KERAGU-RAGUAN TERHADAP HADIS TSAQALAIN
Di dalam kitabnya yang berjudul al-'llal al-Mutanahiyah fi
al-Ahadits al-Wahiyah Ibnu al-Jauzi mencela hadits ats-tsaqalain. Dia
mengatakan, setelah sebelumnya mengutip hadis ini, "Hadis ini tidak sahih.
Adapun 'Athiyyah telah didhaifkan oleh Ahmad, Yahya dan selain dari mereka
berdua. Adapun tentang Abdullah al-Quddus, Yahya telah mengatakan bahwa dia itu
bukan apa-apa dan dia itu seorang rafidhi yang jahat. Sedang mengenai Abdullah bin
Dahir, Ahmad dan Yahya telah mengatakan bahwa dia itu bukan apa-apa dan bukan
termasuk manusia yang terdapat kebaikan dalam dirinya."
Menolak Keragu-Raguan.
1. Sanad hadis tsaqalain tidak hanya terbatas pada sanad ini saja.
Hadis tsaqalain telah diriwayatkan melalui berbagai jalan, sebagaimana yang
telah dijelaskan.
2. Muslim telah meriwayatkannya di dalam kitab sahihnya melalui
banyak jalan. Dan, tidak diragukan bahwa riwayat Muslim, meski pun hanya
melalui satu jalan sudah cukup untuk membuktikan kesahihannya, dan ini
merupakan sesuatu yang tidak diperselisihkan di kalangan Ahlus Sunnah.
3. Demikian juga Turmudzi telah meriwayatkannya di dalam sahihnya
melalui banyak jalan: Dari Jabir, dari Zaid bin Arqam, dari Abu Dzar, dari Abu
Sa'id dan dari Khudzaifah.
4. Perkataan Ibnu al-Jauzi sendiri di dalam kitabnya al-Mawdhu'at,
jilid 1, halaman 99 yang berbunyi,
"Manakala Anda melihat sebuah hadis yang tidak terdapat di
dalam diwan-diwan Islam (al-Muwaththa, Musnad Ahmad, Sahih Bukhari dan Sahih
Muslim, Sunan Abu Dawud, Turmudzi dan sebagainya) maka periksalah. Jika hadis
ini mempunyai bandingan di dalam kitab-kitab sahih dan hasan maka tetapkanlah
urusannya." Dengan demikian berarti dia telah menentang dirinya sendiri,
karena hadis ini telah diriwayatkan di dalam kitab-kitab hadis yang
dinamakannya sebagai diwan-diwan Islam.
5. Sesungguhnya perkataan Ibnu al-Jauzi yang berkenaan dengan
'Athiyyah itu tertolak disebabkan penguatan yang diberikan oleh Ibnu Sa'ad
terhadapnya. Ibnu Hajar al-'Asqalani telah berkata, "Ibnu Sa'ad telah
berkata, "Athiyyah pergi bersama Ibnu al- Asy'ats, lalu Hajjaj menulis
surat kepada Muhammad bin Qasim untuk memerintahkan 'Athiyyah agar mencaci maki
Ali, dan jika dia tidak melakukannya maka cambuklah dia sebanyak empat ratus
kali dan cukurlah janggutnya. Muhammad bin Qasim pun memanggilnya, namun
'Athiyyah tidak mau mencaci maki Ali, maka dijatuhkanlah ketetapan Hajaj
kepadanya. Kemudian 'Athiyyah pergi ke Khurasan, dan dia terus tinggal di sana hingga Umar bin
Hubairah memerintah Irak. 'Athiyyah tetap terus tinggal di Khurasan hingga
meninggal pada tahun seratus sepuluh hijrah. Insya Allah, dia seorang yang
dapat dipercaya, dan dia mempunyai hadis-hadis yang layak.”[46] Padahal
diketahui bahwa Ibnu Sa'ad adalah termasuk seorang nawasib yang memusuhi Ahlul
Bait. Tingkat permusuhannya ter-hadap Ahlul Bait sampai sedemikian rupa
sehingga Imam Ja'far ash-Shadiq as mendhaifkannya. Maka penguatan yang
diberikannya kepada 'Athiyyah cukup menjadi hujjah atas musuh.
6. Sesungguhnya 'Athiyyah termasuk orangnya Ahmad bin Hanbal, dan
Ahmad bin Hanbal tidak meriwayatkan kecuali dari orang yang dapat dipercaya
(ats-tsiqah), sebagaimana yang sudah diketahui. Ahmad telah meriwayatkan banyak
riwayat darinya, sehingga penisbahan pendhaifan 'Athiyyah kepada Ahmad adalah
sebuah kebohongan yang nyata. Taqi as-Sabaki telah mengatakan, "Ahmad
—semoga Allah merahmatinya— tidak meriwayatkan kecuali dari orang yang dapat
dipercaya (ats-tsiqah). Musuh (maksudnya Ibnu Taimiyyah) telah berterus terang
tentang hal itu di dalam kitab yang dikarangnya untuk menjawab al-Bakri,
setelah sepuluh kitab lainnya. Ibnu Taimiyyah berkata, 'Sesungguhnya para ulama
hadis yang mempercayai ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil ada dua kelompok. Sebagian dari
mereka tidak meriwayatkan kecuali dari orang yang dapat dipercaya dalam
pandangan mereka, seperti Malik, Ahmad bin Hanbal dan lainnya.'"[47]
7. Penguatan yang diberilan oleh cucu Ibnu Jauzi kepada 'Athiyyah.
Cucu Ibnu Jauzi dengan tegas memberikan penguatan terhadap 'Athiyyah dan
menolak pendhaifannya.
8. Adapun usaha Ibnu Jauzi menisbahkan pendhaifan 'Athiyyah kepada
Yahya bin Mu'in itu tertolak, didasarkan kepada penukilan a-Dawri dari Ibnu
Mu'in yang mengatakan bahwa 'Athiyyah ada- lah seorang yang saleh. Al-Hafidz
Ibnu Hajar telah berkata tentang biografi 'Athiyyah, "Ad-Dawri telah
berkata dari Ibnu Mu'in bahwa 'Athiyyah adalah seorang yang saleh."[48] Dengan
begitu, gugurlah apa yang telah dinisbahan Ibnu Jauzi kepada Yahya Mu'in.
Sesuatu yang menunjukkan kebodohan Ibnu Jauzi akan hadis tsaqalain
ialah dia mengira bahwa dengan semata-mata mendhaifkan 'Athiyyah berarti dia
telah mendhaifkan hadis tsaqalain, padahal sudah diketahui dengan jelas bahwa
penguatan atau pendhaifan 'Athiyyah sama sekali tidak mencemarkan hadis
tsaqalain. Karena hadis yang telah diriwayatkan oleh 'Athiyyah dari Abi Sa'id
juga telah diriwayatkan dari Abi Sa'id oleh Abu Thufail, yang termasuk ke dalam
kategori sahabat. Dan jika kita melangkah lebih jauh lagi dari itu niscaya kita
akan menemukan bahwa kesahihan hadis tsaqalain tidak bergantung kepada riwayat
Abi Sa'id, baik yang melalui jalan 'Athiyyah maupun yang melalui jalan Abu
Thufail. Jika seandainya kita menerima ke-dhaifan riwayat Abi Sa'id dengan
semua jalannya, maka yang demikian itu tidak membahayakan sedikit pun terhadap
hadis ini, disebabkan banyaknya riwayat dan jalan lain yang dimilikinya.
Jawaban Kepada Ibnu Jauzi Atas Pendhaifannya
Terhadap Ibnu Abdul Quddus
1. Adapun celaannya terhadap Abdullah bin Abdul Quddus tertolak
dengan penguatan yang diberikan oleh al-Hafidz Muhammad bin Isa terhadap
Abdullah bin Abdul Quddus. Al-Hafidz Muhammad bin Isa berkata tentang biografi
Abdullah bin Abdul Quddus, "Ibnu 'Uday telah menceritakan dari Muhammad
bin Isa yang mengatakan, 'Dia (Abdullah bin Abdul Quddus) itu dapat
dipercaya."'[49]
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-'Asqalani berkata, "Telah diceritakan
bahwa Muhammad bin Isa telah berkata, 'Dia itu dapat dipercaya.'"[50]
Adapun tentang Muhammad bin Isa, al-Hafidz adz-Dzahabi telah
berkata, "Abu Hatim telah berkata, 'Dia seorang yang dapat dipecaya. Saya
belum pernah melihat dari kalangan muhaddis yang lebih menguasai bab-bab hadis
melebihi dia.' Abu Dawud telah berkata, 'Dia seorang yang dapat
dipercaya.'"
2. Muhammad bin Hayan memasukkan Abdullah bin Abdul Quddus ke
dalam kelompok orang yang dapat dipercaya. Ibnu Hajar telah berkata tentang
biografi Abdullah bin Abdul Quddus, "Ibnu Hayan telah memasukkannya ke
dalam kelompok orang yang dapat di- percaya."[51]
3. Al-Haitsami telah menukil di dalam kitabnya Majma' az-Zawa'id,
"Bukhari dan Ibnu Hayan telah menguatkannya."
4. Al-Hafidz al-'Asqalani telah berkata tentang biografinya,
"Dia, pada dasarnya adalah seorang yang amat jujur, hanya saja dia me-
riwayatkan dari kaum-kaum yang dhaif."[52]
Kritikan Bukhari terhadap Ibnu Abdul Quddus, setelah sebelumnya
dia menguatkannya, bahwa dia meriwayatkan dari orang-orang yang lemah tidaklah
tertuju kepada hadis ini. Karena Ibnu Abdul Quddus meriwayatkan hadis tsaqalain
—yang disebutkan oleh Ibnu Jauzi— dari al-A'masy, dan dia adalah seorang yang
dapat dipercaya.
5. Abdulah bin Abdul Quddus adalah termasuk orangnya Bukhari di
dalam kitab sahihnya, di dalam bab at-Ta'liqat. Sebagaimana juga disebutkan di
dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib, jilid 5, halaman 303; dan juga kitab Tagrib at-Tahdzib,
jilid 1, halaman 430. Kelulusan yang diberikan oleh Bukhari kepadanya, meskipun
itu terdapat di dalam bab at-Ta'liqat merupakan bukti penguatan Bukhari
terhadapnya.
Ibnu Hajar al-'Asqalani, di dalam memberikan jawaban terhadap
tuduhan yang dilontarkan kepada orang-orang Bukhari berkata di dalam mukaddimah
Fath al-Bari fi Syarh Shahih al-Bukhari, "Sebelum menyelami masalah ini,
hendaknya setiap orang yang sadar mengetahui bahwa kelulusan yang diberikan
oleh pemilik kitab sahih ini —yaitu Bukhari— kepada perawi mana saja, menuntut
keadilan perawi tersebut dalam pandangan Bukhari, kebenaran rekamannya dan
ketidaklalaiannya. Apalagi mayoritas para imam menamakan kedua kitab ini
sebagai dua kitab sahih. Makna ini tidak berlaku bagi orang yang tidak diluluskan
di dalam kedua kitab sahih ini."
6. Abdullah bin Abdul Quddus termasuk orangnya Turmudzi.
7. Pencemaran terhadap Abdullah bin Abdul Quddus juga tidak
membahayakan hadis ini. Bahkan sekali pun dengan riwayat al-A'masy dari
'Athiyyah, dari Abi Sa'id, disebabkan tidak hanya Abdullah bin Abdul Quddus
sendiri yang meriwayatkan hadis ini dari al- A'masy. Hadis ini juga telah
diriwayatkan dari al-A'masy oleh Muhammad bin Thalhah bin al-Musharrih al-Yami
dan Muhammad bin Fudhail bin Ghazwan adh-Dhibbi di dalam Musnad Ahmad dan
Turmudzi, sebagaimana yang telah dijelaskan kepada Anda. Dan ini merapakan
bukti kebenaran riwayat ini. Sebagaimana juga al- A'masy tidak hanya
meriwayatkan hadis ini dari 'Athiyyah, dia juga meriwayatkan hadis ini dari
Abdul Malik bin Abi Sulaiman Masiri al-Ghazrami dan Abi Israil Ismail bin
Khalifah al-'Abasi, sebagaimana disebutkan di dalam Musnad Ahmad, dan juga dari
Harun bin Sa'ad al-'Ajali dan Katsir bin Ismail at-Timi, sebagaimana terdapat
di dalam Mu'jam ath-Thabrani.
Adapun Pendhaifan Ibnu Jauzi Terhadap Abdullah bin Dahir:
1. Ini bertentangan dengan kaidah-kaidah ilmu al-Jarh wa
at-Ta’dil. Karena tuduhan samar tidak dapat diterima dari siapa pun.
2. Tidak ada sebab yang rasional untuk menuduhnya di dalam riwayat
ini, selain karena periwayatannya tentang keutamaan-keutamaan Amirul Mukminin.
Sebagaimana dikatakan oleh adz-Dzahabi, "Ibnu 'Adi berkata, 'Kebanyakan
riwayat yang diriwayatkannya berkenaan dengan keutamaan-keutamaan Ali, dan dia
menjadi tertuduh karena hal itu.'"[53] Sungguh, pendhaifannya karena sebab ini
tidak dapat diterima.
3. Dan yang lebih mengherankan dari Ibnu al-Jauzi ialah dia
berusaha sedemikian rupa untuk mendhaifkan hadis ini dengan cara memasukkan
Abdullah bin Dahir ke dalam sanad hadis ini, padahal dengan jelas diketahui
bahwa Abdullah bin Dahir sama sekali tidak termasuk ke dalam sanad hadis ini.
Silahkan rujuk kepada riwayat- riwayat yang telah disebutkan dan juga
riwayat-riwayat yang belum kami sebutkan, apakah Anda mendapati Abdullah bin
Dahir di dalam sanad hadis ini?! Dan saya tidak memahami hal ini selain dari
permusuhan kepada Ahlul Bait dan usaha-usaha untuk menghapus hak-hak mereka.
Akan tetapi Allah enggan akan hal itu kecuali Dia menyempurnakan cahaya-Nya, meskipun
orang-orang yang kafir tidak suka.
4. Cucu Ibnu al-Jauzi, setelah menyebutkan hadis tsaqalain dari
Musnad Ahmad bin Hambal dia mengatakan, "Jika dikatakan, 'Kakek Anda telah
mengatakan di dalam kitab al-Wahiyah, '.... (lalu dia menyebutkan perkataan
Ibnu al-Jauzi di dalam mendhaifkan hadis ini, sebagaimana yang telah
disebutkan)', maka saya katakan, 'Hadis yang kami riwayatkan telah disahkan
oleh Ahmad di dalam al-Fadhail, dan tidak ada seorang pun di dalam sanadnya
yang didhaifkan oleh kakek saya. Abu Dawud juga telah mensahkannya di dalam
sunannya, dan begitu juga Turmudzi dan mayoritas kalangan muhaddis. Razin juga
telah menyebutkannya di dalam kitab al-Jam' Baina ash-Shabah. Sungguh
mengherankan bagaimana mungkin hadis yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam
sahihnya dari Zaid bin Arqam dapat tersembunyi dari kakek saya.'"[54] Apa yang
dikatakan oleh cucu Ibnu al-Jauzi tidak lain merupakan pembenaran bagi Ibnu
al-Jauzi. Karena jika tidak, maka tentu Ibnu al-Jauzi tidak lalai akan hadis
yang dapat disaksikan di dalam referensi-referensi kaum Muslimin ini, dengan
banyaknya ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya, namun dia ingin menipu dan
membuat makar maka Allah pun membuat makar terhadapnya dan menggagalkan urusannya.
Kritikan Ibnu Taimiyyah.
Adapun kritikan Ibnu Taimiyyah terhadap hadis tsaqalain di dalam
kitabnya Minhaj as-Sunnah lebih lemah untuk kita diskusikan, namun dengan
maksud untuk memaparkannya kita akan tetap menyebutkan pemikiran yang kosong
ini, yang tidak mengekspresikan apa-apa kecuali kesalah-pahaman. Ketika Ibnu
Taimiyyah tidak mampu mendhaifkan hadis tsaqalain dari sisi sanad, sebagaimana
kebiasaannya di dalam mendhaifkan setiap hadis yang berbicara tentang keutaman
Ahlul Bait, dia menggunakan cara lain yang tidak kita temukan pada yang lain
selain dia. Dia mengatakan, hadis ini tidak menunjukkan kepada wajibnya
berpegang teguh kepada Ahlul Bait melainkan hanya menunjukan kepada wajibnya
berpegang teguh kepada Al-Qur'an saja.
Manusia berakal mana yang menarik kesimpulan dan pemahaman yang
seperti ini dari nas yang sedemikian jelas ini?! Zahir hadis memastikan dan
menekankan wajibnya berpegang teguh kepada keduanya, yaitu al-Kitab dan
al-'Itrah. Karena jika tidak maka apa artinya tsaqalain (dua benda yang sangat
berharga)? (Aku tinggalkan padamu dua benda yang sangat berharga). Apa artinya
sabda Rasulullah saw yang berbunyi, "Jika kamu berpegang teguh kepada
keduanya"?! Akan tetapi kefanatikan telah membutakan hati, dan Ibnu
Taimiyyah pun berargumentasi atas hal itu dengan sebuah hadis yang terdapat di
dalam sahih Muslim yang berasal dari Jabir, dan kemudian dia melemparkan
seluruh hadis yang lain ke dinding atau berpura-pura lalai darinya, meski pun
hadis-hadis tersebut banyak riwayatnya dan banyak jalannya. Yaitu sebuah hadis
yang dengan jelas tampak cacat bagi orang yang teliti apabila dibandingkan
dengan hadis-hadis lain yang ada di dalam bab ini. Hadis yang dijadikan
argumentasi oleh Ibnu Taimiyyah ialah, "Aku tinggalkan padamu sesuatu yang
jika kamu berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan tersesat
sesudahnya, yaitu Kitab Allah."
Hadis ini jelas-jelas cacat dan menyimpang. Karena hadis Jabir
sendiri terdapat di dalam riwayat Turmudzi, dimana di dalamnya terdapat
perintah yang jelas akan wajibnya berpegang teguh kepada Ahlul Bait. Adapun
bunyi nas hadis yang terdapat di dalam riwayat Turmudzi ialah, "Wahai
manusia, sesungguhnya aku tinggalkan padamu sesuatu yang jika kamu berpegang
teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan tersesat, yaitu Kitab Allah dan 'ltrah
Ahlul Baitku."
Kritikan Ibnu Taimiyyah itu sendiri juga mengenai dirinya. Karena
dia mengatakan wajibnya berpegang teguh kepada al-Kitab dan sunah. Tentunya
perintah yang datang dari Rasulullah saw itu satu, apakah kewajiban berpegang
teguh kepada al-Kitab saja atau kewajiban berpegang teguh kepada al-Kitab dan
sunah. Ketika Ibnu Taimiyyah memilih kewajiban berpegang teguh kepada al-Qur'an
saja, maka tentunya kewajiban berpegang teguh kepada sunah menjadi gugur. Ini
jelas bertentangan dengan pendapat Ibnu Taimiyyah sendiri, sebagaimana
tampakjelas dari mazhabnya—yaitu Ahlus Sunnah, sebagaimana juga dia menamakan
kitab tempat dia menyebutkan hadis ini dengan nama Minhaj as-Sunnah, dan tidak
dengan nama Minhaj al-Qur'an.
Jika menurut keyakinannya bahwa hadis yang disebutkannya ini tidak
membatalkan hadis berpegang teguh kepada al-kitab dan sunah maka tentunya hadis
ini pun tidak membatalkan hadis yang mengatakan wajibnya berpegang teguh kepada
al-kitab dan 'ltrah Ahlul Bait.
Ibnu Taimiyyah tidak berhenti sampai disini, dia mengatakan
tentang hadis "... dan 'ltrah Ahlul Baitku. Karena sesungguhnya keduanya
tidak akan pernah berpisah hingga menemuiku di telaga", "Sesungguhnya
hadis ini diriwayatkan oleh Turmudzi. Dan, Ahmad telah ditanya tentang hadis
ini, serta tidak hanya seorang dari ahli ilmu yang mendhaifkan hadis ini.
Mereka mengatakan bahwa hadis ini tidak sahih."
Adapun jawaban terhadap Ibnu Taimiyyah, Anda dapat merasakan dari
perkataan Ibnu Taimiyyah bahwa nas hadis ini tidak diriwayatkan kecuali oleh
Turmudzi, padahal sebagaimana sudah Anda ketahui bahwa hadis ini telah
diriwayatkan tidak hanya oleh seorang dari kalangan ulama Ahlus Sunnah dan para
hafidz mereka.
Lantas, apa yang dia maksud dengan mengatakan hadis ini
diriwayatkan oleh Turmudzi?!
Apakah dia ingin mengatakan riwayat Turmudzi menunjukkan kedhaifan
hadis ini?!
Siapa yang telah bertanya kepada Ahmad?! Dan apa jawaban Ahmad
kepadanya?!
Di mana perkataan ini dapat ditemukan?!
Bukankah Ahmad sendiri telah meriwayatkan dan menguatkan hadis
ini?!
Dan siapa yang mendhaifkan hadis ini, sehingga Ibnu Taimiyyah
mengatakan tidak hanya seorang?! Kenapa dia tidak menyebutkan nama-nama
mereka?!
Dan banyak lagi pertanyaan lainnya yang dapat ditujukan kepada
Ibnu Taimiyyah. Jika dia dapat memberikan jawaban yang kuat tentu kita akan
menerima kritikannya terhadap hadis ini. Namun, kita tidak mungkin menerima
pembicaraannya yang rancu dan samar.
Namun, inilah kebiasaan Ibnu Taimiyyah, dia bersedia menyesatkan
umat dan menutupi kebenaran.
Inilah keragu-raguan yang paling tampak di dalam bab ini, dan
menurut pengkajian saya, saya tidak melihat adanya orang yang mencela hadis
tsaqalain, yang telah tertetapkan secara mutawatir dan telah diakui
kesahihannya oleh para ulama umat, dari kalangan huffadz dan muhaddis. Tidak
ada yang berani mencela hadis tsaqalain ini kecuali orang yang mempunyai hati
yang jahat yang dipenuhi dengan ke-bencian kepada Ahlul Bait.
Setelah terbukti dengan jelas kesahihan hadis ini bagi kita, maka
kita wajib menyingkap penunjukkan maknanya, untuk kemudian berpegang teguh
kepadanya.
PENUNJUKKAN HADIS TSAQALAIN TERHADAP KEIMAMAHAN
AHLUL BAIT
Penunjukkan makna hadis tsaqalain terhadap keimamahan Ahlul Bait
adalah sesuatu yang amat jelas bagi setiap orang yang adil. Karena makna hadis
tsaqalain menunjukkan kepada wajibnya mengikuti mereka di dalam masalah-masalah
keyakinan, hukum dan pendapat, dan tidak menentang mereka baik dengan perkataan
maupun dengan perbuatan. Karena amal perbuatan apa pun yang melenceng dari
kerangka mereka maka dianggap telah keluar dari Al-Qur'an, dan tentunya juga
telah keluar dari agama. Dengan demikian, mereka adalah ukuran yang teliti,
yang dengannya dapat diketahui jalan yang benar. Karena sesungguhnya tidak ada
petunjuk kecuali melalui jalan mereka dan tidak ada kesesatan kecuali dengan
menentang mereka. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan, "jika kamu
berpegang teguh kepada keduanya niscaya kamu tidak akan tersesat". Karena
yang dimaksud berpegang teguh kepada Al-Qur'an ialah mengamalkan apa yang ada
di dalamnya, yaitu menuruti perintahnya dan menjauhi laranganya. Demikian juga
halnya dengan berpegang teguh kepada 'ltrah Ahlul Bait. Karena jawab syarat
tidak akan dapat terlaksana kecuali dengan terlaksananya yang disyaratkan
(al-masyruth) terlebih dahulu. Dhamir (kata ganti) "bihima" kembali
kepada al-Kitab dan 'ltrah. Saya kira tidak ada seorang pun dari orang Arab,
yang mempunyai pemahaman sedikit tentang bahasa, yang menentang hal ini. Dengan
demikian, maka mengikuti Ahlul Bait sepeninggal Rasulullah saw adalah sesuatu
yang wajib, sebagaimana juga mengikuti Al-Qur'an adalah sesuatu yang wajib,
terlepas dari siapa yang dimaksud dengan Ahlul Bait itu. Karena hal ini
merupakan pembahasan berikutnya. Yang penting di sini ialah kita membuktikan
bahwa perintah dan larangan serta ikutan adalah milik Ahlul Bait. Adapun
pembahasan mengenai siapa mereka, berada di luar konteks pembahasan hadis ini.
Sebagaimana para ulama ilmu ushul mengatakan, "Sesungguhnya proposisi
tidak menetapkan maudhu-nya"', maka tentu Ahlul Bait adalah para khalifah
sepeninggal Rasulullah saw. Sabda Rasulullah yang berbunyi "Aku tinggalkan
padamu...." adalah merupakan nas yang jelas bahwa Rasulullah saw
menjadikan mereka sebagai khalifah sepeninggal beliau, dan berpesan kepada umat
untuk mengikuti mereka. Rasulullah saw menekankan hal ini dengan sabdanya
"Maka perhatikanlah bagaimana kamu memperlakukan keduanya
sepeninggalku". Kekhilafahan Al-Qur'an sudah jelas, sementara kekhilafahan
Ahlul Bait tidak dapat terjadi kecuali dengan keimamahan mereka.
Oleh karena itu, Kitab Allah dan 'ltrah Rasulullah saw adalah
merupakan sebab yang menyampaikan manusia kepada keridaan Allah. Karena mereka
adalah tali Allah yang kita telah telah diperintahkan oleh Allah untuk
berpegang teguh kepadanya, "Dan berpegang teguh lah kamu kepada tali
Allah." (QS. Ali 'lmran: 103)
Ayat ini bersifat umum di dalam menentukan apa dan siapa tali
Allah yang dimaksud. Sesuatu yang dengan jelas dapat disimpulkan dari ayat ini
ialah wajibnya berpegang teguh kepada tali Allah; lalu kemudian datang sunah
dengan membawa hadis tsaqalain dan hadis-hadis lainnya, yang menjelaskan bahwa
tali yang kita diwajibkan berpegang teguh kepadanya ialah Kitab Allah dan
Rasulullah saw.
Sekelompok para mufassir telah mengatakan yang demikian itu. Ibnu
Hajar telah menyebut nama-nama mereka di dalam kitabnya ash-Shawa'iq, di dalam
bab "Apa-Apa Yang Diturunkan Dari Al-Qur'an Tentang Ahlul Bait".
Silahkan Anda merujuknya!
Al-Qanduzi menyebutkannya di dalam kitabnya Yanabi' al-Mawaddah.
Dia berkata tentang firman Allah SWT yang berbunyi "Dan berpegang teguhlah
kamu semua kepada tali Allah", "Tsa'labi telah mengeluarkan dari Aban
bin Taghlab, dari Ja'far ash-Shadiq as yang berkata, 'Kami inilah tali Allah
yang telah Allah katakan di dalam firman-Nya 'Dan berpegang teguhlah kamu semua
kepada tali Allah danjanganlah berpecah-belah.'" Penulis kitab al-Manaqib
juga mengeluarkan dari Sa'id bin Jabir, dari Ibnu Abbas yang berkata,
"Kami pernah duduk di sisi Rasulullah saw, lalu datang seorang orang Arab
yang berkata, 'Ya Rasulullah, saya dengar Anda berkata, 'Berpegang teguhlah
kamu kepada tali Allah', lalu apa yang dimaksud tali Allah yang kita diwajibkan
berpegang teguh kepadanya?' Rasulullah saw memukulkan tangannya ke tangan Ali
seraya berkata, 'Berpegang teguhlah kepada ini, dia lah tali Allah yang kokoh
itu.'"[55]
Adapun sabda Rasulullah saw yang berbunyi "Keduanya tidak
akan pernah berpisah hingga menemui aku di telaga", menunjukkan kepada
beberapa arti berikut:
Pertama, menetapkan kemaksuman mereka. Karena keseiringan mereka
dengan Kitab Allah yang sama sekali tidak ada sedikit pun kebatilan di
dalamnya, menunjukkan pengetahuan mereka tentang apa yang ada di dalam Kitab
Allah dan bahwa mereka tidak akan menyalahinya, baik dengan perkataan maupun
dengan perbuatan. Jelas, munculnya penentangan dalam bentuk apa pun dari mereka
terhadap Kitab Allah, baik disengaja maupun tidak disengaja, itu berarti
keterpisahan mereka dari Kitab Allah. Padahal, secara tegas hadis mengatakan
keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga menjumpai Rasulullah saw di
telaga. Karena jika tidak demikian, maka itu berarti menuduh Rasulullah saw
berbohong. Pemahaman ini juga dikuatkan oleh dalil-dalil Al-Qur'an dan sunah.
Kita akan tunda pembahasan ini pada tempatnya.
Kedua, sesungguhnya kata lan
menunjukkan arti pelanggengan (ta'bidiyyah). Yaitu berarti bahwa berpegang
teguh kepada keduanya akan mencegah manusia dari kesesatan untuk selamanya, dan
itu tidak dapat terjadi kecuali dengan berpegang teguh kepada keduanya secara
bersama-sama, tidak hanya kepada salah satunya saja. Sabda Rasulullah saw di
dalam riwayat Thabrani yang berbunyi "Janganlah kamu mendahului mereka
karena kamu akan celaka, janganlah kamu tertinggal dari mereka karena kamu akan
binasa, dan janganlah kamu mengajari mereka karena sesungguhnya mereka lebih
mengetahui dari kamu" memperkuat makna ini.
Ketiga, keberadaan 'ltrah di sisi Kitab Allah akan tetap
berlangsung hingga datangnya hari kiamat, dan tidak ada satu pun masa yang kosong
dari mereka. Ibnu Hajar telah mendekatkan makna ini di dalam kitabnya
ash-Shawa'iq, "Di dalam hadis-hadis yang menganjurkan untuk berpegang
teguh kepada Ahlul Bait, terdapat isyarat yang mengatakan tidak akan
terputusnya kelayakan untuk berpegang teguh kepada mereka hingga hari kiamat.
Demikian juga halnya dengan Kitab Allah. Oleh karena itu, mereka adalah para
pelindung bagi penduduk bumi, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti. Hadis
yang berbunyi 'Pada setiap generasi dari umatku akan ada orang-orang yang adil
dari Ahlul Baitku', memberikan kesaksian akan hal ini. Kemudian, orang yang
paling berhak untuk diikuti dari kalangan mereka, yang merupakan imam mereka
ialah Ali bin Abi Thalib —karramallah wajhah, dikarenakan keluasan ilmunya dan
ketelitian hasil-hasil istinbathnya.[56]
Keempat, kata ini juga menunjukkan kelebihan mereka dan
pengetahuan mereka terhadap rincian syariat; dan itu dikarenakan keseiringan
mereka dengan Kitab Allah yang tidak mengabaikan hal-hal yang kecil apalagi
hal-hal yang besar. Sebagaimana Rasulullah saw telah bersabda, "Janganlah
kamu mengajari mereka karena mereka lebih tahu darimu."
Ringkasnya, mau tidak mau harus ada seorang dari kalangan Ahlul
Bait pada setiap jaman hingga datangnya hari kiamat, yang ucapan dan
perbuatannya tidak menyalahi Al-Qur'an, sehingga tidak berpisah darinya. Dan
arti dari "tidak berpisah dari Al-Qur'an secara perkataan maupun
perbuatan" ialah berarti dia maksum dari segi perkataan dan perbuatan,
sehingga wajib diikuti karena merupakan pelindung dari kesesatan.
Tidak ada yang mengatakan arti yang seperti ini kecuali Syi'ah, di
mana mereka mengatakan wajibnya adanya imam dari kalangan Ahlul Bait pada
setiap jaman, yang terjaga dari segala kesalahan, yang kita wajib mengenal dan
mengikutinya. Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang mati dalam
keadaan tidak mengenal Imam jaman-nya maka dia mati sebagaimana matinya orang
jahiliyyah." Makna yang demikian ditunjukkan oleh firman Allah SWT yang
berbunyi, "Dan pada hari di saat Kami memanggil setiap manusia dengan Imam
mereka." •
BAB IV
Siapa Ahlul Bait Itu?
Pembahasan ini termasuk sejelas-jelasnya pembahasan. Karena tidak
ada seorang pun manusia yang pura-pura tidak mengenal Ahlul Bait kecuali mereka
para penentang yang tidak menemukan jalan keluar dari dalil-dalil yang pasti
tentang wajibnya mengikuti mereka, lalu mereka pun berlindung kepada
keragu-raguan tentang siapa yang dimaksud dengan Ahlul Bait itu. Inilah yang
dapat saya saksikan dari berbagai diskusi yang saya lakukan dengan teman-teman.
Ketika salah seorang mereka tidak menemukan jalan untuk menghindar dari
keharusan mengikuti Ahlul Bait, dengan serta-merta dia melontarkan berbagai
pertanyaan yang meragukan,
Siapa Ahlul Bait itu?
Bukankah istri-istri Rasulullah saw termasuk Ahlul Baitnya?!
Bukankah Rasulullah saw telah bersabda, "Salman dari kalangan kami Ahlul
Bait"?!
Bahkan, bukankah Abu Jahal juga termasuk keluarga Rasulullah saw?!
Tidak ada yang mereka inginkan dari seluruh pertanyaan ini kecuali
keinginan untuk mengingkari kenyataan hadis Tsaqalain, yang merupakan salah
satu hadis yang menunjukkan kepada keimamahan Ahlul Bait, mereka menduga bahwa
dengan pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan ini, mereka dapat membungkam
akalnya dan membungkam seruan nuraninya. Namun, kenyataan tidak sesuai dengan
perkiraan mereka, dan hujjah tetap tegak berdiri meskipun dia mengingkari atau
pun tidak mengingkari.
Saya pernah mengatakan kepada sebagian mereka manakala mereka
melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti ini, "Kenapa Anda menginginkan
segala sesuatunya tersedia dengan tanpa susah-payah?! Sesungguhnya
pikiran-pikiran yang sudah dikemas tidak memberikan faidah. Saya mampu
memberikan jawaban, namun Anda pun mampu menolak dan mengingkari jawaban saya,
karena Anda tidak merasakan pahitnya melakukan pembahasan dan tidak menanggung
kesulitan untuk bisa memberikan jawaban. Apakah hanya saya yang diwajibkan
untuk menjawab? Apakah Rasulullah saw telah memerintahkan kepada saya secara
khusus untuk berpegang teguh kepada Ahlul Bait?! Tidak, kita semua diwajibkan
untuk menjawab pertanyaan ini. Karena telah tegak hujjah atas kita akan
wajibnya mengikuti Ahlul Bait dan mengambil agama dari mereka, sehingga kita
wajib mengenal mereka dan untuk kemudian mengikuti mereka."
Pada kesempatan ini pun saya tidak akan memperluas argumentasi dan
dalil, melainkan saya cukup mengemukakan beberapa petunjuk yang jelas, dan bagi
siapa yang menginginkan keterangan yang lebih maka dia sendiri yang harus
memperdalamnya.
Ahlul Bait Di Dalam Ayat Tathhir
Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Allah berkehendak
menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu
sesuci-sucinya." (QS. al-Ahzab: 33)
Sesungguhnya turunnya ayat ini kepada Ali, Fatimah, Hasan dan
Husain adalah termasuk perkara yang amat jelas bagi mereka yang mengkaji
kitab-kitab hadis dan tafsir. Dalam hal ini Ibnu Hajar berkata,
"Sesungguhnya mayoritas para mufassir mengatakan bahwa ayat ini turun
berkenaan dengan Ali, Fatimah, Hasan dan Husain."[57] Ayat ini,
disebabkan penunjukkannya yang jelas terhadap kemaksuman Ahlul Bait, tidak
sejalan kecuali dengan mereka. Ini dikarenakan apa yang telah kita jelaskan,
yaitu bahwa mereka itu adalah pusaka umat ini dan para pemimpin sepeninggal
Rasulullah saw. Oleh karena itu, Rasulullah saw memerintahkan kita untuk
mengikuti mereka. Arti kemaksuman juga dengan jelas dapat disaksikan dari ayat
ini, bagi mereka yang mempunyai hati dan mau mendengarkan. Hal itu dikarenakan
mustahil tidak terlaksananya maksud jika yang mempunyai maksud itu adalah Allah
SWT; dan huruf al-hashr (pembatasan) yaitu kata “innama” menunjukkan kepada
arti ini. Yang menjadi fokus perhatian kita di dalam pembahasan ini ialah
membuktikan bahwa ayat ini khusus turun kepada Ali, Fatimah, Hasan dan Husain.
Hadis Al-Kisa`` Menentukan Siapa Yang Dimaksud
Dengan Ahlul Bait
Argumentasi terdekat dan terjelas yang berkenaan dengan penafsiran
ayat ini ialah sebuah hadis yang dikenal di kalangan para ahli hadis dengan
sebutan hadis al-Kisa``, yang tingkat kesahihan dan kemutawatirannya tidak
kalah dari hadis Tsaqalain.
1. Al-Hakim telah meriwayatkan di dalam kitabnya al-Mustadrak 'ala
ash-Shahihain fi al-Hadis:
"Dari Abdullah bin Ja'far bin Abi Thalib yang berkata,
'Ketika Rasulullah saw memandang ke arah rahmat yang turun, Rasulullah saw
berkata, 'Panggilkan untukku, panggilkan untukku.' Shafiyyah bertanya, 'Siapa,
ya Rasulullah?!' Rasulullah menjawab, 'Ahlul Baitku, yaitu Ali, Fatimah, Hasan
dan Husain.' Maka mereka pun dihadirkan ke hadapan Rasulullah, lalu Rasulullah
saw meletakkan pakaiannya ke atas mereka, kemudian Rasulullah saw mengangkat
kedua tangannya dan berkata, 'Ya Allah, mereka inilah keluargaku (maka
sampaikanlah salawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad).' Lalu Allah SWT
menurunkan ayat 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari
kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya. '"[58]
Al-Hakim berkata, "Hadis ini sahih sanadnya."
2. Al-Hakim meriwayatkan hadis serupa dari Ummu Salamah yang
berkata, "Di rumah saya turun ayat yang berbunyi 'Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan
kamu sesuci-sucinya'. Lalu Rasulullah saw mengirim Ali, Fatimah, Hasan dan Husain,
dan kemudian berkata, 'Mereka inilah Ahlul Baitku.'"[59] Kemudian,
al-Hakim berkata, "Hadis ini sahih menurut syarat Bukhari." Di tempat
lain al-Hakim juga meriwayatkan hadis ini dari Watsilah, dan kemudian berkata,
"Hadis ini sahih menurut syarat mereka berdua."
3. Muslim meriwayatkan hadis ini di dalam kitab sahihnya dari
Aisyah yang berkata, "Rasulullah saw pergi ke luar rumah pagi-pagi sekali
dengan mengenakan pakaian (yang tidak dijahit dan) bergambar. Lalu Hasan bin
Ali datang, dan Rasulullah saw memasukkannya ke dalam pakaiannya; lalu Husain
datang, dan Rasulullah saw memasukkannya ke dalam pakaiannya; lalu datang
Fatimah, dan Rasulullah saw pun memasukkannya ke dalam pakaiannya; berikutnya
Ali juga datang, dan Rasulullah saw memasukkannya ke dalam pakaiannya; kemudian
Rasulullah saw berkata, "Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan
dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya."[60]
Berita ini dapat ditemukan di dalam banyak riwayat yang terdapat
di dalam kitab-kitab sahih, kitab-kitab hadis dan kitab-kitab tafsir.[61] Hadis
al-Kisa` termasuk hadis yang sahih dan mutawatir, yang tidak ada seorang pun
yang mendhaifkannya, baik dari kalangan terdahulu maupun kalangan terkemudian.
Sungguh akan banyak memakan waktu jika kita menyebutkan seluruh riwayat ini.
Saya menghitung ada dua puluh tujuh riwayat yang kesemuanya sahih.
Di antara riwayat yang paling jelas di dalam bab ini —di dalam
menentukan siapa Ahlul Bait— ialah riwayat yang dinukil oleh as-Suyuthi di
dalam kitab tafsirnya ad-Durr al-Mantsur, yang berasal dari Ibnu Mardawaih,
dari Ummu Salamah yang berkata, "Di rumahku turun ayat 'Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan
kamu sesuci-sucinya.' Saat itu di rumahku ada tujuh orang yaitu Jibril, Mikail,
Ali, Fatimah, Hasan dan Husain, sementara aku berada di pintu rumah. Kemudian
saya berkata, 'Ya Rasulullah, tidakkah aku termasuk Ahlul Bait?!' Rasulullah
saw menjawab, 'Sesungguhnya engkau berada pada kebajikan, dan sesungguhnya
engkau termasuk istri Rasulullah saw.'"[62]
Pada riwayat al-Hakim di dalam kitab Mustadraknya disebutkan, Ummu
Salamah bertanya, "Ya Rasulullah, saya tidak termasuk Ahlul Bait?"
Rasulullah saw menjawab, "Sesungguhnya engkau berada dalam kebajikan,
mereka itulah Ahlul Baitku. Ya Allah, mereka inilah Ahlul Baitku yang lebih
berhak."[63]
Pada riwayat Ahmad disebutkan, "Saya mengangkat pakaian
penutup untuk masuk bersama mereka namun Rasulullah saw menarik tangan saya
sambil berkata, 'Sesungguhnya engkau berada dalam kebajikan.'"[64] Ini cukup
membuktikan bahwa yang dimaksud Ahlul Bait ialah mereka Ashabul Kisa, sehingga
dengan demikian mereka itu adalah padanan al-Qur'an, yang kita telah
diperintahkan oleh Rasulullah saw — di dalam hadis Tsaqalain — untuk berpegang
teguh kepada mereka.
Orang yang mengatakan bahwa 'itrah itu artinya keluarga, sehingga
mengubah makna, perkataannya itu tidak dapat diterima. Karena tidak ada seorang
pun dari para pakar bahasa yang mengatakan demikian. Ibnu Mandzur menukil di
dalam kitabnya Lisan al-'Arab, "Sesungguhnya 'itrah Rasulullah saw adalah
keturunan Fatimah ra. Ini adalah perkataan Ibnu Sayyidah. Al-Azhari berkata,
'Di dalam hadis Zaid bin Tsabit yang berkata, 'Rasulullah saw bersabda, '...
lalu dia menyebut hadis Tsaqalain' . Maka di sini Rasulullah menjadikan
'itrahnya sebagai Ahlul Bait.' Abu Ubaid dan yang lainnya berkata, "Itrah
seorang laki-laki adalah kerabatnya.' Ibnu Atsir berkata, "Itrah seorang
laki-laki lebih khusus dari kaum kerabatnya.' Ibnu A'rabi berkata, "Itrah
seorang laki-laki ialah anak dan keturunannya yang berasal dari tulang
sulbinya.' Ibnu A'rabi melanjutkan perkataannya, 'Maka 'itrah Rasulullah saw
adalah keturunan Fatimah."[65] Dari makna-makna ini menjadi jelas bahwa
yang dimaksud Ahlul Bait bukan mutlak kaum kerabat, melainkan kaum kerabat yang
paling khusus. Oleh karena itu, di dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa
tatkala Zaid bin Arqam ditanya, siapa yang dimaksud dengan Ahlul Bait
Rasulullah? Apakah istri-istrinya?
Zaid bin Arqam menjawab, "Tidak, demi Allah. Sesungguhnya
seorang wanita tidak selamanya bersama suaminya, karena jika dia ditalak maka
dia akan kembali kepada ayah dan kaumnya. Adapun yang dimaksud Ahlul Bait
Rasulullah saw ialah keluarga nasabnya, yang diharamkan sedekah atas mereka
sepeninggalnya (Rasulullah saw)."
Menjadi anggota Ahlul Bait tidak pernah diklaim oleh seorang pun
dari kaum kerabat Rasulullah saw, dan begitu juga oleh istri-istrinya. Karena
jika tidak, maka tentunya sejarah akan menceritakan hal itu kepada kita. Tidak
ada di dalam sejarah dan juga di dalam hadis yang menyebutkan bahwa istri
Rasulullah saw berhujjah dengan ayat ini. Sebaliknya dengan Ahlul Bait. Inilah
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata, "Sesungguhnya Allah Azza
Wajalla mengutamakan kami Ahlul Bait. Bagaimana tidak demikian padahal Allah
SWT telah berfirman di dalam Kitab-Nya, 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu
sesuci-sucinya.' Allah SWT telah mensucikan kami dari berbagai kotoran, baik
yang tampak maupun yang tersembunyi. Maka kami berada di atas jalan
kebenaran."
Putranya al-Hasan as berkata, "Wahai manusia, barangsiapa
yang mengenalku maka sungguh dia telah mengenalku, dan barangsiapa yang tidak
mengenalku maka inilah aku Hasan putra Ali. Akulah anak seorang laki-laki
pemberi kabar gembira dan peringatan, penyeru kepada Allah dengan ijin-Nya, dan
pelita yang bercahaya. Saya termasuk Ahlul Bait yang mana Jibril turun naik
kepada mereka. Saya termasuk Ahlul Bait yang telah Allah hilangkan dosa dari
mereka dan telah Allah sucikan mereka sesuci-sucinya." Pada kesempatan
yang lain al-Hasan berkata, "Wahai manusia, dengarkanlah. Kamu mempunyai
hati dan telinga, maka perhatikanlah. Sesungguhnya kami ini adalah Ahlul Bait
yang telah Allah muliakan dengan Islam, dan Allah telah memilih kami, maka Dia
pun menghilangkan dosa dari kami dan mensucikan kami sesuci-sucinya."
Adapun argumentasi Ibnu Katsir tentang keharusan memasukkan
istri-istri Rasulullah saw tidaklah dapat diterima, karena kehujjahan zhuhur
bersandar kepada kesatuan ucapan. Sebagaimana di ketahui bahwa ucapan telah
berubah dari bentuk ta'nits pada ayat-ayat sebelumnya kepada bentuk tadzkir
pada ayat ini. Jika yang di maksud dari ayat ini adalah istri-istri Rasulullah
saw maka tentunya ucapan ayat berbunyi "Innama Yuridullah Liyudzhiba
'Ankunnar Rijsa Ahlal Bait wa Yuthahhirakunna Tathhira ", karena ayat-ayat
tersebut khusus untuk istri-istri Rasulullah saw. Oleh karena itu, Allah SWT
memulai firmannya setelah ayat ini, "Dan ingatlah apa yang dibacakan di
rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah...." (QS. al-Ahzab: 34)
Tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa ayat Tathhir turun
kepada istri-istri Rasulullah saw selain dari Ikrimah dan Muqatil. Ikrimah
mengatakan, "Barangsiapa yang menginginkan keluarganya maka sesungguhnya
ayat ini turun kepada istri-istri Nabi saw."[66] Perkataan Ikrimah ini tidak dapat diterima,
disebabkan bertentangan dengan riwayat-riwayat sahih yang dengan jelas
mengatakan bahwa Ahlul Bait itu ialah para ashabul kisa, sebagaimana yang telah
dijelaskan.
Kedua, apa yang telah memicu emosi Ikrimah sehingga dia
berteriak-teriak di pasar menantang mubahalah?
Apakah karena kecintaan kepada istri-istri Nabi saw atau karena
kebencian kepada para Ashabul Kisa`?! Dan kenapa dia mengajak ber-mubahalah
jika ayat itu tidak diragukan turun kepada istri-istri Nabi saw?! Atau apakah
karena pendapat umum yang berkembang mengatakan bahwa ayat itu turun kepada
Ali, Fatimah, Hasan dan Husain?! Dan memang demikian. Ini dapat dilihat dari
perkataannya, "Yang benar bukanlah sebagaimana pendapat Anda semua,
melainkan ayat ini turun hanya kepada istri-istri Nabi saw."[67] Ini artinya
bahwa di kalangan para tabi'in ayat ini jelas turun kepada Ali, Fatimah, Hasan
dan Husain as.
Kita juga tidak mungkin bisa menerima Ikrimah sebagai saksi dan
penengah dalam masalah ini, disebabkan dia sudah sangat dikenal amat memusuhi
Ali. Dia termasuk kelompok Khawarij yang memerangi Ali, maka tentunya dia akan
mengatakan bahwa ayat ini turun kepada istri-istri Nabi saw. Karena jika dia
mengakui bahwa ayat ini turun kepada Ali maka berarti dia telah menghancurkan
mazhabnya sendiri dan telah merobohkan pilar-pilar keyakinan yang mendorong
dirinya dan para sahabatnya untuk keluar memerangi Ali as. Di samping sudah
sangat terkenalnya kebohongan Ikrimah atas Ibnu Abbas, sehingga Ibnu
al-Musayyab sampai mengatakan kepada budaknya, "Jangan kamu berbohong
atasku sebagaimana Ikrimah telah berbohong atas Ibnu Abbas." Di dalam
kitab Mizan al-I'tidal disebutkan bahwa Ibnu Ummar pun mengatakan yang sama
kepada budaknya yang bernama Nafi'.
Ali bin Abdullah bin Abbas telah berusaha mencegah Ikrimah dari
perbuatan berdusta kepada ayahnya. Salah satu cara yang dilakukannya ialah
dengan cara menggantung Ikrimah ke atas dinding supaya dia tidak berdusta lagi
atas ayahnya. Abdullah bin Abi Harits berkata, "Saya menemui Ibnu Abdullah
bin Abbas, dan saya mendapati Ikrimah tengah diikat di atas pintu dinding.
Kemudian saya berkata kepadanya, 'Beginikah kamu memperlakukan budakmu?' Ibnu
Abdullah bin Abbas menjawab, 'Dia telah berdusta atas ayahku.'"[68]
Adapun Muqatil, dia tidak kalah dari Ikrimah di dalam
permusuhannya terhadap Amirul Mukminin dan reputasi kebohongannya, sehingga
an-Nasa'i memasukkannya ke dalam kelompok pembohong terkenal pembuat hadis.[69]
Al-Juzajani di dalam kitab Mizan adz-Dzahab berkata di dalam
biografi Muqatil, "Muqatil adalah seorang pembohong yang berani."[70]
Muqatil pernah berkata kepada Mahdi al-'Abbasi, "Jika Anda
mau, saya bisa membuat hadis-hadis tentang keutamaan Abbas." Namun Mahdi
al-'Abbasi menjawab, "Saya tidak perlu itu."[71]
Kita tidak mungkin mengambil perkataan dari orang-orang seperti
mereka. Karena perbuatan yang demikian adalah tidak lain bersumber dari
kesombongan dan kebodohan. Karena hadis-hadis sahih yang mutawatir bertentangan
dengannya, sebagaimana yang telah dijelaskan. Dan ini selain dari
riwayat-riwayat yang mengatakan bahwa setelah turunnya ayat ini Rasulullah saw
mendatangi pintu Ali bin Abi Thalib setiap waktu salat selama sembilan bulan berturut-turut
dengan mengatakan, "Salam, rahmat Allah dan keberkahan atasmu, wahai Ahlul
Bait. 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hal
Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-suci-nya."' Itu dilakukan oleh
Rasulullah saw sebanyak lima kali dalam sehari.[72]
Di dalam Sahih Turmudzi, Musnad Ahmad, Musnad ath-Thayalisi,
Mustadrak al-Hakim 'ala ash-Shahihain, Usud al-Ghabah, tafsir ath-Thabari, Ibnu
Katsir dan as-Suyuthi disebutkan bahwa Rasulullah saw mendatangi pintu rumah
Fatimah selama enam bulan setiap kali keluar hendak melaksanakan salat Subuh
dengan berseru, "Salat, wahai Ahlul Bait. 'Sesungguhnya Allah bermaksud
hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.'"[73] Dan riwayat-riwayat lainnya
yang serupa yang berkenaan dengan bab ini.
Dengan keterangan-keterangan ini menjadi jelas bagi kita bahwa
yang dimaksud dengan Ahlul Bait ialah Ali, Fatimah, Hasan dan Husain.
Dan tidak ada tempat bagi siapa pun untuk mengingkarinya. Karena
orang yang meragukan hal ini adalah tidak ubahnya seperti orang yang meragukan
matahari di siang hari yang cerah.
AHLUL BAIT DIDALAM AYAT MUBAHALAH
Sesungguhnya pertarungan antara front kebenaraan dengan front
kebatilan di medan peperangan adalah perkara yang sulit, namun jauh lebih sulit
lagi jika dilakukan di medan mihrab. Yaitu manakala masing-masing orang membuka
dirinya di hadapan Zat Yang Maha Mengetahui hal-hal yang gaib, dan menjadikan-Nya
sebagai hakim di antara mereka. Pada keadaan ini tidak akan menang orang yang
di dalam hatinya terdapat keraguan.
Mungkin saja seseorang merupakan petempur yang gagah di medan
peperangan, dan oleh karena itu kita mendapati Rasulullah saw menyeru kepada
setiap orang yang mampu memanggul senjata, meski pun dia seorang munafik, untuk
berjihad menghadapi orang-orang kafir. Namun, ketika bentuk pertarungan telah
berubah dari bentuk peperangan ke dalam bentuk mubahalah dengan orang-orang
Nasrani, Rasulullah saw tidak memanggil seorang pun dari para sahabatnya untuk
ikut terjun ke dalam bentuk pertarungan yang baru ini. Karena pada pertarungan
yang semacam ini tidak akan ada yang bisa maju kecuali orang yang mempunyai
hati yang lurus dan telah disucikan dari segala macam dosa dan kotoran. Mereka
itulah manusia-manusia pilihan. Orang-orang yang semacam itu tidak banyak
jumlahnya di tengah-tengah manusia. Jumlah mereka sedikit, namun mereka adalah
sebaik-baiknya penduduk bumi.
Siapakah orang-orang yang terpilih itu?
Ketika Rasulullah saw berdebat dengan cara yang paling baik dengan
para pendeta Nasrani, Rasulullah saw tidak mendapati dari mereka kecuali
kekufuran, pengingkaran dan pembangkangan, dan tidak ada jalan lain yang dapat
ditempuh selain dari bermubahalah. Yaitu dengan cara masing-masing dari mereka
memanggil orang-orang mereka, dan kemudian menjadikan laknat Allah menimpa
orang-orang yang dusta. Pada saat itulah datang perintah dari Allah SWT,
"Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu
(yang meyakinkan kamu), maka katakanlah kepadanya, 'Marilah kita memanggil
anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu,
diri-diri kami dan diri-diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada
Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang
dusta.'" (QS. Ali 'lmran: 61)
Ketika para pendeta menerima tantangan Rasulullah saw ini,
sehingga akan menjadi peperangan penentu di antara mereka, maka para pendeta
mengumpulkan orang-orang khusus mereka untuk bersiap-siap menghadapi hari yang
telah ditentukan. Ketika telah tiba hari yang ditentukan maka berkumpullah
sekelompok besar dari kalangan kaum Nasrani. Mereka maju dengan keyakinan bahwa
Rasulullah saw akan keluar menghadapi mereka dengan sekumpulan besar para
sahabatnya, sementara istri-istrinya di belakang dia. Namun, Rasulullah saw
maju dengan langkah pasti bersama bintang kecil dari Ahlul Bait, yaitu Hasan di
sebelah kanannya dan Husain di sebelah kirinya, sementara Ali dan Fatimah di
belakangnya. Ketika orang-orang Nasrani melihat wajah-wajah yang bercahaya ini,
mereka gemetar ketakutan. Maka mereka semua pun menoleh ke arah Uskup, pemimpin
mereka seraya bertanya,
"Wahai Abu Harits, bagaimana pendapat Anda tentang hal
ini?"
Uskup itu menjawab, "Saya melihat wajah-wajah yang jika salah
seorang dari mereka memohon kepada Allah supaya gunung dihilangkan dari
tempatnya, maka Allah akan menghilangkan gunung itu."
Bertambahlah ketercengangan mereka. Ketika Uskup merasakan yang
demikian itu dari mereka, maka dia pun berkata, "Tidakkah engkau melihat
Muhammad sedang mengangkat kedua tangannya sambil menunggu terkabulnya doanya.
Demi al-Masih, jika dia menggerakkan mulutnya dengan satu kata saja, maka kita
tidak akan bisa kembali kepada keluarga dan harta kita."[74]
Akhirnya mereka memutuskan untuk segera pulang dan meninggalkan
arena mubahalah. Mereka rela walau pun harus menanggung kehinaan dan memberikan
jizyah (denda).
Dengan mereka yang lima Rasulullah saw mampu mengalahkan
orang-orang Nasrani dan menjadikan mereka kecil. Rasulullah saw bersabda,
"Demi Dzat yang diriku berada di dalam genggamannya, sesungguhnya azab
tengah bergantung di atas kepala para penduduk Najran. Kalaulah tidak ada
ampunan-Nya niscaya mereka telah diubah menjadi kera dan babi, dan dinyalakan
atas mereka lembah menjadi lautan api, serta Allah binasakan perkampungan
Najran dan seluruh para penghuninya, bahkan burung-burung yang berada di
pepohonan sekali pun."
Namun, kenapa Rasulullah saw menghadirkan mereka yang lima saja,
dan tidak menghadirkan para sahabat dan istri-istrinya?
Pertanyaan itu dapat dijawab dengan satu kalimat, yaitu bahwa
Ahlul Bait adalah seutama-utamanya makhluk setelah Rasulullah, dan
manusia-manusia yang paling suci. Sifat-sifat yang telah Allah SWT tetapkan
bagi Ahlul Bait di dalam ayat Tathhir ini tidak diberikan kepada selain mereka.
Oleh karena itu, di dalam menerapkan ayat ini kita mendapati bagaimana
Rasulullah menarik perhatian umat kepada kedudukan Ahlul Bait. Rasulullah
menafsirkan firman Allah yang berbunyi "abna'ana" (anak-anak kami)
dengan Hasan dan Husain, "nisa'ana" (istri-istri kami) dengan
Sayyidah Fatimah az-Zahra as, dan "anfusana" (diri-diri kami) dengan
Ali as. Itu dikarenakan imam Ali tidak masuk ke dalam kategori istri-istri dan
tidak termasuk ke dalam kategori anak-anak, melainkan hanya masuk ke dalam kata
"diri-diri kami". Karena ungkapan "anfusana" (diri-diri
kami) akan menjadi buruk jika seruan itu hanya ditujukan kepada diri Rasulullah
saw saja.
Bagaimana mungkin Rasulullah saw memanggil dirinya?! Ini diperkuat
dengan hadis Rasulullah saw yang berbunyi, "Aku dan Ali berasal dari pohon
yang sama, sedangkan seluruh manusia yang lain berasal dari pohon yang
bermacam-macam."
Jika Imam Ali adalah diri Rasulullah saw sendiri, maka Imam Ali
memiliki apa yang dimiliki oleh Rasulullah saw, berupa kepemimpinan atas kaum
Muslimin, kecuali satu kedudukan yaitu kedudukan kenabian. Hal ini sebagaimana
yang diungkapkan oleh Rasulullah saw di dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim,
"Wahai Ali, kedudukan engkau di sisiku tidak ubahnya sebagaimana kedudukan
Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi sepeninggalku."[75]
Sesungguhnya argumentasi kita dengan ayat ini bukan untuk menjelaskan
peristiwa mubahalah, melainkan semata-mata dalam rangka menjelaskan siapakah
Ahlul Bait itu. Dan alhamdulillah, tidak ada perbedaan pendapat bahwa ayat ini
turun kepada Ashabul Kisa`. Terdapat banyak riwayat dan hadis di dalam masalah
ini. Muslim dan Turmudzi telah meriwayatkan di dalam bab keutamaan-keutamaan
Ali:
Dari Sa'ad bin Abi Waqash yang berkata, "Ketika ayat ini
turun, 'Katakanlah, 'Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu,
istri-istri kami dan istri-istri kamu...' Rasulullah saw memanggil Ali,
Fatimah, Hasan dan Husain. Lalu Rasulullah saw berkata, 'Ya Allah, mereka
inilah Ahlul Baitku."'[76]•
BAB V
Kepemimpinan Ali di dalam Al-Qur'an Al-Karim
Bahasan Pemutus
Setelah saya selesai dari pembahasan yang pertama, yang telah
membebani pikiran dan jiwa saya, dan menjadikan diri saya hidup dalam suasana
bertarung dengan hati nurani, di satu sisi, dan dengan teman-teman dan dosen
saya di kampus, di sisi yang lain, akhirnya saya cukup puas untuk bisa
meragukan matahari namun tidak bisa meragukannya. Kesimpulan dari pembahasan
saya, sebagaimana yang telah saya jelaskan ialah wajibnya mengikuti Ahlul Bait
dan mengambil agama dari mereka. Inilah kepuasan pertama saya setelah berjalan
beberapa waktu. Namun saya belum mampu menentukan sikap dan memilih mazhab saya
meski pun hati nurani saya mendesak saya untuk mengikuti mazhab Syi'ah, dan
meski pun keluarga dan teman-teman saya telah menyebut saya orang Syi'ah.
Banyak dari mereka yang memanggil saya sebagai orang Syi'ah, dan bahkan
sebagian dari mereka memanggil saya sebagai pengikut Khomeini! Padahal saat itu
saya belum menentukan sikap saya. Saya tidak ragu dengan apa yang telah saya
capai, namun hawa nafsu yang senantiasa menyuruh kepada keburukan ini selalu
menahan saya dan meniupkan keragu-raguan kepada diri saya:
Bagaimana Anda dapat meninggalkan agama yang telah Anda dapati
pada orang-orang tua Anda?!
Apa yang dapat Anda perbuat bersama kelompok yang jauh berbeda
dengan keyakinan-keyakinan Anda?!
Anda ini siapa, sehingga sampai ke sini?! Apakah Anda melupakan
ulama-ulama besar?! Dan bahkan mayoritas kaum Muslimin?!
Dan, beribu-ribu pertanyaan dan keragu-raguan lainnya yang
kebanyakannya tidak mampu mengalahkan dan menghentikan saya, namun terkadang mampu
merusak pikiran dan nurani saya. Demikian seterusnya, terjadi tarik ulur,
sehingga menimbulkan keresahan dan kegelisahan pada diri saya. Tidak ada tempat
pelarian, tidak ada teman dan tidak ada orang dekat tempat mencurahkan keluh
kesah hati.
Maka mulailah saya mencari buku-buku yang membantah Syi'ah,
mudah-mudahan dapat membebaskan saya dari keadaan yang sedang saya alami dan
dapat menjelaskan hakikat-hakikat yang mungkin luput dari pandangan saya.
Orang-orang Wahabi mencukupi saya dengan mengumpulkan buku-buku. Imam salat
jamaah di mesjid desa kami mendatangkan seluruh buku yang saya minta.
Setelah mempelajari buku-buku itu justru semakin bertambah
keresahan dan kegelisahan saya, dan saya tidak mendapati di dalamnya apa yang
saya inginkan. Karena buku-buku itu kosong dari objektifitas dan dialog-dialog
yang logis. Seluruh isinya hanya berisi caci maki, pelaknatan, sumpah serapah
dan kebohongan. Pada awalnya, buku-buku itu dapat menciptakan hijab bagi saya,
namun setelah pengaruh propagandanya dilepas maka tampak di hadapan saya
buku-buku itu lebih rapuh dibandingkan sarang laba-laba.
Setelah itu saya pun bertekad untuk meneruskan pengkajian saya,
meski pun saya telah merasa cukup dengan apa yang telah saya capai pada
pengkajian pertama, untuk membendung bujukan-bujukan diri saya, dan sekaligus
untuk melihat kebenaran dengan lebih jelas. Maka pilihan saya jatuh kepada
pembahasan mengenai dalil-dalil kepemimpinan Imam Ali as dan nas-nas yang
menunjukkan keimamahannya. Di dalam benak saya terdapat sekumpulan dalil yang
dapat memenuhi tujuan ini, meski pun itu hanya cukup bagi orang yang mempunyai
akal yang bersih dan hati yang jernih. Namun, saya menginginkan sebuah
pembahasan pemutus, antara apakah saya akan menjadi seorang Ahlus Sunnah yang
meyakini kekhilafahan Abu bakar, Umar dan Usman, atau akan menjadi seorang
Syi'ah yang meyakini keimamahan Imam Ali as.
Setelah melakukan pembahasan, tiba-tiba saya mendapati diri saya
tidak mampu —bahkan hingga sekarang— mengumpulkan, menghitung dan mempelajari
seluruh dalil, baik yang naqli maupun yang akli, yang mengatakan dengan jelas
akan keimamahan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, dengan jelas di dalam
penunjukkannya dan sebagiannya lagi memerlukan mukaddimah yang panjang.
Apa yang saya tulis di dalam pasal ini adalah merupakan
cuplikan-cuplikan ringkas, dan itu dilakukan dengan tujuan untuk menjaga
keringkasan dan mendorong pembahasan. Menurut keyakinan saya, itu sudah cukup
setelah ditambah penjelasan dan penjabaran.
A. Firman Allah SWT yang berbunyi,
"Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan
orang yang beriman yang mendirikan salat dan memberikan sedekah dalam keadaan
ruku." (QS. al-Maidah: 54)
Bentuk Argumentasi Dari Ayat Ini
Ayat ini akan menjadi jelas berbicara tentang kepemimpinan Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib as jika terbukti bahwa yang dimaksud dari firman
Allah SWT "Orang yang mendirikan salat dan memberikan sedekah dalam
keadaan ruku" adalah Imam Ali as, dan juga jika terbukti bahwa yang
dimaksud dengan kata "wali" di sini ialah berarti orang yang lebih
berhak mengatur.
Referensi-Referensi Yang Membuktikan Ayat Ini Turun Kepada Imam
Ali as.
Telah sampai tingkatan mutawatir riwayat-riwayat kedua belah pihak
yang mengatakan bahwa ayat ini turun kepada Rasulullah saw khusus berkenaan dengan
Imam Ali as yang mensedekahkan cincinnya tatkala dalam keadaan ruku. Berita ini
telah diriwayatkan oleh sekumpulan besar para sahabat. Di antaranya ialah:
1. Abu Dzar al-Ghifari. Sekumpulan para huffadz telah meriwayatkan
berita ini darinya, seperti,
a. Abu Ishaq Ahmad bin Ibrahim ats-Tsa'labi di dalam kitab tafsir
al-Kasyfwa al-bayan 'an Tafsir al-Qur'an.
b. Al-Hafidz al-Kabk al-Hakim al-Hiskani di dalam kitab Syawahid
at-Tanzil, jilid 1, halaman 177, terbitan Beirut.
c. Cucu Ibnu Jauzi, di dalam kitab at-Tadzkirah, halaman 18.
d. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-'Asqalani, di dalam kitab al-Kaff
asy-Syaf, halaman 56.
e. Dan yang lainnya dari kalangan para huffadz dan muhaddis.
2. Miqdad bin Aswad. Al-Hafidz al-Hiskani meriwayatkan darinya di
dalam kitab Syawahid at-Tanzil, jilid 1, halaman 171, terbitan Beirut.
3. Abu Rafi' al-Qibthi, budak Rasulullah saw. Sekumpulan orang-
orang berilmu meriwayatkan darinya, seperti,
a. Al-Hafidz Ibnu Mardawaih, di dalam kitab al-Fadha'il.
b. Al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi, di dalam kitab tafsir ad-Durr
al-Mantsur.
c. Muhaddis al-Muttaqi al-Hindi, di dalam kitab Kanz al-'Ummal,
jilid 1, halaman 305 dan seterusnya.
4. Ammar bin Yasir. Orang-orang yang telah mengeluarkan riwayat
ini darinya ialah,
a. Muhaddis Kabir ath-Thabrani, di dalam kitab Mu'jamah al-
Awsath.
b. Al-Hafidz Abu Bakar bin Mardawaih, di dalam kitab al-Fadha'il.
c. Al-Hafidz al-Hiskani, di dalam kitab Syawahid at-Tanzil.
d. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-'Asqalani, di dalam kitab al-Kaff
asy-Syaf, halaman 56, dari ath-Thabrani dan Ibnu Mardawaih.
5. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Adapun orang-orang yang
mengeluarkan riwayat ini darinya ialah,
a. Al-Hakim an-Naisaburi, al-Hafidz al-Kabir, di dalam kitab
Ma'rifah 'Ulum al-Haditz, halaman 102, terbitan Mesir, tahun 1937.
b. Al-Hafidz Ibnu al-Maghazili asy-Syafi'i, di dalam kitab
al-Managib, halaman 311.
c. Al-Hafidz al-Hanafi al-Khawarizmi di dalam kitab al-Manaqib,
halaman 187.
d. Al-Hafidz Ibnu 'Asakir ad-Dimasyqi (Tarikh Dimasyq), jilid 2,
halaman 409.
e. Al-Hafidz Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, di dalam kitab al-Bidayah wa
an-Nihayah, jilid 7, halaman 357.
f. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-'Asqalani, di dalam kitab al-Kaff
asy-Syaf fi Takhrij Ahadits al-Kasysyaf, halaman 56, terbitan Mesir.
g. Muhaddis al-Muttaqi al-Hindi, di dalam kitab Kanz al- 'Ummal,
jilid 15, halaman 146, bab keutamaan Ali as.
6. Amr bin Ash. Adapun orang-orang yang mengeluarkan riwayat ini
darinya ialah al-Hafidz Akhthab Khawarijmi al-Hafidz Abu al- Muayyad, di dalam
kitab al-Manaqib, halaman 128.
7. Abdullah bin Salam. Adapun yang mengeluarkan riwayat ini
darinya ialah Muhibuddin ath-Thabari, di dalam kitab Dzakha'ir al-'Ugba,
halaman 201; dan kitab ar-Riyadh an-Nadhirah, jilid 2, halaman 227.
8. Abdullah bin Abbas. Adapun yang mengeluarkan riwayat ini darinya
ialah,
a. Ahmad bin Yahya al-Baladzari, di dalam kitab Ansab al-Asyraf,
jilid 2, halaman 150, terbitan Beirut, diperiksa oleh Mahmudi.
b. Al-Wahidi, di dalam kitab Asbab an-Nuzul, halaman 192, cetakan
pertama, tahun 1389, diperiksa oleh Sayyid Ahmad ash-Shamad.
c. Al-Hakim al-Hiskani, di dalam kitab Syawahid at-Tanzil, jilid
1, halaman 18.
d. Ibnu al-Maghazili asy-Syafi'i, di dalam kitab al-Manaqib,
halaman 314, diperiksa oleh Mahmudi.
e. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, di dalam kitab al-Kaff asy-Syaf
fi Takhrij Ahadits al-Kasysyaf, cetakan Mesir.
f. Jalaluddin as-Suyuthi.
9. Jabir bin Abdullah al-Anshari. Di antara orang-orang yang
mengeluarkan riwayat ini darinya ialah Al-Hakim al-Hiskani, di dalam kitab
Syawahid at-Tanzil, jilid 1, halaman 174.
lO. Anas bin Malik, pembantu Rasulullah saw. Adapun orang yang
mengeluarkan riwayat ini darinya ialah,
a. Al-Hafidz al-Hiskani, di dalam kitab asy-Syawahid at-Tanzil,
jilid 1, halaman 145.
b. Muhaddis al-Kabir al-Hamawi al-Juwaini al-Khurasani, di dalam
kitab Fara'idh as-Simthain, jilid 1, halaman 187.
Dari riwayat yang banyak ini kita memilih riwayat yang
diriwayatkan oleh Abu Dzar, sebuah riwayat yang panjang yang dikeluarkan oleh
al-Hakim al-Hiskani dengan sanadnya di dalam kitab Syawahid at-Tanzil, jilid 1,
halaman 177, terbitan Beirut.
Abu Dzar berkata, "Wahai manusia, barangsiapa yang mengenalku
maka berarti dia telah mengenalku, dan barangsiapa yang tidak mengenalku maka
inilah aku Jundub bin Janadah al-Badri Abu Dzar al-Ghifari. Aku telah mendengar
Rasulullah saw dengan kedua telingaku ini, dan jika tidak maka tulilah kedua
telingaku ini. Aku telah menyaksikan beliau dengan kedua mataku ini, dan jika
tidak maka butalah kedua matakku ini. Yaitu Rasulullah saw telah bersabda, 'Ali
adalah pemimpin kelompok orang-orang yang lurus. Pejuang yang memerangi kaum
yang kafir. Jayalah siapa yang membantunya. Hinalah siapa yang menelantarkan
dukungan baginya.' Suatu hari aku salat Zhuhur bersama Rasulullah saw, lalu
masuklah ke dalam mesjid seorang peminta-minta, namun tidak ada seorang pun
yang memberi kepadanya. Kemudian peminta-minta itu mengangkat tangannya ke
langit seraya berkata, 'Ya Allah, saksikanlah, aku meminta-minta di mesjid
Rasulullah saw namun tidak seorang pun yang memberi sesuatu kepadaku.' Pada saat
itu Ali sedang salat dalam keadaan ruku, lalu dia memberi isyarat dengan jari
manis tangan kanannya yang bercincin. Pengemis itu lalu menghampirinya dan
menarik cincin itu dari jari Ali. Rasulullah saw menyaksikan hal itu, dan
setelah menyelesaikan salatnya Rasulullah saw mengangkat kepalanya ke langit
seraya berkata, 'Ya Allah, sesungguhnya Musa telah memohon kepadamu. Dia
berkata, 'Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, mudahkanlah untukku urusanku
dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku, dan
jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku: Harun, saudaraku.
Teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku,
supaya kami dapat banyak bertasbih kepada-Mu dan banyak mengingat-Mu.
Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui keadaan kami.'
Maka Engkau telah wahyukan kepadanya 'Kami teguhkan lenganmu
dengan saudaramu.'
Dan aku ini, Ya Allah, adalah hamba dan Nabi-Mu. Lapangkanlah
untukku dadaku, mudahkanlah untukku urusanku, dan jadikanlah untukku seorang pembantu
dari keluargaku: Ali, saudaraku. Teguhkanlah dengan dia kekuatanku ...'"
Abu Dzar berkata, "Demi Allah, belum sampai Rasulullah saw
menyelesaikan ucapannya itu, Jibril al-Amin turun dari sisi Allah SWT. Jibril
al-Amin berkata, 'Ya Muhammad, selamat, atas apa yang telah Allah anugrahkan
untukmu tentang saudaramu.' Rasulullah saw bertanya, 'Apa itu, ya Jibril?'
Jibril menjawab, 'Allah SWT telah memerintahkan umatmu untuk
menjadikannnya sebagai pemimpin hingga hari kiamat, dan menurunkan kepadamu,
'Sesungguhnya wali (pemimpin) kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan
orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat dalam
keadaan ruku.'"
Riwayat ini datang dengan berbagai macam redaksi, namun pada
kesempatan ini kita hanya membatasi dengan riwayat ini saja, karena ini pun
sudah cukup untuk menjelaskan permasalahan.
Ini merupakan keutamaan yang tidak ada seorang pun bersekutu
dengan Amirul Mukminin di dalamnya. Kita tidak mendapati seorang pun di dalam
sejarah yang mengklaim dirinya telah mengeluarkan zakat dalam keadaan ruku. Ini
sudah merupakan hujjah yang cukup dan petunjuk yang jelas bahwa yang dimaksud
oleh ayat ini adalah Amirul Mukminin, tidak yang lainnya.
Terkadang sebagian kalangan berusaha meragukan apa yang disebutkan
di dalam ayat ini, dan tentang penisbahannya kepada Amirul Mukminin, dengan
menggunakan argumentasi-argumentasi yang tidak berdasar. Sebagai contoh, Anda
mendapati al-Alusi memalingkan makna ruku kepada maknanya yang bukan zahir. Dia
berkata, "Yang dimaksud dengan ruku (di dalam ayat ini) ialah
khusyuk." Ini adalah sebuah upaya penakwilan yang tidak dapat diterima.
Karena tidak ada petunjuk yang memalingkan makna hakiki yang zahir di dalam
ayat —yaitu ruku yang mempunyai gerakan yang telah ditentukan. Pernah suatu
hari saya berdiskusi dengan sekelompok teman-teman saya di kampus tentang ayat
ini. Setelah saya buktikan kepada mereka bahwa ayat ini turun kepada Amirul
Mukminin as, salah seorang dari mereka menyanggah,
"Jika memang terbukti ayat ini turun kepada Ali maka berarti
ayat ini juga membuktikan kekurangan Ali?"
Saya bertanya kepadanya, "Bagaimana bisa begitu?"
Dia menjawab, "Karena yang demikian itu menunjukkan
ketidakkhusyukannya di dalam salat. Karena jika tidak, bagaimana bisa dia
mendengar perkataan peminta-minta dan kemudian menjawabnya? Karena para ahli
ibadah dan orang-orang yang bertakwa tidak menyadari orang-orang yang ada di
sekelilingnya pada saat mereka sedang menghadap Allah SWT."
Saya katakan, "Ucapan Anda tidak bisa diterima, berdasarkan
petunjuk ayat ini sendiri. Karena salat itu untuk Allah, dan begitu pula
ketundukkan dan kekhusyukan. Sementara Allah SWT telah mengabarkan kita bahwa
Dia menerima salat ini, dan bahkan dengan salat ini Dia menetapkan kepemimpinan
bagi pelakunya. Kedudukan pujian tampak jelas terlihat di dalam konteks ayat
ini, baik yang bersedekah itu Ali atau pun yang lainnya. Jika Anda mempunyai
kritikan terhadap kekhusyukan Ali, maka terlebih lagi Anda mempunyai kritikan
terhadap Al-Qur'an."
Ayat ini jauh lebih kokoh dan akurat dibandingkan peragu-raguan
yang dilontarkan para peragu. Ayat ini jelas menunjukkan kepada keimamahan
Amirul Mukminin, dan pembuktian tentang keimamahan Amirul Mukminin adalah
termasuk perkara yang amat jelas di dalam Al-Qur'an. Saya pernah mengatakan ini
kepada sebagian teman, namun salah seorang dari mereka menantang,"Coba
sebutkan satu ayat yang mendukung pengakuan Anda."
Saya jawab, "Sebelum itu marilah kita coba untuk melihat apa
yang telah dikatakan Rasulullah saw tentang Ali as. Bukhari telah meriwayatkan
di dalam sahihnya bahwa Rasulullah saw telah berkata kepada Ali, 'Kedudukanmu
di sisiku tidak ubahnya sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja
tidak ada nabi sepeninggalku.'[77]
Dari sini tampak bahwa semua yang dimiliki Harun juga dimiliki Ali
as. Ali as memiliki keimamahan, kekhilafahan, kewaziran dan yang lainnya,
kecuali kenabian, sebagaimana Harun."
Mereka semua marah seraya mengatakan,"Dari mana Anda dapatkan
ini?! ..."
Saya katakan, "Sebentar, apa kedudukan Harun di sisi Musa?
Bukankah Musa sendiri telah berkata, 'Dan jadikanlah untukku seorang pembantu
dari keluargaku: Harun, saudaraku. Teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan
jadikanlah dia sekutu dalam urusanku.'"
Mereka berkata, "Kami belum pernah mendengarnya, mungkin ayat
itu tidak berbunyi demikian....!" Saya merasakan kefanatikan dan
kekeraskepalaan mereka. Saya berkata dengan penuh keheranan akan keadaan
mereka, "Sesungguhnya ini perkara yang jelas sekali, yang tidak ada
seorang pun yang mengingkarinya."
Salah seorang dari mereka berkata, "Kenapa berbelit-belit.
Ini Al-Qur'an ada di hadapan Anda... Coba tunjukkan ayat itu, jika kamu
benar."
Di sini saya gemetar, karena saya lupa sama sekali di dalam surat
apa dan di dalam juz berapa ayat ini terdapat. Setelah beberapa saat, saya
memberanikan diri sambil mengucapkan di dalam hati "Allahumma Shalli 'ala
Muhammad wa Ali Muhammad" (ya Allah, sampaikanlah salawat kepada Muhammad
dan keluarga Muhammad), lalu saya membuka Mushaf Al-Qur'an secara acak. Pandangan
pertama mata saya jatuh kepada ayat, "Tuhanku, lapangkanlah untukku
dadaku, mudahkanlah untukku urusanku .... dan jadikanlah untukku seorang
pembantu dari keluargaku."
Keharuan mencekik tenggorokan saya, sementara air mata mengalir di
kedua pipi saya. Saya tidak bisa membacakan ayat karena sangat paniknya, lalu
saya pun menyerahkan Mushaf yang terbuka sambil menunjukkan ayat yang dimaksud
kepada mereka. Mereka semua tercengang karena sangat kagetnya.
Penunjukkan Ayat "Sesungguhnya Wali (pemimpin) kamu hanyalah
Allah ... " Terhadap Kepemimpinan Amirul Mukminin as.Setelah terbukti pada
pembahasan pertama bahwa ayat di atas turun kepada Imam Ali as, maka arti ayat
di atas menjadi "Sesungguhnya wali (pemimpin) kamu hanyalah Allah,
Rasul-Nya dan Ali bin Abi Thalib."
Tidak ada seorang pun yang dapat mengkritik, kenapa Allah
berbicara kepada seorang individu dengan menggunakan dhamir (kata ganti) bentuk
jamak?!
Karena yang demikian itu sesuatu yang dibolehkan di dalam bahasa
Arab. Dengan demikian, penggunaan bentuk jamak di dalam ayat ini adalah untuk
penghormatan. Banyak sekali bukti-bukti yang mendukung hal ini, seperti firman
Allah SWT yang berbunyi, "Orang-orang yang mengatakan, 'Sesungguhnya Allah
fakir sedangkan kami orang-orang kaya.'" Orang yang berkata di sini ialah
Huyay bin Akhthab. Juga seperti firman Allah SWT yang berbunyi, "Di antara
mereka ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan, 'Nabi mempercayai semua apa yang
didengarnya.'"(Surat at-Taubah: 61) Ayat ini turun berkenaan dengan seorang
laki-laki dari kalangan orang-orang munafik; apakah itu al-Jalas bin Sawilah,
Nabtal bin al-Harts atau 'ltab bin Qusyairah. Silahkan rujuk tafsir
ath-Thabari, jilid 8, halaman 198.
Setelah itu barulah pembahasan mengenai arti kata
"wali".Syi'ah berpendapat bahwa kata "wali" di dalam ayat
ini adalah berarti orang yang paling berhak dalam bertindak. Sehingga kata
"wali amril Muslimin" atau kata "wali amris sulthan" adalah
berarti orang yang paling berhak bertindak di dalam urusan mereka.
Oleh karena itu, Syi'ah mengatakan wajibnya mengikuti Amirul
Mukminin Ali as, karena dia orang yang paling berhak bertindak dalam urusan
kaum Muslimin. Sesuatu yang menunjukkan kepada makna ini ialah bahwa Allah SWT
telah menafikan kita memiliki "wali" selain Dia, selain Rasul-Nya dan
selain "orang-orang yang beriman yang mengerjakan salat dan menunaikan
zakat dalam ke-adaan ruku" dengan kata innama (hanya saja). Jika yang
dimaksud dengan kata "wali" adalah penolong di dalam agama maka tentu
tidak dikhususkan bagi orang-orang yang disebutkan. Karena penolong di dalam
agama adalah mencakup seluruh orang-orang Mukmin. Allah SWT berfirman,
"Dan orang-orang Mukimin laki-laki serta orang-orang Mukmin perempuan
sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian mereka yang lain." Dengan
demikian, maka takhshish (pengkhususan) menunjukkan kepada satu bentuk wilayah
yang berbeda dari wilayah orang-orang Mukimin, di antara sebagian mereka dengan
sebagian mereka yang lain. Tidak mungkin sesuatu yang dimaksud dari kata-kata
"orang-orang yang beriman yang mengerjakkan salat dan menunaikan zakat
dalam keadaan ruku " itu orang-orang Mukmin secara umum, melainkan khusus
imam Ali, dengan dalil kata innama yang memberikan arti pengkhususan, sehingga
menafikan orang-orang Mukmin yang lain, di samping hadis-hadis sebelumnya yang
menyebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib. Sifat
yang disebutkan di dalam ayat, "mereka memberi zakat dalam keadaan ruku
" tidak klop pada seorang pun dan tidak ada seorang pun yang mengklaimnya
selain Amirul Mukminin. Dialah yang memberi-kan zakat dalam keadaan ruku.
Karena kata-kata "wahum raki'un" adalah merupakan hal bagi kata-kata
"yu'tunaz zakat". Adapun ruku adalah sebuah gerakan yang khusus,
sehingga usaha memalingkan ruku dari makna hakikinya adalah merupakan satu
bentuk pentakwilan yang tidak berdasar. Karena, di dalam ayat di atas tidak
terdapat pe-tunjuk yang memalingkan ruku dari makna hakikinya. Demikian juga,
kata-kata "wahum raki'un" tidak boleh di-athaf-kan kepada kata-kata
sebelumnya, karena kata salat telah disebutkan sebelumnya. Ibadah salat
mencakup ruku, maka oleh karena itu penyebutan kata ruku sesudah penyebutan
kata salat di sini adalah merupakan hal (keadaan pada saat sebuah perbuatan
dilakukan —penerj.), di samping kesepakatan umat juga menyebutkan bahwa Ali
memberikan zakat dalam keadaan ruku, sehingga dengan begitu ayat di atas
dikhususkan untuk Ali. Al-Qusyaji telah menukil —di dalam kitabnya Syarih
at-Tajrid— dari para mufassir yang mengatakan mereka sepakat bahwa ayat ini
turun kepada Ali pada saat Ali memberi sedekah dalam keadaan ruku. Demikian
juga Ibnu Syahrasyub telah menukil yang demikian di dalam kitabnya al-Fadha'il.
Dia mengatakan di dalam mukaddimah kitabnya itu sebagai berikut,
"Umat sepakat bahwa ayat ini turun kepada Amirul Mukminin.[78] Dan
begitu juga hadis-hadis yang mendukung pendapat ini telah mencapai derajat
mutawatir. Sayyid Hasyim al-Bahrani telah menukil di dalam kitabnya Ghayah
al-Muram dua puluh empat hadis dari jalan Ahlus Sunnah yang mengatakan bahwa
ayat ini turun kepada Ali, dan juga sembilan belas hadis dari jalan
Syi'ah."
Jika ayat ini khusus kepada Amirul Mukminin maka tentu maksud dari
kata "wali" di sini bukanlah wilayah dalam arti umum, yaitu penolong
dan pecinta, melainkan wilayah dalam arti khusus, yaitu orang yang paling
berhak dalam bertindak. 'Allamah al-Mudzaffar telah berkata tentang hal ini,
"Jika yang dimaksud dengan kata wali adalah penolong, maka pembatasan
penolong kepada Allah, Rasul-Nya dan Ali tidaklah dapat dibenarkan kecuali
dengan melihat kepada salah satu di antara dua sisi: Yang pertama, bahwa
pertolongan mereka (Allah, Rasul-Nya dan Ali) kepada orang-orang Mukmin
mencakup tindakan dalam urusan mereka (orang-orang Mukmin), maka ini berarti
kembali kepada makna yang dimaksud. Adapun yang kedua, bahwa pertolongan yang
lain kepada orang-orang Mukmin, semuanya dinisbahkan kepada pertolongan mereka
(Allah, Rasul-Nya dan Ali), maka di sini tercapai pula apa yang dimaksud.
Karena itu termasuk keharusan dari pertolongan menyeluruh kepada orang-orang
Mukmin."[79]
Dengan demikian, terbuktilah bahwa wilayah Allah, Rasul-Nya dan
"orang-orang yang beriman" —yaitu Ali— adalah wilayah dari jenis yang
sama, yaitu wilayah yang berarti "hak bertindak". Adapun dalil yang
menunjukkan kepada hal ini ialah penggunaan kata yang sama bagi semua
tingkatan. Karena, jika artinya tidak sama maka tentu akan menimbulkan
kekaburan maksud, dan tentunya Allah SWT tidak akan mungkin menyesatkan para
hamba-Nya. Karena jika Allah SWT menghendaki arti lain bagi wilayah Amirul
Mukminin, tentunya lebih sesuai jika wilayah Amirul Mukminin disebutkan secara
terpisah, untuk menghilangkan kesamaran. Sebagaimana yang dilakukan di dalam
ayat yang lain, "Taatilah Allah dan taatilah Rasul". Di dalam ayat
ini penyebutan kata "taat" diulang. Atas dasar-dasar inilah maka
Amirul Mukminin layak menjadi imam orang-orang bertakwa dan pemimpin
orang-orang Mukmin.
B. Ayat Tabhg, Nas Jelas Tentang Kepemimpinan
Allah SWT berfirman, "Hai Rasul, sampaikanlah apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang
diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Dan Allah
memeliharamu dari (gangguan) manusia."
Ayat ini turun untuk menerangkan keutamaan Amirul Mukminin as di
Ghadir Khum, sebagaimana yang telah diisyaratkan di dalam hadis Zaid bin Arqam
di dalam Sahih Muslim.
Pada mulanya saya berpikir cukup mengisyaratkan saja peristiwa
ini, sebab sedemikian jelas bagi orang yang membaca kitab-kitab hadis dan
kitab-kitab sejarah. Akan tetapi, saya teragitasi oleh seorang penulis Sudan
—yaitu Insinyur Shadiq Amin— yang menyerang dan mengecam Syi'ah di surat kabar
Sudan (berita terakhir). Dia mengatakan di dalam tulisannya, "Pada hakikatnya,
sesungguhnya peristiwa yang diriwayatkan oleh kitab-kitab Syi'ah yang berkenaan
dengan Ghadir Khum ini ..., dan demikianlah para ulama Syi'ah secara terus
menerus selalu menyebut (khurafat) ini, yang terhitung sebagai pilar dasar
mazhab Syi'ah ..."
Saya tidak tahu apakah ini memperlihatkan kebodohan akan sejarah
atau memperlihatkan kebencian terhadap Imam Ali as dan pengingkaran terhadap
keutamaan-keutamaannya?! Peristiwa ini amat jelas, sehingga memenuhi buku-buku
sejarah.
Bagaimana peristiwa ini luput dari penglihatan insinyur ini?!
Yang jelas, dia tidak membebani dirinya untuk menutup kedua
matanya, lalu mengambil kitab hadis atau kitab sejarah Ahlus Sunnah mana saja,
dan kemudian membacanya. Jika dia tidak menemukan peristiwa itu di dalam kitab
yang dibacanya maka barulah dia berhak untuk menisbahkan buku tersebut kepada
kitab-kitab Syi'ah, atau menamakannya sebagai khurafat.
Al-Ghadir Dalam Referensi-Referensi Islam
Hadis al-Ghadir termasuk hadis yang paling mutawatir. Para perawinya dari kalangan sahabat mencapai seratus
sepuluh orang sahabat. 'Allamah al-Amini telah menghitung mereka beserta
kitab-kitab yang telah mengeluarkan riwayat-riwayatnya, di dalam kitabnya
al-Ghadir, jilid 1, halaman 14 sampai halaman 61. Sangat panjang kiranya
sekiranya kami menyebutkan nama-nama mereka dan buku-buku Ahlus Sunnah yang
mengeluarkan hadis-hadis mereka pada kesempatan sekarang ini.
Adapun para perawainya dari kalangan tabi'in mencapai delapan
puluh empat orang perawi, sebagaimana di sebutkan di dalam kitab al-Ghadir,
halaman 62 sampai halaman 72. Para perawi
hadis al-Ghadir tidak berhenti sampai batas ini, melainkan juga dinukil secara
mutawatir pada setiap tingkatan-tingkatannya. Jumlah para perawinya dari abad
kedua hingga abad keempat belas Hijrah mencapai tiga ratus enam puluh orang
perawai. Di samping beribu-ribu kitab Ahlus Sunnah yang menyebutkan hadis ini.
Bagaimana begitu mudah —setelah semua ini— penulis ini mengatakan
bahwa ini adalah khurafat Syi'ah. Padahal diketahui bahwa riwayat al-ghadir
yang melalui jalur-jalur Syi'ah kurang dari setengahnya dari yang terdapat di
dalam jalur-jalur Ahlus Sunnah.
Namun inilah kesulitan orang-orang terpelajar, mereka mengeluarkan
kata-kata dengan tanpa melakukan pengkajian. Para
ulama Ahlus Sunnah dan orang-orang terpercaya dari kalangan mereka, baik dari
kalangan terdahulu maupun kalangan terkemudian, dengan tegas mengakui kesahihan
hadis al-ghadir. Sebagai contoh di antara mereka ialah:
1. Ibnu Hajar al-'Asqalani. Dia berkata di dalam kitabnya Syarih
Shahih al-Bukhari, "Adapun hadis 'Barangsiapa yang aku sebagai pemimpinnya
maka inilah Ali pemimpinnya' telah di keluarkan oleh Turmudzi dan Nasa'i. Hadis
ini banyak sekali jalannya. Ibnu 'Uqdah telah memuat jalan-jalannya di dalam
kitab tersendiri, dan mayoritas sanadnya adalah sahih dan hasan."[80]
Kitab yang diisyaratkan oleh Ibnu Hajar ini ialah kitab al-Wilayah
fi Thurug Hadits al-Ghadir, karya Abu Abbas Ahmad bin Muhammad bin Sa'id
al-Hamadani, yaitu al-Hafidz yang terkenal dengan sebutan Ibnu 'Uqdah, yang
wafat pada tahun 333 Hijrah.
Ibnu Atsir banyak menukil darinya di dalam kitabnya Usud
al-Ghabah, dan begitu juga Ibnu Hajar al-'Asqalani. Ibnu Hajar al-'Asqalani
juga telah menyebutnya di dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib, jilid 7, halaman 337,
setelah menyebutkan hadis al-Ghadir. Ibnu Hajar al-'Asqalani berkata,
"Abul Abbas Ibnu 'Uqdah mensahihkannya dan menaruh perhatian kepada
seluruh jalan-jalannya. Dia mengeluarkannya dari hadis tujuh puluh orang
sahabat atau lebih." Ibnu Taimiyyah telah mengisyaratkan penulis ini di
dalam menetapkan jalan-jalan hadis al-Ghadir dengan kata-katanya, "Abul
Abbas Ibnu 'Uqdah telah menulis sebuah kitab yang mengumpulkan
jalan-jalannya."[81]
2. Ibnu al-Maghazili asy-Syafi'i. Setelah menyebutkan hadis
wilayah bersama dengan sanadnya Ibnu al-Maghazili asy-Syafi'i berkata,
"Ini adalah hadis yang sahih dari Rasulullah saw. Kurang lebih seratus
orang sahabat, termasuk di antaranya sepuluh orang yang dijamin masuk surga,
telah meriwayatkan hadis Ghadir Khum dari Rasulullah. Hadis ini adalah hadis
yang kokoh, yang saya tidak lihat ada kekurangannya. Hadis ini mengkhususkan
keutamaan ini bagi Ali, dan tidak ada seorang pun yang menyertainya."[82]
3. Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid ath-Thabari —penulis
kitab tarikh Thabari— telah mengkhususkan sebuah kitab yang mengeluarkan
hadis-hadis al-Ghadir. Penulis kitab al-'Umdah telah menyebutkan hal itu dengan
mengatakan, "Ibnu Jarir ath-Thabari, penulis kitab tarikh, telah
menyebutkan hadis hari al-Ghadir beserta jalan-jalannya di dalam tujuh puluh
lima jalan, dan dia mengkhususkan sebuah kitab untuk itu yang dinamakannya
dengan kitab al-Wilayah".[83]
Di dalam Syarah at-Tuhfah al-'Alawiyyah, karya Muhammad bin Ismail
disebutkan, "Al-Hafidz adz-Dzahabi telah mengatakan di dalam kitab
Tadzkirah al-Huffadz, di dalam biografi hadis 'Barang-siapa yang aku menjadi
pemimpinnya', 'Muhammad bin Jarir telah menulis sebuah kitab tentangnya. Saya
—adz-Dzahabi— memeriksanya, dan saya terkejut karena bagitu banyak
jalannya.'"
Ibnu Katsir juga telah menyebut kitab Ibnu Jarir di dalam kitab
tarikhnya, "Sungguh, saya telah melihat sebuah kitab yang terhimpun di
dalamnya hadis-hadis Ghadir Khum dalam dua jilid besar."[84]
1.
Al-Hafidz Abu Sa'id Mas'ud bin Nashir
bin Abi Zaid as-Sajistani, yang wafat pada tahun 477 Hijrah, mensahkan hadis
Ghadir Khum di dalam kitabnya ad-Dirayahfi Hadits al-Wilayah, di mana di dalam
17 juznya terhimpun jalan-jalan hadis al-Ghadir yang diriwayatkan dari 120
orang sahabat.
Di dalam kitab al-Ghadir, Al-Amini telah menyebutkan sebanyak 26
orang ulama Ahlus Sunnah terkemuka yang menulis kitab-kitab khusus yang
mensahkan hadis al-Ghadir, apalagi kitab-kitab yang menyebutkan riwayatnya.
Kita akhiri pembicaraan kita di sini dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu Katsir
tentang al-Juwaini, "Dia terkejut dan mengatakan, 'Di Bagdad saya
menyaksi-kan kitab berjilid-jilid di tangan seorang redaktur, yang di dalam-nya
termuat riwayat-riwayat hadis ini. Pada kitab-kitab itu tertulis: Jilid kedua
puluh delapan dari jalan-jalan hadis 'Barangsiapa yang aku menjadi pemimpinnya
maka inilah Ali pemimpinnya', dan akan menyusul lagi jilid kedua puluh
sembilan.'"[85]
Referensi-Referensi Yang Menetapkan Ayat Ini Turun Kepada Ali
Adapun berkenaan dengan turunnya ayat ini "Hai Rasul,
sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Danjika tidak kamu
kerjakan (apa yang diperintahkan, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya.
Dan Allah memeliharamu dari (ganguan) manusia " khusus kepada Ali, banyak
sekali dari mereka yang secara terang-terangan mengakuinya. Di antaranya ialah:
1. As-Suyuthi di dalam kitab ad-Durr al-Mantsur, di dalam
menafsir-kan ayat di atas, dari Ibnu Abi Khatim, Ibnu Abi Mardawaih dan Ibnu
'Asakir, dengan sanad-sanad mereka yang berasal dari Abi Sa'id yang mengatakan,
"Ayat ini turun kepada Rasulullah saw di Ghadir Khum berkenaan dengan
Ali." As-Suyuthi juga menukil dari Ibnu Mardawaih dengan sanad-sanadnya
yang sampai kepada Ibnu Mas'ud yang berkata, "Pada masa Rasulullah saw
kami membaca, 'Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu bahwa Ali adalah pemimpin orang-orang Mukmin. Dan jika kamu tidak
kerjakan (apa yang diperintahkan, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya.
Dan Allah rnerneliharamu dari (gangguan) manusia.'"[86]
2. Al-Wahidi meriwayatkan di dalam kitab Asbab an-Nuzul, dari Abi
Sa'id yang mengatakan, "Ayat ini turun pada hari Ghadir Khum kepada
Ali."[87]
3. Al-Hafidz Abu Bakar al-Farsi telah meriwayatkan di dalam
kitabnya Ma Nuzzila fi Amiril Mukminin dengan bersanad dari Ibnu Abbas yang
mengatakan bahwa ayat ini turun pada hari Ghadir Khum kepada Ali bin Abi
Thalib.
4. Al-Hafidz Abu Na'im al-Isbahani, dengan sanadnya dari
al-A'masy, dari 'Athiyyah yang berkata, "Ayat ini turun kepada Rasulullah
saw pada hari Ghadir Khum."[88]
5. Al-Hafidz Ibnu Asakir asy-Syafi'i, dengan bersanad dari Abi
Sa'id al-Khudzri yang mengatakan bahwa ayat ini turun pada hari Ghadir Khum
kepada Ali bin Abi Thalib.[89]
6. Badruddin bin al-'Aini al-Hanafi. Dia mengatakan di dalam kitab
'Umdah al-Qari'fi Syarh Shahih al-Bukhari yang berkata, "Telah berkata Abu
Ja'far Muhammad bin Ali bin al-Husain. Artinya, 'Sampaikanlah apa yang telah
diturunkan dari Tuhanmu tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib ra.' Ketika ayat
ini turun Rasulullah mengangkat tangan Ali dan berkata, 'Barangsiapa yang aku
sebagai pemimpinnya maka inilah Ali pemimpinnya.'"
n jal�'�Bn. ���emudian dia menepukkan tangannya ke punggung Adil sambil berkata kepadanya,
"Wahai anakku, jangan sampai perkataan Syi'ah dapat menipumu."
Saya memotong pembicaraannya dengan mengatakan, "Yang mulia
Syeikh, kami adalah pencari kebenaran, dan kini perkara telah bercampur
sedemikian rupa sehingga membingungkan kami. Oleh karena itu, kami datang
kepada Anda supaya dapat mengambil manfaat dari Anda manakala kami mengetahui
Anda seorang ulama besar, ahli hadis dan hafidz."Syeikh itu menjawab,
"Itu benar."
Saya berkata lagi, "Sudah merupakan sesuatu yang tidak
diragukan lagi bahwa kaum Muslimin telah terbagi ke dalam beberapa golongan dan
mazhab, dan masing-masing golongan mengklaim bahwa dirinyalah yang benar
sementara yang lainnya salah. Apa yang harus saya lakukan sementara saya
diwajibkan oleh agama Allah untuk mengetahui kebenaran di antara jalan-jalan
yang saling bertentangan itu?! Apakah Allah menghendaki kita berpecah-belah
atau menginginkan kita berada pada satu agama, yaitu kita menyembah Allah
dengan agama yang satu?! Jika ya, lantas jaminan apa yang telah ditinggalkan
oleh Allah dan Rasul-Nya untuk kita supaya umat terjaga dari kesesatan?
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa perselisihan pertama yang
terjadi di antara kaum Muslimin adalah perselisihan yang terjadi secara
langsung setelah Rasulullah saw wafat, padahal Rasulullah saw tidak mungkin
meninggalkan umatnya tanpa ada petunjuk."
Syeikh berkata, "Sesungguhnya jaminan yang telah ditinggalkan
oleh Rasulullah saw untuk mencegah umat dari perselisihan ialah sabdanya yang
berbunyi, "Sesungguhnya aku tinggalkan sesuatu padamu yang jika kamu
berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan tersesat, yaitu Kitab Allah
dan sunah."
Saya berkata, "Beberapa saat yang lalu Anda menyebutkan
terkadang ada sebuah hadis yang tidak ada sumbernya, artinya tidak disebut di
dalam kitab-kitab hadis."
Syeikh menjawab, "Itu benar." Saya katakan kepadanya,
"Hadis ini tidak memiliki sumber di dalam kitab-kitab sahih yang enam,
lantas kenapa Anda menyebutkannya, sementara Anda seorang muhaddis?"
Di sini, bangkitlah kemarahan Syeikh, lalu dia berteriak lantang,
"Apa yang Anda maksud, apakah Anda ingin mendhaifkan hadis ini." Saya
merasa heran kenapa Syeikh sedemikian marah padahal saya tidak mengatakan
apa-apa.
Saya berkata, "Sabar, sesungguhnya pertanyaan saya hanya
satu, yaitu apakah hadis ini terdapat di dalam kitab sahih yang enam?"
Syeikh itu menjawab, "Kitab sahih itu tidak hanya enam. Kitab hadis itu
banyak sekali. Hadis ini terdapat di dalam kitab al-Muwaththa Imam Malik."
Saya berkata dengan menghadap kepada para hadirin, "Baik,
Syeikh telah mengakui bahwa hadis ini tidak terdapat di dalam kitab-kitab sahih
yang enam, dan hanya terdapat di dalam kitab al-Muwaththa Imam Malik."
Dengan nada tinggi dia memotong pembicaraan saya dengan
mengatakan, "Lalu, apakah kitab al-Muwaththa bukan kitab hadis?"
Saya menjawab, "Kitab al-Muwaththa kitab hadis, namun hadis
'Kitab Allah dan sunahku' adalah marfu' dengan tanpa sanad, padahal diketahui
bahwa semua hadis yang terdapat di dalam kitab al-Muwaththa bersanad."
Di sini Syeikh berteriak setelah hujjahnya patah. Dia mulai
memukul saya dengan tangannya dan menggerak-gerakkan tubuh saya ke kanan dan ke
kiri sambil berkata, "Anda ingin mendhaifkan hadis ini, padahal Anda ini
siapa sehingga hendak mendhaifkannya." Dia tidak dapat mengontrol emosinya
sehingga tindak tanduknya telah keluar dari batas-batas yang wajar. Seluruh
orang yang hadir merasa heran dengan gerak dan tingkah lakunya.
Saya berkata, "Ya Syeikh, di sini tempat diskusi dan dalil,
dan cara ini tidak layak untuk diikuti. Saya telah duduk dengan banyak ulama
Syi'ah namun saya tidak pernah melihat sama sekali cara yang seperti ini."
Allah SWT berfirman, 'Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.' Setelah itu, dia sedikit
reda dari kemarahannya.
Saya berkata, "Ya Syeikh, saya bertanya kepada Anda apakah
riwayat Malik terhadap hadis "Kitab Allah dan sunahku" di dalam kitab
al-Muwaththa itu dhaif atau sahih?!"Dengan penuh berat hati Syeikh
menjawab, "Dhaif."
Saya berkata, "Jika demikian, kenapa Anda mengatakan hadis
tersebut ada di dalam kitab al-Muwaththa padahal Anda tahu hadis tersebut
dhaif?"
Dengan nada tinggi Syeikh menjawab, "Sesungguhnya hadis
tersebut mempunyai jalan-jalan yang lain."
Saya berkata kepada para orang-orang yang hadir, "Syeikh
telah melepaskan riwayat al-Muwaththa, dan mengatakan bahwa hadis ini mempunyai
jalan-jalan yang lain, maka marilah kita mendengarkan jalan-jalan itu
darinya."
Di sini Syeikh merasa malu, karena sebenarnya tidak ada jalan yang
sahih yang dimiliki hadis ini. Pada saat itu tiba-tiba salah seorang hadirin
yang duduk berbicara, lalu Syeikh menepuk saya dan berkata sambil menunjuk
kepada orang yang bicara, "Dengarkan dia." Saya tahu dia ingin lari
dari pertanyaan sulit yang saya lontarkan kepadanya. Saya merasakan itu
darinya, namun saya tetap bersikeras dan berkata, "Ya Syeikh, sebutkanlah
kepada kami jalan-jalan lain yang dimiliki hadis ini?"
Dengan nada putus asa Syeikh menjawab, "Saya tidak hapal, dan
saya akan menuliskannya untuk Anda."
Saya berkata, "Subhanallah! Anda hapal seluruh hadis-hadis
ini, hadis-hadis tentang keutamaan negeri-negeri, namun tidak hapal jalan hadis
terpenting yang merupakan pilar utama mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang
menjaga umat dari kesesatan, sebagaimana yang telah Anda katakan."
Mendengar itu Syeikh terdiam seribu bahasa.
Ketika para hadirin merasakan rasa malu Syeikh, salah seorang dari
mereka berkata kepada saya, "Apa yang Anda inginkan dari Syeikh, padahal
Syeikh telah berjanji akan menuliskannya untuk Anda."
Saya berkata, "Saya akan coba dekatkan jalan untuk Anda.
Sesungguhnya hadis ini juga terdapat di dalam kitab Sirah Ibnu Hisyam dengan
tanpa sanad."
Syeikh al-Arnauthi berkata, "Sirah Ibnu Hisyam adalah kitab
sejarah, bukan kitab hadis." Saya berkata, "Kalau begitu berarti Anda
mendhaifkan riwayat ini." Syeikh al-Arnauthi menjawab, "Ya."
Saya berkata, "Anda telah membantu saya menyelesaikan diskusi ini."
Kemudian saya meneruskan perkataan saya dengan mengatakan,
"Hadis ini juga terdapat di dalam kitab al-llma' karya Qadhi 'lyadh, dan
kitab al-Faqih al-Mutafaqqih karya Khatib al-Bagdadi, apakah Anda mengambil
riwayat-riwayat ini?"
Syeikh menjawab, “Tidak”. Saya berkata, "Jika demikian, maka
hadis "Kitab Allah dan sunahku" itu dhaif menurut kesaksian Syeikh,
dan tidak ada jaminan lain di hadapan kita kecuali satu jaminan yang akan
mencegah umat dari perselisihan, yaitu hadis mutawatir dari Rasulullah saw yang
diriwayatkan oleh kitab-kitab hadis Ahlus Sunnah dan kitab-kitab sahih yang
enam selain Bukhari, yaitu sabda Rasulullah saw yang berbunyi,
"Aku meninggalkan dua perkara yang sangat berharga, yang jika
kamu berpegang teguh kepada keduanya niscaya kamu tidak akan tersesat
sepeninggalku, yaitu Kitab Allah, yang merupakan tali yang terbentang di antara
langit dan bumi, dan 'ltrah Ahlul Baitku. Sesungguhnya Zat Yang Maha Mengetahui
telah memberitahukanku bahwa keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga mendatangiku
di telaga," Sebagaimana yang terdapat di dalam riwayat Ahmad bin Hambal.
Tidak ada alternatif lain bagi seorang Mukmin yang menginginkan Islam
sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya selain dari
jalan ini. Yaitu jalan Ahlul Bait yang mereka telah disucikan di dalam
Al-Qur'an al-Karim dari segala dosa dan kotoran. Dan kemudian saya menyebutkan
sekumpulan keutamaan-keutamaan Ahlul Bait as. Tidak sebagaimana biasanya,
Syeikh terdiam tidak mengatakan satu patah kata pun selama saya berbicara.
Ketika murid-murid Syeikh melihat kekalahan di wajah gurunya,
mereka pun membuat kegaduhan dengan berteriak-teriak. Saya berkata,
"Sungguh merupakan dajjal, kemunafikan dan penghindaran dari kebenaran.
Sampai kapan pengingkaran ini akan terus berlangsung?! Kebenaran jelas
ayat-ayatnya, tampak kelihatan penjelasan-penjelasannya, dan saya telah
menegakkan hujjah atas Anda bahwa tidak ada agama selain dari Kitab Allah dan
'ltrah Rasululah saw yang suci."
Syeikh diam dan tidak membantah sedikit pun apa yang saya katakan.
Tiba-tiba dia berdiri sambil berkata, "Saya ingin pergi, saya punya tugas
mengajar", padahal dia tahu dia diundang untuk makan siang!!
Tuan rumah memaksa dia untuk tetap tinggal, dan setelah makanan
disajikan suasana majlis pun menjadi tenang, dan Syeikh tidak mengatakan
sepatah kata apa pun selama menyantap makanan, padahal sebelumnya dia yang
menguasai majlis dan pembicaraan.
Demikianlah nasib setiap orang yang menghindari dan menyembunyikan
kebenaran. Mau tidak mau pasti akan tersingkap di hadapan orang banyak.
Kesulitan Ahlus Sunnah Tidak Akan Terpecahkan
Dengan Kedua Hadis Ini
Jika seandainya kita membiarkan semua itu dan menerima kesahihan
hadis "Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para Khulafa`
Rasyidin .." dan hadis ".. Kitab Allah dan sunahku.. " dengan
tanpa membantah, maka yang demikian itu tidak akan bisa menyelamatkan Ahlus
Sunnah dan tidak akan bisa memecahkan masalah berat yang dihadapinya. Bahkan
justru segenap jalan dan kecendrungan akan mendukung dan memperkuat mazhab
Ahlul Bait as (Syi'ah). Yang demikian itu dikarenakan hadis pertama yang
ber-bunyi, "Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para
Khulafa` Rasyidin al-mahdiyyin sepeninggal."
Para Khalifah Itu Adalah Para
Imam Ahlul Bait
Sesungguhnya kata "khulafa" di dalam hadis ini tidaklah
dikhususkan untuk satu golongan tertentu, dan penafskan kalangan Ahlus Sunnah
bahwa para khalifah itu adalah para khalifah yang empat adalah sebuah
pentakwilan yang tanpa dalil. Karena pernyataan (proposisi) yang dikemukakan
lebih luas dari klaim, dan bahkan bukti-bukti mengatakan sebaliknya. Yaitu
bahwa yang dimaksud dengan para khalifah rasyidin ialah para Imam dua belas
dari Ahlul Bait as. Disebabkan dalil-dalil dan riwayat-riwayat yang pasti yang
menetapkan bahwa para khalifah rasyidin sepeninggal Rasulullah saw itu
berjumlah dua belas orang khalifah. Al-Qanduzi al-Hanafi telah meriwayatkan di
dalam kitabnya Yanabi' al-Mawaddah, "Yahya bin Hasan telah menyebutkan di
dalam kitab al-'Umdah melalui dua puluh jalan bahwa para khalifah sepeninggal
Rasulullah saw itu berjumlah dua belas orang khalifah, dan seluruhnya dari
bangsa Quraisy. Dan begitu juga di dalam Sahih Bukhari melalui tiga jalan, di
dalam Sahih Muslim melalui sembilan jalan, di dalam Sunan Abu Dawud melalui
tigajalan, di dalam Sunan Turmudzi melalui satu jalan, dan di dalam al-Hamidi
melalui tiga jalan. Di dalam Sahih Bukhari berasal dari Jabir yang mengatakan,
"Rasulullah saw telah bersabda, 'Akan muncul sepeninggalku dua belas orang
amir', kemudian Rasulullah saw mengatakan sesuatu yang saya tidak mendengarnya.
Lalu saya menanyakannya kepada ayah saya, 'Apa yang telah dikatakannya?' Ayah
saya men-jawab, 'Semuanya dari bangsa Quraisy.'" Adapun di dalam Sahih
Muslim berasal dari 'Amir bin Sa'ad yang berkata, "Saya menulis surat kepada Ibnu Samrah,
'Beritahukan kepada saya sesuatu yang telah Anda dengar dari Rasulullah saw.'
Lalu Ibnu Samrah menulis kepada saya, 'Saya mendengar Rasulullah saw bersabda
pada hari Jumat sore pada saat dirajamnya al-Aslami, 'Agama ini akan tetap
tegak berdiri hingga datangnya hari kiamat dan munculnya dua belas orang
khalifah yang kesemuanya berasal dari bangsa Quraisy."[35]
Setelah ini tidak ada lagi orang yang bisa berhujjah dengan hadis
"Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para Khulafa`
Rasyidin.." dengan menerapkannya kepada para khalifah yang empat.
Dikarenakan riwayat-riwayat yang mutawatir yang mencapai dua puluh jalan, yang
kesemuanya dengan jelas mengatakan khalifah itu ada dua belas orang; dan kita
tidak akan menemukan penafsiran bagi riwayat-riwayat ini pada dunia nyata
kecuali pada para Imam mazhab Ahlul Bait yang dua belas. Dengan demikian,
Syi'ah adalah satu-satunya kelompok yang merupakan personifikasi dari makna
hadis-hadis ini, dikarenakan penerimaan mereka kepada kepemimpinan Imam Ali as,
kemudian Imam Hasan dan Imam Husain, dan setelah itu sembilan orang Imam dari
keturunan Imam Husain, sehingga jumlah mereka seluruhnya berjumlah dua belas
orang Imam.
Meskipun kata "Quraisy" yang terdapat di dalam
riwayat-riwayat ini bersifat mutlak dan tidak dibatasi, namun dengan
riwayat-riwayat dan petunjuk-petunjuk yang lain menjadi jelas bahwa yang
dimaksud adalah Ahlul Bait. Dan itu disebabkan adanya banyak riwayat yang
menunjukkan kepada kepemimpinan Ahlul Bait. Insya Allah, kita akan memaparkan
sebagiannya pada pembahasan-pembahasan yang akan datang.
Pada kesempatan ini saya cukupkan Anda dengan riwayat yang
berbunyi, "Aku tinggalkan padamu sesuatu yang jika kamu berpegang teguh
kepadanya niscaya kamu tidak akan tersesat sepeninggalku, yaitu Kitab Allah dan
'ltrah Ahlul Baitku."[36]
Agama ini akan tetap tegak berdiri dengan kepemimpinan dua belas
orang khalifah, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh riwayat-riwayat
sebelumnya. Pada saat yang sama terdapat riwayat-riwayat yang menekankan
keseiringan Ahlul Bait dengan Kitab Allah. Ini merupakan sebaik-baiknya dalil
yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan "dua belas orang khalifah"
itu adalah para Imam dari kalangan Ahlul Bait.
Adapun ungkapan "semuanya berasal dari Quraisy" itu
tidak lain merupakan pemalsuan di dalam hadis. Ungkapan ini mereka letakkan
supaya petunjuk yang jelas akan wajibnya mengikuti Ahlul Bait menjadi kabur.
Karena sesungguhnya ungkapan yang benar ialah "semuanya berasal dari Bani
Hasyim", namun tangan-tangan jahat senantiasa mencari keutamaan-keutamaan
Ahlul Bait, untuk kemudian mereka sembunyikan semampu mereka, atau mengganti
dan merubah sesuatu dari mereka yang dapat diselewengkan.[37]
Riwayat ini merupakan salah satu korban daripada pengubahan.
Namun, Allah SWT menampakkan cahaya-Nya. Al-Qanduzi al-Hanafi sendiri telah
menukilnya di dalam kitabnya Yanabi' al-Mawaddah. Pada mawaddah kesepuluh dari
kitab Mawaddah al-Qurba, bagi Sayyid Ali al-Hamadani —semoga Allah SWT
mensucikan jalannya dan mencurahkan keberkahannya kepada kita— disebut-kan,
"Dari Abdul Malik bin 'Umair, dari Jabir bin Samrah yang ber-kata, 'Saya
pernah bersama ayah saya berada di sisi Rasulullah saw, dan ketika itu
Rasulullah saw bersabda, 'Sepeninggalku akan ada dua belas orang khalifah.'
Kemudian Rasulullah saw menyamarkan suar-anya. Lalu saya bertanya kepada ayah
saya, 'Perkataan apa yang disamarkan olehnya?' Ayah saya menjawab, 'Rasulullah
saw berkata, 'Semua berasal dari Bani Hasyim."[38]
Bahkan Al-Qanduzi meriwayatkan banyak hadis lain yang lebih jelas
dari hadis-hadis di atas. Al-Qanduzi telah meriwayat dari 'Abayah bin Rab'i,
dari Jabir yang mengatakan, "Rasulullah saw telah bersabda, 'Saya adalah
penghulu para nabi dan Ali adalah penghulu para washi, dan sesungguhnya para
washi sepeninggalku berjumlah dua belas orang. Yang pertama dari mereka adalah
Ali, dan yang terakhir dari mereka adalah al-Qa'im al-Mahdi."'[39]
Setelah menyebutkan hadis-hadis ini, Al-Qanduzi al-Hanafi tidak
menemukan apa-apa selain harus mengakui dan mengatakan, "Sesungguhnya
hadis-hadis yang menunjukkan bahwa para khalifah sesudah Rasulullah saw
sebanyak dua belas orang khalifah, telah banyak dikenal dari banyak jalan, dan
dengan penjelasan jaman dan pengenalan alam dan tempat dapat diketahui bahwa
yang dimaksud oleh Rasulullah saw dari hadis ini ialah para Imam dua belas dari
Ahlul Bait Rasulullah saw. Karena tidak mungkin kita dapat menerapkannya pada
raja-raja Bani Umayyah, dikarenakan jumlah mereka yang lebih dari dua belas
orang dan dikarenakan kezaliman mereka yang amat keji, kecuali Umar bin Abdul
Aziz, dan dikarenakan mereka bukan dari Bani Hasyim. Karena Rasulullah saw
telah bersabda, 'Seluruhnya dari Bani Hasyim', di dalam riwayat Abdul Malik,
dari Jabir. Dan begitu juga penyamaran suara yang dilakukan oleh Rasulullah saw
di dalam perkataan ini, memperkuat riwayat ini. Dikarenakan mereka tidak
menyambut baik kekhilafahan Bani Hasyim. Kita juga tidak bisa menerapkannya
kepada raja-raja Bani 'Abbas, disebabkan jumlah mereka yang lebih banyak
dibandingkan jumlah yang disebutkan, dan juga dikarenakan mereka kurang menjaga
ayat "Katakanlah, 'Aku tidak meminta upah apapun kepadamu atas risalah
yang aku sampaikan kecuali kecintaan kepada keluargaku'" dan hadis Kisa`.
Maka mau tidak mau hadis ini harus diterapkan kepada para Imam dua belas dari
Ahlul Bait Rasulullah saw. Karena mereka adalah manusia yang paling berilmu
pada jamannya, paling mulia, paling warak, paling bertakwa, paling tinggi dari
sisi nasab, paling utama dari sisi kedudukan dan paling mulia di sisi Allah
SWT. Ilmu mereka berasal dari bapak-bapak mereka, dan terus bersambung kepada
datuk mereka Rasulullah saw.[40] Maka penerapan hadis "Kamu harus berpegang teguh
pada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin yang mendapat petunjuk
sepeninggalku" kepada para Imam Ahlul Bait jauh lebih dekat dibandingkan
menerapkannya kepada para khalifah yang empat. Karena sudah jelas bahwa para
khalifah sepeninggal Rasulullah saw itu berjumlah dua belas orang khalifah,
yang kesemuanya berasal dari Bani Hasyim.
Ahlul Bait, Jalan Untuk Berpegang Kepada
Al-Kitab Dan Sunnah.
Adapun hadis "Aku tinggalkan padamu sesuatu yang jika kamu
berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan sesat selama-lamanya
sepeninggalku, yaitu Kitab Allah dan sunahku" tidak bertentangan dengan
hadis "Kitab Allah dan 'ltrah Ahlul Baitku". Dua hal baru bisa
dikatakan ta'arud (bertentangan) manakala pertentangan yang terjadi di antara
keduanya sedemikian rupa sehingga mustahil untuk dapat dipertemukan. Padahal
kedua hadis di atas dapat diper-temukan dan sama sekali tidak ada pertentangan
di antara keduanya. Ibnu Hajar al-Juhdhi telah menyakinkan kita tentang
mungkinnya menggabungkan kedua hadis di atas. Dia menyebutkan di dalam kitab
ash-Shawa'iq-nya, "Rasulullah saw bersabda di dalam hadisnya, 'Sesungguhnya
aku meninggalkan padamu dua perkara yang jika kamu mengikuti keduanya niscaya
kamu tidak akan tersesat. Yaitu Kitab Allah dan Ahlul Baitku.' Thabrani
menambahkan tentang Ahlul Bait, 'Janganlah kamu mendahului mereka nanti kamu
binasa, janganlah kamu tertinggal dari mereka nanti kamu celaka, dan janganlah
kamu mengajari mereka karena sesungguhnya mereka lebih tahu dari kamu.' Pada
sebuah riwayat disebutkan bahwa 'Kitab Allah dan sunahku' merupakan maksud dari
hadis-hadis yang hanya dibatasi pada Kitab Allah, karena sunnah merupakan
penjelas bagi Kitab Allah, sehingga penyebutan Kitab Allah saja sudah
mencukupi. Alhasil, sesungguhnya anjuran jatuh kepada berpegang teguh kepada
Kitab Allah, sunah-sunnah dan manusia-manusia yang mengetahui keduanya dari
kalangan Ahlul Bait. Dari keterangan hadis-hadis di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa ketiga perkara tersebut akan tetap ada hingga hari
kiamat."[41]
Dengan ungkapan yang lebih teliti, sesungguhnya apa yang dikatakan
oleh Ibnu Hajar tersebut ingin mengatakan bahwa perintah berpegang teguh kepada
sunah tidak dapat dilakukan kecuali melalui jalan para pemeliharanya, yaitu
Ahlul Bait. Karena Ahlul Bait pasti lebih tahu dengan apa yang ada di dalam
rumah. Sebagaimana yang telah ditetapkan oleh riwayat-riwayat dan telah
disaksikan oleh sejarah. Sehingga dengan demikian, sesungguhnya anjuran yang
berasal dari Rasulullah saw telah jatuh pada berpegang teguh kepada Kitab Allah
dan Ahlul Bait; dan berpegang teguh kepada sunah sudah merupakan keharusan dari
berpegang teguh kepada Ahlul Bait.•
BAB III
Hadis "Kitab Allah dan ‘Itrah
Ahlul Bait" di dalam Referensi-Referensi Ahlus Sunnah
Pada pembahasan yang lalu, telah jelas bagi Anda tentang kelemahan
hadis "berpegang kepada sunah", yang dianggap sebagai pilar utama
bagi tegak berdirinya bangunan mazhab Ahlus Sunnah. Inilah yang menyebabkan
kenapa para ulama mereka sedemikian bersungguh-sungguh menyembunyikan riwayat
"Kitab Allah dan 'itrahku", dan menyebarkan hadis "Kitab Allah dan
sunahku", sehingga melekat ke dalam benak masyarakat sedemikian rupa,
sampai derajat manakala saya menyebutkan hadis "'itrah" kepada jamaah
mana pun juga tampak keheranan pada wajah-wajah mereka.
Oleh karena itu, pada pasal ini saya ingin —supaya sempurna
hujjah— membuktikan hadis "'itrah" dari kitab-kitab Ahlus Sunnah
dengan seluruh jalannya, dan inilah rinciannya:
SANAD HADIS
Jumlah Perawi Dari Kalangan Sahabat
Hadis ini telah mencapai derajat mutawatir dari sekumpulan
sahabat, dan inilah sebagian nama-nama mereka:
1. Zaid bin Arqam.
2. Abu sa'id al-Khudri.
3. Jabir bin Abdullah.
4. Hudzaifah bin Usaid.
5. Khuzaimah bin Tsabit.
6. Zaid bin Tsabit.
7. Suhail bin Sa'ad.
8. Dhumair bin al-Asadi,
9. 'Amir bin Abi Laila (al-Ghifari).
10. Abdurrahman bin 'Auf.
11. Abdullah bin Abbas.
12. Abdullah bin Umar.
13. 'Uday bin Hatim.
14. 'Uqbah bin 'Amir.
15. Ali bin Abi Thalib.
16. Abu Dzar al-Ghifari.
17. Abu Rafi'.
18. Abu Syarih al-Khaza'i.
19. Abu Qamah al-Anshari.
20. Abu Hurairah.
21. Abu Hatsim bin Taihan.
22. Ummu Salamah.
23. Ummu Hani binti Abi Thalib.
24. Dan banyak lagi laki-laki dari kalangan Quraisy.
Jumlah Perawi Dari Kalangan Thabi'in
Penukilan hadis ini juga telah mencapai tingkatan mutawatir pada
jaman tabi'in, dan inilah sebagian dari para tabi'in yang menukil hadis
"Kitab Allah dan 'itrahku":
1. Abu Thufail 'Amir bin Watsilah.
2. 'Athiyyah bin Sa'id al-'Ufi.
3. Huns bin Mu'tamar.
4. Harits al-Hamadani
5. Hubaib bin Abi Tsabit.
6. Ali bin Rabi'ah.
7. Qashim bin Hisan.
8. Hushain bin Sabrah.
9. 'Amr bin Muslim.
10. Abu Dhuha Muslim bin Shubaih.
11. YahyabinJu'dah.
12. Ashbagh bin Nabatah.
13. Abdullahbin Abirafi'.
14. Muthalib bin Abdullah bin Hanthab.
15. Abdurrahman bin Abi sa'id.
16. Umar bin Ali bin Abi Thalib.
17. Fathimah binti Ali bin Abi Thalib.
18. Hasan bin Hasan bin bin Ali bin Abi Thalib.
19. Ali Zainal Abidin bin Husain, dan yang lainnya.
Jumlah Para
Perawi Hadis Ini Pada Tiap-Tiap Abad
Adapun orang yang meriwayatkan hadis ini sesudah jaman sahabat dan
tabi'in, dari kalangan ulama umat, para penghafal hadis dan para imam terkenal
selama berabad-abad, bukanlah suatu jumlah yang dapat kami sebutkan nama dan
riwayat mereka satu persatu. Sekelompok para ulama dan peneliti telah
menghitung jumlah mereka, dan untuk lebih rincinya silahkan Anda merujuk kepada
kitab 'Abagat al-Anwar, juz pertama dan kedua.
Pada kesempatan ini saya mencukupkan diri dengan hanya menyebutkan
jumlah mereka pada setiap tingkatan masa, dari abad kedua hingga abad keempat
belas
• Abad kedua: Jumlah perawi sebanyak 36 orang.
• Abad ketiga: Jumlah perawi sebanyak 69 orang.
• Abad keempat: Jumlah perawi sebanyak 38 orang.
• Abad kelima: Jumlah perawi sebanyak 21 orang.
• Abad keenam: Jumlah perawi sebanyak 27 orang.
• Abad ketujuh: Jumlah perawi sebanyak 21 orang.
• Abad kedelapan: Jumlah perawi sebanyak 24 orang.
• Abad kesembilan: Jumlah perawi seabanyak 13 orang.
• Abad kesepuluh: Jumlah perawi sebanyak 20 orang.
• Abad kesebelas: Jumlah perawi sebanyak 11 orang.
• Abad kedua belas: Jumlah perawi sebanyak 18 orang.
• Abad ketiga belas: Jumlah perawi sebanyak 12 orang.
• Abad keempat belas: Jumlah perawi sebanyak 13 orang.
Dengan begitu jumlah para perawi hadis dari abad ketiga hingga
abad keempat belas semuanya berjumlah 323 orang. Perhatikanlah ini!@@@@
HADIS "KITAB DAN 'ITRAH" DI DALAM
KITAB-KITAB HADIS
Adapun mengenai kitab-kitab hadis yang meriwayatkan hadis ini
jumlahnya banyak sekali. Kami akan menyebutkan sebagian darinya:
1. Sahih Muslim, juz 4, halaman 123, terbitan Dar al-Ma'arif Beirut - Lebanon .
Muslim meriwayatkan di dalam kitab sahihnya, "Telah berkata
kepada kami Muhammad bin Bakkar bin at-Tarian, "Telah berkata kepada kami
Hisan (yaitu Ibnu Ibrahim), dari Sa'id (yaitu Ibnu Masruq), dari Yazid bin
Hayan yang berkata, 'Kami masuk kepada Zaid bin Arqam dan berkata, 'Anda telah
melihat kebajikan. Anda telah bersahabat dengan Rasulullah saw dan telah salat
di belakangnya. Anda telah menjumpai banyak kebaikan, ya Zaid (bin Arqam).
Katakanlah kepada kami, ya Zaid (bin Arqam), apa yang Anda telah dengar dari Rasulullah
saw.' Zaid (bin Arqam) berkata, 'Wahai anak saudaraku, demi Allah, telah lanjut
usiaku, telah berlalu masaku dan aku telah lupa sebagian yang pernah aku ingat
ketika bersama Rasulullah. Oleh karena itu, apa yang aku katakan kepadamu
terimalah, dan apa yang aku tidak katakan kepadamu janganlah kamu membebaniku
dengannya.' Kemudian Zaid bin Arqam berkata,
'Pada suatu hari Rasulullah saw berdiri di tengah-tengah kami
menyampaikan khutbah di telaga yang bernama "Khum", yang terletak di
antara Mekkah dan Madinah. Setelah mengucapkan hamdalah dan puji-pujian
kepada-Nya serta memberi nasihat dan peringatan Rasulullah saw berkata,
'Adapun selanjutnya, wahai manusia, sesungguhnya aku ini manusia
yang hampir didatangi oleh utusan Tuhanku, maka aku pun menghadap-Nya.
Sesungguhnya aku tinggalkan padamu dua perkara yang amat berharga, yang pertama
adalah Kitab Allah, yang merupakan tali Allah. Barangsiapa yang mengikutinya
maka dia berada di atas petunjuk, dan barangsiapa yang meninggalkannya maka dia
berada di atas kesesatan.' Kemudian Rasulullah saw melanjutkan sabdanya,
'Adapun yang kedua adalah Ahlul Baitku. Demi Allah, aku peringatkan kamu akan
Ahlul Baitku, aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku, aku peringatkan kamu akan
Ahlul Baitku.' Kemudian kami bertanya kepadanya (Zaid bin Arqam), 'Siapakah
Ahlul Baitnya, apakah istri-istrinya?' Zaid bin Arqam menjawab, 'Demi Allah,
seorang wanita akan bersama suaminya untuk suatu masa tertentu. Kemudian jika
suaminya menceraikannya maka dia akan kembali kepada ayah dan kaumnya. Adapun
Ahlul Bait Rasulullah adalah keturunan Rasulullah saw yang mereka diharamkan
menerima sedekah sepeninggal beliau. " Muslim juga meriwayatkan:
Dari Zuhair bin Harb dan Syuja' bin Mukhallad, semuanya dari Ibnu
'Uliyyah. Zuhair berkata, "Telah berkata kepada kami Ismail bin Ibrahim,
'Telah berkata kepada kami Abu Hayan, 'Telah berkata kepada kami Yazid bin
Hayan yang berkata, 'Saya pergi...' dan kemudian dia menyebutkan hadis di
atas."
Muslim meriwayatkan dari Abu Bakar bin Abi Syaibah yang berkata,
"Telah berkata kepada kami Muhammad bin Fudhail, 'Telah berkata kepada
kami Ishaq bin Ibrahim, 'Telah memberitahukan kepada kami Jarir', keduanya dari
Abi Hayyan .... kemudian dia menyebutkan hadis."
Seluruh riwayat Muslim kembali kepada Abi Hayyan bin Sa'id
at-Tamimi. Adz-Dzahabi telah berkomentar tentangnya,
"Yahya bin Sa'id bin Hayyaan Abu Hayyan at-Tamimi adalah
seorang pejuang yang diagungkan dan dipercaya. Ahmad bin Abdullah al-'Ajali
berkata tentangnya, 'Dia seorang yang dapat dipercaya, saleh dan unggul sebagai
pemilik sunah."[42]
Adz-Dzahabi juga berkata di dalam kitab al- 'lbar, jilid 1,
halaman 205, "Di dalamnya terdapat Yahya bin Sa'id at-Tamimi, Mawla Tim
ar-Rabbab al-Kufi. Dia itu seorang yang dapat dipercaya dan Imam pemilik sunah.
Asy-Sya'bi dan yang lainnya meriwayatkan darinya.
Yafi'i berkata, "Di dalamnya terdapat Yahya bin Sa'id
at-Tamimi al-Kufi. Dia itu seorang yang dapat dipercaya dan Imam pemilik
sunah."[43]
Al-'Asqalani berkata, "Abu Hayyan at-Tamimi al-Kufi adalah
seorang yang dapat dipercaya, salah seorang ahli ibadah yang enam, dan wafat
pada tahun 45 Hijrah."[44]
Dan komentar-komentar para ulama ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil lainnya
tentang Abu Hayyan at-Tamimi.
Sebagaimana diketahui dengan jelas bahwa hadis ini diriwayatkan di
dalam Sahih Muslim, dan ini menunjukkan akan kesasihannya, dikarenakan kaum
Muslimin sepakat untuk mensahihkan selurah hadis yang diriwayatkannya.
Muslim sendiri dengan tegas telah mengatakan bahwa seluruh hadis
yang terdapat di dalam Kitab Sahihnya telah disepakati kesahih-annya. Apalagi
dalam pandangannya sudah tentu sahih. Hafidz as-Suyuthi telah berkata,
"Muslim berkata, 'Tidak semua yang sahih saya letakkan di sini, melainkan
saya hanya meletakkan yang telah disepakati kesahihannya.'" Sebagaimana
tertulis di dalam kitab at-Tadrin ar-Rawi.
An-Nawawi berkata di dalam biografi Muslim, "Muslim telah
menyusun banyak kitab di dalam ilmu hadis, dan salah satunya adalah kitab sahih
ini, yang telah Allah SWT anugrahkan kepada kaum Muslimin."[45]
Dan komentar-komentar yang lainnya yang tidak mungkin disebutkan
seluruhnya.
2. Riwayat hadis pada al-Imam al-Hafidz Abi 'Abdillah al-Hakim
an-Naisaburi, di dalam kitab mustadraknya atas Bukhari dan Muslim, jilid 3,
halaman 22, kitab Ma'rifah as-Shahabah, terbitan Dar al-Ma'rifah Beirut –
Lebanon.
- Abu 'Awanah meriwayatkan hadis ini dari al-A'masy Tsana Habib
bin Abi Tsabit, dari Abi Laila, dari Zaid bin Arqam yang berkata, "Tatkala
Rasulullah saw kembali dari haji wada' dan singgah di Ghadir Khum, Rasulullah
saw menyuruh para sahabatnya bernaung di bawah pepohonan. Kemudian Rasulullah
saw bersabda, 'Aku hampir dipanggil oleh Allah SWT, maka aku harus memenuhi
panggilannya. Sesungguhnya aku meninggalkan dua perkara yang amat berharga,
yang mana yang satunya lebih besar dari yang lainnya, yaitu Kitab Allah dan
'itrah Ahlul Baitku. Maka perhatikanlah bagaimana sikapmu terhadap keduanya,
karena sesungguhnya keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga datang
menemuiku di telaga.' Kemudian Rasulullah melanjutkan sabdanya, 'Sesungguhnya
Allah Azza Wajalla adalah pemimpinku, dan aku adalah pemimpin setiap orang
Mukmin', lalu Rasulullah saw mengangkat tangan Ali seraya berkata, 'Barangsiapa
yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka inilah Ali pemimpinnya."'
Dengan demikian, Rasulullah saw menekankan bahwa yang pertama dari Ahlul Bait
dan sekaligus pemimpin mereka yang wajib diikuti ialah Ali as.
Sebagaimana juga diriwayatkan dari dari Hassan bin Ibrahim
al-Kirmani Tsana Muhammad bin Salma bin Kuhail, dari ayahnya, dari Abi Thufail,
dari Ibnu Watsilah yang berkata bahwa dirinya mendengar Zaid bin Arqam
berkata... (dan dia menyebutkan hadis sebagaimana yang di atas), hanya saja dia
menambahkan, 'Kemudian Rasulullah saw bersabda, Tidakkah kamu tahu bahwa aku
lebih berhak atas orang-orang Mukmin dibandingkan diri mereka sendiri' sebanyak
tiga kali. Mereka menjawab, 'Ya.' Rasulullah saw bersabda lagi, 'Barangsiapa
yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka inilah Ali pemimpinnya.'"
- Al-Hakim juga meriwayatkannya melalui dua jalan yang lain; dan
supaya tidak terlalu panjang saya cukupkan dengan hanya membuktikan dua jalan.
Dan di antara bukti yang menunjukkan kesahihan dan kemutawatiran
hadis ini ialah bahwa al-Hakim telah meriwayatkannya dan telah menetapkan
kesahihannya berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim.
3. Riwayat hadis pada Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, jilid
3, halaman 14, 17, 26 dan 59, terbitan Dar Shadir Beirut - Lebanon.
Telah berkata kepada kami Abdullah, 'Telah berkata kepada kami Abi
Tsana Abu an-Nadzar Tsana Muhammad, yaitu Ibnu Abi Thalhah, dari al-A'masy,
dari 'Athiyyah al-'Ufi, dari Abi Sa'id al-Khudri, dari Rasulullah saw yang
berkata, "Aku merasa segera akan dipanggil (oleh Allah) dan aku akan
memenuhi panggilan itu. Aku tinggalkan padamu dua perkara yang amat berharga,
yaitu Kitab Allah Azza Wajalla dan 'itrahku (kerabatku). Kitab Allah, tali
penghubung antara langit dan bumi; dan 'itrahku, Ahlul Baitku. Dan sesungguhnya
Allah Yang Maha Mengetahui telah berkata kepadaku bahwa keduanya tidak akan
berpisah sehingga berjumpa kembali denganku di telaga. Oleh karena itu,
perhatikanlah bagaimana kamu memperlakukan keduanya itu."
Imam Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkan, "Telah berkata
kepada kami Abdullah, 'Telah berkata kepada kami Tsana bin Namir Tsana
Abdullah, yaitu Ibnu Abi Sulaiman, dari 'Athiyyah, dari Abi Sa'id al-Khudri
yang berkata, 'Rasulullah saw telah bersabda, 'Aku telah tinggalkan padamu dua
perkara yang amat berharga, yang mana salah satunya lebih besar dari yang
lainnya, yaitu Kitab Allah, yang merupakan tali penghubung antara langit dan
bumi, dan 'itrah Ahlul Baitku, Ketahuilah, sesungguhnya keduanya tidak akan
pernah ber-pisah sehingga datang menemuiku di telaga.'" Ahmad bin Hanbal
telah meriwayatkannya dari berbagai jalan, selain jalan-jalan yang di atas.
4. Riwayat hadis dari Turmudzi, jilid 5, halaman 662 - 663,
terbitan Dar Ihya at-Turats al-'Arabi.
Telah berkata kepada kami Ali bin Mundzir al-Kufi, "Telah
berkata kepada kami Muhammad bin Fudhail, 'Telah berkata kepada kami al-A'masy,
dari 'Athiyyah, dari Abi Sa'id dan al-A'masy, dari Habib bin Abi Tsabit, dari
Zaid bin Arqam yang berkata, 'Rasulullah saw telah bersabda, 'Sesungguhnya aku
tinggalkan padamu sesuatu yang jika kamu berpegang teguh kepadanya niscaya kamu
tidak akan tersesat sepeninggalku, yang mana yang satunya lebih besar dari yang
lainnya, yaitu Kitab Allah, yang merupakan tali penghubung antara langit dan
bumi, dan 'itrah Ahlul Baitku. Keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga
datang menemuiku di telaga. Maka perhatikanlah bagaimana kamu memperlakukan
keduanya."'
5. Sebagaimana juga 'Allamah 'Alauddin Ali al-Muttaqi bin Hisam
ad-Din al-Hindi, yang wafat pada tahun 975 H, meriwayatkan hadis ini di dalam
kitabnya Kanz al-'Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al- Af'al, juz pertama, bab kedua
(bab berpegang teguh kepada Al- Qur'an dan sunah), halaman 172, terbitan
Muassasah ar-Risalah Beirut, cetakan kelima, tahun 1985, yaitu hadis nomer 810,
871, 872 dan 873.
Jika kita berlama-lama di dalam bab ini, untuk menyebutkan seluruh
kitab yang meriwayatkan hadis ini, niscaya akan memakan waktu yang lama dan
dibutuhkan kitab tersendiri. Sebagai contoh, di sini kami hanya akan
menyebutkan sekumpulan para hafidz dan ulama yang meriwayatkan hadis ini.
Adapun untuk lebih rincinya lagi silahkan Anda merujuk ke dalam kitab Ihqaq
al-Haq, karya Asadullah al-Tusturi, jilid 9, halaman 311. Sebagian dari mereka
itu ialah:
1. Al-Hafidz ath-Thabrani, yang wafat tahun 340 H, di dalam
kitabnya al-Mu 'jam ash-Shaghir.
2. 'Allamah Muhibbuddin ath-Thabari, di dalam kitabnya Dzakha'ir
al-'Uqba.
3. 'Allamah asy-Syeikh Ibrahim bin Muhammad bin Abi Bakar
al-Himwani, di dalam kitabnya Fara'id as-Sirnthain.
4. Ibnu Sa'ad, di dalam kitabnya ath-Thabaqat al-Kubra.
5. Al-Hafidz as-Suyuthi, di dalam kitabnya Ihya al-Mayyit.
6. Al-Hafidz al-'Asqalani, di dalam kitabnya al-Mawahib al-
Ladunniyyah.
7. Al-Hafidz Nuruddin al-Haitsami, di dalam kitabnya Majma'
az-zawa'id.
8. 'Allamah an-Nabhani, di dalam kitabnya al-Anwar al-
Muhammadiyyah.
9. Allamah ad-Darimi, di dalam sunannya.
10. Al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Husain bin Ali al-Baihaqi, di
dalam kitabnya as-Sunan al-Kubra.
11. 'Allamah al-Baghawi, di dalam kitabnya Mashabih as-Sunnah.
12. Al-Hafidz Abu al-Fida bin Katsir ad-Dimasyqi, di dalam
kitabnya Tafsir al-Qur'an.
13. Kitab Jami' al-Atsir, karya Ibnu Atsir.
14. Muhaddis terkenal, Ahmad bin Hajar al-Haitsami al-Maliki, yang
wafat pada tahun 914 Hijrah, di dalam kitabnya ash- Shawa'ig al-Muhriqah fi
ar-Radd 'ala Ahlil Bida' wa az- Zanadiqah, cetakan kedua, tahun 1965,
Perpustakaan Kairo.
Setelah meriwayatkan hadis tsaqalain Ibnu Hajar berkata,
"Ketahuilah bahwa hadis tentang kewajiban berpegang teguh pada keduanya
(Kitab Allah dan Ahlul Bait) diriwayatkan melalui berbagai jalan oleh lebih
dari dua puluh orang sahabat. Jalan riwayat hadis itu telah disebutkan secara
terperinci pada bab kesebelas (dari kitabnya yang bernama ash-Shawa'iq al-Muhriqah).
Di antaranya disebutkan bahwa hadis itu diucapkan Rasulullah saw
di Arafah pada waktu haji wada'. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau
mengucapkannya ketika sakit menjelang wafat, di hadapan para sahabat yang
memenuhi kamar beliau. Riwayat lain lagi menyebutkan bahwa beliau
mengucapkannya di Ghadir Khum. Ada
juga riwayat yang menyebutkan bahwa beliau mengucapkan ucapannya itu pada saat
beliau pulang dari Thaif, ketika beliau berpidato di hadapan para sahabat.
Tidak dapat dikatakan bahwa riwayat-riwayat itu saling bertentangan, sebab
mungkin saja Rasulullah saw sengaja mengulang-ulang pesannya itu di berbagai
tempat dan situasi untuk menunjukkan betapa besar perhatian beliau terhadap
Al-Qur'an dan Ahlul Bait yang suci. Pada sebuah riwayat yang berasal dari
Thabrani, dari Ibnu Umar yang berkata bahwa perkataan terakhir yang diucapkan
oleh Rasulullah ialah, 'Berbuat baiklah kamu terhadap Ahlul Baitku.' Sementara
pada riwayat lain yang berasal dari Thabrani dan Abi Syeikh disebutkan, 'Allah
SWT mempunyai tiga kehormatan. Barangsiapa yang menjaga ketiganya maka Allah
akan menjaga agama dan dunianya, dan barangsiapa yang tidak menjaga ketiganya
maka Allah tidak akan menjaga dunia dan akhiratnya. Saya bertanya, 'Apa
ketiganya itu?' Rasulullah saw menjawab, 'Kehormatan Islam, kehormatanku dan
kehormatan kerabatku.' Pada riwayat Bukhari yang berasal dari ash-Shiddiq
dikatakan, 'Wahai manusia, apakah Muhammad mencintai Ahlul Baitnya? Artinya,
jagalah Rasulullah dengan menjaga Ahlul Baitnya dan dengan tidak menyakitinya.
Ibnu Sa'ad dan Mala meriwayatkan di dalam sirahnya bahwa Rasulullah saw telah
bersabda, 'Saya berpesan kepadamu untuk berbuat baik kepada Ahlul Baitku.
Karena sesungguhnya besok aku akan memusuhimu tentang perihal mereka. Barang
siapa yang aku menjadi musuhnya maka aku akan memusuhinya, dan barangsiapa yang
aku musuhi maka dia akan masuk ke dalam neraka.' Juga disebutkan bahwa
Rasulullah bersabda, 'Barangsiapa yang menjagaku pada Ahlul Baitku maka berarti
dia telah mengambil perjanjian di sisi Allah.' Ibnu Sa'ad dan Mala
meriwayatkan: Yang pertama, hadis yang berbunyi, 'Aku dan Ahlul Baitku adalah
sebuah pohon di surga, yang dahan-dahannya menjulur sampai ke dunia, maka
barangsiapa yang hendak mengambil jalan menuju Allah maka dia harus berpegang
teguh kepada Ahlul Baitku.' Adapun yang kedua adalah hadis yang berbunyi, 'Pada
setiap generasi umatku terdapat manusia-manusia adil dari kalangan Ahlul
Baitku, yang menyingkirkan dari agama ini segala bentuk penyimpangan
orang-orang yang sesat, pemalsuan orang-orang yang batil, dan petakwilan
orang-orang yang bodoh.' Adapun riwayat yang kedua ialah hadis yang berbunyi,
'lngatlah, sesungguhnya pemimpin-pemimpin kamu adalah utusan kamu kepada Allah,
maka oleh karena itu perhatikanlah siapa yang kamu jadikan utusan ...' Kemudian
mereka berkata, 'Rasulullah saw menamakan keduanya dengan nama ats-Tsaqalain
dikarenakan ats-tsaql ialah segala sesuatu yang berharga, mulia dan terjaga;
dan ke-duanya memang demikian. Karena keduanya adalah tambang ilmu-ilmu agama,
hikmah dan hukum syariat. Oleh karena itu, Rasulullah saw menganjurkan untuk
mengikuti mereka, berpegang teguh kepada mereka dan belajar dari mereka.
Rasulullah saw bersabda, 'Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan hikmah
Ahlul Bait di tengah-tengah kita.’ Ada
pendapat yang mengatakan bahwa keduanya dinamakan dengan ats-Tsaqlain adalah
dikarenakan beratnya bobot kewajiban menjaga hak-hak mereka ..."
Apakah Anda telah menjaga semua ini, wahai Ibnu Hajar, menjaga
Rasulullah saw di dalam Ahlul Baitnya, mengikuti mereka dan mengambil agama
dari mereka?!
Atau sebaliknya, apakah Anda hanya mengatakan sesuatu yang
sebenarnya tidak ada di hati Anda?! "Sungguh besar kemurkaan di sisi Allah
bahwa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan."
Sungguh benar Imam Ja'far ash-Shadiq as manakala mengatakan,
"Mereka mengklaim mencintai kami namun pada saat yang sama mereka
melakukan pembangkangan terhadap kami." Ibnu Hajar dan orang-orang yang
sepertinya, mereka mengklaim mencintai dan mengikuti Ahlul Bait, namun pada
saat yang sama mereka mengambil agama mereka dari orang-orang yang telah
menzalimi Ahlul Bait. Dan Ibnu Hajar sendiri, tatkala membuktikan
keutamaan-keutamaan Ahlul Bait dan mengakui kewajiban berpegang teguh kepada
mereka, namun pada saat yang sama dia menyerang Syi'ah di dalam kitabnya
ash-Shawa'iq, memasukkan mereka ke dalam kelompok yang sesat, dan mencaci maki
mereka dengan seburuk-buruknya cacian.
Lantas, apa dosa mereka, wahai Ibnu Hajar?! Apakah hanya karena
mereka mengikuti Ahlul Bait dan mengambil agama dari kalangan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar