Prakata
Penerjemah
Manusia
merupakan makhluk ciptaan Allah SWT, yang diciptakan berbeda dengan ciptaan-Nya
yang lain. la diciptakan dengan sempurna, memiliki dua dimensi, yakni dimensi
biologis dan psikologis. Dimensi biologis, pada umumnya manusia sudah memiliki
kemampuan untuk mengenal, memahami dan menanggulangi segala kemungkinan yang
timbul dari dan akibat biologis. Berbagai masalah yang berkembang yang ada
dewasa ini, sudah mampu diantisipasi dan ditanggulangi dengan berbagai upaya
ilmiah dan teknologi. Sebaliknya dimensi psikologis (kejiwaan) masih banyak
manusia yang belum atau tidak mengenal dan memahaminya. Para psikolog pun belum
mampu menyingkap misteri psikologis/jiwa secara mendetail. Karena ilmu jiwa
hanya mampu mendeteksi dari pantulan jiwa yang terekspresikan melalui
temperamen, sikap dan perwujudan secara lahiriah.
Sehingga secara
ilmiah misteri jiwa (dengan berbagai sumbernya) belum terupayakan untuk
dikenali dan dipahami dengan baik. Pemahaman terhadap jiwa manusia bukanlah hal
yang mudah dan sederhana, namun sangat urgen bagi setiap manusia untuk
memahaminya. Masalah jiwa telah banyak ditulis oleh cendekiawan, ulama dan
lainnya dengan berbagai sudut pandang mereka masing-masing. Namun, dalam kajian
dan analisanya masih belum memberikan sistematika penyajian yang baik dan ruang
lingkup yang komprehensif. Sehingga kesimpulan akhir yang diraihnya belum
memberikan kepuasan ilmiah bagi setiap pembacanya. Tidaklah berlebihan bahwa
kitab yang satu ini akan memberikan wawasan yang dalam perihal jiwa manusia dan
meraih kepuasan ilmiah dari sistematika penyajian serta argumentasi yang
akurasi. Kitab ini mengkaji perihal jiwa manusia dongan berbagai sumbernya
secara mendalam dan detail. Ruang lingkup telaah kitab ini sangat luas,
sehingga tidak syak lagi akan luasnya wawasan penulisnya.
Kandungannya
sangat sarat dengan ungkapan-ungkapan Hadis Ahlul Bait Nabi SAWW Para Imam
Ahlul Bait telah memberikan kejelasan tentang jiwa dengan segala sumbernya
melalui sabda-sabda mereka yang dihimpun oleh penulis dengan sumber rujukan
dari berbagai kitab yang memuat perihal tersebut. Tafsiran dan penjelasan
tentang sumber-sumber jiwa manusia telah dipaparkan penulis dengan sangat
sistematis dan rinci. Salah satu sumbernya adalah hawa nafsu. Dalam kitab ini
telah diungkapkan dengan jelas tentang fungsi dan peranan hawa nafsu dalam
kehidupan manusia; keterkaitan antara hawa nafsu dan sumber-sumber jiwanya
masing-masing: mekanisme operasionalnya dan pengendaliannya dalam upaya
mencapai kesempurnaan hidup manusia.
Sungguh sangat
urgen bagi kita untuk mengetahui masalah hawa nafsu dengan berbagai masalahnya
yang telah diungkapkan dalam kitab ini. Sehingga saya memandang perlu untuk
mengalihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia guna tersebarluasnya wawasan baru
ini kepada para pembaca yang belum mampu menelaah kitab aslinya, yang berbahasa
Arab.
Buku yang ada
di hadapan anda ini sangat penting untuk dibaca dan disimak secara seksama.
Kandungan isinya sarat dengan berbagai argumentasi dan dalil. Penulis kitab ini
telah mengungkapkan dalam kajiannya dengan landasan dalil nakli - Al-Quran dan
hadis-hadis Nabi SAWW melalui jalur Ahlul Baituya. Sehingga semakin luas
paparan dan jelas kesimpulan setiap pokok bahasan yang diungkapkan dan
dipaparkan penulis kitab ini. Hal inilah yang akan diraih oleh setiap pembaca
yang telah menelaahnya menuju kepada kesimpulan akhir bahwa hawa nafsu sangat
esensial bagi manusia dalam menempuh kesempurnaan hidup. Dalam penyelesaian
alih bahasa buku ini, karni telah banyak melibatkan beberapa asatidz dan bahkan
tidak segan-segan pula kami mendiskusikan istilah-istilah yang sering digunakan
berkenaan dengan masalah "Hawa Nafsu". Sehingga selesailah terjemahan
ini, yang semua itu berkat partisipasi dan dukungan berbagai pihak yang telah
ambil bagian dalam proses penyelesaiannya. Untuk itu, kami sampaikan banyak
terimakasih kepacla Ustudz Musa Husein Al-Habsyi, Ustadz Ali Umar Al-Habsyi dun
Ustadz M.T. Yahya yang telah membantu dan ikutambil bagian dalam penyelesaian
penerbitan buku terjemahan ini. Semoga apa yang telah diberikan dalam tugas ini
diterima sebagai amal kebajikan.
Kemudian, kami
memobon kepada Allah SWT semoga pahala buku terjemahan ini, dianugrahkan kepada
guru kami yang tercinta Al-Marhum Al-Ustadz Husein Al-Habsyi r.a dan Almarhum
K.H. Abdul Kholiq yang telah banyak mendidik dan membimbing kami. Dan begitu
pula pahala buku terjemaban ini kami haturkan kepada kedua orang tua kami,
semoga Allah senantiasa merahmati dan memberkahinya. Ilahi Amin. Akhirnya, kami
berharap, semoga buku terjemahan ini akan bermanfaat bagi setiap insan yang
ingin menyadari akan potensi jiwa dengan berbagai sumbernya yang telah
diberikan Allah kepada dirinya, untuk difungsikan sebagai kekuatan yung mampu
menyadarkan dan mengarahkan untuk menuju kesempurnaan hidup.
Bangil, 25 Sholar 1418 H
Penerjemah Shohib Aziz Zuhri [1]
Pengantar
Oleh: Musa
Husein Al-Habsyi
Gunan
Makun keh Chu To Beguzary Jahan Guzarad, Hezar Syam' Bekusytan va Anjuinan
Baqi-ist
(Jangan
pikir kareua kau hengkang, duniapun turut hilang, Ribuan lilin 'tlah tiada,
tapi anjuinan tetap ada.)
Puisi ini
mengisyaratkan kedawaman gerak segenap anak manusia menuju Allah. Puisi Persia
kaum Sufi ini rnenggambarkan bahwa meski manusia telah meninggalkan dunia,
geraknya menuju Allah tiada pernah tuntas. Anjuman ialah perkumpulan kaum Sufi
untuk menjalankan berbagai aktivitas mereka. Intisari yang ingin mereka
ungkapkan adalah bahwa gerak ruhani manusia menuju Allah itu panjang nan terus-
menerus. Dari satu alam ke alam yang lain. Demikian seterusnya.
Ada ungkapan
lain kaum Sufi yang juga cukup unik. Khuliqal insanu lil abad walakinnahu
intaqala min darin ila dar, kata mereka. Artinya, manusia itu dicipta untuk
keabadian, tapi dia berpindah dari satu persinggahan ke persinggahan yang lain.
Tujuan penciptaannya tidak akan pernah selesai. Karena itu, dia tidak akan
punya "waktu kosong". Mungkin tidak ada yang tidak sepakat bahwa
manusia itu bergerak. Manusia tidak kenal diam. Gerak itu sendiri adalah suatu
manifestasi penyempurnaan. Walaupun, sering kali manusia salah dalam
mengidentifikasi kesempuvnaan. Maka, dia menganggap yang tidak sempurna sebagai
sesuaiu yang sempurna. Walhasil, tidak ada dua kepala yang berselisih, ihwal
adanya gerak pada manusia. Dan, karena manusia adalah «abungan ruh dan jism
(badan), maka geraknya pun ada yang bersifat ruhaniy (metafisik) dan ada yang
bersifat jismany (fisik). Ruh adalah kutub yang berkilauan cahaya dalam jiwa
manusia. Sedang jism adalah kutub yang penuh kegelapan. Adapun nafs (jiwa)
ialah zona netral yang dijadikan ajang tarik-menarik manusia. la adalah media
yang bisa mengantarkan manusia menuju kepada Allah, tapi ia juga bisa nienjadi
media untuk menggulung manusia dengan jilatan api jahanam. Gerak ruhani, ialah
gerak menuju Allah (liqa'ullah) atau mendekat kepada-Nya (taqarrub). Perlu
diingat bahwa gerak ruhani dan jismani itu tentu berbeda.
Perbedaan itu
antara lain karena keduanya terjadi di "alam" yang berbeda dengan
hukum-hukum yang berbeda. Namun, bagaimanapun juga, ada pei'samaan antara
keduanya. Sebagai contoh, keduanya sama-sama butuh kepada penggerak, obyek
gerak. tiaclanya penghalang, dst. Tengoklah kepada gerak pintu. Pada peristiwa
itu, ada beberapa hal yang mesti terjadi. Antara lain adanya pintu (1), adanya
tangan yang menggerakkan (2), sentuhan antara tangan dan pintu (3), tiadanya
batu yang melintang atau mermtang (4), dll.
Gerak ruhanipun
demikian juga, meski unsur yang terlibat jauh lebih banyak dan kompleks. Gerak
ruhani butuh kepada jiwa (nafs) sebagai tempat gerak (1), fitrah sebagai
penggerak (2), akal sebagai "bahan utama" gerak (3), terkuasamya hawa
nafsu dan setan (4), dll. Masing-masing bagian ini merupakan suatu bidang studi
yang sangat panjang. Namun, ada baiknya kalau saya, semampunya. menganalisis
bagian- bagian di atas. Jiwa manusia adalah tempat gerak ruhani. Jiwa adalah
media insani menuju kepada Nur Ilahi, bila yang menggerakkannya adalah fitrah
yang suci dengan bahan akal sejati. Tetapi, jika penggeraknya adalah hawa nafsu
yang berbahan sifat-sifat syaithany, maka jiwa akan menjadi skateboard yang
meluncurkan manusia ke lubang neraka.
Di dalam jiwa,
terpatrilah juga fitrah. la selalu menggerakkan manusia kepada Allah dan
seluruh kebaikan. la mengendarai jiwa manusia dengan bahan akal menuju kepada
Allah. Akal adalah bahan jiwa menuju Allah. la membakarjiwa manusia dengan api
yang sangat panas. la "memaksa" manusia bergerak menuju Allah Dalam
sebuah riwayat, yang juga termuat dalam buku ini, disebutkan bahwa akal
mempunyai 75 bala tentara. Dari masing-masingnya akal mendapat bantuan. Dengan
demikian, kita dapat mengerti bahwa akal adalah suatu kemampuan yang luar biasa
dahsyatnya. Akan tetapi, bila hawa nafsu mampu menguasai akal dan memaksakan
pelbagai kehendaknya atas akal, maka la akan menjadi bahan api neraka. Hawa
nafsu akan menggunakannya untuk mencerap seluruh sifat setan, bahkan mungkin
lebih jauh dari itu. Dalam "perang" yang terjadi dalam jiwa manusia
itu, barangkali hawa nafsu adalah kerajaan yang paling luas wilayahnya dan
dominan kekuatannya. Tak diragukan lagi, bahwa hawa nafsu adalah faktor yang
penting sekali dalam jiwa manusia. la selalu bertempur dengan akal untuk
memperebutkan jiwa secara utuh.
Di samping itu,
hawa nafsu juga memiliki peran yang sangat positif dan konstruktif bagi
kehidupan manusia. Tanpanya, spesies manusia akan punah. Dengannya, manusia
bisa melejit ke haribaan Ilahi mengungguli segala makhluk lainnya. Itu semua,
bila akal yang menjadi sopir jiwa. Tetapi, sebaliknya, bila hawa nafsu sudah
memegang kendali jiwa, maka semuanya akan berbalik. Manusia akan menjadi lebih
keji dan sesat dari segala macam setan. Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk
mengenali hawa nafsu ini dengan baik dan sempurna. Untuk dapat sedikit
mengenali buku ini, dan yang serupa dengannya, saya ada suatu permisalan yang
kiranya baik untuk kita simak bersama.
Pada suatu
pertandingan sepak bola, Anda bisa mendapatkan komentar dari berbagai kalangan.
Dari para penonton, pengamat, pemain dan pelatih. Dari para penonton, mungkin
sekali Anda hanya akan mendengar teriakan. Baik itu teriakan kemenangan atau
teriakan kekalahan. Pengamat, kemungkinan besar akan memberi komentar yang agak
lebih jelas. Pengamat mungkin mempunyai pendapat yang sama dengan si pemain
atau pelatih. Tetapi, pengamat adalah tetap pengamat. Dia tetap tidak akan tahu
yang terjadi sebenarnya. Sebab, dia hanya melihat pertandingan dari kejauhan.
Pengamat, betapapun mahir dan pandainya, tetap second hand. Sedang pemain
adalah first hand. Dia mengetahui apa yang terjadi karena dia bermain dan
bertandmg di lapangan.
Dengan kata
lain, pengetahuannya sudah diterapkan dan menjadi suatu pengalaman dan
penghayatan. Dia benar-benar involued. Lain halnya dari semua itu ialah
komentar yang diberikan oleh pelatih. Pelatih adalah orang yang niscaya lebih
"menguasai" lapangan ketimbang pemain, apalagi pengamat. Dia adalah
orang yang sudah pasti menguasai geografi lapangan, teknik permainan, psikologi
para pemain, lawan, dan tidak jarang, psikologi para penonton. Karena tanpa
semua itu, dia tidak akan jadi pelatih yang sebenarnya. Begitulah kira-kira
yang terjadi dalam suatu pertandingan sepak bola. Dengan beberapa perbedaan,
pergumulan dalam jiwa manusia pun demikian.
Nah, buku yang
di hadapan Anda ini, menurut hemat saya, adalah buku yang ditulis oleh seorang
pemain yang taat pada instruksi pelatih. Dan pelatih yang kita maksud adalah
para Nabi dan ma'shumin (orang-orang suci). Buku ini penuh dengan wacana para
Nabi dan Imam yang suci. Mereka adalah pelatih yang hakiki bagi seorang yang
ingin bermain di lapangan untuk menuju kepada Allah. Secara pribadi, sekali dua
kali saya pernah melihat penulis buku ini. Bahkan, bersama teman-teman yang
lain, saya juga pernah menerjemahkan karya beliau yang berjudul Muatan Cinta
Ilahi dalam Doa-doa Ahhd Bayt (diterbitkan oleh Pustaka Hidayah maret 1994).
Dari pengalaman yang itu dan yang ini, saya mendapati bahwa penulis memang
cukup menguasai warisan intelektual Ahlul Bayt -untuk tidak menyebutnya
tekstual-. Buku ini memang bukan benar-benar "buku". la adalah
kumpulan ceramah Syaikh Muhammad Mahdi Al- Ashify. Karena itulah, pembaca akan
sering melihat adanya loncatan dalam pembahasan-pembahasan beliau. Begitupun
juga, "buku" ini sangat layak terbit (publishable).
Akhirul kalam,
kami memohon ampunan kepada Allah atas segala kesalahan dan kekeliruan yang
mungkin luput dari jangkauan pikiran kami. Dan kepada-Nya pula kami berharap
Anda sekalian dapat mengambil sebaik-baik manfaat dari buku ini.
Wabillahi Taufiq Wal Hidayah War
Ridha Wal 'lnayah.
Musa Husein Al-Habsyi [2]
Medio Juni 1997
BAGIAN PERTAMA
Hawa Nafsu dalam Alquran dan Hadis
HADIS
Diriwayatkan dari Imam Al-Baqir bahwa Rasulullah SAWW bersabda, Allah SWT
berfirman: "Demi kemuliaan-Ku, kebesaran-Ku, keagungan-Ku,
keperkasaan-Ku, nur-Ku, ketinggian-Ku dan ketinggian tempat-Ku, tak seorang hambapun
yang mengutamakan keinginannya (nafsunya) di atas keinginan-Ku, melainkan Aku
kacaukan urusannya, Aku kaburkan dunianya dan Aku sibukkan hatinya dengan dunia
serta tidak Aku berikan diinia kecuali yang telah kutakar untuknya. Demi
kemulian-Ku, kebesaran-Ku, keagungan-Ku, keperkasaan-Ku, nur-Ku, ketinggian-Ku
dan ketinggian tempat-Ku, tak seorang hambapun yang mengutamakan keinginan-Ku
di atas keinginan (nafsu) dirinya melainkan Aku suruh malaikat untuk
menjaganya, langit dan bumi menjamin rezekinya dan menguntungkan setiap
perdagangan yang dilakukannya serta dunia akan datang dan selalu berpihak
kepadanya".[3] Hadis qudsi diatas amat populer dan terdapat dalam
beberapa kitab dari golongan Sunnah dan Syi'ah. Saya juga meriwayatkan hadis
tersebut melalui beberapa jalur. Sebagiannya darinya saya anggap sahih. Saya
mencoba menelaah hadis yang berharga ini pada tiga bagian: Pertama, seputar
definisi hawa nafsu (al-hawa), bagian-bagian aksidentalnya, metode terapi dan
"penjinaan"-nya. Bagian ini dianggap sebagai pengantar kajian hadis
tersebut. (Bagian ini kami bagi menjadi tiga bagian menjadi I. Hawa Nafsu
clalam Al-Quran dan Hadis, II. Tugas Akal dalam Mengendalikan Hawa Nafsu, III.
Telaah Kritis Bala Tentara Akal dan Kejahilan pen.) Kedua, seputar orang yang
mengutamakan hawa nafsunya atas perintah Allah. (Bagian ini kami bagi menjadi
tiga bagian, menjadi : IV. Orang yang Mengutamakan Hawa Nafsunya, V.
Perbandingan Dunia dan Akhirat, VI. Telaah Anali-tik tentang Dunia dan Akhirat
pen.) Ketiga, seputar orang yang mengutamakan keinginan Allah atas keinginan
dirinya. (Bagian ini menjadi bagian ketujuh yaitu VII. Orang yang Mengutamakan
Keinginan Allah. Terminologi Hawa Nafsu dalam Alquran dan Sunnah Hawa nafsu
adalah istilah keislaman yang digunakan dalam Alquran dan Sunnah. la menjadi
istilah dengan arti khas budaya keislaman. Sering kita menemukan kata hawa
nafsu dalam Alquran dan Sunnah. Antara lain, Allah SWT berfirman:
"Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
tuhannya, maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?" (Q.S.
Al-Furqon 43.) Dan firman Allah SWT: "Dan adapun orang-orang yang takut
kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka
sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)."(Q.S. An-Nazia'at 40- 41.)
Amirul Mukminm Ali as dalam Nahjul Balaghahnya berkata: "Sesungguhnya yang
paling aku kuatirkan pada kalian adalah dua hal, yaitu taat hawa nafsu dan
angan-angan panjang." Diriwayatkan melalui Imam Shâdiq bahwa Rasulullah
SAWW bersabda: "Waspadalah terhadap hawa uafsu kalian sebagaimana kamu
sekalian waspada terhadap musuh. Tiada yang lebih pantang bagi manusia daripada
mengikuti hawa, nafsu dan ketergelinciran lidah yang tak bertulang."[4]
Imam Shâdiq as juga berkata: "Janganlah kalian biarkan jiwa bersanding
bersama hawa nafsu. Karena, hawa nafsu pasti (meinbawa) kehinaan bagi
jiwamu.”[5] Enam Sumber dalam Jiwa Manusia Untuk mengenal posisi hawa nafsu
dalam jiwa dan perannya dalam kehidupan manusia, saya perlu menegaskan bahwa
Allah SWT telah memasang beberapa sumber gerak dan kesadaran manusia. Semua
gerak -aktif ataupun reaktif- dan kesadaran manusia bermuara dari sumber-sumber
ini.
Tercatat ada enam sumber
penting, yang terutamanya adalah hawa nafsu, sebagai berikut.
1.
Fithrah,
yang telah dilengkapi Allah dengan kecenderungan. hasrat dan gaya tarik menuju dan mengenal-Nya dan meraih
keutamaan-keutamaan akhlak, seperti kesetiaan, 'iffah (harga diri), belas kasih
dan murah hati
2.
'Aql, adalah titik pembeda manusia.
3.
Irâdah, adalah pusat keputusan dan yang
menjamin kebebasan manusia (dalam mengambil keputusan) dan kemerdekaannya.
4.
Dhamir, yang berfungsi sebagai mahkamah
dalam jiwa. la bertugas mengadili, mengecam dan
melakukan penekanan terhadap manusia demi menyeimbangkan prilakunya.
5.
Qalb, fuad dan shadr, merupakan jendela
lain bagi kesadaran dan pengetahuan, sebagaimana kita pahami melalui ayat-ayat Alquran, yang
dapat menerima atau menampung pencerahan Ilahi
6.
Al-hawa, adalah kumpulan berbagai nafsu
dan keinginan dalam jiwa manvisia yang menuntut pemenuhan secara intensif.
Bila tuntutannya terpenuhi, iadapat memberi manusia kenikmatan tersendiri.
Inilah keenam sumber penting bagi gerak dan kesadaran jiwa manusia yang telah
diberikan oleh Allah. Dalam kesempatan ini, rasanya tidak tepat jika saya
membahas sumber-sumber tersebut atau membentuk gambaran dan simpulan ilmiah
melalui nash-nash keislaman. Karena, bidang psikologi keislaman ini memerlukan
kajian, observasi dan penalaran yang mendalam.
Semoga Allah memudahkan bagi mereka yang menelitinya melalui teks-teks
keislaman. Bidang ini tergolong subur dan "perawan" (tak tergarap).
Kesuburan dan "keperawanan" salah satu dari lahan-lahan budaya
keislaman ini mestinya merangsang para ilmuwan dan peneliti untuk menggarapnya.
Tugas saya dalam kajian kali mi, hanya terbatas pada masalah definisi serta
peran hawa nafsu dalam kehidupan manusia. Di samping itu. saya akan membahas
keistimewaan, dampak, tujuan dan sarana- sarana pengekangannya serta beberapa
masalah lain yang berkaitan.
Bersamaan dengan itu, dalam mengkaji hawa nafsu saya akan beberkan
hadis-hadis yang berhubungan dengan "sumber-sumber" lain jiwa yang
ikut andil dalam pergerakan dan kesadaran manusia. Penggunaan istilah hawa
nafsu dalam kebudayaan Islami mangacu pada gabungan beberapa naluri yang
bersemayam dalam jiwa, sedangkan manusia sebagai penyandangnya selalu dituntut
agar memenuhi hasratnya. Berbagai naluri syahwati itu membentuk bagian
terpenting dan berperan luar biasa dalam kepribadian manusia. la adalah faktoi-
utama dalam menggerakkan dan mengatur diri manusia.
Bahkan sebagai kunci yang paling efektif untuk mengatur aksi dan reaksinya.
Kekhasan-kekhasan Hawa Nafsu Untuk lebih mengenal peran positif dan negatif
hawa nafsu dalam membangun dan meruntuhkan kehidupan manusia, maka semestinya
kita terlebih dahulu mengetahui watak-watak terpenting hawa nafsu. Dalam uraian
berikut ini akan saya paparkan watak-watak terpenting hawa nafsu melalui
teks-teks keislaman.
1.
Watak Ekspansif Hawa Nafsu Termasuk
paling menonjolnya ciri hawa nafsu adalah tuntutannya yang cenderung ekspansif
atau meluas. Hawa-nafsu manusia memiliki derajat pemuasan yang berbeda-beda
yang, pada gilirannya, memiliki tuntutan yang berbeda-beda pula. Sebagian
syahwat ada yang tuntutan dan permintaannya bersifat mutlak, sehingga
pemuasannya pun tak dimungkinkan. Namun ada sebagian lain yang pemuasannya
dimungkinkan setelah sekian ekspansi dilakukan. Secara keseluruhan, hawa nafsu
memiliki sifat ekspansif yang sukar terpuaskan dalam batas-batas yang masuk
akal. Dalam kaitannya dengan sifat di atas, Rasul SAWW bersabda:
"Sekiranya anak Adam meinpunyai sebuah lembah emas, niscaya dia akan
meminta tambah satu lagi. Sekiranya dia telah mempunyai dua lembah emas,
niscaya dia akan meminta lagi (lembah yang ketiga). Tidak akan puas kantong
mulut seseorang, kecuali jika sudah penuh dengan tanah”.[6] Dalam redaksi yang
agak berbeda Nabi SAWW bersabda: "Sekiranya anak cucu Adam mempunyai dua
lembah emas, niscaya dia masih berhasrat pada lembah yang ketiga".[7]
Diriwayatkan dari Hamzah bin Humran cerita demikian: "Seorang mengeluh
pada Abi Abdillah as (Imam Ja'far Ash-Shâdiq) tentang permohonannya yang selalu
terkabul, tapi dia tak pernah terpuaskan. Kepada Imam dia merengek sembari
berkata: "Ajarilah aku sesuatu yang berguna bagi diriku." Abu
Abdillah berkata: "Jika sesuatu yang mencukupimu itu memuaskanmu, maka
yang paling remeh dari dunia akau memuaskanmu. Jika sesuatu yang mencukupimu
itu tidak memuaskanmu, maka segala apa yang ada di dunia tidak akan pernah
memuaskanmu.”[8] Amir Al-Mukminin Ali as berkata: "Wahai anak Adam! Jika
kamu ingin sesuatu yang mencukupimu dari dunia, maka sesungguhnya yang paling
kecil (sedikit) darinya akan mencukupimu. Sebaliknya, jika kamu ingin sesuatu
yang tidak akan mencukupimu (atau sesuatu yang memuaskanmu, peny.), maka segala
apa yang terdapat di dalamnya tidak akan mencukupimu".[9] Kalimat
"mutlak tidak terpuaskannya hawa nafsu" dalam riwayat-riwayat di atas
tidaklah hakiki. la hanya bermakna bahwa hawa nafsu memiliki sifat ekspansif
yang berlebihan dan tidak mengenal batas. Di usia senja, ada sebagian nafsu
yang menurun, sementara ada sebagian lain yangjustru menunjukkan
kerakusannya.[10]
2.
Daya Gerak dan Desak yang Dahsyat pada
Hawa Nafsu Hawa-nafsu adalah faktor terkuat yang menggerakkan manusia. Buktinya
adalah sejarah peradaban- peradaban Jahiliah yang telah mencakup bagian
terbesar sejarah dan geografi bumi. Bila kita mengesampingkan peran marginal
fitrah, dhamir dan akal dalam membentuk peradaban Jahiliah, maka hawa nafsu
adalah faktor paling menentukan bangunan peradaban-peradaban tersebut. Baik
dalam suasana perang atau damamya, dalam aspek ekonomis, pengetahuan dan
kriminalnya, hawa nafsu tetap menduduki posisi paling sentral di dalamnya.
Dinwayatkan bahwa Zaid bin Shauhan bertanya kepada Amiril Mukminin Ali as,
gerangan penguasa manakah yang paling digdaya? Imam Ali as menjawab: hawa
nafsn.[11] Dengan ungkapan yang luar biasa indah, Alquran bercerita tentang
istri Al-Aziz (raja Mesir) dan menunjukkan betapa kuatnya peranan hawa nafsu
dalam kehidupan manusia. Allab berfirman dalam surah Yusuf, "... karena
sesungguhnya hawa nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu
yang diberi rahmat oleh TuhanKu". (QS.Yusuf 53.) Amiril Mukminin Ali as
berkata: "Dosa-dosa (syahwat) tak ubahnya kuda liar yang terlepas
kendalinya, ia akan dengan kencang melarikan pengendaranya ke neraka.
Ketahuilah, sesungguhnya taqwa ialah kendaraan yang patuh. Pengendaranya dengan
santai dapat memegang kendali dan ia akan membawanya masuk ke surga."[12]
Asy-Syumus (kalimat yang dipakai Imam Ali) adalah bentuk jamak dari Syamus yang
berarti kuda yang tidak mau dinaiki punggungnya dan dikendalikan tali
kekangnya. Dengan kata lain, pengendara tidak bisa memegang dan memamkan tali
kekang kudanya sama sekali. Kuda seperti itu akan membawa pemiliknya ke mana
saja tanpa menentu. Demikianlah halnya hawa nafsu clan syahwat yang membawa
pelakunya sehingga ia tidak bisa menguasainya dan tidak mampu mengarahkannya.
Sebaliknya taqwa. la selalu membantu manusia menguasai hawa nafsu, membimbing
dan mengarahkan jiwa menuju surga. 3. Tuntutan Hawa Nafsu akan Berlipat-ganda
jika Dipuaskan Sifat hawa nafsu[13] yang ketiga ialah selalu lebih menuntut dan
memaksa, setiap kali manusia mengabulkannya. Sifat mi bertolak-belakang dengan
sifat tuntutan-tuntutan yang lam yang melemah dengan terkabulnya tuntutan,
hingga akhirnya mendekati kepuasan. Pelipat-gandaan tuntutan dan desakan hawa
nafsu berbanding-lurus dengan pemenuhan yang dilakukan manusia. Dalam pada itu,
sebagai konsekuensi logisnya, kontrol manusia terhadap hawa nafsu berkurang.
Demikian juga sebaliknya, setiap-kali manusia mengekang tuntutan hawa nafsunya
dengan tali akal, maka tuntutannya semakin berkurang dan kemampuan manusia
untuk menguasainya semakin bertambah. Syahwat bagaikan api. Semakin ditiup,
semakin membara dan membahayakan. Pemenuhan yang terkontrol di bawah syariat
adalah lebih "memuaskan" nafsu manusia ketimbang pemenuhan secara
mutlak yang tak terbatasi.
Dalam beberapa nash keislaman telah disebutkan dua bentuk pemenuhan ini:
1.
Pemenuhan tuntutan hawa nafsu secara
mutlak yang akan menambah gairah dan paksaan tuntutannya. Sebaliknya, bila
pemenuhan tuntutannya dibatasi ketentuan-ketentuan syariat, maka akan cepat
merasa puas dan cukup. Imam Ali as berkata: "Menolak syahwat berarti
memuaskannya, sedang memenuhinya akan menguatkannya."[14] Maksud
"menolak syahwat" adalah memenuhi tuntutannya dengan cara yang
terkendali. Aclapun maksud kalimat "memenuhinya" ialah memenuhi
tuntutannya dengan tanpa batas dan kendali.
2.
Memenuhi tuntutan (hawa nafsu) secara
mutlak menyebabkan kelemahan sistem kontrol manusia terhadap hawa nafsu,
sehingga seluruh kehendak dan kemampuannya terbelenggu. Pada akhirnya, dia
menjadi budak nafsunya. Sebaliknya, memenuhi tuntutan hawa nafsu secara terbatas
atau terkendali lebih mendukung manusia untuk menguasai dan menundukkan hawa
nafsu dan syahwat. Dan Imam Al-Bâqir as berkata: "Orang yang rakus
terhadap dunia bagaikan ulat sutera. Kian bertambah banyak siuteranya, kian
jauh kemungkinannya untuk bisa keluar dari sarangnya. Sampai akhirnya dia mati
(terjerat suteranya sendiri)."[15] Penguasaan Akal terhadap Hawa Nafsu
Meski kekuasaan hawa nafsu sangat efektif, tapi akal manusia mampu memanajemeni
dan mengarahkannya dengan cara memperkuat posisi dan perannya dalam jiwa
manusia. Jika suatu saat peranan akal melemah dan hawa nafsu lolos daii
genggamannya, maka ia mesti tetap menempati posisi yang memerintah dan
melarang, menghukum dan menolak. Sedangkan hawa nafsu hanya bisa membuat
kebingungan dan membangkitkan waswas dalam jiwa. Imam Ali as berkata:
"Jiwa adalah tempat bisikan-bisikan hawa nafsu. Sedangkan akal berperan
untuk menolak dan meredainnya."[16] Imam Ali as berkata: "Di dalam
hati ada hasutan-hasutan jahat, dan akal (berupaya) menyingkirkan mereka."[17]
Maksud dari kedua hadis tersebut ialah bahwa hawa nafsu bersemayam dalam jiwa
manusia hanya untuk menimbulkan bisikan-bisikan jelek. Sebaliknya, akal tampil
sebagai penguasa yang berhak menghukumi, menolak dan mencegah. Imam Ali as
berkata: "Akal yang sempurna adalah akal yang mampu mengusir tabiat jelek
(dalam jiwa)."[18] Maksudnya, meski tabiat dan akhlak manusia telah
diperdayai oleh hawa nafsu, tapi akal masih tetap dalam posisi yang kokoh dan
mempunyai kekuasaan yang prima untuk menekan tabiat yang sudah terpengaruh
kejelekan itu. Hal ini akan menjadi realita jika akal itu sempurna dan lurus.
Yang demikian ini merupakan landasan yang sangat mantap dalam metode pendidikan
Islam yang Insya Allah akan saya bahas secara terinci dalam bagian mendatang.
Manusia adalah Gabungan Akal dan Hawa Nafsu Dari pembahasan yang telah lalu ini
kita bisa menarik kesimpulan bahwa meskipun hawa nafsu mempunyai daya yang
sangat kuat dan berpevan aktif serta efektif dalam kehidupan manusia, tapi
kehendaknya untuk menyempurnakan, mematangkan dan menonjolkan peran akal tidak
pernah terampas. Hal itu disebabkan oleh karena manusia terdiri dari akal dan
hawa nafsu. Manusia selalu berada dalam tarik-menarik keclua faktor ini.
Fluktuasi keduanya berakibat langsung pada manusia. Semuanya, sebenarnya,
bergantung pada manusianya sendin dalam sejauh mana mengfungsikan atau
medisfungsikan akal dalam kehidupannya.
Manusia berbeda sekali dengan binatang. Binatang tidak mempunyai akal yang
bisa mengatur dunianya; langkah-langkahnya secara total dikemudikan oleh hawa
nafsu. la sepenuhnya tunduk padanya dan sikapnya termanifestasi melalui faktor
hawa nafsu saja. Imam Ali as berkata: "Allah menganugerahkan akal yang tak
berunsur syahwat kepada malaikat, syahwat tanpa unsur akal pada binatang, dan
keduanya (akal dau syahwat) kepada anak cucu Adam. Karenanya, siapa yang
akalnya bisa mengalahkan syahwatnya, maka dia lebih baik daripada malaikat dan
siapa yang syahwatnya mengalahkan akalnya, maka dia lebih buruk daripada
binatang."[19]
"Pelembutan" Hawa Nafsu Di antara tema yang menonjol dalam
psikologi keislaman adalah pelembutan dan penghalusan hawa nafsu, syahwat dan
naluri.
Karena watak kesemuanya itu bisa melembut dan mengeras. Di saat lembut,
akallah yang menjadi hakim dan sempurnalah kemanusiaan seseorang. Di saat
keras, hawa nafsulah yang menjadi hakim dan sempurnalah kebinatangan manusia.
Dalam kedua kondisi tersebut, manusia sendirilah yang menentukan segalanya.
Semakin sering seorang menuruti hawa nafsunya, semakin mengeras dan, akhirnya,
semakin dominan ia. Sebaliknya, jika seseorang selalu malakukan tekanan atas
hawa nafsu, maka lambat-laun ia akan melemah dan, implikasinya, mudah menurut
pada kontrol akal. Semua manusia, bertaqwa atau tidak, sama-sama mempunyai hawa
nafsu dan syahwat. Bedanya, yang bertaqwa mampu -secara aktif- menguasai dan
mengatur hawa nafsu dan syahwatnya, sedangkan orang yang tidak bevtaqwa -secara
pasif- dikuasai dan diatur oleh syahwat dan hawa nafsunya. Pada kondisi manapun
manusia tetap berikhtiar. Ikhtiar berati melakukan penekanan dan pelatihan atas
hawa nafsu, atau malahan (menurut istilah Imam Ali as peny.) menuruti
kehendaknya (dengan mengurangi tuntutannya). Dalam kajian selanjutnya, saya
akan membahas kiat-kiat menguasai hawa nafsu, nash-nash keislaman yang
menjelaskan dua keadaan (posisi) hawa nafsu -yang lemah dan yang keras -,
teknik melemahkan hawa nafsu, dan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan
terkristalnya hawa nafsu. Alquran menjelaskan:"... tetapi Allah menjadikan
kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan kamu beuci kepada kekafiran,
kefasikan dan kedurhakaan..."(Q.S.Al-Hujurât :7). Allah menanamkan rasa
benci kepada kefasikan -yang diperebutkan para durja- dalam kalbu Mukmin dan
ahli taqwa. Sebenarnya, siapakah yang membencikan orang-orang mukmin kepada
kefasikan? Dan siapa pula yang membuat senang orang-orang fasik terhadap
kefasikan? Jawabnya, adalah Allah SWT Dia yang membencikan kefasikan kepada
jiwa orang-orang Mukmin. Hati orang mukmin berada dalam genggaman dan kekuasaan
Allah dan Allah senang kefasikan berada dalam jiwa orang fasik sebab orang
fasik itu sendiri mencmtai kefasikan dan selalu mengikuti hawa nafsunya.
Rasulullah SAWW bersabda: "Rutin melakukan kebaikan berarti kebencian bagi
kejelekan".[20]
Konsistensi dalam melakukan kebaikan akan membawa kebencian atas kejelekan.
Kejelekan yang dimaksud ialah syahwat dan kelezatan yang selalu dicari dan
dikejar-kejar manusia. Karena, syahwat dan kelezatan yang diharamkan itu selalu
dikejar-kejar oleh para penyeleweng dan kaum fasik. Begitu pula sebaliknya.
Kejelekan yang selalu dilakukan akan membaca kecintaan pada kejelekan itu. Dan
yang demikian itu adalah wajar dan rasional.
Imam Amiril Mukminin Ali as dalam khotbahnya yang menerangkan ciri-ciri
orang taqwa dan khotbah ini dikenal dengan Khotbah Hammâm, beliau berucap:
" (Ahli tagwa) itu dekat angan-angannya, sedikit kesalahannya, khusyu’
hatinya, mudah terpuaskan, sederhana makanannya, ringan urusannya, kukuh
agamanya, "mati" nafsuniya, dan tertahan emosinya."[21]
Sesungguhnya taqwa dapat melunakkan syahwat dan hawa nafsu seseorang.
Dengan taqwa, jiwa yang serakah berubah menjadi qanâ’ah. Syahwat pun menjadi
lemah-lembut seakan mati. Nash di atas, dan yang semisalnya, tidak hendak
menyatakan bahwa peran taqwa adalah pengekang syahwat dan hawa nafsu. Walau
pengertian itu bisa dibenarkan, tapi maksud riwayat lebih jauh lagi. la ingin
menekankan bahwa peranan taqwa itu juga untuk melemah-lembutkan hawa nafsu dan
meringankan syahwat. Demikianlah riwayat-riwayat tersebut di atas saya pahami.
Selanjutnya saya akan nukilkan beberapa riwayat tanpa menyebut komentarnya.
Imam Ali as bersabda: "Semakin kokoh hikmah (seseorang), semakin lemah
syahwatnya."[22]
Imam Ali as berkata: "Jika kemampuan kita (dalam menaklukkan hawa
nafsu) bertambah, maka (tuntutan-tuntutan) hawa nafsu kita akan
berkurang."[23]
Imam Ali as berkata: "Imam Ali as berkata: "Siapa yang merindukan
surga, akan melupalah syahwat.”[25]
Imam Ali as berkata: "Ingatlah bahwa setiap kelezatan akan hilang.
Setiap kenikmatan akan berpindah. Dan setiap bencana pasti akan berakhir jua.
Dengan begitu kita telah niengabadikan nikmat, meujernihkan syahwat,
menghilangkan takabur, mendekatkan bahagia, melipur lara, dan menggapai
cita-cita."[26]
Taqwa dan kontrol hawa nafsu ialah dua faktor yang (seharusnya) menguasai
syahwat dan naluri manusia sampai sejauh mungkin. Sehingga hawa nafsu seiring
dengan hukum Allah dan segala keinginannya sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Setelah itu, baru manusia dapat membenci dan lari dari segala yang dilarang
Allah.
Demikianlah manusia mencapai puncak interaksi dengan Tuhannya. Perubahan
jiwa yang menakjubkan ini sebenarnya telah dijelaskan oleh Allah dalam Alquran
di surah Al- Hujurât ayat 7 yaitu: "... tetapi Allah menjadikan kamu cinta
kepada keimanan dan menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan
kedurhakaan...". Walhasil, keberadaan taqwa fase inilah yang sangat
berpengaruh dalam jiwa manusia. Karena ia ticlak hanya mampu mencegah seseorang
dari kefasikan, kekafiran dan kemaksiatan, namun juga menanamkan rasa benci
terhadap hal-hal tersebut.
Peran Positif Hawa Nafsu dalam Kehidupan Manusia Memperhatikan peran
destruktif hawa nafsu bagi manusia -yang Insya Allah- akan saya bahas secara
terpisah clalam kajian benkutnya, maka wajar kalau ada yang bertanya-tanya
tentang faedah Allah menciptakan hawa nafsu? Atau apakah sesungguhnya nilai
positif hawa nafsu manusia itu? Untuk jawaban yang memadai, perhatikan beberapa
butir di bawah:
1.
Hawa Nafsu ialah Agen dan Aktor
Penggerak Terkuat pada Jiwa Manusia Hawa nafsu mampu membentuk sulûk (prilaku)
manusia. Oleh sebab itu, Allah SWT mengkaitkan banyak masalah penting kehidupan
dengan hawa nafsu. Hawa nafsu menjamin terpenuhinya beragam kebutuhan primer
manusia. Masalah reproduksi, misalnya. la merupakan bagian vital kehidupan
manusia. Tanpa proses tersebut spesies manusia akan punah. Untuk kebutuhan
vital seperti di atas, Allah menganugrahi manusia dengan hawa nafsu seksual
yang merangsang perkawinan dan reproduksi sebagai jaminan kelangsungan dan
kelestarian jenis manusia. Allah SWT menggantungkan pertumbuhan manusia pada
nafsu makan dan mmum. Tanpa keduanya, manusia tidak akan dapat menumbuhkan lagi
sel-sel yang rusak oleh gerak dan keija manusia. Allah SWT juga telah membekali
manusia dengan naluri bermasyarakat yang melaluinya sistem kehidupan sosial dan
madani manusia muncul. Posesifitas atau rasa memiliki dijadikan sebagai motor
kegiatan ekonomi. Tanpa insting atau naluri ingin memiliki ini akan hancur
seluruh sistem ekonomi manusia. Amarah Allah jadikan sebagai sumber bagi
aktivitas mekanisme pertahanan diri (self defense mechanism) dan pertahanan
terhadap kehormatan, harta dan keluarga. Jika amarah tidak ada pada manusia,
maka permusuhan tidak akan ada dan nilai perdamaian pun akan sirna. Demikianlah,
Allah SWT menjamin kebutuhan-kebutuhan hidup umat manusia yang primer dengan
hawa nafsu.
2.
Hawa Nafsu Sebagai Tangga Menuju
Kesempurnaan Hawa nafsu adalah tangga menuju kesempumaan, seperti itu juga ia
dapat menjadi peluncur menuju kepada kekurangan. Berikut ini kita akan
menjelaskan makna pernyataan di atas. Berbeda dengan jenis perkembangan dan
penyempurnaan pada benda padat, tetumbuhan dan binatang yang bersifat
deterministik atau terpaksa, gerak penyempurnaan integral manusia menuju Allah
berakar dari "irâdah". Allah SWT memuliakan manusia dengan irâdah.
Setiap langkah yang digerakkannya, berdasarkan irâdah dan ikhtiar. Meskipum
kehendak Allah berlaku pada seluruh makhluk, namun manusia adalah makhluk yang
melaksanakan kehendak Tuhan (hukum-hukum Tuhan) dengan irâdah dan ikhtiarnya
sendiri. Sebenarnya hudûd merupakan irâdah dan kehendak Allah SWT yang
dilakukan manusia melalui ikhtiar dan irâdahnya, sebagaimana “hukum alam"
juga merupakan keingi nan dan irâdah Allah yang dijalani makhluk lain secara
terpaksa.
Dalam konteks inilah istilah khalîfatullâh[27]
dalam Alquran mesti dipahami.
Sedangkan makhluk lain dalam istilah Akjuran
disebut musakharât bi amrihi (mereka yang tunduk pada perintah-Nya).[28]
Kata khalîfah dan taskhîr (eksploitasi)) adalah dua kata yang mempunyai
sisi persamaan dan sisi perbedaan. Persamaannya, keduanya bermakna menjalankan
perintah Ilahi. Perbedaannya, khalîfah menjalankan berdasar ikhtiarnya sendiri,
adapun yang Musakharât bi amrihi melaksanakan perintah tanpa ikhtiar dan irâdah
atau secara deterministik dan terpaksa. Disinilah letak rahasia nilai keagungan
manusia. Seandainya ketaatan manusia kepada Allah tidak terjadi karena irâdah
dan ikhtiar, niscaya dia tidak memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding
makhluk lainnya. Dan karena itu pula Allah mengangkat manusia sebagai khalifah
Allah SWT Nilai perbuatan manusia berbanding-lurus dengan usaha yang dicurahkan
dalam ketaatannya kepada perintah Allah. Karenanya, bertambah besar usaha dan
susah-payah manusia dalam merealisasikan suatu ketaatan, bertambah pula nilai
perbuatannya. Dari sisi lain, efektifitas perbuatan yang dilakukan dengan
susah-payah itu lebih tinggi. Jelas acla perbedaan yang mencolok antara nilai
'makan-minum' dan 'puasa' meski keduanya sama- sama melaksanakan perintah
Allah. 'Makan-minum' dilakukan manusia tanpa susah-payah dan pengorbanan
sedikitpun, karenanya nilainya pun tak berarti. Apakah maksud susah-payah?
Bagaimana ia bisa muncul? Mengapa derajatnya berbeda-beda? Dalam peristilahan
Islami, susah-payah itu disebut ibtilâ` (pencleritaan). Pendeiitaan ini selalu
vis a vis hawa nafsu dan syahwat. Seandainya hawa nafsu dan naluri yang telah
diletakkan oleh Allah dalam jiwa kita tidak ada, dan sekiranya ketaatan kepada
Allah tidak dilaksanakan dengan menentang hawa nafsu, maka suatu perbuatan
tidak akan mempunyai nilai dan tidak akan menjadi faktor pendorong dan pendekat
manusia kepada Allah. Perbedaan derajat penderitaan terjadi akibat perbedaan
intensitas hawa nafsu dan syahwat. Jika hawa nafsu dan syahwat lebih menguat
dan memaksa, maka penderitaan manusia dalam menahan, menentang dan menguasainya
akan lebih besar. Selama perbuatan menuntut manusia untuk lebih
bersungguh-sungguh dalam menentang hawa nafsu dan syahwat, maka selama itu pula
perbuatan akan lebih besar nilainya dalam tagarrub manusia kepada Allah, dan
lebih agung pula pahala yang Allah berikan kepadanya kelak di surga.
Dengan demikian, jelaslah apa nilai hawa nafsu dalam menggerakkan manusia
menuju Allah. Semua tagarrub mesti melewati hawa nafsu dan syahwat yang berada
dalam jiwa. Nilai bipolar (berkutub ganda) hawa nafsu -sebagai tangga
kesempurnaan dan juga sebagai peluncur kesesatan- ini merupakan salah satu
pemikiran keislaman yang amat unik. Di bawah ini ada beberapa nash keislaman
berkenaan dengan bipolaritas hawa nafsu:
- Dari Abi Al-Bujair - sahabat Nabi
SAWW - berkata, suatu han Nabi SAWW merasa lapar, lalu beliau meletakkan
sepotong kerikil di perutnya dan mengatakan: "Ketahuilah! Berapa
banyak orang yang kenyang perutnya dan rapi pakaiannya di dunia, tapi dia
akan kelaparan dan telanjang di akhirat. Berapa banyak orang yang
memuliakan nafsunya, padahal dia menghmakan dirinya. Berapa banyak orang
yang menghmakan nafsunya, padahal dia memuliakan dirinya. Berapa banyak
orang yang tenggelam menikmati sesuatu yang telah dijanjikan Allah melalui
Rasul-Nya, namun dia di sisi Allah tidak mendapat bagian apapun.
"Ketahuilah bahwa 'kinerja surgawi' bagai bukit-bukit terjal yang
bertebing cadas dan kinerja neraka bagai jalan mulus yang mudah dilalui nafsu.
Berapa banyak nafsu yang sekejap (di dunia), justru mengakibatkan sengsara
yang berkepanjangan (di akhirat). "[29]
Nash di
atas mengandung banyak renungan yang luar biasa.
Banyak orang yang berperut kenyang, berdandan rapi, selalu memenuhi hawa
nafsu clan memperoleh kelezatan tanpa pernah merasakan puas apalagi bersikap
wara'... Sosok jiwa ini akan hadir di hari kiamat dalam keadaan lapar dan
telanjang. Sekian banyak orang yang seakan memuliakan hawa nafsunya dengan cara
memenuhi setiap ajakannya. Padahal, dengan begitu, dia hanya akan merendahkan
jiwanya sendiri. Sebaliknya banyak juga orang yang bersikap keras, sinis dan
acuh tak acuh akan tuntutan hawa nafsunya, padahal begitulah cara yang
sebenarnya untuk raemuliakan diri manusia.
Sungguh tidak sedikit manusia yang sengsara di akhirat akibat berfoya-foya
dengan kelezatan hawa nafsu clan syahwatnya di dunia. Ada sebuah riwayat yang
demikian bunyinya: "Ketahuilah bahwa jalan yang mengantarkan manusia
menuju surga bagai jalan terjal dau bertebing." Kata al-haznah artinya
ialah tanah keras yang penuh bebatuan. Perbuatan surgawi mesti melalui bukit
yang tinggi nan terjal. Sedang perbuatan neraka hanya bagai berjalan di atas
tanah yang mulus dengan "peluncur" nafsu, kesenangan dan kelezatan. Demikianlah,
orang yang berjalan di atas tanah yang keras, terjal dan menaiki tebing-tebing
yang bebatuan, seakan dia melawan gravitasi. Sedangkan orang yang berjalan di
tanah yang mulus, seakan dia berserah-diri pada gravitasi.
Inilah perbedaan antara "kinerja surgawi" dan "kinerja
neraka" serta antara ketaatan dan kemaksiatan.
2. Imam
Ali as pernah menukil sabda Rasulullah SAWW yang demikian bunyinya:
"Sesungguhnya (jalan ke surga) penuh dengan kesusahan, sedang (jalan ke)
neraka penuh dengan nafsu (Baca : kemudahan). Camkanlah! Ketaatan kepada Allah
dilakukan dengan kesusahan. Sedang kemaksiatan hepada Allah dilakukan dengan
nafsu. Semoga Allah merahmati orang yang menjauhkan jiwanya dari rayuan
syahwatnya dan orang yang mengalahkan hawa nafsunya. Sesunggnhnya syahwat
hendaknya ditarik sejauh mungkin (dari jiwa). Syahwat senantiasa rindu kepada
kemaksiatan yang dilakukan dengan nafsu."[30] Nash ini mengungkap
kesimpulan yang sama dengan teks-teks keislaman lainnya.
Surga adalah terminal akhir gerak askendensial (menaik) manusia menuju
Allah, sedang neraka adalah terminal akhir gerak deskendensial (menurun)
manusia menuju kehancuran. Tujuan yang pertama itu diliputi berbagai derita dan
rintangan. Berbagai clerita dan rintangan itu terjadi akibat dari upaya jiwa
menentang dan menolak ajakan hawa nafsu. Adapun tujuan yang keduanya penuh
clengan kesenangan yang mudah menggelincirkan seorang ke jurang hawa nafsu.
Melalui sabda Nabi SAWW di atas, Imam Ali as menciptakan suatu landasan
umum yaitu, tiada ketaatan yang diperoleh seorang kecuali dengan ketidaksukaan.
Dan tiada kemaksiatan yang dilakukan seorang kecuali dengan kesenangan (nafsul.
Setelah uraian ini, tidak sulit bagi kita untuk menerima kenyataan bahwa
mengapa jalan menuju kesempurnaan. pertumbuhan dan gerakan menuju Allah harus
melintasi hawa nafsu. Dan hanya melalui hawa nafsu ini manusia clapat naik
menuju Allah SWT Sekiranya tak ada hawa nafsu yang telah diciptakan- Nya,
niscaya tak ada pula jalan yang mengantarkan manusia mendaki ke puncak ilahi.
3.
Pergumulan Internal Jiwa Manusia Hawa nafsu ialah potensi yang disimpan Allah
pacla diri setiap manusia. Manusia akan mengeluarkannya (mengaktualisasikannya)
bila dibutuhkan. Seperti juga Allah telah meletakkan berbagai energi dalam
perut bumi untuk bahan makanan, pakaian dan beragam prasarana kehidupan
lainnya. Begitu pula dengan "suplai" air dan oksigen yang sangat
dibutuhkan manusia. Berbagai potensi yang diberikan Allah itu antara lain,
pengetahuan. kebulatan tekad, keyakinan, kesetiaan, keberanian, ketulusan,
'iffah (menjaga harga-diri), disiplin, bashîrah (visi), kreativitas, kesabaran,
penolakan, penghambaan ('ubûdiyyah) serta penegasan.
Kemampuan-kemampuan ini ada dalam hawa nafsu manusia secava potensial.
Hawa-nafsu dan kemampuan instingtif lainnya adalah tahap kebinatangan manusia.
Namun, berbeda dari semua binatang yang lain, Allah telah memberinya kemampuan
untuk mengendalikan dan menghambat serta membatasi naluri-naluri ini dengan
irâdah. Dan dengan begitu, kebinalan naluriah manusia dapat diubah menjadi
keutamaan-keutamaan ruhani, maknawi, dan akhlaki seperti bashîrah, yaqîn, azam,
keberanian dan ketaqwaan. Bagaimana prosesnya naluri-naluri yang buas dan binal
itu bisa berubah karena adanya "pencegahan" dan "taqwa"
sehingga menjadi nilai-nilai yang tinggi dalam diri manusia? Aksi-reaksi apakah
yang bisa mentrasformasikan naluri-naluri yang binal ini menjadi pengetahuan,
keyakinan, kesabaran dan bashîrah? Sungguh menyesal penulis untuk mengatakan
"tidak tahu!". Pintu makrifat yang lebar ini masih tertutup bagi
penulis. Sampai kini, belum ada psikolog modern maupun pakar studi-studi
keislaman yang bersedia membuka pintu makrifat tersebut. Meskipun demikian,
kalau kita menengok din kita sendiri, maka akan kita temukan isyarat-isyarat
yang jelas akan terjadinya pergumulan dan interaksi besar dalam jiwa manusia.
Rasa malu, misalnya, bukan hanya sebab bagi tertekannya naluri seksual, tapi ia
juga merupakan efek dari peristiwa pencegahan dan penekanan terhadap naluri
lainnya.
Begitu manusia membatasi seksualitasnya, dia memperoleh rasa malu terhadap
praktik seksual yang bertentangan dengan akhlak, adab, estetika dan dzauq
(cita-rasa Ilahi). Adab yang saya maksud bukanlah tata-cara bergaul di tempat
tidur, melainkan sesuatu lebih tinggi. Adab dan dzaug yang menjadi lambang
supremasi manusia adalah efek dari pengekangan dan ketaqwaan yang dilakukan
manusia di bidang naluriah. Jika kita kembali pada Alquran, maka pasti kita
temukan adanya beberapa isyarat yang jelas tentang adanya interaksi internal
manusia. Allah SWT berfirman:"... Dan bertagwalah kepada Allah, maka Allah
akan mengajarimu..." (Q.S. Baqarah : 282)
Mungkinkah klausa wayu'allimukumullâh di-athaf-kan atau dikonjungsikan
dengan wattagullâh, padahal keduanya tidak berhubungan? Ataukah kedua klausa
ini merupakan setali tiga uang? Mereka yang akrab dengan gaya-ungkap Alquran,
tidak akan meragukan lagi bahwa dua klausa itu merupakan dua sudut dari sesuatu
yang sama (dalam matematika disebut ekuilateral, peny.). Ilmu (dalam ayat ini)
adalah efek ketaqwaan kepada Allah SWT Ilmu seperti ini tidak diperoleh dengan
belajar. la adalah nur yang dipancarkan Allah kepada hamba-Nya yang
dikehendaki. Alquran dalam surah Al-Hadîd ayat 28, menyebut "nur"
ini: "Hai orang-orang yang beriman (kepada rasul), bertaqwalah kepada
Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah akan memberikan rahmat-Nya
kepadamu dua kali lipat, dan menjadikan untukmu (nur) "cahaya" yang
dengannya kamu dapat berjalan..." Nur, dalam ayat ini, tak lain adalah
ilmu dalam ayat sebelumnya. Ilmu dan taqwa yang ada dalam surah Al-Hadîd ayat
28 dan surah Al-Baqarah ayat 282 bersifat korelatif. Taqwa ialah realitas
pengekangan naluri itu sendiri.
Pengekangan ini bisa merubah naluri dan hawa nafsu menjadi nuv, ilmu dan
bashîrah. Dalam cerita Nabi Yûsuf as yang terdapat dalam surah Yûsuf 22, Allah
berfirman: "Dan tatkala dia cukup dewasa, Kami berikan kepadanya hikmah
dan ilmu. Dengaji demikian Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang
berbuat baik." Dan kita temukan kandungan ayat yang bermiripan dalam
cerita Nabi Musa yang terdapat dalam surah Al-Qashas ayat 14: "Dan setelah
Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu.
Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat
baik." Mengapa Allah mengistimewakan anugrah ini kepada Musa bin Imran as
dan Yusuf as dan tidak selainnya? Apakah hikmah dan ilmu ini hanya
diperuntukkan pada hamba-Nya yang tertentu dan bukan pada sembarang orang tanpa
alasan? Apakah semua itu termasuk dalam sunnah Ilahiyah (keniscayaan Ilahi)?
Sungguh seorang yang akrab dengan bahasa Alquran walaupun sesaat saja tidak
akan gamang akan hubungan hikmah dan ilmu dalam dua surah tersebut dengan
al-Ihsân pada klausa "wakadzâlika najzilmuhsinîn'. Ketika Allah
menghubungkan ilmu dan hikmah yang telah diperoleh Musa as dan Yûsuf as dari
Allah SWT dengan "Al-Ihsân" itu berarti - sesuai dengan sunnatullah -
bahwa ihsan atau kebaikan manusia adalah penyebab datangnya rahmat Allah dan
turunnya hikmah dan ilmu dari sisi-Nya. Singkat kata, ihsan dan amal baik
manusia akan berubah menjadi hikmah dan ilmu. Tak pelak lagi, taqwa dan menahan
nafsu adalah mishdaq (ekstensi) ihsan yang paling utama. Saya tidak ingin
berpanjang-lebar dalam kajian ini. Karena, penulis merasa tidak memiliki kunci
utama menuju kajian yang sangat genting ini.
Bagaimanapun juga, saya bevharap Allah menyiapkan dan memudahkan orang yang
"layak" untuk mengkaji subyek bahasan ini. Tak diragukan lagi bahwa
jiwa manusia mengalami berbagai kausasi dan interaksi internal. Hal itu sama
persis seperti kausasi dan interaksi eksternal yang terjadi dalam bidang
fisika, kimia, geologi. Fisik, umpamanya, mengenal kausasi dan interaksi panas
dan gerak, atau arus listrik dan gerak dan lain-lain. Oleh sebab itu, penulis
dengan rendah hati mengimbau sarjana psikologi keislaman untuk mengupas secara
mendalam bidang yang penting ini dari berbagai bidang psikologis dan kemudian
menyimpulkan hasil studinya itu.
Peran Destruktif Hawa Nafsu Hawa Nafsu dan Thaghut Hawa nafsu dan thâghût
-selanjutnya tagut- adalah faktor bipolar (berkutub dua) yang sangat
berpengaruh dalam merusak hidup manusia. Hawa nafsu beraksi merusak manusia
dari dalam, sedang tagut merusak manusia dari luar. Setan beroperasi dalam jiwa
manusia melalui hawa nafsu dan di masyarakat melalui tagut. Dalam Alquran,
Allah SWT memerintahkan kita untuk mencegah jiwa dari rayuan hawa nafsu, bahkan
menyingkirkannya jauh-jauh. Allah SWT berfirman: "Janganlah kalian ikuti
ajakan hawa nafsu." Q.S. Al-Nisâ` 135. Allah SWT berfirman: "... Dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan
Allah..." Q.S. Shâd 26 Allah SWT berfirman: " ... Dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang
kepadamu..."Q.S.A\-Maidah 48.
Sebagaimana pula Allah menyuruh kita untuk mengingkari dan menjahui
thaghut. Allah SWT berfirman: ''...Mereka hendak berhakim kepada tagut. Padahal
niereka telah diperintah mengingkarinya. Q.S. An-Nisâ' 60. Allah SWT berfirman:
uDan orang-orangyang menjauhi tagut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali
kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu
kepada hamba-hamba-Ku". Q.S. Az-Zumar 17. Allah SWT berfirman: "Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk inenyerukan):
"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah tagut itu..." Q.S. An-Nahl 36
Akal dan Agama Dalam menghadapi hawa nafsu dan tagut, Allah telah membevi
manusia akal dan agama sebagai petunjuk jalan yang lurus. Peran akal ialah
mengatur prilaku manusia dari dalam (jiwa) dan agama mengatur prilaku manusia
dari luar. Diriwayatkan dari Amiril Mukminin Ali as: "Akal merupakan
syariat dalam diri manusia, dan syariat adalah akal di luar manusia.”[31] Imam
Musa Al-Kâzhim as berucap: "Allah mempunyai dua hujjah (bukti) atas
manusia. Hujjah yang tampak (zhâhir) dan tersembunyi (bâthin).
Hujjah yang tampak ialah para Rasul as dan imam as, sedaugkan hujjah yang
tersembunyi ialah akal.”[32] Akal dan agama selalu bahu-membahu dalam diri
manusia dan di masyarakat luas untuk menghadang hawa nafsu dan tagut.
Diriwayatkan dari Imam Ali as: "Perangilah hawa nafsumu dengan
akalmu.”[33] Watak Destruktif Hawa Nafsu Hawa nafsu sebagai daya yang mutlak
dengan tuntutan yang mutlak memiliki kemampuan luar biasa untuk merusak jiwa manusia.
la tidak dapat diserupai, bahkan setan dan tagut sekalipun.
Lacurnya, daya yang berkapasitas besar untuk merusak ini, laten dan
tersimpan dalam jiwa manusia. Tiada jalan bagi manusia untuk bisa menghindar
dari jangkauannya. Oleh karena itu, hawa nafsu merupakan satu dari dua hal yang
sangat dikhawatirkan Rasulullah SAWW bila pada umatnya. Rasulullah SAWW
bersabda: "Sungguh yang paling aku khawatirkan atas umatku adalah hawa
nafsu dan panjang angan-angan. Hawa nafsu akan membendung seorang dari Al-Haq
(kebenaran), sedang panjang angan-angan akan melalaikan seorang dari
akhirat.”[34]
Dalam sebuah riwayat, Imam Ali as bertutur: "Kelezatan (duniawi) itu
merusak."[35] Tahap Awal Cara Kerja Hawa Nafsu Marilah kita renungkan
hakikat peran destruktif yang dimainkan hawa nafsu dalam kehidupan manusia.
Dalam jiwa manusia - sebagaimana yang pernah saya jelaskan -terdapat sejumlah
sumber yang mensuplai kesadaran dan gerak manusia. Sumber-sumber inilah yang
menegakkan kehidupan bendawi dan maknawi manusia. Hawa nafsu adalah salah satu
dari sumber ini. Tetapi, jika ia berkuasa, maka sumber-sumber yang lain akan
menjadi difungsional. la akan menghentikan peran akal, kalbu, dhamîr, fitrah
dan irâdah. Sabotase terhadap sumber-sumber lain manusia akan mengakibatkan kehancuran
yang meluas pada kepribadian manusia. Hawa nafsu lama-kelamaan akan secara
membabi-buta meruntuhkan sumber-sumber lam manusia. Pada saat itu, - saat
dimana sisi hevvani manusia berkuasa penuh atas manusia-manusia akan kehilangan
kemanusiaan.
Dan beginilah jadinya, bila faktor yang sangat konstruktif berubah menjadi
destruktif. Allah SWT berfirman: "... Dan janganlah kamu mengikuti orang
yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa
nafsunya dan urusannya itu sungguh telah melewati batas". Q.S. Al- Kahfi
28. Maksud dari "melewati batas" di sini adalah menyia-nyiakan dan
merusak. Nash-nash keislaman benar-benar memberikan perhatian yang besar atas
peran destruktif hawa nafsu manusia. Tujuannya, agar manusia tidak terpasang
jerat halus hawa nafsu dan cepat-cepat memetak posisi hawa nafsu dalam diri
mereka. Selanjutnya, saya berusaha memaparkan peran destruktif hawa nafsu dalam
nash-nash keislaman, sesuai dengan metode saya dalam kajian ini. Dalam
nash-nash keislaman, kita menemukan bahwa tindakan destruktif hawa nafsu
mempunyai dua tahap:
1.
Pertama, merusak fungsi sumber-sumber kesadaran dan gerak manusia. Kedua,
menebarkan pengaruh dan memaksakan kekuasaan eksekutif atas manusia. Dengan
demikian, potensi apapun yang dimiliki manusia, seperti kecerdasan, pemahaman
dan kejelian diubah menjadi aparat pemerintahan hawa nafsu. Di bawah ini, saya
akan memaparkan masalah tadi dalam kaca-mata riwayat-riwayat keislaman. Tahap
Pertama Nash-nash keislaman menyebutkan banyak poin tentang pengaruh destruktif
hawa nafsu bagi manusia. Berikut ini beberapa di antaranya: 1- Hawa Nafsu
Menutup Pintu-pintu Hati dari Petunjuk Allah Berfirman: "Maka pernahkah
kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah
membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati
pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka
siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat).
Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?". Q.S. Al-Jâtsiah 23. Firman
Allah : "Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa
sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah
yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya...” Q.S. Al-Qashash
50. Mengikuti hawa nafsu akan menyebabkan tertutupnya jendela-jendela hati
untuk menerima (kehadiran) Allah. Rasul-Nya, tanda-tanda kebesaran-Nya,
hujjah-hujjah-Nya dan bayyinah-bayyinah-Nya. Amiril Mukminin Ali as berkata:
"Meugihuti hawa nafsu akan membutakan, menulikan. dan menghmakan
seseorang."[36] Amiril Mukminin Ali as juga berkata: "Hawa nafsu
adalah sekutu kebutaan." [37]
Beliau juga berkata: “Bila kamu mengikuti hawa nafsumu, ia akan menulikanmu
dan membutakanmu." [38] Amiril Mukminin Ali as berkata: "Aku
berwasiat agar kamu menjauhi hawa nafsu. Karena, ia mengajakmu kepada kebutaan;
yaitu kesesatan di dunia dan akhirat."[39] 2 - Hawa Nafsu Menyesatkan
Manusia dan Menghalanginya dari Jalan Allah Allah SWT berfirman: "Maku datanglah
sesudah mcreka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dau
memperturutkan hama nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan."
Q.S. Maryam 59. Allah SWT juga berfirman: "... dan janganlah kamu
meingikuti hawa nafsu, karena ia akon menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat di jalan Allah akan mendapat azab yang
berat." Q.S. Shâd 26.
Rasulullah SAWW bersabda: "Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas
umatku ialah hawa nafsu dan panjang angan-angan. Karena, hawa nafsu manusia
dari kebenaran dan panjang angan-angan melalaikannya dan akhirat."[40] 3 -
Syahwat itu Racun Imam Ali as berkata: "Syahwat adalah racun yang
mematikan.” [41] 4 - Hawa Nafsu itu Penyakit Dan Imam Ali as: "Barang
siapa tergesa-gesa mendatangi syahwatnya, maka penyakit akan cepot
merasukinya.”[42]
Dari Imam Ali as: "Jagalah jiwau dan cengkeraman syahwat, kamu akan
selamat."[43] Dari Imam Ali as: "Pangkal segala penyakit adalah mabuk
kesenangan (duniawi).”[44] Dari Imam Ali as: "Pasangan syahwat adalah jiwa
yang sakit dan akal yang tidak berdaya."[45] Dari Imam Ali as:
"Syahwat adalah penyakit yang mematikan. Sedang obat mujarabnya ialah
kesabaran."[46] Dari Imam Ali as: "Mengikuti hawa nafsu adalah
penyakit segala penyakit."[47] Dari Imam Ali as: "Syahwat berawal
dengan kesenangan dan berahir dengan kesedihan."[48] 5 - Hawa Nafsu adalah
Awal Nestapa Manusia Dari Imam Ali as : "Hawa nafsu ialah pangkal bermacam
nestapa."[49] 6 - Hawa Nafsu itu Kendaraan Fituah Dari Imam Ali as
Berkata: "Hawa nafsu adalah kendaraan fituah.”[50] Dari Imam Ali as:
"Awal-mula terjadinya fituah karena hawa nafsu yang diikuti."[51]
Dari Imam Ali as: "Waspadai kedudukan hawa nafsu kalian. Karena awalnya
fituah dan akhirnya bencana."[52] 7 - Hawa Nafsu itu Keruntuhan dan
Kehancuran Imam Ali as berkata: "Hawa nafsu itu membinasakan.”[53] Dari
Imam Ali as: "Hawa nafsu menjerumuskan seseorang ke tempat yang paling
rendah.”[54] Imam Ash-Shâdiq as berkata: "Jangan umbar keinginan nafsu.
Karena, keinginannya adalah kebinasaan."[55] 8 – Hawa Nafsu itu Kemusnahan
Imam Ali as berkata: "Hawa nafsu itu adalah sesuatu yang paling
memusnahkan."[56]
Dari Imam Ali as: "Hawa nafsu itu pongkal kemusnahan."[57] 9 -
Ihwa Nafsu itu Musuh Manusia Imam Ash-Shâdiq as berkata: "Awasi hawa
nafsumu seperti kamu mengawasi musuhmu. Karena, mengikuti hawa nafsu adalah
inusuh utama manusia.”[58] 10 - Hawa Nafsu akan Mendisfungsi Akal Irnam Ali as
berkata: "Hawa nafsu adalah pantangan akal."[59] Imam Ali as berkata:
"Siapa yang tidah menguasai syahwatnya berarti tidak memiliki
akalnyu."[60] Imam Ali as berkata: "Hilangnya (fungsi) akal itu
disebabkan (maraknya) rangsangan syahwat dan amarah."[61] Beginilah
jadinya bila hawa nafsu telah berkuasa sewenang-wenang. la berubah dari faktor
pembantu manusia dalam taqarrub menjadi faktor perusak yang melumpuhkan segala
sumber-pokok kemanusiaan manusia. Demikianlah tahap pertama dari kerja hawa
nafsu yang merupakan sisi negatif-pasif dari tindak destruktifnya.
2.
Tuhap Kedua Pada tahap pertama, sifat destruktif hawa nafsu hanya sampai pada
melumpuhkan fungsi irâdah, akal, dhamir, kalbu dan fitrah manusia yang menurut
istilah Alquran disebut dengan "pelalaian hati" (Ighfâlul Qalb). Pada
tahap ini, ia memaksakan kekuasaan eksekutifnya secara totaliter atas diri
manusia. Sehingga, mau tidak mau, manusia menjadi pengikut hawa nafsunya.
Menurut peristilahan, Alquran tahap kedua ini disebut dengan "Perihal
mengikuti hawa nafsu'' (Ittibâu'l Hawâ). Dalam menjelaskan ke dua bagian ini
Allah berfirman: "... dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya
telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan
adalah keadaannya itu melewati batas". QS. Al-Kahfi 28. Pada tahap
pertama, hawa nafsu benar-benar telah mengosongkan hati manusia dari pemahaman,
kesadaran, bashîrah, dan petunjuk. Kemudian, pada tahap kedua, hawa nafsu mulai
memaksakan kekuasaan eksekutifnya secara utuh atas diri manusia, sehingga dia
bertekuk-lutut kepadanya. Jika kedua tahap perusakan ini telah terjadi,
akibatnya seperti disebut Alquran. "Keadaannya telah melampaui batas"
(wa kâna amruhû furuthô). Di bawah Penawanan Hawa Nafsu Pada titik ini manusia
telah sepenuhnya dalam genggaman dan penjara hawa nafsu. Pemenjaraan hawa nafsu
atas manusia jauh lebih ketat daripada yang dilakukan manusia pada tawanan
perangnya. Karena, tawanan perang dipenjarakan sebatas supaya dia tidak lari,
melawan atau berbicara selain yang diperintahkan dan berbagai jenis eksploitasi
lainnya. Bagaimanapun
juga, dia tetap selalu bebas menjalankan tiga hal:
1.
Penginderaan; baik pendengaran ataupun
penglihatannya. Dia masih mampu melihat dan mendengar seita merasakan secara
merdeka. Pihak penawan tidak akan mampu memaksakan perasaan tertentu pada
tawanannya. Sehingga -misalnya- tawanan itu melihat yang bagus menjadi jelek
atau sebaliknya.
2.
Akal. Tawanan selalu mampu berfikir dan
bernalar sekehendaknya. Kebebasannya dalam hal ini persis seperti para
penawannya. Lebih jauh, pihak para penawan mustahil bisa memaksakan pola pikir
seperti yang mereka inginkan. 3. Hati. Tawanan selalu
bisa menyukai dan membenci semau hatinya tanpa interferensi orang yang
menawannya. Bahkan, kadang dia membenci dan kadang mencintai musuh-musuhnya.
Adapun tawanan hawa nafsu diperlakukan secara jauh lebih kejam. Karena, hawa
nafsu mampu menembus indera, akal dan hati seseorang. la bisa melakukan
campur-tangan dan memaksakan dominasinya rerhadap totalitas manusia. Maka.
manusia melihat segala sesuatu sesuai dengan kehendaknya; jelek menjadi indah
dan indah menjadi jelek atau baik menjadi buruk dan buruk menjadi baik. Di
sini, hawa nafsu merubah penalaran, pemikiran, pemahaman dan pengetahuan
manusia tentang kebenaran. Akhirnya. ia menjorok niasuk ke dalam hati seorang
dan merubah cinta menjadi benci menurut apa yang dikehendakmya. Selanjutnya
manusia akan mencintai musuh-musuh Allah yang seharusnya dia benci dan membenci
wali-wali Allah yang seharusnya dia cintai. Lebih-lebih, hawa nafsu bisa
menembus dhamir manusia; benteng pertahanan akhir dalam melawan hawa nafsu.
Lalu ia mencerabutnya. Setelah itu semua, manusia hidup tanpa kekebalan dalam
menghadapi setiap serangan hawa nafsu, setan dan tagut.
Analogi
di atas sebenarnya telah dijelaskan nash berikut ini. Diriwayatkan oleh
Al-Âmidi dalam kitab Ghurarul Hikam dari Amiril Mukminin Ali as:"Hamba
syahwat lebih hina claripada hamba perbudakan.”[62] Kedua bentuk perbudakan ini
sama-sama menghmakan, mengeksploitasi dan mencekik, tapi yang dialami hamba
perbudakan sangat ringan bebannya daripada yang dialami hamba hawa nafsu.
Tawanan Hawa Nafsu dalam Nash-nash Keislaman Mari kita renungkan ayat berikut
ini, agar kita mengetahui betapa ketatnya penawanan hawa nafsu terhadap
totalitas manusia. Allah SVVT berfirman: "Maka pernahkah kamu melihat
orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya
sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan
hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan
memberinya petunjuk sesuduh Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu
tidak mengambil pelajaran?' Q.S. Al-Jâtsiah 23.
Demikianlah Allah mencabut pendengaran, penglihatan
dan hati manusia, maka Hia berubah menjadi yes-man; tidak mempunyai prinsip.
Dia limpahkan segala urusannya kepada hawa nafsu yang telah menjadi tuhannya.
Ini ialah puncak ketaatan manusia terhadap hawa nafsu. Imam Ali as diriwayatkan
pernah berkata: "Siapa yangg menguasai hawa nafsunya, urusannya akan jaya.
Dan siapa yang dikuasai hawa nafsunya, derajatnya okan hina.”[63] Imam Ali
as berkata: "Binasalah diri seorang yang dikuasai syahwatnya dan
diperbudak kerakusannya."[64] Imam Ali as juga pernah berkata demikian:
"Penyembah syahwat adalah tawanan yang tidak akan merdeka."[65] Imam
Ali as berkata: "Berapa banyak akal yang menjadi tawanan pada hawa nafsu
yang berkuasa."[66] Dari Imam Ali as: "Hawa nafsu selalu memperbudak
orang-orang bodoh.”[67] Ini merupakan ungkapan yang jeli. Sebab orang bodoh
yang terseret di belakang syahwat akan mudah keluar dari kerajaan jiwanya dan
terperangkap jerat halus syahwat. Kemudian -secara oportunistik- hawa nafsu
menunggangi kebodohan untuk menyeret akal, irâdah dan hati ke dalam tampuk
kekuasaannya. Semua itu dilakukan secara tersembunyi dan samar-samar, mirip
tindak pencurian manusia.
Perbuclakan Hawa Nafsu atas Manusia Derajat dominasi hawa nafsu ini akan
menjurus pada penghambaan manusia kepadanya. Penguasaan yang dipaksakan hawa
nafsu atas manusia merupakan bentuk penghambaan. Untuk lebih jelasnya, mari
kita renungkan firman Allah di bawah ini: "Maka pernahkah kamu melihat
orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya
sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan
hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan
memberinya petunjuk sesuduh Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu
tidak mengambil pelajaran?' Q.S. Al-Jâtsiah 23. Dan firman Allah SWT berbunyi:
"Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
tuhannya. Maka apakah kamu dapat mienjadi pemelihara atasnya?" Q.S. Al-Furqân
43.
Bukan alang-kepalang, memang ada manusia yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai tuhan yang dia sembah dan dia taati sebagai ganti dari Allah SWT.
Rasulullah SAWW pernah bersabda: "Tiada tuhan yang disembah selain Allah
lebih besar di sisi Allah (dosanya) daripada hawa nafsu yang diikuti."[68]
Imam Ali as diriwayatkan pernah berkata: "Orang bodoh adalah hamba
syahwatnya."[69] Mereka Melupakan Allah dan Diapun Melupakan Mereka Jika
manusia sampai pada keadaan di mana dia terdis-integrasi dari poros 'ubudiayah
dan ketaatan Ilahi dan masuk ke poros penuhanan hawa nafsu, maka dia mengalami
kemurtadan yang mutlak.
Suatu hal yang pantas untuk disematkan kepada mereka adalah firman Allah:
"Mereka melalaikan Allah, maka Kami (Allah) melalaikan mereka."Q.S.
At-Taubah 67. Pada saat seorang keluar dari ‘ubudiyyah Ilahi kepada penuhanan
hawa nafsu, Allah melupakan mereka. Setelah itu, dia menjadi bulan-bulanan dan
mangsa setan. Penjelasan Alquran Tentang Peran Destruktif Hawa Nafsu Allah
memutar ulang ceiita Bal'am bin Ba'urah dalarn surah Al-A'raf: "Dan
bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya
ayat-ayat Kami (pengetahuaan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan
diri daripada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai ia tergoda),
maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki,
sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia
(lebih) cenderung ke bumi dan menuruti hawa nafsunya yang rendah, maka
perumpamaannya seperti anjing. Jika kamu menghalaunya, diulurkannya lidahnya
dan jika kamu membiarkannya, diulurkannya lidalmya (juga). Demikian itulah
perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah
(kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir." Q.S. Al-A'râf
175-176.
Konon Bal'am bin Ba’urah adalah cendikiavvan Bani Israil yang telah
dianugrahi oleh Allah beberapa ayat yang jelas dan diberikannya pula ilmu dan
makrifat serta dikarunia doa yang mujarab. Musa bin Imran as pernah memohon
bantuan kepadanya dalam urusan-urusannya, namun Bal'am mengikuti hawa nafsunya.
Seorang yang 'mengikuti hawa nafsu', seperti cerita tersebut, bisa terjadi
dalam dua bentuk di bawah ini:
1.
Menggunakan ilmu untuk meraih
tujuan-tujuan pribadi dan berusaha mendapatkan kebanggaan dan nama baik di
hadapan manusia.
2.
Menggtmakan ilmu untuk mendukung tagut
demi rnendapatkan upah. Dalam kedua bentuk ini salah satunya adalah hawa nafsu
yang mengusai ilmunya. Sebenarnya, orang berilmu bukan dipandang dari banyaknya
ilmu yang dimiliki (kuantitas). Karena perpustakaan justru lebih banyak memuat
ilmu ketimbang kebanyakan ulama. Tetapi, nilai ilmu dilihat dari siapa yang
membawa dan bagaimana menggunakannya. Jika pengemban ilmu adalah orang yang
berakhlak baik, seperti akhlak para Nabi, atau ilmunya difungsikan untuk
memberi hidayah dan khidmat, maka dia adalah orang alim yang sejati. Kalau
tidak, maka kealimannya tidak akan bernilai apa-apa. Dalam khutbah
Syiqsyiqiyyah, Imam Ali bertutur tentang peran orang alim dan
tanggung-jawabnya. Demikian tuturnya: "Allah tidak menentukan ulama untuk
bertindak seperti orang zalim yang kekenyangan atau orang teraniaya yang
kelaparan." Orang alim yang bangkit melaksanakan ketenluan Allah, akan
diangkat derajat, nilai dan kehormatannya setinggi-tingginya. Menurut narasi
dalam sebuah kitab tafsir, Bal'am bin Ba’urah adalah orang yang hawa nafsunya
menguasai ilmunya. Maka marilah kita melihat akibat apa yang diperolehnya
seperti yang terdapat dalam ayat tadi. Ayat tadi, meski bercerita tentang
Bal'am bin Ba’urah -kalau riwayat itu sahih-, namun hukumnya berlaku pada semua
manusia yang hawa nafsunya menguasai dirmya sendiri. Imam Al-Bâqir as bertutur:
"Asalnya, hukiman iti ditujukan kepada Bal'am bin Ba’urah.
Kemudian, Allah menggunakannya sebagai perumpamaan
akibat bagi setiap manusia - dari kalangan ahli Kiblat - yang mengutamakan hawa
nafsunya di atas perintah Allah."[70] Marilah kita renungkan beberapa
akibat yang dialami orang yang telah mengikuti hawa nafsu sebagaimana yang
diceritakan Alquran dalam beberapa simpulan berikut ini.
1.
Tendensi Berkekulan di Bumi Tenclensi
ini ialah keterpurukan manusia kepada kehidupan duniawi. Karena bumi adalah
dunia, maka tendensi berkekalan ke bumi berlawanan dengan kenaikan dan
transendensi manusia darinya. Allah herfirman: "Dan kalau Kami
menghendaki, sesunggnhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu,
tetapi dia (lebih) cenderung ke bumi dan menuruti hawa nafsunya yang
rendah...". Ayat ini menunjukkan pengertian keterjerumusan ke dunia.
Apabila pengangkatan diri manusia dari bumi (transendensi) mendapat penawanan
yang luar biasa dari "gravitasi" bumi, maka berkekalan di dalamnya
adalah "hukum alam" (yang tentunya sangat mudah dilakukan – Peny.).
Dengan demikian, mengangkat diri dari al-hayah ad-dunya dan keterjerumusan di
dalamnya merupakan suatu perlawanan yang luar biasa beratnya. Mengangkat diri
dari dunia adalah perkara yang amat sukar, sedangkan tunduk pada dunia adalah
perkara menerima daya-tarik dan rayuan dunia.
2.
Melepaskun Diri dari Ayat-Ayat Allah Maksud
dari melepaskan diri dari ayat-ayat Allah adalah melepaskan diri dari kesadaran
dan pengetahuan tentang ayat-ayat Allah. Disamping juga berarti melepaskan diri
dari hikmah, makrifat dan bashîrah. "Keterlepasan" (insilâkh) ialah
lawan dari "kelengketan" (iltishâq). Dengan kata lain, keterlepasan
adalah keterpisahan yang sempurna antara dua hal. Oleh sebab itu, manusia yang
hawa nafsunya adalah hakim dirinya, sama-sekali tidak terkait dengan kesadaran
dan bashîrah pada ayat-ayat Allah. Akibatnya, wadah-wadah dalam jiwa mereka
akan menolak ilmu dan hikmah, seperti perut yang sakit menolak makanan yang
lezat. Ketika wadah jiwa seorang telah dipenuhi dengan hawa nafsu, maka ia akan
menolak ayat-ayat Allah, makrifat, bashîrah, hikmah dan beragam keutamaan lainnya.
Rasulullah SAWW bersabda: "Hati yang telah dipenuhi oleh berbagai syahwat,
tidah akan bisa menerima sifat wara".[71] Rasulullah SAWW bersabda juga:
"Hati yang telah diperdayai oleh syahwat, tidah akan bertempat di malakût
as-samâ' (kemaharajaan langit)."[72] Imam Ali as berkata: "Hati yang
dibelenggu syahwat tidak akan dapat memanfaatkan hikmah."[73] Hati adalah
tempat yang tidak mungkin akan berkumpul di dalamnya hawa nafsu dan dzikrulah
secara berbarengan. Allah SWT berfirman: "Allah sekali-kali tidak
menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam satu rongganya..." Q.S.
Al-Ahzâb 4. Jadi, bila manusia mengikuti hawa nafsu, dia pasti lupa terhadap
dzikrullah. Sebaliknya pun demikian. Allah SWT berfirman: "...dan
janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat
Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati
batas." Q.S.
Al-Kahfi 28.
3.
Penguasaan Setan atas Budak Hawa Nafsu
Allah SWT berfirman: "Setan membuntutinya (sampai tergoda)."
Maksudnya setan benar-benar akan memperdaya manusia semampunya. Mengikuti hawa
nafsu berarti memperkuat daya-cengkeram setan atas manusia. Dengan perkataan
lain, lebih sering seorang mengikuti hawa nafsu, lebih besar peluang dan
kemampuan setan untuk menguasai manusia.
4.
Kesesatan dan Penyimpangan Allah SWT
berfirman: " ... maka ia termasuk orang-orang yang sesat." lni adalah
konsekuensi logis bagi mereka. Karena orang yang mengikuti hawa nafsu pasti
akan lalai terhadap dzikrullah dan setan pun mengusainya. Maka ia tidak mungkin
mendapatkan petunjuk ke jalan yang benar dan hidupnya pun tidak akan lurus.
Seluruh hidup dan sepak-terjangnya selalu dalam kebingungan dan kesesatan.
5.
Kerakusan Allah berfirman: "...
maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya, diulurkannya
lidahnya dan jika kamu membiarkannya, dia mengulurkan lidahnya (juga)...".
Inilah penyakit yang dikenal dengan nama "anjing gila". Penyakit ini
berupa rasa haus yang tidak dapat terpuaskan. Dihardik atau dibiarkan, anjing
dalam keadaan seperti ini akan terus menjulur-julurkan lidahnya. Demikian juga
orang yang mengikuti hawa nafsu. Dia akan selalu merasakan haus terhadap dunia,
segala keindahan dan harta benda duniawi bahkan dengan kesemuannya itu pun
tidak akan memuaskannya baik diwaktu kaya mau pun miskin. Sebagaimana anjing
gila yangselalu menjulurkan lidahnya, baik ketika ada air atau tidak, bahkan ia
tidak merasa puas dengan minum air. Rasulullah SAWW bersabda: "Bilamana
anak cucu Adam mempunyai dua lembah emas, niscaya dia mengharapkan yang ketiganya."[74]
Ketika menjawab pertanyaan orang yang mengeluhkan kerakusannya kepada dunia,
Imam Shâdiq as berkata: "Jika sesuatu yang mencukupimu itu memuaskanmu,
maka yang sedikit saja sudah mengayakaumu. Jika sesuatu yang mencukupimu itu
tidak juga memuaskanmu, maka semua apa yang ada di dunia ini tidak akan
memuaskanmu."[75] Terapi Hawa Nafsu Kemampuan Destruktif Hawa Nafsu Peran
penting dan manfaat hawa nafsu pada manusia, sebanding clengan besarnya potensi
dan kemampuannya. Dan besar potensinya sebanding lengan daya rusaknya. Tak
diragukan lagi, hubungan timbal balik yang demikian itu benar-benar ada dalam
jiwa manusia.
Hawa nafsu merupakan motor siklus kehidupan.
Tanpanya, yakni tanpa seksualitas, keposesifan, egoisme, selera makan-minum,
mekanisme bela-diri dan daya amarah, gerobak kehidupan manusia lakkan pernah
bergerak. Peranannya yang besar, efektif dan efisien sebagai penggerak
sebanding dengan peranannya sebagai perusak. Imam Ali as berkata: "Amarah
akan merusak hati dan menjauhkannya dari kebenaran."[76] Imam Ali as juga
berkata: " Banyak akal yang lunglai akibat gencarnya keinginan."[77]
Antara Pengekangan dan Pengumbaran Hawa Nafsu Oleh
sebab itu, sikap yang benar dalam menghadapi hawa nafsu bukanlah pengekangan
total. Karena, hawa nafsu adalah faktor yang berguna menggerakkan kehidupan
manusia. Mengabaikan dan menyia-nyiakan peran hawa nafsu akan mengakibatkan
lumpuhnya faktor terpenting yang ada dalam diri manusia sebagai penggerak utama
kehidupannya. Bahkan, pengekangan dan pengebirian naluri akan menebarkan
gejolak jiwa yang sangat tidak sehat bagi kepribadian manusia. Sebaliknya,
mengumbar tuntutan hawa nafsu tanpa pernah membatasi adalah sikap yang tidak
bisa dibenarkan juga. Sebab, pada saat itu. peran positifnya akan berubah
menjadi peran perusak.
Dan ini sungguh membahayakan kehidupan manusia.
Atas dasar ini, Islam menentukan sikap jalan tengah atau moderat terhadap hawa
nafsu; la mengakui peran pentingnya dan tidak melecehkan keberadaannya. Allah
SWT berfirman: "Diperhiaskan pada manusia kecintaan kepada berbagai
syahwat (apa-apa yang diingini); dari wanita-wanita, anak-anak, harta yang
banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang- binatang ternak dan
sawah ladang..." Q.S. Âli ‘Imrân 14. Dan firman Allah SWT: "Harta dan
anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia..." Q.S. Al-Kahfi 46.
Pada titik ini, Alquran mengakui keberadaan hawa
nafsu dan menganggapnya sebagai perhiasan dan keindahan. Islam tidak pernah
memandangnya sebagai hal yang jelek dan keji bagi kehidupan manusia. Titik di
atas sangat penting untuk memahami sikap Islam terhadap hawa nafsu dan syahwat
di mana Islam membolehkan mengikuti ajakan syahwat dengan menikmati keindahan
kehidupan manusia. Allah SWT berfirman: "Makanlah di antara rizki yang
baik yang telah Kami berikan kepadamu..." Q.S. Thâhâ 81. Allah SWT
berfirman: "... dan jangonlah kamu melupakan bahagiaanmu dari (kenikmatan)
dunia..." Q.S. Al-Qashash 77. Di sisi lain, Islam tidak memperkenankan
manusia mengikuti semua ajakan hawa nafsu atau hanyut dalam menurutinya tanpa
ada pengendali dan pembatasan.
Abu Abdillah as berkata: "Janganlah kamu
biarkan nafsu dan kemauannya, karena kemauan nafsu membawa
kebinasaan."[78] Islam juga menetapkan seperangkat penghalang dan pembatas
aktivitas hawa nafsu dan syahwat. Dan ini adalah poin ketiga tentang sikap
Islam dalam membatasi gerak Hawa nafsu, seperti memenuhi kebutuhan seksual
tidak dilarang syariat dan bukan masalah yang hina. Namun. Islam membolehkan
dan menganjurkannya dengan meletakkan batasan-batasan menurut ketentuan aturan
syariat. Dan contoh lain, cinta harta tidak dilarang oleh Islam, malahan
dibolehkan. Namun, Islam meletakkan beberapa ketentuan untuk mengaturnya.
[1] Penerjemah
adalah salah seorang staf pengajar di Pesantren "Al-Ma'hadul Islami"
(YAPI - BANGIL)
[2] Beliau
udalah salah seorang alumni "YAPI - BANGIL". Aktif dalam
menerjemahkan dan mengedit huku-huku keislaman. Dalam huku ini selain memberi
pengantar dan editor beliau |uga ikut andil dalam menterjemahkannya. Sekarang
sebagai staf ahli pada Penerbit Pesona Bandung.
[3] 'Uddatud
Dâ'î, karya Ibnu Fahd Al-Hilly, hal. 79; Ushûl Al-Kâfî, juz II. hal. 335;
Bihârul Anwâr, jld. 70 hal. 78, 85, 86; Al-Jawâhirus Saniyah Fi Al-Ahâdîts
Al-Qudsiyah, karya Al-Hur Al-Amili hal. 322. Dan diriwayatkan pula oleh Syaikh
Muhammad Al-Madany dengan redaksi yang hampir sama dalam kitab Al-Ittihâfât Al-
Saniyah Fi Al-Ahâdîts Al-Qudsiyah hal. 37, cet. II.
[4] Ushûl
Al-Kâfi, 2:335.
[5] Ushûl
Al-Kâfi, 2:335.
[6] Al-Jâmi’ Ash-Shaghîr, karya Suyuti yang
disyarahi oleh Al-Munnawi juz II hal. 220.
[7] Majmu'atul
Warrâm/Tanbîhul Khawâtir, hal.163
[8] Ushûlul
Kâfî, 2:139.
[9] Bihârul
Anwâr, 73:170.
[10]
Diriwayatkan dari Rasulullah SAWW: Disaat anak Adam sudah lanjut usia, yang
masih melekat padanya adalah dua hal : 1. Keinginan yang kuat (sikap rakus) 2.
Angan-angan. Diriwayatkan oleh Anas dari Rasulullah (Dalam Kitab Al-Jâmi’ush
Shaghîr, karya Suyûthî, bagian huruf Ba, Juz II, Hal, 371. Aku pernah
berteman dengan seorang
hamba yang saleh,
jiwanya ditentramkan oleh Allah sejak masa mudanya. Waktu aku berjumpa
dengannya, ia berumur
90 tahun. Suatu
ketika ia berkata
padaku: Sesungguhnya induk syahwat ada tiga hal: 1. Seks 2. Harta 3.
Kedudukan. Sungguh aku bisa untuk mengendalikan diri dari yang pertama dan yang
kedua semenjak usia mudaku, tapi untuk yang ketiga, aku masih selalu merasakan
bahayanya dan aku takut terjerumus dalam cengkeramannya.
[11] Bihârul
Anwâr, 70:76 Hadis ke-4.
[12] Nahjul
Balâghah, Muhammad Abduh, 1:44 Khothah 15.
[13] Maksucl
luiwa nafsu di sini hukan semua ghorîzah. Karena ada sebagian ghorîzah yang
tidak sesuai dengan kaidah ini.
[14] Ghurarul
Hikam, karya Amudi, 1:380.
[15] Bihârul
Anwâr, 73:23.
[16] Tuhaful
Uqûl, hal. 96.
[17] Ghurarul
Hikam, karya Amudi, 2:121.
[18] Bihârul Anwâr,
17:177.
[19] Wasâ`ilusy
Syî’ah, Kitah Al-Jihâd (Jihâd Al-Nafs) bab IX, hadis no. 2.
[20] Bihâul
Anwâr, 1:117.
[21] Nahjul
Balâghah, Khutbah untuk orang-orang hertaqwa (Hammâm).
[22] Ghurarul
Hikam, karya Amudi, 2:111.
[23] Bihârul
Anwâr.l2:68 ; Nahjul Bulâghah, Hikmah : 233.
[24] Ghurarul Hikam, karya Amudi, 1:1 18.
[25] Nahjul
Balâghah, Hikmah : 31.
[26] Ghurarul Hikam.
[27] Al-Baqarah
: 30.
[28] Q.S.
Al-A'râf : 54 dan Q.S. An-Nahl : 12 dan 79.
[29] Dzammul
Hawâ, karya Ibnu Al-Jauzi, hal. 38 yang juga diriwayatkan Suyûthî dalam
Al-Jâmi'ush Shaghîr.
[30] Nahjul
Balâghah, Khuthbah 176. [31] Majma'ul Bahrain, karya Al-Thuraihi, bagian
"Akal".
[32] Bihârul Anwâr, 1:137; Ushûlul Kâfî, 1:16.
[33] Nahjul Balâghah.
[34] Bihârul Anwâr, 70:88.
[35] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 1:13. [36]
Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 2:242.
[37] Nahjul Balâghah, Khotbah, hal. 31.
[38] Ghurarul Hikam, Al-Âmidi, 1:260.
[39] Mustadrak Wasâ`ilisy Sui’ah, 2:345.
[40] Al-Khishâl, karya Ash-Shadûq, 1:27; Bihârul
Anwâr, 70:75.
[41] Ghurarul Hikan, karya Al-Âmidi, 1:44.
[42] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 2:201. [43]
Ibid.
[44] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 1:372.
[45] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 2:77-78.
[46] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 1:90.
[47] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 1:72.
[48] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmidi, 1: 190.
[49] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmidi, 1: 50.
[50] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmidi, 1:51.
[51] Nahjul Balâghah, Khutbah 50.
[52] Nahjul
Balâghah, Khutbah, 50.
[53] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmidi, 1: 12.
[54] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmidi, 1: 65.
[55] Al-Bihâr,
70:89, Hadis : 20.
[56] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmidi, 1:180.
[57] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmidi, 1:47.
[58] Al-Bihâr,
70:82, Hadis : 12.
[59] Ghurarul Hikam,
karya Al-Âmidi, 1:272.
[60] Mustadrak Wasâ`ilusy Syi’ah, 2:287. [61] Ibid.
[62] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmidi, 2:40.
[63] Mustadrak
Wasâ`ilisy Syi'ah, 2:282.
[64] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmidi, 2:195.
[65] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 2:40
[66] Nahjul
Balâghah, bab Al-Hikam, No. 211.
[67] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmidi, 1:45.
[68] Ad-Durarul Mantsûr, 5:72; Thabarî dalam kitab
Al-Kabîr; At-Targhîbb wat Tarhîb, 1:86.
[69] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmidi, 1:28.
[70] Majma'
Al-Bayân dalam menafsirkan surah Al-A’râf ayat 175-176.
[71] Majmû'
Warrâm/Tanbîhul Khawâthir : 362.
[72] Ibid.
[73] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmidi, 1:344.
[74] Majmû'
Warrâm/Tanbîhul Khawâthir : 163.
[75] Ushûlul
Kâfî, 2:139.
[76] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmidi, 1:67.
[77] Ghurarul
Hikam, karya Al-Âmidi, 1:198.
[78] Ushûlul
Kâfî, 2:337.
BAGIAN KEDUA
Tugas Akal dalam Menggendalikan
Hawa Nafsu
Akal memainkan peran penting dalam membatasi dan mengendalikan hawa nafsu
manusia. la juga berperan mem bantu manusia agar tidak selalu memenuhi segala
ajakan nafsunya. Kata 'aql atau 'iqâl dalam bahasa Arab mempunyai arti 'ikatan'
dan 'pembatasan'. Dan begitulah peran yang harus diambil akal dalam menghadapi
hawa nafsu manusia. Pengertian ini telah disinyalir dari hadis Rasulullah SAWW
sebagai berikut: "Sesungguhnya akal merupakan pengikat kebodohan. Sedang
nafsu bak binatang yang sangat buas.” [1]
Sebenarnya banyak sekali riwayat yang menjelaskan pengertian ini, di
antaranya ialah: Imam Ali as berkata: "Pikiranmu akan menunjukkan pada
jalan yang rasyâd (lurus)." [2]
Imam Ali as berkata pula: "Jiwu memendam berbagai hasrat hawa nafsu.
Dan akal yang bertugas melarang dan mencegahnya. " [3]
Dari Imam Ali as: "Jiwa itu liar. Dan tangan-tangan akallah yang akan
memegang kekangnya." [4]
Dari Imam Ali as: "Hati memendam berbagai hasrat jahat, dan akal yang
mencegahnya." [5]
Dari Imam Ali as: "Buah akal ialah benci dunia dan mengekang hawa
nafsu." [6]
Peran yang dimainkan akal dalam kehidupan manusia ialah menahan dan membatasi
gerak laju hawa nafsu serta mencegah sikap ekstremis dalam memenuhi segala
luntutan liawa nafsu. Besar kesempurnaan dan kekuatan akal, sebesar taufik yang
dimiliki manusia dalam mengendalikan gerak hawa nafsu. Imam Ali as berkata:
"Akal yang sempurna akan mencegah tabiat jelek." [7]
Artinya, menahan dan menundukkan hawa nafsu meru pakan tanda sehatnya akal.
Imam Ali as berkata: "Peliharalah akal dengan menen tang hawa nafsu dan
menjauhkan diri dari dunia”. [8]
Imam Bâqir as berkata: "Akal (yang sebenarnya) ialah yanig menentang
hawa nafsu." [9]
Imam Ali as bertutur: "Barangsiapa menjauhi hawa, maka akan
selamat/sehat akalnya." [10]
Akal dan hawa nafsu sania-sama berperan vital dalam hidup manusia. Hawa
nafsu memotori siklus hidup manusia, sedang akal berperanan sensitif dalam
membatasi, mengen dalikan, serta mencegah hegemoni dan perusakan hawa nafsu
atas totalias manusia. Akal dan Agama Tugas agama sama dengan tugas akal dalam
membatasi hawa nafsu dan mengendalikan tindakan- tindakannya yang semena-mena.
Visi kerja akal dan agama sangat bersesuaian. Karena, agama adalah fitrah.
Allah berfirman: "... (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus..." Q.S. Ar-Rûm 30. Fitrah, yang mengusai manusia dan
sepenuhnya di terima akal itu adalah agama Allah yang jadikan-Nya sebagai
petunjuk bagi manusia. Maka dari itu, agama menopang peran akal dalam
mengendalikan hawa nafsu. Di lain pihak, agama memerankan akal dalam
mengendalikan hawa nafsu. Sesungguhnya, akal dan a gama ialah dua sisi dari
satu mata uang. Imam Ali asberkata: "Akal adalah syariat dalam (inter nal)
dan syariat adalah akal luar (eksternal)." [11] Imam Mûsâ bin Ja'far as
berkata: "Sungguh Allah mempunyai dua hujjah atas manusia; hujjah Zhâhir
dan Bâthin. Adapun
hujjah yang tampak ialah para rasul as, Nabi as dan Imam as. Sedangkan hijjah
yang tersembunyi ialah akal.” [12] Dari Imam Shadiq as: "Hujjah Allah atas
para hamba- Nya ialah nabi. Dan hujjah antara para hamba dan Allah
adalah akal." [13] Tiga Peran Akal Akal mempunyai tiga peran penting
dalani kehidupan manusia. 1.
Mengenal Allah SWT ialah pangkal dan titik-tolak tugas akal. 2. Keraatan mutlak kepada segala perintah
Allah SWT Mengenal rubûbiyyah Allah dengan baik akan menghasilkan ketaatan dan
'ubûdiyyah. 3. Takwa keparla Allah
SWT, yang merupakan sisi lain dari ketaatan kepada Allah. Ketaatan kepada Allah
mempu nyai dua sisi; Pertama, melaksanakan kewajiban. Kedua, mencegah diri dari
keharaman. Takwa adalah mencegah jiwa daii hal-ihwal yang di haramkan. Barang
kali beberapa nash di bawah ini bisa mempei1- jelas tiga peran akal tersebut.
Rasulullah SAWW bersabda: "Akal terbagi menjadi tiga bagian, dan barangsiapa
menyandangnya, maka sempurnalah akalnya, dan yang tidak, dia tidak
berakal: 1. Makrifat yang benar tentang Allah SWT. 2. Ketaatan yang mutlak kepada Allah SWT.
3. Kesabaran yang mendalam untuk
menjalankan pe rintah-Nya." [14] Adapun maksud rlari 'sabar dalam menjalankan
perin tah-Nya' ialah ketakwaan dan pengekangan hawa nafsu. Sebab menahan dan
menundukkan hawa nafsu memerlukan kesabaran. Di bawah ini saya akan mengurai
ketiga peran akal di atas. 1. Makrifat dan Argumentasi Tugas pertama akal
adalah makrifat, tahu dan menge tahui atan tugas-tugas epistemologis lainnya.
Akal meru pakan sarana pengetahuan dan penyingkapan berbagai realitas alam.
Berbeda dengan pandangan kaum sufi yang menjatuhkan, bahkan pada tingkat
tertentu mengelaminasi akal sebagai wahana makrifat atau penyingkap berbagai
haki kat kosmos, Penciptanya dan alam gaib. Islam sepenuhnya mengesahkan
konklusi rasional. Is lam menganggapnya sebagai wahana pengetahuan tentang
cakrawala alam fisik dan metafisik: Tuhan, berbagai kewajiban-Nya dan
larangan-Nya atas manusia. Rasulullah SAWW bersabda: "Sesungguhnya seluruh
kebaikan hanya dimengerti oleh akal." [15] Rasulullah SAWW juga bersabda:
"Mintalah petunjuk kepada akal, niscaya kamu akan mendapatkannya. Dan ja
ngan menentangnya, niscaya kamu akan menyesal." [16] Imam Ali as berkata:
"Akal adalah sumber pengetuhuan dan pengajak kepada pemahaman." [17]
Dari Imam Shâdiq as: "Akal adalah petunjuk orang mukmin”. [18] Selain
peran dan nilai akal dalam menguak alam se mesta, riwayat-riwayat keislaman
menegaskan bahwa Allah berhujjah kepada para hamba-Nya melalui akal.
Argumentasi Ilahi dengan akal dan berbagai implikasinya berupa, siksaan dan
tanggung-jawab, menunjukkan kepada kita betapa agung nilai akal clalam
kehidupan manusia dan dalam agama Allah (Islam). Imam Mûsâ bin Ja'far as
berkata: "Sesungguhnya Allah mempunyai dua hujjah atas manusia; hujjah
zhâhir dan hujjah bâthin. Adapun hujjah zhâhir ialah para Rasul, Nabi dan Imam
as. Sedangkan, hujjah bâthin ialah akal" [19] Imam Mûsâ bin Ja'far as juga
berkata: "Allah benar- benar telah menyempurnakan hujjah-hujjah-Nya pada
manusia melalui akal, membukakan (akal mereka) dengan al-bayân (penjelasan) dan
menunjukkan mereka pada rubûbi yah-Nya dengan berbagai dalil (bukti)" [20]
Jadi, akal ialah hujjah buat manusia dan hujjah Allah buat hamba-hamba-Nya.
Tanpa nilai besar (epistemologis dan aksiologis – Peny.) yang dimiliki akal
dalam Islam untuk mengetahui dan memahami sesuatu, maka niscaya ia tidak
bakalan menjadi hujjah atau berhujjah dengannya. 2. Ketaatan kepada Allah SWT
Nilai agung yang dimiliki pengetahuan dan idrâk (kog nisi atau persepsi)
teoretis itu, pasti akan melahirkan berbagai implikasi pengetahuan praktis
tentang serangkaian ketentuan, baik yang wajib maupun yang haram bagi manusia.
Pengetahuan teoretis manusia tentang rubûbiyyah dan ulûhiyyah Allah dan tentang
'ubûdiyyah (penghambaan) manusia akan melahirkan konsekuensi-konsekuensi
praktis seperti ketaatan dan komitmen dalam melaksanakan perin
tah-perintah-Nya. Di sinilah terletak keistimewaan akal; memposisikan manusia
sebagai pelaku perintah dan larangan - selanjutnya- sebagai penerima pahala dan
siksa - ketaatan dan kemak siatannya. Mari kita cermati riwayat-iiwayat
kislaman berikut ini: Imam Abu Ja'far Al-Bâqir as berkata: "Allah
menciptakan akal lalu mengajaknya berbicara. Menghadaplah kemari! Maka akalpun
menghadap. Berpalinglah! Maka iapun berpa ling. Kemudian Allah berfirman:
"Demi keagungan dan kebe saran-Ku, Aku tidak menciptakan makhluk yang
lebih Aku cintai daripadamu. Aku tidak menyempurnakanmu (memberi kan) kecuali
kepada orang yang Aku cintai. Ketahuilah hanya kepada kamulah Aku memerintah,
melarang, menyiksa dan memberi pahala.” [21] Abu Abclillah, Ja'far Ash-shâdiq
as berkata: "Allah men ciptakan akal, lalu menyuruhnya berpaling, maka iapun
ber paling. Kemudian Allah menyuruhnya menghadap, maka iapun menghadap. Lantas
Allah berfirman: Demi Keagungan dan Kebesaran-Ku, Aku tidak menciptakan makhluk
yang lebih baik daripadamu. Hanya kepadamuluh Aku memerin tah, melarang,
memberi pahala dan menyiksa." [22] Masih banyak nash lain yang senada yang
menjelaskan kepatuhan akal kepada Allah SWT. Perkara itu terungkap melalui
bahasa simbolik yang terdapat pada kalimat "Allah berfiman.:
Menghadaplali! Akalpun menghadap. Kemudian Dia menyuruhnya berpaling, maka
akalpun berpaling." Dalam nash-nash keislaman, bahasa simbolik sangat
populer untuk menjelaskan hal-hal seperti ini. Dalam sebuah riwayat, Imam Ali
as menjelaskan hubungan kausal antara pengetahuan teoritis dan praktis:
"Orang berakal, bila mengetahui sesuatu pasti mengamalkan nya. Dan bila
mengamalkannya, pasti mengikhlaskan amaln ya”. [23] Adapun nash-nash keislaman
yang memuat peran akal dalam mewujudkankan kepatuhan, penghambaan dan ketataan
manusia kepada perintah Allah SWT sangat banyak sekali. Saya akan menyebutkan
beberapa di antaranya di bawah ini: Rasulullah SAWW bersabda: "Orang yang
berakal adalah orang yang taat kepada Allah." [24] Nabi Muhammad SAWW
pernah clitanya, apakah akal itu? Beliau menjawab: "la adalah (alat) untuk
ketaatan kepada Allah. Karena, orang-orang yang taat kepada Allah adalah
orang-orang yang berakal." [25] Imam Ja'far Ash-shâdiq as pernah ditanya,
apakah akal itu? Beliau menjawab: "Akal adalah alat yang digunakan untuk
menyembah (beribadah) kepada Ar-Rahman (Allah) dan untuk memperoleh surga-Nya.
" Kemudian beliau juga ditanya, lalu gerangan apakah yang dimiliki
Mua'wiyah itu? Beliau menjawab: "Itu adalah nakrâ`atau syaithanah (tipu
daya setan)." [26] Imam Ali as berkata: "Orang yang poling berakal di
antara kalian adalah orang yang paling taat kepada Allah." [27] Abu
abdillah Ash-shâdiq as berkata: "Orang yang berakal adalah orang yang
merendah dalam memenuhi pang gilan kebenaran." [28] Maksud hadis ini ialah
bahwa akal akan merendahkan (menundukkan) manusia agar memenuhi panggilan Allah
un tuk taat kepada- Nya. 3. Sabar dalam Menentang Ajakan Hawa Nafsu Ini adalah
peran ketiga yang telah ditentukan Allah bagi akal dan ini adalah yang paling
berat dari sekian banyak peran yang dimainkannya. Seperti yang telah saya
sebutkan sebelumnya, peran ini merupakan dimensi lain ketaatan kepada Allah.
Dimensi pertama ketaatan kepada Allah adalah melaksanakan segala kewajiban.
Sedangkan sisi kedua adalah kon sistensinya dengan terus-menerus mencegah diri
dari segala larangan Allah SWT dan mengendalikan jiwa dari berbagai godaan
syahwat dan hawa nafsu. Berdasarkan hal ini, akallah yang bertanggung jawab
baik dalam menguasai maupun menundukkan segala kesenangan nafsu. Berbilang
jumlah riwayat yang menguatkan peran penting akal untuk bangkit mengekang dan
menahan hawa nafsu. Nash-nash tersebut mencurahkan perhatian yang serius dalam
rangka mengembangkan kemampuan manusia melak sanakan dimensi ini dari ketaatan
kepada Allah. Di bavvah ini saya sebutkan beberapa nash yang men jelaskan
masalah di atas: Imam Ali as berkata:"Akal aclalah pedang yang ta jam” .
[29] Imam Ali as berkata : "Bunuhlah hawa nafsumu de ngan senjata
akalmu." [30] Dari Imam Ali as: "Jiiwa memendam berbagai hasrat
nafsu. Akal berfungsi untuk mencegahnya." [31] Dari Imam Ali as:
"Hati memendam berbagai hasrat jelek, sedangkan akal selalu
menahannya." [32] Imam Ali as: "Orang yang berakal adalah orang yang
mengalahltan hawa nafsunya dan orang yang tidak menukar akhiratnya dengan
dunianya." [33] Dari Imam Ali as: "Orang berakal adalah orang yang
meninggalkan hawa nafsunya dan yang membeli dunianya untuk akhiratnva”. [34]
Dari Imam Ali as: "Orang berakal adalah musuh kelezatan dan orang bodoh
adalah budak syahwat." [35] Dari Imam Ali as: "Orong berakal adalah
orang yang melawan nafsunya untuk taat kepada Tuhannya." [36] Dari Imam
Ali as: "Orang berakal adalah orang yang mengalahkan
kecenderungan-kecendernugan hawa naf sunya." [37] Dari Imam Ali as:
"Orang berakal adalah orang yang mematikan syahwatnya dan, orang kuat
adalah orang yang menahan kesenangannya." [38] Di sini terdapat tiga peran
akal; makrifat kepada Allah, taat kepada Allah dalam menjalankan kewajiban, dan
mena han hawa nafsu dan segala yang dilarang Allah SWT. Yang menarik untuk
dikaji di sini ialah peran yang ketiga; untuk menahan dan mengendalikan hawa
nafsu. Un tuk melaksanakan tugasnya itu akal selalu berhadapan de ngan hawa
nafsu. Nasib Manusia Ditentukan dari Hasil Pertarungan antara Akal dan Hawa
Nafsu Hasil pertarungan antara akal dan hawa nafsu inilah yang bakal menentukan
kebahagiaan dan kesengsaraan manusia. Manusia dalam pertarungan ini terpecah
menjadi dua kelompok; blok orang takwa dan blok orang fasik. Dan prilaku
manusia juga terbagi menjadi dua: takwa dan fujûr (keji). Takwa merupakan
kemenangan akal atas hawa nafsu, dan sebaliknya fujur. Di persimpangan antara
akal dan hawa nafsu ditentukan nasib manusia; bahagia atau tidaknya dan dzâtul
yamîn (kelompok kanan) atau dzatusy syimâl (kelompok kiri). Perbedaan dua
kolompok ini bersifat hakiki, sub stansial dan menentukan nasib. Di
persimpangan inilab semuanya akan terjadi. Sekelompok manusia yang
mengunggulkan akal atas hawa nafsu adalah orang-orang saleh dan takwa. Mereka
terus melaju kencang ke surga. Sekelompok lainnya yang mengung gulkan hawa
nafsunya atas akal, yaitu kelompok orang-orang fasik dan lalim melaju kencang
ke jahanam. Diriwayatkan dari Imam Ali as hadis berikut ini: "Barangsiapa
yang akalnya mengalahkan hawa nafsunya, akan beruntung. Dan barangsiapa yang
hawa nafsunya me ngalahkan akalnya, maka ia akan celaka." [39]
Diriwayatkan bahwa Imam Ali as pernah berkata: "Akal merupakan bala
tentara Ar-Rahmân, sedangkan hawa nafsu panglima tentara setan dan jiwa
pontang-panting di antara keduanya. Maka yang menang akan menguasai jiwa."
[40] Sesungguhnya pergolakan antar dua kubu ini, semata- mata untuk merebut
jiwa. Kemudian menjadikannya sebagai tawanan yang tunduk padanya. Imam Ali as
berkata: "Akal dan syahwat adalah dua hal yang saling berlawanan. Ilmu
adalah pembantu ahal dan nafsu adalah hiasan syahwat. Sedang jiwa merupakan
rebu tan keduanya. Jiwa akan berada di samping yang menang antar
keduanya." [41] Kelemahan akal dan Kedigdayaan Hawa Nafsu Dalam
pertarungan yang menentukan nasib akhir manusia ini, akal adalah pihak yang
lemah sementara hawa nafsu adalah pihak yang kuat. Hal itu, karena akal adalah
alat untuk memahami dan mengetahui sesuatu, sementara hawa nafsu adalah
kekuatan besar jiwa yang menggerakkan manusia. Tidak ayal lagi, akal dapat
mengetahui dan memahami sesuatu. Namun, berbeda dengan hawa nafsu, ia bukanlah
motor dan kompresor jiwa manusia. Imam Ali as berkata: "Berapa banyak akal
yang takluk di bawah tampuk hawa nafsu yang berkuasa." [42] Hawa Nafsu
mendorong manusia melalui rayuan dan tipu dayanya sehingga manusia tergelincir
bersamanya. Sementara, di pihak lain, akal mengajak manusia kepada sesuatu yang
dibencinya. Imam Ali as berkata: "Paksakan diriinu (berbuat) fadhâ`il
(keutamaan-keutamaan), karena radzâ`il (kehinaan-kehi naan) telah tertanam
dalam dirimu." [43] Jalan menuju syahwat dan hal-hal yang hina itu melun
cur turun. Sedang jalan menuju keutamaan mendaki naik. Oleh karena itu. akal
selalu di posisi yang lemah dibanding posisi hawa nafsu. Sementara hawa nafsu
memasuki medan laga dalam kondisi prima dan menyerang, akal dalam banyak
kesempatan lemah menghadapinya. Dengan begitu, hawa nafsu dengan mudah
mengalahkan akal dan sepenuhnya me nguasai jiwa manusia. Prajurit-prajurit Akal
Tugas akal yang sedemikian sulit itu, telah dibantu Allah dengan
menganugrahinya sejumlah kekuatan dan perangkat yang dapat mendukung
jerih-payahnya. Di antaranya, kecenderungan-kecenderungan terhadap kasih-sayang
dan kebajikan yang tersebar; fitrah, dhamîr dan beberapa emosi dalam jiwa
manusia. Berbagai kecenderungan ini memiliki kemampuan un tuk menggerakkan
manusia dalam menghadapi sekaligus mengendalikan naluri atau insting. Misi
utama mereka ialah menopang aktifitas akal dalam membatasi dan menekan hawa
nafsu. Sebab, sebagaimana yang sudah saya jelaskan, akal hanya berguna untuk
mengetahui, mengerti dan memahami. la menjadikan manusia mampu menentukan yang
benar dan mengerti sesuatu secara sahih. Akan tetapi, ia tidak menjadikan
manusia mampu mengendalikan dan menekan berbagai insting manusiawi. Oleh sebab
itu, ia mesti meminta bantuan kepada faktor-faktor dan pendorong-pendorong lain
yang ada dalam jiwa manusia. Dengan begitu, akal akan lebih mantap menghadapi
berbagai insting manusia. Dalam bahasa etika keislaman, sejumlah faktor pen
dukung tersebut diberi nama junûdul 'aql (prajurit- prajurit akal). Berikut ini
beberapa contoh tindakan akal memperban tukan prajurit-prajurit tersebut:
1. Dalam tekanan naluri cinta
harta-benda, manusia bisa menghalalkan segala cara. Dengan bantuan 'izzat
an-nafs (harga-din) yang terpendam dalam jiwa setiap insan, akal menolak
tindakan memburu harta di tempat-tempat yang menghinakan harkat manusia.
Tentunya, akal menolak sum ber pendapatan harta yang hina. Namun petunjuk dan bimbingan akal saja belum
cukup untuk mencegah jiwa dari mencari harta yang menghinakan. Maka itu, ia mengajak harga diri
untuk bahu-membahu dalam
mengingatkan manusia daii cmta harta yang membuta itu. 2. Naluri seksual seringkali memaksa
manusia menda pat kelezatan seksual melalui cara-cara yang haram atau
hina. Naluri seksual, bisa dipastikan,
adalah naluri yang paling banyak menuntut dan memaksa. Akal dengan jelas
mengetahui bahwa melampiaskan hasrat seksual ditempat- tempat hina adalah tidak
benar. Namun, bagaimana mungkin akal, fahm
(pemahaman) dan bashîrah
dapat melawan tekanan naluri
seksual yang memuncak? Jawabnya, dengan meminta bantuan 'iffah an-nafs
(kesucian-diri) yang terpendam cli setiap jiwa manusia yang lurus fitrahnya.
Maka, de ngan itu manusia bisa menolak praktik asusila yang dijauhi fitrah yang
lurus. 3. Kadang naluri angkuh,
sombong dan merasa istimewa memaksa seorang agar menghina dan menekan
orang-orang lain sekadar untuk memuaskan egoismenya. Akal menyalah kan prilaku
ini. Namun, la tidak bisa melawan kekuasaan ego yang ada
dalam jiwa manusia sendirian.
Karenanya, ia meminta bantuan
rasa suka merendah (tawâdhu') kepada
orang lain. Kemudian. barulah akal bisa melawan sikap berlebihan dalam
memuaskan egoisme itu. 4. Kadang-kala
manusia berada di bawah tekanan naluri amarah yang sangat kuat dalam jiwa
manusia. Naluri ini mengajaknya membunuh orang lam. Betapapun akal mema hami
bahwa perbuatan ini salah, ia tetap tidak mampu meng hadapi tekanan naluri ini
yang memaksa ini. Bahkan, pada galibnya, amarah membuat orang lupa daratan.
Tetapi. dengan bantuan rahmah (perasaan belas kasih) amarah dapat diredam.
Rahmat ini mempunyai kekuatan yang setara atau lebih dari yang dimiliki amarah.
la sering mencegah manusia dari beberapa tindakan keji yang bersumber dari
amarah. 5. Manusia suka bertahan melakukan
maksiat karena satu atau lain pengaruh berbagai naluri. Dengan meminta bantuan
makhâfatullâh (takut kepada Allah), akal bisa men jauhkan manusia dari maksiat.
Dan masih banyak lagi contoh-contoh yang lain. Sengaja saya sebutkan sebagmn
kecil untuk menjelaskan saja. Di bawah ini saya akan menyebutkan beberapa
contoh lain tanpa penjelasan. Menghadapi ketiadaan rasa-malu dan kehina-dinaan,
akal meminta bantuan pada syukr ni'mah (rasa ingin menyukuri nikmat sebagai
tanda balas-jasa). Menghadapi kebencian dan kedengkian, akal meminta bantuan
pada al-hub (rasa cinta). Menghadapi keputusasaan, akal meminta bantuan pada
ar- rajâ`(pengharapan). Inilah sekelumit contoh tentang peran prajurit akal
dalam menopang peranan akal menghadapi hawa nafsu clan syabwat. Dan permohonan
bantuan dari akal pada prajurit- prajuritriya dalam mengendalikan dan menentang
arus syahwat dan hawa nafsu yang ada dalam jiwa manusia.
Pemaparan Nash-nash Bala-tentara Akal Penopang-penopang akal yang
terkandung dalam nash- nash keislaman yang disebut bala tentara berjumlah 75.
Mereka semua diperbantukan akal untuk menghadapi 75 bala tentara hawa nafsu.
Penopang- penopang hawa nafsu disebut dalam nash sebagai tentara kebodohan
(jahl). Dua kelompok ini akan saling berseteru dan beradu dalam jiwa manusia.
Al-Alamah Al-Majlisi telah meriwayatkan dalam kitab Bihârul Anwâr jilid pertama
beberapa riwayat tentangnya; dari hadis Imam Ash-shâdiq as dan Imam Al-Kâzhim
as. Dengan sengaja saya nukilkan nash lalu saya mengkajinya pada pembahasan
yang akan datang, Insya-Allah.
Riwayat Pertama
Dari Sa'd dan dari Al-Himyari dari Al-Bâqî dari Ali bin Hadîd dari Sumâ'ah
(bin Mihrân) berkata: "Saya pernah hadir dalam majlis Abu Abdillah as di
sana juga hadir sebagian murid yang lain. Majlis itu membahas masalah akal dan
kejahilan. Kemudian Abu Abdillah berkata: "Kamu hen daknya mengetahui akal
beserta bala-tentaranya dan kejahi lan beserta bala-tentaranya agar kamu
mendapat petunjuk.” Sumâ'ah berkata: “Maka aku berlanya: Semoga jiwaku jadi
tebusanmu, saya tidak mengerti kecuali apa yang Anda jelaskan”. Abu Abdillah
menjawab: "Sesungguhnya Allah mencip takan akal sebagai makhluk pertama
yang bersifat ruhany. Saat itu akal terletak di samping kanan 'Arsy yang
tercipta dari Nur-Nya. Kemudian Allah berfirman kepada akal: "Meng
hadaplah! Akalpun menghadap. Allah berfirman: "Berpa linglah! lapun
berpaling. Kemudian Allah berfirman: "Kuciptakan kamu sebagai ciptaan yang
agung. Kumuliakan kamu di atas seluruh ciptaan-Ku". Beliau melanjutkan:
Allah menciptakan jahl (kejahilan) dari laut asin yang zhulmâny (gelap-gulita).
Kemudian Allah menyuruhnya berpaling dan iapun berpaling.
Kemudian Allah menyuruhnya menghadap, tetapi kejahilan itu tidak meng
hadap. Allah berfirman kepadanya: Kau congkak? Lalu Allah mengutuknya. Kemudian
Dia menciptakan 75 tentara akal. Melihat hal itu, dengan nada permusuhan
kejahilan berkata: Tuhan, akal adalah makhluk-Mu sebagaiinana juga aku. Mengapa
ia Engkau muliakan dengau kekuatan sedang aku lawannya tidak mempunyainya?
Berilah aku kekuatan seperti dia. Lalu Allah berfinnan: Baiklah. Tetapi apabila
engkan beserta bala tentaramu bermaksiat, maka akan Kukeluarkan kamu sekalian
dari rahmat-Ku. Kejahilan men jawab; "Saya terima janji itu. Alloh
kemudian memberinya 75 tentara. Adapun ke 75 tentara akal dan kejahilan adalah:
No. Tentara Akal Tentara Jahl
1.
Kebajikan (menteri akal) Kejahatan
(menteri jahl)
2.
Iman
Kufur
3.
Percaya
(tahsdîq) Ingkar (juhûd)
4.
Harapan
(rajâ`) Putus-asa (qunûth)
5.
Keadilan
(‘adl) Kezaliman (jaur)
6.
Rela (ridhâ) Tidak rela/murka (sukht)
7.
Syukur (syukr) Ingkar nikmat (kufrân)
8.
Gemar
kebaikan (thama’) Putus ikhtiar (ya`s)
9.
Tawakal
Ambisius (hirsh)
10.
Lemah-lembut
(ra`fah) Lalai (ghîrah)
11.
Kasih-sayang (rahmah) Amarah (ghadhab)
12.
Ilmu
(‘ilm) Bodoh (jahl)
13.
Cerdik
(fahm) Dungu (humq)
14.
Menjaga-diri (‘iffah) Ceroboh
(tahattuk)
15.
Zuhud
Hasrat (raghbah)
16.
Sopan
(rifq) Kasar (kharq)
17.
Waspada
(rahbah) Gegabah (jur`ah)
18.
Rendah-hati
(tawâdhu’) Takabur
19.
Kalem (ta`uddah) Tergesa-gesa
(tasarru’)
20.
Bijaksana
(hilm) Konyol (safah)
21.
Pendiam
(shamt) Pengoceh (hadzar)
22.
Menyerah
(istilâm) Menentang (istikbâr)
23.
Mengakui
(taslîm) Membandel (tajabbur)
24.
Maaf
(‘afwu) Kesumat (hiqd)
25.
Lunak
(riqqah) Keras (qaswah)
26.
Yakin
Syak
27.
Sabar
Meronta (jaza’)
28.
Pemaaf
(shafh) Pendendam (intiqâm)
29.
Kaya
(ghinâ) Fakir
30.
Tafakur
Lali (sahw)
31.
Hapal
(hifzh) Lupa (nis-yân)
32.
Penyambung
(ta’âthuf) Pemutus (qathî’ah)
33.
Qanâ’ah
Ingin menambah (hirsh)
34.
Emansipasi (muwâsât) Isolasi-diri
(man’)
35.
Rasa sayang (mawaddah) Rasa permusuhan
(‘adâwah)
36.
Memegang
(wafâ`) Melepas (ghadr)
37.
Ta’at
Maksiat
38.
Khudhû’
Arogansi (tathâwul)
39.
Selamat
Bencana (balâ`)
40.
Cinta
(hubb) Marah (ghadhab)
41.
Jujur
(shidq) Bohong (kidzb)
42.
Haq
Batil
43.
Amanat
Khianat
44.
Murni
(ikhlâsh) Noda (syaûb)
45.
Cekatan
(syahâmah) Lamban (balâdah)
46.
Cendekia
(fahm) Tolol (ghabâwah)
47.
Pengetahuan
(ma’rifah) Penyangkalan (inkâr)
48.
Pengukuhan
(madârah) Penyingkapan (mukâsyafah)
49.
Menjaga
aib orang lain Makar
50.
Menyimpan
rahasia (kitmân) Ekspose (ifsyâ`)
51.
Salat
Penyia-nyiaan (idhâ’ah)
52.
Puasa
Ifthâr
53.
Jihad Lari dari jihad (nukûl)
54.
Haji
Ingkar janji
55.
Menjaga
omongan Membongkar skandal
56.
Bakti
kepada orang-tua Durhaka
57.
Realitas
(haqîqah) Riyâ`
58.
Ma’ruf
Tabu (munkar)
59.
Menutup
aurat (satr) Bersolek (tabarruj)
60.
Taqiyyah
Mengobral perkataan (idz’ah)
61.
Jalan
tengah (inshâf) Fanatisme (hamiyyah)
62.
Bersih
(nazhâfah) Kotor (qadzir)
63.
Malu
(hayâ`) Bugil (khal’)
64.
Terarah
(qashd) Bablas (‘udwân)
65.
Relaks
(râhah) Lelah (ta’ab)
66.
Kemudahan
(suhûlah) Kesukaran (shu’ûbah)
67.
Berkah
Binasa (mahq)
68.
Afiat
Petaka (balâ`)
69.
Normah
(qiwâm) Berlebih (mukâtsarah)
70.
Hikmah
Hawa nafsu 71. Bahagia Nestapa (syaqâwah)
71.
Taubat
Berkeras kepala (ishrâr)
72.
Istighfar
Pongah (ightirâr)
73.
Mawas-diri
(muhâfazhah) Lengah (tahâwun)
74.
Berdoa
Berpaling (istinkâf)
Ke-75 bala-tentara ini
ticlak akan dipersatukan kecuali pada seorang nabi, penerus nabi (washiy) atau
seorang Muk inin yang hatinya telah lulus ujian. Selain mereka, mempunyai
sebagian. Dan dalam perjalanannya nanti, dia akan menyem purnakan bala-tentara
akal dalam jiwanya sambil selalu mew aspadai bala-tentara jahil. Setelah
itu, baru manusia dianggap sederajat dengan para nabi dan washiy. Tentunya,
sebelum mencapai apapun, manusia mesti mengerti dan mengenal akal dan
bala-tentaranya. Mudah- mudahan Allah SWT memberi taufik kepada kita semua
untuk berlaku taat dan mendapat ridha- Nya." [xliv]
Riwayat Kedua
Riwayat ini berasal dari Hisyâm bin Al-Hakam dari Imam Abi Al-Hasan, Mûsâ
bin Ja'far Al-Kâhzim as. Juga diriwayatkan oleh Al-Kulaini ra dalam kitab
Ushûlul Kâfî, 1:13-23, dan Al-Majlisi ra dari Al-Kulaini dalam kitab "Bi h
ârul Anwâr, 1:159. Sebenarnya, riwayat ini pajang sekali. Oleh karenanya, saya
akan menukil sebagiannya saja. Imam Mûsâ bin Ja'far as berkata: “Wahai Hisyâm,
kenalilah akal beserta bala-tentaranya dan kejahilan beserta bala-tentaranya,
niscaya kamu akan tergolong orang-orang yang telah mendapat petunjuk (muh
tadîn)”. Hisyam berseru: "Kami tidak mengetahui apapun kecuali yang telah
Anda ajarkan”. Beliau berkata: "Wahai Hi syâm, sesungguhnya Allah telah
menciptakan akal sebagai ciptaan pertama Allah. Kemudian Allah menjadikan 75 tentara baginya. Antara
lain:
Tentara Akal
1.
Kebaikan (menteri akal yang
pertama)
2.
Iman
3.
Jujur
4.
Ikhlas
5.
Harapan
6.
Adil
7.
Rela
8.
Syukur
9.
Gemar
kebaikan
10.
Tawakal
11.
Lemah-lembut
12.
Ilmu
13.
Iffah
14.
Zuhud
15.
Santun
16.
Waspada
17.
Tawaclhu'
18.
Kalem
19.
Bijak
20.
Pendiam
21.
Mengalah
22.
Menerima
23.
Maaf
24.
Halus
25.
Yakin
26.
Sabar
27.
Lapang-dada
28.
Kaya
29.
Tafakur
30.
Hapal
31.
Penghubung
32.
Qanâ’ah
33.
Terbuka
34.
Kasib-sayang
35.
Setia
36.
Taat
37.
Patuh
38.
Selamat
39.
Mengerti
40.
Pengetahuan
41.
Mulia
42.
Sehat
43.
Kemahiran
menyembunyikan perkataan
44.
Beradab
45.
Hakikat
46.
Makruf
47.
Taqiyyah
48.
Terarah
49.
Kebaktian
50.
Bersih
51.
Malu
52.
Ekonomis
53.
Santai
54.
Mudah
55.
Afiat
56.
Teguh
57.
Jauh
ke Depan
58.
Mantap
59.
Bahagia
60.
Taubat
61.
Takut
62.
Doa
63.
Cekatan
64.
Gembira
65.
Bersatu
66.
Dermawan
67.
Khusyu’
68.
Ju
jur
69.
lstiqfar
70.
Cerdas
71.
Aktif
(nasyâth)
72.
Suka
(farah)
73.
Menyatukan(ulfah)
74.
Dermawan
(sakhâ`)
75.
Kedudukan
(waqâr)
Tentara Jahil
1.
Kejahatan (menteri jahil yang pertama)
2.
Kufur
3.
Bohong
4.
Kemunafikan
5.
Putus-asa
6.
Lalim
7.
Murka
8.
Ingkar
9.
Putus-ikhtiar
10.
Obsesif
11.
Berhati-keras
12.
Bodoh
13.
Ceroboh
14.
Hasrat
15.
Watak
yang kasar
16.
Gegabah
17.
Takabur
18.
Tergesa-gesa
19.
Tolol
20.
Banyak
Cincong
21.
Bandel
22.
Menolak
23.
Dengki
24.
Kasar
25.
Syak
26.
Cemas
27.
Dendam
28.
Fakir
29.
Lalai
30.
Lupa
31.
Pemutus
32.
Rakus
33.
Tertutup
34.
Permusuhan
35.
Khianat
36.
Maksiat
37.
Pembangkang
38.
Celaka
39.
Dungu
40.
Penyangkalan
41.
Cela
42.
Sakit
43.
Menyebarkan
44.
Biadab
45.
Palsu
46.
Munkar
47.
Mengobral
Omongan
48.
Bablas
49.
Onar
50.
Kotor
51.
Porno
52.
Boros
53.
Lelah
54.
Sulit
55.
Kemelut
56.
Gamang
57.
Cetek
58.
Ringan
59.
Sengsara
60.
Berpaling
61.
Meremehkan
62.
Congkak
63.
Lamban
64.
Sedih
65.
Berpecah
belah
66.
Kikir
67.
Angkuh
('ujub)
68.
Bohong
69.
Tertipu-diri
70.
Dungu
71.
Malas
(kasal)
72.
Duka
(huzn)
73.
Memecah-belah
(furgah)
74.
Kikir
(bukhl)
75.
Ketersembunyian
Wahai Hisyâm,
perangai-perangai ini tidak akan bisa terkumpul secara sempurna kecuali pada
nabi, washy atau seorang mukmin yang hatinya telah lulus ujian Allah. Selain
mereka, hanya bisa memiliki sebagian dari ten tara akal dan tidak bisa
sempurna. Bila dia sudah lebih dahulu bisa membersihkan diri dari
tentara-tentara kejahilan, maka dia menjadi sederajat dengan para nabi dan
washiy”. Kesemua itu dapat dimengerti dan dicapai setelah mengenal akal dan
tentaranya. Mudah-mudahan Allah SWT memberi taufik kepada kita semua untuk
mentaati dan men dapat ridha-Nya.
[1]
Bihârul Anwâr, 1:117.
[2]
Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 2:58.
[3] Tuhaful ‘Uqûl :96.
[4]
Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 2:121. [5] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi,
1:109.
[6]
Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 1:323.
[7]
Bihârul Anwâr : 78:9.
[8]
Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 1:345.
[9]
Bihârul Anwâr : 78:164.
[10]
Bihârul Anwâr : 1:160.
[11]
Kitab Asy-Syâb, karya Syaikh Muhammad Taqi Al-Falsafî 1:365.
[12]
Bihârul Anwâr : 1:137.
[13]
Ushûlul Kâfî, 1:25.
[14]
Bihârul Anwâr : 1:106.
[15]
Tuhaful ‘Uqûl : 54; Bihârul Anwâr, 77:158.
[16]
Ushûlul Kâfî, 1:25.
[17]
Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 1:102.
[18]
Ushûlul Kâfî, 1:25.
[19]
Bihârul Anwâr, 1:137.
[20]
Bihârul Anwâr, 1:132.
[21]
Ushûlul Kâfî, 1:10.
[22]
Bihârul Anwâr, 1:96.
[23]
Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 1:101.
[24]
Bihârul Anwâr 1:160.
[25]
Bihârul Anwâr 1:131.
[26]
Bihârul Anwâr 1:116.
[27]
Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 1:179.
[28]
Bihârul Anwâr 1:130.
[29]
Nahjul Balâghah, bagian Al-Hikam dan kalimat-kalimat pendek.
[30]
Nahjul Balâghah, bagian Al-Hikam.
[31]
Tuhaful ’Uqûl : 96.
[32]
Ghurarul Hikam, 2:121.
[33]
Ghurarul Hikam, 1:104.
[34]
Ghurarul Hikam, 1:86.
[35]
Ghurarul Hikam, 1:28.
[36]
Ghurarul Hikam, 2:87.
[37]
Ghurarul Hikam, 2:160.
[38]
Ghurarul Hikam, 2:58.
[39]
Ghurarul Hikam, 2:187.
[40]
Ghurarul Hikam, 1:113.
[41]
Ghurarul Hikam, 1:113.
[42]
Nahjul Balâgah, bagian Al-Hikam dan kalimat-kalimat pendek.
[43]
Mustadrak Wasâ`ilusy Syi’ah, 2:310. [xliv] Bihârul Anwâr, 1:109-111, bagian
Kitab Al-‘Aql wa Al-Jahl.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar