Dalil-Dalil Akal Kalangan
Asy'ariyyah Tentang Bolehnya Ru'yah, Serta Pembahasannya.
Menurut kalangan Asy'ariyyah, tidak ada halangan dari sisi akal
tentang kemungkinan melihat Allah SWT dengan mata. Karena, ke-mungkinan ini
tidak menuntut penetapan sesuatu yang mustahil menurut akal atas Allah SWT.
Adapun alasan-alasannya adalah sebagai berikut:
1. Di dalam keyakinan bolehnya Allah SWT dilihat dengan mata tidak
terdapat penetapan ke-hudutsan-Nya. Karena, sesuatu yang dapat dilihat tidak
menjadi sesuatu yang dapat dilihat disebabkan karena ke-hudutsan-Nya
(kebaruannya, atau didahului oleh ketiadaan). Karena jika tidak demikian, maka berarti
setiap yang huduts dapat dilihat.
2. Di dalam ru'yah tidak terdapat
"huduts makna" pada sesuatu yang dilihat. Karena, warna dapat
dilihat, namun "huduts makna" tidak terjadi atasnya. Disebabkan warna
adalah 'aradh (sifat).
3. Di dalam penetapan dapat dilihatnya Allah
SWT dengan mata (ru'yah) tidak terdapat tasybih (penyerupaan Allah SWT dengan
makhluk), tajnis, dan juga tidak mengubah-Nya dari hakikat-Nya. Karena warna
hitam dan putih tidak homogen (mutajanisan) dan tidak serupa (mutasyabihan)
dengan terjadinya penglihatan atas keduanya.
Marilah kita perhatikan klaim-klaim mereka di
atas,
1. Kita katakan, benar, bahwa huduts bukan
merupakan syarat yang cukup di dalam ru'yah, dan diperlukan syarat-syarat
lainnya, seperti jarak yang sesuai, kepadatan yang memungkinkan terpantulnya
cahaya, dan tidak teijadinya beberapa kejadian yang menyebabkan tidak adanya
ru'yah. Namun, ru'yah itu sendiri mengharuskan adanya arah (disebabkan faktor
berada di hadapan), dan sifat fisik (disebabkan faktor kepadatan), yang mana
keduanya ini mengharuskan adanya huduts. Sehingga dengan demikian, segala
sesuatu yang dapat dilihat oleh mata adalah muhdats (baru, atau didahului oleh
ketiadaan), namun tidak sebaliknya.
Berkenaan dengan point yang kedua (Di dalam
ru'yah tidak terdapat penetapan "huduts makna"), kita mengatakan,
sesungguhnya makna terjadi dikarenakan bersambung dengan cahaya dan mugabalah
(berada di hadapan). Jika tidak ada cahaya dan muqabalah, niscaya tidak akan
berlangsung penglihatan dengan mata.
Adapun berkenaan dengan point yang ketiga,
kita mengatakan, sesungguhnya point yang ketiga hanya semata-mata pengakuan,
sebagaimana sebelum-sebelumnya. Karena sesungguhnya tasybih tetap terjadi, dan
mereka tidak dapat memungkirinya. Oleh karena hakikat ru'yah terlaksana dengan
adanya mugabalah (berada di hadapan), dan muqabalah tidak terlepas dari
kenyataan bahwa sesuatu yang dilihat berada pada arah dan tempat tertentu. Dengan demikian, tidak ada tasybih yang lebih
jelas dari ini. Disebabkan adanya arah dan sifat fisik. Mahatinggi Allah dari
yang demikian itu. Sungguh, tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.
2. Baqilani berkata, "Adapun hujjah atas
yang demikian itu ialah bahwa Allah SWT ada. Sesungguhnya sesuatu dapat dilihat
disebabkan karena dia ada. Sesuatu tidak dapat dilihat karena jins-nya. Karena
kita tidak melihat jins yang bermacam-macam. Demikian juga, sesuatu dapat
dilihat bukan karena ke-hudutsan-nya".[407]
Dengan penjelasan lain, "Selama kita melihat a'radh (jamak
dari kata 'aradh, yang berarti sifat) maka tentunya kita pun melihat jawahir
(jamak dari kata jawhar, yang berarti substansi)."[408]
"Sesungguhnya ru'yah merupakan kesamaan di antara jawhar dan
'aradh. Oleh karena itu, mau tidak mau ru 'yah harus memiliki satu sebab, yaitu
kalau tidak wujud maka huduts. Huduts itu sendiri tidak dapat menjadi sebab ('illah),
dikarenakan dia adalah perkara ketiadaan ('adami). Sehingga dengan demikian,
maka wujudlah yang menjadi sebab dari ru'yah. Kemudian, dapat disimpulkan bahwa
ru'yah dapat berlaku pada al-Wajib dan al-mumkin"[409]
Lemahnya argumentasi ini tampak jelas sekali.
Karena banyak sekali sesuatu yang tidak dapat dilihat namun keberadaannya
(wujudnya) tidak diragukan. Seperti pikiran, keyakinan, dan keinginan.
Ini menunjukkan akan adanya sebab lain bagi
ru'yah, namun bukan wujud.
Oleh karena itu, dari kalangan Asy'ari
sendiri banyak yang memprotes argumentasi ini. Seperti pensyarah kitab
al-Mawaqif, demikian juga Taftazani di dalam Syarh al-Mathali', dan juga
al-Qusyji di dalam kitab Syarh at-Tajrid.[410]
Kata "wujud" lebih pas dari kata "huduts"
untuk dijadikan sebagai syarat bagi ru'yah. Namun ungkapan yang mengatakan
secara mutlak bahwa "setiap yang ada dapat dilihat" adalah ungkapan
yang salah. Supaya menjadi benar, ungkapan tersebut harus diberi batasan dengan
syarat-syarat ru'yah. Dan, syarat-syarat ru'yah tidak sejalan kecuali dengan
mawjud yang berupa makhluk. Adapun berkenaan dengan Allah SWT, tidak mungkin
membandingkan makhluk dengan Pencipta, "Tidak ada sesuatu pun yang
menyerupai-Nya. " Jangan lupa, bahwa penerapan hukum-hukum alamiah atas
Allah SWT adalah tasybih dan kebodohan.
Dalil-Dalil Kalangan Asy'ariyyah Tentang Ru'yah Dari Al-Qur'an
al-Karim,Dan Pembahasannya.
Allah SWT berfirman, "Sekali-kali
janganlah demikian. Sebenamya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia, dan
meninggalkan (kehidupan) akhirat. Wajah-wajah (orang-orang Mukmin) pada hari
itu berseri-seri. Kepada Tuhannya lah mereka melihat. Dan wajah-wajah (orang
kafir) pada hari itu muram, mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya
malapetaka yang amat dahsyat. " (QS. al-Qiyamah: 20 - 25)
Kalangan Asy'ari telah membeda-bedakan arti
kata an-nazhar. Pertama, dengan arti mengambil pelajaran (i'tibar). Sebagaimana
dalam ayat yang berbunyi, "Maka apakah mereka tidak mengambil pelajaran
dari unta, bagaimana dia diciptakan." (QS. al-Ghasyiyah: 17) Kedua, dengan
arti menunggu (intizhar). Sebagaimana dalam ayat yang berbunyi, "Mereka
tidak menunggu melainkan satu teriakan saja." (QS. Yasin: 49) Ketiga,
dengan arti rahmat. Sebagaimana dalam ayat yang berbunyi, "Dan Allah tidak
akan memberikan rahmat kepada mereka." (Ali 'lmran: 77) Adapun yang
keempat ialah dengan arti melihat.
Dari sekian arti ini, kalangan Asy'ari
memilih arti "melihat", disebabkan tidak sesuainya arti-arti yang
lain. Adapun berkenaan dengan arti yang pertama, yaitu mengambil pelajaran
(i'tibar), sesungguhnya negeri akhirat bukanlah negeri pengambilan pelajaran
melainkan negeri balasan. Sementara arti yang kedua, yaitu menunggu (intizhar)
sesungguhnya kata ini dikaitkan dengan wajah. Di samping itu, pekerjaan
menunggu adalah sesuatu yang melelahkan, dan ini tidak sesuai dengan keadaan
para ahli surga. Adapun arti rahmat, tidak dapat diterima, dikarenakan tidak
mungkin makhluk memberikan rahmat dan kasih sayang kepada pencipta.
Kemudian, mereka memilih makna melihat,
dengan petunjuk berdasarkan lidah orang Arab. Yaitu bahwa kata nazhar dengan
arti "melihat" selalu diimbuhi kata ila, dan orang-orang Arab tidak
menggunakan kata nazhar untuk arti menunggu dengan menggunakan imbuhan ila.
Seperti firman-Nya yang berbunyi, "Ma Yandzuruna illa shaihatan
wahidah" (Mereka tidak menunggu melainkan satu teriakan saja). Ketika
Allah SWT menghendaki arti menunggu, Dia tidak mengim-buhi dengan kata ila.
Oleh karena itu, tatkala Allah SWT mengatakan "Ila Rabbiha Nazhirah "
(Kepada Tuhannyalah mereka melihat), maka kita tahu bahwa Dia tidak
menginginkan arti menunggu, melainkan yang Dia inginkan adalah arti melihat.
Demikian juga, tatkala Allah SWT menyertai arti "melihat" dengan
menyebut kata "wajah", maka dari situ kita tahu bahwa melihat di sini
ialah melihat dengan kedua mata yang ada di wajah."
Mereka juga beragumentasi bahwa kata nazhar
di dalam ayat ini tidak mungkin berarti menunggu (intizhar). Karena menunggu
(intizhar) merupakan pengurangan, dan yang demikian itu tidak ada pada hari
kiamat. Oleh karena surga adalah tempat kenikmatan dan bukan tempat pahala atau
siksaan.
Beberapa
Catatan Atas Dalil-Dalil Di Atas
1. Adapun perkataan mereka yang mengatakan,
jika kata nazhar berarti melihat maka diimubuhi kata ila, sedangkan jika
berarti menunggu maka tidak diimbuhi kata ila, perlu kita jawab sebagai
berikut: Sesungguhnya kata nazhirah yang terdapat pada ayat di atas adalah isim
fa'il. Isim fa'il di dalam amalnya merupakan cabang dari fi'il. Dan, kecabangan
(far'iyyah) ini menyebabkan lemahnya 'amil, sehingga oleh karena itu, dia
memerlukan sesuatu yang menguatkannya. Di samping itu, di sini, ma'mul juga
didahulukan (muqaddam), dan pendahuluan (taqdim) ini tentunya merupakan sebab
lainnya lemahnya 'amil. Oleh karena itu, kata nazhirah di sini diimbuhi kata ila.
Di samping itu, penggunaan kata nazhara yang
diimbuhi dengan kata ila, dengan arti melihat, juga digunakan di dalam
perkataan orang Arab. Sebagaimana perkataan Hasan bin Tsabit di dalam syairnya,
"Wujuhun Yauma Badr Nazhirat Ilar Rahman
Ya'ti bil Falah. "
(Pada hari badar, wajah-wajah menanti Tuhan
yang akan datang dengan membawa kemenangan)
Penggunaan yang seperti ini banyak sekali
digunakan.
Al-Qur'an al-Karim juga telah mengimbuhi kata
isim fa'il nazhirah dengan imbuhan huruf ba di dalam ayatnya yang berbunyi,
"Fa Nazhirah Bima Yarji' al-Mursalun". Yang artinya, "Dan (aku
akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu."
Ini artinya, bahwa kata nazhirah dapat
berarti "menunggu", baik dengan imbuhan maupun dengan tanpa imbuhan.
2. Adapun perkataan mereka yang mengatakan
bahwa "menunggu" adalah berarti pengurangan dan tidak sesuai dengan
ahli surga, kita perlu bertanya, dari mana dapat diketahui bahwa ayat-ayat ini
berbicara tentang surga?!
Bahkan, kita dapat mengetahui bahwa ayat-ayat
ini tengah berbicara tentang saat "hisab", berdasarkan petunjuk
ungkapan ayat, "Mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepada mereka
malapetaka yang amat dahsyat." Rangkaian ayat ini menceritakan tentang
keadaan mereka sebelum masuk ke tempat mereka yang kekal. Karena, jika mereka
masuk ke dalam nereka, maka berarti telah ditimpakan kepada mereka malapetaka
yang amat dahsyat.
Oleh karena itu, arti "menunggu"
sangat tepat sekali. Terlebih lagi, ini merupakan penggunaan yang sebenarnya
dalam lidah orang Arab. Dengan demikian, kelompok Asy'ari tidak berhak
memblokade makna ini.
Jika kita mengatakan bahwa kata nazhar di
dalam ayat di atas berarti menunggu, maka itu artinya kita menafikan Allah
dapat dilihat secara inderawi. Sebaliknya, jika kita mengatakan bahwa kata
nazhar di dalam ayat di atas berarti melihat, maka yang dimaksud darinya ialah
penggunaannya sebagaimana arti kiasan (majazi). Penetapan penggunaan yang
seperti ini (yaitu penggunaan kata nazhar dengan arti melihat sebagai arti
kiasan) telah dilakukan oleh Syeikh Ja'far Subhani. Yaitu dengan cara
men-taqdir-kan (menentukan) adanya mudhaf yang dibuang, sehingga berdasarkan
taqdirnya bunyi ayat di atas berbunyi, "ila tsawabi rabbiha nazhirah"
(Mereka menunggu ganjaran Tuhannya). Penetapan taqdir yang seperti ini
dibenarkan oleh hukum akal, setelah menghadapkan satu sama lain di antara ayat-ayat
yang ada. Ayat yang ketiga dihadapkan kepada ayat yang pertama, dan ayat yang
keempat dihadapkan kepada ayat yang kedua. Ketika dilakukan penghadapan yang
seperti ini, maka kesamaran yang ada pada ayat yang kedua dapat dilenyapkan
dengan ayat yang keempat. Berikut ini penyusunan ayat-ayat di atas berdasarkan
perbandingan,
a. Ayat "Wajah-wajah (orang-orang
Mukmin) pada hari itu berseri-seri", dibandingkan dengan ayat "Dan
wajah-wajah (orang kafir) pada hari itu muram".
b. Ayat "Kepada Tuhannyalah mereka
melihat" dibandingkan ayat "Mereka yakin bahwa akan ditimpakan
kepadanya malapetaka yang amat dahsyat".
Oleh karena ayat yang keempat, yang berbunyi
"Mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat
dahsyat", jelas artinya, maka dia menjadi petunjuk bagi maksud dari ayat
yang kedua, yaitu yang berbunyi "Kepada Tuhannya lah mereka melihat".
Jika maksud dari ayat yang keempat ialah
bahwa orang-orang yang berdosa tengah menantikan azab pedih yang akan turun
kepadanya, maka ini menjadi petunjuk bahwa kelompok orang-orang yang taat
tengah menantikan rahmat dan karunia Allah yang dijanjikan kepada mereka.
Sehingga dengan demikian, arti melihat di sini bukanlah berarti melihat kepada
Zat Allah SWT. Karena jika tidak, maka tentu dua hal yang saling berhadapan (mutaqabilan)
ini telah keluar dari keadaan berhadapan (taqabul), dan ini tentunya menyalahi.
"Dua hal yang saling taqabul
—berdasarkan hukum taqabul— harus mempunyai makna dan pemahaman yang sama, dan
tidak berbeda sedikit pun di antara keduanya kecuali dalam masalah positif
(itsbat) dan negatif (nafi)".[411]
Dengan muqabalah ini ayat menjadi jelas artinya. Terlebih lagi
rangkaian ayat ini tengah berbicara tentang saat hisab, sehingga dengan
demikian tidak ada yang diharapkan selain dari ganjaran dan rahmat.
Sejumlah riwayat mengisyaratkan kepada makna ini. Seperti riwayat
yang terdapat di dalam kitab Tawhid ash-Shaduq, yang berasal dari Imam ar-Ridha
as, tentang firman Allah SWT yang berbunyi "Wajah-wajah (orang-orang
Mukmin) pada hari itu berseri-seri. Mereka melihat kepada Tuhannya", yaitu
yang artinya "wajah-wajah mereka berbinar menantikan ganjaran
Tuhannya".[412]
Dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa pemahaman
"melihat kepada Zat Allah" itu telah keluar dari kerangka ayat ini
dengan kedua kemungkinannya. Jika arti dari kata nazhirah itu menunggu,
tentunya terkubur kemungkinan penunjukkan arti ayat ini kepada melihat dengan
mata (ru'yah). Demikian juga, jika arti dari kata nazhirah itu melihat, maka
itu tidak lain hanya merupakan kiasan dari menunggu rahmat Allah SWT.
Sebagaimana ungkapan yang berbunyi, "Jangan kamu melihat kepada tangan si
Fulan", dengan arti "Jangan kamu mengharapkan pemberian si Fulan".
Penggunaan ungkapan yang seperti ini biasa digunakan. Sebagai contoh, seorang
penyair berkata,
"Sesungguhnya aku melihat kepadamu dikarenakan apa yang telah
kamu janjikan
Sebagaimana pandangan seorang yang fakir kepada seorang yang
kaya."
Oleh karena itu, orang-orang Mukmin melihat (mengharapkan) kepada
rahmat Allah SWT pada hari kiamat. Adapun orang-orang yang kafir, keadaan
mereka jelas beradasarkan firman Allah SWT yang berbunyi,
"Dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak
akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan
mereka. Bagi mereka azab yangpedih." (QS. Ali 'lmran: 77)
Jelas, yang dimaksud dengan ungkapan "tidak melihat kepada
mereka" di dalam ayat di atas ialah Allah tidak memberikan rahmat kepada
mereka, dan bukannya mereka tidak dapat melihat Allah SWT.
[1]
Yaitu majalah yang diterbitkan oleh Jamaluddin bersama muridnya Muhammad Abduh
di kota London.
[2]
Kitab Nur al-Abshar, karya asy-Syabalanji, hal. 75.
[3]
Musnad Ahmad, jld. 5, hal. 131.
[4]
Sahih Bukhari, jld. 8, hal. 26.
[5]
Sahih Muslim, jld. 3, hal. 155.
[6]
Al-Mawdhu'at, Ibnu Jauzi, jld. 1, hal. 109.
[7]
Al-Mawdhu'at, Ibnu Jauzi, jld. 1, hal. 151.
[8]
Al-Mawdhu'at, Ibnu Jauzi, jld. 1, hal. 218.
[9] Khulashah 'Abagat al-Anwar, jld. 2, hal. 350.
[10] Khulashah 'Abaqat al-Anwar, jld. 2, hal. 344.
[11] Mizan al-I'tidal, jld. 4, hal. 347.
[12]
Tahdzin at-Tahdzib, jld. 11, hal. 145.
[13] Mizan al-I'tidal, jld. 2, hal. 343.
[14] Tahdzib at-Tahdzib, jld. 1, hal. 280.
[15] Tahdzib at-Tahdzib, jld. 1, hal. 284.
[16] Tahdzib at-Tahdzib, jld. 2, hal. 656.
[17] Ahmad, Muslim, Turmudzi dan Nasa'i meriwayatkannya
dari Abu Sa'id al-Khudri.
[18] Diriwayatkan oleh Hafidz al-Maghrib bin Abdul Barr
dan Baihaqi di dalam kitab al-Madkhal, dari 'Urwah.
[19] Jami' Bayan al-'llm wa Fadhlih, jld. 1, hal. 64 -
65.
[20]
Tarikh ath-Thabari, jld. 3, hal. 273.
[21] Kanz al-'Ummal, jld. 10, hal. 293.
[22] Kanz al-'Ummmal, jld. 1, hal. 237 -239.
[23] Tadzkirah al-Huffadz, jld. 1, hal. 5.
[24] Musnad Ahmad, jld. 3, hal. 12 - 14.
[25] Kanz al-'Ummal, jld. 10, hal. 295, hadis 29490.
[26] Kanz al-'Ummal,jld. 10, hal. 291, hadis 29413.
[27] Sahih Bukhari, kitab ilmu, jld. 1, hal. 30.
[28] Adhwa 'ala as-Sunnah al-Muhammadiyyah, Muhammad Abu
Rayyah, hal. 53.
[29] Ushul al-Fiqh al-Muqaran, Muhammad Taqi al-Hakim,
hal. 73.
[30] Sirah Ibnu Hisyam, cetakan lama, jld. 2, hal. 603;
cetakan ketiga, jld. 4, hal. 185; cetakan terakhir, jld. 2, hal. 221.
[31] Al-Muwaththa, Imam Malik, jld. 2, hal. 46.
[32] Al-Mustadrak, jld. 1, hal. 93.
[33] Nanti akan akan dijelaskan pendapat para ulama ilmu
al-Jarh wa ta 'dil tentang 'lkrimah.
[34] Saya telah banyak mengambil manfaat dari 'Allamah
Sayyid al-Badri tentang penilaian hadis ini.
[35] Yanabi' al-Mawaddah, al-Qanduzi al-Hanafi, hal. 104,
terbitan Yayasan al-A 'lami, Beirut - Lebanon.
[36] Sesungguhnya Ali as adalah Imam pertama dari para
Imam dua belas. Di sini, yang menjadi pembahasan penulis ialah siapakah yang
dimaksud dengan dua belas orang khalifah itu? Apakah khalifah yang empat atau
Imam Ahlul Bait yang dua belas.
[37] Silahkan rujuk bab penyelewengan yang dilakukan oleh
para muhaddis terhadap hadis.
[38] Yanabi' al-Mawaddah, al-Qanduzi al-Hanafi, hal. 104.
[39] Yanabi' al-Mawaddah, al-Qanduzi al-Hanafi, hal. 105.
[40] Yanabi' al-Mawaddah, hal. 106.
[41] Ash-Shawa'iq al-Muhriqah, hal. 150.
[42] Tahdzib at-Tahdzib.
[43] Mtr at al-Jman, jld. 1, hal. 301.
[44]
Taqrib at-Tahdzib, jld. 2, hal. 348.
[45] Tahdzib al-Asma wa al-Lughat, jld. 2, hal. 91.
[46] Tahdzib at-Tahdzib, jld. 2, hal. 226.
[47] Syifa al-Asqam, jld. 10, hal. 11.
[48] Tahdzib at-Tahdzib, jld. 7, hal. 220.
[49] Khulashah 'Abaqat al-Anwar, jld. 2, hal. 47.
[50] Tahdzib at-Tahdzib, jld. 5, hal. 303.
[51] Tahdzib at-Tahdzib, jld. 5, hal. 303.
[52] Tahdzib at-Tahdzib, jld. 5, hal. 303.
[53] Mizan al-l’tidal, jld. 2, hal. 417.
[54] Tadzkirah Khawash.
[55] Yanabi' al-Mawaddah, hal. 118, terbitan Muassasah
al-A 'lami Beirut – Lebanon.
[56] Ash-hawa'iq, hal. 151.
[57] Ash-Shawa'iq, hal 143.
[58] Mustadrak al-Hakim, jld 3, hal 197 - 198.
[59] Mustadrak al-Hakim, jld 3, hal 197 - 198.
[60] Sahih Muslim, bab keutamaan-keutmaan Ahlul Bait.
[61] Baihaqi, di dalam Sunan al-Kubra, bab keterangan
Ahlul Baitnya (Rasulullah saw); tafsir ath-Thabari, jld 22, hal 5; tafsir Ibnu
Katsir, jld 3, hal 485; tafsir ad-Durr al-Mantsur, jld 5, hal 198 - 199; Sahih
Turmudzi, bab keutamaan-keutamaan Fatimah; Musnad Ahmad, jld 6, hal 292 - 323.
[62] Tafsir ad-Durr al-Mantsur, jld 5, hal 198.
[63] Mustadrak al-Hakim, jld 2, hal 416.
[64] Musnad Ahmad, jld 3, hal 292 - 323.
[65] Lisan al-Arab, jld 9, hal 34.
[66] Tafsir ad-Durr al-Mantsur, jld 5, hal 198.
[67] Tafsir ad-Durr al-Mantsur, jld 5, hal 198.
[68] Wafayat al-A'yan,j\d 1, hal 320.
[69]
Dala'il ash-Shidq, jld 2, hal 95.
[70] Al-Kalimah al-Gharra, Syarafuddin, hal 217.
[71] Al-Ghadir, jld 5, hal 266.
[72] Penfasiran ayat dari Ibnu Abbas, di dalam kitab
tafsir ad-Durr al-Mantsur, jld 5, hal 199.
[73] Mustadrak 'ala ash-Shahihain, jld 3, hal 158.
[74] Tafsir ad-Durr al-Mantsur, jld 2, pembahasan tafsir
surat Ali 'lmran ayat 61.
[75] Sahih Bukhari, kitab Manaqib; Sahih Muslim, kitab
keutamaan-keutamaan sahabat; dan Musnad Ahmad, riwayat nomer 1463.
[76] Sahih Muslim, jld 2, hal 360; Isa al-Halabi, jld 15,
hal 176; Sahih Turmudzi, jld 4, hal 293, hadir nomer 3085; al-Mustadrak 'ala
ash-Shahihain, jld 3, hal 150.
[77] Sahih Bukhari, kitab manaqib; Sahih Muslim. Kitab
keutamaan-keutamaan sahabat.
[78] Al-Khatim li Washiyi al-Khatim, hal 392.
[79]
Dala'il ash-Shidg, jld 2, hal 60.
[80]
Fath al-Barifi Syarh Shahih al-Bukhari, jld 7, hal 61.
[81]
Minhaj as-Sunnah, jld 4, hal 86.
[82]
Managib Amirul Mukminin, hal 26 - 27.
[83]
Al-'Umdah, hal 55.
[84] Tarikh Ibnu Katsir, jld 11, hal 147.
[85] Al-Khulashah, jld 2, hal 298.
[86] Asbab an-Nuzul.
[87] Asbab an-Nuzul, al-Wahidi, hal 150.
[88] Al-Khasha'ish, hal 29.
[89] Ad-Durr al-Mantsur, jld 2, hal 298.
[90] Bihar al-Anwar, jld 27, hal 167.
[91] Bihar at-Anwart jld 27, hal 170.
[92] Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 2,
hal. 2.
[93] Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 3,
hal. 2-5.
[94] Musnad Ahmad, jld. 1, hal. 55; Tarikh ath-Thabari,
jld. 2, hal. 466; Ibnu Atsir, jld. 2, hal. 124; Ibnu Katsir, jld. 5, hal. 246.
[95] Al-'Iqd al-Farid, jld. 3, hal. 64; Abul Fida, jld.
1, hal. 156.
[96] Ansab al-Asyraf, jld. 1, hal. 586; Kanz al-'Ummal,
jld.3, hal. 140; ar-Riyadh an- Nadhirah,)\A 1, hal. 167.
[97] Tankh Ya qubi, jld. 2, hal. 126.
[98]
Tarikh ath-Thabari, jld. 2, hal. 443 - 446.
[99]
Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. l, hal. 143, dan jld. 2, hal. 2 -
5.
[100]
Sahih Bukhari, jld. 5, hal. 177, dan jld. 4, hal. 96.
[101] Al-Imamah wa as-Siyasah, jld. l, hal. 25.
[102] Tarikh ath-Thabari, jld. 2, hal. 619; Murur adz-Dzahab,
jld. l, hal. 414; al- 'Iqd al-Farid, jld. 3, hal. 69; Kanz al-'Ummal, jld. 3,
hal. 135; al-Imamah wa as-Siyasah, jld. l, hal. 18; Tarikh adz-Dzahabi, jld. 1,
hal. 388.
[103] Tarikh Ya'qubi, jld. 2, hal. 115.
[104] Al-lmamah wa as-Siyasah, jld. 1, hal. 19.
[105] Al-lmamah wa as-Siyasah, jld. 1, hal. 19.
[106] Munadzarat fi al-Imamah; al-Manaqib, Ibnu
Syahrasyub, jld. 1, hal. 270.
[107]
Tarikh ath-Thabari, jld. 2, hal. 216 -217.
[108]
Tafsir ath-Thabari, jld. 19, hal. 72.
[109]
Al-Bidayah wa an-Nihayah, jld. 2, hal. 40.
[110]
Muruj adz-Dzahab, Mas'udi, jld. 3, hal. 20.
[111]
Muruj adz-Dzahab, jld. 3, hal. 20.
[112]
Yaitu tahun di mana Muawiyah mengumpulkan para pengikutnya pada tahun 42
Hijrah, dan kemudian menamakan mereka dengan nama Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan
oleh karena itu tahun tersebut dinamakan dengan "tahun jamaah".
[113]
Ta`ammulat fl ash-Shahihain, hal. 42 - 43.
[114]
Abu Hurairah, Mahmud Abu Rayyah, hal. 236.
[115]
Ibnu Abil Hadid berkata di dalam syarahnya, "Tampaknya, kesalahan berasal
dari perawi. Karena Tsawr terletak di Mekkah. Adapun yang benar ialah terletak
di antara 'Air dan Uhud.
[116] Ahadits Ummil Mukminin 'Aisyah, hal. 399.
[117] Ahadits Ummul Mukminin, hal. 400.
[118] Tarikh ath-Thabari, jld. 6, hal. 132; Tarikh Ibnu
Atsir, jld. 3, hal. 193.
[119] Tarikh Thabari, jld. 6, hal. 164; Tarikh Ibnu
Atsir, jld. 3, hal. 195.
[120]
Tarikh ath-Thabari, jld. 6, hal. 108.
[121]
Al-Ghadir, jld. 7, hal. 288; menukil dari kitab Nuz-hah al-Majalis, jld. 2,
hal. 184.
[122]
Al-Ghadir, jld. 7, hal. 293; menukil dari 'Umdah at-Tahqiq, hal. 154, di mana
dikatakan, "Inilah karomah Abu Bakar ash-Shiddiq, yang hanya dimiliki
olehnya."
[123]
Al-Ghadir, jld. 7; menukil dari kitab 'Umdah at-Tahqiq, hal. 134.
[124]
Tarikh Ibnu Atsir, jld. 3, hal. 149, pada saat menceritakan peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada tahun 56 Hijrah.
[125]
Sahih Bukhari, jld. 3, hal. 126.
[126]
Sahih Muslim, bab Tayammum, jld. 1.
[127]
Sahih Bukhari, jld. 1, kitab Tayammum.
[128]
Sahih Bukhari, jld. 9, kitab Al-I'tisham.
[129]
Sahih Bukhari, jld. 5, hal. 202.
[130]
Sahih Muslim, kitab Jihad, bab Perang Badar, jld. 3.
[131] Asy-Syafi fi al-Imamah, hal. 19.
[132]
Dala'il ash-Shidq, jld. 1, hal. 3.
[133] Perkataan muhaqqiq.
[134] Al-Muraja'at, hal. 59.
[135] Al-Muraja'at, hal. 424.
[136] 'Aqidah al-Masih ad-Dajjal, hal. 9.
[137] Dala'il ash-Shidq, jld. 1, mukaddimah.
[138] Ushul Madzhab asy-Syi'ah, juz 1, hal. 301.
[139] Ushul Madzhab asy-Syi'ah, juz 1, hal. 307.
[140] Al-lhtijaj, hal.. 321.
[141] Ushul Madzhab asy-Syi'ah, jld. 2, hal. 551.
[142] Ushul Madzhab asy-Syi'ah, jld. 2, hal. 551.
[143] Ushul Madzhab asy-Syi'ah, jld. 2, hal. 551.
[144] Asy-Syafi fi Syarh al-Kafi, jld. 2, hal. 62.
[145]
At-Tawhid, Syeikh Shaduq, hal. 247.
[146]
Asy-Syi'ah wa Al-Our'an, hal.. 7.
[147]
Nahjul Balaghah, syarah Muhammad Abduh, hal. 22.
[148]
Asy-Syi'ah wa Ahlul Bait.
[149]
Asy-Syi'ah wa Ahlul Bait.
[150]
Uyun Akhbar ar-Ridha hal.. 85.
[151]
Nahjul Balaghah, hal. 136, khutbah 92.
[152] Al-Ihtijaj, ath-Thabrasi, hal. 84.
[153] Tabdid azh-Zhalam, hal. 90.
[154] Tabdid azh-Zhalam, hal. 91.
[155] Tabdid azh-Zhalam, hal. 40.
[156] Tabdid azh-Zhalam, hal. 206.
[157] Al-Bidayah wa an-Nihayah, jld. 4, hal. 76; al-Imam
ash-Shadiq wa Madzahib al-Arba'ah, hal. 190.
[158] Tadzkirah al-Huffazh, jld. 3, hal. 375.
[159] Syadzarat adz-Dzahab, jld. 3, hal. 252.
[160] Thabaqat asy-Syafi'iyyah, jld. 4, hal. 184.
[161] Al-Yaqut fi al-Wa'zh, Abu Faraj Ali Ibnu Jauzi,
hal. 48.
[162] Al-Yaqut fi al-Wa'zh, Abu Faraj Ali Ibnu Jauzi,
hal. 48.
[163] Masyariq al-Anwar, karya al-'Adawi, hal. 88.
[164] Ad-Din al-Khal.ish, jld. 3, hal. 355.
[165] Thabaqat asy-Syafi'iyyah, jld. 3, hal. 22.
[166] Al-Kasysyaf, Zamakhsyari, jld. 2, hal. 498.
[167] Al-lmam ash-Shadiq wa al-Madzahib al-Arba'ah, jld.
1, hal. 285.
[168] Al-Intifa, Ibnu 'Abdul Barr, hal. 5.
[169] Tarikh at-Tasyri' al-lslami, Khudhari, hal. 275.
[170] Abu Hanifah, Muhammad Abu Zahrah, hal. 5.
[171] Ibid.
[172] Al-Khathib, jld. 13, hal. 374.
[173] Al-Intifa, Ibnu 'Abdul Barr, hal. 148.
[174] Al-Khathib, jld. 3, hal. 374.
[175] Ta'wil Mukhtalaf al-Hadits, Ibnu Qutaibah, hal. 63.
[176] Al-lntifa, Ibnu 'Abdul Barr, hal. 150.
[177] Al-Intifa, Ibnu 'Abdul Barr, hal. 150.
[178] Manaqib Abi Hanifah, karya Muwaffiq, jld. 1, jal
137; Tadzkirah al-Huffazh, adz-Dzahabi, jld. 1, hal. 157.
[179] Ath-Thabaqat al-Kubra, Sya'rani, jld. 1, hal. 28.
[180] Al-Imam ash-Shadiq, Abdul Hal.im al-Jundi, hal.
180.
[181] Al-Imam ash-Shadiq, Abdul Hal.im al-Jundi, hal.
162.
[182] Al-Imam ash-Shadiq, Abdul Hal.im al-Jundi, hal.
163.
[183] Thabaqat al-Fuqaha, Abi Ishaq.
[184] Al-Imamah wa as-Siyasah, jld. 2, hal. 156.
[185] Mu'jam al-Udaba, jld. 11, hal. 275.
[186] Al-Imam ash-Shadiq Mu'allim al-Insan, Ibnu
Syahrasyub, hal. 24.
[187] Al-lmam ash-Shadiq Mu'allim al-Insan, hal. 52.
[188] Syarh al-Muwaththa, Zarqani, jld. 1, hal. 8.
[189] Al-Imam ash-Shadiq wa al-Madzahib al-Arba'ah, jld.
1, hal. 166.
[190] Ibnu Khal.akan, jld. 2, hal.. 1116.
[191] Seorang qadhi yang menyebarkan mazhab Maliki di
negeri Andalus.
[192] Manaqib Malik, az-Zawi, hal. 17 dan 18.
[193] Ar-Rahmah al-Ghaitsiyyah, hal. 6.
[194] Tarikh Baghdad, jld. 1, hal. 164.
[195] Jami' Fadha'il al-‘Ilm, jld. 2, hal.. 158.
[196] Jami’ Fadha`il al-‘Ilm, jld. 2, hal.. 158.
[197] Al-Khathib al-Baghdadi, jld. 2, hal. 175.
[198] Al-Imam ash-Shadiq wa al-Madzahib al-Arba'ah, jld.
1, hal. 498.
[199] Tadzkirah al-Huffazh, jld. 1, hal. 176.
[200] Tahdzib at-Tahdzib.
[201] Al-Manaqib, al-Bazzaz, jld. 2, hal. 153.
[202] Jami' Bayan al-'llmu wa Fadhlih.
[203] Tawali at-Ta'sis, hal. 86.
[204] Al-La'ali al-Mashnu'ah, jld. 1, hal. 217.
[205] Al-Intiqa, hal. 70.
[206] Ahmad bin Hanbal, Abu Zahrah, hal. 198.
[207] Al-lmam ash-Shadiq wa al-Madzahib al-Arba'ah, jld.
2, hal. 453.
[208] Mukaddimah kitab Ahmad bin Hanbal wa al-Mihnah,
jld. 3, hal. 131 - 139.
[209] Tarikh Ya'qubi, jld. 2, hal. 198.
[210] Thabaqat asy-Syafi'iyyah, jld. 1, hal. 270.
[211] Zhuhr al-Islam, jld. 4, hal. 8.
[212] Tarikh Ibnu Katsir, jld. 10, hal. 239.
[213] Tarikh al-Madzahib al-lslamiyyah, Abu Zuhrah, jld.
2, hal. 322.
[214] Tarikh Thabari, jld. 4, peristiwa-peristiwa yang
terjadi pada tahun 61 Hijrah, hal. 304.
[215] Tarikh Baghdad, jld. 2, hal. 66.
[216] Manaqib Ahmad bin Hanbal, hal. 75.
[217] Tarikh Baghdad, jld. 4, hal. 119.
[218] Ahmad bin Hanbal, Abu Zuhrah, hal. 196.
[219] Ahmad bin Hanbal, Abu Zuhrah, hal. 168.
[220] Al-Imam ash-Shadiq wa al-Madzahib al-Arba'ah, jld.
2, hal. 509.
[221] Dhuha al-Islam, jld. 2, hal. 235.
[222] Zhuhr al-Islam, jld. 4, hal. 96.
[223]
Wasa'il asy-Syi'ah, jld. 18, hal. 94.
[224] Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 4, hal.
14 - 15.
[225] Al-Umm, asy-Syafi’i, jld. 5, hal. 22 - 25.
[226] Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 5, hal.
119.
[227] Tarikh Baghdad, jld. 13, hal. 370.
[228] Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 5, hal.
129.
[229] Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 5, hal.
141.
[230] Al-Mustadrak al-Hakim, jld. 4, hal. 355; Kanz al-
'Ummal, jld. 5, hal. 340, hadis 13129.
[231] Al-Fatawa al-Khairiyyah, jld. 2, hal. 150.
[232] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 5, hal.
123.
[233] Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 5, hal.
123.
[234] Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 1, hal.
63.
[235] Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 1, hal.
117.
[236] Musnad Ahmad, jld. 1, hal. 25; Hifyah al-Awliya,
jld. 6, hal. 342; as-Sunan al-Kubra, Baihaqi, jld. 1, hal. 41.
[237] Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 1, hal.
242.
[238] Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 1, hal.
26.
[239] Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 1, hal.
68; al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Khamsah, hal. 37.
[240] Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 1, hal.
26.
[241] Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba 'ah, jld. 1, hal. 230.
[242] Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 1, hal.
307.
[243] Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 5, hal.
134.
[244] Al-Umm, asy-Syafi’i, jld. 6, hal. 208; al-Fiqh
al-lslami wa Adillatuh, jld. 5, hal. 566.
[245] Al-Fiqh al-hlami wa Adillatuh, jld. 7, hal. 128.
[246] Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, jld. 5, hal.
140.
[247] Al-Imam ash-Shadiq wa al-Madzahib al-Arba'ah, jld.
2, hal. 509; Musnad Ahmad bin Hanbal, jld. 1, hal. 120 dan hal. 446; Turmudzi,
jld. 1, hal. 142.
[248] Sahih Muslim, jld. 1, hal. 51 - 53.
[249] Musnad Ahmad, jld. 5, hal. 25; al-Mu'jam al-Kabir,
Thabrani, jld. 20, hal. 229 - 230; Majma' az-Zawa 'id, jld. 9, hal. 102;
Kam al-'Ummal, jld. 11, hal. 605, hadis
32 924.
[250] Al-Mu'jam al-Kabir, Thabrani, jld. 1, hal. 226;
Tarikh Baghdad, jld. 9, hal. 369; Kanz al-'Ummal, jld. 13, hal. 167, hadis
36507. Juga telah ditulis kitab-kitab yang khusus membahas hadis ini, seperti
kitab Qishshah ath-Thayr, karya Hakim Naisaburi, yang wafat pada tahun 405
Hijrah.
[251] Sahih Turmudzi, jld. 5, hal. 595, hadis 3121;
Majma' az-Zawa'id,jld. 9, hal. 126; al-Mustadrak, jld. 3, hal. 130; Misykat
al-Mashayih, Khathib Tabrizi, jld. 3, hal. 1721; Khasha'ish Amir al-Mukminin,
Nasa'i, hal. 34.
[252] Managib al-Kharazmi, hal. 110; Fara'id as-Simthain,
jld. 1, hal. 223.
[253] Kifayah ath-Thalib, hal. 270; Hilyah al-Awliya`,
jld. 1, hal. 65 - 66.
[254] Ibnu Jarir ath-Thabari di dalam musnad Ali, dari
Tahdzib al-Atsar, hal. 105; al-Mustadrak, jld. 3, hal. 126; Majma' az-Zawa'id,
jld.9, hal. 114; al-Mu'jam al-Kabir, Thabrani, jld. 11, hal. 65 - 66; Tarikh
Baghdad, jld. 4, hal. 348; Kanz al-'Ummat, jld. 11, hal. 614, hadis 32 877 dan
32078; Dzakha'ir al-'Uqba, hal. 83; juga telah ditulis beberapa kitab yang
khusus yang membahas hadis ini, seperti kitab Fath al-Malik al-'Ali, yang
berbicara tentang kesahihan hadis ini, karya al-Muqrizi.
[255] Ath-Thabaqat, Ibnu Sa'ad, jld. 2, hal. 135;
Dzakha'ir al-'Ugba, hal. 83, Manaqib al-Kharazmi, hal. 81; Musnad Ahmad, jld.
5, hal. 113.
[256] Dia adalah Abdullah bin Muhammad al-Hanafiyyah,
yang mempunyai nama laqab al-Akbar dan nama kunyah Abu Hasyim, yang wafat pada
tahun 98 atau 99 Hijrah. Silahkan rujuk kitab Tanqih al-Maqal, karya
al-Mamaqani, jld. 2, hal. 212.
[257] Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 1,
hal. 17.
[258] Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 1,
hal. 17 - 18.
[259]
Managib al-Kharazmi, hal. 96 - 97; Fara`id as-Simthain, jld. 1, hal. 344 - 345.
[260]
Faidh al-Qadir, jld. 4, hal. 357; Fadha'il al-Khamsah min ash-Shihah as-Sittah,
jld. 2, hal. hal. 309; 'Ali Imam al-Muttaqin, Abdurrahman asy-Syarqawi, jld. 1,
hal. 100 - 101; al-Manaqib, Ibnu Syahrasyub, jld. 2, hal. 361.
[261]
Al-Bidayah wa an-Nihayah, jld. 7, hal. 356; Kifayah aih-Thalib, hal. 121.
[262]
Kanz al-'Ummal, hal. 226; ar-Riyadh an-Nadhirah, jld. 2, hal. 218; Kifayah
ath-Thalib, hal. 122; al-Ghadir, jld. 3, hal. 353.
[263]
Al-Muwaththa, Imam Malik, jld. 2, hal. 842; al-Mustadrak, jld. 4, hal. 375;
Fadha'il al-Khamsah, jld. 2, hal. 310.
[264]
Al-lsti'ab, jld. 3, hal. 842; Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 1,
hal. 19; Qurthubi menyebutkan di dalam kitab tafsirnya, tatkala berbicara
tentang tafsir firman Allah SWT yang berbunyi, "Mengandung dan menyapihnya
adalah tiga puluh bulan" (QS. Al-Ahqaf: 15), "Utsman didatangi oleh
seorang wanita yang baru melahirkan anaknya enam bulan (anak hasil zina --
penerj.). Lalu Utsman hendak menjatuhkan hadd atas wanita tersebut, namun Imam
Ali as berkata kepadanya, 'Bukan itu yang berlaku atasnya. Karena Allah SWT
telah berfirman, 'Mengandung sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.'"
[265]
Al-Isti'ab, jld. 3, hal. 1105 - 1106; Fadha'il al-Khamsah min ash-Shihah
as-Sittah, jld. 2, hal. 302; Dzakha'ir al-'Uqba, hal. 84; ash-Shawa'iq
al-Muhriqah, hal. 77.
[266] Al-Manaqib,
Syahrasyub, jld. 2, hal. 367; al-Fushul al-Mi'ah, jld. 5, hal. 366; Kanz
al-'Ummal, jld. 3, hal. 379; Bihar al-Anwar, jld. 40, hal. 252; al-Ghadir, jld.
6, hal. 174.
[267] Kanz al-'Ummal, jld. 3, hal. 179; Bihar al-Anwar,
jld. 40, hal. 257.
[268] Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 9,
hal. 231; al-Umm, jld. 4, hal. 233; bab "kekhilafahan di dalam memerangi
pembuat makar". Syafi’i berkata, "Kita mengenal hukum makar dari Ali
as."
[269] Ar-Riyadh an-Nadhirah, jld. 3, hal. 163; Dzakaha'ir
al-'Uqba, hal. 8l; MaThalib as-Su'ul, hal. 13; Manaqib al-Kharazmi, hal. 48;
al-Arba'in, Fakhrurrazi, hal. 466; al-Ghadir, jld. 6, hal. 110.
[270] Nahj al-Haq wa Kasyf ash-Shidq, hal. 238; Syarh
Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid,jld. 1, hal. 19.
[271] Nahj al-Haq wa Kasf ash-Shidq, hal. 228; Syarh Nahj
al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 1, hal. 19.
[272] Telah lalu penjelasannya.
[273] Telah lalu penjelasannya.
[274] Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 7,
hal. 253.
[275] Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 7,
hal. 253.
[276]
Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 1, hal. 26.
[277]
Al-Irsyad al-Mufid, hal. 256; l'lam al-Wara, hal. 255; Bihar al-Anwar, jld. 46,
hal. 62.
[278]
Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 1, hal. 20.
[279]
Al-Maghazi, al-Muqidi, jld. 1, hal. 92.
[280]
Al-Maghazi, jld. 1, hal. 147 - 152; al-Irsyad, Syeikh al-Mufid, hal. 41 - 43;
Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 1, hal. 24.
[281]
Al-Manaqib al-Kharazmi, hal. 167; Manaqib Ibnu al-Maghazili, hal. 198 - 199;
Kifayah ath-Thalib, hal. 277; Thabar, jld. 2, hal. 197; Sirah Ibnu Hisyam, jld.
3, hal. 52; Sunan al-Baihaqi, jld. 3, hal. 276; al-Mustadrak, jld. 2, hal. 385;
ar-Riyadh an-Nadhirah, jld. 3, hal. 155; Dzakha 'ir al- 'Uqba, hal. 74; Mizan
al-I'tidal, jld. 2, hal. 317; Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 1,
hal. 29.
[282]
Dzakha 'ir al-'Uqba, hal. 68; Fadha'il ash-Shahabah, Ahmad, jld. 2, hal. 594;
Majma' az-Zawa'id, jld. 6, hal. 114; Nahj al-Haq wa Kasyf ash-Shidq, hal. 239.
[283]
Tarikh Thabari, jld. 2, hal. 203; al-Kamil, Ibnu Atsir, jld. 2, hal. 110;
as-Sirah al-Halabiyyah, jld. 2, hal. 227; al-Bidayah wa an-Nihayah, jld. 4,
hal. 28; as-Sirah an- Nabawiyyah, Ibnu Katsir, jld. 3, hal. 55; Syarh Nahj
al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 15, hal. 21; ad-Durr al-Mantsur, jld. 2,
hal. 89.
[284]
Al-Maghazi, al-Waqidi, jld. 2, hal. 470 - 471.
[285]
Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 1, hal. 20, dan jld. 8, hal. 53.
[286]
Dia adalah saudara perempuan Amr, yang nama panggilannya (kunyah) adalah Ummu
Kultsum.
[287]
Al-Mustadrak 'ala ash-Shahihain, jld. 3, hal. 33; al-Fushul al-Muhimmah,
Ibnu hubagh al-Maliki, hal. 62;
al-Irsyad al-Mufid, jld. 1, hal. 108; Lisan al-'Arab, Ibnu Manzhur, jld. 7, hal. 127.
[288] Syarh
Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 1, hal. 22.
[289]
Nahj al-Balaghah, Shubhi ash-Shal.ih, hal. 480 - 481; Qishar al-Hikam, hal. 77.
[290]
Biografi Imam Ali bin Abi Thalib, dari kitab Tarikh Dimasyq, Ibnu 'Asakir, jld.
1, hal. 205 dan 157; Sunan at-Turmudzi, jld. 5, hal. 596; Fara'id as-Simthain,
jld. 1, hal. 259; Majma' az-Zawa'id, jld. 6, hal. 151; al-Mustadrak, al-Hakim,
jld. 3, hal. 38 dan hal. 437; Uyun al-Atsar, jld. 2, hal. 132; Musnad Ahmad bin
Hanbal, jld. 2, hal. 384; Sahih Muslim, jld. 4, hal. 1878; Ansab al-Asyraf,
al-Baladzari, jld. 2, hal. 93; al-Khasha'ish, Nasa'I, hal. 34; Manaqib 'Ali bin
Abi Thalib, Ibnu al-Maghazili, hal. 181; ath-Thabaqat, Ibnu Sa'ad, jld. 2, hal.
110; Yanabi'al-Mawaddah, hal. 49; al-Mu'jam ash-Shaghir, Thabrani, jld. 2, hal.
100; Musnad Abu Dawud ath-Thayalisi, hal. 320; Tadzkirah al-Khawash, Cucu Ibnu
Jauzi, hal. 24; as-Sunan al-Kubra, al-Baihaqi, jld. 9, hal. 106 dan hal. 131;
Hilyah al-Awliya, jld. 1, hal. 62; Ama al-MaThalib, al-Jazri, hal. 62; Sahih Bukhari,
jld. 5, hal. 22; Usud al-Ghabah, jld. 4, hal. 21; al-Bidayah wa an-Nihayah,
jld. 4, hal. 182; Tarikh Thabari, jld. 3, hal. 12; Dzakha'ir al-'Uqba, hal. 87;
Tarikh al-Islam, adz-Dzahabi, jld. 2, hal. 194; al-'Iqd al-Farid, jld. 2, hal.
194; al-Kamil fi at-Tarikh, jld. 2, hal. 149; Muruj adz-Dzahab, jld. 3, hal.
14; lhqaq al-Haq, jld. 5, hal. 400; Fadha'il al-Khamssah, jld. 2, hal. 161.
[291]
Lisan al-Mizan, jld. 5, hal. 219; Mizan al-I'tidal, jld. 3, hal. 597.
[292]
Al-Manaqib, al-Kharazmi, hal. 67; al-Firdaus, jld. 3, hal. 373.
[293]
Al-Firdaus, jld. 2, hal. 142; hadis 2725; al-Manaqib, al-Kharazmi, hal. 75.
[294]
Musnad Ahmad, jld. 1, hal. 77; Sunan Turmudzi, jld. 5, hal. 599; Tarikh
Baghdad, jld. 13, hal. 288; Kanz al-'Ummal, jld. 13, hal. 639.
[295]
Sahih Bukhari, jld. 4, hal. 2; Sahih Muslim, jld. 3, hal. 1249; Sunan Ibnu
Majah, jl 2, hal. 901.
[296]
Al-Manaqib, Ibnu al-Maghazili, hal. 200 - 201; Dzakha'ir al-'Uqba, hal. 71.
[297]
Ma'alim at-Tanzil, al-Baghawi, jld. 3, hal. 400.
[298]
Musnad Ahmad, jld. 1, hal. 159.
[299]
Tarikh Thabari, jld. 2, hal. 319 - 321.
[300]
Musnad Ahmad, jld. 2, hal. 93, dan jld. 4, hal. 368, 372 dan 381.
[301]
Al-‘Iqd al-Farid, jld. 5, hal. 61.
[302]
Di antara yang menyebutkan peristiwa Harits bin Nu'man ialah, Fara'id as-
Simthain, jld 1, hal. 82; Nur al-Abshar, Syabalanji, hal. 71, terbitan
as-Sa'diyyah, dan hal. 71, terbitan al-'Utsmaniyyah; Nadzm Durar as-Samthain,
Zarandi al-Hanafi, hal. 93; Yanabi' al-Mawaddah, al-Qanduzi al-Hanafi, hal.
328, terbitan al-Haidariyyah, dan hal. 274, terbitan Islambul.
[303]
Tarikh Thabari, jld. 3, hal. 208.
[304]
Telah lalu penjelasannya.
[305]
Ma'alim at-Tanzil, al-Baghawi, jld. 4, hal. 465; Majma' al-Bayan, jld. 10, hal.
462.
[306]
Sahih Bukhari, jld. 6, hal. 81.
[307] Sunan
Turmudzi, jld. 5, hal. 256 - 257.
[308]
Musnad Ahmad, jld. 3, hal. 212, Ibnu Abi Syaibah, hal. 84 - 85; Kanz al-'Ummal,
jld. 2, hal. 431; al-Bidayah wa an-Nihayah, jld. 5, hal. 37.
[309]
Musnad Abu Dawud, hal. 125; Musnad Ahmad, jld. 3, hal. 184; al-Mushannaf, Ibnu
Abi Syaibah, jld. 12, hal. 169, hadis 12438, dan hal. 173, hadis 12 447; Kanz
al-'Ummal, jld. 12, hal. 30, hadis 33831.
[310]
Al-Mu'jam ash-Shaghir, ath-Thabrani, jld. 1, hal. 256; Kanz al-'Ummal, jld. 1,
hal. 210; Majma' az-Zawa 'id, jld. 1, hal. 189.
[311]
Tanzih al-Anbiya, 'Alam al-Huda asy-Syarif al-Murtadha.
[312]
Musnad Ahmad, jld. 4, hal. 281.
[313]
Fadha'il al-Khamsah, Ahmad bin Hanbal, jld. 2, hal. 615.
[314]
Sahih Muslim, jld. 4, hal. 1871 - 1873; Sahih Bukhari, jld. 5, hal. 23.
[315]
Sahih Muslim, jld. 5, hal. 1870; Sahih Bukhari, jld. 5, hal. 24.
[316]
Yaitu firman Allah SWT yang berbunyi, "Orang-orang yang menafkahkan
hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan
" (QS. al-Baqarah: 274)
[317]
al-Mustadrak, jld. 3, hal. 32; Tarikh Baghdad, jld. 13, hal. 19, nomer 6978;
al- Firdaus bi Ma'tsur al-Khithab, jld. 3, hal. 455.
[318]
Fara`id as-Simthain, jld. 1, hal. 143.
[319]
Kifayah al-Atsar, hal. 38; Bihar al-Anwar, jld. 36, hal. 289.
[320]
Musnad Ahmad, jld. 3, hal. 3 dan hal. 62; Sunan at-Turmudzi, jld. 5, hal. 624;
Tarikh Baghdad, jld. 11, hal. 90; Kanz al- 'Ummal, jld. 12, hal. 112, hadis
34246.
[321]
Musnad Ahmad, jld. 5, hal. 92 dan 94; al-Mu'jam al-Kabir, jld. 2, hal. 236,
hadis 1875, dan hal. 248, hadis 1923.
[322]
Sahih Bukhari, jld. 4, hal. 218.
[323]
Sahih Muslim, jld. 3, hal. 1453.
[324]
Sahih Muslim, jld. 3, hal. 1453.
[325]
Majma' az-Zawa 'id, jld. 5, hal. 197, jld. 6, hal. 442; Musykil al-Atsar, jld.
1, hal. 224; Musnad Ahmad bin Hanbal, jld. 2, hal. 175 dan hal. 223; terbitan
al-Maimanah, al-Kamilfi adh-Dhu'afa, Ibnu 'Uday, jld. 5, hal. 1816; al-Bidayah
wa an-Nihayah, jld. 7, hal. 165; Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld.
8, hal. 259.
[326]
Kifayah al-Atsar, hal. 69 - 73.
[327]
Al-Imamah wa as-Siyasah, jld. 1, hal. 22; Kanz al-'Ummal, jld. 5, hal. 588;
hadis 14046 dan hadis 1405. Tarikh Thabari, jld. 3, hal. 210; Nahj al-Haq, hal.
264; Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 1, hal. 169.
[328]
Ibid.
[329]
Telah lalu penjelasannya.
[330]
Al-Milal wa an-Nihal., Syahrestani, jld. 1, hal. 144; Syarh Nahj al-Balaghah,
Ibnu Abil Hadid, jld. 4, hal. 96.
[331]
Telah lalu penjelesan mengenainya.
[332]
Al-lmamah wa as-Siyasah, jld. 1, hal. 14.
[333]
Syarh as-Sunnah, al-Baghawi, jld. 12, hal. 198; Majma' az-Zawa'id, jld. 6, hal.
251; Kasyf al-Astar, jld. 2, hal. 211.
[334]
Al-lmamah wa as-Siyasah, jld. 1, hal. 191; Nahj al-Haq, hal. 27; Syarh Nahj
al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 2, hal. 56.
[335]
Nahj al-Haq, hal. 272; Usud al-Ghabah, jld. 2, hal. 14; ash-Shawa'iq al-
Muhriqah, hal. 175, terbitan al-Muhammadiyyah, dan hal. 105, terbitan
al-Maimanah Mesir.
[336]
Telah lalu penjelasannya.
[337]
Tarikh al-Khamis, jld. 2, hal. 167; Sahih Bukhari, jld. 6, hal. 17.
[338]
Telah lalu penjelasannya.
[339]
Ad-Durr al-Mantsur, jld. 2, hal. 466; Nahj al-Haq, hal. 278; Syarh Nahj al-
Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 1, hal. 182, dan jld. 12, hal. 17.
[340]
Nahj al-Haq, hal. 279.
[341]
Ahkam al-Qur'an, al-Jashshash, jld. 3, hal. 61.
[342]
Nahj al-Haq, hal. 281; ad-Durr al-Mantsur, jld. 2, hal. 482.
[343]
Al-Imamah wa as-Siyasah, jld. 1, hal. 28 - 29; Nahj al-Haq, hal. 285.
[344]
Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 16, hal. 274.
[345]
Syarh Nahj al-Haq, Ibnu Abil Hadid, jld. 3, hal. 18; Tarikh al-Khamis, jld. 2,
hal. 255 dan 259; al-Kamil fi at-Tarikh, jld. 3, hal. 52; al-Imamah wa
as-Siyasah, jld. 1, hal. 32; Usud al-Ghabah, jld. 5, hal. 90; Nahj al-Haq, hal.
290.
[346]
Tarikh al-Khamis, jld. 1, hal. 26; Tarikh Thabari, jld. 5, hal. 49; Tarikh
Ya'qubi, jld. 2, hal. 100; al-Ma'arif, Ibnu Quthaibah, hal. 84; Nahj al-Haq,
hal. 293; Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 1, hal. 198.
[347]
Nahj al-Haq, hal. 294; Tarikh al-Khamis, jld. 2, hal. 262; Syarh Nahj
al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 1, hal. 199; Tarikh al-Khulafa, hal. 164.
[348]
Nahj al-Haq, hal. 295; Usud al-Ghabah, jld. 3, hal. 259; Tarikh Ibnu Katsir,
jld. 7, hal. 163; Tarikh al-Khamis, jld. 2, hal. 268; Syarh Nahj al-Balaghah,
Ibnu Abil Hadid, jld. 1, hal. 198, dan jld. 3, hal. 40.
[349]
Tarikh al-Khamis, jld. 2, hal. 271; al-Imamah wa as-Siyasah, jld. 1, hal. 32;
Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 1, hal. 238; Nahj al-Haq, hal.
296.
[350]
Tarikh Ya'qubi, jld. 2, hal. 162; al-Kamil fi at-Tarikh, jld. 3, hal. 56; Nahj
al- Haq, hal. 298; Ansab al-Asyraf, jld. 5, hal. 52; Muruj adz-Dzahab, jld. 2,
hal. 339.
[351]
Yanabi' al-Mawaddah, bab 61, hal. 350; Maqtal al-Husain, al-Muqrim.
[352]
Al-Khuthath al-Muqiziyyah, jld 2, hal 390.
[353]
Tarikh al-Falsafah al-'Arabiyyah, jld 1, hal 179.
[354]
Al-Milal wa an-Nihal, asy-Syahrestani, jld 1, hal 164.
[355]
Mir'at al-'Uqu l fi Syarh Akhbar Aali ar-Rasul, jld 1, hal 84.
[356]
Mir'at al-'Uqul fi Syarh Akhbar Aali ar-Rasul, jld 84.
[357]
Perkataan Muhammad Rasyid Ridha, murid Muhammad Abduh di dalam kitab Adhwa`
'ala as-Sunnah al-Muhammadiyyah, karya Muhammad Abu Rayyah, hal 23.
[358]
Al-Milal wa an-Nihal, Syahrestani, jld 1, hal 165.
[359]
Fi' 'Aqa'id al-Islam, kumpulan risalah-risalah Muhammad bin Abdul Wahhab, hal
155.
[360]
Al-Milal wa an-Nihal, jld 1, hal 105.
[361]
Kitab as-Sunnah, hal 54.
[362]
Kitab as-Sunnah, hal 76.
[363]
Kitab as-Sunnah, hal 76.
[364]
Kitab at-Tauhid, hal 113; Kitab as-Sunnah, hal 65.
[365]
Kitab at-Tauhid, hal 190.
[366]
Kitab at-Tauhid, hal 190.
[367]
Kitab at-Tauhid, hal 184.
[368]
Kitab at-Tauhid, hal 184.
[369]
Kitab as-Sunnah, hal 190.
[370]
Kitab as-Sunnah, hal 71.
[371]
Kitab as-Sunnah, hal 79.
[372]
Kitab as-Sunnah, hal 81.
[373]
Kitab at-Tauhid, hal 217.
[374]
Kitab at-Tauhid, hal 194.
[375]
Al-Bidayah wa an-Nihayah, jld 14, hal 4-5.
[376]
Rihlah Ibnu Bathuthah, hal 95.
[377]
Al-Milal wa an-Nihal, hal 84.
[378]
Tafsir Surah an-Nur, Ibnu Taimiyyah, hal 178 - 179.
[379]
Al-Muqaddimah fi Ushul at-Tafsir, hal 51.
[380]
Tafsir ath-Thabari, jld 3, hal 7.
[381]
Tafsir ath-Thabari, jld 3, hal 9.
[382]
Al-'Aqidah al-Hamawiyyah al-Kubra, yang merupakan kumpulan surat-surat Ibnu
Taimiyyah, hal 329 - 332.
[383]
Faidh al-Qadir, asy-Syaukani.
[384]
Tafsir ath-Thabari, jld 2, hal 82.
[385]
Tafsir al-Baghawi.
[386]
Al-Milal wa an-Nihal, jld 4, hal 42, Syahrestani.
[387]
Al-Milal wa an-Nuhal, jld 4, hal 42.
[388]
Al-Milal wa an-Nihal, Syeikh Ja’far as-Subhani.
[389]
Fi 'Aqa'id al-Islam, Muhammad bin Abdul Wahhab, hal 38.
[390]
Risalah Arba'ah Qawa'id, Muhammad bin Abdul Wahhab, hal 4.
[391]
Risalah Arba'ah Qawa'id, Muhammad bin Abdul Wahhab, hal 4.
[392]
'Aqa'id al-Islam, kumpulan surat-surat Muhammad bin Abdul Wahhab, hal 26.
[393]
'Aqa 'id al-Islam, Muhammad bin Abdul Wahhab, hal 26.
[394]
Al-Musyahadat al-Ma'shumiyyah 'lnda Qabr Khair al-Barriyyah, hal 15.
[395]
Fath al-Majid, Mufid bin Abdul Wahhab, hal 67, cetakan 6.
[396]
Sunan Ibnu Majah, jld 1, hal 331; Mustadrak al-Hakim, jld 1, hal 313; Musnad
Ahmad, jld 4, hal 138; al-Jami' ash-Shaghir, hal 59; Talkhish al-Mustadrak,
adz-Dzahabi.
[397]
Al-Tawashshul ila Haqiqah at-Tawassul, hal 158.
[398]
Kasyf al-Irtiyab, hal 309, menukil dari kitab Khulashah al-Kalam.
[399]
At-Tawashshul ila Haqiqah at-Tawassul, hal 66.
[400]
Fath al-Barifi Syarh Shahih al-Bukhari, jld 13, hal 371.
[401]
Al-Farq Baina al-Firaq, hal 5.
[402]
Thabaqat asy-Sya'rani, jld 1, hal 44; Manaqib Ahmad, hal 343; Nur al-Abshar,
Syabalanji, hal 225.
[403]
Tafsir Nur al-Ma'ani, jld 9, hal 52, terbitan Dar Ihya at-Turats al-'Arabi -
Beirut, tahun 1985 Masehi.
[404]
At-Tawhid. Karya ash-Shaduq, hal 112, hadis nomer 9.
[405]
At-Tawhid, karya ash-Shaduq, ha '09, hadis nomer; at-Tawhid, 109.
[406]
at-Tawhid, karya ash-Shaduq, hal 108, hadis nomer 5.
[407]
Al-Madzahib al-lslamiyyah, Abdurrahman al-Badawi, jld 1, hal 613.
[408]
Min al-'Aqidah wa ila ats-Tsawrah, jld 2, hal 253.
[409]
Al-Milal wa an-Nihal, karya Syeikh Ja'far as-Subhani, jld 2, hal 200.
[410]
Dala'il ash-Shidq, Syeikh Mudzaffar, jld 2, hal 184.
[411]
Al-Milal wa an-Nihal, Ja'far as-Subhani, jld 2, hal 205.
[412]
At-Tawhid, Syeikh Shaduq, hal 116.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar