BAGIAN KETUJUH
Yang Mengutamakan Keinginan Allah
Dalam bagian yang lalu, saya telah membahas tentang "orang yang
mengutamakan keinginan dirinya atas keinginan Allah" secara panjang lebar.
Sekarang, saya -Insya Allah- akan membahas tentang "orang yang
mengutamakan keingi nan Allah di atas keinginan (nafsu) dirinya". Sebelum
memasuki kajian yang lebih mendalam, terlebih dahulu saya hendak memaparkan
beberapa redaksi dan versi bagi hadis qudsi yang mulia ini.
Syaikh Ash-Shadûq as meriwayatkan dalam kitab Al- Khishâl dengan sanad dari
Abu Ja'far Al-Bâqir as, beliau berkata bahwa
"Sesungguhnya Allah berfirman; Demi keagu ngan-Ku, keindahan-Ku,
keperkasaan- Ku, ketinggian-Ku dan ketinggian (tempat)-Ku, tidaklah seorang
hamba mengutama kan keinginan-Ku di atas keinginan (nafsu) dirinya, kecuali Aku
jadikan kekayaannya dalam jiwanya, harapannya pada akhiratnya, Aku cukupkan
harta bendanya, Aku jaminkan riz kinyapada langit dan bumi dan Aku di belakang
setiap 'perda gangan' yang dia lakukan." [1]
Dalam kitab Tsawâbul A'mâl
diriwayatkan dengan sa nad dari Ali bin Al-Husein as, beliau berkata bahwa
"Sesung guhnya Allah berfirman; "Demi kemulian-Ku, kebesaran-Ku,
keagungan-Ku, keperkasaan- Ku, nur-Ku, ketinggian-Ku dan ketinggian tempat-Ku.
Tidaklah seorang hamba mengutama kan keinginan-Ku di atas keinginan dirinya
melainkan Aku suruh para malaikat-Ku untuk menjaganya, langit dan bumi menjamin
rizkinya dan Aku di belakang setiap 'perdagangan'- nya serta dunia akan datang
dan selalu berpihak padanya". [2]
Ibnu Fahad meriwayatkan dalam kitabnya 'Uddatud Dâ'î dari Rasulullah SAWW
tentang firman Allah sebagai beri kut: "Demi kemulian-Ku, kebesaran-Ku,
keagungan-Ku, keper kasaan-Ku, nur-Ku, ketinggian- Ku dan ketinggian tempat-Ku.
Tidaklah seorang hamba mengutamakan keinginan-Ku di atas keinginan dirinya
melainkan Aku suruh malaikat-Ku untuk menjaganya, langit dan bumi menjamin
rizkinya dan Aku berada di belakang setiap perdagangannya serta dunia akan
selalu datang dan berpihak padanya." [3]
Syaikh Al-Kulaini meriwayatkan dalam kitab Ushûl Al- Kâfî dengan sanad dari
Abu Ja'far as sebagai berikut: "...melainkan Aku suruh malaikat-Ku untuk
menjaganya (mencukupinya), langit dan bumi menjamin rizkinya dan Aku bera da di
belakang setiap perdagangan yang dia lakukan". [4]
Manusia yang Mengutamakan Keinginan Allah di atas Keinginan Dirinya Pengertian
pengutamaan (îtsâr) ini ialah menjadikan ke hendak Allah SWT sebagai hakim
(penentu) atas keinginan (nafsu) dirinya dan menahan diri dari ajakan hawa
nafsu sesuai dengan ketentuan hukum Allah. Allah SWT berfirman: "Dan
adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari
ke inginan hawa nafsunya, maka sesunguhnya surgalah tempat tinggalnya".
Q.S.An-Nâzi’ât:40-41. Persimpangan antara taqwa dan fujur (kesesatan) adalah
titik benturan antara keinginan Allah SWT berupa hukum dan firman-Nya dan
keinginan (nafsu) manusia. Jika manusia mengutamakan keinginan Allah SWT atas
keinginan (nafsu) dirinya, maka dia akan berjalan di jalan ketaqwaan. Namun,
sebaliknya, jika manusia mengutamakan keinginan pribadinya atas keinginan
Allah, maka dia akan berjalan di atas jalan fujur.
1. Aku
Jadikan Kekayaanya dalam Jiwanya Yang populer di kalangan manusia bahwa
kekayaan dan kefakiran adalah dua keadaan yang berhubungan dengan emas perak
dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan jiwa. Akan tetapi, Islam mempunyai
pengertian tentang ke duanya yang berbeda dengan pengertian pada umumnya. Islam
menganggap keduanya sebagai masalah jiwa bukan harta benda.
Maka boleh-boleh saja jika ada seorang yang disebut kaya meskipun tidak
berharta dan disebut fakir meskipun berharta banyak. Dalam doa 'Arafah Imam
Husein as bermunajat de mikian: ''Ya Allah, jadikanllah kekayaanku dalarn
jiwaku, ke yakinan dalam kalbuku, ikhlas dalam amalku, nur dalam penglihatanku
dan bashîrah dalam agamaku". Bagaimanakah mungkin kriteria kekayaan dan
kefakiran bisa berubah dari emas dan perak kepada jiwa? Sungguh rahasia
perubahan (konversi) ini, merupakan bagian dari pelbagai rahasia dan keunikan
agama Islam. Maka dan itu, sebaiknya kita merenung sejenak tentang masalah ini.
Peran Istilah-istilah Keislaman dalam Meluruskan Pemikiran Kata fakir (faqr)
dan kaya (ghinâ) dua istilah yang sering digunakan Islam. Namun demikian, Islam
mempunyai perha tian yang khusus terhadap berbagai peristilahan atau termino
logi.
Sejumlah besar istilah yang berlaku pada masa jahiliyah telah dihapus oleh
Islam. Islam merevisi istilah-istilah itu untuk meluruskan berbagai pemikiran,
pandangan dan konsepsi ma nusia. la juga menggunakannya untuk merevisi sistem
nilai atau "aksiologi" Jahiliyyah tersebut. Karena, Jahiliyyah me
miliki "aksiologi" tersendiri yang berbeda dengan milik Islam. Kadang
Islam membuang jauh-jauh nilai Jahiliyyah dan membuat nilai yang sama sekali
baru dalam kehidupan sosial. Kadang juga Islam merombak suatu antinorma dalam
politik, akhlak, masyarakat dan hukum peradilan menjadi norma yang mesti
dijalankan. Di masa Jahiliyyah, wanita adalah antinorma. Mereka merasa naas
bila memiliki anak perempuan. Kemudian datang Islam dan merubahnya menjadi
norma yang mulia dan tinggi. Perbedaan dalam berbagai norma (nilai) ini timbul
akibat adanya perbedaan dalam aksiologi.
Setiap norma atau nilai itu memiliki tolok ukur atau kriteria yang mesti
diikuti. Kita tidak akan bisa memahami suatu nilai tanpa berpegangan pada tolok
ukur tertentu. Islam menggunakan terminologi yang dibangunnya un tuk merubah
sistem nilai Jahiliyyah. Implikasi perubahan ak siologis itu adalah suatu
perubahan normatif yang total. Untuk membuktikan hal tersebut akan saya
jelaskan peran yang di mainkan oleh istilah baru kefakiran dan kekayaan yang
telah digunakan Islam dalam merubah sistem nilai, kemudian dalam merubah norma.
Di bawah ini penjelasan labih lanjutnya. Kefakiran dan Kekayaan dalam Sistem
Nilai Ishun Kefakiran dan kekayaan menurut manusia, pada umum nya, ialah ungkapan
bagi sedikit-banyaknya harta. Dengan kata lain, orang fakir adalah yang tidak
banyak memiliki emas, perak atau harta lainnya. Sedang orang kaya adalah yang
banyak memiliki emas, perak atau harta lainnya. Konsekuensi logisnya, manusia
mendefmisikan derajat-derajat kekayaan melalui ku antitas hartanya. Dengan
demikian, orangyang memiliki daya beli paling besar adalah orang yang paling
kaya. Sebaliknya orang yang kecil daya belinya adalah orang yang paling miskin.
Kalau demikian, menurut manusia, kemiskinan dan kekayaan adalah dua keadaan
yang seluruhnya bersifat kuantita tif. Sistem Nilai Jahiliyyah Penggunaan
istilah di atas tidak membahayakan dan Islam tidak menentangnya, sekiranya
permasalahan itu berhenti sampai pada batasan ini.
Namun, masalah ini tidak hanya begitu saja. Karena, keadaan kuantitatif ini
(Baca : kekayaan), dalam sistem nilai Jahiliyyah, berubah menjadi suatu nilai
sosial dan politis dengan segala konsekuensinya seperti kehor matan, kemuliaan
derajat, kedudukan sosial, pengaruh politis dan kepercayaan manusia. Dan ini
ialah contoh paling jelas adanya perubahan kuantitas kepada kualitas dalam
sistem nilai Jahiliyyah.
Manakala kita perhatikan dengan cermat perubahan ini, maka kita akan
menemukan bahwa emas yang kuantitas beru bah menjadi kualitas yang berarti
nilai sosial dan politis. Tidak diragukan lagi bahwa dalam kehidupan masyarakat
kuantitas dan kualitas itu mempunyai kaitan langsung. Kita tidak mung kin bisa
menutup mata atau menahkannya sama sekali. Namun Islam membalik rumusan ini.
Islam menjadikan kuantitas me ngikuti kualitas dan bukan sebaliknya. Sebagai
contoh, berubahnya kejujuran dan ketakwaan dalam transaksi (kualitas) menjadi
prestasi dalam kinerja ek onomis (kuantitas). Atau berubahnya kejujuran dan
ketakwaan dalam kiprah politik menjadi meluasnya dukungan kepadanya dalam
pemilihan umum.
Beginilah semestinya keadaan yang normal dalam suatu masyarakat. Adapun,
manakala masalahnya berbalik dan kuantitas menjadi tolok ukur suatu sistem
nilai dalam kehidupan bermasyarakat dan berpolitik, maka masyarakat pasti akan
meng hadapi suatu ancaman luar biasa dalam berbagai nilai dan prinsip yang
mereka pegangi. Inilah yang ditemukan dalam peradaban Jahiliyyah; di mana
struktur material berkuasa penuh atas struktur maknawi dan moral. Sehingga
materi menjadi kriteria aksiologis dan bukan sebaliknya. Hal ini yang terjadi
pada kaum muslimin setelah per luasan kawasan Islam.
Islam datang dengan membawa suatu sistem nilai yang baru bagi kehidupan
manusia yang tidak dikenal di masa Jahiliyyah. la menjadikan bagian maknawi
kehidupan manusia sebagai sumber pokok penilaian dan bagian bendawinya sebagai
kelanjutan.
Akan tetapi, ketika peta kawasan kaum Muslim sudah semakin meluas, dan
Allah juga telah membukakan bagi mereka harta kerajaan Kisra dan Kaisar, dan
cakrawala bumi dengan harta benda yang berlimpah- ruah, mereka mulai
menjungkirbalikkan sistem nilai atau ak siologi Islam. Maka, emas dan perak
kembali menduduki posis- inya sebagai tolok ukur aksiologis. Situasi dan
keadaan mereka kembali seperti semula di awal masa Rasulullah diangkat sebagai
Imam, penunjuk jalan dan rasul bagi manusia. Di saat Imam Amirul Mukminin Ali
as memegang tam puk kepemimpinan pasca Usman bin Affan, beliau menemukan
orang-orang Islam telah benar-benar berbalik. Sama seperti orang yang memakai
baju terbalik; bagian luarnya di dalam dan bagian dalamnya di luar; bagian
atasnya di bawah dan bagian bawahnya di atas. Tentang Bani Umayyah Imam Ali
berkata: "...dan baju yang dipakai seperti jubah (yang terbuat dari kain
yang halus) yang dipakai secara terbalik". [5]
Imam Ali as juga menemukan rakyat telah kembali se perti keadaan mereka di
saat pertama Rasulullah SAWW di utus. Mereka telah berpaling dari apa yang
telah di bawa Rasulullah. Imam Ali as berkata: "Sesungguhnya, malapetaka
yang me nimpamu merupakan ulangan dari apa yang terjadi pada masa Allah
mengutus Nabirnu SAWW Demi Allah yang mengutus Nabi-Nya dengan kebenaran,
kalian akan ditumbangkan, di goncang dengan keras, diayak dan dicampur aduk bak
adonan di belanga, sehingga orang-orang yang rendah menjadi tinggi dan
orang-orang yang tinggi menjadi rendah..." [6] Dalam ucapan ini, Imam Ali
as ingin menjelaskan bahwa mereka akan menghadapi htnah yang besar dan
kemurtadan dari nilai-nilai, norma-norma dan landasan-landasan Islam.
Sehagaimana isi belanga yang terjungkir-balik karena men didih di mana yang
di atas menjadi di hawah dan yang di bawah menjadi di atas. Begitulah keadaan
muslimin setelah meluasnya kawasan geograhs mereka dan setelah Allah
melapangkan berbagai rizki bagi mereka. Begitu jugalah tragedi yang dialami
peradaban Jahiliyyah setelah berlimpah-ruahnya kenikmatan dan harta benda
mereka. Pada saat Islam berusaha merubah aistem nilai Jahiliy yah, pertama-tama
yang dilakukannya ialah mencetuskan "kamus" istilah baru yang
mengartikan kefakiran dan kekayaan dengan makna baru. Itu semua, pada
gilirannya, untuk me- nandingi sistem nilai Jahiliyyah. Inilah yang akan saya
bahas, Insya Allah.
Sistem Nilai dan Aksiologi Islum Di sini ada dua aliran dalam menafsirkan
kekayaan. Salah satunya dengan ukuran emas yang dimiliki. Ini adalah penafsiran
maudhu'iy-mahsus (obyektif-empiris) terhadap kata itu. Pada konteks ini, kata
al-ghanî (kaya) ini, kurang lebih, sepa dan dengan makna ats-tsarî (berharta).
Adapun penafsiran lainnya ialah penafsiran yang bersifat dzâtî (subyektif
dan esensial). Yaitu kekayaan jiwa yang di peroleh manusia melalui keyakinan
dan tawakal seorang kepada Allah. Kekayaan semacam ini tidak ada hubungannya
dengan kuantitas harta benda. Pada konteks ini, mungkin saja ada orang yang
berharta banyak sementara dia tetap miskin (fakir) dan orang yang tidak
berharta sedikit sementara dia kaya raya. Kekayaan dan kefakiran dalam
pengertian yang akhir ini, benar-benar berbeda dengan pengertian obyektif-empirisnya.
Orang kaya menurut pengertian ini adalah yang kaya jiwanya, bukan yang kaya
tangannya atau depositonya. Ketika Islam menentukan pengertian baru ini,
sebenar nya ia telah herusaha mengadakan perombakan total dalam sistem nilai
Jahiliyyah dan menandingi atau menghadapinya. Berikut ini, saya akan
menguraikan nash-nash keislaman yang memuat pengertian kaya dan fakir. Kemudian
baru saya akan memulai menguraikan sistem nilai baru yang ditetapkan Islam.
Istilah Kaya dalam Nash-nash Keislaman Rasulullah SAWW bersabda: "Tidak
disebut kaya orang yang banyak harta, tapi orang kaya adalah orang yang kaya
jiwanya". [7]
Rasulullah SAWW bersabda: "Kekayaan ada dl hati (kalbu) dan kefakiran
ada di hati juga". [8]
Amirul Mukminin Ali as berkata: "Orang kaya adalah orang yang
gonâ’ah." [9]
Amirul Mukminin as herkata: "Tiada simpanan yang lebih kaya daripada
gonâ’ah." [10] Amirul Mukminin as berkata: "Aku mencari kekayaan, dan
aku tidak mendapatkan kecuali gonâ’ah (rasa cukup). Hen daknya kalian
menyandang gonâ’ah agar kalian menjadi kaya." [11]
Imam Al-Bâqir as berkata:
"Tiada kefakiran seperti ke fakiran hati dan tiada kekayaan seperti
kekayaan hati". [12]
Imam Al-Hâdi as berkata: "Kekayaan ialah sedikitnya angan-anganmu dan
ridha dengan sesuatu yang mencuku pimu". [13]
Kalau demikian, Islam merubah pengertian fakir dan kaya, yang mulanya
merujuk kepada emas dan perak menjadi kepada jiwa. Bahkan lebih jauh lagi,
nahs-nash ini menegaskan bahwa kaya menurut tolok ukur obyektif
mengimplikasikan dengan kefakiran kejiwaan yang subyektif. Pada galibnya,
setiap kali bagian dunia seseorang bertam bah, kefakiran jiwanya pun bertambah
pula. Dengan kata lain, hubungan yang kontras dan berbanding terbalik antara
kaya menurut kerangka obyektif dan kaya menurut kerangka sub yektif-mental
bukan saja bersifat konseptual, melainkan juga bersifat aktual dan yang terjadi
pada umumnya. Amirul Muk minin as berkata: "Orang yang kaya (dunianya)
adalah orang yang fakir". [14]
Imam Zainal Abidin as berkata: "Orang yang mempero leh dunia paling
banyak, maka dia adalah yang paling fakir di dalamnya". [15]
Kita bertanya-tanya, apa sangkut-paut dan korelasi an tara kekayaan
konvensional dan kefakiran mental? Apa penye bab korelasi yang berbanding
terbalik antara kekayaan dengan kerangka obyektif dan subyektif ini? Pada nash
berikut ini kita akan temukan jawaban sekaligus penafsiran tentang korelasi
negatif antara kekayaan dalam pemahamanan yang ini dan yang sebelumnya. Amirul
Mukminin as berkata: "Orang kaya yang rakus adalah orang yang fakir".
[16]
Maksud orang kaya dalam nash ini adalah orang kaya menurut ukuran obyektif
dan maksud orang fakir adalah menu rut ukuran mental yang subyektif. Adapun
kata syarah (rakus) yang menengahi antara keduanya menafsirkan korelasi ini.
Karena kaya menurut pengertian manusia secara umum bi asanya mengarah pada
kerakusan. Dan ketika bagian dunia manusia bertambah, maka - biasanya - dia
akan bertambah tamak. Inilah premis yang pertama. Premis kedua, makin ber
tambah rasa tamak dan rakus seseorang, maka semakin ber tambah pula
ketersiksaan, kegelisahan dan kesulitannya.
Tentang kedua realitas ini, Al-Quran menjelaskan de mikian, Allah SWT
berfirman: "Sesunguhnya Allah menghen daki dengan (memberi) harta benda
dan anak-anak itu untuk menyiksa rnereka dalam kehidupan di dunia dan kelak
akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir .." Q.S. At-
Taubah:55. Dan Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya Allah meng hendaki akan
mengazab mereka di dunia dengan harta dan anak-anak itu dan agar melayang nyawa
rnereka, dalam kea daan kafir..." Q.S. At- Taubah:85. Rakus termasuk
paling dahsyatnya keadaan kefakiran ruhani dan kekosongan psikologis (mental)
pada manusia. Kea daan ini pernah terjadi pada suatu masyarakat di masa Nabi
Daud as sampai Allah memerintahkan mereka untuk ber taubat dan kembali
kepada-Nya.
Ayat dalam surat Shâd berikut ini akan menjelaskan intensitas keutamaan
jiwa. Allah berfirman: “Sesungguhnya saudaraku im mempunyai sembilan puluh ekor
kambing betina dan aku mempunyai seekor saja. Maka dia berkata: "Serahkan
Lah karnbingmu itu kepadaku dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan...".
Q.S. Shâd:23. Suatu Transformasi dalam Sistem Nilai Jadi, Islam telah
menciptakan pengertian baru bagi kata kaya. Kekayaan dalam pengertian baru ini
berubah dari sudut pandang bendawi menjadi jiwa. Maka dengan demikian beru
bahlah kekayaan dari tolok ukur harta kepada tolok ukur jiwa. Nilai manusia
dalam agama Islam tidak dilihat dari pemi likan uang dan harta benda,
sebagaimana yang berlaku pada masa Jahiliyyah.
Islam meletakkan nilai-nilai kemanusian pada asas iman kepada Allah, takwa,
ilmu dan berbagai norma etis lain tanpa harus menafikan pengertian yang sudah
populer yang hanya bernuansa ekonomis.
Arti baru yang disajikan Islam ini berorientasi untuk membebaskan nuansa
yang melulu bersifat ekonomis pada makna kekayaan dan kefakiran. Sekarang
simaklah wacana Imam Ali yang sangat padat dan dalam untuk menyimpulkan
revolusi aksiologis yang ter jadi ini: "Kebaikan itu bukanlah bertambahnya
hartamu. Tetapi ia adalah bertambahnya ilmumu, sopan santunmu dan penca paianmu
dalam beribadah kepada Tuhanmu. Dan jika kamu beramal baik, karnu memuji Aliah
dan jika kamu beramal buruk, kamu mernohon arnpunan dari- Nya". [17]
Transformasi nilai ini secara pasti diikuti oleh transfor masi dalam
posisi-posisi sosial dan politik. Karena penilaian dalam seluruh peradaban
berkait dengan aksiologi atau sistem nilai dari satu segi, dan dari segi
lainnya berkait dengan posisi-posisi sosial, politik, ekonomis dan ilmiah. Jika
kita perhatikan peradaban Jahiliyyah modern di Barat, maka kita akan temukan
pengaruh modal (uang) yang sangat kuat pada pemilihan umum, kantor-kantor
berita dan medm-media informasi dan keputusan politik. Menurut hemat saya,
semua itu disebabkan oleh peradaban yang ditegakkan di atas dasar aksiologi
materialistik yang tidak berlandaskan pada norma-norma etis (akhlak) dan
spiritual sama sekali.
Permasalahan tersebut sungguh berbeda dengan apa yang ada dalam agama
Islam. Menurut Islam, nilai dan penilaian ditegakkan atas dasar-dasar akhlak,
ruhani, hubungan ma nusia dengan Allah, ketakwaan dan pengetahuan. Allah berfir
man: "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara ham ba-hamba-Nya,
hanyalah ulama". Q.S. Fâthir:28. Allah SWT juga berfirman: "Sesungguhnya
orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling takwa."
Q.S. Al-Hujurât:130. Maka dari itu, ketakwaan dan keadilan merupakan pra syarat
bagi pemimpin umat Islam, qâdhî (hakim) yang akan memutuskan, orang yang diberi
amanat harta benda kaum Muslim dan orang-orang yang menempati posisi-posisi
sosio-politis dan keagamaan. Oleh sebab itu, transformasi aksiologis ini, pada
akhirnya, akan merebak ke seluruh bidang kehidupan manusia; politis, ekonomis,
saintihk, keagamaan dan sosial. Untuk lebih jelasnya perhatikan siklus alami di bawah ini:
1. Transformasi dan perubahan
aksiologis.
2. Perubahan dalam penilaian dan
normatif (nilai).
3.
Perubahan dalam posisi-posisi
sosio-politik. Sekarang, setelah usai menjelaskan istilah baru yang di gunakan
Islam dan perannya dalam kehidupan manusia, kita mesti kembali menengok hadis
tentang kekayaan jiwa yang terdapat dalam hadis "Aku jadikan kekayaannya
dalam jiwa nya". Kekayaan jiwa Apakah yang dimaksud dengan kekayaan jiwa
atau ghinâ an-nafs ?
Bagaimanakah kita bisa memperoleh kekayaan yang ada dalam jiwa itu?
Sesungguhnya kekayaan jiwa adalah terlepasnya rasa per caya pada materi dan
dunia, lalu mengikatkan diri pada Allah SWT Karena dunia cepat hilang, sedang
Allah SWT tidak akan lenyap; benda sifatnya terbatas, sementara tiada batasan
bagi kekuasaan Allah SWT dan keagungan-Nya. Dan ketika itu manusia menjadi kaya
karena tawakalnya dan kepercayaannya pada-Nya. Dia tidak pernah lemah atau
goyang meskipun situasi dan kondisi gonjang-ganjingdan kega duhan malapetaka
membolak-balikkan keadaan dirinya dari yang mudah menjadi sulit, dari yang
senang menjadi sedih dan dari yang ceria menjadi sengsara. Yang demikian itu
karena adanya kekayaan dalam jiwa yang tidak pernah berpisah dari nya kapanpun
juga. Amirul Mukminin Ali as berkata: "... dalam kegoncangan, mereka
tegar, dan dalam kesulitan mereka sabar". [18]
Ini karena adanya kekayaan yang bersemayam dalam lubuk jiwa yang tidak bisa
dicabut atau dipudarkan oleh situasi dan kondisi apapun juga. Mereka kaya
dengan keimanan, ke percayaan, tawakal, dan kerelaan kepada keputusan Allah.
Inilah kekayaan dengan Allah (ghinâ billah) yang tidak ada kekayaan
melebihinya. Kekayaan ini tidak bisa digoyang oleh situasi dan kondisi yang
bagaimanapun juga. Rasulullah SAWW bersabda: "Wahai Abu Dzar, merasalah
kaya dengan kekayaan Allah, maka Allah akan mengayakan rnu”. [19]
Imam Ali as berkata: "Kaya dengan Allah ialah paling besarnya kekayaan
dan kaya dengan selain Allah merupakan paling besarnya kefakiran dan
kesengsaraan". [20]
Berdasarkan pada tolok ukur ini dalam memahami ke kayaan dan kemiskinan
atau kefakiran, maka kekayaan ma nusia akan lebih banyak setiap kali
kepercayaannya kepada Allah lebih besar. Rasulullah SAWW bersabda: "Barang
siapa yang ingin menjadi manusia yang paling kaya, hendaknya dia lebih per caya
pada apa yang di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganya sendiri”. [21]
Percaya kepada Allah bukannya meninggalkan (menyia-nyiakan) sebab-sebab
material, karena meninggalkan sebab-se bab material berarti keluar dari
sunnatullah dan ditentang oleh Islam. Akan tetapi, hakikat pengertian percaya
kepada Allah adalah tunduk dan merasa tenang/tentram dengan Allah bukan dengan
yang selain-Nya sambil terus memperhitungkan sebab- sebab yang akan membantunya
merealisasikan tujuan-tujuan nya. Faktor-faktor untuk Dapat Memperoleh Kekayaan
Jiwa Sebenarnya, faktor-faktor yang mendorong manusia un tuk memperoleh
kekayaan ini banyak sekali, tapi yang saya akan sebutkan adalah yang beberapa
yang terpenting saja.
1. Keyakinan kepada Allah SWT Yakin pada Allah
merupakan paling tingginya derajat kekayaan. Karena, jika manusia yakin pada
rahmat, luthf, akan terkabulnya permohonannya. kemahapemberian rizki, belas
kasih, kepenyayangan, rahmat yang terus menerus bersam bung tanpa putus,
khazanah rahmat yang tidak pernah habis terkuras dan seringnya Allah memberi
yang hanya berarti tambahan kemahadermawanan-Nya, maka dia tidak akan pernah
merasa fakir dan tersiksa selamanya. Seseorang pasti akan merasakan kefakiran
jika ia tidak mempunyai keyakinan ini atau jika keimanannya kepada Allah belum
sampai pada batas ini. Sebab, keyakinan kepada Allah merupakan peringkat
keimanan paling tinggi dan pemberian Allah paling agung yang dianugrahkan
kepada hamba- hamba- Nya. la adalah kunci kekayaan. Amirul Mukminin Ali as
berkata: "Kunci kekayaan adalah keyakinan". Dan tak ada lagi kekayaan
melebihi keyakinan ini. Imam Al-Bâqir as berkata: "Cukuplah keyakinan seba
gai kekayaan dan ibadah sebagai kesibukan". [22]
2. Ketakwaan Ketakwaan merupakan bagian penting
dari faktor penye bab kekayaan. Karena, jika manusia melaksanakan
ketentuan-ketentuan Allah SWT dan berpegang teguh kepadanya, maka Allah akan
memberikan perasaan kaya dalam jiwanya dan menjauhkannya kefakiran jiwa.
Rasulullah SAWW bersabda: "Cukuplah ketakwaan seba gai kekayaan."
[23]
Imam Al-Bâqir as berkata:
"Wahai Jabir, orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang kaya.
Mereka dikaya kan dengan sedikit harta dan tuntutan hidup mereka seder hana.
Jika kamu lupa kebaikan, mereka akan mengingatkanmu dan jika kamu mau melakukan
kebaikan mereka akan membantumu. Mereka mengakhirkan syahwat dan mendahulukan
keta atan kepada Allah". [24]
Imam Ash-Shâdiq as berkata: "Barang siapa yang di keluarkan oleh Allah
dari kehinaan maksiat menuju kemu liaan takwa, maka berarti Allah telah
mengayakannya tanpa harta benda, memuliakannya tanpa keluarga dan menemani nya
tanpa teman". [25]
Nash ini sangat jelas dan menukik dalam menerangkan arti kekayaan jiwa yang
bisa terjadi tanpa harta. Sebagaimana manusia bisa dimuliakan Allah tanpa
keluarga dan dihilangkan keterasingannya tanpa teman. Ketakwaan adalah sumber
kekayaan, kemuliaan dan ke akraban (uns) dalam jiwa manusia. Karena, orang yang
ber takwa kepada Allah dan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan
hukum-hukumNya, maka berarti Allah telah mengayakan jiwanya dan menjauhkan
kefakiran, kehinaan dan keterasingan (wahsyah atau alienasi) dari jiwanya.
Dalam sebuah hadis qudsi disebutkan yang intinya: "Ti daklah seorang hamba
mengutamakan keinginan-Ku di atas keinginannya (nafsunya), kecuali Aku
akanjadikan kekayaan nya dalam jiwanya". [26]
Penentangan hawa nafsu adalah penerjemahan yang pasif dari ketakwaan,
sedangkan penerjemahan yang aktifnya adalah melakukan hukum-hukum Allah SWT 3.
Kesadaran Jika keyakinan dan ketakwaan adalah dua kunci keka yaan, maka
kesadaran adalah merupakan kunci yang membuka jalan kepada keyakinan dan
ketaqwaan. Manusia tidak bakalan meninggalkan kesadaran dan ke takwaaan kecuali
akibat dari kebodohan dan ketiadan kesa daran. Dan kesadaran yang dimaksud di
sini ialah keberakalan atau inteleksi (ta'aqqul). Banyak nash yang menegaskan
pengertian di atas. Imam Ali as berkata: "Tiada kekayaan (yang lebih
agung) daripada akal". [27]
Imam Ali as juga pernah berkata: "Paling kayanya keka yaan adalah
akal". [28]
Beliau juga pernah berkata demikian: "Kekayaan orang yang berakal
dengan ilmunya dan kekayaan orang bodoh (jahil) dengan hartanya". [29]
Imam Musa Al-Kâzhim as dalam sebuah ucapannya yang populer kepada Hisyam
berkata: "Wahai Hisyam! Siapa yang menginginkan kekayaan tanpa harta,
ketentraman hati dari sifat dengki, dan keselamatan dalam agama, maka dia harus
tunduk patuh kepada Allah SWT dalarn perkara-Nya dan agar menyempurnakan
akalnya". [30]
Pengaruh-pengaruh Kekayaan Jiwa dalam Kehidupan Manusia Kekayaan jiwa
mempunyai beragam keuntungan yang besar dalam kehidupan manusia. Orang yang
telah dikayakan jiwanya oleh Allah, akan selalu merasa berhubungan dengan- Nya
dan bersama-Nya. Dia selalu percaya akan dawamnya pertolongan dan ban tuan
Allah. Karena, Allah tidak pernah berpisah darinya atau memberatkannya kapanpun
juga. Maka dalam lubuk jiwanya, dia akan merasakan kepercayaan yang mutlak,
kedamaian, keteguhan, kemantapan dan kesenangan kalbu dan dhamîr. Dia tidak
akan pernah dihinggapi penyakit ambisius, deng ki, rakus, atau gelisah. Karena,
semua sifat ini merupakan sifat-sifat kefakiran jiwa, sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam hadis Imam Al-Kâzhim as di atas. Imam Ash-Shâdiq as berkata:
"Sekaya-kayanya orang adalah yang tidak menjadi tawanan kerakusannya".
[31]
Imam Ali as berkata: "Paling mulianya kekayaan adalah meninggalkan
angan-angan". [32]
Amirul Mukminin Ali as juga pernah berkata: "Keka yaan yang paling
besar adalah keputusasaan akan segala yang ada di tangan manusia." [33]
Harta yang tidak melahirkan kekayaan jiwa adalah sum ber kegelisahan dan
ketersiksaan manusia. Malahan, ia akan menambah kerakusan, kegelisahan dan
ketersiksaannya. Allah SWT berfirman: "Sesunguhnya Allah menghendaki
dengan (rnemberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam
kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam
keadaan kafir.." Q.S. At- Taubah:55.
Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya Allah menghen daki akan mengazab
mereka di dunia dengan harta dan anak-anak itu dan agar melayang nyawa mereka,
dalam keadaan kafir..." Q.S. At-Taubah:85. II. Langit dan Bumi Menjamin
Ui/.kinya Ini adalah bagian kedua dari balasan orang-orang yang mendahulukan
keinginan Allah di atas keinginan dirinya dan menjadikan hukum dan kehendak
Allah di atas berbagai keingi nan dan nafsu pribadinya.
Orang-orang yang demikian itu akan diganjar oleh Allah SWT sebagai berikut:
Pertama, Allah akan menjadikan kekayaannya dalam jiwanya, sebagaimana yang
telah saya jelaskan secara terperinci pada pembahasan yang lalu. Kedua, langit
dan bumi akan menjamin rizkinya. Seba gaimana yang akan saya jelaskan dibawah
ini. Kami tidak perlu menjelaskan bahwa butir ini tidak berarti bahwa manusia
dapat berlepas tangan untuk mencari rizki, tapi maksudnya adalah bahwa Allah
akan memberinya taufiq (kemudahan atau akomo dasi) dalam usaha dan harkatnya.
Taufiq (akomodasi) Taufiq ini adalah maksud dari jaminan langit dan bumi yang
diberikan Allah kepada manusia. Betapa banyak usaha manusia yang hilang sia-sia
dan tidak membuahkan hasil. Ter kadang bertahun-tahun usia seorang dihabiskan
dalam upaya yang terus menerus, tapi dia tidak menggapai apa yang dike
hendakinya. Dan betapa banyak pekerjaan yang kecil dan usaha yang sederhana,
tapi membuahkan hasil yang baik dan ber kah. Yang pertama adalah gambaran
"jeleknya taufiq" dan yang kedua adalah gambaran "baiknya
taufiq".
Sedangkan Allahlah pemilik (wali) segala taufiq. Jaminan yang diberikan
langit dan bumi melalui perintah Allah SWT itu kepada rizki sang mukmin sebab
dia mendahu lukan keinginan Allah SWT atas keinginan dirinya itulah yang
disebut taufiq. Taufiq bermakna bahwa Allah menjadikan usa ha dan
gerak-geriknya pada tempat yang bermanfaat. Seperti curahan hujan yang mengenai
tanah yang subur dan gemuk. Betapa banyak air hujan yang turun ke bumi tanpa
bisa menumbuhkan dan menghasilkan apa-apa. Namun, sebaliknya, betapa banyak
gerimis yang mengenai tanah yang subur dan dalam cuaca yang baik dapat
menghasilkan kebaikan yang banyak dan menyuburkan bumi. Inilah gambaran taufiq.
la adalah suatu perkara yang tidak berhubungan dengan usaha dan gerak-gerik
manusia (secara langsung), meski dia sedikit memiliki "andil" di
dalamnya.
Karena sebab-sebab taufiq yang misterius dan tak dapat dicapai manusia jauh
lebih banyak daripada yang dimilikinya dan, tentunya, kesemuanya ada di tangan
Allah SWT. Maka, jika Allah telah memudahkan (mem beri taufiq) hamba-Nya, maka
hidup, usaha dan pekerjaannya pun akan menjadi berkah. Sebagaimana yang
difirmankan Allah melalui lisan Maryam as: "Dan Dia menjadikan aku seo
rang yang diberkati di mana saja aku berada ". Q.S. Maryam: 31. Selagi
seorang tidak diberi taufiq oleh Allah SWT, dan Allah tidak menghendaki
kebaikan baginya, maka pasti dia tidak akan mendapatkan "sebab-sebab
kebaikan" dari upa yanya dan akalnya kecuali sedikit sekali. Dalam sebuah
hadis disebutkan: "Tidak akan berguna ketekunan usaha tanpa taufiq".
[34]
Jika Allah menghendaki suatu kebaikan kepada seorang hamba dan memberinya
taufiq, maka berarti Allah meletakkan usahanya di tempat "sebab-sebab
kesuksesan dan keuntungan" yang pada akhirnya segala upaya manusia itu
akan membuah kan hasil. Amirul Mukminin Ali as berkata: "Sebaik-baiknya
kete kunan (usaha) adalah yang disertai dengan taufiq". [35]
Ada sebuah hadis yang berbunyi demikian: "Taufiq ada lah paling
utamanya dua 'keberuntungan’”. [36]
Penjelasannya demikian. Keberuntungan pertama -yang sangat tidak berarti-
adalah yang didapat manusia melalui sebab-sebab kebahagiaan dan kebaikan akibat
ketekunan usa ha, hasil pemikiran dan berbagai potensi yang telah diberikan
Allah kepadanya.
Sedangkan keberuntungan lainnya ialah bahwa Allah memberikan hidayah
padanya untuk sesuatu yang tidak diketahumya atau tidak terjangkau olehnya dari
sebab- sebab yang akan mengantarkannya kepada kebaikan. Kemu dian, Allah
meletakkannya di terapat sebab-sehab kebahagian dan kebaikan. Inilah
keberuntungan kedua sebagaimana yang disinggung dalam hadis tersebut.
Tak diragukan lagi bahwa taufiq merupakan aksi ghayb (gaib) yang datang
dari "dunia luar" yang meletakkan manusia di tempat-tempat dan
sebab-sebab kebaikan. Taufiq tidak sama dengan potensi- potensi intelektual
yang bersifat htri dan daya yang telah dianugrahkan Allah pada jiwa manusia.
Karena potensi-potensi itu secara berdiri sendiri tidak akan mampu menggiring
dan mengarahkan manusia kepada sebab-sebab kebaikan atau menjauhkannya dari
sebab-sebab kejahatan. Apabila Allah telah menghendaki bagi seorang hamba suatu
kebaikan, maka Allah akan menolongnya dengan menata keseriusannya (usahanya) dan
meletakkan potensi-potensinya di tempat-tempat yang menyebabkan datangnya
kebaikan. Ha dis berikut ini secara tepat menjelaskan hakikat tersebut.
Diriwayatkan bahwa ada seorang lelaki bertanya kepa da Imam Ash-Shâdiq as:
"Wahai putra Rasulullah SAWW, bu kankah aku mampu melaksanakan sesuatu
yang telah diti tahkan kepadaku?”
Beliau berkata: "Apakah kemampuan (istithâ'ah) itu menurut
pandanganmu?”
Dia menjawab: "Kekuatan untuk bertindak?”
Beliau berkata: "Kamu bisa memilikinya kalau pertolo ngan (ma'ûnah)
diberikan kepadamu!"
"Apakah ma'unah itu?", Tanyanya lagi.
Beliau menjawab: "Taufiq!"
Dia menyoal lagi: "Mengapa harus diberikan taufiq?”
Imam menjawab: "Apakah dengan kekuatan itu belaka kamu mampu menangkis
mara bahaya dan mengambil manfaat tanpa pertolongan Allah SWT?”
Lelaki itu menjawab:"Tidak!"
Kemudian beliau berkata: "Kalau demikian, mengapa ka mu menganggap
bisa (melakukan sesuatu) yang kamu tidak mampu atasnya?"
Kemudian beliau melanjutkan: "Bagaimana sikapmu atas suatu pernyataan
hamba yang saleh berikut ini: "Dan tiada taufig bagiku melainkan dengan
Allah..." Q.S. Hûd:88. [37]
Riwayat ini mengklasifikasikan kemampuan yang aktif dan efektif dalam
kehidupan manusia itu dalam tiga kelompok berikut ini:
- Hukum-hukum natural dan sosial
(sunnatullah) yang mengarahkan manusia menuju kebaikan atau kejelekan.
- Berbagai kemampuan yang telah
diletakkan Allah pada manusia dan digunakannya untuk merealisasikan
sebab-sebab kebaikan atau kejelekan di alam dan masyarakat. 3. Taufiq dan pertolongan Ilahi yang
dengannya Dia me nunjukkan para hamba-Nya sebab-sebab kebaikan yang tidak
tampak bagi mereka dan menolong mereka agar memperoleh semuanya.
Al-Karâjikî dalam kitabnya Al-Kanz, meriwayatkan uca pan Imam Ash-Shâdiq
as sebagai berikut: "Tidak semua orang yang berniat pada sesuatu
mampu (melaksanakannya). Tidak semua orang yang mampu (melaksanakan)
sesuatu mendapat taufiq untuknya. Dan tidak semua orangyang mendapat
taufiq, bisa mencapai tujuan. Karenanya, bila niat, kemampuan (qud rah),
taufiq dan ketepatan tujuan (ishâbah) telah berkumpul, maka sempurnalah
kebahagiaan seseorang" . [38]
Taufiq ialah salah satu pintu yang
lebar untuk mengenal Allah. Ada tiga pintu manusia untuk mendapat hidayat me
ngenal Allah:
A. Fitrah
B. Akal (Baca: bukti-bukti rasional)
C. Ta'âmul billah (hubungan dengan
Allah SWT). Yang belakangan disebut ialah termasuk pintu yang sa ngat lebar
untuk mengenal Allah yangdimasuki oleh para empu bashîrah .
Berhubungan dengan Allah akan memberikan kei manan, kepercayaan dan ketentraman
atau kepasrahan (tawakal) kepada manusia, sementara fitrah dan akal tidak bisa
melakukan hal yang sama. Manusia akan memperoleh hal tersebut berkat
hubungannya dengan Allah di segala keadaan. Taufiq ilahi dalam kehidupan
manusia mempunyai bera gam sebab, aturan dan prinsip. la bukan perkara yang
datang secara tiba-tiba. Maka pemilik taufiq pastilah orang yang sudah layak
mendapatkannya. Dan siapa yang taufiqnya tercabut dan urusannya sepenuhnya
dikuasai nafsunya, maka pastilah itu karena dia telah menyia-yiakan kesempatan
itu dan tidak lagi layak menjadi tempat pancaran Ilahi tersebut. Jelas bahwa
ini bukan lantas berarti bahwa Allah menjadi kikir untuk memberikan rahmat-Nya
atau rahmat-Nya sudah terkuras habis, tapi semata-mata karena Dia melakukan
segalanya atas kehendak-Nya.
Karena itu, sebagian ada yang mendapatkannya dan sebagian lain tidak.
Sementara manusia berbeda- beda tingkatan dan nasib dalam beroleh taufiq Allah
mengikuti kadar kelayakan mereka untuk menerimanya dan keluasan tempat mereka
untuk menampungnya. Taufiq ialah rahmat Ilahi yang turun untuk hamba-hamba-Nya
tanpa suatu perhitungan. Orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri tidak
akan mendapatkannya. Sedangkan Mukminin akan mendapatkan rahmat rabbânî ini
menurut kadar keluasaan tempat jiwa mereka. Inilah peran aksi gaib terhadap
ihwal rizki yang termasuk dalam permasalahan alam syuhûd (yang tampak nyata).
Hubungan antara Alam Gaib dan Syuhûd Termasuk masalah pokok dalam pemikiran
keislaman ialah masalah yang gaib dan hubungannya dengan yang syuhûd (tampak).
Pandangan manusia tentang masalah ini sangat ber beda-beda. Di antara mereka
ada yang menahkan alam gaib dan ada pula yang mengakui keberadaannya meski
menafikan ada nya hubungan antara keduanya. Sedang Islam mengimani yang gaib
dan mengajak pe meluknya untuk mengimaninya. Islam menjadikan keimanan terhadap
yang gaib sebagai syarat pertama dalam ajaran Islam. Allah berfirman:
"Alif Lâm Mîm. Kitab (Alguran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk
bagi mereka yang bertagwa. Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang
mendiri kan shalat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugrahi kepada
mereka". Q.S. Al-Baqarah:1-3.
Dan firman Allah:"Yaitu orang-orang yang takut akan azab Tuhan mereka,
sedang mereka tidak melihat- Nya, dan mereka merasa takut akan
mengingkarinya." Q.S. Al-Anbiyâ':49. Dan firman Allah: "Sesungguhnya
kamu hanya memberi peringatan kepada yang mau mengikuti peringatan dan yang
takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah walaupun ia tidak melihat-Nya". Q.S.
Yâsîn:11. Kemudian Islam menghubungkan antara alam gaib dan alam syuhûd. Islam
menganggap bahwa antara kedua ufuk yang mempunyai keberadaan yang luas ini
memiliki banyak jembatan yang menghubungkan kedua hal tersebut.
Islam mem percayai bahwa setiap darinya saling mempengaruhi yang lain; yang
gaib berefek pada hal-hal yang syuhûd dan indrawi dan yang syuhûd juga
berpengaruh pada yang gaib. Ketakwaan dan ketakutan kepada Allah "secara
gaib" dan mengekang diri dari kemaksiatan mempunyai pengaruh langsung pada
kehidupan material manusia; memudahkan yang sulit dan membukakan pintu-pintu
penghidupan dan rizki. Allah SWT berfirman: "Barangsiapa yang bertagwa ke
pada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya
rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya..." Q.S. At-Thalâq:2-3.
Dan firman Allah: "Dan barang siapa yang bertagwa ke pada Allah
niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan da lam urusannya ...”. Q.S.
At-Thalâq:4. Inilah hubungan alam syuhûd dengan alam ghaib. Pada arah yang berlawanan
juga terjadi. Rasulullah SAWW bersabda: "Sekiranya tidak ada roti niscaya
kita tidak akan shalat." [39] Rasulullah SAWW bersabda: "Karena
rotilah kalian ber puasa." [40] Rasulullah SAWW juga pernah bersabda:
"Sekiranya tidak ada roti, niscaya kita tidak akan bershalat dan berpuasa
serta kita tidak akan melakukan kewajiban-kewajian Tuhan kita". [41]
Peran
Faktor Gaib dalam Penafsiran Sejarah.
Karena adanya hubungan yang erat ini, maka Alquran menganggap bahwa alam
gaib ialah salah satu faktor paling penting penggerak sejarah dan menahkan
teori materialisme dalam menafsirkan sejarah. Alquran menepis asumsi yang ha
nya meyakini faktor-faktor material sebagai satu-satunya yang bisa
menggelindingkan roda sejarah. Alasannya, ialah sering kali kita mendapati
sejarah bergerak ke arah yang berlawanan dengan sasaran yang dituntut oleh
faktor material. Renungkanlah ayat-ayat berikut ini: "Sesungguhnya Al lah
telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan
(ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena
banyaknya jum lahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak manfaat kepadamu
sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu
lari ke belakang dengan bercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan
kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala
tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menim pakan bencana kepada
orang-orang yang kafir, dan demikian lah pembalasan kepada orang-orang yang
kafir....". Q.S. At-Taubah:25-26.
Butir pertama, yang mesti kita pahami ihwal peran faktor gaib dalam
menggerakkan sejarah yang terdapat dalam ayat tersebut adalah bahwa kemenangan
datangnya dari Allah sedangkan faktor-faktor material hanyalah sebagai faktor
pem bantu (mu'iddât) untuk mencapai kemenangan. Dan bahwa Allah sendirilah yang
menganugrahkan kemenangan itu. Allah SWT berfirman: "Sungguh Allah yang
menolong kalian di ba nyak tempat...". Q.S. At-Taubah:25.
Inilah butir yang sangat penting
dalam memahami gerak laju sejarah dalam pandangan Islam yang berbeda jauh dari
berbagai mazhab materialisme Barat. Butir kedua, ialah kekalahan pada perang
Hunain yang bertolak belakang dengan faktor kuantitatif pasukan yang me rupakan
bagian faktor-faktor kemenangan dalam penafsiran materialisme terhadap sejarah.
Allah berfirman: "... dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu
kamu menjadi congkak karena banyaknya jum lahmu, maka jumlah yang banyak itu
tidak manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumiyang luas itu telah terasa sempit
olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai." Q.S. Al-
Taubah 25.
Butir ketiga, turunnya sakînah (ketenangan) dari Allah terhadap Rasul-Nya
dan orang-orang Mukmin di medan laga. Sakînah inilah yang menenteramkan mereka
dalam suasana terjepit dan mengkokohkan kaki- kaki mereka di atas bumi
pertempuran (medan laga) dan mencabut ketakutan, defeatism (perasaan kalah) dan
keresahan dari hati mereka. Kesemua itu adalah anugrah dari Allah belaka.
Begitu juga dengan cara dikirimkannya "prajurit-prajurit yang tak
tampak" untuk memukul mundur barisan kaum kafir, menyebarkan keresahan di
dalam hati mereka dan membulatkan tekat Mukminin dalam melawan musuh-musuh
mereka.
Allah SWT berfirman: "Kemudian Allah menurunkan ketena ngan kepada Rasul-Nya
dan orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada
melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang ka fir, dan
demikianlah pembalasan kepada oranng-orang yang kafir..".
Q.S.At-Taubah:26.
Kemudian kita menemukan ayat berikut ini dalam surat Al-Imran: "Ya,
(cukup), jika kamu bersabar dan bersiap-siaga, dan mereka datang menyerang kamu
dengan seketika itujuga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat
yang memakai tanda. Dan Allah tidak menjadikan pemberian baia bantuan itu
melainkan sebagai khabar gembira bagi kemena nganmu, dan kemenanganmu itu
hanyalah dari Allah Yang Mahaperkasa." Q.S. Âli ‘Imrân:125-126.
Ayat ini menegaskan adanya bala bantuan gaib (imdâd ghaybî) yang turun di
saat-saat kesulitan dan ketakutan berupa lima ribu pasukan malaikat untuk
menguatkan "posisi tempur" orang-orang Mukmin. Allah juga
membangkitkan ketenangan di hati mereka dan menjadikan para malaikat itu
sebagai berita gembira bagi mereka di saat-saat paling gawat itu. Ayat ini juga
menetapkan prinsip yang jelas dan distingtif dalam memahami gerak laju sejarah
antara Islam dan materi alisme.
Allah berfirman: "Dan tiada kemenangan kecuali dari sisi Allah yang
Maha Agung nan Bijak". Surat Âli ‘Imrân ini juga menegaskan pelajaran yang
dibe rikan Allah kepada orang-orang Mukmin setelah menelan ke kalahan di perang
Uhud. Allah berfirman: "Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah
(pula) kamu bersedih hati. Kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya),
jika kamu (termasuk) orang-orang yang beriman". Q.S. Âli ‘Imrân:139.
Superioritas di medan laga, pada dasarnya, bersumber dari iman kepada Allah.
Setelah itu barulah faktor-faktor bendawi pertempuran (heldpieces) berperan
untuk menghadapi musuh.
Kemudian, dalam konteks yang bermiripan, kita baca ayat dalam surah
Al-A'râf berikut ini, Allah berfirman: "Jikalau sekiranya penduduk
negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pasti lah Kami akan melimpahkan kepada
mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (aya-ayat Kann)
itu, rnaka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya". Q.S. Al- A'râf:96.
Berkah-berkah yang diberikan Allah atas hamba-hamba-Nya dari langit dan bumi
ini pertama-tama karena keimanan dan ketakwaan mereka, kemudian, tak lupa pula,
faktor-faktor bendawi.
Inilah sisi positif hubungan peran
keimanan dan ketak waan dengan kemenangan dan pertolongan dalam pertempu ran
militer; dan dengan kemajuan, kemarakan, kemudahan dan rizki dalam kehidupan
urban. Sebaliknya juga benar. Yakni hubungan keruntuhan peradaban dan bangsa
dengan mera jalelanya kekejian dan pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah. Mari
kita renungkan ayat mulia di bawah ini: "Apakah mereka tidak memperhatikan
berapa banyak nya generasi-generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka,
padahal (generasi itu), telah Kami teguhkan kedudukan me reka di muka bunii,
yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu, dan Kami curahkan
hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah
mereka, kemudian Kami bmasakan mereka, karena dosa me reka sendiri, dan Kami
ciptakan sesudah generasi yang lain." Q.S. Al-An'âm:6.
Kehancuran dan keruntuhan ini disebabkan dosa dan maksiat mereka.
Permasalahan yang tidak diperhitungkan ma terialisme dalam menafsirkan
keruntuhan peradaban ini, jus tru dianggap Alquran sebagai aktor utama dalam
menafsirkan sejarah. Kemudian kita menemukan ayat-ayat mulia berikut ini yang
melukiskan perputaran sejarah. Allah SWT berfirman: "Dan sesungguhnya Kami
telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umatyang sebelum kamu, kemudian Kami
siksa mereka dengan (menimpakan) keseng saraan dan kemelaratan, supaya mereka
bermohon (kepada Allah) dengan tunduk merendah diri, Maka mengapa mereka tidak
memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan
Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras dan setan pun
menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan. Maka
tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun
membukakan semua pintu-pintu ke senangan untuk mereka; sehingga apabila mereka
bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka
dengan sekonyong-konyong, maka itu mereka berdiam berputus asa. Maka
orang-orang yctng zalim itu dimusnakan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi
Allah, Tuhan semesta alam..." Q.S. Al-An’âm:42-45. Inilah tiga babak atau
fase sejarah bangsa-bangsa yang dimulai dari kemunculannya sampai
kehancurannya.
Dan ada nya interaksi antara yang gaib dan yang syuhûd jelas sekali dalam
berbagai fase tersebut. Fase pertama, adalah fase ibtilâ' (ujian). Dalam fase
ini, Allah meluruskan tonggak bangsa, meneguhkannya dan memberinya kekuatan.
Kejelekan yang dilakukan pada fase ini akan mendatangkan bencana, sementara
tadharru' (ketundukan) kepada Allah akan menghilangkannya. Allah berfirman:
"... kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) keseng- saraan dan
kemelaratan, supaya mereka bermohon (kepada Allah) dengan tunduk merendah
diri." Hubungan antara yang gaib dan yang syuhûd seperti adanya kejelekan
yang mendatangkan balâ' dan tadharru' yang menyingkirkannya.
Inilah yang belum ditemukan
pemikiran materialis dan yang telah Allah tunjukkan pada kita dalam kitab-Nya.
Fase kedua, adalah fase istidrâj dan imlâ' (penguluran dan pemenuhan). Hubungan
antara yang ghaib dan yang syu hûd dalam tahapan ini juga adalah jelas sekali.
Melampiaskan diri dalam kemaksiatan, menceburkan diri dalam kejelekan, dan
tidak mengambil preseden atas datangnya mala petaka pada fase ibtilâ', kadang
malah akan membukakan pintu kenik matan dan rizki pada suatu bangsa secara
lebar. Namun rizki itu merupakan siksa bukan rahmat. Allah menginginkan mere ka
agar terus-menerus berada dalam kesesatan. Setelah itu, barulah Allah menyiksa
mereka dengan siksaan Zat yang Maha Perkasa dan Kuasa.
Allah berfirman: "...Maka tatkala mereka melupakan per ingatan yang
telah diberikan kepada mereka, Kamipun mem bukakan semua pintu-pintu kesenangan
untuk mereka..." Fase ketiga, adalah fase keruntuhan dan kehancuran. Allah
berfirman: "...Maka orang-orang yang zalim itu akan dimusnakan sampai ke
akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam..." Pujian kepada
Allah ini dihaturkan atas datangnya niq mah (siksa), bukan ni'mah (nikmat) dan
atas kehancuran dan kebinasaan bukan atas kemakmuran. Hubungan antara yang gaib
dan yang tampak (syuhûd) fase ini tidak berbeda dengan fase-fase sebelumnya.
Dengan kata lain, sikap pongah, angkuh, kebablasen (thughyân) dan takabur
umat (bangsa) di atas bumi yang menggembirakan mereka akhirnya akan menurunkan
azab kehancuran dan ke binasaan yang mengakar bagi mereka. Allah berfirman:
"...se hingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah di berikan
kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong- konyong, maka ketika itu
mereka terdiam dalam keadaan putus asa..." Jadi, dalam pandangan filsafat
sejarah Islam faktor gaib yang sangat penting dalam gerak sejarah.
Faktor-faktor Gaib Tidak Menafikan Faktor-Faktor Bendawi Penjelasan di atas
tidak ingin menahkan peranan materi dalam kehidupan individual ataupun sosial
manusia. Pada da sarnya, Islam mempercayai faktor dualistik gaib bendawi dalam
menafsirkan gerak sejarah.
Islam menolak penafsiran sejarah hanya dengan satu faktor baik yang gaib
maupun yang bendawi saja. Menurut Islam, hubungan manusia dengan alam mesti
dengan memjuk dan mempertimbangan dualisme faktor ini. Hubungan antara
Ketakwaan dan Rizki Setelah kita menelusuri hubungan antara yang gaib dan yang
tampak (syuhûd) kini mari kita menelaah paragraf dalam hadis qudsi berikut ini:
"Tidaklah seorang hamba yang mengu tarnakan keinginanKu di atas keinginan
dirinya kecuali Aku jaminkan rizkinya pada langit dan bumi..."
Setelah memahami penjelasan di atas tentang hubungan antara yang gaib dan
syuhûd, maka kita tidak perlu lagi me nguras tenaga untuk mengetahui hubungan
antara ketakwaan yang merupakan perkara gaib dan maknawi dan rizki yang
merupakan perkara indrawi di alam syuhûd. Persoalan ini termasuk yang paling
jelas dalam pera daban Islam. Karena, ketakwaan merupakan pintu rahmat Allah
yang luas dan dengannya seorang bisa mendapat rizki dari Allah.
Tambahan lagi, takwakal juga bisa menjadi sebab mengu curnya air hujan ke
bumi dan menguraikan segala benang kusut yang terjadi. Ketakwaan seorang akan
mendatangkan keme nangan, membukakan "pintu yang tertutup" dan jalan
keluar bagi keterhimpitan hidupnya. Allah berfirman: "Barang siapa yang
bertagwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginyajalan ke luar. Dan
memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya Sesungguhnya Allah
melaksanakan urusan (yang dike hendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah
mengadakan keten tuan bagi tiap- tiap sesuatu." Q.S. At-Thalâq:2-3.
Dan firman Allah: "Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya
Allah menjadikan bagmya kemudahan dalam urusannya". Q.S. At-Thalâq:4.
Rasulullah SAWW bersabda: "Sekiranya langit dan bumi tertutuppada
seseorang hamba, lalu dia bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan
langit dan bumi sebagai kelapangan danjalan keluar baginya" . [42]
Amirul Mukminin as berpesan kepada Abu Dzar saat akan disingkirkan Utsman
ke Rabadzah: "Wahai Abu Dzar, se sungguhnya engkau marah karena Allah,
rnaka rnohonlah pada Dzat yang engkau marah karena-Nya. Sekiranya langit dan
bumi menutup diri kepada seorang hamba kemudian ia bertakwa kepada Allah,
niscaya Allah akan menjadikan keduanya sebagaijalan keluar baginya". [43]
Imam Ali as pernah juga berkata demikian: "Barang siapa menyandang
ketakwaan, maka akan hilanglah segala kesulitan yang mendekatinya, rnanislah
segala kepahitannya, pecahlah segala ombak yang mencoba menggulungnya dan
ringanlah segala kesukaran yang menyiksanya". [44]
Imam Ash-Shâdiq as berkata: "Barang siapa berpegang teguh pada (tali)
Allah melalui ketakwaan, maka Allah akan menjaganya. Dan siapa yang telah didatangi
dan dijaga Allah, maka dia tidak akan peduli sekiranya langit berbenturan
dengan bumi dan ada bencana yang turun dan menimpa seluruh penduduk bumi.
Karena, dengan ketakwaannya dia akan tetap berada dalam penjagaan Allah dari
segala bencana.
Bukankah Allah telah berfirman: 'Sesungguhnya orang-orang yang ber takwa
berada di maqam yang aman”. Q.S. Ad- Dukhân:51." Imam Ash-Shâdiq as
berkata: "Sesungguhnya Allah telah menjamin orang yang bertakwa kepadaNya
untuk meru bahnya dari sesuatu yang dibenci menjadi sesuatu yang disenangi dan
Allah akan memberikan rizki kepadanya secara tak diduga-duga”. [45] Imam
Al-Jawâd pernah menulis sepucuk surat kepada Sa'd Al-Khair yang demikian
bunyinya: "Sesungguhnya de ngan takwa Allah SWT menjaga hamba-hamba-Nya dari
hal- hal yang tidak terjangkau oleh pikiran mereka dan dengannya pula Allah
menyingkap kebutaan dan kebodohan mereka. Den gan ketakwaan, Nuh as
diselamatkan bersama rombongannya yang ada dalam bahtera.
Begitu pula Shaleh as beserta kaumnya dari amukan badai. Dengan ketakwaan
orang- orang yang sabar akan beruntung dan orang-orang pilihan akan selamat
dari kehancuran". [46]
Kalau demikian, maka orang yang mengutamakan keing inan Allah SWT di atas
keinginannya dan mendahulukan per intah Allah dan larangan-Nya di atas
kecenderungan, hasrat dan hawa nafsu dirinya, Allah akan suruh langit dan bumi
untuk menjamin rizkinya dan menjaga serta tidak menyerahkan (uru sannya) pada
dirinya sendiri. Bahkan Allah akan menganugrahi taufiq dalam usaha dan
upayanya. Tidak perlu saya ingatkan lagi bahwa semua ini tidak berarti bahwa
takwa tidak butuh pada usaha untuk mendapat kan rizki. Islam tidak mengajarkan
siapapun untuk merasa cukup dengan takwa saja tanpa usaha untuk mendapatkan
rizki. Ketakwaan hanya bisa menyebabkan turunnya taufiq dari Allah atas
hamba-Nya. Sehingga usahanya berada pada tempatnya dan menyampaikannya pada
sumber-sumber rizki dengan jalur pintas.
Kisah Tiga Orang yang Diselamatkan
Allah karena Ketakwaanya Dengan takwalah Allah menepis segala bentuk mara ba
haya dari para hamba, menghilangkan bencana dan menyela matkan mereka dari
segala kehancuran dan himpitan hidup. Dari Nafi', dari Ibnu Umar, Rasulullah
SAWW bersabda: "Di suatu saat ada tiga orang ycmg sedang berjalan-jalan.
Tiba-tiba turun hujan sangat deras sehingga mereka harus bernaung di sebuah gua
yang terletak di lereng gunung. Tidak berapa lama, ada batu besar yang jatuh
menutupi lobang gua tersebut.
Lalu mereka saling bertatap mata dan
berkata kepada yang lain: 'Tengoklah perbuatan yang kalian lakukan semata- mata
dan secara tulus ikhlas untuk Allah. Kemudian, memo honlah kepada Allah dengan
perbuatan itu agar Allah menyingkirkan batu ini. Kemudian di antara mereka
berkata: "Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai dua orang tua yang sudah
lanjut usia dan anak-anak yang masih kecil, sedang akulah yang mesti menanggung
penghidupan mereka. Setiap pagi aku datang menemui mereka. Aku perahkan susu
untuk mereka. Lalu aku hidangkan pada kedua orang tuaku sebelum kepada
anak-anakku. Suatu kali menjelang subuh aku sudah bepergian dan baru tiba di
rumah malam harinya. Kemudian aku dapatkan kedua orang tuaku sudah tertidur
pulas. Tetapi aku tetap memerah susu sebagaimana lazimnya. Aku bawa susu itu
dan aku berdiri di dekat kepala kedua orang tuaku. Aku takut membangunkannya,
tapi akujuga takut meniinumkan nya kepada anak-anakku sebelum mereka. Sampai
putriku me rengek di kakiku sejadi-jadinya. Keadaan ini berlanjut sampai
menjelang fajar. Maka jika Engkau mengetahui bahwa apa yang telah aku kerjakan,
itu sernata-rnata karena mengharap ridha-Mu, bukalah batu ini sehingga saya
bisa rnelihat langit. "Tak lama waktu berselang, Allah menggeser batu
besar itu, hingga mereka bisa mengintip langit. "
Orang yang kedua berkata: "Aku rnempunyai sepupu perempuan (putri
paman) yang sangat kucintai layaknya seorang lelaki normal mencintai wanita.
Aku telah meminta kehor matannya secara terus terang, tapi ia rnenolaknya
sampai aku bisa mernberinya 100 Dinar. Aku berupaya keras agar mendapat
sejumlah uang terse but. Setelah aku bisa mengumpulkannya, segera aku mem
bawanya kepadanya. Ketika aku 'berada di antara selangkangannya', tiba-tiba dia
berkata: 'Hai hamba Allah, bertakwalah kepada Allah. Jangan kau membuka
"cincin" ini kecuali den gan hak-Nya. Lalu aku berdiri dan
meninggalkannya. "Ya Allah, jika Engkau telah mengetahui bahwa aku
benar-benar mengerjakan hal itu karena mengharap ridha-Mu, maka bukalah batu
ini. Kemudian, sedikit lagi batu itu bergeser. "
Gilliran orang yang ketiga berkata: 'Sungguh aku per nah menyewa seorang pelayan
dengan segenggam padi. Setelah menyelesaikan tugasnya, dia meminta haknya. Lalu
kuberikan kepadanya segenggam padi. Tetapi, dia menolaknya dan meninggalkannya
begitu saja. "Kemudian aku menanam padi itu hingga bisa dipakai membeli
seekor sapi dan penggembalanya. Kemudian pelayan itu datang lagi padaku dan
berkata: 'Bertakwalah kepada Allah! Berikan hakku.' Aku jawab: 'Ambillah sapi
itu dan penggem balanya. Dia berkata: Bertakwalah kepada Allah dan jangan
menghina aku.' Aku berkata: Ambillah sapi itu dan, pengembalanya'. Akhirnya,
dia mengambilnya. "Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa aku mela kukan
hal itu karena mengharap ridha-Mu, rnaka keluarkanlah sisa batu mi. Kemudian
Allah benar-benar menyingkirkan batu tersebut dari mereka". [47]
III.
Aku Cukupkan Hartanya Kalimat kafaftu 'alaihi dhai'atahu mempunyai dua
kemungkinan arti. Pertama, al-kaff bisa mempunyai arti al-jam' (mengalokasikan)
dan adh-dham (menambahkan). Kedua, ber arti al-man' (mencegah), al-daf’
(menolak) atau ash-sharf (me malingkan). Adapun makna wa kafaftu 'alahi dhai
'atahu berdasarkan arti pertama adalah: "Aku akan menghimpun seluruh
urusan nya yang bercabang, menyatukan hartanya, menangani per karanya dan
menjamin kebutuhan hidupnya."
Ibnu Atsir mengatakan dalam kitab Al-Nihâyah tentang arti al-kaff:
"Ada kemungkinan kata itu berarti al- jarn' (pengumpulan) sebagaimana
dalam hadis berikut ini, 'Orang Muk min adalah saudara Mukmin lainnya. Yang
satu akan me ngumpulkan (memenuhi) harta yang lainnya'. Maksudnya ia lah mengumpulkan
kebutuhan hidupnya dan mengalokasikan nya untuknya". [48]
Adapun arti kedua dari kata al-kaff ialah melarang, me malingkan dan
mencegah. Dengan begitu, arti kalimat kaffahu 'anhu fa kaffa, ialah
"rnencegahnya, memalingkannya dan me larangnya", sehingga sesuatu
dapat tercegah, terpalingkan dan terlarang". Maka, berdasarkan pengertian
kedua ini, paragraf hadis itu bermakna "Aku akan mencegahnya dari
ketercerai-berai kan, menghalanginya dari kesia-siaan dan kebingungan dan
memberikan petunjuk kepadanya yang dapat menerangkan ram bu-rambu
jalannya". [49]
Dalam kitab Bihârul Anwâr, Allamah Majlisi menjelaskan tentang penafsiran
paragraf hadis itu demikian: "Paragraf ha dis ini memuat beberapa
kemungkinan arti. Pertama, sebagaimana yang disebutkan dalam An-Ni hâyah .
Yaitu, "Pengumpulan harta benda dan sarana kehidupannya." Dalam
susunan tersebut terdapat kata kerja yang di-mutta'adi-kan atau ditransitifkan
dengan 'alâ yang mengan dung arti berkah atau belas kasih atau beberapa arti
yang sepadan dengannya. Atau 'alâ di sini mengandung arti ila seba gaimana yang
diisyaratkan dalam kitab An-Nihâyah. Kedua, al-kaff mengandung arti al-man'
(larangan), sedangkan 'alâ mempunyai arti fî. Dengan demikian, dhai'atahu
mempunyai arti adh-dhiyâ' (kesia-siaan) dan hadis itu akan berarti, "Aku
akan mencegah kesia- siaan jiwa, harta, upaya dan semua yang berhubungan
dengannya. Makna ini dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan Ash-Shadûq:
"Aku akan men cegah kesia-siaannya". [50]
Dalam kajian ini saya memilih pada pengertian yang kedua. Karena, ia
menurut hemat saya lebih mendekati dan sesuai dengan konteks hadis tersebut.
Khususnya jika kita mengetahui bahwa Ash-Shadûq ra juga meriwayatkan dengan
redaksi berikut, wakafaftu 'anhu dhai'atahu (Aku cegah kesia-siaan darinya).
Kalimat ini ditransitifkan dengan kata 'an sebagai ganti dari 'alâ.
Sedangkan al-kaff sendiri mempunyai arti ad-daf’ (menolak), al-man' (mencegah)
dan ash-sharf (menghalau). Secara linguistik, ad-daf’ berbeda dengan kata
ar-raf’ (mengangkat atau mengentaskan). Karena ad- daf’ mempu nyai arti
"mencegah sesuatu sebelum kejadian". Sedang ar-raf’ mempunyai arti
"menghilangkan sesuatu setelah kejadian". Maka dari, itu ad-daf’
berarti mencegah yang semakna dengan wigayah (menangkal). Sedangkan ar-raf’
mengandung arti al-'ilâj (mengobati). Jadi al-kaff artinya ad-daf’ bukan ar-
raf’. Jika demikian halnya, maka artinya Allah SWT mencegah kesia-siaan darinya
dan tidak membiarkan hal itu terjadi padanya. Dan ini merupakan suatu hidayah
(hidayat atau pe tunjuk). Karena hidayah terbagi menjadi dua. Yaitu, setelah
adanya kesesatan dan sebelum adanya kesesatan. Keduanya memang mengacu pada
makna petunjuk dan hidayah.
Akan tetapi, hidayah yang pertama terjadi setelah manusia sesat dan
tersia-siakan. Sedangkan kedua terjadi tanpa didahului kesesatan atau
kesia-siaan. Oleh karena itu, hidayah yang kedua ini lebih kuat dari pada yang
pertama. Nash itu menggunakann kalimat kaffa dhai'atahu bukan hidayah. Dan
kaffa 'an adh-dhai'ah adalah hasil dari hidayah. Karena itu, nash tersebut menunjukkan
arti "menyampaikan pada tujuan" bukan "pengarahan dan
peringatan".
Hidayah Mengandung Arti Menyampaikan dan Mengarahkan Hidayah mempunyai dua
arti: menyampaikan pada tujuan (îshâl) dan pengarahan (taujîh), peringatan
(tadzkîr) dan bukti (dalâlah). Arti yang pertama itu tertera dalam firman
Allah: "Sesungguhnya kamu tidak akan memberi hidayah kepa- da orang yang
kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orangyang dikehendaki-Nya...”
Q.S. Al-Qashash:5-6. Jelasnya bahwa hidayah yang dinafikan/ditiadakan di sini
adalah yang berarti "menyampaikan pada tujuan" yaitu hi dayah yang
hanya khusus milik Allah SWT sendiri. Adapun hidayah dalam arti
"mengarahkan dan memperingatkan" ada lah tugas dan misi Rasulullah
SAWW pada manusia. Dan tidak mungkin hidayah ini yang dinahkan oleh ayat
tersebut dan dikhususkan sebagai milik Allah semata. Allah SWT berfirman:
"... dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi hidayah ke jalan yang
lurus." Q.S. As-Syu'ârâ`:52.
Dan termasuk dalam pengertian ini juga ialah yang di jelaskan oleh ayat
Al-Quran berikut ini yang memuat perkataan orang mukmin. Allah berfirman:
"(Orang beriman itu berkata): 'Hai kaumku, ikutlah aku, aku akan
menunjukkan jalan yang benar." Q.S. Al-Mukmin:38. Hidayah ini berarti
pengarahan, peringatan dan bukti, bukan penyampaian pada tujuan (îshâl). Adapun
arti yang sesuai dengan hadis di atas îshâl (menyampaikan pada tujuan). Karena,
hidayah dalam arti yang lain tiduk dapat mencegah kesia-siaan manusia dan
menjamin sampainya manusia kepada Allah SWT. Lagi pula, makna inilah yang
sesuai denga konteks hadis tersebut. Karena, konteks hadis itu sedang
membicarakan keu tamaan-keutamaan yang khusus diberikan Allah kepada orang-
orang yang mengutamakan keinginan Allah di atas keinginan mereka sendiri. Dan jelas
bahwa perbuatan seperti itu akan menyampaikan seorang pada tujuan. Adapun
hidayah dalam arti petunjuk dan pengarahan adalah bagian dari rahmat Allah yang
universal (umum) yang mencakup orang mukmin dan non-mukmin.
Dengan kata lain, pengarahan dan
peringatan tidak hanya dikhususkan untuk orang-orang mukmin saja atau
orang-orang yang mengutama kan keinginan Allah di atas keinginan dirinya saja,
tapi juga mencakup orang-orang yang mengutamakan keinginan pribad inya di atas
keinginan Allah.
Bagaimana
Cara Allah Mencegah Kesia-siaan Hamba-Nya
Kesia-siaan akan tercegah melalui bashîrah. Derajat ba shîrah yang tinggi
akan mencegah kesia-siaan manusia secara pasti. Maka, jika Allah menghendaki
kebaikan pada seorang dan menghendaki untuk mencegahnya dari kesia-siaan, maka
Allah akan memberinya bashîrah itu yang juga akan menjamin kese lamatannya
menuju Allah. Bashîrah ini tentu berbeda dengan gerak aktif manusia menuju
Allah dengan metode logika dan argumentatif. Mes kipun, langkah ini merupakan
gerak yang tidak pernah ditolak oleh Islam. Bahkan Islam mendukungnya,
menfokuskan pada nya, mengintensifkannya dan sangat menganjurkannya. Justru
mayoritas orang bergerak menuju Allah dengan menggunakan sarana akal (rasio)
dan logika. Adapun bashîrah ialah ketajaman pandangan (pengli hatan) yang tidak
disertai kekaburan dan distorsi sedikitpun. Ketajaman pandangan ini boleh jadi
dihasilkan dari gerak rasional dan logika. Namun, ia juga bisa terjadi akibat
kesucian dan kejernihan jiwa. Manusia akan sampai pada derajat bashî rah ini
melalui salah satu dari dua jalan tadi; ada kalanya dengan aktivitas akal
dengan menjernihkan dan menyucikan jiwa. Dalam pandangan Islam, kedua metode
itu bersifat saling bergantung atau interdependen. Oleh sebab itu, seseorang
yang hendak mendaki tangga kesempurnaan mesti melalui keduanya secara serentak.
Yaitu melalui aktivitas intelektual dan pelati han dan penyucian jiwa.
Dalam firman berikut ini Allah telah menjelaskan keduanya secara
bergandengan: "Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang
Rasul di antara mereka yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada me reka, mensucikan
mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka
sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata." Q.S. Al-Jumu'ah:2. At-tazkiyah
(penyucian) adalah penjernihan, pembersihan dan pelatihan jiwa (nafsu). Hal ini
adalah pintu yang luas di antar pintu-pintu makrifat Ilahi dalam kehidupan
manusia. Sedangkan at-ta'lîm (pengajaran) adalah pintu lainnya.
Alhasil, baik bashîrah itu merupakan buah dari aktivitas akal atau
penyucian dan pelatihan jiwa (nafsu), adalah jelas bahwa Allahlah sumber segala
bashîrah dalam kehidupan ma nusia. Bashîrah tidak bakal ditemukan selain pada
Allah dan tidak akan datang kecuali dari-Nya. Tazkiyah dan ta'lîm ialah dua
pintu dan saluran bashîrah manusia. Bashîrah dan Perbuatan Perlu kami jelaskan
kembali bahwa Islam menetapkan bahwa ilmu dan tazkiyah atau akal dan
penjernihan jiwa saling bergantung untuk merealisasikan bashîrah. Meski
demikian, peran faktor tazkiyah lebih efektif dan tepat dalam merealisasi kan
bashîrah. Mungkin, karenanya Alquran mendahulukan menyebut kata tazkiyah
daripada ilmu dalam ayat itu. Allah SWT berfirman: "... mensucikan mereka
dan mengajarkan ke pada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah..." Q.S.
Al-Jumu'ah:2.
Pada titik ini, sepatutnya sejenak kita merenungkan kalimat at-tazkiyah ini
agar kita bisa menemukan bagaimana sebenarnya tazkiyah (penyucian) dapat
terwujud?
Dalam mazhab-mazhab monastis, tazkiyah terwujud me lalui pengisolasian diri,
khalwat dan pelarian dari kenyataan hidup. Dengan ini, penempuh tazkiyah dapat
"menjauhi" hawa nafsu, syahwat dan htnah. Lain halnya dengan metode
yang digunakan Islam. Islam tidak memerintahkan penempuh dan pencari kesucian
diri untuk melarikan diri dari htnah atau mematikan hawa nafsu, alih-alih
demikian Islam malah me nganjurkan mereka untuk menghadapi berbagai htnah dan
mengendalikan dan membimbmg hawa nafsu dan syahwat. Metode pendidikan ini,
berpegang pada tindakan dan amal sebagai dasar tazkiyah bukan pengisoliran
diri, monastisisme, depresi atau pengebirian. Jadi amal akan berubah menjadi
bashîrah. Sebaliknya, bashîrah juga akan berubah menjadi amal. Kemudian apakah
yang dimaksud dengan amal ini? Apa pula maksud bashîrah itu? Dan apa hubungan antara
keduanya? Hubungan antara Bashîrah dan Amal Kita telah membahas bashîrah secara
global. Sementara amal yang kita maksud di sini adalah seluruh upaya yang
bertujuan dan dilakukan oleh manusia demi mendapat kerid haan Allah. Amal ini mempunyai dua aspek.
1.
Aspek gerak positif dengan sasaran
ketaatan kepada perintah-perintah Allah SWT.
2.
Aspek pencegahan negatif jiwa dari
segala perbuatan yang dilarang Allah. Kalau demikian, komponen-komponen amal
ialah upaya dan tujuan -keridhaan Allah-. Sedang ia terdiri dari dua aspek;
gerak (positif) dan al-kaff (pencegahan negatif). Sedangkan korelasi antara
amal dan bashîrah bersifat interaktif-dialektis. Sebab, bashîrah adalah sumber
amal baik dan amal baik adalah sumber bashîrah. Maka hubungan interaktif antara
bashîrah dan amal ini dengan sendirinya meng hasilkan peningkatan amal dan
bashîrah secara sinkron. Sesungguhnya amal baik akan menghasilkan intensitas
(peningkatan) bashîrah. Sedang bertambahnya bashîrah meng hasilkan pada
peningkatan amal baik. Demikianlah amal dan bashîrah saling mengisi terus.
Sampai subyeknya mencapai puncak tertinggi dalam amal baik dan bashîrah.
Marilah kita renungkan hubungan interaktif antara ba shîrah dan amal ini.
Bagian Pertama: Bashîrah adalah Sumber Amal Baik Amal baik adalah buah bashîrah.
Karena, bashîrah yang tajam (bisa menerawang) dan intens pasti akan
mengantarkan kepada amal baik dan tidak akan terpisah darinya.
Sebaliknya, kekurangan dan keteledoran manusia dalam beramal adalah akibat
dari kelemahan dan kekurangan bashîrah. Banyak sekali nash keislaman yang
mendukung penger tian di atas. Di bawah ini saya akan sebutkan beberapa di
antara. Rasulullah SAWW bersabda Jibril berkata: "Orang yang mempunyai
keyakman akan beramal untuk Allah seakan-akan nielihat-Nya. Kalaupun dia tidak
melihat-Nya, maka pasti Al lah melihatnya". [51]
Imam Ali as berkata: "Keyakinan
bisa dibuktikan dengan sedikitnya angan-angan, ikhlasnya amal perbuatan dan
zuhud pada dunia". [52]
Imam Ali as berkata: "Ketakwaan adalah buah agama dan tengara
keyakinan." [53]
Imam Ali as berkata: "Barang siapa yang mempunyai keyakinan, pasti
akan beramal dengan penuh kesungguhan." [54]
Imam Ash-Shâdiq as berkata: "Sesungguhnya amal sedi kit yang langgeng
dan didasari keyakinan lebih utama di sisi Allah daripada amal banyak yang
tidak didasari keyakinan”. [55]
Imam Ash-Shâdiq as berkata: "Tiada amal tanpa keya kinan. Dan tiada
keyakinan tanpa kekhusyukan." [56]
Ash-Shâdiq as juga pernah berkata: "Orang yang beramal tanpa bashîrah
sama seperti orang yang berjalan menuju fatamorgana. Percepatan langkahnya
tidak akan menambah kecuali kejauhan (dari tujuan)." [57]
Ash-Shâdiq as berkata: "Tidak akan diterima amal ke cuali dengan
makrifat dan makrifat kecuali dengan amal.
Ba rangsiapa mempunyai makrifat, maka dia akan ditunjukkan olehnya kepada
amal (baik)". [58]
Imam As-Shâdiq as: "Kalian tidak akan menjadi orang- orang saleh
hingga kalian mengetahui. Dan kalian tidak akan mengetahui hingga kalian
mempercayai (tashdîq). Dan kalian tidak akan percaya hingga menyerahkan diri
(Islam)." [59]
Karena, kepercayaan akan berkonsekuensi pada makrifat atau pengetahuan dan
makrifat akan berkonsekuensi pada amal baik. Imam Muhammad Al-Bâqir as berkata:
"Tiada amal yang diterima kecuali dengan makrifat dan tiada makrifat
kecuali dengan amal. Barang siapa mengetahui (bermakrifat), maka pengetahuannya
akan menunjukkannya pada amal dan barang siapa tidak mengetahui, maka dia tidak
akan bera mal”. [60]
Bagian Kedua: Amal Baik adalah Sumber Bashîrah Sebagaimana bagian pertama
dari korelasi ini (bashîrah adalah sumber amal baik) bisa dibenarkan, bergitu
pula de ngan bagian kedua ini yaitu bahwa amal baik adalah sumber. Bentuk
hubungan interaktif antara dua hal ini sering kita temukan dalam berbagai
bidang studi keislaman.
Alquran menekankan hubungan bashîrah dengan amal dan peran amal saleh dalam
membentuk bashîrah dan mempersiapkan manusia menerima bashîrah dari Allah.
Allah SWT berfirman: "Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari
keridhaan) Kami. benar-benar akan Kami tun jukkan kepada mereka jalan-jalan
Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang- orang yang berbuat
baik." Q.S. Al-‘Ankabât:69. Ayat mulia dengan tegas menunjukkan bahwa
jihad -salah satu mishdâq (ekstensi) palingjelas bagi amal baik- sebagai sebab
dimungkinkannya manusia menerima hidayah dari Allah. Allah berfirman:
"Benar-benar akan Kami tunjukkan ke pada merekajalan-jalan Kami..."
Dalam sebuah hadis Qudsi, Rasulullah SAWW bersabda: "Senantiasa
hamba-Ku melakukan nahlah (ibadah sunnah) semata-semata untuk-Ku sehingga Aku
mencintainya. Dan bila Aku telah mencintainya, maka Aku akan menjadi
pendengaran (telinga) yang ia pakai mendengar; penglihatan yang ia pakai
melihat; dan tangan yang ia pakai memukul". [61]
Hadis ini cukup populer di kalangan ahli hadis dan diriwayatkan oleh para
tsiqah (orang-orang yang terpercaya) dan para pakar hadis. Di samping hadis ini
adalah hadis Qudsi. Meskipun diriwayatkan dari berbagai jalur (rawi) yang
berbeda, tapi redaksi hampir sama. Riwayat hadis ini sahih dan mempunyai arti yang
cukup gamblang bahwa ibadah adalah salah-satu pintu makrifat dan keyakinan.
Seorang hamba akan senantiasa melakukan ibadah nafilah sampai Allah
menganugrahkan rizki bashîrah kepa danya. Dengan begitu, dia akan melihat
dengan Allah, mendengar dengan Allah dan sadar dengan Allah. Dan barangsiapa
yang melihat, mendengar dan mengetahui dengan Allah, maka dia tidak akan pernah
berbuat salah. Sudut Negatif Apabila hukum di atas bernilai benar dalam kedua
bagian dan sisinya. Yaitu kedua bagian dan sisi hubungan amal dengan bashîrah
dan bashîrah dengan amal. Jika demikian halnya, maka hukum yang ini juga akan
bernilai benar sebagai sisi negatifnya. Amal jelek (fasad) dapat menyebabkan
kerabunan bashî rah , kebutaan dan ketulian.
Sebaliknya, dari sisi yang berlawanan, kebutaan, ketulian dan kerabunan
bashîrah dapat menyebabkan amal jelek, kefasadan, dosa, kemaksiatan dan
kezaliman. Berikut ini, saya akan memaparkan nash-nash keislaman yang
menjelaskan sudut negatif dari hukum ini dalam kedua bagian dan sisinya.
Rusaknya
Amal Menyebabkan Hilangnya Bashîrah
Inilah sisi pertama bagi sudut negatif ini. Tak terbilang banyaknya nash
keislaman yang menegaskan konsep di atas. Dalam banyak ayatnya Alquran
mendukung konsep ini. Allah berfirman: "Maka pernakah kamu melihat orang
yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat
berdasarkan ilmu dan Allah telah me ngunci mati pendengaran dan meletakkan
tutupan atas pengli hatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk
sesudah Allah (membiarkan sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil
pelajaran?" Q.S. Al-Jâtsiah:23.
Orang-orang yang menjadikan tuhan selain Allah; me nyembahnya dan
menyekutukannya dengan Allah, maka Allah akan mencabut bashîrah mereka dan
mengunci rapat telinga- telinga dan hati-hati mereka. Setelah itu, Allah tutup
pengli hatan mereka. Dan jika Allah telah mencabut bashîrah seorang hamba, maka
siapakah yang akan memberinya petunjuk? Allah SWT berfirman: "...seperti
demikianlah Allah me nyesatkan orang-orang kafir" Q.S. Al-Mukmin:74. Ayat
ini adalah ungkapan yang global tentang ayat sebelumnya. Dalam ayat yang lain,
Allah SWT berfirman: "... de mikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang
berlebihan dan ragu-ragu." Q.S. Al-Mukmin 34.
Isrâf (berlebih-lebihan) akan menyeret manusia pada kesesatan. Allah SWT
berfirman: "... dan tidak adayang disesatkan oleh Allah kecuali
orang-orang yang fasik." Q.S. Al-Baqarah 26. Allah berfirman: " ...
dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim..." Q.S. Ibrahim:27.
Jadi, kefasikan dan kezaliman sama-sama dapat menye babkan kesesatan,
sedangkan kesesatan merupakan buah dari kefasikan dan kezaliman. Allah
berfirman: "Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu
mereka usahakan itu menutup hati me reka..." Q.S. Al-Muthaffifîn:14.
Maka berbagai dosa dan maksiatyangdilakukan manusia akan bersenyawa dan
kemudian menjadi karatyangbisa menu tupi hatinya dari Allah SWT dan dari
kebenaran. Allah berfirman: "Sesungguhnya Allah tidak akan mem beri
petunjuk kepada orang-orang yang zalim." Q.S. Al-Qashash:5. Allah
berfirman: "Sesungguhnya Allah tidak akan mem beri petunjuk pada
orang-orang yang kafir..." Q.S. Al-Munâfiqûn:6. Allah befirman:
"Sesungguhnya Allah tidak memberi pe tunjuk pada orang-orang yang pendusta
dan sangat ingkar.." Q.S. Az-Zumar:3. Rasulullah SAWW bersabda:
"Sekiranya omongan kalian (dalam kebatilan) tidak banyak dan hati-hati
kalian tidak "bercampur", niscaya kalian akan melihat apa yang aku
lihat dan mendengar apa yang aku dengar". [62]
Imam Ali as berkata: "Mana mungkin hidayah turun kepada orang yang
dikuasai hawa nafsunya ". [63]
Imam Ali as berkata: "Sungguh jika kalian telah diper intah (dikuasai)
hawa nafsu, maka ia (hawa nafsu) akan mem butakan, memalingkan dan menghinakan
kalian". [64]
Jadi, memperbanyak omong dalam kebatilan dan men campur-aduk kebatilan
dengan kebenaran dalam hati akan membutakan penglihatan dan menulikan
pendengaran. Abu Ja'far Al-Bâqir as berkata: "Dalam hati seluruh hamba
terdapat titik putih. Jika dla berbuat dosa, rnaka keluar dari titik putih
tersebut titik hitam. Tetapi, jika dia bertaubat, hilanglah titik hitam
tersebut. Dan bilamana dia terus-menerus melakukan dosa, maka titik hitamnya
semakm bertambah hi ngga menutupi seluruh titik putihnya. Kemudian apabila
(titik-titik hitam) sudah menutupi seluruh titik putihnya, maka dia tidak akan
mungkin kembali melakukan kebaikan untuk se lama-lamanya. Allah berfirman:
".. Sebenarnya apa yang selalu mereka lakukan itu mengaratkan hati
mereka”. Q.S. Al-Muthaffifîn. [65]
Noda hitam yang menutup hati sampai benar-benar ter kunci rapat adalah
sesuatu yang juga mencabut bashîrah ma nusia. Di lain pihak, kejadian itu
sendiri merupakan penjel maan hilangnya bashîrah pada jiwa manusia karena dosa
dan maksiat yang telah dilakukannya. Imam Al-Bâqir as berkata: "Tidaklah
ada sesuatu yang lebih merusakkan hati daripada kesalahan. Karena, kesalahan
itu senantiasa bersamanya hingga mampu menguasai hati ter sebut. Kemudian, ia
merubah yang di bawah menjadi di atas dan yang di atas menjadi di bawah".
Rasulullah SAWW pernah bersabda: "Bila seorang mukmin berbuat dosa,
maka terdapat noda hitam di dalam hatinya. Kemudianjika ia bertaubat dan
meninggalkannya serta beristigfar, rnaka hatinya akan me ngkilat kembali.
Danjika dia menambah dosanya, maka akan bertambah pula noda hitam itu. Dan
demikian itulah yang disebut dengan rayn (karat) sebagaimana yang dijelaskan
oleh Allah dalam Kitab-Nya". [66]
Imam Ali as berkata: "Jika kalian tunduk patuh pada hawa nafsu, maka
ia akan membutakan dan menulikanmu". [67]
Hilangnya Bashîrah akan Melahirkan Keburukan Amal Sebagaimana hukum negatif
dalam sisi ini bernilai benar, maka begitu pula sisi lainnya, yaitu munculnya
kemaksiatan dan kerusakan akibat dari adanya kesesatan dan kebutaan. Kemudian,
kebutaan, kesesatan, kebodohan dan ketiadaan ba shîrah akan mengakibatkan amal
jelek, kesengsaraan, kezaliman dan sikap ekstrem (isrâf). Allah SWT berfirman:
"Mereka berkata: 'Ya Tuhan kami, kami telah dikuasai oleh kejahatan kami,
dan kami adalah orang-orang yang sesat." Q.S. Al-Mukmin:106. Imam Ali as
berkata: "Tiada wara' yang disertai kesesa tan”. [68]
Dalam sebuah surat yang ditujukan kepada Mu'awiyah bin Abi Sufyan, Imam Ali
menulis demikian: "Seorang yang tidak memiliki penglihatan yang bisa
menunjukinya dan pe mimpin yang bisa membimbingnya, hawa nafsu mengajaknya lalu
dia memenuhinya dan kesesatan menuntunnya lalu dia mengikutinya, maka dia
bersikap serampangan dan bertindak sesat". [69]
Imam Ali as berkata: "Barang siapayang tersesat, maka kebaikan dia
anggap jelek dan kejelekan dia anggap baik. Dia akan mabuk seperti kemabukan
(orang-orang) sesat ". Hubungan Interaktif antara Bashîrah dan Amal Secara
Positif dan Negatif Jelas bahwa antara bashîrah dan amal ada hubungan yang
padu, intens dan interaktif. Baik secara positif maupun negatif. Untuk
memperjelas persoalan ini, perhatikan di bawah ini:
1.
Bashîrah
menyebabkan amal baik atau saleh.
2.
Amal
baik menyebabkan bashîrah dan hidayah.
3.
Kesesatan dan hilangnya bashîrah
menyebabkan ke zaliman, kekejian, amal jelek, maksiat, dan dosa.
4.
Amal-amal jelek, kezaliman dan fujur
(kedurjaan) me nyebabkan kebutaan dan hilangnya bashîrah. Akhirul Kalam
Kesimpulan akhir yang bisa dipetik setelah menelusuri kajian tentang penafsiran
paragraf hadis qudsi kafaftu 'alaihi dhai'atahu (Aku cegah kesia-siaan darinya)
ialah bahwa ma nusia bilamana menentang hawa nafsunya dan mengutama kan
kehendak Allah SWT dan keridhaan-Nya, maka Allah akan menganugrahi nur dan
bashîrah serta hidayah. Kemudian Allah akan menuntunnya menelusuri lika liku
dan gelap gulita perjalanan. Allah SWT berfirman: "Hai orang-orang yang
beriman (kepada rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah ke pada
Rasulullah-Nya niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan
menjadikan untukmu cahayayang dengannya kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni
kamu. Dan Allah Mahapengampun lagi Mahapenyavang." Q.S. Al-An fâl:29.
Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada
Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqon dan menghapuskan segala kesalahanmu
dan mengampunimu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar." Q.S.
Al-Anfâl:29. Dan Allah SWT berfirman: "...Dan bertaqwalah kepada Allah,
Allah mengajarimu, dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu"
Q.S.Al-Baqarah:282. Imam Ali as berkata: "Orang yang melekatkan ketak waan
dalam hatinya akan diberi hidayah". [70]
Imam Ali as berkata: "Orang yang menyandang pakaian agama akan diberi
hidayah...” [71]
Imam Ali as berkata: "Barang siapa menanam pohon ketakwaan, maka dia
akan menuai buah hidayah". [72]
Walhamdulillah robbil 'âlamîn.
[1] Bihârul Anwâr , 70:75.
[2] Bihârul Anwâr , 70:77.
[3] Bihârul Anwâr , 70:78.
[4] Bihârul Anwâr , 70:79.
[5] Nahjul Balâghah , 108.
[6] Nahjul Balâghah , 16.
[7] Tuhaful ‘Uqûl :47.
[8] Bihârul Anwâr , 72:68.
[9] Ghurarul Hikam , 1:62.
[10] Nahjul Balâghah , 1200.
[11] Safînatul Bihâr , 2:87 dan Al-Hayâh 3:342.
[12] Tuhaful ‘Uqûl : 208.
[13] Bihârul Anwâr , 78:368.
[14] Bihârul Anwâr , 78:14.
[15] Al-Khishâl , karya Ash-Shadûq, 1:64.
[16] Bihârul Anwâr , 78:22 dan 10.
[17] Nahjul Balâghah , 1128. [18] Nahjul Balâghah , Khutbah ke-193.
[19] Makârimul Akhlâq , 533. [20] Ghurarul Hikam , karya Al-Âmudî, 1:91-92.
[21] Tuhaful ‘Uqûl , 26.
[22] Al-Kâfî , 2:85.
[23] Tuhaful ‘Uqûl , 30.
[24] Tuhaful ‘Uqûl ,
208. [25] Wasâ`il Asy-Syi'ah , 11:191.
[26] Uddatud Dâ’î ,
karya Ibnu Fahad Al-Hillî.
[27] Tuhaful ‘Uqûl ,
142. [28] Nahjul Balâghah , 38.
[29] Ghurarul Hikam ,
karya Al-Âmudî, 2:47.
[30] Tuhaful ‘Uqûl ,
286.
[31] Al-Kâfî , 2:316.
[32] Al-Kâfî , 8:23.
[33] Nahjul Balâghah ,
9342.
[34] Ghurarul Hikam ,
karya Al-Âmudî, 2:345.
[35] Ghurarul Hikam , karya Al-Âmudî, 2:351.
[36] Ghurarul Hikam , karya Al-Âmudî, 1:82.
[37] Bihârul Anwâr , 5:42. [38] Bihârul Anwâr , 5:209-210.
[39] Al-Kâfî , 5:73.
[40] Al-Kâfî , 6:303.
[41] Al-Kâfî , 5:73.
[42] Bihârul Anwâr , 70:285.
[43] Nahjul Balâghah , 130.
[44] Nahjul Balâghah , 198.
[45] Bihârul Anwâr , 70:285.
[46] Furû'ul Kâfî , : 8:52.
[47] Shahih Bukhari , Kitah Al-Adab, Bab Terkabulnya doa orang yang berhuat
baik pada kedua orang tuanya, 5:40, cet. Mesir, 1286 H.; Fathul Bârî, karya
Al-Asqalani, 10:338; Syarah Qasthalânî, 9:5; Shahih Muslim, Kitah Al-Riqâq, Bab
Tiga orang yang mendiami Gua dan tawasul dengan perhuatan shaleh, 8:89, cet.
Dârul Fikr; Syarah Al-Nawawî, 10:321; Dzammul Hawâ, karya Ibnu Jauzi 246.
[48] An- Nihâyah , karya Ibnu Al-Atsir, 4:90.
[49] Aqrabul Mawârid , 2: 1093.
[50] Bihârul Anwâr , 70:80-81.
[51] Bihârul Anwâr , 77:21.
[52] Ghurarul Hikam , karya Al-Âmudî, 2:376.
[53] Ghurarul Hikam , karya Al-Âmudî, 1:85.
[54] Ghurarul Hikam , karya Al-Âmudî, 2:166.
[55] Al-Kâfî , 2:57.
[56] Tuhaful ‘Uqûl , 233.
[57] Wasâ`il Asy-Syi'ah , 18:122, hadis ke-36.
[58] Al-Kâfî , 1:44.
[59] Bihârul Anwâr , 69:10. [60] Tuhaful ‘Uqûl , 215. [61] Ushûlul Kâfî,
2:352.
[62] Al-Mîzân, 5:292.
[63] Ghurarul Hikam , karya Al-Âmudî, 2:94.
[64] Ghurarul Hikam , karya Al-Âmudî, 1:264.
[65] Ats-Tsaqalain, 5:531.
[66] Ats-Tsaqalain, 5:531.
[67] Ghurarul Hikam , karya Al-Âmudî, 2:345.
[68] Nahjul Balâghah, Kitab ke-7.
[69] Nahjul Balâghah, 31.
[70] Ghurarul Hikam, 2:311.
[71] Ghurarul Hikam, 2:311.
[72] Ghurarul Hikam, 2:245.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar