Sejenak Bersama Para
Imam Mazhab Yang Empat
Sesungguhnya pengkajian tentang sejarah para Imam mazhab yang
empat sangat sulit sekali. Karena berita-berita yang datang tentang mereka,
kalau tidak berasal dari orang-orang yang fanatik dan berlebih-lebihan terhadap
mereka, maka berasal dari musuh-musuh mereka yang senantiasa menyerang mereka.
Kita sulit mendapatkan pandang-an yang objektif di antara kedua garis yang
saling berlawanan ini.
Ahmad Amin berkata, "Kefanatikan mazhab telah memaksa
sebagian pengikut masing-masing mazhab membuat berita-berita yang meninggikan
kedudukan imam mereka. Salah satu di antaranya ialah dengan cara mereka
meriwayatkan hadis-hadis pemberian kabar gembira dari Rasulullah saw bagi
masing-masing imam. Sebagai contoh, mereka meriwayatkan bahwa Rasulullah saw
telah bersabda tentang penduduk Irak, "Sesungguhnya Allah telah meletakkan
khazanah-khazanah ilmu-Nya pada mereka (orang-orang Irak)." Contoh lain,
disebutkan bahwa Rasulullah saw telah bersabda, "Akan datang pada umatku seorang
laki-laki yang dipanggil dengan nama Nu'man bin Tsabit, dan diberi julukan
dengan sebutan Abu Hanifah. Kelak Allah menghidupkan sunahku di dalam Islam
dengan perantaraan ke-dua tangannya." Bahkan, mereka sampai menganggap Abu
Hanifah telah diberitakan di dalam Kitab Taurat. Demikian juga yang dilakukan
oleh sebagian pengikut Syafi’i terhadap Syafi’i dan sebagian pengikut Maliki
terhadap Malik. Semua itu tetap belum memuaskan mereka. Oleh karena itu, sangat
sulit bagi seorang pengkaji untuk mengetahui sejarah yang sebenarnya berkenaan
dengan masing-masing imam. Karena setiap kali datang generasi baru, mereka
menambahkan lagi tentang keutamaan-keutamaan imamnya.[167]
Abu Hanifah sendiri saja telah memperoleh keutamaan-keutamaan ini
dalam jumlah sekumpulan kitab. Kita akan sebutkan beberapa darinya. Sebagai
contoh, kitab 'Uqud al-Marjan fi Manaqib Abi Hanifah an-Nu'man, karya Abi
Ja'far ath-Thahawi, kitab Managib Abi Hanifah, karya al-Kharazmi, kitab
al-Bustan fi Managib an-Nu'man, karya Syeikh Muhyiddin Abdul Qadir bin Abi
al-Wafa, kitab Syaqa'iq an-Nu'manfi Manaqib an-Nu'man, karya Zamakhsyari, dan
kitab-kitab lainnya. Ini semua, kalau pun menunjukkan sesuatu maka itu
semata-mata menunjukkan tingkat kefanatikan dan sikap berlebih-lebihan terhadap
Abu hanifah, serta perselisihan dan pertengkaran mengenai seputar mazhab dan
para imam mereka. Karena jika tidak, lalu untuk apa penulisan semua kitab ini,
yang para Khulafa Rasyidin pun tidak memperoleh kemanjaan yang seperti ini?!
Dari di antara dua garis yang bertentangan ini kita berusaha
me-nyingkap pendapat yang objektif tentang seputar sejarah mazhab yang empat,
berikut dengan kejadian-kejadian yang melingkupinya.
1. IMAM ABU HANIFAH
Kemunculan Abu Hanifah
Dia adalah Nu'man bin Tsabit. Dia lahir pada tahun 80 Hijrah, pada
masa kekhilafahan Abdul Malik bin Marwan. Dia meninggal dunia pada tahun 150
Hijrah. Abu Hanifah tumbuh di kota
Kufah pada masa kekuasaan Hajjaj. Pada masa itu Kufah merupakan salah satu kota besar Irak, yang
berkembang di dalamnya berbagai majlis ilmu. Suasana saling berlawanan dan
berbagai pendapat yang saling ber-tentangan di dalam masalah politik, ilmu dan
keyakinan, yang terjadi pada masa itu, mengundang kebingungan. Pada suasana
yang seperti ini Abu Hanifah cemerlang di dalam bidang ilmu kalam, diskusi dan
perdebatan. Kemudian dia pindah ke majlis fikih, hingga mengkhusus-kan diri
kepadanya. Dia berguru kepada Hammad bin Abi Sulaiman, yang meninggal pada
tahun 120 Hijrah. Setelah Hammad bin Abi Sulaiman meninggal dunia, reputasi dan
nama Abu Hanifah menjadi terkenal. Dia juga berguru kepada guru-guru yang hidup
pada zaman-nya. Dia menghadiri pelajaran 'Atha bin Rabah di Mekkah, pelajaran
Nafi —bekas budak Ibnu Umar— di Madinah, dan guru-guru yang lainnya. Namun dia
banyak berteman dengan Hammad bin Sulaiman. Abu Hanifah telah meriwayatkan dari
Ahlul Bait, seperti Imam Muhammad al-Baqir dan anaknya Imam Ja'far ash-Shadiq
as.
Fikih Abu Hanifah
Abu Hanifah tidak diketahui mempunyai fikih yang khusus kecuali
melalui murid-muridnya. Dia sendiri tidak pernah menulis sesuatu tentang fikih,
dan tidak pernah membukukan sedikit pun pendapat-pendapatnya. Abu Hanifah
mempunyai murid yang banyak, namun mereka yang mengemban dan menyebarkan
mazhabnya ada empat orang. Mereka itu adalah Abu Yusuf, Zufar, Muhammad bin
al-Hasan asy-Syaibani dan Hasan bin Ziyad al-Lu'lu'i .
Abu Yusuf—yaitu Ya'qub bin Ibrahim— telah memainkan peranan yang
besar di dalam menyebar-luaskan mazhab Hanafi. Dia telah memperoleh penerimaan
di kalangan para khalifah Bani Abbas, dan menduduki posisi hakim agung pada
masa kekuasaan al-Mahdi, al-Hadi dan Harun ar-Rasyid. Pada masa Harun ar-Rasyid
dia memperoleh posisi yang amat kuat. Maka Abu Yusuf menggunakan kedudukannya
ini untuk memberlakukan dan menyebar-luaskan mazhab Hanafi ke seluruh penjuru
negeri, melalui tangan-tangan hakim yang ditunjuknya dari kalangan para
sahabatnya. Sehingga dengan begitu dapat kita katakan bahwa tersebarnya mazhab
Hanafi dikarenakan bantuan pengaruh kekuasaan. Ibnu Abdul Barr mengatakan
tentang itu, "Abu Yusuf adalah hakim pada masa pemerintahan tiga khalifah.
Dia menduduki posisi hakim agung pada sebagian masa pemerintahan al-Mahdi,
kemudian pada masa pemerintahan al-Hadi dan juga pada masa pemerintahan
ar-Rasyid. Harun ar-Rasyid amat menghormati dan memuliakannya. Dia mempunyai
kedudukan yang kuat di sisi Harun ar-Rasyid. Oleh karena itu, dia mempunyai
tangan yang panjang di dalam menyebarkan nama Abu Hanifah dan meninggikan
kedudukannya.[168]
Murid Abu Hanifah yang bernama Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani,
turut serta mempunyai andil di dalam menyebarkan mazhab Abu Hanifah melalui
kitab-kitab tulisannya, yang kelak menjadi rujukkan pertama bagi fikih Abu
Hanifah. Di samping itu, dia juga berguru kepada ats-Tsauri, al-Awza'i dan
Malik; serta dia memasukkan hadis ke dalam fikih ahli ra'yu.
Adapun Zufar bin Huzail adalah termasuk sahabat Abu Hanifah yang
paling dulu. Dia turut menyebarkan mazhab Abu Hanifah dengan lidahnya. Dia
menjadi hakim pada zaman Abu Hanifah di kota
Basrah. Dia seorang yang sangat berpegang kepada qiyas, hingga Ahmad bin
Mu'addil al-Maliki mengejeknya dengan sebuah syair,
"Jika kamu berbohong dengan apa yang kamu katakan kepadaku
maka atasmu dosa Abu Hanifah atau Zufar
yang menggunakan qiyas secara sengaja
dan berpaling dari berpegang kepada khabar."
Satu hal yang aneh, bahwa para ulama yang mengukuhkan mazhab
Hanafi dan membukukannya bukanlah orang-orang yang bertaklid kepada Abu Hanifah
di dalam pandangan-pandangannya. Melainkan mereka adalah ulama-ulama yang
bebas, yang dalam beberapa hal sepakat dengan gurunya, Abu Hanifah, namun dalam
beberapa hal lain menentangnya. Oleh karena itu, kita mendapati kitab-kitab
mazhab Hanafi memuat empat pendapat di dalam satu masalah. Yaitu pendapat Abu
Hanifah, pendapat Abu Yusuf, pendapat Muhammad asy-Syaibani dan pendapat Zufar.
Allamah Khudhari berkata, "Sebagian kalangan Hanafi telah
berusaha menjadikan pendapat-pendapat mereka yang berbeda menjadi pendapat Abu
Hanifah. Namun ini merupakan kelalaian yang sangat akan sejarah para imain
mereka ini, dan bahkan kelalaian akan apa-apa yang tertulis di dalam
kitab-kitab mereka. Karena Abu Yusuf menyebutkan pendapat Abu Hanifah di dalam
kitabnya al-Kharaj, dan kemudian secara tegas menyebutkan pendapatnya dan
mengatakan bahwa dia berbeda pendapat dengannya. Terkadang dia mengakui
pendapat Abi Laila, setelah menyebutkan dua pendapat. Demikian juga Muhammad
asy-Syaibani, dia menceritakan di dalam kitabnya pendapat Imam Abu Hanifah,
pendapat Abu Yusuf, dan pendapatnya yang dengan jelas bertentangan dengannya.
Satu hal yang pasti bahwa Abu Yusuf dan Muhammad asy-Syaibani
menarik kembali pendapat Abu Hanifah manakala mereka tahu pendapat penduduk
Hijaz tentang hadis. Para peneliti sejarah
menemukan bahwa para imam mazhab Hanafi, yang telah kita sebutkan setelah Abu
Hanifah, mereka tidak bertaklid kepada Abu Hanifah."[169]
Singkatnya, sesungguhnya mazhab Hanafi tersebar dikarenakan usaha
para sahabatnya. Di samping itu, para penguasa yang dekat dengan Abu Yusuf
menolong mereka di dalam menyebarkan mazhab tersebut. Dengan demikian, maka
mazhab Hanafi didirikan oleh sekumpulan para fukaha yang masing-masing mereka
indefenden dengan dirinya, dan bukan berasal dari satu imam, yaitu Abu Hanifah.
Sehingga usaha para pengikut Hanafi untuk mengembalikan semua pendapat kepada
Abu Hanifah adalah sesuatu yang tidak dibolehkan.
Tikaman Pada Abu Hanifah.
Sebagian ulama yang adil yang hidup semasa dengannya, telah
menuduh Abu Hanifah dengan tuduhan zindiq dan telah keluar dari jalan yang
lurus, serta menyebutnya sebagai orang yang telah rusak akidahnya, telah keluar
dari ajaran agama dan menentang Kitab dan sunah. Mereka menikam keberagamaan
Abu Hanifah dan melucutinya dari iman."[170]
Telah sepakat Sufyan ats-Tsauri bersama Syarik, Hasan bin Shalih
dan Ibnu Abi Laila, maka mereka pun pergi kepada Abu Hanifah. Mereka berkata,
"Apa pendapat Anda tentang seseorang yang telah membunuh ayahnya, lalu
menikahi ibunya dan meminum khamar di atas kepala mayat ayahnya?"
Abu Hanifah menjawab, "Dia orang Mukmin." Maka berkata
Ibnu Abi Laila, "Saya tidak akan menerima kesaksian Anda selamanya."[171]
Ibrahim bin Basyar bercerita bahwa Sufyan bin 'Uyainah telah
berkata, "Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih berani terhadap
Allah dibandingkan Abu Hanifah."[172]
Diceritakan, bahwa Abi Yusuf pernah ditanya, "Apakah Abu
Hanifah seorang Murji'ah?"
Abu Yusuf menjawab, "Benar." Dia ditanya lagi,
"Apakah dia seorang Jahmiyyah?" Dia menjawab, "Benar." Abu
Yusuf ditanya lagi, "Bagaimana kedudukan Anda di sisinya?" Dia
menjawab, "Abu Hanifah hanya semata-mata seorang pengajar. Apa saja perkataannya
yang bagus, maka kami terima, dan apa saja perkataannya yang buruk, maka kami
tinggalkan."'[173]
Inilah pandangan orang yang paling dekat dengannya, yang sekaligus
sebagai murid dan penyebar mazhabnya. Apalagi pandangan orang lain.
Dari Walid bin Muslim yang berkata, "Malik bin Anas bertanya
kepadaku, 'Apakah nama Abu Hanifah disebut-sebut di negerimu?' Aku menjawab,
'Ya.' Malik bin Anas berkata, 'Negerimu tidak layak untuk didiami.'"[174]
Al-Awza'i berkata, "Kita tidak membenci Abu Hanifah karena
dia menggunakan qiyas, karena kita semua pun menggunakan qiyas. Kita membenci
Abu Hanifah dikarenakan manakala hadis datang kepadanya dia menentangnya."[175]
Ibnu Abdul Barr berkata, "Salah seorang yang menikam dan
mencelanya ialah Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Dia berkata di dalam kitabnya
adh-Dhu'afa wa al-Matrukun, 'Berkenaan dengan Abu Hanifah an-Nu'man bin Tsabit
al-Kufi, Na'im bin Hammad berkata, 'Yahya bin Sa'id dan Muadz bin Muadz berkata
kepada saya, 'Kami mendengar Sufyan ats-Tsauri berkata,
'Abu Hanifah telah diminta bertobat dari kekufuran sebanyak dua
kali.' Na'im al-Fazari berkata, 'Saya pernah bersama Sufyan bin 'Uyainah, lalu
dia mengkritik Abu Hanifah. Dia berkata, 'Abu Hanifah telah merobohkan Islam
sedikit demi sedikit. Dan tidak ada anak yang dilahirkan di dalam Islam yang
lebih jahat darinya.' Inilah yang disebutkan oleh Bukhari."[176]
Ibnu Jarud berkata di dalam kitabnya adh-Dhu’afa wa al-Matrukun,
"Sebagian besar perkataan Nu'man bin Tsabit adalah waham."
Dari Waqi'a al-Jarrah yang berkata, "Saya menemukan Abu
Hanifah menyalahi dua ratus hadis Rasulullah saw."
Tampak jelas bahwa pandangan mereka ini adalah pandangan objektif,
dan bukan merupakan makian dan celaan yang keluar dari batas-batas yang wajar,
melainkan merupakan kritikan-kritikan ilmiah terhadap Abu Hanifah. Dalam
kesempatan ini kita telah memejamkan mata dari omongan-omongan musuhnya dan
omongan-omongan para pengikutnya yang bersikap berlebihan. Kita mencukupkan
diri dengan pandangan para ulama mengenainya, dan ini sudah cukup mencemar-kan
pribadinya. Lalu, bagaimana mungkin dengan mudah dia bisa menjadi imam, padahal
di tengah-tengah umat ada orang yang lebih layak darinya, baik dari segi fikih,
ilmu dan keadilan?! Namun memang itulah yang dikehendaki politik .
Abu Hanifah Dan Imam Ja'far ash-Shadiq as
Abu Hanifah adalah seorang yang banyak berdebat dan kuat dalam
berdiskusi. Khalifah Manshur bermaksud memanfaatkannya untuk menghantam Imam
Ja'far ash-Shadiq as, yang harum namanya dan tinggi reputasinya. Khalifah
al-Mansur kesulitan mengawasi majlis-majlis ilmu yang ada di kota Kufah,
Mekkah, Madinah dan Qum, yang menyerupai cabang dari madrasah Imam Ja'far
ash-Shadiq as. Oleh karena itu, al-Manshur terpaksa menarik Imam Ja'far
ash-Shadiq as dari kota Madinah ke Kufah, dan meminta kepada Abu Hanifah untuk
menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang sulit, yang akan ditanyakan kepada Imam
Ja'far ash-Shadiq as di majlis terbuka, dengan maksud untuk menjatuhkan Imam
Ja'far ash-Shadiq as.
Abu Hanifah berkata, "Saya belum pernah melihat orang yang
lebih fakih dari Ja'far bin Muhammad ash-Shadiq. Ketika al-Manshur
mendatangkannya, al-Manshur menemui saya dan berkata, 'Wahai Abu Hanifah,
orang-orang telah terpikat dengan Ja'far bin Muhammad. Oleh karena itu,
siapkanlah pertanyaan-pertanyaan yang sulit baginya.' Maka saya pun menyiapkan
empat puluh pertanyaan baginya.
Kemudian Abu Ja'far al-Manshur memanggil saya, dan saya pun datang
menemuinya. Saya masuk ke majlisnya, sementara Ja'far bin Muhammad sedang duduk
di sebelah kanannya. Ketika saya memandang ke arahnya, saya menjadi tertegun
dengan wibawa Ja'far bin Muhammad, namun tidak tertegun sedikit pun dengan
wibawa Abu Ja'far al-Manshur. Saya mengucapkan salam kepada Abu Ja'far
al-Manshur, dan dia pun memberikan isyarat kepada saya, maka saya pun duduk. Kemudian
dia menoleh ke arah Ja'far bin Muhammad seraya berkata, 'Wahai Aba Abdillah,
ini adalah Abu Hanifah.'
Ja'far bin Muhammad menjawab, 'Ya, dia telah datang kepada kami',
seolah-olah dia tidak suka apa yang dikatakan oleh kaumnya bahwa dia mengetahui
seseorang tatkala melihatnya. Lalu al-Manshur menoleh ke arah saya dan berkata,
'Wahai Abu Hanifah, lontarkan pertanyaan-pertanyaanmu kepada Aba Abdillah.'
Maka saya pun melontarkan pertanyaan-pertanyaan saya kepadanya, dan dia
menjawabnya satu demi satu. Dia berkata dalam jawabannya, 'Kamu berpendapat
demikian, penduduk Madinah berpendapat demikian, sementara kami berpendapat
begini. Terkadang pendapat kamu sama dengan kami, terkadang sama dengan
pendapat mereka, dan terkadang pula tidak sama dengan keduanya.' Dia terus
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya lontarkan, hingga saya selesai
melontarkan empat puluh pertanyaan." Kemudian Abu Hanifah berkata,
"Bukankah kita telah mengatakan bahwa manusia yang paling pandai adalah
manusia yang tahu akan perbedaan-perbedaan pendapat manusia."[178]
Imam Ja'far ash-Shadiq as melarang Abu Hanifah menggunakan qiyas,
dan sangat keras mengingkarinya. Imam ja'far ash-Shadiq as berkata kepada Abu
Hanifah, "Telah sampai berita kepada saya bahwa kamu melakukan qiyas
terhadap agama dengan pikiranmu. Jangan kamu lakukan itu, karena orang yang
pertama kali menggunakan qiyas adalah Iblis."[179]
Abu Na'im berkata kepada kami, "Sesungguhnya Abu Hanifah, Abdullah
bin Ubay Syibrimah dan Ibnu Abi Laila datang menemui Ja'far bin Muhammad
ash-Shadiq. Imam Ja'far ash-Shadiq as bertanya kepada Ibnu Abi Laila,
"Siapa orang yang bersama kamu ini?"
Ibnu Abi Laila menjawab, "Dia orang yang mempunyai pandangan
dan pengaruh di dalam agama."
Imam Ja'far ash-Shadiq as bertanya kembali, "Sepertinya dia
mengqiyaskan urusan agama dengan menggunakan pikirannya?"
Ibnu Abi Laila menjawab, "Benar."
Imam Ja'far ash-Shadiq as berkata kepada Abu Hanifah, "Siapa
namamu?"
Abu Hanifah menjawab, "Nu'man."
Imam Ja'far ash-Shadiq as berkata lagi, "Saya tidak melihat
kamu sedang membaguskan sesuatu." Kemudian Imam Ja'far ash-Shadiq as
melontarkan beberapa pertanyaan kepada Abu Hanifah, namun Abu Hanifah tidak
bisa menjawabnya.
Maka Imam Ja'far ash-Shadiq as pun menjawab sendiri
pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Kemudian Imam Ja'far ash-Shadiq as berkata, "Ya Nu'man,
bapakku telah berkata kepadaku, 'Dari kakekku yang mengatakan bahwa Rasulullah
saw telah bersabda, 'Orang yang pertama kali mengqiyaskan urusan agama dengan
menggunakan ra'yu adalah Iblis.'
Allah SWT telah berkata kepadanya, 'Sujudlah kainu kepada Adam'
Iblis menjawab, 'Saya lebih baik darinya. Engkau ciptakan aku dari api
sedangkan Engkau ciptakan dia dari tanah.' Barangsiapa yang meng'iyaskan agama
dengan pikirannya maka pada hari kiamat Allah SWT akan mengumpulkannya dengan
Iblis. Karena dia termasuk pengikutnya.
Fakhrurrozi berkata, "Sungguh mengherankan, Abu Hanifah
dipercayai sebagai ahli qiyas, dan para musuhnya mengecamnya dikarenakan banyak
menggunakan qiyas, padahal belum pernah diceritakan oleh para sahabatnya bahwa
Abu Hanifah telah menulis satu lembar kertas saja untuk membuktikan qiyas,
serta tidak pernah disebutkan bahwa dia menyebutkan sebuah kritikan di dalam
pernyataannya, apalagi menyebutkan sebuah hujjah. Dia juga tidak pernah
menjawab dalil-dalil lawannya yang mengingkari qiyas. Bahkan, orang yang
pertama kali berbicara dalam masalah ini, dan mengemukakan ber-bagai
argumentasi mengenainya adalah asy-Syafi’i."[180]
Oleh karena itu, kita menemukan Imam Ja'far ash-Shadiq as
mengarahkan umat kepada jalan yang benar di dalam meng-istinbath hukum-hukum
syariat, terutama setelah merajalelanya penggunaan qiyas sebagai salah satu
sumber penetapan hukum. Maka keluar (lulus)lah beribu-ribu ulama mujtahid dari
madrasah beliau, yang salah seorangnya adalah Abu Hanifah, yang telah
mencurahkan waktunya untuk belajar kepada Imam Ja'far Shadiq as selama dua
tahun di Madinah. Berkenaan dengan waktu dua tahun belajarnya itu Abu Hanifah
berkata, "Kalaulah tidak ada dua tahun itu maka celaka lah Nu'man."
Orang-orang yang hadir di majlis Imam Ja'far ash-Shadiq as tidak
berkata kepada beliau kecuali dengan mengawalinya dengan kata-kata, "Aku
jadi tebusanmu, wahai Putra Rasulullah."[181]
Abdul Halim al-Janadi memberikan komentar mengenai bergurunya Abu
Hanifah kepada Imam Ja'far ash-Shadiq as,
"Jika merupakan kemuliaan bagi Malik dia menjadi guru
terbesar bagi Syafi’i, atau kemuliaan bagi Syafi’i dia menjadi guru terbesar
bagi Ibnu Hanbal, atau kemuliaan bagi guru keduanya ini (Abu Hanifah —penerj.)
manakala keduanya belajar kepadanya, maka bergurunya dia (Abu Hanifah) kepada
Imam Ja'far ash-Shadiq telah memberikan kemuliaan kepada fikih mazhab yang
empat. Adapun kemuliaan Imam Ja'far ash-Shadiq tidak dapat berkurang atau
bertambah. Imam (Ja'far ash-Shadiq) adalah penyampai ilmu kakeknya saw bagi
seluruh manusia. Keimamahan adalah kedudukannya, dan bergurunya para Imam Ahlus
Sunnah kepadanya adalah merupakan kemuliaan bagi mereka, disebabkan mereka
mendekati manusia pemilik kedudukan."[182]
Sungguh, duduk bersama Imam Ja'far ash-Shadiq as adalah me-rupakan
kemuliaan yang membanggakan bagi Abu Hanifah. Karena dia alim Ahlul Bait dan
tambang hikmah. Musuh-musuhnya mengakui keutamaannya. Al-Manshur berkomentar
tentang Imam Ja'far ash-Shadiq as, "Cucuk (tulang kecil) yang mengganggu
tenggorokanku ini adalah manusia terpandai di zamannya, dan dia termasuk orang
yang menginginkan akhirat dan tidak menginginkan dunia."
Yang menjadi persoalan bukan hanya sekedar pengakuan akan
keutamaannya, atau menganggap mulia duduk bersama dengannya, melainkan yang
terpenting ialah tunduk dan patuh kepada perintahnya. Karena ketaatan kepadanya
merupakan kewajiban yang telah Allah SWT wajibkan atas setiap Muslim,
sebagaimana tertetapkan di dalam hadis Tsaqalain, "Kitab Allah dan 'ltrah
Ahlul Baitku". Namun yang sangat disayangkan ialah bahwa Abu Hanifah tidak
menjadi orang yang tunduk dan taat kepadanya, melainkan menyendiri dengan diri-
nya sendiri, memberi fatwa berdasarkan pikirannya dan melakukan qiyas di dalam
agama; dan karena itu dia menentang hadis-hadis Rasulullah saw dan tidak
menerimanya kecuali hanya tujuh belas hadis saja.
Saya akan akhiri pembicaraan ini dengan perdebatan yang terjadi
antara Imam Ja'far ash-Shadiq as dengan Abu Hanifah,
Imam Ja'far ash-Shadiq as bertanya kepada Abu Hanifah, "Anda
siapa?"
"Abu Hanifah", jawab Abu Hanifah.
"Anda mufti Irak", Imam Ja'far ash-Shadiq as bertanya
lagi.
Abu Hanifah menjawab, "Ya."
"Dengan apa Anda memberi fatwa kepada mereka?", tanya
Imam Ja'far ash-Shadiq.
Abu Hanifah menjawab, "Dengan Kitab Allah."
"Jadi, Anda tahu tentang kitab Allah? nasikh mansukhnya! Dan
juga muhkam mutasyabihnya”, tanya Imam Ja'far ash-Shadiq as.
Abu Hanifah menjawab, "Ya."
Imam Ja'far ash-Shadiq as berkata, "Kalau begitu, beritahukan
aku tentang firman Allah SWT yang berbunyi, 'Dan Kami tetapkan antara
negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan. Berjalanlah kamu di kota-kota itu
pada malam dan siang hari dengan aman.' Topik apakah itu?"
Abu Hanifah menjawab, "Jarak antara Mekkah dan Madinah."
Mendengar itu Imam Ja'far ash-Shadiq as menoleh ke kanan dan ke
kiri seraya berkata, "Demi Allah, aku memohon dengan sangat kepada Anda,
apakah Anda semua bepergian di antara jarak Mekkah dan Madinah dalam keadaan
mengkhawatirkan diri Anda dari pembunuhan dan harta Anda dari pencurian?"
Dengan serempak mereka menjawab, "Ya."
Kemudian Imam Ja'far ash-Shadiq as kembali menoleh kepada Abu
Hanifah, "Celaka engkau, wahai Abu Hanifah. Sesungguhnya Allah SWT tidak
berkata kecuali kebenaran."
Maka Abu Hanifah pun terdiam untuk beberapa saat, lalu dia menarik
ucapannya sebelumnya dengan mengatakan, "Saya tidak mempunyai ilmu tentang
Kitab Allah."
Dia mengemukakan alasan baru, "Sesungguhnya saya adalah
seorang ahli qiyas."
Imam Ja'far ash-Shadiq as berkata, "Lihatlah kepada qiyas
Anda. Jika Anda memang benar-benar orang yang suka qiyas, mana yang lebih besar
dosanya di sisi Allah, apakah membunuh atau berzina?"
Abu Hanifah menjawab, "Tentu membunuh lebih besar dosanya di
sisi Allah."
Imam Ja'far ash-Shadiq as bertanya lebih lanjut, "Kenapa di
dalam pembunuhan Allah SWT rida dengan dua saksi, sedangkan di dalam perzinahan
Allah SWT tidak rida kecuali dengan adanya empat saksi? Apakah Anda menggunakan
qiyas di sini?"
Abu Hanifah menjawab, "Tidak."
"Bagus", kata Imam Ja'far as-Shadiq as.
Imam Ja'far ash-Shadiq as bertanya lagi, "Mana yang lebih
utama, apakah salat atau puasa?"
Abu Hanifah menjawab, "Salat, tentu lebih utama."
Imam Ja'far as berkata, "Berdasarkan perkataan Anda, maka
orang yang haid harus meng-qadha salat yang ditinggalkannya selama haid,
sedangkan puasa tidak. Padahal Allah SWT telah mewajibkan meng-qadha puasa dan
tidak meng-qadha salat." Pertanyaan ini juga tidak dijawab oleh Abu
Hanifah.
Imam Ja'far ash-Shadiq ad berkata lebih lanjut, "Mana yang
lebih najis, apakah air kencing atau air mani?"
Abu Hanifah menjawab, "Air kencing lebih najis."
Imam Ja'far ash-Shadiq as berkata, "Di sini, qiyas Anda harus
mengatakan bahwa seseorang wajib mandi karena air kencing, dan tidak wajib
mandi karena air mani. Padahal Allah SWT telah mewajibkan seseorang untuk mandi
karena air mani, dan tidak karena air kencing. Apakah kamu menggunakan qiyas di
sini?"
Abu Hanifah terdiam, dan kemudian dia berkata, "Saya adalah
ahli ra'yu."
Imam Ja'far ash-Shadiq as bertanya lagi kepadanya,
"Bagaimana pendapat kamu tentang seorang laki-laki yang
mempunyai seorang budak. Lalu laki-laki itu menikah dan sekaligus menikahkan
budaknya pada malam yang sama. Kemudian, keduanya menggauli masing-masing
istrinya pada malam yang sama. Selanjutnya, keduanya melakukan perjalanan dan
meninggalkan istri masing-masing di satu rumah; lalu masing-masing istrinya
melahirkan seorang anak. Kemudian rumah itu runtuh menimpa mereka dan membunuh
kedua wanita tersebut, sementara kedua anak itu selamat. Sekarang, menurut
pendapatmu, mana dari kedua anak itu yang berkedudukan sebagai tuan dan mana yang
berkedudukan sebagai budak? Mana yang sebagai pewaris dan mana yang
diwarisi?"
Untuk ketiga kalinya Abu Hanifah terdiam tidak dapat menjawab
pertanyaan.
2. IMAM MALIK BIN ANAS
Dia adalah Abu Abdullah, Malik bin Anas bin Malik, dilahirkan pada
tahun 93 Hijrah, menurut sebagian pendapat, dan meninggal dunia pada tahun 179
Hijrah, menurut sebagian pendapat. Masa Malik bersinar dengan cahaya ilmu, dan
kota Madinah menjadi kota yang didatangi oleh para penuntut ilmu yang berasal
dari berbagai pelosok penjuru negeri Islam. Madrasah Madinah mempunyai
kelebihan di dalam berpegang kepada hadis, dan memerangi madrasah ra'yu yang
terletak di kota Kufah, di bawah kepemimpinan Abu Hanifah. Inilah salah satu
yang menjadi penyebab timbulnya perselisihan dan pertengkaran di antara
keduanya, hingga telah keluar dari batas-batas keilmuan dan objektifitas.
Di samping kedua madrasah ini terdapat juga madrasah lain, yaitu
madrasah Imam Ja'far ash-Shadiq as. Sebuah madrasah yang dipenuhi oleh para
para ulama dan utusan dari berbagai penjuru dunia Islam, yang menanti-nanti
kesempatan untuk bisa berjumpa dengan para Imam Ahlul Bait as. Imam Ja'far
ash-Shadiq as adalah orang yang paling sedikit mendapat tekanan dari pihak
penguasa. Malik telah turut bergabung dengan Madrasah Imam ja'far ash-Shadiq as
untuk beberapa waktu, dan Oleh karena itu, Imam Ja'far ash-Shadiq as dianggap
guru terbesar Malik. Kemudian Malik berguru kepada beberapa orang guru, seperti
Amir bin Abdullah bin Zubair bin al-Awwam, Zaid bin Aslam, Sa'id al-Maqbari, Abu
Hazim Shafwan bin Aslam dan yang lainnya. Namun Malik lebih mengutamakan untuk
mengambil dari Wahab bin Hurmuz, Nafi' (bekas budak Ibnu Umar), Ibnu Syihab
az-Zuhri, Rabi'ah ar-Ra'yu dan Abu Zanad. Malik mengalami kemajuan, sehingga
madrasah ahlul hadis berkembang pesat. Namun, dengan segera politik ikut campur
untuk membantu madrasah ra'yu dan memusuhi madrasah ahlul hadis. Oleh karena
itu, Malik menghadapi berbagai tekanan dari pemerintah. Dia dilarang untuk
berbicara, dan bahkan dia pernah dicambuk dikarenakan fatwa yang dikeluarkannya
tidak sejalan dengan keinginan pemerintah. Itu terjadi pada masa kekuasaan
Ja'far bin Sulaiman, tahun 146 Hijrah. Dia digunduli, dibentangkan dan dipukul
dengan cambuk hingga terlepas tulang bahunya.
Ibrahim bin Jamad berkata, "Saya pernah melihat Malik,
apabila dia dibangungkan dari tempat duduknya dia membawa tangan kanannya
dengan tangan kirinya atau tangan kirinya dengan tangan kanannya."
Namun, sangat mengherankan sekali, hanya dalam jangka waktu yang
singkat Malik berubah menjadi orang yang sangat diutamakan dan dihormati di
dalam pemerintahan, sehingga para gubernur sampai segan dan takut kepadanya.
Yang menjadi pertanyaan ialah, apa yang terjadi pada diri Malik sehingga
pemerintah menyukainya dan meninggikan kedudukannya sampai ke tingkat ini?
Apakah dahulu pemerintah membencinya karena Malik mempunyai
pandangan tertentu, dan sekarang Malik menarik diri dari pandangannya itu?
Atau Malik tetap pada pendapatnya, namun sekarang pemerintah
bersikap toleran terhadapnya?
Atau, apakah ada sesuatu yang lain?
Ini merupakan pertanyaan besar yang mengganggu benak orang-orang
yang mempelajari sejarah Imam Malik, di mana mereka menyaksikan perubahan
hubungan di antara Malik dengan pemerintah. Yaitu dari keadaan tegang dan
bermusuhan kepada keadaan di mana al-Manshur dan Malik saling memberikan
perhatian dan sanjungan kepada satu sama lain.
Al-Manshur berkata kepada Malik, "Demi Allah, kamu adalah
manusia yang paling berilmu. Jika kamu menghendaki, niscaya aku akan tulis
perkataanmu tidak ubahnya sebagaimana mushaf-mushaf kitab suci ditulis, dan aku
akan kirimkan ke seluruh pelosok negeri, serta aku akan paksa mereka untuk
menerimanya."
Dari sini tampak jelas, bahwa kemajuan mazhab Imam Malik terjadi
manakala mendapat rida dari sultan. Oleh karena itu, sesungguhnya yang menjadi
masalah bukanlah masalah paling berilmu dan bukan paling berilmu, melainkan
masalah Malik, Sultan dan propaganda. Rakyat digiring untuk bertaklid kepada
mazhab Malik, baik dengan suka rela maupun terpaksa. Inilah yang dikatakan oleh
Rabi'ah ar-Ra'yu —guru Malik dan orang yang lebih berilmu darinya— tatkala dia
mengatakan, "Tidakkah kamu tahu, bahwa bantuan sedikit saja dari
pemerintah merupakan sebaik-baiknya pembawa ilmu."[183]
Ketika Malik memperoleh keridaan ini dari Sultan Malik berka-ta,
"Saya mendapati al-Manshur sebagai orang yang paling mengetahui Kitab
Allah, Rasul-Nya dan peninggalan-peninggalannya yang telah lalu."
Subhanallah\\ Ilmu apa yang dimiliki oleh al-Manshur, sehingga dia
menjadi orang yang paling tahu tentang Kitab Allah SWT dan sunah Rasul-Nya
saw?!
Perkataannya itu tidak lebih dari perbuatan menjilat, dan untuk
mendekatkan diri kepada raja dan sultan.
Adapun yang menjadi alasan kenapa sebelumnya Malik dikucilkan,
sejarah tidak pernah menceritakan kepada kita bahwa itu dikarenakan Malik
berani menentang al-Manshur atau mengkritik kebijaksanaannya. Sebagaimana yang
telah dilakukan oleh Abdullah bin Marzuq, tatakala dia berjumpa dengan Abu
Ja'far al-Manshur dalam ibadah thawaf. Ketika itu manusia menyingkir darinya,
namun Abdullah bin Marzuq berkata kepadanya, "Siapa yang menjadikanmu
lebih berhak atas Baitullah ini dibandingkan manusia yang lain, sehingga kamu
menghalangi dan menyingkirkan mereka dari-Nya.?"
Abu Ja'far al-Manshur melihat ke arah orang yang berkata demikian,
dan dia pun mengenalnya. Kemudian Abu Ja'far berkata, "Wahai Abdullah bin
Marzuq, siapa yang menjadikanmu berani berkata demikian, dan siapa yang
mendatangkanmu ke sini?"
Abdullah bin Marzuq berkata, "Apa yan hendak kamu perbuat?
Apakah di tanganmu ada bahaya dan manfaat? Demi Allah, saya tidak takut akan
bahayamu dan tidak mengharapkan manfaatmu, sehingga Allah SWT mengizinkan yang
demikian itu terjadi padaku."
Abu Ja'far al-Manshur berkata, "Kamu telah menghalalkan
nyawamu sendiri dan telah mencelakakannya."
Abdullah bin Marzuq berkata, "Ya Allah, jika di tangan Abu
Ja'far terdapat bahaya, maka janganlah Engkau tahan bahaya itu sedikit pun
kecuali Engkau timpakan kepadaku; dan jika di tangannya terdapat manfaatku,
maka putuslah seluruh manfaatnya dariku. Di tangan-Mulah ya Allah, segala
sesuatu; dan Engkau adalah pemilik segala sesuatu."
Maka Abu Ja'far memerintahkan supaya Abdullah bin Marzuq
ditangkap, lalu dia di bawa ke Baghdad, dipenjarakan, dan kemudian dilepaskan.[184]
Oleh karena itu, kita mendapati Malik menjauh dari Imam Ja'far
ash-Shadiq as, dikarenakan Imam Ja'far ash-Shadiq as tidak setuju dengan
pandangan-pandangannya yang berusaha mendekati sultan.
Dalam pandangan saya sendiri, bahwa yang menjadi penyebab utama
marahnya penguasa terhadap Malik pada masa-masa permulaan adalah karena
penguasa melihat Malik bersahabat dengan Imam Ja'far ash-Shadiq as, dan issu
yang beredar pada waktu itu bahwa orang-orang Arab hendak menuntut balas bagi
Ahlul Bait, maka Oleh karena itu, kita mendapati pemerintah lebih mendekati
mawali (bekas-bekas budak yang telah dibebaskan) dan membantu Abu Hanifah yang
ada di Kufah. Ketika masalah ini telah sirna, maka penguasa tidak melihat jalan
lain kecuali meninggikan nama Malik dan memunculkannya sebagai pemegang
otoritas agama bagi negara, sehingga Malik mem-benarkan penamaan negara pada
saat itu dengan nama "negara Islam". Oleh karena itu, kita mendapati
kebijaksanaan para raja dengan tegas menyatakan kemampuan dan kompetensi Malik,
yang mana hal itu belum pernah dialamatkan kepada alim-alim sebelumnya. Abu
Ja'far al-Manshur berkata kepada Malik, "Jika Anda ragu terhadap petugas
Madinah, petugas Mekkah, atau salah seorang dari para petugas Hijaz, yang
berkenaan dengan diri Anda atau yang lain, atau yang berkaitan dengan buruknya
perlakuan mereka terhadap rakyat, maka laporkanlah hal itu kepadaku, supaya aku
berikan kepada mereka apa yang seharusnya mereka terima."
Dengan begitu maka kedudukan Malik menjadi sedemikian tinggi, dan
para gubernur takut kepadanya dikarenakan takut kepada al-Manshur. Hal ini
sebagaimana yang diceritakan oleh asy-Syafi’i tatkala dia datang ke Mekkah
dengan membawa surat dari gubernur Mekkah untuk gubernur Madinah, supaya
disampaikan kepada Malik. Maka gubernur Madinah berkata, "Hai pemuda,
berjalan kaki dari kota Mekkah ke kota Madinah dengan bertelanjang kaki, itu
lebih ringan bagiku dibandingkan aku harus berdiri di depan pintu rumah Malik.
Saya tidak melihat kehinaan sehingga saya berdiri di depan pintu Rumah
Malik."[185]
Ketika datang era al-Mahdi, setelah era al-Manshur, kedudukan
Malik semakin bertambah tinggi dan dia semakin dekat dengan penguasa. Al-Mahdi
amat meninggikan dan menghormatinya serta mengirimkan berbagai hadiah
kepadanya. Kedudukan Malik semakin bertambah cemerlang di mata masyarakat
tatkala datang era Harun al-Rasyid. Harus ar-Rasyid tetap mempertahankan
kedudukan Malik dan amat mengagungkannya, sehingga dengan begitu kewibawaan
Malik terpatri pada diri masyarakat.
Demikianlah politik. Dia meninggikan siapa yang ingin
ditinggikannya, dan melupakan orang yang ingin dilupakannya. Setelah semua ini,
apa lagi yang akan menghalangi mazhab Malik untuk bisa tersebar, sementara dia
telah mendapat keridaan dari penguasa?
Allah bagimu, wahai tuanku, Imam Ja'far bin Muhammad ash-Shadiq
as.
Mereka mengetahui bahwa kebenaran milikmu dan ada padamu, serta
tidak ada yang berhak atas keimamahan selainmu.
Bukankah Malik telah berkata, "Belum pernah mata terlihat
oleh melihat, terdengar oleh telinga dan terlintas di dalam hati, ada orang
yang lebih utama dari Ja'far ash-Shadiq, baik dari segi keutamaan, keilmuan,
ibadah dan kewarakan."[186]
Sedemikian jelasnya keutamaan beliau, namun beliau dan para
Syiahnya tidak pernah menerima apa-apa kecuali tekanan, ancaman, pembunuhan dan
pengusiran, sebagaimana yang disaksikan oleh sejarah Syi'ah, mulai dari
wafatnya Rasulullah saw hingga terus se-panjang sejarahnya.
Namun saya bertanya-tanya sebagaimana yang ditanyakan oleh penulis
kitab al-Imam ash-Shadiq Mu 'allim al-Insan manakala dia berkata, "Saya
tidak bertanya kenapa kaum Muslimin terpecah menjadi Sunah dan Syi'ah. Tidak, saya
tidak bertanya tentang hal itu. Namun saya bertanya dengan penuh keheranan,
bagaimana Syi'ah dapat tetap kokoh hingga sekarang, meski pun begitu kerasnya
sikap ta'assub (fanatik) yang ditujukan kepadanya, yang berwujud dalam bentuk
ancaman pemikiran dan fisik, meski pun dengan segala usaha yang dikerahkan
pihak lawan untuk menghapus ajaran-ajaran kebenaran dan mencabik-cabik
Islam?!"[187]
Bukankah merupakan sebuah kezaliman mendahulukan mazhab-mazhab
lain atas mazhab Ja'far bin Muhammad ash-Shadiq as?! Bukan hanya itu, bahkan
Syi'ah tidak dikenal hingga sekarang, meski pun di kalangan lapisan masyarakat
yang terpelajar.
Saya ingat, suatu hari dosen kami di kampus mengajarkan fikih
Maliki. Sekelompok mahasiswa memprotesnya, "Kenapa Anda tidak mengajarkan
kami fikih empat mazhab?" Dosen kami itu menjawab, "Saya seorang
bermazhab Maliki, dan seluruh penduduk Sudan bermazhab Maliki, maka barangsiapa
di antara kamu yang bukan bermazhab Maliki, saya siap mengajarkan mazhabnya
secara khusus." Saya berkata kepadanya, "Saya bukan Maliki, apakah
Anda akan mengajarkan mazahab saya?" Dosen kami itu menjawab, "Tentu.
Apa mazhab kamu? Apakah kamu bermazhab Syafi’i?"
Saya jawab, "Bukan."
"Apakah Hanafi?", tanya dia.
Saya jawab, "Bukan."
Dia bertanya lagi, "Oh, kalau begitu Hanbali?"
Saya jawab, "Bukan."
Tampak keheranan tergambar di wajahnya. Dia berkata, "Jadi,
siapa yang kamu ikuti?"
Saya menjawab, "Ja'far bin Muhammad ash-Shadiq as."
Dia bertanya, "Siapa Ja'far itu?"
Saya jawab, "Guru Malik dan Abu Hanifah, dan termasuk dari
keturunan Ahlul Bait. Mazhabnya terkenal dengan nama mazhab Ja'fari."
Dosen kami itu berkata, "Saya belum pernah mendengar nama ini
sebelumnya."
Saya katakan, "Kami ini Syi'ah."
Dia berkata, "Aku berlindung kepada Allah dari Syi'ah",
dan kemudian dia keluar.
Barangsiapa yang memiliki kemudahan dan propaganda sultan, maka
dia akan sampai kepada bintang kartika. Malik sendiri tidak tamak kepada
kedudukan ini, karena dia tahu masih banyak orang yang lebih layak darinya
untuk menduduki kedudukan ini. Akan tetapi, penguasa menginginkannya menjadi
marji' umum (pemegang otoritas tunggal) di dalam fatwa. Al-Mansur telah
memerintahkannya untuk menulis sebuah kitab yang akan dipaksakan kepada
masyarakat secara paksa. Malik tidak bersedia, namun al-Mansur berkata
kepadanya, "Tulis kitab itu, sejak saat ini tidak ada seorang pun yang
lebih pandai dari kamu."[188] Maka Malik pun menulis kitab al-Muwaththa,
dan kemudian para propagandis sultan mengumumkan pada hari ibadah haji,
"Sejak sekarang tidak boleh ada yang memberi fatwa selain Malik."
Tersebarnya Mazhab Maliki
Mazhab Maliki tersebar dengan perantaraan para hakim dan para
raja. Di Andalus, raja memaksa rakyatnya untuk mengikuti mazhab Maliki,
manakala sampai berita kepadanya bahwa Malik memujinya tatkala ditanya tentang
perilaku raja Andalus. Malik mengatakan sesuatu yang menyenangkan raja Andalus,
"Kita memohon kepada Allah supaya Dia menghiasi negeri kita dengan
rajamu." Ketika ucapan Malik itu sampai kepada raja, maka raja pun memaksa
rakyatnya untuk mengikuti mazhabnya. Raja meninggalkan mazhab al-Awza'i, dan
kemudian masyarakat pun berbondong-bondong mengikuti rajanya.
Demikian juga mazhab Maliki tersebar di Afrika dengan perantaraan
hakim Sahnun. Al-Muqrizi berkata, "Manakala al-Mu'iz bin Badis memerintah,
dia memaksa seluruh rakyat Afrika untuk berpegang kepada mazhab Malik dan
meninggalkan mazhab yang lainnya. Maka seluruh penduduk Afrika dan Andalus
merujuk kepada mazhabnya, karena mengharapkan apa yang ada pada sultan dan
gemar terhadap dunia. Oleh karena jabatan kehakiman dan jabatan mufti yang ada
diseluruh kota tidak dapat diduduki kecuali oleh orang yang bermazhab Maliki,
maka masyarakat umum mau tidak mau harus merujuk kepada hukum-hukum dan
fatwa-fatwa mereka. Sehingga dengan begitu mazhab ini pun menjadi tersebar dan
mendapat penerimaan. Namun ini bukan karena kualifikasi yang dimilikinya,
melainkan semata-mata karena kehendak penguasa yang memaksa masyarakat untuk
menerimanya."[189]
Demikian juga mazhab Maliki tersebar di Maroko pada saat Ali bin
Yusuf bin Tasyifin memerintah di kerajaan Bani Tasyifin. Ali bin Yusuf bin
Tasyifin memuliakan para fukaha dan mendekati mereka. Namun dia tidak mendekati
kecuali orang yang bermazhab Maliki. Maka orang-orang pun berlomba-lomba di
dalam mempelajari mazhab Maliki. Ketika itu buku-buku mazhab Maliki menjadi
laris, mereka mengamalkannya, dan meninggalkan yang lainnya. Bahkan, sedikit
sekali perhatian orang kepada Kitab Allah dan sunah Nabi-Nya pada saat itu.
Demikianlah politik mempermainkan agama kaum Muslimin, sehingga
dialah sesungguhnya yang berkuasa atas keyakinan dan ibadah mereka. Masyarakat
saling mewariskan mazhab-mazhab yang dipaksakan di antara mereka, dan mereka
menerimanya dengan tanpa perdebatan atau pembahasan. Padahal yang layak ialah
masing-masing generasi bersikap merdeka di dalam mengenal suatu mazhab, dan
tidak mengikutinya secara membuta.
Ibnu Hazm berkata, "Ada dua mazhab yang pada awal mulanya
tersebar dengan perantaraan raja dan sultan:
Yang pertama, mazhab Abu Hanifah. Karena, pada saat Abu Yusuf
menduduki posisi kehakiman dia tidak mengangkat seorang hakim kecuali dari
kalangan sahabatnya yang semazhab dengannya.
Yang kedua, mazhab Malik yang ada di negeri kita Andalus. Yahya
bin Yahya adalah seorang yang mempunyai kedudukan yang kuat di sisi raja, dan
mendapat pengakuan di dalam jabatan kehakiman. Raja tidak akan mengangkat
seorang hakim diseluruh pelosok negeri Andalus kecuali berdasarkan musyawarah
dan pilihannya, dan jabatan kehakiman tidak akan diserahkan kecuali kepada para
sahabatnya."[190]
Tikaman Terhadap Malik.
Dalam hal ini kita akan mengabaikan perkataan orang-orang yang fanatik
kepadanya, dan begitu juga kita akan meninggalkan keutamaan-keutamaan yang
diberikan sultan kepadanya. Karena yang demikian ini tidak bisa menjadi ukuran
yang nyata untuk mengenal pribadi Malik. Berikut ini saya kemukakan satu contoh
darinya, "Sesungguhnya Qais melihat Rasulullah saw berjalan di sebuah
jalan, sementara Abu Bakar berada di belakangnya, lalu Umar di belakang Abu
Bakar, dan Malik di belakang Umar, serta Sahnun[191] di belakang Malik."[192]
Dan beberapa ratus contoh lainnya, yang kesemuanya merupakan
hal-hal yang sepele dan keutamaan-keutamaan buatan yang tidak layak untuk
didiskusikan.
Di sini, saya mencukupkan diri dengan ucapan-ucapan para ulama dan
sebagian orang yang hidup sezaman dengan Malik, yang merupakan pandangan yang
indefenden yang tidak melewati batas-batas kritik ilmiah.
Syafi’i berkata, "Singa lebih fakih dari Malik, hanya saja
para sahabatnya tidak menguasainya." Sa'id bin Ayub berkata, "Jika
seandainya Singa dan Malik berkumpul, maka Malik akan lebih bisu dari singa,
dan singa akan menjual Malik kepada siapa saja yang diinginkannya."[193]
Ali bin al-Madini bertanya kepada Yahya bin Sa'id, "Pendapat
siapakah yang lebih kamu sukai, pendapat Malik atau pendapat Sufyan?"
Yahya bin Sa'id menjawab, "Tentu tidak diragukan pendapat
Sufyan yang lebih aku sukai." Yahya melanjutkan, "Sufyan berada di
atas Malik dalam segala hal."
Yahya bin Mu'in berkata, "Saya mendengar Yahya bin Sa'id
berkata, "Sufyan lebih aku sukai dibandingkan Malik dalam segala
hal."[194]
Sufyan ats-Tsauri berkata, "Dia —yakni Malik— tidak mempunyai
hapalan."
Ibnu Abdul Barr berkata, "Ibnu Dzubaib telah mengatakan
sesuatu yang kasar dan keras tentang Malik, yang saya enggan untuk
menyebutkannya."[195]
Ibrahim bin Sa'ad telah berkata tentang Malik sambil mengutuknya.
Demikian juga Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, Ibnu Ubay Yahya, Muhammad bin
Ishaq al-Waqidi dan Ibnu Abi Zanad telah menjelek-jelekkan beberapa hal dari
mazhabnya.
Salmah bin Sulaiman berkata kepada Ibnu Mubaraak, "Kamu
pernah menulis sesuatu tentang pendapat Abu Hanifah, namun kamu belum pernah
menulis sesuatu tentang pendapat Malik?"
Ibnu Mubarak menjawab, "Saya tidak melihatnya sebagai seorang
yang berilmu."[196]
Ibnu Abdul Barr berkata tentang Malik, "Mereka
menjelek-jelekkan beberapa hal dari mazhabnya." Abdullah bin Idris
berkata, "Muhammad bin Ishaq datang kepada kami, lalu kami menyebutkan
sesuatu tentang Malik, maka kemudian dia berkata, 'Kemarikan ilmunya.'"
Yahya bin Salih berkata, "Ibnu Aktsam telah berkata kepada saya, 'Kamu
telah melihat Malik dan mendengar darinya, dan kamu juga telah menyertai
Muhammad bin Hasan. Lalu, mana yang lebih fakih dari keduanya?' Saya jawab,
'Muhammad bin Hasan, pada apa yang dia ambil untuk dirinya, lebih fakih dari
Malik.'"[197]
Demikian juga Muhammad bin Abi Hatim berkata, "Dari Zar'ah,
dari Yahya bin Bakir yang berkata, 'Singa lebih fakih dari Malik, hanya saja
Malik mempunyai langkah."[198]
Ahmad bin Hanbal berkata, "Abu Dzu'aib serupa dengan Sa'id
bin Musib. Dia lebih utama dari Malik. Hanya saja Malik amat dibersihkan dan
dipuji-puji oleh orang-orangnya."[199]
Dari semua perkataan ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa tidak
ada kelebih-utamaan Malik atas ulama yang lain, dan dia tidak memiliki
kelebihan yang menjadikannya layak untuk menduduki posisi marji'iyyah (tempat
rujukan) di dalam fikih. Namun, politik tidak memandang kepada keahlian, dia
mempunyai cara penilaian khusus yang didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan
politis dan kepentingan. Seorang fakih yang tidak bertentangan dengan
kebijakan-kebijaksannya maka dialah yang wajib diikuti oleh kaum Muslimin, dan
di tangannyalah hak otoritas pemberian fatwa.
3. IMAM SYAFI’I
Dia adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin
Syafi'. Dia dilahirkan pada tahun 150 Hijrah, dan ada yang mengatakan dia
dilahirkan pada hari wafatnya Abu Hanifah. Orang-orang berbeda pendapat
mengenai tempat kelahirannya, antara Ghazzah, 'Asqalan dan Yaman, dan pendapat lemah
mengatakan bahwa dia dilahirkan di Mekkah. Dia meninggal dunia di Mesir pada
tahun 204 Hijrah.
Ketika kecil dia hijrah bersama ibunya ke kota Mekkah. Di Mekkah
dia belajar Al-Qur'an, sehingga hafal Al-Qur'an. Kemudian dia belajar menulis,
dan setelah itu pergi ke pedalaman padang pasir, dan menetap dengan suku
Hudzail selama 20 tahun, sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Katsir di dalam
kitab al-Bidayah wa an-Nihayah, atau tujuh belas tahun sebagaimana yang
diceritakannya sendiri di dalam kitab Mu'jam al-Buldan. Maka dia pun memperoleh
kefasihan suku Hudzail. Sepanjang waktu tersebut Syafi’i tidak mempunyai
perhatian kepada bidang keilmuan dan fikih. Dia baru mempunyai perhatian kepada
bidang keilmuan dan fikih pada dekade ketiga dari umurnya. Jika dia tinggal
selama 20 tahun di pedalaman padang pasir, maka dia baru mulai belajar fikih
pada dekade keempat dari umurnya. Artinya, setelah melewati umur tiga puluh
tahun.
Syafi’i berguru kepada guru-guru yang ada di Mekkah, Madinah,
Yaman dan Baghdad, dan orang yang pertama menjadi gurunya ialah Muslim bin
Khalid al-Makhzumi, yang dikenal dengan sebutan az-Zanji. Dia termasuk orang
yang tidak bisa dipercaya ucapannya. Banyak dari kalangan para huffazh yang
mendhaifkan dan mengecamnya, seperti Abu dawud, Abi Hatim dan an-Nasa'i.[200]
Kemudian Syafi’i belajar kepada Sa'id bin Salim al-Qaddah. Sa'id
bin Salim al-Qaddah telah dituduh sebagai orang murji'ah. Syafi’i juga belajar
kepada Sufyan bin Uyaynah, salah seorang murid Imam Ja'far ash-Shadiq as. Dia
adalah salah seorang pemilik mazhab yang musnah. Syafi’i juga belajar kepada
Malik bin Anas di Madinah, dan juga guru-guru lainnya. Ibnu Hajar menyebutkan
Syafi’i telah belajar dari delapan puluh orang guru. Sebuah angka yang
berlebihan. Ar-Razi menolak perkataan Ibnu Hajar tersebut. Syafi’i juga telah
mengambil ilmu dari Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, seorang qadhi yang
merupakan salah seorang murid dari Abu Hanifah. Tidak ada tempat bagi
kefanatikan di sini, karena Syafi’i sendiri telah mengakui bahwa dirinya telah
mengambil ilmu darinya.
Adapun murid-murid Syafi’i sebagiannya orang-orang Irak dan
sebagiannya lagi orang-orang Mesir. Mereka menjadi faktor penting di dalam
penyebaran mazhabnya. Adapun murid-murid Syafi’i yang berasal dari Irak ialah
Khalid al-Yamani al-Kalbi, Abu Tsaur al-Baghdadi, yang terhitung sebagai
pemilik mazhab tersendiri dan mempunyai muqallid (pengikut) hingga abad kedua
hijrah, dan dia wafat pada tahun 240 Hijrah. Kemudian, Hasan bin Muhammad bin ash-Shabbah
az-Za'farani, Hasan bin Ali al-Karabisi, Ahmad bin Abdul Aziz al-Baghdadi, dan
Abu Abdurrahman Ahmad bin Muhammad al-Asy'ari. Ahmad bin Muhammad al-Asy'ari
diidentikkan dengan Syafi’i, karena dia memperkuat mazhabnya dan membela para
pengikutnya, disebabkan kedudukan tinggi yang dimilikinya di mata sultan. Juga
teimasuk salah seorang dari murid Syafi’i adalah Ahmad bin Hanbal, meskipun
orang-orang Hanbali mengatakan bahwa Syafi’i pernah mengambil hadis dari Ahmad
dan belajar kepadanya, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Thabaqat
al-Hanabilah.
Adapun murid-muridnya di Mesir, mereka amat berperan di dalam
penyebaran mazhabnya dan penulisan buku-buku. Yang paling terkenal dari mereka
ialah Yusuf bin Ya'qub al-Buwaithi, yang merupakan pengganti Syafi’i di dalam
memberikan pelajaran, dan termasuk penyeru terbesar kepada mazhabnya.
Dia mendekati orang-orang asing dan memperkenalkan kepada mereka
keutamaan Syafi’i, hingga banyak pengikutnya dan tersebar mazhabnya. Ibnu Abi
Laits al-Hanafi merasa hasud kepadanya dan kemudian mengeluarkannya dari Mesir,
sehingga akhirnya Yusuf bin Ya'qub al-Buwaithi meninggal dunia di dalam penjara
di kota Baghdad.
Di antara murid-murid Yusuf bin Ya'qub al-Buwaithi ialah Ismail
bin Yahya al-Mazni dan Abu Ibrahim al-Mishri, yang memiliki ber-bagai tulisan
di dalam mazhab Syafi’i yang membantu penyebaran mazhab tersebut, seperti kitab
al-Jami' al-Kabir, al-Jami' ash-Shaghir, al-Mantsur, dan yang lainnya.
Seseorang yang mempelajari sejarah mazhab Syafi’i akan menemukan bahwa
murid-murid dan sahabat-sahabatnyalah yang telah membantunya dan menyebarkan
mazhabnya.
Terdapat perbedaan antara madrasah Syafi’i di Irak dengan madrasah
Syafi’i di Mesir. Suatu hal yang perlu kita cermati. Sebagaimana diketahui
bahwa Syafi’i telah berpaling dari fatwa-fatwa yang dikeluarkannya ketika
berada di Irak, yang kemudian dikenal dengan mazhab qadim, yang dipegang oleh
murid-muridnya di Irak. Di antara kitab-kitab yang berasal dari mazhab qadim
ialah kitab al-Amali dan kitab Majma' al-Kafi. Ketika pindah ke Mesir dia
mengharamkan berpegang kepada mazhab qadim, setelah mazhab itu tersebar dan
dipraktekkan oleh masyarakat umum. Apakah Syafi’i menarik diri darinya karena
mazhab qadim itu batil?! Atau, apakah ijtihadnya ketika di Baghdad tidak sempurna,
dan kemudian menjadi sempuma di Mesir?!
Kemudian, apa yang menjadi jaminan kebenaran mazhabnya yang baru
di Mesir?!
Apakah kalau sekiranya umurnya panjang dia pun akan berpaling dari
mazhab barunya itu?! Oleh karena itu, Anda menemukan dua pendapat dalam satu
masalah di dalam mazhab Syafi’i. Sebagaimana yang terdapat di dalam kitab
al-Umm. Ada orang yang menganggap bahwa perbedaan ini sebagai akibat tidak
adanya ketetapan hati dari Syafi’i, dan ini merupakan sebuah kekurangan di
dalam ijtihad dan ilmu.
Al-Bazzaz menyokong makna ini dengan mengatakan, "Ketika di
Irak Syafi’i menulis beberapa kitab, namun para sahabat Muhammad asy-Syaibani
mendhaifkan perkataannya dan mempersulitnya, sementara para ahlul hadis tidak
memperhatikan perkataannya, dan bahkan menuduhnya sebagai mu'tazilah. Ketika di
Irak pasar sudah tertutup baginya, maka Oleh karena itu, dia pun pindah ke
Mesir, yang ketika itu belum ada seorang fakih yang dikenal di sana, dan pasar
pun berpihak kepadanya."[201]
Keadaan berubah ketika dia pindah ke Mesir. Karena Syafi’i dikenal
sebagai murid Malik dan sekaligus penolong dan pembela mazhabnya. Inilah faktor
yang membentangkan jalan kesuksesan Syafi’i di Mesir. Karena watak umum
masyarakat Mesir bermazhab Maliki. Di samping itu, kedatangan Syafi’i ke Mesir
berdasarkan rekomendasi khalifah saat itu kepada gubernur Mesir, maka Oleh
karena itu, Syafi’i memperoleh perhatian yang cukup di Mesir, terutama dari
kalangan para pengikut Malik.
Namun itu tidak berlangsung lama sehingga akhirnya Syafi’i menulis
kitab-kitab yang menolak Malik dan menentang perkataan-perkataannya. Ar-Rabi'
berkata, "Saya mendengar Syafi’i mengatakan,
'Saya datang ke Mesir dalam keadaan tidak tahu bahwa Malik
berlawanan dengan ucapan-ucapannya kecuali hanya enam belas ucapan. Saya
perhatikan, dan kemudian saya mendapati dia mengatakan yang pokok dan
meninggalkan cabang atau mengatakan cabang dan meninggalkan pokok.' Abu Umar
berkata, 'Abdul Aziz bin Abi Salma dan Abdurrahman bin Zaid juga telah berkata
tentang Malik, sebagaimana yang disebutkan oleh as-Saji di dalam kitab
al-'llal, mereka menjelek-jelekkan beberapa hal tentang mazhab Malik.' Hingga
Abu Umar berkata, 'Syafi’i telah berbuat zalim kepada Malik, dan begitu juga
sebagian pengikut Abu Hanifah, berkenaan dengan sesuatu dari pendapatnya,
karena merasa hasud akan kedudukan keimamahannya.'"[202]
Orang-orang Maliki telah habis kesabarannya terhadap Syafi’i, dan
mereka menunggu saat yang tepat hingga akhirnya mereka membunuhnya. Ibnu Hajar
mengatakan, mereka memukul Syafi’i dengan kunci besi hingga meninggal dunia.[203] Abi Hayyan
menyebutkan peristiwa ini di dalam kasidah pujiannya terhadap Syafi’i,
"Tatkala datang ke Mesir dia menentang berbagai hal
menyakitkan yang ditujukan kepadanya.
Sementara orang-orang menyembunyikan kebencian kepadanya.
Dia datang mengkritik apa yang telah mereka peroleh
dan menghancurkan apa yang telah mereka tegakkan karena memang bangunan
mereka lemah.
Maka mereka pun memperdayanya tatkala mereka berduaan
dengannya di tempat yang sepi.
Kecelakaan bagi mereka yang Allah telah lumpuhkan
kedua tangan mereka terhadapnya.
Mereka merobek keningnya dengan kunci besi
hingga pergilah dia tanpa dibentahukan kematiannya."
Maka Syafi’i pun meninggal dunia sebagai korban dari kefanatikan
mazhab pengikut Malik.
Meski pun demikian, Mesir merupakan benih pertama, yang darinya
tersebar luas mazhab Syafi’i, sebagai hasil dari upaya dan jerih payah para
sahabat dan murid-muridnya. Apabila tidak ada mereka, mungkin nasib yang
dialami mazhab Syafi’i tidak berbeda dengan nasib mazhab-mazab lain yang
musnah.
Mazhab Syafi’i berhasil menyebar luas di Syam dan mampu
mengalahkan mazhab mazhab al-Awza'i, setelah jabatan kehakiman dipegang oleh
Muhammad bin Usman ad-Dimasyqi asy-Syafi’i. Dengan gigih dia berusaha
menyebarkan mazhab Syafi’i di Syam, dan Oleh karena itu,lah mazhab al-Awza'i
menjadi musnah. Kemenangan mazhab Syafi’i menjadi sempurna pada masa Dinasti
Ayubiyyah, yang mana para rajanya merupakan para pemeluk mazhab Syafi’i yang
setia. Hal ini merupakan faktor yang amat membantu sekali di dalam memperkokoh
mazhab Syafi’i. Ketika datang Dinasti Mamalik di Mesir, langkah mereka tidak
bergeser dari mazhab Syafi’i. Seluruh raja-raja mereka bermazhab Syafi’i
kecuali Saifuddin yang bermazhab Hanafi, namun dia tidak mampu memberikan
pengaruh terhadap penyebaran mazhab Syafi’i.
Dengan demikian, nama Syafi’i menjadi harum dan terkenal karena
perantaraan raja dan sultan. Jika tidak, maka tentu mazhabnya akan menjadi
mazhab yang terlupakan.
Tikaman Terhadap Syafi’i
Setiap imam diikuti dua kelompok manusia yang saling berlawanan.
Kelompok yang fanatik kepadanya dan kelompok yang membencinya. Sebagaimana yang
telah disebutkan.
Demikian juga halnya dengan Syafi’i. Orang-orang yang fanatik
kepadanya mensifatinya dengan sifat-sifat kesempurnaan sedemikian rupa,
sehingga tidak ada seorang makhluk pun yang mampu menggapainya. Sebaliknya,
orang-orang yang membencinya membuat hadis-hadis yang menurunkan derajatnya
hingga tingkatan Iblis.
Ahmad bin Abdullah al-Juwaibari meriwayatkan dari Abdu bin Ma'dan,
dari Anas, dari Rasulullah saw yang bersabda, "Akan datang pada umatku
seorang laki-laki yang dipanggil dengan nama Muhammad bin Idris, dia lebih
berbahaya bagi umatku dibandingkan Iblis. Juga akan datang pada umatku seorang
laki-laki yang dipanggil dengan sebutan Abu Hanifah, dia adalah pelita bagi
umatku."[204]
Tidak ada seorang pun yang meragukan bahwa hadis ini palsu.
Sebaliknya, Ibnu Abdul Barr meriwayatkan dengan bersanad kepada
Suwaid bin Sa'id yang berkata, "Kami pernah bersama Sufyan bin 'Uyaynah di
Mekkah. Lalu datang seorang laki-laki memberitahukan bahwa Syafi’i telah
meninggal dunia. Kemudian Sufyan berkata, 'Jika Muhammad bin Idris meninggal
dunia maka sungguh telah meninggal seutama-utamanya manusia pada
zamannya."'[205]
Ini juga merupakan kabar bohong, karena Sufyan bin 'Uyaynah
meninggal dunia pada tahun 198 Hijrah, yaitu enam tahun sebelum Syafi’i
meninggal dunia.
Tuduhan yang dilontarkan kepada Syafi’i terkadang tuduhan bahwa
dia itu Syi'ah, dia itu Mu'tazilah, dia itu meriwayatkan dari orang-orang yang
suka dusta, dan dia itu orang yang sedikit bersandar kepada hadis.
Yahya bin Mu'in ditanya, "Apakah Syafi’i pernah
berdusta?"
Yahya bin Mu'in menjawab, "Saya tidak ingin membicarakannya
dan tidak ingin menyebut namanya."
Al-Khatib meriwayatkan dari Yahya bin Mu'in yang berkata,
"Syafi’i bukan orang yang dapat dipercaya."
Di sana terdapat tuduhan-tuduhan yang tidak ada nilainya, yang
tidak perlu kita kaji di sini. Namun yang menarik perhatian saya ialah tuduhan
yang mengatakan bahwa Syafi’i itu Syi'ah. Tuduhan ini terhitung sebagai tuduhan
yang amat berbahaya pada saat itu, di mana pada saat itu kalangan Alawi dan
Syi'ah dikejar-kejar dan dibunuh dengan cara yang paling keji. Sehingga sikap
menampakkan permusuhan kepada Ali, anak-anaknya dan para pengikutnya menjadi
suatu fenomena yang lumrah. Untuk lebih mengetahui hal ini secara mendalam
silahkan Anda merujuk kepada kitab-kitab sejarah, seperti kitab Magatil
ath-Thalibin, karya Abu Faraj al-Isfahani, sehingga Anda dapat mengetahui
sedikit tentang berbagai macam siksaan yang ditimpakan kepada Ahlul Bait dan
para pengikutnya. Oleh karena itu, masyarakat terbelah menjadi dua kelompok:
Kelompok yang sabar dan berkorban untuk tetap berpegang kepada kepemimpinan
Ahlul Bait, jumlah mereka sedikit sekali, sedangkan kelompok kedua yang
merupakan kelompok mayoritas, mereka tunduk dan menukar agamanya dengan dunia
para sultan. Sungguh benar apa yang telah dikatakan oleh Imam Husain,
"Manusia itu hambanya dunia, dan agama hanya sebatas di lidah mereka.
Mereka akan mengelilingi agama selama kehidupan masih mengalir kepada mereka,
namun jika mereka diuji dengan bala maka sedikit sekali dari mereka yang
benar-benar berpegang kepada agama."
Pada situasi yang dipenuhi dengan kegelapan ini Syafi’i
menampakkan kecintaannya kepada Ahlul Bait. Dan karena semata-mata kecintaannya
kepada Ahlul Bait inilah Syafi’i dituduh Syi'ah. Padahal sesungguhnya Syafi’i
bukanlah seorang Syi'ah. Yaitu orang yang berpegang kepada kepemimpinan para
Imam Ahlul Bait dan mengikuti jalan mereka. Melainkan itu hanya semata-mata
kecintaan yang melekat pada fitrah setiap manusia. Oleh karena itu, Syafi’i
berkata di dalam syairnya,
"Wahai Ahlul Bait Rasulullah, kecintaan kepadamu
merupakan kewajiban dari Allah di dalam
Al-Qur'an yang telah diturunkan-Nya.
Cukup menjadi bukti bagi keagungan kedudukanmu
bahwa barangsiapa yang tidak membaca salawat kepadamu
maka tidak ada salat baginya."
Dengan bersandar kepada firman Allah SWT yang berbunyi,
"Katakanlah. 'Aku tidak meminta kepadamu suatu upah apa pun atas risalah
yang aku sampaikan kecuali kecintaan kepada keluargaku." (QS. asy-Syura:
23)
Yaitu sebuah ayat yang dengan jelas mengatakan wajibnya mencintai
Ahlul Bait as. Saya pernah heran, kenapa Allah SWT menjadikan upah penyampaian
risalah-Nya terletak di dalam kecintaan kepada Ahlul Bait?! Masalah ini tetap
belum jelas bagi saya kecuali setelah saya mengetahui betapa besarnya nilai
cobaan yang terkandung di dalam kecintaan kepada Ahlul Bait dan berpegang
kepada mereka. Inilah Syafi’i sebagai contoh yang ada di hadapan Anda, tatkala
dia menampakkan kecintaannya kepada Ahlul Bait, maka dengan serta mereka
menuduhnya sebagai rafidhi. Syafi’i berkata di dalam syairnya,
"Mereka berkata, 'Engkau telah menjadi rafidhi.'
Aku jawab, 'Sekali-kali tidak.
Aku bukan rafldhi, baik secara agama maupun keyakinan.
Namun tidak diragukan —memang— aku mencintai sebaik-baiknya Imam
dan sebaik-baiknya penunjuk.
Jika kecintaan kepada al-washi dikatakan sebagai rafidhi,
maka ketahuilah sesungguhnya aku ini hamba yang paling
rafidhi.'"
Tatkala Syafi’i menampakkan kecintaannya kepada Ali as, beberapa
orang para penyair mengejeknya dengan mengatakan,
"Syafi’i mati dalam keadaan tidak tahu
apakah Ali Tuhannya atau Allah Tuhannya."
Pada situasi yang dipenuhi dengan kebencian dan penentangan
terhadap Ahlul Bait dan para pengikutnya ini, Syafi’i tidak kendur di dalam
menampakkan kecintaannya kepada Ahlul Bait. Bahkan dengan lantang dia
mengatakan,
"Jika karena kecintaan kepada keluarga Muhammad seseorang
dikatakan rafidhi,
maka biarlah jin dan manusia bersaksi bahwa aku ini seorang
rafidhi."
Syafi’i juga menamakan orang yang memberontak dan memerangi Ali as
sebagai orang pembuat makar. Tuduhan Syi'ah kepada Syafi’i adalah sesuatu yang
memang ada. Namun setelah kami melakukan pengkajian, tampak jelas bagi kami
bahwa Kesyi'ahan Syafi’i adalah semata-mata Kesyi'ahan apabila dibandingkan
dengan masyarakatnya yang tenggelam di dalam kebencian kepada Ahlul Bait,
karena mengikuti raja-raja mereka. Oleh karena itu, Syafi’i dituduh Syi'ah.
Jika kita membebaskan masyarakat tersebut dari kepatuhan kepada penguasa dan
politiknya, maka kita tidak akan mendapati seorang pun yang membenci Ahlul
Bait, kecuali orang-orang Khawarij dan orang-orang yang mengikuti jejaknya.
Hati seorang Muslim tidak akan kosong dari kecintaan kepada Ahlul Bait. Maka
dengan begitu, Syafi’i hanyalah seorang pecinta Ahlul Bait, dan bukan seorang
Syi'ah. Terdapat perbedaan yang besar di antara keduanya. Karena setiap orang
yang mencintai nilai-nilai kebajikan maka dia pasti akan mencintai Ahlul Bait,
yang merupakan perwujudan dari nilai-nilai kebajikan tersebut, meski pun dia
bukan seorang Muslim. Bukti-bukti yang menunjukkan kepada hal itu banyak
sekali. Beberapa di antaranya ialah: Seorang penulis Kristen yang bernama
George Jordaq. Dia menulis sebuah ensiklopedia tentang Imam Ali as yang terdiri
dari lima jilid. Dia menggambarkan Imam Ali dengan sifat-sifat yang amat agung.
Dia juga menulis sebuah buku tentang Sayyidah Fatimah az-Zahra as, yang diberi
judul Fatimah Witrfi Ghamad. Berikutnya adalah Salma Kattani, penulis buku
al-lmam Ali Nibras wa Mitras. Demikian juga, qashidah terpanjang di dunia yang
terdiri dari lima ribu bait, ditulis oleh seorang Kristen berkenaan dengan hak
Imam Ali bin Abi Thalib as. Berikutnya, qashidah terpanjang kedua yang terdiri
dari tiga ribu bait, yang juga ditulis oleh seorang Kristiani, juga berbicara
tentang keutamaan Imam Ali as. Adapun qashidah terpanjang ketiga adalah
qashidah yang terdiri dari seribu bait, yang juga ditulis oleh seorang
Kristiani berkenaan dengan Imam Ali as. Namun ini semua tidak cukup untuk
menunjukkan Kesyi'ahan mereka. Semata-mata hanya kecintaan tidaklah cukup.
Karena kecintaan yang hakiki adalah berarti tunduk dan patuh kepada mereka, dan
mengambil ajaran agama hanya dari mereka. Hal ini sebagaimana yang dikatakan
oleh seorang penyair,
"Jika cintamu memang benar maka tentu kamu mentaatinya
karena sesungguhnya orang yang mencintai akan mentaati orang yang
dicintainya."
4. IMAM AHMAD BIN HANBAL
Dia adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Dilahirkan pada tahun
164 Hijrah, di kota Baghdad, menurut pendapat yang lebih masyhur, atau di kota
Marwa, menurut pendapat yang lebih lemah. Ahmad tumbuh sebagai yatim di bawah
asuhan ibunya. Dia sudah mempunyai perhatian kepada ilmu ketika dia berumur
lima belas tahun, yaitu pada tahun 179 Hijrah. Dia belajar ilmu hadis, setelah
belajar membaca Al-Qur'an dan bahasa. Guru pertama tempat dia menimba ilmu
ialah Hisyam bin Basyir as-Silmi, yang wafat pada tahun 183 Hijrah. Ahmad bin
Hanbal menyertainya selama tiga tahun atau lebih. Dia telah melakukan
perjalanan ke Mekkah, Kufah, Basrah, Madinah, Yaman, Syam dan Irak untuk
mencari hadis. Di kota-kota tersebut dia berguru kepada sekumpulan para ulama,
yang tidak perlu kita sebutkan di sini, namun yang terpenting dari mereka
adalah Syafi’i; sehingga aneh sekali apabila orang-orang Hanbali mengatakan
Syafi’i sebagai murid Ahmad bin Hanbal.
Ahmad bin Hanbal mempunyai murid yang banyak sekali, namun yang
paling terkenal dari mereka ialah Ahmad bin Muhammad bin Hani, yang terkenal
dengan panggilan al-Atsram, yang wafat pada tahun 261 Hijrah, kemudian Shalih
bin Ahmad bin Hanbal, putra tertua Ahmad bin Hanbal, dan kemudian Abdullah bin
Ahmad bin Hanbal, yang wafat pada tahun 290 Hijrah, dia meriwayatkan hadis dari
ayahnya.
Kitab-Kitab Peninggalan Ahmad
Ahmad tidak pernah menulis sebuah kitab di dalam bidang fikih yang
terhitung sebagai kitab induk, yang menjadi tempat pengambilan mazhab fikihnya.
Dia hanya mempunyai kitab-kitab yang terhitung sebagai kitab-kitab fikih
tematik, seperti kitab al-Manasik al-Kabirah, al-Manasik ash-Shaghirah, dan
Risalah Shaghirah fi ash-Shalah. Namun, kitab-kitab tersebut tidak lebih hanya
merupakan kitab-kitab hadis, meski pun terhadap beberapa temanya dilakukan
penjelasan dan pembahasan.[206]
Dia terkenal tidak mau menulis kitab yang memuat tafri'
(pencabangan) dan ra'yu. Pada suatu hari dia pernah berkata kepada Usman bin
Sa'id, "Janganlah kamu melihat kepada isi kitab Abi 'Ubaid, juga kepada
kitab yang ditulis oleh Ishaq, Sufyan, Syafi’i dan Malik. Kamu harus berpegang
kepada pokok."
Yang paling termasyhur dari karyanya di dalam bidang hadis adalah
kitab musnadnya, yang mencakup empat puluh ribu hadis, di mana sepuluh ribu
hadis darinya disebut berulang. Ahmad bin Hanbal amat percaya dengan kitab
musnadnya. Ketika dia ditanya tentang sebuah hadis, dia berkata,
"Lihatlah, jika terdapat di dalam musnad maka itu hujjah, namun jika maka
itu bukan hujjah." Banyak dari para huffazh yang meragukannya, dan mereka
tidak mempercayai semua yang ada di dalamnya; bahkan dengan lantang mereka
mengatakan akan adanya riwayat-riwayat palsu. Namun di sini bukan tempatnya
kita membahas masalah ini.
Malapetaka Yang Menimpa Ahmad bin Hanbal
Sesungguhnya tikungan yang paling tampak dalam sejarah kehidupan
Ahmad bin Hanbal ialah malapetaka yang menimpanya disebabkan perkataannya bahwa
Al-Qur'an itu bukan makhluk. Malapetaka yang menimpa dia dimulai pada zaman
Makmun yang memerintahkan manusia dengan kekerasan untuk mengatakan bahwa
Al-Qur'an itu makhluk. Makmun adalah seorang mutakallim yang alim. Dia
mengirimkan surat edaran kepada seluruh gubernurnya, dan memerintahkan kepada
mereka untuk menguji manusia akan keyakinan bahwa Al-Qur'an itu makhluk. Di
dalam surat edarannya itu dia mengatakan, "Sesungguhnya wajib atas
khalifah kaum Muslimin untuk menjaga dan menegakkan agama, serta melaksanakan
kebenaran pada rakyat. Amirul Mukminin telah mengetahui bahwa sebagian besar
dari kalangan masyarakat umum, yang tidak mempunyai pandangan dan perenungan,
tidak mempunyai argumentasi yang berdasarkan petunjuk dan hidayah Allah, dan
tidak diterangi oleh cahaya ilmu dan argumentasi, mereka itu orang-orang yang
bodoh akan Allah SWT, buta terhadap-Nya, tersesat dari hakikat agama-Nya,
tauhid-Nya dan iman kepada-Nya, menyimpang dari tanda-tanda-Nya yang amat
jelas, tidak mampu menghargai Allah sesuai dengan kadar-Nya, dan tidak mampu
mengetahui hakikat pengenalan-Nya; disebabkan karena lemahnya
pandangan-pandangan mereka, kurangnya akal mereka, dan kelalaian mereka dari
bertafakkur dan mengambil pelajaran. Oleh karena itu, mereka menyamakan antara
Allah dengan apa yang telah diturunkan-Nya, yaitu Al-Qur'an. Lalu mereka
sepakat menerapkan bahwa Al-Qur'an itu qadim dan azali, serta tidak diciptakan
oleh Allah SWT.."[207]
Dari sinilah dimulai malapetaka "makhluknya Al-Qur'an".
Ibnu Hanbal tidak masuk ke dalam perangkap ujian kecuali pada masa Mu'tashim,
disebabkan Makmun meninggal dunia sebelum sempat mengujinya. Mu'tashim sangat
keras di dalam menguji orang. Ketika datang giliran Ahmad bin Hanbal, Mu'tashim
bersumpah tidak akan membunuhnya dengan pedang, melainkan dia akan memukulinya
dengan pukulan demi pukulan, dan kemudian melemparkannya ke dalam ruangan yang
gelap gulita yang tidak ada cahaya sama sekali. Ahmad bin Hanbal menjalani
ujian selama tiga hari. Setiap hari dia didatangi untuk diajak dialog. Hampir
saja dia tunduk kepada pandangan penguasa, namun dengan segera dia berpegang
kepada keyakinannya dan menolak pandangan penguasa. Ketika Mu'tashim telah
merasa putus asa darinya, maka dia pun memerintahkan supaya Ahmad bin Hanbal
dipukul dengan cambuk. Ahmad bin Hanbal dipukul sebanyak 38 cambukkan. Namun,
siksaan yang ditimpakan kepada Ahmad bin Hanbal tidak terus berlanjut, bahkan
Mu'tashim melepaskannya. Hal ini menimbulkan keheranan. Apakah kejadian ini
cukup untuk menjadikan Ahmad sebagai pahlawan sejarah, padahal sejarah telah
menyaksikan orang-orang yang mengalami penyiksaan yang lebih kejam dari Ahmad
dan mereka sabar?! Kemudian, kenapa siksaan yang ditimpakan kepadanya tidak
berlanjut?! Apakah dia telah tunduk kepada perkataan sultan?!
Sebagian dari mereka menyebutkan, bahwa masyarakat umum telah
berkumpul mengepung rumah sultan, dan mereka telah bertekad untuk menyerangnya,
maka akhirnya Mu'atshim memerintahkan untuk melepaskannya. Perkataan ini tidak
sesuai dengan kenyataan. Karena sejarah mencatat Mu'tashim sebagai orang yang
kuat dan memiliki kemauan yang keras, di samping besarnya daerah kekuasaan yang
dimilikinya, sehingga penolakan masyarakat umum tidak akan berpengaruh
kepadanya. Lantas, masyarakat umum yang mana? Apakah mereka itu pengikut
Ahmad?! Padahal Ahmad belum dikenal sebelum peristiwa malapetaka itu, sehingga
dia mempunyai masyarakat umum. Jika memang mereka itu pengikut Ahmad, Ahmad
telah melarang mereka untuk memberontak kepada sultan..! Sehingga dengan
demikian, alasan yang dikemukakan di atas tidak memuaskan.
Tampak jelas bahwa yang menjadi sebab kenapa Ahmad dibebaskan
adalah karena Ahmad memenuhi keinginan khalifah dan mengatakan apa yang
dikatakannya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh al-Jahidz di dalam
suratnya yang ditujukan kepada Ahlul Hadis, setelah dia menyebutkan malapetaka
dan ujian,
"Sahabat kalian ini —yaitu Ahmad bin Hanbal— mengatakan bahwa
tidak ada taqiyyah kecuali di negara syirik. Jika pengakuannya yang mengatakan
bahwa Al-Qur'an itu makhluk hanyalah merupakan upaya tagiyyah darinya, maka
berarti dia telah melakukan taqiyyah di negeri Islam, dan ini berarti dia telah
membohongi dirinya. Dan jika pengakuannya itu disertai dengan keyakinan akan
kebenaran apa yang diakuinya itu, maka berarti dia bukan lagi dari kamu dan
kamu juga bukan lagi dari dia. Padahal dia tidak melihat pedang yang terhunus,
dan tidak mendapat pukulan yang banyak. Dia hanya dipukul sebanyak tiga puluh
cambukan, sehingga dengan lancar dia mengatakan apa yang diminta oleh sultan.
Padahal dia tidak ditempatkan di ruang-an yang sempit, dan tidak diberati
dengan besi."[208]
Juga turut memperkuat apa yang dikatakan oleh al-Jahidz tentang
pengakuan Ahmad bin Hanbal bahwa Al-Qur'an itu makhluk, apa yang disebutkan
oleh Ya'qubi di dalam kitab tarikhnya. Ya'qubi berkata, "Mu'tashim menguji
Ahmad bin Hanbal di dalam masalah kemakhlukan Al-Qur'an. Ahmad berkata, 'Saya
adalah seorang laki-laki yang mengetahui suatu ilmu, namun tidak mengatakan
demikian dalam masalah ini.' Maka Mu'tashim pun menghadirkan beberapa orang
fukaha untuknya, maka Abdurrahman bin Ishaq dan yang lainnya pun berdialog dengannya.
Ahmad bin Hanbal tetap tidak mau mengatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk,
sehingga akhirnya dia dipukul dengan beberapa kali cambukan. Ibnu Ishaq
berkata, 'Biar saya, ya Amirul Mukminin, yang berdialog dengannya.' Mu'tashim
berkata, 'Aku serahkan urusan dia kepadamu.' Maka Ibnu Ishaq berkata, 'llmu
yang kamu ketahui ini, apakah diturunkan oleh malaikat kepadamu atau kamu
mengetahuinya dari beberapa orang?!'
Ahmad menjawab, 'Tentu, saya mengetahuinya dari beberapa orang.'
Ibnu Ishaq bertanya lagi, 'Apakah kamu ketahui sedikit demi
sedikit atau secara sekaligus?'
Ahmad bin Hanbal menjawab, 'Saya mengetahuinya sedikit demi
sedikit.'
Ibnu Ishaq bertanya, 'Maka berarti masih ada sesuatu yang tidak
kamu ketahui.'
Ahmad bin Hanbal menjawab, 'Masih ada sesuatu yang saya tidak
ketahui.'"
Ibnu Ishaq berkata, "Dan ini termasuk salah satu perkara yang
tidak kamu ketahui; yang Amirul Mukminin ajarkan kepadamu."
Ahmad bin Hanbal menjawab, "Saya akan mengatakan apa yang
dikatakan oleh Amirul Mukminin."
Ibnu Ishaq berkata, "Berkenaan dengan kemakhlukan
Al-Qur'an?"
Ahmad menjawab, "Ya, berkenaan dengan kemakhlukan
Al-Qur'an."
Lalu Ahmad bin Hanbal pun memberikan kesaksian tentang kemakhlukan
Al-Qur'an, dan Oleh karena itu, mereka membebaskannya kembali ke rumahnya.[209]
Pahlawan-Pahlawan Yang Tidak Tunduk Pada
Keadaan
1. Ahmad bin Nashr al-Khaza'i, yang terbunuh pada tahun 231
Hijrah. Dia adalah salah seorang murid Malik bin Anas. Ibnu Mu'in dan Muhammad
bin Yusuf menceritakan bahwa dia termasuk salah seorang ahli ilmu. Al-Watsiq
telah mengujinya dengan pertanyaan, apa pendapatmu tentang Al-Qur'an?
Ahmad bin Nashr al-Khaza'i berkata, "Kalam Allah, dan bukan
makhluk."
Maka al-Watsiq pun memaksanya untuk mengatakan bahwa Al-Qur'an itu
makhluk, namun Ahmad bin Nashr al-Khaza'i tetap menolaknya. Kemudian al-Watsiq
bertanya lagi kepadanya tentang melihat Allah pada hari kiamat. Ahmad bin Nashr
menjawab, "Ya, Allah SWT dapat dilihat pada hari kiamat." Lalu dia
mengutip hadis-hadis yang berbicara tentang hal itu.
Al-Watsiq berkata, "Celaka kamu. Apakah Dia dapat dilihat
sebagaimana dapat dilihatnya jisim yang terbatas dan menempati ruang. Sungguh,
Anda telah kafir dengan mengatakan Tuhan yang memiliki sifat-sifat ini."
Manakala Ahmad bin Nashr al-Khaza'I tetap bersikeras dengan
pandangannya, maka Khalifah pun mendatangkan sebilah pedang yang dijuluki
shamshamah (pedang sekali tebas, karena sangat tajamnya). Khalifah berkata,
"Saya akan membuat perhitungan dengan orang kafir ini, yang tidak menyembah
Tuhan yang kita sembah, dan mensifati-Nya dengan sifat yang tidak kita akui.
Kemudian Khalifah berjalan menghampirinya, dan lalu memenggal lehernya.
Selanjutnya Khalifah memerintahkan supaya kepala Ahmad bin Nashr dibawa ke kota Baghdad .
Di sana , kepala Ahmad bin Nashr ditancapkan di
sebelah timur kota selama berhari-hari, dan
kemudian di sebelah barat kota
beberapa hari. Ketika tubuh Ahmad bin Nashr disalib, al-Watsiq menulis di atas
secarik kertas, dan kemudian menggantungnya pada kepala Ahmad bin Nashr. Bunyi
tulisan itu sebagai berikut, "Ini adalah kepala Ahmad bin Nashr bin Malik.
Abdullah al-Imam Harun —yaitu al-Watsiq— telah menyerunya kepada keyakinan
kemakhlukan Al-Qur'an dan penafian tasybih, namun dia bersikeras menolaknya,
maka Allah SWT pun mensegerakan dia ke dalam neraka."[210]
2. Yusuf bin Yahya al-Buwaithi. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa
dia adalah salah seorang murid Imam Syafi’i, dan merupakan penggantinya yang
meneruskan majlis pelajarannya. Yusuf bin Yahya al-Buwaithi dibawa dari Mesir
ke Baghdad
dalam keadaan tubuhnya diberati dengan empat puluh potongan besi. Dia diminta
untuk mengatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk, namun dia menolaknya. Dia tetap
bersikeras menolak bahwa Al-Qur'an itu makhluk sehingga dia meninggal dunia di
dalam penjara pada tahun 232 Hijrah.
Dan banyak lagi pahlwan-pahlawan lain, yang tidak mungkin dapat
disebutkan di sini secara satu persatu, yang mana mereka lebih teguh dan lebih
keras di dalam memegang keyakinannya dibandingkan Ahmad bin Hanbal. Sungguh
merupakan kezaliman manakala disebutkan bahwa hanya Ahmad bin Hanbal saja yang
mendapat ujian, dan itu dihitung sebagai kepahlawanannya yang terbesar. Padahal
-sebagaimana Anda ketahui- Ahmad bin Hanbal sama sekali tidak demikian.
Dia justru tunduk dan mau menerima apa yang dikatakan oleh
Mu'tashim.
Ahmad Pada Masa Mutawakkil
Ketika Mutawakkil menduduki puncak kekuasaan, dia mendekati
kelompok Ahlul Hadis dan mengintimidasi kelompok Mu'tazilah. Persis kebalikan
pada masa Ma'mun, Mu'tashim dan al-Watsiq. Mutawakkil menguji masyarakat
tentang kemakhlukan Al-Qur'an. Siapa saja yang mengatakan Al-Qur'an itu
makhluk, maka dia akan disiksa dan dibunuh. Maka kelompok Ahlul Hadis pun
menemukan sasaran mereka, dan gaung mereka pun menjadi besar. Mereka menempati
kedudukan yang tinggi, dan menuntut balas dendam dari kalangan Mu'tazilah
dengan sekejam-kejamnya.
Ahmad Amin berkata, "Khalifah Mutawakkil ingin merangkul
pendapat umum dan mendapatkan dukungan mereka. Oleh karena itu, dia pun
membatalkan perkataannya tentang kemakhlukan Al-Qur'an, membatalkan ujian dan
pengadilan, dan menolong para ahli hadis."[211]
Merupakan keuntungan terbesar bagi Ahmad bin Hanbal manakala dia
dekat dengan Mutawakkil. Karena dia adalah orang yang masih tersisa dari
malapetka "kemakhlukan Al-Qur'an", setelah pahlawan-pahlawannya
dibunuh. Mutawakkil berpesan kepada para gubernurnya untuk menghormati dan
menghargai Ahmad bin Hanbal. Dia juga bersimpati kepadanya dan memberikan empat
ribu dirham kepadanya setiap bulan.[212] Maka bersinarlah bintang Ahmad, dan
masyarakatpun berbondong-bondong mendatangi pintu rumahnya, begitu juga dengan
para pejabat pemerintah. Sebagai gantinya Ahmad mengakui keabsahan kekhilafahan
dan kepemimpinan Mutawakkil serta mewajibkan ketaatan kepadanya. Pemerintah
sangat mendukung Ahmad dan menguatkan posisinya. Ini tidaklah heran karena
Ahmad berpendapat seseorang wajib taat kepada pemimpin, baik itu pemimpin yang
baik maupun pemimpin yang jahat.
Ahmad berkata di dalam salah satu risalahnya, "Wajib hukumnya
mendengar dan taat kepada para pemimpin dan Amirul Mukminin, baik yang baik
maupun yang jahat. Baik yang menduduki kekhilafahan karena kesepakatan manusia
dan keridaan mereka kepadanya maupun orang yang mendudukinya melalui ketazaman
pedang dan kemudian disebut sebagai Amirul Mukminin. Tidak boleh seorang pun
menjelek-jelekan mereka atau menentangnya. Begitu juga sah hukum-nya membayar
zakat kepada mereka, baik pemimpin yang baik maupun pemimpin yang jahat.
Demikian juga sah hukumnya salat di belakang mereka. Barangsiapa yang
mengulangi salatnya maka dia itu pembuat bid'ah dan penentang sunah.
Barangsiapa yang memberontak kepada seoarang pemimpin dari para
pemimpin kaum Muslimin, sementara manusia telah sepakat atasnya dan telah
mengakui kekhilafahannya, baik karena rida maupun karena terpaksa, maka orang
yang memberontak kepadanya berarti telah mematahkan tongkat kaum Muslimin dan
telah menentang peninggalan Rasulullah saw. Jika orang yang memberontak itu
mati maka dia mati sebagai matinya orang jahiliyyah."[213]
Abu Zuhrah mengatakan di dalam kitab yang sama, halaman 321,
"Ahmad mempunyai pandangan yang sama dengan seluruh para fukaha tentang
sahnya kepemimpinan orang yang menguasai kepemimpinan dan kemudian manusia
meridainya serta memberlakukan hukum yang sesuai di antara mereka. Bahkan,
Ahmad berpendapat lebih jauh dari itu. Dia mengatakan bahwa barangsiapa yang menguasai
kepemimpinan, meskipun dia seorang yang suka berbuat maksiat, maka wajib taat
kepadanya, supaya tidak timbul fitnah."
Oleh karena itu, kita mendapati para pengikutnya dari kalangan
salafi dan Wahabi, mereka menetapkan Husain bin Ali as sebagai seorang yang
durhaka dan wajib dibunuh oleh Yazid, dikarenakan dia telah memberontak kepada
pemimpin zamannya. Saya telah mende-ngar sendiri dengan telinga saya bagaimana
salah seorang dari mereka mendebat saya dan membela Yazid dengan keras. Dia
berkata, "Husain telah memberontak kepada pemimpin zamannya, maka Oleh
karena itu, dia wajib dibunuh." Lihatlah, betapa orang ini telah bertaklid
secara buta kepada orang-orang sebelumnya. Apa nilai Ahmad bin Hanbal dihadapan
Husain bin Ali as, sehingga saya harus mengatakan apa yang dikatakannya,
melakukan apa yang difatwakannya, dan menuduh Husain bin Ali telah berbuat
zalim dan durhaka?!
Jika kita melepaskan diri kita dari taklid buta yang semacam ini,
lalu kemudian kita merenungi ayat-ayat Al-Qur'an, niscaya yang demikian akan
lebih baik dan lebih dekat kepada kebenaran. Allah SWT berfirman, "Dan
janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu
disentuh api neraka." (QS. Hud: 113)
"Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami
lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah
keadaannya itu melewati batas." (QS. al-Kahfi: 28)
Allah SWT juga berfirman, "Makajanganlah kamu mengikuti
orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah)." (QS. al-Qalam: 8)
Pada ayat yang lain Allah SWT juga berfirman, "Dan janganlah
kamu mentaati perintah orang-orang yang melewati batas." (QS. asy-Syu'ara:
151)
Namun mereka telah meninggalkan Al-Qur'an, dan berhujjah dengan
riwayat-riwayat yang dibuat oleh para penguasa Bani Umayyah, supaya manusia
tunduk kepada kekuasaan mereka. Ahlul Bait telah menolak hadis-hadis ini dengan
hadis-hadis yang benar dan sejalan dengan Al-Qur'an serta selaras dengan ruh
Islam.
Imam Ja'far ash-Shadiq as berkata, "Barangsiapa yang suka
kelangsungan hidup orang-orang yang zalim maka berarti dia suka Allah
didurhakai." Di samping perkataan ini merupakan hadis, dia juga merupakan
dalil akal yang kokoh. Karena hadis ini melihat bahwa barangsiapa yang tunduk
dan taat kepada orang yang zalim serta tidak melakukan penentangan terhadapnya
maka berarti dia suka tetap berlangsungnya kedurhakaan kepada Allah. Allah SWT
berfirman,
"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (QS.
al-Maidah: 44)
"Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim." (QS.
al-Maidah: 45)
"Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasih. " (QS.
al-Maidah: 47)
Di samping ayat-ayat Al-Qur'an dan riwayat-riwayat yang
memerintahkan kepada amar makruf dan nahi munkar. Oleh karena itu, tatkala
Husain bin Ali as hendak melakukan perlawanan terhadap thagut pada zamannya dia
berkata, "Wahai manusia, sesungguhnya Rasulullah saw telah bersabda,
'Barangsiapa yang melihat seorang penguasa zalim yang menghalalkan apa yang
telah diharamkan Allah, melanggar perjanjian Allah, menentang sunah Rasulullah,
dan berbuat dosa dan permusuhan terhadap hamba-hamba Allah, lalu dia tidak
berusaha untuk merubahnya dengan perkataan dan perbuatan, maka Allah berhak
untuk memasukkannya ke dalam tempat masuk penguasa zalim tersebut. Ingatlah,
sesungguhnya mereka itu telah mendawamkan ketaatan kepada setan, meninggalkan
ketaatan kepada Tuhan, menimbulkan kerusakan, membekukan hukum, memonopoli
pampasan perang, serta menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan
mengharamkan apa yang telah Allah halalkan, padahal aku lebih berhak dari
selainku."[214]
Namun, apa yang harus kita katakan kepada orang yang telah
meninggalkan para Imam Ahlul Bait dan menggantinya dengan para imam buatan yang
tidak Allah SWT perintahkan kepada kita untuk mentaatinya. Allah SWt berfirman,
"Dan mereka berkata, 'Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah
mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan
kami dari jalan yang benar. Ya Tuhan kami, berilah kepada mereka azab dua kali
lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar.'" (al-Ahzab: 67 - 68)
Sungguh besar kejahatan terhadap umat Islam yang telah dilakukan
oleh para penguasa Bani Umayyah, dengan membuat hadis-hadis palsu ini. Begitu
juga, betapa besar dosa dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Ahmad bin Hanbal
ini. Betapa fatwa ini telah mengecewakan generasi revolusioner Islam yang
menolak kezaliman dan kediktatoran pada abad yang digambarkan sebagai abad
kebangkitan dan pencerahan ini. Jika di sana
terdapat kejahatan yang telah dilakukan oleh sekelompok pemuda yang bergabung
di bawah bendera ajaran komunis, maka kejahatan terbesar justru dilakukan oleh
para ulama jahat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar