Umar memberikan
keputusan di dalam masalah hukum dengan tujuh puluh pendapat. Dia melarang dua
mut'ah. Dia berkata, 'Ada dua mut'ah yang halal pada masa Rasulullah saw, namun
sekarang saya mengharamkannya dan saya akan menghukum orang yang melakukannya.'[342]
Dia menyalahi
Rasulullah saw dan sekaligus Abu Bakar, di dalam masalah pengangkatan khalifah,
apakah berdasarkan penetapan atau bukan. Dia menjadikan urusan kekhilafahan di
tangan enam orang. Kemudian, dia menyalahi dirinya sendirinya dengan
menjadikannya berada di tangan empat orang. Selanjutnya, di tangan tiga orang.
Berikutnya lagi, di tangan satu orang. Kemudian, Umar menetapkan hak pilih
berada di tarigan Abdurrahman bin 'Auf. Umar berkata, 'Seandainya Ali dan Usman
bersepakat, maka pendapat yang harus dipegang adalah pendapat yang dikatakan
keduanya. Namun, jika suara terpecah kepada tiga suara tiga suara, maka suara
yang harus dipegang adalah suara yang mana di dalamnya terdapat suara
Abdurrahman bin 'Auf. Karena, Umar mengatahui bahwa Ali dan Usman tidak akan
bersepakat dalam sebuah urusan, dan bahwa Abdurrahman tidak akan bersikap adil
berkenaan dengan anak saudara perempuannya, yaitu Usman. Selanjutnya, Umar
memerintahkan supaya memenggal kepala orang yang terlambat memberikan baiat
dalam jangka tiga hari.[343]
Umar juga merobek
kertas tulisan yang ada di tangan Fatimah as. Peristiwa itu terjadi pada saat
terjadi perdebatan panjang antara Fatimah dan Abu Bakar, lalu Abu Bakar
memutuskan untuk mengembalikan tanah fadak kepadanya. Abu Bakar membuat kertas
tulisan untuknya. Lalu, Fatimah pun keluar dengan membawa kertas tulisan
tersebut. Umar mendekati Fatimah, dan menanyakan apa yang terjadi. Fatimah pun
menceritakan apa yang terjadi kepadanya. Mendengar itu dengar serta merta Umar
mengambil kertas tulisan yang ada di tangan Fatimah dan merobeknya.[344] Melihat itu, Fatimah melaknat Umar atas
perbuatannya. Lalu Ali bin Abi Thalib masuk dan mengecam Umar.
Adapun Usman bin
Affan, dia membagikan kekuasaan di antara kaum kerabatnya. Dia mengangkat
Walid, saudaranya seibu, sebagai gubernur Kufah. Walid, seorang laki-laki yang
suka meminum minuman keras, dan dia mengerjakan salat Subuh dalam keadaan
mabuk.[345] Oleh karena itu,
penduduk Kufah mengusirnya.
Usman bin Affan memberikan
uang yang banyak kepada masing-masing suami dari anak perempuannya yang empat.
Dia memberikan kepada masing-masingnya sebanyak seratus ribu mitsgal emas, yang
diambil dari baitul mal kaum Muslimin. Dia memberikan beribu-ribu dirham kepada
Marwan, yang berasal dari khumus negeri-negeri Afrika.[346]
Utsman melindungi
dirinya dari kaum Muslimin dan mencegah mereka untuk dapat menemuinya.[347] Banyak sekali terjadi kemunkaran yang
berasal darinya yang berkenaan dengan hak-hak para sahabat. Dia memukuli Ibnu
Mas'ud hingga meninggal dunia,[348]
dan membakar mushafnya. Ibnu Mas'ud mengecam Usman dan mengkafirkannya.
Usman memukuli Ammar
bin Yasir, sahabat Rasulullah saw, hingga patah.[349]
Dia membawa Abu Dzar
dari Syam, atas permintaan Muawiyah, dan lalu memukulinya serta membuangnya ke
Rabadzah.[350] Padahal, Rasulullah saw sangat
dekat dengan ketiga orang tersebut.
Usman tidak hadir di
tengah-tengah kaum Muslimin pada saat perang Badar, perang Uhud dan Baiat
ar-Ridhwan.
Dialah yang menjadi
peyebab Muawiyah memerangi Ali as di dalam masalah kekhilafahan. Tahap berikutnya,
Bani Umayyah melaknat Ali as di atas mimbar. Mereka meracuni Hasan, dan
membunuh Husain.[351] Selanjutnya, urusan
berpindah kepada Hajjaj. Dia membunuh sebanyak dua belas ribu orang dari
keluarga Rasulullah saw. Yang menjadi penyebab semua ini ialah, karena mereka
menjadikan masalah keimamahan berdasarkan pemilihan dan kehendak mereka. Jika
sekiranya mereka mengikuti nas di dalam masalah ini, dan Umar tidak membangkang
Rasulullah saw manakala beliau berkata, 'Ambilkan aku pena dan kertas, supaya
aku tuliskan bagimu sebuah tulisan yang dengannya kamu tidak akan tersesat
sesudahnya', tentu tidak akan terjadi perselisihan dan kesesatan ini."
Yohanes berkata,
"Wahai para ulama agama, mereka yang dinamakan dengan kelompok Rafidhah,
inilah keyakinan mereka, sebagaimana yang telah kita sebutkan. Adapun keyakinan
Anda adalah ini, sebagaimana yang telah kita nyatakan. Anda telah mendengarkan
dalil-dalil mereka, dan demikian juga Anda telah mengemukakan dalil-dalil Anda.
Demi Allah, mana di
antara dua kelompok ini yang paling benar menurut pandangan Anda?"
Mereka menjawab dengan
serentak, "Demi Allah, sesungguhnya kelompok Rafidhah lah yang berada di
atas kebenaran. Perkataan-perkataan merekalah yang benar. Namun, keadaan masih
seperti se-bagaimana yang sekarang terjadi. Kelompok kebenaran masih sebagai
kelompok yang terkalahkan. Saksikanlah oleh Anda, wahai Yohanes, sesungguhnya
mulai sekarang kami berpegang kepada kepemimpinan keluarga Muhammad, dan
berlepas diri dari musuh-musuh mereka. Hanya saja kami meminta kepada Anda
untuk menyembunyikan urusan kami ini. Karena manusia masih berpegang kepada
agama raja mereka.
Yohanes melanjutkan
ceritanya, "Maka saya pun berdiri dari hadapan mereka, dalam keadaan
benar-benar yakin dan berpegang kepada keyakinan saya. Segala puji bagi Allah.
Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah SWT, maka dialah orang yang
mendapat petunjuk.
Kemudian, saya
menuliskan tulisan ini dengan tujuan agar dia menjadi petunjuk bagi orang yang
mencari jalan keselamatan. Barangsiapa yang membacanya dengan penuh kesadaran,
dia akan terbimbing kepada jalan kebenaran, dan akan mendapat pahala.
Barangsiapa yang mengunci hati dan lisannya, maka tidak ada jalan baginya untuk
mendapat petunjuk-Nya. Allah SWT berfirman,
'Sesungguhnya kamu
tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah
memberi petunjuk kepada orang-orang yang Ia kehendaki.' (QS. al-Qashash: 65)
Namun, kebanyakan dari
mereka adalah orang-orang yang ta'assub,
'Sama saja bagi
mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidakjuga
akan beriman. Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, serta
penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.' (QS.
al-Baqarah: 6-7)
Ya Allah, sesungguhnya
kami mengucapkan puji kepada-Mu atas segala nikmat yang telah Engkau limpahkan
kepada kami. Kami sampaikan salawat dan salam atas Muhammad dan keluarganya
yang disucikan dari segala dosa, selamanya, dan terus menerus hingga hari
kiamat.●
BAB IX
Akidah Ahlus Sunnah
Sekilas Pandangan Sejarah
Kalangan Ahlus Sunnah,
sebelum mereka mengorbitkan Ahmad bin Hambal pada posisi keimamahan di dalam
bidang keyakinan, mereka terpecah belah ke dalam berbagai kelompok yang
berbeda. Kalangan Murji'ah berpendapat, tidak ada hubungan sama sekali antara
iman dan amal perbuatan. Mereka mengatakan bahwa maksiat yang dilakukan
seseorang sama sekali tidak akan membahayakan imannya, sebagaimana juga ketaatan
tidak memberikan manfaat sama sekali bagi kekufuran. Adapun kelompok
Qadariyyah, mereka mengingkari adanya takdir. Sementara kelompok Jahami
menafikan sama sekali seluruh sifat Allah SWT. Demikian juga dengan
kelompok-kelompok lainnya. Mereka berbeda pendapat di dalam masalah pemikiran
dan keyakinan. Hingga kemudian datanglah Ahmad bin Hambal. Dia membinasakan
seluruh mazhab yang berlaku di kalangan Ahlul Hadis pada waktu itu, dan
kemudian menyatukan mereka di dalam dasar-dasar keyakinan yang menjadi
pilihannya. Ahmad bin Hambal mengklaim bahwa keyakinannya adalah keyakinan
kalangan salaf yang saleh, yang terdiri dari kalangan sahabat dan tabi'in, Pada
kenyataannya, penisbatan dasar-dasar keyakinan ini kepada Ahmad bin Hanbal jauh
lebih benar dan lebih pas dibandingkan penisbatannya kepada para sahabat dan
tabi'in. Karena, dasar-dasar keyakinan yang dibawa oleh Ahmad bin Hambal tidak
dikenal sebelumnya, dan kalangan Ahlus Sunnah pun tidak menyepakatinya sebelum
kedatangan Ahmad bin Hanbal. Perselisihan pendapat dalam masalah keyakinan di
kalangan Ahlus Sunnah, yang dapat kita saksikan di dalam sejarah mereka hingga
sekarang, membuka tabir tentang persoalan ini.
Keyakinan-keyakinan
kalangan Hanbali tersebar luas pada masa pemerintahan Mutawakkil, yang amat
dekat dengan Ahmad bin Hanbal. Mutawakkil telah membukakan kesempatan yang
begitu luas kepada Ahmad bin Hanbal, sehingga dia menjadi seorang imam dalam
bidang keyakinan, dengan tanpa adanya pesaing. Keadaan ini terus berlangsung
hingga munculnya Abul Hasan al-Asy'ari dalam bidang keyakinan, setelah
sebelumnya Abul Hasan al-Asy'ari bertaubat dari paham Mu'tazilah, dan bergabung
dengan keyakinan Hambali. Namun, Abul Hasan al-Asy'ari tidak merasa cukup
dengan hanya bertaklid kepada Ahmad bin Hambal. Dia memberikan
argumentasi-argumentasi logis terhadap keyakinan-keyakinan Hambali, sehingga
dia muncul dengan keyakinan-keyakinan yang tidak sepenuhnya sejalan dengan
keyakinan-keyakinan Ahmad, namun tidak menentangnya. Meskipun demikian,
mazhabnya yang terbilang baru ini mendapat ijin untuk di-sebarkan di seluruh
negeri Islam. Akhirnya, Abul Hasan al-Asy'ari dapat merebut posisi kepemimpinan
dalam bidang keyakinan dari tangan Ahmad bin Hambal. Sehingga dengan demikian,
mazhab Asy'ari pun menjadi mazhab resmi Alus Sunnah. Al-Muqrizi, setelah
memberi isyarat kepada dasar-dasar keyakinan mazhab Imam Asy'ari, dia
mengatakan, "Inilah sejumlah pokok-pokok keyakinannya, yang menjadi
pegangan mayoritas penduduk negeri-negeri Islam, yang barangsiapa dengan
terang-terangan menentangnya, niscaya darahnya akan ditumpahkan."[352]
Maka berkobarlah api
pertentangan di antara kalangan Asy'ariyyah dan Hanbaliyyah selama
berabad-abad. Kalangan Hanbali berpegang kepada riwayat-riwayat tasybih dan
tajsim, dan menetapkan Allah SWT mempunyai sifat-sifat yang tidak layak
dinisbatkan kepadanya. Sementara kalangan Asy'ariyyah berlepas diri dari yang
demikian itu.
Akan tetapi, terlepas
dari semua itu, sesungguhnya kita dapat membagi keyakinan Ahlus Sunnah ke dalam
dua madrasah. Yaitu Madrasah Asy'ariyyah dan Madrasah Hanbaliyyah, setelah
punahnya faham Mu'tazilah —tentunya. Pada pasal ini kita akan membahas beberapa
contoh dari keyakinan kedua madrasah tersebut.
Madrasah Hanbaliyah (Salafiyah)
Untuk membicarakan
keyakinan-keyakinan salafi, mau tidak mau kita harus membaginya kepada tiga
periode sejarah, yaitu:
a. Periode Ahmad bin
Hanbal.
b. Periode Ibnu
Taimiyyah.
c. Periode Muhammad
bin Abdul Wahhab.
a. Ahmad Bin Hanbal, Ajarannya dalam Bidang Keyakinan
Sesungguhnya pilar
penyangga keyakinan di dalam ajaran Ahmad bin Hanbal dan kelompok Hanbali ialah
mendengarkan (as-sima').Yaitu bersandar kepada ayat-ayat Al-Qur'an dan
hadis-hadis Nabi saw di dalam menetapkan keyakinan. Dan, mereka tidak
memberikan perhatian yang semestinya kepada dalil-dalil akal, di dalam
membuktikan keyakinan-keyakinan tersebut.
Mukaddimah ini sendiri
memerlukan kepada pembuktian. Karena, "mendengarkan" tidak mungkin
bisa dijadikan sebagai ukuran untuk mengenal keyakinan dengan tanpa akal. Hal
itu dikarenakan "mendengarkan" tidak mungkin bisa menjadi hujjah yang
memaksa kecuali setelah terlebih dahulu manusia beriman kepada Allah SWT.
Kemudian beriman kepada Rasul-Nya saw. Selanjutnya membenarkan
ucapan-ucapannya, dan merasa yakin bahwa ucapan-ucapan tersebut benar-benar
keluar dari Rasul-Nya saw. Jika tiga tingkatan ini belum dicapai, maka mustahil
Anda bisa memaksa seorang manusia mau menerima ayat-ayat Al-Qur'an dan
hadis-hadis Nabi saw. Karena jika tidak demikian niscaya akan menjadi debat
kusir yang berputar mengelilingi lingkaran yang tidak ada akhirnya. Suatu hal
yang sudah sangat di-kenal oleh manusia bahwa akal menolak pembuktian sesuatu
dari dirinya. Karena yang demikian itu akan menuntut terjadinya dawr (lingkaran
yang tidak ada akhirnya). Dan, dawr itu sesuatu yang batil, Berikut ini saya
kemukakan contoh bagi Anda:
Sesungguhnya
pembuktian akan adanya Allah SWT dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur'an,
bergantung kepada keimanan dan pembenaran seseorang terhadap ayat-ayat Al-Qur'an.
Dan, keimanan kepada ayat Al-Qur'an bergantung kepada keimanan kepada Allah
SWT, sementara keimanan kepada Allah SWT bergantung kepada keimanan kepada
ayat-ayat Al-Qur'an. Dengan membuang beberapa kata yang diucapkan berulang,
maka dapat disimpulkan bahwa keimanan kepada ayat-ayat Al-Qur'an bergantung
kepada keimanan kepada ayat-ayat Al-Qur'an. Dan ini adalah sesuatu yang batil.
Selanjutnya kita
bertanya, kepada siapa wahyu ini diturunkan? Apakah diturunkan kepada selain
manusia
Jika wahyu ini diturunkan
kepada manusia, lalu kenapa Allah SWT mengkhususkan wahyu ini bagi manusia?
Apakah karena manusia
memiliki sesuatu yang sangat berharga, yaitu akal?
Jika jawabannya
"ya", lalu di mana kedudukan akal?
Inilah merupakan titik
tolak penyimpangan di dalam pemikiran dan keyakinan Hanbali. Mereka tidak
memberikan perhatian kepada akal, dan tidak memasukannya ke dalam
argumentasi-argumentasi keyakinan mereka. Padahal, sebagaimana kita ketahui
bahwa sebuah dalil tidak akan lurus kecuali jika sejalan dengan akal.
Kesalahan yang terjadi
pada kelompok Hanbali, kelompok Hasyawiyyah dan kelompok Asy'ariyyah ialah
mereka tidak mengenal akal. Sementara tidak ada seorang pun yang dapat
mengenalnya kecuali melalui jalan Madrasah Ahlul Bait. Kalangan Hanbali,
Hasyawi dan Asy'ari, mereka percaya terkadang akal sejalan dengan syariat namun
terkadang pula bertentangan dengannya. Dengan kata lain, mereka mengatakan
bahwa akal tidak memiliki nilai hujjah. Kalaupun akal memiliki sedikit nilai
hujjah, maka itu semata-mata dia mendapatkannya dari syariat.
Pandangan ekstrim ini,
tidak lain hanya merupakan reaksi dari ajaran Mu'tazilah, yang mengatakan bahwa
kehujjahan akal itu bersifat zat, dan bahwa dalil sam'i yang tidak sejalan
dengan akal tidak mempunyai harga. Sebagaimana Anda ketahui, kelompok
Mu'tazilah telah melarang manusia memegang keyakinan jabariyyah pada masa
Khalifah Makmun, Mu'tashim dan Watsiq, dikarenakan ketiga Khalifah tersebut
menerima ajaran mereka. Para Ahlul Hadis mendapat cobaan yang berat, terutama
dengan berbagai macam bentuk siksaan. Hal inilah yang menyebabkan mereka
mempunyai sikap yang khusus terhadap ajaran yang berlandaskan akal. Karena jika
tidak, lantas alasan apa yang menjadikan mereka sedemikian membenci akal, dan
sedemikian jumud di dalam menyikapi zahir nas?! Kekerasan yang terjadi di
antara Mu'tazilah dan Hanbali, telah menghancurkan cara-cara yang dapat
menjadikan mereka untuk bisa saling memahami antara satu sama lain, sehingga
dapat sampai kepada titik-titik persamaan di antara mereka. Masing-masing dari
mereka bersikeras dengan ajarannya. Tidak mungkin masalah substansial yang
menjadi dasar bagi pemahaman dan keyakinan agama ini dapat diselesaikan kecuali
dengan ditemukannya ukuran yang baku, yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Dua orang penulis,
yaitu Hana al-Fakhuri dan Khalil al-Bahr menukilkan, "Terdapat dua macam
argumentasi: Argumentasi akal. Yaitu argumentasi yang tidak bersandar kecuali
kepada akal dan kaidah-kaidahnya. Sedangkan argumentasi sam'i adalah
argumentasi yang bersandar kepada Al-Qur'an, hadis dan ijma'. Anda dapat
saksikan, kelompok Mu'tazilah tidak mengakui selain dari argumentasi yang
pertama (argumentasi akal). Mereka mengatakan bahwa seluruh argumentasi sam'i
yang tidak ditopang oleh akal tertolak. Sementara kalangan mutakallim, yang
diketuai oleh kelompok Asy'ariyyah mengatakan bahwa argumentasi akal tidak
mempunyai nilai kecuali jika syariat memerintahkannya. Dengan kata lain, pada
zatnya itu sendiri akal tidak mempunyai nilai, melainkan hanya semata-mata yang
dia ambil dari syariat.[353]
Lihatlah kontradiksi
yang sedemikian tajam antara pandangan-pandangan ini. Satu kelompok tidak
mengakui nilai akal dan sekaligus kehujjahannya, sementara kelompok yang lain
tidak mengakui nilai sesuatu yang lain selain dari akal.
Perbedaan sistem
inilah yang menjadi penyebab terpecah belahnya kaum Muslimin dan
terkotak-kotaknya mereka ke dalam berbagai mazhab. Oleh karena sistem yang
dijadikan sandaran berbeda, maka berbeda pula kesimpulan-kesimpulan yang
diperoleh. Jika terbersit pemikiran untuk mengembalikan persatuan kaum
Muslimin, maka mau tidak mau harus dimulai dengan langkah memepersatukan
kaidah-kaidah pemikiran dan menetapkan jalan-jalan argumentasi. Sebagai contoh,
cobalah perhatikan perselisihan yang bersumber dari perbedaan di dalam
dasar-dasar pemikiran berikut. Di dalam masalah perbuatan hamba, kalangan
Mu'tazilah mengatakan, sesungguhnya manusia itulah yang menciptakan
perbuatannya. Karena jika tidak, maka itu berarti bertentangan dengan akal
berdasarkan persangkaan mereka. Oleh karena itu, mereka pun mencampakkan
seluruh riwayat yang menyalahi makna ini. Sebagai kebalikannya, kita mendapati
kelompok Hanbali berkesimpulan bahwa perbuatan manusia bukan berdasarkan
kehendaknya, melainkan berdasarkan kehendak Allah SWT. Dengan demikian, dalam
pandangan kelompok Hanbali, manusia itu terpaksa di dalam perbuatannya. Untuk
membuktikan keyakinan yang demikian ini mereka berpegang kepada zahir ayat-ayat
Al-Qur'an dan zahir hadis-hadis Nabi saw, dan tidak memberikan perhatian sama
sekali kepada akal.
Ahmad bin Hanbal
berkata di dalam risalahnya, "...Berzina, mencuri, meminum minuman keras,
membunuh, memakan harta yang haram, menyekutukan Allah SWT, berbuat dosa dan
maksiat, semuanya itu dikarenakan qada dan qadar dari Allah SWT."[354]
Riwayat-Riwayat Akan Pentingnya Akal
Jika kita melihat
kepada hakikat permasalahan, niscaya kita akan mendapati baik Asy'ariyyah,
Hanbaliyyah dan Mu'tazilah, semuanya tidak mengetahui hakikat akal. Untuk bisa
mengenal hakikat ini, maka mau tidak mau —pertama-tama— kita harus membaca
beberapa riwayat Ahlul Bait, supaya kita dapat memahami pentingnya akal dan
kedu-dukannya yang begitu tinggi.
Dari Abu Ja'far, Imam
Muhammad al-Baqir yang berkata, "Ketika Allah menciptakan akal, Allah
berkata kepadanya, 'Menghadaplah', maka akal pun menghadap. Kemudian, Allah
berkata lagi kepadanya, 'Berbaliklah', maka akal pun berbalik. Lalu Allah
berkata, 'Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, Aku tidak menciptakan suatu makhluk
yang lebih bagus dari engkau. Denganmu Aku memerintah dan denganmu Aku
melarang. Denganmu Aku memberi pahala dan denganmu Aku memberi siksa.'"[355]
Di dalam wasiat Imam
Musa bin Ja'far kepada Hisyam bin Hakam, yang merupakan sebuah hadis yang
panjang, disebutkan,
"Wahai Hisyam,
sesungguhnya Allah SWT telah memberikan kabar gembira kepada orang yang berakal
dan memiliki pemahaman di dalam Kitab-Nya. Allah SWT berfirman, 'Maka
sampaikanlah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan,
dan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang
yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai
akal.' (QS. az-Zumar: 18)
Wahai Hisyam,
sesungguhnya Allah SWT telah menyempurnakan hujjah bagi manusia dengan akal,
dan telah menolong para nabi dengan keterangan, serta telah menunjukkan mereka
kepada rububiyyah-Nya dengan dalil. Allah SWT berfirman, 'Dan Tuhanmu
adalahTuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Pemurah
lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang
berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu
dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)nya dan Dia sebarkan di
bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan
antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah)
bagi kaum yang memikirkan.' (QS. al-Baqarah: 163-164)
Wahai Hisyam, Allah
SWT telah menjadikan semuanya itu sebagai petunjuk atas makrifat-Nya, karena
sesungguhnya mereka mempunyai pengatur. Allah SWT berfirman, 'Dan Dia
menundukan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan binatang-binatang
itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang
memahaminya.' (QS. an-Nahl: 12)
Allah SWT juga
berfirman, 'Dialah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes air
mani, sesudah itu dari segumpal darah kemudian dilahirkannya kamu sebagai
seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa
dewasa, kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada
yang diwafatkan sebelum itu. (Kami lakukan itu) supaya kamu sampai kepada ajal
yang ditentukan dan supaya kamu memahaminya.' (QS. al-Mu'min: 67)
Allah SWT juga
berfirman, 'Dan pada pergantian malam dan siang, serta hujan yang diturunkan
Allah dari langit, lalu dihidupkannya dengan air hujan itu bumi sesudah
matinya, serta pada perkisaran angin, terdapat pula tanda-tanda (kekuaan Allah)
bagi kaum yang berakal.' (QS. al-Jatsiyah: 5)
Allah SWT berfirman,
'Ketahuilah olehmu bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya.
Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran (Kami)
supaya kamu memikirkannya.' (QS. al-Hadid: 17)
Allah SWT juga
berfirman, 'Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan
kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon kurma yang bercabang dan yang
tidak bercabang, disirami dengan airyang sama. Kami melebihkan sebagian
tanaman-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada
yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang
berpikir.' (QS. ar-Ra'd: 4)
Allah SWT berfirman,
'Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat
untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan dan Dia menurunkan air hujan dari
langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya
pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan
akalnya.' (QS. ar-Rum: 24)
Allah
SWTjugaberfirman, 'Katakanlah, 'Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu
oleh Tuhanmu, yaitu janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat
baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak
katnu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada
mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang
tampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa
yang diharamkan Allah (kamu membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar.' Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu
memahaminya.' (QS. al-An'am: 151)
Allah SWT berfirman,
'Apakah ada di antara hamba sahaya yang dimiliki oleh tangan kananmu, sekutu
bagimu dalam (memiliki) rezeki yang telah Kami berikan kepadamu; maka kamu sama
dengan mereka dalam (hak mempergunakan) rezeki itu, kamu takut kepada mereka
sebagaimana kamu takut kepada dirimu sendiri? Demikianlah Kami jelaskan
ayat-ayat bagi kaum yang berakal.' (QS. ar-Rum: 28)
Wahai Hisyam, kemudian
Dia menasihati orang yang berakal, dan membujuk mereka dengan akhirat. Allah
SWT berfirman, 'Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan
senda gurau belaka. Dan sungguh negeri akhirat itu lebih baik bagi orang-orang
yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?' (QS. al-An'am: 32)
Wahai Hisyam, kemudian
Allah memperingatkan orang-orang yang tidak berakal dari siksa-Nya. Allah SWT
berfirman, 'Kemudian Kami binasakan orang-orang yang lain. Dan sesungguhnya
kamu (hai penduduk Mekkah) benar-benar akan melalui (bekas-bekas) mereka diwaktu
pagi.' (QS. ash-Shaffat: 136 - 137)
Allah SWT juga
berfirman, 'Sesungguhnya Kami akan menurunkan azab dari langit atas penduduk
kota ini karena mereka berbuat fasik. Dan sesungguhnya Kami tinggalkan dari
padanya satu tanda yang nyata bagi orang-orang yang berakal.' (QS. al-'Ankabut:
34-35)
Wahai Hisyam,
sesungguhnya akal bersama ilmu. Allah SWT berfirman, 'Dan
perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya
kecuali orang-orang yang berilmu.' (QS. al-'Ankabut: 43)
Wahai Hisyam, kemudian
Allah SWT mencela orang yang tidak berakal. Allah SWT berfirman, 'Dan apabila
dikatakan kepada mereka, 'lkutilah apa yang telah diturunkan Allah', mereka
menjawab, 'Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami.' (Apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun
nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat
petunjuk?' (QS. al-Baqarah: 170)
Allah SWT juga
berfirman, 'Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah
seperti penggembala yang memanggi Ibinatang yang tidak mendengar selain
panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu)
mereka tidak mengerti.' (QS. al-Baqarah: 171)
Allah SWT berfirman,
'Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkanmu. Apakah kamu dapat
menjadikan orang-orang tuli itu mendengar walaupun mereka tidak mengerti.' (QS.
Yunus: 42)
Allah SWT juga
berfirman, 'Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau
memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).' (QS. al-Furqan: 44)
Allah SWT berflrman,
'Mereka tiada akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam
kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara sesama
mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka
terpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang
tidak mengerti.' (QS. al-Hasyr: 14)
Allah SWT juga
berfirman, 'Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedangkan
kamu melupakan diri kamu sendiri padahal kamu membaca al-Kitab? Maka tidakkah
kamu berpikir?' (QS. al-Baqarah: 44)
Wahai Hisyam, kemudian
Allah SWT mencela kelompok yang banyak. Allah SWT berfirman, 'Dan jika kamu
menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah.' (QS. al-An'am: 116)
Allah SWT juga
berfirman, 'Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, 'Siapakah yang
menciptakan langit dan bumi?' Tentu mereka akan menjawab, 'Allah. 'Katakanlah,
'Segala puji bagi Allah'; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.' (QS.
Luqman: 25)
Berikutnya, Allah SWT
berfirman, 'Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka, 'Siapakah yang
menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah
matinya?' Tentu mereka akan menjawab, 'Allah.'Katakanlah, 'Segala Puji bagi
Allah', tetapi kebanyakan mereka tidak memahaminya.' (QS. al-'Ankabut: 63)
Wahai Hisyam,
selanjutnya Allah SWT memuji kelompok yang sedikit. Allah SWT berfirman, 'Dan
sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.' (QS. Saba: 13)
Allah SWT juga
berfirman, 'Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh;
dan amat sedikitlah mereka ini.' (QS. Shad: 24)
Allah SWT berfirman,
"Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir'aun
yang menyembunyikan imannya berkata, 'Apakah kamu akan membunuh seorang
laki-laki karena dia mengatakan, Tuhanku ialah Allah.'" (QS. al-Mu'muin:
28)
Selanjutnya Allah SWT
berfirman, 'Akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.'
Allah SWT berfirman,
'Kebanyakan mereka tidak memahami.' Pada ayat yang lain Allah berfirman,
'Kebanyakan mereka tidak merasa.'
Wahai Hisyam, Allah
menyebut orang-orang yang berakal dengan sebagus-bagusnya sebutan dan menghiasi
mereka dengan sebagus-bagusnya hiasan. Allah SWT berfirman, 'Allah memberikan
hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah,
sungguh dia telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat
mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.' (QS. al-Baqarah: 269)
Allah SWT juga
berfirman, 'Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, 'Kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.' Dan tidak
dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal.' (QS.
Ali 'lmran: 7)
Allah SWT juga
berfirman, 'Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal.' (QS. Ali 'lmran: 190)
Allah SWT berfirman,
'Adakah orang yang mengetahui bahwa-sannya apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanya orang-orang yang berakal
saja yang dapat mengambil pelajaran.' (QS. ar-Ra'd: 19)
Allah SWT berfirman,
"(Apakah kamu hai orang-orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang
yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut
kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, 'Adakah
sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?'
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.' (QS.
az-Zumar: 9)
Allah SWT berfirman,
'lni adalah sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu, yang penuh dengan berkah,
supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran
orang-orang yang mempunyai pikiran.' (QS. Shad: 29)
Selanjutnya Allah SWT
berfirman, 'Dan sesungguhnya telah Kami berikan petunjuk kepada Musa; dan Kami
wariskan Taurat kepada Bani Israil, untuk menjadi petunjuk dan peringatan bagi
orang-orang yang berpikir.' (QS. al-Mu'min: 53 - 54)
Allah SWT berfirman,
'Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat
bagi orang-orang yang beriman.' (QS. adz-Dzariyat: 55)
Wahai Hisyam,
sesungguhnya Allah berfirman di dalam Kitab-Nya, 'Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai
hati.' (QS. Qaf: 37) Yaitu yang dimaksud adalah akal.
'Dan sesungguhnya Kami
telah berikan hikmah kepada Lukman.' Yaitu yang dimaksud adalah akal.
Wahai Hisyam,
sesungguhnya Lukman telah berkata kepada anaknya, 'Tunduklah kamu kepada
kebenaran, niscaya kamu menjadi manusia yang paling berakal. Sesungguhnya
kecerdasan amat mudah bagi orang yang memiliki kebenaran. Wahai anakku,
sesungguhnya dunia adalah lautan yang dalam. Sungguh telah banyak sesuatu yang
karam di dalamnya. Maka jadikanlah ketakwaan kepada Allah sebagai perahumu,
bahan bakarnya adalah iman, layarnya adalah tawakkal, nahkodanya adalah akal,
kompasnya adalah ilmu, dan para penumpangnya adalah sabar.'
Wahai Hisyam,
sesungguhnya segala sesuatu mempunyai tanda. Adapun tandanya akal adalah
berpikir, dan tandanya berpikir adalah diam. Dan, sesungguhnya segala sesuatu
mempunyai tunggangan, adapun tunggangan akal adalah tawadu. Cukup merupakan
kebodohan bagimu, kamu menunggangi sesuatu yang kamu dilarang menungganginya.
Wahai Hisyam, tidaklah
Allah mengutus para nabi dan rasul-Nya kepada hamba-hamba-Nya melainkan supaya
mereka mengenal Allah. Sesungguhnya orang yang paling baik penerimaannya di
antara mereka adalah orang yang paling baik makrifahnya, dan orang yang paling
mengetahui perintah Allah di antara mereka adalah orang yang paling baik
akalnya, serta orang yang paling sempurna akalnya di antara mereka adalah orang
yang paling tinggi derajatnya didunia dan di akhirat.
Wahai Hisyam,
sesungguhnya Allah mempunyai dua hujjah atas manusia. Yaitu hujjah yang tampak
dan hujjah yang tidak tampak. Adapun hujjah yang tampak ialah para rasul, para
nabi dan para imam, sedangkan hujjah yang tidak tampak adalah akal.
Wahai Hisyam,
sesungguhnya orang yang berakal adalah orang yang rasa syukurnya tidak
disibukkan oleh sesuatu yang halal, dan kesabarannya tidak dibelenggu oleh yang
haram.
Wahai Hisyam,
barangsiapa yang memenangkan sesuatu yang tiga atas sesuatu yang tiga yang
lain, maka berarti dia telah membantu hawa nafsunya untuk menghancurkan
akalnya:
Barangsiapa yang
menggelapkan cahaya pikirnya dengan panjang angan-angannya, barangsiapa yang
menghapus kata-kata hikmahnya dengan kata-kata sia-sianya, dan barangsiapa yang
memadamkan cahaya pelajarannya dengan syahwat dirinya, maka berarti dia telah
membantu hawa nafsunya untuk menghancurkan akalnya. Dan barangsiapa yang menghancurkan
akalnya maka berarti dia telah merusak agama dan dunianya.
Wahai Hisyam,
bagaimana mungkin amal perbuatanmu bisa berkembang di sisi Allah, sementara
hatimu lalai dari perintah-Nya, dan engkau mentaati hawa nafsumu yang hendak
menguasai akalmu.
Wahai Hisyam, sabar
dalam kesendirian merupakan tanda kekuatan akal. Barangsiapa yang mengenal
Allah maka dia akan menyingkir dari ahli dunia dan orang orang yang
mengharapkannya, serta hanya mengharapkan apa-apa yang ada di sisi Allah;
sementara Allah akan menjadi temannya di dalam ketakutan, menjadi sahabatnya di
dalam kesendirian, akan mencukupkannya di dalam kemiskinan, dan akan
melindunginya dengan tanpa bantuan keluarga besar.
Wahai Hisyam,
kebenaran ditegakkan untuk mentaati Allah, dan tidak ada keselamatan kecuali
dengan ketaatan. Ketaatan itu ditegakkan dengan ilmu, ilmu itu dengan belajar,
dan belajar itu dengan akal. Selanjutnya, tidak ada ilmu kecuali dari 'alim
rabbani, dan mengetahui ilmu itu dengan akal
Wahai Hisyam, amal
yang sedikit dari orang yang berilmu diterima dengan berlipat ganda, sementara
amal yang banyak dari orang yang memperturuti hawa nafsu dan orang yang bodoh
ditolak.
Wahai Hisyam,
sesungguhnya orang yang berakal rida bersama hikmah dengan tanpa dunia, namun
tidak rida bersama dunia dengan tanpa hikmah, maka oleh karena itu perniagaan
mereka beruntung.
Wahai Hisyam,
sesungguhnya orang yang berakal meninggalkan dunia yang berlebihan, apalagi
dengan dosa. Mereka meninggalkan dunia sebagai sesuatu yang utama, dan
meninggalkan dosa sebagai sesuatu yang wajib.
Wahai Hisyam,
sesungguhnya orang yang berakal melihat kepada dunia dan kepada ahlinya, lantas
mereka mengetahui bahwa dunia tidak dapat digapai kecuali dengan kesulitan,
kemudian mereka pun melihat kepada akhirat, lalu mereka mengetahui bahwa
akhirat pun tidak dapat digapai kecuali dengan kesulitan, maka mereka pun
mencari salah satu yang paling kekal di antara keduanya.
Wahai Hisyam,
sesungguhnya orang-orang yang berakal, mereka meninggalkan kesenangan dunia dan
mengharapkan kesenangan akhkat. Karena mereka tahu bahwa dunia adalah sesuatu
yang mencari dan sesuatu yang dicari, dan demikian juga akhirat adalah sesuatu
yang mencari dan sesuatu yang dicari. Barangsiapa yang mencari akhirat, maka
dunia akan mencarinya, sehingga terpenuhi rejekinya; dan barangsiapa yang
mencari dunia, maka akhirat akan mencarinya, sehingga ajal menjemputnya,
sehingga dengan begitu rusaklah dunia dan akhiratnya.
Wahai Hisyam,
barangsiapa yang menginginkan kekayaan tanpa harta, kenyamanan hati dari hasud,
dan keselamatan di dalam agama, maka hendaklah dia merendahkan diri kepada
Allah SWT di dalam menghadapi masalahnya dengan menyempurnakan akalnya.
Barangsiapa yang berakal maka dia akan merasa puas dengan sesuatu yang
mencukupkannya, dan barangsiapa yang merasa puas dengan sesuatu yang
mencukupkannya maka dia telah kaya. Barangsiapa yang tidak merasa puas dengan
apa yang mencukupkannya maka dia tidak akan menggapai kekayaan selamanya.
Wahai Hisyam,
sesungguhnya Allah menceritakan bahwa kaum yang saleh berkata, 'Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri
petunjuk kepada kami, dan karuniakan lah kepada kami rahmat dari sisi Engkau'
(QS. Ali Imran: 8), manakala mereka mengetahui hati mereka menyimpang dan kembali
kepada kebutaannya.
Sesungguhnya tidak
takut kepada Allah orang yang tidak mengetahui tentang Allah. Dan orang yang
tidak mengetahui tentang Allah, hatinya tidak akan berdiri di atas makrifah
yang kokoh, dan juga tidak akan menemukan hakikat makrifah di dalam hatinya.
Tidaklah seseorang demikian kecuali orang yang ucapannya sejalan dengan
perbuatannya dan batinnya sesuai dengan zahirnya.
Wahai Hisyam, Amirul
Mukminin as telah berkata, Tidaklah Allah disembah dengan sesuatu yang lebih
utama dari akal. Dan, tidaklah sempurna akal seseorang sehingga pada dirinya
terdapat beberapa sifat berikut: Kekufuran dan kemusyrikan terjaga darinya,
petunjuk dan kebaikan diharapkan darinya, kelebihan hartanya dikorbankan,
ke-utamaan pembicaraannya terjamin, dan bagiannya dari dunia hanyalah makanan
pokok. Dia tidak pernah merasa kenyang dengan ilmu selamanya. Kehinaan bersama
Allah lebih dia cintai dibandingkan kemuliaan bersama selain-Nya. Ketawaduan
lebih dia cintai dibandingkan kebesaran. Dia menganggap banyak sedikit kebajikan
yang berasal dari orang lain, dan menganggap sedikit banyak kebajikan yang
berasal dari dirinya. Dia melihat seluruh manusia lebih baik dari dirinya,
sementara dia melihat dirinya sebagai manusia yang paling jelek di antara
manusia yang ada.
Wahai Hisyam,
sesungguhnya orang yang berakal tidak akan berdusta, meski pun di dalam dusta
itu terdapat kepentingannya.
Wahai Hisyam, tidak
ada agama bagi orang yang tidak memiliki kekesatriaan, dan tidak ada
kekesatriaan bagi orang yang tidak memiliki akal. Sesungguhnya manusia yang
paling besar nilainya adalah orang yang tidak melihat dunia sebagai kehormatan
dirinya. Ingatlah, sesungguhnya dirimu tidak mempunyai harga yang sesuai
kecuali surga, maka oleh karena itu janganlah engkau menjualnya dengan selainnya.
Wahai Hisyam,
sesungguhnya Amirul Mukminin as berkata, 'Sesungguhnya tanda orang yang berakal
adalah tiga sifat berikut: Menjawab manakala ditanya, berbicara manakala orang
lain sudah tidak mampu lagi bicara, dan memberikan pandangan yang menggambarkan
kesalehan orang yang memiliki pandangan tersebut. Barangsiapa yang pada dirinya
tidak ada satu pun salah satu dari ketiga sifat tersebut maka dia itu orang
pandir.'
Sesungguhnya Amirul
Mukminin as berkata, Tidaklah duduk di bagian depan majlis kecuali seorang
laki-laki yang memiliki ketiga sifat di atas, atau salah satu darinya.
Barangsiapa yang pada dirinya tidak ada satu pun dari ketiga sifat di atas,
lalu dia duduk di majlis, maka dia itu orang pandir.'
Hasan
bin Ali telah berkata, 'Jika engkau meminta kebutuhan maka mintalah dari
pemiliknya.' Kemudian orang-orang bertanya, 'Wahai putra Rasulallah saw,
siapakah pemilik kebutuhan tersebut?'
Hasan bin Ali
menjawab, 'Yaitu orang-orang yang telah Allah SWT ceritakan di dalam Kitab-Nya.
Allah SWT berfirman, 'Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat
mengambil pelajaran.' (QS. az-Zumar: 39).
Hasan bin Ali berkata
lebih lanjut, 'Mereka itu adalah orang-orang yang berakal.'
Ali bin Husain telah
berkata, 'Duduk bersama orang-orang yang saleh akan mendorong kepada kebajikan.
Bersopan santun kepada para ulama akan menambah akal. Taat kepada pemimpin yang
adil merupakan puncak kemuliaan. Mengambil manfaat harta merupakan
sesempurna-sempurnanya kekesatriaan. Memberi petunjuk kepada orang yang meminta
nasihat merupakan pelaksanaan kewajiban nikmat. Dan menahan diri untuk tidak
menyakiti orang lain merupakan kesempurnaan akal, yang di dalamnya terkandung
kenyamanan badan, baik segera maupun lambat.'
Wahai Hisyam,
sesungguhnya orang yang berakal tidak akan berbicara kepada orang yang
dikhawatirkan akan mendustakannya, tidak akan meminta kepada orang yang
dikhawatirkan tidak akan memberinya, tidak akan menghitung dengan sesuatu yang
dia tidak mampu, dan tidak mengharapkan sesuatu yang tercela untuk
diharapkan."'[356]
Di sana juga terdapat
beratus-ratus riwayat yang menyingkap tentang pentingnya akal dan kedudukannya
yang tinggi di dalam madrasah Ahlul Bait. Akal adalah cahaya Ilahi, yang
dengannya manusia mampu menyingkap hakikat sesuatu. Dengan demikian, dia
merupakan pemberian Ilahi, dan bukan merupakan sesuatu yang bersifat substantif
(dzati) di dalam diri manusia, yang berubah bersama dirinya dari kondisi
potensial (bi al-quwwah) kepada kondisi riil (bi al-fi'l), sebagaimana pendapat
para filosof, yang mana mereka mendefenisikan akal sebagai kemampuan yang
dengannya manusia mampu menghasilkan teori (nazhariyyah) dari sesuatu yang
tidak memerlukan pemikiran (dharuriyyah), seperti mustahilnya berkumpulnya dua
hal yang saling bertentangan, dan bahwa segala sesuatu yang berubah itu adalah
hadits (baru). Dalam pandangan mereka, manakala seorang manusia telah mampu
menghasilkan hal-hal yang nazhari dari hal-hal yang dharuri, maka manusia
tersebut telah sampai kepada batas akal, yang merupakan salah satu peringkat
dari peringkat-peringkat nafs. Manakala peringkat-peringkat itu telah sempurna
maka menjadi akal. Kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dinamakan ma'gulat,
setelah sampai kepada dharuriyyah, meskipun dengan melalui dua puluh perantara
(wasithah). Mereka mencampur adukkan antara akal dengan ma'qul dan antara ilmu
dengan ma'lum (objek ilmu). Mereka disibukkan dengan ma 'lum dan ma 'qul,
sehingga mereka tersesat dari cahaya yang dengannya mereka dapat mengetahui dan
memahami sesuatu. Sungguh ini merupakan kesesatan yang jauh. Kita dapat melihat
dengan nurani kita bahwa cahaya yang dengannya kita dapat mengetahui hakikat
sesuatu ini, adalah sesuatu yang berada di luar zat kita dan zat ma'lum. Dia
tidak lain merupakan pemberian Ilahi, yang dengannya kita dapat mengetahui diri
kita dan dapat menyingkap hakikat sesuatu. Karena jika tidak demikian, lalu ke
mana akal ini pada masa kanak-kanak kita. Sekiranya akal tersebut bersifat zati
bagi diri kita, tentu dia tidak akan pernah berpisah dari diri kita. Karena,
sesuatu yang zati tidak akan pernah sekali pun berpisah dari diri kita.
Allah SWT berfirman,
'Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatu apapun.'
Ayat ini mengingatkan
kita akan hakikat akal dan ilmu. Keduanya tidak lain merupakan cahaya
penyingkap, yang tidak seorang pun dari kita memilikinya pada saat keluar dari
perut ibu, namun sekarang dia memilikinya. Oleh karena itu, mau tidak mau kita
harus mengakui bahwa keduanya berasal dari Allah. Karena, seandainya keduanya
itu berasal dari diri kita, maka tentu keduanya ada pada saat kita masih dalam
usia kanak-kanak.
Rasulullah bersabda,
menguatkan hakikat ini, "Manakala anak yang dilahirkan mencapai batas usia
laki-laki dewasa atau wanita dewasa, maka tersingkaplah penutup, lalu masuklah
cahaya ke dalam hati manusia ini, sehingga dia memahami yang wajib dan yang
sunah, serta yang baik dan yang buruk. Ketahuilah, sesungguhnya perumpamaan
akal di dalam hati tidak ubahnya seperti pelita di dalam ramah."
Dengan demikian, akal
adalah cahaya Ilahi yang terjaga dari kesalahan. Demikian juga wahyu adalah
cahaya Ilahi yang terjaga dari kesalahan. Sehingga dengan demikian tidak ada
perselisihan di antara keduanya. Karena keduanya adalah dua cahaya yang berasal
dari pelita yang sama. Allah SWT telah menjadikan cahaya yang pertama pada diri
manusia, dan menjadikan cahaya yang kedua pada Al-Qur'an dan hadis. Keduanya
saling menyempurnakan satu sama lainnya dan saling membenarkan.
Hubungan yang terjadi
di antara akal dan wahyu adalah hubungan rangsangan. Hal ini sebagaimana yang
dikatakan oleh Amirul Mukminin tatkala menggambarkan tugas para nabi,
"Mereka diutus untuk membangkitkan kembali akal-akal yang telah
terpendam." Dengan demikian, tidak ada keterpisahan di antara akal dan
wahyu. Dan oleh karena itu, ukuran yang lurus untuk menyingkap
pengetahuan-pengetahuan agama adalah akal yang telah mendapat wawasan wahyu.
Masalah inilah yang
telah menjadi penyebab perselisihan kaum Muslimin dan terkotak-kotaknya mereka
ke dalam berbagai mazhab.
Kelompok Ahlul Hadis,
mereka kaku di dalam memahami zhahir nas. Sementara kelompok Mu'tazilah, mereka
bersandar kepada takwil. Adapun kelompok Asy'ariyyah, mereka berusaha
menggabungkan antara ta'wil dan sikap kaku di dalam menyikapi nas. Sementara
kalangan filosof, mereka membangun jalan yang bertentangan dengan jalan Allah
bagi diri mereka, dan mengklaim bahwa mereka telah sampai kepada hakikat.
Oleh karena
pembicaraan kita sekarang berkenaan dengan kelompok Hanbali, kita perlu kemukakan,
bahwa pengingkaran mereka terhadap akal tidak ada dasarnya. Orang yang membaca
kitab-kitab Hanbali, niscaya akan menemukan keyakinan-keyakinan yang saling
bertentangan, atau keyakinan-keyakinan yang bertentangan dengan akal dan fitrah
manusia. Mereka mempercayai riwayat-riwayat yang menetapkan adanya tasybih
(penyerupaan Allah dengan makhluk) dan tajsim (penjisiman Allah) bagi Allah
SWT. Anda dapat melihat keyakinan-keyakinan mereka tidak banyak berbeda dengan
keyakinan-keyakinan Yahudi, Nasrani dan Majusi. Oleh karena itu, muncullah di
tengah-tengah mereka mazhab-mazhab yang mengakui paham tajsim, tasybih, ru'yah
(Allah dapat dilihat dengan mata), jabr (manusia terpaksa di dalam
perbuatannya), dan keyakinan-keyakinan lain yang berasal dari keyakinan-keyakinan
Ahlul Kitab.
Ini semua disebabkan
perlakuan mereka yang sewenang-wenang terhadap hadis. Mereka tidak membahas
hadis dengan teliti dari segi arti dan maksudnya, dan juga tidak memperhatikan
sanad-sanadnya, serta tidak membandingkannya dengan Al-Qur'an dan akal,
melainkan mereka mempercayainya secara bulat-bulat.
"Taklid mereka
sampai tingkat sedemikian rupa sehingga mereka mengambil makna zahir dari semua
hadis mawguf, marfu' dan mawdhu' yang diriwayatkan oleh para perawi. Meski pun
hadis-hadis itu aneh, janggal dan berasal dari riwayat-riwayat Israiliyyat,
seperti yang di-riwayatkan oleh Ka'ab, Wahab dan lainnya, atau bertentangan
dengan hal-hal yang sudah pasti (gath'iyyat), yang terhitung sebagai nas-nas
agama, pemahaman inderawi, dan perkara-perkara yang sangat jelas menurut akal
(yaqiniyyat). Dan mereka mengkafirkan orang-orang yang mengingkarinya, dan
memfasikkan orang-orang yang menyalahinya...."[357]
Jika kita
memperlakukan hadis dengan cara yang seperti ini, tentu tidaklah mustahil
akidah Islam akan menjadi tawanan beribu-ribu hadis mawdhu' (palsu) dan
hadis-hadis Israiliyyah, yang disisipkan oleh orang-orang Yahudi ke dalam
akidah Islam.
Klaim kelompok Hanbali
yang mengatakan bahawa mereka berpegang kepada al-Kitab dan Sunah, serta
tuduhan sesat dan kafir yang mereka lontarkan kepada kelompok di luar mereka,
adalah sebuah klaim yang kosong yang tidak mempunyai dalil. Seluruh kelompok
mengakui kehujjahan sunnah dan beramal dengannya, akan tetapi kelompok Hanbali,
mereka meyakini seluruh yang diriwayatkan sebagai sesuatu yang berasal dari
Rasulallah saw, dengan tanpa melakukan pengecekan, dengan tanpa melakukan usaha
untuk memahami dan mengerti akan maksud dan artinya. Zamakhsyari berkata
tentang kelompok Hanbali di dalam syairnya,
"Jika kamu
bertanya tentang Ahlul Hadis
niscaya mereka
menjawab, kambing jantan yang tidak memahami dan mengetahui."
Rasulullah saw telah
bersabda, "Barangsiapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka
bersiap-siaplah dia untuk menempati tempatnya di neraka." Di dalam hadis
ini, dengan jelas Rasulullah saw mengisyaratkan bahwa musuh-musuh agama akan
menisbahkan segala sesuatu yang mendiskreditkan dirinya dan menyelewengkan
akidahnya kepada dirinya. Oleh karena itu, mau tidak mau kajian ilmu hadis
harus tunduk kepada metoda-metoda ilmiah dan mantiqiyyah, dan bukan sebagaimana
yang telah dilakukan oleh kelompok Hanbali, yang mengimani seluruh yang mereka
temukan di dalam kitab-kitab hadis, baik yang logis maupun yang tidak logis, baik
yang sejalan dengan Al-Qura'an maupun yang tidak sejalan.
Ahmad bin Hanbal
berkata di dalam risalahnya, "Kami meriwayatkan hadis sebagaimana dia
diriwayatkan, dan kami membenarkannya serta meyakini bahwa dia sebagaimana yang
dikatakan oleh Rasulullah saw."[358]
Seseorang berkata,
"Ali bin Isa telah memberitahukan aku bahwa seorang Hanbali telah berkata,
'Saya bertanya kepada Abu Abdillah tentang hadis-hadis yang mengatakan bahwa
Allah SWT turun ke langit dunia setiap malam, Allah dapat dilihat, Allah
meletakkan kaki-Nya, dan hadis-hadis lain yang seperti itu. Abu Abdillah
menjawab, 'Kami meyakininya dan membenarkannya, serta tidak memberinya bentuk
dan arti. Artinya, kami tidak menyimpangkannya dengan takwil, lalu kami
mengatakan maknanya demikian. Kami tidak menolak sedikit pun darinya.'"[359]
Inilah jalan mereka di
dalam memperlakukan hadis. Mereka tidak menolak sedikit pun darinya, dan
membenarkan segala sesuatu yang disebutkannya. Adapun alasan yang mereka ajukan
atas apa yang mereka lakukan itu amatlah lucu. Membenarkan hadis-hadis yang
seperti ini adalah sama dengan membenarkan paham tajsim dan tasybih. Sebagian
dari mereka telah bertindak ekstrim, yaitu dari kelompok Hasyawiyyah, di mana
mereka menetapkan perbuatan fisik bagi Allah SWT.
Syahrestani berkata,
"Adapun penyerupaan yang dilakukan oleh kelompok Hasyawiyyah telah sampai
kepada batas di mana mereka mengatakan bahwa Tuhan mereka dapat disentuh dan
diajak berjabat tangan, dan bahwa kaum Muslimin yang mukhlis akan dapat
memeluk-Nya di dunia dan di akhirat, ketika mereka telah sampai ke tingkatan
ikhlas di dalam riyadhah (latihan spiritual) dan ijtihad."[360]
Contoh-Contoh Hadis Tajsim
Berikut ini beberapa
contoh dari riwayat-riwayat tajsim, yang kami pilih dari kitab as-Sunnah, yang
telah diriwayatkan oleh Abdullah dari ayahnya Ahmad bin Hanbal, dan juga dari
kitab at-Tauhid, karya Ibnu Khuzaimah.
1. Abdullah bin Ahmad
meriwayatkan, disertai dengan menyebut sanad-sanadnya. Dia berkata,
"Rasulullah saw telah bersabda, Tuhan kita telah menertawakan
keputus-asaan hamba-hamba-Nya dan kedekatan yang lainnya. Perawi berkata, 'Saya
bertanya, 'Ya Rasulallah, apakah Tuhan tertawa?' Rasulullah saw menjawab, 'Ya.'
Saya berkata, 'Kita tidak kehilangan Tuhan yang tertawa dalam kebaikan."'[361]
2. Abdullah berkata,
"Saya membacakan kepada ayahku. Lalu, dia menyebutkan sanadnya hingga
kepada Sa'id bin Jubair yang berkata, 'Sesungguhnya mereka berkata,
'Sesungguhnya ruh-ruh berasal dari batu yaqut-Nya. Saya tidak tahu, apakah dia
mengatakan merah atau tidak?' Saya berkata kepada Sa'id bin Jubair, lalu dia
berkata, 'Sesungguhnya ruh-ruh berasal dari batu zamrud dan naskah tulisan
emas, yang Tuhan menuliskannya dengan tangan-Nya, sehingga para penduduk langit
dapat mendengar suara gerak pena-Nya."[362]
3. Abdullah berkata,
"Ayahku berkata kepadaku dengan sanad dari Abi 'Ithaq yang berkata, 'Allah
menuliskan Taurat bagi Musa dengan tangan-Nya, dalam keadaan menyandarkan
punggungnya ke batu, pada lembaran-lembaran yang terbuat dari mutiara. Musa
dapat mendengar bunyi suara pena Tuhannya, sementara tidak ada penghalang
antara dirinya dengan Tuhannya kecuali sebuah tirai.'"[363]
Apakah Anda dapat
memahami sesuatu selain tajsim dan tasybih dari riwayat-riwayat ini? Sungguh
dusta orang yang mempercayai hadis-hadis ini namun mengatakan bahwa dirinya tidak
membayangkan Tuhannya. Tidak, mereka pasti membayangkannya.
Telah berlangsung
sebuah diskusi di antara saudara saya dengan salah seorang tokoh Wahabi, yang
merupakan kepanjangandari keyakinan Hanbali. Diskusi mereka mengenai seputar
sifat-sifat Allah. Saudara saya mensucikan Allah dari sifat-sifat yang seperti
ini, dan dengan berbagai jalan berusaha membuktikan keburukan
keyakinan-keyakinan tersebut. Namun, semuanya itu tidak mendatangkan manfaat,
hingga akhimya saudara saya mengajukan sebuah pertanyaan kepadanya,
"Jika memang SWT
mempunyai sifat-sifat ini, yaitu Dia mempunyai wajah, mempunyai dua tangan, dua
kaki, dua mata, dan sifat-sifat lainnya yang mereka alamatkan kepada Tuhan
mereka, apakah tidak mungkin kemudian seorang manusia membayangkan dan
mengkhayalkann-Nya? Dan dia pasti akan membayangkan-Nya. Karena jiwa manusia
tercipta sedemikian rupa, sehingga dia akan membayangkan sesuatu yang telah
diberi sifat-sifat yang seperti ini." Jawaban yang diberikan oleh tokoh
Wahabi tersebut benar-benar menjelaskan keyakinannya tentang tajsim. Dia
berkata, "Ya, seseorang dapat membayangkan-Nya, namun dia tidak
diperkenankan memberitahukannya..!!"
Saudara saya berkata
kepadanya, "Apa bedanya antara Anda meletakkan sebuah berhala di hadapan
Anda dan kemudin Anda menyembahnya, dengan Anda membayangkan sebuah berhala dan
kemudian menyembahnya?"
Tokoh Wahabi itu
berkata, "Ini adalah perkataan kelompok Rafidhi —semoga Allah memburukkan
mereka. Mereka beriman kepada Allah namun mereka tidak mensifati-Nya dengan sifat-sifat
seperti ini. Sehingga dengan demikian, mereka menyembah Tuhan yang tidak
ada."
Saudara saya berkata,
"Sesungguhnya Allah yang Mahabenar, Dia tidak dapat diliputi oleh akal,
tidak dapat digapai oleh penglihatan, tidak dapat ditanya di mana dan bagaimana,
serta tidak dapat dikatakan kepada-Nya kenapa dan bagaimana. Karena Dialah yang
telah menciptakan di mana dan bagaimana. Segala sesuatu yang tidak dapat Anda
bayangkan itulah Allah, dan segala sesuatu yang dapat Anda bayangkan adalah
makhluk. Kami telah belajar dari para Imam Ahlul Bait as. Mereka berkata,
'Segala sesuatu yang kamu bayangkan, meski pun dalam bentuk yang paling rumit,
dia itu makhluk seperti kamu.' Keseluruhan pengenalan Allah ialah
ketidak-mampuan mengenal-Nya."
Tokoh Wahabi itu berkata
dengan penuh emosi, "Kami menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah
untuk diri-Nya, dan itu cukup."
Kemudian, cobalah
lihat bagaimana mereka menetapkan bahwa Allah mempunyai jari, dan mereka juga
menetapkan bahwa di antara jari-jari-Nya itu terdapat jari kelingking, serta
jari kelingking-Nya mempunyai sendi. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu
Khuzaimah di dalam kitab at-Tauhid. Ibnu Khuzaimah berkata, dengan bersanad
dari Anas bin Malik yang berkata, "Rasulullah saw telah bersabda, 'Manakala
Tuhannya menaiki gunung, Dia mengangkat jari kelingking-Nya, dan mengerutkan
sendi jari kelingkingnya iru, sehingga dengan begitu lenyaplah gunung.'"
Humaid bertanya
kepadanya, "Apakah kamu akan menyampaikan hadis ini?" Dia menjawab,
"Anas menyampaikan hadis ini kepada kami dari Rasulullah, lalu kamu
menyuruh kami untuk tidak menyampaikan hadis ini?"[364]
Mereka menetapkan
Allah SWT mempunyai tangan, tangan-Nya mempunyai jari, dan di antara jari-Nya
itu ialah jari kelingking. Kemu-dian mereka juga mengatakan jari kelingking itu
mempunyai sendi...!! Mari kita teruskan, supaya lebih jelas gambaran untuk
Anda.
Mereka juga mengatakan
Allah SWT mempunyai dua tangan dan dada. Abdullah berkata, "Ayahku berkata
kepadaku...lalu dia pun me-nyebutkan sanadnya yang berasal dari Abdullah bin
Umar yang berkata, 'Malaikat telah diciptakan dari cahaya dada dan dua tangan
(Allah).'"[365]
Abdullah juga berkata,
dengan bersanad dari Abu Hurairah, dari Rasulallah saw yang bersabda,
"Sesungguhnya kekasaran kulit orang Kafir panjangnya tujuh puluh dua
hasta, dengan ukuran panjang tangan Yang Maha Perkasa."[366]
Dari hadis ini dapat
dipahami, di samping Tuhan mempunyai dada dan dua tangan, juga kedua tangan
Tuhan mempunyai ukuran panjang tertentu. Karena jika tidak, maka tidak mungkin
kedua tangan tersebut menjadi ukuran bagi satuan panjang.
Mereka tidak hanya
cukup sampai di sini, melainkan mereka juga menjadikan Allah mempunyai kaki.
Abdullah bin Ahmad bin
Hanbal, dengan bersanad kepada Anas bin Malik yang berkata, "Rasulullah
saw telah bersabda, 'Orang-orang kafir dilemparkan ke dalam neraka. Lalu neraka
berkata, 'Apakah masih ada tambahan lagi?', maka Allah pun meletakkankaki-Nya
ke dalam neraka, sehingga neraka berkata, 'Cukup, cukup.'"[367]
Ibnu Khuzaimah
meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Rasulallah saw yang bersabda, "Neraka
tidak menjadi penuh sehingga Allah me-letakkan kaki-Nya ke dalamnya. Lalu,
neraka pun berkata, 'Cukup, cukup.' Ketika itu lah neraka menjadi penuh."[368]
Mereka melangkah lebih
jauh lagi. Mereka juga menetapkan bahwa Allah SWT mempunyai nafas. Abdullah bin
Ahmad bin Hanbal berkata, dengan bersanad kepada Ubay bin Ka'ab yang berkata,
"Janganlah kamu melaknat angin, karena sesungguhnya angin berasal dari
nafas Tuhan."[369]
Apa yang yang masih
tersisa, terutama setelah mereka menetapkan Allah SWT mempunyai wajah.
Bagaimana dengan suara-Nya?!
Mereka telah
menetapkannya dan bahkan menyerupakannya dengan suara besi. Abdullah bin Ahmad,
dengan sanadnya telah berkata, "Jika Allah berkata-kata menyampaikan
wahyu, para penduduk langit mendengar suara bising tidak ubahnya suara bising
besi di suasana yang hening."[370]
Kemudian, mereka
menetapkan bahwa Allah SWT mempunyai bobot. Oleh karena itu, terdengar suara
derit kursi ketika Allah sedang mendudukinya. Jika Allah tidak mempunyai bobot,
lantas apa arti dari suara derit?
Abdullah bin Ahmad bin
Hanbal meriwayatkan, dengan bersanad dari Umar yang berkata, "Jika Allah
duduk di atas kursi, akan ter-dengar suara derit tidak ubahnya seperti suara
deritnya koper besi."[371] Atau,
tidak ubahnya seperti suara kantong pelana unta yang dinaiki oleh penunggang
yang berat.
Dia juga berkata,
dengan bersanad kepada Abdullah bin Khalifah yang berkata, "Seorang wanita
datang kepada Nabi saw lalu berkata, 'Mohonlah kepada Allah supaya Dia
memasukkan saya kedalam surga.' Nabi saw berkata, 'Maha Agung Tuhan.'
Rasulullah saw kembali berkata, 'Sungguh luas kursi-Nya yang mencakup langit
dan bumi. Dia mendudukinya, sehingga tidak ada ruang yang tersisa darinya
kecuali hanya seukuran empat jari. Dan sesungguhnya Dia mempunyai suara tidak
ubahnya seperti suara derit pelana tatkala dinaiki."'[372]
Sempurna lah bentuk
yang jelek ini. Dengan demikian, Allah SWT menjadi seorang manusia, yang
mempunyai sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia. Inilah yang tampak dari
mereka, meskipun mereka mengingkarinya. Bahkan, mereka mengatakan lebih dari
itu.
Di dalam sebuah hadis
disebutkan, Allah SWT menciptakan Adam berdasarkan wajah-Nya, setinggi tujuh
puluh hasta.
Mereka juga menetapkan
bahwa Allah SWT dapat dilihat. Seba-gaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu
Khuzaimah, dengan bersanad kepada Ibnu Abbas yang berkata, "Rasulullah saw
telah bersabda, 'Aku melihat Tuhanku dalam bentuk-Nya yang paling bagus. Lalu
Tuhanku berkata, 'Ya Muhammad.' Aku menjawab, 'Aku datang me-menuhi seruan-Mu.'
Tuhanku berkata lagi, 'Dalam persoalan apa malaikat tertinggi bertengkar?' Aku
menjawab, 'Aku tidak tahu, wahai Tuhanku.' Rasulullah saw melanjutkan sabdanya,
'Kemudian Allah meletakkan tangan-Nya di antara dua pundak aku, sehingga aku
dapat merasakan dinginnya tangan-Nya di antara kedua tetekku, maka aku pun
mengetahui apa yang ada di antara timur dan barat.'"[373]
Dia juga berkata,
sesungguhnya Abdullah bin Umar bin Khattab mengirim surat kepada Abdullah bin
Abbas. Abdullah bin Umar bertanya, 'Apakah Muhammad telah melihat Tuhannya?'
Maka Abdullah bin Abbas pun mengirim surat jawaban kepadanya. Abdullah bin
Abbas menjawab, 'Benar.' Abdullah bin Umar kembali mengirim surat untuk
menanyakan bagaimana Rasulullah saw melihat Tuhannya. Abdullah bin Abbas
mengirim surat jawaban, 'Rasulullah saw melihat Tuhannya di sebuah taman yang
hijau, dengan tanpa permadani dari emas. Dia tengah duduk di atas kursi yang
terbuat dari emas, yang diusung empat orang malaikat. Seorang malaikat dalam
rupa seorang laki-laki, seorang lagi dalam rupa seekor sapi jantan, seorang
lagi dalam rupa seekor burung elang, dan seorang lagi dalam rupa seekor
singa.'"[374]
Manakala sebagian
kelompok Hanbali melihat buruknya apa yang telah mereka buat, mereka berusaha
memberikan pembenaran terhadap hal itu, dan memberikan alasan dengan
mengatakan: Tanpa bentuk (bi la kaif).
Abul Hasan al-Asy'ari
telah bersandar kepada pembenaran ini. Dia mengatakan di dalam kitabnya
al-Ibanah, halaman 18, "Sesungguhnya Allah mempunyai wajah dengan tanpa
bentuk (kaif), sebagaimana firman-Nya, 'Dan tetap kekal wajah Tuhanmu, yang
mempunyai kebe-saran dan kemuliaan.' Allah SWT juga mempunyai dua tangan dengan
tanpa bentuk, sebagaiman firtnan-Nya, 'Aku mencipta dengan tangan-Ku."'
Sungguh benar apa yang
dikatakan seorang penyair,
"Mereka telah
menyerupakan-Nya dengan makhluk-Nya
namun mereka takut
akan kecaman manusia
maka oleh karena itu
mereka pun menyembunyikannya
dengan mengatakan
tanpa bentuk."
Bagi setiap orang yang
berakal sehat, pembenaran ini sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Karena
ketidak-tahuan akan bentuk tidak memberikan faidah sedikit pun, dan tidak
mendorong kepada arti yang benar. Justru dia lebih dekat kepada kesamaran.
Karena, penetapan kata-kata ini kepada makna hakikinya adalah berarti penetapan
bentuk itu sendiri bagi kata-kata tersebut. Karena kata-kata berdiri dengan
bentuknya itu sendiri, dan penetapan sifat-sifat ini ke dalam artinya
sebagaimana yang sudah dikenal adalah berarti tajsim dan tasybih itu sendiri.
Adapun alasan yang mereka kemukakan, bahwa itu tanpa bentuk (kaif), tidak lebih
hanya merupakan silat lidah saja.
Saya pernah berdiskusi
dengan salah seorang dosen saya di kampus tentang seputar masalah duduknya
Allah di atas ‘Arsy. Ketika dia ter-desak dia mengemukakan alasan, "Kami
hanya akan mengatakan apa yang telah dikatakan oleh kalangan salaf, 'Arti duduk
(al-istiwa) diketahui, bentuk duduk (al-kaif) tidak diketahui, dan pertanyaan
tentang-nya adalah bid'ah.'"
Saya katakan
kepadanya, "Anda tidak menambahankan apa-apa kecuali kesamaran, dan Anda
hanya menafsirkan air dengan air setelah semua usaha ini."
Dia berkata,
"Bagaimana mungkin, padahal diskusi demikian serius."
Saya katakan,
"Jika arti duduk diketahui, maka tentu bentuknya pun diketahui juga.
Sebaliknya, jika
bentuk tidak diketahui, maka duduk pun tidak diketahui, karena tidak terpisah
darinya. Pengetahuan tentang "duduk" adalah pengetahuan tentang
"bentuk" itu sendiri, dan akal tidak akan memisahkan antara sifat
sesuatu dengan bentuknya, karena keduanya adalah satu.
Jika Anda mengatakan
si Fulan duduk, maka ilmu Anda tentang duduknya adalah ilmu Anda tentang bentuk
(kaifiyyah) duduknya.
Ketika Anda
mengatakan, "duduk" diketahui, maka ilmu anda tentang duduk itu
adalah ilmu Anda tentang bentuk duduk itu sendiri. Karena jika tidak, maka
tentu terdapat pertentangan di dalam perkataan Anda, yang mana pertentangan itu
bersifat zat. Ini tidak ada bedanya dengan pernyataan bahwa Anda mengetahui
"duduk", namun pada saat yang sama Anda mengatakan bahwa Anda tidak
mengetahui bentuknya."
Dia pun terdiam
beberapa saat, lalu dengan tergesa-gesa dia meminta ijin untuk pergi.
Semua yang dikatakan
mereka tentang tidak adanya kaif (bentuk), namun dengan tetap menerapkan arti
hakiki pada kata-kata di atas, tidak lain merupakan dua hal yang saling
bertentangan. Sebagaimana mereka mengatakan bahwa Allah SWT mempunyai tangan
dalam arti yang sesungguhnya, namun tangan-Nya tidak sebagaimana tangan, adalah
sebuah perkataan yang mana bagian akhirnya menyalahi bagian awalnya, dan begitu
juga sebaliknya. Karena tangan dalam arti yang sesungguhnya (hakiki), mempunyai
bentuk sebagaimana yang telah diketahui. Dan, penafian bentuk darinya adalah
berarti membuang hakikatnya.
Jika kata-kata yang
kosong ini cukup untuk menetapkan kesucian Allah SWT, maka tentunya kita dapat
mengatakan, Allah SWT mempunyai jisim namun tanpa bentuk, Allah mempunyai darah
namun tanpa bentuk, Allah mempunyai daging namun tanpa bentuk, dan Allah
mempunyai rambut namun tanpa bentuk.
Bahkan, salah seorang
dari mereka sampai mengatakan, "Sesungguhnya saya malu untuk menetapkan
Allah mempunyai kemaluan dan janggut. Oleh karena itu, maafkanlah saya, dan
tanyalah kepada saya selain dari keduanya."
Juga perlu diingat,
jangan sampai dari keterangan ini Anda memahami bahwa kita mempercayai takwil
di dalam ayat-ayat yang seperti ini. Karena pentakwilan makna zahir Al-Qur'an
dan sunnah dengan alasan bahwa makna tersebut bertentangan dengan akal,
tidaklah dibolehkan. Karena di dalam Al-Qur'an dan sunnah tidak ada sesuatu
yang bertentangan dengan akal. Adapun apa yang terbersit bahwa makna zahir Al-Qur'an
dan hadis bertentangan dengan akal, sebenarnya itu bukanlah makna zahir,
melainkan sebuah makna yang mereka bayangkan sebagai makna zahir.
Berkenaan dengan
ayat-ayat yang seperti ini, tidak diperlukan adanya takwil. Karena bahasa, di
dalam penunjukkan maknanya, terbagi kepada dua bagian:
1. Penunjukkan makna
ifradi.
2. Penunjukkan makna
tarkibi.
Terkadang, makna
ifradi berbeda dari makna tarkibi, jika di sana terdapat petunjuk (qarinah)
yang memalingkan makna tarkibi dari makna ifradi. Sebaliknya, makna tarkibi
akan sejalan dengan makna ifradi apabila tidak terdapat qarinah (petunjuk) yang
memalingkannya dari makna ifradi. Sebagai contoh, tatkala kita menyebutkan kata
"singa" —yaitu berupa kata tunggal— maka dengan serta merta
ter-bayang di dalam benak kita binatang buas yang hidup di hutan. Makna yang
sama pun akan hadir di dalam benak kita manakala kata tersebut disebutkan dalam
bentuk susunan kata (tarkibi) yang tidak mengan-dung petunjuk (qarinah) yang
memalingkannya dari makna ifradi. Seperti kalimat yang berbunyi, "Saya
melihat seekor singa tengah memakan mangsanya di hutan."
Sebaliknya, makna kata
singa akan berubah sama sekali apabila di dalam susunan kata (kalimat) kita
mengatakan, "Saya melihat singa tengah menyetir mobil."
Maka yang dimaksud dari
kata singa yang ada di dalam kalimat ini adalah seorang laki-laki pemberani.
Inilah kebiasaan orang Arab di dalam memahami perkataan. Manakala seorang
penyair berkata,
"Dia menjadi
singa atas saya,
namun di medan perang
dia tidak lebih hanya
seekor burung onta yang lari
karena suara terompet
perang yang dibunyikan."
Dari syair ini kita
dapat mengetahui bahwa kata singa di atas tidak lain adalah seorang laki-laki
yang berpura-pura berani di hadapan orang-orang yang lemah, namun kemudian lari
sebagai seorang pengecut tatkala berhadapan dengan musuh.
Orang yang mengerti
perkataan ini, tidak mungkin akan menamakannya sebagai orang yang mentakwil nas
dengan sesuatu yang keluar dari makna zahir perkataan.
Demikian juga halnya
dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang seperti ini. Ketika —misalnya— Allah SWT
mengatakan, "Tangan Allah di atas tangan mereka ", maka pengartian
tangan di sini sebagai kekuasaan bukanlah suatu bentuk takwil. Hal ini tidak
berbeda dengan perkataan yang berbunyi, "Negeri berada di dalam genggaman tangan
raja". Yaitu artinya berada di bawah kekuasaan dan kehendak raja.
Kata-kata ini tetap sesuai diucapkan meskipun pada kenyataannya raja tersebut
buntung tangannya. Demikian juga halnya dengan ayat-ayat lainnya. Kita
menetapkan makna tarkibi, yang tampak dari sela-sela konteks kalimat, dan kita
tidak terpaku dengan makna kata secara leksikal, dengan tanpa melakukan takwil
atau tahrif. Itulah yang di-sebut dengan beramal dengan zahir nas. Namun
tentunya, zahir yang tampak dari konteks kalimat. Orang-orang Hanbali, mereka
menyesatkan manusia dengan makna zahir fardiyyah, dengan tanpa melihat kepada
makna keseluruhan (ijmali tarkibi).
Dengan cara inilah
makna zahir Al-Qur'an dan sunah menjadi hujjah, yang tidak seorang pun manusia
diperbolehkan berpaling darinya, dan juga mentakwilkannya, setelah sebelumnya
memperhatikan dengan seksama qarinah-qarinah (petunjuk-petunjuk) yang menyatu
maupun yang terpisah. Adapun orang yang berhujjah dengan makna zahir fardiyyah
maka dia telah lalai dan menyimpang dari perkataan orang Arab.
b. Periode Ibnu Taimiyah (Ahmad bin Abdul Halim)
Setelah akidah
Asy'ariyyah tersebar luas meliputi sebagian besar negeri Islam, dan menjadi
mazhab resmi di dalam bidang akidah bagi mayoritas kaum Muslimin, nama Ahmad
bin Hanbal sudah jarang disebut, dan pengaruh akidahnya pun semakin menyusut,
hingga kemudian muncul Ibnu Taimiyyah yang lahir pada tahun 661 Hijrah di dalam
rumah seorang tokoh Hanbali, di salah satu benteng terpenting kelompok Hanbali
di kota Haran. Ibnu Taimiyyah tumbuh di dalam lingkungan keluarga ini, dan
belajar kepada ayahnya, yang telah memperuntukkan kursi untuknya di Damaskus
setelah kepindahannya ke sana. Ibnu Taimiyyah juga belajar kepada orang lain
dalam bidang ilmu hadis, ilmu rijal al-hadis, ilmu bahasa, tafsir, fikih dan
ushul. Setelah ayahnya meninggal dunia, Ibnu Taimiyyah memimpin majlis
pelajaran yang ditinggalkan ayahnya. Ini merupakan kesempatan baginya untuk
mengembalikan kemuliaan ajaran keyakinan Hanbali. Dia memanfaatkan mimbar yang
ada untuk berbicara mengenai sifat-sifat Allah SWT, dengan menyebutkan
argumentasi-argumentasi yang memperkuat keyakinan orang-orang yang berpegang
kepada paham tajsim. Ini tampak jelas sekali manakala dia menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh penduduk Hamah kepadanya tentang
ayat-ayat sifat. Seperti firman firman Allah SWT yang berbunyi, "Tuhan
Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas '‘Arsy", seperti firman Allah
SWT yang berbunyi, "Kemudian Dia menuju ke langit", dan seperti sabda
Rasulullah saw yang berbunyi, "Sesungguhnya hati anak Adam berada di
antara dua jari Tuhan Yarig Maha Pemurah". Ibnu Taimiyyah menjawab
pertanyaan-pertanyaan mereka melalui risalah yang panjang, yang kemudian
dinamakan dengan "keyakinan Hamawiyyah". Di dalam risalahnya itu
tersingkap keyakinannya tentang faham tajsim dan tasybih, namun dengan tidak
secara terang-terangan, melainkan dengan menggunakan kata-kata yang samar, yamg
kalau sekiranya kata-kata itu dihilangkan niscaya akan tampak jelas kenyataan
yang sesungguhnya. Risalahnya ini telah menimbulkan kegegeran di kalangan para
ulama. Para ulama mengecamnya, dan Ibnu Taimiyyah pun meminta perlindungan
kepada penguasa Damaskus yang telah membantunya. Ibnu Katsir menuturkan
peristiwa ini, "Telah terjadi malapetaka besar bagi Syeikh Taqiyyuddin
Ibnu Taimiyyah di kota Damaskus. Sekelompok para fukaha bangkit menentangnya,
dan hendak menghadirkannya ke majlis hakim Jalaluddin al-Hanafi, namun dia
tidak hadir. Maka dia pun dipanggil ke pusat kota untuk ditanyai mengenai
keyakinan yang pernah ditanyakan penduduk Hamah kepadanya, yang dinamakan
dengan "keyakinan Hamawiyyah". Amir Saifuddin Ja'an berpihak kepada
Ibnu Taimiyyah, dan dia mengirim surat untuk meminta orang-orang yang telah
menentang Ibnu Taimiyyah. Melihat itu, sebagian besar dari mereka pun
bersembunyi. Sultan Saifuddin Ja'an memukuli sekelompok orang yang memprotes
akidah yang diajarkan oleh Ibnu Taimiyyah, sehingga sebagian yang lainnya pun
menjadi diam."[375]
Para ulama bersikap
diam terhadap keyakinan yang menyimpang, dikarenakan kekuatan penguasa
mendukung keyakinan yang menyim-pang itu. Dengan begitu, Ibnu Taimiiyah
mendapat kesempatan untuk berbicara sesukanya. Seorang saksi mata, yang
merupakan seorang pengembara terkenal yang bernama Ibnu Bathuthah, telah
menukilkan kepada kita tentang keyakinan Ibnu Taimiyyah mengenai Allah SWT. Dia
mengatakan bahwa secara kebetulan dia pernah menghadiri pelajaran Ibnu
Taimiyyah di mesjid Umawi. Ibnu Bathuthah berkata, "Ketika itu saya sedang
berada di kota Damskus. Maka pada hari Jumat saya pergi untuk menghadiri
pelajarannya. Di sana, saya mene-mukan dia tengah berbicara di hadapan manusia
di atas mimbar mesjid jami'. Salah satu dari pembicaraannya ialah,
'Sesungguhnya Allah SWT turun ke langit dunia sebagaimana turunnya saya ini',
sambil dia memperagakan turun satu tingkat anak tangga dari atas mimbar.
Seorang Fakih Maliki,
yang dikenal dengan sebutan Ibnu Zahra memprotesnya dan mengecam apa yang
dikatakannya. Melihat itu, para hadirin berdiri menyerang Fakih Maliki
tersebut. Mereka memukulinya dengan tangan dan sendal, sehingga sorbannya
jatuh, dan kemudian tampak di atas kepalanya terdapat kain tipis dari sutera.
Melihat itu, mereka pun mengecam pakaian yang dipakainya, dan kemudian
membawanya ke rumah 'lzzuddin bin Muslim, seorang qadi Hanbali. Lalu qadi itu
memerintahkan supaya Fakih Maliki itu dipenjara dan dipukul."[376]
Perkataan Ibnu
Taimiiyah ini direkam oleh Ibnu Hajar al-'Asqalani di dalam kitabnya ad-Durar
al-Kaminah, jilid 1, hal 154. Dari perkataannya ini tampak sekali
kefanatikannya yang sangat terhadap orang-orang yang mengakui sifat-sifat Allah
SWT ini, hingga sampai batas dia menyerupakan dirinya dengan Allah SWT. Sungguh
ini merupakan kekufuran yang sesungguhnya.
Dia menyembunyikan
keyakinan-keyakinannya ini dengan label keyakinan salaf. Dia membuat kebohongan
atas salaf dan berlindung kepada mereka, dengan tujuan untuk menyembunyikan
kejelekan-kejelekan keyakinannya. Padahal, dia tahu bahwa hal yang seperti itu
pun telah pernah dilakukan oleh orang-orang Hanbali. Mereka berusaha mengenakan
pakaian salaf ke atas keyakinan-keyakinan mereka. Namun itu semua tidak
mendatangkan manfaat yang banyak, dikarenakan banyaknya mazhab keyakinan, baik
yang datang sebelum maupun sesudah Ahmad bin Hanbal. Perselisihan ini
membuktikan tidak adanya kesatuan kaum Muslimin di dalam sebuah keyakinan yang
sama. Masing-masing dari mazhab tersebut mengklaim merekalah yang mempunyai
hubungan dengan Laila, padahal Laila tidak mengakui itu.
Syahrestani membantah
pengakuan Ibnu Taimiyyah yang mengatakan bahwa mazhabnya adalah mazhab salaf di
dalam kitabnya al-Milal wa an-Nihal, "Sekelompok orang-orang terkemudian
bersikap berlebihan atas apa yang telah dikatakan oleh kalangan salaf. Mereka
mengatakan, 'Ayat-ayat ini mau tidak mau harus diterapkan pada makna
zhahirnya', sehingga mereka pun jatuh ke dalam paham tasybih semata. Yang
demikian itu jelas bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh kalangan salaf.
Paham tasybih hanya ada pada orang-orang Yahudi, namun tidak pada seluruh
mereka,"[377]
Ibnu Taimiyyah telah
menipu masyarakat umum dengan generalisasi yang dia lakukan. Sebagai contoh,
dia mengatakan, "Adapun yang saya katakan dan tulis sekarang, meskipun
saya belum pernah me-nuliskannya pada jawaban-jawaban saya yang telah lalu,
namun saya sudah sering mengatakan di majlis-majlis, 'Sesungguhnya berkenaan
dengan seluruh ayat sifat yang terdapat di dalam Al-Qur'an, tidak terdapat perselisihan
di kalangan para sahabat di dalam pentakwilannya. Saya telah membaca berbagai
tafsir yang ternukil dari para sahabat, begitu juga hadis-hadis yang mereka
riwayatkan, dan saya juga telah menelaah banyak sekali kitab-kitab, baik yang
besar maupun yang kecil, yang jumlahnya lebih dari seratus kitab tafsir, namun
saya belum menemukan seorang pun dari para sahabat, hingga saat ini, yang
mentakwil ayat-ayat sifat atau hadis-hadis sifat dengan sesuatu yang
bertentangan dengan pengertiannya yang sudah dikenal."[378]
Dengan cara inilah
masyarakat umum membenarkan perkataannya. Namun, dengan sedikit saja kita
merujuk kepada kitab-kitab tafsir ma 'tsurah niscaya akan tampak bagi kita
kebohongan Ibnu Taimiyyah. Apakah itu di dalam ketidak-merujukkannya kepada
kitab-kitab tafsir, atau di dalam pengklaimannya akan tidak adanya takwil dari
para sahabat berkenaan dengan ayat-ayat sifat. Saya kemukakan beberapa contoh
berikut ini:
Jika kita merujuk ke
dalam kitab tafsir ath-Thabari, yang oleh Ibnu Taimiyyah digambarkan sebagai
berikut, "Di dalamnya tidak terdapat bid'ah, dan tidak meriwayatkan dari
orang-orang yang menjadi tertuduh."[379]
Ketika kita merujuk
kepada ayat kursi, yang oleh Ibnu Taimiyyah dianggap termasuk salah satu ayat
sifat yang terbesar, sebagaimana yang dia katakan di dalam kitab al-Fatawa
al-Kabirah, jilid 6, hal 322, Thabari mengemukakan dua riwayat yang bersanad
kepada Ibnu Abbas, berkenaan dengan penafsiran firman Allah SWT yang berbunyi,
"Kursi Allah meliputi langit dan bumi. "
Thabari berkata,
"Para ahli takwil berselisih pendapat tentang arti kursi. Sebagian mereka
berpendapat bahwa yang dimaksud adalah ilmu Allah. Orang yang berpendapat
demikian bersandar kepada Ibnu Abbas yang mengatakan, 'Kursi-Nya adalah
ilmu-Nya.'
Adapun riwayat lainnya
yang juga bersandar kepada Ibnu Abbas mengatakan, 'Kursi-Nya adalah ilmu-Nya.
Bukankah kita melihat di dalam firman-Nya, 'Dan Allah tidak merasa berat
memelihara keduanya. '"[380]
Perhatikanlah, betapa
yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah tidak lain kebohongan yang nyata. Dia
mengatakan, "Kalangan salaf tidak berbeda pendapat sedikit pun di dalam
masalah sifat", padahal Thabari mengatakan, "Para ahli takwil berbeda
pendapat". Ibnu Taimiyyah juga mengatakan, "Saya tidak menemukan
hingga saat sekarang ini seorang sahabat yang mentakwil sedikit saja ayat-ayat
sifat", disertai dengan pengakuannya bahwa dia telah merujuk seratus kitab
tafsir, padahal Thabari menyebutkan dua riwayat yang berasal dari Ibnu Abbas.
Berikut ini contoh
yang kedua, yang masih berasal dari kitab tafsir Thabari. Pada saat menafsirkan
firman Allah SWT yang berbunyi, "Dan Allah Mahatinggi dan Mahabesar",
Thabari berkata,
"Para pengkaji
berbeda pendapat tentang makna firman Allah SWT yang berbunyi, 'Dan Allah
Mahatinggi dan Mahabesar.' Sebagian mereka berpendapat, 'Artinya ialah, 'Dan
Dia Mahatinggi dari padanan dan bandingan.' Mereka menolak bahwa maknanya ialah
'Dia Mahatinggi dari segi tempat.' Mereka mengatakan, Tidaklah boleh Dia tidak
ada di suatu tempat. Maknanya bukanlah Dia tinggi dari segi tempat. Karena yang
demikian berarti menyifati Allah SWT ada di sebuah tempat dan tidak ada di
tempat yang lain.'"[381]
Demikianlah pendapat
kalangan salaf. Sedangkan Ibnu Taimiyyah telah memilih jalan yang lain bagi
dirinya, namun kemudian dia tidak menemukan orang yang mendukung jalannya, maka
dia pun menisbahkan jalannya kepada salaf. Padahal kita melihat kalangan salaf
tidak mempercayai keyakinan tempat bagi Allah SWT, sementara Ibnu Taimiyyah
mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis-hadis Nabi untuk membuktikan
keyakinan tempat bagi Allah SWT, di dalam risalah yang ditujukannya bagi
penduduk kota Hamah. Bahkan, tatkala dia sampai kepada firman Allah SWT yang
berbunyi, "Sesungguhnya Allah SWT bersemayam di atas '‘Arsy", dia
mengatakan, "Sesung-guhnya Dia berada di atas langit."[382] Yang dia maksud adalah tempat.
Adapun di dalam kitab
tafsir Ibnu 'Athiyyah, yang oleh Ibnu Taimiyyah dianggap sebagai kitab tafsir
yang paling dapat dipercaya, disebutkan beberapa riwayat Ibnu Abbas yang telah
disebutkan oleh Thabari di dalam kitab tafsirnya. Kemudian, Ibnu 'Athiyyah
memberi-kan komentar tentang beberapa riwayat yang disebutkan oleh Thabari,
yang dijadikan pegangan oleh Ibnu Taimiyyah, "Ini adalah
perkataan-perkataan bodoh dari kalangan orang-orang yang mempercayai tajsim.
Wajib hukumnya untuk tidak menceritakannya."[383]
Berikut ini adalah
bukti lainnya berkenaan dengan penafsiran firman Allah SWT yang berbunyi,
"Segala sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya" (QS. al-Qashash: 88),
dan juga firman Allah SWT yang ber-bunyi, "Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu,
yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan" (QS. ar-Rahman: 27), di mana
dengan perantaraan kedua ayat ini Ibnu Taimiyyah menetapkan wajah Allah SWT
dalam arti yang sesungguhnya.
Thabari berkata,
"Mereka berselisih tentang makna firman-Nya, 'kecuali wajah-Nya."'
Sebagian dari mereka berpendapat bahwa yang dimaksud ialah, segala sesuatu
pasti binasa kecuali Dia. Sementara sebaaian lain berkata bahwa maknanya ialah,
kecuali yang dikehendaki wajah-Nya, dan mereka mengutip sebuah syair untuk
mendukung takwil mereka,
"Saya memohon
ampun kepada Allah dari dosa yang saya tidak mampu menghitungnya
Tuhan, yang kepada-Nya
lah wajah dan amal dihadapkan.""[384]
Al-Baghawai berkata,
"Yang dimaksud dengan 'kecuali wajah-Nya' ialah 'kecuali Dia'. Ada juga
yang mengatakan, 'kecuali kekuasaan-Nya'."
Abul 'lyalah berkata,
"Yang dimaksud ialah 'kecuali yang dikehandaki wajah-Nya'."[385]
Di dalam kitab ad-Durr
al-Mantsur, dari Ibnu Abbas yang berkata, "Artinya ialah 'kecuali yang
dikehendaki wajah-Nya'."
Dari Mujahid yang
berkata, "Yang dimaksud ialah 'kecuali yang dikehendaki wajahnya.'"
Dari Sufyan yang
berkata, "Yang dimaksud ialah 'kecuali yang dikehendaki wajah-Nya, dari
amal perbuatan yang saleh'."
Inilah pendapat
kalangan salaf yang sesungguhnya. Lantas, atas dasar apa Ibnu Taimiyyah
mengatakan tentang keyakinannya, "Ini adalah keyakinan kalangan
salaf."
Jangan Anda katakan
kepadanya kecuali firman Allah SWT yang berbunyi,
"Mengapa Anda
mencampur-adukkan yang hak dengan yang batil, dan menyembunyikan kebenaran,
padahal Anda mengetahui?" (QS. Ali 'lmran: 71)
"Sesungguhnya
orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa
keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya
kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula)
oleh orang-orang yang melaknati. " (QS. al-Baqarah: 159)
Oleh karena itu, para
ulama semasanya tidak tinggal diam atas perkataan-perkataannya. Mereka memberi
fatwa tentangnya dan memerintahkan manusia untuk menjauhinya. Hingga akhirnya
Ibnu Taimiyyah dipenjara, dilarang menulis di dalam penjara, dan kemudian
meninggal dunia di dalam penjara di kota Damaskus, dikarenakan
keyakinan-keyakinan sesatnya dan pikiran-pikiran ganjilnya. Banyak dari
kalangan para ulama dan huffadz yang telah menulis kitab untuk membantah
keyakinan-keyakinannya. Adz-Dzahabi telah menulis surat kepadanya, yang berisi
kecaman terhadapnya atas keyakinan-keyakinan yang dibawanya. Surat adz-Dzahabi
tersebut cukup panjang, dan kita cukup mengutip beberapa penggalan saja
darinya. 'Allamah al-Amini telah menukil surat adz-Dzahabi ini secara lengkap
di dalam kitab al-Ghadir, jilid 7, hal 528, yang dia nukil dari kitab Takmilah as-Saif
ash-Shaqil, karya al-Kautsari, halaman 190.
Salah satu penggalan
dari surat adz-Dzahabi tersebut ialah,
"Betapa meruginya
orang yang mengikutimu. Karena mereka dihadapkan kepada kekufuran. Terlebih
lagi jika mereka orang yang sedikit ilmunya dan tipis agamanya, serta mengikuti
hawa nafsunya. Mereka mendatangkan manfaat bagimu dan membelamu dengan tangan
dan lidah mereka. Padahal, sesungguhnya mereka itu adalah musuhmu dengan
keadaan dan hati mereka.
Tidaklah mayoritas
orang yang mengikutimu melainkan orang yang kurang akalnya, pendusta yang
bodoh, orang asing yang kuat makarnya, atau orang jahat yang tidak memiliki
pemahaman. Jika kamu tidak percaya apa yang aku katakan, silahkan periksa dan
timbang mereka..."
Di dalam kitab
ad-Durar al-Kaminah, karya Ibnu Hajar al-'Asqalani, jilid 1, halaman 141
disebutkan, "Dari sana sini orang menolaknya. Tidaklah kebohongan dan
pikiran-pikiran ganjil yang diciptakan oleh tangannya yang berlumuran dosa itu
berasal dari Al-Qur'an, sunah, ijmak dan qiyas. Dan di kota Damaskus diumumkan,
'Barangsiapa yang berpegang kepada akidah Ibnu Taimiyyah, darah dan hartanya
halal.'"
Al-Hafidz Abdul Kafi
as-Subki telah berkata tentangnya. Dia juga telah menulis sebuah kitab yang
membantah keyakinan-keyakinan Ibnu Taimiyyah, yang diberinya judul Syifa
al-Asqamfi Ziyarah Khair al-Anam 'alaihi ash-Shalah wa as-Salam.
Al-Hafidz Abdul Kafi
as-Subki telah berkata di dalam pengantar kitabnya, yang berjudul ad-Durrah
al-Mudhi'ahfi ar-Radd 'ala Ibnu Taimiyyah, "Manakala Ibnu Taimiyyah
membuat sesuatu yang baru di dalam bidang dasar-dasar keyakinan (ushul
al-'aqa'id), dan merusak pilar-pilar Islam, setelah sebelumnya dia bersembunyi
dengan slogan mengikuti Al-Qur'an dan sunah, menampakkan diri sebagai penyeru
kepada kebenaran, dan petunjuk kepada jalan surga, maka dia telah keluar dari
mengikuti Al-Qur'an dan sunah kepada membuat bid'ah, menyimpang dari jamaah
kaum Muslimin dengan meyalahi ijmak, dan mengatakan sesuatu yang menuntut
timbulya keyakinan tajsim dan tarkib pada Zat Yang Mahasuci, dan keyakinan yang
mengatakan bahwa butuhnya Allah SWT kepada bagian-Nya bukanlah sesuatu yang
mustahil."[386]
Berpuluh-puluh ulama
telah mengecam dan memprotesnya. Namun kita tidak mempunyai kesempatan yang
cukup untuk mengemukakan dan meneliti perkataan-perkataan mereka satu persatu.
Pada kesempatan ini kita cukup mengemukakan apa yang telah dikatakan oleh
Syihabuddin Ibnu Hajar al-Haitsami. Syihabuddin Ibnu Hajar al-Haitsami berkata
di dalam biografi Ibnu Taimiyyah, "Ibnu Tamiyyah adalah seorang hamba yang
telah dipermalukan oleh Allah, telah disesatkan-Nya, telah dibutakan-Nya, telah
dibisukan-Nya dan telah dihinakan-Nya. Oleh karena itu, para imam secara
terang-terangan menjelaskan kejelekan-kejelakan keadaannya, dan mendustakan
perkataan-perkataannya. Barangsiapa yang ingin mengetahui hal itu, dia harus
menelaah Imam al-Mujtahid, yang disepakati keimamahan dan derajat
kemujtahidannya, yaitu Abul Hasan as-Subki, dan juga putranya, Syeikh al-Imam
al-'Izz bin Jamaah, yang merupakan ahli jamannya. Ibnu Taimiyyah tidak hanya
mengecam generasi salaf ter-akhir dari kalangan sufi, melainkan juga mengecam
orang seperti Umar bin Khattab ra dan Ali bin Abi Thalib ra. Alhasil, perkataan
Ibnu Taimiyyah tidak dapat dijadikan ukuran, melainkan harus dicampak-kan
dengan penuh kehinaan. Abul Hasan as-Subki berkata, 'lbnu Tamiyyah adalah
pembuat bid'ah, sesat, menyesatkan, dan berlebih-lebihan. Semoga Allah
memperlakukannya dengan keadilan-Nya, dan melindungi kita dari jalan, keyakinan
dan perbuatan seperti jalan, keyakinan dan perbuatannya. Amin!"'[387]
Kita cukupkan sampai
di sini pembahasan tentang Ibnu Taimiyyah. Insya Allah, kita akan mengkaji
beberapa pemikirannya berdasarkan analisa ilmiah, dan membantahnya, pada saat
kita berbicara tentang faham Wahabi. Karena faham Wahabi adalah merupakan
kepanjangan sejarah dari keyakinan-keyakinan Ibnu Taimiyyah, yang pada
gilirannya merupakan kepanjangan dari keyakinan-keyakinan Hanbali.
Orang ini amat mahir
di dalam mencampur-adukkan antara kebe-naran dengan kebatilan. Oleh karena itu,
sebagian kaum Muslimin berbaik sangka kepadanya dan menggelarinya dengan
sebutan Syeikh Islam, sehingga dengan demikian namanya menjadi masyhur dan
ajarannya menjadi tersebar, padahal itu semua tidak lain hanyalah kebatilan
semata.
Amirul Mukminin telah
berkata, "Awal mulanya terjadinya fitnah adalah hawa nafsu yang
diperturuti, hukum yang dibuat-buat (bid'ah), yang menyalahi Kitab Allah, dan
sekelompok orang menguasai sekelompok orang lainnya bukan berdasarkan agama
Allah. Sekiranya kebatilan murni dan tidak bercampur dengan kebenaran, niscaya
ia tak akan tersembunyi dari orang-orang yang mencarinya. Dan, apabila
kebenaran murni dan tidak bercampur dengan kebatilan, niscaya terputuslah lidah
para penentang. Namun, yang dilakukan oleh mereka ialah mengambil sedikit dari
sini dan sedikit dari sana, dan kemudian mencampur-adukkannya. Maka di sanalah
setan menguasai teman temannya, dan terbebaslah orang-orang yang sebelumnya telah
men-dapatkan kebajikan dari kami." (Nahj al-Balaghah, khutbah 50)
c. Periode Muhammad
bin Abdul Wahhab
Muhammad bin Abdul
Wahhab bangkit menjadi pembaharu bagi akidah Hanbali, setelah hati dan
pikirannya disirami pemikiran-pemikkan Ibnu Taimiyyah. Dia mengumumkan
gerakannya di kota Najd, dan pergerakannya dimulai di suatu kawasan yang banyak
dipenuhi dengan berbagai macam kezaliman, pembunuhan dan penganiayaan. Pada
masanya lah keyakinan Hanbali yang kaku, untuk pertama kali di dalam sejarahnya
mencapai kemuliaan dan kebesarannya, dan memasuki tataran penerapan pada
kenyataan di luar, setelah pada dua periode sebelumnya tidak memperoleh
keberhasilan yang besar. Adapun yang menjadi sebabnya ialah karena kelompok
Asy'ariyyah secara langsung memonopoli bidang keyakinan sepeninggal Ahmad bin
Hanbal. Adapun pada periode kedua, Ibnu Taimiyyah kehilangan lahan yang cukup
untuk memenangkan dakwahnya. Karena dia menyebarkan ajar-annya di kalangan
orang-orang yang berilmu, yang mana di antara mereka terdapat para ulama besar
dan para fukaha. Mereka memadamkan hinggar bingar ajarannya melalui dalil dan
argumentasi, sehingga bangkitlah di hadapannya satu gerakan yang memadamkan
dakwahnya dan menghancurkan tipu dayanya. Sementara penguasa —pada saat
itu—juga membantu para ulama di dalam berkonfrontasi dengannya. Sehingga dengan
demikian, benih kerusakan tidak memperoleh tempat selain tersembunyi di antara
kitab-kitab, atau menang di hati-hati yang berpenyakit.[388]
Sebaliknya bagi Muhamad
bin Abdul Wahhab, situasi dan kondisi amat mendukung baginya untuk menyebarkan
pemikiran-pemikirannya yang beracun ke tengah ummat. Karena kebodohan dan
kebuta-hurufan menghinggapi seluruh kawasan Najd kala itu. Di samping itu,
penguasa Ali Su'ud (keluarga Su'ud) membantu penyebaran dakwahnya dengan
pedang. Dengan faktor-faktor inilah mereka memaksa manusia untuk berpegang
kepada ajaran Wahabi, dan jika tidak, mereka akan mencapnya dengan label kufur
dan syirik, serta menghalalkan harta dan darahnya. Mereka melakukan pembenaran
atas tindakannya itu melalui sejumlah keyakinan rusak, dengan label
"tauhid yang benar". Muhammad bin Abdul Wahhab memulai pembicaraannya
tentang tauhid sebagai berikut:
"Tauhid ada dua
macam: Tauhid rububiyyah dan tauhid uluhiyyah. Adapun mengenai tauhid
rububiyyah, baik orang Muslim maupun orang kafir mengakui itu. Adapun tauhid
uluhiyyah, dialah yang menjadi pembeda antara kekufuran dan Islam. Hendaknya
setiap Muslim dapat membedakan antara kedua jenis tauhid ini, dan mengetahui
bahwa orang-orang kafir tidak mengingkari Allah SWT sebagai Pencipta, Pemberi
rezeki dan Pengatur. Allah SWT berfirman,
'Katakanlah, 'Siapakah
yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa
(menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang
hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah
yang mengatur segala urusan?' Maka katakanlah, 'Mengapa kamu tidak bertakwa
(kepada-Nya)?' (QS. Yunus: 31)
'Dan sesungguhnya jika
kamu tanyakan kepada mereka, 'Siapakah yang menjadikan langit dan buini dan
menundukkan matahari dan bulan? 'Tentu mereka akan menjawab, 'Allah', maka
betapakah mereka dapat dipalingkan (dari jalan yang benar).' (QS. al-'Ankabut:
61)
Jika telah terbukti
bagi Anda bahwa orang-orang kafir mengakui yang demikian, niscaya Anda
mengetahui bahwa perkataan Anda yang mengatakan "Sesungguhnya tidak ada
yang menciptakan dan tidak ada yang memberi rezeki kecuali Allah, serta tidak
ada yang mengatur urusan kecuali Allah", tidaklah menjadikan diri anda
seorang Muslim sampai Anda mengatakan, 'Tidak ada Tuhan selain Allah' dengan
disertai melaksanakan artinya."[389]
Dengan pemahaman yang
sederhana ini, yang tidak timbul melainkan dari kebodohan akan hikmah dan
ayat-ayat Allah SWT, dia mengkafirkan seluruh masyarakat dengan mengatakan,
"Sesungguh-nya orang-orang musyrik jaman kita —yaitu orang-orang Muslim—
lebih keras kemusyrikannya dibandingkan orang-orang musyrik yang pertama. Karena,
orang-orang musyrik jaman dahulu, mereka hanya menyekutukan Allah di saat
lapang, sementara di saat genting mereka mentauhidkan-Nya. Hal ini sebagaimana
firman Allah SWT yang berbunyi, 'Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa
kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah
menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali)
mempersekutukan (Allah)."'[390]
Setiap orang yang
bertawassul kepada Rasulullah saw dan para Ahlul Baitnya, atau menziarahi
kuburan mereka, maka dia itu kafir dan musyrik; dan bahkan kemusyrikannya jauh
lebih besar daripada kemusyrikan para penyembah Lata, 'Uzza, Mana dan Hubal. Di
bawah naungan keyakinan inilah mereka membunuh orang-orang Muslim yang tidak berdosa
dan merampas harta benda mereka. Adapun slogan yang sering mereka kumandangkan
ialah,
Masuklah ke dalam
ajaran Wahabi. Dan jika tidak, niscaya Anda terbunuh, istri Anda menjadi janda,
dan anak Anda menjadi yatim.
Saudaranya yang
bernama Sulaiman bin Abdul Wahhab membantahnya di dalam kitabnya yang berjudul
ash-Shawa'iq al-Ilahiyyah fi ar-Radd 'ala al-Wahabiyyah, "Sejak jaman
sebelum Imam Ahmad bin Hanbal, yaitu pada jaman para imam Islam, belum pernah
ada yang meriwayatkan bahwa seorang imam kaum Muslimin mengkafirkan mereka,
mengatakan mereka murtad dan memerintahkan untuk memerangi mereka. Belum pernah
ada seorang pun dari para imam kaum Muslimin yang menamakan negeri kaum
Muslimin sebagai negeri syirik dan negeri perang, sebagaimana yang Anda katakan
sekarang. Bahkan lebih jauh lagi, Anda mengkafirkan orang yang tidak
mengkafirkan perbuatan-perbuatan ini, meskipun dia tidak melakukannya. Kurang
lebih telah berjalan delapan ratus tahun atas para imam kaum Muslimin, namun
demikian tidak ada seorang pun dari para ulama kaum Muslimin yang meriwayatkan
bahwa mereka (para imam kaum Muslimin) mengkafirkan orang Muslim. Demi Allah,
keharusan dari perkataan Anda ini ialah Anda mengatakan bahwa seluruh umat
setelah jaman Ahmad —semoga rahmat Allah tercurah atasnya— baik para ulamanya,
para penguasanya dan masyarakatnya, semua mereka itu kafir dan murtad. —Inna
lillahi wa inna ilaihi raji'un."[391]
Sulaiman bin Abdul
Wahhab juga berkata di dalam halaman 4, "Hari ini umat mendapat musibah
dengan orang yang menisbahkan dirinya kepada Al-Qur'an dan sunnah, menggali
ilmu keduanya, namun tidak mempedulikan orang yang menentangnya. Jika dia
diminta untuk memperlihatkan perkataannya kepada ahli ilmu, dia tidak akan
me-lakukannya. Bahkan, dia mengharuskan manusia untuk menerima per-kataan dan
pemahamannya. Barangsiapa yang menentangnya, maka dalam pandangannya orang itu
seorang yang kafir. Demi Allah, pada dirinya tidak ada satu pun sifat seorang
ahli ijtihad. Namun demikian, begitu mudahnya perkataannya menipu orang-orang
yang bodoh. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Ya Allah, berilah petunjuk
orang yang sesat ini, dan kembalikanlah dia kepada kebenaran."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar