Contoh-Contoh Dari Penyelewengan Yang Dilakukan
Para Penulis
Seluruh kitab yang memberi jawaban terhadap Syi'ah tidak
dimaksudkan kecuali untuk menyerang, mencemarkan, memalsukan dan menyebarkan
tuduhan dan kebohongan. Di samping di dalam menjawab keyakinan-keyakinan Syi'ah
mereka bersandar kepada kitab-kitab Ahlus Sunnah. Yang demikian ini bukanlah
sesuatu yang objektif di dalam berdialog dan berargumentasi.
Syeikh al-Mudzaffar berkata mengenai hal ini, "Ketahuilah,
sesungguhnya tidak dibenarkan berargumentasi terhadap lawan kecuali dengan
menggunakan argumentasi yang menjadi hujjah atasnya. Oleh karena itu, Anda
dapat melihat penulis —Allamah al-Hilli— dan yang lainnya manakala mereka
menulis argumentasi atas Ahlus Sunnah mereka selalu menyebut hadis-hadis
mereka, bukan hadis-hadis kita. Sementara mereka (Ahlus Sunnah) tidak berpegang
kepada kaidah pembahasan dan tidak meniti jalan dialog sebagaimana yang
semestinya."[137]
Mereka juga hanya memberi jawaban terhadap gambaran umum tentang
keyakinan Syi'ah, dengan tanpa menjawab secara logis setiap bagian dari
bagian-bagian mazhab Syi'ah. Sikap yang demikian ini tidaklah adil di dalam bab
keamanahan ilmiah. Oleh karena itu, Anda mendapati Doktor Bashir al-Ghifari
berkata di dalam mukaddimah bukunya yang berjudul Ushul Madzhab Syi'ah, halaman
15, ".. Karena sebagian keyakinan ada yang cukup untuk mengetahuinya hanya
dengan semata-mata mengemukakannya. Oleh karena itu, Syeikh Islam Ibnu
Taimiyyah menyebutkan bahwa penggambaran mazhab yang batil telah cukup untuk
menerangkan kebatilan mazhab tersebut, dan tidak diperlukan dalil yang lain
yang mengiringi penggambaran tersebut."
Jika apa yang dikatakannya itu benar, maka mau tidak mau seseorang
yang menggambarkan suatu akidah harus mengimani dan mempercayai akidah
tersebut, sehingga dia mempunyai kebebasan yang cukup di dalam menjelaskan
keyakinan-keyakinannya. Sungguh merupakan sebuah kezaliman manakala suatu pihak
masuk untuk menggambarkan keyakinan-keyakinan pihak lain dengan gambaran yang
paling buruk. Apa yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah adalah merupakan suatu
bentuk pembodohan terhadap pengikut-pengikutnya, manakala mereka menggambarkan
mazhab-mazhab yang bertentangan dengan mereka dengan gambaran sebagai mana yang
mereka kehendaki. Jika ini cukup untuk menjadi hujjah, maka tentu seorang kafir
yang hidup di Eropa yang mempunyai pandangan yang buruk tentang Islam, sebagai
akibat dari gambaran yang diberikan oleh kalangan orientalis dan para musuh
agama, tentu mereka termaafkan. Sungguh, ucapannya ini lemah, dan metodeloginya
salah, sehingga tidak dapat digunakan untuk berargumentasi. Namun sayangnya
memang inilah watak dan kebiasaan mereka. Berikut ini kami ketengahkan beberapa
contoh penyimpangan dan penyelewengan:
1. Kitab Ushul Madzhab 'ala asy-Syi'ah. Karya Dr. Nashir Abdullah
al-Ghifari, yang merupakan disertasinya untuk memperoleh gelar doktor, dari
Universitas Muhammad bin Su'ud al-Islamiyah, dan dia memperoleh peringkat Summa
Cumlaude. Kebohongan-Kebohongannya Atas Syi'ah:
a. Dia mengatakan, "Jadi, Syi'ah memerangi Sunah. Oleh karena
itu, Ahlus Sunnah dinamakan dengan nama ini disebabkan mereka mengikuti sunah
al-Musthafa saw."[138]
Kemudian, setelah itu dia berusaha mengeluarkan riwayat-riwayat Syi'ah yang
mewajibkan untuk mengikuti sunah. Dia berkata, "Hanya saja seseorang yang
mempelajari nas-nas Syi'ah dan riwayat-riwayatnya, terkadang dia sampai kepada
kesimpulan bahwa Syi'ah secara zahir mengakui sunah namun secara batin
mengingkarinya. Karena sebagian besar dari riwayat-riwayat dan
perkataan-perkataan mereka mengarah menjauhi sunah sebagaimana yang dikenal
oleh kaum Muslimin, baik dari segi pemahaman, penerapan, sanad dan matan."[139]
Adapun perkataannya yang mengatakan bahwa Syi'ah memerangi sunah,
tidaklah pada tempatnya. Karena kitab-kitab hadis yang ada pada Syi'ah
berkali-kali lipat lebih banyak dibandingkan kitab-kitab hadis Ahlus Sunnah.
Bahkan, riwayat-riwayat yang ada di dalam kitab al-Kafi saja melebihi
riwayat-riwayat yang terdapat di dalam kitab sahih yang enam (ash-Shihah
as-Sittah). Apalagi bila ditambah dengan beberapa ensiklopedia hadis seperti Bihar al-Anwar yang mencapai 110 jilid.
Jika Syi'ah memerangi sunah, lantas untuk apa semua ensiklopedia
hadis ini?
Atau, apa yang dimaksud dengan sunah olehnya?
Apakah yang dimaksud adalah riwayat-riwayat yang diriwayatkan oleh
Ahlus Sunnah di dalam kitab-kitab sahih mereka?
Jika benar, maka ini merupakan hujjah bagi mereka namun tidak bagi
Syi'ah.
Adapun perkataannya yang mengatakan, "Sesungguhnya sebagian
besar riwayat-riwayat dan perkataan-perkataan mereka mengarah menjauhi sunah
sebagaimana yang dikenal oleh kaum Muslimin..." adalah perkataan yang
aneh. Karena, jika mereka sejak awal sepakat dengan Ahlus Sunriah di dalam
hadis-hadis, baik dari segi sanad, matan, penerapan dan pemahaman, maka tentu
tidak ada alasan untuk berbeda dan berselisih. Syi'ah mengimani sunah
Rasulullah saw dan berpegang teguh kepadanya. Pemonopolian Ahlus Sunnah
terhadap sunah Rasulullah saw adalah sesuatu yang tidak adil.
Kemudian yang kedua, apakah Anda dan kaum Anda merupakan sumbu
agama, sehingga Anda berhak mengukur segala sesuatu dengan diri Anda?! Keadilan
manakah yang mengiyakan perkataan yang seperti ini.
b. Penyelewengannya terhadap kebenaran, dengan cara menukil
nas-nas yang dipotong, sehingga merubah arti. Pada akhir mukaddimahnya dia
mengatakan, "Saya bertekad untuk menukil huruf demi huruf, dengan tujuan
untuk menjaga objektifitas dan pentingnya ketelitian di dalam penukilan. Ini
merupakan keharusan metodelogi ilmiah di dalam menukil perkataan pihak
lawan."
Apakah tuan Doktor berpegang teguh kepada apa yang dikatakannya?
▪ Di dalam halaman 252, juz 2, di dalam perkataannya tentang
"melihat Allah" dia menyebutkan sebuah hadis dari Ibnu Babawaih
al-Qummi, dari Abi Bashir, dari Abi Abdillah as. Abi Bashir berkata, "Saya
berkata kepadanya, 'Beritahukan aku tentang Allah Azza Wajalla, apakah
orang-orang Mukmin akan melihat-Nya pada hari kiamat?'
Abi Abdillah as menjawab, 'Ya.'"
Dia menukil riwayat ini dari kitab at-Tawhid, halaman 117, namun
dia tidak menyebutkan riwayat secara sempurna, sehingga merubah arti sama
sekali. Berikut ini kami ketengahkan riwayat tersebut secara sempurna, dan
silahkan Anda sendiri menilai.
Abi Bashir berkata, "Saya berkata kepadanya, 'Beritahukan aku
tentang Allah Azza Wajalla, apakah orang-orang Mukmin akan melihat-Nya pada
hari kiamat?'
Abi Abdillah as menjawab, 'Ya. Bahkan mereka telah melihatNya
sebelum hari kiamat.'
Saya bertanya, 'Kapan?'
Abi Abdillah as menjawab, 'Ketika Allah SWT berkata kepada mereka,
'Bukankah Aku ini Tuhanmu.' Lalu mereka menjawab, 'Benar, Kamu adalah Tuhan
kami.'
Kemudian Imam as diam beberapa saat, lalu melanjutkan
perkataannya, 'Sesungguhnya orang-orang Mukmin pasti melihat Allah di dunia,
sebelum hari kiamat. Bukankah kamu sedang melihat-Nya pada waktu sekarang?'
Abi Bashir berkata, 'Saya menjadi tebusan Anda, apakah boleh saya
ceritakan tentang hal ini dari Anda.'
Abi Abdillah as menjawab, 'Tidak. Karena jika kamu
menceritakannya, maka pengingkar yang bodoh akan mengingkari makna yang kamu
katakan, dan akan menganggapnya bahwa itu tasybih (penyerupaan Allah dengan
makhluk-Nya). Padahal, penglihatan dengan hati bukanlah sebagaimana penglihatan
dengan mata. Mahasuci Allah dari apa-apa yang disifatkan oleh orang-orang yang
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan oleh orang-orang yang
mengingkariNya."'
Anda dapat melihat betapa perbedaan di antara arti yang pertama
dengan arti yang kedua. Bahkan, arti yang pertama, berdasarkan teks riwayat,
seluruhnya berasal dari ucapan para musyabbihin dan mulhidin.
Kenapa dia tidak menukil perkataan Imam Muhammad al-Baqir as
tatkala dia ditanya oleh seorang Khawarij. Orang khawarij berkata, "Wahai
Abu Ja'far, apa yang kamu sembah?"
Imam Muhammad al-Baqir as menjawab, "Allah."
Orang khawarij itu bertanya lagi, "Apakah kamu telah
melihat-Nya?"
Imam Muhammad al-Baqir as menjawab, "Tentu, akan tetapi bukan
dengan penglihatan mata, melainkan dengan hakikat iman. Dia tidak dikenal
melalui "qiyas, dan tidak dipahami melalui indera. Dia digambarkan melalui
ayat-ayat, dan dikenal melalui dalil-dalil. Tidak ada penyimpangan di dalam
hukum-Nya. Dia itulah Allah, yang tiada Tuhan selain Dia."[140]
▪ Salah satu bukti lain dari pemotongan riwayat yang dia lakukan
ialah perkataannya tentang kaifiyyah (keadaan) Allah. Dia menukil sebuah
riwayat dari kitab Bihar al-Anwar, yaitu
riwayat dari Abi Abdillah Ja'far ash-Shadiq yang mengatakan bahwa Imam Ja'far
ash-Shadiq as ditanya tentang Allah SWT, "Apakah Allah dapat dilihat pada
hari kiamat?"
Imam Ja'far ash-Shadiq as menjawab, "Mahasuci Allah dari yang
demikian itu. Dia Mahatinggi dan Mahabesar. Sesungguhnya penglihatan tidak
dapat menggapai sesuatu kecuali yang mempunyai warna dan kaifiyyah, sedangkan
Allah SWT adalah pencipta warna dan kaifiyyah."[141]
Nashir Abdullah al-Ghifari memberikan komentar mengenai hal ini,
"Tampak sekali bahwa hujjah yang digunakan oleh mereka, yang meletakkan
riwayat ini atas Ja'far, mengandung penafian wujud al-Hak. Karena sesuatu yang
secara mutlak tidak memiliki kaifiyyah tidak ada wujudnya."[142]
Pertama-tama, kita akan memberikan komentar atas kaidah yang dia katakan, dan
kemudian baru kita menyebutkan bukti pemotongan di dalam hadis.
Dia mengatakan, "Sesuatu yang secara mutlak tidak memiliki
kaifiyyah tidak ada wujudnya".
Dia menyebutkan kaidah ini —yang merupakan sebuah kaidah yang
aneh— sebagai lawan dari hadis Imam Ja'far ash-Shadiq as di atas. Sungguh, akal
yang tidak yang diterangi dengan riwayat Ahlul Bait, dan malah terdidik dengan
riwayat-riwayat Ka'ab al-Ahbar dan Wahab bin Manbah, tidak dapat memahami
hadis-hadis Ahlul Bait.
Apa yang dimaksud dengan kata-kata "secara mutlak"
olehnya. Apakah artinya sesuatu yang tidak memiliki kaifiyyah dari seluruh
magulat al-kaif (kategori keadaan)?
Jika yang dia maksud adalah ini, maka benar bahwa Allah SWT keluar
dari maqulat al-kaif. Dia tidak diliputi oleh pertanyaan di mana, arah mana
atau tempat apa. Barangsiapa yang mengatakan Allah SWT berbentuk dengan salah
satu kategori keadaan atau bentuk sebagaimana yang dikenal, maka dia telah
kafir, dan telah mensifati Allah dengan sifat-sifat materi. Karena kaifiyyah
(bentuk) adalah termasuk keharusan jisim dan keterbatasan, sedangkan Allah SWT
tidak terbatas dan bukan materi. Inilah kesalahan saudara penulis. Tatkala dia
membayangkan Allah SWT dengan bercorak dengan satu keadaan, maka ini kembali
kepada pemahamannya yang bersifat inderawi. Dia tidak mampu memahami sesuatu
kecuali dalam batas-batas inderawi, oleh karena itu dia mengingkari wujud
setiap maujud yang keluar dari kerangka kaif.
Atau, mungkin yang dimaksud olehnya adalah kaif yang keluar dari
maqulat al-kaif (kategori keadaan) yang sudah dikenal, maka ini tidak dinamakan
kaif, sehingga dengan begitu perkataannya tidak mengena.
Kemudian dia menyebutkan sebagian riwayat, untuk menguatkan
perkataannya dan sekaligus untuk membuktikan pertentangan yang terjadi di dalam
riwayat-riwayat Syi'ah. Dia berkata, "Sebagaimana hadis ini bertentangan
dengan hadis yang diriwayatkan oleh penulis al-Kafi, dari Abi Abdillah as yang
berkata, '... namun mau tidak mau kita harus membuktikan bahwa Dia mempunyai
kaifiyyah yang tidak layak atasnya selain dari-Nya, tidak ada yang bersekutu
dengan-Nya di dalamnya, tidak ada sesuatu selain Dia yang meliputinya, dan
tidak ada yang mengetahuinya selain Dia.'"[143]
Berikut ini kami nukilkan riwayat tersebut secara keseluruhan,
supaya terbukti bagi Anda sesuatu yang bertentangan dengan apa yang dia
katakan, Seorang penanya berkata, "Anda telah membatasi-Nya jika Anda
menetapkan wujud-Nya." Abu Abdillah as berkata, "Aku tidak membatasi-Nya
melainkan aku menetapkan-Nya. Karena tidak ada kedudukan di antara penafian dan
penetapan." Penanya bertanya lagi, "Apakah Dia mempunyai
esensi?" Abu Abdillah as menjawab, "Ya, karena tidak tertetapkan
sesuatu kecuali dengan esensi. Mau tidak mau kita harus keluar dari penghentian
(ta'thil) dan penyerupaan (tasybih). Karena barang siapa yang menafikan-Nya
maka berarti dia telah mengingkari-Nya dan meniadakan ke-rububiyyahan-Nya. Dan
barang siapa yang menyerupakan-Nya dengan sesuatu selain-Nya maka berarti dia telah
menetapkan-Nya dengan sifat-sifat makhluk yang tidak layak menyandang sifat
ketuhanan. Namun, mau tidak mau harus ditetapkan bahwa Dia mempunyai kaifiyyah
yang tidak layak atasnya selain dari-Nya, yang tidak ada yang bersekutu
dengan-Nya di dalamnya, yang tidak ada sesuatu selain-Nya yang meliputinya dan
tidak ada yang mengetahuinya selain-Nya."[144]
Baca dan renungilah makna yang dapat diambil dari riwayat ini.
Sungguh dia berbeda sama sekali dengan apa yang dikatakan oleh Nashir Abdullah
al-Ghifari yang mengatakan, "Sesuatu yang secara mutlak tidak mempunyai
kaifiyyah, berarti tidak ada wujudnya." Perkataan Imam kepada penanya yang
menanyakan "Apakah Dia mem-punyai kaifiyyati', dan Imam menjawab, "Tidak",
adalah merupakan jawaban atas kaidah yang dilandasi dengan hadis yang dipotong.
Kaifiyyah yang dimaksud dan diyakini oleh penulis adalah kaifiyyah yang
termasuk ke dalam sifat-sifat maudhu'. Imam as telah mensucikan Allah dari
sifat-sifat yang demikian dengan jawaban yang di-berikannya kepada penanya,
"Karena kaifiyyah adalah sisi sifat dan keterliputan." Yang demikian
ini tidak berlaku atas Allah SWT. Sedangkan kaifiyyah yang dikatakan oleh Imam
as pada akhir hadis, "kaifiyyah yang tidak ada yang berhak atasnya selain
dari-Nya, yang tidak ada sesuatu yang bersekutu dengan-Nya di dalamnya..."
adalah kaifiyyah yang kalau pun dinamakan dengan nama kaifiyyah, itu adalah
hanya semata-mata kiasan, disebabkan kekurangan kata-kata bahasa. Dan dia tidak
dinamakan dengan sebutan kaifiyyah kecuali semata-mata termasuk ke dalam bab
persekutuan kata (al-isytirak al-lafdzi), sehingga dia sama dari sisi kata
namun berbeda dari sisi arti.
Riwayat ini juga telah diriwayatkan oleh Ibnu Babawaih al-Qummi
dengan sanad dan matan yang sama, "... namun mau tidak mau harus
ditetapkan bahwa Dia adalah Zat yang tidak ber-kaifiyyah, yang tidak layak
atasnya selain dari-Nya, yang tidak ada yang bersekutu dengan-Nya di dalamnya,
yang tidak ada sesuatu selain Dia yang meliputinya, dan yang tidak ada yang
mengetahuinya selain Dia."[145]
Riwayat ini menghilangkan kesamaran dan menjelaskan seluruh yang
dimaksud. Yaitu menafikkan seluruh kaifiyyah. Karena menetapkan kaifiyyah untuk
Allah SWT adalah perbuatan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya).
Adapun yang dimaksud darinya ialah menetapkan seluruh sifat-sifat
kesempurnaan-Nya, dan itu adalah Zat-Nya itu sendiri.
2. Ihsan Ilahi Zahir.
Dia termasuk salah seorang penulis yang amat memusuhi Syi'ah. Dia
mempunyai sejumlah buku jawaban atas Syi'ah, dan saya mempunyai empat buku
darinya:
- Asy-Syi'ah wa as-Sunnah.
- Asy-Syi'ah wa Ahlul Bait.
- Asy-Syi'ah wa al-Qur'an.
- Asy-Syi'ah wa at-Tasyayyu'.
Dia telah menggunakan seluruh kemampuannya untuk menjawab dan menyerang
pemikiran-pemikiran Syi'ah. Alangkah indahnya jika sekiranya dia bersikap
bersih, jujur dan santun. Dia telah membuat kebohongan-kebohongan atas Syi'ah
sedemikian rupa sehingga menjadikan anak-anak menjadi beruban dan orang-orang
dewasa menjadi tua renta. Saya mengajak seluruh orang yang berakal lurus untuk
membaca buku-bukunya, lalu silahkan menilai metode yang digunakannya, kemudian
melihat kebohongan-kebohongannya, dan berikutnya menyaksikan pemalsuannya,
setelah sebelumnya terlebih dahulu merujuk kepada buku-buku Syi'ah yang
berbicara tentang topik pembahasan yang sama.
Di sini saya cukup kan
dengan menyebutkan beberapa bukti. Karena tidak diperlukan jawaban dan
pembahasan secara rinci. Sebelum saya menjeleskan berbagai pemalsuan yang
dilakukannya terhadap ke-benaran, terlebih dahulu saya akan memberikan dua
catatan singkat tentang cara penjelasan dan metode penyampaian pikiran yang
dilakukannya:
a. Catatan Pertama: Di dalam menjelaskan dan mengemukakan
keyakinan-keyakinan Syi'ah dia bertumpu kepada cara-cara yang tidak layak dan
dengan menggunakan judul-judul yang menjijikkan, sehingga dengan begitu dia
menciptakan tabir pemisah di antara pembaca dengan keyakinan-keyakinan Syi'ah.
Seharusnya dia mengikuti cara-cara yang sehat di dalam menjawab, yaitu dengan
pertama-tama menyebutkan keyakinan-keyakinan Syi'ah, lalu menyebutkan
dalil-dalil mereka serta menjawab dalil-dalil yang mereka kemukakan, dan
berikutnya kemudian berargumentasi atas keyakinan yang dimilikinya.
Sebagai contoh, dia mengatakan di dalam bukunya asy-Syi 'ah wa
as-Sunnah, halaman 53, di bawah judul "Masalah al-Bada", "Salah
satu dari pemikiran yang disebarkan oleh orang-orang Yahudi dan Abdullah bin
Saba ialah berlakunya al-bada, yaitu lupa dan kebodohan pada Allah SWT.
Mahatinggi Allah dari apa yang mereka katakan."
Kemudian, Dia menyebutkan riwayat-riwayat dari kitab-kitab Syi'ah
mengenai seputar al-bada, dengan tanpa menyebutkan dalil-dalil yang dikemukakan
Syi'ah tentang al-bada, baik yang berasal dari Al-Qur'an, riwayat-riwayat Bukhari
dan Muslim, perkataan-perkataan para ulama Ahlus Sunnah dan akal; dan dengan
tanpa menjelaskan bagaimana pemahaman Syi'ah tentang al-bada, melainkan dia
justru mendefenisikannya sendiri dengan menyebutnya sebagai "bodoh dan
lupa". Lalu, dengan berpijak kepada defenisi yang salah ini, dia mulai
memberikan penafsiran kepada riwayat-riwayat Syi'ah yang berbicara tentang
al-bada. Hal yang sama pun dia lakukan terhadap masalah tagiyyah. Dia
menyebutkannya di dalam halaman 127, di bawah judul "Syi'ah dan Kebohongan".
Dia memulai perkataannya, "Syi'ah dan kebohongan tidak ubahnya seperti dua
kata yang searti (sinonim), yang tidak ada perbedaan sedikit pun di antara
keduanya. Keduanya saling bertalian sejak hari pertama didirikannya mazhab ini.
Tidaklah permulaan mazhab ini melainkan dimulai dari kebohongan dan dengan
kebohongan..."
Sementara pada ayat
yang lain Al-Qur'an al-Karim menyebutnya secara makna,
"Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia
mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya
tetap tenang dalam beriman." (QS. an-Nahl: 106)
Tagiyyah, ialah berarti menyembunyikan keimanan dan menampakkan
kebalikannya, manakala seseorang mengkhawatirkan atas dirinya, hartanya dan
kehormatannya. Dan ini merupakan sesuatu yang tidak dipermasalahkan oleh
seorang Muslim pun. Karena orang yang dipaksa tidak dihisab atas sesuatu yang
dipaksakan atasnya. Bahkan terkadang seseorang wajib melakukan taqiyyah
manakala jika dia tidak melakukan taqiyyah hal itu akan membahayakan orang lain
atau membahayakan kepentingan agama. Hal ini sebagaimana yang telah dilakukan
oleh orang Mukmin keluarga Fir'aun. Karena, pada keadaan terpaksa hukum tidak
berlaku atas maudhu' (objek hukum).
Allah SWT berfirman, "Tetapi barangsiapa dalam keadaan
terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka
tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
penyayang." (QS. al-Baqarah: 173)
Apa yang disampaikan oleh Ihsan Ilahi Zahir dalam masalah ini
tidak lain hanyalah merupakan rekayasa dan tipu muslihat yang licik. Dia
menjelaskan tagiyyah dengan kebohongan, dan kemudian menganggapnya sebagai
sebuah kebenaran yang tidak diragukan. Ketika pengertian yang disampaikannya
ini tertanam di dalam benak pembaca, dengan segera dia membanjiri para pembaca
dengan riwayat-riwayat Syi'ah yang berbicara tentang taqiyyah.
Sehingga dengan demikian, pembaca meletakkan kata
"bohong" pada tempat kata "taqiyyah". Sehingga dengan
begitu pembaca akan keluar dengan makna-makna yang menjadikannya benci dari
segala sesuatu yang dikatakan Syi'ah.
Saya tidak sedang menolak atau membuktikan kebenaran apa yang
dikatakan oleh Syi'ah, karena dia —Ihsa Ilahi Zahir— bukan-lah seorang ahli
diskusi dan argumentasi. Dia tidak menyebutkan satu pun argumentasi yang
menentang, sehingga perlu untuk dijawab. Yang menjadi fokus perhatian kita
ialah hanya metode penyampaiannya saja.
b. Catatan Kedua: Tidaklah logis jika sekiranya Anda
memperolok-olok dan menghakimi keyakinan orang, hanya karena semata-mata
keyakinannya itu bertentangan dengan keyakinan-keyakinan Anda. Namun sungguh
amat disayangkan, itulah metode dia dan metode penulis-penulis lainnya. Mereka
mengatakan, segala sesuatu yang berbeda dengan kita adalah salah. Salat mereka
tidak sama dengan salat kita, puasa mereka berbeda dengan salat kita, dan zakat
mereka tidak sama dengan zakat kita.
Seolah-olah mereka adalah sumbu agama dan para pemimpin kaum
Muslimin, yang mau tidak mau segala sesuatu harus berputar di sekelilingnya.
Mereka melanggar kaidah yang mengatakan, "Kita senantiasa bersama dalil,
kami condong ke mana pun dalil condong."
Ini bertentangan dengan metode yang digunakan oleh Al-Qur'an di
dalam melakukan pembahasan dan dialog ilmiah, yang mengakui kedua belah pihak.
Allah SWT dan Rasul-Nya tahu bagaimana berbicara kepada orang-orang kafir dan
orang-orang musyrik.
Allah SWT berfirman, "Kami atau kamu (orang-orang musyrik),
pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. " (QS. Saba : 25)
Perhatikanlah perlakuan santun yang indah ini. Al-Qur'an tidak
mengatakan kepada mereka bahwa sesungguhnya kami berada dalam kebenaran
sedangkan kamu berada dalam kesesatan. Melainkan Al-Qur'an mengatakan, apakah
kami atau kamu berada dalam kebenaran atau kebatilan. Inilah metode al-Qur'an tatkala
menawarkan kebebasan berdialog kepada semua, "Katakanlah, 'Tunjukkanlah
bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.'" (QS. al-Baqarah:
111)
Rasulullah saw mendengarkan argumentasi-argumentasi mereka dan
menjawabnya dengan cara yang paling bagus. Al-Qur'an al-Karim telah merekam
contoh yang banyak, baik yang bersama Rasulullah saw maupun yang bersama para
Nabi sebelumnya. Di dalam kisah Ibrahim dan Namrud, serta Musa dan Fir'aun
terdapat sebaik-baiknya pelajaran. Allah SWT merekam hujjah dan argumentasi
orang-orang di dalam Al-Qur'an-Nya, dan Dia tetap memberikan kesucian kepada
ayat-ayat yang merekamnya sebagaimana kepada ayat-ayat lainnya. Seorang Muslim
tidak boleh menyentuhnya dengan tanpa wudu, berdasarkan fiqih Syi'ah.
Kemana Ihsan Ilahi Zahir dan orang-orang yang sepertinya dari
menggunakan metode Al-Qur'an yang indah ini. Dia bangga dengan dirinya dan
kelompoknya sambil mengatakan, "Kamilah para pembaca Al-Qur'an yang
membacanya sepanjang malam dan siang."[146]
Apa faedah orang yang membaca Al-Qur'an namun tidak mentadabburi
ayat-ayatnya, dan mengambil pelajaran yang dapat membukakan jalan baginya di
dalam kehidupan, serta bertanya kepadanya bagaimana memperlakukan orang lain
yang menentang dirinya di dalam masalah akidah dan mazhab. Sungguh benar Imam
Ali tatkala mengatakan, "Betapa banyak orang yang membaca Al-Qur'an namun
Al-Qur'an melaknatnya.
Contoh-Contoh Dari Pemalsuan Ihsan Ilahi Zahir
▪ Dia menukil di dalam kitabnya asy-Syi'ah wa Ahlul Bait, halaman
40, sebuah teks dari Imam Ali as di dalam kitab Nahjul Balaghah, untuk
membuktikan bahwa Imam Ali as mengakui syura dan tidak mengakui nas, dan bahwa
syura orang-orang Muhajir dan orang-orang Anshar adalah diridai oleh Allah,
serta kepemimpinan tidak dapat terlaksana dengan tanpa mereka. Ini merupakan
kesimpulan yang dia ambil dari teks Imam Ali as, dan sebagaimana yang Anda
ketahui ini jelas-jelas bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh Syi'ah.
Berikut ini teks yang menjadi tempat dia mengambil kesimpulan di atas,
"Adapun hak musyawarah hanyalah bagi kelompok Muhajirin dan
Anshar. Bila mereka telah sepakat memilih seseorang dan menamakannya sebagai
Imam, maka yang demikian itulah yang diridai Allah SWT. Dan bila setelah itu
ada orang yang keluar dari kesepakatan dengan tidak mengakuinya lalu
menimbulkan kekacauan, maka mereka itu akan memaksanya agar kembali. Dan bila
dia menolak, mereka pun akan memeranginya atas dasar penyimpangan dari jalan
kaum Mukmin, sementara Allah akan memusuhi selama dia berpaling."
Setelah saya merujuk kepada sumber rujukan, tampak jelas bahwa
laki-laki ini tidak jujur di dalam penukilannya. Dia hanya mengambil bagian
tengah perkataan yang diinginkannya dan meninggalkan bagian awal dan akhirnya,
sehingga dengan begitu dia memalsukan dan menyelewengkan kebenaran dan fakta.
Berikut ini teks yang berubah pemahamannya secara keseluruhan. Apa
yang dikatakan oleh Imam Ali as ini adalah termasuk bab memaksa lawan dengan
apa yang telah mereka paksakan untuk diri beliau. Ini merupakan kutipan surat Imam Ali as yang
ditujukan kepada Muawiyah,
"Sesungguhnya aku telah dibaiat oleh orang-orang yang
sebelumnya telah membaiat Abu Bakar, Umar dan Usman atas dasar yang sama
seperti rnereka itu. Maka tiada lagi pilihan lain bagi yang hadir, dan tiada
lagi hak menolak bagi yang tidak hadir. Adapun hak musyawarah hanyalah bagi
kelompok Muhajirin dan Anshar. Bila mereka telah sepakat memilih seseorang dan
menamakannya Imam, maka yang demikian itulah yang diridai Allah SWT. Dan bila
setelah itu ada orang yang keluar dari kesepakatan dengan tidak mengakuinya
lalu menimbulkan kekacauan, maka mereka itu akan memaksanya agar kembali. Dan
bila dia menolak, mereka pun akan memeranginya atas dasar penyimpangannya dari
jalan kaum Mukmin, sementara Allah akan memusuhinya selama dia berpaling.
Demi Allah, wahai Muawiyah, sekiranya Anda melihat dengan mata
hati, bukannya dengan hawa nafsu, niscaya akan Anda sadari bahwa aku adalah
yang paling tidak berdosa dalam soal pembunuhan terhadap Usman. Dan Anda pasti
akan merasa yakin bahwasannya aku berada jauh dari itu. Kecuali Anda memang
sengaja ingin melekatkan kejahatan pada seseorang yang tidak melakukannya. Maka
perbuatlah apa saja yang Anda ingin perbuat. Wassalam."[147]
Amirul Mukminin as berhujjah atas Muawiyah dengan hujjah yang sama
yang diajukan oleh Muawiyah dan para pengikutnya pada saat berhujjah mengenai
keabsahan kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Usman. Imam Ali as memaksa Muawiyah
dengan hujjah yang sama sebagaimana yang pernah diajukan oleh Muawiyah. Imam
Ali as berkata, Jika baiat para khalifah sebelumku itu sah, maka demikian pula
bait kepadaku. Manusia telah membaitku, dan tidak ada jalan bagi seseorang
untuk mengingkarinya setelah itu. Seseorang yang menyaksikan baiat tiada lagi
mempunyai hak untuk memilih, sebagaimana yang telah terjadi di dalam pembaiatan
Umar, setelah Abu Bakar menentukannya. Mereka tidak mempunyai hak memilih
setelah Abu Bakar menentukannya. Serta orang yang tidak hadir tidak bisa menolak,
sebagaimana Imam as tidak bisa menolak pembaiatan Abu Bakar di Saqifah. Karena
pembaiatan itu dilakukan secara tersembunyi. Inilah musyawarah sebagaimana yang
Anda dengung-dengungkan. Baik itu pada kepemimpinan Abu Bakar, Umar maupun
Usman. Itulah keridaan Allah sebagaimana yang Anda katakan. Maka tidak boleh
seseorang keluar dari kesepakatan itu, karena jika tidak maka mereka akan
memaksanya untuk kembali, sebagaimana yang telah mereka lakukan terhadap
orang-orang yang menahan zakat manakala mereka tidak mau membayarkan zakat
kepada Abu Bakar, karena dia bukan merupakan khalifah yang sah dalam pandangan
mereka. Kamu tidak mempunyai jalan untuk lari, wahai Muawiyah, karena
orang-orang telah sepakat membaiatku. Kecuali jika Anda memang sengaja ingin
melekatkan kejahatan kepada orang yang tidak melakukannya. Maka perbuat lah apa
saja yang Anda ingin perbuat.
Inilah arti yang dapat disimpulkan dari serangkaian kalimat di
atas, namun ini tidak sejalan dengan hawa nafsu Ihsan Ilahi Zahir.
▪ Dia menyebutkan di dalam bukunya sebuah hadis yang dinisbahkan
kepada Imam Hasan al-Askari yang berkata, "Sesungguhnya seseorang yang
membenci keluarga Muhammad, dan para sahabatnya yang baik-baik, atau salah
seorang dari mereka, niscaya Allah SWT akan mengazabnya dengan sebuah azab,
yang kalau sekiranya azab itu dibagi-bagi sebanyak bilangan makhluk Allah, maka
akan membinasakan seluruh mereka."[148]
Kemudian Ihsan Ilahi Zahir melanjutkan, "Oleh karena itu,
datuk besarnya, Ali bin Musa, yang dijuluki dengan sebutan arRidha -Imam yang
kedelapan di kalangan Syi'ah— manakala ditanya tentang sabda Rasulullah saw
yang berbunyi, "Sahabat-sahabatku laksana bintang gemintang, maka siapa
saja dari mereka yang kamu ikuti pasti kamu mendapat petunjuk", dan juga
tentang sabdanya yang berbunyi, "Seru para sahabatku untukku", dia
menjawab, "Ini benar."[149]
Dia ingin berargumentasi dengan hadis ini bahwa pandangan Ahlul
Bait terhadap sahabat adalah pandangan yang mengakui keadilan para sahabat
seluruhnya, sehingga dengan demikian Syi'ah tidak berhak mencela atau
mengkritik seorang pun dari mereka, karena yang demikian itu berarti
bertentangan dengan para Imam mereka.
Renungkanlah kebohongan yang jelas ini manakala saya nukilkan
kepada Anda seluruh teks hadis di atas,
"Perawi berkata, 'Ayahku berkata kepadaku, 'Seseorang telah
berkata, 'lmam Ali ar-Ridha telah ditanya tentang sabda Nabi saw yang berbunyi,
'Sahabat-sahabatku laksana bintang gemintang, maka siapa saja dari mereka yang
kamu ikuti pasti kamu mendapat petunjuk", dan juga sabdanya saw yang
berbunyi, 'Serulah para sahabatku untukku'. Imam ar-Ridha as menjawab, 'Hadis
ini benar. Yang Rasulullah saw maksudkan adalah mereka yang tidak berubah
sepeninggalnya.' Kemudian Imam ar-Ridha as ditanya lagi, 'Bagaimana Rasulullah
saw tahu bahwa mereka akan berubah?' Imam ar-Ridha as menjawab, 'Berdasarkan
apa yang telah mereka riwayatkan bahwa Nabi saw telah bersabda, 'Sekelompok
orang dari sahabatku akan diusir dari telagaku pada hari kiamat, sebagaimana
diusirnya sekelompok unta dari sumber air. Maka aku berkata, 'Ya Rabb,
sahabatku, sahabatku.' Lalu aku dijawab, 'Engkau tidak tahu apa yang telah
mereka lakukan setelah ketiadaanmu.' Maka mereka pun digiring ke arah utara.
Lalu aku mengatakan, 'Enyahlah, enyahlah mereka yang telah berubah setelah
ketiadaanku.'"[150]
Lihatlah pengkhianatan yang dia lakukan di dalam penukilan hadis,
bagaimana dia mengubah pengertiannya secara keseluruhan.
Bukankah saya telah katakan kepada Anda bahwa dia (Ihsan Ilahi
Zahir —penerj.) itu seorang pendusta?!
Perkataan Imam ar-Ridha as yang berbunyi "Berdasarkan apa
yang telah mereka riwayatkan", yang dimaksud olehnya adalah apa yang diriwayatkan
oleh para muhaddis dan para huffadz dari kalangan Ahlus Sunnah. Untuk
membuktikan kebenaran perkataan Imam ar-Ridha as saya nukilkan bagi Anda
beberapa riwayat yang terdapat di dalam Bukhari dan Muslim.
Bukhari meriwayatkan di dalam tafsir surat al-Maidah, bab
"Wahai Rasul, Sampaikan Apa Yang Telah Diturunkan Kepadamu", dan di
dalam tafsir surat al-Anbiya; sebagaimana juga diriwayatkan oleh Turmudzi di
dalam bab sifat-sifat kiamat, bab "apa yang terjadi ber-kenaan dengan
kebangkitan, dan juga tafsir surat Thaha, bahwa Rasulullah saw telah bersabda,
"Didatangkan sekelompok orang dari umatku, lalu mereka digiring ke arah
utara, maka aku berkata, 'Tuhanku, sahabatku, sahabatku', lalu dijawab, 'Engkau
tidak tahu apa yang telah mereka lakukan setelah ketiadaanmu.' Maka aku berkata
sebagaimana yang dikatakan oleh seorang hamba yang saleh, 'Saya menjadi saksi
atas mereka selama saya berada di tengah-tengah mereka, dan tatkala Engkau
wafatkan aku, maka Engkaulah pengawas atas mereka.' Kemudian dijawab, 'Sesungguhnya
mereka berbalik ke belakang (murtad) sejak engkau berpisah dari mereka."'
Bukhari meriwayatkan di dalam kitab "ad-Da'wat", bab
Haudh; serta Ibnu Majah di dalam kitab "al-Manasik", bab
"Khutbah Pada Hari Menyembelih Kurban", hadis nomer 5830; sebagaimana
juga Ahmad meriwayatkan di dalam musnadnya melalui berbagai jalan,
"Serombongan sahabatku mendatangiku di telaga. Hingga ketika
aku mengenali mereka, mereka dihilangkan dariku, maka aku pun berkata,
'Sahabatku'. Lalu dijawab, 'Kamu tidak tahu apa yang telah mereka lakukan
sepeninggalmu.'"
Di dalam Sahih Muslim, kitab al-Fadha'il, bab "Pembuktian
Telaga Nabi Kita", hadis 40, disebutkan, "Sekelompok orang yang telah
bersahabat denganku datang menemuiku di telaga. Hingga tatkala aku melihat
mereka, mereka pun dipisahkan dariku, lalu aku berseru, 'Ya Tuhan, sahabatku.'
Kemudian aku dijawab, 'Sesungguhnya kamu tidak tahu apa yang telah mereka
lakukan sepeninggalmu.'"
Bukhari juga meriwayatkan, "Aku akan mendahului kalian di
telaga haudh. Siapa yang berlalu dariku dia akan minum dan siapa yang telah
minum tidak akan dahaga untuk selama-lamanya. Kelak ada sekelompok orang yang
aku kenal dan mereka juga mengenalku datang kepadaku; kemudian mereka
dipisahkan dariku. Aku akan berkata, 'Sahabatku, sahabatku.' Lalu dijawab,
'Kamu tidak tahu apa yang telah mereka lakukan sepeninggalmu.' Dan aku pun
berkata, 'Enyahlah, enyahlah mereka yang telah berubah setelah
ketiadaanku.'"
Jika tidak khawatir akan keluar dari topik pembahasan, niscaya
saya akan berbicara secara panjang lebar tentang masalah ini.
Ya Ihsan Ilahi Zahir, jika Anda sanggup menjulurkan tangan Anda
untuk menyelewengkan apa-apa yang terdapat di dalam hadis-hadis Syi'ah, namun
Anda tidak akan bisa menyelewengkan apa-apa yang terdapat di dalam kitab-kitab
sahihmu.
▪ Pada halaman 66, dari buku yang sama, Ihsan Ilahi Zahir menukil
sebuah perkataan Imam Ali as dari kitab Nahjul Balaghah. Berikut ini apa yang
dikutipnya,
"Tinggalkanlah aku, dan pergilah kepada orang lain selainku.
Aku seperti salah seorang dari kamu. Mungkin aku akan mendengar dan mentaati
kepada orang yang kamu serahkan urusanmu kepadanya. Aku menjadi pembantu
(wazir) kamu, itu lebih baik bagimu dibandingkan aku menjadi pemimpinmu."
Ketika saya merujuk kepada sumber nas yang disebutkan, saya
menemukan rekayasa dan tipu daya yang dilakukannya. Karena dia hanya mengambil
permulaan dan akhir nas, dan membuang pertengahannya, sehingga dengan begitu
maknanya menjadi berubah. Berikut ini saya nukilkan bagi Anda bunyi nas secara
lengkap,
Imam Ali as berkata tatkala orang-orang hendak membaiatnya,
setelah terjadi peristiwa pembunuhan Usman,
"Tinggalkanlah aku, dan pergilah kepda orang lain selainku.
Kita sedang menghadapi suatu hal yang mempunyai (beberapa) wajah dan warna,
yang tidak ditanggung oleh hati dan tidak dapat diterima oleh akal. Awan sedang
menggelantung di langit dan wajah-wajah tidak dapat dibedakan. Kamu seharusnya
tahu bahwa apabila aku menyambutmu, aku akan memimpinmu sebagaimana yang aku
ketahui, dan tidak akan memusingkan apa pun yang mungkin dikatakan dan
dicercakan orang. Apabila kamu meninggalkan aku, maka aku akan menjadi seperti
salah seorang dari kalian. Mungkin aku akan mendengar dan mentaati kepada orang
yang kamu serahkan urusanmu kepadanya. Akan akan menjadi pembantu (wazir) kamu,
itu lebih baik bagimu dibandikan aku menjadi pemimpinmu."[151]
Lihatlah nas yang telah dibuangnya. Betapa maknanya menjadi
berubah sama sekali dengan tanpa mencantumkannya. Perbuatan yang demikian ini,
disebut apa, wahai Ihsan?! Siapa yang telah berdusta atas Ahlul Bait?!
Yang termasuk kebohongan bukan hanya Anda mengatakan sesuatu lalu
Anda menisbahkannya kepada orang yang tidak mengatakannya, melainkan juga
termasuk kebohongan manakala Anda menyelewengkan maksud perkata seseorang lalu
Anda menisbahkannya kepada orang itu.
Subhanallah, Amirul Mukminin as telah tahu bahwa mereka tidak
teguh di dalam baiatnya, dan kelak mereka akan berbalik darinya dan
memeranginya pada perang Jamal, Shiffin dan Nahrawan, serta akan berhujjah
kepadanya dengan beribu-ribu macam pembenaran dan alasan. Oleh karena itu,
Amirul Mukminin as mendirikan hujjah atas mereka, dan memberitahukan kepada
mereka tentang jalan yang akan ditempuhnya di dalam masalah hukum. Yaitu jalan
kebenaran. Dan kebenaran itu pahit dan sulit, "Dan kebanyakan dari mereka
tidak menyukai kebenaran."
Telah terbukti apa yang telah dikatakannya, namun saya tidak
mengharapkan tindakan pembelotan dan pembenaran ini terus ber-langsung hingga
sekarang, di mana mereka menyelewengkan ucapan-ucapannya.
Saya akhiri dengan (menyebutkan) pemalsuan dan penyelewengan ini.
Saya persilahkan kepada pembaca untuk memberikan komentar. Saya cukupkan sampai
di sini, karena jika saya terus menyebutkan contoh-contoh pemalsuan dan
penyelewengan yang dia lakukan, niscaya akan banyak memakan waktu. Secara
singkat dapat saya katakan bahwa orang ini tidaklah jujur, bahkan kepada
dirinya sendiri. Perbuatannya ini didorong oleh rasa permusuhannya yang sangat
kepada Ahlul Bait dan para pengikutnya. Karena jika tidak, maka untuk apa semua
kesewenang-wenangan yang mencolok ini? Apakah dia ingin membuktikan kebenaran
yang dihilangkan, kepada manusia? Sementara dia mengikuti kebatilan dan
pemalsuan sebagai alat dan tujuan?!
Di dalam bukunya yang berjudul asy-Syi'ah wa Ahlul Bait, halaman
67, Ihsan Ilahi Zahir berkata, "Ath Thabrasi juga menukil dari Imam
Muhammad a-Baqir yang menegaskan bahwa Ali membenarkan kekhilafahannya (Abu
Bakar), mengakui kepemimpinannya (Abu Bakar), dan berbait kepada
pemerintahannya (Abu Bakar." Sebagaimana juga dia menyebutkan bahwa
tatkala Usamah bin Zaid, kekasih Rasulullah saw, hendak keluar meninggalkan
Madinah, Rasulullah saw meninggal dunia. Ketika surat sampai kepada Usamah,
maka Usamah pun bergerak bersama pasukan yang menyertainya masuk ke kota
Madinah. Ketika dia melihat orang-orang sepakat terhadap kekhilafahan Abu
Bakar, dia pun pergi ke Ali bin Abi Thalib dan berkata, 'Apa ini?' Ali
menjawab, 'lni adalah sebagaimana yang kamu lihat' Usamah bertanya, 'Apakah
kamu telah berbaiat kepadanya?' Ali menjawab, 'Sudah.'"
Dia telah menukil peristiwa ini dari kitab al-Ihtijaj, karya
ath-Thabrasi. Berikut ini saya ketengahkan kepada Anda bunyi teks secara
lengkap dari sumber di atas,
"Diriwayatkan dari al-Baqir as, bahwa Umar bin Khattab berkata
kepada Abu Bakar, 'Tulis kepada Usamah supaya dia datang menghadapmu. Karena
dengan kedatangannya itu akan terputuslah keburukan dari kita. Maka Abu Bakar
pun menulis surat kepadanya,
'Dari Abu Bakar, khalifah Rasulullah saw, kepada Usamah bin Zaid.
Amma ba'du,
Perhatikanlah, jika sudah sampai suratku kepadamu, maka datanglah
kepadaku beserta pasukan yang bersamamu. Karena sesungguhnya kaum Muslimin
telah sepakat atasku dan telah menyerahkan urusan kepemimpinan mereka kepadaku.
Jangan kamu tidak datang, karena itu berarti kamu membangkang, dan akan menimpa
kepadamu sesuatu yang tidak kamu sukai. Wassalam.'
Perawi melanjutkan riwayatnya, 'Maka Usamah pun menulis surat
jawaban kepada Abu Bakar sebagai berikut,
'Dari Usamah bin Zaid, petugas Rasulullah saw pada peperangan
Syam. Amma ba'du,
Telah sampai kepadaku surat darimu, yang mana bagian awalnya
bertentangan dengan bagian akhirnya. Pada bagian awal engkau mengatakan bahwa
engkau adalah khalifah Rasulullah, sedangkan pada bagian akhirnya engkau
mengatakan bahwa kaum Muslimin telah sepakat atas engkau dan mereka telah
menyerahkan urusan kepemimpinan mereka kepadamu, serta telah meridaimu.
Ketahuilah, sesungguhnya aku dan orang-orang yang bersamaku dari jamaah kaum
Muslimin dan Anshar, demi Allah, tidak meridaimu dan tidak menyerahkan urusan
kepemimpinan kami kepadamu. Ingatlah, engkau harus mengembalikan hak kepada
pemiliknya dan harus melepaskannya kepada mereka. Karena sesungguhnya mereka
jauh lebih berhak atas urusan ini dibandingkan engkau. Engkau telah mengetahui
apa yang telah dikatakan oleh Rasulullah saw tentang Ali pada hari al-Ghadir.
Belum terlalu lama waktu berlalu namun engkau telah melupakannya. Lihatlah
kedudukanmu, dan janganlah kamu menentang, karena yang demikian itu berarti
kamu telah membangkang kepada Allah dan Rasul-Nya, dan membangkang orang yang
telah diangkat oleh Rasulullah saw sebagai khalifah atasmu dan atas sahabatmu.
Aku belum diturunkan dari jabatanku hingga Rasulullah saw meninggal dunia,
sementara kamu dan sahabatmu —Umar— pulang dan membangkang, serta tinggal di
Madinah dengan tanpa ijin.'"
Abu Bakar bermaksud melepaskan kekhilafahan dari pundaknya. Perawi
berkata, "Maka Umar berkata kepadanya, 'Jangan kamu lakukan, karena
sesungguhnya pakaian ini adalah pakaian yang Allah kenakan kepadamu. Jangan
engkau melepasnya, nanti kamu akan menyesal.'" Umar mendesaknya untuk
menulis banyak surat kepada Usamah, dan mendatangi si fulan si fulan supaya
mereka menulis surat kepada Usamah, agar tidak memecah belah jamaah kaum
Muslimin, dan supaya Usamah masuk bersama mereka kepada apa yang telah mereka
perbuat.
Perawi berkata, "Maka Abu Bakar menulis surat kepadanya dan
begitu juga sekelompok orang dari orang-orang munafik, 'Hendaknya kamu rida
dengan apa yang telah kami bersepakat atasnya, dan janganlah kamu meliputi kaum
Muslimin dengan fitnah yang berasal darimu."' Perawi menuturkan lebih
lanjut, "Ketika surat-surat datang kepada Usamah, maka Usamah bergerak
memasuki kota Madinah dengan pasukan yang menyertainya. Ketika dia melihat
manusia bersepakat atas Abu Bakar, maka dia pun bertolak kepada Ali bin Abi
Thalib as dan bertanya kepadanya, 'Apa ini?' Ali menjawab, 'lni adalah
sebagaimana yang kamu lihat.' Usamah bertanya lagi kepada Ali, 'Apakah kamu
telah berbaiat kepadanya?' Ali menjawab, 'Ya, wahai Usamah.' Usamah bertanya
lagi, 'Karena taat atau karena terpaksa?' Ali menjawab, 'Karena
terpaksa.'"
Perawi melanjutkan, "Maka Usamah pun berangkat dan datang
menemui Abu Bakar seraya berkata kepadanya, 'Salam atasmu, wahai khalifah kaum
Muslimin.' Dengan serta merta Abu Bakar menjawab kepadanya, 'Salam atasmu,
wahai komandan.'"[152]
Kita tidak akan mengatakan lebih banyak kepadanya dari apa yang
telah dikatakan oleh Allah SWT di dalam Kitab-Nya yang mulia,
"Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan dusta
terhadap Allah? Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata bagi
mereka." (QS. al-Baqarah: 50)
"Tetapi karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka,
dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merubah perkataan Allah
dari tempat-tempatnya, dan mereka sengaja melupakan sebagian dari apa yang
mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan
melihat pengkhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak
berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS. al-Maidah: 13)
3. Kitab Tabdid azh-Zhalam wa Tanbih an-Niyam ila Khathar
at-Tasyayyu' 'ala al-Muslimin wa al-Islam, Karya Ibnu Jabhan.
Saya belum melihat sebuah kitab yang lebih besar permusuhannya
kepada Ahlul Bait dan para syi'ahnya dibandingkan kitab ini. Dia telah
membulatkan tekadnya untuk mencaci maki mereka dan membuat
kebohongan-kebohongan atas mereka, dengan tanpa adanya objektifitas di dalam
diskusi dan dialog. Seluruh yang berasal darinya adalah tidak lain berisi
pengkafiran, pengfasikan dan pemberangusan terhadap pendapat-pendapat orang
lain. Orang yang membaca bukunya akan mendapati saya amat lapang dada.
Saya yakin dia tidak menginginkan dari kitabnya ini selain dari
ingin menyulut fitnah di antara kalangan Syi'ah dan Ahlus Sunnah, serta memecah
belah barisan kaum Muslimin dengan berbagai macam cara, supaya bertambah bala
dan kelemahan yang menimpa mereka. Alangkah bagusnya jika bukunya ini
dikirimkan kepada musuh-musuh Islam dan kaum Muslimin, yaitu negara Israel.
Di samping dia seseorang yang lebih bodoh untuk bisa diajak
berdiskusi, karena tidak ada satu dalil pun yang dikemukakannya, bukunya ini
tidak lebih hanya berupa kumpulan kebohongan dan rekayasa atas Ahlul Bait dan
para pengikutnya. Dia menafikan seluruh keutamaan yang datang berkenaan dengan
mereka, dan mengingkari ayat-ayat dan hadis-hadis yang dengan jelas menunjukkan
wajibnya berpegang teguh kepada mereka.
Berikut ini beberapa contoh dari cara-cara yang dia gunakan di
dalam mendaifkan hadis-hadis yang menyebutkan keutamaan-keutamaan Ahlul Bait:
a. Setelah menyebutkan sekumpulan hadis dia mengatakan, "Kami
menolaknya dan kami menolak monster kemanusiaan yang bergantung padanya."[153]
a.1. Hadis pertama, "Perumpamaan Ahlul Baitku di sisimu tidak
ubahnya seperti pintu pengampunan. Siapa saja yang memasukinya akan aman."
"Perumpamaan Ahlul Baitku di sisimu tidak ubahnya seperti bahtera Nuh.
Siapa saja yang berpegang kepadanya akan selamat dan siapa saja yang tertinggal
darinya akan tenggelam."
Dia mendhaifkan hadis ini dengan selemah-lemahnya argumentasi. Dia
mengatakan, "Hadis ini mengharuskan bahwa keselamatan dan keamanan
terletak di dalam berpegang kepada Ahlul Bait, dan kecelakaan serta kemusnahan
terletak di dalam ketertinggalan dari mereka. Yang demikian ini tidak
dibolehkan berdasarkan ucapan Al-Qur'an. Karena Al-Qur'an tidak mensyaratkan
untuk keselamatan kecuali dengan beriman kepada Allah dan beramal saleh, dan
tidak memperingatkan kehancuran kecuali atas kekufuran dan melaksanakan
perbuatan maksiat; serta tidak ada satu pun ayat di dalam Kitab Allah yang
bertentangan dengan ucapan kita ini."[154]
Saya katakan, "Namun, apa hubungannya perkataan Anda dengan
hadis ini. Karena pembuktian sesuatu tidak menafikan selainnya. Ini yang
pertama.
Yang kedua, seluruh Al-Qur'an menentang ucapan Anda. Al-Qur'an
yang ada di tangan Anda ini memerintahkan kita untuk berpegang kepada para nabi
dan para rasul, dan menetapkan kekufuran orang yang tidak berpegang kepada
mereka, "Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa
saja yang kamu dilarang olehnya maka jauhilah." Demikian juga Al-Qur'an
memerintahkan kita untuk berpegang kepada para wali, "Taatilah Allah, dan
taatilah Rasul serta ulil amri dari kamu." Perintah di dalam ayat ini
dengan jelas menunjukkan kepada wajib, maka dengan demikian wajib hukumnya berpegang
kepada mereka. Allah SWT juga telah mewajibkan kepada kita untuk berpegang
kepada orang-orang Mukmin dan mengikuti jalan mereka.
Allah SWT berfirman, "Dan barangsiapa yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
Mukmin, Kami biarkan dia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya
itu, dan Kami masukkan dia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya
tempat kembali." (QS. an-Nisa: 115)
Maka, tidak berpegang teguh kepada mereka berarti kehancuran.
Namun amat disayangkan, Ibnu Jabhan tidak merujuk kepada Kitab Allah sehingga
dia tahu bagaimana perbuatan masuk pintu bagi Bani Israil merupakan pengampunan
bagi dosa-dosa mereka, "Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan
makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak di mana yang kamu sukai, dan
masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud, dan kata-kanlah, 'Bebaskanlah kami
dari dosa', niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu. Dan kelak Kami akan
menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS.
al-Baqarah: 58)
Kemudian dia berdalih, "Oleh karena Syi'ah merupakan produk
kebohongan, maka mereka pun memberi warna pensucian dan pengagungan terhadap
kebohongan, dan menamakannya bukan dengan namanya, melainkan dengan menggunakan
kata "taqiyyah" untuk menyebutnya.."
Demi Allah, saya bertanya kepada Anda, hai Ihsan Ilahi Zahir, cara
apakah ini yang Anda gunakan di dalam pembahasan ilmiah ini. Ini tidak lain
semata-mata hanya penyerangan dan pengolok-olokkan. Bagaimana bisa dia
menafsirkan tagiyyah dengan kebohongan? Padahal Al-Qur'an sendiri telah
menggunakan kata ini. Allah SWT berfirman,
"Janganlah orang-orang Mukmin mengambil orang-orang kafir
menjadi pemimpin dengan meninggalkan orang-orang Mukmin. Barangsiapa berbuat demikian,
niscaya lepaslah dia dari pertolongan Allah, kecuali karena siasat memelihara
diri (taqiyyah) dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. " (QS. Ali Imran:
28).
Ibnu Jabhan bukan
tidak mengetahui hal itu, namun rasa permusuhan dan kebenciannya yang sangat
kepada Ahlul Bait telah mendorongnya melakukan demikian. Kita akan tambahkan
kemarahannya dengan firman Allah SWT yang berbunyi,
"Katakanlah, 'Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun
atas apa yang aku sampaikan kecuali kecintaan kepada keluargaku.'" (QS.
asy-Syura: 23)
Dia berargumentasi, "Kenapa kita harus mengikuti Ahlul Bait.
Apakah mereka mempunyai ilmu yang belum disampaikan oleh Rasulullah saw kepada
kaum Muslimin seluruhnya. Sesungguhnya keyakinan yang seperti itu berarti
menuduh Rasulullah saw telah melakukan pilih kasih dan menyembunyikan risalah.
Selama agama telah sempurna, maka apalagi yang dibutuhkan dari
Ahlul Bait?"
Lihatlah oleh Anda ketololan argumentasi ini. Jika penyampaian dan
penjelasan hukum-hukum agama kepada sebagian orang tanpa sebagian orang yang
lain berarti tindakan pilih kasih, maka berarti Rasulullah saw —yang merupakan
Rasul Allah bagi seluruh manusia— harus menyampaikan sendiri risalahnya kepada
seluruh manusia seorang demi seorang, atau paling tidak kepada mereka yang
hidup sezaman dengannya. Yang demikian ini tentu tidak akan dikatakan oleh
seorang yang berakal. Di samping urusan ini tidak termasuk ke dalam kerangka
tabligh.
Ahlul Bait memiliki sifat-sifat yang menjadikan mereka mempunyai
kelayakan atas kepemimpinan umat. Sudah merupakan sesuatu yang jelas bahwa
manusia berbeda-beda di dalam tingkat pemahaman dan penguasaan mereka, dan juga
berbeda-beda di dalam tingkat keimanan mereka. Rasulullah saw telah
menyampaikan ajarannya bagi seluruh manusia, namun Ahlul Bait adalah manusia
yang paling dahulu keimanannya, paling banyak jihadnya dan paling utama
ketakwaan dan kewarakannya. Oleh karena itu Allah SWT mensucikan mereka dari
segala dosa di dalam Kitab-Nya.
Lantas, kedengkian apakah ini, wahai Ibnu Jabhan?!
Jika kesempurnaan agama menafikan kebutuhan manusia, maka kenapa
kita membutuhkan sahabat dan salaf saleh dan mengikuti mereka?!
Dengan dalil-dalil yang bodoh ini Ibnu Jabhan menolak hadis ini.
a.2. Hadis kedua: "Saya tinggalkan padamu dua benda yang
sangat berharga, yaitu Kitab Allah dan 'itrahku."
Dia mengatakan, "Hadis ini telah diselewengkan, yang benar
adalah 'Kitab Allah dan sunahku'. Kalau pun seumpama hadis ini tidak
diselewengkan, lantas siapa yang dimaksud dengan 'itrah yang diisyaratkan di
dalam hadis ini."[155]
Dengan sangat mudah dia menolak hadis "Kitab Allah dan
'itrahku".
Pembahasan mengenai hal ini telah kita lakukan pada permulaan
buku.
Sudah merupakan sesuatu jelas, sebagaimana yang dikatakan oleh
para ulama ilmu ushul, bahwa qadhiyyah (proposisi) tidak menetapkan
maudhu'-nya. Hadis ini sedang dalam tataran menetapkan garis umum gadhiyyah,
yaitu wajibnya berpegang teguh kepada Kitab Allah dan 'itrah Ahlul Bait. Adapun
pembicaraan mengenai apa itu Kitab Allah dan siapa itu 'itrah Ahlul Bait, tidak
dapat diketahui dari hadis ini. Maka oleh karena itu diperlukan dalil lain,
yang akan menjelaskan siapa keduanya yang dimaksud.
Bagaimana dia mengkritik hadis ini dengan mengatakan, "Siapa
Ahlul Bait itu?!"
Pertanyaan ini seharusnya dia ajukan kepada Rasulullah saw.
a.3. Hadis ketiga: "Hai Ali, tidak mencintaimu kecuali orang
Mukmin dan tidak membencimu kecuali orang munafik."
Ibnu Jabhan berkata, "Hadis ini maudhu' (palsu) dan sama
sekali tidak benar. Karena kecintaan kepada selain Allah dan Rasul-Nya tidak
bisa menjadi ukuran bagi keimanan. Karena kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya
pasti mengharuskan kecintaan kepada orang-orang saleh, dan tidak akan terlepas
darinya."
Pertama, kenapa dia mengecualikan Rasulullah saw? Jika yang
menjadi ukuran ialah istitba' (hubungan keharusan), maka kecintaan kepada Allah
mengharuskan juga kecintaan kepada Rasul-Nya dan hamba-hamba-Nya yang saleh.
Kedua, jika kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya mengharuskan
kecintaan kepada orang-orang saleh, maka kecintaan kepada orang-orang saleh
juga mengharuskan kecintaan kepada Rasul-Nya dan kecintaan kepada Allah. Ini
membuktikan kebenaran hadis ini. Karena hadis ini sedang menjelaskan bagaimana
mengetahui orang munafik. Karena orang yang menampakan keimanan kepada Allah
dan Rasul-Nya tidak dapat mengumumkan ketidak-cintaannya kepada Allah dan
Rasul-Nya, karena jika tidak maka tentu dia tidak disebut orang munafik, namun
dia bisa mengumumkan kebenciannya kepada siapa saja yang lain. Dan oleh karena
Imam Ali as termasuk ke dalam kelompok orang yang saleh, maka siapa saja yang
membencinya —berdasarkan hukum keharusan (istiba')— berarti dia membenci Allah
dan Rasul-Nya. Sehingga dengan demikian hadis ini memberikan jikuran yang
akurat di dalam mengenal orang-orang munafik.
Ketiga, jika yang menjadi slogan Anda ialah bahwa kecintaan dan
kebencian bukan ukuran bagi keimanan dan keyakinan, lantas kenapa Anda
mengkafirkan Syi'ah, kalau bukan karena kebencian mereka terhadap sebagian
sahabat —sebagaimana persangkaan Anda?!
Kenapa Anda mencintai mereka dan mencintai salaf saleh, padahal di
antara mereka ada yang dari kalangan Bani Umayyah dan Bani Abbas, dan Anda
berjuang membela dan mempertahankan mereka?!
Bukankah Anda mengharapkan pahala dari yang demikian itu?!
Jika jawabannya tidak, maka seluruh perkataan Anda sia-sia dan
hanya menghabiskan waktu.
a.4. Hadis keempat: "Saya adalah kota ilmu dan Ali adalah
pintunya."
Ibnu Jabhan berkata, "Sesungguhnya bunyi teks hadis
menunjukkan kebodohannya dan kebodohan orang yang menisbahkannya kepada
Rasulullah saw. Karena jelas sekali ketidak-cocokkan antara kata
"kota" dengan kata "ilmu", dan tidak ada keserasian sama
sekali antara pemahaman kedua kata tersebut dengan lafazh keduanya. Jika dia
mengatakan, 'Saya adalah lautan ilmu dan Ali adalah pantainya', maka itu jauh
lebih layak."
Dia melanjutkan argumentasinya, "Kenapa Rasulullah saw
menjadikan ilmu ini berada di sebuah kota dan menjadikan kuncinya berada di
tangan Ali? Kenapa Rasulullah tidak menjadikan kota tersebut untuk umum dengan
tanpa pintu, sehingga memudahkan setiap orang memasukinya dari arah mana saja
yang mereka kehendaki?"
Inilah tingkat keilmuannya dan batas akhir argumentasinya. Yaitu
dia berargumentasi dengan adanya kontradiksi di antara kata "kota"
dan kata "ilmu". Hadis di atas secara khusus tidak sedang
mendefinisikan ilmu, sehingga harus mengatakan "laut".
Melainkan hadis di atas hendak menjelaskan hubungan antara ilmu
dengan Ali as. Yang menjadi perhatian hadis ini ialah hubungan secara umum di
antara keduanya, maka perumpamaan kota lebih jelas disebabkan tidak dapatnya
seseorang memasukinya kecuali melalui pintunya.
Adapun perkataan Ibnu Jabhan yang menyebutkan, "Kenapa
Rasulullah saw tidak menjadikan kota itu untuk umum dengan tanpa pintu, sehingga
memudahkan setiap orang untuk memasukinya dari arah mana saja yang mereka
kehendaki", maka jawabannya cukup dengan firman Allah SWT yang berbunyi,
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu
tidak mengetahui." (QS. an-Nahl: 43)
Inilah metode yang digunakannya, yang menunjukkan kepada
permusuhannya yang sangat kepada Rasulullah saw dan 'ltrah Ahlul Baitnya yang
suci. Dengan pemikiran yang dangkal ini dan dengan dalil-dalil yang lucu, dia
berusaha menafikan keutamaan-keutamaan Ahlul Bait, dan sebaliknya dia
mensahihkan seluruh riwayat yang lemah dan hadis-hadis yang tertolak, baik dari
sisi matan dan sanad, hanya karena hadis-hadis tersebut menetapkan keutamaan
salah seorang salaf.
Wahai para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, apakah Anda menerima
orang yang seperti ini sebagai salah seorang ulama dari Anda, yang membela Anda
dan mengakui mewakili Anda. Jika "iya", maka salam atas Ahlus Sunnah
Wal Jamaah. Dan jika tidak, maka kenapa Anda tidak memprotes dan
menghentikannya. Buku yang ada di tangan saya ini merupakan cetakan ketiga.
Mungkin saja buku ini telah dicetak berpuluh-puluh kali. Maka oleh karena itu,
hentikanlah!
Sangat disayangkan sekali pada buku tersebut tertulis kata-kata
"Buku ini dicetak dengan ijin dari kepala kantor pengkajian ilmiah,
pemberian fatwa, dakwah dan penerangan".
Subhanallah, sebuah nama yang bertentangan sama sekali dengan buku
ini. Pengkajian ilmiah apa, padahal dia tidak mengkaji isi buku ini sendiri.
Jika tidak, maka dinisbahkan juga kepadanya apa yang telah dinisbahkan kepada
penulisnya, yaitu berupa kebodohan, sedikitnya pemahaman, penyelewengan dan
pemalsuan kebenaran. Karena pengakuan terhadap sesuatu berarti pembenaran
terhadapnya.
Dakwah apa, dan penerangan apa?!
Kecuali jika dakwah tersebut dakwah kepada perpecahan dan
perselisihan, dan penerangan kepada pertentangan-pertentangan yang mendatangkan
cela ini. Sampai kapan paham Wahabi akan hidup di dalam pertentangan ini.
Ketika Dr. Turabi mendhaifkan hadis "lalat" dengan dalil-dalil yang
logis dan argumentasi-argumentasi yang ilmiah, dengan serta merta mereka
menghunuskan pedang terhadapnya dan memfatwakan kekafirannya. Namun tatkala
Ibnu Jabhan mendhaifkan berpuluh-puluh hadis sahih dan mutawatir di sisi Anda,
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang demikian itu tidak mengusik
ketenangan mereka!
b. Contoh-Contoh Kebohongan Yang Dibuatnya Atas Syi'ah:
b.1. Dia berkata pada halaman 494 dari bukunya, "Sebagai
tambahan dari itu, bahwa azan mereka berbeda dengan azan kita, salat mereka
berbeda dengan salat kita, puasa mereka berbeda dari puasa kita, dan mereka
tidak mengakui zakat dan para mustahik-nya."
b.2. Dia berkata pada halaman 495 dari bukunya, "Mereka
meyakini bahwa mereka tidak akan disiksa karena dosa besar dan dosa kecil
mereka. Mereka mengatakan bahwa orang selain mereka akan kekal di dalam neraka.
Kemudian, mereka membolehkan meminjamkan kemaluan wanita, mereka menggugurkan
salat Jumat, salat berjamaah dan hudud, dengan alasan ghaibnya Imam. Mereka
menamakan umat Muhammad sebagai umat yang terkutuk. Serta mereka meyakini bahwa
melaknat sahabat dan para Ummul Muk-minin sebagai sebesar-besarnya pendekatan
kepada Allah."
b.3. Dia menyebutkan di dalam halaman 222, "Mungkin para
pembaca yang mulia tidak akan percaya bahwa menikahi ibu dalam pandangan mereka
adalah termasuk berbuat kebajikan kepada orang tua, dan merupakan
sebesar-besarnya pendekatan kepada Allah."
b.4. Dia juga menyebutkan, "Orang Syi'ah menyodorkan
tangannya mengajak Anda bersalaman, namun itu dilakukannya untuk membuat Anda
lengah sementara dia memasukkan tangan yang satunya lagi ke dalam kantong
Anda."
b.5. Pada halaman 58 dia mengatakan, "Orang Syi'ah mengatakan
bahwa setiap anak yang dilahirkan pada hari-hari Asyura, maka dia itu sayyid.
Demikian juga setiap anak yang dikandung oleh ibunya pada hari-hari Asyura maka
dia itu sayyid, meskipun kandungan itu berasal dari hubungan yang tidak
sah." Bahkan, dia tidak cukup sampai di sini. Dia memanjangkan lidahnya
terhadap Imam Ja'far ash-Shadiq as, putra Rasulullah saw, yang diyakini oleh
sekelompok kaum Muslimin sebagai Imam yang maksum, sementara sekelompok kaum
Muslimin yang lain meyakininya sebagai kampiun ilmu dan ulama. Para Imam mazhab
yang empat telah berhutang kepadanya dengan keutamaan-keutamaannya.
Sejarah belum pernah menyebutkan kepada kita ada orang yang
mencelanya, meskipun dari kalangan orang-orang yang memusuhinya. Hingga datang
Ibnu Jabhan berkata tentangnya, "Sesungguhnya perkataan Ja'far yang
berbunyi 'Barangsiapa yang menginginkan dunia maka dunia tidak akan memuaskanmu
dan barangsiapa yang menginginkan akhirat maka akhirat tidak akan menjagamu’
adalah perkataan orang yang unggul di dalam cara-cara bersilat lidah dan orang
yang terampil memainkan teknik-teknik Dajjal. Jika perkataan yang berbunyi
'manusia mengikuti agama rajanya' itu benar, maka tentu benar pula perkataan
yang berbunyi 'manusia mengikuti agama imam mereka'. Oleh karena Anda adalah
duplikat yang sesuai dengan aslinya (yaitu Ja'far), yang Anda akui sebagai
pendiri besar seluruh keyakinan-keyakinan Anda."[156]
Lihatlah, sejauh mana kebencian dan permusuhan dia kepada Ahlul
Bait Rasulullah.
b.6. Cara ini bukan merupakan hasil ciptaan Ibnu Jabhan.
Sebelumnya, Ustaznya pun telah mendahuluinya dengan cara-cara yang seperti ini,
yaitu pendiri ajaran Wahabi, Muhammad bin Abdul Wahab. Di dalam sebuah
risalahnya yang berjudul fi ar-Radd 'ala ar-Rafidhah, halaman 34 dia
mengatakan, "Mereka membolehkan nikah mut'ah, dan bahkan menjadikannya
lebih baik dari tujuh puluh kali nikah permanen. Syeikh mereka yang bernama Ali
bin al-'Ali telah membolehkan dua belas orang dari mereka menikahi mut'ah
seorang wanita dalam satu malam. Jika lahir seorang anak dari hasil hubungan
mereka, maka dilakukan undian di antara mereka, dan orang yang keluar nomer
undiannya, maka anak itu menjadi miliknya."
b.6. Dalam halaman 44 dari bukunya dia mengatakan,
"Orang-orang Yahudi telah dirubah menjadi monyet dan babi. Juga telah
dinukil bahwa yang demikian pun telah terjadi pada sebagian orang rafidhi (Syi'ah)
di kota Madinah al-Munawwarah dan kota-kota lainnya. Bahkan dikatakan bahwa
mereka telah berubah wajah dan rupanya tatkala mati. Wallahu A'lam."
Inilah cara mereka di dalam menjawab Syi'ah. Dalil-dalil mereka
tidak keluar dari dongeng-dongeng seribu satu malam.
4. Adapun kebohongan-kebohongan Ahmad Amin di dalam kitab Dhuha
al-Islam, kita maafkan dan tidak akan kita sebutkan. Terutama setelah sampai
kepada kita permohonan maafnya atas apa yang telah ditulisnya tentang Syi'ah.
Yang demikian itu telah disebutkan oleh al-Imam asy-Syeikh Muhammad Husain
Kasyif al-Ghitha, di dalam kitabnya Ashl asy-Syi'ah wa Ushuluha, halaman 72,
"Termasuk sesuatu yang jarang terjadi, Ahmad Amin, setelah
beredar bukunya dan setelah beberapa orang ulama Najaf mendatanginya, pada
tahun 1349 Hijrah dia mendatangi Kota Ilmu, Najaf, dan berkesempatan menziarahi
makam-makam suci yang ada di kota tersebut, bersama rombongan dari Mesir yang
kira-kira terdiri dari 30 orang guru dan murid. Mereka mengunjungi kami di
Universitas kami. Pada suatu malam dari malam-malam bulan Ramadhan, mereka
menghadiri sebuah acara perayaan kami yang penuh sesak. Di situ kami
mengkritiknya secara halus, dan sekaligus memaafkan atas apa yang telah
dilakukannya. Kami ingin berjalan bersamanya dengan terhormat, dan mengucapkan
salam kepadanya. Adapun alasan terbesar yang dia ajukan dalam masalah penulisan
bukunya ialah karena sedikitnya informasi dan referensi yang dia miliki. Namun
kita katakan, 'lni juga tidak mencukupi. Karena orang yang hendak menulis tentang
sesuatu tema, maka pertama-tama dia harus mengumpulkan referensi dalam jumlah
yang cukup, dan kemudian meneliti dan mempelajarinya secara mendalam. Dan jika
tidak, maka tidak boleh baginya menyelami tema tersebut dan berbicara
tentangnya. Bagaimana bisa perpustakaan-perpustakaan Syi'ah, salah satunya
adalah perpustakaan kami, mencakup kurang lebih 5000 judul buku, yang sebagian
besarnya terdiri kitab-kitab Ahlus Sunnah, dan itu pun terletak di kota Najaf,
sebuah kota yang fakir dari segala sesuatu, kecuali ilmu dan kesalehan
-InsyaAllah; sementara perpustakaan-perpustakaan Kairo yang besar, tidak
memiliki buku-buku Syi'ah kecuali hanya sedikit sekali."
Benar, kaum tersebut tidak memiliki pengetahuan apa pun tentang
Syi'ah, namun mereka menulis segala sesuatu tentangnya.•
BAB VIII
MAZHAB YANG EMPAT DALAM SOROTAN
Perselisihan Antar Mazhab
Pengaruh peristiwa saqifah dan pengalihan kekhilafahan dari Ahlul
Bait terpantul di dalam semua segi dan tingkatan. Pengalihan ini telah
memberikan pengaruh yang negatif ke dalam sejarah dan ilmu hadis serta
ilmu-ilmu lainnya. Pengaruh-pengaruh negatifnya tampak dengan jelas di dalam
dunia fikih Islam, sehingga menyebabkan banyak terciptanya madrasah-madrasah
fikih, yang bertentangan satu sama lainnya.
Sejarah telah menceritakan kefanatikan masing-masing kelompok
terhadap madrasah fikih mereka, dan juga berbagai pertengkaran dan perselisihan
yang terjadi di antara mereka, hingga sampai tingkatan di mana sebagian mereka
mengkafirkan sebagian yang lain. Juga tersingkap dengan jelas bagi kita betapa
besarnya peranan para penguasa di dalam hal ini, dan bagaimana mereka
mempermainkan agama kaum Muslimin. Seorang imam yang sejalan dengan hawa nafsu
mereka akan menjadi imam bagi kaum Muslimin, dan manusia diharuskan secara
langsung atau pun tidak langsung untuk bertaklid dan mengikutinya.
Setelah terjadi berbagai kejadian yang melingkupi, akhirnya
tertetapkanlah bahwa marji'iyyah fiqhiyyah (pemegang otoritas fikih) berada di
tangan empat imam, dari sekian ratus mujtahid yang ada. Mereka itu adalah
Malik, Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Kemudian setelah masa mereka
diharamkan ijtihad, dan semua orang diperintahkan untuk bertaklid kepada
mereka. Semua itu kembali kepada sejarah tahun 645 Hijrah, yaitu manakala para
penguasa yang berkuasa melihat bahwa kepentingan mereka menuntut dibatasinya
ijtihad hanya pada keempat orang Syeikh tersebut. Sekelompok ulama telah
bersikap ta'assub dengan pemikiran ini, dan mereka mengumumkan persetujuan
mereka. Sedangkan sekelompok ulama yang lain me-mandang bahwa kebijaksanaan ini
tidak lain hanya merupakan pem-bendungan terhadap kebebasan dan pemberangusan
terhadap kemampuan. Ibnu Qayyim telah menulis satu pasal khusus yang panjang,
di dalam kitabnya yang bernama I'lam al-Muwaqqi'in, di mana di dalam pasal itu
dia menyelidiki secara mendalam argumen orang-orang yang meyakini wajib
ditutupnya pintu ijtihad, dan kemudian mementahkan seluruh argumen tersebut
dengan dalil-dalil yang kuat. Meski pun pandangan yang mengatakan wajibnya
berhenti pada ijtihad Imam yang empat, bertentangan dengan agama dan akal yang
sehat, namun justru pandangan ini yang menang, disebabkan dukungan yang
diberikan para penguasa terhadap pandangan yang akan menjamin kepentingan
mereka ini.
Ustadz Abdul Muta'al ash-Sha'idi berkata, "Saya dapat
memastikan —setelah ini— bahwa pelarangan ijtihad telah berlangsung dengan
cara-cara yang zalim, dengan berbagai cara kekerasan dan bujukan harta. Tidak
diragukan, seandainya cara-cara ini memenangkan selain mazhab yang empat —yang
kita ikuti sekarang— maka dapat dipasti-kan mayoritas kaum Muslimin bertaklid
kepadanya, dan tentu diterima oleh orang-orang yang mengingkarinya sekarang.
Dengan demikian, kita sekarang sedang berada dalam pelepasan dari keterikatan
kepada mazhab yang empat, yang telah dipaksakan kepada kita dengan cara-cara
yang busuk; dan sedang dalam proses menghidupkan kembali ijtihad di dalam
hukum-hukum agama kita. Karena pelarangannya tidak terjadi kecuali dengan jalan
pemaksaaan. Sedangkan Islam tidak meridai sesuatu kecuali yang diperoleh dengan
jalan kerelaan dan musyawarah di antara kaum Muslimin. Sebagaimana yang
difirman-kan oleh Allah SWT, "Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah di antara mereka." (QS. asy-Syura: 38)
Inilah kenyataan pahit yang dapat ditemukan oleh seorang pengkaji
yang adil di dalam sejarah mazhab yang empat. Dengan hak apa kaum Muslimin
dipaksa untuk tunduk kepada salah satu darinya. Dan dengan alasan apa para
ulama dilarang untuk berijtihad, dan kenapa keempat imam itu yang dipilih sementara
yang lain tidak?! Padahal masih ada para ulama yang lebih utama dan lebih
berilmu dibandingkan mereka, sebagai contoh:
1. Sufyan ats-Tsauri
Dia dilahirkan pada tahun 65 Hijrah. Dia mempunyai mazhab khusus,
namun tidak bertahan lama mengamalkan mazhabnya, dikarenakan sedikit
pengikutnya, dan tidak adanya dukungan penguasa kepadanya. Dia adalah salah
seorang murid Imam Ja'far ash-Shadiq as, dan lulusan madrasah beliau. Dia
termasuk sebagai salah satu fukaha yang sering melakukan perjalanan di dalam mencari
ilmu.
Al-Manshur bermaksud membunuhnya, namun tidak berhasil karena dia
melarikan diri. Akhirnya dia wafat dalam persembunyian pada tahun 161 Hijrah.
Mazhabnya masih terus diamalkan hingga abad keempat Hijrah.
2. Sufyan bin 'Uyainah.
Seorang alim dan fakih yang lurus. Dia mengambil ilmunya dari Imam
Ja'far ash-Shadiq as, az-Zuhri, Ibnu Dinar dan yang lainnya. Syafi’i berkata
tentangnya, "Saya belum pernah melihat ada seorang yang memiliki alat
kelengkapan untuk memberi fatwa, sebagaimana pada Sufyan, dan saya belum pernah
melihat ada orang yang lebih layak darinya di dalam memberikan fatwa. Dia
mempunyai mazhab yang diamalkan, namun kemudian padam pada abad keempat Hijrah.
3. Al-Awza'i.
Al-Awza'i termasuk salah seorang dari ulama. Mazhabnya tersebar di
Syam, dan diamalkan oleh para penduduknya untuk beberapa waktu. Al-Awza'i amat
dihormati dan amat dekat dengan penguasa. Dia termasuk orang yang didukung oleh
penguasa. Oleh karena itu, penguasa menjadikannya sebagai simbol agama. Dan
manakala kalangan Bani Abbas datang, mereka mendekatinya, disebabkan kedudukan
yang dimilikinya di mata penduduk negeri Syam. Al-Manshur menghormatinya dan
senantiasa mengiriminya surat, dikarenakan mengetahui bahwa dia berpaling dari
keluarga Muhammad saw. Namun demikian, mazhabnya tetap tenggelam manakala
Muhammad bin Usman —seorang bermazhab Syafi’i— ditetapkan sebagai qadhi atas
kota Damaskus. Lalu Muhammad bin Usman menetapkan hukum berdasarkan mazhab
Syafi’i, memberlakukan dan menyebarkannya di negeri Syam, sehingga akhirnya
orang-orang Syam berpindah ke mazhab Syafi’i pada tahun 302 Hijrah.
Dan berpuluh-puluh para mujtahid lainnya, seperti Ibnu Jarir
ath-Thabari, Dawud Ibnu Ali adz-Dzahiri, Laits bin Sa'id, al-A'masy, asy-Sya'bi
dan yang lainnya. Kenapa mazhab yang empat ini tetap hidup dan tersebar,
sementara yang lainnya tidak?!
Apakah karena para imamnya adalah sealim-alimnya manusia pada
zamannya?!
Atau, apakah karena manusia rida kepada mereka, sehingga
menjadikan mereka sebagai imamnya?!
Semua ini tidak terdapat pada mazhab yang empat. Silahkan Anda
rujuk ke dalam sejarah, di mana sejarah membuktikan adanya para ulama yang
lebih alim dari mereka. Akal sendiri menghukumi ternafikannya syarat ini.
Karena penentuan kelebih-aliman (al-a'lamiyyah) adalah sesuatu yang sulit.
Sebagaimana juga tersebarnya mazhab-mazhab ini, dan terkenalnya para imam
mereka, tidak berlangsung pada sebuah keadaan di mana kebebasan dan keunggulan
keilmuan berkuasa atas mereka. Bahkan tampak jelas bagi seseorang pengkaji
sejarah, bahwa mazhab-mazhab tersebut dipaksakan kepada kaum Muslimin oleh para
penguasa melalui ketazaman mata pedang. Adapun kesepakatan dan keridaan manusia
atas mereka adalah sesuatu yang tidak terlihat sama sekali bekas-bekasnya di
dalam sejarah. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya. Setiap orang bersikap
ta'assub dengan mazhabnya, dan sebagian mereka mengecam keyakinan-keyakinan
sebagian yang lainnya, sehingga menimbulkan perselisihan-perselisihan berdarah,
yang menelan beribu-ribu korban dari kaum Muslimin. Maka mereka menjadi musuh
satu sama lain, dan masing-masing memperlakukan yang lainnya sebagai orang yang
keluar dari agama. Sampai-sampai Muhammad bin Musa al-Hanafi —qadhi Damaskus—
yang wafat pada tahun 506 Hijrah berkata, "Seandainya saya mem-punyai
sedikit saja kekuasaan niscaya saya akan memungut upeti (jizyah) dari
orang-orang Syafi’i." Sementara Abu Hamid ath-Thusi, yang wafat pada tahun
567 Hijrah berkata, "Kalau saya mempunyai kekuasaan niscaya saya tetapkan
upeti (jizyah) atas orang-orang Hanbali." Banyak sekali peristiwa yang
terjadi di antara orang-orang Hanafi dengan orang-orang Hanbali, dan antara
orang-orang Hanbali dengan orang-orang Syafi’i. Para khatib Hanafi mengutuk
orang-orang Hanbali dan orang-orang Syafi’i dari atas mimbar. Sementara
orang-orang Hanbali membakar mesjid orang-orang Syafi’i di Marwa. Berkobar api
fitnah dan fanatisme di antara orang-orang Hanafi dan orang-orang Syafi’i di
kota Naisabur, sehingga pasar dan toko-toko dibakar. Banyak sekali orang-orang
Syafi’i yang terbunuh, lalu orang-orang Syafi’i melakukan balas dendam pada
tahun 554 Hijrah. Hal yang sama pun terjadi di antara orang-orang Syafi’i
dengan orang-orang Hanbali, sehingga memaksa penguasa turun tangan untuk
me-nyelesaikan perselisihan mereka dengan kekerasan, dan itu terjadi pada tahun
716 Hijrah.[157]
Mazhab-mazhab lain sepakat marah terhadap orang-orang Hanbali
disebabkan tindak tanduk Ibnu Taimiyyah. Diumumkan di kota Damaskus dan
kota-kota lainnya, "Barangsiapa yang berpegang kepada agama Ibnu
Taimiyyah, maka halal harta dan darahnya." Dengan kata lain, mereka
memperlakukan orang-orang Hanbali sebagaimana orang-orang kafir. Di sisi lain,
kita mendapati Syeikh Ibnu Hatim al-Hanbali berkata, "Barangsiapa yang
tidak bermazhab Hanbali, maka dia bukan Muslim."[158]
Dia mengkafirkan seluruh kaum Muslimin kecuali orang-orang
Hanbali. Sebaliknya, Syeikh Abu Bakar al-Maghribi —penceramah di mesjid-mesjid
Baghdad— mengkafirkan seluruh orang Hanbali.[159]
Dan peristiwa-peristiwa lainnya yang membuat hati berdarah-darah.
Kefanatikan mereka sudah sampai tingkat membunuh para ulama dan para fukaha
dengan menggunakan racun. Inilah Fakih Abu Manshur —yang wafat pada tahun 567 Hijrah—
dibunuh oleh seorang yang bermazhab Hanbali dengan racun, karena fanatik dengan
mazhab Hanbali. Ibnu al-Jauzi berkata, "Orang Hanbali itu memperdaya
seorang wanita agar mau membawakan nampan yang berisi manisan kepada Fakih Abu
Manshur. Wanita itu berkata, 'Tuanku, ini titipan dari kekasihku.' Lalu dia,
istrinya, anaknya dan satu anaknya lagi yang masih kecil memakan manisan itu,
maka mereka pun mati. Padahal dia adalah seorang ulama Syafi’i yang
terkemuka."[160]
Demikianlah, kefanatikan setiap orang kepada imamnya telah sampai
kepada tingkatan di mana mereka membuat hadis-hadis tentang keutamaan imam
mereka, dan menisbahkan hadis-hadis tersebut kepada Rasulullah saw. Kefanatikan
mereka telah menjadikan mereka keluar dari batas-batas akal sehat dan
kewajaran. Sebagai contoh, mereka menisbahkan sebuah hadis kepada Rasulullah
saw yang berbunyi, "Sesungguhnya Adam merasa bangga dengan diriku, dan aku
merasa bangga dengan seorang laki-laki dari umatku yang bernama Nu'man."
Dalam bentuk lain juga disebutkan, "Para
nabi merasa bangga dengan diriku, dan aku merasa bangga dengan Abu Hanifah.
Barangsiapa yang mencintainya maka dia telah mencintaiku, dan barangsiapa yang
membencinya maka dia telah membenciku."[161] Mereka bersikap berlebihan
terhadap terhadap Abu Hanifah, hingga mereka berkata tentang
keutamaan-keutamaannya, "Allah mengkhususkan syariah dan karomah bagi Abu
Hanifah. Salah satu dari karomahnya ialah bahwa Khidhir as datang
mengunjunginya setiap hari pada waktu Subuh, dan belajar darinya tentang
hukum-hukum syariat hingga lima
tahun. Manakala Abu Hanifah meninggal dunia, Khidhir as berdoa kepada Allah,
"Ya Rabb, apabila saya mempunyai kedudukan di sisi-Mu, maka izinkanlah Abu
Hanifah untuk mengajarku dari dalam kuburaya, sebagaimana biasanya, sehingga
aku menjadi manusia yang paling tahu dengan sempurna tentang syariat Muhammad.
Maka Allah memenuhi permintaannya. Khidhir as menyelesaikan pelajarannya dari
Abu Hanifah, sementara Abu Hanifah berada di dalam kuburnya, dalam jangka waktu
dua puluh lima
tahun. Demikian juga dongeng-dongeng lain yang semacamnya, yang biasa dibacakan
di majlis-majlis Abu Hanifah dan mesjid-mesjid mereka di India .[162]
Orang-orang Maliki pun mengklaim beberapa perkara yang dimiliki
Imamnya. Di antaranya ialah, "Dengan pena kekuasaan Allah, tertulis pada
pahanya (Imam Malik), 'Malik hujjah Allah di bumi-Nya'. Juga disebutkan bahwa
Malik menghadiri orang yang meninggal dunia dari para sahabatnya di dalam
kuburnya, dan menyingkirkan kedua malaikat dari si mayit, serta tidak
membiarkan keduanya untuk meng-hisab amal perbuatan si mayit.[163]
Juga disebutkan bahwa Malik melemparkan kitabnya al-Muwaththa ke
air namun tidak basah.
Orang-orang Hanbali berkata tentang Imam mereka, "Ahmad bin
Hanbal adalah Imam kami. Barangsiapa yang tidak menerimanya, maka dia itu
pembuat bid'ah." Jika demikian, maka seluruh kaum Muslimin adalah pembuat
bid'ah berdasarkan kaidah ini.
Mereka mengatakan, tidak ada seorang pun setelah Rasulullah saw
yang menegakkan urusan Islam sebagaimana yang telah dilakukan oleh Ahmad bin
Hanbal. Abu Bakar pun tidak bisa menyamainya. Allah SWT menziarahi kuburnya,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu al-Jauzi di dalam kitab Manaqib Ahmad,
halaman 454, "Abu Bakar bin Makarim bin Abi Ya'la al-Harbi —dia adalah
seorang tua yang saleh— berkata, 'Pernah pada sebagian tahun sebelum masuknya
bulan Ramadan hujan turun lebat sekali selama beberapa hari. Maka aku pun tidur
pada suatu malam dari bulan Ramadan, lalu aku ber-mimpi —sebagaimana
kebiasaanku— berziarah ke kuburan Imam Ahmad bin Hanbal. Aku melihat kuburannya
telah menempel ke tanah seukuran satu saf —barisan dari tanah liat atau batu
bata— atau dua saf. Aku berkata, 'lni terjadi atas kuburan Imam Ahmad bin
Hanbal disebabkan lebatnya hujan yang turun.' Lalu aku mendengar Imam Ahmad bin
Hanbal berkata dari dalam kubur, 'Tidak, ini melainkan berasal dari wibawa
Allah SWT yang telah mengunjungiku. Aku ber-tanya kepada-Nya tentang rahasia
Dia menziarahiku pada setiap tahun. Allah Azza Wajalla menjawab, 'Ya Ahmad, ini
dikarenakan engkau telah menolong perkataan-Ku, sehingga dia tersebar dan
dibaca di mihrab-mihrab.' Lalu aku pun mendatangi liang lahadnya dan menciumnya
seraya berkata, 'Tuanku, apa rahasianya kenapa tidak ada satu pun kuburan yang
diciumi selain dari kuburanmu? Imam Ahmad bin Hanbal menjawab, 'Anakku, karomah
ini bukan kepuanyaanku melainkan kepunyaan Rasulullah saw, karena aku mempunyai
beberapa helai rambutnya Rasulullah saw. Ingatlah, siapa saja yang mencintaiku
maka dia harus menziarahiku pada bulan Ramadan.' Dia mengatakan yang demikian
sebanyak dua kali."
Dan keutamaan-keutamaan lainnya, yang menunjukkan kefanatikan dan
sikap berlebihan yang bukan pada tempatnya. Kefanatikan, dengan jelas dapat
disaksikan di dalam syair-syair mereka:
"Telah tumbuh Mazhab Nu'man menjadi sebaik-baiknya mazhab
laksana bulan yang bercahaya sebaik-baiknya bintang
mazhab-mazhab ahli fikih telah menyusut
mana mungkin gunung-gunung kokoh menenun sarang laba-laba."
Seorang penyair bermazhab Syafi’i berkata,
"Perumpamaan Syafi’i di kalangan ulama adalah laksana bulan
purnama di antara bintang-bintang di langit
Katakan kepada orang yang membandingkannya dengan Nu'man karena
kebodohan apakah mungkin cahaya dapat dibandingkan dengan kegelapan."
Sedangkan seorang penyair bermazhab Maliki mengatakan,
"Jika mereka menyebutkan kitab-kitab ilmu, maka datangkan
apakah dapat sebanding dengan kitab al-Muwaththa karya Malik
Dengan berpegang kepadanya tangan kekuasaan menjadi mendapat
petunjuk barangsiapa yang menyimpang darinya dia akan
celaka."
Sedangkan seorang penyair Hanbali berkata,
"Aku telah menyelidiki syariat-syariat ulama seluruhnya,
namun aku belum pernah melihat ada yang seperti keyakinan
Hanbal."
Dalam sebuah syair yang lain seorang Hanbali berkata,
"Aku adalah seorang Hanbali,
selama aku hidup maupun sesudah mati.
Wasiatku kepada seluruh manusia,
hendaklah mereka bermazhab Hanbali."
Demikianlah, setiap orang dari mereka sangat fanatik terhadap
imamnya, amat bangga dengan mazhabnya dan mengingkari mazhab-mazhab yang lain.
Hingga sampai dikatakan, "Barangsiapa yang menjadi Hanafi maka diberi
hadiah, dan barangsiapa yang menjadi Syafi’i akan dihukum."[164] As-Subki
berkata di dalam kitab Thabagat asy-Syafi’iyyah, "Inilah Abu Sa'id, yang
wafat pada tahun 562 Hijrah. Dia asalnya seorang yang bermazhab Hanafi, lalu
berpindah ke mazhab Syafi’i. Dia mendapat kesusahan karena perpindahan itu.
Demikian juga as-Sam'ani, tatkala berpindah dari mazhab Hanafi ke mazhab
Syafi’i dia mendapat cobaan yang berat. Api fitnah meletus di mana-mana dan
timbul peperangan di antara kedua belah pihak. Peperangan terjadi dari sejak
Khurasan hingga ke Irak, dan penduduk Marwa dilanda ketakutan yang sangat. Maka
diberlakukanlah keadaan darurat. Lalu para ahli ra'yu bergantung kepada ahli
hadis, dan mereka pergi ke pintu penguasa .... dan seterusnya."[165]
Kejadian-kejadian yang seperti ini banyak sekali terjadi hingga
tidak dapat dihitung. Contoh-contoh yang telah kita sebutkan di atas cukup
memberikan gambaran betapa besar perselisihan dan kefanatikan yang berkembang
di antara mazhab-mazhab, sehingga sikap menyembunyikan mazhab yang dianut amat
diperlukan. Abu Bakar Muhammad bin Abdul Baqi, yang wafat pada tahun 535
Hijrah, seorang yang bermazhab Hanbali, menggambarkan keadaan menyembunyikan
mazhab yang terjadi kala itu di dalam sebuah syairnya,
"Jagalah lidahmu, sedapat mungkin jangan sampai menceritakan
yang tiga, yaitu umur, harta dan mazhab.
Karena atas yang tiga akan dikenakan yang tiga
yaitu dikafirkan, dihasudi dan dituduh sebagai pembohong."
Zamakhsyari telah menggambarkan perselisahan dan kerasnya
perbenturan di antara mazhab-mazhab di dalam syairnya,
"Jika mereka menanyakan mazhabku,
saya tidak akan membukanya dan akan menyembunyikannya,
karena menyembunyikannya lebih selamat bagiku.
Jika aku katakan aku seorang Hanafi
mereka akan katakan bahwa aku membolehkan thala,
yaitu minuman yang diharamkan.
jika aku katakan aku seorang Syafi’i
mereka akan katakan bahwa aku membolehkan menikahi anak
perempuan sendiri, padahal itu diharamkan.
Jika aku katakan aku seorang Maliki
mereka akan katakan bahwa aku membolehkan kepada mereka memakan
anjing.
Jika aku katakan aku dari ahlul hadis dan kelompoknya
mereka akan katakan bahwa aku adalah kambing jantan yang tidak
bisa paham dan mengerti."[166]
an>11. Seorang penulis Mesir yang bernama Muhammad Abdul Hafidz. Dia
mempunyai kitab yang berjudul Limadza Ana Ja'fari (Kenapa Saya bermazhab
Ja'fari).
12. Seorang penulis Sudan , yaitu Doktor Sayyid Abdul
Mun'im Muhammad al-Hasan. Dia mempunyai kitab yang berjudul Bi Nur Fathimah
Ihtadaitu (Dengan Cahaya Fatimah Saya Mendapat Petunjuk).
13. Syeikh Abdullah Nashir dari Kenya . Dia menjadi Syi'ah setelah
sebelumnya menjadi salah seorang Syeikh Wahabi. Dia mempunyai berbagai kitab di
dalam masalah ini, di antaranya ialah, asy-Syi'ah wa al-Qur'an, asy-Syi'ah wa
al-Hadits, asy-Syi'ah wa ash-Shahabah, asy-Syi'ah wa at-Taqiyyah dan asy-Syi'ah
wa al-Imamah.
14. Yang mulia al-'Alim al-Khathib al-Munadzir Sayyid Ali
al-Badri. Dia mempunyai jasa yang besar di dalam menyebarkan mazhab Ahlul Bait
as setelah menjadi Syi'ah. Dia berkeliling dunia melakukan berbagai dialog.
Lalu hasil-hasil dialognya itu dia bukukan ke dalam kitab besar, yang sedang
dalam proses pencetakan, dengan judul Ahsan al-Mawahib fi Haqa'iq al-Madzahib.
15. Seorang penulis dari Syiria yang bernama Sayyid Yasin
al-Ma'yuf al-Badrani. Dia mempunyai sebuah kitab dengan judul Ya Laita Qawmi
Ya'lamun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar