggemar akhirat
pandangannya mampu melihat benda inderawi secara hakiki. Pandangan mereka tidak
hanya terbatas pada dunia (yang khayali itu), tapi sesuatu setelahnya (yang
hakiki). Dan mereka itulah sebenarnya yang berpenglihatan". [26]
Metode Memandang yang Benar Melihat, seperti halnya tindakan-tindakan manusia
yang lain mempunyai metode yang benar. Alquran sendiri telah men jelaskan
kepada kita pelbagai metode berprilaku termasuk yang berkenaan dengan cara
memandang. Allah SWT berfirman: "Dan janganlah kamu tujukan (pandangkan)
kedua matamu kepada apa yang telah Kami beri kan kepada golongan-golongan dari
mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan
karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal..." Q.S. Thâhâ:131.
Tamdîd
adalah suatu cara melihat.
Tamdîd berarti mel uaskan penglihatan terhadap rizki yang dianugrahkan pada
orang lain. Dan kata mudda yang merupakan akar kata tamdîd itu mengacu pada
arti tajâwuz (melampaui batas). Ayat itu seakan ingin mengatakan bahwa ada
sebagian orang yang melampaui dari rizkinya sendiri ke rizki yang dianugrahkan
Allah pada hamba-hamba-Nya yang lain, berupa kemewahan kehidupan dunia.
Perluasan dalam melihat ini merupakan sumber ketersiksaan manusia. Karena dia
mendamba yang tidak diberikan oleh Allah kepadanya. Dengan kata lain, ada sebagian
orang mencari rizki dan ketika sudah mendapatkannya, dia mengharap rizki yang
dimiliki orang-orang lain dan demikian seterusnya. Tentu saja, manusia model
ini tidak akan henti-hentinya mengejar dunia dan berusaha dengan berbagai cara
untuk mendapatkan nya.
Sebagaimana Amirul Mukminin bersabda: "... Dan berlari di belakang
dunia, sampai berkepanjangan siksa yang dialaminya dari dunia. Dia tidak akan
pernah mendapatkan tujuan nya."
Cara memandang dunia seperti ini
berdampak kesedihan pada manusia dan kerakusan atas apayang ada di tangan orang
lain. Berbeda dengan cara memandang yang ditegakkan atas dasar ta'affuf
(menjaga harga diri) dari harta yang ada di tangan orang lain. Jelas bahwa
pandangan rasa cukup dan menjaga diri (istighnâ` wa ta'affuf) dari apa yang
dimiliki orang lain atau tidak berkeinginan kepadanya, bukan berarti bertopang
dagu dari usaha, kerja dan pergerakan di samudera kehidupan. Kare na, Muslim
itu harus selalu berusaha dan bergerak, tapi tidak bertitik-tolak dari sikap
rakus atas apayang ada di tangan orang lain. Kalau demikian, cara pandang
berperan cukup besar da lam keselamatan atau kekotoran jiwa. "Betapa
banyak meman dang sekilas yang menyebabkan penyesalan." [27]
Akan tetapi, banyak juga pandangan mata yang bisa men jadi faktor istigâmah
dan pembinaan prilaku manusia. Islam tidak pernah melarang kita untuk melihat
atau memandang sesuatu, tapi ia mengajarkan pada kita bagaimana melihat dan
memandang pada sesuatu. Pelbagai Efek Psikologis dari Suatu Cara Pandang Cinta
Dunia dan Zuhud Setiap cara melihat atau memandang mempuyai efek, baik positif
maupun negatif, terhadap kehidupan manusia. Per lakuan manusia terhadap sesuatu
menurut dan mengikuti pola pandangnya terhadap hal itu. Setiap pola atau cara
pandang akan meninggalkan pe ngaruh dan refleksi yangjelas pada prilaku
manusia, pikiran dan jiwanya. Untuk melakukan suatu perubahan yang radikal pada
kehidupan manusia, diperlukan perubahan pada cara pan dang seseorang pada
dunia. Masalah ini menduduki peringkat yang tinggi dalam me tode pedidikan
keislaman. Atas dasar itu, saya akan mengkaji pengaruh-pengaruh kejiwaan dan
prilaku (behavioral) bagi ma sing-masing dari kedua pola pandang itu. Yaitu
pola pandang yang dangkal yang tidak mampu menembus dunia, yang diisti- lahkan
Imam Ali as dengan al-ibshâr iladdunyâ (melihat pada dunia), maupun poJa
pandang yang bisa menembus dunia yang diistilahkan dengan al-ibshâr biddunyâ.
Adapun paling besarnya pengaruh dari ke dua pola pan dang ini adalah
hubbud-dunyâ (cinta dunia) dan zuhud. Yang pertama merupakan akibat alami bagi
penglihatan yang dangkal dan tidak menembus batin dunia, sedangkan zuhud meru
pakan akibat alami bagi penglihatan (pola pandang) yang men dalam dan menembus
batin dunia. Berikut ini, analisis kedua keadaan ini dalam kehidupan manusia.
Hubbud-dunyâ Hubbud-dunyâ atau cinta dunia ialah akibat alami bagi suatu
penglihatan yang dangkal terhadap dunia. Penglihatan ini, sebagaimana yang
pernah saya jelaskan, tidak bisa menguak lahir kehidupan dunia.
Oleh sebab itu, orang dengan penglihatan seperti itu pasti akan terpikat
dan terkungkung oleh gemerlapan dan keelokan duniawi. Sebaliknya, zuhud me
rupakan akibat alami/pasti bagi pandangan yang sadar dan tajam terhadap dunia.
Cinta Dunia Sumber Segala Kejahatan Manusia Tak ada satu kejahatan atau petaka
yang terjadi melain kan sebagian atau seluruh akarnya tertancap pada cinta
dunia. Rasul bersabda: "Cinta dunia adalah pangkal segala ke maksiatan dan
awal segala perbuatan dosa." [28]
Ali as berkata: "Cinta duniapangkal segala fitnah dan induk segala
petaka." [29]
Ash-Shâdiq as berkata: "Pangkal segala kesalahan ada lah cinta
dunia." (30]
Cinta Dunia Membawa Kepada Kekafiran Kekufuran adalah pengaruh terbesar
cinta dunia. Alqur an menyebutkan hubungan antara cinta dunia dan kekufuran dan
akibat dari cinta dunia dalam banyak ayat.
1. Allah
berfirman: "... kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap
tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan
dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang
besar. Yang demikian itu disebabkan karena sesung guhnya mereka mencintai
kehidupan di dunia lebih dari akhi rat, dan bahwasanya Allah tiada memberi
petunjuk kepada kaum kafir". Q.S. An-Nahl : 106-107. Bukan hanya kekufuran
akibat dari cinta dunia yang terdapat dalam ayat yang mulia tersebut. Bahkan ia
men jelaskan sesuatu yang jauh lebih daripada itu. Yaitu bahwa cinta dunia akan
melapangkan dada manusia, sehingga dia merasa tenteram, bahagia dan patuh setia
kepada kekufuran tersebut. Tentu saja, yang demikian itu lebih berbahaya
daripada kekafiran itu sendiri. Mereka akan dimurkai Allah dan dijauhkan dari
rahmat-Nya.
2. Allah SWT berfirman: ".... dan
kecelakaan bagi orang- orang kafir karena siksaan yang sangat pedih. (yaitu)
orang yang lebih menyukai kehidupan dunia dari kehidupan akhirat, dan
menghalang-halangi (manusia) darijalan Allah dan me nginginkan jalan yang
bengkok ... " Q.S. Ibrahim 2-3. Ayat ini jelas sekali hubungan antara
cinta dunia dan kekafiran yang menghalangi jalan Allah. Berbagai Pengaruh
Psikologis dan Behavioral Cinta Dunia Cinta dunia mempunyai banyak pengaruh
psikologis dan behavioral pada diri manusia.
Berikut ini akan saya jelaskan sejumlah
pengaruh tersebut.
1. Panjang
Angan-angan pada Dunia Tak diragukan lagi bahwa panjang angan-angan adalah
pengaruh psikologis cinta dunia. Karena apabila seorang men cintai dunia akan
selalu bergantung padanya. Dan dengan demikian dia akan terus
mengangan-angankannya. Inilah pre mis pertama dalam masalah ini. Premis keduanya
ialah bahwa orang yang panjang angan-angannya kepada dunia, akan lupa pada
kematian. Konklusinya, persiapan amal salehnya buat akhirat semakin berkurang.
Silogisme ini telah disinggung dalam beberapa nash keislaman. Imam Ali as
berkata: ''Tidaklah panjang angan-angan seorang hamba, kecuali jelek
perbuatannya". [31]
Imam Ali as berkata: "Orang yang paling banyak beran gan-angan, paling
jarang mengingat kematian". [32]
Imam Ali as berkata: "Manusia yang paling panjang angan-angannya
adalah yang paling jelek perbuatannya". [33]
2. Merasa Tentram dengan Dunia dan
Condong Padanya Ini, sebagaimana yang telah saya jelaskan, adalah akibat dari
panjangnya angan-angan pada dunia dan cinta dunia atau rela kepada dunia.
Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan)
pertemuan dengan Karni, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa
tenteram dengan kehidapan itu dan orang-orang yang melalai kan ayat-ayat Kami. Mereka itu
ternpatnya ialah neraka, dise babkan apa yang selalu mereka kerjakan..."
Q.S. Yunus:7-8.
Keadaan tenteram seperti itu bersifat palsu dan tidak hakiki. Dengan
ketenteraman itu, manusia akan merasa bahwa dunia adalah tempat abadi baginya.
Padahal dunia bukan tempat abadi. Kesenangannya cepat sirna, rusak dan hancur.
Dan sesungguhnya tempat yang abadi hanyalah surga. Allah berfirman:
"Mereka bergembira dengan kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan
akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit)..." Q.S. Ar-Ra'd 26.
Allah berfirman: "Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini
hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang
kekal ... Q.S. Al-Mukmin:39.
Dunia hanya merupakan kesenangan yang lenyap semen tara alam akhirat tempat
yang kekal berlawanan dengan sangkaan orang yang condong kepada dunia.
Kecintaan dan ke relaan terhadap dunialah yang menyebabkan manusia memi liki
waham yang demikian itu. Imam Ali as pernah meriwayatkan sebuah hadis qudsi
yang demikian bunyinya: "Aku heran pada orang yang melihat dunia dan
menyaksikan perubahannya dari satu keadaan ke keadaan yang lain, tapi dia bisa
merasa tenang dan tenteram padanya". [34]
Dalam hadis qudsi lain Allah berfirman kepada kalimul lah, Musa as:
"Wahai Musa! Jangan condong pada dunia seper ti kecondongan orang-orang
zalim dan kecondongan orang- orang yang menjadikannya sebagai ibu dan ayahnya.
Cukup-cukupkanlah dirimu darinya". [35]
Ungkapari hadis tersebut sangat jernih dan dalam. Se bagian manusia ada
yang condong pada dunia, padahal dunia itu hanyalah kumpulan keadaan-keadaan
yang terus-menerus berubah, seperti kecondongan bocah pada ibu dan bapaknya.
Sementara sebagian lain ada yang melihat dunia hanya sebagai gelimang lahwu dan
permainan yang diperlombakan manusia secara batil. Kemudian, dia mengetahuinya
dan tidak tertipu olehnya. Bahkan dia menggantikan dunia dengan kehidupan
hakiki yang indah, yaitu kehidupan ukhrawi.
Allah berfirman: "Dan tiadalah kehidupan dunia ini me lainkan
senda-gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhir nya itulah yang sebenarnya
kehidupan, kalau mereka mengetahui..." Q.S. Al-‘Ankabût:64. 3.
Mengutamakan Kehidupan Dunia daripada Akhirat Bila manusia sangat cinta dunia,
dia pasti akan memen tingkan urusan duniawi daripada urusan ukhrawi.
Allah telah menyebutkan dalam Alquran tentang perihal pengutamaan urusan
duniawi di atas urusan ukhrawi. Allah berfirman: "Dan adapun orang-orang
yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa
nafsunya. Maka sesungguhnya surgalah tenipat tinggal (nya)" Q.S.
Al-Nâzi'ât:40-41.
Dan Allah juga berfirman: "Tetapi karnu (orang-orang kafir) memilih
kehidupan duniawi padahal kehidupan akhirat lebih baik dan kekal." Q.S.
Al-A'lâ:16-17. Pada hakikatnya, mereka menginginkan dunia belaka. Sikap
mengutamakan dunia atas akhirat itu muncul jika terjadi benturan antara dunia
dan akhirat. Yakni ketika manusia di tuntut memilih 'dunia tanpa akhirat' atau
'dunia - akhirat', maka mereka akan memilih dunia tanpa akhirat. Kalau begitu,
sebetulnya mereka semata-mata ingin kehidupan dunia.
Allah SWT berfirman: "Maka berpalinglah (hai Muham mad) dari orang
yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak menginginkan kecuali kehidupan
duniawi..." Q.S. An- Najm 29. Bahkan, lebih dari itu mereka tidak
segan-segan menjual akhirat demi mendapat dunia.
Allah SWT berfirman: "Itulah orang-orang yang
membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat ". Q.S. Al-Ba qarah:86.
Berkenaan dengan masalah ini Rasulullah SAWW bersab da: "Barangsiapa
dihadapkan dua pilihan; dunia dan akhirat, lalu ia memilih dunia daripada
akhirat, maka ia akan bertemu Allah SWT tanpa membawa kebaikan yang bisa
mencegahnya dari neraka. Dan barangsiapa yang mengambil akhirat dan menolak
dunia ia akan menemui Allah di hari kiamat dalam keadaan diridhai-Nya".
[36]
Imam Ali as berkata: "Barangsiapa yang menyembah dunia dan
mengutamakannya di atas akhirat, akan mendapat akibat yang buruk". [37]
Imam Ali as juga berkata: "Tidaklah manusia mening galkan urusan
agamanya untuk memperbaiki urusan duni anya, kecuali Allah bukakan mereka sesuatu
yang lebih mem bahayakan dirinya." [38]
Imam Ali as berkata pula: "Orang yang tidak peduli terhadap bencana
yang menimpa urusan akhiratnya, asal saja urusan dunianya selamat, maka orang
itu akan benar-benar celaka". [39]
4.
Tergesa-gesa Ingin Beroleh Kesenangan Akhirat di Dunia Tergesa-gesa ingin
mendapat kesenangan akhirat di dunia ialah akibat lain dari cinta dunia. Allah
mencipta manusia agar menikmati keindahan-keindahan surga. Tetapi, pecinta
dunia yang bergantung dan merasa tenteram padanya, ingin merengkuh
kesenangan-kesenangan akhriat itu di dunia. Dia tak ubahnya petani yang
tergesa-gesa ingin menuai sebelum waktunya, lalu dia memetik buah-buahan yang
masih mentah. Atau tak ubahnya anak kecil yang tergesa-gesa meminta ke senangan
usia setengah baya atau usia tua, lalu dia habis waktunya untuk bermain dan
mengabaikan sekolahnya. Orang itu tak lain hanya mengorbankan kepenatannya yang
sebentar demi kesengsaraan usia senjanya.
Ayat berikut sangat tepat menggambarkan pengertian tersebut di atas, Allah
berfirman: "Kamu telah menghabiskan rizkimu yang baik dalam kehidupan
duniawimu." Q.S. Al-Ahqâf:20. Seakan-akan Allah benar-benar telah
menyimpan kesena ngan-kesenangan ini untuk diberikan pada manusia di akhirat
yang merupakan tempat yang abadi. Namun, pada galibnya, manusia tergesa-gesa
mengambilnya di dunia sebelum tiba waktunya. Lalu, dia menikmatinya dalam
keadaan mentah dan mudah rusak.
Al-'Âjilah
Oleh sebab itu, Alquran menamakan dunia dengan al- 'âjilah yang berarti
bahwa dunia adalah tempat manusia ter gesa-gesa mendapatkan
kesenangan-kesenangan akhirat sebe lum tiba waktunya. Allah berfirman:
"Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan
baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki terhadap orang yang kami kehen
daki..." Q.S. Al-Isrâ`:18. Kita butuh untuk banyak merenungkan dan
memikirkan bagian akhir ayat tersebut, yaitu (Apa yang Kami kehendaki untuk
orang yang Kami kehendaki).
Karena ketergesa-gesaan manusia
untuk memperoleh kesenangan-kesenangan akhirat di dunia ini bukan berarti bahwa
manusia pasti akan menda patkan seluruh kesenangan duniawi yang ia kehendaki.
Tetapi, manusia akan mendapatkannya sekehendak Allah yang mem beri manusia
secara segera (cepat) jika manusia minta segera. Begitu juga sedikit-banyaknya
yang diperolehpun ditentukan Allah.
Perkara rizki tetap ada di tangan Allah bukan di tangan manusia. Semakin
tergesa-gesa manusia untuk mendapat rizki dunia ini, semakin terhalang dia
meraih kesenangan-kesena ngan akhirat. Dalam konteks ini, Allah SWT berfirman:
"Dan rnereka berkata: "Ya Tuhan karni, cepatkanlah azab yaiig
diperuntukkan bagi kami sebelum hari hisab..." Q.S. Shâd:16. Maksudnya
segerakanlah bagian (harta kekayaan) kami agar kami merasakannya di dunia
sebelum hari Perhitungan (yaumul hisâb). Kemudian Allah juga berfirman:
"Sekali-kali janganlah demikian. Sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai
kehidu pan dunia" Q.S. Al-Qiyâmah:20. Firman Allah yang lain:
"Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan mereka
tidak rnemper dulikan hari yang berat (hari akhirat).." Q.S. Al-Insân:27.
Ketika kita perhatikan secara seksama nash-nash ini, kita akan dapatkan bahwa
masalah benturan antara dunia dan akhirat tidak selalu terjadi pada ruang
lingkup yang haram saja, tapi terjadi pula pada yang halal. Inilah letak
keindahan cakrawala pemikiran keislaman. Sejumlah nash menjelaskan bahwa
Rasulullah SAWW, Ah lul Baitnya as dan hamba-hamba Allah yang saleh membenci
sikap berlebihan (ifrâth) dalam menikmati dunia.
Barangkali penyebabnya adalah bahwa ifrâth dalam menikmati
kesenangan-kesenangan duniawi akan menyebabkan kecintaan ma- nusia terhadap
dunia dan akan menambah ketergantungan manusia pada dunia. Karena, hubungan
antara cinta dunia dan isti'jâl (keinginan untuk cepat-cepat mendapat kesenangan
du nia) adalah hubungan timbal balik yang sangat erat. Jadi ma nusia yang
mencintai dunia, akan tergesa-gesa ingin menikmati kesenangan-kesenangannya.
Sedikitpun saya tidak ragu bahwa sebagian benturan antara kesenangan-kesenangan
duniawi dan ukhrawi terjadi dalam ruang lingkup yang halal.
Saya tidak perlu menjelaskan kembali bahwa benturan ini tidak berarti
keharaman perhi asaan dan rizki yang bagus yang telah dianugrahkan Allah pada
hamba- hamba-Nya, sebab ia bukan benturan antara yang halal dan yang haram. Dan
ini sebagaimana yang telah saya sebutkan di atas adalah merupakan keunikan
pemikiran keislaman. Sebaiknya terlebih dahulu saya nukilkan nash-nash keis
laman yang berkaitan dengan masalah ini, kemudian saya urai kan dan terangkan.
Beberapa Contoh Nash Keislaman Umar bin Khatab mengkisahkan: "Aku
berkata pada Rasullah SAWW: "Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar
Dia melapangkan (rizki) pada umatmu. Sungguh Allah telah mela pangkan rizki
pada bangsa Persia dan Romawi, padahal mereka tidak menyembah Allah. Kemudian
Rasulullah bangun (tempat tidurnya) dan duduk lalu bersabda: 'Hai Ibnu Khatab,
apakah kamu masih ragu? Mereka adalah kaum yang disegerakan untuk mendapatkan
kemewahan-kemewahan (ukhrawi) di da lam kehidupan duniawi." [40]
Suatu ketika Rasulullah dihidangi sepotong roti, namun beliau enggan
memakannya. Lalu sahabatnya bertanya: 'Apa kah Anda mengaharamkannya? Beliau
menjawab: 'Tidak! Tapi aku tidak suka jiwaku menampakkan keinginannya pada roti
itu. Kemudian beliau membaca ayat: 'Kamu telah mengha biskan rizkimu yang baik
dalam kehidupan duniamu'. Q.S. Al-Ahqâf:20. [41]
Umar bin Khatab meriwayatkan:
"Aku minta izin untuk bertemu Rasulullah SAWW, di kebun Ummu Ibrahim.
Ketika itu beliau dalam keadaan berbaring dan meletakkan sebagian anggota
badannya di atas tanah. Di bawah kepalanya ada sebuah bantal yang terbuat dari
daun pohon gandum. Kemudian aku mengucapkan salam pada beliau, setelah itu aku
duduk dan mulai bertanya: 'Wahai Rasulullah, engkau adalah Nabi Allah,
kekasih-Nya dan makhluk terbaik-Nya. Kisra dan Kaisar duduk di singgasana emas
yang beralaskan permadani dan sutera. Kemudian Rasulullah bersabda: 'Mereka
adalah kaurn yang disegerakan kesenangan-kesenangan yang tidak bertahan lama
untuk mereka. Sedangkan kesenangan-kesenangan kita akan diberikan di akhirat
nanti". [42]
Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW pernah mendata ngi Ahlu Suffah sementara
mereka seclang menambal pakaian- pakaiannya dengan kulit, lalu mereka tidak
mendapatkan tambalan lagi. Kepada mereka Rasulullab bersabda: “Apakah kalian
hari ini dalam keadaan baik? Atau hari kalian di pagi harl mengeluarkan pakaian
lalu sore harinya ganti dengan yang lain; hari dihidangkan buat kalian.
semangkok makanan dan di sore hari dihidangkan semangkok lain; dan rumah kalian
tertutup rapat seperti Ka'bah?” Mereka menjawab: "Hari itu keadaan kami
tentu lebih baik!" Salah! Tapi keadaan kalian hari ono lebih baik daripada
hari itu." Kata Rasul.. [43]
Nabi SAWW pernah melihat Fathimah as berkerudung kain dari kulit onta,
sedang menumbuk gandum dengan tangannya dan menyusui putranya. Dengan air mata
yang mengalir, beliau bersabda: "Duhai putriku, kau segerakan kepahitan
dunia demi memperoleh kemanisan akhirat. Kemudian Fatimah menjawab: "Ya
Rasu lullah, Alhamdulillah atas segala kenikmatan-Nya dan teri ma kasih atas
segala kebaikan-Nya." Lalu Allah menurunkan ayat: "Dan kelak Tuhanmu
pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas”. Q.S.
Adh-Dhuhaa:5. [44]
Imam Ash-Shâdiq as berkata: "Kita sangat mencintai dunia tanpa bisa
meraih lebih banyak daripada yang telah diberikan-Nya. Tidaklah seorang anak
Adam mendapat sepeng gal dari dunia, kecuali berkurang bagiannya kelak di
akhirat”. [45]
Imam Ash-Shâdiq as berkata: "Nabi terakhir yang akan masuk surga
adalah Nabi Sulaiman bin Daud karena kenikma tan-kenikmatan yang sudah
diberikan kepadanya di dunia". [46]
Imam Ali as berkata: "Setiap bagian dunia yang hilang darimu, akan
menjadi harta rampasan". [47]
Imam Ali as berkata: "Getirnya dunia adalah manisnya akhirat dan
manisnya dunia adalah getirnya akhirat dan se jelek-jeleknya kesudahan”. [48]
Imam Ali as berkata: "Siapa yang mencari sesuatu dari dunia akan
kehilangan yang lebih banyak dari yang dicarinya di akhirat." [49]
Imam Ali as berkata: "Sesuatu yang bertambah di dunia akan berkurang
di akhirat dan sesuatu yang berkurang dari dunia akan bertambah di
akhirat." [50]
Abi Abdillah as meriwayatkan dari Ali bin Husein as: "Tidak pernah
disodorkan padaku dua hal, yang satu untuk dunia dan yang lain untuk akhirat,
kemudian aku memilih dunia melainkan akan tampak padaku sebelum waktu sore tiba
apa yang tidak kusukai." Kemudian Abu Abdillah bertutur: "Bani
Umayiyah lebih mengutamakan dunia daripada akhirat sejak 80 tahun yang lalu,
dan mereka tidak pernah melihat sesuata yang tidak mereka sukai." [51]
Imam Ali as mensyarahi pengertian di atas, beliau ber kata:
"Ketahuilah bahwa kekurangan di dunia dan pertamba han di akhirat lebih
baik daripada kekurangan di akhirat dan pertambahan di dunia. Betapa banyak
'yang kurang', tapi men guntungkan dan 'yang banyak', tapi merugikan. Sesungguh
nya, yang kuperintahkan lebih luas daripada yang kularang dan yang dihalalkan
lebih banyak daripada yang diharamkan. Maka, tinggalkanlah 'yang sedikit' demi
mendapatkan 'yang lebih banyak' dan 'yang sempit' demi mendapatkan 'yang lebih
luas'. Sungguh rizki kalian telah dijamin, sementara (kemu dian) kalian disuruh
berbuat". [52]
Jangan (abaikan) sesuatu yang diwajibkan untuk men cari sesuatu yang 'sudah
dijamin'. Demi Allah, kilang sudah keraguan dan tinggallah keyakinan, sehingga
yang dijamin itidah yang diwajibkan. Seakan- akan, 'yang dijamin' adalah
mempersiapkan kalian untuk sesuatu 'yang ditentukan'. Maka, bersegeralah untuk
beramal dan takutlahpada ajal yaiig datang tiba-tiba. Tak seorangpun mengharap
kembalinya usia sebagaiinana mengharap kembalinya rizki. Rizki yang hilang hari
ini, masih bisa diharapkan bertambah banyak esok hari. Sedangkan usia yang
hilang kemarln tldak bisa diharap kembali hari ini. Pengharapan hanya berlaku pada
yang akau datang dan penyesalan berlaku pada sesuatu yang telah lewat. Allah
berfirman: 'Hai orang-orangyang beriman, bertak- walah kepada Allah dengan
sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan
dalam kea daan Muslim.' Q.S. Âlu ‘Imrân:102". [53]
[1] Bihârul
Anwâr, 77:352.
[2] Nahjul Balaghah , hikmah 77; Bihârul
Anwâr, 73:129.
[3] Bihârul
Anwâr ,77:374.
[4] Bihârul
Anwâr ,78:23.
[5] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmudî, 1:109.
[6] Bihârul
Anwâr ,78: 311.
[7] Nahjul Balâghah
, khutbah 226.
[8] Orang yang
hidupnya lebih mudah menjaga kehormatan diri, sedangkan yang hanyak
keperluannya terpaksa bersusah-payah dan seringkali meren dahkan diri atau
merengek di hadapan penguasa. pejahat, hartawan dsb.
[9] Nahjul
Balâghah , Kitab ke-3.
[10] Nahjul
Balâghah , Khutbah ke-83.
[11] Nahjul
Balâghah , Khutbah ke-82.
[12] Nahjul
Balâghah , Surat ke-83.
[13] Nahjul
Balâghah , Khutbah ke-52.
[14] Nahjul Balâghah , khutbah 111.
[15] Nahjul
Balâghah , khutbah 113.
[16] Nahjul Balâghah
, khutbah 99.
[17] Lumadhah adalah sisa makanan yang ada di
mulut. Blhârul Anwar, 73:133.
[18] Blhârul
Anwar, 73:133.
[19] Blhârul
Anwar, 73:99.
[20] Nahjul
Balâghah , Al-hikmah 289.
[21] Nahjul
Balâghah , Al-hikmah 82.
[22] Nahjul Balâghah , Al-hikmah 82.
[23] Nahjul
Balâghah , Khutbah 289:1:106, cet. Subhi Saleh.
[24] Nahjul
Balâghah , Khutbah 83.
[25] Nahjul
Balâghah , Khutbah 133.
[26] Syarah
Nahjul Balâghah , karya Ibnu Abil Hadîd, 8:276.
[27] Wasâ`il
Asy-Syi'ah, 14:130; Furû' Al-Kâfî, 5:559; Mîzânul Hikmah, jilid 10.
[28] Ghuraul Hikam, karya Al-Âmudî, 1:134.
[29] Biharul
Anwâr , 73:7. [30] Biharul Anwâr , 73:7. [31] Biharul Anwâr , 72:166.
[32] Ghurarul
Hikam , karya Al-Âmudî, 1:190.
[33] Ghurarul
Hikam , karya Al-Âmudî, 1:190.
[34] Biharul
Anwâr, 73:97.
[35] Biharul
Anwâr, 13:354 dan 73:67-73.
[36] Biharul
Anwâr, 76:364 dan 73:103.
[37] Biharul
Anwâr, 73:104. [38] Biharul Anwâr, 70:107.
[39] Biharul
Anwâr, 77:177.
[40] Kanzul
‘Ummâl : 4664. [41] Nur Ats-Tsaqalain , 5 : 15.
[42] Kanzul
‘Ummâl : 4444.
[43] Nur Ats-Tsaqalain , 5:594;
Mîzânul Hikmah, 3:326-327.
[44] Nur Ats-Tsaqalain , 5 : 594;
Mîzânul Hikmah, 3:326-327.
[45] Bihârul Anwâr , 71:81.
[46] Bihârul Anwâr , 4:73. [47]
Bihârul Anwâr , 14:74.
[48] Ghurarul
Hikam :243; Nahjul Balâghah, 2: 282, Al-Hikmah, 2:343.
[49] Ghurarul
Hikam, 2:221.
[50] Ghurarul
Hikam, 3:326.
[51] Bihârul
Anwâr , 73:127. [
52] Nahjul
Balâghah, 2: 282, Khutbah ke-113.
[53] Nahjul
Balâghah, 2: 282, Khutbah ke-113.
BAGIAN KEENAM
Telaah Analitik tentang Dunia dan Akhirat
Nash-nash di atas tidak bisa cliragukan lagi kesahihannya, baik dari sisi
sanad ataupun matan. Jumlah mereka banyak sekali dan semuanyu dapat dipercaya.
Mereka tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang haram saja, tapi juga
rnencakup yang halal. Allah berfirman: "Katakanlah: "Siapakah yang
mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk
hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rizki yung baik".
Katakanlah: "Semua itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalain
kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat”. Q.S. Al-A'râf:32.
Kalau demikian, bagaimanakah cara kita memahami berbagai nash tersebut? Dan
bagaimana kita mendamaikan riwayat-riwayat itu dari satu sisi, dan ayat-ayat
yang baru saja kita baca yang mengajak menikmati rizki yang telah dianugrahkan
Allah untuk hamba-hamba-Nya dan mengingkari orang-orang yang mengharamkannya,
dari sisi yang lain? Selanjutnya, saya berusaha untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini melalui beberapa butir penting yang, Insya-Allah,
akan menyampaikan kita pada inti jawaban:
Hadis-hadis itu tidak berarti bahwa Islam melarang para pemeluknya untuk
memanfaatkan dan menikmati rizki Allah. Karena, hukum perhiasan dan
keindahannya itu ibâhah (mubah), kecuali jika Allah melarangnya. Allah
berfirman: "Katakanlah: "Siapakak yang mengharamkan perhiasan dari
Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengarahkan) rizki yang baik?" Katakanlah: "Semua itu (disediakan)
bagi orang-orang yang beriman dalarn kehidupan dunia, khusus (untuk mereka
saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi
orang-orang yang mengetahui." Q.S. Al-A'râf:32. Sejumlah nash itu juga
tidak menganjurkan manusia bermalas-malas dalam berusaha di atas bumi ini.
Karena, bukum Allah dalam masalah ini tertera dalam firman Allab: "Apabila
telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah”. Q.S. Al-Jumu'ah:10. Akan tetapi, agar usaha manusia di dunia
tidak menyita seluruh hidupnya, maka ia mesti ditujukan untuk Allah. Allah
berfirman: "Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi..." Q.S. Al- Qashash:77. Pada prinsipnya, gerak-gerik
manusia itu untuk akhirat, tapi dia tidak boleh sampai melalaikan bagiannya di
dunia.
Meskipun penjelasan di atas tidak perlu diragukan keabsahannya, namun
oposisi antara dunia dan akhirat bukan saja dalam ruang lingkup yang haram,
tapi mencakup juga yang halal. Imam Ali as berkata: "Dunia dan aklnrat
adalah dua musuh yang berseteru dan dua jalan yang berbeda. Barangsiapa
rnencintai dunia dan patuh padanya, pasti membenci akhirat dan memusuhinya.
Dunia dan akhirat bagaikan arah tirnur dan barat, dan pejalan yang semakin
mendekat pada yang satu berarti menjauh dari yang Lain. Keduanya sejauh dua
istri yang dimadu."[1]
Segala kemewahan yang baik dan halal yang dinikmati manusia tidak akan
membawa siksa baginya. Karena Allah tidak mengharamkannya. Akan tetapi,
perolehannya dari kenikmatan duniawi berbanding terbalik dengan perolehannya
dari kenikmatan ukhrawi. Hal itu, karena kenikmatan duniawi biasanya mengurangi
kesempatan seorang untuk memperoleh yang di akhirat. Inilah arti implisit clari
benturan dunia dan akhirat pada lingkup yang halal.
Di bawah ini akan saya berikan beberapa contoh yang dapat memperjelas
permasalahan: a. Selagi ada umur, dan memungkinkan kita melakukan puasa - yang
wajib di bulan Ramadhan dan sangat disunahkan di hari-hari lainnya - kita harus
melakukannya. Abu Ja'far Al-Bâqir as meriwayatkan dari Rasulullah SAWW, beliau
bersabda: Allah SWT berfirman: "Puasa hanyalah untuk-Ku dan Aku sendiri
yang akan membalas pahalanya."[2]
Setiap kali manusia tidak berpuasa, clia akan kehilangan pahala yang besar
yang tidak diketahui pahalanya kecuali oleh Allah SWT. Dengan kata lain, setiap
hari yang dilalui manusia tanpa puasa; merasakan lezatnya makanan dunia akan
mengurangi bebempa kelezatan yang akan didapatkannya di surga yang lidak
diketahui kecuali oleh Allah.
Saya tidak sedang mengatakan tentang tidak berpuasa
dengan memakan-makanan haram. Saya hanya ingin mengatakan bahwa orang yang
tidak berpuasa (dan memakan rizki yang halal sekalipun) akan kehilangan peluang
emas merraih kelezatan-kelezatan uhkrawi. Ini adalah cnntoh
"benturan" antara dunia dan akhirat dalam lingkup yang halal. b.
Setiap malam yang digunakan seorang untuk tidur, tak diragukan lagi, adalah
kenikmatan dunia yang sangat besar sekaligus halal. Tetapi, tidur itu
''rugi", karena dia bisa melewatkannya dengan salat nafilah atau mendapat
pahala salat tahajjud di tengah malam. Apabila Allah telah mentakdirkan
seseorang hidup selama 70 tahun, maka Allah juga telah memberikan kesempatan
baginya untuk mendapat pahala sepenuhnya selarna 70 tahun itu. Dan setiap malam
yang dia lewatkan tanpa salat akan mengurangi sesuatu yang telah
"ditakdirkan"-Nya.
Sehingga menjelang 70 tahun, dia berada dalam
kelalaian dan ketersia-siaan. Dan dia habiskan kenikmatan yang Allab SWT
anugrahkan padanya ini. "Sekiranya dia tekun melakukan ibadah kepada Allah
SWT". e. Jika Allah telah menganugrahkan sejumlah harta benda pada seorang
hamba, berarti Allah juga telah memberinya kesempatan yang luas guna memperoleh
kesenangan-kesenangan akhirat dengan menginfakkannya. Maka, setiap kali manusia
mengeluarkan barlanya guna menuruti kesenangan- kesenangannya saja, dia akan
kehilangan kesenangan ukhrawi yang telah dijanjikan Allah bagi orang yang
menginfakkan hartanya di jalan Allah.
Begitulah manusia dilahirkan dengan dibekali modal
kesempatan yang hesar untuk memperoleh kesenangan-kesenangan akhirat. Harta,
umur. masa muda, kesehatan, kecerdasan, kedudukan sosial, pengetahuan dan lain
sebagiannya merupakan modal yang memungkinkan manusia memperoleh lebih banyak
pahala di akhirat. Allah SWT berfirman: "Demi masa, sesungguhnya manusia
itu benar-benar berada dalam kerugian..." Q.S. Al-A'shr 1-2. Kerugian
pertama yang dijelaskan ayat ini ialah kerugian beberapa "modal"-nya.
Kedua, kesempatan dan peluang yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya untuk
mendapat kenikmatan-kenikmatan akhirat yang lebih banyak. Setiap kali manusia
teledor dalam menjalankan modalnya dan mengeluarkannya untuk pemuasan syahwat,
maka pada hakikatnya dia telah melewatkan peluang mendapat keindahan-keindahan
akhirat yang telah dijanjikan Allah SWT. Amirul Mukminin as mempunyai untaian
kata yang sangat indah dan mengena dalam menggambarkan pengertian ini:
"Ketahuilah bahwa dunia adalah tempat bencana, tidak terluang sesaat pun
darinya, kecuali ia akan (berubah) menjadi penyesalan bagi penghuninya di hari
kiamat."[3]
Maksud kata al-farâgh (waktu luang atau kosong) di
sini, adalah kekosongan dari mengingat Allah dan amal untuk-Nya; menonaktifkan anggota
tubuhnya untuk berbuat di jalan Allah dan berdzikir kepada-Nya. Meskipun
kekosongan sesaat ini tidak untuk bermaksiat kepada Allah, namun, pada
hakikatnya, ia tetap penyesalan di hari kiamat. Sebab dia telah menyia-nyiakan
sebagian dari kenikmatan usia, kesadaran dan kalbu yang telah dianugrahkan
Allah untuk berdzikir dan taat kepada Allah. Di samping itu, dia telah
membiarkan keridhaan Allah SWT dan rizki ukhrawi-Nya lepas begitu saja tanpa
bisa didapat kembali setelah itu. Lebih lagi, semua kenikmatan yang
diperolehnya setelah itu tidak bakal mungkin mengganti yang telah ia lewatkan.
3. Termasuk
dari sunnatullah ialah membuat gerak pertumbuhan, integrasi dan taqarrub
manusia kepada Allah SWT melalui jalan yang berduri, penuh derita kemiskinan,
ganasnya cobaan dan kesengsaraan. Allah berfirman: "Apakah manusia itu
mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: " Kami telah
beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?". Q.S. Al-‘Ankabût:2. Allah
berfirman: "Dan sungguh Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan...". Q.S.
Al-Baqarah:155. Allah berfirman: "...kemudian Kami siksa mereka dengan
(menimpakan) kesengsaran dan kernelaratan, supaya rnereka bermohon (kepada
Allah) dengan tunduk merendahkan din". Q.S. Al-Mâ'idah:42.
Ayat yang akhir ini menjelaskan pada kita ciri
hubungan antara bergeraknya manusia menuju Allah dan cobaan, rasa takut,
kelaparan dan kemiskinan manusia. Karena, tersimpuh di haribaan Allah adalah
sarana terbaik untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Bersimpuh (tadharru') tidak
menjadi nyata dalam kehidupan manusia kecuali melalui kekurangan dalam jiwa dan
harta benda, ketakutan, kelaparan dan kesulitan. Kalau demikian, setiap kali
manusia menikmati kelezatan- kelezatan dunia, ia akan kehilangan kesempatan
"bersimpuh" kepada Allah dan dengan sendirinya akan kehilangan
kesempatan bergerak dan tagarrub kepada-Nya dan menikmati kelezatan-kelezatan
akhirat. Derita kemiskinan ini kadang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya
yang saleh agar mereka terus- menerus bersimpuh di hadapan-Nya. Dan kadang juga
hamba-hamba Allah itu sendirilah yang memilih kehidupan yang demikian itu.
4. Salah-satu
penyebab tercegahnya hasrat menikmati kesenangan-kesenangan dunia ialah rasa
takut terseret kepada cinta dunia yang menjauhkannya dari Allah SWT dan
keindahan-keindahan akhirat. Karena hubungan antara hasrat menikmati
kesenangan-kesenangan dunia dan cinta padanya adalah hubungan timbal balik.
Dengan kata lain, menikmati keindahan dunia menimbulkan hubbud-dunyâ (cinta
dunia) pada diri manusia yang, pada gilirannya, akan mendorong seorang untuk
tergesa-gesa mendapat keindahan ukhrawi di dunia dan terbuai olehnya.
Maka, agar seorang tidak menjadi mangsa
hubbud-dunyâ secara tak disadari, hendaknya dia "berhati- hati" oleh
kesenangan-kesenangan dunia. 5. Seringkali kita temukan nash-nash keislaman
sesuatu yang tidak seirama dengan konsep yang telah kami jelaskan, seperti nash
dari Amirul Mukminin Ali as dalam surat perjanjian yang beliau berikan pada Muhammad
bin Abu Bakar, ketika beliau mengangkatnya sebagai gubernur Mesir. Imam Ali as
berkata: "Ketahuilah - wahai hamba Allah - bahwa orang-orang yang bertakwa
membawa "cepatnya dunia" dan "lambatnya akhirat". Mereka
bergabung dengan ahli dunia saat berada di dunia, dan tidak bergabung dengan
mereka saat niereka berada di akhirat. Di dunia mereka tlnggal di tempat yctng
sebaik-baiknya. Mereka memakan sebaik-baik makanan. Bagian dunia rnereka
seperti yang diperoleh arang kaya. Mereka mengambil dari dunia sebagaimana yang
diambil penguasa kejarn, kemudian meninggalkannya dengan menbawa bekal yang
banyak sebagai pedagang yang sukses.
Mereka telali memperoleh lezatnya zuhud di dunia
saat berada di dalamnya. Mereka berrkeyakinan bahwa kelak bakal menjadi tetangga
Allah di akhirat. Doa mereka tidak pernah ditolak dan kelezatan yang mereka
peroleh tidak pernah dikurangi."[4] Inti nash tersebut ialah perbandingan
antara orang yang takwa dan yang tidak. Konteks nash ini tidak sama dengan
konteks nahs-nash yang telah lewat. Karena, nash-nash yang lewat menjelaskan
perbandingan antara derajat orang-orang bertakwa dan yang tidak bertakwa. Jelas
bahwa keduanya adalah masalah yang berbeda begitu pula dengan hukumnya.
Penglihatan
yang Menerawang Dunia
Jika kita lewati cara pandang yang dangkal terhadap
dunia, maka kita akan menemukan cara pandang lain yang berbeda dari dimensi
kedalaman, kesungguhan dan ketajamannya. Penglihatan ini mampu menembus
fenomena kehidupan dunia ke kedalaman batinnya. Jika penglihatan yang dangkal
terhadap dunia akan membangkitkan cinta dunia dan ketertipuan pada diri
manusia, maka penglihatan yang menembus dan mendalam terhadap dunia akan
memberikan kezuhudan dan apatisme pada dunia.
Hal yang demikian ini akibat ketajaman penglihatan
yang mampu menembus sesuatu yang ada di balik lahiriah kehidupan dunia, dan
menyingkap sirnanya kesenangan dunia dan perubahannya serta kesudahan manusia
di dalamnya, sehingga membuatnya zuhud pada dunia. Nash-nash keislaman lazimnya
menitik-beratkan cara pandang yang demikian itu terhadap dunia dengan
memperingatkan kematian, mengingatkannya, larangan memperpanjang lamunan pada
dunia atau dengan menganjurkan agar tidak lalai akan mati. Kematian merupakan
bentuk batin dunia yang mana manusia berusaha lari dan melupalupakannya. Dalam
sehuah riwayat disebutkan demikian: "Tiada keyakinan yang paling serupa
dengan keraguan daripada kematian."
Kematian adalah kepastian yang tak ada jalan untuk
diragukan. Walaupun demikian, banyak manusia yang berupaya lari dan berpura-pura
lupa terhadapnya. Dalam nanh-nash keislaman berikut ini terdapat pengertian
yang berlawanan dengan apa yang telah saya utarakan. Imam Al-Baqir as berkata:
"Perbanyaklah mengingat kematian. Tak seorang pun yang sering mengingat
kematian kecuali dia akan berzuhud pada dunia."[5] Amirul Mukminin as
berkata: "Barangsiapa membayangkan kematian di antara kedua matanya, maka
urusan dunianya menjadi remeh di hadapannya."[6]
Imam Ali as berkata juga: "Manusia yang paling
pantas bersikap zuhud ialah yang mengetahui kekurangan (kecacatan)
dunia."[7]
Imam Al-Kâzhim as: "Orang yang berakal ialah
yang zuhud terhadap dunia dan cinta akhirat. Karena, mereka mengetahui bahwa
dunia ada 'yang mencari' dan ada 'yang dicari'. Begitu pula akhirat; ada yang
mencari dan ada yang dicari. Maka barangsiapa yang mencari akhirat, dunia akan
mencarinya sehingga ia mengambil dengan sempurna rizkinya. Dan barangsiapa yang
mencari dunia, maka akhirat mencarinya, maut mendatanginya dan merusak urusan
dunia dan akhiratnya”.[8]
Imam Al-Kâzhim as pernah menghadiri jenazah, lalu
beliau berkata: "Sesungguhnya sesuatu yang pertamanya begini (mati) pantas
sekali untuk ditakuti akhirnya."[9]
Riwayat-riwayat ini menerangkan hubungan antara
zuhud dan mengingat mati atau dalam ibarat yang lain antara cara pandang dan
prilaku. Karena, mengingat kematian adalah cara pandang, - seperti yang telah
dijelaskan - dan zuhud adalah bentuk prilaku. Dalam rangka mengarahkan dan
membudayakan cara pandang yang benar ini, Amirul Mukminin as berkata:
"Jadilah kalian orang-orang yang pergi meninggalkan dunia dan rindu
akhirat... Jangan terperdaya oleh gemerlapnya, jangan dengarkan perkataan orang
yang ada di dalamnya, jangan pedulikan orang yang mengajak padanya, jangan
terangi diri kalian dengan sinarnya dan jangan terkecoh oleh pelbagai
pemikatnya. Sesungguhnya kilatannya menyilaukan, ucapannya kebohongan, harta
bendanva tersita dan perhiasannya hilang."[10]
Imam Ali as pernah pula berseru: "Keluarkanlah
hati kalian dari dunia sebelum badan kalian dikeluarkan darinya."[11]
Mengeluarkan hati dari dunia artinya memutus
hubungan dengannya atau "mati dengan kehendak sendiri" (al-maut
al-irâdî) sebagai lawan dari "keluarnya jasad dari dunia" atau
"mati terpaksa" (al-maut al- qahrî) atau mati yang tidak dihendaki
(al-maut allâ-irâdî). Imam menyuruh kita mendahulukan mati yang terpaksa dengan
mati yang dikehendaki. Memutus hubungan dengan dunia adalah zuhud. Sebaiknya,
kita membahas masalah zuhud ini sampai kita bisa memiliki pandangan yang
menembus ke batin kehidupan dunia dan apa hubungannya dengan zuhud.
Zuhud
Zuhud adalah lawan dari hubbud-dunyâ (cinta dunia).
Keduanya merupakan dua prilaku yang bersumber dari dua pola pandang terhadap
kehidupan dunia. Dan zuhud merupakan prilaku yang bersumber dari pandangan yang
menembus batin dunia itu. Hubbud-dunyâ ialah keadaan bergantung pada dunia.
Berbeda dengannya, zuhud adalah keadaan bebas dari dunia. Pengertian ini perlu
lebih dijelaskan. Saya katakan bahwa hubbud-dunyâ terkristal dalam dua keadaan
berikut: gembira dan susah. Gembira, dengan apa yang didapat dari
kesenangan-kesenangan dunia yang merupakan sisi positif hubbud-dunyâ.
Susah, atas apa yang hilang darinya berupa
kelezatan-kelezatan dan kesenangan-kesenangannya - yang merupakan sisi negatif
darinya -. Maka karena zuhud adalah lawan dari hubbud-dunyâ, maka zuhud pada
hakikatnya adalah bebas dari kegembiraan dan kesusahan duniawi itu. Allah SWT
berfinman: "... supaya kamu jangan bersedih hati terhadap apa yang hilang
darimu dan terhadap apa yang meinmpamu...". Q.S. Âli ‘Imrân:153. Allah
berfirman: "(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka
cita terhadap yang hilang darimu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira
tarhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu." Q.S. Al-Hadîd:23. Imam Ali as berkata:
"Sebenamya pengertian zuhud terdapat di antara dua kata yang ada dalani
Alquran, yaitu: "supaya kamu jangan berduka cita terhadap yang hilang
darimu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya
kepadamu.." Barangsiapa yang tidak rnenyesal atas yang hilang/tidak
diperoleh dan tidak gembiru dangan harta yang datang, maku dialah orang
zuhud."[12]
Imam Ali as berkata: "Zuhud ialah makna yang
terdapat di antara dua klause yang ada dalam Alquran ini, "supaya kamu
jangan berduka cita terhadap yang hilang darimu, dan supaya kamu jangan terlalu
gembira terhadap apa yatig diberikan-Nya kepadamu". Barangsiapa tidak
rnenyesali benda yang telah hilang dan tidak gembira dengan benda yang datang,
maka dia benar-benar telah menjalankan kedua sisi zuhud."[13]
Imam Ali as berkata pula: "Siapa yang sedih
terhadap dunia, maka dia telah marah pada keputusan Allah. Dan siapa yang
hatinya bergelora dengan kecintaan padanya, maka hatinya diserang oleh tiga
penyakit; kesumpekan yang tidak ahan pernah hilang, ketamakan yang tidak pernah
meninggalkannya, angan-angan yang tidak pernah dijangkaunya."[14]
Ini adalah arahan untuk pembebasan manusia dari
kesedihan dan kegembiraan duniawi. Jadi, sedih terhadap dunia berarti murka
atas keputusan Allah, karena tidak ada suatu apa pun yang hilang dari manusia
melainkan sudah diputuskan dan ditakdirkan-Nya. Hubbud-dunyâ membebani manusia
dengan tiga keadaan: kesumpekan, ketamakan, dan angan-angan yang membinasakan,
menyiksa dan mengalutkan manusia. Amirul Mukminm as berkata: "Wahai
manusia! Ada tiga (golongan yang menyikapi) dunia. Orang zâhid, rakus dan
sabar. Orang zâhid tidak akan gembira dengan dunia yang diperolehnya dan tidak
susah atas sesuatu yang hilang darinya. Orang yang sabar, hatinya berharap
mendapat dunia, tapi jika dia menemukannya, dia berpaling darinya karena dia
tahu akibat jeleknya. Dan orang yang rakus ialah yang tidak perduli apakah dia
mendapatkannya dengan jalan yang halal atau haram."[15]
Ucapan Imam ini merupakan nash yang sangat indah
dalam mendefinisikan pengertian zuhud, mengklasifikasi manusia dan kedudukan
orang zuhud. Menurutnya, ada tiga macam manusia: orang yang zuhud yaitu yang
bebas dari dunia, kegernbiraan dan kesusahannya. Orang yang sabar, yaitu yang
belum bisa bebas total, tapi berusaha membebaskan diri dari kesenangan dan
kesusahannya. Dan ketiga ialah orang tamak yang sembah sujud pada dunia,
perintahnya, kegembiraan dan kesusahannya. Imam Ali as mengajak manusia agar
mengalihkan rasa gembira dan susah dari dunia ke akhirat. Hal itu adalah
sebaik-baik orientasi rasa gembira dan susah. Kita lebih pantas gembira saat
mendapat pahala taat kepada Allah, dan susah saat lepas dari ketaatan dan zikir
kepada Allah SWT Dalam suratnya kepada Abdullah bin Abbas, Amirul Mukminin as
menulis:
"Ammad ba'du, seorang hamba mestinya
bergernbira atas sesuatu yang tidak meninggalkannya dan bersusah atas sesuatu
yang belum tentu baik untuknya. Jangan kau jadikan raihan kelezatan dan pelipur
kesusahan duniamu, lebih kau utamakan ketimbang memadamkan kebatilan dan
menghidupkan kebenaran. Hendaknya kegembiraanmu tertuju pada pencapaianmu,
penyesalanrnu tertuju pada ketinggalanmu dan kesumpekanmu tertuju pada (yang
akan kau hadapi) setelah kematianmu."[16]
Zuhud lalah Sumber Segala Kebajikan Sebagaimana
hubbud-dunyâ sumber segala kejahatan manusia, zuhud ialah sumber segala
kebaikan manusia. Hubbud-dunyâ atau cinta dunia menjadikan manusia dalam
tawanan dunia dan hawa nafsu, sedang dunia ialah sumber segala kejahatan dan
keterjerumusan manusia. Sementara zuhud adalah kebebasan dan keterlepasan
manusia dari penjara hawa nafsu dan dunia, yang merupakan sumber segala
kebaikan manusia. Dalam berbagai nash keislaman terdapat artikulasi yang
berbeda-beda yang menegaskan pengertian ini. Berikut ini saya nukilkan beberapa
di antaranya. Imam Ash-Shâdiq as berkata: "Seluruh kebaikan dijadikan
dalarn sebuah rumah dan kunci pernbukanya adalah zuhud di dunia."[17]
Imam Ali as berkata: "Zuhud adalah induk
agama."[18]
Imam Ash-Shadiq as berkata: "Zuhud adalah asas
agama."[19]
Imam Ash-Shâdiq as berkata: "Zuhud adalah
kunci pembuka pintu akhirat dan penyelamat dari neraka. Zuhud berarti
meninggalkan segala sesuatu yang menyibukkanmu dari Allah tanpa sesal atas
kehilangannya, ujub dalam meninggalkannya, rnenunggu kelonggarannya, mencari
pujian dengannya dan rnencari ganti darinya. Bahkan kamu melihat kehilangan
dunia adalah kesenangan dan kehadirannya adalah petaka. Sementara karnu selalu
lari dan petaka dan berpegangan dengan kesenangan."[20]
Imam Ali as berkata: "Zuhud kunci pembuka
kesejahteraan."[21]
Pengaruh-Pengaruh Psikologis dan Behavioral
(Prilaku) Pada Zuhud Zuhud mempunyai banyak pengaruh dan dampak pada kehidupan
manusia. Antara lain: I. Pendek Angan-angan Zuhud menghasilkan
"angan-angan yang pendek" kebalikan dari hubbud-dunyâ. Bila manusia
sedikit bergantung pada dunia dan bebas dari tawanannya, maka angan-angannya
tidak akan panjang. Lebih-lebih, dia akan tetap menikmati kesenangan dunia,
tapi tanpa harus melupakan kematian dan memutusnya secara spontan. Rasulullah
SAWW bersabda: "Barangsiapa yang mencintai dunia, dan angan-angannya
panjang, maka Allah akan membutakan hatinya menurut kadar kecintaannya pada
dunia. Dan barangsiapa zuhud terhadapnya dan angan-angannya pendek, maka Allah
akan memberinya pengetahuan tanpa belajar, petunjuk tanpa bimbingan (orang
lain) dan menghilangkan kebutaannya dengan menjadikannya jeli."[22]
Dari kandungan riwayat itu dapat kita simpulkan
bahwa zuhud membawa pada sedikitnya angan-angan. Dan sedikitnya angan-angan
membawa pada bashîrah dan hidayah. Sementara mencintai dunia menyebabkan
panjangnya angan-angan yang menyebabkan kebutaan. Gerangan apakah rahasia
hubungan antara pendeknya angan-angan dan bashîrah (melihat) ini? Panjangnya
angan-angan akan menguatkan kebergantungan manusia pada dunia dan kecintaan
dunia pada diri sendiri. Dan hubbud-dunyâ akan menutupi (menghalangi) manusia
dari Allah SWT. Maka jika angan-angannya pada dunia pendek (sedikit), maka akan
tesingkap tabir yang menutupi hati dan bashîrahnya. Rasulullah SAWW bersabda:
"Zuhud pada dunia adalah pendeknya angan-angan, syukur atas kenikmatan dan
bersikap wara' (hati-hati) terhadap segala sesuatu yang diharamkan
Allah."[23]
Imam Ali as herkatu: "Zuhud akan memperpendek
angan-angan dan mengikhlaskan amal."[24]
Imam Ali as juga berkata: "Wahai manusia,
zuhud adalah pendeknya angan-angan, syukur terhadap nikmat dan jauh dari yang
haram. Bila ini tidak mungkin kalian lakukan, rnaka (paling tidak) janganlah
sampai yang haram mengalahkan kesabaranmu dan lupa mensyukuri nikmatmu. Allah
telah memberikan alasan (‘uzur) kepadamu dengan hujjah-hujjah yang jelas dan
terang dan Kitab-kitab yang tampak dan jelas."[25]
2. Merdeka dari
Aksi-reaksi Duniawi Artinya, dia terbebas dari rasa gembira terhadap apa yang
didapatkan dan dari rasa sedih atas apa yang hilang dari dunia. Imam Ali as
berkata: "Barangsiapa yang tidak menyeaal atas harta benda yang telah lalu
(hilang) dan tidak gembira pada harta benda yang akan datang, maka ia
benar-benar telah memegang 'dua ujung zuhud'."[26]
Imam Ali mempunyai untaian kata indah berkenaan
dengan permasalahan ini dalam menyifati hasil-hasil zuhud terhadap kehidupan
manusia yang saya nukil dari kitab "Nahjul Balâghah" sebagaimana
berikut ini: "Perdengarkanlah panggilan maut pada telinga-telinga kalian,
sebelum ia memanggil kalian. Orang-orang yang zuhud pada dunia, menangis hati
mereka rneski tersenyum wajah mereka. Gundah-gulana, meski tampak gernbira-ria.
Mereka sering mencaci jiwa, meski bersimbahkan rizki yang mereka miliki.
Sungguh telah sirna pengingatan terhadap kematian dari hati kalian dan selalu
hadir lamunan-lamunan palsu di sisi kalian sehingga dunia rnenjadi lebih kalian
rniliki daripada akhirat.
Al-'Âjilah (pakai 'ain [duina]) lebih mengesankan
kalian daripada 'Âjilah (pakai harnzah [akhirat]). Dan sebenarnya kalian satu
saudara dalam agama Allah, hanya saja kalian telah dicerai-beraikan oleh
perasaan-perasaan jahat dan lintasan-lintasan jelek sehingga kalian tidak
saling kunjung, tidak saling menasihati dan tidak saling memberi hadiah serta
tidak saling rnencintai! "Apa gerangan yang kalian sukai dari dunia yang
sedikit yang kalian dapatkan dengan susah ? Dan Apa gerangan yang tidak
menyusahkan kalian dari berbagai kemewahan akhirat yang tidak kalian peroleh.
Dunia yang sedikit dan bakal meninggalkan kalian, selalu menggelisahkan kalian
sehingga tampak di raut wajah kalian rasa sedikit kesabaran dari dunia yang
hilang. Dunia (menurut kalian) seakan-akan tempat abadi kalian dan harta benda
(kemewahan)nya selalu abadi pada kalian. Tidaklah ada orang yang takut menemui
saudaranya akibat celanya, kecuali, karena dia takut menemui hal yang serupa
dengan celanya. Kalian sudah bertekat untuk meninggalkan akhirat demi mencintai
dunia. Agama kalian bak buah bibir, aksi yang ditakuti dan untuk menjaga
kerelaan tuannya.”[27]
3.
Menghilangkan Kecondongan terhadap Dunia Termasuk pengaruh psikologis zuhud
ialah tiadanya kecondongan terhadap kehidupan duniawi karena hilangnya anggapan
bahwa dunia adalah tempat tinggal yangabadi. Dan jika manusia telah mengeluarkan
hubbud-dunyâ dari hatinya serta mencabut jiwanya dari ketergantungan pada
dunia, maka dia tidak akan pernah lagi condong kepadanya. Baginya, dunia ialah
jalan dan jembatan menuju akhirat. Manusia memandang dunia dengan dua bentuk.
Sebagiannya ada yang melihat dunia sebagai tempat
tinggal (yang abadi) lalu condong padanya. Dan ada yang memandangnya sebagai
sarana dan jembatan yang mengantarkannya melintas ke akhirat, maka dia tidak
akan condong padanya. Kedua golongan ini sama-sama hidup di dunia dan
memakmurkannya serta menikmati anugrah dari Allah. Namun, kelompok pertama,
jiwanya cenderung pada dunia dan menjadikannya sebagai tempat abadi kemudian
kematian sungguh akan mencabutnya dari dunia. Sementara kelompok kedua
menjadikannya sebagai jembatan dan lintasan, maka jiwanya tidak akan cenderung
terhadapnya dan tidak menderita karena berpisah darinya ketika kematian
mencabutnya secara paksa. Dalam nash-nash keislaman ada beberapa permisalan
yang indah yang menggambarkan keadaan manusia di dunia.
Manusia di dunia, misalnya, laksana musafir yang
bernaung sesaat di bawah kerindangan pohon di pinggir jalan, supaya panas terik
matahari tidak menyengatnya dan ia bisa istirahat barang sejenak. Kemudian dia
meninggalkan pohon tersebut dan meneruskan perjalanannya. Begitulah keberadaan
(bertempat tinggalnya) manusia di dunia. Lalu apakah pantas manusia mejadikan
dunia sebagai tempat tinggal yang sangat diharapkannya? Rasulullah SAWW
bersabda: "Apa urusanku dengan dunia? Aku seolah pengendara yang beristirahat
di waktu siang di bawah naungan sebuah pohon di suatu hari yang sangat panas
untuk sesaat, kemudian berangkat dan rneninggalkan pohon tersebut."[28]
Dalam wasiat kepada putranya Al-Hasan, Imam Ali
berkata: "Wahai anakku! Telah kujelaskan kepadamu tentang dunia dan
keadaannya, kesirnaannya dan keberpindahannya. Telah kujelaskan juga kepadamu
tentang akhirat dan apa yang disediakan buat para penghuninya. Tentang
keduanya, telah kuajukan kepadarnu berbagai perurnpamaan yciiig bisa kau ambil
pelajarannya dan kau ikuti arahnya. Orang yang mengenal dunia akan tahu bahwa
ia seumpama tempat yang menawan yang telah rusak diinjak- injak sekelompok
musafir dan ladang yang subur yang sudah dipakai. la adalah jalan yang terjal,
tempat perpisahan teman dan kepayahan perjalanan..."[29]
Suatu ketika Umar bin Khatab menemui Rasulullah
SAWW yang yang tergores punggungnya oleh tikar. Lalu umar berkata: "Wahai
Nabi (SAWW), alangkah baiknya seandainya Anda membuat kasur yang lebih baik
dari itu?” Rasulullali SAWW bersabda: "Apakah urusanku dengan dunia
kecuali bagaikan orang yong berjalan di musim kemarau lalu ia berteduh di bawah
pepohonan sesaat pada waktu siaug, kemudian berangkat lagi dan meninggalkan
tempat tersebut.”[30]
Imam Ali as berkata: "Sungguh dunia bukanlah
tempat tinggal yang langgeng dan kekal. Sungguh kalian yang ada di dalamnya bak
para rnusafir yang bersantai sejenak dan melepaskan lelah kemudian bergegas
berangkat lagi. Mereka memasuki dunia dengan ringan dan meninggalkannya dengan
berat. Mereka tidak mendapatkan apa yang diharapkan dari dunia dan apa yang
mereka tinggalkan tidak bakalan kembali lagi".[31]
Nabi SAWW pernah ditanya: ''Bagaimanakah keadaan
manusia di dunia? Beliau menjawab: "Bagaikan kafilah yang berjalan."
Beliau ditanya lagi: "Berapa lama mereka
bertempat di sana (dunia)?”
Beliau menjawab: "Seperti orang yang ditinggal
kafilah (lalu menyusulnya)”.
Ditanya lagi: "Berapa lama antara dunia dau
akhiral?”
Beliau menjawab: "Sekejap rnata. Allah SWT
berfirman: ... (maka) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat
pada siang hari.” Q.S. Al-Ahqâf:35.[32]
Ali as berkata: "Dunia bagaikan bayangan awan
dan mimpi orang yang tidur."[33]
Imam Al-Bâqir as berkata: "Sesungguhnya dunia
menurut pandangan ulama bagaikan bayangan."[34]
Imam Ali as berkata: "Ingatlah! Sesungguhnya
tidak selamat, kecuali orang yang berada di rumah. Dan tidak akan diselamatkan
orang yang beramal untuk dunia (semata). Di dalamnya, manusia dicoba dengan
fitnah. Apa yang diambilnya dari dunia untuk dunia semata akan dilepaskan
darinya (oleh maut) dan diperhitungkan. Dan apa yang diambil darinya untuk di
luarnya (akhirat), maka ia akan memberinya nikmat di dunia dan akan menjadi
temannya menuju akhirat. Bagi yang berakal, dunia itu laksana bayangan;
sesekali meluas dan di lain waktu rnengingsut dan sesekali bertambah dan di
waktu lain berkurang."[35]
Dunia
sebagai Jembatan akhirat Dengan pandangan ini, Islam mempersenjatai umatnya.
Maka, bagi muslim, dunia adalah jembatan yang akan ia buat melintas bukan untuk
ia huni selamanya. Pandangan yang istimewa terhadap dunia ini akan melahirkan
keadaan yang istimewa, yaitu keadaan yang tidak berunsur kecondongan pada dunia
dan tidak pula memunculkan prilaku tertentu (jelek) di dalam dunia. Isa
Al-Masih as pernah berkata: "Dunia hanya jembatan (akhirat)".[36]
Imam Ali as berkata: "Hai manusia,
sesungguhnya dunia hanyalah tempat berlalu, sedangkan akhirat adalah tempat
tinggal yang abadi, maka ambillah (berbekallah) dari ternpat melintasmu untuk
tempat menetapmu. Janganlah kamu robek (pudarkan) tabir-tabirmu di hadapan Dzat
yang Mengetahui rahasia- rahasiamu".[37]
Imam Ali as berkata: "Dunia ternpat melintas
yang sementara bukan tempat menetap yang abadi. Ada dua macam manusia di
dalamnya yang menjual diri lalu menyengsarakannya dan yang membeli jiwanya lalu
memerdekakannya".[38]
Interaksi Sebab dan Akibat Salah satu keunikan cakrawala pemikiran Islam
ialah penemuan hubungan interaktif antara sebab dan akibat (hasil) dalam
berbagai masalah kemanusiaan. Kadang hubungan kausal antara dua hal yang
bersifat interaktif. Masing-masing mempengaruhi yang lainnya secara positif.
Contoh-contohnya banyak sekali dalam masalah-masalah kemanusiaan seperti
hubungan antara zuhud dan bashîrah. Bashîrah mengajak manusia pada zuhud dan
zuhud mengajak manusia pada bashîrah. Di bawah ini akan kami sebutkan dua
kelompok nash yang masing-masing membahas satu persatu dari keduanya. Hubungan
Zuhud dengan Bashîrah Kami nukilkan hadis dari Rasulullah SAWW yang menafsirkan
firman Allah: "Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk
(menerirna) agama Islam lalu la mendapat cahaya dan Tuhannya ..." Q.S.
Az-Zumar:22.
Rasulullah SAWW bersabda:
"Sesungguhnya bila nur (cahaya) menetap di hati, maka ia (hati) akan,
melebar dan meluas." Rasulullah ditanya oleh para sahabatnya: "Apakah
yang demikian itu ada tandanya?” Rasulullah SAWW menjawab: "Menghindar
dari tempat tipuan (dunia) dan kembali ke tempat yang abadi serta mempersiapkan
diri untuk menghadapi maut sebelum datangnya ajal."[39]
Imam Ali as berkata: "Manusia yang paling berhak menyandang kezuhudan
adalah orang yang mengetahui kekurangan (keaiban) dunia."[40]
Imam Ali as berkata: "Barangsiapa yang membayangkan kematian di antara
kedua rnatanya, rnaka urusan dunianya akan menjadi hina dihadapannya."[41]
Imam Ali as berkata: "Kezuhudan seseorang pada sesaatu yang akan sirna
sebanding dengan keyakinannya terhadap sesuatu yang akan kekal."[42]
Hubungan Bashîrah dengan Zuhud Rasulullah SAWW bersahda: "Wahai Abu
Dzar, tidaklah seorang hamba zuhud di dunia kecuali Allah tumbuhkan hikmah
dalam hati dan lidahnya, Allah memperlihatkan kehinaan, penyakit dan obat
baginya, dan Allah mengeluarkannya dari dunia dengan selamat menuju ke
surga."[43]
Rasulullah SAWW bersabda: "Barangsiapa mencintai dunia, lalu memanjang
angan-angannya, maka Allah akan membutakan hatinya menurut kadar kecintaannya
pada dunia. Barang siapa zuhud terhadapnya, lalu pendek angan-angannya, maka
Allah akan memberikan pengetahuan tanpa belajar dan petunjuk tanpa bimbingan
(orang lain) dan Allah juga akan menghilangkan darinya kebutaan serta
menjadikannya melihat."[44]
Suatu hari Rasulullah SAWW keluar (rumah) lalu beliau hersabda:
"Adakah di antara kalian orang yang menginginkan agar Allah memberinya
ilmu tanpa belajar dan petunjuk tanpa bimbingan?
Adakah di antara kalian orang yang menginginkan agar Allah menghilangkan
(kebutaan) dan menjadikannya melihat? Ingatlah bahwa orang yang zuhud pada
dunia dan pendek angan-angannya, maka Allah akan memberinyo ilmu tanpa belajar
dan hidayah tanpa ada orang yang menunjukinya."[45]
Rasulullah SAWW as bersabda: "Wahai Abu Dzar! Jika
kamu melihat saudaramu sudah benar-benar berzuhud pada dunia, maka dengarkanlah
ucapannya, karena dia telah diberi hikmah".[46]
Beginilah sinergi yang ada antara bashîrah clan zuhud. Zuhud menyebabkan
bashîrah dan bashîrah menyebabkan zuhud. Begitu pula sinergi yang ada antara
zuhud dan pendeknya angan-angan pada dunia. Dalam hubungan antara pendeknya
angan-angan dan zuhud telah diriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali as sebagai
berikut: "Zuhud akan melapukkan tubuh, membatasi angan-angan, mendekatkan
tujuan (mati) dan menjauhkan hasrat. Siapa yang memegangnya akan capek dan yang
melepaskannya akan menderita."[47]
Dalam hubungan antara zuhud dan pendeknya angan-angan. Imam Al-Bâqir as
berkata: "Raihlah manisnya kezuhudan dengan memperpendek
angan-angan".[48]
Menyingkap hubungan interaktif antara beberapa unsur yang saling
berhubungan ini termasuk dari pesona cakrawala pikiran Islam. Sinergisme ini
mendorong adanya gerakan yang terus menaik dalam kutub-kutub tersebut.
Misalnya, bashîrah akan mewujudkan tingkat tertentu dari zuhud dan zuhud akan
menyebabkan tingkat yang lebih tinggi dari bashîrah dan demikian seterusnya.
Kemudian, begitulah proses itu terus berlangsung sampai manusia naik ke
tingkat-tingkat yang tinggi di antara dua kutub itu. Dunia Tercela dan Dunia
Terpuji
1.
Dunia Tercela Telah kami sebutkan bahwa dunia mempunyai bentuk lahir dan batin.
Bentuk lahir merupakan sumber "ketertipuan" dan menanamkan hubbud-dunyâ
dalam jiwa manusia. Dan bentuk batin merupakan sumber pelajaran dan zuhud dalam
jiwa manusia. Sementara bentuk lahir dunia adalah "dunia tercela",
yang menurut nash Islam, sebagaimana bentuk batin dunia adalah "dunia yang
terpuji". Pada hakikatnya, kedua bentuk tersebut merupakan dua pola
pandang terhadap dunia seperti halnya yang telah kami sebutkan sebelumnya.
Dunia itu sendiri, pada dasarnya tidak memiliki bentuk-bentuk. Dengan kata
lain, jika manusia memandang dunia dengan pandangan tertipu maka dunia baginya
tercela.
Namun, jika manusia memandang dunia dengan padangan mengambil pelajaran,
maka dunia baginya terpuji. Anehnya, bentuk dunia yang tercela adalah diambil
dari bentuk dhahir (fenomenal) yang menggiurkan, menipu dan penuhi dengan
pelbagai kelezatan dan syahwat. Berikut ini akan kami sebutkan kumpulan nash
keislaman yang menjelaskan bentuk dunia yang tercela. Imam Ali as berkata:
"Dunia pasar kerugian".[49]
Imam Ali as berkata: "Dunia tempat terpelantingnya akal”.[50] Dari
Imam Ali as juga: "Dunia adalah bahan tertawaan orang yang mengambil
pelajaran darinya."[51]
Imam Ali as juga pernah berkata: "Dunia adalah janda yang telah
diceraikan oleh orang-orang berakal."[52]
Imam Ali as juga berkata:
"Dunia adalah tarnbang segala kejahatan dan tempat segala
ketertipuan."[53]
Imam Ali as berkata: "Dunia tidak akan menjadi jernih bagi orang yang
meminumnya (mengambilnya), dan tidak akan jujur terhadap temannya
sendiri."[54]
Imam Ali as menyatakan: "Dunia ialah ladang kejahatan."[55] Imam
Ali as berkata: "Dunia adalah cita-cita orang-orang celaka
(sengsara)."[56]
Imam Ali as juga pernah berkata: "Dunia itu menyerahkan(mu)."[57]
Dari Imam Ali as: "Dunia menghinakan(mu)."[58]
Kewaspadaan Terhadap Dunia Tentang bentuk dunia yang ini, Imam Ali memperingatkan
demikian: "Aku peringatkan kalian terhadap dunia! la bukanlah tempat yang
patut didamba. la menghias diri dengan tipuan-tipuannya dan menipu dengan
hiasan-hiasannya hagi orang yang memandangnya."[59]
Imam Ali as berkata: "Aku peringatkan kalian akan dunia yang manis
menggiurkan yang diliputi dengan berbagai syahwat”.[60]
Imam Ali as juga herkata: "Berhati-hatilah terhadap dunia yang menipu
dan meninggalkan. la berhias dengan keelokannya dan memfitnah dengan
tipuan-tipuannya. la seakan penganten yang dirias untuk ditonton semua
mata."[61]
2.
Dunia yang Terpuji Bentuk lain dunia atau pola pandang yang lain terhadapnya
ialah "yang terpuji". Dan yang mengherankan ialah bahwa pola pandang
yang terpuji terhadap dunia ini diambil dari batin dunia yang akan lenyap dan
selalu berubah-rubah. Sedang dunia yang tercela diambil dari bentuk lahirnya
yang memperdayai, menggiurkan dan penuh kelezatan. Walhasil, dunia mempunyai
dua sisi, yang terpuji dan yang tercela. Dunia pada sisinya yang terpuji adalah
yang menguntungkan dan tidak merugikan, berguna dan tidak membahayakan. Dunia
menurut pengertian ini ialah bekal yang akan menyampaikan seorang ke akhirat,
kendaraan orang mukmin, tempat kejujuran dan pasar pahala para wali Allah.
Karena itulah, ia tidak pantas dicela.
Mari kita kaji riwayat-riwayat yang memaparkan sisi dunia yang terpuji ini.
1.
Dunia yang Menyampaikan (manusia) ke Akhirat Imam Ali bin Husein Zainal Abidin
as berkata: "Dunia ada dua macam; dunia yang menyampaikan (ke akhirat),
dan dunia yang terlaknat."[62]
Maksud dari dunia yang menyampaikan ialah dunia yang akan menyampaikan
manusia ke akhirat dan menghubungkannya ke Allah. Sedang dunia yang kedua ialah
dunia yang terlaknat, yaitu dunia yang akan menjauhkan manusia dari Allah SWT
Karena laknat berarti "pengusiran" dan "penjauhan". Jadi,
ada dua dunia. Pertama, yang menyampaikan manusia ke Allah dan kedua, yang
menjauhkannya dari Allah. Perkara lain yang berkaitan dengan hakikat ini ialah
bahwa manusia tidak mungkin meninggalkan dunia tanpa ada salah satu dari dua
keadaan ini; dekat ke Allah atau jauh dari-Nya. Amirul Mukminin Ali as berkata:
"Janganlah kalian meminta di dunia lebih dari yang cukup dan janganlah
menuntut dari dunia yang lebih dari apa yang bisa menyampaikanmu (ke akhirat)."[63]
Kalau demikian, "sampai" (ke akhirat) adalah tujuan di dunia ini.
Dan apa saja yang dicari oleh manusia baik yang berupa harta atau kesenangan
haruslah berupa wahana yang akan menyampaikannya ke tujuan tersebut. Maka
cukuplah bagi manusia untuk memburu dunia yang bisa membekalinya sampai pada
tujuan. Jangan sekali-kali menuntut lebih daripada yang
"dibutuhkannya" atau menjadikannya sebagai tujuan yang dikejar-kejar.
Karena dunia dan segala isinya termasuk harta benda adalah sarana bukan tujuan.
Tujuan satu-satunya manusia ialah mendapatkan sesuatu yang bisa menyampaikannya
ke akhirat.
Amirul Mukminin Ali as berkata: "Dunia diciptakan untuk
"selainnya", bukan diciptakan untuk dirinya sendiri."[64]
Sungguh suatu kesalahan, bila perantara ini diubah menjadi tujuan, sebagimana
pula - kesalahan besar - jika perantara ini dijadikan sebagai perantara
sekaligus tujuan secara bersamaan. Oleh karena itu, Imam Ali as berkata:
"Janganlah kalian menantut sesuatu dari dunia yang lebih besar dari pada
apa yang bisa menyampaikanmu ke akhirat." Adapun tentang usaha dan upaya
demi mendapatkan dunia, Imam Ali as berkata: "Janganlah mencari sesuatu
(di dunia) yang melebihi kecukupan." Perkataan ini menjelaskan teori Islam
dalam "mencari rizki". Tanpa diragukan lagi bahwa harta benda dunia
hanya merupakan perantara kita untuk sampai ke akhirat. Makanya, ia mesti
berusaha untuk memperoleh dan mendapatkan sarana yang akan menyampaikannya ke
sana. Jadi, yang tidak boleh bagi manusia ialah yang melebihi batas kecukupan
(al-kafâf atau sufficiency).
Kecukupan artinya sesuatu yang mencukupi seseorang dan
"menyampaikan" (al-balâgh) artinya sesuatu yang memenuhi kebutuhan
hidup manusia di dunia. Manusia mempunyai kebutuhan yang hakiki dan khayali
atau palsu. Adapun kebutuhan hakikinya, ialah hal-hal yang sudah kita ketahui
bersama yang lazimnya dibutuhkan untuk menyambung hidup dan merealisasikan misi
"penyampaian". Sedangkan kebutuhan yang khayali dan palsu adalah yang
muncul dihadapan manusia dalam bentuk "kebutuhan", yang pada
hakikatnya, adalah ketamakan.
Jika manusia menyerah kan dirinya pada kebutuhan ini, maka dia tidak akan
pernah berakhir pada batas tertentu dan akan menguras seluruh gerak manusia dan
usahanya, dan tidak akan menambah apa-apa baginya selain ketersiksaan dan
kerakusan. Diriwayatkan dari Imam Ash-Shâdiq bahwa Amirul Mukminin Ali as
pernah berkata: "Wahai anak cucu Adarn, jika kamu rnenginginkan sesuatu
yang mencukupimu dari dunia, maka yang sedikit saja darinya akan mencukupimu.
Dan jika karnu menginginkan sesuatu yang tidak mencukupimu, maka semua yang ada
di dalamnya tidak akan mencukupimu".[65] Pengertian-pengertian yang
mendetail ini juga banyak terdapat dalam nash-nash lain, antara lain berikut
ini: "Ingatlah! Sesungguhnya dunia ini adalah rumah (orang yang) diselamatkan
bukanlah (yang keluar) darinya, tetapi (yang berada) di dalamnya. Dan tidak
akan diselamatkan orang yang beramal untuk dunia (semata). Manusia dicoba di
dalamnya dengan fitnah. Apa yang diambilnya dari dunia untuk dunia semata akan
dilepaskan darinya (oleh maut), dan diperhitungkan. Dan apa yang diambilnya
dari dunia untuk di luar dunia (akhirat), akan memberi kenikmatan di dunia dan
akan menjadi teman menuju akhirat. Bagi yang berakal, dunia ini laksana
bayangan; sewaktu-waktu ia melebar dan lain waktu ia mengingsut dan
mengkerut."[66]
Untaian kata ini walaupun ringkas memuat pengertian-pengertian yang dalam.
Dunia adalah: "... rumah, (orang yang) diselamatkan bukanlah (yang keluar)
dari rumah, tetapi (yang berada) di dalamnya". Dunia adalah kendaraan
mukmin untuk lari dari setan menuju ke Allah SWT Tanpanya, dia tidak akan bisa
selamat. Anehnya, orang yang menghindar dari dunia dan masyarakat tidak akan
sampai pada tujuan yang dikehendaki Allah SWT, yaitu kedekatan dengan-Nya.
Sungguh Allah telah menghendaki manusia agar menggapai tujuan ini ketika mereka
berada di dunia dan dengan sarana dunia. Kalau demikian, dunia merupakan
perantara dan sarana yang tidak mungkin dilepas untuk merealisasikan tujuan
ini. Inilah hakikat pertama dalam nash tersebut. Dunia menjadi perantara
manusia menuju Allah ini, jangan sampai dijadikan tujuan.
Apabila dunia dijadikan tujuan, maka manusia tidak akan selamat dari dunia
tersebut; " ... dan tidak akan diselamatkan orang yang beramal untuk dunia
(semata)." Apabila manusia mengeluarkan dunia dari posisi yang sebenarnya,
maka dunia akan kehilangan kemampuannya untuk menyelamatkan manusia dari jerat
setan atau untuk menyampaikannya ke Allah SWT Dan ini merupakan hakikat kedua
dalam nash di atas. Kemudian dunia yang diraih oleh manusia demi tujuan
duniawi, bukan demi Allah atau untuk mendekatkan diri kepada-Nya, atau untuk
menyampaikan kepada keridhaan Allah, maka dunia tersebut akan melalaikannya
(melupakan) dari Allah SWT. Sungguh unik dan mengherankan permasalahan dunia
ini. Bila ia dijadikan sebagai perantara, maka ia akan memapahnya menuju Allah.
Di lain pihak, Allah akan menyimpan dunia tersebut untuknya, mengabadikannya
dan menempatkannya di akhirat kelak. Sebaliknya, bila manusia menjadikannya
sebagai tujuan, maka ia akan melalaikan manusia terhadap Allah.
Di lain pihak, kematian akan mencabutnya dan Allah akan menghisabnya dengan
hisab yang berat (sulit). Penting untuk kita ketahui bahwa masalah kita bukan
pada kuantitas, tapi pada kualitas. Karenanya, bisa saja ada manusia yang
memperoleh kekayaan duniawi yang melimpah ruah tapi dia gunakan semua itu di
jalan Allah SWT dan keridhaan-Nya. Maka perbuatan itu menjadi amal saleh yang
akan dihadirkan kelak di akhirat. Di samping itu, ada manusia yang hanya
mendapat sedikit hartayang dicarinya semata-mata demi tujuan dunia, maka dunia
yang demikian ini akan hilang (lepas) dari genggamannya dan akan diperhitungkan
dengan cermat oleh Allah. Hal ini merupakan hakikat ketiga yang ada dalam nash
tersebut. Kemudian jika dunia dimiliki demi tujuan dunia itu sendiri, maka
dunia itu yang disebut 'Âjilah -dengan 'ain- (sesuatu yang berjangka pendek).
la tidak akan melaju sampai akhirat, karena akan segera lenyap dan sirna.
Tetapi, jika dunia diraih untuk selainnya (akhirat), maka ia menjadi Âjilah
-dengan hamzah- (sesuatu yang berjangka panjang) yang akan memboyongnya menuju
Allah.
Dan di saat menjumpai Allah kelak, dia akan mendapatinya hadir di sisi
Allah. Dunia model ini akan menjadi kekal dan tidak ada yang bisa
melenyapkannya. "Apa yang ada di sisi Allah pasti baik dan kekal...".
Dan "Apa yang diambil dari dunia untuk di luar dunia (akhirat), akan
rnemberi kenikmatan di dunia dan akan menjadi ternan menuju akhirat."
Inilah hakikat keempat yang ada dalam nash Islam yang mulia ini. Dalam doa
ziarah Imam Husein as tertera: "Ya Allah! Janganlah Engkau perbanyak
duniaku yang pesona keindahannya akan melalaikanku, dan gemerlap perhiasannya
akan menggodaku. Jangan pula Engkau sedikitkan duniaku sampai rnengganggu
amalku dan menggelisahkan dadaku."[67]
Yang kami sebutkan tadi tentang masalah dunia dan hubungannya dengan
manusia, dan apa yang akan diabadikannya untuknya, dan yang akan hilang, dan
yang bermanfaat atau membahayakan itu semuanya berhubungan dengan kualitas
bukan kuantitas. Namun, kuantitas juga mempunyai peran dalam membentuk sikap
terhadap dunia. Karena banyaknya dunia yang dimiliki seorang akan
menyibukkannya dan melalaikannya dari Allah. Jarang sekali ada kekayaan duniawi
yang tidak menyibukkan dan memalingkan seorang dari Allah, kecuali dengan
kesungguhan dan usaha keras. Sebagaimana sebaliknya, yaitu kalau dunia menahan
curahan rizkinya pada seseorang, dia akan terhalang untuk berkonsentrasi penuh
kepada Allah. Oleh karena itu, Islam mencari jalan tengah antara keduanya. Betapa
banyak dunia yang melalaikan manusia dari Allah dan betapa banyak pula dunia
membahayakan amal dan menyibukkannya dari mengingat Allah.
2.
Dunia yang menjadi kendaraan orang Mukmin Rasulullah SAWW bersabda:
"Janganlah kalian mencaci dunia karena ia adalah sebaik-baik kendaraan
orang mukmin. Dengannya, seorang dapat sampai kepada kebaikan dan selamat dari
kejahatan."[68]
Dunia merupakan kendaraaan yang dinaiki manusia untuk menuju Allah SWT dan
untuk menyelamatkannya dari jahannam. Inilah sisi dunia yang terpuji. Sekiranya
tidak ada dunia niscaya manusia tidak akan bisa merealisasikan keridhaan Allah
dan mencapai-Nya. Dengan dunialah para wali Allah sampai pada magam yang
tertinggi di sisi-Nya.
3.
Dunia yang Menjadi Tempat Kejujuran dan
l'tibâr
4.
Dunia
yang Menjadi Tempat Kesejahteraan
5.
Dunia yang Mejadi Tempat Mencari
Kekayaan dan Mencari Bekal
6.
Dunia Sebagai Tempat Ibadah Para
Kekasih Allah
7.
Dunia Adalah Tempat Mencari Pahala Para
Wali Allah Imam Ali as pernah membentak orang yang menghina dunia dengan
ucapannya sebagai berikut: "Wahai penghina dunia yang terperdaya oleh
tipuanya dan terkecoh oleh kebatilannya! Kau hanya tertipu olehnya atau
menghinanya? Kau yang jahat padanya atau ia yang jahat padamu? Kapan ia pernah
merayumu atau mengelabuimu? Apakah di medan tempur bapak-bapakmu yang terpencil
atau di pembaringan nenek-moyangmu yang terkucil?” (Rujuk, pada Nahjul Balâghah, 126.)
8.
8.
Dunia lalah Pasar Imam Ali Al-Hadi as berkata: "Dunia ialah pasar. Ada sekelompok yang beruntung dan ada
juga yang rugi."[69]
9.
Dunia
ialah Penolong di Akhirat. Imam Al-Bâqir as berkata: “Sebaik-baiknya penolong
atas akhirat adalah dunia."
10.
Dunia Adalah Simpanan Imam Ali as
berkata: "Dunia adalah simpanan. Sedang ilmu adalah petunjuk
(dalil)."[70]
11.
Dunia adalah Rumah Orang-orang yang
Bertakwa. Imam Al-Baqir as dalam menafsirkan firman Allah SWT
"...Sebaik-baik tempat orang-orang yang bertakwa" beliau berkata: itu
adalah dunia."[71]
12.
Dunia Menjaga (kelangsungan) Akhirat.
Imam Ali as bertutur: "Dengan dunia, akhirat akan terjaga."[72]
Kalau begitu, menurut Islam dunia itu terpuji. Karena ia merupakan tempat
mencari pahala bagi para wali Allah; tempat sujud para kekasih Allah; yang akan
menyampaikan ke akhirat; dan tempat mencari bekal bagi orang-orang mukmin.
Tetapi, kesemuanya ini kalau manusia memandang dengan dunia (ibshâr bi).
Karena, kalau dia memandang pada dunia (ibshâr ila), maka dunia akan
membutakannya. Sebagaimana yang diutarakan Imam Ali as Imam Ali as berkata:
"Wahai orang yang mencaci dunia, apakah engkau yang zalim kepada dunia
atau dunia yang zalim kepadamu?" Kemudian ada yang menjawab: "Sayalah
yang zalim kepadanya wahai Amirul Mukminin! Beliau berkata: "Lalu mengapa
kamu mencacinya? Bukankah ia adalah tempat yang benar bagi orang yang membenarkannya?".[73]
3. Aku
Sibukkan Hatinya dengan Urusan Dunia Timbal-balik Tindak Kriminal dan Siksa Ini
adalah siksa (balasan) ketiga bagi orang-orang yang berpaling dari Allah dan
menuruti ajakan hawa nafsu. Siksa ini dari jenis kriminal yang bersifat
takwînî, bukan gadhâ'î (yudikatif). Sedang siksa takwînî selalu paling
"adil" dan tidak ada jalan untuk lari darinya. Tindak kriminal yang
saya maksud ialah kemasygulan dengan hawa nafsu daripada dengan Allah dan
balasannya ialah tersibukannya manusia dengan dunia daripada dengan Allah.
Dalam hadis tersebut disebutkan "... dan aku sibukkan hatinya dengan
dunia".
Kalau demikian, hubungan antara tindak kriminal dan
balasan merupakan hubungan timbal balik yang dialektis. Tindak kriminal
"masygul dengan hawa nafsu dan lupa pada Allah", akan memastikan
adanya balasan "masygul dengan dunia daripada dengan Allah". Maka
secara otomatis, hal itu akan menambah, mengintensifkan dan meningkatkan
kriminalitasnya. Sampai dia pantas menerima balasan yang lebih berat daripada balasan
sebelumnya, dan demikian seterusnya. Kalau begitu balasan itu sendiri sejenis
dengan tindak kriminal yang telah kami sebutkan.
Namun, balasan itu berbeda dengan tindak
kriminalnya karena ia meningkatkan dan memperluasnya. Dengan begini, tindak
kriminal itu akan terus bergerak dan membesar dalam kurva yang menaik. Pada
awalnya, manusia yang melakukan tindak kriminal sepenuhnya mempunyai pilihan
(ikhtiar) yang, sebenarnya, mampu memeliharanya dari kehancuran dan keruntuhan.
Jika dia terus menerus melakukannya dan tidak mau meninggalkannya, maka Allah
akan menyiksanya dengan menancapkan kekejian itu pada dirinya. Yaitu, Allah
akan mencabut sebagian rizki-Nya berupa penjagaan, penguasaan pada jiwa dan
kemampuan berikhtiar. Setiap kali derajat balasan bertambah, maka dia semakin
lekat dengan kekejian itu, semakin lemah penguasaan dirinya, dan semakin hilang
penjagaan pada dirinya.
Sampai akhirnya Allah akan mencabut semua penjagaan
dan kemampuan menguasai diri yang telah Dia berikan kepadanya. Balasan berupa
hilangnya penjagaan dan penguasaan diri ini tidak berarti mereka tidak
"berhak menerima balasan". Karena, tahap pertama mereka berbuat
tindakannya itu disertai dengan penjagaan penuh dari kekejian dan penguasaan
diri serta kemampuan berikhtiar. Hal tersebut bagaikan orangyang bunuh diri
dengan menjatuhkan diri dari bangunan yang tinggi dengan ikhtiarnya, maka
ketika jatuh, hilanglah penguasaan pada dirinya. Maka manusia semacam ini tidak
dianggap kehilangan ikhtiarnya. Muatan Positif dan Negatif pada "Masygul
dengan Dunia" Menyibukkan diri dengan dunia mempunyai dua sisi; positif
dan negatif. Adapun sisi positifnya adalah kemauan keras manusia yang mengarah
pada dunia dan bergantung padanya. Keadaan ini sebenarnya adalah keadaan sakit
yang membahayakan karena dunia akan menjerat dan menguasai hati manusia. Dalam
sebuah doanya, Rasulullah SAWW bermunajat: "Ya Allah, berikan kami rasa
takut kepada-Mu yang bisa menghalangi antara kami dan kemaksiatan kepada-Mu.
Jangan Kau jadikan dunia paling besarnya harapan kami dan puncak pengetahuan
kami".[74]
Tidaklah mengapa bila manusia mengurusi dunianya.
Namun, jangan sampai ia menjadi puncak harapannya. Jika demikian, maka berarti
dia telah memberi kuasa dunia atas hatinya dan menjadikannya sebagai penguasa
tunggal dan pembimbing dirinya. Inilah keadaan sakit pada hati. Dalam wasiat
Imam Amirul Mukminin as kepada putranya, Al- Hasan Al-Mujtaba as, beliau
berkata: "Janganlah duniamu menjadi puncak harapanmu."[75]
Adapun bentuk negatif bagi kesibukan (manusia) pada
dunia ialah terputusnya hubungan dengan Allah. Karena secara alami menyibukkan
diri pada dunia berarti terputusnya hubungan dengan Allah. Dengan kata lain,
jika dunia menjadi puncak harapan seorang, maka ia juga akan menjadi tujuan
utamanya, bukan mencari keridhaan Allah SWT Ketika itu hati manusia tertutup
untuk Allah. Sejauh mana kecenderungan hati seorang pada dunia menjadi
barometer ketertutupan hatinya untuk mencari ridha Allah. Dan jika dia sudah
menjadikan dunia sebagai satu-satunya harapan, maka hatinya akan betul-betul
tertutup untuk-Nya. Keadaan ini merupakan ekses dari keadaan sebelumnya yang
jauh lebih berbahaya pada diri manusia. Alquran telah menyingkap penyakit ini
di beberapa tempat dan dengan tanda-tanda yang berbeda-beda yang sebagiannya
akan kami paparkan di sini.
Alquran juga menyebutkan berbagai sebab dan
perkembangannya. Tanda-tanda Tertutupnya Hati Terhadap Allah
1.
Ar-Rayn (Karat) Ar-Rayn adalah karat
yang menutupi hati. Allah SWT berfirman: "Sekali-kali tidak (demikian),
sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka ..."
Q.S. Al-Muthaffifîn:14. Dalam Al-Mufradât-nya, Ar-Râghib mengatakan tentang
tafsir ayat sebagai berikut: "Hal tersebut menjadi bagaikan karat yang
menutupi kejernihan hati mereka. Sehingga kabur bagi mereka perbedaan antara kebaikan dan
kejelekan".
2.
Ash-Sharf (Memalingkan) Hal ini adalah
sebagai siksaan di mana Allah memalingkan hati yang lalai dari mengingat Allah.
Allah SWT berfirman: "Allah telah memalingkan hati mereka disebabkan
mereka adalah kaum yang tidak mengerti ..." Q.S. At-Taubah:127.
3.
Ath-Thab' (Watak/Terkunci) Allah SWT
berfirman: "....dan Kami kunci mati hati mereka sehingga mereka tidak
dapat mendengar ..." Q.S. Al-A'râf:100. Maksudnya ialah bahwa Allah
membentuk (watak) hati bukan dari shibghah (bentukan) Allah; bentukan hawa
nafsu dan dunia.
4.
Al-Khatm (Tertutup) Allah SWT
berfirman: "Allah telah menutup hati dan pendengaran mereka, dan
penglihatan mereka ditutupi..." Q.S. Al-Baqarah:7. Al-Khatm (tertutup)
lebih dahsyat daripada Ath-Thab' (terkunci).
5.
Al-Aqfâl (Terkunci) Allah berfirman:
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alguran ataukah hati mereka
terkunci? ..." Q.S.
Muhammad:24.
6.
Al-Taghlîf (Penyelimutan) Allah SWT
berfirman: "Dan mereka berkata, "Hati kami tertutup". Tetapi
sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka". Q.S.
Al-Baqarah:88. Dan firman Allah: "..perkataan mereka: " Hati kami
tertutup", bahkan, sebenarnya Allah telah mengunci mati hati mereka karena
kekafirannya". Q.S.
An-Nisâ':155.
7.
At-Taknîn
(Penyumbatan) Allah SWT berfirman: "Mereka berkata: "Hati kami
bera-da dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya dan
ditelinga kami ada sumbatan". Q.S. Fushshilat:5. Dan firman Allah:
"...padahal Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka (sehingga
mereka tidak) memahaminya dan (Kami letakkan) sumbatan di telinganya". Q.S. Al-An'âm 25.
8.
At-Tasydîd (Pengerasan) Allah SWT
berflrman: "Ya Tuhan kami, binasakanlah harta-benda mereka, dan kunci mati
hati mereka..." Q.S.
Yunus:88.
9.
Al-Qaswah
(Menjadi batu) Allah berfirman: "Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka
yang telah membatu hatinya". Q.S. Az- Zumar:22. Dan firman Allah:
"Kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka
menjadi keras..." Q.S. Al-Hadîd:16. Inilah gambaran-gambaran tentang
tertutupnya hati serta berbagai keadaannya dan perkembangannya sebagaimana yang
telah dijelaskan oleh Alquran yang mulia di atas. Bagaimana Dunia Bisa Berubah
Menjadi Penjara? Apabila hati manusia telah tertutup untuk Allah, maka dunia
akan menjadi penjara manusia dan akan menguasainya sampai dia tak akan bisa
keluar darinya.
Karena penjara,
pada dasarnya, berarti mengurung dan mengikat ruang gerak seorang agar tidak
bisa keluar (lepas). Begitu pula dunia akan memenjarakan, mengikat ruang gerak
dan mencegah bepergian atau kebebasan manusia. la juga akan mempengaruhi semua
kehendak dan ambisi manusia dan akan memutuskan hubungannya dengan Allah SWT
Pengertian ini telah terdapat dalam nash-nash keislaman termasuk dalam doa Imam
Abu Ja'far Al-Bâqir as sebagai berikut: "Jangan Engkau jadikan dunia
sebagai penjara bagiku”.[76]
Dan dalam do'a
Imam Ja'far Ashl-Shâdiq as dikatakan: "Jangan Engkau jadikan dunia sebagai
penjara dan perpisahan dengannya sebagai kesedihan bagiku."[77]
Sungguh
mengherankan! Bagaimana bisa seorang yang dipenjara ketika keluar darinya
merasa sedih dan susah. Penjara ini berbeda dengan penjara-penjara lainya.
Manusia sangat senangdan suka padanya. la mengurungjiwa dan membuatnya terpatri
padanya sehingga tidak bisa berpisah dengannya. Jika dipaksa keluar darinya,
dia akan kalut dan sedih. Ketika manusia mulai mematrikan dunia pada dirinya,
maka ia akan menjaringnya sebagaimana ubur- ubur (uhthubuth atau octopus)
menjaring. Kemudian dunia akan membelenggu kaki dan tangannya, membatasi ruang
geraknya dan menundukkannya. Imam Amirul Mukmin Ali as berkata: "Dunia
bagaikan jaring (perangkap) yang akan menjerat orang yang menyenanginya (yang
mencintainya)."[78]
Sekali lagi
marilah kita menengok pada keterkaitan antara "penjara" dan "orang
yang terpenjara" dalam nash-nash keislaman yaitu pada "... ia akan
menjerat orangyang mencintainya." Imam Ali as berkata: "Barangsiapa
yang mencintai dinar dan dirham, maka dia adalah budak dunia."[79]
"Penghuni"
atau Ahli Dunia Sesungguhnya dunia mempunyai penghuni (ahl). Begitu juga
akhirat. Penghuni atau penggemar dunia adalah orang-orang yang ingin langgeng
dan condong kepada dunia sampai-sampai dia berat untuk meninggalkannya. Sama
sebagaimana manusia yang berat berpisah dengan keluarganya. Ahli akhirat adalah
orang-orang hidup di dunia sebagaimana selainnya hidup; menikmati kesenangan
dan kelezatan dunia sebagaimana orang lain, tapi mereka tidak pernah ingin
kekal di dunia atau condongpadanya. Mereka ini disebut Ahlullah (orang Tuhan).
Ahli akhirat mempunyai ciri-ciri sebagaimana ahli dunia juga memiliki
ciri-ciri. Kami menemukan ciri-ciri ahli dunia dalam hadis Mi'raj. Rasulullah
SAWW bersabda: "Ahli dunia adalah orang yang banyak makan, tertawa, tidur
dan marah, tapi sedikit keridhaannya (kerelaan), tidak memafkan orang yang
berbuat jelek (salah) padanya, dan tidak menerima alasan (ampunan) orang yang
minta ampun. Dia malas berbuat ketaatan dan berani melakukan kemaksiatan.
Keselamatannyajauh dan ajalnya dekat, tapi tidak pernah mawas diri.
Sedikit
manfaatnya, banyak bicaranya dan kurang rasa takutnya (kepada Allah).
"Para penggemar dunia tidak bersyukur saat ada rizki dan tidak sabar saat
ada petaka. Mereka memuji diri sendiri dengan apa-apa yang mereka tidak
kerjakan dan menuntut yang bukan hak mereka. Berbicara dengan khayalan,
menyebut-nyebut kejelekan orang dan menyembunyikan kebaikan mereka".[80]
Penggemar atau
ahli dunia merasa tentram dengan dunia dan mendapatkan kesenangan dan
ketenangan di dalamnya. Jiwa mereka hendak bersemayam padanya, padahal dunia
bukanlah tempat yang abadi. Jika manusia sudah merasa senang terhadap dunia,
maka dia benar-benar berada dalam pengkaburan dunia. Dia menganggap dunia
sebagai tempat abadi padahal ia bukan begitu.
Amirul Mukminin Ali as berseru: "... Ketahuilah
bahwa kamu diciptakan untuk akhirat bukan untuk dunia, untuk fana bukan untuk
kekal (di dunia), untuk mati bukan untuk hidup. Dan karnu
berada di tempat yang oleng tidak kukuh, tempat sementara tidak langgeng dan
tempat untuk berbekal serta jalan menuju akhirat..."
"Berhati-hatilah! Jangan tertipu dengan apa yang kamu lihat dari kebaikan
ahli dunia dan ketamakan mereka padanya. Sungguh Allah SWT telah memberitahumu
tentangnya, mencirikan jati dirinya, dan menyingkapkan kejelekan-kejelekannya
kepadamu...”[81]
Pengkaburan
Dunia Termasuk pengkaburan dunia ialah anggapan bahwa dunia itu tempat abadi
yang akan dihuni dan ditempati manusia untuk selama-lamanya. Padahal dunia
adalah tempat berlalu bukan tempat yang langgeng. Manusia yang ada di dunia itu
seperti orang asing. Dia bertempat di situ hanya beberapa hari saja lalu
berpindah ke akhirat. Walaupun demikian, manusia selalu ingin abadi dan menetap
untuk selama- lamanya di dalamnya. Rasulullah SAWW bersabda: "Jadikanlah
dirimu di dunia seakan-akan kamu orang yang asing atau perantau."[82]
Imam Ali as berkata: "Wahai manusia! Sungguh
dunia merupakan tempat untuk berlalu, sedangkan akhirat tempat untuk menetap.
Maka ambillah dari tempat berlalumu untuk tempat menetapmu."[83]
Masalah ini
bersifat mental. Artinya, manusia yang melintasi jalan, tidak akan mampu
bertempat di dalamnya. Sebaliknya, orang yang menempati suatu rumah akan akrab
dengannya. Isa Al-Masih as, putra Maryam mempunyai untaian kata yang menarik
dalam pengertian ini. Telah diriwayatkan dari beliau as yang demikian bunyinya:
"Siapakah yang bisa membangun rumah di atas ombak laut?. Begitulah dunia.
Maka janganlah kalian jadikan dunia sebagai tempat tinggal." Dunia bukan
tempat tinggal yang langgeng (tetap) sebagaimana ombak tidak ada yang tetap,
maka mana mungkin jiwa akan tentram padanya? Mungkinkah manusia membuat rumah
untuk dirinya di atas ombak laut?
Diriwayatkan bahwa Jibril as berkata pada Nuh
as begini: "Wahai Nabi yang umurnya paling panjang, bagaimana Anda
mendapatkan dunia ini?
Nuh as
menjawab: "Bagaikan rumah yang mempunyai dua pintu. Aku masuk yang satu
dan aku keluar dari pintu yang lainnya."[84]
Inilah perasaan
suci yang dirasakannya oleh sesepuh para Nabi pada detik-detik akhir hidupnya.
Inilah perasaan (pengakuan) yang jujur yang jauh dari pengkaburan dunia. Bila
(manusia) menyayangi dunia dan merasa tentram padanya, maka perasaan suci itu
tadi akan berubah menjadi kecintaan dan kegandrungan pada dunia yang berakibat
pada terjerumusnya dia ke dalam perangkapnya, lalu ke dalam pengkaburannya.
Keadaan inilah yang dialami ahli (penggemar) dunia; orang- orang yang
membayangkan bahwa di dunia ada tempat tinggal yang tenang dan langgeng bagi
manusia.
[1] Nahjul
Balâghah, Hikmah ke-100.
[2] Buhârul
Anwâr, 96:249 dan 254-255.
[3] Nahjul Balâghah, Khutbah ke-57.
[4] Nahjul
Balâghah, Khutbah ke-27.
[5] Bihârul
Anwâr, 73:64.
[6] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmudî, 2:201.
[7] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmudî, 1:199.
[8] Bihârul
Anwâr, 78:302.
[9] Bihârul
Anwâr, 70:320.
[10] Nahjul
Balâghah, 191.
[11] Nahjul Balâghah, 194.
[12] Bihârul
Anwâr, 78:70.
[13] Bihârul Anwâr, 70:73.
[14] Nahjul
Balâghah, Hikmah 228.
[15] Bihârul
Anwâr, 1:121.
[16] Nahjul
Balâghah, Surat ke-66.
[17] Bihârul
Anwâr, 73:49.
[18] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmudî, 1:29.
[19] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmudî, 1:30.
[20] Bihârul
Anwâr, 70:315.
[21] Al-Ghurar wa Ad-Durar, karya Al-Amudi.
[22] Bihârul
Anwâr, 77:263.
[23] Bihârul
Anwâr, 77:166.
[24] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmudî, 1:93.
[25] Nahjul
Balâghah, Khutbah ke-80.
[26] Bihârul
Anwâr, 70:320.
[27] Nahjul
Balâghah, 112.
[28] Bihârul
Anwâr, 73:119.
[29] Nahjul
Balâghah, 31.
[30] Bihârul
Anwâr, 73:123.
[31] Bihârul Anwâr, 79:18.
[32] Bihârul
Anwâr, 79:122.
[33] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmudî, 1:102.
[34] Bihârul
Anwâr, 73:126.
[35] Nahjul
Balâghah, Khutbah ke-63.
[36] Bihârul
Anwâr, 14:319.
[37] Nahjul
Balâghah, 194.
[38] Syarah
Nahjul Balâghah, Khutbah ke-63.
[39] Bihârul
Anwâr, 72:122.
[40] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmudî.
[41] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmudî.
[42] Bihârul
Anwâr, 70:319.
[43] Bihârul
Anwâr, 70:319.
[44] Bihârul
Anwâr, 77:8; Makârimul Akhlâq, 81.
[45] Ad-Durrul Mantsûr, 1: 67.
[46] Bihârul Anwâr, 77:80.
[47] Bihârul Anwâr, 70:317.
[48] Bihârul Anwâr, 78:164.
[49] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmudî,
1:26.
[50] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmudî, 1:45.
[51] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmudî, 1:26.
[52] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmudî, 1:28.
[53] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmudî, 1:73.
[54] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmudî, 1:85.
55] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmudî, 1:26.
[56] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmudî, 1:37.
[57] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmudî, 1:11.
[58] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmudî, 1:11.
[59] Bihârul
Anwâr, 78:21.
[60] Bihârul Anwâr, 73:96.
[61] Bihârul
Anwâr, 73:108.
[62] Bihârul Anwâr, 73:20.
[63] Bihârul Anwâr, 73:81.
[64] Nahjul Balâghah, Hikmah ke-455.
[65] Ushûlul
Kâfî, 2:138.
[66] Nahjul Balâghah, 62.
[67] Bihârul
Anwâr, 101:208.
[68] Bihârul Anwâr, 77:178.
[69] Bihârul
Anwâr, 78:366.
[70] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmudî.
[71] Bihârul
Anwâr, 73:107.
[72] Bihârul
Anwâr, 67:67.
[73] Bihârul
Anwâr, 78:17.
[74] Bihârul
Anwâr, 95:361.
[75] Bihârul
Anwâr, 42:202.
[76] Bihârul
Anwâr, 97:379.
[77] Bihârul Anwâr, 97:338.
[78] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmudî.
[79] Bihârul
Anwâr, 103:225.
[80] Bihârul
Anwâr, 77:24.
[81] Nahjul
Balâghah, 31. [82] Bihârul Anwâr, 73:99.
[83] Nahjul
Balâghah, Khutbah ke-203.
[84] Mîzânul
Hikmah, 3:339.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar