Teks Khutbah
Dan puluhan orang lainnya dari mereka menetapkan bahwa ayat ini turun
kepada Ali bin Abi Thalib. Dari sekian banyak riwayat-riwayat ini kita memilih
riwayat al-Hafidz Abi Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Thabari.
Ibnu Jarir ath-Thabari mengeluarkan riwayat ini beserta dengan
sanadnya di dalam kitab al-Wilayahfi Thurug Ahadits al-Ghadir, yang bunyi
teksnya sebagai berikut:
"Dari zaid bin Arqam yang berkata, 'Ketika Rasulullah saw
sampai ke Ghadir Khum, di dalam perjalanan kembalinya dari haji wada'; ketika
itu waktu dhuha, sementara cuaca sangat panas sekali, Rasulullah saw memerintahkan
para sahabatnya untuk bernaung di pepohonan. Kemudian Rasulullah menyerukan
salat berjamaah. Maka kami pun berkumpul, lalu Rasulullah saw menyampaikan
sebuah khutbah yang indah. Rasulullah saw berkata, 'Sesungguhnya Allah SWT
telah menurunkan kepadaku ayat 'Sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu
dari Tuhanmu, danjika kamu tidak melakukan (apa yang diperintahkan, berarti)
kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Dan Allah menjagamu dari (gangguan)
manusia.' Sesungguhnya aku telah diperintahkan oleh Allah melalui Jibril supaya
berdiri di tempat keramaian ini, dan memberitahukan (bangsa) putih dan hitam
bahwa Ali bin Abi Thalib adalah saudaraku, washi-ku, penggantiku dan imam
sepeninggalku. Lalu aku meminta kepada Jibril supaya me-mohonkan ampunan bagiku
kepada Tuhanku, karena aku tahu betapa sedikitnya orang-orang yang bertakwa dan
betapa banyaknya orang-orang yang mengganggu serta mencemoohku karena seringnya
aku bersama Ali dan memberikan perhatian yang lebih kepadanya, sehingga mereka
menyebutku sebagai udzun (orang yang tidak teliti dan cepat percaya pada setiap
berita yang didengarnya). Sehingga Allah berfirman,
'Di antara mereka ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan, 'Nabi
mempercayai semua apa yang didengarnya.' Katakanlah, 'la mempercayai semua yang
baik bagimu.'
Seandainya aku mau sebutkan nama-nama mereka niscaya akan aku
sebutkan, dan seandainya aku mau tunjukkan wajah-wajah mereka niscaya akan aku
tunjukkan. Namun aku berketetapan hati rnerahasiakan nama-nama mereka, dan akan
terus bersikap bersahabat terhadap mereka. Namun demikian, Allah tetap
mendesakkan dan tidak akan rela padaku melainkan aku sampaikan apa yang
diturunkan-Nya kepadaku.
Ketahuilah —wahai manusia— sesungguhnya Allah telah menetapkan Ali
sebagai wali dan imam kamu, dan telah mewajibkan kepada setiap orang darimu
untuk mentaatinya. Sah keputusan hukum yang diambilnya, dan berlaku
kata-katanya. Terlaknat orang yang menentangnya, dan memperoleh rahmat orang
yang mempercayainya.
Dengarlah dan patuhilah, sesungguhnya Allah adalah Tuhanmu dan Ali
adalah pemimpinmu. Kemudian keimamahan dan kepemimpinan (berikutnya) ada pada
keturunan yang berasal dari tulang sulbinya, sehingga tiba hari kiamat.
Sesungguhnya tidak ada yang halal kecuali apa yang telah
dihalalkan oleh Allah, Rasul-Nya dan mereka, dan tidak ada yang haram kecuali
apa yang telah diharamkan oleh Allah, Rasul-Nya dan mereka.
Tidak ada satu ilmu pun kecuali telah Allah tetapkan dan pindahkan
kepada mereka. Maka oleh karena itu janganlah kamu berpaling dari-nya, dan
janganlah kamu bersikap sombong dan enggan menerima kepemimpinannya. Karena
dialah orang yang akan menunjukkan kepada kebenaran dan mengamalkannya. Allah
tidak akan mengampuni orang-orang yang mengingkari wilayah dan kepemimpinannya,
dan tidak akan pernah memaafkannya sekali-kali. Sungguh, Allah telah memastikan
diri-Nya untuk melakukan itu bagi mereka yang menentang perintah-Nya dalam
perkara ini, dan akan menimpakan kepadanya azab yang amat pedih selama-lamanya.
Dia adalah manusia yang paling utama setelahku. Karena kamilah
kemudian Allah turunkan rezeki-Nya (kepada kamu) dan (karena kami juga maka)
seluruh makhluk memperoleh kehidupan. Sungguh terkutuk orang yang menentangnya.
Ucapanku ini berasal dari Jibril, dan Jibril dari Allah SWT. Karena itu hendaklah
setiap jiwa memperhatikan apa yang akan disiapkannya untuk hari esok.
Pahamilah ayat-ayat muhkamat Al-Qur'an, dan janganlah kamu ikuti
(secara lahiriyyah) makna ayat-ayat mutasyabihat-nya. Tidak akan ada orang yang
bisa menerangkan tafsirnya kepadamu melainkan orang yang aku pegang tangannya,
yang aku naikkan dia ke sisiku dan yang aku angkat lengannya. Kini aku umumkan,
'Barangsiapa yang aku sebagai pemimpinnya maka inilah Ali pemimpinnya.'
Perintah untuk mengangkatnya sebagai pemimpin ini adalah berasal dari Allah SWT
yang telah diturunkan kepadaku. Ingatlah, sungguh aku telah tunai-kan (perintah
ini). Ingatlah, sungguh aku telah sampaikan. Ingatlah, sungguh aku telah
perdengarkan. Ingatlah, sungguh aku telah aku jelaskan.
Tidak diperkenankan siapa pun menyandang gelar Amirul Mukminin
(pemimpin orang-orang yang beriman) sepeninggalku selain dia.' Kemudian
Rasulullah saw mengangkatnya tinggi-tinggi, sebegitu tingginya sehingga kakinya
sejajar dengan lutut Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw berkata,
'Wahai manusia, ini adalah Ali, saudaraku dan washi-ku, pemelihara
ilmuku, khalifahku bagi orang yang beriman kepadaku dan wakilku dalam
menafsirkan Kitab Allah Azza Wajalla.' Pada riwayat lain disebutkan, 'Ya Allah,
tolonglah orang yang menolongnya, perangilah orang yang memeranginya, kutuklah
orang yang mengingkarinya dan murkailah orang yang mengingkari haknya.'"
Khutbah ini tidak lagi memerlukan penjelasan. Seorang yang berakal
wajib merenunginya.
Khutbah ini menunjukkan dengan jelas wajibnya mengikuti Imam Ali
as, dan di dalamnya terdapat jawaban yang cukup atas orang yang mengatakan
bahwa maksud dari kata "wali" adalah penolong atau pecinta. Karena
petunjuk-petunjuk kontekstual dan verbal mencegah pengertian itu. Sungguh
tidaklah masuk akal Rasulullah saw menahan sekumpulan manusia besar ini di
bawah terik matahari yang sangat panas hanya untuk mengatakan kepada mereka
bahwa inilah Ali, cintai dan tolonglah dia. Orang berakal mana yang
mempertimbangkan arti ini? Dengan perkataan ini berarti dia telah menuduh
Rasulullah saw telah melakukan sesuatu yang sia-sia. Sebagaimana ucapan yang
ter-surat juga memperkuat hal ini. Rasulullah saw bersabda, "Sesungguh-nya
Ali bin Abi Thalib adalah saudaraku, washiku, khalifahku dan Imam
sepeninggalku." Rasulullah juga telah bersabda, "Maka sesungguhnya
Allah telah mengangkatnya sebagai pemimpin dan Imam bagi kamu, dan telah
mewajibkan ketaatan kepadanya atas setiap orang..."
Urusan kepemimpinan bukanlah urusan yang sederhana. Seluruh ajaran
Islam bersandar kepadanya.
Bukankah Islam adalah ketundukkan dan kepatuhan?!
Maka orang yang tidak tunduk kepada kepemimpinan Ilahi dan tidak
patuh kepada mereka di dalam seluruh perintahnya, apakah kita berhak menyebut
dia sebagai seorang Muslim?!
Tentu tidak. Karena jika tidak, maka tentu terjadi tanaqudh
(kontradiksi). Tindakan mengikuti kepemimpinan palsu dan tunduk kepadanya,
Al-Qur'an masukkan ke dalam kategori syirik.
Allah SWT berfirman, "Mereka menjadikan orang-orang alim
mereka dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah." (QS. at-Taubah:
31)
Mereka tidak menjadikan orang-orang alim mereka dan rahib-rahib
mereka sebagai berhala-berhala yang disembah, melainkan rahib-rahib mereka itu
menghalalkan bagi mereka apa-apa yang Allah haramkan dan mengharamkan bagi
mereka apa-apa yang Allah halalkan. Demikian juga orang yang membangkang kepada
kepemimpinan Ilahi, dia dianggap orang musyrik.
Orang yang merenungi ayat di atas dengan kesadaran dan mata hati
niscaya akan hal itu akan terbuka baginya. Allah SWT berfirman, "Wahai
Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu..."
Ayat ini merupakan bagian dari surat al-Maidah, yang merupakan surat Al-Qur'an
terakhir, sebagaimana yang disebut-kan di dalam Mustadrak al-Hakim.
Telah disebutkan bahwa ayat ini turun di Ghadir Khum, yaitu pada
saat sepulangnya Rasulullah saw dari haji wada.
Lantas, perintah Ilahi yang manakah ini, yang perbuatan tidak
menyampaikannya berarti sama dengan tidak menyampaikan risalah sama sekali?!
Mau tidak mau pasti perintah Ilahi tersebut merupakan substansi
dan tujuan Islam. Yaitu ketundukkan kepada kepemimpinan Ilahi dan kepatuhan
kepada perintah-perintahnya. Jelas, perkara ini menciptakan ketidakrelaan dari
sebagian para sahabat. Sebagian besar dari mereka menolaknya. Oleh karena itu,
di dalam sebuah riwayatnya Rasulullah saw berkata kepada Jibril, yang artinya,
sesungguhnya kami telah memerangi mereka selama dua puluh tiga tahun sehingga
mereka mengakui kenabianku, lalu bagaimana mungkin mereka dapat menerima
keimamahan Ali hanya dalam waktu sekejap. Dari sinilah kemudian datang firman
Allah yang berbunyi, "Dan Allah menjaga kamu dari (gangguan)
manusia."
Setelah Rasulullah menyampaikan perintah yang menyamai seluruh
risalah ini, maka turunlah ayat yang berbunyi, "Pada hari ini telah Aku
sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Aku ridai Islam sebagi agamamu."
Banyak dari kalangan para muhaddis yang dengan tegas mengatakan
bahwa ayat ini turun kepada Ali. Allamah al-Amini telah menyebutkan enam belas
sumber dari mereka di dalam kitabnya al-Ghadir, jilid 1, halaman 230 sampai
dengan halaman 237. Dengan demikian, penyempurnaan agama dan pencukupan nikmat
adalah dengan kepemimpinan Ali as. Dari sini kita dapat memberi kemungkinan
kepada riwayat-riwayat yang mengatakan, sesungguhnya diterimanya amal perbuatan
seorang hamba bergantung kepada penerimaannya terhadap kepemimpinan Ahlul Bait.
Karena mereka adalah jalan yang telah Allah perintahkan kepada kita untuk
mengikutinya. Allah SWT berfirman, "Katakanlah, 'Aku tidak meminta upah
apa pun kepadamu atas risalah yang aku sampaikan selain dari kecintaan kepada
Ahlul Baitku.'" Kecintaan terhadap mereka bukan semata-mata dengan
mencintai mereka, melainkan dengan menolong dan mengikuti mereka dan juga
mengambil ajaran-ajaran agama dari mereka.
Di dalam sebuah hadis yang berasal dari Imam Ja'far bin Muhammad
ash-Shadiq as disebutkan bahwa Imam Ja'far ash-Shadiq telah berkata,
"Sesungguhnya sesuatu yang pertama kali akan ditanya kepada seorang hamba
tatkala dia berada di hadapan Allah SWT ialah mengenai salat yang diwajibkan,
zakat yang diwajibkan, puasa yang diwajibkan, dan mengenai kepemimpinan kami
Ahlul Bait. Jika dia mengakui kepemimpinan kami, lalu dia mati, maka diterima
salatnya, puasanya, zakatnya dan hajinya. Dan jika dia tidak mengakui
kepemimpinan kami di hadapan Allah maka Allah tidak akan menerima sedikit pun
amal perbuatannya. "[90]
Dari Ali as yang berkata, "Tidak ada kebaikan di dunia
kecuali bagi salah seorang di antara dua orang laki-laki. Yaitu seorang
laki-laki yang bertambah kebaikannya setiap harinya, dan seorang laki-laki yang
menyusul keburukannya dengan tobat. Demi Allah, kalau sekiranya seorang hamba
bersujud hingga terputus lehernya niscaya Allah tetap tidak akan menerima
tobatnya kecuali dia mengakui kepemimpinan kami Ahlul Bait"
Dari Anas bin Malik, dari Rasulullah saw yang bersabda,
"Wahai manusia, jika dlsebut keluarga Ibrahim kepadamu tampak berseri-seri
wajahmu, namun jika disebut keluarga Muhanirnad kepadamu tampak seolah-olah
biji-biji delima memecah di wajahmu? Demi Zat yang telah mengutusku sebagai
nabi dengan kebenaran, jika salah seorang dari kamu datang pada hari kiamat
dengan membawa amal perbuatan sebesar gunung Uhud namun dia tidak datang dengan
membawa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib as niscaya Allah akan lemparkan dia ke
dalam neraka."[91]
Dan riwayat-riwayat lainnya yang semisal dengan itu.
BAB VI
Musyawarah dan Kekhilafahan Islam
Pertama:
PEMBAHASAN TENTANG AYAT-AYAT MUSYAWARAH
Baik dahulu maupun sekarang kaum Muslimin berbeda pendapat di
dalam cara bagaimana menentukan imam dan khalifah. Pada jaman dahulu perbedaan
pendapat tersebut lebih banyak berwujud dalam tataraan kenyataan praktis dan
penerapan lapangan dibandingkan pada tingkatan teori dan pemikiran. Adapun pada
jaman sckarang perbedaan tersebut hanya terbatas pada tataran pemikiran, tidak
melampaui tingkat pertengkaran ucapan dan argumentasi teoritis.
Partisipasi kita di dalam menyelesaikan pertengkaran ini ialah
dengan cara kita akan mendiskusikan penunjukkan (dilalah) ayat-ayat musyawarah
(syura) yang terdapat di dalam Al-Qur'an yang dijadikan sandaran oleh kalangan
Ahlus Sunnah di dalam pandangan mereka. Kemudian setelah itu kita akan mengkaji
musyawarah dalam tataran kenyataan praktis setelah wafatnya Rasulullah saw dan
sekaligus ber-bagai peristwa yang terjadi sesudahnya.
Allah SWT berfirman,
"Maka disebabkan rahmat dan Allahlah kamu berlaku
lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah
mereka, mohonkaniah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka
dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal
kepada-Nya." (QS. Ali Imran: 159)
"Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan
kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.
Danjika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada
Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."
(QS. al-Baqarah: 233)
"Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami
berikan kepada mereka. " (QS. asy-Syura: 38)
Kalangan Ahlus Sunnah, di dalam masalah kekhilafahan bersandar
kepada konsep syura. Mereka mengatakan bahwa kekhilafahan kaum Muslimin tidak
dapat ditentukan kecuali melalui musyawarah. Oleh karena itu, mereka mensyahkan
kekhilafahan Abu Bakar, yang terpilih melalui musyawarah di Saqifah Bani
Sa'idah. Sedangkan pandangan kedua, yaitu kalangan Syi'ah, memandang bahwa
masalah kekhilafahan harus ditentukan dan diangkat oleh Allah SWT, karena tidak
ada jaminan terpilihnya orang yang paling layak berdasarkan pandangan pertama.
Hal itu dikarenakan masalah musyawarah sangat dipengamhi dengan
pengaruh-pengaruh emosi dan perasaan manusia, pandangan-pandangan pemikiran dan
kejiwaan mereka dan juga afiliasi mereka kepada keyakinan, sosial dan politik
tertentu. Di samping itu, musya-warah juga membutuhkan tingkat ketulusan,
objektifitas dan keter-bebasan dari berbagai pengaruh yang disadari maupun yang
tidak disadarl. Oleh karena itu, mereka (kalangan Syi'ah) mengatakan Rasulullah
harus mempunyai wasiat yang jelas di dalam masalah kckhilafahan. Mereka
mengatakan Rasulullah saw telah menetapkan khalifah dan bahkan
khalifah-khalifah sepeninggalnya. Atas dasar itu, mereka meyakini kekhilafahan
Ali bin Abi Thalib as, dan bahwa musyawarah yang disebutkan di dalam Al-Qur'an
hanyalah diperuntukkan bagi beberapa tema permasalahan yang khusus berkaitan
dengan pelaksanaan dan penerapan hukum, bukan berkaitan dengan penentuan hakim
(pemimpin), yang merupakan kedudukan Ilahi.
Oleh karena perbedaan tersebut hanya terbatas di antara dua
pandangan ini, maka kebatilan salah satunya akan membuktikan kebenaran yang
lainnya, dan sebagai akibatnya membuktikan kebenaran atau kebatilan
kekhilafahan khalifah, baik khalifah itu Abu Bakar dan khalifah-khalifah lain
yang menggantikannya atau khalifah itu Ali dan para washi yang menggantikannya.
Kita telah membuktikan pada pasal-pasal sebelumnya, dengan tidak
meninggalkan keraguan sedikit pun, akan kebenaran pandangan yang mengatakan
lebih berhaknya Ahlul Bait di dalarn kekhilafahan Islam, dan bahkan merupakan
hak yang khusus bagi mereka dan tidak bagi selain mereka. Namun, untuk lebih
menyempurnakan faidah dan menjelaskan hakikat, mau tidak mau kita harus
mcndiskusikan konsep musyawarah sebagai semata-mata sebuah konsep, dan sampai
sejauh mana kelayakannya di dalam masalah pemilihan khalifah kaum Muslimin.
Kalangan pendukung konsep musyawarah, di dalam menegakkan
pandangannya sangat bersandar kcpada ayat-ayat Al-Qur'an yang telah kita
scbutkan pada awal pembahasan. Ayat-ayat tersebut menjadi pokok pembahasan di
dalam bab ini.
Jika kita mengkaji ayat-ayat di atas niscaya akan jelas bagi kita
bahwa konsep musyawarah Islam tergambar dalam dua bentuk:
1. Tema musyawarah yang hendak dimusyawarahkan adalah suatu urusan
yang bersifat parsial, di dalam konteks yang sempit dan terbatas, seperti terna
penyapihan anak yang masih menyusu, sebagaimana yang diisyaratkan oleh ayat,
"Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan..." Jenis musyawarah ini tidak menjadi bahan
pertengkaran, dan oleh karena itu kita tidak perlu mendiskusikannya.
2. Tema musyawarah yang hendak dimusyawarahkan adalah suatu
perkara umum yang mcnjadi perhatian seluruh kaum Muslimin, Seperti mengumumkan
perang terhadap musuh atau memilih khalifah kaum Muslimin.
Tidak diragukan, bahwa dalam masalah yang seperti ini kaum
Muslimin harus merujuk kepada Rasulullah saw. Karena tidak lah logis sebuah
musyawarah terlaksana dengan tidak ada pendapat Rasulullah saw di dalamnya.
Bahkan, termasuk buruk dalam pandangan umum ('urf) dan pembangkangan menurut
syariat jika sebuah musyawarah dilakukan dengan tanpa merujuk kepada Rasulullah
saw atau orang yang menempati kedudukannya, yaitu wali amri. Allah SWT
berfirman, "Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri dari
mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)." (QS. an-Nisa: 83)
Jenis musyawarah ini berdasarkan ayat "Dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,
maka bertawakallah kepada Allah..." mempunyai tiga rukun:
1. Adanya orang-orang yang bermusyawarah, sehingga musyawarah
terlaksana. Dan ini ditunjukkan oleh kata ganti hum (mereka) di dalam kata
"wa syawirhun".
2. Adanya materi dan tema yang dimusyawarahkan, sehingga dengan
itu musyawarah terlaksana.
3. Adanya pemimpin yang mengatur musyawarah, dan putusan terakhir
bergantung kepada pandangannya. Ini ditunjukkan oleh kata ganti ta mukhaththab
(orang kedua) pada kalimat "faidza 'azamta fatawakkal 'alallah..."
Tidak diragukan, jika yang menjadi tema adalah urusan umum yang berkaitan
dengan seluruh kaum Muslimin maka yang mempunyai hak memutuskan ialah wali
amril Muslimin.
Tidak mungkin musyawarah yang sah dalam bentuknya yang Islami dapat
terlaksana dengan tidak adanya salah satu di antara ketiga rukun di atas. Bisa
saja wali aniri ada, orang yang bermusyawarah ada, namun tema musyawarah tidak
ada, maka di sini musyawarah tidak terselenggara sama sekali. Oleh karena tidak
ada permasalahan yang dapat mereka diskusikan dan musyawarahkan. Atau, bisa
juga wali amri ada, tema musyawarah ada, namun kumpulan manusia yang akan
bermusyawarah tidak ada, maka di sini berubah status dari musya-warah kepada
nas atau perintah.
Atau juga, kumpulan manusia yang bermusyawarah ada, tema
musyawarah ada, namun wali amri tidak ada, maka di sini musyawarah tidak
berlangsung dengan bentuknya yang sah sebagaimana yang telah Allah SWT tetapkan
di dalam Kitab-Nya, ketika Dia mewajibkan adanya pengawas atas musyawarah, yang
menjadi tempat kembalinya urusan, Ketika masing-masing dari mereka mengeluarkan
pandangannya, maka dia (wali amr) harus menjadi rujukan seluruh pandangan.
Musyawarah yang tidak sah ini tidak mungkin bisa mengeluarkan
keputusan-keputusan yang sah dan mengikat seluruh kaum Muslimin. Karena
musyawarah ini bertentangan dengan apa yang telah ditekankan oleh ayat bahwa
pada akhirnya urusan bcrgantung kepada wali amri, "Kemudian apabila kamu
telah berketetapan hati, maka bertawakallah kepada Allah."
Mungkin saja ada orang yang membantah dan berkata bahwa ayat
"Dan bermusyawarahlah dengan rnereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah..." adalah
khusus untuk Rasulullah, sehingga tidak mengharuskan adanya wali amri di dalam
musyawarah; dan tidak ada halangan musyawarah dilaksanakan dengan tanpa adanya
wali amri, berdasarkan petunjuk ayat "Dan bermusyawarahlah dengan mereka
dalam urusan itu. " Karena di dalam zahir ayat tidak terdapat kata wali
amri yang berketetapan hati dan bertawakal, sebagaimana yang terdapat di dalam
ayat yang pertama.
Bantahan ini dapat dijawab dengan beberapa jawaban berikut:
1. Sesungguhnya seluruh yang tertelapkan bagi Rasulullah saw,
seperti hak ketaatan, juga tertetapkan bagi wali amri, berdasarkan firman Allah
SWT yang berbunyi, "Taatilah Allah, taatilah Rasul dan ulil amri dari
kamu." Dengan begitu menjadi jelas bahwa jenis ketaatan kepada wali amri
adalah jenis kctaatan yang sama dengan ketaatan kepada Rasulullah saw, disebabkan
adanya athaf secara pasti, sebagaimana digunakannya satu kata (yaitu kata
"taatilah") untuk keduanya, yaitu "Taatilah Rasul dan ulil amri
dari kamu... " Jika seandainya digunakan kata "athi'u" untuk
ketiga kalinya bagi ulil amri, maka barulah benar perkataan yang mengatakan di
sana terdapat perbedaan di antara dua ketaatan tersebut.
2. Sesungguhnya tata cara musyawarah yang telah Allah tetapkan
dalam urusan-urusan umum yang berhubungan dengan seluruh kaum Muslimin adalah
satu, "Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudianjika
kamu telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah." Sehingga
penggunaan tata cara lain menuntut adanya dalil syariat yang menghasilkan
perkara-perkara syariat, seperti kewajiban taat terhadap apa yang dihasilkan
oleh musyawarah ini. Dan berargumentasi dengan ayat "Sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka" untuk cara yang kedua
dari musyawarah tidaklah sempurna.
Karena perkataan ini mendapat bantahan bahwa —tidak diragukan— ayat
ini turun kepada Rasulullah saw. Dalam arti, ayat ini turun pada saat
Rasulullah masih hidup di tengah-tengah kaum Muslimin. Akal dan agama tentunya
melarang kaum Muslimin bermusyawarah tentang suatu urusan umum yang menyangkut
urusan seluruh kaum Muslimin dengan tanpa kehadiran Rasulullah saw di antara
niereka dan dengan tanpa merujuk kepada beliau. Salah satu dalil yang
menunjukkan bahwa Rasulullah harus berada di tengah mereka ialah, bahwa kata
ganti hum (mereka) di dalam ayat "Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah di antara mereka " mencakup Rasulullah saw. Di samping itu,
sesungguhnya konteks ayat di atas berbicara tentang sifat-sifat orang Mukmin
yang menang, "Maka sesuatu apa pun yang diberikan kepadamu, itu adalah
kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih
kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka
bertawakal Dan (bagl) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan
perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi rnaaf. Dan
(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka;
dan merteka menafkahkan sebagian rejeki yang Kami berikan kepada mereka."
(QS. asy-Syura: 36-38)
Tidak diragukan bahwa seutama-utamanya ekstensi (mishdaq)
orang-orang Mukmin adalah Rasulullah saw. Tidak diragukan bahwa Rasulullah saw
adalah salah seorang dari mereka. Jika telah terbukti bahwa Rasulullah saw
termasuk bagian dari musyawarah ini, maka tentu Anda tahu bahwa urusan
musyawarah di dalam ayat ini kembali kepada Rasulullah saw, dan tentunya
musyawarah ini tidak akan sempurna kecuali dengan ketetapan hati beliau,
"Kemudian jika kamu telah berbulat hati maka bertawakallah kepada Allah."
Dengan demikian, sesungguhnya musyawarah ialah sebagaimana cara
yang pertama. Seluruh yang terdapat di dalam ayat "Sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka" adalah bersifat umum dan
mujmal, sedangkan ayat "Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan
itu. Kemudian apahila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada
Allah" adalah merupakan penjelas dan perinci baginya.
Setelah saya menjelaskan ini, dengan segera saya menambahkan bahwa
kita akan sampai kepada hasil yang terbatas jika kita berpendapat bahwa ayat
"Dan bermusyawarahlah dengan mereka..." ini hanya khusus untuk
Rasulullah saw, dan tidak untuk ulil amri. Karena jika demikian musyawarah
tidak akan bisa berlangsung kecuali dengan adanya Rasulullah. Dan jika
Rasulullah saw meninggal dunia maka tidak ada musyawarah, disebabkan tidak
adanya salah satu rukun dasar di dalam musyawarah, yaitu Rasulullah saw. Namun
jika kita mengatakan ayat ini tidak hanya khusus terbatas bagi Rasulullah saw
saja, maka berarti kita mengatakan ayat ini juga mencakup ulil amri, sehingga
dengan begitu musyawarah tetap ada dan sah dengan syarat adanya wali amri di
dalamnya. Dan wali amri memiliki hak-hak yang dimiliki oleh Rasulullah saw di
dalam musyawarah, karena dia menempati tempat Rasulullah. Sehingga dengan
demikian, makna "Dan urusan mereka (diselesaikan) dengan permusyawatan di
antara mereka' ialah mereka tidak dapat menyimpulkan suatu urusan dengan tanpa
bermusyawarah kepada Rasulullah saw, di dalam urusan-urusan agama yang mereka
perlukan. Sebagaimana firman Allah SWT, "Dan kalau mereka menyerahkannya
kepada Rasul dan ulil amri dari mereka, tentulah orang-orang yang ingin
mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil
amri)."
Berdasarkan kedua pendapat di atas, maka pandangan musyawarah di
dalam pengangkatan khalifah menemui jalan buntu, yang berakibat kepada batalnya
pandangan tersebut. Berdasarkan pendapat pertama, yaitu yang mengatakan
"Dan bermusyawarahlah dengan mereka di dalam urusan itu..." hanya
khusus untuk Rasulullah saw, sebagaimana diketahui bahwa musyawarah yang
diselenggarakan untuk meng-angkat khalifah pertama itu dilakukan setelah
wafatnya Rasuullah saw, sehingga dengan begitu tentunya dia merupakan
musyawarah yang tidak sah menurut hukum Islam dan pandangan Al-Qur'an, dan
dengan begitu maka berarti seluruh keputusan yang dihasilkan darinya adalah
tidak sah, yang salah satunya adalah pengangkatan khalifah pertama, sebagaimana
yang ditunjukkan oleh kitab-kitab sejarah dan kitab-kitab hadis tentang tata
cara pengangkatannya, pada sebuah tempat yang mereka namakan dengan Saqifah
Bani Sa'idah. Adz-Dzahabi telah merekam peristiwa tersebut di dalam kitab
sejarahnya. Sebagaimana peristiwa ini direkam juga di dalam Sahih Bukhari, di
dalam kitab al-hudud, bab merajam wanita yang mengandung hasil perbuatan zina,
dengan riwayat dari Umar bin Khatab. Ibnu Jarir ath-Thabari juga merekam
peristiwa ini di dalam kitab sejarahnya tatkala dia menceritakan
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 11 Hijrah, di dalam jilid 2 dari
kitab sejarahnya. Demikian juga Ibnu Atsir, dan Ibnu Qutaibah di dalam kitabnya
Tarikh al-Khulafa, jilid 1. Dan begitu juga kitab-kitab referensi sejarah
lainnya.
Adapun berdasarkan pendapat yang kedua, yaitu pendapat yang mengatakan
bahwa ayat "Dan bermusyawarahlah dengan mereka... " terlaksana dengan
adanya Rasulullah saw atau orang yang menempati kedudukannya, musyawarah yang
sah tidak dapat terlaksana kecuali dengan adanya wali amri, dan wali amri tidak
dapat diangkat kecuali dengan musyawarah yang sah, maka ini berarti terjadi
dawr (berputar), dan dawr itu mustahil. Karena, tidak mungkin musyawarah yang
sah dilaksanakan kecuali setelah adanya wali amri, sementara wali amri tidak
mungkin ada kecuali setelah dilaksanakannya msuyawarah yang sah. Ini berarti
perkara ini bergantung kepada dirinya, sehingga dengan begitu tidak akan
mungkin musyawarah yang sah terlaksana untuk selamanya. Kecuali jika dikatakan
bahwa di sana ada seorang wali amri yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw,
yang keberadaannya lebih dulu dibandingkan keberadaan musyawarah. Ini berarti
penerimaan terhadap "pandangan nas", yang dikatakan oleh madrasah
Ahlul Bait.
Mungkin ada orang yang mengatakan tidak wajib adanya wali amri di
dalam musyawarah, melainkan cukup dengan adanya orang yang bermusyawarah. Jika
Anda membantah dengan mengatakan bahwa dhamir pada kata 'azamta menunjukkan hak
orang yang bermusyawarah untuk mengambil keputusan, dan ini menunjukkan bahwa
dia itu wali amri di dalam musyawarah, maka bantahan ini dapat dijawab dengan
mengatakan bahwa kata in 'azamta (apabila kamu berbulat hati) adalah berarti
berbulat hati untuk melaksanakan hasil musyawarah.
Sesungguhnya zahir ayat di atas tidak demikian. Karena yang paling
tampak dari ayat ini ialah tertetapkannya hak mengambil keputusan padanya.
Dengan kata lain, sesungguhnya perkataan di atas baru dikatakan benar jika
pendapat orang-orang yang bermusywarah itu satu; akan tetapi jika pendapat
orang-orang yang bermusyawarah itu ber-macam-macam, bagaimana musyawarah dapat
mengambil keputusan?
Jika orang itu mengatakan harus berdasarkan suara mayoritas, mana
dalilnya? Justru Allah SWT sering mengecam kelompok mayorits di dalam banyak
ayatnya, "... kebanyakan orang yang ada di muka bumi berusaha menyesatkan
kamu." Bahkan, perkataannya ini bertentangan dengan bunyi ayat yang
menyerahkan urusan pengambilan keputusan kepada satu orang yang bermusyawarah
manakala terjadi perbedaan pendapat. Jika kita menerima ini, maka berarti orang
itu telah keluar dari sifat orang yang bermusyawarah kepada sifat sifat seorang
wali di dalam musyawarah. Bahkan, sekali pun orang-orang yang ber-musyawarah
sepakat atas suatu pendapat, maka orang itu (wali amri) tetap mempunyai hak
untuk menetapkan atau tidak menetapkannya.
Dari pembahasan di atas menjadi jelas bahwa pandangan musyawarah
berada di antara dua jalan buntu:
1. Musyawarah dapat dilakukan dengan tanpa adanya Rasulullah saw
dan ulul amri. Musyawarah yang seperti ini batal dan tidak sah. Dan pendapat
yang mengatakan mungkinnya dilakukan musyawarah dengan tanpa adanya Rasulullah
saw dan ulil amri memerlukan kepada dalil agama, namun tidak ada dalil agama
yang menunjukkan kepada hal itu.
2. Atau, musyawarah dilakukan dengan adanya wali amri yang
dijadikan sebagai rujukan. Kemungkinan ini dapat dibayangkan dalam beberapa
bentuk:
a. Wali amri sendiri menobatkan dirinya sebagai wali amril
Muslimin. Cara yang seperti ini tentunya sesuatu yang tidak dibolehkan oleh
agama. Ini merupakan sebuah perampasan tidak sah terhadap hak-hak kaum
Muslimin, sehingga bagaimana bisa ketaatan kepadanya menjadi wajib atas seluruh
kaum Muslimin.
b. Atau, adanya sekelompok kecil orang yang mengurusi urusan kaum
Muslimin. Di sini pun kita tetap terperosok ke dalam dua jalan buntu yang telah
kita bicarakan. Dalam bentuk ini kita akan tetap jatuh kepada pertanyaan,
alasan syariat yang mana yang membenarkan kita mentaati mereka, dan mana
dalilnya?!
c. Allah SWT dan Rasul-Nya menetapkan seseorang sebagai wali amri.
Maka di sini tidak diperlukan lagi musyawarah, disebabkan tidak mungkin
menentang Allah SWT dan Rasul-Nya. Pandangan ini sendiri adalah pandangan nas
atau pandangan wasiat, sehingga dengan begitu ternafikanlah pandangan
musyawarah. Dan sebagai konsekwensinya adalah batalnya kekhilafahan pertama.
Dengan penjelasan-penjelasan ini menjadi jelas batalnya pandangan
musyawarah di dalam menentukan khilafah dari semua segi, sehingga kita layak
memalingkan tema musyawarah yang terdapat di dalam ayat-ayat Al-Qur'an al-Karim
kepada tema-tema selain pengangkatan wali amril Muslimin, seperti musyawarah
mengenai cara-cara penerapan hukum, strategi peperangan dan sebagainya,
sebagai-mana yang menjadi konteks ayat "Dan bermusyawarahlah dengan mereka
di dalam urusan itu. "
Tidak tersisa lagi pintu bagi mereka, kecuali jika mereka
mengklaim bahwa Allah SWT dan Rasul-Nya telah mengangkat dan menetapkan
kekhilafahan pertama (kekhilafahan Abu Bakar). Namun, Abu bakar sendiri tidak
mengklaim hal itu. Karena jika Abu Bakar mengklaim hal itu, maka tentu dia akan
berhujjah dengannya kepada orang-orang Anshar pada saat di Saqifah.
Salah satu hal lain yang juga jelas diketahui dari ayat syura
ialah bahwa Allah SWT tidak mempercayai mereka dalam masalah strategi perang,
yang masih merupakan sesuatu yang berada di dalam ruang lingkup sesuatu yang
dapat dimusyawarahkan —sebagaimana yang dapat dipahami dari konteks ayat, dan—
apalagi mempercayai mereka dalam sebuah urusan yang lebih besar, yaitu memilih
khalifah pengganti Rasulullah saw. Jika Anda tidak mempercayai seseorang untuk mengelola
uang seratus dinar, maka bagaimana mungkin Anda mempercayainya untuk mengelola
uang seribu dinar.
Kemudian, bagaimana mungkin masuk akal Allah SWT menyerahkan
kepada umat untuk memilih sendiri khalifahnya, padahal Allah SWT dan Rasul-Nya
saw telah mengetahui akan terjadinya pembelotan langsung setelah wafatnya
Rasulullah saw, "Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu akan berbalik ke
belakang (murtad)?..." Jika Anda memperhatikan ayat ini dengan seksama
niscaya akan jelas bagi Anda bahwa orang-orang yang diseru di sini adalah
orang-orang Muslim. Karena tidak ada artinya pembelotan orang kafir, dan juga
tidak bisa pembelotan ini diterapkan kepada Musailamah al-Kadzdzab, karena
pembelotannya terjadi pada masa Rasulullah saw.
Tidak masuk akal jika Allah SWT dan Rasul-Nya membiarkan urusan
ini menjadi sia-sia di tengah-tengah kaum Muslimin, padahal Dia tahu akan
terjadi berbagai fitnah di antara kaum Muslimin apabila tidak ditentukan
pemimpin yang akan menjadi rujukan mereka. Sejarah menjadi saksi akan hal itu,
di mana ketiadaan wali amri telah menyebabkan timbulnya berbagai fitnah di
tengah-tengah kaum Muslimin. Penyimpangan ini terus berlanjut hingga
orang-orang yang fasik, orang-orang yang berbuat kerusakan, dan orang-orang
yang tidak mempunyai rasa malu, akhlak dan agama, berkuasa atas kaum Muslimin.
Untuk menambah keyakinan Anda, silahkan putar balik jarum jam Anda mulai dari
empat belas abad yang lalu, lalu silahkan berhenti sejenak pada masa dinasti
Bani Umayyah dan Bani Abbas, yang memerintah manusia selama periode tertentu,
supaya Anda dapat mengenal para penguasa mereka dan bagaimana mereka secara
terang-terangan meminum khamar, dan bagaimana mereka bermain dengan anjing dan
kera, setelah terlebih dahulu binatang-binatang itu dikenakan baju sutera yang
halus dan perhiasan emas; dan perbuatan-perbuatan keji lainnya yang dilakukan
para penguasa, yang sejarah pun merasa malu untuk mencatatnya.
Ini merupakan salah satu bukti yang menunjukkan
kejelekan-kejelekan konsep "pemilihan" dan sekaligus kemandulan
konsep ini sejak dari dasarnya. Karena, orang yang kita pilih hari ini mungkin
saja kita benci keesokan harinya, namun kita tidak mampu menurunkannya setelah
menempatkan dia sebagai pemimpin. Kaum Muslimin telah berusaha mengerahkan
segenap usahanya untuk menurunkan Usman, namun Usman enggan turun dengan
mengatakan, "Saya tidak akan melepaskan pakaian yang telah Allah SWT
kenakan kepada saya."
Setelah kita membuktikan kelemahan dua dalil yang telah
dikemukakan kelompok pertama, yang telah menjadikan konsep musyawarah sebagai
pilar dasar di dalam memilih khalifah yang akan mengurusi urusan kaum Muslimin
sepeninggal Rasulullah saw, dan setelah jelas bagi kita jauhnya kedua dalil
tersebut dari maqam khilafah dan kepemimpinan, kita kembali memejamkan mata dari
kenyataan ini dan tetap saja tunduk dan menerima kedua dalil dalam masalah
khilafah dan kepemimpinan ini, serta pura-pura tidak tahu akan
penyimpangan-penyimpangan yang dimiliki keduanya.
Apakah sikap pura-pura tidak tahu dan penerimaan akan kemandulan
pandangan ini akan dapat menyelesaikan ketidak-jelasan peraturan di dalam semua
hal yang berkaitan dengan cara pelaksanaan kandungannya? Kedua dalil ini tidak
dapat meluruskan kebengkokan dan menutupi celah-celah kekurangan konsep ini.
Karena konsep ini membutuhkan pembatasan dan perincian akan maknanya. Kedua nas
yang diisyaratkan di atas, juga kehilangan ukuran-ukuran musyawarah dan
cara-cara pengoreksiannya, di samping konsep ini juga memerlukan alat-alat
pelaksanaan di dalam penerapannya.
Kita tidak mendapati di dalam hadis-hadis dan riwayat-riwayat
serta di dalam sejarah kehidupan Rasulullah saw yang menyebutkan bahwa
Rasulullah saw telah mengemukakan konsep ini dan mengharuskan umat untuk
melaksanakannya. Jika Rasulullah saw telah melakukan yang demikian, maka tentu
kita mendapati Rasulullah saw telah menetapkan petunjuk-petunjuk yang jelas
tentang hal itu, atau tentunya telah membiasakan hal itu di tengah-tengah
umatnya guna mempersiapkan mereka, baik dari segi pemikiran, kejiwaan dan
politik, supaya bisa melaksanakan konsep ini.
Atau setidaknya beliau telah mempersiapkan beberapa contoh figur
yang cakap untuk memegang kepemimpinan percobaan dan pengawasan terhadap
syariat dan pelaksanaannya. Namun, sebagaimana yang telah kita kemukakan, tidak
ada bukti-bukti yang menunjukkan kepada yang demikian itu.
Kedua:
MUSYAWARAH, DALAM KENYATAAN PELAKSANAAN
Musyawarah Dan Saqifah Bani Sa'idah
Saqifah Di Dalam Kitab Tarikh Thabari.
Thabari menceritakan peristiwa ini secara rinci di dalam kita
tarikhnya, jilid 2, terbitan al-Istiqlal Kairo, tahun 1358 Hijrah, atau bertepatan
dengan tahun 1939 Masehi. Kita akan menukilkannya secara ringkas, sesuai
kebutuhan, dari halaman 455 - 460 sebagai berikut:
"Orang-orang Anshar telah berkumpul di Saqifah Bani Sa'idah.
Mereka meninggalkan jenezah Rasulullah saw yang sedang dimandikan oleh
keluarganya. Mereka berkata, 'Kami menyerahkan urusan ini kepada Sa'ad bin
'Ubadah sepeninggal Rasulullah saw. Kemudian mereka menghadirkan Sa'ad bin
'Ubadah ke tengah-tengah mereka yang ketika itu sedang sakit. Maka Sa'ad bin
'Ubadah pun mengucapkan puji-pujian kepada Allah SWT, lalu dia menyebutkan
kedahuluan mereka di dalam agama, keutamaan-keutamaan mereka di dalam Islam,
pemuliaan mereka terhadap Rasulullah dan para sahabatnya, serta jihad mereka di
dalam melawan musuh-musuhnya, sehingga bangsa Arab tegak dan Rasulullah saw
meninggal dunia dalam keadaan rida kepada mereka. Sa'ad bin 'Ubadah berkata,
'Maka gengamlah kuat-kuat urusan ini, jangan sampai orang lain yang
menggenggamnya.' Orang-orang Anshar menjawab, 'Sungguh tepat pendapat Anda, dan
sungguh benar perkataan Anda. Kami tidak akan melanggar apa yang Anda
perintahkan, dan akan kami angkat Anda sebagai pemimpin. Dan kaum Muslimin yang
saleh tentu akan menyenangi.'
Kemudian mereka saling bertukar kata di antara mereka. Sebagian di
antara mereka berkata, 'Bagaimana apabila kaum Muhajirin menolak dan berkata,
'Kami adalah kaum Muhajirin dan sahabat-sahabat Rasulullah saw yang pertama,
kami adalah keluarganya dan wali-walinya, maka kenapa Anda hendak bertengkar
dengan kami mengenai kepemimpinan sesudah Rasulullah saw?' Lalu sebagian mereka
yang lain berkata, 'Jika demikian, maka kita akan menjawab, 'Seorang pemimpin
dari kami, dan seorang pemimpin dari kamu. Selain begini, kita sama sekali
tidak akan rela. Kita adalah pemberi perumahan, pelindung dan penolong,
sementara mereka yang melakukan hijrah. Kita berpegang kepada Al-Qur'an
sebagaimana mereka. Apa pun alasan yang mereka ajukan, kita akan mengajukan
dalil yang sama. Kita tidak hendak memonopoli kekuasaan terhadap mereka, maka
bagi kita harus ada seorang pemimpin dan bagi mereka seorang pemimpin.' Maka
berkatalah Sa'ad bin 'Ubadah, 'lniah awal kelemahan!'
Abu Bakar dan Umar mendengar apa yang tengah dilakukan oleh
orang-orang Anshar, maka mereka berdua pun bergegas pergi ke Saqifah dengan ditemani
oleh Abu 'Ubaidah bin Jarrah, dan kemudian bergabung bersama mereka Usaid bin
Hudhair, 'Awim bin Sa'idah dan 'Ashim bin 'Adi, dari kalangan Bani 'Ajlan.
Kemudian Abu Bakar berbicara, setelah sebelumnya melarang 'Umar berbicara.
Pertama-tama Abu Bakar mengucapkan puji-pujian kepada Allah SWT, dan kemudian
menyebutkan kedahuluan orang-orang Muhajir di dalam membenarkan Rasulullah saw,
sebelum seluruh orang Arab yang lain. Abu Bakar berkata, 'Mereka adalah
orang-orang yang pertama menyembah Allah SWT di muka bumi dan beriman kepada
Rasulullah saw. Mereka itu adalah keluarganya dan wali-walinya, dan manusia
yang paling berhak atas urusan ini sepeninggalnya, serta tidak ada yang
bertengkar dengan mereka di dalam urusan itu kecuali orang yang zalim.' Kemudian
Abu Bakar menyebutkan keutamaan-keutamaan orang Anshar. Setelah itu dia
berkata, 'Setelah orang-orang Muhajir yang pertama tidak ada orang yang
mempunyai kedudukan di sisi kita selain orang-orang Anshar. Maka oleh karena
itu kami adalah pemimpin sedangkan Anda adalah wazir (pembantu).'
Maka Hubab bin Mundzir berkata, 'Wahai kaum Anshar, peganglah
urusan Anda. Sesungguhnya manusia berada di bawah naungan Anda, dan tidak akan
ada seorang pemberani yang berani menentang Anda. Oleh karena itu, janganlah
Anda berselisih, sehingga akan merasak pendapat Anda dan menodai urusan Anda.
Apabila mereka menolak kecuali sebagaimana yang telah Anda dengar, maka biarlah
dari kita seorang pemimpin dan dari mereka seorang pemimpin.'
Umar berkata, 'Demi Allah, dua pedang tidak akan masuk ke dalam
satu sarung. Orang Arab tidak akan menerima kepemimpinan Anda, wahai orang
Anshar, karena Nabi bukan berasal dari Anda. Akan tetapi orang Arab tidak akan
keberatan dipimpin oleh kaum yang Nabi berasal dari mereka. Tentang ini, kami mempunyai
bukti yang jelas. Siapa yang memperselisihkan kami atas kekuasaan Muhammad dan
pemerintahannya, padahal kami adalah wali-walinya dan kaum kerabatnya.'
Hubab bin Mundzir berdiri dan berkata, 'Wahai kaum Anshar, jangan
Anda dengarkan orang-orang ini, Umar dan sahabat-sahabatnya. Mereka akan
mengambil hak Anda dan merampas kebebasan kalian untuk memilih. Jika mereka
tidak setuju, kirim mereka pulang dan biarkan mereka membentuk pemerintahannya
sendiri di sana .
Demi Allah, Anda lebih berhak menjadi pemimpin dari mereka. Karena dengan
perantaraan pedang Anda, orang-orang yang sebelumnya tidak memeluk agama ini
menjadi memeluk agama ini.'
Umar berkata, 'Kalau begitu, mudah-mudahan Allah SWT membunuhmu.'
Hubab bin Mundzir berdiri, 'Tidak, justru mudah-mudahan kamu yang
dibunuh oleh Allah SWT.'
Abu 'Ubaidah berkata, 'Wahai kaum Anshar, Anda adalah yang pertama
membela Islam, maka janganlah Anda menjadi orang yang pertama memisahkan diri
dan berubah.'
Maka berdirilah Basyir bin Sa'ad al-Khazraji, ayah Nu'man bin
Basyir berkata, 'Wahai kaum Anshar, kita kaum Anshar telah memerangi kaum kafir
dan membela Islam bukanlah untuk kehormatan duniawi, tetapi untuk memperoleh
keridaan Allah SWT. Kita tidak mengejar kedudukan. Nabi Muhammad adalah orang
Quraisy, dari kaum Muhajirin, dan layaklah sudah apabila seorang dari
keluarganya menjadi penggantinya. Saya bersumpah dengan nama Allah, bahwa saya
tidak akan melawan mereka. Saya harap Anda sekalian pun demikian.'
Kemudian Abu Bakar berdiri dan berkata, 'lni Umar, dan ini Abu
'Ubaidah, silahkan Anda baiat yang mana saja di antara mereka yang Anda suka.'
Tetapi keduanya berkata, 'Demi Allah, kami tidak akan mau memegang
urusan ini selama Anda masih ada.'
Lalu Abdurrahman bin 'Auf berdiri dan berkata, 'Wahai kaum Anshar,
meskipun Anda berada di atas keutamaan, namun tidak ada di tengah Anda orang
seperti Abu Bakar, Umar dan Ali.' Mendengar itu Mundzir bin Arqam berdiri dan
berkata, 'Kami tidak menolak keutamaan orang-orang yang Anda sebutkan, namun di
antara mereka ada seseorang yang jika dia menuntut urusan ini maka tidak ada
seorang pun yang memperselisihkannya, yaitu Ali bin Abi Thalib.'
(Maka orang-orang Anshar atau sebagian orang Anshar berkata, 'Kami
tidak akan membaiat kecuali Ali.')
(Umar berkata, 'Suasana menjadi hangat dan suara-suara menjadi
keras, dan untuk menghindari perpecahan saya berkata, 'Bentangkan tangan Anda,
wahai Abu Bakar, supaya aku membaitmu!') Manakala keduanya bangkit hendak
membait Abu Bakar, Basyir bin Sa'ad men-dahului keduanya membait Abu Bakar.
Hubab bin Mundzir berteriak kepada Basyir bin Sa'ad, 'Wahai Basyir
bin Sa'ad! Hai orang durhaka, orang tuamu sendiri tidak menyukaimu. Engkau
telah menyangkal ikatan keluarga, engkau dengki dan tidak mau melihat saudara
sepupumu menjadi pemimpin.'
Basyir bin Sa'ad berkata, 'Tidak, demi Allah, aku tidak mau
berselisih dengan satu kaum tentang suatu hak yang telah Allah SWT jadikan
untuk mereka.' Manakala kaum Aus melihat apa yang telah dilakukan Basyir bin
Sa'ad, apa yang diseru oleh kaum Quraisy dan apa yang diminta oleh kaum Khazraj
untuk menjadikan Sa'ad bin 'Ubadah sebagai pemimpin, sebagian mereka berkata
kepada sebagian mereka yang lain, di antaranya adalah Usaid bin Hudhair, 'Demi
Allah, bila kaum Khazraj sekali berkuasa atas dirimu, mereka akan seterasnya
mempertahankan keunggulannya atas diri kamu, dan tidak akan pernah membagi
kekuasaan itu kepadamu untuk selama-lama-nya; maka berdirilah, dan baiatlah Abu
Bakar.'
Maka mereka pun berdiri dan membaiatnya. Dan hancurlah kesepakatan
yang telah mereka peroleh atas Sa'ad bin 'Ubadah dan kaum Khazraj. Orang-orang
berdatangan dari semua sudut untuk membaiat Abu Bakar, hingga hampir saja
mereka menginjak Sa'ad bin 'Ubadah.
Pada saat itu Umar berkata, 'Bunuh dia, mudah-mudahan Allah
membunuhnya.'
Kemudian Umar mendekatinya seraya berkata, 'Saya ingin
menginjak-injak engkau sampai remuk.'
Putra Sa'ad bin 'Ubadah, Qais, menjambak janggut Umar dan berkata
kepadanya, 'Bila engkau menyentuh sehelai saja rambutnya, aku akan rontokkan
semua gigimu!'
Abu Bakar berteriak, 'Tenang Umar! Dalam keadaan seperti ini kita
harus tenang.'
Maka Umar pun pergi meninggalkan Sa'ad, tetapi Sa'ad berteriak,
'Demi Allah, seandainya aku dapat berdiri, aku akan membuat huru hara di kota Madinah, agar engkau
dan teman-temanmu bersembunyi ketakutan. Kemudian aku akan menjadikanmu
pelayan, bukan penguasa. Bawa aku dari tempat ini.' Maka mereka pun membawa
Sa'ad bin 'Ubadah dan memasukkannya ke dalam rumahnya..."
Kejadian ini tidak memerlukan penjelasan dan komentar lagi, dia
sendiri dapat menyingkap bagaimana proses terjadinya pengangkatan Abu Bakar
sebagai khalifab... Sungguh proses tersebut jauh sekali dari proses musyawarah.
Musyawarah tidak layak dilakukan di tempat yang tidak tepat ini, di mana
Saqifah Bani Sa'idah terletak di sebuah ladang di luar kota Madinah. Tentunya Mesjid Rasulullah saw
lebih utama untuk dijadikan tempat melakukan hal ini. Karena Mesjid Rasulullah
saw adalah tempat berkumpulnya kaum Muslimin dan tempat dilakukannya musyawarah
untuk membahas urusan-urusan dunia dan urusan-urusan agama. Di samping juga
waktunya tidak sesuai, karena jenazah Rasulullah saw masih terbujur dan belum
di-makamkan. Bagaimana bisa mereka meninggalkan jenazah Rasulullah saw dalam
keadaan seperti ini, untuk memperebutkan urusan kekhalifahan, sementara
sahabat-sahabat besar sedang sibuk mengurus jenazah Rasulullah saw.
Apakah ada seorang yang berakal yang menamakan peristiwa ini
sebagai musyawarah?!
Pada kenyataannya mereka tidak sedang mencari kekhilafahan Islam
yang mendapat petunjuk, yang dengan perantaraannya akan terjaga persatuan dan
eksistensi kaum Muslimin. Kata-kata yang mereka ucapkan memberi petunjuk kepada
hal ini.
Kata-kata Sa'ad yang berbunyi, "Maka genggamlah kuat-kuat
urusan ini, jangan sampai orang lain yang menggenggamnya", lalu
orang-orang Anshar menjawab, "Sungguh tepat pendapat Anda, dan sungguh
benar perkataan Anda. Kami tidak akan melanggar apa yang Anda
perintahkan", dan begitu juga kata-kata Umar yang berbunyi, "Siapa
yang memperselisihkan kami atas kekuasaan Muhammad dan pemerintahannya?"
Seluruh kata-kata ini menyingkap jati diri mereka. Mereka tidak
menginginkan apa-apa kecuali kekuasaan.
Di samping kata-kata kasar yang terjadi di antara para sahabat,
padahal Rasulullah saw telah bersusah payah mendidik mereka selama dua puluh
tiga tahun. Misalnya perkataan Umar terhadap Hubab, "Mudah-mudahan Allah
membunuhmu", dan begitu juga perkataan Hubab terhadap Umar, "Tidak,
justru mudah-mudahan engkau yang dibunuh oleh Allah." Atau perkataan Umar
kepada Sa'ad bin Ubadah, "Bunuhlah dia, mudah-mudahan Allah
membunuhnya." Atau perkata-an Umar yang lain kepada Sa'ad, "Saya akan
menginjak-injak engkau hingga remuk." Atau perkataan Qais bin Sa'ad kepada
Umar sambil menjambak janggutnya, "Demi Allah, apabila engkau sentuh satu
helai saja dari rambutnya, aku akan rontokkan semua gigimu." Semua ini
memberikan gambaran yang jelas bagi Anda.
Kata-kata keji yang seperti ini yang dilontarkan di tempat
pemilihan yang sangat sensitif ini, hingga sampai tahap ancaman, pemukulan dan
ajakkan untuk membunuh, semua ini menunjukkan betapa orang-orang yang berkumpul
tersebut dipenuhi dengan rasa kedengkian dan permusuhan terhadap satu sama
lain. Bagaimana mungkin kita bisa menerima musyawarah dari orang-orang seperti
mereka —itu pun apabila musyawarah itu sah.
Kemudian, lihatlah kata-kata dan argumentasi yang mereka lontarkan
terhadap satu sama lain, semua itu adalah argumentasi yang kosong dan jauh dari
kebenaran. Sebagai contoh —misalnya— argumentasi Umar, yang merupakan
argumentasi yang paling kuat, "Orang Arab tidak akan menerima kepemimpinan
Anda, wahai orang Anshar, karena Nabi bukan berasal dari Anda. Akan tetapi
orang Arab akan menerima dipimpin apabila oleh kaum yang Nabi berasal dari
mereka."
Jika orang Arab tidak menerima kepemimpinan orang yang jauh dari
Rasulullah saw, maka tentu mereka akan menerima kepemimpinan orang yang paling
dekat hubungannya dengan Rasulullah saw, yaitu Ali bin Abi Thalib as. Oleh
karena itu, Amirul Mukminin as berhujjah, "Mereka berhujjah dengan pohan
kenabian namun mereka meninggal-kan buahnya."[92]
Jika orang Arab tidak menerima kepemimpinan Ali as, maka tentu
mereka lebih tidak menerima lagi kepemimpinan seorang laki-laki yang berasal
dari kabilah Tim. Jika ini yang menjadi hujjah mereka, maka tentu hal ini akan
menjadi hujjah yang kuat bagi Ali as
Abu Bakar al-Jawahiri berkata tentang argumentasi Ali as,
"Ali berkata, 'Saya adalah hamba Allah dan saudara Rasulullah.' Berita itu
sampai kepada Abu Bakar. Lalu Abu Bakar berkata kepada Ali, 'Berbaiatlah.' Ali
as menjawab, 'Aku lebih berhak dari Anda atas kepemimpinan ini. Aku tidak akan
berbaiat kepada Anda, justru Anda yang lebih layak berbaiat kepadaku. Anda
telah merebut kepemimpinan ini dari kaum Anshar dengan berhujjah kepada mereka
dengan kekerabat-an Anda dengan Rasulullah, maka mereka pun menyerahkan
kepe-mimpinan kepada Anda. Dan sekarang saya mengajukan hujjah yang sama dengan
hujjah yang Anda ajukan kepada orang-orang Anshar. Maka bersikap adillah kepada
kami, jika Anda memang mengkhawatirkan Allah atas diri Anda. Dan berikanlah
pengakuan yang serupa kepada kami sebagaimana yang telah diberikan oleh kaum
Anshar kepada Anda. Jika tidak, maka berarti Anda telah berlaku zalim dan Anda
mengetahuinya.'
Umar berkata kepada Ali, 'Anda tidak akan dibiarkan hingga Anda
berbaiat.'
Ali menjawab, 'Anda sedang memerah susu untuk Abu Bakar dan diri
Anda sendiri. Anda bekerja untuknya hari ini, dan besok dia akan mengangkat
Anda menjadi penggantinya. Demi Allah, saya tidak akan menerima kata-kata Anda,
dan tidak akan mengikuti Anda.'"[93]
Mereka berusaha dengan berbagai cara untuk mendapatkan baiat dari
Ali, bahkan dengan cara kekerasan sekali pun.
Umar berkata, "Kita mendapat kabar bahwa Ali dan Zubair serta
orang-orang yang bersamanya memisahkan diri dari kita dan ber-kumpul di rumah
Fatimah."[94]
Kemudian Umar datang beserta rombongannya dengan membawa kayu
bakar dan bermaksud membakar rumah Fatimah. Maka Fatimah datang menemui mereka
dan berkata, "Apakah Anda datang dengan maksud hendak membakar rumah kami,
wahai Putra Khattab?"
Umar menjawab, "Ya, atau Anda semua melakukan sebagaimana yang
telah dilakukan oleh umat."[95]
Dalam kitab Ansab al-Asyraf disebutkan,
"Fatimah menemui Umar di pintu dan berkata kepadanya,
'Wahai Putra Khattab, apakah Anda akan tetap membakar rumah
sementara aku berada di belakang pintunya?'
Umar menjawab, 'Ya.'"[96]
1. Umar bin Khattab.
2. Khalid bin Walid.
3. Abdurrahman bin 'Auf.
4. Tsabit bin Qais bin Syammas.
5. Ziyad bin Labid.
6. Muhammad bin Muslim.
7. Zaid bin Tsabit.
8. Salmah bin Salamah bin Waghasy.
9. Salmah bin Aslam.
10. Usaid bin Hudhair.
Ya'qubi berkata, "Mereka datang berkelompok menyerang rumah,
hingga pedang Ali patah dan mereka masuk ke dalam rumah."[97]
Thabari berkata, "Umar memasuki rumah Ali, sementara di dalam
rumah ada Zubair, Thalhah dan beberapa orang dari kaum Muhajir. Kemudian Zubair
keluar dengan pedang terhunus, namun dia tergelincir dan pedangnya lepas dari
tangannya. Maka mereka pun menangkap dan membawanya."[98]
Fatimah melihat apa yang dilakukan Umar terhadap keduanya – Ali
dan Zubair— maka dia berdiri di samping pintu kamar dan berkata, "Hai Abu
Bakar, alangkah cepatnya Anda menyerang keluarga Rasulullah. Demi Allah, saya
tidak akan berbicara dengan Umar sampai saya menemui Allah."[99]
Karena peristiwa ini dan juga karena peristiwa penahanan warisan
yang diterimanya dari Rasulullah saw serta peristiwa-peristiwa lainnya, Fatimah
marah kepada Abu Bakar, dan tidak mau berbicara dengannya hingga meninggal
dunia. Fatimah az-Zahra hidup selama enam bulan sepeninggal Rasulullah saw.
Ketika Fatimah az-Zahra wafat, jenazahnya dikuburkan oleh suaminya pada malam
hari, dan tidak diizinkan Abu Bakar untuk melihat jenazahnya.[100]
Pada sebuah riwayat disebutkan bahwa Fatimah az-Zahra berkata
kepada Abu Bakar, "Demi Allah, saya akan mendoakan keburukan bagimu pada
setiap salat yang saya kerjakan."[101]
Oleh karena itu, Abu Bakar berkata pada saat hendak meninggal
dunia, "Tidak ada satu pun yang saya sesali dari dunia ini kecuali tiga
hal yang telah saya lakukan. Saya sangat berharap tidak melakukannya."
(Hingga dia mengatakan), "Adapun ketiga hal yang telah saya lakukan itu:
Saya sangat berharap tidak membuka paksa rumah Fatimah, meski pun mereka
menguncinya untuk melakukan peperangan."[102]
Di dalam Tarikh Ya'qubi disebutkan, "Oh, seandainya saya
tidak membuka paksa rumah Fatimah dan memasukkan orang-orang ke dalamnya meski
pun mereka menguncinya untuk melakukan peperangan."[103]
Seorang penyair Mesir, Hafidz Ibrahim, menulis di dalam syairnya,
"Kepada Ali, Umar berkata, 'Rumahmu akan kubakar!
Bila engkau tidak berbaiat kepada Abu Bakar'
Meski pun Fatimah putri Musthafa ada di dalam
Abu Hafshah tidak segan melawan Ali, pahlawan Adnan."
Tidak hanya sampai di situ, bahkan mereka mengancam akan membunuh
Ali. Mereka menyeret Ali dengan paksa keluar dari rumahnya, dan membawanya ke
hadapan Abu Bakar. Mereka berkata, "Berbaiatlah." Ali berkata,
"Kalau aku tidak mau, bagaimana?"
Mereka menjawab, "Kalau demikian, demi Allah, kami akan
penggal kepalamu." Ali menjawab, "Kalau begitu, kamu akan memenggal
kepala hamba Allah dan saudara Rasulullah?"[104]
Kekhalifahan yang dimulai dengan pemaksaan dan diakhiri dengan
ancaman pembunuhan tidak dapat menjadi bukti bagi konsep musyawarah.
Ketika Abu Bakar dan Umar menyadari keburukan yang telah
dilakukannya, mereka datang untuk meminta maaf kepada Fatimah. Namun kesempatan
telah terlambat.
Fatimah berkata kepada mereka, "Apakah Anda mau mendengar
apabila aku katakan kepada Anda suatu perkataan yang berasal dari Rasulullah
saw, yang Anda kenal dan Anda telah berjuang untuk beliau?"
Mereka berdua menjawab, "Ya."
Kemudian Fatimah berkata, "Apakah Anda tidak mendengar
Rasulullah saw telah bersabda, 'Keridaan Fatimah adalah keridaanku, dan
kemarahan Fatimah adalah kemarahanku. Barangsiapa yang mencintai Fatimah,
Puteriku, maka berarti dia telah mencintaiku, dan barangsiapa yang membuat
Fatimah marah, maka berarti dia telah membuatku marah?"
Mereka berdua menjawab, "Ya, kami telah mendengarnya dari
Rasulullah saw."
Kemudian Fatimah berkata, "Saya bersaksi kepada Allah para
malaikat-Nya, sesungguhnya Anda berdua telah membuat saya marah dan Anda berdua
telah membuat saya tidak rida. Seandainya kelak saya bertemu dengan Nabi saw,
saya akan adukan Anda berdua kepada beliau."
Selanjutnya Fatimah berkata kepada Abu Bakar, "... Demi
Allah, saya akan mendoakan keburukan bagimu pada setiap salat yang saya
kerjakan."[105]
Demikianlah, Abu Bakar tidak berhak atas kekhalifahan kaum
Muslimin melalui syura. Karena musyawarah tersebut tidak sah secara teoritis,
dan tidak ada wujudnya dalam tataran kenyataan. Jika kita tetap mengakui bahwa
Abu Bakar telah memperoleh kekhalifahan kaum Muslimin melalui syura, dan itu
merupakan satu-satunya cara untuk itu, maka yang perlu kita tanyakan ialah,
atas hak apa Abu Bakar mengangkat Umar menjadi khalifah sepeninggalnya?
Oleh karena itu, Abu Bakar dan kekhalifahannya menghadapi dua
masalah:
Pertama, musyawarah sebagai jalan yang Allah SWT tetapkan untuk
mengangkat seorang khalifah. Maka di sini berarti Abu Bakar telah membangkang
perintah Allah SWT dengan mengangkat Umar sebagai khalifah penggantinya, tanpa
proses musyawarah.
Kedua, musyawarah bukan merupakan sesuatu yang diperintahkan oleh
Allah SWT. Maka dengan demikian kekhalifahan Abu Bakar tidak sah, karena muncul
melalui musyawarah yang tidak diperintahkan oleh Allah SWT.
Demikian juga kekhalifahan Umar dan Usman tidak sah, kecuali
kekhalifahan Ali as. Seluruh umat sepakat untuk membaiat Ali setelah Usman
terbunuh, di samping nas-nas dari Allah dan Rasul-Nya yang menunjukkan kepada
kekhalifahan dan keimamahannya. Jika di sana
terdapat musyawarah maka kekhalifahan untuk Ali, dan begitu juga jika
ditetapkan berdasarkan pengangkatan maka kekhalifahan tetap untuk Ali.
Sebagaimana yang diceritakan secara mutawatir oleh riwayat-riwayat.
Untuk menyempurnakan pembahasan, marilah kita akhiri pembahasan
ini dengan dialog berikut:
Ali bin Maitsam ditanya, "Kenapa Ali duduk berdiam diri tidak
memerangi mereka?"
Ali bin Maitsam menjawab, "Sebagaimana duduk berdiam dirinya
Harun terhadap Samiri, padahal mereka telah menyembah patung anak sapi. Seperti
Harun ketika mengatakan, '(Harun berkata), 'Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum
ini telah menganggapku lemah.' (QS. al-A'raf: 150) Seperti Nuh tatkala berkata,
'Aku ini orang yang dikalahkan, oleh karena itu menangkanlah (aku).'(QS.
al-Qamar: 10) Seperti Luth tatkala mengatakan, 'Seandainya aku ada mempunyai
kekuatan (untuk menolakmu) atau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat
(tentu aku lakukan).' (QS. Hud: 80) Dan seperti Musa dan Harun tatkala
mengatakan, 'Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan
saudaraku.'" (QS. al-Maidah: 25)]
Makna ini dapat kita ambil dari perkataan Amirul Mukminin as
manakala sampai berita kepadanya bahwa dia tidak memerangi dua orang yang
pertama. Imam Ali as berkata, "Saya mempunyai suri teladan dari enam nabi.
Yang pertama ialah Ibrahim al-Khalil as, tatkala dia mengatakan, 'Dan aku akan
menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah.' (QS. Maryam:
48)
Jika Anda mengatakan, 'Dia menjauhkan diri dari mereka dengan
tanpa ada sesuatu yang tidak disukai', maka Anda telah kafir.
Jika Anda mengatakan, 'Dia menjauhkan diri dari mereka disebabkan
dia melihat sesuatu yang tidak disukai', maka washi dimaafkan.
Yang berikutnya adalah Luth as, tatkala dia mengatakan,
'Seandainya aku ada mempunyai kekuatan untuk menolakmu atau aku dapat
berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan).' (QS. Hud: 80)
Jika Anda mengatakan, 'Sesungguhnya Luth mempunyai kekuatan untuk
menolak mereka', maka Anda telah kafir. Dan jika Anda mengatakan, 'Sesungguhnya
dia tidak mempunyai kekuatan untuk menolak mereka', maka washi dimaafkan.
Yang berikutnya adalah Yusuf as tatkala dia mengatakan, 'Wahai
Tuhanku, penjara lebih aku sukai dari pada memenuhi ajakan mereka kepadaku.'
(QS. Yusuf: 33)
Jika Anda mengatakan, 'Nabi Yusuf meminta penjara dengan tanpa
adanya sesuatu yang tidak disukai yang dibenci oleh Allah SWT', maka Anda telah
kafir. Dan jika Anda mengatakan, 'Sesungguhnya dia diajak kepada sesuatu yang
dimurkai Allah', maka washi dimaafkan.
Yang berikutnya adalah Musa as, tatkala dia mengatakan, 'Lalu aku
lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu.' (QS. asy-Syu'ara: 21)
Jika anda mengatakan, 'Sesungguhnya Nabi Musa as lari dengan tanpa
ada sesuatu yang ditakutkan', maka Anda telah kafir. Dan jika Anda mengatakan,
'Sesungguhnya dia lari meninggalkan mereka disebabkan mereka ingin berbuat
jahat kepadanya', maka washi dimaafkan.
Yang berikutnya adalah Harun, tatkala dia berkata kepada
saudaranya, 'Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan
hampir-hampir mereka membunuhku.' (QS. Al-A'raf: 150)
Jika Anda mengatakan, 'Mereka tidak menganggap Harun as lemah dan
tidak hampir membunuhnya', berarti Anda telah kafir. Dan jika Anda mengatakan,
'Mereka telah menganggap Harun as lemah dan hampir membunuhnya, dan oleh karena
itu dia mendiamkan mereka', maka washi dimaafkan.
Selanjutnya adalah Muhammad saw tatkala dia lari ke gua dan
meninggalkan saya di ranjangnya, dan saya mempersembahkan nyawa saya kepada
Allah.
Jika Anda mengatakan, 'Muhammad telah lari dengan tanpa adanya
sesuatu yang mengancamnya dari pihak mereka', maka Anda telah kafir. Dan jika
Anda mengatakan, 'Mereka telah mengancamnya, dan tidak ada jalan lain baginya
kecuali lari ke gua', maka washi dimaafkan."
Lalu orang-orang berkata, "Anda benar, wahai Amirul
Mukminin."[106]
Ketiga:
"Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh
telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau
dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke
belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan madharat kepada Allah sedikit pun;
dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur." (QS.
Ali Imran: 144)
Sesungguhnya titik berat ayat yang mulia ini berbicara tentang
wafatnya Rasulullah saw dan peristiwa pembelotan yang terjadi sesudahnya. Titik
berat pembicaraan ayat ini terkumpul di dalam tiga ungkapan, yaitu ungkapan
"Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul", "Apakah jika
dia wafat atau dibunuh", dan "Kamu akan berbalik ke belakang?"
Untuk mendalami ayat ini dan membahasnya secara rinci, mau tidak mau kita harus
melontarkan beberapa pertanyaan yang tajam, untuk menggali pemikiran dan
berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Mengapa Allah SWT tidak cukup hanya dengan mengatakan
"Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul", melainkan
melanjutkannya secara langsung dengan kata-kata "Apakahjika dia wafat atau
dibunuh", padahal konteks ayat di atas berdiri tegak dengan ungkapan pertama?
Apa perbedaan antara mati dan terbunuh? Huruf "aw" athaf
(atau) memberikan arti pemisahan antara ma'thuf dengan ma'thuf 'alaih, lantas
apa perbedaan di antara keduanya? Mengapa pengulangan ini muncul dari Allah
SWT, padahal Dia mengetahui bahwa Rasulullah akan mati? Siapa orang yang
disinggung di dalam firman-Nya "Jika kamu berbalik ke belakang"! Dari
apa mereka berbalik ke belakang? Dan apa hubungannya antara pembelotan (berbalk
ke belakang) dengan wafatnya Rasulullah saw?
Konteks ayat ini berbicara tentang sikap istiqamah, lantas kenapa
ayat ini menggunakan kata-kata "Dan Allah akan memberikan balasan kepada
orang-orang yang bersyukur", dan tidak mengatakan "Dan Allah akan
memberikan balasan kepada orang-orang yang istiqamah, orang-orang Muslim, atau
orang-orang Mukmin?"
Sebelum kita menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, mau tidak mau
kita harus menyebutkan dua mukaddimah berikut:
Pertama, tentang sebab-sebab turunnya ayat ini. Para
mufassir menyebutkan bahwa yang menjadi sebab turunnya ayat ini ialah kekalahan
yang diderita oleh kaum Muslimin setelah peperangan Uhud, di mana kaum
musyrikin menyebarkan berita bahwa Rasulullah saw telah terbunuh di dalam
peperangan. Berita ini telah menciptakan kerapuhan, kemunduran dan keraguan
pada sebagian kaum Muslimin. Maka Allah SWT menurunkan ayat ini sebagai teguran
terhadap kaum Muslimin atas yang demikian.
Kedua, mana yang pokok di dalam ayat-ayat Al-Qur'an? Apakah yang
pokok ialah bahwa ayat-ayat Al-Qur'an cocok untuk seluruh jaman, kecuali yang
dikecualikan oleh suatu dalil? Atau, apakah justru sebaliknya?
Maksudnya ialah, jika ayat-ayat Al-Qur'an cocok untuk seluruh
jaman, maka kita dapat mengumumkan makna ayat di atas kepada jaman-jaman yang
lain selain dari jaman yang menjadi sebab-sebab turunnya ayat. Jika tidak, maka
berarti kita terikat dengan sebab-sebab yang melatar belakangi turunnya ayat di
atas, dan penggenaralisiran ayat di atas kepada jaman-jaman yang lain selain
dari jamannya itulah yang memerlukan alasan.
Jika kita membenarkan pendapat yang kedua, niscaya tidak akan ada
artinya firman Allah SWT yang berbunyi, "Dan apabila dibacakan Al-Qur'an,
maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat
rahmat." Karena, ayat ini mengisyaratkan kepada seluruh Al-Qur'an, dan
tidak mengkhususkan kepada sebagian dari ayat-ayat Al-Qur'an, melainkan kita
harus berusaha untuk bisa memahami seluruh ayat-ayat Al-Qur'an,
memperhatikannya dan memetik pelajaran darinya. Hal ini sebagaimana yang Allah
perintahkan kepada kita untuk mentadabburinya, "Maka apakah mereka tidak
memperhatikan Al-Qur'an ataukah hati mereka terkunci?"
Al-Qur'an al-Karim mengecam orang yang mengimani sebagian
Al-Qur'an dan tidak mengimani sebagian lainnya, "(Yaitu) orang-orang yang
telah menjadikan Al-Qur'an itu terbagi-bagi.
"(Yaitu) orang-orang beriman kepada sebagian al-Kitab
(Al-Qur'an) dan kafir kepada sebagian yang lain."
Allah SWT berfirman,
"Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia
dalam Al-Qur'an ini bermacam-macam perumpamaan." (QS. al-Kahfi: 54)
"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur'an untuk
pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?" (QS. al-Qamar: 17)
"Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam
bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. " (QS. Fushshilat: 3)
"Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur'an dalam bahasa Arab
supaya kamu memahaminya." (QS. az-Zukhruf: 3)
Ayat-ayat ini mendorong kita untuk berpegang kepada Al-Qur'an
seluruhnya, tidak sebagiannya.
Alhasil, jika kita berpegang kepada pendapat yang kedua, maka
tidak ada seorang pun dari kaum Muslimin yang menerimanya. Kalau pun seandainya
kita berpegang kepada pendapat yang kedua, sesungguhnya ayat yang sedang
menjadi pembahasan kita mempunyai dalil-dalil yang membuktikan bahwa dia tidak
hanya khusus bagi jaman pada saat dia turun, melainkan dia terus berlaku
sepanjang kehidupan Rasulullah saw, dan bahkan sesudahnya. Adapun dalil-dalil
tersebut adalah sebagai berikut:
Sesungguhnya berita yang tersebar pada saat peperangan Uhud ialah
berita terbunuhnya Rasulullah saw. Dan ayat ini berbicara tentang kejadian
wafatnya Rasulullah saw, "Apakah jika dia wafat atau dibunuh... "
Seandainya ayat ini hanya dikhususkan bagi jaman pada saat dia diturunkan, maka
tentu Allah SWT akan berkata, "Apakah jika dia dibunuh ". Sepertinya,
penyebutan kata "wafat" adalah untuk menunjukkan bahwa perbuatan
berbalik ke belakang yang terjadi pada peperangan Uhud juga akan terjadi pada
saat setelah kematian Rasulullah saw.
Faidah praktis dari mukaddimah ini dalam pembahasan kita ialah,
kita tidak dibebani kewajiban untuk mengemukakan sebuah dalil yang mengumumkan
ayat inqilab ini kepada kejadian yang bukan merupakan sebab turunnya ayat ini,
jika pendapat pertama yang benar, dan ini adalah pendapat yang benar
sebagaimana yang Anda saksikan. Adapun berdasarkan pendapat yang kedua, mau
tidak mau harus ada sebuah dalil khusus untuk membuktikan bahwa ayat ini tidak
hanya dikhususkan bagi kejadian tempat dia diturunkan, melainkan berlaku
sepanjang kehidupan Rasulullah saw, dan bahkan jaman sepeninggal beliau.
Seandainya pendapat yang kedua itu yang benar, maka dalil yang menunjukkan
berlakunya ayat ini sepanjang kehidupan Rasulullah saw dan bahkan jaman
sepeninggal beliau, terdapat di dalam ayat itu sendiri. Di mana, dan bagaimana?
Adapun pertanyaan "di mana", maka jawabannya ialah di
dalam firman Allah SWT yang berbunyi "Apakah jika dia wafat atau
dibunuh..." Sedangkan pertanyaan "bagaimana", maka jawabannya
ialah bahwa berita yang tersebar luas di sekitar dan di dalam kota Madinah pada
saat terjadi peperangan Uhud ialah berita terbunuhnya Rasulullah saw, yang
menyebabkan sebagian dari para sahabat murtad dan berbalik ke belakang. Jika
Allah SWT hendak mengkhususkan ayat ini hanya bagi peperangan Uhud, niscaya
Allah SWT akan mengatakan, "Apakah jika dia terbunuh..." Namun
penyebutan kata "wafat" oleh Allah SWT di dalam ayat,
"Apakahjika dia wafat atau terbunuh...", memberikan pengertian yang
pasti bahwa keadaan yang sama benar-benar akan terulang pada saat Rasulullah
saw meninggal dunia.
Insya Allah, akan datang penjelasan lebih rinci kepada Anda yang
menguatkan bahwa ayat ini tidak hanya terbatas kepada peristiwa perang Uhud,
melainkan juga mencakup jaman hingga meninggalnya Rasulullah saw, dan bahkan
jaman sesudahnya.
Ketahuilah, sesungguhnya mati mempunyai dua arti: Mati dalam arti
umum, yaitu peristiwa dicabutnya ruh,
"Di mana saja kamu berada, kematian akan mendatangi kamu,
meski pun kamu berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh." (QS.
an-Nisa: 78)
"Dan Dialah Allah yang telah menghidupkan kamu, kemudian
mematikan kamu, kemudian menghidupkan kamu (lagi)." (QS. al-Hajj: 66)
Juga terdapat mati dalam arti khusus, sebagai lawan dari terbunuh.
Yaitu orang yang mati disebabkan telah rusaknya bangunan kehidupannya. Dan ayat
mana saja yang menyebutkan kedua kata tersebut secara bersamaan, yaitu kata
mati dan terbunuh, maka yang dimaksud dengan mati adalah mati dalam arti
khusus. Pengertian ini lebih bertambah kuat lagi manakala digunakan kata aw
(atau), yang memberikan arti pemisahan di antara ma'thuf dan ma'thuf 'alaih. Contohnya
ialah firman Allah SWT yang berbunyi,
"Dan sungguh kalau kamu terbunuh di jalan Allah atau
meninggal dunia, tentulah ampunan Allah dan rahmat-Nya lebih baik (bagimu) dari
harta rampasan yang mereka kumpulkan." (QS. Ali Imran: 157)
"Dan sungguh jika kamu meninggal dunia atau terbunuh,
tentulah kepada Allah saja kamu dikumpulkan." (QS. Ali Imran: 158)
"Kalau mereka tetap bersama-sama kita tentulah mereka tidak
mati dan tidak dibunuh." (QS. Ali Imran: 156)
Karena, jika kata "mati" di dalam ayat-ayat ini bermakna
umum maka tentu tidak diperbolehkan menggunakan kata "terbunuh",
karena sudah tercakup di dalamnya. Dan jika hal itu dilakukan, maka ini berarti
bertentangan dengan kefasihan bahasa. Dari sini kita dapat membuktikan bahwa
yang dimaksud dengan mati di dalam ayat Inqilab ialah mati dalam arti khusus,
yang merupakan lawan dari kata terbunuh.
Kenapa Allah SWT menekankan kepada sifat kerasulan pada diri
Rasul-Nya, dengan mengatakan bahwa dia adalah seorang rasul, sebagaimana telah
berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Untuk tujuan itu sebenarnya Allah SWT
cukup dengan hanya mengatakan, "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang
rasul", namun kenapa Allah SWT melanjutkannya secara langsung dengan
mengatakan, "Apabila dia wafat atau dia dibunuh"?
Yang terbayang pertama kali di dalam menjawab pertanyaan ini
adalah sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian para mufassir, yaitu bahwa
Allah SWT hendak menarik perhatian kaum Muslimin kepada sebuah hakikat,
bahwasannya Nabi Muhammad saw itu tidak kekal. Dia itu akan mati dan berlalu.
Keadaannya persis sebagaimana rasul-rasul yang lain yang telah mati dan
berlalu. Makna ini adalah makna yang tampak, namun bukan satu-satunya makna.
Karena kalau sekiranya maksud Allah SWT hanya sebatas hendak menetapkan sifat kematian
bagi Rasulullah saw, maka tentunya Allah SWT akan mengatakan, "Muhammad
itu tidak lain hanyalah seorang manusia, sungguh telah berlalu sebelumnya
beberapa orang manusia." Untuk menekankan kepada kefanaan dan
ketidak-langgengan yang sudah merupakan tabiat manusia. Juga terdapat beberapa
arti yang lebih luas dan lebih dalam dari arti ini, yang menuntut
dikemukakannya dan ditekankannya sifat kerasulan. Yaitu,
Pertama, sebagaimana keberadaan agama tidak digantungkan kepada
kehidupan rasul-rasul yang lalu, maka demikian juga keberadaan agama ini tidak
digantungkan kepada kehidupan Rasulullah saw. Sebagaimana para nabi terdahulu
meninggal dunia dan agama tetap berlangsung sepeninggal mereka, maka demikian
pula manakala Rasulullah saw meninggal dunia atau terbunuh, agama akan tetap
berlangsung sepeninggalnya.
Kedua, ini merupakan arti yang paling dalam dan paling mencakup,
yaitu penekanan terhadap hakikat kesesuaiaan sunah-sunah di antara umat
sepeninggal rasul-rasulnya. Maka apa yang telah terjadi atas umat-umat
tersebut, akan terjadi pula atas umat ini. Al-Qur'an, sunah Rasulullah saw dan
kenyataan menguatkan hakikat ini. Adapun Al-Qur'an al-Karim mengatakan,
"Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas
sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung
dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan Kami
berikan kepada Isa putra Maryam beberapa mukjizat serta Kami perkuat dia dengan
ruhul qudus. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan
orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka
beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara
mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya
Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat
apa yang dikehendaki-Nya." (QS. al-Baqarah: 253)
Dhamir (kata ganti) hum kembali kepada kata ar-rusul
(rasul-rasul). Jika yang dikehendaki oleh Allah SWT hanyalah Isa as maka tentu
Allah SWT akan menggunakan ungkapan "min ba'dih" (sesudahnya). Juga
tidak bisa dikatakan bahwa yang dikehendaki oleh Allah dengan dhamir
"hum" (mereka) adalah Isa as, sebagai penghormatan. Karena kedudukan
dhamir "hum" pada kata "min ba'dihim" (sesudah mereka)
dengan maksud sebagai pengagungan, itu bertentangan dengan kefasihan. Adapun
berkenaan dengan orang yang mengatakan bahwa dhamir "hum" hanya
merupakan makna majazi (kiasan), maka kita katakan, sesungguhnya jika terjadi
keraguan apakah suatu lafaz itu digunakan dalam arti majazi (kiasan) atau
hakiki (arti sebenarnya) maka kita berpegang kepada arti hakiki. Pada
penggunaan dhamir hum dalam arti hakiki maka dhamir hum kembali kepada
"rasul-rasul itu", yang salah satu di antaranya adalah Rasulullah
saw, berdasarkan petunjuk ayat sebelumnya yang berbunyi, "Itu adalah
ayat-ayat Allah. Kami bacakan kepadamu dengan benar, dan sesungguhnya kamu
benar-benar salah seorang di antara nabi-nabi yang diutus." Kemu-dian
Allah SWT melanjutkan, "Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagi-an dari
mereka atas sebagian yang lain."
Kemudian, sesungguhnya perihal kesesuaian sunah-sunah juga
ditunjukan oleh banyak riwayat yang masyhur dan sahih, yang disepakati oleh
kaum Muslimin. Seperti sabda Rasulullah saw yang berbunyi, "Niscaya kamu
akan mengikuti sunah-sunah orang sebelummu. Bulu anak panah dengan bulu anak
panah, dan sandal dengan sandal. Bahkan jika mereka memasuki lubang biawak,
niscaya kamu pun akan memasukinya." Dalam sebuah hadis yang lain
Rasulullah saw bersabda, "Janganlah sepeninggalku engkau kembali menjadi
orang-orang kafir, yang sebagianmu memenggal sebagian leher yang lain."
Rasulullah saw juga telah bersabda, "Orang-orang Yahudi telah berpecah
belah menjadi tujuh puluh satu golongan, sementara orang-orang Kristen telah
berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan umatku akan berpecah belah
menjadi tujuh puluh tiga golongan. Tujuh puluh dua golongan darinya berada di
dalam neraka, dan hanya satu golongan yang selamat." Bahkan, banyak sekali
ayat-ayat Al-Qur'an yang menunjukkan kepada fenomena ini. Seperti firman Allah
SWT yang berbunyi,
"Mereka tidak menunggu-nunggu kecuali kejadian-kejadian yang
sama dengan kejadian-kejadian yang menimpa orang-orang yang telah terdahulu
sebelum mereka." (QS. Yunus: 102)
"Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul
perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan
pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar,
untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka
perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah
didatangkan Kitab kepada mereka, yaitu setelah datang kepada mereka
keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki di antara mereka sendiri. Maka
Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal
yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya." (QS. al-Baqarah: 213)
"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja
mengatakan, 'Kami telah beriman', sedang mereka tidak diuji lagi?" (QS. al-Ankabut:
2)
Sesunggunya dalil terbesar yang menunjukkan kepada kesesuaian di
antara sunah-sunah umat terdahulu dan umat kemudian ialah kenyataan yang
terjadi pada para sahabat sepeninggal Rasulullah saw, yaitu di mana sebagian
mereka mengkafirkan sebagian mereka yang lain, dan masing-masing dari mereka
memfasikkan yang lainnya, hingga berakhir dengan terjadinya peperangan yang
dahsyat di antara mereka, yang menelan korban lebih dari seratus ribu kaum
Muslimin. Inilah ekstensi dari ayat yang berbunyi, "Dan kalau Allah
menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang yang datang sesudah
rasul-rasul itu." (QS. al-Baqarah: 253)
Setelah ini, tidak bisa seseorang mengatakan, bagaimana mungkin
para sahabat berbalik ke belakang padahal merekalah yang telah mengorbankan
harta dan diri mereka, dan telah memerangi keluarga mereka serta telah berdiri
tegar di sisi Rasulullah saw dalam keadaan susah dan lapar, serta mereka telah
melihat ayat-ayat dan mukjizat-mukjizatnya!! Karena di samping alasan-alasan
yang telah disebutkan di atas, keragu-raguan ini dapat dijawab dengan hal-hal
berikut,
a. Sesungguhnya kata ganti orang kedua di dalam ungkapan
"inqalabtum" (kamu berbalik ke belakang) ditujukan kepada mereka para
sahabat. Karena tidak logis jika yang dimaksud adalah orang-orang kafir atau
orang-orang munafik, karena mereka adalah orang-orang yang menyimpang atau
berbalik ke belakang sejak awal.
b. Ilmu tidak menjamin pemiliknya untuk lurus. Betapa banyak
manusia yang mengetahui bahwa kebenaran berada di suatu tepian, namun
disebabkan hawa nafsunya dia justru cenderung kepada tepian yang lain. Bahkan,
kebanyakan pembangkangan terjadi setelah datangnya pengetahuan tentang
kebenaran. Allah SWT berfirman,
"Dan tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali
sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian yang ada di antara
mereka." (QS. Ali Imran: 19)
"Dan tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan
orang-orang yang telah didatangkan Kitab kepada mereka, yaitu setelah datang
kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki di antara mereka
sendiri." (QS. al-Baqarah: 213)
Segala sesuatunya terang dan jelas, namun mereka berselisih dan
saling berbunuh-bunuhan, "Dan kalaulah Allah menghendaki, niscaya tidaklah
berbunuh-bunuhan orang-orang yang datang sesudah rasul-rasul itu, sesudah
datang kepada mereka beberapa macam keterangan." (QS. al-Baqarah: 253)
"Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai Tuhannya, dan kemudian Allah membiarkannya sesat atas ilmunya.
" (QS. al-Jatsiyah: 23)
c. Sesungguhnya pengorbanan-pengorbanan yang lalu dan kesabaran
atas berbagai musibah, tidak menjamin manusia untuk tidak jatuh ke dalam
penyimpangan di masa yang akan datang. Pengorbanan dan kesabaran yang mereka
(para sahabat) tunjukkan tidak lebih besar dari pengorbanan dan kesabaran yang
ditunjukkan oleh Bani Israil manakala Fir'aun memotong kaki dan tangan mereka,
menyalib mereka, membiarkan hidup perempuan-perempuan mereka dan anak-anak
perempuan mereka, dan membunuh kaum laki-laki dari mereka, namun mereka tetap
sabar berpegang kepada seruan Nabi Musa as, dan mereka melihat dengan jelas
mukjizat-mukjizat besar yang ditunjukkan oleh Nabi Musa as, yang mana yang
terbesar darinya ialah membelah lautan menjadi dua bagian, sehingga tidak
ubahnya menjadi dua buah gunung yang besar. Namun, tatkala Nabi Musa as
meninggalkan mereka beberapa hari, mereka kembali menyembah patung anak sapi.
Sehingga sepertinya sudah menjadi watak manusia melakukan pelanggaran manakala
dia merasa cukup dan aman,
"Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui
batas." (QS. al-'Alaq: 6)
d. Betapa pun seorang manusia telah tinggi di dalam derajat
keimanan, dia tetap tidak dimaksum oleh Allah SWT, sehingga bisa saja dia
berbalik ke belakang dan kembali kafir. Tidak ada contoh yang lebih besar dari
Bal'am bin Ba'ura,
"Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami
berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi al-Kitab), kemudian
dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia
tergoda), makajadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami
menghendaki, sesunggunya Kami tinggikan derajatnya dengan ayat-ayat itu, tetapi
dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka
perumpamannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan
jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya juga. Demikian itulah
perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah
kepada mereka kisah-kisah itu agar mereka berpikir. Amat buruklah perumpamaan
orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah
mereka berbuat zalim. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah
yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah
orang-orang yang merugi." (QS. al-A'raf: 175-178).
Apakah ada salah seorang dari sahabat telah mencapai tingkat
keimanan yang seperti ini, hingga mencapai tingkat membawa Ism al-A'zham?
Sungguh telah menyimpang orang yang telah mencapai derajat ini, apalagi orang
yang ada di bawahnya?
Timbul pertanyaan di sini, "Pembelotan (perbuatan berbalik ke
belakang) itu terjadi atas apa?"
Bahkan, merupakan tugas kita untuk menanyakan, atas apa pembelotan
itu biasanya terjadi?
Di dalam ayat Inqilab terdapat unsur-unsur dasar yang dapat
menghantarkan kita kepada jawaban pertanyaan ini, dengan melakukan analisa dan
penarikan kesimpulan darinya:
a. Ayat Inqilab mempunyai hubungan yang langsung dengan wafatnya
Rasulullah saw, "Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke
belakang?"
b. Pembelotan menunjukkan adanya satu dasar yang menjadi tempat
terjadinya pembelotan. Yaitu suatu dasar yang dikenal di kalangan seluruh orang
yang membelot. Karena jika orang-orang yang membelot itu tidak mengetahui dasar
ini, maka tentu tidak dikatakan kepada mereka, "Kamu berbalik ke
belakang." Bahkan, sesuatu yang menjadi tempat terjadinya pembelotan
adalah sesuatu yang dipegang teguh oleh para pembelot untuk beberapa waktu
hingga terjadinya pembelotan.
c. Sesungguhnya perkara ini mempunyai hubungan yang langsung
dengan Allah dan Rasul-Nya saw, dan dari mereka berdualah mereka membelot.
d. Sesungguhnya bahaya pembelotan ini akan mengenai orang-orang
yang membelot, baik di dunia maupun di akhirat, "Dan Allah akan memberi
balasan kepada orang-orang yang bersyukur. " Allah SWT berfirman
sebelumnya, "Maka dia tidak dapat mendatangkan madharat sedikit pun kepada
Allah. " Pada ayat yang lain Allah SWT berfirman, "Barangsiapa yang
bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur bagi dirinya sendiri. "
Allah SWT menjelaskan bahwa manfaat syukur kembali kepada hamba
itu sendiri, dan demikian juga perbuatan tidak bersyukur madharatnya akan
kembali kepada si hamba sendiri.
e. Sesungguhnya pembelotan ini mempunyai kaitan dengan sunah-
sunah orang-orang terdahulu. Apa yang orang-orang terdahulu telah membelot
darinya maka orang-orang terkemudian pun akan membelot darinya.
f. Allah SWT tidak mengatakan, Dia akan memberi balasan kepada
orang-orang Mukmin dan orang-orang Muslim, melainkan Allah SWT mengatakan,
"Dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur."
Ini memberikan pengertian bahwa orang yang tidak membelot atau berbalik ke
belakang sedikit jumlahnya, "Dan hanya sedikit dari hamba-hamba Kami yang
bersyukur. " Ini dikuatkan dengan perkataan-Nya, "Kamu berbalik ke
belakang", yang memberikan pengertian umum dan banyak. Kalau sekiranya
orang-orang yang membelot itu sedkit jumlahnya, maka tentu Allah SWT akan
mengatakan, "Sebagian kamu berbalik ke belakang", dan tentunya tidak
benar mengecam mayoritas.
g. Pembelotan ini benar-benar terjadi. Ini didasarkan petunjuk
"jawab syarat" yang memberikan pengertian terlaksana manakala
terlaksananya "syarat", dan penggunaan bentuk fi'il madhi (kata kerja
lampau) yang memberikan pengertian terlaksananya sesuatu.
h. Sesungguhnya ucapan Allah SWT ini khusus ditujukan kepada kaum
Muslimin, dan tidak ditujukan kepada orang-orang kafir, karena mereka adalah
orang-orang yang menyimpang sejak awal. Demikian juga ayat ini tidak ditujukan
kepada orang-orang munafik saja, karena hal ini bertentangan dengan zahir ayat.
Kalaulah yang dimaksud dalam ucapan Allah SWT ini hanyalah orang-orang munafik
saja, maka tentu Allah SWT akan mengatakan, "Kamu menampakkan
pembelotanmu", padahal pembelotan (perbuatan berbalik ke belakang) itu
terjadi pada saat Rasulullah saw meninggal dunia.
Untuk mengetahui esensi pembelotan ini, maka kita harus
memperhatikan seluruh unsur dasar ini pada saat melakukan analisa dan menarik
kesimpulan, dan hendaknya kesimpulan yang ditarik harus sesuai dengan
unsur-unsur dasar ini. Karena jika tidak, maka berarti bukan kesimpulan yang
benar.
Rasulullah saw adalah seorang pemimpin kaum Muslimin, dan setelah
beliau wafat terjadi pembelotan... Lantas kita bertanya, setelah wafatnya
seorang pemimpin, atas apa biasanya terjadi pembelotan?! Pada sisi apa
Rasulullah saw berperan sebagai katup pengaman bagi umat dari perselisihan,
yang jika sekiranya Rasulullah saw tidak ada akan terjadi perselisihan dan
pertentangan. Apakah Al-Qur'an al-Karim menjelaskan hal ini? Al-Qur'an al-Karim
tidak menjelaskan secara jelas perkara yang amat besar ini, yang tidak diterima
oleh sebagian besar manusia, dan yang Rasulullah saw sendiri merasa takut
menyampaikannya kepada umat, namun Allah SWT memerintahkan,
"Hai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu
dari Tuhanmu. Dan jika kamu tidak melaksanakannya, maka berarti kamu tidak
menyampaikan risalah-Nya. Allah menjaga kamu dari (ganguan) manusia." (QS.
al-Maidah: 67)
Dengan memperhatikan secara sekilas ayat di atas kita dapat
menyingkap beberapa poin berikut:
1. Sesungghnya perkara yang wajib disampaikan ini, bobotnya
menyamai bobot menyampaikan seluruh risalah. Sehingga jika Rasulullah saw tidak
menyampaikannya maka dia sama dengan tidak menyampaikan risalah. Sebaliknya,
pengingkaran terhadapnya sama dengan pengingkaran terhadap risalah, dan sikap
berbalik ke belakang darinya sama dengan sikap berbalik ke belakang dari
risalah.
2. Sesungguhnya perkara ini adalah perkara yang banyak mendapat
penentangan dari manusia. Bahkan, Rasulullah saw mengkhawatirkan dirinya dari
manusia untuk menyampaikan perkara ini. Oleh karena itu, Allah SWT
meyakinkannya, "Dan Allah menjaga kamu dari (gangguan) manusia."
3. Perkara ini merupakan penyempurna risalah. Karena jika
Rasulullah saw menyampaikan perkara ini maka berarti Rasulullah saw telah
menyampaikan risalah dan menyempurnakannya,
"Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam itu sebagai
agamamu. " (QS. al-Maidah: 3)
Ini sejalan dengan ayat Inqilab yang mengatakan bahwa sikap
berbalik ke belakang dari perkara ini adalah berarti sikap berbalik ke belakang
dari agama ini seluruhnya.
4. "Allah menjaga kamu dari (gangguan) manusia." Ini
memberikan arti bahwa sebagian besar manusia tidak menyukai perkara yang
Rasulullah saw diperintahkan untuk menyampaikannya? Perkara apakah ini yang
Rasulullah saw diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyampaikannya?
Pertama-tama, sesungguhnya perkara ini mempunyai kaitan dengan
sikap berbalik ke belakang. Dan ini didasarkan kepada beberapa hal:
1. Karena perkara ini berkaitan dengan risalah, dan berbalik ke
belakang darinya adalah berarti berbalik ke belakang dari risalah.
2. Di dalam perkara ini terdapat sikap berbalik ke belakang,
disebabkan ketidak-relaan kelompok mayoritas terhadap perkara ini.
3. Rasulullah saw harus menyampaikan perkara ini disebabkan
ajalnya sudah dekat, "Sudah hampir masanya aku dipanggil oleh Allah dan
aku mesti menjawab panggilan-Nya", sehingga tidak meninggalkan alasan bagi
mereka untuk bisa berbalik ke belakang, dan sekaligus menegakkan hujjah yang
sempurna atas mereka. Karena perbuatan berbalik ke belakang mempunyai kaitan
dengan wafatnya Rasulullah saw.
4. Sesungguhnya perkara yang Allah SWT inginkan Rasulullah saw
menyampaikannya ialah satu perkara yang sangat dimungkinkan manusia berpaling
darinya. Karena, Rasulullah saw telah menyampaikan seluruh risalah, dengan
segenap cabangnya, namun tidak tampak tanda-tanda ketidak-relaan dari kaum
Muslimin terhadap seluruh yang telah disampaikan Rasulullah saw, kecuali
perkara ini. Rasulullah saw sendiri merasa khawatir untuk menyampaikannya, maka
Allah SWT pun memberikan jaminan kepada Rasulullah saw untuk menjaga dan
melindunginya dari gangguan manusia.
5. Rasulullah saw berperan sebagai katup pengaman dalam masalah
ini. Jika Rasulullah saw meninggal dunia, maka lumpuhlah keamanan, dan manusia
akan melakukan yang sebaliknya.
6. Tidak ada sesuatu yang menjadi objek dari sikap berbalik ke
belakang selain dari kekhalifahan yang ditetapkan dari sisi Allah SWT.
Kekhalifahan siapa yang Rasulullah saw sampaikan?
Hadis-hadis mutawatir, dan begitu juga beratus-ratus kitab
referensi kaum Muslimin menceritakan peristiwa al-Ghadir dan pengangkatan Imam
Ali sebagai khalifah kaum Muslimin, sebagaimana yang telah disebutkan.
Dari sini, dan dari beribu-ribu hadis lainnya tampak jelas bahwa
Rasulullah saw telah menetapkan Ali sebagai khalifah dan Imam atas seluruh
makhluk, namun hal ini tidak mendapat kerelaan dari kaum Muslimin. Manakala
Rasulullah meninggalkan dunia yang fana ini, dengan segera mereka pun berbalik
ke belakang darinya dan merampas apa yang menjadi haknya. Dan hanya sedikit
sekali dari mereka yang tetap berpegang teguh. Hal ini sebagaimana yang
dikatakan oleh Allah SWT pada bagian akhir ayat Inqilab, "... dan Allah
akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur." Dari ayat ini
tampak jelas:
Pertama, mereka itu sedikit jumlahnya. Dengan alasan,
a. Kata "ingalabtum " (kamu berbalik ke belakang),
memberikan arti umum dan mayoritas.
b. Firman Allah SWT yang berbunyi, "Dan hanya sedikit dari
hamba-hambaku yang bersyukur."
Kedua, syukur di sini sebagai lawan dari kufur, yaitu berbalik ke
belakang, "Maka di antara mereka ada yang beriman dan di antara mereka ada
yang kafir", "Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus:
ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir." Jalan ini sudah dikenal,
berdasarkan beberapa petunjuk berikut,
a. Petunjuk-Nya kepada jalan yang lurus, "Sesungguhnya Kami
telah menunjukinya jalan yang lurus."
b. Perbuatan berbalik ke belakang dari jalan yang lurus. Karena
ayat di atas mengatakan, "Dan Allah akan memberi balasan kepada
orang-orang bersyukur." Yaitu mereka yang mengikuti jalan yang luras ini.
Sehingga selain dari mereka adalah orang- orang kafir, karena mereka berbalik
ke belakang dari jalan yang lurus.
c. Alif lam ta'rif.
Jalan ini merupakan tempat ujian dan kenikmatan pada waktu yang
bersamaan. Yaitu ujian yang dengannya manusia diuji, dan kenikmatan bagi orang
yang melaluinya. Biasanya, perbuatan berbalik ke belakang yang menyamai
kekufuran adalah perbuatan berbalik ke belakang dari kenikmatan. Manakala
kepemimpinan Ali merupakan sebuah kenikmatan, "Dan telah Aku cukupkan
kepadamu nikmat-Ku", maka perbuatan berbalik ke belakang terjadi atasnya,
dan hanya sedikit saja yang menerima kepemimpinannya. Hal ini sebagaimana yang
dikuatkan oleh hadis Rasulullah saw yang bersabda,
"Ketika aku sedang berdiri tiba-tiba datang sekelompok orang
yang aku kenal. Lalu keluarlah seorang di antara kami dan berkata, 'Mari.' Aku
bertanya, 'Ke mana?' Dia menjawab, 'Ke neraka, demi Allah.' Aku bertanya, 'Apa
kesalahan mereka?' Dia men-jawab, 'Mereka telah murtad sepeninggalmu dan telah
berbalik dari kebenaran.' Dan aku tidak melihat yang tersisa kecuali sedikit
sekali, seperti sekelompok unta yang tersisih."
Hadis ini menguatkan apa yang dikatakan di dalam ayat inqilab,
yaitu hanya sedikit orang yang bersyukur terhadap kenikmatan. Rasulullah saw
mengatakan, "Aku tidak melihat yang tersisa kecuali sedikit sekali,
seperti sekelompok unta yang tersisih." Sebagaimana kelompok unta yang
terpisah dari rombongannya sedikit sekali jumlahnya, maka demikian pula para
sahabat yang selamat sedikit sekali jumlahnya.
Dalam hadis yang lain Rasulullah bersabda, "Aku akan
mendahului kamu di telaga. Siapa yang berlalu dariku dia akan minum, dan siapa
yang telah minum dia tidak akan dahaga selama-lamanya. Kelak ada sekelompok
orang yang aku kenal dan mereka juga mengenalku, datang kepadaku. Kemudian
mereka dipisahkan dariku. Aku akan berkata, 'Sahabatku, sahabatku.' Lalu
dijawab, 'Engkau tidak tahu apa yang telah mereka lakukan sepeninggalmu.' Dan
aku pun berkata, 'Enyahlah, enyahlah mereka yang telah berubah
sepeninggalku.'"
Rasulullah saw pernah berkata kepada Abu Bakar, manakala
Rasulullah meyaksikan para syuhada ahli surga. Rasulullah saw berkata,
"Adapun berkenaan dengan mereka, aku memberikan kesaksian bagi
mereka." Lalu Abu Bakar berkata, "Dan juga bagi kami, hai Rasulullah?"
Rasulullah saw menjawab, "Adapun mengenaimu, aku tidak mengetahui apa yang
akan kamu lakukan sepeninggalku. •
Tidak ada komentar:
Posting Komentar